nusyuz dalam pandangan imam safei
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER
SKRIPSI
Oleh Imam Bagus Susanto
NIM 04210046
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2009
PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER
Skripsi Disusun untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I.)
Oleh Imam Bagus Susanto
NIM 04210046
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG 2009
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ
DALAM PERSPEKTIF GENDER
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan merupakan
duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa
skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau
sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis
batal demi hukum.
Malang, 05 Mei 2009
Penulis,
Imam Bagus Susanto 04210046
LEMBAR PERSETUJUAN
PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER
SKRIPSI
O l e h
Imam Bagus Susanto NIM : 04210046
Telah disetujui oleh :
Dosen Pembimbing
Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H NIP. 150 284 095
Tanggal 05 Mei 2009
Mengetahui Dekan Fakultas Syari'ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag NIP. 150 216 425
LEMBAR PENGESAHAN
PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I TENTANG NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF GENDER
SKRIPSI
O l e h
Imam Bagus Susanto NIM : 04210046
Telah dipertahankan didepan penguji dan dinyatakan diterima sebagai salah satu
Persyaratan untuk memperoleh gelar S.HI (Sarjana Hukum Islam) Pada tanggal 05 Mei 2009
Dewan Penguji Tanda Tangan 1 Ketua Penguji
: Fakhruddin, M.HI NIP. 150 302 236
( )
2 Sekretaris/Pembimbing
: Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H NIP. 150 284 095
( )
3 Penguji Utama
: Drs. M Fauzan Zenrif, M.Ag NIP. 150 303 047
( )
Mengetahui dan Mengesahkan Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Dahlan Tamrin M.Ag NIP.150 216 425
MOTTO
ôô ôô ÏÏ ÏÏΒΒΒΒ uu uuρρρρ ÿÿ ÿÿ ÏÏ Ïϵµµµ ÏÏ ÏÏGGGG≈≈≈≈ tt ttƒƒƒƒ#### uu uu ÷÷ ÷÷ββββ rr rr&&&& tt tt,,,, nn nn==== yy yy{{{{ //// ää ää3333 ss ss9999 ôô ôô ÏÏ ÏÏ ii iiΒΒΒΒ öö ööΝΝΝΝ ää ää3333 ÅÅ ÅÅ¡¡¡¡ àà àà����ΡΡΡΡ rr rr&&&& %%%% [[ [[`≡≡≡≡ uu uuρρρρ øø øø———— rr rr&&&& (( ((#### þþ þþθθθθ ãã ããΖΖΖΖ ää ää3333 óó óó¡¡¡¡ tt ttFFFF ÏÏ ÏÏ jj jj9999 $$$$ yy yyγγγγ øø øøŠŠŠŠ ss ss9999 ÎÎ ÎÎ)))) ŸŸ ŸŸ≅≅≅≅ yy yyèèèè yy yy____ uu uuρρρρ
ΝΝΝΝ àà àà6666 uu uuΖΖΖΖ ÷÷ ÷÷���� tt tt//// ZZ ZZοοοο ¨¨ ¨¨ŠŠŠŠ uu uuθθθθ ¨¨ ¨¨ΒΒΒΒ ºº ººππππ yy yyϑϑϑϑ ôô ôômmmm uu uu‘‘‘‘ uu uuρρρρ 44 44 ¨¨ ¨¨ββββ ÎÎ ÎÎ)))) ’’’’ ÎÎ ÎÎûûûû yy yy7777 ÏÏ ÏÏ9999≡≡≡≡ ss ssŒŒŒŒ ;; ;;MMMM≈≈≈≈ tt ttƒƒƒƒ UU UUψψψψ 55 55ΘΘΘΘ öö ööθθθθ ss ss)))) ÏÏ ÏÏ jj jj9999 tt ttββββρρρρ ãã ãã���� ©© ©©3333 xx xx���� tt ttGGGG tt ttƒƒƒƒ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Al-Ruum: 21)
PERSEMBAHANKU
Dengan Segenap Jiwa dan Ketulusan Hati Ku Persembahkan Buah Karya ini Kepada:
Allah Yang Maha Esa dan Maha Segalanya, Pencipta Alam Raya dan Yang
Menguasai Seluruh Makhluk Ciptaan-Nya
Ayah dan Ibundaku Tercinta (H. Sunoto & Hj. Susmiati), serta Seluruh Keluargaku
yang Senantiasa Tiada Putus-putusnya untuk Mengasihiku Setulus Hati, yang Selalu Membantu Baik Moril, Material dan Spiritual sehingga Aku
Mampu Menatap dan Menyongsong Masa Depan
Semua Guru-guru dan Dosen-dosenku yang Memberikan Secercah Cahaya Berupa Ilmu Hingga Aku Dapat Mewujudkan Harapan,
Angan dan Cita-citaku untuk Masa Depan
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.,
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT , yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Muhammad SAW yang telah mengajarkan
kita tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan
syafa’at beliau di hari akhir kelak. Amien...
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat jasa-jasa, motivasi dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh ta’dhim, dari lubuk hati yang paling dalam penulis
sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini, terutama kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag. (Dekan Fakultas Syari’ah), Dra. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag.
(Pembantu Dekan I), Drs. Fadil SJ., M.Ag. (Pembantu Dekan II).
3. Ibu Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H, selaku pembimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Atas bimbingan, arahan, saran, motivasi dan kesabarannya, penulis sampaikan
Jazakumullah Ahsanal Jaza’.
4. H. Isroqunnajah, M.Ag, selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas
Syari’ah UIN Malang.
5. Seluruh Dosen & seluruh civitas akademika UIN Malang khususnya Fakultas Syari’ah, yang telah
mendidik, membimbing, mengajarkan dan mencurahkan ilmu-ilmunya kepada penulis. Semoga
Allah melipatgandakan amal kebaikan mereka. Allahummaghfirlahum war
hamhum...Allahummamfa’na war fa’na bi ‘ulumihim! Amien.
6. Abi (H. Sunoto) dan Ummi (Hj. Susmiati), yang telah mencurahkan cinta dan kasih-sayang
teriring do’a dan motivasinya, sehingga penulis selalu optimis dalam menggapai kesuksesan
hidup di dunia ini.
7. Adik-adikku tersayang (Dewi Khoirotul Avivah & Azzah Fakhrun Nisa’), yang menjadi motivasi
penulis segera menyelesaikan tulisan ini.
8. Teman-teman Fakultas Syari’ah UIN Malang angkatan 2004, yang telah mewarnai perjalanan
hidupku selama kuliah. May Allah Bless Us!
9. Semua pihak -yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena keterbatasan ruang- yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Terakhir, penulis juga sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran konstruktif dari para pembaca yang budiman sangat kami harapkan demi perbaikan
dan kebaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua,
terutama bagi diri penulis sendiri. Amin ya Mujibassailin...
Malang, 05 Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI................................................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... iv
HALAMAN MOTTO........................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
TRANSLITERASI ............................................................................................... xi
ABSTRAK ........................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................... 1
B. Batasan Masalah .............................................................................. 5
C. Rumusan Masalah............................................................................ 5
D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
E. Manfaat Penelitian ........................................................................... 6
F. Metode Penelitian ............................................................................ 6
G. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 10
H. Sistematika Pembahasan .................................................................. 12
BAB II IMAM AL-SYAFI’I DAN PENDAPATNYA TENTANG
NUSYUZ
A. Biografi Singkat Imam Syafi’i ......................................................... 14
1. Latar Belakang Sosial Imam al-Syafi’i ....................................... 14
2. Latar Belakang Pendidikan Imam al-Syafi’i ............................... 17
3. Karya Tulis Imam al-Syafi’i ....................................................... 20
B. Metode Istinbath Hukum Imam al-Syafi’i ........................................ 21
C. Nusyuz dalam Ijtihad Hukum Imam al-Syafi’i ................................. 24
1. Dasar Hukum Nusyuz................................................................. 24
2. Prosedur Penanganan Nusyuz..................................................... 26
3. Implikasi Hukum dari Adanya Nusyuz........................................ 31
BAB III PARADIGMA GENDER DALAM RELASI SUAMI-ISTRI
A. Gagasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Sosial Masyarakat ... 34
1. Definisi Gender .......................................................................... 34
2. Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender ............................................. 36
3. Manifestasi Kesetaraan Gender .................................................. 43
B. Wawasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga ...... 48
1. Relasi Ideal Suami-Istri dalam Keluarga..................................... 48
2. Persamaan Derajat Antara Suami-Istri ........................................ 51
3. Problem Relasi Suami-Istri dalam Kehidupan rumah Tangga ..... 52
BAB IV BIAS GENDER DALAM PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I
TENTANG NUSYUZ
A. Ushul Fiqh dan Sosial-Budaya Bangsa Arab dalam Ijtihad Hukum
Imam Al-Syafi’i ............................................................................... 57
B. Bias Gender dalam Pandangan Imam al-Syafi’i Tentang Nusyuz....... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 66
B. Saran................................................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA
TRANSLITERASI
Umum
Transliterasi yang dimaksud di sini adalah pemindahalihan dari bahasa Arab
ke dalam tulisan Indonesia (Latin), bukan terjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia.
Konsonan
Dl ض Tidak ditambahkan ا
Th ط B ب
Dh ظ T ت
(koma menghadap ke atas) ‘ ع Ts ث
Gh غ J ج
F ف H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dz ذ
M م R ر
N ن Z ز
W و S س
Sy � H ش
Y ي Sh ص
Vokal, Panjang dan Diftong
Setiap penulisan Arab dalam bentuk tulisan Latin vokal fathah ditulis dengan
“a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan panjang masing-
masing ditulis dengan cara berikut:
Vokal (a) panjang = â misalnya ل�� menjadi qâla
Vokal (i) panjang= î misalnya ��� menjadi qîla
Vokal (u) panjang= û misalnya دون menjadi dûna
Khusus bacaan ya’nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “î”, melainkan
tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkan ya’ nisbat di akhirnya. Begitu
juga untuk suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah ditulis dengan “aw” dan “ay”
seperti contoh berikut:
Diftong (aw) = و misalnya ل�� menjadi qawlun
Diftong (ay) = ي misalnya � ! menjadi khayrun
Ta’ marbûthah (ة)
Ta’ marbûthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada di tengah-tengah kalimat, tetapi apabila Ta’ marbûthah tersebut berada di akhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h” misalnya: ر���� ا�����
menjadi al-risalat li al-mudarrisah.ABSTRAK
Susanto, Imam Bagus, 04210046, Pandangan Imam al-Syafi’i Tentang Nusyuz Dalam Perspektif Gender, Skripsi, Jurusan: al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Fakultas: Syari’ah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dosen Pembimbing: Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H. Kata kunci: nusyuz, gender.
Keluarga merupakan unit sosial yang paling kecil dan paling sederhana dalam masyarakat. Sekalipun demikian keluarga adalah institusi yang memiliki peran sangat signifikan dalam menjaga stabilitas sosial. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menjaga stabilitas dalam skala sosial yang lebih kecil, yaitu keluarga. Di antara kendala-kendala yang dihadapi oleh sebuah keluarga perbedaan cara pandang dalam melihat suatu masalah kerapkali menjadi ancaman bagi stabilitas keluarga tersebut. Ketidaksepahaman tersebut terkadang membuat hubungan antara pasangan suami-istri menjadi kurang harmonis oleh sebab adanya salah satu pasangan yang nusyuz. Nusyuz merupakan topik masalah yang telah sejak lama dibahas oleh para fuqaha’. Dalam kaitan dengan aspek hukum Islam (fiqh) nusyuz masuk dalam permasalahan munakahah (masalah perkawinan). Imam al-Syafi’i adalah satu dari sekian banyak fuqaha’ yang juga membahas masalah nusyuz. Dalam karya monumentalnya, al-Umm, al-Syafi’i menguraikan persoalan ini dengan merujuk pada beberapa ayat al-Qur’an dan sebuah hadits Nabi. Salah satu pembahasan dalam bagian itu adalah berkenaan dengan prosedur penanganan seorang pasangan yang melakukan nusyuz. Dewasa ini ketika masyarakat muslim di dunia berkembang semakin pesat seiring dengan perkembangan masyarakat global, baik dalam hal pembangunan fisik maupun mental, pendapat Imam al-Syafi’i tersebut tidak luput dari sejumlah kritik. Dalam kaitan dengan pemikiran serta gerakan kesetaraan gender pendapat al-Syafi’i itu dinilai sarat dengan analisa dan cara pandang yang bias gender. Pendapat Imam
al-Syafi’i dinilai sebagai produk pemikiran yang lahir dalam suasana sosial yang didominasi oleh semangat kelelaki-lakian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz serta perspektif gender dalam melihat pendapat tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif penelitian yuridis-normatif ini menggunakan karangan Imam al-Syafi’i, al-Umm, sebagai rujukan utamanya. Penelitian ini dibatasai hanya pada masalah nusyuz dalam pengamatan Imam al-Syafi’i, terutama masalah prosedur penanganan salah satu pasangan yang melakukannya, yang terdapat dalam al-Umm serta analisa gender terhadap pandangan tersebut. Pada bagian akhir penelitian diketahui bahwa pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz tampak kurang mengakomodasi prinsip-prinsip kesetaraan gender. Prosedur penanganan nusyuz seorang istri tampak begitu diperhatikan sementara cara menangani nusyuz suami terlampau sederhana, sampai batas tertentu bahkan merugikan kepentingan istri. Lahirnya pendapat Imam al-Syafi’i tersebut terilhami oleh kondisi sosial-budaya masyarakat tempat Imam al-Syafi’i menetap yang –seperti kebanyakan lingkungan sosial pada masa lalu– memang menempatkan perempuan pada posisi yang inferior bahkan marginal.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah salah satu tahap paling penting dalam kehidupan setiap
muslim, karena hanya melalui perkawinan seseorang bisa dinilai sah untuk
memasuki kehidupan rumah tangga. Di samping itu perkawinan juga merupakan
langkah awal dalam membangun stabilitas sosial dalam masyarakat.
Ketika suatu pasangan mengikrarkan dirinya untuk sanggup menempuh
kehidupan rumah tangga maka keduanya telah memasuki tahap kehidupan yang baru.
Membangun mahligai rumah tangga berarti menyatukan dua watak yang berbeda,
bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani masing-masing,
bersama-sama mentaati perintah agama, dan bermasyarakat serta bernegara dengan
baik.1
1M. Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdalah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), 129.
Untuk mencapai tahap perkawinan tidak hanya dibutuhkan kematangan fisik
saja, namun yang tidak kalah penting adalah kesiapan mental terutama komitmen
dalam mengemban tanggung jawab serta kewajiban sebagai suami atau istri nantinya.
Dengan demikian tampak bahwa konsekuensi yang akan ditanggung oleh seseorang
terlihat begitu besar jika melakukan keteledoran dalam rumah tangganya.
Sebaliknya, jika hubungan perkawinan berjalan dengan harmonis, maka effective side
effect seperti tolong menolong akan didapat.2
Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam persoalan rumah
tangga, terutama berkenaan dengan rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak
serta kewajiban suami-istri yang terbina dalam struktur keluarga. Islam menyatakan
bahwa baik laki-laki maupun perempuan setara derajatnya dihadapan Allah SWT.
Hanya satu yang menjadi pembeda di antara keduanya, yaitu kadar ketakwaan
kepada Allah SWT.3
Namun demikian kenyataan seringkali menunjukkan bahwa hubungan suami-
istri tidak selalu harmonis. Kadang-kadang suatu pasangan gagal dalam
menyelamatkan biduk rumah tangganya karena menghadapi masalah yang dianggap
berada di luar kemampuannya. Hal seperti ini seringkali muncul karena
ketidaksanggupan dari salah satu pihak, bisa suami atau istri, untuk melaksanakan
kewajiban masing-masing. Apabila ketidaksanggupan itu datang dari salah satu
pihak saja, yakni dari pihak suami atau istri, maka hal tersebut termanifestasi dalam
sebuah perilaku yang disebut dengan nusyuz.4
2Ibid, 154. 3Syeh Hafizh Ali Syuaisi’,”Tuhfatul Urusy wa Bahjatu an-Nufus”, diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Siddiq, Kado Pernikahan (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2007), 153 4Shaleh bin Ghanim as-Sadlan, “Nusyuz” diterjemahkan oleh Abu Hudaifah Yahya, Nusyuz Petaka Rumah Tangga (Jakarta: Nurul Qalb, 2008), 30
Perilaku nusyuz merupakan persoalan awal dalam rumah tangga sebelum
menjalar kepada persoalan berikutnya yang lebih parah, yaitu masalah syiqaq. Pada
permasalahan nusyuz, sikap mengacuhkan pasangan baru terjadi pada salah satu
pihak suami atau istri. Sedangkan pada permasalahan syiqaq, masing-masing pihak
sudah menunjukkan antipati terhadap pasangannya.5
Dalam permasalahan nusyuz, Imam al-Syafi’i, satu di antara empat ulama
pendiri madzhab yang terkenal, memiliki pendapat yang berbeda dengan fuqaha’
lain. Dalam kitabnya, al-Umm, Imam al-Syafi’i mengemukakan sebuah pendapat
tentang adanya nusyuz dari pihak suami. Pendapat tersebut, sekalipun bukan hanya
al-Syafi’i yang mengungkapkannya, terlihat berbeda dengan kebanyakan pendapat
fuqaha’ lain yang menyatakan bahwa nusyuz semata-mata sebagai pembangkangan
seorang istri.
Namun pendapat hukum yang merupakan hasil ijtihad hukum Imam al-
Syafi’i tersebut banyak disebut-sebut sebagai produk pemikiran yang perlu ditinjau
ulang aktualitasnya. Hal tersebut disebabkan Imam al-Syafi’i tampak menggunakan
’standar ganda’ ketika menjelaskan tentang prosedur penanganan pasangan yang
sedang nusyuz. Terdapat kesenjangan antara cara menangani istri yang sedang nusyuz
dengan cara menghadapi suami yang melakukan hal yang sama.
Pendapat Imam al-Syafi’i tersebut semakin mendesak untuk ditilik kembali
karena bagaimanapun pendapat-pendapat dan hasil ijtihad Imam al-Syafi’i
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam cara pandang dan pola perilaku
masyarakat muslim di Indonesia karena memang mayoritas dari mereka mengikuti
madzhab Syafi’iyyah, tidak terkecuali dalam persoalan rumah tangga. Kebutuhan
5Ibid.
untuk meninjau ulang hasil ijtihad Imam al-Syafi’i tersebut juga tidak lepas dari
permasalahan-permasalahan paradigmatis dan konseptual.
Posisi laki-laki yang secara vertikal ditempatkan lebih tinggi dari perempuan,
sebab struktur rumah tangga masyarakat Islam yang ketika itu tidak
mempermasalahkannya, sementara saat ini prinsip kemitrasejajaran suami-istri
menjadi pedoman dalam membangun rumah tangga yang ideal, adalah satu di antara
permasalahan-permasalahan yang dimaksud. Budaya patriarkhi yang selalu
menempatkan wanita pada posisi inferior dan marginal semakin ditinggalkan.
Masyarakat mulai menyadari bahwa menempatkan kaum Hawa pada kedudukan
yang setara dengan kaum Adam adalah sebuah keharusan.
Secara ideal kaum perempuan Indonesia mempunyai hak, kewajiban, dan
kesempatan yang setara dengan pria di segala bidang, demikian pula tanggung jawab
dan tuntutan untuk berperan serta dalam pembangunan. Namun demikian, dalam
kurun waktu yang cukup lama, fakta kehidupan sosial baik di sektor domestik
maupun publik menunjukkan bahwa perempuan tidak saja dibedakan, lebih dari itu
mereka juga dimarginalkan dan ditempatkan pada ’kasta’ terendah.6
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu untuk menganalisa ketetapan
hukum Imam al-Syafi’i tentang nusyuz istri dalam perspektif gender. Sehingga bisa
mengetahui lebih jauh apakah ketentuan hukum tersebut sudah menempatkan
perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki ataukah belum.
6Rahmad Syafaat, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia (Malang: IKIP Malang, 1998), 1-2
B. Batasan Masalah
Sebagai upaya untuk menghindari perbedaan persepsi dan melebarnya
permasalahan pada penelitian ini, maka perlu diberi batasan masalah sebagai berikut.
1. Pembahasan tentang nusyuz terbatas pada pandangan tentang nusyuz menurut
Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm. Kitab tersebut dipilih dengan
pertimbangan bahwa al-Umm merupakan kitab fiqh Imam al-Syafi’i yang
paling utama.
2. Sebagai bahan analisa peneliti menggunakan paradigma kesetaraan gender
dalam relasi suami-istri. Pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz akan
dibicarakan dari sudut pandang prinsip-prinsip kesetaraan gender.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pandangan Imam Syafi`i tentang nusyuz ?
2. Bagaimanakah analisa gender terhadap pendapat Imam Syafi`i tentang nusyuz
?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan mengadakan penelitian ini antara lain:
1. Memahami pandangan Imam Syafi`i tentang nusyuz.
2. Mengetahui perspektif gender terhadap pandangan Imam Syafi`i tentang
nusyuz.
E. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan studi ini adalah:
1. Secara ilmiah dapat dijadikan hipotesa bagi penelitian berikutnya yang
mempunyai relevansi dengan skripsi ini.
2. Memberikan konstribusi dalam khazanah pemikiran hukum Islam terutama
dalam persoalan pernikahan.
3. Menjadi sebuah refleksi dalam pengembangan dan pembaharuan konsep
dalam pernikahan.
4. Menjadi sebuah karya yang dapat mendiskripsikan akan perlunya untuk terus
dikaji dan dikembangkan pemikiran alternatif dalam pernikahan secara
khusus dan dalam masyarakat muslim pada umumnya.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, hal
ini berdasarkan pada analisa datanya yang bersifat deskriptif. 7 Sementara itu,
berdasarkan disiplin ilmu yang dipakai yakni fiqh, pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis-logis karena tema yang diangkat
berkisar pada pemikiran fuqaha’/ulama.8 Menurut Lexy J. Moleong, penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang
dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,
dan lain-lain secara holistik dan dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk
7Amiruddin & Zainal Asikin (selanjutnya disebut Asikin), Pengantar Metode Penelitian Hukum (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 6. 8Cik Hasan Bisri (selanjutnya disebut Bisri), Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 17-18; Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian (Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN), 2006), 17-18.
kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.9 Penelitian dengan pendekatan kualitatif
menghasilkan data-data yang bersifat deskriptif, karena penelitian dengan
pendekatan tersebut sarat dengan deskripsi.10
2. Jenis Penelitian
Penelitian yang mengangkat tema tentang nusyuz ini jika dilihat dari bentuk
sumber datanya yang berupa kitab-kitab atau karya tulis lainnya maka termasuk
dalam penelitian yuridis-normatif atau penelitian hukum doktrinal. Dalam
penelitian hukum jenis ini, hukum acapkali di konsepkan sebagai apa yang
tertulis sebagai peraturan perundang-undangan (law in books) atau sebagai
kaidah yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas.11
3. Sumber Data
Penelitian hukum yang diawali dengan premis normatif, maka datanya diawali
dengan data sekunder. Pada penelitian hukum normatif yang hanya mengenal
data sekunder saja, jenis datanya adalah bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.12
a. Bahan Hukum Primer, yaitu tulisan ulama yang bersangkutan, dalam hal ini
kitab al-Umm karya Imam al-Syafi’i.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, atau bahan pustaka yang mengacu atau
9Asikin, Op. Cit., 6. 10Bisri, Op. Cit., 272 11Ibid., 118. 12Asikin, Op. Cit., 31-32; Bisri, Op. Cit., 309.
mengutip bahan hukum primer.13 Dalam penelitian ini yang menjadi bahan
sekunder antara lain:
1) Ringkasan Kitab al-Umm karya Muhammad Yasir Abdul Muthallib
2) Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’i karya Muhammad A.W. Al-‘Aqil;
3) Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an karya Nasaruddin
Umar;
4) Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam karya Nasr
Hamid Abu Zayd;
5) Pembebasan Perempuan karya Asghar Ali Engineer;
6) Mulai dari Rumah: Wanita Muslim dalam Pergumulan Tradisi dan
Modernisasi karya Syaikh Muhammad al-Ghazali;
7) Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender karya Mufidah Ch.
c. Sumber hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.14 Dalam penelitian ini bahan
hukum tersier antara lain:
1) Ensiklopedi Islam susunan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam;
2) Kamus al-Munawwir (Arab-Indonesia) karya Ahmad Warson Munawwir;
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data ialah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh
data yang diperlukan.15 Dikarenakan penelitian ini berupa penelitian kepustakaan
(bibliographie research), maka teknik pengumpulan data adalah dengan cara
menelaah dan menganalisis literatur-literatur yang ada, kemudian hasilnya dicatat 13Asikin, Op. Cit.; Bisri, Op. Cit. 14Asikin, Op. Cit. 15Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Gholia Indonesia, 1988), 211.
dan dikualifikasi menurut kerangka yang sudah direncanakan. Dalam penelitian
ini, karena termasuk kategori penelitian pemikiran ulama maka data-data yang
dikumpulkan terutama berkenaan dengan sumber dan dalil hukum yang
digunakan, metode ijtihad yang diunggulkan, dan produk pemikiran ulama yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah Imam al-Syafi’i. Sementara itu aspek-aspek
eksternal dari pemikiran tersebut berkenaan dengan tradisi intelektual, matarantai
intelektual, dan entitas kehidupan yang menjadi perhatian dan pengkajian Imam
al-Syafi’i.16 data-data dalam penelitian ini terutama diperoleh dari buku-buku
yang menjadi bahan hukum primer sebagaimana telah disebutkan di atas, diikuti
kemudian dengan data dari buku-buku pendukung (sekunder) yang menjelaskan
tentang nusyuz dan gender atau literatur lain yang terkait dengannya. Dan sebagai
pelengkap peneliti juga menggunakan data-data tersier dari kamus dan
ensiklopedia.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis
(analisis isi). Dalam analisis data jenis ini dokumen yang dianalisis disebut
dengan istilah “teks” atau wujud dari representasi simbolik yang direkam atau
didokumentasikan. Content analysis menunjuk kepada metode analisis yang
integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan untuk menemukan,
mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis dokumen untuk memahami makna
dan signifikasinya.17
Dalam penelitian ini tahapan analisis data adalah sebagai berikut:
16Bisri, Op. Cit., 310. 17Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 203.
a. Data yang telah terkumpul diedit dan diseleksi sesuai dengan ragam
pengumpulan data;
b. Mengklasifikasikan data;
c. Memberikan kode data yang telah diklasifikasikan, kemudian menyusun dan
menghubungkan data satu dengan data yang lainnya;
d. Data yang sudah disusun dan dihubungkan kemudian ditafsirkan;
e. Dilakukan penarikan kesimpulan setelah jawaban atas pertanyaan penelitian
ditemukan pada tahap sebelumnya.18
G. Penelitian Terdahulu
1. Penelitian yang membahas persoalan fikih Imam al-Syafi’i pernah dilakukan oleh
Lahmuddin Nasution. Penelitian tersebut berjudul ‘Pembaruan Hukum Islam
dalam Madzhab Syafi’i’. Dalam penelitiannya itu Lahmuddin Nasution
membahas tentang faktor-faktor munculnya qaul qadim dan qaul jadid,
hubungannya dengan konteks tempat dan waktu, serta keberadaan qaul qadim
dan qaul jadid dalam madzhab Syafi’i.
Sebagai hasil penelitiannya Lahmuddin Nasution menyimpulkan bahwa
perubahan qaul qadim ke qaul jadid terjadi karena fatwa harus senantiasa baru
sesuai dengan hasil ijtihad yang terakhir, dan tidak terikat dengan ijtihad yang
terdahulu. Perubahan tersebut juga disebabkan oleh berubahnya cara pandang
dan berbedanya kondisi sosial, budaya, ekonomi, geografis, dan lain-lain.
2. Penelitian lain dilakukan oleh Laily Ishma Rini (197.01.2.0014), mahasiswi
angkatan 2001 Fakultas Agama Islam, jurusan al-Ahwal al-Syakhsiyah,
18 Bisri, Op. Cit., 229-230.
Universitas Islam Malang. Dalam skripsinya dia mengangkat judul “Bentuk-
Bentuk Nusyuz dan Akibat Hukumnya Dalam Perspektif Hukum Islam”.
Dalam skripsinya dia membahas tentang ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh hukum islam mengenai nusyuz suami atau nusyuz istri. Selain itu
dia menulis tentang bentuk-bentuk nusyuz dan akibat hukumnya jika nusyuz itu
terjadi pada suami atau istri. Serta cara mencegah dan menanggulangi nusyuz
yang disebabkan oleh suami atau istri.
Penelitian yang pertama memiliki perbedaan dengan penelitian yang diangkat
oleh penulis. Jika penelitian Lahmuddin Nasution di atas memfokuskan masalah
pada adanya qaul qadim dan qaul jadid dan pengaruhnya terhadap madzhab
Syafi’iyyah, maka penulis lebih memfokuskan pada pandangan al-Syafi’i tentang
nusyuz dan perspektif kesetaraan gender terhadap pendapat tersebut. Sedangkan
penelitian yang kedua mempunyai persamaan dan perbedaan dengan judul skripsi
yang akan penulis bahas. Persamaannya adalah pada bentuk-bentuk nusyuz dan
akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan nusyuz. Adapun letak
perbedaannya penulisan ini lebih spesifik karena terfokus kepada pandangan
Imam al-Syafi’i tentang nusyuz yang kemudian dianalisa dengan prinsip-rinsip
kesetaraan gender. Sedangkan penulisan yang dilakukan oleh Laily lebih luas
karena mencakup pendapat semua Imam madzhab tentang nusyuz dan tidak
hanya tertentu pada nusyuz istri seperti dalam skripsi ini.
H. Sistematika Pembahasan
Sesuai dengan tema pembahasan yang ada pada skripsi ini ditulis dengan
sistematika sebagai berikut :
BAB I : Merupakan landasan pemikiran dari penelitian ini. Bagian ini memuat
tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, batasan
masalah, definisi operasional, metode penelitian yang memuat uraian
tentang pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, teknik pengolahan data, teknik analisis data,
penelitian terdahulu, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Bagian ini menjelaskan tentang biografi singkat Imam Syafi`i ( latar
belakang sosial, latar belakang intelektual, serta karir dan karya
tulisnya); pemikirannya tentang nusyuz (definisi, dasar-dasar hukum
nusyuz, manifestasi nusyuz, prosedur penyelesaian perilaku nusyuz,
dan implikasi dari perbuatan nusyuz).
BAB III : Pada bab ini akan dijelaskan tentang paradigma gender dalam relasi
suami-istri, pembahasannya meliputi gagasan kesetaraan gender
dalam kehidupan social masyarakat Indonesia (definisi gender,
sejarah singkat pemikiran kesetaraan gender, landasan teologis,
prinsip-prinsip kesetaraan gender dan manifestasi kesetaraan gender);
wawasan kesetaraan gender dalam kehidupan rumah tangga (problem
relasi suami-istri, relasi ideal suami-istri).
BAB IV : Memaparkan analisis data tentang pandangan Imam Syafi`i tentang
nusyuz dengan pisau analisis prinsip-prinsip kesetaraan gender.
BAB V : Merupakan bagian yang memaparkan kesimpulan dan refleksi. Bab
ini merupakan bagian terakhir dari karya ilmiah ini. Kesimpulan
ditarik dari analisa data dan pembahasan yang telah dilakukan,
sementara refleksi menyesuaikan dengan hasil dan analisa dan
pembahasan penelitian.
BAB II
IMAM AL-SYAFI’I DAN PENDAPATNYA TENTANG NUSYUZ
A. Biografi Singkat Imam Syafi’i
1. Latar Belakang Sosial Imam al-Syafi’i
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin
‘Utsman bin Syafi’ bin al-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin Muthalib
bin ‘Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib Abu
‘Abdillah al-Qurasyi al-Syafi’i al-Makki. Ayahnya bernama Muhammad bin Idris
bin ‘Abbas bin Usman bin Syafi’ bin al-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim
bin Muthalib bin ‘Abd Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah, nasabnya dengan
Rasulullah bertemu pada ‘Abd Manaf bin Qushai. Sedangkan ibunya adalah Fatimah
binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib.19
Dari kedua jalur keturunan di atas terlihat bahwa hubungan darah antara
Imam al-Syafi’i dan Nabi Muhammad SAW. cukup berdekatan. Sebagai seorang
ulama keturunan Muthallib dan membawa darah Quraisy, al-Syafi’i menyandang
gelar al-Muthallibiy (keturunan Muthallib) dan al-Quraisyiy (keturunan suku
Quraisy). Namun ketika telah menghasilkan beragam pemikiran, beliau lebih dikenal
dengan sebutan al-Syafi’i. Nama al-Syafi’i merujuk pada paman keduanya, Syafi’i
bin Sa’id. Sa’id sendiri adalah sahabat Nabi setelah masuk Islam. Sebelumnya ia
merupakan orang musyrik yang menjadi tawanan saat Perang Badar, namun
kemudian ia minta dibebaskan dan menyerahkan dirinya kepada Nabi Muhammad
SAW.20
Beliau lahir di Ghazzah, Askalan, tahun 150 H / 765 M, bertepatan dengan
tahun di mana Abu Hanifah meninggal dunia. Tatkala umurnya mencapai dua tahun,
ibunya memindahkannya ke Hijaz di mana sebagian besar penduduknya berasal dari
Yaman. Ibu al-Syafi’i sendiri berasal dari Azdiyah. Keduanya menetap di sana
selama beberapa waktu. Namun ketika umurnya telah mencapai sepuluh tahun,
ibunya memindahkannya ke Makkah karena khawatir akan melupakan nasabnya.21
Imam al-Syafi’i hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyyah. Dinasti
Abbasiyyah merupakan pemegang otoritas politik di wilayah yang sebelumnya
19Muhammad A.W. Al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’i ( Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), 15. 20Moenawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955) 149. 21Al-Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris, ”Mukhtassar Kitab al-Umm fi al-Fiqh”, diterjemahkan oleh Muhammad Yasir Abdul Muthallib (selanjutnya disebut Muthallib), Ringkasan Kitab al-Umm, buku I (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 3.
dikuasai oleh Dinasti Umayyah. Masa kekuasaan dinasti itu dikenal dengan masa
klasik atau pertengahan Islam, yang juga dikenal dengan zaman keemasan Islam.22
Masa hidup Imam al-Syafi’i bertepatan dengan kekuasaan Khalifah al-
Manshur, al-Mahdi, al-Hadi, Harun al-Rasyid, al-Amin, dan al-Makmun. Al-Mansur
adalah khalifah yang berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah kekuasaan yang
sebelumnya memerdekakan diri. Di antara usaha-usaha yang ia lakukan adalah
merebut benteng-bentengnya di Malatia, Coppadocia, dan Sicilia pada 756-758 M.23
Puncak keemasan kekuasaan dinasti ini adalah pada masa pemerintahan tujuh
khalifah sesudah al-Manshur. Mulai dari Khalifah al-Mahdi hingga al-Watsiq.
Namun karena masa hidup al-Syafi’i yang hanya sampai tahun 204 H. maka khalifah
terakhir yang ia kenal hanya sampai Khalifah al-Makmun, khalifah yang menjabat
dua periode di atas al-Watsiq.24
Ketika Imam al-Syafi’i hidup, terutama pada masa Harun al-Rasyid dan al-
Makmun, otoritas Islam sedang menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam daripada perluasan wilayah yang ketika itu memang sudah cukup luas.
Orientasi pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda
dengan dinasti sebelumnya, yakni Umayyah.25
Pada masa al-Mahdi sektor ekonomi menguat. Irigasi yang dibuat membuat
hasil pertanian meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Pertambangan dan
22Dinasti Abbasiyyah didirikan oleh Abu Abbas al-Shaffah yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abd al-Muthallib. Raja-raja pada masa dinasti itu adalah para aristokrat yang memiliki darah keturunan Abbas. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (1994) Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hove), 4. 23Ibid., 4. 24Ibid., 25Ibid.,
sumber-sumber alam bertambah. Demikian pula perdagangan ke Timur maupun ke
Barat juga dipergiat. Basrah menjadi pelabuhan transit yang ramai.26
Tingkat kemakmuran yang tinggi tercapai pada masa pemerintahan Harun al-
Rasyid. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kesusateraan, dan kebudayaan berada pada zaman keemasan. Sementara itu pada
masa al-Makmun terkenal dengan adanya gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan
dengan menerjemahkan buku-buku Yunani. Filsafat Yunani yang mengusung
pemikiran-pemikiran rasional menjadikan khalifah tertarik dan mengambil teologi
rasional Muktazilah sebagai madzhab teologi negara.27
Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut semakin pesat setelah khalifah
mendirikan lembaga yang mendukung, yaitu perpustakaan-perpustakaan. Di antara
perpustakaan tersebut yang paling utama adalah Bait al-Hikmah dan Dar al-Hikmah.
Perpustakaan-perpustakaan tersebut didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan
mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Makmun perpustakaan tersebut lebih
menyerupai sebuah universitas di mana kegiatan belajar, berdiskusi, menulis,
menerjemahkan, mengarang kitab, dan aktivitas keilmuan lainnya dilakukan.28
2. Latar Belakang Pendidikan Imam al-Syafi’i
Imam al-Syafi’i sejak kecil hidup dalam kemiskinan. Ketika beliau
diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak mendapatkan upah dan
mereka hanya terbatas pada pengajaran. Namun setiap kali seorang guru
mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat al-Syafi’i kecil dengan ketajaman
26Ibid., 5. 27Ibid., 28Ibid., 6.
akal yang dimilikinya sanggup menangkap semua perkataan serta penjelasan
gurunya.29
Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, al-Syafi’i
mengajarkan lagi apa yang didengar dan dipahaminya kepada anak-anak yang lain,
sehingga dari apa yang dilakukannya ini al-Syafi’i mendapatkan upah. Ketika
menginjak umur tujuh tahun al-Syafi’i telah menghafal seluruh al-Qur’an dengan
baik.30
Sesudah kembali ke Makkah, ia mulai belajar hadits kepada ahli hadits saat
itu, diantaranya ialah Sufyan bin ‘Uyainah dan Fudatul bin Iyad. Al-Syafi’i
mempelajari hadits dengan tekun sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia telah
berhasil mencatat dan menghafal hadits-hadits yang diajarkan oleh gurunya.
Sekalipun, karena kesulitannya untuk memperoleh alat tulis, al-Syafi’i menuliskan
hadits-hadits itu ditembikar, kulit, dan tulang.31
Setelah mempelajari kedua sumber ajaran Islam itu, al-Syafi’i merasa perlu
untuk mempelajari Bahasa Arab. Hal ini didasarkan pada keyakinannya bahwa untuk
memahami al-Qur’an dan al-Hadits, maka Bahasa Arab haruslah dikuasai. Oleh
karena Bahasa Arab yang berkembang di Makkah saat itu telah bercampur dengan
bahasa selain Arab (‘ajam), maka al-Syafi’i pergi ke pelosok desa bernama Hudzail.
Di daerah ini masyarakatnya menggunakan Bahasa Arab yang masih asli. Berkat
berada di komunitas itulah al-Syafi’i menjadi fasih berbahasa Arab dan mempunyai
feeling sastra yang dalam.32
29Ibid., 7. 30Muthallib, Op. Cit., 4 31Ibid, 6 32Muhammad AW. Al-Aqil, Op. Cit., 39
Dalam bidang ilmu fiqih untuk pertama kalinya al-Syafi’i belajar kepada
Imam Muslim bin Khalid az-Zainy, seorang guru besar dan mufti di Makkah saat itu.
Pada gurunya itu al-Syafi’i belajar cukup lama, sehingga ia mendapatkan ijazah dan
diperbolehkan untuk memberi fatwa tentang hukum-hukum keagamaan (fiqih).
Dengan luasnya pengetahuan fiqih yang dimiliki, al-Syafi’i telah menjadi seorang
mufti ketika baru berusia 15 tahun.33
Meski telah menjadi mufti di usia yang relatif masih sangat muda, dengan
kemauannya yang keras dalam menuntut ilmu al-Syafi’i selalu mencari sumber-
sumber ilmu baru. Ketika mendengar kealiman Imam Malik yang berada di Madinah,
maka al-Syafi’i berencana untuk belajar kepadanya.34
Sebelum memenuhi niatnya al-Syafi’i meminjam kitab al-Muwatta’ karangan
Imam Malik dan menghafalnya hanya dalam waktu sembilan hari. Setelah itu ia
berangkat dan membaca di luar kepala di hadapan Imam Malik. Mendengar bacaan
al-Syafi’i terhadap kitabnya Imam Malik memuji kelancaran bacaan serta
kesempurnaan pemahaman al-Syafi’i terhadap kitabnya. Selanjutnya Imam Malik
memberikan ijazah (hak mengajar) kitab al-Muwatta’ kepada al-Syafi’i ketika
dirinya pergi dari Madinah.35
Luasnya pengetahuan fiqih yang diperoleh al-Syafi’i dari para ahli fiqih telah
membuat al-Syafi’i berpandangan luas. Ketertarikannya pada bidang fiqih tidak
terbatas pada pemikiran Imam Malik dan Abu Hanifah saja, namun juga pemikiran-
pemikiran Syiah dan Mu’tazilah.36
33Moenawar Khalil, Op. Cit., 153 34Ibid., 35Ibid, 154 36Ibid.,
Dalam kajian Ibn Katsir, sebagaimana dikutip oleh Mun’im A. Sirry,
diriwayatkan bahwa al-Syafi’i berkata bahwa barang siapa yang ingin memperdalam
fiqih maka ia harus belajar kepada Imam Abu Hanifah, sementara yang ingin
memperdalam sejarah harus menjadi murid Muhammad bin Ishaq, sedangkan yang
ingin memperdalam hadits harus belajar kepada Imam Malik dan yang ingin
memperdalam ilmu tafsir belajarlah kepada Muqhatil bin Sulaiman.37
Luasnya ilmu pengetahuan dalam diri al-Syafi’i telah menjadikannya sebagai
pemikir dengan pisau analisis yang tajam. Al-Syafi’i mampu membaca kelebihan dan
kekurangan ilmu yang dikuasai para pendahulunya, sehingga ia mampu memilah
pemikiran guru-gurunya. Inilah yang menjadikan al-Syafi’i sebagai pemikir yang
keluar dari jebakan taqlid, bahkan dengan pemikirannya beliau mampu membangun
madzhab sendiri, yakni Syafi’iyyah.
Di akhir hayatnya Imam al-Syafi’i mengisi waktunya untuk berdakwah,
menyebarkan ilmu, dan mengarang kitab di Mesir. Aktivitas kesehariannya yang
selalu padat dengan berbagai kegiatan itu ternyata memberikan mudharat pada
tubuhnya, sehingga ia pun terserang penyakit wasir yang menyebabkan pendarahan.
Tetapi karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam al-Syafi’i tetap melakukan
pekerjaan itu tanpa memperdulikan sakitnya hingga wafat pada bulan Rajab 204 H /
819 M di Fustat.38
3. Karya Tulis Imam al-Syafi’i
Kitab-kitab karangan Imam al-Syafi’i antara lain: Al-Umm, Al-Risalah al-
Qadimah (Kitab al-Hujjah), Al-Risalah al-Jadidah, Ikhtilaf al-Hadist, Ibhthal al-
37Ibid, 155 38Muhammad AW. Al-Aqil, Op Cit., 40
Ihtisan, Ahkam al-Qur’an, Bayan al-Fardh, Shifat al-Amr wa al-Nahy, Ikhtilaf al-
Malik wa al-Syafi’I, Ikhtilaf al-Iraqiyyin, Ikhtilaf Muhammad bin Husein, Kitab al-
Sunan.39
B. Metode Istinbath Hukum Imam al-Syafi’i
Kaidah ushul Imam al-Syafi’i meletakkan empat sumber yang menjadi
rujukan dalam menetapkan hukum Islam. Sebagaimana dikutip Muhammad al-Fashi,
Imam al-Syafi’i berkata, “Dasar pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah
jika tidak ada maka qiyas dan ijma’ lebih diutamakan dibandingkan hadits ahad”.
Dari perkataan itu maka dasar hukum yang dipakai Imam al-Syafi’i adalah dwi
tunggal al-Qur’an dan Sunnah, qiyas dan ijma’.
1. Al-Qur’an dan as-Sunnah
Kajian al-Syafi’i terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum dititikberatkan
pada gaya kebahasaan al-Qur’an. Menurut Syafi’i, al-Qur’an menggunakan, pertama
kata-kata yang bersifat umum dan eksplisit (dzahir-am) dengan maksud yang juga
umum dan eksplisit, sehingga pernyataan yang pertama tidak memerlukan
pernyataan yang kedua. Kedua, pernyataan al-Qur’an bersifat umum dan eksplisit
dengan maksud khusus, dan ketiga : pernyataan al-Qur’an yang memiliki arti literal
(dzahir), tapi dari segi konteks (nisbah) pengungkapannya harus diberi arti yang non
literal (ghairu dzahir).40
Sedangkan terhadap as-Sunnah, Imam Syafi’i menyatakan sebagai al-hikmah
Menurut Syafi’i, pengertian al-hikmah sebagai Sunnah Rasul merupakan pengertian
yang paling dekat dengan apa yang dikatakan Allah sendiri dalam firman-Nya (al-
39Muthallib, Op. Cit., 9 40Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, Ar-Risalah ( Beirut: Dar al-Kutub, tt) 39
Baqarah: 29), Allah mengemukakan kepada makhluknya agar selalu bersyukur atas
karunia diutusnya Rasulullah yang membawa misi untuk mengajarkan al-Qur’an dan
al-Hikmah. Oleh karena itu, maka kata-kata al-hikmah disini hanya berarti Sunnah
Rasul. Dan dengan adanya perintah agar kita selalu taat kepada Rasul, maka itu juga
berarti bahwa suatu kewajiban tidak dapat ditetapkan tanpa landasan yang jelas dari
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.41
Adapun fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur’an, Imam Syafi’i membaginya
dalam dua kategori, yakni: pertama, Sunnah yang hadir untuk mengkonfirmasikan
semua yang diwahyukan. Kedua, Sunnah yang berfungsi untuk memberikan
kejelasan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an dalam menerangkan bentuk
perintah yang diturunkan apakah bersifat umum atau khusus, dan bagaimana
menunaikannya. Terhadap hal ini lebih jauh Imam Syafi’i mengatakan, “Saya belum
pernah mengetahui bahwa ada orang yang tidak menyetujui bahwa Sunnah Nabi ada
tiga¸yakni: pertama, Sunnah Rasul yang menegaskan seperti apa-apa yang dinashkan
oleh al-Qur’an. Kedua, Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki
oleh al-Qur’an. Tentang kategori yang kedua ini tidak ada pertentangan dikalangan
ulama. Ketiga, Sunnah Rasul berdiri sendiri, yang tidak ada kaitannya dengan nash
al-Qur’an.
Demikianlah pemikiran integral Imam al-Syafi’i mengenai al-Qur’an dan as-
Sunnah sebagai sumber hukum. Dalam pandangannya, kedua sumber itu berdiri
sejajar sebagai sandaran dalam menetapkan hukum Islam.
41Ibid., 56.
2. Ijma
Kesepakatan tentang suatu keputusan hukum atau yang dikenal dengan ijma’
merupakan salah satu dasar hukum Syafi’i. sebelumnya, Imam Malik juga
memperkenalkan konsep ijma’ ini. namun berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i
memperketat persyaratan ijma’ sebagai sumber hukum.
