konsep nusyuz dalam al-quran : studi...
TRANSCRIPT
KONSEP NUSYUZ DALAM Al-QURAN : STUDI KOMPARATIF
TAFSIR AL-MARAGHI DAN TAFSIR AL-MISBAH
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
dalam (Ilmu Al-Quran dan Tafsir)
Fakultas Ushuluddin
Oleh
WILDAYATI
NIM: UT.160106
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2020/2021
i
ii
iii
iv
MOTTO
… …
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma‟ruf”. (QS. Al-Baqarah: 2281
1Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Mushaf Al-Quran Tajwid dan Penerjemah Al-
Quran (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014), 36.
v
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan,
kesempatan dan kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini guna memperoleh gelar strata satu (S1). Shalawat beriringan salam tak lupa
pula kukirimkan kepada baginda Rasulullah Saw.
karya ini kupersembahkan kepada orang-orang terkasih dan tersayang
yang telah banyak membantu, meluangkan waktu, dan memberikan motivasi
kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dan juga merupakan
rasa ucapan terimakasih saya pada mereka. Mereka adalah:
Ayahku tercinta Syafruddin,
Ibundaku termulia Saaddah,
Kakandaku tersayang:
Nashri dan
Syafrin
Dosen Pembimbingku terhormat
Drs. H. Abd Latif, M.Ag
A. Mustaniruddin, S.Ud.,M.Ag
Dan semua Dosen fakultas Ushuluddin serta teman-teman dan rekan-rekan
seperjuangan.
vi
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh realitas yang memprihatinkan dan
memerlukan perhatian, yaitu kesalahan suami dalam bertindak ketika menghadapi
istri yang Nusyuz sehingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini
mendorong penulis untuk mengemukakan kembali bagaimana seharusnya
tindakan yang dilakukan oleh suami ketika menghadapi istri yang Nusyuz
berdasarkan Al-Quran dengan mengemukakan penyelesaian terhadap Nusyuz istri
khususnya perbandingan antara Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah.
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah (library research)
dalam tekhnis deskriptif kualitatif eksploratif, dengan menekankan pada sumber
tertulis terutama Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah. Penelitian ini
menggunakan tekhnik pengumpulan data dokumentasi dengan menerapkan
tekhnik analisis data kerangka berfikir metode komparatif yaitu dengan
menentukan objek, menjelaskan konteks, melakukan kajian perbandingan,
mencari argument dibalik perbedaan dan menyampaikan kesimpuan.
Hasilnya penulis menemukan bahwa ketika menghadapi istri yang Nusyuz
berdasarkan QS.An- Nisa‟:34 menurut Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah
suami dapat melakukan beberapa langkah, pertama, menasehati atau memberi
nasehat kepada istri dengan kata yang lemah lembut kedua, menunjukkan
ketidaksenangan suami terhadap sikap istri dengan cara seperti, tidak menggauli
istri atau menghindari berhubungan seks, tidak ada cumbu dan menghindari hal-
hal yang biasanya dilakukan suami kepada istri misalnya merayu istri, ketiga,
pisah ranjang atau memisahkan diri dari tempat tidur, keempat, bermusyawarah
antara pihak suami dan istri, kelima, jika semua yang di atas tidak dapat merubah
sikap Nusyuz istri maka suami boleh memukul dengan kata lain memang sudah
tidak ada jalan lain lagi bagi suami dengan pukulan yang dibenarkan dalam Islam.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan nikmat dan karunianya berupa kesehatan,
kesempatan dan kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan judul, “Konsep Nusyuz Dalam Al-Quran (Studi Komparatif Tafsir
Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah)”
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw, seluruh keluarga beserta para sahabat beliau, yang senantiasa
istiqomah dalam memperjuangkan agama Islamn, semoga kita menjadi hamba-
hamba pilihan seperti mereka Amiin ya Rabbal „aalamin.
Selanjutnya penulis menyadari dalam proses penyelesaian skripsi ini,
penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang tak terhingga kepada beberapa pihak yang telah membantu
penulisan skripsi ini sampai selesai. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada orang tua dan keluarga yang telah menjaga,
mendidik, menyayangi dan senantiasa mengsupport serta mendoakan penulis
sehingga karya ini dapat disesaikan.
Dan pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih
yang sebesar-besar kepada:
1. Bapak Drs. H. Abdul Latif, M.Ag selaku pembimbing I yang telah banyak
memberikan kontribusi dan waktu demi terselesaikannya Penulisan Skripsi
ini.
2. Bapak A. Mustaniruddin, S.Ud.,M.Ag selaku pembimbing II yang telah
banyak memberikan saran dan waktu demi terselesaikannya Penulisan
Skripsi ini.
viii
3. Bapak Bambang Husni Nugroho, S.Th.I.,M.H.I selaku ketua jurusan Ilmu
Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS
Jambi.
4. Bapak H. Husin Abd. Wahab, Lc.,MA.,PH.D selaku pembimbing
akademik yang senantiasa selalu memberi saran, semangat dan waktunya
demi terselesaikannya Skripsi ini.
5. Bapak Dr. Halim, S.Ag.,M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama UIN STS Jambi.
6. Bapak Dr. Masiyan M.Ag selaku Wakil dekan bidang Akademik Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi.
7. Bapak Dr. Edy Kusnaidi, M. Fil.I. selaku Wakil dekan bidang
Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama UIN STS Jambi.
8. Bapak Dr. M.Led Al-Munir, M.Ag selaku Wakil dekan bidang
Kemahasiswaan dan bidang Kerjasama luar Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
9. Prof. Dr. H. Suaidi Asy‟ary, M.Ag. selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
10. Ibu Dr. Rofiqoh Ferawati, SE.M.EI, Bapak Dr. As‟ad Isma, M.Pd, Bapak
Bahrul Ulum, S.Ag.,MA, selaku Wakil Rektor I, II, dan III Universitas
Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
11. Para Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
12. Bapak Ibuk Karyawan dan Karyawati Fakultas Ushuluddin dan Studi
Agama UIN STS Jambi.
13. Ayah, Ibu, Kakak, Keluarga Besar, Sahabat-sahabat seperjuangan dan
teman-teman mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir, yang
senantiasa memberikan dukungan dan semangat demi kelancaran
penulisan Skripsi ini.
ix
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
NOTA DINAS ................................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN ORSINALITAS SIKRIPSI ................................ ii
PENGESAHAN .............................................................................................. iii
MOTTO .......................................................................................................... iv
PERSEMBAHAN ........................................................................................... v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 8
C. Batasan Masalah ............................................................................ 8
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................... 8
E. Tinjauan Puataka ........................................................................... 9
F. Metode Penelitian .......................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14
BAB II BIOGRAFI MUSTAFA AL-MARAGHI DAN M. QURAISH
SHIHAB
A. Biografi Mustafa Al-Maraghi........................................................ 15
1. Riwayat Hidup Mustafa Al-Maraghi ........................................ 15
2. Karya-karya Mustafa Al-Maraghi ............................................ 17
3. Metode Penafsiran .................................................................... 18
4. Corak Penafsiran ..................................................................... 20
B. Biografi M. Quraish Shihab .......................................................... 21
1. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab .......................................... 21
2. Karya-karya M. Quraish Shihab ............................................... 23
3. Metode Penafsiran .................................................................... 25
4. Corak Penafsiran ...................................................................... 26
xi
BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA NUSYUZ DAN KONSEP
NUSYUZ MENURUT PARA PAKAR ISLAM
A. Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz ............................................ 28
B. Pengertian Nusyuz ........................................................................ 37
C. Bentuk-bentuk Nusyuz ................................................................. 40
BAB IV PENAFSIRAN TAFSIR AL-MARAGHI DAN TAFSIR AL-
MISBAH TENTANG AYAT NUSYUZ
A. Menurut Tafsir Al-Maraghi ........................................................... 49
B. Menurut Tafsir Al-Misbah ............................................................ 55
C. Penyelesaian Suami Terhadap Istri yang Nusyuz Perspektif Tafsir Al-
Maraghi dan Tafsir Al-Misbah ...................................................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 67
B. Rekomendasi ................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURICULUM VITAE
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Alfabet
n = ى gh = غ sh = ش kh = خ a= أ
f = w = ف ṣ = ص d = د b = ب
q = h = ق ḍ = ض dh = ذ t = ت
‟= ء k = ك ṭ = ط r = ز th = خ
l = y = ل ẓ = ظ z = ش j = ج
m = م „ = ع s = ض ḥ = ح
B. Vokal dan Harkat
Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia
Ā ىا A ا
ī ا
aw ا Á ا U ا
Ū ا I ا
ay ا
C. Syaddah atau Tasydid
Syaddah dilambangkan dengan tanda (-), dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi hal itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah huruf syamsiyyah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran al-Karim adalah “Kalamullah” atau perkataan Allah SWT., yang
penuh dengan kesucian. Ia berisi pesan-pesan kehidupan untuk umat manusia sebagai
bentuk sifat-Nya yang “Rahmān” dan “Rahīm”, cinta kasih-Nya kepada mereka yang
tak terhingga.2 Al-Quran dituturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. melalui
perantara malaikat Jibril. Kitab ini bukan hanya sekedar bacaan wajib bagi setiap
muslim namun, kitab ini juga mengatur pola hidup manusia agar bisa menemukan jati
diri sesungguhnya dan mencari kebahagiaan Dunia dan Akhirat. Terkait dengan itu
pula tidak terlepas dari petunjuk hidup manusia, Al-Quran juga telah memberi
petunjuk dalam menjalani kehidupan rumah tangga.3
Lelaki dan perempuan harus mampu bekerja sama dan hidup harmonis. Salah
satu bentuk kerja sama dan perwujudan dari kehidupan harmonis itu adalah ikatan
pernikahan atau berumah tangga. Manusia akan merasa sepi jika hidup sendiri itulah
kekuasaan Illahi.4Sebagaimana Allah SWT., berfirman:
…
“Dan segala sesuatu telah kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat (kebesaran Allah)”. (QS. Adz-Dzariyat: 49)5
2Ahsin Sakho Muhammad, Keberkahan Al-Quran:Memahami Tema-tema Penting
Kehidupan Dalam Terang Kitab Suci (Jakarta: PT Qaf Media Kreativa, 2017), 13. 3Zulfan, “Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir: Konsep Nusyuz Dalam Al-Quran”, Skripsi
(Sarjana Strata I Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017), 4. 4M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah
Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Tangerang: PT. Lentera Hati,
2018), 126. 5Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Mushaf Al-Quran Tajwid dan Penerjemah
Al-Quran (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014), 41.
2
Berbicara mengenai rumah tangga, Al-Quran telah menganugerahkan kepada
suami untuk menjadi seorang pemimpin dalam keluarga dan menempatkan suami
sebagai penanggung jawab keluarga.6 Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan
ini merupakan keistimewaan dan menjadikan “derajat suami lebih tinggi” dari istri.7
Al-Quran telah mengisyaratkan hal tersebut Allah SWT., berfirman:
… …
”Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma‟ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya”. (QS. Al-Baqarah: 228).8
Pernikahan bukanlah hal yang sepele. Setelah mengikat perjanjian pernikahan
yang kuat, sepasang suami istri secara langsung menjadi satu kesatuan, padahal
sebelumnya masing-masing dalam keadaan sendiri. Pada hakekatnya, suami istri
adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan karena dalam sepanjang kehidupan rumah
tangga, keduanya memikul tanggung jawab dan cita-cita bersama. Islam melindungi
ikatan pernikahan dengan berbagai jaminan, sekaligus menjadikannya sebagai
perbuatan yang sangat agung dan sakral. Inilah yang membuat ikatan pernikahan itu
sangat berbeda dengan segala bentuk ikatan yang ada. Al-Quran menempatkan ikatan
pernikahan itu sebagai perjanjian yang berat, dari segala bentuk ikatan apapun.9
Namun demikian, yang namanya kehidupan pasti akan mengalami yang
namanya masalah. Begitu juga ketika berumah tangga salah satu masalah yang sering
terjadi dalam kehidupan rumah tangga adalah sikap Nusyuz.
6Ahsin Sakho Muhammad, Keberkahan Al-Quran: Memahami Tema-tema Penting
Kehidupan Dalam Terang Kitab Suci, 246. 7M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran: Nasehat Perkawinan Untuk Anak-anakku
(Tangerang: Lentera Hati, 2015), 189. 8Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Mushaf Al-Quran Tajwid dan Penerjemah
Al-Quran (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014), 36. 9Saughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul „‟Nusyuz‟‟ oleh Ghanim Shaleh (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 15.
3
Nusyuz dapat dikatakan bahwa suatu kondisi yang tidak menyenangkan yang
timbul dari suami atau istri atau dapat dikatakan bahwa suatu kondisi yang tidak baik
dalam kehidupan rumah tangga yang tidak sesuai dengan tuntunan agama
ditimbulkan baik dari suami maupun istri seperti sikap saling membenci,
membangkang, tidak taat, bersikap sombong dan tidak menjalankan hak-hak sebagai
suami istri.10
Kata Nusyuz dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 2 kali yakni terdapat
dalam QS. An-Nisa‟: 34 dan QS.An-Nisa‟: 128.
Sikap Nusyuz memang sering dikaitkan dengan pihak istri. Banyak sekali
contoh Nusyuz istri yang bisa dilihat baik melalui kehidupan masyarakat sekitar
maupun pemberitaan media elektronik seperti televisi, media cetak dan lain
sebagaianya, seperti istri yang melakukan pembangkangan, penganiayaan bahkan
sampai kepada pembunuhan terhadap suami.
Lihat saja yang terjadi baru-baru ini yakni beredar video penganiayaan M
diinisialkan namanya terhadap suaminya HT. dalam video berdurasi 2 menit 14 detik
itu M sempat menyatakan bahwa suaminya tersebut mengalami stroke sehingga
kesulitan beraktifitas secara normal. Dia tampak kesal karena harus melayani seluruh
kebutuhan suami seperti buang air besar. Pelaku juga sempat menyebutkan
konpensasi 1 miliar jika sang suami ingin bercerai dengan dirinya. Dalam video itu,
pelaku meminta agar ada orang yang bisa menjaga laki-laki itu. Dibagian akhir video
viral itu pelaku mendekati korban dan memukulnya berkali-kali dengan tongkat
korban hanya meraung kesakitan. Korban pun tampak sempat mengeluarkan darah di
bagian wajahnya.11
Selain itu, ada juga kasus pembunuhan yang dilakukan oleh istri kepada suami
dan anak tirinya. Aulia Kesuma dan anak kandungnya Geovani Kelvin dijadikan
sebagai tersangka atas pembunuhan suaminya, Edi Candra Purnama alias Pupung dan
anak tirinya M. Adi Pradana alias Dana. Keduanya didaqwa melakukan pembunuhan
10
Saughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 26. 11
Antara,” Viral KDRT Terhadap Suami, Keluarga Korban Laporkan Pelaku”,
diakses melalui alamat https://metro.tempo.co , tanggal 17 Maret 2020.
4
berencana. Jaksa mengungkapkan Aulia tega membunuh suami dan anak tirinya
karena kesal dengan suaminya yang tidak ingin mengikuti permintaannya untuk
menjual rumah dikawasan Lebak Bulus, Jaksel untuk melunasi hutang. Karena itu,
dia tega merencanakan niat jahat untuk membunuh suami dan anak tirinya.
Aulia Kesuma awalnya sempat menyewa dukun santet untuk menghabisi
nyawa kedua korban. Namun upaya itu tidak berhasil. Dia lalu memutuskan mencari
cara lain untuk menghabisi nyawa kedua korban. Strategi pembunuhan pun dirancang
dengan apik oleh Aulia. Aulia mengetahui proses pembunuhan ini, dia juga yang
membagi tugas para eksekutor. Dalam peristiwa ini, terdaqwa Sugeng yang dibayar
Aulia berperan untuk membakar mayat Dana dan mayat Pupung, Kelvin bertugas
mengajak Dana mabuk hingga tertidur, Supriyanto bertugas mengecek mobil dan
bensin Pupung. Rencana pembunuhan pun dimulai Aulia dengan memberikan jus
yang dicampur obat tidur kepada Pupung. Kemudian Kelvin bertugas menemui Dana
di kamarnya sambil mencekoki Dana dengan alkohol agar tertidur pulas. Akhirnya
Dana dan Pupung pun tidur, saat tidur mereka dibekap dengan handuk yang telah
dibasahi dengan alkohol agar mereka tidak bisa bernapas, dan juga menginjak leher
Dana dan Pupung. Proses pembunuhan itu tidak berjalan mulus karena Pupung
sempat sadar dan melakukan perlawanan, namun Sugeng kemudian mencekik
Pupung hingga tewas. Setelah keduanya dipastikan tewas, Aulia dan Kelvin
kemudian melilit mayat Dana dan Pupung dengan sprei. Sugeng juga meletakkan
mayat Dana di kamar Pupung kemudian membakar sprei itu dengan obat nayamuk.
Namun alih-alih terbakar api justru membakar garasi rumahnya. Pada hari
berikutnya, dimulai lagi dengan membawa mayat Dana dan Pupung ke Jalan Raya
Cidahu, desa Pondokkaso Tengah, Suka Bumi, Jawa Barat. Di tempat itu, Aulia dan
Kelvin membakar mayat Dana dan Pupung.12
Dari contoh di atas bukan hanya memperlihatkan bagaimana sikap Nusyuz
istri tehadap suami tetapi juga memperlihatkan kedurhakaan istri yang luar biasa
12
Ahmad Bil Wahid, “Pembantu Aulia Kesuma Didawqa Beri Sarana Pembunuhan
Berencana”, diakses melaui alamat https://www.detik.com, tanggal 17 Maret 2020.
5
terhadap suami. istri yang seharusnya menyayangi dan taat kepada suami disegala
keadaan malah sebaliknya. Apapun alasannya istri tidak dibenarkan melakukan
kekerasan apalagi sampai menghilangkan nyawa suami.
Selain Nusyuz istri, suami juga bisa sampai melakukan sikap Nusyuz
sebagaimana Allah juga berfirman tentang Nusyuz suami dan penyelesiannya yang
terdapat dalam QS. An-Nisa‟: 128:
…
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa‟:128).13
Secara ringkas Nusyuz suami mengandung arti kesombongan seorang suami
dengan melecehkan hak-hak istri, perlakuan kasar dan sudah melampaui batas, tidak
memberi nafkah sandang, pangan dan papan, suami tidak memperlakukan istrinya
secara baik, tidak melindungi dan bertanggung jawab terhadap istrinya, membiarkan
istri tanpa perhatian semestinya dan lain-lain.14
Pada dasarnya, Islam telah mengatur sedemikian rupa kehidupan rumah
tangga agar suami maupun istri menghindari hal-hal yang tidak baik dalam berumah
tangga. Namun, bukan berarti tanpa masalah, akan tetapi setiap masalah pasti ada
jalan keluar. Begitu pula ketika suami menghadapi Nusyuz istri. Maka dari itu, suami
13
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Mushaf Al-Quran Tajwid dan
Penerjemah Al-Quran (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014), 99. 14
Saughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 29.
6
sebagai pemimpin diharapkan bisa menyelesaikan masalah termasuk ketika
menghadapi Nusyuz istri, penyelesaian yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Penyelesaian Nusyuz itu sendiri dimaksudkan agar suami bisa bertindak bijak dan
tidak terjadi penyimpangan dan kesewenang-wenangan suami maupun tindakan
berlebihan suami dalam menyikapi masalah Nusyuz istri. Selain itu, dengan adanya
penyelesaian suami terhadap istri yang Nusyuz bertujuan agar tidak berkembang
luasnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan istri, khususnya dikalangan mereka
yang tidak memiliki moral. Sebab terkadang banyak juga ditemukan suami yang
bukannya menyelesaikan masalah Nusyuz istri dengan tepat akan tetapi malah
menyelesaikannya dengan tindakan Nusyuz pula seperti melakukan kekerasan
terhadap istri.
Bagaimana tidak, fakta yang tengah terjadi saat ini menggambarkan
bagaimana kesalahan seorang suami dalam bertindak ketika menyelesaikan masalah
Nusyuz istri. Banyak suami yang mengabaikan bagiamana seharusnya tindakan yang
dilakukan ketika Nusyuz istri terjadi. Hal ini bukan tanpa dasar dan sekedar omongan
belaka, dapat dilihat dari fakta-fakta yang ada, berapa banyak istri yang menjadi
korban kekerasan oleh suami atau di sebut dengan KDRT. Kekerasan dalam rumah
tangga ini bisa berupa kekerasan fisik, seksual, psikologis, maupun dalam bentuk
penelantaran rumah tangga.15
Lihat saja menurut catatan Komnas Perempuan dari tahun ketahun angka
kekerasan terhadap perempuan ini terus meningkat. Hal ini dapat difahami
berdasarkan data, yang didapat melalui pendataan yang dimana pada tahun 2001
mencatat sebanyak 3160 kasus kekerasan dan kemudian mengalami peningkatan pada
tahun 2002 menjadi 5163 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari 14.020 kasus
kekerasan terhadap perempuan ini, sebanyak 4.310 adalah kasus kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga. Selanjutnya pada tahun 2007 Komnas Perempuan
menerima dan mencatat kasus kekerasan sekitar 26.000 laporan kasus kekerasan
15
Ahmad Zahro, Menuju Fiqh Keluarga Progresif (Yogyakarta: Kaukaba
Dipantara, 2015), 122.
7
terhadap perempuan. Jumlah kasus ini naik menjadi 100 persen pada tahun 2008
menjadi meningkat sekitar 56.000 kasus.Kasus yang paling menonjol atau yang
paling utamanya adalah kasus KDRT.16
Dengan demikian, penyelesaian terhadap istri yang Nusyuz sangat perlu
dilakukan. Maka, Al-Quran yang merupakan kitab suci dan petunjuk bagi umat Islam
telah memberikan solusi kepada suami ketika menghadapi istri yang Nusyuz, yang
terdapat dalam QS. An-Nisa‟: 34
… …
“Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”
(QS. An-Nisa‟: 34)17
Namun, ketika menfsirkan ayat di atas yakni tentang penyelesaian suami
terhadap istri yang Nusyuz, terjadi perbedaan di beberapa kalangan mufassir di
antaranya Mustafa Al-Maraghi dan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, Tafsir Al-
Maraghi dan Tafsir Al-Misbah. Sehingga atas dasar perbedaan itulah penulis tertarik
untuk mengangkat judul skripsi “Konsep Nusyuz dalam Al-Quran (Studi
Komparatif Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah).
B. Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang ingin penulis angkat dalam penelitian ini
adalah: Bagaimana Konsep Nusyuz dalam Al-Quran (Studi Komparatif Tafsir Al-
Maraghi dan Tafsir Al-Misbah)? Pokok permasalahan ini lebih jauh dapat penulis
rumuskan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Apa faktor penyebab terjadinya Nusyuz?
16
Ahmad Zahro, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, 123. 17
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: PT
Syaamil Cipta Media, 2005), 84.
8
2. Bagaimana konsep Nusyuz menurut Para Pakar Islam?
3. Bagaimana penafsiran Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah tentang ayat
Nusyuz?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah ialah ruang lingkup masalah atau upaya membatasi ruang
lingkup masalah yang terlalu luas atau lebar sehingga penelitian itu lebih bisa fokus
untuk dilakukan.
Oleh karena itu, Penelitian ini penulis batasi dengan QS. An-Nisa‟: 34
tentang langkah suami dalam penyelesaian suami terhadap istri yang Nusyuz
perspektif Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah. Adapun literatur-literatur dan
data-data pendukung lainnya, hanyalah sebagai penguat penafsiran ini.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari permasalahan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat
sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana konsep Nusyuz dalam
Al-Quran Perspektif tafsir Al-Maraghi dan tafsir Al-Misbah antara lain:
a. Untuk mengetahui apa faktor penyebab terjadinya Nusyuz
b. Untuk mengetahui bagaimana konsep Nusyuz menurut para pakar Islam
c. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian suami terhadap istri yang Nusyuz
perspektif Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah?
2. Kegunaan Penelitian
Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan
sebagai berikut:
a. Memberikan konstribusi keilmuan terhadap masyarakat khususnya di tengah
masyarakat Islam agar menjadikan Al-Quran sebagai landasan utama dalam
bertindak.
9
b. Untuk Mengetahui tentang bagaimana penyelesaian terhadap kasus Nusyuz
khususnya Nusyuz istri terutama bagi laki-laki (suami) agar tidak bertindak
semena-mena.
c. Memberikan sumbangan pemikiran yang berharga dalam memperkaya
khazanah Al-Quran dan keilmuan Islam serta diharapkan dapat menjadi salah
satu bahan masukan dalam bidang akademis, khususnya Ilmu Al-Quran dan
Tafsir.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian kepustakaan pada umumnya dilakukan untuk mendapatkan gambaran
tentang hubungan topik penelitian yang akan diajukan dengan penelitian yang sejenis
yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sehingga tidak terjadi pengulangan
yang tidak perlu, atau melarikan karya orang lain yang disebut dengan plagiat.
Dalam hal ini, sepanjang penelusuran penulis, penelitian secara cermat
tentang Konsep Nusyuz dalam Al-Quran khazanah penafsiran yang mengangkat sisi
perbandingan atau perbedaan antara para mufassir yakni dengan menggunakan
metode komparatif, masih sangat sedikit sekali ditemukan.
Di antara karya ilmiah yang membahas tentang masalah Nusyuz adalah buku
yang berjudul jika suami istri berselisih yang ditulis oleh Shaugi Algadri
diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Nusyuz oleh Ghanim Shaleh. Buku ini
secara umum membahas tentang Nusyuz dalam pandangan Islam serta cara
penyelesaiannya dengan mengemukakan pendapat para ulama baik ulama fiqh
maupun ulama tafsir.18
Selanjutnya adalah Jurnal yang berjudul “Penyelasaian Kasus Nusyuz
Menurut Perspektif Ulama Tafsir”, yang ditulis oleh Hiswar, jurnal ini membahas
18
Saughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih,15.
10
pendapat banyak mufassir tentang Nusyuz dan cara maupun penindakan terhadap istri
yang Nusyuz.19
Selanjutnya skripsi yang disusun oleh Zulfan yang berjudul “Konsep Nusyuz
Dalam Al-Qur‟an”. Pembahasan di skripsi ini lebih menerangkan mengenai konsep
Nusyuz menurut tafsir al-Ahkam Karya Syaikh Abdul Halim Hasan.20
Selanjutnya skripsi yang disusun oleh Ardawati yang berjudul “Persepsi
Masyarakat Tentang Nusyuz Serta Pengaruh Terhadap Penceraian”. Skripsi ini
menjelaskan mengenai konsep Nusyuz yang terjadi di masyarakat, didukung dengan
data di lapangan dan pendapat ulama dan mufassir.21
Selanjutnya jurnal yang ditulis oleh Sri Wahyuni yang berjudul “Konsep
Nusyuz dan Kekerasan Terhadap Isteri Perbandingan Hukum Positif dan Fiqh”
skripsi ini lebih berfokus pada bagaimana konsep Nusyuz menurut pemahaman para
ulama fuqaha disertai juga dengan penjelasan UU yang mengatur tentang transgender
dan kekerasan dalam rumah tangga.22
Selanjutnya adalah jurnal yang ditulis oleh Nor Salam yang berjudul “Konsep
Nusyuz Dalam Perspektif Al-Quran Sebuah Kajian Maudu‟i” penelitian ini
menjelaskan bagaimana konsep Nusyuz baik dari pihak istri maupun Nusyuz dari
pihak suami dengan kajian tematik, yang memasukkan semua ayat-ayat Al-Quran
yang berkaitan dengan Nusyuz.23
Selanjutnya adalah skripsi yang ditulis oleh Aisyah Nurlia yang berjudul
“Nusyuz Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Hukum Islam” skripsi ini
19Hiswar,“Penyelasaian Kasus Nusyuz Menurut Perspektif Ulama Tafsir”, Jurnal
Ilmiah Keislaman (2012), 16.
20
Zulfan,“Konsep Nusyuz Dalam Al-Qur‟an menurut tafsir al-Ahkam Karya Syaikh
Abdul Halim Hasan”, Skripsi (Medan: Program Sarjana Strata 1 Universitas Islam Negeri
Sumatera Utara 2017), 9.
21
Ardawati,“Persepsi Masyarakat Tentang Nusyuz Serta Pengaruh Terhadap
Penceraian”, Skripsi (Aceh: Program Sarjana Starta 1 Universitas Islam Negeri ar-Raniry
2018), 14. 22
Sri Wahyuni,”Konsep Nusyuz dan Kekerasan Terhadap Isteri Perbandingan
Hukum Positif dan Fiqh”, Jurnal (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), 20. 23
Nor Salam,”Konsep Nusyuz Dalam Perspektif Al-Quran Sebuah Kajian Maudu‟i”
Jurnal (Pasuruan: Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Yasini Pasuruan, 2015), 48.
11
menjadikan suami sebagai pelaku Nusyuz artinya penelitiannya berfokus terhadap
Nusyuz seorang suami kepada istri yang di dalamnya dijelaskan bagaimana bentuk
Nusyuz seorang suami terhadap istri yang disertai dengan contoh kasus-kasus yang
terjadi di tengah kehidupan masyarakat.24
Dari beberapa kajian pustaka yang telah dipaparkan di atas, dapat terlihat jelas
bahwa belum ada karya-karya yang sama persis dengan yang akan penulis teliti dan
tentu memiliki perbedaan, terutama dari segi metode, penulis menggunakan metode
komparatif yakni membandingkan antara dua tafsir yaitu tafsir Al-Maraghi dan tafsir
Al-Misbah.
F. Metode Penelitian
Metode berasal dari bahasa Yunani “ methodos” yang berarti “cara atau
jalan”. Dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang
teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan.25
Dalam pemakaian bahasa indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur
dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan dan
sebagainya.26
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode komparatif,
metode ini biasa disebut juga dengan metode muqarran, yaitu salah satu metode yang
membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki redaksi berbeda padahal isi
kandungannya sama atau tafsir ini bisa juga dilakukan dengan cara membanding-
bandingkan antara aliran-aliran tafsir atau membandingkan antara mufassir satu
dengan mufassir lainnya.27
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat difahami bahwa metode
komparatif adalah metode yang membandingkan ayat Al-Quran yang memiliki
24
Aisyah Nurlia,”Nusyuz Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Hukum
Islam”,Skripsi (Lampung: Program Sarjana Strata 1 Universitas Bandar Lampung, 2018), 9. 25
Nashruddin Baidan dan Ermawati Aziz, Metodologi Khusus Penelitian Tafsir
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016)13. 26
Ibid., 13. 27
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 383.
12
redaksi berbeda namun maksudnya sama atau metode ini dapat juga diartikan sebagai
metode yang membandingkan antara tafsir mufassir satu dengan mufassir lainnya.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan yaitu
penelitian yang semua datanya berasal dari data-data tertulis seperti buku, naskah,
dokumen, dan lain-lain yang berkenaan dengan Al-Quran dan tafsirannya.28
1. Sumber dan Jenis Data
a. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa sumber data yang berasal dari
dokumen. Sumber data dokumen adalah berbagai referensi maupun data-data
yang digunakan sebagai bahan rujukan yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah sumber data
dokumenter yang berupa dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku
ilmiah dan referensi tertulis lainnya.
b. Jenis Data
Secara umum jenis data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder.
1. Data primer yaitu data pokok yang memberikan data kepada peneliti dalam
mengumpulkan data. Dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah
tafsir Al-Misbah dan tafsir Al-Maraghi.
2. Data sekunder adalah sumber data yang merupakan referensi penunjang
maupun pelengkap terhadap data primer. Dalam penelitian ini yang menjadi
sumber data pendukung antara lain, seperti internet, jurnal, artikel dan buku-
buku yang berkaitan dengan penelitian.
2. Metode Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, ialah peneliti
mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan melakukan penelusuran
28
Nashruddin Baidan dan Erwati Aziz, Metodologi Khusus Penelitian Tafsir , 27-28.
13
kepustakaan serta mengkaji dan menela‟ah berbagai referensi yang bersumber dari
berbagai tulisan-tulisan seperti, buku-buku, skripsi dan sebagainya.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data pokok
permasalahan yang sedang diteliti, selanjutnya data yang terkumpul tersebut
dianalisis sehingga dapat memberikan pengertian dan kesimpulan sebagai jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menjadi objek penelitian.
3. Metode atau Teknik Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data, kemudian akan dianalisa dengan
kerangka berfikir metode komparatif yaitu dengan cara mengemukakan penafsiran
ayat Al-Quran kemudian membandingkan beberapa teori dan pendapat dari mufassir
yang hendak dibandingkan untuk diambil kesimpulan.
Adapun langkah-langkah metodenya sebagai berikut:
a. Menentukan objek , yaitu menetapkan ayat, hadis, atau penafsiran yang akan
dikaji.
b. Mendudukkan pemahaman terhadap objek kajian sesuai dengan konteksnya.
Kedudukan terkait dengan tema atau masalah yang dibicarakan, seperti
konteks pemaknaan atau pemahaman umum terhadapnya dan sebagainya.
c. Melakukan kajian perbandingan, yaitu mengkaji secara mendalam dua atau
lebih dari objek yang diperbandingkan untuk melihat segi-segi persamaan
ataupun perbedaan.
d. Mencari atau menelusuri argumen dibalik persamaan atau kemiripan,
perbedaan atau perlawanan yang terkandung di dalamnya.
e. Menjelaskan makna, menghadirkan temuan, dan menyampaikan kesimpulan
dari kajian perbandingan yang telah dilakukan.29
29
Zulheldi, 6 langkah Metode Tafsir Maudhu‟i (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2017), 27-28.
14
G. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini tersusun secara sistematis, peneliti merumuskan
sistematika penulisan kedalam beberapa bab, antara lain sebagai berikut:
Bab satu membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian
serta sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang biografi Mustafa Al-Maraghi dan M. Quraish
Shihab, yang meliputi latar belakang, karya-karyanya, metode dan corak penafsiran.
Bab tiga berisi tentang faktor penyebab terjadinya Nusyuz, konsep Nusyuz
menurut para pakar Islam, yang meliputi tentang pengertian Nusyuz dan bentuk-
bentuk Nusyuz.
Bab empat berisi penafsiran Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir Al-Misbah tentang
ayat Nusyuz.
Bab lima berisi penutup penelitian yang terdiri dari dua sub-bab yaitu
kesimpulan dan rekomedasi penelitian.
15
BAB II
BIOGRAFI MUSTAFA AL-MARAGHI DAN M. QURAISH SHIHAB
A. Biografi Mustafa Al-Maraghi
1. Riwayat Hidup Mustafa Al-Maraghi
Nama lengkap Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa Ibn Mustafa Ibn
Muhammad Ibn „Abd Al-Mun‟im Al-Qadi Al-Maraghi. Ia lahir pada tahun 1300
H/1883M di kota Al-Maraghah, provinsi Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan kota
Kairo. Menurut Abdul Aziz Al-Maraghi, yang dikutip oleh Abdul Djalal, kota Al-
Maraghah adalah ibukota kabupaten Al-Maraghah yang terletak di tepi Barat Sungai
Nil, berpenduduk sekitar 10.000 orang, dengan penghasilan utama gandum, kapas
dan padi. Ahmad Mustafa Al-Maraghi berasal dari kalangan ulama yang taat dan
menguasai berbagai bidang ilmu agama.30
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa lima dari
delapan orang putera laki-laki Syekh Mustafa Al-Maraghi (ayah Ahmad Mustafa Al-
Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal, yaitu:
1. Syekh Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah menjadi Syekh Al-Azhar
dua periode tahun 1928-1930 dan 1935-1945.
2. Syekh Muhammad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi.
3. Syekh Abdul Aziz Al-Maraghi, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-
Azhar dan Imam Raja Faruq.
4. Syekh Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-
Azhar.
5. Syekh Abdul Wafa Mustafa Al-Maraghi, Sekretaris Badan dan
Pengembangan Universitas Al-Azhar.31
30
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi ( Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1996), 15. 31
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi, 16.
16
Di samping itu, ada empat orang putera Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjadi
hakim, yaitu:
1. M. Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo.
2. A. Hamid Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Penasehat
Menteri Kehakiman di Kairo.
3. Asim Ahmad, Hakim di Kuwait dan Pengadilan Tinggi di Kairo.
4. Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil
Menteri Kehakiman di Kairo.32
Jadi, selain Al-Maraghi merupakan keturunan ulama yang menjadi ulama, ia
juga berhasil mendidik putera-puteranya menjadi ulama dan sarjana yang senantiasa
mengabdikan dirinya untuk masyarakat, dan bahkan mendapat kedudukan penting
sebagai hakim pada pemerintahan Mesir.
Orang-orang yang memakai sebutan Al-Maraghi tidak terbatas pada anak
cucu Syekh Abd. Mun‟im Al-Maraghi saja. Sebab menurut keterangan kitab
“Mu‟jam al-Mu‟allifin” karangan Syekh Umar Rida Kahalah menyatakan ada 13
orang yang dinisbahkan dengan nama Al-Maraghi di luar keluarga dan keturunan
Syekh Abd. Mun‟im Al-Maraghi, yaitu ulama atau sarjana yang ahli dalam berbagai
ilmu pengetahuan yang dihubungkan dengan kota asalnya Al-Maraghah.33
Ketika Ahmad Mustafa Al-Maraghi memasuki usia sekolah, beliau
dimasukkan oleh orang tuanya ke Madrasah di desanya untuk belajar Al-Quran. Pada
usia 13 tahun beliau sudah hafal Al-Quran, di samping itu beliau juga mempelajari
ilmu-ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu Syari‟ah di Madrasah sampai beliau
menamatkan pendidikan peringkat menengah.34
Pada tahun 1314H/1897M oleh kedua orang tuanya ia disuruh meninggalkan
kota Al-Maraghah untuk pergi ke Kairo menuntut ilmu pengetahuan di Universitas
32
Ibid., 16. 33
Ibid., 16. 34
Yuni, Safitri Ritonga,”Studi Agama: Metode dan Corak Penafsiran Ahmad Mustafa
Al-Maraghi”, Skripsi (Riau: Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014), 13.
17
Al-Azhar. Di sini ia mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan agama, seperti
bahasa Arab, balaghah, tafsir, ilmu Al-Quran, hadis, ilmu hadis, fiqih, usul fiqih,
akhlak, ilmu falaq dan sebagainya. Di samping itu, ia juga mengikuti kuliah di
Fakultas Dar al-Ulum Kairo yang dahulu merupakan Perguruan Tinggi tersendiri, dan
kini menjadi bagian dari Cairo University.35
Setelah Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi menamatkan studinya di
Universitas Al-Azhar dan Dar al-Ulum, ia memulai karirnya dengan menjadi guru di
beberapa sekolah menengah. Kemudian ia diangkat menjadi Direktur Madrasah
Mu‟allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten, kira-kira 300 km sebelah
barat daya kota kairo. Pada tahun 1916 ia diangkat menjadi dosen Universitas
terkenal Al-Azhar, selain itu ia juga giat mengarang buku-buku ilmiah salah satunya
ialah Ulum al-Balaghah dan karya terbesar beliau adalah Tafsir Al-Maraghi yang
terdiri dari 30 juz. Pada tahun 1920 ia kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen
Bahasa Arab dan ilmu-ilmu Syari‟ah Islam di Dar al-Ulum sampai tahun 1940.36
Pada tahun 1952M/1371H di tempat kediamannya di Jalan Zulfikar Basya
Nomor 37 Hilwan ia meninggal dunia dan di kuburkan di pemakaman keluarganya di
Hilwan, kira-kira 25 km di sebelah selatan kota Kairo.37
2. Karya-karya Mustafa Al-Maraghi
Selain melahirkan sebuah karya terbesarnya Tafsir Al-Maraghi, ternyata ia
juga memiliki karya lain diantaranya ialah:
1. Tafsir Al-Maraghi merupakan karyanya yang terbesar
2. Ulum al-Balaghah
3. Hidayahnya al-Thalib
4. Tahzib al-Taudhih
5. Buhut wa Ara‟
6. Tarikh „Ulum al-Balaghah wa Ta‟rif Rijaliha
35
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi, 17. 36
Ibid., 17-18. 37
Ibid., 18.
18
7. Mursyid al-Tullab
8. Al-Mujaz fi Al-Adab al-Arabi
9. Al-Mujaz fi Ulum al-Ushul
10. Al-Diyanat wa al-Akhlak dan lain-lain38
3. Metode dan Corak Penafsiran
a. Metode Penafsiran
Ketika menafsirkan Al-Quran Al-Maraghi juga memiliki metode tersendiri
sebagaimana ia telah menjelaskan di dalam tafsirnya, Tafsir Al-Maraghi sebagai
berikut;
1. Menyampaikan Ayat-ayat di Awal Pembahasan.
Pada setiap pembahasan ia memulai dengan satu, dua lebih ayat-ayat
Al-Quran, yang ia susun sedemikian rupa hingga memberikan pengertian
yang menyatu.
2. Penjelasan Kata-kata.
Kemudian ia memberikan penjelasan-penjelasan kata secara bahasa,
jika memang terdapat kata-kata yang dianggap sulit dipahami oleh pembaca.
3. Pengertian Ayat Secara Ijmal.
Kemudian, ia pun menyebutkan makna ayat-ayat secara ijmal dengan
maksud memberikan pengertian ayat-ayat di atasnya secara global, sehingga
sebelum memasuki pengertian tfsir yang menjadi topik utama, para pembaca
telah terlebih dahulu mengetahui makna ayat-ayat secara ijmal.
4. Asbabun-Nuzul (Sebab-sebab Turun Ayat).
Kemudian, ia menyertakan bahasan asbabun-nuzul jika terdapat
riwayat sahih dari hadis yang menjadi pegangan para mufassir.
38
Yuni, Safitri Ritonga,”Studi Agama: Metode dan Corak Penafsiran Ahmad Mustafa
Al-Maraghi”, Skripsi (Riau: Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014),17.
19
5. Mengesampingkan Istilah-istilah yang Berhubungan dengan Ilmu
Pengetahuan.
Di dalam tafsirnya, Al-Maraghi sengaja mengesampingkan istilah
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Misalnya, Ilmu Sharaf, Nahwu,
Balaghah dan lain sebagainya, walaupun masuknya ilmu-ilmu tersebut di
dalam tafsir sudah terbiasa di kalangan mufassir terdahulu. Dan dengan
masuknya ilmu-ilmu itu justru merupakan suatu penghambat bagi pembaca di
dalam mempelajari kitab-kitab tafsir.
6. Gaya Bahasa Para Mufassir.
Sebagaimana kitab-kitab tafsir terdahulu di susun dengan gaya bahasa
yang sesuai dengan para pembaca ketika itu yang mudah di mengerti oleh
mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan karya-karyanya itu
menggunakan gaya bahasa yang ringkas. Karena pergantian masa selalu
diwarnai di bidang paramasastra, tingkah laku dan kerangka berpikir
masyarakat, sudah barang tentu wajar bahkan wajib bagi mufassir zaman
sekarang untuk melihat keadaan pembaca dan menjauhi pertimbangan
keadaan masa lalu.
7. Pesatnya Sarana Komunikasi di Masa Moderen.
Masa sekarang ini ternyata mempunyai ciri tersendiri. Masayarakat
lebih cenderung menggunakan gaya bahasa sederhana yang dapat di mengerti
maksud dan tujuannya. Terutama ketika bahasa itu di pergunakan sebagai alat
komunikasi sehingga melahirkan kejelasan pengertian. Karenanya, Al-
Maraghi sebelum ia melakukan pembahasan, terlebih dahulu membaca
seluruh kitab-kitab tafsir terdahulu yang beraneka kecenderungannya dan
masa ditulisnya. Sehingga ia memahami secara keseluruhan isi kitab-kitab
tersebut. Kemudian ia berusaha untuk mencernanya, dan ia sajikan dengan
gaya bahasa yang bisa diterima di masa sekarang. Itulah cara ia menafsirkan
Al-Quran.
20
8. Seleksi Terhadap Kisah-kisah yang Terdapat di Dalam Kitab-kitab Tafsir.
Kebanyakan muffasir terdahulu menyampaikan sejarah umat-umat
sebelum kenabian Muhammad yang tertimpa azab Allah adalah akibat
perbuatan dosa dan noda. Para mufassir juga menggambarkan proses kejadian
langit dan bumi. Padahal bangsa Arab ketika itu belum ada yang
berkemampuan memberikan interpretasi terhadap masalah-masalah umum
seperti yang disinggung di dalam Al-Quranuul-Karim. Sebab, mereka adalah
orang-orang yang hidup terisolasi di gurun sahara, jauh dari informasi ilmu
bahkan banyak di antara mereka yang masih buta huruf. Karenanya Al-
Maraghi dalam tafsirnya menganggap langkah paling baik jika pembahasan
ayat-ayat nanti tidak menyebutkan masalah-masalah yang berkaitan erat
dengan cerita-cerita orang terdahulu. Kecuali jika cerita-cerita tersebut tidak
berentangan dengan pinsip-prinsip agama yang sudah tidak diperselisihkan,
karena ia yakin cara inilah yang paling baik dan bisa dipertanggung jawabkan
di dalam menafsirkan Al-Quran. Sudah barang tentu, hasilnya pun akan
banyak dirasakan kalangan masyarakat berpendidikan yang biasanya tidak
mudah percaya terhadap sesuatu tanpa argumentasai dan bukti.
9. Jumlah Jus Tafsir ini.
Kitab tafsir ini disusun menjadi 30 Jilid. Setiap jilid terdiri 1 juz Al-
Quran. Hal ini ia maksudkan agar mempermudah para pembaca, di samping
mudah dibawa kemana-mana, baik ketika menempati suatu tempat atau
berpergian, di stasiun kereta api atau tempat-tempat lainnya.39
b. Corak Penafsiran
Corak penafsiran adalah kecenderungan seorang mufassir dalam memahami
ayat Al-Quran. Dilihat dari segi isi ayat Al-Quran dan kecendeungan penafsirannya,
terdapat sejumlah corak penafsiran Al-Quran seperti tafsir falsafi (tafsir filsafat),
39
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjamah Tafsir Al-Maraghi, Diterjemahkan dari
buku aslinya yang berjudul Tafsir Al-Maraghi oleh Bahrun Abu Bakar, Lc dan Drs. Hery
Noer Aly, Juz V (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993), 17-21.
21
tafsir ilmi (tafsir ilmiah akademik), tafsir tarbawi (tafsir pendidikan), tafsir akhlaqi
(tafsir moral), tafsir fiqhi (tafsir hukum).40
Corak dari tafsir Al-Maraghi ini sendiri bercorak al-Adabi al-Ijtima‟i yaitu
corak penafsiran Al-Quran yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan
kemasyarakatan dan kebahasaan yang mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir
jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitnnya dengan
perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung.41
B. Biografi M. Quraish Shihab
1. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 februari 1944.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan
pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul-
Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir dan di terima di
kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia
melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA
untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-I‟jaz Al-Tasyri‟iy
li Al-Quran Al-Karim.42
Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang Ulama dan guru
besar di bidang tafsir. Abdurrahman Shihab di pandang sebagai salah seorang tokoh
pendidikan yang memiliki reputasi baik di kalangan masayarakat Sulawesi Selatan.43
Sekembalinya ke ujung Pandang, M. Quraish Shihab dipercayakan untuk
menjabat sebagai wakil rektor bidang Akademis dan kemahasiswaan pada IAIN
Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di
40
Muhammad, Amin Suma, Ulumul Qur‟an, 395. 41
Abd, Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Penerbit Teras: 2010), 151. 42
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), xx. 43
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, 6.
22
dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia
Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian
Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental.44
Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian;
antara lain penelitian dengan tema “ Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di
Indoesia Timur”(1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978). Pada 1980,
Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di tempat yang
sama, Universitas al-Azhar . pada 1982, dengan disertasi berjudul Nadzm Al-Durar li
Al-Biqa‟iy, Tahqiq wa Dirasah, ia berhasil meraih gelar Doktor dengan yudisum
Summa Cum Laude45
dengan prestasinya itu, ia tercatat sebagai orang pertama di
Asia Tenggara yang meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran di Universitas
Al-azhar.46
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, M. Quraish Shihab ditugaskan di
Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selang 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1993, ia diangkat menjadi Rektor IAIN
Syarif Hidayatullah menggantikan Ahmad Syadall. Selain itu, di luar kampus ia juga
dipercaya untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain; Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashihan Al-Quran Depag
(sejak 1984), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989), dan Ketua
Lembaga Pengembangan.47
Tidak hanya itu, pada masa pemerintahan B.J. Habibie, M. Quraish Shihab
mendapat kepercayaan sebagai duta besar RI di Mesir, merangkap untuk Negara
Jiboutidan Somalia. Ketika menjadi duta besar inilah M. Quraish Shihab menulis
44
Ibid., 6. 45
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, xx. 46
Ibid., xx. 47
Ibid., xx.
23
karyanya Tafsir Al-Misbah, lengkap 30 juz sebanyak 15 Jilid. Tafsir Al-Misbah
merupakan karya lengkap yang ditulis oleh putra Indonesia.48
Beliau juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Lebih dari 40 buku yang
telah lahir di tangannya, dan ada sekitar 5 karya yang sudah diterbitkan. Dua di antara
karyanya yang mencatat sukses adalah “Membumikan” Al-Quran: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan Mei 1992) dan Lentera Hati: Kisah dan
Hikmah Kehidupan (Mizan, Februari 1994).49
Selain itu, ada juga yang paling
legendaris adalah “Membumikan Al-Quran” (Mizan 1966), dan “Tafsir Al-Misbah” (
15 Jilid, Lentera Hati, 2003). Sosok M. Quraish Shihab juga sering tampil di berbagai
media untuk memberikan siraman rohani dan intelektual. Aktivitas utamanya
sekarang beliau adalah seorang dosen (guru besar) Pasca Sarjana Universitas Islam
Negeri (UIN) Jakarta dan direktur Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Jakarta.50
2. Karya-karya M. Quraish Shihab
M. Quraish Shihab tidak hanya merupakan seorang tokoh pakar di bidang
Tafsir yang berasal dari Indonesia namun, disisi lain ia juga di kenal sebagai seorang
tokoh yang mampu melahirkan karya-karya tulis yang telah banyak di terbitkan.
Hingga saat ini, karyanya masih banyak sekali di minati oleh masyarakat, maka tidak
heran jika karyanya ada di seluruh Indonesia. Antara lain karya M. Quraish Shihab
ialah;
1. Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahnnya
2. Filsafat Hukum Islam
3. Mahkota tuntunan Illahi: Tafsir Surat Al-Fatihah
4. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat
5. Studi kritik Tafsir al-Mannar
48
Muhammad Iqbal, “Metode Penafsiran Al-Quran M. Quraish Shihab” Jurnal
Tsaqafah, 6, NO. 2 (2010), 249. 49
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung, Mizan Pustaka, 1996), xx. 50
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Quran (Bandung:
Penerbit Mizan Pustaka, 2000), 6.
24
6. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan
7. Untaian Permata Buat Anakku: Pesan Al-Quran untuk Mempelai
8. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudu‟i Atas Berbagai Persoalan Umat
9. Hidangan Ayat-ayat Tahlil
10. Tafsir Al-Quran Al-Karim: Tafsir Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya Wahyu
11. Mukjizat Al-Quran ditinjau dari Berbagai Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Ghaib
12. Sahur Bersama M. Quraish Shihab
13. Menyikap Ta‟bir Illahi: al-Asma‟ al-Husna dalam Perspektif Al-Quran
14. Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Praktis Untuk Menuju Haji Mabrur
15. Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah
16. Yang Tersembunyi Jin Syetan dan Masyarakat: dalam Al-Quran dan as-
Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini
17. Fatwa-Fatwa Seputar Al-Quran dan Hadits
18. Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab
19. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume I, II, III
20. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume IV
21. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume V,
22. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VI
23. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VII
24. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume VIII
25. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume IX
26. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume X
27. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XI
28. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XII
29. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XIII
30. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XIV
31. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume XV
25
32. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Syurga dan Ayat-ayat Tahlil
33. Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab
34. Kumpulan Tanya Jawab Bersama Quraish Shihab
35. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam
36. Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer Pakaian
Perempuan Muslimah
37. Dia di Mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena
38. Perempuan, dari Cinta Sampai Sexs, dari Nikah Mut‟ah Sampai Nikah
Sunnah, dari Biasa Lama Sampai Bias Baru
39. Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT
40. Pengantin Al-Quran Kalung Permata Buat Anakku
41. Secercah Cahaya Illahi, Hidup Bersama Al-Quran
42. Ensiklopedia Al-Quran Kajian Kosa Kata, Jilid I, II, III
43. Al-Lubab: Makna dan Tujuan Pelajaran dari Al-Fatihah dan Juz Amma51
3. Metodologi dan Corak Penafsiran
a. Metode
Dalam menulis tafsir, metode tulisan M. Quraish Shihab lebih bernuansa
kepada metode tafsir tahlili. Metode tahlili ialah metode yang berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan,
kecendrungan, dan keinginann mufassirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai
dengan perurutan ayat-ayat di dalam Mushaf.52
Adapun langkah-langkah penulisan tafsir Al-Misbah adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan Nama-nama Surat.
Sebelum memulai pembahasan yang lebih mendalam, M. Quraish
Shihab mengawali penulisannya dengan menuliskan nama surat dan
menggolongkan ayat-ayat pada Makiyyah dan Madaniyyah.
51
Atik Wartini, “Tafsir Feminis M. Quraish Shihab: Telaah Ayat-ayat Gender dalam
Tafsir Al-Misbah”, Jurnal Palastren, 6, NO. 2 (2013), 478-482. 52
Zulheldi, 6 Langkah Metode Maudu‟i, 1.
26
2. Menjelaskan Isi Kandungan Ayat.
Setelah menjelaskan nama surat, kemudian ia mengulas secara global
isi kandungan surat diiringi dengan riwayat-riwayat dan pendapat-pendapat
para mufassir terkait ayat tersebut.
3. Mengemukakan Ayat-ayat di Awal Pembahasan.
Setiap memulai pembahasan, M. Quraish Shihab mengemukakan satu,
dua atau lebih ayat-ayat Al-Quran yang mengacu pada satu tujuan yang
menyatu.
4. Menjelaskan Pengertian Ayat Secara Global.
Ia menyebutkan ayat-ayat secara global, sehingga sebelum memasuki
penafsiran yang menjadi topik utama, pembaca terlebih dahulu mengetahui
makna-makna secara umum
5. Menjelaskan Kosa Kata.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menjelaskan pengertian kata-kata
yang sulit dipahami oleh pembaca.
6. Menjelaskan Sebab-sebab Turunnya Ayat.
Terhadap ayat yang mempunyai Asbab an-Nuzul dari riwayat sahih
yang menjadi pegangan para ahli tafsir, maka M. Quraish Shihab menjelaskan
lebih dahulu.
7. Gaya Bahasa
M. Quraish Shihab menyadari bahwa penulisan tafsir Al-Quran selalu
dipengaruhi oleh tempat dan waktu dimana para mufassir berada.
Perkembangan masa penafsiran selalu diwarnai dengan ciri khusus, baik sikap
maupun kerangka berfikir. Oleh karena itu, ia merasa berkewajiban untuk
memunculkan sebuah karya tafsir yang sesuai alam pikiran saat ini.
b. Corak penafsiran
Yang dimaksud dengan corak penafsiran adalah kecenderungan seorang
mufassir dalam memahami ayat Al-Quran. Dilihat dari segi isi ayat Al-Quran dan
kecendrungan penafsirannya, terdapat sejumlah corak penafsiran Al-Quran seperti
27
tafsir falsafi (tafsir filsafat), tafsir ilmi (tafsir ilmiah akademik), tafsir tarbawi (tafsir
pendidikan), tafsir akhlaqi (tafsir moral), tafsir fiqhi (tafsir hukum).53
Menurut
Quraish Shihab, corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain; corak
sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqh atau
hukum, corak tasawuf dan corak al-Adabi al-Ijtima‟I (sosial kemasyarakatan).54
Corak dari Tafsir Al-Misbah ini sendiri sama dengan corak Tafsir Al-Maraghi
yang dimana bercorak al-Adabi al-Ijtima‟i yaitu corak penafsiran Al-Quran yang
menitikberatkan pada persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kebahasaan.55
M. Quraish Shihab lebih banyak menekankan sangat perlunya memahami
wahyu Allah secara kontekstual, maka pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dan
dapat difungsikan dengan baik dalam dunia nyata. Corak-corak tafsir yang
berorientasi pada kemasyarakatan akan cenderung mengarahkan pada masalah-
masalah yang berlaku atau terjadi dimasyarakat. Penjelasan-penjelasan yang
diberikan dalam banyak hal selalu dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang sedang
diamati ummat, dan uraiannya diupayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar
dari masalah-masalah tersebut. Dengan demikian, diharapkan bahwa tafsir yang telah
dituliskan mampu memberi jawaban terhadap segala sesuatu yang bahwa Al-Quran
memang sangat tepat untuk dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk.56
53
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, 395. 54
Muhammad Iqbal, “Metode Penafsiran Al-Quran M. Quraish Shihab” Jurnal
Tsaqafah, 6, ,NO. 2 (2010), 249. 55
Abdul, Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir , 151. 56
Abdul Manan Syafi‟I, Wanita Dalam Perspektif Muffasir (Jakarta: Penerbit Gaung
Persada Press Group, 2014), 81-82.
28
BAB III
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA NUSYUZ DAN KONSEP NUSYUZ
MENURUT PARA PAKAR ISLAM
A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Nusyuz
Di dalam menjalani kehidupan berumah tangga, kadang kita merasakan
kenikmatan, kedamaian dan kebahagiaan. Tetapi bisa saja kita tiba-tiba dipaksa
menghadapi berbagai macam masalah yang mengganggu kehidupan rumah tangga
kita dan menghancurkan kebahagiaan selama ini dirasakan. Menghadapi semua
seperti ini sangat diperlukan seorang yang bijaksana dan kerjasama agar dapat
mengendalikan masalah dan menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Perselisihan
antara suami istri adalah perkara yang biasa dan tidak dapat dihindari.57
Sangat langka dan hampir tidak ada dalam kenyataan, sebuah keluarga dapat
hidup selalu dalam keadaan tenang, tentram, dan langgeng, terhindar dari masalah.
Oleh karena itu, suami istri dituntut untuk selalu siap dan mampu menerima
kenyataan itu, tanpa harus menyerah pada keadaan serta harus benar-benar menyadari
bahwa perselisihan dengan segala bentuknya itu, sangat tidak baik karena dapat
mengotori jiwa dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga. Karena itu, kita
wajib berupaya menghindari segala perselisihan dengan berbagai cara. Akan tetapi
kita juga jangan terlalu pesimis bila perselisihan itu harus terjadi karena setiap
penyakit pasti ada obatnya dan setiap luka pasti ada penyembuhnya.58
Agama Islam sangat memperhatikan hubungan suami istri sekaligus
meletakkan konsep dasar yang menjamin kelestarian hubungan, memperkuat serta
melindungi hubungan suami istri dari kehancuran. Suami istri diarahkan oleh Islam
untuk selalu memperhatikan hak masing-masing dan didorong untuk berupaya
57
Abu Ihsan Al-Atsari Al- Maidan dan Ummu Ihsan Siti Choiriyah, Surat Terbuka
Untuk Para Suami (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009), 196. 58
Syaughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 44.
29
membangun kehidupan rumah tangga dengan dasar cinta dan kasih sayang. Oleh
karena itu, hendaklah kita menyadari bahwa kebahagiaan hanya terletak pada
kepatuhan kita melaksanakan segala petunjuk agama yang diwajibkan Allah SWT,.59
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada dasarnya, tujuan utama pernikahan
adalah membina rumah tangga sakinah, dan ini tidak dapat diraih kecuali kalau
fungsi-fungsi keluarga dapat dilaksanakan suami istri. Adapun yang termasuk dalam
salah satu fungsi itu ialah seperti fungsi keagamaan. Sebuah keluarga yang sakinah
haruslah dibangun di atas pondasi yang kukuh. Tidak ada pondasi yang lebih kukuh
untuk kehidupan bersama atau dalam membangun rumah tangga yang sakinah kecuali
didasari dengan nilai-nilai agama. Karena itu nilai-nilai tersebut harus menjadi
landasan utama dalam membangun rumah tanga yang sakinah.60
Agama adalah ketentuan-ketentuan Allah yang membimbing dan
mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia berperan ketika
pemeluknya memahami, menghayati, dan mengamalkan ketentuan itu dengan baik
dan benar. Agama akan lumpuh serta fungsi dan peranannya hilang jika pemahaman,
penghayatan dan pengalaman itu tidak diperhatikan atau diabaikan dalam kehidupan
pemeluknya.61
Namun Seringkali dalam membangun kehidupan rumah tangga antara suami
dan istri tujuan tersebut masih belum bisa tercapai dengan baik. Kata sakinah terambil
dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung
makna ketenangan atau dari antonim kegoncangan. Kata ini tidak digunakan kecuali
untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak,
apapun bentuk gejolak tersebut. Disepakati oleh pakar-pakar Islam adalah bahwa
pernikahan mestinya melahirkan ketenangan batin. Guna terciptanya ketenangan itu
Allah memberikan manusia rasa “cinta dan kasih”.Potensi cinta kasih, mawaddah dan
59
Ibid, 36. 60
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah
Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, 135-138. 61
Ibid., 150.
30
rahmah yang dianugerahkan Allah kepada pasangan suami istri adalah untuk satu
tugas yang berat tetapi mulia.62
Perlu diingat bahwa sakinah bukan sekedar apa yang terlihat pada ketenangan
lahir yang tercermin pada raut wajah saja. Akan tetapi sakinah akan terlihat pada
kecerahan raut wajah yang disertai kelapangan dada, sikap yang lembut yang
ditimbulkan dari ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati
antara suami istri serta bergabungnya kejelasan pandangan itulah makna sakinah
secara umum dan makna-makna tersebut diharapkan dapat terlaksanakan disetiap
rumah tangga yang hendak mencapai keluarga yang sakinah.63
Sakinah tidak datang
begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan yang
pertama lagi utama adalah menyiapkan hati. Memang Al-Quran menegaskan bahwa
pernikahan diisyaratkan untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti bahwa
setiap pernikahan otomatis melahirkan keluarga yang sakinah.64
Seperti yang tercantum dalam QS. Ar-Rum: 21.
“Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu pasang-
pasangan dari jenis kamu sendiri supaya kamu tenang kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antara kamu Mawaddah dan Rahmat. Sesungguhnya, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(QS. Ar-Rum: 21) 65
62
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran: Nasehat Perkawinan Untuk Anak-
anakku, 108 dan 110. 63
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah
Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru, 152-153. 64
Ibid., 157. 65
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Mushaf Al-Quran Tajwid dan
Penerjemah Al-Quran (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014), 406.
31
Realitasnya hubungan suami dan istri sering mengalami pasang surut.
Adakalanya baik dan tak jarang pula berselisih. Apalagi pernikahan adalah
bergabungnya dua individu yang sama-sama memiliki cara berfikir yang berbeda
pula.66
Tidak dapat disangkal lagi bahwa nilai-nilai dan pikiran seseorang
mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam tingkah lakunya. Jika demikian upaya
untuk menyamakan pendapat sangat diperlukan oleh setiap pasangan yang memiliki
pandangan yang berbeda, karena sejak awal dikatakan bahwa mereka berdua secara
bersama-sama harus dapat menciptakan kebahagiaan dalam pernikahan. Suami dan
istri harus dapat berpijak pada landasan yang kokoh dan menuju kearah yang sama.
Suami dan istri harus mampu mewujudkan kemampuan menyesuaikan diri karena
kini mereka secara bersama menghadapi sesuatu yang berbeda dengan apa yang
mereka alami sebelum ikatan pernikahan itu dinyatakan.67
Jika memang ada di dunia ini rumah tangga yang tak pernah mengalami
masalah tentu yang paling bisa di contoh ialah rumah tangga Nabi Muhammad Saw.
sebab beliau adalah manusia yang paling sempurna, paling bertaqwa dan paling bagus
akhlaknya. Namun kita tahu rumah tangga beliaupun juga tidak bersih dari
permasalahan. Demikian pula rumah tangga kita perselisihan antara suami istri adalah
perkara yang biasa. Sebab, dari sekian banyak manusia yang ada di atas muka Bumi
ini, tentu tidak ada seorang manusia yang cocok seratus persen dengan orang lain.
Walau bagaimanapun kemiripan dan kedekatan serta kesepahaman tetap saja ada
perbedaan antara keduanya. Keadaan tersebut dapat pula diperparah oleh dugaan
sebagian muda-mudi yang beranggapan bahwa kehidupan sesudah pernikahan sama
saja dengan kehidupan sebelumnya. Mereka menduga bahwa masa sesudah
66
Ahmad Zahro, Menuju Fiqh Keluarga Progresif, 105. 67
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran: Nasehat Perkawinan Untuk Anak-
anakku, 179.
32
pernikahan sama dengan masa pacaran yang penuh dengan kebebasan dan lain
sebagainya.68
Maka dari itu, penyebab timbulnya kondisi yang tidak kita harapkan dalam
rumah tangga seperti sikap Nusyuz baik dari pihak istri maupun suami sangat banyak
sekali bahkan tidak jarang ditimbulkan oleh suami maupun istri itu sendiri. Nusyuz
dapat tumbuh dengan cepat karena adanya perbedaan sikap moral dan pandangan
hidup antara suami dan istri. Umumnya yang sering kali melakukan tindakan Nusyuz
ialah istri. Maka, Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor penyebab terjadinya
Nusyuz istri sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan istri menanggung beban kehidupan rumah tangga.
Nusyuz seorang istri bisa terjadi salah satunya karena ketidakmampuan
istri menanggung beban kehidupan rumah tangga dan ketidak tahuannya akan
hak-hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum agama.
2. Berangan-angan akan hidup dalam rumah tangga yang berkecukupan.
Ada kemungkinan juga bahwa seorang istri sebelum memasuki
jenjang rumah tangga, dalam benaknya sudah berangan-angan akan hidup
dalam rumah tangga yang berkecukupan, penuh dengan bunga-bunga
kebahagiaan dan keceriaan. Dia tidak pernah membayangkan bagaimana
beratnya tanggung jawab dan beban yang harus dipikul seorang suami dan
betapa berat serta amat dibutuhkannya peran seorang istri untuk ikut
meringankan beban suami.
3. Kurangnya pengarahan dari keluarga terhadap anak-anak gadisnya.
Kurangnya pengarahan dari keluarga terhadap anak-anak gadisnya
sebelum mereka berumah tangga, tidak jarang membuat seorang istri memiliki
keinginan untuk mengendalikan suami. Oleh karena itu, seringkali istri
berusaha menjadikan dirinya berada di atas suami dalam menjalankan roda
68
Abu Ihsan Al-Atsari Al- Maidan dan Ummu Ihsan Siti Choiriyah, Surat Terbuka
Untuk Para Suami, 195.
33
kehidupan rumah tangga, bahkan dia berupaya untuk selalu mempengaruhi
dan mengajari keluarga suami.
4. Sifat dan bawaan wanita.
Sebagian kaum wanita seringkali terlalu cepat mengambil keputusan,
tanpa pertimbangan yang cukup dan memadai. Di samping itu wanita juga
kerap kali dihantui perasaan gelisah dan putus asa hanya disebabkan oleh
masalah-masalah kecil yang timbul sehingga membuat situasi dan kondisi
keluarga menjadi mencekam, sekaligus mengubah keluarga ibarat neraka yang
menakutkan.
5. Efek pergaulan lingkungan.
Nusyuz istri bisa juga terjadi karena akibat pergaulan yang kurang
baik, terutama bagi wanita yang belum matang dalam pergaulan dan tidak
memiliki kemampuan berfikir bebas yang rasional.
Pada akhirnya, pengaruh-pengaruh teman dan lingkungan yang tidak
baik itu akan berimbas kepada sikap dan pola pikir seorang istri, yang pada
gilirannya akan menjadi pemicu timbulnya pertentangan, penyimpangan,
perasaan sempit yang menekan dan penyesalan terhadap kehidupan, sekalipun
segala yang dibutuhkan tersedia di rumahnya.
6. Sifat pelit dan kikir suami yang berlebihan.
Penyebab lain yang bisa menimbulkan Nusyuz seorang istri ialah
justru disebabkan oleh suaminya sendiri. Misalnya pelit, kikir terlalu
memaksakan kehendak, cepat naik pitam, condong berlaku keras dan kasar
bahkan kejam, tidak bisa mendengar pendapat istri dan sulit
bermusyawarah.69
69
Ibid., 40.
34
Maka jauhkanlah sifat kikir itu. Sifat seperti itu dibenci manusia dan
hina di hadapan Allah. Terlebih kikir dalam dalam urusan nafkah kepada
keluarga.70
7. Suami yang tidak bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
Nusyuz bisa juga karena seorang suami tidak memberikan nafkah
terhadap istrinya. Sebagaimana diketahui bahwa memberikan nafkah terhadap
istri merupakan tanggung jawab utama seorang suami.
Oleh karena itu jadilah seorang suami yang memiliki hati yang lunak
dan sifat pemurah. Penuhilah keinginan istri dan anak-anak selama masih
dalam batas kewajaran. Sesungguhnya memberikan nafkah kepada keluarga
memiliki keutamaan yang besar. Apabila dilakukan dengan ikhlas semata-
mata mengharap ridha dari Allah SWT., maka Allah akan menggantikannya
dengan pahala yang tak terkira.71
8. Suami yang tidak perhatian dan menebarkan kebahagiaan.
Suami yang demikian bisa juga menjadi faktor penyebab istri menjadi
Nusyuz merasa tidak adanya kenyamanan terhadap suami. Padahal Islam
mengajarkan kebajikan, kasih sayang, dan persaudaraan. Suami idaman selalu
memenuhi seruan agama ini. Dia memuliakan istrinya, kedua orang tua, serta
kerabat dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana ia suka istrinya melakukan itu
untuknya. Dengan perilaku itu terciptalah dalam keluarga besarnya
persaudaraan yang hangat, yang dapat menumbuhkan kebahagiaan rumah
tangga.72
Selain itu hendaknya juga seorang suami bersikap hangat dan mesra
terhadap istrinya meskipun berada di tengah kesibukan. Rasulullah Saw.
adalah teladan utama dalam hal ini. Di tengah kesibukan tugas dan tanggung
jawab yang begitu berat, beliau selalu menciptakan kebahagiaan bagi istri,
70
Ibid., 81. 71
Ibid., 80. 72
Ibid., 169
35
memberikan suasana segar suka dan cita dengan lemah lembut dan penuh
kemesraan. Dalam berbagai kondisi, beliau adalah sebaik-baik suami yang
selalu menciptakan suasana yang mesra baik ketika berpergian, di rumah,
menjelang tidur, saat menyantap hidangan dan bahkan ketika mandi atau bisa
juga dengan memanggil istrinya dengan panggilan kesukaannya, sebagai
ungkapan kasih sayang terhadap istrinya. Hal ini akan menumbuhkan
kebahagiaan dari seorang istri.73
Namun jika sebaliknya, maka tidak heran
akan menimbulkan sikap Nusyuz terhadap suami.
9. Suami yang tidak memahami kondisi kejiwaan istri.
Seorang suami yang baik akan selalu berusaha memahami kondisi
kejiwaan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Sehingga hal itu dapat
membantunya dalam memilih sikap yang tepat dengan mereka. Namun
terkadang seorang suami melupakan hal itu, sehingga secara tidak sadar dapat
memicu kekesalan istri yang akhirnya menimbulkan sikap Nusyuz seorang
istri.74
10. Suami tidak mendidik istri.
Sikap Nusyuz seorang istri kepada suami bisa terjadi juga karena tidak
adanya pendidikan yang diberikan oleh suami sehingga istri tidak memahami
apa dan bagaimana seharusnya bersikap terhadap suami. Maka dari itu, suami
sebagai pemimpin yang bertanggung jawab menyelamatkan diri dan
keluarganya dari keburukan hidup di dunia maupun di akhirat. Karena itu,
islam memerintahkan kepada suami untuk memberikan pengajaran dan
nasehat kepada istrinya. Dengan pengajaran dan nasehat itu diharapkan rumah
tangga mereka akan terhindar dari keadaan yang tidak diharapkan.75
11. Tidak menjaga kecemburuan seorang istri.
73
Ibid., 169. 74
Ibid., 178. 75
Ibid., 87.
36
Tidak menjaga kecemburuan seorang istri, tidak bisa menciptakan
keluarga yang harmonis atau suami tidak memenuhi kebutuhan istri bukan
saja materi tetapi terkadang yang paling dibutuhkan seorang istri adalah non
materi.
12. Disebabkan oleh orang terdekat.
Sikap Nusyuz pada istri juga bisa disebabkan oleh orang terdekat
seperti dari teman dan keluarga suami yang kurang baik, yang selalu berusaha
menebarkan bibit-bibit perpecahan antara suami istri.76
13. Faktor ekonomi.
Dalam berumah tangga faktor ekonomi sering sekali menjadi
permasalahan besar karena merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus
dipenuhi oleh suami sebagai kepala rumah tangga. Namun terkadang dari
seorang suami sering kali belum bisa memenuhi hal itu sepenuhnya atau
kurang mencukupi sementara kebutuhan istri menuntut hal itu sehingga tidak
jarang akhirnya tindakan istri kepada suami berujung pada tindakan Nusyuz.
14. Faktor pangkat atau jabatan.
Misalnya pangkat istri lebih tinggi dari suami atau gaji istri lebih
tinggi dibandingkan suami sehingga membuatnya merasa lebih mulia
dibanding suami yang pada akhirnya secara tidak langsung membuatnya
melakukan perbuatan Nusyuz.
Memang banyak faktor yang bisa menyebabkan terjadinya Nusyuz seorang
istri namun, bila disimpulkan secara keseluruhan maka hal di ataslah yang sering dan
umum terjadi dalam rumah tangga yang secara tidak langsung menjadi penyebab
timbulnya Nusyuz seorang istri.
76
Syaughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 39-40.
37
B. Pengertian Nusyuz Menurut Para Pakar Islam
Dalam rumah tangga Nusyuz sering sekali muncul, padahal tujuan dasar setiap
pembentukan rumah tangga, yaitu di samping untuk mendapat keturunan yang shaleh,
adalah untuk dapat hidup tentram, adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih
sayang. Ikatan pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang
dilakukan waktu akad nikah. Kalimat ijab kabul sangat mudah untuk diucapkan oleh
calon suami dan wali calon istri.77
Oleh karena itu, meskipun pada mulanya antara suami istri penuh kasih
sayang seolah-olah tidak akan pernah pudar namun pada kenyataanya rasa kasih
sayang itu bila tidak dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan
kebencian atau disebut Nusyuz. Sikap Nusyuz ini sendiri secara kuantitasnya lebih
sering ditimbulkan dari pihak istri.78
Nusyuz secara bahasa berasal dari bahasa Arab dan memiliki banyak arti
seperti Nasyazun-Nisyāz yang berarti “tempat yang tinggi”, sedangkan Nāsyiza-
Nāsyizatan berarti yang durhaka kepada suaminya”.79
Bentuk jamaknya adalah ansyāz atau nasyāz. Ada pula yang berpendapat, bila
kata satuannya berasal dari an-nasyzu, maka bentuk jamaknya adalah nusyūz dan bila
berasal dari an-nasyāzu, maka bentuk jamaknya adalah ansyāz atau nisyāz. Dalam
kitab Mukjam Muqayis al-Lughah menyebutkan bahwa nasyaza yang terdiri dari
huruf-huruf: nun, sin, zay, adalah anak kata yang berarti „tinggi‟. Adapun an-nusyuz
berarti „ketinggian‟. Ada pula yang mengartikannya „kaget„. Seorang perempuan
yang meremehkan suaminya disebut nasyizan, karena saat itu yang bersangkutan
mengangkat dan meninggikan dirinya terhadap suaminya dan tidak mau
menaatinya.80
77
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis
Yuridis Prudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah (Jakarta: Prenada Media, 2004), 98. 78
Syaughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 26. 79
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2015), 452. 80
Syaughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 23-24.
38
Dengan merujuk pada kitab-kitab bahasa, dapat disimpulkan bahwa kata
nasyaza memiliki beberapa pengertian antara lain: meninggikan diri, menentang,
menolak, tidak patuh, melawan, melampaui batas, mengganggu, benci, marah,
berselisih, tidak sepaham, minggat, mengurangi, menyusahkan, meresahkan, tidak
jujur, meremehkan, menghindar, sombong, meyimpang, dan lain-lain.81
Menurut istilah Nusyuz memiliki banyak defenisi di antaranya Nusyuz ialah
keadaan dimana suami atau istri meninggalkan kewajiban bersuami istri sehingga
menimbulkan ketegangan hubungan rumah tangga keduanya.82
Menurut Hussein Bahreisj Nusyuz ialah sikap membangkang atau durhaka
dari istri kepada suaminya bahkan membantah dan tidak taat kepada suaminya atau
terjadi penyelewengan-penyelewengan yang tidak dibenarkan oleh saminya kepada
isrinya. Sedangkan tindakan-tindakan istri bisa berbentuk menyalahi tata cara yang
telah diatur oleh suaminya dan dan dilaksanakan oleh istri dengan sengaja, untuk
menyakiti hati suaminya.83
Disebut pula “istri Nusyuz terhadap suaminya” yang
berarti sang istri sangat membenci suaminya dan meninggikan diri terhadap
suaminya.84
Selain defenisi di atas, para ulama fuqaha juga mendefenisikan Nusyuz
sebagai berikut ini:
1. Ulama mazhab Hanafi mendefenisikan Nusyuz secara umum, yang berarti
saling membenci.
2. Ulama mazhab maliki berpendapat bahwa Nusyuz adalah saling menganiaya
antara suami istri.
3. Imam Qurtubi dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa Nusyuz itu adalah
kebencian suami istri atau salah satu dari keduanya terhadap pasangannya.
4. Ulama Syafi‟iyah mengatkan bahwa Nusyuz itu adalah pertentangan antara
suami istri.
81
Ibid., 25. 82
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 248. 83
Ibid., 248. 84
Syaughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 25.
39
5. Ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa Nusyuz adalah kebencian dan
pergaulan yang buruk antara suami istri.85
Dari defenisi-defenisi di atas, ternyata para ulama tidak jauh berbeda dalam
mengartikan Nusyuz, bahkan defenisi yang satu dengan yang lainnya hampi-hampir
mirip. Nusyuz sangat mungkin terjadi pada kehidupan istri, baik timbul dari pribadi
istri maupun suami, yang tercermin pada adanya kebencian, perselisihan,
pertengkaran dan permusuhan yang mengarah pada perampasan hak yang dapat
menimbulkan bahaya bagi keluarga. Dari sini dapat dikatakan bahwa Nusyuz adalah
suatu kondisi yang tidak menyenangkan yang timbul dari istri atau suami.86
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab tafsir Jalalain beliau mengatakan bahwa
Nusyuz adalah pembangkangan mereka (istri) terhadap (suami).87
Sedangkan menurut
Allamah Kamal Faqih Nusyuz berarti kaum wanita yang menolak melaksanakan
kewajiban-kewajiban mereka.88
Nusyuz menurut Mustafa Al-Maraghi ialah wanita
yang bersikap sombong dan tidak menjalankan hak-hak suami-istri menurut cara
yang di ridhai suami.89
Nusyuz menurut M. Quraish Shihab ialah pembangkangan
istri terhadap hak-hak yang dianugerahkan Allah kepada suami.90
Dari pernyataan di atas mengenai pengertian Nusyuz, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Nusyuz ialah suatu kondisi yang tidak baik dan tidak sesuai
dengan tuntunan agama yang ditimbulkan oleh suami maupun istri seperti sikap
saling membenci, melampaui batas, membangkang, meninggikan diri, angkuh, tidak
taat, bersikap sombong dan tidak menjalankan hak-hak sebagai suami istri.
85
Ibid., 248. 86
Ibid., 248. 87
Bahrun Abu Bakar, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul, Jilid I
diterjemahkan dari judul aslinya oleh Imam Jalaluddin Al-Maahilli dan Imam Jalaluddin As-
Suyuthi (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), 345.
88
Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Quran: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya Al-Quran, Jilid IV Diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul “Nurul Qur‟an”
oleh Ahsin Muhammad (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2004), 27. 89
Mustafa Al-Maraghi, Terjamah Tafsir Al-Maraghi, Juz V, 43. 90
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keselarasan Al-Quran,
Jilid 2 (Tangerang: Lentera Hati), 423.
40
C. Bentuk-bentuk Nusyuz Istri
Dalam Islam memang telah ditetapkan bahwa seorang istri wajib mentaati
suami selagi apa yang diperitahkan suami tidak betentangan dengan ajaran agama
Islam.
Suami merupakan jalan bagi istri untuk menuju syurga. Namun banyak istri
yang meremehkan hak suami dan tidak memberikan perhatian kepadanya. Seakan-
akan membahagiakan suami dan mentaatinya hanya pelengkap kehidupan rumah
tangga bukan merupakan hal pokok. Sedikit sekali istri-istri yang berhasil
membahagiakan suami dan menunaikan haknya dengan sebaik-baiknya.91
Bahkan tidak jarang seorang istri membangkang akan perintah suami
sehingga berujung pada perbuatan Nusyuz. Nusyuz istri bisa berbentuk perkataan,
perbuatan sekaligus secara bersamaan.
Adapun bentuk-bentuk Nusyuz istri yang berupa perkataan antara lain sebagai
berikut:
1. Perubahan tutur sapa seorang istri kepada suaminya yang semula lemah
lembut, tiba-tiba berubah menjadi kasar dan tidak sopan.
2. Bila dipanggil oleh suaminya ia tidak menjawab, atau menjawab dengan nada
terpaksa atau pura-pura tidak mendengar dengar mengulur-ulur jawaban.
3. Bersuara keras dan berbicara dengan nada tinggi atau dengan sengaja
berbicara kepada laki-laki lain yang bukan mahramya, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung lewat telepon atau surat bersurat, dengan tujuan
yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama. Jika seorang istri melakukan
perbuatan perbuatan tersebut, maka dia telah berlaku tidak sepantasnya
terhadap suaminya.
4. Mencaci maki, berkata kotor, melaknat, menuduh suami berbuat mesum, dan
menumpahkan kekurangan suami, baik yang terlihat maupun yang tidak
terlihat.
91
Fahrur Mu‟is dan Ummu Najib Abdillah, Menjadi Istri Penuh Pesona, 45.
41
5. Istri menyebarkan berita-berita buruk tentang suaminya kepada sanak family
dan kerabat tanpa sebab, atau bercerita dengan menggunakan bahasa yang
menjerumus pada pelecehan suami yang membuka aibnya.
6. Permintaan cerai tanpa alasan yang dibenarkan agama, atau dengan alasan
yang dibuat buat yang menyudutkan suami.
7. Tidak menepati janji terhadap suami juga termasuk dalam kategori Nusyuz
istri terhadap suami.92
8. Tidak menyimpan rahasia rumah tangga, dan rahasia suaminya sekalipun
kepada ibu bapaknya atau anak kandung sendiri.93
Adapun Nusyuz istri dengan perbuatan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Istri yang tidak taat kepada suami.
Sebagaimana diketahui bahwa, seorang istri wajib mentaati suaminya
kecuali taat atas kemaksiatan kepada Allah. karena suami merupakan jalan
menuju syurga bagi seorang istri dan hendaknya seorang istri menjaga agar
suaminya selalu ridha kepadanya agar keberlangsungan kebahagiaan rumah
tangga tetap terjaga. Selain itu, sepatutnya pula ia berusaha mendatangkan
keridhaan suaminya tatkala ia marah. Kalau kesalahan itu berasal dari sang
istri, hendaknya ia meminta maaf kepada suaminya.94
Sebagimana Allah
berfirman:
… …
“maka wanita-wanita yang baik itu ialah yang menaati suaminya dan
menjaga hal-hal yang tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan oleh
Allah SWT”. (QS.A-N-Nisa‟: 34).95
92
Syaughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 31-32. 93
Datuk Tombak Alam, Rumah Tanggaku Syurgaku (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), 24. 94
Fahrur Mu‟is dan Ummu Najib Abdillah, Menjadi Istri Penuh Pesona, 49. 95
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Mushaf Al-Quran Tajwid dan
Penerjemah Al-Quran (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014), 84.
42
Istri wajib merasa malu terhadap suami, tidak boleh menentang, harus
menundukkan muka dan pandangannya di hadapan suami, taat kepada suami
ketika diperintah apa saja selain maksiat, diam ketika suami berbicara, berdiri
ketika suami datang dan pergi, menampakkan cintanya terhadap suaminya
apabila suami mendekatinya, menampakkan kegembiraan ketika suami
melihatnya dan lain sebagainya.96
2. Membuka aurat dirinya kepada orang lain.
Aurat yang seharusnya hanya boleh diperlihatkan kepada suaminya
kecuali kepada yang mahramnya seperti kakak, ayah dan lain-lain, namun
dalam artian sesuatu yang biasa tampak padanya seperti rambut dan kaki
serta tangan, jika diperlihatkan kepada orang lain selain mahramnya maka
sikap tersebut sudah merupakan bentuk Nusyuz istri. dan berpergian di jalan-
jalan umum dengan tidak megindahkan norma-norma agama serta menerima
tamu yang tidak disenangi oleh suaminya.97
3. Keluar rumah tanpa seizin suami.
Di dalam islam istri wajib taat kepada suaminya oleh karena itu,
seorang istri wajib berada dalam rumahnya dan tidak boleh keluar rumah
tanpa seizin suami dan diantara hak-hak suami ialah melarang istri keluar dari
tempat tinggal yang sudah diberikan oleh suami maka ia tidak boleh keluar
tanpa seizin suami. Baik keluar untuk berkunjung kerumah orang tuaanya atau
yang lainnya bahkan keluar untuk kemasjid sekalipun. Hal ini dikarenakan
hak suami adalah kewajiban istri dan kewajiban tidak boleh ditinggalkan oleh
sesuatu yang bukan wajib. Akan tetapi, memang dimakruhkan atas suami
melarang istrinya untuk berkunjung kepada bapak, ibu atau kedua orang
96
Tim Penyusun, Buku II: Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab
„Uqud Al-Lujjayn (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2005), 158. 97
Amir Hamzah Fachrudin, Ensiklopedia Wanita Muslimah, Diterjemahkan dari
buku aslinya yang berjudul “Mausu‟ah Al-Mar‟atul Muslimah” yang ditulis oleh Haya binti
Mubarak Al-Barik (Jakarta: Darul Falah, 1426 H), 127.
43
tuanya sekaligus. Karena hal ini dapat memutuskan ikatan tali silaturrahmi,
dan dapat menimbulkan perselisihan.
Allah SWT., telah memerintahkan suami agar memperlakukan istrinya
dengan cara yang baik dan melarang istri untuk berkunjung kepada orang
tuanya bukanlah sebuah perlakuan yang baik. Jika pun memang istri hendak
keluar dari rumahnya, maka ia harus keluar dalam keadaan yang diajarkan
oleh syariat, yaitu harus menutup seluruh anggota tubuhnya yang mana ia
tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki asing, selain dari pada wajah dan
kedua telapak tangan. Ia juga tidak boleh keluar dengan menggunakan
wewangian atau dengan bergaya yang dapat menggoda lelaki.98
Jika istri
keluar tanpa izin suami seperti hal yang dibenarkan agama, maka ia mendapat
kutukan dari para malaikat rahmat dan azab hingga ia meminta maaf atau
hingga ia kembali kerumahnya, sekalipun larangan suami terhadap istrinya itu
merupakan perbuatan yang zalim.99
4. Tidak memelihara dirinya dari fitnah, menjaga harga diri, serta memelihara
kehormatan dirinya, serta nama baik suami dan memelihara harta benda hak
milik suaminya.100
5. Menolak ketika diajak tidur oleh suami.
Menolak ketika diajak tidur oleh suami tanpa alasan yang dibenarkan
agama serta menampakkan wajah cemberut tanda tidak sudi disentuh atau
dicium, serta menutup pintu kamar serta menerima ajakan suami tapi dengan
keterpaksaan dan sebagainya.101
6. Lari meninggalkan rumah tanpa alasan yang diakui oleh ajaran agama.
7. Menolak berpergian bersama.
98
Muhammad Ra‟fat „Utsman, Fikih Khitbah dan Nikah (Depok: Fathan Media
Prima: 2017), 167-168. 99
Tim Penyusun, Buku II, Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab
„Uqud Al-Lujjayn, 17. 100
Datuk Tombak Alam, Rumah Tanggaku Syurgaku, 24. 101
Ibid., 33.
44
Menolak berpergian bersama suami tanpa alasan yang jelas atau tanpa
sebab yang mengharuskan dan mengkhianati suami, baik yang berkaitan
dengan harga diri atau harta.102
8. Enggan berhias atau memakai parfum untuk suaminya.
Suka berhias keluar rumah sementara enggan berhias atau memakai
parfum untuk suaminya maka ia sudah melakukan Nusyuz. Bagaimana tidak
di antara hak suami ialah istri berdandan karenanya dengan berbagai
perhiasan yang menarik setiap perhiasannya suami merasa senang atau cukup.
Sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa kecantikan bentuk wanita akan
menambah kecintaan suami.103
Oleh karena itu, istri yang tidak mau berhias
atau sembarangan ketika bersama suami maka ini termasuk salah satu perilaku
Nusyuz yang dilakukan oleh istri.
9. Meninggalkan kewajiban terhadap Allah SWT., maka termasuk Nusyuz
kepada suami.104
10. Berpuasa sunnah tanpa seizin suami.
Istri tidak boleh berpuasa sunnah selain puasa Arafah dan Asyura
kalau tidak mendapat izin suaminya. Oleh karena itu, jika ia hendak berpuasa
maka ia harus meminta izin kepada suaminya. Kalau ternyata istri berpuasa,
maka ia hanya mendapat lapar dan dahaga, sedangkan puasanya tidak akan
diterima.105
11. Menolak suami mengajak berhubungan badan
Menolak suami mengajak berhubungan badan kecuali dengan alasan
yang dibenarkan agama seperti ketika suami belum membayar mahar kepada
102
Ibid., 33. 103
Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawas, Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak, Diterjemahan dari buku aslinya yang berjudul “Al-
Usratu Wa‟ahkaamuhaa Fii Tasyri‟I Al-Islaami” oleh Abdul Majid Khon (Jakarta: Imprint
Bumi Aksara, 2019), 228. 104
Ibid., 33. 105
Tim Penyusun, Buku II: Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab
„Uqud Al-Lujjayn, 170.
45
istri. Sebab, perempuan berhak menolak ajakan hubungan badan sampai
suami membayarkan mahar yang telah ditentukan olehnya kepada istrinya
atau walinya. Contohnya akan membayar mahar dengan mobil, atau
membayar maharnya pada saat akad nikah. Maka apabila belum dibayar, istri
berhak menolak ajakan hubungan badan.106
12. Tidak mau mengikuti tempat suami tinggal.
Tidak mau mengikuti tempat suami tinggal sementara tempat tinggal
yang disediakan oleh suami layak untuk ditempat tinggali adalah merupakan
sikap Nusyuz istri kepada suaminya.
Semua yang tersebut di atas atau yang sejenisnya bila dilakukan oleh seorang
istri, maka ia termasuk dalam perilaku Nusyuz.
106
Muhammad Ra‟fat „Utsman, Fikih Khitbah dan Nikah , 129.
46
BAB IV
PENAFSIRAN TAFSIR AL-MARAGHI DAN TAFSIR AL-MISBAH
TENTANG AYAT NUSYUZ
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, dalam berumah tangga
Allah telah memberikan tugas kepada seorang suami untuk menjadi pemimpin dalam
keluarga atau dalam sebuah rumah tangga.
…
“Kaum laki-laki adalah itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (lelaki) atas sebahagian yang lain (wanita)”.
(QS. An-Nisa‟)107
Kata rijāl digunakan dalam ruang lingkup keluarga untuk menegaskan bahwa
pada dasarnya suami yang pada dasarnya lelaki secara fisik/ lahiriah lebih kuat untuk
mengayomi, mengurusi, melindungi dan bertanggung jawab atas istrinya yang
perempuan.Kaum lelakilah yang pantas menjadi kepala keluarga dalam kehidupan
rumah tangga.108
Dengan adanya kepemimpinan itu diharapkan kepada suami bisa
memberikan solusi terbaik ketika rumah tangganya dilanda perselisihan.
Al-Quran telah menjadikan lelaki (suami) sebagai penanggung jawab bagi
istrinya adalah sebuah pemilihan yang sangat tepat. Pilihan ini bukan berdasarkan
jenisnya. Ulama klasik seperti Ar-Razi memberikan contoh bahwa kaum lelaki pantas
untuk menduduki jabatan kepala rumah tangga karena dalam sejarah keagamaan yang
dipilih Allah sebagai Nabi/Rasul adalah kaum lelaki. Merekalah yang pantas
menghadapi kaum yang pembangkang, yang sangat keras menentang ajakan Nabi. Di
107
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Mushaf Al-Quran Tajwid dan
Penerjemah Al-Quran (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014), 84. 108
Ahsin Sakho Muhammad, Keberkahan Al-Quran: Memahami Tema-Tema Penting
Kehidupan dalam Terang Kitab Suci, 245.
47
samping alasan fisik Al-Quran menempatkan lelaki sebagai pemimpin ialah karena
usahanya yaitu kaum lelaki (suami) berkewajiban memberikan nafkah kepada
istrinya. Perlu dikemukakan disini ialah bahwa status suami sebagai “pemimpin” atas
istrinya bukan berarti suami bisa saja memperlakukan istri seenaknya. Oleh karena
itu, suami berperan utama sebagai penyelesai ketika permasalahan dalam rumah
tangga terjadi.109
Maka apabila terjadi perselisihan di antara suami istri hendaklah suami dan
istri tidak membiarkan perselisihan itu berlarut-larut sampai esok hari. Karena, itu
akan membuka kesempatan bagi setan menghembuskan kebencian dan permusuhan
dalam hati antara suami dan istri, sehingga permasalahan pun semakin membesar.
Ketahuilah bahwa mendiamkan permasalahan secara mutlak bukanlah sikap yang
tepat. Apalagi jika keduanya mengambil langkah membisu dan enggan berbicara.
sebab sikap diam merupakan salah satu kesalahan dan kekeliruan fatal yang
menghalangi kebahagiaan rumah tangga. Ia dapat mengganggu perjalanan hubungan
suami istri yang harmonis.110
Akan tetapi, sebagai suami istri yang telah bertekad membangun rumah
tangga bahagia atau keluarga yang sakinah tidak perlu terlalu khawatir atau takut
menghadapi kehidupan baru yang memang pasti berbeda dengan kehidupan serta
kebiasaan masa sebelum menikah.111
Ketika menghadapi perselisihan dalam rumah tangga suami dituntut bersikap
cerdas dan bijak dalam menyikapinya. Hendaklah keduanya menyadari bahwa
sebagian masalah itu timbul akibat perbedaan watak dan tabia‟at pada masing-masing
pihak dan menyelesaikan masalah ini hendaknya memiliki kesabaran, kelembutan
109
Ibid., 246-247. 110
Abu Ihsan Al-Atsari Al- Maidan dan Ummu Ihsan Siti Choiriyah, Surat Terbuka
Untuk Para Suami, 196-197. 111
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Quran: Nasehat Perkawinan Untuk Anak-
anakku, 181.
48
dan kesantunan karena watak dan tabiat tidak mungkin dapat diperoleh dalam
hitungan hari ataupun bulan.112
Seorang suami dituntut untuk bersikap dan bertindak dengan penuh kearifan
dan bijaksana dalam menghadapi masalah yang timbul dalam rumah tangganya. Bila
terjadi perubahan sikap dari istri, maka seharusnya si suami berupaya mencari dan
meneliti penyebab perubahan tersebut, dan seharusnya suami bersikap terbuka dan
berterus terang dalam membicarakan perubahan tersebut kepada istrinya, karena
dengan begitu sangat besar kemungkinan sang istri bersedia mengungkapkan segala
penyebab yang sebelumnya tidak disadari oleh suami. Apabila penyebab perubahan
tersebut itu adalah karena adanya ketidakberesan yang merusak moral, lalu diikuti
dengan penyewelengan, maka Islam menganjurkan kepada suami untuk mengambil
tiga tahap penyelesaian113
Banyak ulama yang memberikan pendapatnya terhadap bagaimana tindakan
yang seharusnya dilakukan seorang suami ketika menghadapi istri yang Nusyuz yang
pastinya berdasarkan Al-Quran. Dikatakan bahwa ketika menghadapi istri yang
Nusyuz maka langkah yang bisa ditempuh oleh suami ialah, pertama: memberikan
nasehat dengan bijak dan disampaikan dengan baik. Jika hal itu bermanfaat, itulah
yang dikehendaki. Namun, jika sang istri masih juga Nusyuz suami bisa juga
menempuh jalan kedua: meninggalkan istrinya di tempat tidur.114
Hal ini diharapkan bisa memberikan efek positif. Seorang perempuan yang
diperlakukan seperti ini di tempat tidur bisa dipastikan merasakan sesuatu yang tidak
wajar dalam kehidupan rumah tangga. Istri yang cerdas dan shalehah akan
menangkap dengan cepat isyarat itu. Namun jika hal itu masih belum bisa
mengentikan istri dari Nusyuz maka suami berhak melakukan hal ketiga: memberikan
pelajaran yang sedikit lebih keras lagi yaitu memukul. Pemukulan sebagaimana
112
Abu Ihsan Al-AtsariAl- Maidan dan Ummu Ihsan Siti Choiriyah, Surat Terbuka
Untuk Para Suami, 196-197. 113
Syaughi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 46. 114
Ahsin Sakho Muhammad, Keberkahan Al-Quran: Memahami Tema-Tema Penting
Kehidupan dalam Terang Kitab Suci, 249-250.
49
dalam ayat, adalah maksimal yang bisa dilakukan seorang suami, bukan berarti
suami bisa dengan seenaknya memukul istri. Memukul istri diperbolehkan selama
tidak menyakitkan, tidak keras, dan tidak dilakukan di muka atau kepala. Hal
pemukulan secara fisik sebenarnya hanya salah satu cara menghentikan Nusyuznya
istri. Masih banyak cara lain selain memukul.115
Para ulama memberikan pandangannya masing-masing ketika menghadapi
permasalahan istri yang Nusyuz.
Maka dari itu, Al-Maraghi dan M. Quraish Shihab juga memberikan
pandangan yang berbeda mengenai bagaimana penyelesaian seorang suami ketika
menghadapi istri yang Nusyuz berdasarkan QS. An-Nisa‟: 34: sebagaimana yang
telah mereka ungkapkan dalam tafsirnya masing-masing beserta penjelasannya di
dalam tafsir Al-Maraghi dan tafsir Al-Misbah, dengan mengutip ayat Al-Quran
sebagai landasan utama.
A. Tafsir Al-Maraghi
… …
“Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.”
(QS. An-Nisa‟:34)116
Ayat di atas merupakan ayat Al-Quran yang berbicara mengenai Nusyuz serta
penyelesaiannya. Maka ketika menafsirkan ayat ini Al-Maraghi berkata:
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan akan bersikap sombong dan tidak
menjalankan hak-hak suami istri menurut cara yang kalian ridhai, maka hendaknya
kalian memperlakukan mereka dengan cara-cara sebagai berikut:
115
Ibid., 249-250.
116Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: PT
Syaamil Cipta Media, 2005), 84.
50
Hendaknya kalian memberikan nasehat yang menurut pandangan kalian dapat
menyentuh hati mereka. sebab di antara kaum wanita ada yang cukup dengan
diingatkan akan hukuman dan kemurkaan Allah. Di antara mereka ada yang hatinya
tersentuh oleh ancaman dan peringatan akan akibat yang buruk di dunia, seperti
ditahan untuk mendapatkan beberapa kesenangannya, misalnya pakaian, perhiasan
dan lain sebagainya. Ringkasnya, orang yang berakal tidak akan kekurangan nasehat
yang mempunyai tetmpat tertinggi di dalam kalbu istrinya itu. Tetapi jika pemberian
nasehat tidak berguna bagi istrinya itu, maka hendaklah ia mencoba cara kedua.117
Memisahkan diri dari tempat tidur dengan sikap berpaling. Adat telah berlaku,
bahwa berkumpul di pembaringan dapat menggerakkan perasaan-perasaan suami
istri, sehinggga jiwa masing-masing terasa tenang dan hilanglah berbagai goncangan
jiwa yang terjadi sebelum itu. Perlakuan suami seperti ini akan menarik istri untuk
bertanya tentang sebab-sebab suami meninggalkannya dari tempat tidur. Tetapi jika
cara ini tidak berhasil pula, maka suami boleh menggunakan cara berikutnya.118
Suami boleh memukul, asalkan pukulan itu tidak menyakiti atau melukainya,
seperti memukul dengan tangan atau dengan tongkat kecil.119
Diriwayatkan dari muqatil tentang sebab-sebab turunnya ayat ini bahwa sa‟ad
bin Rabi‟ dia termasuk salah satu seorang pemimpin kaum diperlakukan Nusyuz oleh
istrinya. Habibah binti Zaid bin Abu Zuhair, kemudian ia menempelengnya. Maka
berangkatlah bapaknya bersama dia kepada Nabi Saw., dia berkata, “ aku telah
menidurkan putriku (Habibah) bersamanya (Sa‟ad), lalu dia menempelengnya.120
”
Nabi Saw. bersabda :
117
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz V, 43. 118
Ibid., 43. 119
Ibid., 43. 120
Ibid., 44.
51
ل ص ح ق ح ل ص ف قا ل ال ب ه ا ل ح ق ح ص ع أ ب ف ث ه س ص ا, ف ج ي ش ا ه ع ج ل ن : إ ز س ل الله ع
: أ ز ق ا ل لن س ل الله ع ل ا ة ف ح ل ا ص ل الله اذ ص أ ا ئ ل أ ج ا ب س ا ج ا ا ذ اد أ ز سا اد أ ه
س الله خ اد أ ز ال ر سا, الله أ ه
“ biarlah dia mengqisas suaminya “ maka pergilah Habibah bersama bapaknya
untuk mengqisas suaminya. Kemudian Nabi Saw. Bersabda. “kembalilah, ini
Jibril datang kepadaku.” Allah menrunkan ayat ini, lalu Nabi Saw.
membacanya. Nabi Saw. bersabda, “ aku menghendaki suatu perkara dan
Allah menghendaki suatu perkara, sedangkan apa yang dikehendaki Allah itu
lebih baik.”121
Sebagian kaum muslimin enggan mengikuti tradisi Prancis enggan menerima
syariat tentang memukul istri yang berlaku Nusyuz. Akan tetapi mereka tidak enggan
bila istri mereka melakukan Nusyuz dan sombong. Dalam keadaan seperti ini, suami
yang sebenarnya kepala keluarga itu diinjak dan dijadikan orang yang dipimpin istri
terus berlaku Nusyuz, sehingga ia tidak lunak lagi dengan nasehat suaminya, dan
tidak peduli suaminya berpaling meninggalkannya. Jika hal ini telah terasa berat bagi
mereka, maka ketahuilah bahwa orang-orang prancis sendiri memukul istri mereka
yang terpelajar dan berpendidikan. Bahkan, hal ini dilakukan oleh orang-orang
bijaksana, kaum cendekia, para raja dan pemerintah mereka. Jadi memukul istri itu
suatu perkara yang sangat penting, terutama di dalam agama bagi seluruh lapisan
masyarakat, baik di desa maupun di kota. Bagimana mungkin hal ini akan diingkari,
sedangkan akal dan fitrah menyerukannya apabila dekadensi moral telah merajalela,
suami tidak mempunyai cara lain selain memukul, dan istri tidak dapat meninggalkan
Nusyuznya kecuali dengan pukulan.122
Akan tetapi, jika mereka itu baik dan para istri mau mendengarkan nasehat
atau menjadi baik karena dipisahkan dari tempat tidurnya, maka hendaknya cukup
dengan cara yang demikian. Sebab kita diperintahkan untuk berlaku lembut pada istri,
121
Ibid., 44. 122
Ibid., 44-45.
52
tidak menganiaya mereka, menahan mereka dengan cara yang ma‟ruf atau
menceraikan dengan cara yang ma‟aruf pula. Banyak hadis yang mewasiatkan kaum
wanita di antaranya ialah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah
Bin Zam‟ah.ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:
ا ف ع ا ج ب د ث ن ض س ب ال ع وا ض أ ج ك س ن إ ه ك د س ب أ ح .أ ض م س ا ل آخ
“Apakah salah seorang di antara kalian memukul istrinya seperti seorang
hamba dipukul, kemudian ia menidurinya di waktu malam”.123
Maksud hadis di atas bahwa suami membutuhkan hubungan yang khusus
dengan istrinya, dan itu merupakan tuntutan fitrah, yaitu hubungan sosial yang paling
kuat antara dua jenis manusia. Setelah itu, betapa tidak pantasnya suami menjadikan
istrinya yang merupakan belahan jiwanya itu sebagai hamba yang dipukulnya dengan
tangan atau cambuk. Suami yang mulia tentu tidak akan mau melakukan hal seperti
ini.124
Ringkasnya, memukul merupakan tindakan perbaikan yang pahit yang tidak
dikehendaki oleh suami yang baik dan mulia. Akan tetapi, tindakan ini tidak bisa
dihilangkan dari kehidupan suami istri, kecuali jika memang suami dan istri telah
terdidik dan masing-masing mengetahui hak-haknya. Agama mempunyai pengaruh
besar terhadap jiwa-jiwa yang menjadikannya selalu ingat akan Allah di setiap
kondisi serta takut akan perintah dan larangan-Nya.125
Senada dengan Al-Maraghi, Ibnu Katsir dalam tafsirannya juga berpendapat
yang hampir sama dengan tafsir Al-Maraghi “bila kamu mengkhawatirkan Nusyuz
dari pihak-pihak istri-istrimu, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dirimu di
tempat tidur mereka, jika nasehatmu tidak di acuhkan dan janganlah diajak bicara
tanpa memutus pernikahanmu dengan mereka dan jika semuanya ini tidak efektif
123
Ibid., 45. 124
Ibid., 45. 125
Ibid., 46.
53
maka bolehlah kamu memukul mereka dengan pukulan yang tidak merusak bagian-
bagian tubuhnya terutama wajah dan kepalanya“.126
Begitu juga dengan Jalaluddin dalam Tafsir Jalalain yang mengatakan bahwa
(dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuz) yakni pembangkangan mereka
terhadap kamu, misalnya adanya ciri-ciri atau gejala-gejalanya (maka nasehatilah
mereka itu) dan ingatkan supaya mereka takut kepada Allah (dan berpisahlah dengan
mereka di atas tempat tidur) maksudnya memisahkan kamu tidur keranjang lain jika
mereka memperlihatkan pembangkangan dan pukullah mereka yakni pukullah yang
tidak melukai jika mereka masih belum sadar juga.127
Memang adakalanya perbaikan itu terpaksa harus dilakukan dengan sedikit
kekerasan, karena pada kenyataannya memang ada model manusia yang tidak dapat
diluruskan dengan nasehat yang baik atau dengan tutur kata yang lemah lembut.
Orang seperti ini adalah model manusia yang sudah kebal dengan kata-kata yang
halus dan lembut. Pukulan sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghina dan
merendahkan, menganiaya dan sebagainya, tetapi semata-mata bertujuan hanya untuk
mendidik, memperbaiki, menyadarkan istri yang disertai dengan rasa cinta yang
dalam dari seorang pendidik, bukan pukulan keras yang dapat lebih memperumit
keadaan, bukan pukulan yang menghancurkan cinta dan kasih sayang. Sekalipun itu
terlalu sulit untuk dilakukan.128
Oleh karena itu, para ulama mendefenisikan pukulan dengan pengertian
umum, yakni suatu perbuatan yang menyakitkan, yang berkaitan dengan badan, baik
yang meninggalkan bekas atau tidak, tanpa melihat alat yang digunakan untuk itu.
Pukulan dibagi menjadi dua yaitu, pukulan yang mencederai dan pukulan yang ringan
dan tidak mencederai .menurut Islam, pukulan yang keras dan berat, yang mampu
mematahkan tulang atau menghilangkan nyawa, membuat cidera, melukai dan yang
126
Abu Fida Isma‟il Ibnu Katsir, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir,
Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul “Tafsir Ibnu Katsir”oleh H. Salim Bahreisy
dan H. Said Bahreisy (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2004), 396. 127
Bahrun Abu Bakar, Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul , Jilid I,
345. 128
Syaugi Algadri, Jika Suami Istri Berselisih, 53-54.
54
membawa cacat. Pukulan seperti ini diharamkan. Adapun pukulan yang ringan dan
tidak berbahaya adalah salah satu bentuk pukulan yang tidak melukai dan tidak
berakibat hilangnya nyawa atau cedera, tidak melukai atau patah tulang, dan tidak
menimbulkan cacat. Menurut hukum agama, bentuk pukulan semacam ini boleh
dilakukan bila terjadi penyimpangan, pendurhakaan, penentangan dari istri yang
sudah tidak lagi menerima nasehat dan petunjuk, dan tidak jera dengan sikap dingin
dan tidak acuh suami.129
Adh-Ḍhahak berpendapat bahwa seseorang suami wajib mengendalikan
istrinya dan menyuruhnya untuk taat kepada Allah SWT., bila dia menolak, maka
suami mempunyai wewenang untuk mendidik mereka dengan pukulan yang tidak
keras, karena seorang suami memiliki kelebihan dari istri dalam hal tanggungjawab
dan menjamin keadaan. Dalam kitab al-Ifshah karya Ibnu Hubairah diterangkan
bahwa para ulama berpendapat, suami dibolehkan memukul istrinya bila dia
mendapat istrinya melakukan pembangkangan, tetapi itu dilakukan setelah istri diberi
nasehat, lalu dijauhkan dari tempat tidur.130
Akan tetapi apabila para istri mau mendengarkan nasehat atau menjadi baik
karena dipisahkan dari tempat tidurnya, maka hendaknya cukup dengan cara yang
demikian. Sebab suami diperintahkan untuk berlaku lembut terhadap istri, tidak
menganiaya mereka, menahan mereka dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan
dengan cara ma‟ruf pula.131
129
Ibid., 54-55. 130
Ibid., 55-56. 131
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz V, 45.
55
B. Tafsir Al-Misbah
Sama halnya Al-Maraghi, M. Quraish Shihab juga menafsirkan QS. An-
Nisa‟:34 tentang Nusyuz serta cara penyelesaiannya.
… ...
“Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuznya, Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS.
An-Nisa‟:34)132
Ketika menafsirkan ayat di atas M. Quraish Shihab berkata:
Karena tidak semua istri taat kepada Allah demikian juga suami maka ayat ini
memberi tuntunan kepada suami, bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku
terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut,
dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga menyebabkan runtuhnya
kehidupan rumah tangga.133
Petunjuk Allah itu adalah: wanita-wanita yang kamu khawatirkan, yakni
sebelum terjadi Nusyuz mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang
dianugerahkan Allah kepada kamu wahai para suami maka nasehatilah mereka, pada
saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan
kejengkelan dan bila nasehat belum mengakhiri pembangkangannya maka
tinggalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah tetapi di tempat pembaringan
kamu berdua dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka, kalau perlu
tidak mengajak bicara paling lama 3 hari berturut-turut untuk menunjukkan rasa kesal
dan ketidak butuhanmu terhadap mereka, jika sikap mereka berlanjut dan kalau ini
pun belum mempan, maka demi memelihara keutuhan rumah tanggamu maka
132
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: PT
Syaamil Cipta Media, 2005), 84. 133
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Jilid 2, 429.
56
pukullah mereka, tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencederainya
namun menunjukkan sikap tegas. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain
menggunakan huruf () wauw yang biasa diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak
mengandung perurutan sehingga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang kedua
didahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyusunan langkah-langkah
itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah perurutan langkah yang
sebaiknya ditempuh.134
Firman-Nya: ( ي س ج ا ) yang diterjemahkan tinggalkanlah mereka adalah
perintah kepada suami untuk meninggalkan istri didorong oleh rasa tidak senang pada
kelakuannya. Ini dipahami dari kata hajar, yang berarti meninggalkan tempat atau
keadaan yang tidak baik atau yang tidak disenangi menuju ketempat atau keadaan
baik atau lebih baik. Jelasnya kata ini digunakan untuk sekedar meninggalkan
sesuatu, tetapi di samping itu juga mengandung dua hal lain. Yang pertama bahwa
sesuatu yang ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, dan yang kedua ia
ditinggalkan untuk menuju ketempat dan keadaan yang lebih baik.135
Jika demikian, melalui perintah ini, suami dituntut untuk melakukan dua hal
pula. Pertama, menunjukkan ketidaksenangan atas sesuatu yang buruk dan telah
dilakukan oleh istrinya, dalam hal ini adalah Nusyuz dan kedua, suami harus berusaha
untuk meraih dibalik pelaksanaan perintah itu sesuatu yang baik atau lebih baik dari
keadaan semula.136
Selanjutnya kata ( ع ا ج ض yang diterjemahkan ditempat pembaringan, di (ف ا لو
samping menunjukkan suami tidak meninggalkan istri dari rumah, bahkan tidak juga
di kamar tetapi di tempat tidur. Ini karena ayat ini menggunakan kata ف yang berarti
di tempat tidur bukan kata هي yang berarti dari tempat tidur yang berarti
meninggalkan dari tempat tidur. Jika demikian suami hendaknya jangan
134
Ibid., 430. 135
Ibid., 430. 136
Ibid., 430.
57
meninggalkan rumah, bahkan tidak meninggalkan kamar tempat suami istri biasanya
tidur, sebab kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat
memperlebar jurang perselisihan. Perselisihan hendaknya tidak diketahui oleh orang
lain, bahkan anak-anak dan anggota keluarga di rumah sekalipun. Karena semakin
banyak yang mengetahui semakin sulit memperbaiki, kalaupun kemudian ada
keinginan untuk meluruskan benang kusut, boleh jadi harga diri di hadapan mereka
yang mengetahuinya akan menjadi aral penghalang.137
Keberadaan di kamar membatasi perselisihan itu, dan karena keberadaan di
dalam kamar adalah untuk menunjukkan ketidaksenangan suami atas kelakuan
istrinya, maka yang ditinggalkan adalah hal yang menunjukkan ketidaksenangan
suami itu. Kalau seorang suami berada di dalam kamar dan tidur bersama, tetapi tidak
ada cumbu, tidak ada kata-kata manis, tidak ada hubungan seks, maka itu telah
menunjukkan bahwa istri tidak lagi berkenan di hati suami. ketika itu wanita akan
merasakan bahwa senjata ampuh yang dimilikinya yaitu daya tarik kecantikannya
tidak lagi mempan untuk membangkitkan gairah suami. nah, ketika itulah diharapkan
istri dapat menyadari kesalahannya. Ketika itulah diharapkan keadaan yang lebih baik
yang merupakan tujuan hajr dapat dicapai.138
Kata ( ي س ب ض ) yang diterjemahkan dengan pukullah mereka, terambil dari
kata dharaba yang mempunyai banyak arti. Secara bahasa jika dipahami dengan arti
memukul maka, tidak selalu dimaksudkan dalam arti menyakiti atau melakukan suatu
tindakan keras dan kasar. Orang yang berjalan kai atau musafir dinamai oleh bahasa
dan Al-Quran س ب ض ض .yang secara harfiah berarti memukul di bumi ى ف ال ز
Karena itu perintah di atas, di pahami oleh ulama berdasarkan penjelasan Rasul saw.
bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. Perlu
dicatat bahwa ini adalah langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam
upaya memelihara kehidupan rumah tangganya. Sekali lagi jangan pahami kata
137
Ibid., 431. 138
Ibid., 431.
58
“memukul” dalam arti “menyakiti” jangan juga diartikan sebagai sesuatu yang
terpuji. Muhammad Saw. mengingatkan agar “jangan memukul wajah dan jangan
pula menyakiti.” Di lain kali beliau bersabda, ”Tidakkah kalian malu memukul istri
kalian, seperti memukul keledai?” malu bukan saja karena memukul, tetapi juga malu
karena gagal mendidik dengan nasehat dan cara yang lain.139
Perlu juga disadari bahwa dalam kehidupan rumah tangga pasti ada saja
sedikit atau banyak yang tidak mempan baginya nasehat atau sindiran. Nah, apakah
ketika itu, pemimpin rumah tangga bermasa bodoh, membiarkan rumah tangganya
dalam suasana tidak harmonis, ataukah dia harus mengundang orang luar atau yang
berwajib untuk meluruskan yang menyimpang di antara keluarganya? Di sisi lain
harus disadari bahwa pendidikan dalam bentuk hukuman tidak ditujukan kepada anda
wahai kaum hawa yang menjalin cinta kasih dengan suami, tidak juga kepada yang
tidak membangkang perintah suaminya, perintah yang wajib diikuti. Tetapi ia
ditujukan kepada yang membangkang. Anda jangan berkata bahwa jumlah mereka
tidak banyak, karena kalaupun yang membangkang dan tidak mempan baginya
alternatif pertama dan kedua di atas, jumlahnya tidak banyak, apakah salah atau tidak
bijaksana bila agama menyediakan tuntunan pemecahahan, bagi yang jumlahnya
sedikit itu? Jangan pula berkata bahwa memukul tidak relevan lagi dewasa ini, karena
pakar-pakar pendidikan masih mengakuinya untuk kasus-kasus tertentu bahkan di
kalangan militer pun masih dikenal bagi yang melanggar disiplin, dan sekali lagi
harus diingat bahwa pemukulan yang diperintahkan di sini adalah yang tidak
mencederai dan tidak menyakitkan. Nah, jika demikian adakah pemecahan lain yang
dapat dikemukakan demi mempertahankan keharmonisan rumah tangga lebih baik
dari memukul yang tidak mencederai setelah nasehat dan meninggalkannya di tempat
tidur tidak berhasil? Kalau ketiga langkah ini belum juga berhasil, maka langkah
selanjutnya adalah apa yang diperintahkan ayat berikut.140
139
Ibid., 431. 140
Ibid., 431.
59
Sementara, ulama memahami perintah menempuh langkah pertama dan
kedua ditujukan kepada suami, sedangkan langkah ketiga yakni memukul ditujukan
kepada penguasa. Memang tidak jarang ditemukan dua pihak yang diperintah dalam
satu ayat (bacalah kembali penjelasan tentang ayat 229 dari surah Al-Baqarah) atas
dasar ini ulama besar Aṭa‟ berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya
paling tinggi hanya memarahinya. Ibn al-Arabi mengomentari pendapat Aṭa‟ itu
dengan berkata, “pemahamannya itu berdasar adanya kecaman Nabi Saw. kepada
suami yang memukul istrinya, seperti sabda beliau: “orang-orang terhormat tidak
memukul istrinya”. Sejumlah ulama sependapat dengan Aṭa‟ dan menolak atau
memahami secara metafora hadis-hadis yang membolehkan suami memukul istrinya.
Betapapun kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istri bagi suami, maka harus
dikaitkan dengan hadis-hadis Rasul Saw. di atas, yang mensyaratkan tidak
mencederainya, tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai
pemukulan itu sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat.
Agaknya untuk masa kini, dan di kalangan keluarga terpelajar, pemukulan bukan lagi
satu cara yang tepat, karena itu tulis Muhammad Ṭahir Ibn „Āsyur, “pemerintah jika
mengetahui bahwa suami tidak menempatkan sanksi-sanksi agama ini di tempatnya
yang semestinya, dan tidak mengetahui batas-batas yang wajar, maka dibenarkan bagi
pemerintah untuk menghentikan sanksi ini dan mengumumkan bahwa siapa yang
memukul istrinya, maka dia akan dijatuhi hukuman.141
141
Ibid., 432.
60
C. Penyelesaian Suami Terhadap Istri yang Nusyuz Perspektif Tafsir Al-Maraghi
dan Tafsir Al-Misbah
Menurut Tafsir Al-Maraghi
Dari penafsiran Al-Maraghi di atas maka penyelesaian suami terhadap istri
yang Nusyuz adalah sebagai berikut:
1. Memberi Nasehat
Langkah pertama yang bisa dilakukan oleh suami ketika menghadapi
istri yang Nusyuz menurut Al-Maraghi ialah dengan nasehat. Nasehat disini
berarti menurut Al-Maraghi ialah nasehat yang menurut pandangan suami
dapat menyentuh hati mereka (istri). Sebab di antara kaum wanita ada yang
cukup diingatkan akan hukuman dan kemurkaan Allah. Di antara mereka ada
yang hatinya tersentuh oleh ancaman dan peringatan akan akibat yang buruk
di dunia, seperti ditahan untuk mendapatkan beberapa kesenangannya
misalnya, pakaian, perhiasan dan lain sebagainya. Orang yang berakal tidak
akan kekurangan nasehat yang mempunyai tempat tertinggi di dalam kalbu
istrinya.142
2. Memisahkan Diri Dari Tempat Tidur
Jika cara yang pertama yakni dengan cara menasehati tidak berguna
bagi istrinya Al-Maraghi memberikan cara kedua yakni memisahkan diri dari
tempat tidur. Adat telah berlaku, bahwa berkumpul di pembaringan dapat
menggerakkan perasaan-perasaan suami istri, sehingga jiwa masing-masing
terasa tenang dan hilanglah berbagai goncangan jiwa yang terjadi sebelum itu.
Maka dengan meninggalkan istri dari tempat tidur akan menarik istri untuk
bertanya tentang sebab-sebab suami meninggalkannya dari tempat tidur.143
3. Memukul
142
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz V, 43. 143
Ibid., 43, 44.
61
Suami boleh memukul asalkan pukulan itu tidak tidak menyakiti atau
melukainya, seperti memukul dengan tangan atau dengan tongkat kecil.144
Sebagaimana juga telah dijelaskan di atas bahwa pukulan yang tidak sampai
melukai ataupun menyakiti adalah pukulan yang ringan yakni salah satu
bentuk pukulan yang tidak melukai dan tidak berakibat hilangnya nyawa atau
cedera, tidak melukai atau patah tulang, dan tidak menimbulkan cacat.
Menurut hukum agama, bentuk pukulan semacam ini boleh dilakukan bila
terjadi penyimpangan, pendurhakaan, penentangan dari istri yang sudah tidak
lagi menerima nasehat dan petunjuk, dan tidak jera dengan sikap dingin dan
tidak acuh suami.145
Akan tetapi, jika mereka itu baik dan para istri mau mendengarkan
nasehat atau menjadi baik karena dipisahkan dari tempat tidurnya, maka
hendaknya cukup dengan cara yang demikian. Sebab kita diperintahkan untuk
berlaku lembut pada istri, tidak menganiaya mereka, menahan mereka dengan
cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang ma‟aruf pula.
Menurut Tafsir Al-Misbah
sedangkan dari penfsiran Tafsir Al-Misbah di atas penyelesaian suami
terhadap istri yang Nusyuz berdasarkan QS.An- Nisa‟:34 ialah sebagai berikut:
1. Memberi Nasehat
Untuk langkah pertama M. Quraish Shihab sependapat dengan Al-
Maraghi yang dimana langkah pertama yang bisa dilakukan oleh suami ketika
menghadapi istri yang Nusyuz ialah memberi nasehat kepada istri.146
Dari para sahabat Nabi dan tabi‟in begitu juga para ulama berikutnya
hingga hari ini, telah sepakat bahwa memberikan nasehat kepada istri yang
menyimpang atau berlaku Nusyuz adalah perintah agama yang harus
144
Ibid., 43-44. 145
Ibid., 54-55. 146
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keselarasan Al-Quran,
Jilid 2, 430.
62
dilaksanakan, dan tidak seorangpun yang berbeda pendapat dalam hal ini. Ini
berarti, metode pertama ini didukung oleh ijma‟. Di samping itu, secara akal
sehatpun metode ini sangat efektif dan relevan pada saat ini.147
Nasehat ini sendiri maksudnya ialah mengingatkan istri dengan penuh
ikhlas, setulus hati terhadap perbuatan dan sikap yang tidak baik dari istrinya
itu, agar hati istri menjadi lunak, lalu menyadari kekeliruannya.148
2. Meninggalkan Keadaan Yang Buruk Ketempat Atau Keadaan Yang
Lebih Baik
Jika Al-Maraghi mengatakan bahwa langkah yang bisa dilakukan oleh
suami setelah memberi nasehat kepada istri tidak dihiraukan maka suami
dianjurkan meninggalkan istri dari tempat tidur atau pisah ranjang, maka M.
Quraish Shihab mengatakan bahwa, suami bukan meninggalkan istri dari
tempat tidur akan tetapi meninggalkan keadaan yang buruk dilakukan oleh
istri menuju ketempat atau keadaan yang lebih baik, selain itu suami juga
dituntut untuk menunjukkan ketidaksenangan atas sikap istrinya itu bukan
meninggalkan istri dari tempat tidur. Sebagaimana kata Wahjurūhunna yang
diterjemahkan dengan perintah kepada suami untuk meninggalkan istri
didorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Ini difahami dari kata
hajar, yang berarti meninggalkan tempat atau keadaan yang tidak baik atau
tidak disenangi menuju ketempat atau keadaan yang lebih baik. Jelasnya, kata
ini mengandug dua hal yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh suami iu adalah
hal yang buruk dan tidak disenangi kedua ditinggalkan untuk menuju
ketempat atau keadaan yang lebih baik. Maka dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa pertama, suami dituntut untuk menunjukkan ketidaksenangan atas
147
Syaughi Algadri, ,Jika Suami Istri Berselisih, 48. 148
Ibid., 46-47.
63
sesuatu yang buruk dilakukan oleh istrinya, kedua, suami dituntut untuk
meraih kembali keadaan yang baik bahkan lebih baik dari sebelumnya.149
di samping menunjukkan ketidaksenangan atas istri, suami juga tidak
meninggalkan istri dari rumah, bahkan tidak juga di kamar tetapi di tempat
tidur. Ini karena ayat ini menggunakan kata ف yang berarti di tempat tidur
bukan kata yang berarti dari tempat tidur yang berarti meninggalkan dari هي
tempat tidur. Jika demikian suami hendaknya jangan meninggalkan rumah,
bahkan tidak meninggalkan kamar tempat suami istri biasanya tidur, sebab
kejauhan dari pasangan yang sedang dilanda kesalahpahaman dapat
menambah perselisihan yang terjadi. Maka dari itu suami hendaknya masih
tetap tidur bersama dengan istri namun yang ditinggalkan bukanlah istri
melainkan yang ditinggalkan oleh suami adalah sikap istri atau hal yang
diperbuat oleh istri dengan menunjukkan sikap ketidaksenangan suami
terhadap istri seperti dengan tidak mencumbui istri maupun menggauli istri
termasuk menghindari kata-kata manis terhadap istri yang biasanya terucap
untuk merayu istri. Ketika itulah diharapkan istri dapat menyadari
kesalahannya. 150
3. Bermusyawarah
Memang kebanyakan dari mufassir pada dasarnya menyebutkan
bahwa langkah terakhir yang bisa dilakukan oleh suami ketika menghadapi
istri yang Nusyuz adalah memukul, hal ini didasari apabila memang tindakan
yang berupa menasehati serta pisah ranjang juga tidak mampu menyadarkan
istri maka, langkah selanjutnya yang bisa diambil oleh suami berdasarkan
kalimat yang terdapat di dalam QS. An-Nisa‟: 34 yakni kata waḍribūhunna
yang di terjemahkan dengan memukul tak terkecuali M. Quraish Shihab.
149
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keselarasan Al-Quran,
Jilid 2, 430. 150
Ibid., 431.
64
Menurut M. Quraish Shihab kata waḍribūhunna dalam QS. An-Nisa‟:
34 yang diterjemahkan dengan pukullah mereka, terambil dari kata ḍaraba
yang mempunyai banyak arti. Secara bahasa jika dipahami dengan arti
memukul maka, tidak selalu dimaksudkan dalam arti menyakiti atau
melakukan suatu tindakan keras dan kasar. Karena itu, perintah di atas
dipahami oleh ulama berdasarkan penjelasan Rasul Saw. bahwa yang
dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan.151
Namun meskipun demikian, M. Quraish Shihab mengemukakan
bahwa ada jalan terbaik yang bisa dilakukan oleh suami untuk
mempertahankan keharmonisan rumah tangga yang lebih baik dari memukul
setelah nasehat dan meninggalkannya ditempat tidur tidak berhasil ialah apa
yang diperintahkan ayat berikutnya yakni QS. An-Nisa‟: 35 yang
menganjurkan suami dan istri untuk bermusyawarah dengan mempertemukan
antara pihak suami dan istri sehingga disitulah permasalahan atau perselisihan
antara suami dan istri diharapkan bisa kembali membaik.152
Inilah yang
dianjurkan oleh M. Quraish Shihab sebagai langkah terakhir dan yang terbaik
dari memukul. Artinya dari tafsiran ini dapat dipahami bahwa M. Quraish
Shihab berpendapat bahwa musyawarah adalah jalan terbaik dan penyelesai
dari sikap Nusyuz istri setelah tidak ditemukan jalan keluar bagi suami.
Selain itu, yang memperkuat pendapat M. Quraish Shihab ialah M.
Quraish Shihab menambahkan dengan mengutip pemahaman ulama yang
memahami perintah menempuh langkah pertama dan kedua ditujukan kepada
suami, sedangkan langkah ketiga yakni memukul ditujukan kepada penguasa.
Selain itu ia juga mengutip pendapat ulama besar Aṭa‟ yang berpendapat
bahwa suami tidak boleh memukul istrinya paling tinggi hanya
memarahinya.153
151
Ibid., 431 152
Ibid., 432. 153
Ibid., 432.
65
Bagi M. Quraish Shihab meskipun ayat ini difahami sebagai izin
memukul istri bagi suami, maka harus dikaitkan dengan hadis-hadis Rasul
Saw. yang mengisyaratkan suami untuk tidak mencederainya tidak juga
pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai suatu
penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat.154
Perbedaan maupun persamaan antara penafsiran Al-Maraghi dan Tafsir Al-
Misbah di atas bukanlah hal yang tidak wajar. Jika ditelusuri ke belakang, adanya
perbedaan maupun persamaan itu sendiri tidak luput latar belakang diantaranya ialah
tempat dan waktu dari muffasir itu sendiri. Selain itu, dari segi metode keduanya
ketika menafsirkan Al-Quran. Al-Maraghi sendiri ketika menafsirkan Al-Quran
menyajikan tafsir sebagaimana kitab-kitab tafsir terdahulu di susun dengan gaya
bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu yang mudah di mengerti oleh
mereka. Kebanyakan mufassir, di dalam menyajikan karya-karyanya itu
menggunakan gaya bahasa yang ringkas. Karena pergantian masa selalu diwarnai di
bidang sastra, tingkah laku dan kerangka berpikir masyarakat, sudah barang tentu
wajar bahkan wajib bagi mufassir zaman sekarang untuk melihat keadaan pembaca
dan menjauhi pertimbangan keadaan masa lalu155
M. Quraish Shihab sendiri lebih banyak menekankan sangat perlunya
memahami wahyu Allah secara kontekstual, maka pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya dapat difungsikan dengan baik dalam dunia nyata. Corak-corak tafsir yang
berorientasi pada kemasyarakatan akan cenderung mengarahkan pada masalah-
masalah yang berlaku atau terjadi dimasyarakat. Penjelasan-penjelasan yang
diberikan dalam banyak hal selalu dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang sedang
diamati ummat, dan uraiannya diupayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar
dari masalah-masalah tersebut. Dengan demikian, diharapkan bahwa tafsir yang telah
154
Ibid., 432. 155
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz V, 17-21.
66
dituliskan mampu memberi jawaban terhadap segala sesuatu yang bahwa Al-Quran
memang sangat tepat untuk dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk.156
M. Quraish Shihab menyadari bahwa penulisan tafsir Al-Quran selalu
dipengaruhi oleh tempat dan waktu dimana para mufassir berada. Perkembangan
masa penafsiran selalu diwarnai dengan ciri khusus, baik sikap maupun kerangka
berfikir. Oleh karena itu, ia merasa berkewajiban untuk memunculkan sebuah karya
tafsir yang sesuai alam pikiran saat ini. Oleh karena itu tidak heran jika terjadi
perbedaan maupun ada kesamaan antara kedua tafsir ini sebab, keduanya ketika
menafsirkan Al-Quran sama-sama menyesuaikan dengan keadaan, pola pikir dan
gaya hidup masyarakat pada saat itu, jika demikian tentu antara pola pikir dan cara
pandang mereka ketika menfsirkan Al-Quran berbeda.
156
Muhammad Iqbal, “Metode Penafsiran Al-Quran M. Quraish Shihab” Jurnal
Tsaqafah, 6, ,NO. 2 (2010), 249.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
Pertama, Faktor Penyebab terjadinya Nusyuz ialah:
1. Karena ketidakmampuan istri menanggung beban kehidupan rumah tangga,
2. Kurangnya pengarahan dari keluarga terhadap anak-anak gadisnya sebelum
mereka berumah tangga.
3. Selain itu Nusyuz istri juga bisa disebabkan karena ditimbulkan oleh sifat dan
bawaan wanita.
4. Akibat efek pergaulan lingkungan yang kurang baik.
5. Sifat pelit suami dan kikir yang berlebihan, terlalu memaksakan kehendak,
cepat naik pitam, condong berlaku keras dan kasar bahkan kejam, tidak bisa
mendengar pendapat istri dan sulit bermusyawarah.
6. Suami yang tidak bertanggung jawab terhadap kewajibannya seperti tidak
memberikan nafkah terhadap istrinya.
7. Suami yang tidak perhatian.
8. Suami yang tidak memahami kondisi kejiwaan istri.
9. Suami tidak mendidik istri.
10. Karena orang terdekat lainnya seperti dari teman dan keluarga suami yang
kurang baik.
11. Tidak menjaga kecemburuan seorang istri.
12. Tidak bisa menciptakan keluarga yang harmonis atau suami tidak memenuhi
kebutuhan istri bukan saja materi tetapi terkadang yang paling dibutuhkan
seorang istri adalah non materi.
68
Kedua, Nusyuz memiliki banyak arti namun secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa Nusyuz ialah sikap suami istri yang membangkang, membenci,
saling mengabaikan dan sikap lainnya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang Allah
ridhai.
Bentuk Nusyuz seorang istri ada dua yaitu, Nusyuz dengan perkataan dan
Nusyuz dengan perbuatan. Nusyuz dengan perkataan antara lain:
1. Perubahan tutur sapa seorang istri kepada suaminya yang semula lemah
lembut, tiba-tiba berubah menjadi kasar dan tidak sopan bersuara keras dan
berbicara dengan nada tinggi atau dengan sengaja.
2. Bila dipanggil oleh suaminya ia tidak menjawab, atau menjawab dengan nada
terpaksa atau pura-pura tidak mendengar dengar mengulur-ulur jawaban.
3. Berbicara kepada laki-laki lain yang bukan mahramya baik secara langsung
maupun secara tidak langsung lewat telepon atau surat bersurat, dengan tujuan
yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama.
4. Mencaci maki, berkata kotor, melaknat, menuduh suami berbuat mesum, dan
menumpahkan kekurangan suami, baik yang terlihat maupun yang tidak
terlihat.
5. Istri menyebarkan berita-berita buruk tentang suaminya kepada sanak family
dan kerabat tanpa sebab, atau bercerita dengan menggunakan bahasa yang
menjerumus pada pelecehan suami yang membuka aibnya.
6. Permintaan cerai tanpa alasan yang dibenarkan agama
7. Tidak menepati janji terhadap suami.
8. Tidak menyimpan rahasia rumah tangga, dan rahasia suaminya sekalipun
kepada ibu bapaknya atau anak kandung sendiri.
Adapun Nusyuz istri yang berbentuk perbuatan secara umum dapat
disimpulkan antara lain:
1. Istri yang tidak taat kepada suami.
2. Membuka aurat di depan yang bukan mahramnya.
69
3. Berpergian di jalan-jalan umum dengan tidak megindahkan norma-norma
agama.
4. Menerima tamu yang tidak disenangi oleh suaminya.
5. Keluar rumah tanpa seizin suami.
6. Tidak memelihara dirinya dari fitnah, tidak menjaga harga diri, tidak
memelihara kehormatan dirinya, nama baik suami serta memelihara harta
benda hak milik suaminya.
7. Lari meninggalkan rumah tanpa alasan yang diakui oleh ajaran agama.
8. Menolak berpergian bersama suami dan mengkhianati suami baik yang
berkaitan dengan harga diri atau harta.
9. Enggan berhias atau memakai parfum untuk suaminya serta meninggalkan
kewajiban terhadap Allah SWT.,
10. Berpuasa sunnah tanpa seizin suami.
11. Menolak suami mengajak berhubungan badan .
12. Tidak mau mengikuti tempat suami tinggal sementara tempat tinggal yang
disediakan oleh suami layak untuk di tempat tinggali.
dan segala sesuatu yang dilakukan oleh istri terhadap suami yang menyalahi
kuadratnya sebagai istri serta perbuatannya tidak diridhai oleh suami dan tentunya
keluar dari ketentuan hukum atau petunjuk Al-Quran atau yang sejenisnya maka ia
termasuk dalam perilaku Nusyuz.
Ketiga, dari penafsiran Al-Maraghi dan tafsir Al-Misbah maka dapat
disimpulkan bahwa, ketika menghadapi istri yang Nusyuz, maka suami dapat
menyelesaikannya dengan melakukan beberapa langkah yakni, pertama, menasehati
atau memberi nasehat kepada istri dengan kata yang lemah lembut kedua,
menunjukkan ketidaksenangan suami terhadap sikap istri dengan cara seperti, tidak
menggauli istri atau menghindari berhubungan seks, tidak ada cumbu dan
menghindari hal-hal yang biasanya dilakukan suami kepada istri misalnya merayu
istri, ketiga, pisah ranjang atau memisahkan diri dari tempat tidur, keempat,
bermusyawarah antara pihak suami dan istri, kelima, memukul namun dengan
70
pukulan yang dibenarkan dalam Islam sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya.
B. Rekomendasi Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka peneliti merekomendasikan
bahwa, bagi suami istri ataupun bagi yang ingin membangun rumah tangga
hendaknya memahami betul mengenai penyebab ataupun faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya Nusyuz sehingga memberikan dorongan kepada keduanya
untuk menjauhi segala bentuk tindakan yang menimbulkan sikap Nusyuz.
Selain itu, ketika masalah Nusyuz terjadi seperti, sikap Nusyuz istri, maka
suami harus menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tuntunan Al-Quran
seperti yang telah dijelaskan di atas bukan malah sebaliknya, sehingga suami tidak
bertindak semena-mena terhadap istri seperti melakukan tindakan kekerasan, serta
penyimpangan lainnya dalam penyelesaian masalah tersebut, dan akhirnya kekerasan
dalam rumah tangga terutama terhadap perempuan dapat berkurang.
71
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alam, Datuk Tombak. Rumah Tanggaku Syurgaku. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990)
Al-Mahalliy, Jalalud-din dan Jalalud-din As-Suyuthi. Terjemah Tafsir Jalalain
Berikut Asbaabun Nuzul , Juz V Jilid I. ( Bandung: Sinar Baru Offset, 1990)
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjamah Tafsir Al-Maraghi, Juz V, Diterjemahkan
dari buku aslinya yang berjudul Tafsir Al-Maraghi oleh Bahrun Abu Bakar, Lc
dan Drs. Hery Noer Aly. (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993)
Al-Maidan, Abu Ihsan Al-Atsari dan Ummu Ihsan Siti Choiriyah. Surat Terbuka
Untuk Para Suami. (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009)
Algadri, Saughi. Jika Suami Istri Berselisih, Diterjemahkan dari buku aslinya yang
berjudul „‟Nusyuz‟‟ oleh Ghanim Shaleh. (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Azam, Muhammad Al- Maidan Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyed Hawas. Fiqh
Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak, Diterjemahan dari buku aslinya yang
berjudul “Al- Usratu Wa‟ahkaamuhaa Fii Tasyri‟I Al-Islaami” oleh Abdul
Majid Khon. (Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2019)
Baidan, Nashruddin dan Erwati Aziz. Metodologi Khusus Penelitian Tafsir
.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016)
Bakar, Bahrun Abu. Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul , Jilid I
diterjemahkan dari judul aslinya oleh Imam Jalaluddin Al-Maahilli dan Imam
Jalaluddin As-Suyuthi. ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1990)
Effendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis
YuridisPrudensi Dengan Pendekatan Ushuliya. (Jakarta: Prenada Media, 2004)
Fachrudin, Amir Hamzah. Ensiklopedia Wanita Muslimah, Diterjemahkan dari buku
aslinya yang berjudul “Mausu‟ah Al-Mar‟atul Muslimah” yang ditulis oleh
Haya binti Mubarak Al-Bari. (Jakarta: Darul Falah, 1426 H)
72
Faqih, Allamah Kamal. Tafsir Nurul Quran: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju
Cahaya Al-Quran,Jilid IV Diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul
“Nurul Qur‟an” oleh Ahsin Muhammad. (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2004)
Katsir, Abu Fida Isma‟il Ibnu. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Diterjemahkan
dari buku aslinya yang berjudul “Tafsir Ibnu Katsir”oleh H. Salim Bahreisy
dan H. Said Bahreisy. (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2004)
Sakho, Muhammad Ahsin. Keberkahan Al-Quran:Memahami Tema-tema Penting
Kehidupan Dalam Terang Kitab Suci (Jakarta: PT Qaf Media Kreativa, 2017)
Salam, Nor. “Konsep Nusyuz Dalam Perspektif Al-Quran: Kajian Tafsir Maudu‟i”
Jurnal. Jurnal Syariah dan Hukum, 7, NO.1 (2015)
Salim, Abd Muin. Metodologi Ilmu Tafsir ( Penerbit Teras: 2010)
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keselarasan Al-Quran,
Volume 2. (Tangerang: Lentera Hati 2002)
Shihab, M. Quraish. Pengantin Al-Quran: Nasehat Perkawinan Untuk Anak-anakku.
(Shihab Tangerang: Lentera Hati, 2015)
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan, 1994)
Shihab, M. Quraish. Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah Sampai
Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai Bias Baru. (Tangerang: PT. Lentera
Hati, 2018)
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. (Bandung, Mizan Pustaka, 1996)
Shihab, M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Quran. (Bandung:
Penerbit Mizan Pustaka, 2000)
Sudarsono. Pokok-pokok Hukum Islam. (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)
Syafi‟i, Abdul Manan. Wanita Dalam Perspektif Muffasir. (Jakarta: Penerbit Gaung
Persada Press Group, 2014)
Tafsir Al-Quran Al-Karim. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
73
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya. (Jakarta: PT
Syaamil Cipta Media, 2005)
Tim Penterjemah dan Penafsir Al-Quran. Mushaf Al-Quran Tajwid dan Penerjemah
Al-Quran. (Jakarta: Penerbit Abyan., 2014)
Tim Penyusun, Buku II: Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab „Uqud
Al-Lujjayn. (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2005)
Utsman, Muhammad Ra‟fat. Fikih Khitbah Dan Nikah. (Depok: Fathan Media Prima:
2017)
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa
Dzurriyyah, 2015)
Tafsir Al-Quran Al-Karim. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Zaini, Hasan. Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi. ( Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1996)
Zahro, Ahmad. Menuju Fiqh Keluarga Progresi. (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2015)
Zulheldi. 6 langkah Metode Tafsir Maudhu‟i. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2017)
B. Skripsi
Ardawati.“Persepsi Masyarakat Tentang Nusyuz Serta Pengaruh Terhadap
Penceraian”, Skripsi. (Aceh: Program Sarjana Starta 1 Universitas Islam Negeri
ar-Raniry 2018)
Nurlia, Aisyah.”Nusyuz Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Hukum
Islam”,Skripsi. (Lampung: Program Sarjana Strata 1 Universitas Bandar
Lampung, 2018)
Ritonga, Yuni Safitri.”Studi Agama: Metode dan Corak Penafsiran Ahmad Mustafa
Al-Maraghi”, Skripsi. (Riau: Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau, 2014)
74
Wulandari, Hesti.“Nusyuz Suami”, Skripsi. (Jakarta: Program Sarjana Strata 1
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 2010)
Zulfan. “Konsep Nusyuz Dalam Al-Qur‟an menurut tafsir al-Ahkam Karya Syaikh
Abdul Halim Hasan, ”Skripsi. (Medan: Program Sarjana Strata 1 Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara 2017)
C. Jurnal
Hiswar. “Penyelasaian Kasus Nusyuz Menurut Perspektif Ulama Tafsir”, Jurnal
Ilmiah Keislaman. (2012)
Iqbal, Muhammad. “Metode Penafsiran Al-Quran M. Quraish Shihab” Jurnal
Tsaqafah, 6, ,NO. 2. (2010)
Wartini, Atik. “Tafsir Feminis M. Quraish Shihab: Telaah Ayat-ayat Gender dalam
Tafsir Al-Misbah”, Jurnal Palastren, 6, NO. 2. (2013)
Wahyuni, Sri. ”Konsep Nusyuz dan Kekerasan Terhadap Isteri Perbandingan Hukum
Positif dan Fiqh”, Jurnal. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008)
D. Web-site
Antara,” Viral KDRT Terhadap Suami, Keluarga Korban Laporkan Pelaku” (diakses
melalui alamat https://metro.tempo.co , tanggal 17 Maret 2020).
Ahmad Bil Wahid, “Pembantu Aulia Kesuma Didawqa Beri Sarana Pembunuhan
Berencana” (diakses melaui alamat https://www.detik.com, tanggal 17 Maret
2020).
75
CURICULUM VITAE
Informasi Diri
Wildayati dilahirkan di desa Koto Salak, Kecamatan Danau kerinci,
Kabupaten Kerinci, Jambi pada07 juli 1997. Putri dari Syafruddin dan Saadah.
Riwayat Pendidikan
Wildayati memperoleh Sarjana Agama dari Universitas Islam Negeri Sultan
Thaha Saifuddin Jambi pada 2020, ijazah Madrasah Aliyah Swasta (MAS)
diperolehnya pada 2016, Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada 2013 dan dia
memperoleh ijazah Sekolah Dasar (SD) pada 2010.