bab iii komar -...

25
33 BAB III PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG HUKUM SHALAT SESUDAH MANDI TANPA WUDHU A. Biografi Ahmad Hassan Ahmad Hassan (lahir di Singapura, 1887 – Bangil, 10 November 1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Di samping itu ia juga dikenal sebagai seorang kritikus dan ahli debat/polemik (terutama di bidang keagamaan). Nama lengkapnya Hassan bin Ahmad. Tetapi ia lebih popular dengan nama Hassan Bandung, ketika tinggal di Bandung, atau Hassan Bangil, setelah pindah ke Bangil, Jawa Timur. Hassan Bandung adalah seorang tokoh Islam terkemuka dan tokoh Persatuan Islam (Persis). 1 Dalam bidang pendidikan formal, sesungguhnya, Ahmad Hassan tidak sempat menamatkan sekolahnya untuk tingkat dasar sekalipun. Pada usia yang terlalu dini, Hassan telah mulai aktif bekerja. Sungguhpun demikian, untuk tetap menjaga kelangsungan belajarnya, ia mengambil pelajaran privat, terutama dalam pelajaran agama dan bahasa Arab. Langkah ini diambilnya, agar kelak ia dapat memperluas pengetahuan agamanya dengan cara self- study. 2 Sejak usianya yang ke-23, 1910 sampai dengan 1921, berbagai jenis pekerjaan telah dicobanya, mulai dari seorang guru, pedagang tekstil, juru tulis di kantor urusan haji, sampai anggota redaksi majalah Utusan Melayu. Dari 1 Abdual Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm..532. 2 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994, hlm. 82.

Upload: doandien

Post on 30-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

33

BAB III

PENDAPAT AHMAD HASSAN TENTANG HUKUM SHALAT

SESUDAH MANDI TANPA WUDHU

A. Biografi Ahmad Hassan

Ahmad Hassan (lahir di Singapura, 1887 – Bangil, 10 November

1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Di

samping itu ia juga dikenal sebagai seorang kritikus dan ahli debat/polemik

(terutama di bidang keagamaan). Nama lengkapnya Hassan bin Ahmad. Tetapi

ia lebih popular dengan nama Hassan Bandung, ketika tinggal di Bandung,

atau Hassan Bangil, setelah pindah ke Bangil, Jawa Timur. Hassan Bandung

adalah seorang tokoh Islam terkemuka dan tokoh Persatuan Islam (Persis).1

Dalam bidang pendidikan formal, sesungguhnya, Ahmad Hassan tidak

sempat menamatkan sekolahnya untuk tingkat dasar sekalipun. Pada usia yang

terlalu dini, Hassan telah mulai aktif bekerja. Sungguhpun demikian, untuk

tetap menjaga kelangsungan belajarnya, ia mengambil pelajaran privat,

terutama dalam pelajaran agama dan bahasa Arab. Langkah ini diambilnya,

agar kelak ia dapat memperluas pengetahuan agamanya dengan cara self-

study.2

Sejak usianya yang ke-23, 1910 sampai dengan 1921, berbagai jenis

pekerjaan telah dicobanya, mulai dari seorang guru, pedagang tekstil, juru tulis

di kantor urusan haji, sampai anggota redaksi majalah Utusan Melayu. Dari

1Abdual Aziz Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1997, hlm..532. 2Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, Cet. 3, Jakarta: PT. Ichtiar

Baru van Hoeve, 1994, hlm. 82.

Page 2: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

34

berbagai jenis pekerjaan yang sempat dilakukannya itu, agaknya,

berwiraswasta dalam bidang pertekstilan lebih menarik bagi dirinya.

Hal ini terbukti, ketika pada 1921 Hassan pindah ke Surabaya dengan

maksud mengambil alih pimpinan sebuah toko tekstil milik pamannya, Haji

Abdul Latif. Masa itu di Surabaya sedang berkembang pertentangan paham

antara kelompok yang lebih bersemangat modernis dengan kelompok yang

cenderung tradisionalis, khususnya dalam persoalan-persoalan fikih. Haji

Abdul Latif sendiri, pamannya, termasuk kelompok tradisionalis.

Oleh karenanya, dapat dipahami mengapa pamannya tidak menyukai

pikiran-pikiran yang berorientasi Wahabiyah. Bahkan, pamannya cenderung

menghalangi Hassan untuk banyak berhubungan dengan mereka, baik yang

bersemangat pikiran modernis maupun yang cenderung kepada pikiran-pikiran

Wahabiyah. Hassan tidak begitu saja dapat menerima pandangan pamannya.

Sesungguhnya pertentangan paham antara kalangan yang kuat memegang

tradisi dengan kelompok yang bersemangat modernis telah mulai dikenalnya

sejak ia masih di Singapura.

Selain ayahnya sendiri pun bersimpati terhadap pikiran-pikiran

Wahabiyah, ia juga telah berkenalan dengan majalah-majalah yang diterbitkan

kalangan modernis, misalnya al-Imam yang terbit di Singapura dan al-Munir

yang diterbitkan di Padang. Bahkan, ia sendiri pernah membaca majalah al-

Manar yang diterbitkan Rasyid Rida di Mesir, meskipun ketika itu ia belum

begitu memahaminya. Tidak berapa lama setelah tinggal di Surabaya, Hassan

pun mengunjungi Bandung. Sebagaimana ia tiba di Surabaya untuk urusan

Page 3: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

35

pertekstilan, kali ini pun datang ke Bandung untuk urusan yang sama, bahkan

untuk mengembangkannya lebih jauh.

la bermaksud mempelajari teknik pertenunan di lembaga tekstil

pemerintah untuk dipraktekkannya di perusahaan " tekstil yang hendak

didirikannya di Surabaya. Selama di Bandung Hassan tinggal di tempat Haji

Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis. Tanpa disengaja, Hassan

telah berada di pusat kegiatan organisasi keagamaan. Potensi untuk

memperdalam dan mengembangkan persoalan keagamaan yang telah

membenih dalam dirinya sejak di Singapura, kini menemukan tempat

persemaian yang memungkinkan.

Akhirnya Hassan memutuskan untuk tinggal di Bandung, di samping

untuk mengembangkan usahanya di bidang pertekstilan, juga sekaligus untuk

mengembangkan pikiran-pikiran keagamaannya yang memang cenderung

bersemangat modernis. Usaha yang sudah dirintisnya sejak ia di Singapura

mengalami kebangkrutan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk

meninggalkan bidang usahanya, dan seluruh waktu yang dimilikinya

dicurahkan untuk mengembangkan pemahaman dan pemikiran keagamaan

organisasi Persis. Karena seluruh waktunya, dapat dikatakan, tercurahkan

untuk urusan Persis yang berkembang di Bandung ini, akhirnya Hassan

terkenal dengan sebutan "Ahmad Hassan Bandung".3

Bagi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan

merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di

3Ibid, hlm. 83.

Page 4: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

36

Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Di samping itu,

sejumlah artikel telah muncul di pelbagai media, dan bahkan di awal tahun

1980-an telah terbit paling tidak tiga buah buku khusus tentang A. Hassan,

Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal (1980) oleh Syafiq Mughni, Riwayat

Hidup A. Hassan (1980) oleh Tamar Djaja, dan A. Hassan: Wajah dan Wijhah

Seorang Mujtahid (1985) oleh Endang Saifuddin Anshari dan Syafiq Mughni.

Dengan penekanan yang agak berbeda, ketiga buku tersebut saling

melengkapi dalam memberikan gambaran tentang perjalanan hidup dan karir

perjuangannya dalam menyebarkan paham-paham ishlah, perbaikan, atau

tajdid, pembaruan, di paruh pertama abad ke-20 ini. Tulisan ini berusaha

memberikan gambaran tentang hal-hal yang dalam tulisan-tulisan sebelumnya

tidak menjadi tekanan, tetapi juga tidak akan berpretensi untuk

mengetengahkan sesuatu yang sama sekali baru. Mungkin lebih tepat bahwa

tulisan ini merupakan penghargaan terhadap warisan pemikiran dan

perjuangan A. Hassan, sambil menyinggung beberapa hal yang relevan dari

kehidupan masyarakat pada zamannya.4

Awal abad ke-20 telah menyaksikan suatu arus pemikiran Islam yang

pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam perkembangan paham

Islam di Indonesia, yaitu pemikiran di sekitar usaha penyembuhan umat dari

penyakit kejumudan, dengan jalan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah.

Usaha ini biasa disebut gerakan ishlah atau tajdid, atau dalam sosiologi Barat

disebut reformasi.

4Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 127-130

Page 5: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

37

Dalam kerangka itu, A. Hassan merupakan seorang figur yang sangat

penting, bahkan mungkin paling penting. Kecuali karena pikiran-pikirannya,

ada faktor sampingan yang sangat mendukung penilaian itu; antara lain,

keberaniannya secara terbuka untuk menentang arus pemikiran yang

dipandang menjadi kendala bagi kemajuan umat, dan ketekunannya untuk

menggarap bidang-bidang yang strategis bagi sebuah gerakan pemikiran.

Untuk membuat penilaian keberhasilan sebuah gerakan ishlah tentu

saja tidak cukup dengan melihatnya dalam kurun masa hidup seorang

penggerak, tetapi harus dilihat dalam pengaruh yang timbul sesudahnya.

Sebab seorang mushlih (pelaku ishlah) atau mujaddid (pelaku tajdid) akan

selalu menentang arus masanya dan menghadapi suatu masyarakat yang

memerlukan proses dan berubah.

Pemikir-pemikir dalam tradisi Hambali, misalnya Ibnu Taymiyyah

(w.1328), yang misi utamanya ialah kritik pemikiran dan kehidupan sosial,

mendapatkan reaksi yang keras dari lawan-lawannya, tetapi beberapa abad

kemudian, khususnya dua abad terakhir ini, memberikan pengaruh yang kuat

terhadap gerakan Islam, mungkin bukan dalam bentuk detail pemikirannya,

tetapi dalam metode dan semangatnya.5 Secara umum barangkali bisa disebut

bahwa karir A. Hassan merupakan refleksi gerakan pemikiran yang akar-

akarnya bisa dilihat dalam tradisi ishlah yang dilakukan oleh penerus-penerus

Ahmad ibn Hambal (w.855) setelah melalui proses pergeseran dan tarik-

5Ibid

Page 6: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

38

menarik dengan kekuatan pemikiran lainnya maupun dengan kenyataan sosial

yang ada.

Pergeseran dan tarik-menarik antara berbagai kekuatan yang dialami

telah membentuk A. Hassan sebagai seorang mushlih. Dalam riwayat

hidupnya yang panjang itu ada beberapa momentum yang diduga sangat

penting dalam menentukan arah hidupnya. Di tengah-tengah masuknya arus

pemikiran ishlah ke Asia Tenggara di awal abad ke-20, A. Hassan ketika

masih muda telah menyaksikan polemik di Singapura tentang mencium tangan

seorang sayyid (orang yang mengaku keturunan Nabi), suatu polemik yang

menggugat hak-hak tertentu bagi suatu kelas yang menuntut perlakuan

istimewa dari masyarakat umumnya.