Dalam mengoperasionalkan ijma’ sebagai landasan hukum, Imam Syafi’i
menyandarkan persepakatan itu atas as-Sunnah. artinya, ijma’ itu bisa dijadikan
sumber hukum jika terdapat as-Sunnah yang melegitimasinya. hal ini tampak pada
pembicaraan Syafi’i ketika ia menjawab pertanyaan seseorang tentang ijma’.
menurut al-Syafi’i, ijma’ terbatas mengenai apa yang disepakati dan ada landasan
riwayat dari Rasulullah.
Sedangkan ijma’ yang tidak terikat dengan riwayat formal dari bani, tidak
dapat ditegaskan sebagai sumber pada riwayat tersebut. sebab, seorang hanya dapat
meriwayatkan apa yang ia dengar. ia tidak bisa meriwayatkan berdasarkan dugaan
dimana kemungkinan nabi sendiritidak pernah mengatakannya atau melakukannya.
oleh karena itu, kesepakatan umat bisa diterima dan otoritas mereka bisa diikuti
dengan keyakinan bahwa setiap Sunnah nabi pasti diketahui oleh mereka meskipun
terdapat kemungkinan tidak diketahui oleh sebagian yang lain karena keyakinan
bahwasannya umat tyidak akan bersepakat dalam suatu kesalahan.42
Dari penjelasan diatas, ijma’ bisa dijadikan sumber hukum jika memiliki
sandaran as-Sunnah dan tidak bertentangan dengannya. sebab, ijma’ tidak dapat
berdiri sendiri tanpa adanya sandaran penjelasan dari Rasulullah.
42Ibid., 224
3. Qiyas
Qiyas merupakan langkah ijtihad yang harus ditempuh seorang mujathid
untuk menentukan hukum Islam. qiyas adalah menganalogikan suatu persoalan yang
tidak terdapat penjelasannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan pejelasan yang
telah ada dalam keduanya berdasarkan adanya persamaan illat. Menurut Imam
Syafi’i, semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada
hubungan yang jelas dan mengikat atau setidaknya ada ketentuan umum yang
menunjuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan
jalan ijtihad, dan ijtihad tidak lain adalah qiyas itu sendiri. Jadi, antara qiyas dan
ijtihad itu memiliki arti yang sama.43
Metode qiyas ini bisa dipergunakan, apabila ketentuan hukum suatau
permasalahan tidak ditemukan penjelasannya dalam nash. Bahkan, Imam Syafi’i
menempatkannya sebagai alternative terakhir dalam memutuskan suatu persoalan.
Hal itu terlihat dari pernyataan Imam Syafi’i, bahwa pengetahuan itu bisa diperoleh
dari sumber al-Qur’an atau as-Sunnah.
Dalam merumuskan qiyas sebagai metode istinbath hukum, Imam Syafi’i
menyandarkan pendapatnya pada firman Allah. Sebab, hasil istidlal melalui qiyas ini,
seperti dikemukakannya sendiri tidak bisa dipandang benar olh pihak lain, adalah
bersifat relatif, bukan kebenaran absolut sebagaimana nash.
C. Nusyuz dalam Ijtihad Hukum Imam Al-Syafi’i
1. Dasar Hukum Nusyuz
Dalam menjelaskan perihal nusyuz Imam al-Syafi’i antara lain mengelaborasi
surat al-Nisa’ ayat 34, yaitu:
43Ibid., 227
ãΑ%y Ìh�9 $# šχθ ãΒ≡§θs% ’n? tã Ï !$ |¡ÏiΨ9$# $ yϑ Î/ Ÿ≅āÒ sù ª!$# óΟ ßγŸÒ ÷èt/ 4’ n? tã <Ù ÷è t/ !$yϑ Î/ uρ (#θ à)x�Ρr& ôÏΒ öΝÎγÏ9≡uθ øΒr& 4 àM≈ys Î=≈¢Á9 $$sù ìM≈tGÏΖ≈s% ×M≈sà Ï�≈ym É=ø‹tó ù=Ïj9 $yϑÎ/ xáÏ� ym ª! $# 4 ÉL≈©9 $# uρ tβθ èù$ sƒrB �∅ èδy—θ à± èΣ �∅èδθ ÝàÏè sù
£èδρã� àf ÷δ$# uρ ’ Îû ÆìÅ_$ŸÒ yϑø9 $# £ èδθç/ Î�ôÑ$# uρ ( ÷β Î*sù öΝà6uΖ÷è sÛr& Ÿξ sù (#θäó ö7s? £Íκö� n=tã ¸ξ‹Î6y™ 3 ¨βÎ) ©! $# šχ%x.
$wŠÎ=tã # Z��Î6Ÿ2
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.44
Ayat di atas menurut Imam al-Syafi’i diturunkan sesudah adanya larangan
seorang suami memukul istri.45 Larangan tersebut berasal dari sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn ’Uyaynah, dari al-Zuhri, dari ’Abdullah bin Abdillah bin
’Umar, dari Iyas bin ’Abdillah bin Abi Dzubab, Nabi SAW bersabda yang artinya:
عم عليه وسل صلى اهللا اهللا رسولقال: ال قبابي ذ أب بن اهللا عبد بنسيا إن :ضرال توا بلى النساء عنرـئذ: القم ف عليه وسل صلى اهللا اهللا إىل رسولمر، فجاء ع اهللاماءإ
كثرياءس نم عليه وسل اهللالى ص اهللاولس رآل بافطأ، فـهنبري ض فخصر فنهأزواجيونكشأزواج هالق فنب النم صلى اهللا عليه وسلي :طلقد آلـ بافم حساء ندمكثري يونكشأزواج هنليس خ ب أولئكمكاري.
44Al-Qur’an dan terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf asy-Syarif,1990), 123 45 Muhammad bin Idris as-Syafi’i (selanjutnya disebut al-Syafi’i), al-Umm (Juz II, Beirut, Dar al-Fikr, tth.), 207
Dari Iyas bin Abdillah bin Abi dzubab, Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kalian
memukul hamba-hamba perempuan Allah. Kemudian Umar RA datang kapada
Rasulullah SAW dan berkata: perempuan-perempuan itu telah berbuat durhaka
terhadap suaminya, kemudian Rasul memperbolehkan memukul mereka. Kemudian
perempuan-perempuan itu mendatangi keluarga Rasulullah untuk mengadukan
suami-suami mereka. Rasulullah bersabda: perempuan-perempuan yang telah
mengadukan suami- suami mereka,mereka bukanlah istri-istri yang baik.46.
Di samping itu Imam al-Syafi’i juga mengutip ayat ke 128 dalam surat al-
Nisa’, yakni:
ÈβÎ)uρ îοr& z÷ö∆$# ôMsù%s{ .ÏΒ $ yγÎ=÷è t/ # �—θ à±çΡ ÷ρ r& $ ZÊ# {� ôã Î) Ÿξsù yy$ oΨ ã_ !$ yϑ Íκö� n=tæ β r& $ ysÎ=óÁ ム$yϑ æηuΖ÷� t/ $[s ù=ß¹ 4 ßxù=÷Á9 $#uρ ×�ö� yz 3 ÏN u�ÅØ ômé&uρ Ú[ à�ΡF{ $# £x’±9 $# 4 β Î)uρ (#θ ãΖÅ¡ ós è? (#θà)−G s? uρ �χÎ* sù ©!$# šχ%x. $yϑ Î/
šχθ è=yϑ ÷è s? # Z��Î6yz
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz dan sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.47
2. Prosedur Penanganan Nusyuz
Terdapat perbedaan antara penanganan nusyuz yang dilakukan oleh istri
dengan nusyuz yang dilakukan oleh suami. Keterangan yang diberikan Imam al-
Syafi’i tentang cara menangani nusyuz seorang istri lebih mudah ditemukan
dibandingkan penjelasannya tentang cara mengatasi nusyuz suami.
46Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 830. 47Al-Qur’an dan terjemahnya, Op.Cit.,143
Dalam al-Umm al-Syafi’i menyatakan:
حيتمل إذا رأى الدالالت يف إيغال املرأة وإقباهلا على النشوز " والاليت ختافون نشوزهن" 48فكان للخوف موضع أن يعظها فإن أبدت نشوزا هجرها، فإن أقامت عليه ضرا
”Dan wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya ” mengandung arti
jika suami melihat gelagat seorang istri melakukan nusyuz maka kekhawatirkan tersebut memberikan tempat bagi suami untuk memberikan nasehat terhadap istrinya itu. Jika sang istri tetap pada sikapnya maka suami boleh meninggalkan ranjangnya, namun bila istri tidak berubah maka suami boleh memukulnya.”
Pada potongan ayat ’wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya
(wallatiy takhafuna nusyuzahunn)’ pada surat al-Nisa’ ayat 34 di atas mengandung
arti bahwa jika seorang suami melihat tanda-tanda istrinya berbuat nusyuz, sementara
ia merasa khawatir dengan perilaku istrinya itu, maka hal tersebut cukup menjadi
alasan bagi sang suami untuk menasehati istrinya itu.
Seandainya sang istri bersikukuh dengan sikapnya itu, maka suami
diperbolehkan meninggalkan (al-hijrah) tempat tidurnya dalam arti tidak menggauli
istrinya sebagaimana wajarnya. Namun jika sang istri tetap pada pendiriannya, saat
itulah suami boleh memukulnya (al-dlarb).49
Selanjutnya al-Syafi’i mengatakan:
..وذلك أن العظة مباحة قبل فعل املكروه
”Hal tersebut adalah bahwa memberikan nasehat diperbolehkan sebelum seorang suami melakukan suatu perbuatan yang tidak disukai..”
Prosedur penanganan secara bertahap ini didasari oleh pertimbangan bahwa
memberi nasehat (al-’idzdzah) mubah hukumnya sebelum seseorang melakukan
48 Al-Syafi’i, Op. Cit., 120 49 Ibid.,
perbuatan yang –dalam keadaan normal– dilarang, dalam hal ini adalah ’pisah
ranjang’ dan memukul istri.
وإذا رجعت الناشز عن النشوز مل يكن لزوجها هجرا والضرا ألنه إمنا أبيحا له 50 .ته فقد زايلت املعىن الذي أبيحا له بهبالنشوز فإذا زايل
”Ketika seorang istri sadar dan tidak melakukan nusyuz lagi maka sang
suami dilarang meninggalkan ranjangnya dan memukul istrinya, karena dua hal tersebut diperbolehkan oleh sebab adanya nusyuz sehingga sewaktu nusyuz tersebut hilang maka faktor yang membolehkan dua hal di atas juga ikut hilang.”
Oleh karenanya, ketika sang istri telah sadar dan kembali memenuhi
kewajibannya terhadap pasangannya maka sang suami tidak lagi dibenarkan untuk
’pisah ranjang’ atau memukulnya.
واهلجرة التكون إال مبا حيل به اهلجرة ألن اهلجرة حمرمة يف غري هذا املوضع فوق ثالث
”Pisah ranjang (hijrah) tidak diperkenankan kecuali dalam hal dimana
hijrah itu diperbolehkan , sebab hijrah (pisah) selain dalam situasi ini diharamkan di atas tiga hari.”51
Meninggalkan istri di tempat tidurnya (al-hijrah) tidak boleh dilakukan
kecuali pada situasi yang diperkenankan. Dan selain karena alasan nusyuz istri
seorang suami sama sekali dilarang untuk melakukan hal tersebut melebihi waktu
tiga hari.
ضجع حىت ترجع عن النشوز والجيوز فيها يف هجرة الكالم ثالثا ألن اهللا ويهجرها يف املقال والجيوز . عز وجل إمنا اهلجرة يف املضجع واهلجرة يف املضجع تكون بغري هجرة كالم
ألحد أن يضرب واليهجر مضجعا بغري بيان نشوزها
”Diperbolehkan meninggalkan istri dalam hal hubungan badan sampai istri
berhenti nusyuz, dan tidak diperbolehkan meninggalkan istri dalam hal komunikasi
50Ibid., 51Ibid.,208
(tidak saling sapa) lebih dari tiga hari, karena Allah SWT tidak memperbolehkan hal itu. Dan tidak diperbolehkan bagi suami untuk memukul dan pisah ranjang terhadap istri yang tidak terlihat tanda-tanda nusyuznya.”52
Namun perlu diingat bahwa kebolehan tersebut hanya terbatas meninggalkan
istri di tempat tidurnya, tidak bersikap acuh dalam percakapan sehari-hari (wa al-
hijrah fi al-madlja’ takunu bighair hijrah kalam). Dan itupun dilakukan setelah sang
suami menjelaskan duduk perkaranya, yakni nusyuz sang istri tersebut.
Sementara itu memukul istri sebagai alternatif terakhir dalam masalah ini
meniscayakan adanya penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan oleh istri
tersebut. Atau dalam kalimat al-Syafi’i:
الضرب اليكون إال ببيان الفعل، فاآلية يف العظة واهلجرة والضرب على بيان الفعل تدل على أن حاالت املراة يف اختالف ما تعاتب فيه وتعاقب من العظة واهلجرة والضرب
..خمتلفة
”Memukul istri tidak boleh dilakukan tanpa terlebih dahulu menerangkan perbuatannya. Ayat tentang pemberian nasehat, hijrah, dan pemukulan terhadap istri dengan diiringi penjelasan untuk memberikan penjelasan tentang perbuatan tersebut menunjukkan bahwa perilaku istri yang bertentangan dengan alasan memberikan nasehat, hijrah, dan pemukulan istri tidak sama.”
53واليبلغ يف الضرب حدا واليكون مربحا والمدميا ويتوقى فيه الوجه
”Janganlah melewati batas dalam pemukulan, tidak diperbolehkan pukulan
yang menyakiti, yang membuat berdarah, dan pukulan diwajah.”
Dan perlu juga untuk diingat bahwa memukul dalam konteks ini tidak boleh
dilakukan hingga membuat istri kesakitan apalagi sampai mengeluarkan darah.
Dengan kata lain pukulan tersebut sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyakiti
52Ibid 53Ibid.,
istri. Selain itu pukulan suami tersebut juga tidak boleh diarahkan pada bagian wajah
istrinya.
إذا نشزن فابن النشوز فكن عاصيات به أن جتمعوا " ختافون نشوزهن "وحيتمل يف 54عليهن العظة واهلجرة والضرب
Dalam kalimat ”yang kalian khawatirkan nusyuznya” terkandung makna
bahwa jika para istri nusyuz maka mereka telah berlaku maksiat terhadap suami (dengan demikian suami diperbolehkan) merangkap dengan memberikan nasehat, hijrah, dan memukul.
Pada potongan ayat ’yang kamu khawatirkan nusyuz-nya (takhafuna
nusyuzahunn)’, menurut al-Syafi’i, terdapat indikasi yang menunjukkan adanya
kebolehan bagi suami untuk melakukan secara sekaligus (al-jam’) tiga tahapan di
atas. Namun hal tersebut tetap dengan memperhatikan urutannya.
وذا كله نأخذ والقرأن يدل على مثل معاين األحاديث بأن بينا فيه إذا ) قال الشافعي( عنها بكراهيته هلا بأس عليهما من يصاحلا ونشوز البعلخافت املرأة نشوز بعلها أن ال
..وذلك أين وجدت اهللا عز وجل أذن يف نشوز الزوج أن يصطلح
“(Imam al-Syafi’i berkata) dengan keseluruhan hal ini kita mengambilnya dan al-Qur’an menunjukkan makna yang serupa dengan hadits-hadits dengan menerangkan bahwa jika seorang istri khawatir terhadap nusyuz suaminya maka diperbolehkan bagi keduanya untuk berdamai. Nusyuz suami terhadap istrinya disebabkan oleh ketidaksukaannya terhadapnya. Dalam hal tersebut saya memahami Allah ‘Azza wa Jalla mengizinkan perdamaian dalam persoalan nusyuz suami…”
فأباح اهللا تعاىل له حبسها على الكره هلا فلها وله أن يصاحلا ويف ذلك دليل على أن 55 .صلحها إياه بترك بعض حقها له
”Allah SWT memperbolehkan kepada seorang suami untuk mempertahankan
perkawinannya dengan istrinya yang sudah tidak disukainya lagi, dan bagi keduanya
54Ibid., 55Ibid., 202
untuk mengadakan perdamaian dengan merelakan sebagian hak istri atas suaminya.”
Prosedur penanganan nusyuz istri seperti diuraikan al-Syafi’i di atas berbeda
dengan nusyuz yang dilakukan oleh pihak suami. Jika nusyuz istri boleh diatasi
dengan tiga tahapan metode di atas, maka nusyuz suami cukup diselesaikan melalui
perdamaian (al-shulh) antara kedua belah pihak, suami dan istri.
وهو ما ذكرنا مما هلا عليه يف بعض األمور من مؤنتها وله عليها مما ليس هلا عليه ولكل 56 .واحد منهما على صاحبه
”Ayat tersebut seperti telah kami sebutkan bahwa sebagian masalah suami
memiliki hak atas istrinya terkait nafkahnya di mana sang istri tidak memiliki hak tersebut atas suaminya, dan pada sebagian yang lain istri memiliki hak atas suaminya di mana sang suami tidak memiliki hak yang sama atas istrinya.”
Perbedaan metode ini, dalam pandangan al-Syafi’i, disebabkan pada sebagian
masalah suami memiliki hak atas istrinya di mana sang istri tidak memiliki hak
tersebut atas suaminya, dan pada sebagian yang lain istri memiliki hak atas suaminya
di mana sang suami tidak memiliki hak yang sama atas istrinya.
3. Implikasi Hukum dari Adanya Nusyuz
وثىن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ذلك وأذن يف نشوز املرأة بالضرب وأذن يف ..خوفهما أن اليقيما حدود اهللا باخللع
“Rasulullah SAW memperbolehkan dalam nusyuznya perempuan dengan
pukulan, dan memperbolehkan khuluk jika keduanya khawatir tidak dapat menegakkan hak-hak Allah.”
56Ibid., 124; 203
فيحل للرجل حبس املرأة على ترك بعض القسم هلا أوكله ما طابت به نفسا فإذا رجعت ..فيه مل حيل له إال العدل هلا أو فراقها
“Suami diperbolehkan untuk mempertahankan hubungan suami istri dengan
meninggalkan sebagian hak gilir istri atau keseluruhannya, namun apabila istri telah taat kembali kepada suami, maka seorang suami harus bersikap adil terhadap istrinya atau menceraikannya.”
Seorang suami yang mendapati istrinya sedang nusyuz dibebaskan dari
sebagian tanggung jawabnya terhadap istrinya itu. Dalam hal nafkah misalnya, suami
tidak mendapatkan ancaman hukuman apapun seandainya ia tidak memenuhi nafkah
istrinya. Bagi seorang suami dengan istri yang lebih dari satu boleh tidak
menunaikan penggiliran (al-qasm) terhadap istri yang sedang nusyuz.57
Namun demikian ketika istri telah berhenti dari nusyuz maka suami kembali
diharuskan memenuhi kewajibannya. Dalam hal nafkah, ia harus kembali
memberikan nafkah kepada istrinya sebagaimana saat sebelum sang istri nusyuz.
Atau dalam hal penggiliran istri-istri dalam rumah tangga poligini, suami harus
kembali bersikap adil.58
فإن رجعت واليعلم بالرجوع فأقام على ما حللته منه مث علم أن قد رجعت إستأنف . العدل من يوم علم والبأس عليه فيما مضى
”Jika istri tidak lagi nusyuz namun suaminya tidak mengetahui hal itu dan
suami masih bersikap sebagaimana ketika istri nusyuz, kemudian ia mengetahui bahwasannya istri telah berhenti nusyuz, maka suami harus kembali bersikap adil saat ia mengetahui hal tersebut dan sikapnya yang keliru itu dimaafkan.”
Seandainya sang suami tidak mengetahui bahwa istrinya telah berhenti dari
nusyuz maka pada saat ia mengetahui hal tersebut ia harus kembali memenuhi
57Ibid., 208 58Ibid., 203
kewajiban-kewajibannya. Adapun kewajiban-kewajiban yang ia alpakan ketika ia
tidak menyadari bahwa istrinya telah berhenti dari nusyuz tidak menjadi persoalan.59
Tabel Pendapat Imam al-Syafi’i
No. Pendapat al-Syafi’i
Istri Suami
1. Kecenderungan arti
Pembangkangan Ketidaksenangan
2. Prosedur penanganan
Dinasehati (fa’idhuhunn); pisah ranjang (wa idlribuhunn fi al-madlaji’); dipukul (idlribuhunn).
Dengan merelakan hak-hak istri yang tidak dipenuhi suami agar kembali senang terhadap istri.
3. Implikasi hukum Istri bias kehilangan hak-haknya.
Suami tidak dapat kehilangan hak-haknya kecuali jika melampaui batasan.
59Ibid.,
BAB III
PARADIGMA GENDER DALAM RELASI SUAMI-ISTRI
A. Gagasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Sosial-Masyarakat
1. Definisi Gender
Menurut Mansour Faqih, hingga saat ini masih terjadi banyak
kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan gender dan kaitannya dengan
tuntutan emansipasi kaum wanita. Istilah ’gender’ yang biasanya juga disebut
’jender’ dalam Bahasa Indonesia merupakan serapan dari Bahasa Inggris ’gender’.60
Untuk memahami gagasan serta gerakan gender perlu terlebih dahulu
dipahami istilah gender tersebut. Gender berbeda dengan sex (jenis kelamin). Jika
sex mengacu pada organ biologis manusia yang ditentukan oleh ada tidaknya penis,
testis, dan jakun –untuk laki-laki, dan vagina, ovarium, dan kelenjar payudara –untuk
60Mansour Faqih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial (Jakarta: Paramadina, 2001), 24
perempuan, maka gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau
perempuan yang terkonstruksi secara sosial atau kultural.
Atribut biologis melekat pada diri manusia. Artinya, alat atau organ biologis
yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki tersebut tidak dapat dipertukarkan satu
sama lain. Secara permanen organ-organ tersebut tidak berubah dan merupakan
ketentuan biologis atau seringkali disebut sebagai kodrat.
Berbeda dengan atribut biologis, atribut gender ditunjukkan misalnya pada
karakter lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan pada perempuan; dan kuat,
rasional, jantan, dan perkasa pada kaum laki-laki. Perbedaan antara gender dengan
sex dengan demikian adalah bahwa ciri-ciri gender dapat dipertukarkan. Ada laki-
laki yang lemah lembut, emosional, dan keibuan sebagaimana juga ada perempuan
yang kuat, rasional, dan perkasa.
Hillary M. Lips dalam bukunya, Sex and Gender: an Introduction
mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan (cultural expectations for women and men). Sedangkan H.T. Wilson
dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan
kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.61
Sejarah pembedaan gender sekaligus berbagai karakter yang dilekatkan
padanya dengan berdasar pada perbedaan jenis kelamin biologis terjadi melalui
proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan gender tersebut dikarenakan
oleh banyak hal, di antaranya karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
61Nasaruddin umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001),34
dikonstruksi secara sosial atau kultural, termasuk di antaranya melalui ajaran agama
dan kebijakan negara.
2. Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender
Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an dan hadits memuat pandangan serta
detail ketentuan yang menurut masyarakat modern mungkin dinilai kurang
memberikan peluang kepada perempuan untuk mendapatkan akses dalam aspek-
aspek kehidupan tertentu. Namun demikian hal tersebut bisa dipahami mengingat
situasi sosial dan kultural masyarakat Arab ketika itu begitu merendahkan derajat
perempuan. Sementara al-Qur’an dan hadits tidak melakukan kritik terhadap
kebiasaan dan tradisi masyarakat Jahiliyah tersebut secara revolusioner tanpa
tahapan.
Misi al-Qur’an memang mengadakan perombakan dalam hal akidah, hukum,
dan akhlak masyarakat Arab ketika itu, namun semuanya dilakukan secara gradual
dan melewati tahap-tahap tertentu. Di samping itu al-Qur’an sebenarnya telah
memberikan prinsip-prinsip umum berkaitan dengan relasi suami-istri dalam institusi
keluarga.
Menurut Nur Jannah Ismail dalam bukunya perempuan dalam pasungan: bias
laki-laki dala penafsiran terdapat beberapa prinsip-prinsip kesetaraan jender, antara
lain:
a. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT62 Tujuan penciptaan manusia adalah sebagai makhluk yang menghamba
terhadap Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Dzariyat ayat 56
sebagai berikut: 62Nurjannah Ismail (selanjutnya disebut Ismail), Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKiS, 2003), 285
$ tΒuρ àMø) n=yz £Åg ø:$# }§Ρ M}$# uρ āω Î) Èβρ ߉ ç7÷è u‹Ï9 ∩∈∉∪
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.63
Kedudukan manusia baik laki-laki atau perempuan sebagai hamba Allah
menunjukkan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya
sama-sama memiliki potensi dan peluang untuk menjadi hamba yang ideal, atau
dalam istilah al-Qur’an dinamakan muttaqqin (orang-orang yang bertaqwa). Hal ini
selaras dengan firman allah dalam surat al-Hujurat ayat 13:
$ pκš‰ r'‾≈tƒ â¨$ ¨Ζ9 $# $‾Ρ Î) /ä3≈oΨ ø) n= yz ÏiΒ 9� x. sŒ 4 s\Ρé& uρ öΝä3≈oΨ ù=yè y_ uρ $ \/θãè ä© Ÿ≅Í←!$ t7s% uρ (# þθèù u‘$ yè tG Ï9 4 ¨βÎ) ö/ä3tΒt� ò2 r& y‰Ψ Ïã
«! $# öΝä39s) ø? r& 4 ¨βÎ) ©! $# îΛÎ=tã ×��Î7yz ∩⊇⊂∪
Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal64.
Dalam konteks kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ayat-ayat al-Qur’an
yang menunjukkan kelebihan laki-laki dari perempuan seperti surat al-Baqarah ayat
228 bahwa laki-laki setingkat lebih tinggi daripada perempuan; surat al-Nisa’ ayat 34
bahwa laki-laki berhak memperoleh warisan lebih banyak; surat al-Baqarah ayat 282
bahwa laki-laki menjadi saksi yang efektif; surat al-Nisa’ ayat 3 bahwa laki-laki
boleh berpoligami bagi yang memenuhi syarat, tidak serta-merta menyebabkan laki-
laki menjadi hamba yang utama. Kelebihan-kelebihan tersebut diturunkan kepada
63Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,862. 64Ibid.,847
laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik
dan sosial lebih ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.
Penghargaan terhadap laki-laki dan perempuan, dalam kapasitas keduanya
sebagai hamba Allah, disesuaikan dengan kadar pengabdiannya. Hal ini dijelaskan
dalam surat al-Nahl ayat 97:
ôtΒ Ÿ≅ Ïϑtã $[s Î=≈|¹ ÏiΒ @� Ÿ2sŒ ÷ρr& 4 s\Ρé& uθ èδuρ ÖÏΒ÷σ ãΒ …çµ ¨Ζt� Í‹ós ãΖn=sù Zο 4θ u‹ym Zπt6ÍhŠsÛ ( óΟ ßγΨ tƒÌ“ôf uΖs9 uρ Νèδt� ô_ r&
Ç |¡ôm r'Î/ $ tΒ (#θçΡ$ Ÿ2 tβθ è=yϑ÷è tƒ ∩∠∪
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan65.
b. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi66
Di samping sebagai hamba yang memiliki ketundukan dan kepatuhan
terhadap Allah SWT, penciptaan manusia adalah juga sebagai khalifah di muka bumi
(khalifah fi al-ardl). Kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi dijelaskan
dalam surat al-An’am ayat 165 berikut:
uθèδuρ “Ï% ©!$# öΝà6 n=yè y_ y#Í×‾≈n=yz ÇÚ ö‘F{ $# yì sù u‘uρ öΝä3 ŸÒ ÷èt/ s−öθ sù <Ù ÷è t/ ;M≈y_ u‘yŠ öΝä. uθ è=ö7uŠÏj9 ’ Îû !$ tΒ ö/ä38 s?# u 3 ¨β Î) y7−/ u‘ ßìƒÎ� |� É>$ s) Ïè ø9 $# …çµ ‾Ρ Î)uρ Ö‘θ à� tós9 7ΛÏm §‘ ∩⊇∉∈∪
Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikannya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaannya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang67.
65Ibid., 66Ismail, Op.Cit.,287 67Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,217.
Dalam ayat lain, yakni dalam surat al-Baqarah ayat 30:
øŒÎ)uρ tΑ$ s% š�•/ u‘ Ïπ s3Í×‾≈n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) ×≅ Ïã%y ’ Îû ÇÚ ö‘F{ $# Zπx�‹Î=yz ( (# þθ ä9$ s% ã≅ yèøgrB r& $pκ� Ïù tΒ ß‰ Å¡ ø� ム$ pκ� Ïù à7Ï� ó¡ o„uρ
u !$tΒÏe$!$# ßøt wΥuρ ßxÎm7|¡çΡ x8 ωôϑpt ¿2 ⨠Ïd‰ s) çΡuρ y7s9 ( tΑ$ s% þ’ÎoΤÎ) ãΝn=ôãr& $ tΒ Ÿω tβθ ßϑn=÷è s? .
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui68.”
Kata khalifah pada kedua ayat di atas tidak menunjuk pada jenis kelamin atau
kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan serta kelompok suku atau bangsa
manapun sama-sama memiliki hak menjadi khalifah.
c. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial69
Seperti diketahui, ketika seorang anak manusia dilahirkan dari rahim ibunya,
ia terlebih dahulu menerima perjanjian dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan dalam
al-Qur’an surat al-A’raf ayat 172:
øŒÎ)uρ x‹ s{ r& y7•/ u‘ .ÏΒ û Í_t/ tΠyŠ# u ÏΒ óΟ Ïδ Í‘θ ßγàß öΝåκtJ −ƒÍh‘èŒ öΝèδ y‰ pκô−r& uρ #’ n?tã öΝÍκŦà�Ρ r& àMó¡ s9 r& öΝä3În/ t�Î/ ( (#θä9$s% 4’ n?t/ ¡
!$ tΡô‰ Îγx© ¡ χr& (#θ ä9θà) s? tΠöθtƒ Ïπ yϑ≈uŠÉ) ø9 $# $ ‾ΡÎ) $ ¨Ζà2 ôtã # x‹≈yδ t,Î# Ï�≈xî ∩⊇∠⊄∪
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”70.
68Ibid.,13. 69Ismail, Op.Cit.,290 70Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,250.
Tidak ada seorang manusia pun yang lahir ke dunia yang tidak berikrar
tentang keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Dalam
Islam tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yakni
semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal
adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan menyatakan ikrar
ketuhanan yang sama.
d. Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis71
Ayat-ayat yang menceritakan drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan
adam dan hawa di surga hingga ketika diturunkan ke bumi, selalu menekankan kedua
pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma) yang
merujuk pada keduanya, seperti dapat dilihat pada beberapa kasus berikut:
1) Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga, terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 35:
$ uΖù=è%uρ ãΠyŠ$ t↔‾≈tƒ ôä3 ó™$# |MΡ r& y7ã_ ÷ρy—uρ sπ ¨Ψ pgø:$# Ÿξä. uρ $ yγ÷ΖÏΒ # ´‰xîu‘ ß] ø‹ym $ yϑ çFø⁄Ï© Ÿω uρ $ t/t� ø) s? Íν É‹≈yδ nο t� yf ¤±9$#
$ tΡθ ä3tFsù z ÏΒ tÏΗÍ>≈©à9 $# ∩⊂∈∪
Dan kami berfirman: ”Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”72.
2) Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan, seperti ditunjukkan
dalam surat al-A’raf ayat 20:
71Ismail, Op.Cit.,288. 72Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,14
} uθ ó™uθ sù $ yϑçλm; ß≈sÜ ø‹¤±9 $# y“ω ö7㊠Ï9 $ yϑçλm; $ tΒ y“Í‘…ãρ $ yϑ åκ÷] tã ÏΒ $ yϑÎγÏ?≡u öθ y™ tΑ$s% uρ $tΒ $ yϑä38 uη tΡ $ yϑä3š/ u‘ ô tã
Íν É‹≈yδ Íο t� yf ¤±9$# HωÎ) βr& $ tΡθ ä3s? È ÷s3n=tΒ ÷ρ r& $tΡθä3 s? zÏΒ t Ï$ Î#≈sƒ ø:$# ∩⊄⊃∪
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka (yaitu auratnya) dan syaitan berkata: ”Tuhan kamu tidak melarangmu dari (mendekati) pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).”73
3) Keduanya memakan buah khuldi dan sama-sama menanggung akibat jatuh ke
bumi, disebutkan dalam surat al-A’raf ayat 22:
$ yϑßγ9©9 y‰ sù 9‘ρ á� äóÎ/ 4 $£ϑn=sù $s%# sŒ nοt� yf ¤±9 $# ôN y‰t/ $ yϑçλm; $ yϑåκèE≡u öθ y™ $ s)Ï� sÛuρ Èβ$ x�ÅÁøƒ s† $ yϑÍκö� n=tã ÏΒ É− u‘uρ Ïπ ¨Ψ pg ø:$# ( $ yϑßγ1yŠ$ tΡ uρ !$ yϑ åκ›5 u‘ óΟ s9 r& $yϑä3 pκ÷Ξr& tã $ yϑä3 ù=Ï? Íο t� yf¤±9 $# ≅è% r& uρ !$ yϑä3 ©9 ¨βÎ) z≈sÜ ø‹¤±9 $# $ yϑä3s9 Aρ ߉ tã ×Î7•Β ∩⊄⊄∪
”Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu
daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: ”Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan padamu: ”Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”74
4) Sama-sama memohon ampunan dan sama-sama diampuni oleh Allah SWT,
terdapat dalam surat al-A’raf ayat 23:
Ÿω$s% $uΖ−/ u‘ !$ oΨ ÷Ηs> sß $uΖ|¡ à�Ρ r& β Î)uρ óΟ ©9 ö� Ï� øós? $uΖs9 $oΨ ôϑ ymö� s? uρ ¨ sðθä3 uΖs9 zÏΒ zƒÎ� Å£≈y‚ ø9 $# ∩⊄⊂∪
Keduanya berkata: ”Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. 75
73Ibid.,223. 74Ibid. 75Ibid.,224.
5) Ketika berada di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling
melengkapi dan saling membutuhkan, seperti dijelaskan dalam al-Baqarah ayat
187:
¨≅ Ïmé& öΝà6s9 s's# ø‹s9 ÏΘ$uŠ Å_Á9$# ß]sù §�9$# 4’ n<Î) öΝä3Í←!$ |¡ ÎΣ 4 £èδ Ó¨$ t6Ï9 öΝä3 ©9 öΝçFΡ r& uρ Ó¨$ t6Ï9 £ßγ©9 3 zΝÎ=tæ ª! $# öΝà6 ‾Ρr&
óΟ çGΨ ä. šχθ çΡ$tFøƒrB öΝà6 |¡à�Ρ r& z>$ tG sù öΝä3ø‹n=tæ $x� tã uρ öΝä3Ψ tã ( z≈t↔ ø9 $$ sù £èδρ ç�ų≈t/ (#θäótF ö/ $#uρ $ tΒ |=tFŸ2 ª! $#
öΝä3 s9 4 (#θ è=ä. uρ (#θç/u� õ°$# uρ 4®L ym t ¨t7oKtƒ ãΝä3s9 äÝø‹sƒ ø:$# âÙ u‹ö/ F{ $# zÏΒ ÅÝø‹sƒ ø:$# ÏŠuθó™F{ $# z ÏΒ Ì� ôfx� ø9 $# ( ¢Ο èO (#θ‘ϑÏ?r&
tΠ$ u‹Å_Á9$# ’ n<Î) È≅ øŠ©9 $# 4 Ÿωuρ �∅ èδρç� ų≈t7è? óΟçFΡ r& uρ tβθ à� Å3≈tã ’ Îû ω Éf≈|¡ yϑø9 $# 3 y7ù=Ï? ߊρ ߉ ãn «! $# Ÿξsù $ yδθç/t� ø) s? 3 y7Ï9≡x‹ x. ÚÎit6ムª! $# ϵÏG≈tƒ# u Ĩ$ ¨Ψ=Ï9 óΟ ßγ‾=yè s9 šχθ à)−G tƒ ∩⊇∇∠∪
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”76
e. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi77
Allah SWT memberikan peluang yang sama besarnya kepada laki-laki
maupun perempuan untuk meraih prestasi dalam berbagai lini kehidupan. Hal ini
ditegaskan dalam surat Alu-Imran ayat 195 berikut:
76Ibid.,45. 77Ismail, Op.Cit., 294
z>$ yf tFó™$$ sù öΝßγs9 öΝßγš/ u‘ ’ÎoΤr& Iω ßì‹ÅÊ é& Ÿ≅ uΗxå 9≅ Ïϑ≈tã Νä3Ψ ÏiΒ ÏiΒ @� x.sŒ ÷ρ r& 4 s\Ρ é& ( Νä3àÒ ÷èt/ . ÏiΒ <Ù ÷è t/ ( t Ï% ©!$$ sù
(#ρã� y_$yδ (#θ ã_Ì� ÷zé& uρ ÏΒ öΝÏδ Ì�≈tƒÏŠ (#ρ èŒρ é&uρ ’ Îû ’ Í?‹Î6 y™ (#θè=tG≈s% uρ (#θè=ÏFè% uρ ¨βt� Ïe� x. _{ öΝåκ÷] tã öΝÍκÌE$ t↔Íh‹y™ öΝßγΨ n=Ï{÷Š _{ uρ
;M≈Ζy_ “Ì� øg rB ÏΒ $ pκÉJ øtrB ã�≈yγ÷Ρ F{ $# $ \/#uθ rO ôÏiΒ Ï‰ΨÏã «! $# 3 ª! $# uρ …çν y‰Ψ Ïã ßó¡ ãm É># uθ ¨W9 $# ∩⊇∈∪
Maka Tuhan mereka memperkenalkan permohonannya (dengan berfirman),
”Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik78.
Demikian juga dalam surat al-Nahl ayat 97:
ô tΒ Ÿ≅Ïϑ tã $ [sÎ=≈|¹ ÏiΒ @� Ÿ2 sŒ ÷ρr& 4 s\Ρ é& uθ èδuρ ÖÏΒ÷σ ãΒ …çµ ¨Ζt� Í‹ósãΖn=sù Zο 4θu‹ym Zπ t6 ÍhŠsÛ ( óΟ ßγΨ tƒÌ“ ôf uΖs9 uρ Νèδt� ô_ r&
Ç |¡ôm r'Î/ $ tΒ (#θçΡ$ Ÿ2 tβθ è=yϑ÷è tƒ ∩∠∪ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan79.
Surat al-Nisa’ ayat 124:
∅ tΒuρ ö≅ yϑ÷ètƒ zÏΒ ÏM≈ys Î=≈¢Á9 $# ÏΒ @� Ÿ2 sŒ ÷ρr& 4 s\Ρ é& uθ èδuρ ÖÏΒ÷σ ãΒ y7Í×‾≈s9 'ρ é' sù tβθ è=äzô‰ tƒ sπΨ yf ø9 $# Ÿω uρ tβθ ßϑn=ôà ãƒ
# Z��É) tΡ ∩⊇⊄⊆∪
Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun80.
78Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,110. 79Ibid., 80Ibid.,142.
3. Manifestasi Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender adalah keadaan dimana laki-laki dan perempuan
memperoleh akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat yang sama besar dan sama
luasnya dalam aktifitas kehidupan, baik dalam ranah publik maupun domestik.
Kesetaraan yang berkeadilan gender merupakan kondisi yang dinamis dimana laki-
laki dan perempuan sama-sama memiliki hak sekaligus sama-sama mengemban
kewajiban yang mana interaksi antara keduanya dilandasi oleh sikap saling
menghormati dan hubungan kemitraan yang seimbang di berbagai sektor kehidupan.
Adanya perbedaan gender (gender differences) melahirkan ketidakadilan
gender (gender inequalities). Perbedaan gender mengakibatkan munculnya sifat dan
stereotype (simbol atau penandaan) yang seringkali dianggap sebagai ketentuan
kodrati atau ketentuan Tuhan. Padahal sifat dan stereotype sebenarnya hanya
merupakan konstruksi atau rekayasa sosial. Stereotype pada perempuan seringkali
menempatkan mereka pada wilayah yang sangat rawan, seperti dicontohkan di
bawah ini:81
a. Perbedaan dan pembagian gender termanifestasi dalam subordinasi posisi kaum
perempuan di hadapan laki-laki. Subordinasi ini terjadi di seluruh tataran
masyarakat, birokrasi pemerintahan, bahkan dalam kehidupan rumah tangga.
Banyak sekali contoh kasus baik dalam tradisi masyarakat, tafsir keagamaan,
maupun dalam aturan birokrasi di mana kaum perempuan diletakkan dalam
posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Misalnya, persyaratan bagi
perempuan yang hendak menunaikan tugas belajar ke luar negeri ia harus
81Mansour, Op.Cit, 34
mendapat izin dari suami, sebaliknya suami tidak dibebani persyaratan izin dari
istri.
b. Secara ekonomis, perbedaan gender melahirkan proses marginalisasi perempuan.
Misalnya, dengan hanya mengakui kemampuan laki-laki sebagai ’lebih cekatan’
dalam menyelesaikan urusan pekerjaan tertentu maka suatu perusahaan kurang
memberikan ruang bagi perempuan untuk menempati suatu posisi dalam
perusahaan tersebut. Perlakuan semacam ini tidak terasa telah menggusur peran
kaum perempuan ke arah garis marginal. Pada beberapa sektor dalam aspek
kehidupan manusia modern seringkali kemampuan perempuan dianggap kurang
produktif dan bernilai rendah sehingga mendapat imbalan ekonomis yang lebih
rendah.
c. Perbedaan gender menimbulkan stereotype tertentu bagi kaum perempuan.
Stereotype merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural berupa
pemberian label yang memojokkan pihak tertentu sehingga sangat merugikan
posisi dan kondisi pihak tersebut. Misalnya, stereotype perempuan sebagai ’ibu
rumah tangga’. Akibat adanya stereotype tersebut ketika kaum perempuan
berniat aktif dalam kegiatan yang masuk wilayah publik seperti kegiatan politik
praktis, bisnis, atau pekerjaan tertentu di pemerintahan, maka hal tersebut
dianggap bertentangan dan tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Di samping
itu stereotype laki-laki sebagai ’pencari nafkah’ menjadikan apa saja yang
dihasilkan oleh kaum perempuan sebagai ’sambilan atau tambahan’ dan
cenderung kurang dianggap dan kurang dihargai.
d. Perbedaan gender membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dan lebih
panjang. Pada umumnya, dalam kehidupan rumah tangga ada beberapa jenis
pekerjaan yang bisa dilakukan oleh laki-laki dan pekerjaan yang bisa dilakukan
oleh perempuan. Namun kenyataannya, dalam beberapa penelitian yang
dilakukan, hampir 90% pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan.
Pembagian tugas tersebut tidak berbeda secara signifikan sekalipun seorang
perempuan juga memiliki aktifitas di luar rumah (umpamanya buruh industri atau
profesi lainnya). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa perempuan memikul
beban kerja ganda (double-burden), dirumah dan diluar rumah.
e. Perbedaan gender juga dapat melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence)
terhadap kaum perempuan. Bentuk kekerasan pada perempuan yang muncul
sebagai akibat adanya perbedaan gender adakalanya bersifat fisik seperti
pemerkosaan, persetubuhan antar-saudara sedarah (incest), pemukulan,
penyiksaan, dll, dan adakalanya bersifat non-fisik, misalnya pelecehan seksual
yang menyebabkan ketidaknyamanan perempuan secara emosional.
f. Perbedaan gender dengan segenap manifestasinya di atas mengakibatkan
semakin kokohnya citra, posisi, kodrat, dan peminggiran peran perempuan.
Dengan kata lain segenap manifestasi ketidakadilan gender itu sebenarnya
merupakan proses penjinakan (cooptation) perempuan, sehingga pada akhirnya
kaum perempuan sendiri akan menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada
saat itu sebagai sesuatu yang wajar dan kodrati.
Pelanggengan subordinasi posisi, stereotype, dan kekerasan terhadap kaum
perempuan ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan kultur patriarki,
yakni ideologi kelelakian. Ideologi ini ada di kepala kaum laki-laki maupun
perempuan, juga dalam tafsir agama yang sangat mempengaruhi kebijakan negara
dan birokrasi pembangunan.
Untuk mengakhiri peminggiran peran dan posisi kaum perempuan dalam
kehidupan rumah tangga maupun sosial masyarakat perlu diperhatikan beberapa hal
berikut, pertama, bahwa memperjuangkan kepentingan kaum perempuan bukan
berarti perjuangan melawan hegemoni laki-laki. Persoalan penindasan terhadap
perempuan bukanlah persoalan pada diri kaum laki-laki, melainkan persoalan pada
sistem dan struktur sosial masyarakat. Kedua, gerakan gender adalah gerakan
transformasi perempuan dan bukan gerakan untuk membalas dendam terhadap laki-
laki. Jika demikian, maka gerakan transformasi perempuan adalah suatu proses untuk
menciptakan hubungan yang lebih seimbang antara sesama manusia yang secara
fundamental lebih baik dan baru. Untuk itu ada beberapa agenda guna mengakhiri
sistem yang selama ini merugikan kepentingan kaum perempuan, yaitu:82
1) Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan dengan cara melakukan
dekonstruksi ideologi, artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang
menyangkut nasib perempuan di mana saja serta pada tingkat dan bentuk apa
saja.
2) Melawan paradigma developmentalisme yang berasumsi bahwa keterbelakangan
kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam
pembangunan. Karena perempuan dianggap tidak mampu memecahkan
permasalahannya sendiri, maka program perlu didesain oleh perencana ahli yang
kemudian dikirimkan kepada mereka. Perempuan dianggap sebagai obyek
pembangunan, yakni diidentifikasi, diukur, dan diprogramkan. Perempuan juga
82Ibid., 39
dianggap sebagai obyek pengembangan pengetahuan mereka. Karena ’knowledge
is power’ maka bisa dikatakan riset terhadap perempuan adalah juga proses
dominasi terhadap mereka.
Dengan adanya upaya seperti di atas maka diharapkan diskriminasi maupun
subordinasi terhadap perempuan dapat segera diakhiri. Pada akhirnya keadaan
masyarakat yang memberikan akses domestik maupun publik yang sama besarnya
terhadap perempuan dapat tercapai. Upaya ini merupakan proses pembentukan
konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam. Secara lebih konkret
manifestasi kesetaraan dan keadilan gender tersebut antara lain meliputi:
1) Perlindungan hak-hak perempuan melalui instrumen hukum dan perundang-
undangan. Perempuan tidak dapat diperlakukan semena-mena oleh siapa pun
karena mereka dinilai memiliki hak-hak hukum yang sama besarnya di hadapan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
2) Perbaikan hukum keluarga. Perempuan mendapatkan hak untuk menentukan
jodoh, mendapatkan mahar, memiliki hak waris, adanya pembatasan dan
pengaturan poligini, adanya hak untuk mengajukan talak gugat, mengatur hak-
hak suami istri yang seimbang, dan hak pengasuhan anak.
3) Perempuan diperbolehkan mengakses peran-peran publik, mendatangi masjid,
mendapatkan hak pendidikan, mengikuti peperangan, hijrah bersama Nabi
SAW., melakukan bai’at di hadapan Rasulullah SAW dan peran pengambilan
keputusan.
4) Perempuan mempunyai hak untuk men-tasharruf-kan hartanya, karena harta
merupakan simbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang.
5) Perempuan mempunyai hak hidup dengan cara menetapkan aturan berupa
larangan melakukan pembunuhan terhadap anak perempuan yang pada masa
sebelumnya merupakan tradisi bangsa Arab Jahiliyah.
B. Wawasan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Rumah Tangga
1. Relasi Ideal Suami-Istri dalam Keluarga
Relasi suami istri yang ideal adalah yang berdasarkan pada prinsip
”mu’asyarah bi al ma’ruf” (pergaulan suami istri yang baik). Dalam surat al-Nisa’:
19 ditegaskan:
$ y㕃r' ‾≈tƒ zƒÏ% ©!$# (#θãΨtΒ# u Ÿω ‘≅ Ïts† öΝä3 s9 βr& (#θ èOÌ� s? u !$ |¡ ÏiΨ9$# $\δö� x. ( Ÿω uρ £èδθ è=àÒ ÷è s? (#θç7yδõ‹ tG Ï9 ÇÙ ÷è t7Î/ !$tΒ
£èδθ ßϑçF÷� s?# u Hω Î) βr& tÏ? ù'tƒ 7π t± Ås≈x� Î/ 7π oΨ Éi� t6•Β 4 £èδρç� Å°$ tãuρ Å∃ρã� ÷è yϑø9 $$ Î/ 4 βÎ*sù £èδθßϑçF÷δ Ì�x. # |¤ yè sù β r&
(#θèδ t�õ3 s? $ \↔ø‹x© Ÿ≅ yè øg s† uρ ª! $# ϵŠÏù # Z�ö� yz # Z�� ÏWŸ2 ∩⊇∪
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak83.
Ayat ini memberikan pengertian bahwasannya Allah menghendaki dalam
sebuah perkawinan harus dibangun relasi suami-istri dalam pola interaksi yang
positif, harmonis, dengan suasana hati yang damai, yang ditandai pula oleh
keseimbangan hak dan kewajiban keduanya. Keluarga sakinah mawaddah wa al-
rahmah akan terwujud jika keseimbangan hak dan kewajiban menjadi landasan etis
yang mengatur relasi suami-istri dalam pergaulan sehari-hari. Untuk itu diperlukan
83Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit.,119.
individu-individu sebagai anggota keluarga yang baik sebagai subyek pengelola
kehidupan keluarga menuju keluarga ideal.84
Kemitrasejajaran merupakan pola hubungan antara pria dan wanita,
khususnya dalam kehidupan berkeluarga. Kemitrassejajaran antara suami istri dalam
berumah tangga sebagaimana telah dibicarakan dimuka, bukan berarti membalik
posisi dari kondisi berkuasa dan dominannya suami lalu menjdaikan istri sebagai
penguasa yang mendominasi suami.
Al-Qur’an mengungkapkan kesejajaran hak-hak wanita yang diperolehnya
seimbang dengan kewajibannya dalam kehidupan berkeluarga. Akan tetapi
kesejajaran hak dan kewajiban antara suami dan istri tidak menempatkan keduanya
pada kedudukan yang sama dan persis. Menurut Murtadha Muthahhari hal ini disebut
keseragaman dan keidentikan hak wanita dan pria, bukan kesetaraan atau persamaan
hak.85
Selama ini, masih ada kesenjangan atau kerancuan dalam sebagaian besar
masyarakat yang masih belum bisa menerima kemitrasejajaran antara suami dan istri.
Pengertian mitrasejajar tidak bisa dipahami dengan makna yang sama, persis dan
serupa, tetapi kemitrasejajaran yang dimaksud disini adalah suatu relasi yang
berasaskan keadilan.
Keadilan menurut Islam adalah terpenuhinya hak bagi yang memiliki secara
sah, yang jika dilihat dari sudut pandang orang lain adalah kewajiban. Oleh karena
itu siapapun yang lebih banyak melakukan kewajibanatau yang memikul kewajiban
lebih besar, dialah yang memiliki hak lebih disbanding yang lain. Sementara ini,
84Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Madang: UIN Malang Press,20008), 178 85Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 1999), 131
banyak anggapan bahwa beban suami atau beban produksi untuk mencari nafkah
lebih berat dari beban istri (beban reproduksi). Oleh karena tidak ada yang dikatakan
lebih berbobot antara hak dan kewajibannya, tetapi seimbang dan sejajar.86
2. Persamaan Derajat Antara Suami-Istri
Istilah ’persamaan’ tidak sama dengan ’keidentikan’. Persamaan mempunyai
arti kesederajatan, keseimbangan, dan kesebandingan, sedangkan keidentikan berarti
keduanya sama persis. Dalam istilah persamaan terkandung pengertian keadilan, atau
tidak adanya diskriminasi jika istilah tersebut dikaitkan dengan tema hak dan
kewajiban. Adanya persamaan antara suami dan istri memungkinkan terwujudnya
suatu jalinan kemitraan yang sejajar.87
Dalam kehidupan rumah tangga kemitrasejajaran antara laki-laki dan
perempuan (suami-istri) dapat memberikan kemudahan dalam membantu
mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan. Baik suami maupun istri masing-
masing memiliki peran yang sama besar. Dengan demikian masing-masing tidak
akan merasa lebih besar dari yang lain. Prinsip kemitrasejajaran akan membendung
suatu pola hubungan kuasa-menguasai.88
Dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan mempunyai derajat yang sama.
Dan dengan persamaan tersebut, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
dalam menikmati hidup, termasuk memperoleh pendidikan, mengeluarkan pendapat,
memperoleh lapangan kerja, kesejahteraan, perlindungan hukum, dan sebagainya.
Keduanya setara karena amal perbuatan, intelektual, dan spiritualnya.89
86Ibid.,132 87Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 57. 88Ibid., 58. 89Ibid., 61-2.
Agama Islam adalah agama yang memberikan dorongan kepada penganutnya
untuk senantiasa berani mengaktualisasikan diri, memperbarui diri, dan kreatif. Islam
dengan ajarannya memotivasi laki-laki dan perempuan yang beriman untuk
membuktikan keberadaannya dalam mewujudkan suatu keluarga yang ideal.90
Kesempatan dan persamaan laki-laki dan perempuan dalam mengaktualisasikan
diri merupakan hubungan kemitrasejajaran dalam keluarga sakinah. Banyak sumber
Islam, baik al-Qur’an maupun Hadits yang diungkapkan dalam fi’il amr (kalimat
perintah) untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri sebagai individu
muslim. Misalnya, ditegaskan oleh Rasulullah SAW bahwa menuntut ilmu wajib
hukumnya bagi orang Islam. Orang Islam yang dimaksud adalah orang Islam laki-
laki dan perempuan.91
Dari sabda Nabi di atas tampak bahwa Islam mengikis habis pandangan bahwa
perempuan hanya berperan di ruang domestik saja. Anjuran Rasul SAW ini tidak
hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki saja melainkan juga bagi perempuan. Ini
berarti bahwa Islam membuat kesejajaran bagi keduanya di ruang publik, dan bukan
hanya dalam ruang privat.92
3. Problem Relasi Suami-Istri dalam Kehidupan Rumah Tangga
Setiap pasangan suami-istri mengharapkan terciptanya keluarga sakinah,
keluarga sakinah yang menjadi harapan setiap pasangan suami-istri tidak bersifat
given, kodrat, statis, dan baku, tetapi dinamis, berproses dan perlu ada ikhtiar untuk
mewujudkannya. Dalam proses pencapaiannya sudah barang tentu mengalami
kendala-kendala. Setiap permasalahan yang muncul dalam keluarga menjadi 90Ibid., 63-4. 91Ibid., 67-8. 92Ibid., 68.
tanggung jawab bersama dalam mencari solusi tanpa mengabaikan keberadaan satu
sama lainnya. Namun demikian, seringkali suami-istri enggan memecahkan masalah
dengan pikiran jernih, penyebabnya antara lain:
a. Faktor emosi
Dalam menghadapi masalah keluarga diperlukan pikiran yang jernih. Tidak
selamanya rumah tangga mengalami jalan yang mulus, berbunga-bunga,
adakalanya sedih adakalanya senang. Untuk itu baik suami maupun istri patut
memiliki kemampuan untuk menendalikan emosi. Nabi SAW pernah bersabda
bahwa orang yang kuat bukanlah orang-orang yang kuat secara fisik namun
mereka yang sanggup meredam amarahnya. Jika suami-istri masih diliputi emosi
ketika mencari solusi dari suatu permasalahan ditambah ego masing-masing yang
didahulukan maka permasalahan yang sedang dihadapi keduanya akan sulit
terpecahkan.
b. Faktor kurang pengertian
Setiap persoalan yang dihadapi oleh suatu keluarga pasti memiliki latar
belakang atau penyebab. Identifikasi masalah dalam menentukan faktor bagi
suatu masalah sangat penting dalam rangka mencari solusi yang tepat. Kurangnya
pemahaman serta pengertian suami atau istri terhadap masalah tersebut acapkali
melahirkan kesalahpahaman yang justru memperumit masalah.
c. Faktor gender stereotype
Gender stereotype terbangun pada pribadi setiap orang ketika mereka
berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakat luas. Secara umum perspektif
negatif dalam konteks ini menyatakan bahwa secara kodrati laki-laki bersifat
kasar, keras, dan egois. Sedangkan perempuan dipandang lemah, penakut, kurang
tanggung jawab, perayu, dan sebagainya. Gender stereotype yang mendasar pada
perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka terhadap
pasangan.
d. Faktor dominasi pihak yang kuat
Posisi suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah
positif ketika menjalankan fungsi melindungi, mengayomi dan memberdayakan.
Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi fungsi-fungsi yang
semestinya sehingga memicu lahirnya superioritas suami atas istrinya. Masalah
rumah tangga merupakan masalah bersama yang harus dibicarakan dengan baik
diantara pasangan. Dan penyelesaian masalah akan lebih mudah dicapai jika
relasi suami-istri bermuara pada posisi yang setara, bebas dari dominasi, dan
superioritas yang berdasar perbedaan gender.93
Dalam merespon kondisi perempuan yang tertinggal dari laki-laki Rasulullah
SAW melakukan upaya-upaya khusus untuk memberikan pemberdayaan perempuan
sebagai berikut:
1) Perlakuan khusus terhadap perempuan karena kodratnya yang bersifat taken of
granted.
2) Diperlakukan khusus karena kondisi obyektif konstruksi budaya yang telah
membentuk realitas itu, maka perempuan melakukan bargaining dengan Nabi
Muhammad SAW, kemudian terjadi kompromi-kompromi.
3) Rasulullah memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk menutupi
kekurangannya dan mengejar ketertinggalannya dari kaum laki-laki. Karena
93 Mufidah Ch, Op.Cit., 188-193
Rasulullah melihat kondisi perempuan yang dipandang inferior dan lemah akibat
konstruk budaya dan sistem yang ada pada saat itu.
4) Perlakuan khusus ini bersifat affirmatif action yang dapat berubah-ubah sesuai
dengan kebutuhan.94
94Ibid., 26.
Tabel Pemikiran Gender
No. Materi gender Penjelasan 1. Definisi Suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. 2. Prinsip-prinsip
kesetaraan gender 1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah SWT 2. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi 3. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial 4. Adam dan hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis 5. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi
3. Manifestasi kesetaraan gender
1. Perlindungan hak-hak perempuan melalui instrumen hukum dan perundang-undangan. 2. Perbaikan hukum keluarga. 3. Perempuan diperbolehkan mengakses peran-peran publik 4. Perempuan mempunyai hak untuk men-tasharruf-kan hartanya 5. Perempuan mempunyai hak hidup
4. Relasi ideal suami-istri Relasi suami istri yang ideal adalah yang berdasarkan pada prinsip ”mu’asyarah bi al ma’ruf” (pergaulan suami istri yang baik).
5. Persamaan Derajat Antara Suami-Istri
Dalam istilah persamaan terkandung pengertian keadilan, atau tidak adanya diskriminasi jika istilah tersebut dikaitkan dengan tema hak dan kewajiban.
6. Problem relasi suami-istri
e. Faktor emosi f. Faktor kurang pengertian g. Faktor gender stereotype h. Faktor dominasi pihak yang kuat
BAB IV
BIAS GENDER DALAM PANDANGAN IMAM AL-SYAFI’I
TENTANG NUSYUZ
A. Ushul Fiqh dalam Ijtihad Hukum Imam al-Syafi’i
Pandangan-pandangan fuqaha’ berkenaan dengan suatu permasalahan
berkaitan erat dengan metodologi istinbath hukum yang mereka gunakan. Bisa
dikatakan bahwa pendapat Imam al-Syafi’i berkenaan dengan permasalahan nusyuz
merupakan hasil dari kinerja intelektual melalui metodologi istinbath hukum yang ia
gunakan. Terlebih lagi ia adalah tokoh yang mempelopori perumusan metodologi
istinbath hukum sebagaimana kemudian dikenal sebagai ushul fiqh Syafi’iyyah.
Sebagaimana dipaparkan dalam bab II di atas ushul fiqh Imam al-Syafi’i
meletakkan empat sumber sebagai rujukan dalam menetapkan hukum Islam, yaitu al-
Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendapat-
pendapat al-Syafi’i dapat ditelusuri dalam keempat sumber di atas.
Kajian al-Syafi’i terhadap al-Qur’an sebagai sumber hukum dititikberatkan
pada gaya bahasa al-Qur’an. Menurut al-Syafi’i, al-Qur’an menggunakan, pertama
kata-kata yang bersifat umum dan eksplisit (dzahir-am) dengan maksud yang juga
umum dan eksplisit, sehingga pernyataan yang pertama tidak memerlukan
pernyataan yang kedua. Kedua, pernyataan al-Qur’an bersifat umum dan eksplisit
dengan maksud khusus, dan ketiga : pernyataan al-Qur’an yang memiliki arti literal
(dzahir), tapi dari segi konteks (nisbah) pengungkapannya harus diberi arti yang non
literal (ghairu dzahir).
Fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur’an menurut Imam Syafi’i ada dua hal,
yang pertama adalah mengkonfirmasi semua wahyu yang telah diturunkan, dan
kedua menerangkan maksud keterangan yang terdapat dalam al-Qur’an berkenaan
dengan keumuman atau kekhususan suatu kata atau kalimat.
Kesepakatan tentang suatu hukum atau yang dikenal dengan ijma’ juga
merupakan dalil hukum dalam amatan al-Syafi’i. sebelumnya, Imam Malik juga
memperkenalkan konsep ijma’ ini. namun berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i
memperketat persyaratan ijma’ sebagai sumber hukum. Dalam menggunakan ijma’
sebagai landasan hukum, Imam Syafi’i mempersyaratkan adanya keterangan
pendukung dari as-Sunnah.
Sementara itu dalil terakhir yang dapat digunakan sebagai landasan hukum
adalah qiyas. Qiyas adalah menganalogikan suatu persoalan yang tidak terdapat
penjelasannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pejelasan yang telah ada
dalam keduanya berdasarkan adanya persamaan illat (sebab). Metode qiyas
dipergunakan apabila ketentuan hukum suatu permasalahan tidak ditemukan
penjelasannya dalam nash. Imam Syafi’i menempatkan qiyas sebagai alternatif
terakhir dalam memutuskan suatu persoalan.
Pandangan-pandangan al-Syafi’i tentang nusyuz secara pokok merujuk
kepada keterangan tersurat yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam kitab
al-Umm tidak ditemukan argumen qiyas atau logika sama sekali untuk mendukung
pendapatnya itu. Hal ini bisa jadi dikarenakan al-Syafi’i berpendapat bahwa al-
Qur’an menggunakan, pertama: kata-kata yang bersifat umum dan eksplisit (dzahir-
‘am) dengan maksud yang juga umum dan eksplisit, sehingga pernyataan yang
pertama tidak memerlukan pernyataan yang kedua. Kedua: pernyataan al-Qur’an
bersifat umum dan eksplisit dengan maksud khusus. Dan ketiga: pernyataan al-
Qur’an yang memiliki arti literal (dzahir), tapi dari segi konteks (nisbah)
pengungkapannya harus diberi arti yang non-literal (ghairu dzahir).
Oleh karena pendapat Imam al-Syafi’i terkait nusyuz menggunakan metode
istinbath hukum yang khas digunakan madzhabnya maka pendapat tersebut tampak
memiliki perbedaan dengan pendapat fuqaha’ lain yang menggunakan metode
istinbath hukum yang berbeda. Dalam hal ini maka pendapat para fuqaha’ yang
menggunakan kerangka metodologi Hanafiyyah, dengan cirinya yang lebih
mengedepankan rasio dari pada makna literal teks, terlihat memiliki perbedaan-
perbedaan yang cukup signifikan.
Sekalipun Imam al-Syafi’i menggunakan qiyas sebagai salah satu metode
istinbath hukum namun penggunaan metode tersebut hanya dapat dilakukan jika
penyelesaian suatu masalah tidak ditemukan secara eksplisit dalam dua sumber
sebelumnya, yakni al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian dalam ijtihad hukum
Imam al-Syafi’i dalil tekstual adalah lebih kuat dibandingkan argumentasi rasio
dikarenakan posisi argumentasi rasio yang berada pada urutan terakhir.
B. Bias Gender dalam Pandangan Imam Al-Syafi’i Tentang Nusyuz
Imam al-Syafi’i adalah satu diantara sebagian ulama yang menyatakan secara
eksplisit adanya nusyuz dari pihak suami. Namun demikian penjelasan yang cukup
memadai tentang hal tersebut tidak ditemukan dalam kitab al-Umm. Jika boleh
dikatakan, dalam kitab tersebut permasalahan nusyuz dari pihak suami hanya
dijelaskan sebagai topik sekunder. Namun dari sekelumit penjelasan tentang nusyuz
dalam kitabnya itu sudah terlihat adanya masalah yang berhubungan dengan
ketidakadilan gender dalam relasi suami istri.
Permasalahan utama yang patut untuk diperhatikan dalam pandangan al-
Syafi’i tentang nusyuz adalah penjelasannya tentang prosedur atau cara-cara
penanganan nusyuz. Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya terlihat adanya
perbedaan yang cukup prisipil antara cara menangani istri yang tengah mengalami
nusyuz dengan cara menghadapi suami ketika melakukan hal yang sama.
Dengan berdasar pada surat al-Nisa’ ayat 34 al-Syafi’i menarik suatu
kesimpulan bahwa ketika seorang suami melihat istrinya melakukan nusyuz maka
suami diperintahkan untuk memberikan nasihat kepada sang istri. Pemberian nasehat
dalam hal ini bertujuan untuk mengingatkan istri agar menyudahi nusyuz-nya dan
bersikap selayaknya seorang istri yang baik seperti saat-saat sebelumnya.
Nasehat bisa diartikan sebagai upaya untuk mengingatkan istri dan
memberikan pengertian kepadanya bahwa tindakannya adalah suatu kesalahan dan
dibenci oleh Allah. Pada tahap ini penting untuk diperhatikan agar seorang suami
memberikan penjelasan tentang duduk perkara dari suatu masalah yang membuat
istrinya nusyuz.
Jika istri tetap bertahan pada sikapnya maka suami bisa menggunakan cara
berikutnya, yakni meninggalkan istri ditempat tidurnya (al-hijrah), dalam pengertian
suami diperbolehkan untuk tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya. Cara kedua
ini merupakan tindak lanjut dari cara yang pertama dan masih dalam rangka
memberikan pengertian dan penyadaran kepada sang istri.
Al-hijrah secara bahasa memang bermakna ’meninggalkan’. Namun dalam
konteks ini kebolehan suami untuk meninggalkan istrinya terbatas hanya untuk
urusan biologis saja, sedangkan dalam mu’asyarah atau interaksi yang lainnya,
misalkan dalam hal percakapan sehari-hari, suami dilarang meninggalkannya.
Dengan demikian tampak bahwa sampai tahap ini betapapun seorang istri acuh
terhadap suaminya namun seorang suami tetap tidak terbebas dari sebagian besar
tanggung jawab dan kewajibannya terhadap istri.
Pada tahap selanjutnya, jika istri bersikukuh dengan sikap dan pendiriannya
maka suami diizinkan untuk memukul (al-dlarb). Memukul seorang istri karena
sikapnya yang keras kepala tidak segera menyudahi nusyuz-nya adalah cara terakhir
dalam tahapan penanganan nusyuz istri.
Namun yang patut untuk dicatat adalah bahwa pemaknaan kata al-dlarb
dalam konteks ini cukup berbeda dengan arti kata al-dlarb secara bahasa dan
penggunaannya sehari-hari. Jika dalam percakapan sehari-hari al-dlarb mengandung
arti tindakan melakukan kekerasan fisik maka al-dlarb dalam pembahasan masalah
nusyuz justru tidak mengandung unsur-unsur kekerasan fisik. Istilah tersebut dalam
masalah ini lebih tepat jika diartikan sebagai peringatan secara psikis namun
dilakukan dalam tindakan fisik yang tidak menyakitkan.
Cara-cara menghadapi istri yang sedang nusyuz seperti diuraikan di atas
sangat berbeda dengan cara menangani suami yang sedang melakukan hal yang
sama. Jika seorang istri melihat suaminya nusyuz maka tindakan yang paling tepat
bagi istri tersebut menurut Imam al-Syafi’i adalah dengan merelakan sebagian
haknya atas suaminya tidak terpenuhi agar sang suami tersebut segera kembali
bersikap seperti biasanya.
Dengan demikian bisa diartikan bahwa jika seorang suami nusyuz maka saat
itu istri harus menanggung dua beban (double burden): yang pertama dia kehilangan
haknya atas suaminya oleh sebab suaminya melakukan nusyuz; dan yang kedua ia
harus merelakan haknya yang lain (yang tidak lain adalah kewajiban bagi sang suami
kepadanya) tidak dipenuhi semata-mata agar sang suami lekas kembali bersikap
seperti sedia kala. Sementara ketika suami melakukan nusyuz ia tidak terbebani oleh
dosa dan ancaman sekalipun ia meninggalkan kewajibannya, juga tidak perlu repot-
repot mengurusi kewajiban-kewajibannya yang lain terhadap istri yang
ditinggalkannya karena adanya ’dispensasi’ yang ia terima.
Dari sini, pendapat Imam al-Syafi’i yang menguraikan tentang langkah-
langkah menghadapi suami atau istri yang sedang nusyuz tampak sangat berjarak
dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Pandangan bahwa sang suami layak
mendapatkan hak-hak atas istrinya sekalipun istri nusyuz sementara istri justru harus
merelakan hak-haknya atas suaminya jika suami itu nusyuz tentu bertentangan
dengan prinsip kesetaraan antara keduanya.
Ketidakseimbangan seperti tampak dalam hak-hak antara suami dan istri di
atas mungkin didasarkan pada argumentasi ’ketidaksempurnaan’ akal seorang
wanita. Seperti diketahui, alasan tersebut menjadi dalil bagi termarginalkannya peran
dan posisi perempuan sepanjang sejarah umat Islam. Namun alasan tersebut
sebenarnya masih perlu dibuktikan. Kalaupun benar, namun tetap harus diingat
bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama kedudukannya di hadapan Allah.
Persamaan kedudukan di hadapan Allah membawa implikasi adanya penafian
segala macam perbedaan di antara umat manusia. Pada saat yang sama Islam juga
mengajarkan bahwa derajat yang lebih luhur di hadapan Allah dapat dicapai dengan
tingkat ketakwaan yang tinggi. Arab-ajam, hitam-putih, kaya-miskin, dan laki-laki-
perempuan masing-masing boleh jadi memiliki kelebihan dan kekurangan, namun
demikian semuanya pada dasarnya tidak berbeda. Kalaupun ada perbedaan antara
satu dengan yang lainnya maka hal itu sebenarnya muncul dari adanya faktor
ketakwaan.
Dengan demikian, kalaupun benar bahwa laki-laki memiliki kualitas akal
yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan namun bukan berarti perempuan,
dengan kualitas akalnya yang (katakanlah) tidak lebih baik dibandingkan laki-laki,
tidak memiliki kesempatan yang sama besar untuk menjadi manusia yang bertakwa.
Oleh karenanya seorang perempuan dengan segala keterbatasannya bisa saja menjadi
lebih tinggi derajatnya dibandingkan laki-laki.
Laki-laki dalam beberapa hal memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh
perempuan, demikian pula perempuan dalam hal-hal tertentu memiliki kelebihan
yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing laki-
laki dan perempuan adalah karunia Allah SWT. Namun kelebihan tersebut
seharusnya difungsikan sebagai penutup bagi kekurangan yang mereka miliki, karena
selain kelebihan Allah juga memberikan kekurangan kepada laki-laki dan
perempuan.
Tabel Pendapat Bias Gender Imam al-Syafi’i Tentang Nusyuz
Pendapat al-Syafi’i No. Nusyuz suami Nusyuz istri
Prinsip gender
1. Nusyuz suami di artikan sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap istri, dengan atau tanpa alas- an yang jelas.
Nusyuz istri dinilai sebagai pembangkangan terhadap perintah suami.
Masing-masing suami dan istri bisa merasa tidak senang kepada yang lain. Masing-masing juga bisa acuh sekalipun tanpa alasan yang bisa dimaklumi. Suami memiliki potensi untuk membangkang yang sama besar dengan istri, seperti juga memiliki potensi yang sama besar untuk menjaga tanggung jawab.
2. Penanganan dilakukan dengan sikap mengalah dan merelakan sikap suami tersebut.
Diberi nasehat, dilanjutkan dengan al-hijrah (pisah ranjang) dan dipukul jika masih berlanjut.
Istri juga memiliki hak yang sama untuk menegur dan mengingatkan suami. Hal-hal yang memberikan peluang kepada masing-masing pasangan untuk melakukan kekerasaan dalam rumah tangga, seperti kebolehan memukul yang bisa ditafsirkan secara bebas, dihindari. Urusan teknis diserahkan pada masing-masing pihak dengan tetap memperhatikan prinsip persamaan kedudukan.
3. Seorang istri tidak memiliki wewenang untuk memberikan penjelasan tentang duduk perkara yang membuat suami nusyuz, kecuali diminta.
Memberikan penjelasan tentang masalah yang membuat istri nusyuz menjadi keharusan.
Baik suami maupun istri memiliki hak yang sama untuk memberikan penjelasan untuk menghindarkan kesalahpaman sekaligus sebagai upaya mencari saling pengertian.
4. Tidak ada implikasi hukum apapun ketika suami nusyuz.
Istri dapat kehilangan hak-hak atas nafkah dan giliran (al-qasm, dalam keluarga poligini).
Setiap perbuatan suami atau istri, baik perbuatan yang sesuai dengan hukum ataupun tidak, sama-sama memiliki implikasi hukum.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua uraian di atas, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam al-Umm, Imam al-Syafi’i menjelaskan bahwa nusyuz dapat muncul baik
dari pihak suami atau istri. Perbedaan antara nusyuz suami dan nusyuz istri adalah
bahwa nusyuz suami cenderung diartikan sebagai sikap ketidaksenangan terhadap
istri. Sedangkan nusyuz istri diartikan sebagai suatu perilaku pembangkangan
terhadap suami. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa jika seorang istri nusyuz
maka suaminya boleh memberikan nasehat kepadanya, dan al-hijrah
(meninggalkan istri di tempat tidur atau melakukan ‘pisah ranjang’) bahkan al-
dlarb (memukul yang tidak sampai membahayakan fisik) jika istri bersikukuh
dengan sikapnya. Namun jika sang suami yang nusyuz maka istri dianjurkan
untuk rela dengan sikap suaminya itu serta dianjurkan untuk tidak menggugat
hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh sang suami.
2. Pendapat Imam al-Syafi’i tentang nusyuz dibangun di atas dalil-dalil yang
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. Hal ini tampak terutama dalam
pembahasan tentang prosedur penanganan pasangan yang melakukan nusyuz.
Makna tersurat dalam al-Qur’an tampak sangat diakomodasi dalam pendapat
tersebut. Namun karena ayat al-Qur’an secara tersurat hanya berbicara tentang
nusyuz perempuan dan prosedur penanganannya maka ketika al-Syafi’i
membahas tentang nusyuz dari pihak suami tampak ia tidak memiliki referensi
yang memadai. Dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender
tampak bahwa pendapat tersebut sangat berat sebelah. Pendapat Imam al-Syafi’i
tersebut jelas menunjukkan keberpihakan terhadap kaum laki-laki. Terutama
berkenaan dengan pemenuhan hak-hak dan kewajiban masing-masing pasangan.
B. Saran
Persoalan rumah tangga seperti halnya nusyuz seringkali disebabkan oleh
kurangnya saling pengertian antara masing-masing pasangan. Bisa jadi juga sikap
tersebut muncul karena tidak adanya sikap arif dalam menghadapi suatu masalah.
Namun demikian karena nusyuz bisa terjadi baik pada suami maupun istri, seperti
diungkapkan oleh Imam al-Syafi’i, maka cara menangani pasangan yang sedang
nusyuz semestinya dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip mu’asyarah
yang baik.
Interaksi atau mu’asyarah yang baik antara suami dan istri dapat lahir dalam
sebuah keluarga yang menempatkan istri pada tempat yang cukup adil dihadapan
seorang suami. Mu’asyarah yang demikian sulit sekali tercipta jika dalam hubungan
antara keduanya ada salah satu pihak yang diposisikan secara inferior dan lemah.
Kekuasaan yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam hal ini dapat digunakan secara
absolut jika pasangan yang lain tidak memiliki nilai tawar sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA Adhim, M Fauzil (1999) Kupinang Engkau Dengan Hamdalah. Yogyakarta: Mitra
Pustaka.
Al-‘Aqil, Muhammad AW (2005) Manhaj ‘Aqidah Imam Asy-Syafi’i. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i
Al-Syafi’i, Abdullah Muhammad bin Idris (2007) ”Mukhtassar Kitab al-Umm fi al-Fiqh”, diterjemahkan oleh Muhammad Yasir Abdul Muthallib Ringkasan Kitab al-Umm. buku I; Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris (tt) al-Umm.Juz II, Beirut, Dar al-Fikr
Al-Syafi’I, Muhammad bin Idris (tt) Ar-Risalah. Beirut: Dar al-Kutub.
Amiruddin & Zainal Asikin (2006) Pengantar Metode Penelitian Hukum. Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada
Bisri, Cik Hasan (2004) Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Cet.I; Jakarta: Raja Grafindo Persada
Bungin, Burhan (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Dinasti Abbasiyyah didirikan oleh Abu Abbas al-Shaffah yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abd al-Muthallib. Raja-raja pada masa dinasti itu adalah para aristokrat yang memiliki darah keturunan Abbas. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (1994) Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hove), 4.
Fakih, Mansour (2001) Analisa gender dan Tranformasi sosial. Jakarta: Paramadina.
Ismail, Ismail (2003) Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran. LKiS: Yogyakarta
Khalil, Moenawar (1955) Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab. Jakarta: Bulan Bintang
Mufidah Ch (2008) Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN-Malang Press
Nashiruddin al-Albani, Muhammad (2006) Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta: Pustaka Azzam.
Saifullah (2006) Buku Panduan Metodologi Penelitian. Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN)
Shaleh bin Ghanim as-Sadlan (2008) “Nusyuz” diterjemahkan oleh Abu Hudaifah Yahya, Nusyuz Petaka Rumah Tangga. Jakarta: Nurul Qalb
Subhan, Zaitunah (2004) membina keluarga sakinah. Yogyakarta: Pustaka pesantren.
Subhan, Zaitunnah (1999) tafsir kebencian studi bias gender dalam tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS.
Syafaat, Rahmad (1998) Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Malang: IKIP Malang
Syuaisy, Syeh Hafizh Ali (2007) ”Tuhfatul Urusy wa Bahjatu an-Nufus”, diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Siddiq, Kado Pernikahan. Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar
Umar, Nasaruddin (2001) Argumen kesetaraan jender: perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina