paradoks ekonomi ramadan - anita's personal...

3
Just an Ordinary Teacher | Paradoks Ekonomi Ramadan Copyright Ali Mutasowifin [email protected] http://alimu.staff.ipb.ac.id/2012/01/09/paradoks-ekonomi-ramadan/ Paradoks Ekonomi Ramadan Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia. Selain limpahan pahala serta hikmah yang telah dijanjikan oleh Tuhan untuk mereka yang menjalankannya dengan bersungguh-sungguh, ternyata ada beragam aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya yang muncul mengikuti hadirnya bulan suci tersebut yang tidak senantiasa selaras dengan makna ibadah puasa Ramadan yang sesungguhnya. Puasa dan Peningkatan Konsumsi Setiap mejelang bulan puasa, pemerintah selalu sibuk melakukan beragam langkah untuk mengantisipasi meningkatnya konsumsi barang-barang kebutuhan rumah tangga, sementara pasokannya relatif tetap sehingga harga-harga pun biasanya akan langsung terkerek naik. Tahun lalu The Nielsen Company mencatat peningkatan penjualan makanan dan minuman sebesar 24% di supermarket dan 19% di minimarket dibandingkan dengan rata-rata di bulan biasa. Data sebelumnya juga mencatat penjualan daging meningkat tiga kali lipat sepanjang bulan puasa dan lebaran. Peningkatan konsumsi masyarakat juga terkonfirmasi dari persiapan kalangan perbankan menghadapi puasa Ramadan dan Idul Fitri. Tahun lalu misalnya, BCA menyiapkan kebutuhan dana cash menjelang puasa dan Idul Fitri sebesar Rp 10 triliun, meningkat 12,5 % dibandingkan dengan hari biasa. Sementara BRI mencatat pencairan pinjaman komersial, baik oleh nasabah baru maupun nasabah lama, menjelang bulan Ramadan sebesar Rp 1,5-2 triiliun, atau meningkat 20-22 % dibandingkan posisi tahun sebelumnya. Untuk mengantisipasi peningkatan transaksi menjelang puasa Ramadan, tahun ini Bank Indonesia juga telah menyiapkan uang tunai sebesar Rp 60 triliun, atau naik 20 % dibandingkan tahun lalu. Peluang meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat juga ditangkap oleh Perum Pegadaian yang menargetkan kenaikan omset sekitar 10-20 % sepanjang bulan Ramadan hingga Lebaran. Bedanya, kredit yang disalurkan oleh Perum Pegadaian biasanya digunakan sebagai modal untuk usaha musiman seperti jualan baju, takjil, kue dan makanan. Usai lebaran, barang yang digadaikan biasanya akan ditebus page 1 / 3

Upload: others

Post on 08-Mar-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paradoks Ekonomi Ramadan - Anita's Personal Bloganitanet.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf...biliar, tempat permainan ketangkasan seperti dingdong, TV game, permainan ketangkasan

Just an Ordinary Teacher | Paradoks Ekonomi RamadanCopyright Ali Mutasowifin [email protected]://alimu.staff.ipb.ac.id/2012/01/09/paradoks-ekonomi-ramadan/

Paradoks Ekonomi Ramadan

Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruhdunia. Selain limpahan pahala serta hikmah yang telah dijanjikan oleh Tuhan untukmereka yang menjalankannya dengan bersungguh-sungguh, ternyata ada beragamaktivitas sosial, ekonomi, dan budaya yang muncul mengikuti hadirnya bulan sucitersebut yang tidak senantiasa selaras dengan makna ibadah puasa Ramadan yangsesungguhnya. 

Puasa dan Peningkatan Konsumsi

Setiap mejelang bulan puasa, pemerintah selalu sibuk melakukan beragam langkahuntuk mengantisipasi meningkatnya konsumsi barang-barang kebutuhan rumahtangga, sementara pasokannya relatif tetap sehingga harga-harga pun biasanyaakan langsung terkerek naik. Tahun lalu The Nielsen Company mencatatpeningkatan penjualan makanan dan minuman sebesar 24% di supermarket dan19% di minimarket dibandingkan dengan rata-rata di bulan biasa. Data sebelumnyajuga mencatat penjualan daging meningkat tiga kali lipat sepanjang bulan puasadan lebaran.

Peningkatan konsumsi masyarakat juga terkonfirmasi dari persiapan kalanganperbankan menghadapi puasa Ramadan dan Idul Fitri. Tahun lalu misalnya, BCAmenyiapkan kebutuhan dana cash menjelang puasa dan Idul Fitri sebesar Rp 10triliun, meningkat 12,5 % dibandingkan dengan hari biasa. Sementara BRI mencatatpencairan pinjaman komersial, baik oleh nasabah baru maupun nasabah lama,menjelang bulan Ramadan sebesar Rp 1,5-2 triiliun, atau meningkat 20-22 %dibandingkan posisi tahun sebelumnya. Untuk mengantisipasi peningkatantransaksi menjelang puasa Ramadan, tahun ini Bank Indonesia juga telahmenyiapkan uang tunai sebesar Rp 60 triliun, atau naik 20 % dibandingkan tahunlalu.

Peluang meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat juga ditangkap oleh PerumPegadaian yang menargetkan kenaikan omset sekitar 10-20 % sepanjang bulanRamadan hingga Lebaran. Bedanya, kredit yang disalurkan oleh Perum Pegadaianbiasanya digunakan sebagai modal untuk usaha musiman seperti jualan baju, takjil,kue dan makanan. Usai lebaran, barang yang digadaikan biasanya akan ditebus

page 1 / 3

Page 2: Paradoks Ekonomi Ramadan - Anita's Personal Bloganitanet.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf...biliar, tempat permainan ketangkasan seperti dingdong, TV game, permainan ketangkasan

Just an Ordinary Teacher | Paradoks Ekonomi RamadanCopyright Ali Mutasowifin [email protected]://alimu.staff.ipb.ac.id/2012/01/09/paradoks-ekonomi-ramadan/

kembali.

Fenomena meningkatnya konsumsi masyarakat selama bulan Ramadan padahalaktivitas makan dan minum hanya berlangsung di malam hari sesungguhnya patutdipertanyakan. Seolah-olah, waktu yang lebih singkat untuk makan dan minum dimalam hari dimanfaatkan untuk “balas dendam”, mengkompensasi saat-saat lapardan dahaga di siang hari. Padahal, salah satu esensi penting dari pelaksanaanIbadah puasa Ramadan adalah justru peningkatan kemampuan pengendalian diri.Keberhasilan mengendalikan diri selama berpuasa seharusnyalah tercerminkan olehkonsumsi masyarakat yang melemah atau setidaknya stabil. Konsumsi masyarakatyang meningkat, dengan demikian bisa menjadi indikasi ketidakberhasilanpengendalian diri selama berpuasa.

Puasa dan Antusiasme Berbelanja

Satu atau dua minggu menjelang Ramadan berakhir, masyarakat biasanya jugamulai disibukkan dengan persiapan Idul Fitri. Pusat-pusat perbelanjaan modernmaupun pasar tradisional penuh sesak oleh masyarakat yang berbelanja kebutuhanlebaran seperti ketupat, makanan dan kue lebaran, baju, sepatu, dan sejenisnya.Biasanya, para pengunjung memenuhi pusat-pusat perbelanjaan dari sore harihingga saat jam tutup. Menjelang Idul Fitri, banyak mall yang bahkan menunda jamtutupnya. Padahal, umat muslim sesungguhnya justru didorong untuk lebihmeningkatkan kualitas ketakwaan dengan cara mengaji atau menjalankan shalattarawih di waktu-waktu tersebut.

Kesibukan berbelanja, makan besar dan pameran baju baru saat lebaran, selaintampak seperti perayaan kebebasan setelah sebulan terkekang (yang tentu sangatjauh dari makna puasa yang benar), juga terasa kurang sejalan dengan hikmahpuasa agar kita menjadi lebih mampu berempati kepada golongan masyarakatyang tidak beruntung, misalnya mereka yang tak punya cukup uang untuk makanlayak, apatah lagi untuk membeli pakaian yang pantas. Belum lagi bila kitaderetkan kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya seperti tempat tinggal, kesehatan,dan pendidikan yang masih merupakan barang mewah bagi sebagian cukup besargolongan masyarakat negeri kita.

Puasa dan Pentutupan Tempat Hiburan

page 2 / 3

Page 3: Paradoks Ekonomi Ramadan - Anita's Personal Bloganitanet.staff.ipb.ac.id/wp-content/plugins/as-pdf...biliar, tempat permainan ketangkasan seperti dingdong, TV game, permainan ketangkasan

Just an Ordinary Teacher | Paradoks Ekonomi RamadanCopyright Ali Mutasowifin [email protected]://alimu.staff.ipb.ac.id/2012/01/09/paradoks-ekonomi-ramadan/

Sementara itu, bila ada segolongan masyarakat yang kurang bergembiramenyambut datangnya bulan suci Ramadan, barangkali adalah mereka yangmembuka usaha dan bekerja di bidang hiburan. Banyak pemerintah daerahmengeluarkan peraturan yang memerintahkan penutupan sementaratempat-tempat hiburan seperti karaoke, sanggar dangdut, pertunjukan musikhidup, pertunjukan musik hidup di hotel, restoran/kafe, tempat penyelenggaraanbiliar, tempat permainan ketangkasan seperti dingdong, TV game, permainanketangkasan berbau judi, serta panti-panti pijat. Lokalisasi juga diperintahkan tutupselama puasa Ramadan.

Larangan tempat-tempat hiburan untuk beroperasi selama bulan Ramadansebenarnya layak diperdebatkan keabsahan logikanya. Pertama, bila berpuasasepanjang bulan Ramadan dianggap sebagai sebuah latihan agar kita menjadipribadi yang lebih mampu mengendalikan diri terhadap beragam godaan yangderas membanjiri kehidupan kita, maka penutupan segala jenis tempat hiburanyang dianggap mengganggu kekhusukan menjalankan Ibadah puasa itu dapatdiibaratkan seperti orang berlatih tinju dengan sparring partner yang kedua belahtangannya diikat ke belakang. Hasil latihan semacam itu tentu tak akan banyakmembantu meningkatkan kualitas diri menghadapi pertandingan yangsesungguhnya ketika “masa latihan” usai.

Kedua, bila tempat-tempat hiburan, panti-panti pijat dan lokalisasi dinilai tidak layakberoperasi selama bulan Ramadan karena dianggap tidak sesuai dengan semangatbulan Ramadan, alasan apakah yang kemudian membuatnya menjadi sesuai dankarenanya layak beroperasi kembali setelah Ramadan usai? Apakah tempat-tempathiburan, panti-panti pijat dan lokalisasi itu berhukum haram saat Ramadan, namunberubah menjadi tak lagi haram seusai Ramadan? Bukankah standar dan kualitasdiri serta ibadah yang telah kita capai selama berpuasa Ramadan semestinya teruskita bawa, bahkan bila mungkin kita tingkatkan, meskipun Ramadan telah berakhir?

This article was orgininally published here.

page 3 / 3