Tahun 1921 ia pindah ke Surabaya untuk berdagang, dan di kota itu ia

bertemu dengan Wahhab Hasbullah (w.1971), salah seorang pendiri NU yang

mempertahankan ushalli. Pertemuan itu kemudian mengubah Hassan ke suatu

kesimpulan bahwa mengucapkan ushalli tidak punya dasar yang kuat.

Bergerak dari itu, kemudian lahir pendiriannya untuk menentang setiap bid'ah.

Pertemuannya dengan Faqih Hasyim, seorang yang telah dipengaruhi oleh

pemikiran ishlah, juga memperkuat arah pemikirannya.

Setelah itu, ia pindah ke Bandung pada tahun 1923 untuk belajar

pertenunan, tetapi titik yang menentukan arah hidupnya telah terjadi ketika

berkenalan dengan Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persatuan Islam,

yang memperkenalkan organisasi tersebut.6 Kehidupannya selama di Bandung

6Ibid

Page 7: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

39

akhirnya tercurah pada kegiatan menulis dan mengajar, suatu pekerjaan yang

ditekuni sampai akhir hayatnya.

1. Perjuangan Ahmad Hassan

Untuk menyebarkan pahamnya, A. Hassan pada tahun 1926 telah

memilih Persatuan Islam (Persis) yang telah berdiri pada tahun 1923 di

Bandung. Organisasi itu didirikan oleh Muhammad Zamzam dan Muhammad

Yunus, dua usahawan yang berasal dari Palembang, Sumatera. A. Hassan

masuk Persis sebenarnya bukan karena tertarik pada paham-pahamnya, karena

bahkan A. Hassanlah yang membawa Persis untuk menjadi gerakan ishlah. A.

Hassan sadar bahwa pemikirannya harus dituangkan dalam sebuah gerakan

agar bisa berkembang secara efektif.

Tampaknya gabungan antara watak A. Hassan yang tajam dan ciri

Persis yang keras telah menghasilkan sebuah gerakan paham yang cepat

meluas. Salah satu keuntungan Persis ialah jumlah anggota yang tidak banyak,

karena itu bisa berjalan lebih lincah, dan kesibukan mengurusi anggota seperti

yang dialami oleh organisasi massa lainnya bisa dihindari, sehingga cukup

tenaga untuk menekankan aspek-aspek pendidikan, misalnya sekolah dan

pondok pesantren, publikasi dan kaderisasi. Dibanding dengan

Muhammadiyah yang pada awalnya lebih menekankan kegiatan sosial, dan al-

Irsyad yang membawa kesan eksklusif dalam keanggotaan, Persis memiliki

kelebihan yang sangat menonjol di bidang publikasi.

Page 8: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

40

Di samping buku-buku A. Hassan yang tidak kurang dari 80 judul,

terbit pula majalah-majalah, antara lain Pembela Islam (1929-1935), al-Fatwa

(1930-1933), al-Lisan (1933-1942), at-Taqwa (1937-1941), Lasykar Islam

{1937-), dan al-Hikam (1939-) yang banyak memperkenalkan pikiran, di

samping A. Hassan, penulis-penulis muda lainnya, seperti Muhammad Natsir,

seorang murid yang mewarisi semangat perjuangan dan pemikiran A. Hassan.

Ketika A. Hassan pindah ke Bangil (1940), terbit pula majalah al-Muslimim

sampai sekarang.

Nama A. Hassan dan Persis menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan,

karena begitu dominan pemikiran-pemikirannya dalam memberi warna

organisasi tersebut. Setiap pergerakan baru akan berkembang bila memiliki

ideologi yang cocok dengan momentum sejarah. Awal abad ke-20 merupakan

masa yang sangat memerlukan ideologi, sehubungan dengan derasnya arus

nasionalisme dan reformisme serta ideologi lainnya. Umat Islam Indonesia

sedang mencari masa depannya di tengah-tengah pertarungan ideology itu.

Seperti telah disinggung di muka bahwa sebelum masuknya A. Hassan,

Persis tidak lebih dari sekedar kelompok pengajian yang tidak memiliki

ideologi yang jelas. Sesudah menemukan ideologi ishlah yang pertama-tama

muncul dari A. Hassan itu, Persis menjadi daya tarik yang kuat bagi kalangan

muda terdidik terutama di kota Bandung. A. Hassan berfungsi seperti

pemimpin karismatik bagi Persatuan Islam.

Kaderisasi

A. Hassan telah menjadi figur yang menarik orang untuk masuk

Page 9: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

41

Persatuan Islam. Dalam lembaga itu, di antara mereka ada yang sempat

terlibat dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan A. Hassan. Pada titik ini

orang bisa membandingkan secara sederhana antara A. Hassan dan Agus

Salim. Dalam Jong Islamieten Bond (JIB) Agus Salim telah berfungsi sebagai

bapak intelektual yang berperan dalam mempersiapkan generasi muda Islam

yang pada saatnya menduduki jabatan elit politik mewakili umat Islam.

Hasilnya ialah kelompok modernis dengan segala kejujuran intelektual dan

integritas pribadi mereka yang seperti telah diduga oleh Fazlur Rahman

sebagai ciri umum golongan modernis di mana saja, kurang memiliki akar

ilmu agama.

Dalam hal ini, tampak jasa A. Hassan dalam mengisi dimensi ilmu

agama. Muhammad Natsir tampaknya menjadi orang yang beruntung

mendapatkan warisan kecendikiawanan Agus Salim dan juga A. Hassan.

Dalam proses kaderisasi itu, kepribadian A. Hassan menampilkan kesan

tersendiri bagi murid-muridnya. Muhammad Natsir, seorang yang tertarik

pada A. Hassan sejak duduk di sekolah menengah, dalam tulisannya

menggambarkan sebagai berikut:

Suatu keistimewaan beliau (A. Hassan) ialah setiap orang yang berkenalan dengan beliau segera tertarik kepada pribadinya. Seorang ulama memikat hati anak-anak muda sekelilingnya. Kepada semua orang, beliau semata-mata memanggil "tuan." Kami (kata Natsir), beberapa orang pemuda Islam yang berada di sekelilingnya, biasanya setiap sore datang ke rumah beliau. Beliau selalu menyambut kedatangan kami dengan hati terbuka dan serius. Ketika itulah beliau memberikan tuntunan yang berguna, pelajaran akhlak menurut yang dicontohkan Rasulullah saw.

Page 10: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

42

Natsir selanjutnya mengisahkan salah satu contoh dalam proses

kaderisasi yang dilakukan oleh Hassan, yaitu dalam hal melatih memberikan

reaksi terhadap tantangan yang dilancarkan oleh kelompok non-Islam. Pada

suatu hari surat kabar berbahasa Belanda AID di Bandung menyiarkan suatu

khutbah seorang bernama Christoffles, isinya menghina Nabi Muhammad

saw. Natsir meminta pandangan Hassan tentang perlunya menangkis

penghinaan itu, dan bahkan mengharapkannya untuk melakukannya. Hassan

menyatakan keharusan itu, tetapi mengusulkan agar Natsir sendiri yang

menulisnya. Setelah selesai, tulisan itu tidak dibawa lagi ke Hassan, karena

Natsir sudah menduga akan dikembalikan lagi dengan alasan bahwa Hassan

tidak mengerti bahasa Belanda. Setelah tulisan itu keluar, A. Hassan

tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Tulisan itu kemudian terbit

dalam bentuk risalah berjudul Muhammad is Profeet. Natsir menyatakan

kesannya sebagai berikut:

... beliau tidak mau menyuapkan ibarat makanan kepada kader-kadernya. Kalau beliau sudah menyetujui sesuatu, maka hendaklah kita pandai sendiri menyelesaikannya. Beliau mendidik kadernya berani bertanggung jawab dan sanggup berjuang menghadapi masalah-masalah, walaupun bagaimana rumitnya. ...Inilah yang dinilainya baik bagi angkatan pemuda Islam. ...Kami pemuda-pemuda yang berada di dekat beliau selalu diteliti dengan kuat, disiplin dengan ketat, dan diberi tanggung jawab masing-masing.... Saya diberi tugas tertentu, demikian juga Fakhruddin al-Kahiri, ...Abdurrahman, Qamaruddin Saleh, Isa Anshary dan lainnya. Hasil kaderisasi itu bisa dilihat dalam dua figur yang mewakili

kecenderungan pemikiran Hassan, yakni Natsir dan Abdul Qadir, putera

pertama A. Hassan. Orang yang disebut pertama itu telah mewarisi

kecenderungan pemikiran politik A. Hassan, dan bahkan dengan integritas

Page 11: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

43

pribadinya telah memberikan teladan etika politik yang sangat berharga bagi

generasi muda. Adapun yang kedua itu mewarisi minat A. Hassan dalam

menekuni dunia ilmu agama dan pendidikan, seperti terlihat dalam tulisan-

tulisannya dan kegiatannya dalam mengasuh Pesantren Persis Bangil.

Warisan

Dengan melihat warisan A. Hassan dalam konteks budaya pemikiran

Islam di Indonesia, akan tampak perannya dalam pendewasaan pemikiran

umat. Dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-madzhab, A. Hassan

memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran

agama tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang ditekankan oleh A.

Hassan diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi

kemajuan umat akibat belenggu taklid-mazhab yang telah menjadi tradisi

sejak berabad-abad yang lampau.

Ajakan A. Hassan agar selalu merujukkan pandangan terhadap Al-

Qur'an dan Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang

berkaitan dengan kedua sumber itu, misalnya Ushul Fiqh dan Musthalah al-

Hadis, dua ilmu yang pada masa A. Hassan masih bersifat elitis. Dengan kata

lain, gerakan A. Hassan telah memberikan dorongan bagi kebebasan dan

pendalaman studi Islam.

Dalam fase pencarian bentuk .bagi politik Indonesia pada dua dekade

seputar kemerdekaan, A. Hassan telah secara aktif ikut serta dalam dialog

terbuka antar berbagai arus pemikiran yang hidup di masyarakat. Hal ini bisa

terlihat dalam tulisan-tulisannya, antara lain Pemerintahan Cara Islam (1974),

Page 12: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

44

Islam dan Paham Kebangsaan (1941), dan Merebut Kekuasaan (1946).

Dalam buku-buku itu A. Hassan menggambarkan bagaimana sikap Islam

terhadap politik khususnya di Indonesia, dan dengan semangat demokratis

mengemukakan apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah. Membaca

tulisan-tulisan itu, sama sekali tidak menemukan paham fanatisme, suatu

kesan yang biasanya hanya diperoleh oleh mereka yang tidak paham cara

berpikir kesejarahan, dan tidak mengetahui nilai perbedaan pemikiran dalam

menemukan apa yang selanjutnya dipandang baik dan benar.

Seperti telah disinggung di muka bahwa Persis dalam bidang-bidang

yang sangat karakteristik mengalami masa surut. Dalam bidang publikasi dan

produktivitas pemikiran saat ini tidak lagi berbeda dengan organisasi-

organisasi lain. Bahkan ada tanda-tanda bahwa nantinya persis hanya akan

menjadi bahan kenangan. Salah satu tanda yang sangat menonjol ialah

rendahnya rekrutmen, salah satu sumber energi yang sangat diperlukan bagi

kelangsungan sebuah gerakan. Rendahnya rekrutmen itu telah mencapai titik

kualitatif yang mempengaruhi kesan orang. Namun yang lebih penting dari itu

sesungguhnya ialah muncul suatu keadaan yang diakibatkan oleh gerakan itu

sendiri. Maksudnya, ideologi ishlah yang selama ini menjadi tema terpenting

dari gerakan Persis telah diambil dengan baik oleh organisasi-organisasi

lainnya, misalnya Muhammadiyah, yang memiliki basis anggota lebih meluas

karena perhatiannya yang sangat awal terhadap etos sosial Islam. Selanjutnya,

ide-ide ishlah itu tidak lagi menjadi milik khas gerakan-gerakan yang

dahulunya dikenal berjiwa ishlah, dan bahkan ide-ide dasarnya hampir

Page 13: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

45

menjadi milik umat. Akibat lemahnya tantangan terhadap ide ishlah itu,

gerakan-gerakan tersebut menjadi tidak bergairah untuk memberikan

tanggapan.

Kenyataan itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa warisan-warisan

yang ditinggalkan oleh A. Hassan telah diterima dengan baik. Memang ada

kecenderungan yang cukup kuat untuk memahami ajaran Islam di kalangan

umat, tetapi pada saat yang sama muncul juga kecenderungan untuk

meninggalkan "ilmu-ilmu agama" yang dianggap terlalu pelik dan melelahkan.

Sebagai contoh ilmu Musthalah al-Hadis yang merupakan warisan intelektual

sejak berabad-abad dan yang dalam gerakan ishlah menjadi alat analisis A.

Hassan dan puteranya, Abdul Qadir, untuk membongkar bid'ah dan khurafat,

saat ini tampaknya kurang diminati di kalangan pendukung gerakan ishlah.

Bila keadaan ini berlanjut, akan berakibat berhentinya itu sehingga orang akan

cenderung bergantung pada hasil kritik sejarah yang telah dilakukan oleh A.

Hassan atau Abdul Qadir. Ini berarti munculnya kondisi taklid, suatu keadaan

yang sangat ditentang oleh A. Hassan.7

2. Karya-Karya Ahmad Hassan

Beberapa karya Ahmad Hassan dapat disebutkan di bawah ini:

1. Pengajaran Shalat 1930 terbit 45.000 eks.

2. Pengajaran Shalat (huruf 'Arab) 1930 terbit 5.000 eks.

3. Kitab Tallin 1931 terbit 5.000 eks.

4. Risalah Jum'at 1931 terbit 4.000 eks.

7Ibid, hlm 130-141

Page 14: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

46

5. Debat Riba 1931 terbit 2.000 eks.

6. Al-Mukhtar 1931 terbit 8.000 eks.

7. Soal Jawab 1931 terbit 7.000 eks.

8. Al-Burhan 1931 terbit 2.000 eks.

9. Al-Furqan 1931 terbit 2.000 eks.

10. Debat Talqin 1932 terbit 7.000 eks.

11. Kitab Riba 1932 terbit 2.000 eks.

12. Risalah Ahmadiyah 1932 terbit 3.000 eks.

13. Pepatah 1934 terbit 2.000 eks.

14. Debat Luar Biasa 1934 terbit 3.000 eks.

15. Debat Taqlid 1935 terbit 6.000 eks.

16. Debat taqlid 1936 terbit 10.000 eks

17. Surat-Surat.Islam dari Endeh 1937 terbit 10.000 eks

18. Al-Hidayah 1937 terbit 2.000 eks.

19. Ketuhanan Yesus Menurut Bibel 1939 terbit 4.000 eks.

20. Bacaan Sembahyang 1939 terbit 15.000 eks

21. Kesopanan Tinggi 1939 terbit 15.000 eks

22. Kesopanan Islam 1939 terbit 2.000 eks

23. Hafalan 1940 terbit 5.000 eks.

24. Qaidah Ibtidaiyah 1940 terbit 8.000 eks.

25. Hai Cucuku 1941 terbit 4.000 eks,

26. Risalah Kerudung 1941 terbit 7.000 eks.

27. Islam dan Kebangsaan 1941 terbit 6.000 eks.

Page 15: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

47

28. An-Nubuwah 1941 terbit 8.000 eks.

29. Perempuan Islam 1941 terbit 7.000 eks.

30. Debat Kebangsaan 1941 terbit 3.000 eks.

31. Tertawa 1947 terbit 3.000 eks.

32. Pemerintahan cara Islam 1947 terbit 5.000 eks.

33. Kamus Rampaian 1947 terbit 4.000 eks.

34. A.B.C.Politik 1947 terbit 6.000 eks.8

35. Merebut kekuasaan 1947 terbit 4.000 eks.

36. Al-Manasik 1948 terbit 2.000 eks.

37. Kamus Persamaan 1948 terbit 4.000 eks.

38. Al-Hikam 1948 terbit 4.000 eks.

39. First Step 1948 terbit 2.000 eks.

40. Al-Faraidh 1949 terbit 10.000 eks.

41. Belajar Membaca Huruf Arab 1949 terbit 3.000 eks.

42. Special Edition 1949 terbit 2.000 eks.

43. Al-Hidayah 1949 terbit 6.000 eks.

44. Sejarah Ism Mi'raj 1949 terbit 6.000 eks.

45. Al-Jawahir 1950 terbit 5.000 eks.

46. Matan Ajrumiyah 1950 terbit 2.000 eks.

47. Kitab Tajwid 1950 terbit 8.000 eks.

48. Surat Yasin 1951 terbit 2.000 eks.

49. Is Muhammad a Prophet 1951 terbit 5.000 eks.

8Dadan Wildan, Yang Dai Yang Politikus, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997, hlm. 47-

50

Page 16: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

48

50. Muhammad Rasul? 1951 terbit 5.000 eks.

51. Apa Dia Islam 1951 terbit 5.000 eks.

52. What is Islam? 1951 terbit 3.000 eks.

53. Tashauf 1951 terbit 30.000 eks.

54. Al-Fatihah 1951 terbit 5.000 eks.

55. At-Tahajji 1951 terbit 5.000 eks.

56. Pedoman Tahajji 1951 terbit 5.000 eks.

57. Syair 1953 terbit 2.000 eks.9.

58. Risalah Hajji 1954 terbit 2.000 eks.

59. Wajibkah Zakat? 1955 terbit 3.000 eks.

60. Wajibkah Perempuan Berjum'at? 1955 terbit 4.000 eks.

61. Topeng Dajjal 1955 terbit 3.000 eks.

62. Halalkah Bermadzhab 1956 terbit 7.000 eks.

63. Al-Madzhab 1956 terbit 7.000 eks.

64. Al-Furqan (Tafsir Qur'an) 1956 terbit 85.000 eks.

65. Bybel-Bybel 1958 terbit 5.000 eks.

66. Isa Disalib 1958 terbit 5.000 eks.

67. Isa dan Agamanya 1958 terbit 5.000 eks.

68. Bulughul Maram 1959 terbit 20.000 eks.

69. At-Tauhid 1959 terbit 15.000 eks.

70. Adakah Tuhan? 1962 terbit 12.000 eks.

71. Pengajaran Shalat 1966 terbit 3.000 eks.

9Ibid

Page 17: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

49

72. Dosa-Dosa Yesus 1966 terbit 3.000 eks.

73. Bulughul Maram 11

74. Hai Puteriku

75. Nahwu

76. Al-Iman

77. Aqaid

78. Hai Puteriku II

79. Ringkasan Islam

80. Munazarah 10

Selain menerbitkan buku-buku, ia juga rajin menulis dalam majalah-

majalah dan selebaran-selebaran yang cukup luas penyebarannya. Dalam

perkembangannya, buku-buku A. Hassan sering kali dicetak ulang dan

dijadikan referensi oleh para ulama ataupun santri yang sedang menuntut ilmu

di berbagai lembaga pendidikan Islam, tidak hanya ulama dan santri Persis,

tetapi juga para ulama dan santri di luar jamaah Persis.

B. Pendapat Ahmad Hassan tentang Hukum Shalat Sesudah Mandi Tanpa

Wudhu

Ahmad Hassan menyatakan pendapatnya dengan lebih dahulu

mencantumkan beberapa hadits di bawah ini:

Telah berkata Aisyah :

10Ibid

Page 18: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

50

مذي رواه التر( اليتوضأ بعد الغسل ى اهللا عليه وسلّم سول اهللا صلّركان )وغريه

11

Artinya: Adalah Rasulullah s.a.w. tidak berwudhu sesudah mandi. (HR. Tirmizi dan lainnya)

Telah berkata Ibnu Umar :

اي وضوء : الوضوء بعد الغسل قال عنى اهللا عليه وسلّمصلّاسئل النيب ملّ )رواه ابن ايب شيبة (اعم من الغسل؟

Artinya : Tatkala (ditanya akan Nabi s.a.w.) tentang wudhu sesudah

mandi, sabdanya: Manakah wudhu yang lebih rata dari pada mandi ? (H.R. Ibnu Abie Syaibah)

قال رجل البن عمر اني اتوضأبعد الغسل فقال لقدتعمعت

12

Artinya: Telah berkata seorang laki-laki kepada Ibnu Umar : Sesungguhnya saya berwudhu sesudah mandi. Maka kata Ibnu Umar : Sesungguhnya engkau melebih-lebihi.

يغسل من قرنه اىل قدمه حتى يتوضأ؟ قال حذيفة امايكفي احدكم انْ

13

11 Al- Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad -Dahak as-Salmi at-

Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 288 12 Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al–Autar Min

Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, juz 1, hlm. 310

13 Ibid, hlm. 310.

Page 19: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

51

Artinya: Telah berkata Hu-dzaifah : Apakah tidak cukup seorang dari pada kamu mandi dari atas kepalanya hingga kakinya, dengan tidak berwudhu lagi ?

Menurut Ahmad Hassan, hadits dan riwayat-riwayat yang tersebut itu,

dengan jelas menunjukkan, bahwa seorang yang hendak menunaikan shalat

sesudah mandi tak perlu wudhu lagi.14

Selanjutnya menurut Ahmad Hassan, bahwa perkataan mandi yang

tersebut dalam beberapa hadits itu boleh difahami sebagai mandi janabat, dan

boleh juga difahami sebagai mandi biasa, karena riwayat-riwayat dan hadits

itu tidak menyebut mandi "Janabat".15

Dalam uraian selanjutnya, Ahmad Hassan menegaskan: menurut

qa'idah bahwa perkataan yang umum (atau muthlaq) itu perlu dipakai atas

umumnya (atau ithlaqnya) selama tidak ada keterangan yang membatasi

keumumannya (atau ithlaqnya). Jadi, pada pendapatAhmad Hassan, sesudah

mandi, tidak perlu berwudhu lagi untuk shalat.16

C. Metode Istinbath Hukum Ahmad Hasan

Ahmad Hassan dalam metode istinbath hukumnya menggunakan cara

sebagai berikut:

Pertama, debater. Dalam hal ini Ahmad Hassan mempertahankan

pendapatnya dengan menggunakan jalan debat secara terbuka dan tertutup.

Terbuka ia lakukan manakala persoalannya sudah menyangkut kepentingan

14 A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid 1-2, Bandung: CV

Diponegoro, 2003, hlm. 414 15 Ibid, 414 16 Ibid

Page 20: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

52

orang banyak. Misalnya dalam menggulirkan gagasan negara Islam. Ia

mengajak debat terbuka dengan Soekarno. Dalam pandangannya bahwa debat

merupakan bentuk tukar pikiran dan pembahasan mengenai suatu hal dengan

saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Bagi

Ahmad Hassan, debat bisa menghasilkan sebuah kesepakatan bila tidak

bermuatan kepentingan pribadi melainkan kembali kepada dasar al-Qur'an dan

hadis. Tertutup, apabila masalahnya hanya bersifat pribadi yang tidak ada

sangkut pautnya dengan kepentingan orang banyak.

Kedua, polemik. Metode ini dimanfaatkan olehnya dalam perdebatan

mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka di media massa.

Hal ini biasanya ia tuangkan dalam majalah pembela Islam (1929-1935), al-

Fatwa (1930-1933), al-Lisan (19933-1942), at-Taqwa (1937-1941), Laskar

Islam, dan al-Hikam.

Ketiga, sic et non. Metode ini bersifat dialogis. Ia gunakan dalam

bentuk dialog atau tanya jawab, dan lazimnya ia gunakan ketika membahas

masalah masail fiqhiyyah. Metode ini misalnya ia wujudkan dalam bentuk

buku-bukunya antara lain: Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama,

Bandung: CV.Diponegoro, 2003; At-Tauhid, Bandung: CV.Diponegoro, 1987

Dengan melihat tulisan-tulisan Ahmad Hassan, akan bisa menangkap

apa yang sesungguhnya ia cita-citakan bagi masyarakat Indonesia. Ahmad

Hassan menginginkan agar umat Islam melaksanakan ajaran Islam dengan

sungguh-sungguh dan semurni-murninya, baik dalam tingkat individu,

keluarga/masyarakat/dan negara. Pelaksanaannya harus didasarkan pada

Page 21: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

53

pemahaman yang benar menurut nas-nas Al-Qur'an dan Sunnah, serta

pengingkaran semua hal yang berbau bid'ah dan khurafat. Untuk mencapai itu

umat Islam harus melakukan ijtihad, atau sekurang-kurangnya ittiba, dan

menjauhi taklid, suatu penyakit yang menyebabkan kemunduran umat Islam.

Kerangka berpikir di atas oleh A. Hassan disebut "mengikuti jejak salaf",

jajaran generasi-yang terdekat baik secara waktu maupun ajaran dengan Nabi

Muhammad saw.

Hal-hal seperti tersebut di atas tampaknya merupakan tema yang selalu

berulang-ulang sepanjang sejarah Islam setelah terjadinya kontak antara ajaran

Islam dengan berbagai pemikiran asing yang mengakibatkan kaburnya ajaran

otentik Islam. Seperti diakui oleh Persis sendiri dalam Mukaddimah Qanun

Asasi (anggaran dasarnya), bahwa kondisi semacam itu senantiasa

memunculkan mujaddid, seperti telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw,

pada awal setiap abad. Tema-tema ishlah atau tajdid, misalnya bisa ditemukan

dalam kebanyakan pemikir Hambali, Muhammad 'Abduh (w. 1905) dan

Rasyid Ridha (w. 1935). Tetapi perlu disadari bahwa arus pemikiran Islam itu

terus bergerak secara kumulatif dari sumber yang sama, Al-Qur'an dan

Sunnah, tetapi situasi dan tantangan yang berbeda akan memerlukan respon

dengan penekanan yang berbeda. Di situlah terlihat jasa A. Hassan dalam

bangunan pemikiran Islam di Indonesia.

Untuk melihat secara jelas ketajaman dan tekanan simbol-simbolnya,

pemikiran A. Hasan perlu diletakkan dalam konteks kesejarahan pada awal

abad ke-20. Kemajuan sikap dan pemikirannya telah mendorong umat Islam

Page 22: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

54

untuk meninjau kembali setiap adat dan kebiasaan yang selama ini dianggap

mapan dan tidak perlu dipertanyakan lagi seperti yang dianut oleh "kaum

tradisionalis". Umat Islam telah ditantang untuk berpikir kritis dengan kritik-

kritiknya yang tajam terhadap setiap tindakan dan pemikiran yang tidak

bersumber dari ajaran agama. Tantangan A. Hassan untuk berpikir kritis itu

bukan berarti mengajak orang untuk anti-dogma, dan bahkan dengan tajam ia

mengkritik orang- orang sekuler, yang diwakili oleh penganjur "paham

kebangsaan". Serangan A. Hassan terhadap kelompok tradisionalis dan

sekularis itu mengingatkan kepada serangan Ibn Taymiyah terhadap para sufi

yang menyimpang dan para filsuf yang angkuh. Pada dasarnya A. Hassan

berusaha agar seluruh umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang telah

lama dilupakan dan disalahpahami oleh pemeluknya sendiri

Salah satu kesalah pahaman yang dikritik secara tajam oleh A. Hassan

ialah ide sekuler dalam hubungan antara Islam dan paham kebangsaan

(nasionalisme). Setelah berkembang pada abad ke-18 di Eropa Barat, paham

kebangsaan itu baru masuk ke Indonesia pada abad ke-20, yang ditandai

dengan munculnya ide kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atas dasar ideologi

"asli". Ada kecenderungan bahwa ideologi "asli" itu dimaksudkan untuk

menolak apa saja yang berbau "asing" termasuk memisahkan kehidupan

politik dari asas-asas agama.

Polemik mengenai ideologi ini telah melibatkan sejumlah tokoh

dengan pendapat yang berbeda-beda. Terhadap lawan pahamnya, seperti

Soekarno dan Soetomo, A. Hassan melancarkan kritiknya secara tajam,

Page 23: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

55

menyatakan bahwa paham kebangsaan seperti yang dipahami oleh mereka itu

adalah sama dengan 'ashabiyyah, fanatisme kesukuan, suatu semangat

solidaritas yang ditentang oleh Islam. Di samping A. Hassan, Natsir secara

jenius tampil dalam majalah Pembela Islam dengan tulisan berseri yang

berjudul "Kebangsaan Muslimin" yang juga merupakan kritik terhadap

nasionalisme sekuler dan sekaligus pandangan terhadap ideologi yang tepat

untuk Indonesia.

Kritik seperti itu dilakukan oleh A. Hassan dengan cara yang tajam dan

terbuka terhadap siapa saja yang dianggap salah, termasuk terhadap mereka

yang secara pribadi maupun aspirasi dekat dengannya. la pernah mengkritik

Hasbi ash-Shiddiqie karena soal "jabat tangan", Umar Hubaisy dan Bey Arifin

soal madzhab, dan juga Hamka tentang paham kebangsaan. Semua kritik itu

dilakukan dengan tajam sekali, sehingga kadang-kadang menimbulkan kesan

kebencian. Kesan tersebut sebenarnya tidak tepat, karena kejujuran dan

keikhlasanlah yang menyebabkan kritik itu pedas, bahkan terkadang kelewat

pedas menurut ukuran perasaan "Jawa". Orang sering terkejut bahwa A.

Hassan yang keras dalam kritik itu adalah A. Hassan yang lemah-lembut

dalam pergaulan.

Di samping sebagai kritikus, A. Hassan juga dikenal sebagai seorang

polemis dan debater. Polemik dan debat digunakan sebagai senjata untuk

mematahkan paham lawannya, dan membuktikan kebenaran pahamnya

sendiri. Dalam hal seperti itu, pendengar atau pembaca diharapkan dengan

mudah memahami mengapa sesuatu faham itu salah atau benar/berdasar

Page 24: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

56

kaidah agama atau logika. Misalnya dalam perdebatan dengan Wahhab

Hasbullah, orang ditantang untuk memilih kebenaran, setelah tahu alasan

diperbolehkan atau diharamkan taklid. Begitu juga dalam polemik dengan

Hussein al-Habsyi tentang soal mazhab. (Menurut A. Hassan, bermadzhab

sama dengan bertaklid, dan haram hukumnya menurut agama). Selama

hidupnya A. Hassan telah melakukan beberapa perdebatan dengan pendeta-

pendeta Kristen, tokoh-tokoh Ahmadiyah, golongan ateis, Persatuan Muslim

Indonesia (PERMI) dan ulama tradisional.

Metode lain yang disukai A. Hassan dalam tulisan-tulisannya ialah

soal-jawab, sesuatu yang mirip metode "sic-et-non" yang berkembang di abad-

abad pertengahan dalam teologi spekulatif dan ilmu kalam. Hal itu terlihat

dalam buku-bukunya, seperti Soal Jawab dan at-Tauhid. Buku-buku itu

menggunakan metode soal-jawab yang mudah dimengerti, dan isinya

berkaitan dengan soal sehari-hari yang memerlukan kejelasan dan ketegasan.

Karena itu Soal-jawab, misalnya, menjadi sangat populer di kalangan

penganut dan simpatisan gerakan ishlah. Dalam fungsinya sebagai rujukan

bagi persoalan hidup sehari-hari buku itu bagi mereka mirip dengan al-

Masa'il, sebuah buku yang memuat jawaban-jawaban Ahmad ibn Hambal

terhadap persoalan fikih, akhlak, dan akidah yang diajukan oleh berbagai

pihak pada masanya, bagi penganut dan simpatisan Hambali di Baghdad dan

sekitarnya pada abad-abad pertengahan.

Page 25: BAB III komar - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1...1958). Ia seorang ulama, ahli fikih/usul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam

57