nusyuz dalam pandangan imam safei

84
PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER SKRIPSI Oleh Imam Bagus Susanto NIM 04210046 JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2009

Upload: safira-diniarti

Post on 11-Jan-2016

62 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

Page 1: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER

SKRIPSI

Oleh Imam Bagus Susanto

NIM 04210046

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2009

Page 2: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER

Skripsi Disusun untuk Memenuhi Persyaratan

Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I.)

Oleh Imam Bagus Susanto

NIM 04210046

JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

MALANG 2009

Page 3: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,

penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:

PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ

DALAM PERSPEKTIF GENDER

Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan merupakan

duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa

skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau

sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis

batal demi hukum.

Malang, 05 Mei 2009

Penulis,

Imam Bagus Susanto 04210046

Page 4: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

LEMBAR PERSETUJUAN

PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER

SKRIPSI

O l e h

Imam Bagus Susanto NIM : 04210046

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing

Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H NIP. 150 284 095

Tanggal 05 Mei 2009

Mengetahui Dekan Fakultas Syari'ah

Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag NIP. 150 216 425

Page 5: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

LEMBAR PENGESAHAN

PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER

SKRIPSI

O l e h

Imam Bagus Susanto NIM : 04210046

Telah dipertahankan didepan penguji dan dinyatakan diterima sebagai salah satu

Persyaratan untuk memperoleh gelar S.HI (Sarjana Hukum Islam) Pada tanggal 05 Mei 2009

Dewan Penguji Tanda Tangan 1 Ketua Penguji

: Fakhruddin, M.HI NIP. 150 302 236

( )

2 Sekretaris/Pembimbing

: Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H NIP. 150 284 095

( )

3 Penguji Utama

: Drs. M Fauzan Zenrif, M.Ag NIP. 150 303 047

( )

Mengetahui dan Mengesahkan Dekan Fakultas Syari’ah

Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag NIP.150 216 425

Page 6: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

MOTTO

ôô ôô ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ uu uuρρρρ ÿÿ ÿÿ ÏÏ Ïϵµµµ ÏÏ ÏÏGGGG≈≈≈≈ tt ttƒƒƒƒ#### uu uu ÷÷ ÷÷ββββ rr rr&&&& tt tt,,,, nn nn==== yy yy{{{{ //// ää ää3333 ss ss9999 ôô ôô ÏÏ ÏÏ ii iiΒΒΒΒ öö ööΝΝΝΝ ää ää3333 ÅÅ ÅÅ¡¡¡¡ àà àà����ΡΡΡΡ rr rr&&&& %%%% [[ [[`≡≡≡≡ uu uuρρρρ øø øø———— rr rr&&&& (( ((#### þþ þþθθθθ ãã ããΖΖΖΖ ää ää3333 óó óó¡¡¡¡ tt ttFFFF ÏÏ ÏÏ jj jj9999 $$$$ yy yyγγγγ øø øøŠŠŠŠ ss ss9999 ÎÎ ÎÎ)))) ŸŸ ŸŸ≅≅≅≅ yy yyèèèè yy yy____ uu uuρρρρ

ΝΝΝΝ àà àà6666 uu uuΖΖΖΖ ÷÷ ÷÷���� tt tt//// ZZ ZZοοοο ¨¨ ¨¨ŠŠŠŠ uu uuθθθθ ¨¨ ¨¨ΒΒΒΒ ºº ººππππ yy yyϑϑϑϑ ôô ôômmmm uu uu‘‘‘‘ uu uuρρρρ 44 44 ¨¨ ¨¨ββββ ÎÎ ÎÎ)))) ’’’’ ÎÎ ÎÎûûûû yy yy7777 ÏÏ ÏÏ9999≡≡≡≡ ss ssŒŒŒŒ ;; ;;MMMM≈≈≈≈ tt ttƒƒƒƒ UU UUψψψψ 55 55ΘΘΘΘ öö ööθθθθ ss ss)))) ÏÏ ÏÏ jj jj9999 tt ttββββρρρρ ãã ãã���� ©© ©©3333 xx xx���� tt ttGGGG tt ttƒƒƒƒ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari

jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya

diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Al-Ruum: 21)

Page 7: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

PERSEMBAHANKU

Dengan Segenap Jiwa dan Ketulusan Hati Ku Persembahkan Buah Karya ini Kepada:

Allah Yang Maha Esa dan Maha Segalanya, Pencipta Alam Raya dan Yang

Menguasai Seluruh Makhluk Ciptaan-Nya

Ayah dan Ibundaku Tercinta (H. Sunoto & Hj. Susmiati), serta Seluruh Keluargaku

yang Senantiasa Tiada Putus-putusnya untuk Mengasihiku Setulus Hati, yang Selalu Membantu Baik Moril, Material dan Spiritual sehingga Aku

Mampu Menatap dan Menyongsong Masa Depan

Semua Guru-guru dan Dosen-dosenku yang Memberikan Secercah Cahaya Berupa Ilmu Hingga Aku Dapat Mewujudkan Harapan,

Angan dan Cita-citaku untuk Masa Depan

Page 8: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.,

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT , yang telah melimpahkan

rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Muhammad SAW yang telah mengajarkan

kita tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan

syafa’at beliau di hari akhir kelak. Amien...

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat jasa-jasa, motivasi dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh ta’dhim, dari lubuk hati yang paling dalam penulis

sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. (Dekan Fakultas Syari’ah), Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag.

(Pembantu Dekan I), Drs. Fadil SJ., M.Ag. (Pembantu Dekan II).

3. Ibu Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H, selaku pembimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Atas bimbingan, arahan, saran, motivasi dan kesabarannya, penulis sampaikan

Jazakumullah Ahsanal Jaza’.

4. H. Isroqunnajah, M.Ag, selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas

Syari’ah UIN Malang.

5. Seluruh Dosen & seluruh civitas akademika UIN Malang khususnya Fakultas Syari’ah, yang telah

mendidik, membimbing, mengajarkan dan mencurahkan ilmu-ilmunya kepada penulis. Semoga

Allah melipatgandakan amal kebaikan mereka. Allahummaghfirlahum war

hamhum...Allahummamfa’na war fa’na bi ‘ulumihim! Amien.

6. Abi (H. Sunoto) dan Ummi (Hj. Susmiati), yang telah mencurahkan cinta dan kasih-sayang

teriring do’a dan motivasinya, sehingga penulis selalu optimis dalam menggapai kesuksesan

hidup di dunia ini.

7. Adik-adikku tersayang (Dewi Khoirotul Avivah & Azzah Fakhrun Nisa’), yang menjadi motivasi

penulis segera menyelesaikan tulisan ini.

8. Teman-teman Fakultas Syari’ah UIN Malang angkatan 2004, yang telah mewarnai perjalanan

hidupku selama kuliah. May Allah Bless Us!

9. Semua pihak -yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena keterbatasan ruang- yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Terakhir, penulis juga sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

kritik dan saran konstruktif dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi perbaikan

dan kebaikan karya ilmiah ini.

Page 9: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Semoga karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua,

terutama bagi diri penulis sendiri. Amin ya Mujibassailin...

Malang, 05 Mei 2009

Penulis

Page 10: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... iv

HALAMAN MOTTO........................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................ vi

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

TRANSLITERASI ............................................................................................... xi

ABSTRAK ........................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................... 1

B. Batasan Masalah .............................................................................. 5

C. Rumusan Masalah............................................................................ 5

D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5

E. Manfaat Penelitian ........................................................................... 6

F. Metode Penelitian ............................................................................ 6

G. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 10

H. Sistematika Pembahasan .................................................................. 12

BAB II IMAM AL-SYAFI’I DAN PENDAPATNYA TENTANG

NUSYUZ

A. Biografi Singkat Imam Syafi’i ......................................................... 14

1. Latar Belakang Sosial Imam al-Syafi’i ....................................... 14

2. Latar Belakang Pendidikan Imam al-Syafi’i ............................... 17

3. Karya Tulis Imam al-Syafi’i ....................................................... 20

B. Metode Istinbath Hukum Imam al-Syafi’i ........................................ 21

C. Nusyuz dalam Ijtihad Hukum Imam al-Syafi’i ................................. 24

1. Dasar Hukum Nusyuz................................................................. 24

Page 11: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

2. Prosedur Penanganan Nusyuz..................................................... 26

3. Implikasi Hukum dari Adanya Nusyuz........................................ 31

BAB III PARADIGMA GENDER DALAM RELASI SUAMI-ISTRI

A. Gagasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Sosial Masyarakat ... 34

1. Definisi Gender .......................................................................... 34

2. Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender ............................................. 36

3. Manifestasi Kesetaraan Gender .................................................. 43

B. Wawasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga ...... 48

1. Relasi Ideal Suami-Istri dalam Keluarga..................................... 48

2. Persamaan Derajat Antara Suami-Istri ........................................ 51

3. Problem Relasi Suami-Istri dalam Kehidupan rumah Tangga ..... 52

BAB IV BIAS GENDER DALAM PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I

TENTANG NUSYUZ

A. Ushul Fiqh dan Sosial-Budaya Bangsa Arab dalam Ijtihad Hukum

Imam Al-Syafi’i ............................................................................... 57

B. Bias Gender dalam Pandangan Imam al-Syafi’i Tentang Nusyuz....... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 66

B. Saran................................................................................................ 67

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

TRANSLITERASI

Umum

Transliterasi yang dimaksud di sini adalah pemindahalihan dari bahasa Arab

ke dalam tulisan Indonesia (Latin), bukan terjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa

Indonesia.

Konsonan

Dl ض Tidak ditambahkan ا

Th ط B ب

Dh ظ T ت

(koma menghadap ke atas) ‘ ع Ts ث

Gh غ J ج

F ف H ح

Q ق Kh خ

K ك D د

L ل Dz ذ

M م R ر

N ن Z ز

W و S س

Sy � H ش

Y ي Sh ص

Vokal, Panjang dan Diftong

Setiap penulisan Arab dalam bentuk tulisan Latin vokal fathah ditulis dengan

“a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan panjang masing-

masing ditulis dengan cara berikut:

Vokal (a) panjang = â misalnya ل�� menjadi qâla

Vokal (i) panjang= î misalnya ��� menjadi qîla

Vokal (u) panjang= û misalnya دون menjadi dûna

Page 13: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Khusus bacaan ya’nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “î”, melainkan

tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkan ya’ nisbat di akhirnya. Begitu

juga untuk suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah ditulis dengan “aw” dan “ay”

seperti contoh berikut:

Diftong (aw) = و misalnya ل�� menjadi qawlun

Diftong (ay) = ي misalnya � ! menjadi khayrun

Ta’ marbûthah (ة)

Ta’ marbûthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada di tengah-tengah kalimat, tetapi apabila Ta’ marbûthah tersebut berada di akhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h” misalnya: ر���� ا�����

menjadi al-risalat li al-mudarrisah.ABSTRAK

Susanto, Imam Bagus, 04210046, Pandangan Imam al-Syafi’i Tentang Nusyuz Dalam Perspektif Gender, Skripsi, Jurusan: al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Fakultas: Syari’ah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dosen Pembimbing: Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H. Kata kunci: nusyuz, gender.

Keluarga merupakan unit sosial yang paling kecil dan paling sederhana dalam masyarakat. Sekalipun demikian keluarga adalah institusi yang memiliki peran sangat signifikan dalam menjaga stabilitas sosial. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menjaga stabilitas dalam skala sosial yang lebih kecil, yaitu keluarga. Di antara kendala-kendala yang dihadapi oleh sebuah keluarga perbedaan cara pandang dalam melihat suatu masalah kerapkali menjadi ancaman bagi stabilitas keluarga tersebut. Ketidaksepahaman tersebut terkadang membuat hubungan antara pasangan suami-istri menjadi kurang harmonis oleh sebab adanya salah satu pasangan yang nusyuz. Nusyuz merupakan topik masalah yang telah sejak lama dibahas oleh para fuqaha’. Dalam kaitan dengan aspek hukum Islam (fiqh) nusyuz masuk dalam permasalahan munakahah (masalah perkawinan). Imam al-Syafi’i adalah satu dari sekian banyak fuqaha’ yang juga membahas masalah nusyuz. Dalam karya monumentalnya, al-Umm, al-Syafi’i menguraikan persoalan ini dengan merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an dan sebuah hadits Nabi. Salah satu pembahasan dalam bagian itu adalah berkenaan dengan prosedur penanganan seorang pasangan yang melakukan nusyuz. Dewasa ini ketika masyarakat muslim di dunia berkembang semakin pesat seiring dengan perkembangan masyarakat global, baik dalam hal pembangunan fisik maupun mental, pendapat Imam al-Syafi’i tersebut tidak luput dari sejumlah kritik. Dalam kaitan dengan pemikiran serta gerakan kesetaraan gender pendapat al-Syafi’i itu dinilai sarat dengan analisa dan cara pandang yang bias gender. Pendapat Imam

Page 14: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

al-Syafi’i dinilai sebagai produk pemikiran yang lahir dalam suasana sosial yang didominasi oleh semangat kelelaki-lakian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz serta perspektif gender dalam melihat pendapat tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif penelitian yuridis-normatif ini menggunakan karangan Imam al-Syafi’i, al-Umm, sebagai rujukan utamanya. Penelitian ini dibatasai hanya pada masalah nusyuz dalam pengamatan Imam al-Syafi’i, terutama masalah prosedur penanganan salah satu pasangan yang melakukannya, yang terdapat dalam al-Umm serta analisa gender terhadap pandangan tersebut. Pada bagian akhir penelitian diketahui bahwa pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz tampak kurang mengakomodasi prinsip-prinsip kesetaraan gender. Prosedur penanganan nusyuz seorang istri tampak begitu diperhatikan sementara cara menangani nusyuz suami terlampau sederhana, sampai batas tertentu bahkan merugikan kepentingan istri. Lahirnya pendapat Imam al-Syafi’i tersebut terilhami oleh kondisi sosial-budaya masyarakat tempat Imam al-Syafi’i menetap yang –seperti kebanyakan lingkungan sosial pada masa lalu– memang menempatkan perempuan pada posisi yang inferior bahkan marginal.

Page 15: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah salah satu tahap paling penting dalam kehidupan setiap

muslim, karena hanya melalui perkawinan seseorang bisa dinilai sah untuk

memasuki kehidupan rumah tangga. Di samping itu perkawinan juga merupakan

langkah awal dalam membangun stabilitas sosial dalam masyarakat.

Ketika suatu pasangan mengikrarkan dirinya untuk sanggup menempuh

kehidupan rumah tangga maka keduanya telah memasuki tahap kehidupan yang baru.

Membangun mahligai rumah tangga berarti menyatukan dua watak yang berbeda,

bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani masing-masing,

bersama-sama mentaati perintah agama, dan bermasyarakat serta bernegara dengan

baik.1

1M. Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdalah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), 129.

Page 16: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Untuk mencapai tahap perkawinan tidak hanya dibutuhkan kematangan fisik

saja, namun yang tidak kalah penting adalah kesiapan mental terutama komitmen

dalam mengemban tanggung jawab serta kewajiban sebagai suami atau istri nantinya.

Dengan demikian tampak bahwa konsekuensi yang akan ditanggung oleh seseorang

terlihat begitu besar jika melakukan keteledoran dalam rumah tangganya.

Sebaliknya, jika hubungan perkawinan berjalan dengan harmonis, maka effective side

effect seperti tolong menolong akan didapat.2

Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam persoalan rumah

tangga, terutama berkenaan dengan rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak

serta kewajiban suami-istri yang terbina dalam struktur keluarga. Islam menyatakan

bahwa baik laki-laki maupun perempuan setara derajatnya dihadapan Allah SWT.

