oo bab iii -...
TRANSCRIPT
53
BAB III
PEMIKIRAN AL-MAWARDI
TENTANG PENGANGKATAN KEPALA NEGARA
A. Biografi Al-Mawardi
1. Riwayat Hidup Al-Mawardi
Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin
Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri.1 Mawardi dilahirkan di
Bashrah pada tahun 364 H. atau 975 M. Panggilan al-Mawardi diberikan
kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi,
berdebat, berargumen dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap
masalah yang dihadapinya.2 Sedangkan julukan al-Bashri dinisbatkan
pada tempat kelahirannya. Masa kecil Mawardi dihabiskan di Baghdad
hingga tumbuh dewasa. Mawardi merupakan seorang pemikir Islam
yang terkenal pada masanya. Ia juga dikenal sebagai tokoh terkemuka
madzhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada dinasti
Abbasiyah.
Selain sebagai pemikir dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal
sebagai penulis yang sangat produktif. Banyak karya-karyanya dari
berbagai bidang ilmu seperti ilmu bahasa, sastra, tafsir, dan politik.
Bahkan ia dikenal sebagai tokoh Islam pertama yang menggagas tentang
1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarata: UI
Press, 1990, hlm. 58. 2 Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Cet. ke-1, 1994,
hlm. 55.
54
teori politik bernegara dalam bingkai Islam dan orang pertama yang
menulis tentang politik dan administrasi negara3 lewat buku
karangannya dalam bidang politik yang sangat prestisius yang berjudul
“Al-Ahkam al-Sulthaniyah”.
a. Riwayat pendidikan al-Mawardi
Riwayat pendidikan al-Mawardi dihabiskan di Baghdad saat
Baghdad menjadi pusat peradaban, pendidikan dan ilmu
pengetahuan. Ia mulai belajar sejak masa kanak-kanak tentang ilmu
agama khususnya ilmu-ilmu hadits bersama teman-teman
semasanya, seperti Hasan bin Ali al-Jayili, Muhammad bin Ma'ali al-
Azdi dan Muhammad bin Udai al-Munqari.4 Ia mempelajari dan
mendalami berbagai ilmu keislaman dari ulama-ulama besar di
Baghdad. Mawardi merupakan salah seorang yang tidak pernah puas
terhadap ilmu. Ia selalu berpindah-pindah dari satu guru keguru lain
untuk menimba ilmu pengatahuan. Kebanyakan guru Mawardi
adalah tokoh dan imam besar di Baghdad. Di antara guru-gurunya
adalah:
1) Ash-Shaimari
Nama lengkapnya adalah Abu Qasim Abdul Wahid bin
Hasan al-Shaimari. Ia merupakan seorang hakim dan ahli fiqh
bermadzhab Imam Syafi'i. Ash-Shaimari juga sebagai guru yang
3 Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State. Terj. Imron Rosyidi “Kekuasaan,
Pengkhianatan dan Otoritas Agama: Telaah Kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000, hlm. 37.
4 Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, op. cit., hlm. 57.
55
aktif dalam menulis. Banyak karya-karyanya dalam bentuk buku
yang di gunakan sebagai silabus dalam belajar oleh murid-
muridnya, antara lain; al-Idlah min al-Madzhab, al-Qiyas wa al-
Ulul, al-Kifayah dan al-Irsyad. Dari ash-Shaimarilah Mawardi
mendalami ilmu fiqh, kemudian seperti laiknya seorang murid
seperti halnya teman-teman seangkatannya, ia mengembangkan
ilmu yang telah didapatkan.
2) Al-Minqari
Al-Minqari memiliki nama lengkap Muhammad bin Udai
al-Minqari. Nama Minqari disandarkan pada bani Minqar bin
Ubaid bin Muqais bin Umar bin Ka'ab bin Sa'id bin Zaid Munah
bin Tamim bin Maru bin Add bin Thabikhah bin Ilyas bin
Mudlar bin Nazar bin Su'ad bin Adnan.
3) Al-Jayili
Nama lengkapnya adalah Hasan bin Ali bin Muhammad
al-Jayili Ia salah satu pakar hadits yang sezaman dengan Abi
Hanif
4) Muhammad bin al-Ma'alli al-Azdi, salah seorang pakar Bahasa
Arab.
5) Abu Hamid al-Isfiraini.
Ia seorang guru besar dan tokoh terkenal yang memiliki
nama lengkap abu Hamid Ahmad bin Abi Thahir Muhammad bin
56
Ahmad al-Isfiraini. Ia adalah tokoh madzhab Imam Syafi'i yang
lahir pada tahun 344 H.
6) Al-Baqi
Al-Baqi memiliki Nama lengkap Abu Muhammad
Abdullah bin Muhammad al-Bukhari al-Ma'ruf al-Baqi.
Panggilan al-Baqi diberikan dari nama daerah di Baghdad. Ia
salah satu murid dari Abi Ali bin Abi Hurairah. Al-Baqi dikenal
sebagai ulama besar dan guru bahasa Arab dan sastra. Ia
meninggal dunia pada tahun 398.5 Dari al-Baqi Mawardi
mendapatkan banyak ilmu khususnya tentang tasawuf. Dan
masih banyak guru-guru Mawardi yang tidak bisa penulis
sebutkan semuanya.
Dari beberapa gurunya, Abu Hamid al-Isfiraini merupakan
guru yang paling berpengaruh terhadap karakteristik Mawardi. Dari
Abu Hamid-lah Mawardi mendalami madzhab Syafi’i dalam kuliah
rutin yang diadakannya di sebuah Masjid yang terkenal dengan
Masjid Abdullah ibnu al-Mubarak di Baghdad hingga ia terkenal
sebagai ulama besar madzhab Imam Syafi’i.6
Dengan kedalaman ilmu dan ketinggian akhlaknya, membuat
Mawardi terkenal sebagai seorang panutan yang berwibawa dan
disegani baik oleh masyarakat umum maupun oleh pemerintah.
5 Ibid., hlm. 57-60. 6 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Djambatan, 1992,
hlm. 635
57
Setelah selesai belajar dari guru-gurunya, ia kemudian mengajar di
Baghdad. Banyak ulama terkemuka hasil bimbinganya, di antaranya:
1) Abdul Malik bin Ibrahim Ahmad Abu al-Fadlil al-Hamdani al-
Faradli al-Ma'ruf al-Maqdisi
2) Muhammad bin Ahmad bin Abdul Baqi bin Hasan bin
Muhammad
3) Ali bin Sa'id bin Abdurrahman
4) Mahdi bin Ali al-Isfiraini
5) Ibnu Khairun
6) Abdurrahman bin Abdul Karim
7) Abdul Wahid bin Abdul Karim
8) Abdul Ghani bin Nazil bin Yahya
9) Ahmad bin Ali bin Badrun
10) Abu Bakar al-Khatib7 dan masih banyak lagi murid-murid di
bawah bimbingan Mawardi yang tidak mungkin penulis sebutkan
semua.
Disamping mengajar, Mawardi menekuni kegiatan ilmiah.
Banyak karya tulisnya dalam bentuk kitab atau buku dari berbagai
7 Nama lengkap Abu Bakar al-Khatib adalah Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin
Mahdi al-Hafidh Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 392 H. di antara murid-murid Mawardi, Abu Bakar Khatib merupakan murid yang paling cerdas dan memiliki daya hafal yang kuat, sehingga ia digolongkan sebagai Muhadisin (orang yang pandai dan hafal hadits). Di samping berguru dengan Mawardi ia juga belajar pada beberapa guru, antara lain; Abu Ishaq al-Syairazi dan Abi Nashar bin Shibaghi. Abu Ishaq mengatakan, "Sungguhnya abu bakar adalah seorang murid dan tokoh besar di dar al-qutni yang memiliki pengetahuan dan daya hafal yang kuat tentang hadits" (Imam al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, hlm. 61).
58
cabang ilmu, seperti ushul fiqh, fiqh, hadits, tafsir dan politik, dan ini
hanya sebagian dari karya-karyanya.8
Menurut sejarah, Mawardi tidak menghendaki buku-buku
karangannya diedarkan pada masa hidupnya, karena takut akan
berubah niat menjadi riya dan akan mengurangi nilai-nilai pahala
dari apa yang telah ia usahakan, serta mengakibatkan amalnya itu
tidak diterima oleh Allah. Buku-buku karyanya baru diketahui
setelah ia mendekati ajal. Kepada seorang murid yang ia percayai,
Mawardi berpesan agar buku-buku karyanya yang diletakkan di
suatu tempat supaya diambil dan disebarluaskan. Muridnyapun
hanya menemukan beberapa buku saja dari sekian banyak buku yang
disebutkan oleh al-Mawardi.9
b. Karir politik al-Mawardi
Situasi politik dunia Islam pada masa al-Mawardi yakni sejak
akhir abad X sampai dengan pertengahan abad XI M. mengalami
kekacauan dan kemunduran bahkan lebih parah dibandingkan masa
sebelumnya.10 Yaitu pada masa kekhalifahan al-Mu’tamid, al-
Muqtadir dan puncaknya pada kekuasaan khalifah al-Muti’ pada
akhhir abad IX M. Di masa ini tidak ada stabilitas dan akuntabilitas
dalam pemerintahan.
Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban
serta pemegang kendali yang menjangkau seluruh penjuru dunia
8 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, loc. cit. 9 Ibid. 10 Munawir Sjadzali, loc. cit.
59
Islam lambat laun meredup dan pindah ke kota-kota lain. Kekuasaan
khalifah mulai melemah dan harus membagi kekuasaannya dengan
para panglimanya yang berkebangasaan Turki atau Persia, karena
tidak mungkin lagi kedaulatan Islam yang begitu luas wilayahnya
harus tunduk dan patuh kepada satu orang kepala negara.11 Pada
masa itu kedudukan khalifah di Baghdad hanya sebagai kepala
negara yang bersifat formal. Sedangkan kekuasaan dan pelaksana
pemerintah sebenarnya adalah para penglima dan pejabat tinggi
negara yang berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa wilayah
di beberapa wilayah. Bahkan dari sebagian golongan menuntut agar
jabatan kepala negara bisa diisi oleh orang-orang yang bukan dari
bangsa Arab dan bukan dari keturunan suku Qurasy. Namun tuntutan
tersebut mendapat reaksi dari golongan Arab yang ingin
mempertahankan hegemoninya bahwa keturunan suku Quraisy
sebagai salah satu syarat untuk bisa menjabat sebagai kepala negara
dan keturunan Arab sebagai syarat menjadi penasehat dan pembantu
utama kepala negara dalam menyusun kebijakan. Mawardi
merupakan salah satu tokoh yang mempertahankan sayrat-syarat
tersebut.12
Untuk mensiasati masa-masa sulit yang penuh dengan
kekacauan ini, pada tahun 429 H. khalifah al-Qadir mengumpulkan
empat orang ahli hukum yang mewakili empat madzhab fiqih untuk
11 Ibid., hlm. 59. 12 Ibid.
60
menyusun ikhtisar. Di antaranya, Mawardi yang dipilih untuk
mewakili madzhab Syafi’i dan menulis kitab al-Iqna’. Al-Quduri
dipilih untuk mewakili Madzhab Hanafi dan menulis kitab al-
Mukhtasyar, sedangkan dua kitab lainnya tidak begitu penting, dan
Mawardi mendapat pengakuan dari khalifah atas karyanya yang
terbaik. Untuk menghargai jasanya itu, Mawardi diangkat sebagai
Aqdi al-Quddah (Hakim Agung) setelah menjadi hakim di beberapa
daerah.13 Pengangkatan tersebut mendapat kritikan dan
memunculkan keberatan oleh beberapa ahli hukum terkemuka seperti
at-Thayib al-Thabari dan al-Sinsari yang menyatakan, bahwa tak
seorangpun berhak atas posisi itu kecuali Allah. Namun Mawardi
tidak menghiraukan keberatan itu dan tetap mempertahankan
pengangkatannya sebagai Aqdi al-Quddah dengan alasan bahwa para
ahli hukum yang sama sebelumnya telah mengakui gelar al-Muluk
al-A'zam (Raja Agung) bagi Jalal ad-Daulah, seorang pemimpin
kaum Buwaiyah, meskipun Mawardi sendiri tidak mengakui secara
positif kemegahan gelar tersebut.14
Al-Mawardi memulai karirnya sebagai hakim. Karena
kecerdasan, kejujuran dan ketinggian akhlaknya ia diangkat menjadi
hakim di Baghdad oleh khalifah Qadir. Bukan hanya itu, ia juga
sangat disenangi dan dihormati oleh berbagai golongan karena
kecakapan diplomasinya. Ia sering membantu dalam menyelesaikan
13 Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 36. 14 Ibid.
61
perselisihan sehari-hari dengan pihak istana.15 Setelah berpindah-
pindah dari satu kota ke kota lain untuk melaksakan tugasnya
sebagai hakim, akhirnya ia kembali dan menetap di Baghdad dan
mendapatkan kedudukan terhormat dari pemerintah dan keluarga
istana sampai akhir hayatnya dengan jabatan terakhir sebagai Hakim
Agung (Aqd al-Qudad). Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
al-Mawardi al-Bashri meninggal di Bagdad pada tahun 450 H. atau
1059 M.
2. Karya-karya Al-Mawardi
Al-Mawardi merupakan penulis yang sangat produktif.
Kesibukannya sebagai hakim tidak menyurutkan produktifitasnya untuk
berkarya. Bahkan disela-sela tugasnya sebagai hakim yang harus
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia masih bisa mengajar
dan membimbing para muridnya di samping menulis buku. Menurut
sejarah, masih banyak buku karangannya yang belum ditemukan yang ia
simpan dan hanya beberapa buku saja yang ditemukan oleh muridnya
dari buku-buku yang ia sebutkan.16
Adapun karya-karyanya yang ditemukan dari berbagai cabang
ilmu dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa antara lain:
a. Al-Hawi al-Kabir17
15 Ibid., hlm. 37. 16 Tim penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, loc. cit. 17 Al-Hawi al-Kabir merupakan kitab yang terkenal sebagai kitab fiqh paling lengkap
dalam madzhab Imam Syafi'i. Kitab ini berisi tentang fiqh yang mencakup seluruh sendi
62
b. An-Nukat wa al-Uyuni18
c. Adab al-Qadi
d. An-Nawawi
e. Al-Amtsal wa al-Din
f. A’lam an-Nubuwah
g. Qunun al-Wizarat
h. Siyasat al-Malik
i. Adab ad-Dunya wa al-Din19
j. Al-Iqna
k. Dan al-Ahkam al-Sulthaniyah20
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Al-Mawardi
Secara psikologis maupun kodrati, setiap indvidu akan terbentuk
oleh situasi dan kondisi lingkungan di mana ia hidup. Begitu juga karakter
dan alam pemikiran al-Mawardi sangat dipengaruhi oleh situasi politik pada
kehidupan baik yang bersifat ubudiyah maupun amaliyah dalam perspektif madzhab Imam Syafi'i. Sejauh yang penulis temukan kitab ini terdiri dari muqadimah dan 18 juz.
18 Dalam kitab ini Mawardi melakukan elaborasi, sebuah studi komparatif tafsir dari beberapa ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an
19 Ini adalah kitab monumental yang ditulis oleh Imam al-Mawardi yang bernuansa tasawuf. Kitab ini berisi tentang manajemen, moralitas dan etika dalam kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan agama yang terdiri dari etika dalam bergaul dan hidup bermasyarakat, etika dalam mencari dan memanfaatkan ilmu, etika dalam agama, tentang akhlaqul karimah, kejujuran, kearifan, kesabaran, sopan santun, musyawarah dan lain-lain.
20 Al-Ahkam al-Sulthaniyah merupakan kitab prestisius karya al-Mawardi dalam bidang politik. Kitab ini berisi tentang berbagai persoalan politik dan tata negara dalam bingkai Islam, di antaranya tentang pengangkatan kepala negara, pengangkatan menteri, pengangkatan gubernur, pengangkatan pimpinan jihad, kepolisian, kehakiman, imam shalat, pemungutan zakat, harta rampasan perang, jizyah dan kharaj, hukum dalam otonomi daerah, tanah dan eksplorasi air, tanah yang dilindungi dan fasilitas umum, hukum iqtha’, administrasi negara, dan tentang ketentuan kriminalitas. Kitab ini yang membuat Mawardi terkenal sebagai political scientist baik dalam dunia politik maupun akademik. Buku ini mendapat perhatian besar di dunia barat dan non muslim bahkan sampai ke penjuru dunia hingga saat ini.
63
masa itu. Konsep dasar hukum dan politik yang di gagas oleh Mawardi
merupakan hasil dari sebuah pengalaman perjalanan hidupnya. Terjadinya
pemberontakan, kudeta, kekacauan dan gangguan stabilitas negara,
mengilhami Mawardi untuk menyumbangkan ide-ide politiknya dalam
bingkai Islam. Banyak gagasan-gagasan yang ia tuangkan dalam bentuk
buku terutama dalam ranah hukum dan politik sebagai upaya untuk
mengatasi dan mengantisipasi kekacauan yang berkepanjangan tersebut.
Dengan adanya hukum dan aturan-aturan yang tegas dalam pemerintahan,
dirahapkan dapat menciptakan situasi yang kondusif dan setiap rakyat akan
patuh pada hukum dan aturan-aturan tersebut. Seperti contoh, ketika terjadi
pemberontakan dan tuntutan agar selain dari keturunan Quraisy orang bisa
menduduki jabatan sebgai kepala negara, maka Mawardi memasukkan
aturan hukum bahwa selah satu syarat untuk dapat menjadi kepala negara
harus dari keturunan suku Quraisy. Disamping itu selama dinasti Abbasiyah
berkuasa, kepala negara dijabat oleh orang-orang Quraisy termasuk khalifah
al-Qadir pada masa Mawardi. Dari sini tampak bahwa pemikiran Mawardi
cenderung mendukung status quo serta mempertahankan legalitas hegemoni
Quraisy, hal ini di sebabkan karena posisinya sebagai aparat negara.
Selain faktor suhu politik dan kondisi sosial, karakter pemikiran
Mawardi juga terinspirasi oleh tokoh-tokoh klasik abad sebelum masehi,
seperti Plato dan Aristoteles serta periode Islam klasik seperti ibnu Abi
Rabi. Hal ini terungkap dalam teori proses terbentuknya negara.
Sebagaimana plato, Aristoteles juga mengatakan, “the people is zoon
64
politicon” artinya manusai sebagai makhluk politik yang mempunyai
kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya. Sedangkan Abi Rabi
berpendapat, bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup tanpa
bantuan orang lain, sehingga mereka saling memerlukan, membantu,
berkumpul dan menetap di suatu tempat.21 Begitu juga Mawardi yang
berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan sosial, menciptakan ketenteraman
dan keseimbangan dalam kehidupan, maka manusia atau masyarakat harus
mendirikan negara dan mengangkat seorang kepala negara. Namun Mawardi
memasukkan nilai-nilai syari’at dalam teorinya tersebut.22 Di antara
beberapa pengaruh tersebut, yang paling besar adalah situasi dan kondisi
pada masa itu.
C. Proses Pengangkatan Kepala Negara
Dari uraian bab II yang penulis paparkan, dapat disimpulkan bahwa
mayoritas ulama abad pertengahan dan pakar politik Islam sepakat bahwa
mengangkat kepala negara merupakan kewajiban bagi umat Islam dalam
komunitasnya. Secara implisit Allah banyak menyinggung dalam beberapa
ayat al-Qur’an tentang pentingnya mengangkat seorang pemimpin.
Meskipun demikian Islam tidak memberikan aturan baku bagaimana proses
pemilihan dan pengangkatan seorang kepala negara, dan Nabipun tidak
memberikan rambu-rambu yang jelas tentang kepemimpinan bagi generasi
21 Munawir Sjadzali, op. cit., hlm. 61. 22 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm. 15.
65
sesudahnya. Akan tetapi beliau menyerahkan kepada umatnya secara
musyawarah untuk memilih orang yang mereka kehendaki.23
Fakta sejarah politik Islam membuktikan, proses pengangkatan
kepala negara setelah wafatnya Nabi Muhammad, yang dimulai dari Abu
Bakar sebagai khalifah pertama mengalami perubahan dari masa ke masa.
Hal ini dapat dilihat dari proses pemilihan dan pembaiatan Abu Bakar
sebagai pengganti Nabi Muhammad melalui musyawarah, meskipun terjadi
perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan kelompok Ansor.24
Kemudian terpilihnya Umar Ibn Khaththab sebagai amirul mukminin setelah
Abu Bakar melalui mandat yang diberikan oleh Abu Bakar kepada Umar Ibn
Khaththab. Sedangkan pemilihan Usman Ibn Affan sebagai pengganti Umar
Ibn Khaththab melalui musyawarah ahlul halli wal aqdi (dewan pemilih)
yang ditunjuk oleh Umar.25 Sementara Ali Ibn Abi Thallib diangkat menjadi
khalifah atas desakan para pengikutnya setelah melalui pertikaian dan
perebutan kekuasaan dengan Muawiyyah. Adapun kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, tipu daya dan pemberontakan.26 Kemudian
ketika Muawiyyah akan turun tahta, ia mengumumkan penggantinya kepada
putaranya (Yazid).27 Sejak itu pula sistem pengangkatan kepala negara
dilakukan secara turun temurun (memberikan mandat kepada putra
mahkota).
23 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islami: al-Siyasy wa al-Diny wa al-Tsaqafi wa al-
Ijtima’i,Juz I, Beitur: Dar al-Fikr, 1964, hlm. 428. 24 Pengantar Abd. Salam Arief dalam Manouchehr Paydar, loc. cit. 25 Ibid., hlm. ix. 26 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2000,
hlm. 42. 27 Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 15.
66
Dari sini Mawardi mencoba memberikan solusi untuk mengurangi
otoritas kepala negara dan upaya menciptakan nuansa politik yang lebih
demokratis dengan menciptakan blue print tentang prosedur pengangkatan
kepala negara. Menurut Mawardi, untuk memilih dan mengangkat kepala
negara dapat dilakukan denga dua cara, yaitu; pertama, denga cara dipilih
oleh ahlul-halli wal-aqdi, kedua, dengan pemberian (penyerahan) mandat
dari kepala negara terdahulu (sebelumnya).
1. Persidangan Ahlul Halli wal Aqdi Untuk Memilih dan Mengangkat
Kepala Negara
a. Pengertian ahlul halli wal aqdi
Secara fungsianoal, dewan perwakilan umat yang pada
gilirannya disebut ahlul halli wal aqdi, telah dipraktekkan oleh Nabi
Muhammad ketika memimpin pemerintahan di Madinah. Nabi
Muhammad telah meletakkan landasan filosofis sistem pemerintahan
yang memiliki corak demokratis. Hal ini tampak ketika Muhammad
dalam memimpin negara Madinah, menghadapi persoalan yang
bersifat duniawi dan menyangkut kepentingan umat yang
mengharuskan melibatkan para sahabat untuk memecahkan
persoalan tersebut. Meskipun secara kelembagaan dewan tersebut
tidak terornagisir dan tidak terstruktur, namun keberadaan mereka
sangat penting dalam pemerintahan Islam yang selalu diajak
bermusyawarah oleh Nabi ketika beliau menghadapi masalah yang
tidak ada petunjukanya dalam al-Qur'an. Sedangkan keanggotaan
67
mereka tidak melalui pemilihan secara seremonial, tetapi melalui
seleksi alam. Mereka adalah para sahabat yang dipercaya oleh umat
sebagai wakil mereka yang selalu diajak untuk bermusyawarah oleh
Muhammad.
Karena Islam merupakan gerakan ideologis, maka fenomena
yang melekat pada gerakan tersebut adalah bahwa orang-orang yang
pertama ikut dalam gerakan tersebut dan orang-orang yang berjasa
atas gerakan yang dilancarkan oleh Muhammad untuk ekspan dan
menyebarkan ajaran Islam, dianggap sebagai sahabat sejati dan
sekaligus sebagai penasehat Muhammad. Oleh karena itu, pemilihan
ini tidak melalui pemilihan secara formal atau melalui pemungutan
suara, tetapi secara alami melalui ujian praktek dan pengorbanan
mereka terhadap gerakan Islam. Dengan demikian, dewan
perwakilan umat tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok
orang-orang yang pertama masuk Islam yang setia mendampingi
Muhammad, dan kelompok orang-orang yang memiliki jasa besar
dengan wawasan dan kemampuan mereka.28 Inilah fenomena yang
diyakini oleh para politikus Islam sebagai embrio lahirnya dewan
perwakilan rakyat atau ahlul halli wal aqdi dalam pemerintahan
Islam.
Istilah ahlul halli wal aqdi barasal dari tiga suku kata, yaitu
ahlun, hallun dan aqdun. Dalam kamus bahasa arab kata اهل
28 Abul A’la al-Maududi, The Islamic Law and Constitutional. Terj. Asep Hikmat
“Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam”, Bandung: Mizan, Cet. ke-1, 1990, hlm. 260.
68
mempunyai arti ahli atau keluarga,29 sedangkan kata حل berarti
membuka atau menguraikan,30 sedangkan دقا memiliki arti mengikat
atau اقد berarti kesepakatan.31 Dari ketiga suku kata tersebut dapat
dirangkai menjadi sebuah kata (istilah) yang mempunyai arti "orang-
orang yang mempunyai wewenang melonggarkan dan mengikat."32
Dalam terminologi politik ahlul halli wal aqdi adalah dewan
perwakilan (lembaga legislatif) sebagai representasi dari seluruh
masyarakat (rakyat) yang akan memilih kepala negara serta
menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat.
Dalam hal ini, Mawardi mendefinisikan ahlul halli wal aqdi
sebagai kelompok orang yang dipilih oleh kepala negara untuk
memilih kepala negara yang akan menggantikan kepala negara yang
lama.33 Namun Mawardi tidak menjelaskan tentang unsur-unsur dari
ahlul halli wal aqdi.
Abdul Karim Zaidan berpendapat, ahlul halli wal aqdi adalah
orang orang yang berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah
memberikan kepercayaan kepada mereka. Mereka menyetujui
pendapat wakil-wakilnya karena ikhlas, konsekuen, takwa, adil dan
29 Mahmud Yunus, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
dan Penatfsir al-Qur'an, Cet. ke-1, 1973, hlm. 53. 30 Ibid., hlm. 106. 31 Ibid., hlm. 275. 32 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet. ke-5, 2002, hlm. 66. 33 Lihat Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah
69
kejernihan pikiran serta kegigihan mereka di dalam memperjuangkan
kepentingan rakyatnya.34
Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, ahlul halli wal aqdi
ialah para ulama, pemimpin, pemuka rakyat yang mudah
dikumpulkan untuk memimpin umat dan mewakili kepentingan-
kepentingannya.35 Beberapa ulama yang lain memberikan istilah
ahlul halli wal aqdi dengan sebutan ahlul ikhtiyar, yaitu orang-orang
yang memiliki kompetensi untuk memilih.36
Muhammad Abduh berpendapat, bahwa ahlul halli wal aqdi
sama dengan ulil amri,37 seperti yang disebutkan dalam al-Qur'an:
يآايها الذ ين امنوآ اطيعوااهللا واطيعواالرسول واولى األ مر
كمن59: النسآء(م(
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulul amri di antara kamu."38 (QS. an-Nisa: 59)
Lebih lanjut Abduh menjelaskan dengan lebih rinci beserta
unsur-unsurnya dengan mengatakan, "Ahlul halli wal aqdi terdiri dari
para amir, para hakim, para ulama, para pemimpin militer, dan
34 J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 67. 35 Dhiauddin Rais, An-Nazhariyatu As-Siyasatu Al-Islamiyah. Terj. Abdul Hayyie al-
Kattani “Teori Politik Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2001, hlm. 178. 36 Ibid., hlm. 176. 37 J. Suyuthi Pulungan, op. cit., hlm. 68. 38 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989,
hlm. 128.
70
semua pimpinan yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah
kebutuhan dan kemaslahatan publik."39
Pendapat yang sama di sampaikan oleh Rasyid Ridha, ia
mengatakan bahwa ulil amri adalah ahlul halli wal awdi yang terdiri
dari para ulama, para pimpinan militer, para pemimpin pekerja untuk
kemaslahatan publik seperti pedagang, tukang, petani, para tokoh
wartawan.40
Al-Razi juga menyamakan pengertian ahlul halli wal aqdi
dengan ulil amri. Demikian juga al-Maraghi yang berpendapat sama
dengan Abduh dan Ridha.41
b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota ahlul halli wal aqdi
Tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota ahlul
halli wal aqdi, Mawardi berpendapat, untuk dapat menjadi anggota
ahlul halli wal aqdi seseorang harus memenuhi tiga kriteria sebagai
syarat, yaitu:
1) Mempunyai kredibilitas dan keseimbangan yang memenuhi
semua kriteria. Yaitu kepercayaan masyarakat atas dirinya bahwa
ia benar-benar mempunyai kemampuan secara umum dan
memiliki karakter yang baik yang meliputi sifat dan sikap dalam
kehidupan sehari-hari.
39 J. Suyuthi Pulungan, loc. cit. 40 Ibid., hlm. 69. 41Ibid.
71
2) Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu
mengetahui siapa yang berhak dan pantas untuk memangku
jabatan kepala negara dengan syarat-syaratnya.
3) Mempunyai pendapat yang kuat dah hikmah yang membuatnya
dapat memilih siapa yang paling pantas untuk diberi amanat
memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu
dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan
kemaslahatan umat.42
c. Jumlah anggota ahlul halli wal aqdi
Mawardi tidak menjelaskan secara pasti berapa jumlah
anggota ahlul halli wal aqdi yang akan memilih dan mengangkat
kepala negara, ia hanya menjelaskan tentang beberapa pendapat
kelompok ulama tentang jumlah minimal anggota ahlul halli wal
aqdi yang bisa memilih dan mengangkat seseorang untuk menjabat
sebagai kepala negara.
Dalam hal berapa jumlah minimal anggota ahlul halli wal
aqdi yang bisa memilih dan mengesahkan pengangkatan kepala
negara, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dari berbagai
kelompok.
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pengangkatan
kepala negara hanya sah jika diikuti oleh mayoritas anggota ahlul
halli wal aqdi dari seluruh negeri sehingga kepemimpinannya itu
42 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit., hlm.
17.
72
mendapat penerimaan secara tulus dan pengakuan secara umum.
Dasar hukum yang dijadikan alasan oleh kelompok ini adalah adanya
fakta baiat Abu Bakar untuk memangku kekhalifahan yang hanya
berdasarkan pemilihan orang-orang yang ada bersamanya dan
pelaksanaan baiatnya tidak menuggu datangnya orang-orang yang
tidak berada di tempat saat itu. Namun berapa prosentase yang
dimaksud dengan “mayoritas”, para penganut kelompok ini tidak
menjelaskan secara rinci.43
Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa jumlah minimal
yang dapat mengesahkan pengangkatan kepala negara adalah lima
orang yang sepakat untuk mengangkat seseorang sebagai pemangku
jabatan itu, atau satu orang mencalonkan seseorang kemudian
disetujui oleh empat orang lainnya. Ada dua hal yang menjadi
landasan hukum oleh kelompok ini, yaitu:
1) Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh
lima orang yang sepakat untuk membaiatnya, kemudian dikuti
oleh beberapa orang lainnya, di antaranya Umar ibn Khaththab,
Abu Ubaidah ibn Jarrah, Asid Ibn Hudhair, Basyar ibn Saad, Dan
Salim Maulana Abi Huzaifah.
2) Terbentuknya dewan syura yang dibuat oleh Umar yang terdiri
dari enam orang untuk memilih satu orang dari mereka sebagai
43 Ibid., hlm. 19.
73
pemimpin negara dengan persetujuan lima orang yang lainnya.
Pengikut ini mayoritas fuqaha dan mutakallimin dari Bashrah.44
Ketiga, kelompok dari ulama Kuffah. Meraka berpendapat
bahwa pengangkatan kepala negara dapat dilakukan oleh tiga orang,
yaitu satu orang memangku jabatan kepala negara dengan
persetujuan dua orang, sehingga satu orang menjadi pejabat dan dua
orang menjadi saksi. Mereka mendasarkan hal ini dengan analogi
pada akad pernikahan yang sah dengan satu wali dan dua orang
saksi.45
Keempat, kelompok ini berpendapat bahwa pengangkatan
kepala negara dapat dilakukan oleh satu orang. Mereka mendasarkan
hal ini dengan pembaiatan Ali oleh Abbas, Abbas berkata kepada
Ali, “Bentangkanlah tanganmu untuk aku baiat.” Maka orang-orang
berkata, ”Paman Rasulullah telah membaiat anak pamannya, maka
tidak ada orang yang menentangnya karena hal itu adalah hukum dan
hukum satu orang dapat sah.”46
d. Proses memilihan dan pengangkatan kepala negara
Dalam suksesi kepemimpinan melalui persidangan ahlul halli
wal aqdi, hal yang paling utama yang harus dilakukan adalah
mempelajari siapa saja orang yang memenuhi kriteria dan syarat
untuk memangku jabatan kepala negara. Setelah memilih beberapa
orang calon, dewan pemilih menyeleksi dan memilih orang yang
44 Ibid., hlm. 20. 45 Ibid. 46 Ibid.
74
paling utama dan paling lengkap syaratnya, serta orang yang
mempunyai konduite bagus di mata masyarakat harus diutamakan,
sehingga masyarakat akan membaiatnya dan mematuhinya. Jika
ahlul halli wal aqdi telah menetapkan seseorang untuk memangku
jabatan sebagai kepala negara, maka hal tersebut harus ditawarkan
kepada pihak terpilih. Jika ia setuju maka dewan pemilih segera
membaiat yang diikuti oleh masyarakat dan baiat itu menjadi sah
baginya. Sedangkan jika ia menolak dan tidak mau memangku
jabatan tersebut, maka ia tidak dapat dipaksa untuk memangkunya
karena akad kepemimpinan itu adalah akad saling ridha dan hasil
pilihan bebas dan tidak dapat dilakukan dengan paksaan dan tekanan.
Setelah ia menolaknya maka jabatan itu ditawarkan kepada orang
lain yang juga berkopenten untuk memangkunya.47
Jika ada dua orang calon pemimpin negara yang mempunyai
kapasitas kompetensi yang sama maka didahulukan memilih calon
yang lebih tua usianya. Meskipun demikian, jika yang dibaiat adalah
calon yang lebih muda, hal tersebut tetap sah.
Jika salah satu dari calon itu lebih berpengalaman dan yang
kedua lebih berani, maka dalam memilih salah satu dari dua calon itu
harus diperhatikan kebutuhan negara pada saat itu. Jika negara saat
itu membutuhkan keksatriaan dan keberanian seorang pemimpin
karena berkembangnya ancaman dari luar negara dan timbulnya
47 Ibid.
75
pemberontakan di dalam negara, maka calon yang lebih berani lebih
berhak untuk memangku jabatan kepala negara. Sementara itu jika
negara sedang membutuhkan tokoh berpengetahuan dan pandai
karena diperlukan untuk menenangkan dan mengalahkan orang-
orang yang menyimpang dan para pembuat bid’ah, maka orang yang
lebih berpengetahuan dan lebih pandai menjadi calon yang lebih
berhak.48 Adapun tindakan meminta jabatan kepala negara oleh
seseorang boleh dilakukan dan tidak membaut gugur atas dirinya
untuk menjadi calon kepala negara walaupun.
Namun para fuqaha berbeda pendapat tentang dua orang yang
memperebutkan jabatan pemimpin negara, sementara keduanya
mempunyai kompetensi yang seimbang. Sekelompok fuqaha
berpendapat bahwa nama keduanya diundi dan yang namanya keluar
diangkat menjadi kepala negara. Sementara kelompok yang lain
berpendapat bahwa para pemilih bebas menentukan pilihan mereka,
siapa yang mereka kehendaki tanpa harus melalui undian.
Jika ahlul halli wal aqdi telah memilih seseorang yang
terbaik, kemudian mereka membaiatnya untuk memangku jabatan
sebagai kepala negara namun ternyata kemudian ada orang yang
lebih baik dan lebih berkompeten dari yang mereka pilih, maka baiat
48 Ibid., hlm. 21.
76
mereka tetap berlaku bagi yang pertama dan tidak boleh berpindah
kepada orang yang kedua.49
Jika ahlul halli wal aqdi dalam persidangan sengaja memilih
seseorang yang memiliki profil yang lebih sedikit kompetensinya
untuk dibaiat menjadi kepala Negara, sementara ada orang yang
memiliki profil yang lebih berkompeten, maka dalam kasus ini ada
dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu;
Pertama, jika hal itu dilakukan karena adanya alasan yang
kuat yang mengharuskan mereka membuat keputusan seperti itu,
seperti orang yang lebih kompeten itu tidak sedang musafir atau
sedang sakit atau juga orang yang lebih sedikit kompetensinya itu
ternyata lebih ditaati oleh masyarakat, maka baiat bagi orang tersebut
itu sah dan kepemimpinannya juga sah.
Kedua, jika pemilihan dan pembaiatan tidak karena alasan
yang kuat, maka ulama berselisih pendapat, di antaranya adalah
Jahizh, bahwa baiatnya tidak sah karena jika pemilihan pemimpin
ditujukan untuk memilih yang terbaik maka pemilihan itu tidak boleh
dialihkan kepada bukan tokoh terbaik. Hal ini seperti ijtihad dalam
menentukan hukum syara’. Namun mayoritas fuqaha dan
mutakallimin berpendapat bahwa jabatan orang itu legal dan baiat
terhadapnya sah, dan keberadaan orang yang lebih berkompeten itu
tidak menjadi penghalang bagi orang yang sedikit kompetensinya itu
49 Ibid., hlm. 21.
77
untuk memangku jabatan sebagai kepala negara jika memang orang
itu telah mencukupi syarat-syarat untuk memangku jabatan
tersebut.50
2. Pemberian (Penyerahan) Mandat oleh Kepala Negara Terdahulu
Sudah menjadi budaya orang Arab sejak zaman dahulu, seorang
ayah memberikan pangkat dan kedudukan serta semua kemuliaan yang
ditinggalkan kepada anak-anaknya, khsusunya kepada putra sulung
sebagai pemegang janji (waliyyu al-ahdi) dan kekuasaan. Tradisi ini
masih berlangsung hingga sekarang, bahkan tidak hanya terbatas di
kalangan orang Arab saja, akan tetapi sudah merambah di beberapa
wilayah di sekitar Arab. Hal ini yang menurut sosiolog disebut 'suksesi'
(at-ta'aqub), yaitu perpindahan hak-hak yang berupa pangkat, derajat
dan kedudukan.51
Di kalangan suku Quraisy, pemberian mandat jabatan kepada
anak atau kerabat terdekat sudah berlaku bahkan sebelum Islam datang.
Bermula dari Qushayi52 bin Kilab sebagai pendiri suku Quraisy. Sebagai
pendiri dan penguasa pertama dalam pemerintahan Quraisy, di
penghujung usianya Qushayi memberikan mandat kepada putranya,
Abdi Dar, hak penjagaan, pertolongan, parairan, musyawarah dan panji-
50 Ibid., hlm. 22. 51 Khalil Abdul Karim, Quraisy min al-Qabilah ila ad-Din al-Markaziyyah. Terj. M.
Faisol Fatawi "Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya dan Kekuasaan", Yogyakarta: LKiS, Cet. ke-1, 2002, hlm. 14
52 Suku (pemerintahan) Quraisy berdiri pada pertengahan abad IV M, sedangkan Qushayi sebagai pendirinya meninggal pada tahun 480 M. Untuk lebih jelasnya baca 'Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy'
78
panji peperangan. Qushayi melakukan ini agar Abdi Dar memeproleh
kemuliaan yang tinggi dibandingkan saudara-saudaranya yang lain yang
hidup bersama ayah mereka dengan status sosial terhormat di kalangan
suku Quraisy. Ini merupakan budaya orang-orang Arab yang masih
berlangsung sampai ke generasi berikutnya.53
Setelah pangkat, kedudukan dan kemuliaan tersebut berpindah
dari Qushayi kepada Abdi Dar dan anak cucunya, hal serupa juga
dilakukan oleh Hasyim, Abdi Syam, Naufal bin Abdi Manaf dan Abdul
Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW. Mereka sepakat mengambil
alih kemuliaandari anak cucu Abdi Dar, hak penjagaan, pertolongan,
perairan, musyawarah dan panji peperangan. Mereka mengaku sebagai
orang yang berhak menyandang kehormatan dan kemuliaan yang
diwarisinya.54 Tradisi ini yang berlaku sejak lama inilah yang menjadi
cermin dan sumber inspirasi sistem pemerintahan dan kekuasaan Islam
baik pada masa kekhalifahan Khulafa'ur Rasyidin, rezim Umayyah dan
dinasti Abbasiyah terutama pada wilayah suksesi kepemimpinan, di
samping Islam tidak memiliki konsep baku dan rinci tentang suksesi
tersebut, meskipun ada celah pada periode yang begitu singkat dalam
sejarah panjang pemerintahan Islam yang memiliki nuansa demokratis di
53 Orang-orang Arab khususnya suku Quraisy sangat menjaga dan menjunjung tinggi
prestise, reputasi, kehormatan dan kemuliaan. Semua itu mereka peroleh dari jabatan dan kedudukan yang mereka kendalikan. Dengan mewariskan jabatan dan kedudukan mereka kepada anak cucunya, maka kehormatan dan kemuliaan akan tetap lestari dan terjaga di sepanjang sejarah hingga generasi berikutnya. Bahkan di zaman modern ini tradisi dan fenomena tersebut masih berlangsung dan dapat ditemukan di beberapa wilayah, seperti pewarisan jabatan dan status sosial, pewarisan sekte-sekte agama dan tokoh-tokoh sufi dan kelompok-kelompok pinggiran. (Baca 'Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy)
54 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, op. cit., hlm. 15
79
awal-awal kekuasaan Islam.55 Namun setelah dua masa tersebut berlalu,
sistem pemerintahan yang demokratis kembali menjadi pemerintahan
monarki dengan sistem pewarisan jabatan. Dan hal ini tidak ditentang
oleh kaum muslimin bahkan sistem tersebut dipertahankan oleh genarasi
berukitnya. Terjadinya peperangan antara Ali dan Aisyah serta Ali dan
Mu'awiyah tidak untuk mempertahankan prinsip dan sistem
pemerintahan yang pernah berlaku pada masa Khulafaur Rasydin, tetapi
lebih pada perebutan kekuasaan politik.56
Menurut Al-Mawardi, pengangkatan kepala negara dengan
menyerahkan mandat kepada seseorang oleh kepala negara sebelumnya
boleh dilakukan dan telah disepakati legalitasnya. Dalam hal ini
Mawardi mendasarkan pandangannya pada dua moment yang telah
dilakukan oleh muslimin:
Pertama, Abu Bakar telah menyerahkan mandat jabatan kepala
negara kepada Umar, kemudian kaum muslimin mengakui legalitas
jabatan tersebut dan membaiatnya.
55 Dalam ranah suksesi, setidaknya ada dua celah yang lebih bersifat demokratis dalam
perjalanan panjang pemerintahan Islam, yaitu pertama, pada masa transisi antara kepemimpinan Muhammad dan pemerintahan Abu Bakar, di mana Abu Bakar terpilih menjadi kepala negara menggantikan Muhammad melalui majelis musyawarah yang terdiri dan beberapa tokoh Islam yang mewakili dua golongan yaitu Anshar dan Muhajirin. Kedua, transisi antara kekuasaan Umar bin Khaththab dan pemerintahan Usman bin Affan, di mana usman dipilih menjadi kepala negara melalui dewan perwakilan (ahlul halli wal aqdi) yang mewakili seluruh masyarakat.
56 Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, op. cit., hlm. 17
80
Kedua, Umar menyerahkan mandat kepada dewan syura untuk
memilih kepala negara sebagai penggantinya, dan masyarakat menerima
masuknya enam orang dalam dewan tersebut yang dipilih oleh Umar.57
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam memberikan mandat
jabatan sebagai kepala negara, yaitu:
1) Pemberian mandat kepada orang lain (bukan anaknya atau orang
tuanya)
Pemberian mandat jabatan kepada seseorang yang bukan
anak dan orang tuanya, boleh dilakukan dengan cara mengucapkan
baiat sendirian tanpa bermusaywaran terlebih dahulu dengan dewan
pemilih.
Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat dari kalangan
ulama, apakah persetujuan dewan pemilih menjadi syarat bagi
legalitasnya atau tidak. Sebagian ulama dari Bashrah berpendapat
bahwa persetujuan dewan pemilih merupakan syarat bagi legalitas
bait di hadapan umat. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
baiat tersebut sah walaupun tanpa persetujuan dewan pemilih, karena
baiat Abu Bakar terhadap Umar tidak bergantung pada persetujuan
sahabat yang lain.
2) Pemberian mandat kepada anak atau orang tuanya
Jika pemberian mandat dilakukan kepada anak atau orang
tuanya, maka terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang boleh
57 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit., hlm.
25.
81
tidaknya ia melakukan baiat sendirian tanpa persetujuan dewan
pemilih. Ada tiga kelompok ulama yang berpendapat dalam masalah
ini:
a) Kelompok pertama, berpendapat bahwa kepala negara tidak
boleh melakukan baiat atas anak atau orang tuanya sebelum ia
melakukan musyawarah dengan dewan pemilih dan mereka
setuju atas keputusannya itu.
b) Kelompok kedua, mengatakan bahwa kepala negara boleh
melakukan bait kepada anak atau orang tuanya tanpa
bermusyawarah terlebih dahulu dengan dewan pemilih karena ia
adalah pemimpin umat yang perintahnya wajib ditaati.
c) Kelompok ketiga, berpendapat bahwa kepala negara boleh
membaiat orang tuanya tanpa persetujuan dewan pemilih, namun
tidak boleh melakukan baiat sendirian terhadap anaknya karena
tabiat manusia mempunyai kecenderungan untuk memihak
kapada anaknya lebih besar dari pada kecenderungan memihak
orang tuanya.58
Setelah kepala negara memilih seseorang yang memiliki
kapabilitas berdasarkan persyaratan yang sah, maka kepala negara
harus menawarkan atas kesediannya untuk manerima mandat jabatan
sebagai kepala negara. Karena legalitas mandat tersebut bergantung
pada persetujuan atas pihak yang dipilih untuk menduduki jabatan
58 Ibid., hlm. 27.
82
tersebut. Jika pihak yang diberi mandat bersedia untuk menduduki
jabatan sebagai kepala negara, maka jabatan tersebut sah dan rakyat
wajib mematuhinya. Tetapi jika pihak yang diberi mandat tidak
bersedia untuk memangku jabatan sebagai kepala negara, maka
kepala negara tidak boleh memaksa dan ia harus memilih orang lain
sebagai penggantinya. Mandat yang telah diberikan oleh kepala
negara kepada seseroang yang telah bersedia menerima jabatan
tersebut, tidak boleh dicabut kembali selama kondisinya tidak
berubah dan ia masih dalam koridor syari’at Islam dan tidak
melakukan tindakan yang menyebabkan ia diberhentikan dari
jabatanya tersebut.59
Kepala negara tidak boleh memberikan mandat jabatannya
kepada orang yang tidak ada di tempat dan tidak diketahui apakah ia
masih hidup atau sudah mati. Jika kepala negara meninggal,
sedangkan orang yang diberi mandat jabatan oleh kepala negara
tidak ada di tempat saat kepala negara meninggal dunia, maka ahlul
halli wal aqdi tetap mengutamakan ia sebagai penggantinya. Jika ia
berada di tempat yang jauh di belahan dunia dan rakyat khawatir
akan mendapatkan bahaya atas keterlambatanya, maka ahlul halli
wal aqdi mengangkat pejabat sementara untuk melaksanakan tugas-
tugas kepala negara sampai penerima mandat tersebut kembali. Jika
kepala negara mengundurkan diri dari jabatannya, jabatan tersebut
59 Ibid., hlm. 28.
83
secara otomatis berpinda kepada orang yang diberi mandat jabatan
dan pengunduran dirinya dianggap sebagai kematiannya.60
Dalam hal pemberian mandat jabatan kepala negara kepada
dua orang atau lebih, Mawardi perpendapat, pemberian mandat
jabatan kepala negara kepada dua orang atau lebih dengan
meletakkan urutan di antara mereka, boleh dilakukan dan status
mandatnya sah. Seperti contoh, kepala negara berkata: “Kepala
negara setelahku adalah si A. Jika si A meninggal maka kepala
negara setelahnya adalah si B. Dan jika si B meniggal maka jabatan
kepala negara di jabat oleh si C.” Mawardi mendasarkan argumennya
pada peristiwa ketika Nabi Muhammad memberikan mandat
pimpinan perang dalam perang Mu’tah kepada Zaid bin Haritsah dan
beliau bersabda: “Jika Zaid terluka, pimpina perang dipegang oleh
Ja’far bin Abi Thallib. Jika Ja’far terluka, pimpinan perang dipegang
oleh Abdulah bin Ruwayah. Dan jika Abdullah terluka, pimpinan
perang bisa dipilih oleh kaum muslimin.61 Dalam perang tersebut
Zaid dan komando perang diambil alih oleh Ja’far. Setelah Ja’far ikut
terbunuh, kendali perang dipegang oleh Abdullah. Dan ketika
Abdullahpun gugur dalam perang, kaum muslimin memilih Khalid
bin Walid sebagai penggantinya.62
Sedangkan mengangkat dua orang atau lebih sebagai kepala
negara, baik melalui persidangan ahlul halli wal aqdi maupun
60 Ibid. 61 Ibid., hlm. 32. 62 Ibid.
84
melalui mandat dalam waktu dan tempat yang sama tidak boleh
dilakukan dan jabatan keduanya tidak sah.63 Seperti contoh, kepala
berakta: “Setelahku jabatan kepala negara dipegang oleh si A dan si
B,” Atau “Telah kuberikan mandat jabatanku kepada si A dan si B.”
D. Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi oleh Calon Kepala Negara
Tentang syarat-syarat menjadi kepala negara tidak disinggung secara
jelas baik dalam al-Qur’an dan sunnah. Hanya dalam hadits diterangkan
bahwa seorang pemimpin harus dari suku Quraisy dan ini satu-satunya
syarat yang dijelaskan oleh Nabi untuk menjadi seorang pemimpin. Nabi
bersabda:
)رواه امحد(األ ئمة من قريش
Artinya: “Para pemimpin adalah dari suku Quraisy”64
Dalam kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, ada kecenderungan
mengutamakan orang-orang terdekat dengan Muhammad, memiliki tingkat
keimanan dan keshalehan yang tinggi serta dari kaum Quraisy. Hal ini dapat
dilihat pada fakta terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah pasca wafatnya
Nabi Muhammad. Ia lebih pantas dan berhak untuk menggantikan Nabi
(sebagai khalifah) dengan alasan bahwa dialah orang yang paling dekat
dengan Nabi dan ia sering mewakili Nabi baik dalam urusan shalat (imam
63 Ibid., hlm. 23. 64 Ibid., hlm. 18.
85
shalat) maupun dalam urusan umat dan dia dari suku Quraisy, demikian juga
Khalifah Umar, Utsman dan Ali.
Sejak berakhirnya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dan
dimulainya kekuasaan dinasti Umayyah hingga Abbasiyah, kategori-
kategori yang disyaratkan untuk dapat menjadi kepala negara tersebut
lenyap seiring berlakunya sistem yang diterapkan oleh para penguasa pada
masa itu. Dinasti Umayyah dan Abbasiyah menggunakan sistem turun
temurun (memberikan mandat kekuasaan kepada putra mahkota) yang
secara otomatis mereka mensyaratkan bahwa syarat untuk menjadi kepala
negara adalah keturunan dari suku Quraisy, karena dalam kenyataannya
penguasa-penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyah adalah keturunan dari
suku Quraisy.
Dalam masalah ini Mawardi memasukkan beberapa term sebagai
syarat yang harus dimiliki kepala negara. Menurut Mawardi, untuk dapat di
calonkan sebagai kepala negara, maka seseorang harus memenuhi tujuh
kriteria sebagai syarat yang harus dimiliki, yaitu;
1. Keseimbangan (al-‘adalah) yang memenuhi semua kriteria.
Yaitu seorang calon kepala negara harus memiliki kredibilitas
secara menyeluruh dalam dirinya yang meliputi adil, jujur, bertabiat dan
watak baik, berakhlak baik, mendahulukan kepentingan umat dan taat
terhadap syariat agama.
86
2. Mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya dapat melakukan
ijtihad untuk menghadapi kejadian-kejadian yang timbul dan untuk
membuat kebijakan hukum.
Hal ini harus dimiliki oleh calon kepala negara karena tidak bisa
dipungkiri bahwa dalam sebuah pemerintahan akan selalu terjadi gejolak
sosial politik yang mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat dan
negara.
3. Lengkap dan sehat fungsi panca indranya.
Seorang calon kepala negara harus memiliki kelengkapan fungsi
panca indra. Jika salah satu panca indranya mengalami gangguan atau
tidak berfungsi, maka hal tersebut akan menghalanginya untuk bisa
menjabat kepala negara, karena gangguan tersebut akan menghambat ia
untuk menjalankan tugasnya sebagai kepala negara saat ia terpilih dan
diangkat menjdi kepala negara. Antara lain:
a. Bisa mendengar (tidak tuli)
b. Bisa melihat (tidak buta)
c. Bisa berbicara (tidak bisu)
d. Bisa merasakan dan membedakan rasa makanan
e. Bisa mencium bau
4. Tidak ada kekurangan pada anggota tubuhnya yang menghalangi
untuk bergerak dan bertindak. Di antaranya:
a. Lengkap kedua matanya
b. Lengkap kedua tangan dan kakinya
87
c. Lengkap akalnya (tidak gila atau sakit jiwa)
d. Tidak dalam tawanan musuh
Jika seseorang berada dalam tawanan musuh, maka ia akan terhalang
untuk bisa menjadi kepala negara, karena ia tidak mungkin dapat
menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan ia dianalogikan
sebagai orang yang kehilangan anggota tubuh yang membuat ia tidak
bisa bertindak, seperti kehilangan kedua tangan dan kedua kaki.
5. Visi pemikirannya baik sehingga ia dapat menciptakan kebijakan
bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan umat.
Karena kepala negara adalah pengganti fungsi kenabian yang
bertugas mangatur kehidupan masyarakat serta memelihara,
menjalankan dan mengembangkan agama,65 maka seorang kepala negara
harus memiliki visi pemikiran yang baik, maju dan wawasan luas.
6. Mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat, yang
membuatnya mempertahankan rakyatnya dan memerangi musuh.
Syarat ini mutlak dibutuhkan apalagi saat situasi sosial politik
sedang kacau dan stabilitas negara terganggu, maka seorang kepala
negara dituntut untuk berani bertindak dan membuat kebijakan yang
bersifat melindungi rakyat dan memerangi musuh.
7. Mempunyai nasab dari suku Quraisy
Dalam hal ini Mawardi merujuk pada hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad:
65 Ibid., hlm. 15.
88
)رواه امحد(األ ئمة من قريش
“Para pemimpin adalah dari kalangan siku Quraisy.” 66
Alasan ini diperkuat dengan pidatonya Abu Bakar pada hari Saqifah di
hadapan kaum Anshar dengan menyebutkan sabda Nabi tersebut. Selain
dua alasan tersebut, Mawardi mendasarkan argumennya pada sabda Nabi
yang berbunyi:
)اىنرواه طرب (قدموا قريشا وال تقدموها
“Angkatlah individu dari suku Quraisy dan jangan kalian lengkahi (mendahului) mereka.”67
Ketujuh syarat tersebut harus dipenuhi saat seseorang dipilih atau
diberi mandat untuk menjabat sebagai kepala negara.
E. Masa Jabatan Kepala Negara
Islam tidak memberikan batasan berapa lama jabatan kepala negara
bahkan dalam teori politik islampun tidak ditemukan tentang masa jabatan
kepala negara. Secara historis masa jabatan kepala negara tidak pernah
ditentukan. Dan realita menunjukkan bahwa sejak zaman Abu Bakar sampai
rezim Abbasiyah, masa jabatan dan berakhirnya jabatan kepala negara
mengalami perbedaan. Abu Bakar menjadi khalifah selama dua tahun dan
berakhir karena sakit dan meniggal dunia. Umar bin Khaththab menjadi
66 Ibid., hlm. 18. 67 Ibid., hlm. 19.
89
kepala negara selama sepuluh tahun (13-23 H atau 634-644 M). Jabatannya
berakhir dengan kematian karena dibunuh oleh Abu Lu’lu’ah seorang budak
dari Persia. Sementara Utsman bin Affan memerintah selama kurang lebih
12 tahun (23-35 H atau 644-655 M). Jabatannya berakhir karena ia
meninggal terbunuh oleh kaum pemberontak. Sementara Ali bin Abi Thallib
memegang jabatan kepala negara selama enam tahun (35-40 H atau 655-660
M). Kekuasaannyapun berakhir karena ia dibunuh oleh salah seorang dari
kaum Khawarij yang kecewa atas kepemimpinannya.68 Begitu juga pada
masa kekuasaan dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tidak adanya kaseragaman
dalam hal masa jabatan kepala negara dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
politik yang berbeda pula. Dari sini dapat lihat bahwa masa jabatan kepala
negara berlaku seumur hidup.
Tentang masa jabatan kepala negara, al-Mawardi tidak memberikan
ketentun pasti berapa lama (tahun) kepala negara mengemban tugasnya.
Namun seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya bahwa Mawardi
berpendapat, kepala negara yang telah dipilih atau diberi mandat tidak boleh
diberhentikan dengan membatalkan baiatnya atau mencabut mandatnya
selama kondisinya belum berubah dan ia tidak melakukan hal-hal yang
membuat dirinya diturunkan dari jabatannya.
Dengan demikian, menurut Mawardi ada dua hal yang menyebabkan
habisnya masa jabatan kepala negara, yaitu:
68 Badri Yatim, op. cit., hlm. 40.
90
1. Meninggalnya Kepala Negara
Hal ini sebagaimana yang penulis jelaskan sebelumnya, bahwa
seseorang yang telah dipilih dan dibaiat baik melalui persidangan ahlul
halli wal aqdi maupun melalui pemberian mandat oleh kepala negara
untuk menggantikannya, maka jabatan tersebut berlaku baginya setelah
kepala negara sebelumnya meninggal dunia atau menyatakan
mengundurkan diri dan pengunduran dirinya dianggap sebagai
meninggal dunia.
2. Diberhentikan (Diturunkan) dari Jabatannya
Seorang kepala negara dapat diberhentikan dari jabatannya
karena ia telah keluar dari kompetensi69 sebagai kepala negara. Menurut
Mawardi ada dua hal yang menyebabkan seseorang keluar dari
kompetensinya sebagai kepala negara, yaitu:
a. Kredibilitas dan reputasinya rusak
Rusaknya kredibilitas dan reputasi seorang kepala negara bisa
terjadi karena dua hal, antara lain:
1) Karena ia menuruti syahwatnya
Hal ini berkaitan dengan berbuatan tubuh, yaitu dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at, seperti
melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat, menuruti
hawa nafsu dan lain sebagainya. Jika kepala seorang kepala
69 Yang dimaksud dengan kompetansi di sini adalah wewenang yang disertai kemampuan
seseoang dengan segala syarat yang telah ditentukan.
91
negara melakukan hal ini, maka ia telah keluar dari kompetensi
jabatannya dan ia bisa diturunkan dari jabatan tersebut.
Jika ia telah menemukan kredibilitas dan reputasinya
serta kembali ke jalan yang benar setelah ia diturunkan dari
jabatan kepala negara, ia tidak dapat secara langsung memangku
jabatannya kembali. Untuk mendapatkan jabatannya kembali, ia
harus melalui pemilihan dari awal.70
2) Karena ia melakukan perkara-perkara syubhat
Hal ini berkaitan dengan aqidah, yaitu dengan melakukan
takwil (penafsiran) terhadap masalah yang syubhat sehingga ia
menghasilkan takwil yang menyimpang dari kebenaran.71
b. Terjadi ketidak lengkapan pada anggota tubuh
Ketidaklengkapan yang terjadi pada anggota tubuh ada tiga
macam, di antaranya:
1) Kekurangan pada panca indra
Ada tiga jenis bentuk kekurangan pada panca indra, yaitu:
a) Kekurangan pada indra yang dapat menghalangi seseorang
untuk menjalankan jabatan kepala negara.
Bentuk kekurangan pada indra yang dapat
menghalangi seseorang untuk menjalankan jabatan kepala
negara ada dua macam, yaitu:
70 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, op. cit., hlm. 39.
71 Ibid.
92
(1) Hilangnya akal
Hilangnya akal seseorang dibedakan menjadi dua,
yaitu:
(a) Hilangnya akal yang terjadi secara temporer dan
memiliki harapan untuk normal kembali, seperti
pingsan. Menurut Mawardi hal ini tidak membuat
gugurnya seseorang untuk memangku jabatan kepala
negara.72
(b) Hilangnya akal yang terjadi secara terus menerus dan
tidak ada harapan untuk sembuh, seperti gila atau
sakit jiwa. Jika seorang kepala negara menjadi gila
atau mengidap sakit jiwa dan dokter atau ahli jiwa
menyatakan bahwa gilanya tersebut tidak bisa sembuh
dan tidak ada harapan untuk normal kembali, maka
jabatan yang dipangkunya gugur dan ahlul halli wal
aqdi bisa memilih kepala negara yang baru.73
(2) Hilangnya penglihatan
Hilangnya indra penglihatan dapat menghalangi
seorang kepala negara untuk melanjutkan jabatannya. Jika
hal ini terjadi pada saat ia menjabat sebagai kepala
negara, maka jabatan tersebut bisa dicabut. Dalam hal ini
Mawardi memberikan alasan, orang yang buta tidak boleh
72 Ibid., hlm. 40. 73 Ibid.
93
memegang jabatan kehakiman dan tidak dapat
memberikan kesaksian, apalagi jabatan kepala negara
yang secara hirarki lebih tinggi kedudukannya.74 Jika
kepala mengalami rabun yang tidak dapat melihat di
malam hari, hal ini tidak menghalanginya untuk
meneruskan jabatannya. Adapun lemahnya penglihatan,
jika ia masih bisa mengenali orang yang ia lihat, hal ini
tidak menjadi penghalang baginya untuk meneruskan
memangku jabatannya sebagai kepala negara. Namun jika
ia hanya mengetahui bahwa ada seseorang tanpa
mengenali orang tersebut ketika ia melihatnya, maka
jabatannya sebagai kepala negara bisa di cabut.75
b) Kekurangan pada indra yang tidak menghalangi seseorang
untuk menjalankan jabatan kepala negara.
Kurangnya panca indra yang tidak menyebabkan
seseorang terhalang untuk meneruskan jabatan kepala negara
yaitu rusaknya indra penciuman sehingga dapat menangkap
bau dan hilangnya indra pengecap sehingga ia tidak bisa
membedakan rasa makanan. Hal ini tidak menjadikan
rusaknya kompetensi sebagai kepala negara karena tidak
74 Ibid., hlm. 41. 75 Ibid.
94
mengganggu dan mempengaruhi dalam menjalankan tugas
dan membuat kebijakan.76
c) Kekurangan pada indra yang diperdebatkan pengaruhnya
terhadap seseorang untuk memangku jabatan kepala negara.
Bentuk kekurangan ini ada dua macam, yaitu tuli dan
gagu (bisu). Kedua kekurangan ini dapat menghalangi
seseorang untuk menjadi kepala negara. Namun
diperdebatkan apakah seseorang yang mengalami kekurangan
ini pada saat memangku jabatan kepala negara bisa
menghalangi untuk meneruskan jabatannya. Ada beberapa
kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang masalah ini:
Pertama, kelompok ulama yang berpendapat, dengan
mengalami kekurangan dua hal tersebut, maka seorang kepala
negara telah keluar dari kompetensi jabatannya, dengan
alasan kekurangan tersebut sama dengan hilangnya indra
penglihatan yang membuat ia diberhentikan dari jabatan
kepala negara.
Kedua, kelompok ulama yang berpendapat, bahwa
kedua kekuarangan tersebut tidak membuat ia keluar dari
kompetensi jabatan kepala negara, karena ia masih bisa
berkomunikasi dengan bahasa isyarat, kecuali ia mengalami
76 Ibid.
95
kekurangan yang menghalangi bekerja dan membuat
kebijakan.
Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat, jika ia
dapat menulis dengan baik dan bisa dipahami, ia tidak
dianggap keluar dari kompetensi kepala negara dan dapat
meneruskan jabatannya.77
2) Kekurangan pada anggota tubuh
Kurang lengkapnya anggota tubuh dibagi menjadi empat
macam, antala lain:
a) Kekurangan anggota tubuh yang menghalangi seseorang
untuk meneruskan memangku jabatan kepala negara, yaitu
hilangnya anggota tubuh yang dapat menghalanginya untuk
bekerja, seperti hilangnya kedua tangan atau kedua kaki.
Kepala negara yang mengalami keadaan ini tidak boleh
meneruskan jabatannya karena ia tidak mungkin bisa
menjalankan tugasnya dengan baik.78
b) Kekurangan anggota tubuh yang tidak menghalangi
seseorang untuk meneruskan jabatan sebagai kepala negara,
yaitu kekurangan yang tidak mengurangi kemampuan kepala
negara untuk bekerja dan membuat kebijakan serta tidak
membuat penampilannya menjijikkan, seperti terpotongnya
kemaluan dan dua buah zakarnya, karena hal ini tidak
77 Ibid., hlm. 42. 78 Ibid., hlm. 43.
96
mempengaruhi kemampuannya untuk menjalankan tugasnya
sebagai kepala negara.79
c) Kekurangan anggota tubuh yang dapat mengganggu
kemampuan untuk menjalankan pekerjaannya sebagai kepala
negara, seperti hilangnya salah satu tangan atau kaki. Dalam
hal ini terdapat dua kelompok ulama yang berbeda pendapat
tentang apakah ia dapat meneruskan jabatannya atau harus
diturunkan dari jabatan kepala negara.
Pertama, kelompok ulama yang mengatakan bahwa ia
harus turun dari jabatan kepala negara, karena kekurangan
yang ia alami adalah kekurangan yang menghalanginya untuk
dipilih dan diangkat menjadi kepala negara.
Kedua, kelompok ulama yang berpendapat, bahwa ia
boleh meneruskan menjalankan tugasnya sebagai kepala
negara, walaupun kekurangan yang ia alami adalah
kekurangan yang menggugurkan ia untuk dipilih dan
diangkat menjadi kepala negara.80
d) Kekurangan anggota tubuh yang membuat seseorang terlihat
buruk dan tidak berwibawa, namun tidak mengganggu dan
mengurangi kemampuannya untuk menjalankan tugasnya
sebagai kepala negara, seperti hilangnya batang hidung atau
hilangnya salah satu matanya. Hal ini tidak membuat ia
79 Ibid., hlm. 42. 80 Ibid., hlm. 44.
97
keluar dari kompetensi jabatan dan tidak rusak legalitasnya
sebagai kepala negara.81
3) Kekurangan dalam melakukan tindakan
Yang dimaksud kekurangan dalam melakukan tindakan
adalah ketridakmampuan kepala negara untuk memegang kendali
pemerintahan dan mengambil kebijakan.
Kekurangan dalam melakukan tindakan dapat disebabkan oleh
dua hal, yaitu:
a) Karena terkuasai, yaitu karena jabatan fungsional sebagai
kepala negara di kuasai oleh para pembantunya sehingga
kendali pemerintahan dipegang oleh para pembantunya. Jika
para pembantu yang memegang kendali pemerintahan tidak
melanggar aturan dan tidak keluar dari syari’at agama atau
berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku, maka ia diangap
sebagai pelaksana kebijakan kepala negara dan kepala negara
tidak boleh diturunkan dari jabatannya. Jika meraka
melakukan perbuatan melanggara hukum seperti melakukan
kemungkaran dan keluar dari koridor sayri’at agama, mereka
tidak boleh diakui dan harus dimintai pertolongan kepada
pihak yang bisa menangkap dan menghapus hegemoni
kekuasaannya.82
81 Ibid. 82 Ibid., hlm. 45.
98
b) Karena tertawan, yaitu karena secara fisik kepala negara
ditawan oleh musuh dan ia tidak dapat membebaskan dirinya
dari penawanan tersebut, sehingga ia tidak bisa menjalankan
tugasnya sebagai kepala negara. Dalam hal ini rakyat
mempunyai kewajiban untuk menolong dan
menyelamatkannya selama masih ada harapan untuk bisa
membebaskannya, baik dengan cara perang maupun dengan
cara menebus. Jika tidak ada harapan untuk diselamatkan dan
dibebaskan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu:
(1) Jika kepala negara berada dalam tawanan kaum
musyrikin, maka status kepemimpinannya gugur dan
dewan pemilih harus mengadakan pemilihan kepala
negara sebagai penggantinya. Jika kepala negara yang
tertawan memberikan mandat jabatannya kepada
seseorang, maka mandat tersebut tidak sah, karena
pemberian mandat tersebut dilakukan setelah ia keluar
dari jabatan kepala negara. Namun jika pemberian mandat
dalam kondisi masih ada harapan untuk bisa diselamatkan
dan dibebaskan, maka mandat tersebut sah karena
jabatannya masih mempunyai kekuatan hukum.
(2) Jika ia tertawan oleh kaum muslimin yang memberontak,
ia tetap diakui validitasnya sebagai kepala negara
meskipun kaum benberontak itu mengangkat salah
99
seorang dari mereka untuk menjadi kepala negara dan
pengangkatan tersebut tidak sah. Kepala negara yang
tertawan oleh pemberontak bisa menunjuk seseorang
untuk menggantikan posisinya untuk sementara waktu
sampai ia bebas dari tawanannya. Jika kepala negara tidak
bisa menunjuk seseorang untuk menggantikan posisinya
sementara waktu, ahlul halli wal aqdi bisa menunjuk
seseorang untuk menggantikan jabatan tersebut. Jika
kepala negara mengundurkan diri atau meninggal dalam
tawanan, pejabat yang ditunjuk tidak bisa secara langsung
menjadi kepala negara dan jabatannya sebagai kepala
negara sementara ikut gugur bersamaan dengan
meninggalnya kepala negara tersebut.83
83 Ibid., hlm. 46.