Hanya satu yang menjadi pembeda di antara keduanya, yaitu kadar ketakwaan

kepada Allah SWT.3

Namun demikian kenyataan seringkali menunjukkan bahwa hubungan suami-

istri tidak selalu harmonis. Kadang-kadang suatu pasangan gagal dalam

menyelamatkan biduk rumah tangganya karena menghadapi masalah yang dianggap

berada di luar kemampuannya. Hal seperti ini seringkali muncul karena

ketidaksanggupan dari salah satu pihak, bisa suami atau istri, untuk melaksanakan

kewajiban masing-masing. Apabila ketidaksanggupan itu datang dari salah satu

pihak saja, yakni dari pihak suami atau istri, maka hal tersebut termanifestasi dalam

sebuah perilaku yang disebut dengan nusyuz.4

2Ibid, 154. 3Syeh Hafizh Ali Syuaisi’,”Tuhfatul Urusy wa Bahjatu an-Nufus”, diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Siddiq, Kado Pernikahan (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2007), 153 4Shaleh bin Ghanim as-Sadlan, “Nusyuz” diterjemahkan oleh Abu Hudaifah Yahya, Nusyuz Petaka Rumah Tangga (Jakarta: Nurul Qalb, 2008), 30

Page 17: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Perilaku nusyuz merupakan persoalan awal dalam rumah tangga sebelum

menjalar kepada persoalan berikutnya yang lebih parah, yaitu masalah syiqaq. Pada

permasalahan nusyuz, sikap mengacuhkan pasangan baru terjadi pada salah satu

pihak suami atau istri. Sedangkan pada permasalahan syiqaq, masing-masing pihak

sudah menunjukkan antipati terhadap pasangannya.5

Dalam permasalahan nusyuz, Imam al-Syafi’i, satu di antara empat ulama

pendiri madzhab yang terkenal, memiliki pendapat yang berbeda dengan fuqaha’

lain. Dalam kitabnya, al-Umm, Imam al-Syafi’i mengemukakan sebuah pendapat

tentang adanya nusyuz dari pihak suami. Pendapat tersebut, sekalipun bukan hanya

al-Syafi’i yang mengungkapkannya, terlihat berbeda dengan kebanyakan pendapat

fuqaha’ lain yang menyatakan bahwa nusyuz semata-mata sebagai pembangkangan

seorang istri.

Namun pendapat hukum yang merupakan hasil ijtihad hukum Imam al-

Syafi’i tersebut banyak disebut-sebut sebagai produk pemikiran yang perlu ditinjau

ulang aktualitasnya. Hal tersebut disebabkan Imam al-Syafi’i tampak menggunakan

’standar ganda’ ketika menjelaskan tentang prosedur penanganan pasangan yang

sedang nusyuz. Terdapat kesenjangan antara cara menangani istri yang sedang nusyuz

dengan cara menghadapi suami yang melakukan hal yang sama.

Pendapat Imam al-Syafi’i tersebut semakin mendesak untuk ditilik kembali

karena bagaimanapun pendapat-pendapat dan hasil ijtihad Imam al-Syafi’i

memberikan pengaruh yang sangat besar dalam cara pandang dan pola perilaku

masyarakat muslim di Indonesia karena memang mayoritas dari mereka mengikuti

madzhab Syafi’iyyah, tidak terkecuali dalam persoalan rumah tangga. Kebutuhan

5Ibid.

Page 18: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

untuk meninjau ulang hasil ijtihad Imam al-Syafi’i tersebut juga tidak lepas dari

permasalahan-permasalahan paradigmatis dan konseptual.

Posisi laki-laki yang secara vertikal ditempatkan lebih tinggi dari perempuan,

sebab struktur rumah tangga masyarakat Islam yang ketika itu tidak

mempermasalahkannya, sementara saat ini prinsip kemitrasejajaran suami-istri

menjadi pedoman dalam membangun rumah tangga yang ideal, adalah satu di antara

permasalahan-permasalahan yang dimaksud. Budaya patriarkhi yang selalu

menempatkan wanita pada posisi inferior dan marginal semakin ditinggalkan.

Masyarakat mulai menyadari bahwa menempatkan kaum Hawa pada kedudukan

yang setara dengan kaum Adam adalah sebuah keharusan.

Secara ideal kaum perempuan Indonesia mempunyai hak, kewajiban, dan

kesempatan yang setara dengan pria di segala bidang, demikian pula tanggung jawab

dan tuntutan untuk berperan serta dalam pembangunan. Namun demikian, dalam

kurun waktu yang cukup lama, fakta kehidupan sosial baik di sektor domestik

maupun publik menunjukkan bahwa perempuan tidak saja dibedakan, lebih dari itu

mereka juga dimarginalkan dan ditempatkan pada ’kasta’ terendah.6

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu untuk menganalisa ketetapan

hukum Imam al-Syafi’i tentang nusyuz istri dalam perspektif gender. Sehingga bisa

mengetahui lebih jauh apakah ketentuan hukum tersebut sudah menempatkan

perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki ataukah belum.

6Rahmad Syafaat, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Malang: IKIP Malang, 1998), 1-2

Page 19: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

B. Batasan Masalah

Sebagai upaya untuk menghindari perbedaan persepsi dan melebarnya

permasalahan pada penelitian ini, maka perlu diberi batasan masalah sebagai berikut.

1. Pembahasan tentang nusyuz terbatas pada pandangan tentang nusyuz menurut

Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm. Kitab tersebut dipilih dengan

pertimbangan bahwa al-Umm merupakan kitab fiqh Imam al-Syafi’i yang

paling utama.

2. Sebagai bahan analisa peneliti menggunakan paradigma kesetaraan gender

dalam relasi suami-istri. Pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz akan

dibicarakan dari sudut pandang prinsip-prinsip kesetaraan gender.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pandangan Imam Syafi`i tentang nusyuz ?

2. Bagaimanakah analisa gender terhadap pendapat Imam Syafi`i tentang nusyuz

?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan mengadakan penelitian ini antara lain:

1. Memahami pandangan Imam Syafi`i tentang nusyuz.

2. Mengetahui perspektif gender terhadap pandangan Imam Syafi`i tentang

nusyuz.

Page 20: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

E. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan studi ini adalah:

1. Secara ilmiah dapat dijadikan hipotesa bagi penelitian berikutnya yang

mempunyai relevansi dengan skripsi ini.

2. Memberikan konstribusi dalam khazanah pemikiran hukum Islam terutama

dalam persoalan pernikahan.

3. Menjadi sebuah refleksi dalam pengembangan dan pembaharuan konsep

dalam pernikahan.

4. Menjadi sebuah karya yang dapat mendiskripsikan akan perlunya untuk terus

dikaji dan dikembangkan pemikiran alternatif dalam pernikahan secara

khusus dan dalam masyarakat muslim pada umumnya.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, hal

ini berdasarkan pada analisa datanya yang bersifat deskriptif. 7 Sementara itu,

berdasarkan disiplin ilmu yang dipakai yakni fiqh, pendekatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis-logis karena tema yang diangkat

berkisar pada pemikiran fuqaha’/ulama.8 Menurut Lexy J. Moleong, penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang

dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,

dan lain-lain secara holistik dan dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk

7Amiruddin & Zainal Asikin (selanjutnya disebut Asikin), Pengantar Metode Penelitian Hukum (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 6. 8Cik Hasan Bisri (selanjutnya disebut Bisri), Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 17-18; Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian (Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN), 2006), 17-18.

Page 21: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode ilmiah.9 Penelitian dengan pendekatan kualitatif

menghasilkan data-data yang bersifat deskriptif, karena penelitian dengan

pendekatan tersebut sarat dengan deskripsi.10

2. Jenis Penelitian

Penelitian yang mengangkat tema tentang nusyuz ini jika dilihat dari bentuk

sumber datanya yang berupa kitab-kitab atau karya tulis lainnya maka termasuk

dalam penelitian yuridis-normatif atau penelitian hukum doktrinal. Dalam

penelitian hukum jenis ini, hukum acapkali di konsepkan sebagai apa yang

tertulis sebagai peraturan perundang-undangan (law in books) atau sebagai

kaidah yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.11

3. Sumber Data

Penelitian hukum yang diawali dengan premis normatif, maka datanya diawali

dengan data sekunder. Pada penelitian hukum normatif yang hanya mengenal

data sekunder saja, jenis datanya adalah bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier.12

a. Bahan Hukum Primer, yaitu tulisan ulama yang bersangkutan, dalam hal ini

kitab al-Umm karya Imam al-Syafi’i.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, atau bahan pustaka yang mengacu atau

9Asikin, Op. Cit., 6. 10Bisri, Op. Cit., 272 11Ibid., 118. 12Asikin, Op. Cit., 31-32; Bisri, Op. Cit., 309.

Page 22: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

mengutip bahan hukum primer.13 Dalam penelitian ini yang menjadi bahan

sekunder antara lain:

1) Ringkasan Kitab al-Umm karya Muhammad Yasir Abdul Muthallib

2) Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’i karya Muhammad A.W. Al-‘Aqil;

3) Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an karya Nasaruddin

Umar;

4) Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam karya Nasr

Hamid Abu Zayd;

5) Pembebasan Perempuan karya Asghar Ali Engineer;

6) Mulai dari Rumah: Wanita Muslim dalam Pergumulan Tradisi dan

Modernisasi karya Syaikh Muhammad al-Ghazali;

7) Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender karya Mufidah Ch.

c. Sumber hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.14 Dalam penelitian ini bahan

hukum tersier antara lain:

1) Ensiklopedi Islam susunan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam;

2) Kamus al-Munawwir (Arab-Indonesia) karya Ahmad Warson Munawwir;

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ialah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh

data yang diperlukan.15 Dikarenakan penelitian ini berupa penelitian kepustakaan

(bibliographie research), maka teknik pengumpulan data adalah dengan cara

menelaah dan menganalisis literatur-literatur yang ada, kemudian hasilnya dicatat 13Asikin, Op. Cit.; Bisri, Op. Cit. 14Asikin, Op. Cit. 15Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Gholia Indonesia, 1988), 211.

Page 23: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

dan dikualifikasi menurut kerangka yang sudah direncanakan. Dalam penelitian

ini, karena termasuk kategori penelitian pemikiran ulama maka data-data yang

dikumpulkan terutama berkenaan dengan sumber dan dalil hukum yang

digunakan, metode ijtihad yang diunggulkan, dan produk pemikiran ulama yang

bersangkutan, dalam hal ini adalah Imam al-Syafi’i. Sementara itu aspek-aspek

eksternal dari pemikiran tersebut berkenaan dengan tradisi intelektual, matarantai

intelektual, dan entitas kehidupan yang menjadi perhatian dan pengkajian Imam

al-Syafi’i.16 data-data dalam penelitian ini terutama diperoleh dari buku-buku

yang menjadi bahan hukum primer sebagaimana telah disebutkan di atas, diikuti

kemudian dengan data dari buku-buku pendukung (sekunder) yang menjelaskan

tentang nusyuz dan gender atau literatur lain yang terkait dengannya. Dan sebagai

pelengkap peneliti juga menggunakan data-data tersier dari kamus dan

ensiklopedia.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis

(analisis isi). Dalam analisis data jenis ini dokumen yang dianalisis disebut

dengan istilah “teks” atau wujud dari representasi simbolik yang direkam atau

didokumentasikan. Content analysis menunjuk kepada metode analisis yang

integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan untuk menemukan,

mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis dokumen untuk memahami makna

dan signifikasinya.17

Dalam penelitian ini tahapan analisis data adalah sebagai berikut:

16Bisri, Op. Cit., 310. 17Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 203.

Page 24: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

a. Data yang telah terkumpul diedit dan diseleksi sesuai dengan ragam

pengumpulan data;

b. Mengklasifikasikan data;

c. Memberikan kode data yang telah diklasifikasikan, kemudian menyusun dan

menghubungkan data satu dengan data yang lainnya;

d. Data yang sudah disusun dan dihubungkan kemudian ditafsirkan;

e. Dilakukan penarikan kesimpulan setelah jawaban atas pertanyaan penelitian

ditemukan pada tahap sebelumnya.18

G. Penelitian Terdahulu

1. Penelitian yang membahas persoalan fikih Imam al-Syafi’i pernah dilakukan oleh

Lahmuddin Nasution. Penelitian tersebut berjudul ‘Pembaruan Hukum Islam

dalam Madzhab Syafi’i’. Dalam penelitiannya itu Lahmuddin Nasution

membahas tentang faktor-faktor munculnya qaul qadim dan qaul jadid,

hubungannya dengan konteks tempat dan waktu, serta keberadaan qaul qadim

dan qaul jadid dalam madzhab Syafi’i.

Sebagai hasil penelitiannya Lahmuddin Nasution menyimpulkan bahwa

perubahan qaul qadim ke qaul jadid terjadi karena fatwa harus senantiasa baru

sesuai dengan hasil ijtihad yang terakhir, dan tidak terikat dengan ijtihad yang

terdahulu. Perubahan tersebut juga disebabkan oleh berubahnya cara pandang

dan berbedanya kondisi sosial, budaya, ekonomi, geografis, dan lain-lain.

2. Penelitian lain dilakukan oleh Laily Ishma Rini (197.01.2.0014), mahasiswi

angkatan 2001 Fakultas Agama Islam, jurusan al-Ahwal al-Syakhsiyah,

18 Bisri, Op. Cit., 229-230.

Page 25: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Universitas Islam Malang. Dalam skripsinya dia mengangkat judul “Bentuk-

Bentuk Nusyuz dan Akibat Hukumnya Dalam Perspektif Hukum Islam”.

Dalam skripsinya dia membahas tentang ketentuan-ketentuan yang telah

ditetapkan oleh hukum islam mengenai nusyuz suami atau nusyuz istri. Selain itu

dia menulis tentang bentuk-bentuk nusyuz dan akibat hukumnya jika nusyuz itu

terjadi pada suami atau istri. Serta cara mencegah dan menanggulangi nusyuz

yang disebabkan oleh suami atau istri.

Penelitian yang pertama memiliki perbedaan dengan penelitian yang diangkat

oleh penulis. Jika penelitian Lahmuddin Nasution di atas memfokuskan masalah

pada adanya qaul qadim dan qaul jadid dan pengaruhnya terhadap madzhab

Syafi’iyyah, maka penulis lebih memfokuskan pada pandangan al-Syafi’i tentang

nusyuz dan perspektif kesetaraan gender terhadap pendapat tersebut. Sedangkan

penelitian yang kedua mempunyai persamaan dan perbedaan dengan judul skripsi

yang akan penulis bahas. Persamaannya adalah pada bentuk-bentuk nusyuz dan

akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan nusyuz. Adapun letak

perbedaannya penulisan ini lebih spesifik karena terfokus kepada pandangan

Imam al-Syafi’i tentang nusyuz yang kemudian dianalisa dengan prinsip-rinsip

kesetaraan gender. Sedangkan penulisan yang dilakukan oleh Laily lebih luas

karena mencakup pendapat semua Imam madzhab tentang nusyuz dan tidak

hanya tertentu pada nusyuz istri seperti dalam skripsi ini.

Page 26: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

H. Sistematika Pembahasan

Sesuai dengan tema pembahasan yang ada pada skripsi ini ditulis dengan

sistematika sebagai berikut :

BAB I : Merupakan landasan pemikiran dari penelitian ini. Bagian ini memuat

tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, batasan

masalah, definisi operasional, metode penelitian yang memuat uraian

tentang pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, teknik

pengumpulan data, teknik pengolahan data, teknik analisis data,

penelitian terdahulu, dan sistematika pembahasan.

BAB II : Bagian ini menjelaskan tentang biografi singkat Imam Syafi`i ( latar

belakang sosial, latar belakang intelektual, serta karir dan karya

tulisnya); pemikirannya tentang nusyuz (definisi, dasar-dasar hukum

nusyuz, manifestasi nusyuz, prosedur penyelesaian perilaku nusyuz,

dan implikasi dari perbuatan nusyuz).

BAB III : Pada bab ini akan dijelaskan tentang paradigma gender dalam relasi

suami-istri, pembahasannya meliputi gagasan kesetaraan gender

dalam kehidupan social masyarakat Indonesia (definisi gender,

sejarah singkat pemikiran kesetaraan gender, landasan teologis,

prinsip-prinsip kesetaraan gender dan manifestasi kesetaraan gender);

wawasan kesetaraan gender dalam kehidupan rumah tangga (problem

relasi suami-istri, relasi ideal suami-istri).

BAB IV : Memaparkan analisis data tentang pandangan Imam Syafi`i tentang

nusyuz dengan pisau analisis prinsip-prinsip kesetaraan gender.

Page 27: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

BAB V : Merupakan bagian yang memaparkan kesimpulan dan refleksi. Bab

ini merupakan bagian terakhir dari karya ilmiah ini. Kesimpulan

ditarik dari analisa data dan pembahasan yang telah dilakukan,

sementara refleksi menyesuaikan dengan hasil dan analisa dan

pembahasan penelitian.

Page 28: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

BAB II

IMAM AL-SYAFI’I DAN PENDAPATNYA TENTANG NUSYUZ

A. Biografi Singkat Imam Syafi’i

1. Latar Belakang Sosial Imam al-Syafi’i

Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin

‘Utsman bin Syafi’ bin al-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin Muthalib

bin ‘Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib Abu

‘Abdillah al-Qurasyi al-Syafi’i al-Makki. Ayahnya bernama Muhammad bin Idris

bin ‘Abbas bin Usman bin Syafi’ bin al-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim

bin Muthalib bin ‘Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan

Page 29: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Rasulullah bertemu pada ‘Abd Manaf bin Qushai. Sedangkan ibunya adalah Fatimah

binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib.19

Dari kedua jalur keturunan di atas terlihat bahwa hubungan darah antara

Imam al-Syafi’i dan Nabi Muhammad SAW. cukup berdekatan. Sebagai seorang

ulama keturunan Muthallib dan membawa darah Quraisy, al-Syafi’i menyandang

gelar al-Muthallibiy (keturunan Muthallib) dan al-Quraisyiy (keturunan suku

Quraisy). Namun ketika telah menghasilkan beragam pemikiran, beliau lebih dikenal

dengan sebutan al-Syafi’i. Nama al-Syafi’i merujuk pada paman keduanya, Syafi’i

bin Sa’id. Sa’id sendiri adalah sahabat Nabi setelah masuk Islam. Sebelumnya ia

merupakan orang musyrik yang menjadi tawanan saat Perang Badar, namun

kemudian ia minta dibebaskan dan menyerahkan dirinya kepada Nabi Muhammad

SAW.20

Beliau lahir di Ghazzah, Askalan, tahun 150 H / 765 M, bertepatan dengan

tahun di mana Abu Hanifah meninggal dunia. Tatkala umurnya mencapai dua tahun,

ibunya memindahkannya ke Hijaz di mana sebagian besar penduduknya berasal dari

Yaman. Ibu al-Syafi’i sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanya menetap di sana

selama beberapa waktu. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun,

ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya.21

Imam al-Syafi’i hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah. Dinasti

Abbasiyyah merupakan pemegang otoritas politik di wilayah yang sebelumnya

19Muhammad A.W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’i ( Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), 15. 20Moenawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955) 149. 21Al-Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris, ”Mukhtassar Kitab al-Umm fi al-Fiqh”, diterjemahkan oleh Muhammad Yasir Abdul Muthallib (selanjutnya disebut Muthallib), Ringkasan Kitab al-Umm, buku I (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 3.

Page 30: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

dikuasai oleh Dinasti Umayyah. Masa kekuasaan dinasti itu dikenal dengan masa

klasik atau pertengahan Islam, yang juga dikenal dengan zaman keemasan Islam.22

Masa hidup Imam al-Syafi’i bertepatan dengan kekuasaan Khalifah al-

Manshur, al-Mahdi, al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-Amin, dan al-Makmun. Al-Mansur

adalah khalifah yang berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah kekuasaan yang

sebelumnya memerdekakan diri. Di antara usaha-usaha yang ia lakukan adalah

merebut benteng-bentengnya di Malatia, Coppadocia, dan Sicilia pada 756-758 M.23

Puncak keemasan kekuasaan dinasti ini adalah pada masa pemerintahan tujuh

khalifah sesudah al-Manshur. Mulai dari Khalifah al-Mahdi hingga al-Watsiq.

Namun karena masa hidup al-Syafi’i yang hanya sampai tahun 204 H. maka khalifah

terakhir yang ia kenal hanya sampai Khalifah al-Makmun, khalifah yang menjabat

dua periode di atas al-Watsiq.24

Ketika Imam al-Syafi’i hidup, terutama pada masa Harun al-Rasyid dan al-

Makmun, otoritas Islam sedang menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan

Islam daripada perluasan wilayah yang ketika itu memang sudah cukup luas.

Orientasi pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda

dengan dinasti sebelumnya, yakni Umayyah.25

Pada masa al-Mahdi sektor ekonomi menguat. Irigasi yang dibuat membuat

hasil pertanian meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Pertambangan dan

22Dinasti Abbasiyyah didirikan oleh Abu Abbas al-Shaffah yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abd al-Muthallib. Raja-raja pada masa dinasti itu adalah para aristokrat yang memiliki darah keturunan Abbas. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (1994) Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hove), 4. 23Ibid., 4. 24Ibid., 25Ibid.,

Page 31: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

sumber-sumber alam bertambah. Demikian pula perdagangan ke Timur maupun ke

Barat juga dipergiat. Basrah menjadi pelabuhan transit yang ramai.26

Tingkat kemakmuran yang tinggi tercapai pada masa pemerintahan Harun al-

Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,

kesusateraan, dan kebudayaan berada pada zaman keemasan. Sementara itu pada

masa al-Makmun terkenal dengan adanya gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan

dengan menerjemahkan buku-buku Yunani. Filsafat Yunani yang mengusung

pemikiran-pemikiran rasional menjadikan khalifah tertarik dan mengambil teologi

rasional Muktazilah sebagai madzhab teologi negara.27

Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut semakin pesat setelah khalifah

mendirikan lembaga yang mendukung, yaitu perpustakaan-perpustakaan. Di antara

perpustakaan tersebut yang paling utama adalah Bait al-Hikmah dan Dar al-Hikmah.

Perpustakaan-perpustakaan tersebut didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan

mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Makmun perpustakaan tersebut lebih

menyerupai sebuah universitas di mana kegiatan belajar, berdiskusi, menulis,

menerjemahkan, mengarang kitab, dan aktivitas keilmuan lainnya dilakukan.28

2. Latar Belakang Pendidikan Imam al-Syafi’i

Imam al-Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau

diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan

mereka hanya terbatas pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru

mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat al-Syafi’i kecil dengan ketajaman

26Ibid., 5. 27Ibid., 28Ibid., 6.

Page 32: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan

gurunya.29

Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, al-Syafi’i

mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya kepada anak-anak yang lain,

sehingga dari apa yang dilakukannya ini al-Syafi’i mendapatkan upah. Ketika

menginjak umur tujuh tahun al-Syafi’i telah menghafal seluruh al-Qur’an dengan

baik.30

Sesudah kembali ke Makkah, ia mulai belajar hadits kepada ahli hadits saat

itu, diantaranya ialah Sufyan bin ‘Uyainah dan Fudatul bin Iyad. Al-Syafi’i

mempelajari hadits dengan tekun sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia telah

berhasil mencatat dan menghafal hadits-hadits yang diajarkan oleh gurunya.

Sekalipun, karena kesulitannya untuk memperoleh alat tulis, al-Syafi’i menuliskan

hadits-hadits itu ditembikar, kulit, dan tulang.31

Setelah mempelajari kedua sumber ajaran Islam itu, al-Syafi’i merasa perlu

untuk mempelajari Bahasa Arab. Hal ini didasarkan pada keyakinannya bahwa untuk

memahami al-Qur’an dan al-Hadits, maka Bahasa Arab haruslah dikuasai. Oleh

karena Bahasa Arab yang berkembang di Makkah saat itu telah bercampur dengan

bahasa selain Arab (‘ajam), maka al-Syafi’i pergi ke pelosok desa bernama Hudzail.

Di daerah ini masyarakatnya menggunakan Bahasa Arab yang masih asli. Berkat

berada di komunitas itulah al-Syafi’i menjadi fasih berbahasa Arab dan mempunyai

feeling sastra yang dalam.32

29Ibid., 7. 30Muthallib, Op. Cit., 4 31Ibid, 6 32Muhammad AW. Al-Aqil, Op. Cit., 39

Page 33: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Dalam bidang ilmu fiqih untuk pertama kalinya al-Syafi’i belajar kepada

Imam Muslim bin Khalid az-Zainy, seorang guru besar dan mufti di Makkah saat itu.

Pada gurunya itu al-Syafi’i belajar cukup lama, sehingga ia mendapatkan ijazah dan

diperbolehkan untuk memberi fatwa tentang hukum-hukum keagamaan (fiqih).

Dengan luasnya pengetahuan fiqih yang dimiliki, al-Syafi’i telah menjadi seorang

mufti ketika baru berusia 15 tahun.33

Meski telah menjadi mufti di usia yang relatif masih sangat muda, dengan

kemauannya yang keras dalam menuntut ilmu al-Syafi’i selalu mencari sumber-

sumber ilmu baru. Ketika mendengar kealiman Imam Malik yang berada di Madinah,

maka al-Syafi’i berencana untuk belajar kepadanya.34

Sebelum memenuhi niatnya al-Syafi’i meminjam kitab al-Muwatta’ karangan

Imam Malik dan menghafalnya hanya dalam waktu sembilan hari. Setelah itu ia

berangkat dan membaca di luar kepala di hadapan Imam Malik. Mendengar bacaan

al-Syafi’i terhadap kitabnya Imam Malik memuji kelancaran bacaan serta

kesempurnaan pemahaman al-Syafi’i terhadap kitabnya. Selanjutnya Imam Malik

memberikan ijazah (hak mengajar) kitab al-Muwatta’ kepada al-Syafi’i ketika

dirinya pergi dari Madinah.35

Luasnya pengetahuan fiqih yang diperoleh al-Syafi’i dari para ahli fiqih telah

membuat al-Syafi’i berpandangan luas. Ketertarikannya pada bidang fiqih tidak

terbatas pada pemikiran Imam Malik dan Abu Hanifah saja, namun juga pemikiran-

pemikiran Syiah dan Mu’tazilah.36

33Moenawar Khalil, Op. Cit., 153 34Ibid., 35Ibid, 154 36Ibid.,

Page 34: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Dalam kajian Ibn Katsir, sebagaimana dikutip oleh Mun’im A. Sirry,

diriwayatkan bahwa al-Syafi’i berkata bahwa barang siapa yang ingin memperdalam

fiqih maka ia harus belajar kepada Imam Abu Hanifah, sementara yang ingin

memperdalam sejarah harus menjadi murid Muhammad bin Ishaq, sedangkan yang

ingin memperdalam hadits harus belajar kepada Imam Malik dan yang ingin

memperdalam ilmu tafsir belajarlah kepada Muqhatil bin Sulaiman.37

Luasnya ilmu pengetahuan dalam diri al-Syafi’i telah menjadikannya sebagai

pemikir dengan pisau analisis yang tajam. Al-Syafi’i mampu membaca kelebihan dan

kekurangan ilmu yang dikuasai para pendahulunya, sehingga ia mampu memilah

pemikiran guru-gurunya. Inilah yang menjadikan al-Syafi’i sebagai pemikir yang

keluar dari jebakan taqlid, bahkan dengan pemikirannya beliau mampu membangun

madzhab sendiri, yakni Syafi’iyyah.

Di akhir hayatnya Imam al-Syafi’i mengisi waktunya untuk berdakwah,

menyebarkan ilmu, dan mengarang kitab di Mesir. Aktivitas kesehariannya yang

selalu padat dengan berbagai kegiatan itu ternyata memberikan mudharat pada

tubuhnya, sehingga ia pun terserang penyakit wasir yang menyebabkan pendarahan.

Tetapi karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam al-Syafi’i tetap melakukan

pekerjaan itu tanpa memperdulikan sakitnya hingga wafat pada bulan Rajab 204 H /

819 M di Fustat.38

3. Karya Tulis Imam al-Syafi’i

Kitab-kitab karangan Imam al-Syafi’i antara lain: Al-Umm, Al-Risalah al-

Qadimah (Kitab al-Hujjah), Al-Risalah al-Jadidah, Ikhtilaf al-Hadist, Ibhthal al-

37Ibid, 155 38Muhammad AW. Al-Aqil, Op Cit., 40

Page 35: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Ihtisan, Ahkam al-Qur’an, Bayan al-Fardh, Shifat al-Amr wa al-Nahy, Ikhtilaf al-

Malik wa al-Syafi’I, Ikhtilaf al-Iraqiyyin, Ikhtilaf Muhammad bin Husein, Kitab al-

Sunan.39

B. Metode Istinbath Hukum Imam al-Syafi’i

Kaidah ushul Imam al-Syafi’i meletakkan empat sumber yang menjadi

rujukan dalam menetapkan hukum Islam. Sebagaimana dikutip Muhammad al-Fashi,

Imam al-Syafi’i berkata, “Dasar pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah

jika tidak ada maka qiyas dan ijma’ lebih diutamakan dibandingkan hadits ahad”.

Dari perkataan itu maka dasar hukum yang dipakai Imam al-Syafi’i adalah dwi

tunggal al-Qur’an dan Sunnah, qiyas dan ijma’.

1. Al-Qur’an dan as-Sunnah

Kajian al-Syafi’i terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum dititikberatkan

pada gaya kebahasaan al-Qur’an. Menurut Syafi’i, al-Qur’an menggunakan, pertama

kata-kata yang bersifat umum dan eksplisit (dzahir-am) dengan maksud yang juga

umum dan eksplisit, sehingga pernyataan yang pertama tidak memerlukan

pernyataan yang kedua. Kedua, pernyataan al-Qur’an bersifat umum dan eksplisit

dengan maksud khusus, dan ketiga : pernyataan al-Qur’an yang memiliki arti literal

(dzahir), tapi dari segi konteks (nisbah) pengungkapannya harus diberi arti yang non

literal (ghairu dzahir).40

Sedangkan terhadap as-Sunnah, Imam Syafi’i menyatakan sebagai al-hikmah

Menurut Syafi’i, pengertian al-hikmah sebagai Sunnah Rasul merupakan pengertian

yang paling dekat dengan apa yang dikatakan Allah sendiri dalam firman-Nya (al-

39Muthallib, Op. Cit., 9 40Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Ar-Risalah ( Beirut: Dar al-Kutub, tt) 39

Page 36: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Baqarah: 29), Allah mengemukakan kepada makhluknya agar selalu bersyukur atas

karunia diutusnya Rasulullah yang membawa misi untuk mengajarkan al-Qur’an dan

al-Hikmah. Oleh karena itu, maka kata-kata al-hikmah disini hanya berarti Sunnah

Rasul. Dan dengan adanya perintah agar kita selalu taat kepada Rasul, maka itu juga

berarti bahwa suatu kewajiban tidak dapat ditetapkan tanpa landasan yang jelas dari

Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.41

Adapun fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur’an, Imam Syafi’i membaginya

dalam dua kategori, yakni: pertama, Sunnah yang hadir untuk mengkonfirmasikan

semua yang diwahyukan. Kedua, Sunnah yang berfungsi untuk memberikan

kejelasan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an dalam menerangkan bentuk

perintah yang diturunkan apakah bersifat umum atau khusus, dan bagaimana

menunaikannya. Terhadap hal ini lebih jauh Imam Syafi’i mengatakan, “Saya belum

pernah mengetahui bahwa ada orang yang tidak menyetujui bahwa Sunnah Nabi ada

tiga¸yakni: pertama, Sunnah Rasul yang menegaskan seperti apa-apa yang dinashkan

oleh al-Qur’an. Kedua, Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki

oleh al-Qur’an. Tentang kategori yang kedua ini tidak ada pertentangan dikalangan

ulama. Ketiga, Sunnah Rasul berdiri sendiri, yang tidak ada kaitannya dengan nash

al-Qur’an.

Demikianlah pemikiran integral Imam al-Syafi’i mengenai al-Qur’an dan as-

Sunnah sebagai sumber hukum. Dalam pandangannya, kedua sumber itu berdiri

sejajar sebagai sandaran dalam menetapkan hukum Islam.

41Ibid., 56.

Page 37: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

2. Ijma

Kesepakatan tentang suatu keputusan hukum atau yang dikenal dengan ijma’

merupakan salah satu dasar hukum Syafi’i. sebelumnya, Imam Malik juga

memperkenalkan konsep ijma’ ini. namun berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i

memperketat persyaratan ijma’ sebagai sumber hukum.

Dalam mengoperasionalkan ijma’ sebagai landasan hukum, Imam Syafi’i

menyandarkan persepakatan itu atas as-Sunnah. artinya, ijma’ itu bisa dijadikan

sumber hukum jika terdapat as-Sunnah yang melegitimasinya. hal ini tampak pada

pembicaraan Syafi’i ketika ia menjawab pertanyaan seseorang tentang ijma’.

menurut al-Syafi’i, ijma’ terbatas mengenai apa yang disepakati dan ada landasan

riwayat dari Rasulullah.

Sedangkan ijma’ yang tidak terikat dengan riwayat formal dari bani, tidak

dapat ditegaskan sebagai sumber pada riwayat tersebut. sebab, seorang hanya dapat

meriwayatkan apa yang ia dengar. ia tidak bisa meriwayatkan berdasarkan dugaan

dimana kemungkinan nabi sendiritidak pernah mengatakannya atau melakukannya.

oleh karena itu, kesepakatan umat bisa diterima dan otoritas mereka bisa diikuti

dengan keyakinan bahwa setiap Sunnah nabi pasti diketahui oleh mereka meskipun

terdapat kemungkinan tidak diketahui oleh sebagian yang lain karena keyakinan

bahwasannya umat tyidak akan bersepakat dalam suatu kesalahan.42

Dari penjelasan diatas, ijma’ bisa dijadikan sumber hukum jika memiliki

sandaran as-Sunnah dan tidak bertentangan dengannya. sebab, ijma’ tidak dapat

berdiri sendiri tanpa adanya sandaran penjelasan dari Rasulullah.

42Ibid., 224

Page 38: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

3. Qiyas

Qiyas merupakan langkah ijtihad yang harus ditempuh seorang mujathid

untuk menentukan hukum Islam. qiyas adalah menganalogikan suatu persoalan yang

tidak terdapat penjelasannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pejelasan yang

telah ada dalam keduanya berdasarkan adanya persamaan illat. Menurut Imam

Syafi’i, semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada

hubungan yang jelas dan mengikat atau setidaknya ada ketentuan umum yang

menunjuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan

jalan ijtihad, dan ijtihad tidak lain adalah qiyas itu sendiri. Jadi, antara qiyas dan

ijtihad itu memiliki arti yang sama.43

Metode qiyas ini bisa dipergunakan, apabila ketentuan hukum suatau

permasalahan tidak ditemukan penjelasannya dalam nash. Bahkan, Imam Syafi’i

menempatkannya sebagai alternative terakhir dalam memutuskan suatu persoalan.

Hal itu terlihat dari pernyataan Imam Syafi’i, bahwa pengetahuan itu bisa diperoleh

dari sumber al-Qur’an atau as-Sunnah.

Dalam merumuskan qiyas sebagai metode istinbath hukum, Imam Syafi’i

menyandarkan pendapatnya pada firman Allah. Sebab, hasil istidlal melalui qiyas ini,

seperti dikemukakannya sendiri tidak bisa dipandang benar olh pihak lain, adalah

bersifat relatif, bukan kebenaran absolut sebagaimana nash.

C. Nusyuz dalam Ijtihad Hukum Imam Al-Syafi’i

1. Dasar Hukum Nusyuz

Dalam menjelaskan perihal nusyuz Imam al-Syafi’i antara lain mengelaborasi

surat al-Nisa’ ayat 34, yaitu:

43Ibid., 227

Page 39: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

ãΑ%y Ìh�9 $# šχθ ãΒ≡§θs% ’n? tã Ï !$ |¡ÏiΨ9$# $ yϑ Î/ Ÿ≅āÒ sù ª!$# óΟ ßγŸÒ ÷èt/ 4’ n? tã <Ù ÷è t/ !$yϑ Î/ uρ (#θ à)x�Ρr& ôÏΒ öΝÎγÏ9≡uθ øΒr& 4 àM≈ys Î=≈¢Á9 $$sù ìM≈tGÏΖ≈s% ×M≈sà Ï�≈ym É=ø‹tó ù=Ïj9 $yϑÎ/ xáÏ� ym ª! $# 4 ÉL≈©9 $# uρ tβθ èù$ sƒrB �∅ èδy—θ à± èΣ �∅èδθ ÝàÏè sù

£èδρã� àf ÷δ$# uρ ’ Îû ÆìÅ_$ŸÒ yϑø9 $# £ èδθç/ Î�ôÑ$# uρ ( ÷β Î*sù öΝà6uΖ÷è sÛr& Ÿξ sù (#θäó ö7s? £Íκö� n=tã ¸ξ‹Î6y™ 3 ¨βÎ) ©! $# šχ%x.

$wŠÎ=tã # Z��Î6Ÿ2

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah

telah melebihkan mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.44

Ayat di atas menurut Imam al-Syafi’i diturunkan sesudah adanya larangan

seorang suami memukul istri.45 Larangan tersebut berasal dari sebuah hadits yang

diriwayatkan oleh Ibn ’Uyaynah, dari al-Zuhri, dari ’Abdullah bin Abdillah bin

’Umar, dari Iyas bin ’Abdillah bin Abi Dzubab, Nabi SAW bersabda yang artinya:

عم عليه وسل صلى اهللا اهللا رسولقال: ال قبابي ذ أب بن اهللا عبد بنسيا إن :ضرال توا بلى النساء عنرـئذ: القم ف عليه وسل صلى اهللا اهللا إىل رسولمر، فجاء ع اهللاماءإ

كثرياءس نم عليه وسل اهللالى ص اهللاولس رآل بافطأ، فـهنبري ض فخصر فنهأزواجيونكشأزواج هالق فنب النم صلى اهللا عليه وسلي :طلقد آلـ بافم حساء ندمكثري يونكشأزواج هنليس خ ب أولئكمكاري.

44Al-Qur’an dan terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif,1990), 123 45 Muhammad bin Idris as-Syafi’i (selanjutnya disebut al-Syafi’i), al-Umm (Juz II, Beirut, Dar al-Fikr, tth.), 207

Page 40: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Dari Iyas bin Abdillah bin Abi dzubab, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian

memukul hamba-hamba perempuan Allah. Kemudian Umar RA datang kapada

Rasulullah SAW dan berkata: perempuan-perempuan itu telah berbuat durhaka

terhadap suaminya, kemudian Rasul memperbolehkan memukul mereka. Kemudian

perempuan-perempuan itu mendatangi keluarga Rasulullah untuk mengadukan

suami-suami mereka. Rasulullah bersabda: perempuan-perempuan yang telah

mengadukan suami- suami mereka,mereka bukanlah istri-istri yang baik.46.

Di samping itu Imam al-Syafi’i juga mengutip ayat ke 128 dalam surat al-

Nisa’, yakni:

ÈβÎ)uρ îοr& z÷ö∆$# ôMsù%s{ .ÏΒ $ yγÎ=÷è t/ # �—θ à±çΡ ÷ρ r& $ ZÊ# {� ôã Î) Ÿξsù yy$ oΨ ã_ !$ yϑ Íκö� n=tæ β r& $ ysÎ=óÁ ム$yϑ æηuΖ÷� t/ $[s ù=ß¹ 4 ßxù=÷Á9 $#uρ ×�ö� yz 3 ÏN u�ÅØ ômé&uρ Ú[ à�ΡF{ $# £x’±9 $# 4 β Î)uρ (#θ ãΖÅ¡ ós è? (#θà)−G s? uρ �χÎ* sù ©!$# šχ%x. $yϑ Î/

šχθ è=yϑ ÷è s? # Z��Î6yz

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz dan sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.47

2. Prosedur Penanganan Nusyuz

Terdapat perbedaan antara penanganan nusyuz yang dilakukan oleh istri

dengan nusyuz yang dilakukan oleh suami. Keterangan yang diberikan Imam al-

Syafi’i tentang cara menangani nusyuz seorang istri lebih mudah ditemukan

dibandingkan penjelasannya tentang cara mengatasi nusyuz suami.

46Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 830. 47Al-Qur’an dan terjemahnya, Op.Cit.,143

Page 41: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Dalam al-Umm al-Syafi’i menyatakan:

حيتمل إذا رأى الدالالت يف إيغال املرأة وإقباهلا على النشوز " والاليت ختافون نشوزهن" 48فكان للخوف موضع أن يعظها فإن أبدت نشوزا هجرها، فإن أقامت عليه ضرا

”Dan wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya ” mengandung arti

jika suami melihat gelagat seorang istri melakukan nusyuz maka kekhawatirkan tersebut memberikan tempat bagi suami untuk memberikan nasehat terhadap istrinya itu. Jika sang istri tetap pada sikapnya maka suami boleh meninggalkan ranjangnya, namun bila istri tidak berubah maka suami boleh memukulnya.”

Pada potongan ayat ’wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya

(wallatiy takhafuna nusyuzahunn)’ pada surat al-Nisa’ ayat 34 di atas mengandung

arti bahwa jika seorang suami melihat tanda-tanda istrinya berbuat nusyuz, sementara

ia merasa khawatir dengan perilaku istrinya itu, maka hal tersebut cukup menjadi

alasan bagi sang suami untuk menasehati istrinya itu.

Seandainya sang istri bersikukuh dengan sikapnya itu, maka suami

diperbolehkan meninggalkan (al-hijrah) tempat tidurnya dalam arti tidak menggauli

istrinya sebagaimana wajarnya. Namun jika sang istri tetap pada pendiriannya, saat

itulah suami boleh memukulnya (al-dlarb).49

Selanjutnya al-Syafi’i mengatakan:

..وذلك أن العظة مباحة قبل فعل املكروه

”Hal tersebut adalah bahwa memberikan nasehat diperbolehkan sebelum seorang suami melakukan suatu perbuatan yang tidak disukai..”

Prosedur penanganan secara bertahap ini didasari oleh pertimbangan bahwa

memberi nasehat (al-’idzdzah) mubah hukumnya sebelum seseorang melakukan

48 Al-Syafi’i, Op. Cit., 120 49 Ibid.,

Page 42: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

perbuatan yang –dalam keadaan normal– dilarang, dalam hal ini adalah ’pisah

ranjang’ dan memukul istri.

وإذا رجعت الناشز عن النشوز مل يكن لزوجها هجرا والضرا ألنه إمنا أبيحا له 50 .ته فقد زايلت املعىن الذي أبيحا له بهبالنشوز فإذا زايل

”Ketika seorang istri sadar dan tidak melakukan nusyuz lagi maka sang

suami dilarang meninggalkan ranjangnya dan memukul istrinya, karena dua hal tersebut diperbolehkan oleh sebab adanya nusyuz sehingga sewaktu nusyuz tersebut hilang maka faktor yang membolehkan dua hal di atas juga ikut hilang.”

Oleh karenanya, ketika sang istri telah sadar dan kembali memenuhi

kewajibannya terhadap pasangannya maka sang suami tidak lagi dibenarkan untuk

’pisah ranjang’ atau memukulnya.

واهلجرة التكون إال مبا حيل به اهلجرة ألن اهلجرة حمرمة يف غري هذا املوضع فوق ثالث

”Pisah ranjang (hijrah) tidak diperkenankan kecuali dalam hal dimana

hijrah itu diperbolehkan , sebab hijrah (pisah) selain dalam situasi ini diharamkan di atas tiga hari.”51

Meninggalkan istri di tempat tidurnya (al-hijrah) tidak boleh dilakukan

kecuali pada situasi yang diperkenankan. Dan selain karena alasan nusyuz istri

seorang suami sama sekali dilarang untuk melakukan hal tersebut melebihi waktu

tiga hari.

ضجع حىت ترجع عن النشوز والجيوز فيها يف هجرة الكالم ثالثا ألن اهللا ويهجرها يف املقال والجيوز . عز وجل إمنا اهلجرة يف املضجع واهلجرة يف املضجع تكون بغري هجرة كالم

ألحد أن يضرب واليهجر مضجعا بغري بيان نشوزها

”Diperbolehkan meninggalkan istri dalam hal hubungan badan sampai istri

berhenti nusyuz, dan tidak diperbolehkan meninggalkan istri dalam hal komunikasi

50Ibid., 51Ibid.,208

Page 43: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

(tidak saling sapa) lebih dari tiga hari, karena Allah SWT tidak memperbolehkan hal itu. Dan tidak diperbolehkan bagi suami untuk memukul dan pisah ranjang terhadap istri yang tidak terlihat tanda-tanda nusyuznya.”52

Namun perlu diingat bahwa kebolehan tersebut hanya terbatas meninggalkan

istri di tempat tidurnya, tidak bersikap acuh dalam percakapan sehari-hari (wa al-

hijrah fi al-madlja’ takunu bighair hijrah kalam). Dan itupun dilakukan setelah sang

suami menjelaskan duduk perkaranya, yakni nusyuz sang istri tersebut.

Sementara itu memukul istri sebagai alternatif terakhir dalam masalah ini

meniscayakan adanya penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan oleh istri

tersebut. Atau dalam kalimat al-Syafi’i:

الضرب اليكون إال ببيان الفعل، فاآلية يف العظة واهلجرة والضرب على بيان الفعل تدل على أن حاالت املراة يف اختالف ما تعاتب فيه وتعاقب من العظة واهلجرة والضرب

..خمتلفة

”Memukul istri tidak boleh dilakukan tanpa terlebih dahulu menerangkan perbuatannya. Ayat tentang pemberian nasehat, hijrah, dan pemukulan terhadap istri dengan diiringi penjelasan untuk memberikan penjelasan tentang perbuatan tersebut menunjukkan bahwa perilaku istri yang bertentangan dengan alasan memberikan nasehat, hijrah, dan pemukulan istri tidak sama.”

53واليبلغ يف الضرب حدا واليكون مربحا والمدميا ويتوقى فيه الوجه

”Janganlah melewati batas dalam pemukulan, tidak diperbolehkan pukulan

yang menyakiti, yang membuat berdarah, dan pukulan diwajah.”

Dan perlu juga untuk diingat bahwa memukul dalam konteks ini tidak boleh

dilakukan hingga membuat istri kesakitan apalagi sampai mengeluarkan darah.

Dengan kata lain pukulan tersebut sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyakiti

52Ibid 53Ibid.,

Page 44: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

istri. Selain itu pukulan suami tersebut juga tidak boleh diarahkan pada bagian wajah

istrinya.

إذا نشزن فابن النشوز فكن عاصيات به أن جتمعوا " ختافون نشوزهن "وحيتمل يف 54عليهن العظة واهلجرة والضرب

Dalam kalimat ”yang kalian khawatirkan nusyuznya” terkandung makna

bahwa jika para istri nusyuz maka mereka telah berlaku maksiat terhadap suami (dengan demikian suami diperbolehkan) merangkap dengan memberikan nasehat, hijrah, dan memukul.

Pada potongan ayat ’yang kamu khawatirkan nusyuz-nya (takhafuna

nusyuzahunn)’, menurut al-Syafi’i, terdapat indikasi yang menunjukkan adanya

kebolehan bagi suami untuk melakukan secara sekaligus (al-jam’) tiga tahapan di

atas. Namun hal tersebut tetap dengan memperhatikan urutannya.

وذا كله نأخذ والقرأن يدل على مثل معاين األحاديث بأن بينا فيه إذا ) قال الشافعي( عنها بكراهيته هلا بأس عليهما من يصاحلا ونشوز البعلخافت املرأة نشوز بعلها أن ال

..وذلك أين وجدت اهللا عز وجل أذن يف نشوز الزوج أن يصطلح

“(Imam al-Syafi’i berkata) dengan keseluruhan hal ini kita mengambilnya dan al-Qur’an menunjukkan makna yang serupa dengan hadits-hadits dengan menerangkan bahwa jika seorang istri khawatir terhadap nusyuz suaminya maka diperbolehkan bagi keduanya untuk berdamai. Nusyuz suami terhadap istrinya disebabkan oleh ketidaksukaannya terhadapnya. Dalam hal tersebut saya memahami Allah ‘Azza wa Jalla mengizinkan perdamaian dalam persoalan nusyuz suami…”

فأباح اهللا تعاىل له حبسها على الكره هلا فلها وله أن يصاحلا ويف ذلك دليل على أن 55 .صلحها إياه بترك بعض حقها له

”Allah SWT memperbolehkan kepada seorang suami untuk mempertahankan

perkawinannya dengan istrinya yang sudah tidak disukainya lagi, dan bagi keduanya

54Ibid., 55Ibid., 202

Page 45: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

untuk mengadakan perdamaian dengan merelakan sebagian hak istri atas suaminya.”

Prosedur penanganan nusyuz istri seperti diuraikan al-Syafi’i di atas berbeda

dengan nusyuz yang dilakukan oleh pihak suami. Jika nusyuz istri boleh diatasi

dengan tiga tahapan metode di atas, maka nusyuz suami cukup diselesaikan melalui

perdamaian (al-shulh) antara kedua belah pihak, suami dan istri.

وهو ما ذكرنا مما هلا عليه يف بعض األمور من مؤنتها وله عليها مما ليس هلا عليه ولكل 56 .واحد منهما على صاحبه

”Ayat tersebut seperti telah kami sebutkan bahwa sebagian masalah suami

memiliki hak atas istrinya terkait nafkahnya di mana sang istri tidak memiliki hak tersebut atas suaminya, dan pada sebagian yang lain istri memiliki hak atas suaminya di mana sang suami tidak memiliki hak yang sama atas istrinya.”

Perbedaan metode ini, dalam pandangan al-Syafi’i, disebabkan pada sebagian

masalah suami memiliki hak atas istrinya di mana sang istri tidak memiliki hak

tersebut atas suaminya, dan pada sebagian yang lain istri memiliki hak atas suaminya

di mana sang suami tidak memiliki hak yang sama atas istrinya.

3. Implikasi Hukum dari Adanya Nusyuz

وثىن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ذلك وأذن يف نشوز املرأة بالضرب وأذن يف ..خوفهما أن اليقيما حدود اهللا باخللع

“Rasulullah SAW memperbolehkan dalam nusyuznya perempuan dengan

pukulan, dan memperbolehkan khuluk jika keduanya khawatir tidak dapat menegakkan hak-hak Allah.”

56Ibid., 124; 203

Page 46: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

فيحل للرجل حبس املرأة على ترك بعض القسم هلا أوكله ما طابت به نفسا فإذا رجعت ..فيه مل حيل له إال العدل هلا أو فراقها

“Suami diperbolehkan untuk mempertahankan hubungan suami istri dengan

meninggalkan sebagian hak gilir istri atau keseluruhannya, namun apabila istri telah taat kembali kepada suami, maka seorang suami harus bersikap adil terhadap istrinya atau menceraikannya.”

Seorang suami yang mendapati istrinya sedang nusyuz dibebaskan dari

sebagian tanggung jawabnya terhadap istrinya itu. Dalam hal nafkah misalnya, suami

tidak mendapatkan ancaman hukuman apapun seandainya ia tidak memenuhi nafkah

istrinya. Bagi seorang suami dengan istri yang lebih dari satu boleh tidak

menunaikan penggiliran (al-qasm) terhadap istri yang sedang nusyuz.57

Namun demikian ketika istri telah berhenti dari nusyuz maka suami kembali

diharuskan memenuhi kewajibannya. Dalam hal nafkah, ia harus kembali

memberikan nafkah kepada istrinya sebagaimana saat sebelum sang istri nusyuz.

Atau dalam hal penggiliran istri-istri dalam rumah tangga poligini, suami harus

kembali bersikap adil.58

فإن رجعت واليعلم بالرجوع فأقام على ما حللته منه مث علم أن قد رجعت إستأنف . العدل من يوم علم والبأس عليه فيما مضى

”Jika istri tidak lagi nusyuz namun suaminya tidak mengetahui hal itu dan

suami masih bersikap sebagaimana ketika istri nusyuz, kemudian ia mengetahui bahwasannya istri telah berhenti nusyuz, maka suami harus kembali bersikap adil saat ia mengetahui hal tersebut dan sikapnya yang keliru itu dimaafkan.”

Seandainya sang suami tidak mengetahui bahwa istrinya telah berhenti dari

nusyuz maka pada saat ia mengetahui hal tersebut ia harus kembali memenuhi

57Ibid., 208 58Ibid., 203

Page 47: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

kewajiban-kewajibannya. Adapun kewajiban-kewajiban yang ia alpakan ketika ia

tidak menyadari bahwa istrinya telah berhenti dari nusyuz tidak menjadi persoalan.59

Tabel Pendapat Imam al-Syafi’i

No. Pendapat al-Syafi’i

Istri Suami

1. Kecenderungan arti

Pembangkangan Ketidaksenangan

2. Prosedur penanganan

Dinasehati (fa’idhuhunn); pisah ranjang (wa idlribuhunn fi al-madlaji’); dipukul (idlribuhunn).

Dengan merelakan hak-hak istri yang tidak dipenuhi suami agar kembali senang terhadap istri.

3. Implikasi hukum Istri bias kehilangan hak-haknya.

Suami tidak dapat kehilangan hak-haknya kecuali jika melampaui batasan.

59Ibid.,

Page 48: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

BAB III

PARADIGMA GENDER DALAM RELASI SUAMI-ISTRI

A. Gagasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Sosial-Masyarakat

1. Definisi Gender

Menurut Mansour Faqih, hingga saat ini masih terjadi banyak

kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan gender dan kaitannya dengan

tuntutan emansipasi kaum wanita. Istilah ’gender’ yang biasanya juga disebut

’jender’ dalam Bahasa Indonesia merupakan serapan dari Bahasa Inggris ’gender’.60

Untuk memahami gagasan serta gerakan gender perlu terlebih dahulu

dipahami istilah gender tersebut. Gender berbeda dengan sex (jenis kelamin). Jika

sex mengacu pada organ biologis manusia yang ditentukan oleh ada tidaknya penis,

testis, dan jakun –untuk laki-laki, dan vagina, ovarium, dan kelenjar payudara –untuk

60Mansour Faqih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial (Jakarta: Paramadina, 2001), 24

Page 49: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

perempuan, maka gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau

perempuan yang terkonstruksi secara sosial atau kultural.

Atribut biologis melekat pada diri manusia. Artinya, alat atau organ biologis

yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki tersebut tidak dapat dipertukarkan satu

sama lain. Secara permanen organ-organ tersebut tidak berubah dan merupakan

ketentuan biologis atau seringkali disebut sebagai kodrat.

Berbeda dengan atribut biologis, atribut gender ditunjukkan misalnya pada

karakter lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan pada perempuan; dan kuat,

rasional, jantan, dan perkasa pada kaum laki-laki. Perbedaan antara gender dengan

sex dengan demikian adalah bahwa ciri-ciri gender dapat dipertukarkan. Ada laki-

laki yang lemah lembut, emosional, dan keibuan sebagaimana juga ada perempuan

yang kuat, rasional, dan perkasa.

Hillary M. Lips dalam bukunya, Sex and Gender: an Introduction

mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan

perempuan (cultural expectations for women and men). Sedangkan H.T. Wilson

dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan

perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan

kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.61

Sejarah pembedaan gender sekaligus berbagai karakter yang dilekatkan

padanya dengan berdasar pada perbedaan jenis kelamin biologis terjadi melalui

proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan gender tersebut dikarenakan

oleh banyak hal, di antaranya karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan

61Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001),34

Page 50: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

dikonstruksi secara sosial atau kultural, termasuk di antaranya melalui ajaran agama

dan kebijakan negara.

2. Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender

Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an dan hadits memuat pandangan serta

detail ketentuan yang menurut masyarakat modern mungkin dinilai kurang

memberikan peluang kepada perempuan untuk mendapatkan akses dalam aspek-

aspek kehidupan tertentu. Namun demikian hal tersebut bisa dipahami mengingat

situasi sosial dan kultural masyarakat Arab ketika itu begitu merendahkan derajat

perempuan. Sementara al-Qur’an dan hadits tidak melakukan kritik terhadap

kebiasaan dan tradisi masyarakat Jahiliyah tersebut secara revolusioner tanpa

tahapan.

Misi al-Qur’an memang mengadakan perombakan dalam hal akidah, hukum,

dan akhlak masyarakat Arab ketika itu, namun semuanya dilakukan secara gradual

dan melewati tahap-tahap tertentu. Di samping itu al-Qur’an sebenarnya telah

memberikan prinsip-prinsip umum berkaitan dengan relasi suami-istri dalam institusi

keluarga.

Menurut Nur Jannah Ismail dalam bukunya perempuan dalam pasungan: bias

laki-laki dala penafsiran terdapat beberapa prinsip-prinsip kesetaraan jender, antara

lain:

a. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT62 Tujuan penciptaan manusia adalah sebagai makhluk yang menghamba

terhadap Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Dzariyat ayat 56

sebagai berikut: 62Nurjannah Ismail (selanjutnya disebut Ismail), Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKiS, 2003), 285

Page 51: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

$ tΒuρ àMø) n=yz £Åg ø:$# }§Ρ M}$# uρ āω Î) Èβρ ߉ ç7÷è u‹Ï9 ∩∈∉∪

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.63

Kedudukan manusia baik laki-laki atau perempuan sebagai hamba Allah

menunjukkan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya

sama-sama memiliki potensi dan peluang untuk menjadi hamba yang ideal, atau

dalam istilah al-Qur’an dinamakan muttaqqin (orang-orang yang bertaqwa). Hal ini

selaras dengan firman allah dalam surat al-Hujurat ayat 13:

$ pκš‰ r'‾≈tƒ â¨$ ¨Ζ9 $# $‾Ρ Î) /ä3≈oΨ ø) n= yz ÏiΒ 9� x. sŒ 4 s\Ρé& uρ öΝä3≈oΨ ù=yè y_ uρ $ \/θãè ä© Ÿ≅Í←!$ t7s% uρ (# þθèù u‘$ yè tG Ï9 4 ¨βÎ) ö/ä3tΒt� ò2 r& y‰Ψ Ïã

«! $# öΝä39s) ø? r& 4 ¨βÎ) ©! $# îΛÎ=tã ×��Î7yz ∩⊇⊂∪

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal64.

Dalam konteks kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ayat-ayat al-Qur’an

yang menunjukkan kelebihan laki-laki dari perempuan seperti surat al-Baqarah ayat

228 bahwa laki-laki setingkat lebih tinggi daripada perempuan; surat al-Nisa’ ayat 34

bahwa laki-laki berhak memperoleh warisan lebih banyak; surat al-Baqarah ayat 282

bahwa laki-laki menjadi saksi yang efektif; surat al-Nisa’ ayat 3 bahwa laki-laki

boleh berpoligami bagi yang memenuhi syarat, tidak serta-merta menyebabkan laki-

laki menjadi hamba yang utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diturunkan kepada

63Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,862. 64Ibid.,847

Page 52: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik

dan sosial lebih ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.

Penghargaan terhadap laki-laki dan perempuan, dalam kapasitas keduanya

sebagai hamba Allah, disesuaikan dengan kadar pengabdiannya. Hal ini dijelaskan

dalam surat al-Nahl ayat 97:

ôtΒ Ÿ≅ Ïϑtã $[s Î=≈|¹ ÏiΒ @� Ÿ2sŒ ÷ρr& 4 s\Ρé& uθ èδuρ ÖÏΒ÷σ ãΒ …çµ ¨Ζt� Í‹ós ãΖn=sù Zο 4θ u‹ym Zπt6ÍhŠsÛ ( óΟ ßγΨ tƒÌ“ôf uΖs9 uρ Νèδt� ô_ r&

Ç |¡ôm r'Î/ $ tΒ (#θçΡ$ Ÿ2 tβθ è=yϑ÷è tƒ ∩∠∪

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan65.

b. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi66

Di samping sebagai hamba yang memiliki ketundukan dan kepatuhan

terhadap Allah SWT, penciptaan manusia adalah juga sebagai khalifah di muka bumi

(khalifah fi al-ardl). Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi dijelaskan

dalam surat al-An’am ayat 165 berikut:

uθèδuρ “Ï% ©!$# öΝà6 n=yè y_ y#Í×‾≈n=yz ÇÚ ö‘F{ $# yì sù u‘uρ öΝä3 ŸÒ ÷èt/ s−öθ sù <Ù ÷è t/ ;M≈y_ u‘yŠ öΝä. uθ è=ö7uŠÏj9 ’ Îû !$ tΒ ö/ä38 s?# u 3 ¨β Î) y7−/ u‘ ßìƒÎ� |� É>$ s) Ïè ø9 $# …çµ ‾Ρ Î)uρ Ö‘θ à� tós9 7ΛÏm §‘ ∩⊇∉∈∪

Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikannya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaannya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang67.

65Ibid., 66Ismail, Op.Cit.,287 67Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,217.

Page 53: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Dalam ayat lain, yakni dalam surat al-Baqarah ayat 30:

øŒÎ)uρ tΑ$ s% š�•/ u‘ Ïπ s3Í×‾≈n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) ×≅ Ïã%y ’ Îû ÇÚ ö‘F{ $# Zπx�‹Î=yz ( (# þθ ä9$ s% ã≅ yèøgrB r& $pκ� Ïù tΒ ß‰ Å¡ ø� ム$ pκ� Ïù à7Ï� ó¡ o„uρ

u !$tΒÏe$!$# ßøt wΥuρ ßxÎm7|¡çΡ x8 ωôϑpt ¿2 ⨠Ïd‰ s) çΡuρ y7s9 ( tΑ$ s% þ’ÎoΤÎ) ãΝn=ôãr& $ tΒ Ÿω tβθ ßϑn=÷è s? .

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya

Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui68.”

Kata khalifah pada kedua ayat di atas tidak menunjuk pada jenis kelamin atau

kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan serta kelompok suku atau bangsa

manapun sama-sama memiliki hak menjadi khalifah.

c. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial69

Seperti diketahui, ketika seorang anak manusia dilahirkan dari rahim ibunya,

ia terlebih dahulu menerima perjanjian dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan dalam

al-Qur’an surat al-A’raf ayat 172:

øŒÎ)uρ x‹ s{ r& y7•/ u‘ .ÏΒ û Í_t/ tΠyŠ# u ÏΒ óΟ Ïδ Í‘θ ßγàß öΝåκtJ −ƒÍh‘èŒ öΝèδ y‰ pκô−r& uρ #’ n?tã öΝÍκŦà�Ρ r& àMó¡ s9 r& öΝä3În/ t�Î/ ( (#θä9$s% 4’ n?t/ ¡

!$ tΡô‰ Îγx© ¡ χr& (#θ ä9θà) s? tΠöθtƒ Ïπ yϑ≈uŠÉ) ø9 $# $ ‾ΡÎ) $ ¨Ζà2 ôtã # x‹≈yδ t,Î# Ï�≈xî ∩⊇∠⊄∪

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam

dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”70.

68Ibid.,13. 69Ismail, Op.Cit.,290 70Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,250.

Page 54: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Tidak ada seorang manusia pun yang lahir ke dunia yang tidak berikrar

tentang keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Dalam

Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yakni

semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal

adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan menyatakan ikrar

ketuhanan yang sama.

d. Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis71

Ayat-ayat yang menceritakan drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan

adam dan hawa di surga hingga ketika diturunkan ke bumi, selalu menekankan kedua

pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma) yang

merujuk pada keduanya, seperti dapat dilihat pada beberapa kasus berikut:

1) Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga, terdapat dalam

surat al-Baqarah ayat 35:

$ uΖù=è%uρ ãΠyŠ$ t↔‾≈tƒ ôä3 ó™$# |MΡ r& y7ã_ ÷ρy—uρ sπ ¨Ψ pgø:$# Ÿξä. uρ $ yγ÷ΖÏΒ # ´‰xîu‘ ß] ø‹ym $ yϑ çFø⁄Ï© Ÿω uρ $ t/t� ø) s? Íν É‹≈yδ nο t� yf ¤±9$#

$ tΡθ ä3tFsù z ÏΒ tÏΗÍ>≈©à9 $# ∩⊂∈∪

Dan kami berfirman: ”Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”72.

2) Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan, seperti ditunjukkan

dalam surat al-A’raf ayat 20:

71Ismail, Op.Cit.,288. 72Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,14

Page 55: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

} uθ ó™uθ sù $ yϑçλm; ß≈sÜ ø‹¤±9 $# y“ω ö7㊠Ï9 $ yϑçλm; $ tΒ y“Í‘…ãρ $ yϑ åκ÷] tã ÏΒ $ yϑÎγÏ?≡u öθ y™ tΑ$s% uρ $tΒ $ yϑä38 uη tΡ $ yϑä3š/ u‘ ô tã

Íν É‹≈yδ Íο t� yf ¤±9$# HωÎ) βr& $ tΡθ ä3s? È ÷s3n=tΒ ÷ρ r& $tΡθä3 s? zÏΒ t Ï$ Î#≈sƒ ø:$# ∩⊄⊃∪

Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka (yaitu auratnya) dan syaitan berkata: ”Tuhan kamu tidak melarangmu dari (mendekati) pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).”73

3) Keduanya memakan buah khuldi dan sama-sama menanggung akibat jatuh ke

bumi, disebutkan dalam surat al-A’raf ayat 22:

$ yϑßγ9©9 y‰ sù 9‘ρ á� äóÎ/ 4 $£ϑn=sù $s%# sŒ nοt� yf ¤±9 $# ôN y‰t/ $ yϑçλm; $ yϑåκèE≡u öθ y™ $ s)Ï� sÛuρ Èβ$ x�ÅÁøƒ s† $ yϑÍκö� n=tã ÏΒ É− u‘uρ Ïπ ¨Ψ pg ø:$# ( $ yϑßγ1yŠ$ tΡ uρ !$ yϑ åκ›5 u‘ óΟ s9 r& $yϑä3 pκ÷Ξr& tã $ yϑä3 ù=Ï? Íο t� yf¤±9 $# ≅è% r& uρ !$ yϑä3 ©9 ¨βÎ) z≈sÜ ø‹¤±9 $# $ yϑä3s9 Aρ ߉ tã ×Î7•Β ∩⊄⊄∪

”Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu

daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: ”Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan padamu: ”Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”74

4) Sama-sama memohon ampunan dan sama-sama diampuni oleh Allah SWT,

terdapat dalam surat al-A’raf ayat 23:

Ÿω$s% $uΖ−/ u‘ !$ oΨ ÷Ηs> sß $uΖ|¡ à�Ρ r& β Î)uρ óΟ ©9 ö� Ï� øós? $uΖs9 $oΨ ôϑ ymö� s? uρ ¨ sðθä3 uΖs9 zÏΒ zƒÎ� Å£≈y‚ ø9 $# ∩⊄⊂∪

Keduanya berkata: ”Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami

sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. 75

73Ibid.,223. 74Ibid. 75Ibid.,224.

Page 56: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

5) Ketika berada di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling

melengkapi dan saling membutuhkan, seperti dijelaskan dalam al-Baqarah ayat

187:

¨≅ Ïmé& öΝà6s9 s's# ø‹s9 ÏΘ$uŠ Å_Á9$# ß]sù §�9$# 4’ n<Î) öΝä3Í←!$ |¡ ÎΣ 4 £èδ Ó¨$ t6Ï9 öΝä3 ©9 öΝçFΡ r& uρ Ó¨$ t6Ï9 £ßγ©9 3 zΝÎ=tæ ª! $# öΝà6 ‾Ρr&

óΟ çGΨ ä. šχθ çΡ$tFøƒrB öΝà6 |¡à�Ρ r& z>$ tG sù öΝä3ø‹n=tæ $x� tã uρ öΝä3Ψ tã ( z≈t↔ ø9 $$ sù £èδρ ç�ų≈t/ (#θäótF ö/ $#uρ $ tΒ |=tFŸ2 ª! $#

öΝä3 s9 4 (#θ è=ä. uρ (#θç/u� õ°$# uρ 4®L ym t ¨t7oKtƒ ãΝä3s9 äÝø‹sƒ ø:$# âÙ u‹ö/ F{ $# zÏΒ ÅÝø‹sƒ ø:$# ÏŠuθó™F{ $# z ÏΒ Ì� ôfx� ø9 $# ( ¢Ο èO (#θ‘ϑÏ?r&

tΠ$ u‹Å_Á9$# ’ n<Î) È≅ øŠ©9 $# 4 Ÿωuρ �∅ èδρç� ų≈t7è? óΟçFΡ r& uρ tβθ à� Å3≈tã ’ Îû ω Éf≈|¡ yϑø9 $# 3 y7ù=Ï? ߊρ ߉ ãn «! $# Ÿξsù $ yδθç/t� ø) s? 3 y7Ï9≡x‹ x. ÚÎit6ムª! $# ϵÏG≈tƒ# u Ĩ$ ¨Ψ=Ï9 óΟ ßγ‾=yè s9 šχθ à)−G tƒ ∩⊇∇∠∪

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan

isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”76

e. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi77

Allah SWT memberikan peluang yang sama besarnya kepada laki-laki

maupun perempuan untuk meraih prestasi dalam berbagai lini kehidupan. Hal ini

ditegaskan dalam surat Alu-Imran ayat 195 berikut:

76Ibid.,45. 77Ismail, Op.Cit., 294

Page 57: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

z>$ yf tFó™$$ sù öΝßγs9 öΝßγš/ u‘ ’ÎoΤr& Iω ßì‹ÅÊ é& Ÿ≅ uΗxå 9≅ Ïϑ≈tã Νä3Ψ ÏiΒ ÏiΒ @� x.sŒ ÷ρ r& 4 s\Ρ é& ( Νä3àÒ ÷èt/ . ÏiΒ <Ù ÷è t/ ( t Ï% ©!$$ sù

(#ρã� y_$yδ (#θ ã_Ì� ÷zé& uρ ÏΒ öΝÏδ Ì�≈tƒÏŠ (#ρ èŒρ é&uρ ’ Îû ’ Í?‹Î6 y™ (#θè=tG≈s% uρ (#θè=ÏFè% uρ ¨βt� Ïe� x. _{ öΝåκ÷] tã öΝÍκÌE$ t↔Íh‹y™ öΝßγΨ n=Ï{÷Š _{ uρ

;M≈Ζy_ “Ì� øg rB ÏΒ $ pκÉJ øtrB ã�≈yγ÷Ρ F{ $# $ \/#uθ rO ôÏiΒ Ï‰ΨÏã «! $# 3 ª! $# uρ …çν y‰Ψ Ïã ßó¡ ãm É># uθ ¨W9 $# ∩⊇∈∪

Maka Tuhan mereka memperkenalkan permohonannya (dengan berfirman),

”Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik78.

Demikian juga dalam surat al-Nahl ayat 97:

ô tΒ Ÿ≅Ïϑ tã $ [sÎ=≈|¹ ÏiΒ @� Ÿ2 sŒ ÷ρr& 4 s\Ρ é& uθ èδuρ ÖÏΒ÷σ ãΒ …çµ ¨Ζt� Í‹ósãΖn=sù Zο 4θu‹ym Zπ t6 ÍhŠsÛ ( óΟ ßγΨ tƒÌ“ ôf uΖs9 uρ Νèδt� ô_ r&

Ç |¡ôm r'Î/ $ tΒ (#θçΡ$ Ÿ2 tβθ è=yϑ÷è tƒ ∩∠∪ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun

perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan79.

Surat al-Nisa’ ayat 124:

∅ tΒuρ ö≅ yϑ÷ètƒ zÏΒ ÏM≈ys Î=≈¢Á9 $# ÏΒ @� Ÿ2 sŒ ÷ρr& 4 s\Ρ é& uθ èδuρ ÖÏΒ÷σ ãΒ y7Í×‾≈s9 'ρ é' sù tβθ è=äzô‰ tƒ sπΨ yf ø9 $# Ÿω uρ tβθ ßϑn=ôà ãƒ

# Z��É) tΡ ∩⊇⊄⊆∪

Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun

wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun80.

78Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,110. 79Ibid., 80Ibid.,142.

Page 58: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

3. Manifestasi Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah keadaan dimana laki-laki dan perempuan

memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang sama besar dan sama

luasnya dalam aktifitas kehidupan, baik dalam ranah publik maupun domestik.

Kesetaraan yang berkeadilan gender merupakan kondisi yang dinamis dimana laki-

laki dan perempuan sama-sama memiliki hak sekaligus sama-sama mengemban

kewajiban yang mana interaksi antara keduanya dilandasi oleh sikap saling

menghormati dan hubungan kemitraan yang seimbang di berbagai sektor kehidupan.

Adanya perbedaan gender (gender differences) melahirkan ketidakadilan

gender (gender inequalities). Perbedaan gender mengakibatkan munculnya sifat dan

stereotype (simbol atau penandaan) yang seringkali dianggap sebagai ketentuan

kodrati atau ketentuan Tuhan. Padahal sifat dan stereotype sebenarnya hanya

merupakan konstruksi atau rekayasa sosial. Stereotype pada perempuan seringkali

menempatkan mereka pada wilayah yang sangat rawan, seperti dicontohkan di

bawah ini:81

a. Perbedaan dan pembagian gender termanifestasi dalam subordinasi posisi kaum

perempuan di hadapan laki-laki. Subordinasi ini terjadi di seluruh tataran

masyarakat, birokrasi pemerintahan, bahkan dalam kehidupan rumah tangga.

Banyak sekali contoh kasus baik dalam tradisi masyarakat, tafsir keagamaan,

maupun dalam aturan birokrasi di mana kaum perempuan diletakkan dalam

posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Misalnya, persyaratan bagi

perempuan yang hendak menunaikan tugas belajar ke luar negeri ia harus

81Mansour, Op.Cit, 34

Page 59: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

mendapat izin dari suami, sebaliknya suami tidak dibebani persyaratan izin dari

istri.

b. Secara ekonomis, perbedaan gender melahirkan proses marginalisasi perempuan.

Misalnya, dengan hanya mengakui kemampuan laki-laki sebagai ’lebih cekatan’

dalam menyelesaikan urusan pekerjaan tertentu maka suatu perusahaan kurang

memberikan ruang bagi perempuan untuk menempati suatu posisi dalam

perusahaan tersebut. Perlakuan semacam ini tidak terasa telah menggusur peran

kaum perempuan ke arah garis marginal. Pada beberapa sektor dalam aspek

kehidupan manusia modern seringkali kemampuan perempuan dianggap kurang

produktif dan bernilai rendah sehingga mendapat imbalan ekonomis yang lebih

rendah.

c. Perbedaan gender menimbulkan stereotype tertentu bagi kaum perempuan.

Stereotype merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural berupa

pemberian label yang memojokkan pihak tertentu sehingga sangat merugikan

posisi dan kondisi pihak tersebut. Misalnya, stereotype perempuan sebagai ’ibu

rumah tangga’. Akibat adanya stereotype tersebut ketika kaum perempuan

berniat aktif dalam kegiatan yang masuk wilayah publik seperti kegiatan politik

praktis, bisnis, atau pekerjaan tertentu di pemerintahan, maka hal tersebut

dianggap bertentangan dan tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Di samping

itu stereotype laki-laki sebagai ’pencari nafkah’ menjadikan apa saja yang

dihasilkan oleh kaum perempuan sebagai ’sambilan atau tambahan’ dan

cenderung kurang dianggap dan kurang dihargai.

d. Perbedaan gender membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dan lebih

panjang. Pada umumnya, dalam kehidupan rumah tangga ada beberapa jenis

Page 60: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan pekerjaan yang bisa dilakukan

oleh perempuan. Namun kenyataannya, dalam beberapa penelitian yang

dilakukan, hampir 90% pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan.

Pembagian tugas tersebut tidak berbeda secara signifikan sekalipun seorang

perempuan juga memiliki aktifitas di luar rumah (umpamanya buruh industri atau

profesi lainnya). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perempuan memikul

beban kerja ganda (double-burden), dirumah dan diluar rumah.

e. Perbedaan gender juga dapat melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence)

terhadap kaum perempuan. Bentuk kekerasan pada perempuan yang muncul

sebagai akibat adanya perbedaan gender adakalanya bersifat fisik seperti

pemerkosaan, persetubuhan antar-saudara sedarah (incest), pemukulan,

penyiksaan, dll, dan adakalanya bersifat non-fisik, misalnya pelecehan seksual

yang menyebabkan ketidaknyamanan perempuan secara emosional.

f. Perbedaan gender dengan segenap manifestasinya di atas mengakibatkan

semakin kokohnya citra, posisi, kodrat, dan peminggiran peran perempuan.

Dengan kata lain segenap manifestasi ketidakadilan gender itu sebenarnya

merupakan proses penjinakan (cooptation) perempuan, sehingga pada akhirnya

kaum perempuan sendiri akan menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada

saat itu sebagai sesuatu yang wajar dan kodrati.

Pelanggengan subordinasi posisi, stereotype, dan kekerasan terhadap kaum

perempuan ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan kultur patriarki,

yakni ideologi kelelakian. Ideologi ini ada di kepala kaum laki-laki maupun

Page 61: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

perempuan, juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara

dan birokrasi pembangunan.

Untuk mengakhiri peminggiran peran dan posisi kaum perempuan dalam

kehidupan rumah tangga maupun sosial masyarakat perlu diperhatikan beberapa hal

berikut, pertama, bahwa memperjuangkan kepentingan kaum perempuan bukan

berarti perjuangan melawan hegemoni laki-laki. Persoalan penindasan terhadap

perempuan bukanlah persoalan pada diri kaum laki-laki, melainkan persoalan pada

sistem dan struktur sosial masyarakat. Kedua, gerakan gender adalah gerakan

transformasi perempuan dan bukan gerakan untuk membalas dendam terhadap laki-

laki. Jika demikian, maka gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses untuk

menciptakan hubungan yang lebih seimbang antara sesama manusia yang secara

fundamental lebih baik dan baru. Untuk itu ada beberapa agenda guna mengakhiri

sistem yang selama ini merugikan kepentingan kaum perempuan, yaitu:82

1) Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan dengan cara melakukan

dekonstruksi ideologi, artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang

menyangkut nasib perempuan di mana saja serta pada tingkat dan bentuk apa

saja.

2) Melawan paradigma developmentalisme yang berasumsi bahwa keterbelakangan

kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam

pembangunan. Karena perempuan dianggap tidak mampu memecahkan

permasalahannya sendiri, maka program perlu didesain oleh perencana ahli yang

kemudian dikirimkan kepada mereka. Perempuan dianggap sebagai obyek

pembangunan, yakni diidentifikasi, diukur, dan diprogramkan. Perempuan juga

82Ibid., 39

Page 62: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

dianggap sebagai obyek pengembangan pengetahuan mereka. Karena ’knowledge

is power’ maka bisa dikatakan riset terhadap perempuan adalah juga proses

dominasi terhadap mereka.

Dengan adanya upaya seperti di atas maka diharapkan diskriminasi maupun

subordinasi terhadap perempuan dapat segera diakhiri. Pada akhirnya keadaan

masyarakat yang memberikan akses domestik maupun publik yang sama besarnya

terhadap perempuan dapat tercapai. Upaya ini merupakan proses pembentukan

konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. Secara lebih konkret

manifestasi kesetaraan dan keadilan gender tersebut antara lain meliputi:

1) Perlindungan hak-hak perempuan melalui instrumen hukum dan perundang-

undangan. Perempuan tidak dapat diperlakukan semena-mena oleh siapa pun

karena mereka dinilai memiliki hak-hak hukum yang sama besarnya di hadapan

hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

2) Perbaikan hukum keluarga. Perempuan mendapatkan hak untuk menentukan

jodoh, mendapatkan mahar, memiliki hak waris, adanya pembatasan dan

pengaturan poligini, adanya hak untuk mengajukan talak gugat, mengatur hak-

hak suami istri yang seimbang, dan hak pengasuhan anak.

3) Perempuan diperbolehkan mengakses peran-peran publik, mendatangi masjid,

mendapatkan hak pendidikan, mengikuti peperangan, hijrah bersama Nabi

SAW., melakukan bai’at di hadapan Rasulullah SAW dan peran pengambilan

keputusan.

4) Perempuan mempunyai hak untuk men-tasharruf-kan hartanya, karena harta

merupakan simbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang.

Page 63: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

5) Perempuan mempunyai hak hidup dengan cara menetapkan aturan berupa

larangan melakukan pembunuhan terhadap anak perempuan yang pada masa

sebelumnya merupakan tradisi bangsa Arab Jahiliyah.

B. Wawasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga

1. Relasi Ideal Suami-Istri dalam Keluarga

Relasi suami istri yang ideal adalah yang berdasarkan pada prinsip

”mu’asyarah bi al ma’ruf” (pergaulan suami istri yang baik). Dalam surat al-Nisa’:

19 ditegaskan:

$ y㕃r' ‾≈tƒ zƒÏ% ©!$# (#θãΨtΒ# u Ÿω ‘≅ Ïts† öΝä3 s9 βr& (#θ èOÌ� s? u !$ |¡ ÏiΨ9$# $\δö� x. ( Ÿω uρ £èδθ è=àÒ ÷è s? (#θç7yδõ‹ tG Ï9 ÇÙ ÷è t7Î/ !$tΒ

£èδθ ßϑçF÷� s?# u Hω Î) βr& tÏ? ù'tƒ 7π t± Ås≈x� Î/ 7π oΨ Éi� t6•Β 4 £èδρç� Å°$ tãuρ Å∃ρã� ÷è yϑø9 $$ Î/ 4 βÎ*sù £èδθßϑçF÷δ Ì�x. # |¤ yè sù β r&

(#θèδ t�õ3 s? $ \↔ø‹x© Ÿ≅ yè øg s† uρ ª! $# ϵŠÏù # Z�ö� yz # Z�� ÏWŸ2 ∩⊇∪

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak83.

Ayat ini memberikan pengertian bahwasannya Allah menghendaki dalam

sebuah perkawinan harus dibangun relasi suami-istri dalam pola interaksi yang

positif, harmonis, dengan suasana hati yang damai, yang ditandai pula oleh

keseimbangan hak dan kewajiban keduanya. Keluarga sakinah mawaddah wa al-

rahmah akan terwujud jika keseimbangan hak dan kewajiban menjadi landasan etis

yang mengatur relasi suami-istri dalam pergaulan sehari-hari. Untuk itu diperlukan

83Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,119.

Page 64: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

individu-individu sebagai anggota keluarga yang baik sebagai subyek pengelola

kehidupan keluarga menuju keluarga ideal.84

Kemitrasejajaran merupakan pola hubungan antara pria dan wanita,

khususnya dalam kehidupan berkeluarga. Kemitrassejajaran antara suami istri dalam

berumah tangga sebagaimana telah dibicarakan dimuka, bukan berarti membalik

posisi dari kondisi berkuasa dan dominannya suami lalu menjdaikan istri sebagai

penguasa yang mendominasi suami.

Al-Qur’an mengungkapkan kesejajaran hak-hak wanita yang diperolehnya

seimbang dengan kewajibannya dalam kehidupan berkeluarga. Akan tetapi

kesejajaran hak dan kewajiban antara suami dan istri tidak menempatkan keduanya

pada kedudukan yang sama dan persis. Menurut Murtadha Muthahhari hal ini disebut

keseragaman dan keidentikan hak wanita dan pria, bukan kesetaraan atau persamaan

hak.85

Selama ini, masih ada kesenjangan atau kerancuan dalam sebagaian besar

masyarakat yang masih belum bisa menerima kemitrasejajaran antara suami dan istri.

Pengertian mitrasejajar tidak bisa dipahami dengan makna yang sama, persis dan

serupa, tetapi kemitrasejajaran yang dimaksud disini adalah suatu relasi yang

berasaskan keadilan.

Keadilan menurut Islam adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara

sah, yang jika dilihat dari sudut pandang orang lain adalah kewajiban. Oleh karena

itu siapapun yang lebih banyak melakukan kewajibanatau yang memikul kewajiban

lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih disbanding yang lain. Sementara ini,

84Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Madang: UIN Malang Press,20008), 178 85Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), 131

Page 65: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

banyak anggapan bahwa beban suami atau beban produksi untuk mencari nafkah

lebih berat dari beban istri (beban reproduksi). Oleh karena tidak ada yang dikatakan

lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar.86

2. Persamaan Derajat Antara Suami-Istri

Istilah ’persamaan’ tidak sama dengan ’keidentikan’. Persamaan mempunyai

arti kesederajatan, keseimbangan, dan kesebandingan, sedangkan keidentikan berarti

keduanya sama persis. Dalam istilah persamaan terkandung pengertian keadilan, atau

tidak adanya diskriminasi jika istilah tersebut dikaitkan dengan tema hak dan

kewajiban. Adanya persamaan antara suami dan istri memungkinkan terwujudnya

suatu jalinan kemitraan yang sejajar.87

Dalam kehidupan rumah tangga kemitrasejajaran antara laki-laki dan

perempuan (suami-istri) dapat memberikan kemudahan dalam membantu

mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan. Baik suami maupun istri masing-

masing memiliki peran yang sama besar. Dengan demikian masing-masing tidak

akan merasa lebih besar dari yang lain. Prinsip kemitrasejajaran akan membendung

suatu pola hubungan kuasa-menguasai.88

Dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan mempunyai derajat yang sama.

Dan dengan persamaan tersebut, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama

dalam menikmati hidup, termasuk memperoleh pendidikan, mengeluarkan pendapat,

memperoleh lapangan kerja, kesejahteraan, perlindungan hukum, dan sebagainya.

Keduanya setara karena amal perbuatan, intelektual, dan spiritualnya.89

86Ibid.,132 87Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 57. 88Ibid., 58. 89Ibid., 61-2.

Page 66: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Agama Islam adalah agama yang memberikan dorongan kepada penganutnya

untuk senantiasa berani mengaktualisasikan diri, memperbarui diri, dan kreatif. Islam

dengan ajarannya memotivasi laki-laki dan perempuan yang beriman untuk

membuktikan keberadaannya dalam mewujudkan suatu keluarga yang ideal.90

Kesempatan dan persamaan laki-laki dan perempuan dalam mengaktualisasikan

diri merupakan hubungan kemitrasejajaran dalam keluarga sakinah. Banyak sumber

Islam, baik al-Qur’an maupun Hadits yang diungkapkan dalam fi’il amr (kalimat

perintah) untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri sebagai individu

muslim. Misalnya, ditegaskan oleh Rasulullah SAW bahwa menuntut ilmu wajib

hukumnya bagi orang Islam. Orang Islam yang dimaksud adalah orang Islam laki-

laki dan perempuan.91

Dari sabda Nabi di atas tampak bahwa Islam mengikis habis pandangan bahwa

perempuan hanya berperan di ruang domestik saja. Anjuran Rasul SAW ini tidak

hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki saja melainkan juga bagi perempuan. Ini

berarti bahwa Islam membuat kesejajaran bagi keduanya di ruang publik, dan bukan

hanya dalam ruang privat.92

3. Problem Relasi Suami-Istri dalam Kehidupan Rumah Tangga

Setiap pasangan suami-istri mengharapkan terciptanya keluarga sakinah,

keluarga sakinah yang menjadi harapan setiap pasangan suami-istri tidak bersifat

given, kodrat, statis, dan baku, tetapi dinamis, berproses dan perlu ada ikhtiar untuk

mewujudkannya. Dalam proses pencapaiannya sudah barang tentu mengalami

kendala-kendala. Setiap permasalahan yang muncul dalam keluarga menjadi 90Ibid., 63-4. 91Ibid., 67-8. 92Ibid., 68.

Page 67: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

tanggung jawab bersama dalam mencari solusi tanpa mengabaikan keberadaan satu

sama lainnya. Namun demikian, seringkali suami-istri enggan memecahkan masalah

dengan pikiran jernih, penyebabnya antara lain:

a. Faktor emosi

Dalam menghadapi masalah keluarga diperlukan pikiran yang jernih. Tidak

selamanya rumah tangga mengalami jalan yang mulus, berbunga-bunga,

adakalanya sedih adakalanya senang. Untuk itu baik suami maupun istri patut

memiliki kemampuan untuk menendalikan emosi. Nabi SAW pernah bersabda

bahwa orang yang kuat bukanlah orang-orang yang kuat secara fisik namun

mereka yang sanggup meredam amarahnya. Jika suami-istri masih diliputi emosi

ketika mencari solusi dari suatu permasalahan ditambah ego masing-masing yang

didahulukan maka permasalahan yang sedang dihadapi keduanya akan sulit

terpecahkan.

b. Faktor kurang pengertian

Setiap persoalan yang dihadapi oleh suatu keluarga pasti memiliki latar

belakang atau penyebab. Identifikasi masalah dalam menentukan faktor bagi

suatu masalah sangat penting dalam rangka mencari solusi yang tepat. Kurangnya

pemahaman serta pengertian suami atau istri terhadap masalah tersebut acapkali

melahirkan kesalahpahaman yang justru memperumit masalah.

c. Faktor gender stereotype

Gender stereotype terbangun pada pribadi setiap orang ketika mereka

berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakat luas. Secara umum perspektif

negatif dalam konteks ini menyatakan bahwa secara kodrati laki-laki bersifat

kasar, keras, dan egois. Sedangkan perempuan dipandang lemah, penakut, kurang

Page 68: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

tanggung jawab, perayu, dan sebagainya. Gender stereotype yang mendasar pada

perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka terhadap

pasangan.

d. Faktor dominasi pihak yang kuat

Posisi suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah

positif ketika menjalankan fungsi melindungi, mengayomi dan memberdayakan.

Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi fungsi-fungsi yang

semestinya sehingga memicu lahirnya superioritas suami atas istrinya. Masalah

rumah tangga merupakan masalah bersama yang harus dibicarakan dengan baik

diantara pasangan. Dan penyelesaian masalah akan lebih mudah dicapai jika

relasi suami-istri bermuara pada posisi yang setara, bebas dari dominasi, dan

superioritas yang berdasar perbedaan gender.93

Dalam merespon kondisi perempuan yang tertinggal dari laki-laki Rasulullah

SAW melakukan upaya-upaya khusus untuk memberikan pemberdayaan perempuan

sebagai berikut:

1) Perlakuan khusus terhadap perempuan karena kodratnya yang bersifat taken of

granted.

2) Diperlakukan khusus karena kondisi obyektif konstruksi budaya yang telah

membentuk realitas itu, maka perempuan melakukan bargaining dengan Nabi

Muhammad SAW, kemudian terjadi kompromi-kompromi.

3) Rasulullah memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk menutupi

kekurangannya dan mengejar ketertinggalannya dari kaum laki-laki. Karena

93 Mufidah Ch, Op.Cit., 188-193

Page 69: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Rasulullah melihat kondisi perempuan yang dipandang inferior dan lemah akibat

konstruk budaya dan sistem yang ada pada saat itu.

4) Perlakuan khusus ini bersifat affirmatif action yang dapat berubah-ubah sesuai

dengan kebutuhan.94

94Ibid., 26.

Page 70: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Tabel Pemikiran Gender

No. Materi gender Penjelasan 1. Definisi Suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan

kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. 2. Prinsip-prinsip

kesetaraan gender 1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT 2. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi 3. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial 4. Adam dan hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis 5. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi

3. Manifestasi kesetaraan gender

1. Perlindungan hak-hak perempuan melalui instrumen hukum dan perundang-undangan. 2. Perbaikan hukum keluarga. 3. Perempuan diperbolehkan mengakses peran-peran publik 4. Perempuan mempunyai hak untuk men-tasharruf-kan hartanya 5. Perempuan mempunyai hak hidup

4. Relasi ideal suami-istri Relasi suami istri yang ideal adalah yang berdasarkan pada prinsip ”mu’asyarah bi al ma’ruf” (pergaulan suami istri yang baik).

5. Persamaan Derajat Antara Suami-Istri

Dalam istilah persamaan terkandung pengertian keadilan, atau tidak adanya diskriminasi jika istilah tersebut dikaitkan dengan tema hak dan kewajiban.

6. Problem relasi suami-istri

e. Faktor emosi f. Faktor kurang pengertian g. Faktor gender stereotype h. Faktor dominasi pihak yang kuat

Page 71: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

BAB IV

BIAS GENDER DALAM PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I

TENTANG NUSYUZ

A. Ushul Fiqh dalam Ijtihad Hukum Imam al-Syafi’i

Pandangan-pandangan fuqaha’ berkenaan dengan suatu permasalahan

berkaitan erat dengan metodologi istinbath hukum yang mereka gunakan. Bisa

dikatakan bahwa pendapat Imam al-Syafi’i berkenaan dengan permasalahan nusyuz

merupakan hasil dari kinerja intelektual melalui metodologi istinbath hukum yang ia

gunakan. Terlebih lagi ia adalah tokoh yang mempelopori perumusan metodologi

istinbath hukum sebagaimana kemudian dikenal sebagai ushul fiqh Syafi’iyyah.

Sebagaimana dipaparkan dalam bab II di atas ushul fiqh Imam al-Syafi’i

meletakkan empat sumber sebagai rujukan dalam menetapkan hukum Islam, yaitu al-

Page 72: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapat-

pendapat al-Syafi’i dapat ditelusuri dalam keempat sumber di atas.

Kajian al-Syafi’i terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum dititikberatkan

pada gaya bahasa al-Qur’an. Menurut al-Syafi’i, al-Qur’an menggunakan, pertama

kata-kata yang bersifat umum dan eksplisit (dzahir-am) dengan maksud yang juga

umum dan eksplisit, sehingga pernyataan yang pertama tidak memerlukan

pernyataan yang kedua. Kedua, pernyataan al-Qur’an bersifat umum dan eksplisit

dengan maksud khusus, dan ketiga : pernyataan al-Qur’an yang memiliki arti literal

(dzahir), tapi dari segi konteks (nisbah) pengungkapannya harus diberi arti yang non

literal (ghairu dzahir).

Fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur’an menurut Imam Syafi’i ada dua hal,

yang pertama adalah mengkonfirmasi semua wahyu yang telah diturunkan, dan

kedua menerangkan maksud keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an berkenaan

dengan keumuman atau kekhususan suatu kata atau kalimat.

Kesepakatan tentang suatu hukum atau yang dikenal dengan ijma’ juga

merupakan dalil hukum dalam amatan al-Syafi’i. sebelumnya, Imam Malik juga

memperkenalkan konsep ijma’ ini. namun berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i

memperketat persyaratan ijma’ sebagai sumber hukum. Dalam menggunakan ijma’

sebagai landasan hukum, Imam Syafi’i mempersyaratkan adanya keterangan

pendukung dari as-Sunnah.

Sementara itu dalil terakhir yang dapat digunakan sebagai landasan hukum

adalah qiyas. Qiyas adalah menganalogikan suatu persoalan yang tidak terdapat

penjelasannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pejelasan yang telah ada

dalam keduanya berdasarkan adanya persamaan illat (sebab). Metode qiyas

Page 73: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

dipergunakan apabila ketentuan hukum suatu permasalahan tidak ditemukan

penjelasannya dalam nash. Imam Syafi’i menempatkan qiyas sebagai alternatif

terakhir dalam memutuskan suatu persoalan.

Pandangan-pandangan al-Syafi’i tentang nusyuz secara pokok merujuk

kepada keterangan tersurat yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam kitab

al-Umm tidak ditemukan argumen qiyas atau logika sama sekali untuk mendukung

pendapatnya itu. Hal ini bisa jadi dikarenakan al-Syafi’i berpendapat bahwa al-

Qur’an menggunakan, pertama: kata-kata yang bersifat umum dan eksplisit (dzahir-

‘am) dengan maksud yang juga umum dan eksplisit, sehingga pernyataan yang

pertama tidak memerlukan pernyataan yang kedua. Kedua: pernyataan al-Qur’an

bersifat umum dan eksplisit dengan maksud khusus. Dan ketiga: pernyataan al-

Qur’an yang memiliki arti literal (dzahir), tapi dari segi konteks (nisbah)

pengungkapannya harus diberi arti yang non-literal (ghairu dzahir).

Oleh karena pendapat Imam al-Syafi’i terkait nusyuz menggunakan metode

istinbath hukum yang khas digunakan madzhabnya maka pendapat tersebut tampak

memiliki perbedaan dengan pendapat fuqaha’ lain yang menggunakan metode

istinbath hukum yang berbeda. Dalam hal ini maka pendapat para fuqaha’ yang

menggunakan kerangka metodologi Hanafiyyah, dengan cirinya yang lebih

mengedepankan rasio dari pada makna literal teks, terlihat memiliki perbedaan-

perbedaan yang cukup signifikan.

Sekalipun Imam al-Syafi’i menggunakan qiyas sebagai salah satu metode

istinbath hukum namun penggunaan metode tersebut hanya dapat dilakukan jika

penyelesaian suatu masalah tidak ditemukan secara eksplisit dalam dua sumber

sebelumnya, yakni al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian dalam ijtihad hukum

Page 74: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Imam al-Syafi’i dalil tekstual adalah lebih kuat dibandingkan argumentasi rasio

dikarenakan posisi argumentasi rasio yang berada pada urutan terakhir.

B. Bias Gender dalam Pandangan Imam Al-Syafi’i Tentang Nusyuz

Imam al-Syafi’i adalah satu diantara sebagian ulama yang menyatakan secara

eksplisit adanya nusyuz dari pihak suami. Namun demikian penjelasan yang cukup

memadai tentang hal tersebut tidak ditemukan dalam kitab al-Umm. Jika boleh

dikatakan, dalam kitab tersebut permasalahan nusyuz dari pihak suami hanya

dijelaskan sebagai topik sekunder. Namun dari sekelumit penjelasan tentang nusyuz

dalam kitabnya itu sudah terlihat adanya masalah yang berhubungan dengan

ketidakadilan gender dalam relasi suami istri.

Permasalahan utama yang patut untuk diperhatikan dalam pandangan al-

Syafi’i tentang nusyuz adalah penjelasannya tentang prosedur atau cara-cara

penanganan nusyuz. Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya terlihat adanya

perbedaan yang cukup prisipil antara cara menangani istri yang tengah mengalami

nusyuz dengan cara menghadapi suami ketika melakukan hal yang sama.

Dengan berdasar pada surat al-Nisa’ ayat 34 al-Syafi’i menarik suatu

kesimpulan bahwa ketika seorang suami melihat istrinya melakukan nusyuz maka

suami diperintahkan untuk memberikan nasihat kepada sang istri. Pemberian nasehat

dalam hal ini bertujuan untuk mengingatkan istri agar menyudahi nusyuz-nya dan

bersikap selayaknya seorang istri yang baik seperti saat-saat sebelumnya.

Nasehat bisa diartikan sebagai upaya untuk mengingatkan istri dan

memberikan pengertian kepadanya bahwa tindakannya adalah suatu kesalahan dan

dibenci oleh Allah. Pada tahap ini penting untuk diperhatikan agar seorang suami

Page 75: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

memberikan penjelasan tentang duduk perkara dari suatu masalah yang membuat

istrinya nusyuz.

Jika istri tetap bertahan pada sikapnya maka suami bisa menggunakan cara

berikutnya, yakni meninggalkan istri ditempat tidurnya (al-hijrah), dalam pengertian

suami diperbolehkan untuk tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya. Cara kedua

ini merupakan tindak lanjut dari cara yang pertama dan masih dalam rangka

memberikan pengertian dan penyadaran kepada sang istri.

Al-hijrah secara bahasa memang bermakna ’meninggalkan’. Namun dalam

konteks ini kebolehan suami untuk meninggalkan istrinya terbatas hanya untuk

urusan biologis saja, sedangkan dalam mu’asyarah atau interaksi yang lainnya,

misalkan dalam hal percakapan sehari-hari, suami dilarang meninggalkannya.

Dengan demikian tampak bahwa sampai tahap ini betapapun seorang istri acuh

terhadap suaminya namun seorang suami tetap tidak terbebas dari sebagian besar

tanggung jawab dan kewajibannya terhadap istri.

Pada tahap selanjutnya, jika istri bersikukuh dengan sikap dan pendiriannya

maka suami diizinkan untuk memukul (al-dlarb). Memukul seorang istri karena

sikapnya yang keras kepala tidak segera menyudahi nusyuz-nya adalah cara terakhir

dalam tahapan penanganan nusyuz istri.

Namun yang patut untuk dicatat adalah bahwa pemaknaan kata al-dlarb

dalam konteks ini cukup berbeda dengan arti kata al-dlarb secara bahasa dan

penggunaannya sehari-hari. Jika dalam percakapan sehari-hari al-dlarb mengandung

arti tindakan melakukan kekerasan fisik maka al-dlarb dalam pembahasan masalah

nusyuz justru tidak mengandung unsur-unsur kekerasan fisik. Istilah tersebut dalam

Page 76: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

masalah ini lebih tepat jika diartikan sebagai peringatan secara psikis namun

dilakukan dalam tindakan fisik yang tidak menyakitkan.

Cara-cara menghadapi istri yang sedang nusyuz seperti diuraikan di atas

sangat berbeda dengan cara menangani suami yang sedang melakukan hal yang

sama. Jika seorang istri melihat suaminya nusyuz maka tindakan yang paling tepat

bagi istri tersebut menurut Imam al-Syafi’i adalah dengan merelakan sebagian

haknya atas suaminya tidak terpenuhi agar sang suami tersebut segera kembali

bersikap seperti biasanya.

Dengan demikian bisa diartikan bahwa jika seorang suami nusyuz maka saat

itu istri harus menanggung dua beban (double burden): yang pertama dia kehilangan

haknya atas suaminya oleh sebab suaminya melakukan nusyuz; dan yang kedua ia

harus merelakan haknya yang lain (yang tidak lain adalah kewajiban bagi sang suami

kepadanya) tidak dipenuhi semata-mata agar sang suami lekas kembali bersikap

seperti sedia kala. Sementara ketika suami melakukan nusyuz ia tidak terbebani oleh

dosa dan ancaman sekalipun ia meninggalkan kewajibannya, juga tidak perlu repot-

repot mengurusi kewajiban-kewajibannya yang lain terhadap istri yang

ditinggalkannya karena adanya ’dispensasi’ yang ia terima.

Dari sini, pendapat Imam al-Syafi’i yang menguraikan tentang langkah-

langkah menghadapi suami atau istri yang sedang nusyuz tampak sangat berjarak

dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Pandangan bahwa sang suami layak

mendapatkan hak-hak atas istrinya sekalipun istri nusyuz sementara istri justru harus

merelakan hak-haknya atas suaminya jika suami itu nusyuz tentu bertentangan

dengan prinsip kesetaraan antara keduanya.

Page 77: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Ketidakseimbangan seperti tampak dalam hak-hak antara suami dan istri di

atas mungkin didasarkan pada argumentasi ’ketidaksempurnaan’ akal seorang

wanita. Seperti diketahui, alasan tersebut menjadi dalil bagi termarginalkannya peran

dan posisi perempuan sepanjang sejarah umat Islam. Namun alasan tersebut

sebenarnya masih perlu dibuktikan. Kalaupun benar, namun tetap harus diingat

bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama kedudukannya di hadapan Allah.

Persamaan kedudukan di hadapan Allah membawa implikasi adanya penafian

segala macam perbedaan di antara umat manusia. Pada saat yang sama Islam juga

mengajarkan bahwa derajat yang lebih luhur di hadapan Allah dapat dicapai dengan

tingkat ketakwaan yang tinggi. Arab-ajam, hitam-putih, kaya-miskin, dan laki-laki-

perempuan masing-masing boleh jadi memiliki kelebihan dan kekurangan, namun

demikian semuanya pada dasarnya tidak berbeda. Kalaupun ada perbedaan antara

satu dengan yang lainnya maka hal itu sebenarnya muncul dari adanya faktor

ketakwaan.

Dengan demikian, kalaupun benar bahwa laki-laki memiliki kualitas akal

yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan namun bukan berarti perempuan,

dengan kualitas akalnya yang (katakanlah) tidak lebih baik dibandingkan laki-laki,

tidak memiliki kesempatan yang sama besar untuk menjadi manusia yang bertakwa.

Oleh karenanya seorang perempuan dengan segala keterbatasannya bisa saja menjadi

lebih tinggi derajatnya dibandingkan laki-laki.

Laki-laki dalam beberapa hal memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh

perempuan, demikian pula perempuan dalam hal-hal tertentu memiliki kelebihan

yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing laki-

laki dan perempuan adalah karunia Allah SWT. Namun kelebihan tersebut

Page 78: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

seharusnya difungsikan sebagai penutup bagi kekurangan yang mereka miliki, karena

selain kelebihan Allah juga memberikan kekurangan kepada laki-laki dan

perempuan.

Page 79: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Tabel Pendapat Bias Gender Imam al-Syafi’i Tentang Nusyuz

Pendapat al-Syafi’i No. Nusyuz suami Nusyuz istri

Prinsip gender

1. Nusyuz suami di artikan sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap istri, dengan atau tanpa alas- an yang jelas.

Nusyuz istri dinilai sebagai pembangkangan terhadap perintah suami.

Masing-masing suami dan istri bisa merasa tidak senang kepada yang lain. Masing-masing juga bisa acuh sekalipun tanpa alasan yang bisa dimaklumi. Suami memiliki potensi untuk membangkang yang sama besar dengan istri, seperti juga memiliki potensi yang sama besar untuk menjaga tanggung jawab.

2. Penanganan dilakukan dengan sikap mengalah dan merelakan sikap suami tersebut.

Diberi nasehat, dilanjutkan dengan al-hijrah (pisah ranjang) dan dipukul jika masih berlanjut.

Istri juga memiliki hak yang sama untuk menegur dan mengingatkan suami. Hal-hal yang memberikan peluang kepada masing-masing pasangan untuk melakukan kekerasaan dalam rumah tangga, seperti kebolehan memukul yang bisa ditafsirkan secara bebas, dihindari. Urusan teknis diserahkan pada masing-masing pihak dengan tetap memperhatikan prinsip persamaan kedudukan.

3. Seorang istri tidak memiliki wewenang untuk memberikan penjelasan tentang duduk perkara yang membuat suami nusyuz, kecuali diminta.

Memberikan penjelasan tentang masalah yang membuat istri nusyuz menjadi keharusan.

Baik suami maupun istri memiliki hak yang sama untuk memberikan penjelasan untuk menghindarkan kesalahpaman sekaligus sebagai upaya mencari saling pengertian.

4. Tidak ada implikasi hukum apapun ketika suami nusyuz.

Istri dapat kehilangan hak-hak atas nafkah dan giliran (al-qasm, dalam keluarga poligini).

Setiap perbuatan suami atau istri, baik perbuatan yang sesuai dengan hukum ataupun tidak, sama-sama memiliki implikasi hukum.

Page 80: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari semua uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam al-Umm, Imam al-Syafi’i menjelaskan bahwa nusyuz dapat muncul baik

dari pihak suami atau istri. Perbedaan antara nusyuz suami dan nusyuz istri adalah

bahwa nusyuz suami cenderung diartikan sebagai sikap ketidaksenangan terhadap

istri. Sedangkan nusyuz istri diartikan sebagai suatu perilaku pembangkangan

terhadap suami. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa jika seorang istri nusyuz

maka suaminya boleh memberikan nasehat kepadanya, dan al-hijrah

(meninggalkan istri di tempat tidur atau melakukan ‘pisah ranjang’) bahkan al-

dlarb (memukul yang tidak sampai membahayakan fisik) jika istri bersikukuh

dengan sikapnya. Namun jika sang suami yang nusyuz maka istri dianjurkan

Page 81: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

untuk rela dengan sikap suaminya itu serta dianjurkan untuk tidak menggugat

hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh sang suami.

2. Pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz dibangun di atas dalil-dalil yang

terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hal ini tampak terutama dalam

pembahasan tentang prosedur penanganan pasangan yang melakukan nusyuz.

Makna tersurat dalam al-Qur’an tampak sangat diakomodasi dalam pendapat

tersebut. Namun karena ayat al-Qur’an secara tersurat hanya berbicara tentang

nusyuz perempuan dan prosedur penanganannya maka ketika al-Syafi’i

membahas tentang nusyuz dari pihak suami tampak ia tidak memiliki referensi

yang memadai. Dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender

tampak bahwa pendapat tersebut sangat berat sebelah. Pendapat Imam al-Syafi’i

tersebut jelas menunjukkan keberpihakan terhadap kaum laki-laki. Terutama

berkenaan dengan pemenuhan hak-hak dan kewajiban masing-masing pasangan.

B. Saran

Persoalan rumah tangga seperti halnya nusyuz seringkali disebabkan oleh

kurangnya saling pengertian antara masing-masing pasangan. Bisa jadi juga sikap

tersebut muncul karena tidak adanya sikap arif dalam menghadapi suatu masalah.

Namun demikian karena nusyuz bisa terjadi baik pada suami maupun istri, seperti

diungkapkan oleh Imam al-Syafi’i, maka cara menangani pasangan yang sedang

nusyuz semestinya dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip mu’asyarah

yang baik.

Interaksi atau mu’asyarah yang baik antara suami dan istri dapat lahir dalam

sebuah keluarga yang menempatkan istri pada tempat yang cukup adil dihadapan

Page 82: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

seorang suami. Mu’asyarah yang demikian sulit sekali tercipta jika dalam hubungan

antara keduanya ada salah satu pihak yang diposisikan secara inferior dan lemah.

Kekuasaan yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam hal ini dapat digunakan secara

absolut jika pasangan yang lain tidak memiliki nilai tawar sama sekali.

Page 83: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

DAFTAR PUSTAKA Adhim, M Fauzil (1999) Kupinang Engkau Dengan Hamdalah. Yogyakarta: Mitra

Pustaka.

Al-‘Aqil, Muhammad AW (2005) Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’i. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i

Al-Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris (2007) ”Mukhtassar Kitab al-Umm fi al-Fiqh”, diterjemahkan oleh Muhammad Yasir Abdul Muthallib Ringkasan Kitab al-Umm. buku I; Jakarta: Pustaka Azzam

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris (tt) al-Umm.Juz II, Beirut, Dar al-Fikr

Al-Syafi’I, Muhammad bin Idris (tt) Ar-Risalah. Beirut: Dar al-Kutub.

Amiruddin & Zainal Asikin (2006) Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada

Bisri, Cik Hasan (2004) Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada

Bungin, Burhan (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Dinasti Abbasiyyah didirikan oleh Abu Abbas al-Shaffah yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abd al-Muthallib. Raja-raja pada masa dinasti itu adalah para aristokrat yang memiliki darah keturunan Abbas. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (1994) Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hove), 4.

Fakih, Mansour (2001) Analisa gender dan Tranformasi sosial. Jakarta: Paramadina.

Ismail, Ismail (2003) Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran. LKiS: Yogyakarta

Khalil, Moenawar (1955) Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab. Jakarta: Bulan Bintang

Mufidah Ch (2008) Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN-Malang Press

Nashiruddin al-Albani, Muhammad (2006) Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta: Pustaka Azzam.

Saifullah (2006) Buku Panduan Metodologi Penelitian. Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN)

Page 84: nusyuz dalam pandangan Imam Safei

Shaleh bin Ghanim as-Sadlan (2008) “Nusyuz” diterjemahkan oleh Abu Hudaifah Yahya, Nusyuz Petaka Rumah Tangga. Jakarta: Nurul Qalb

Subhan, Zaitunah (2004) membina keluarga sakinah. Yogyakarta: Pustaka pesantren.

Subhan, Zaitunnah (1999) tafsir kebencian studi bias gender dalam tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS.

Syafaat, Rahmad (1998) Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Malang: IKIP Malang

Syuaisy, Syeh Hafizh Ali (2007) ”Tuhfatul Urusy wa Bahjatu an-Nufus”, diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Siddiq, Kado Pernikahan. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar

Umar, Nasaruddin (2001) Argumen kesetaraan jender: perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina