muntah
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Saluran pencernaan dapat diibaratkan sebagai sekelompok organ berbentuk corong
yang saling berhubungan dan membentuk satu tabung yang dilapisi oleh otot; mulai dari
rongga mulut sampai ke anus. Berdasarkan perbedaan diameter dan fungsi karakteristik
yang dimilikinya, saluran tersebut dapat dibedakan menjadi esofagus, lambung, usus
halus, usus besar (kolon), rektum, dan anus. Hati dan limpa merupakan organ lain yang
ikut berperan dalam proses pencernaan dengan mensekresi cairannya ke dalam saluran
cerna. Salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh seorang anak
akibat adanya gangguan pada saluran cerna adalah muntah. Keadaan ini dapat merupakan
menifestasi klinis dari satu keadaan yang tidak berbahaya, tetapi dapat pula sebagai tanda
dari suatu penyakit ‘serius’. Muntah bukan merupakan satu penyakit melainkan
merupakan salah satu manifestasi klinis dari suatu penyakit. Oleh karena itu, pendekatan
diagnosis dan tata laksana muntah sangat bervariasi bergantung kepada dugaan
penyebabnya.1,2,3
Dua organ saluran pencernaan yang paling terlibat pada proses muntah adalah
esofagus dan lambung. Oleh karena itu, pemahaman anatomi dan fisiologi kedua organ
tersebut sangat penting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Menelan
Proses menelan sendiri telah terjadi pada saat janin. Menelan akan menimbulkan
suatu gerakan peristaltik yang dimulai dari farings, selanjutnya melalui otot serat lintang
dan otot polos esofagus dan berakhir pada kardia lambung. Pada awal menelan, sfingter
esofagus atas (SEA) mengalami relaksasi yang menyebabkan makanan/minuman dapat
masuk ke dalam esofagus. Sfingter esofagus atas merupakan bagian penting karena
berfungsi mencegah regurgitasi dari esofagus ke dalam rongga mulut dan larings. Epitel
skuamosa yang melapisi SEA berfungsi sebagai proteksi terhadap bahan makanan kasar.
Begitu makanan/minuman masuk ke dalam esofagus, SEA segera menutup dan terjadi
gerakan peristaltik esofagus. Sfingter esofagus bawah (SEB) juga mengalami relaksasi
pada saat proses menelan berlangsung dan terus terbuka sampai gerakan peristaltik
mencapai SEB. Selanjutnya, SEB berkontraksi kembali sampai mencapai tekanan pada
saat istirahat. Gerakan peristaltik tersebut disebut sebagai peristaltik primer yang akan
menurun pada saat tidur. Pada saat menelan terdapat pula peristaltik sekunder yang
bertujuan mendorong bahan refluks kembali ke dalam lambung. Peristaltik sekunder juga
dapat terjadi bila terdapat makanan di dalam esofagus yang tidak terdorong oleh
peristaltik primer ke dalam lambung. Nervus vagus berperan dalam proses menelan
dengan mengatur gerakan otot rongga mulut, farings, serta kontraksi otot serat lintang
dan otot polos. Pada saat menelan, tekanan SEB menurun sehingga mirip dengan tekanan
lambung.4,5,6
Beberapa keadaan dapat mempengaruhi kompetensi otot SEB, antara lain lengkung
diafragma terutama pada saat tekanan intraabdomal meningkat, faktor hormonal, obat,
dan makanan. Motilin, protein, dan prokinetik meningkatkan tekanan SEB, sedangkan
progesteron, sekretin, kolesistokinin, lemak, alkohol, cokelat, dan berbagai obat
(benzodiazepin, teofilin, atropin) menurunkan tekanan SEB.7,8,9
Lambung terdiri atas fundus, korpus, antrum, dan pilorus yang mempunyai fungsi
berbeda1. Motilitas lambung merupakan aktivitas otot polos yang mendapat persarafan
dari saraf intrinsik (nervus vagus) dan ekstinsik (pleksus mienterikus). Berdasarkan
fungsinya sebagai organ yang berperan dalam motilitas, lambung dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu bagian proksimal (fundus dan 1/3 proksimal korpus) dan bagian distal
(2/3 distal korpus, antrum, dan pilorus).10,11,12
Dalam keadaan istirahat terdapat gerakan siklus gastrointestinal yang dikenal
dengan migrating motor complex (MMC). Pada keadaan ini, sebagian otot polos bagian
proksimal lambung dalam keadaan kontraksi sedangkan bagian distal relaksasi. Respons
terhadap proses menelan, bagian proksimal akan mengalami relaksasi sehingga dapat
mengakomodasi makanan yang masuk ke dalam lambung. Pada saat relaksasi terjadi
peningkatan tekanan intralumen fundus yang berperan dalam pengosongan lambung dari
bahan makanan yang berbentuk cair, sedangkan gerakan peristaltik antrum berperan
penting dalam pengosongan lambung dari bahan makanan berbentuk padat. Bagian distal
lambung memegang peran penting dalam mixing dan emptying.10,11,12
Saluran cerna juga mendapat persarafan intrinsik dari sistem saraf enterik yang
terdapat pada lapisan muskularis (pleksus mienterikus) dan submukosa (pleksus
Meissner). Nervus vagus menggunakan pleksus mienterikus sebagai relay neurons. Dari
berbagai neurotransmiter yang ada, asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting
dalam aktivitas motorik saluran cerna. Aktivitas motorik saluran cerna terutama diatur
oleh sistem saraf enterik. Sistem saraf enterik dapat menerima impuls aferen secara
langsung dari saluran cerna dan memberikan respons langsung tanpa keterlibatan nervus
vagus. Oleh karena itu, sistem saraf enterik disebut sebagai ‘otak kecil’ saluran
cerna.10,11,12
2.2 Definisi
Secara klinis, kadangkala sulit dibedakan antara muntah, refluks gastroesofagus
(RGE), dan regurgitasi. Muntah didefinisikan sebagai dikeluarkannya isi lambung
melalui mulut secara ekspulsif melalui mulut dengan bantuan kontraksi otot-otot perut.
Usaha untuk mengeluarkan isi lambung akan cerlihat sebagai kontraksi otot perut.
Sedangkan, RGE didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke dalam esofagus tanpa
terlihat adanya usaha dari anak, dapat disebabkan oleh hipotoni sfingter esofagus bagian
bawah, posisi abnormal sambungan esofagus dengan kardia, atau pengosongan isi
lambung yang padat. Apabila bahan dari lambung tersebut dikeluarkan melalui mulut,
maka keadaan ini disebut sebagai regurgitasi.6,10Regurgitasi terjadi akibat gerakan
antiperistaltik esofagus. Sedangkan ruminasi yaitu pengeluaran makanan secara sadar
untuk dikunyah kemudian ditelan kembali.1,2,7
2.3 Patogenesis
Muntah berada di bawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula
oblongata, yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral yang dikenal sebagai pusat
muntah. Pusat muntah di medula diaktifkan oleh impuls yang berasal dari chemoreceptor
trigger zone (CTZ) yang berada di dasar ventrikel IV Chemoreceptor trigger zone
merupakan tempat berkumpulnya impuls aferen yang berasal dari bahan
endogen/eksogen atau impuls dari saluran cerna atau tempat lainnya yang dihantarkan
melalui nervus vagus. Pada CTZ juga dtemukan berbagai neurotransmiter; reseptor, dan
enzim. Reseptor terhadap dopamin ditemukan pada daerah ini.1,13
Proses muntah sendiri mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis.
Nausea merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus baik pada
organ visera, labirin, atau emosi. Fase ini ditandai oleh adanya rasa ingin muntah pada
perut atau kerongkongan dan sering disertai berbagai gejala otonom seperti bertambahnya
produksi air liur, berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Pada saat nausea, gerakan
peristaltik aktif berhenti dan terjadi penurunan kurvatura mayor lambung bagian bawah
secara mendadak. Tekanan pada fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di
daerah antrum sampai pars desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum menjadi
distensi sehingga dapat menyebabkan refluks duodenogaster. Selain itu juga terjadi
peristaltik retrograd mulai dan jejunum sampai ke lambung. Adanya refluks
duodenogaster tersebut menerangkan bahwa muntah yang bercampur empedu tidak selalu
disebabkan obstruksi usus. Fase ini tidak selalu berlanjut ke fase retching dan emesis.
Muntah yang disebabkan oleh tekanan intrakranial meninggi dan obstruksi usus tidak
memperlihatkan gejala nausea.1,13
Pada fase retching terjadi inspirasi dengan gerakan otot napas spasmodik yang
diikuti dengan penutupan glottis. Keadaan ini menyebabkan tekanan intratoraks negatif
dan pada saat yang sama terjadi pula konstraksi otot perut dan diafragma. Fundus
mengalami dilatasi, sedangkan antrum dan pilorus mengalami kontraksi. Sfingter
esofagus bagian bawah membuka tetapi sfingter bagian atas masih menutup. Fase
retching-pun dapat terjadi tanpa harus diikuti oleh fase emesis.1,13
Fase emesis ditandai dengan adanya isi lambung yang dikeluarkan melalui mulut.
Pada keadaan ini terjadi relaksasi diafragma, perubahan tekanan intratoraks dari negatif
menjadi positif, dan relaksasi sfingter esofagus bagian atas yang mungkin disebabkan
oleh peningkatan tekanan intralumal esofagus.1,13
2.4 Etiologi
Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi dan tergantung dari usia. Beberapa
keadaan dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti gangguan pada lambung atau
usus (infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada telinga bagian dalam (dizzness dan
motion sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat (trauma, infeksi), atau akibat makan
yang berlebihan. Meskipun jarang, obstruksi usus merupakan penyebab muntah pada
bayi. Beberapa penyebab muntah yang sering ditemukan pada anak berdasarkan lokasi
kelainan dan usia dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.
Tabel 1. Penyebab muntah pada neonatus
Saluran cerna Luar cerna Non-organikObtruksi Non-obstruksi SSP Organ lainAtresia esofagusStenosis pilorusM. HirschsprungMalrotasi ususHernia hiatusIleus mekoniumLaktobezoar
GastroenteritisNECKalasiaIritasi as.lambung
TIK meninggiMeningitisEfusi subduralHodrosefalus
SepsisInsuf. GinjalInf. Saluran kemihHperplasia adrenalInborn error metab
Iritasi C. AmnionTeknik minumObat
Sumber : Dodge1
Tabel 2. Penyebab muntah pada bayi
Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organikObtruksi Non-obstruksi SSP Organ lainStenosis pilorusAntral webInstususepsiVolvulus
RGEIntoleransi laktosaCMPSEGastroenteritisNEC
MeningitisEnsefalitisTIK meninggi
Inf. Saluran nafasInf. Saluran kemihOtitis mediaHepatitisInsufisiensi adrenalGangguan metabolik
Teknik makanErofagiMotion sicknesObat
Sumber : Dodge1
Tabel 3. Penyebab muntah pada anak
Saluran cerna Luar saluran cerna Non-organikObtruksi Non-obstruksi SSP Organ lainIntususepsiObstruksi ususAkalasiaStriktur (ingesti bahan kasutik)
GastroenteritisApendistisGastritisUlkus peptikumKeracunan makan
TIK meninggiInfeksi SSPHidrosefalus
Inf. Saluran napasInf. Saluran kemihOtitis mediaHenoch-SchonleinTorsio testis
PsikogenikMenarik perhatianMotion sicknesObat
Sumber : Dodge1
Oleh karena begitu besarnya variasi penyakit atau keadaan yang dapat
menyebabkan muntah pada anak, maka pengenalan keluhan dan gejala klinis yang
spesifik dari masing-masing penyakit tersebut sangat diperlukan oleh seorang dokter
sebagai langkah awal melakukan pendekatan diagnosis. Langkah awal yang tepat akan
memberikan keakuratan diagnosis yang cepat.1,9,14
2.5 Manifestasi Klinis
Muntah pada anak biasanya merupakan suatu petanda adanya infeksi. Muntah pada
seorang anak yang mengalami infeksi biasanya disertai oleh gejala lainnya seperti
demam, mual, sakit perut, atau diare. Keadaan ini biasanya akan berhenti dalam waktu 6-
48 jam. Apabila muntah terus berlangsung perlu dipikirkan adanya suatu keadaan yang
lebih serius. Anak mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi dehidrasi, terutama
apabila disertai diare. Infeksi virus merupakan penyebab terbanyak diantara patogen
lainnya. Muntah yang disertai demam lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri
dibanding virus atau parasit. Adanya penyakit peptikum perlu dipikirkan bila muntah
terjadi segera setelah makan, sedangkan muntah yang disebabkan oleh keracunan
makanan biasanya terjadi 1-8 jam setelah makan. Muntah akibat food borne disease
seperti Salmonella memerlukan waktu yang lebih lama untuk menimbulkan gejala klinis
karena diperlukan waktu untuk inkubasi. Kandidiasis oral sering pula sebagai penyebab
muntah pada bayi.1,3,15
Muntah proyektil non-bilious berulang pada bayi dapat merupakan tanda obstruksi
saluran cerna, misalnya stenosis pilorus. Stenosis pilorus sering ditemukan pada minggu
kedua setelah lahir, walaupun sangat jarang dapat pula ditemukan sejak lahir. Muntah
persisten pada neonatus yang terjadi pada malam hari perlu dipikirkan kemungkinan
adanya hernia hiatus. Penyakit pankreatitis jarang ditemukan pada anak. Penyebab
tersering kelainan ini adalah infeksi virus, obat-obatan, dan trauma. Selain muntah, anak
memperlihatkan gejala sakit perut di daerah epigastrium dan perut sebelah kiri atas yang
kadang-kadang menyerupai gastritis tetapi tidak memperlihatkan perbaikan setelah diberi
obat antagonis reseptorH2.1,16,17
Satu hal penting yang juga harus dipahami pada seorang anak yang mengalami
muntah adalah menentukan adanya kelainan yang memerlukan tindakan bedah segera.
Kelainan ini umumnya digolongkan ke dalam kelompok penyakit perut akut. Ada
beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai petanda kecurigaan terhadap kelainan
tersebut, yaitu (1) nyeri perut yang timbul mendahului muntah dan/atau berlangsung
selama lebih dari 3 jam, (2) muntah bercampur empedu, dan (3) distensi perut. Volvulus
pada neonatus memperlihatkan muntah berwarna hijau yang timbul pada hari-hari
pertama kehidupan dan selanjutnya diikuti tanda obstruksi saluran cerna letak tinggi dan
peritonitis. Muntah ditemukan pada 90% anak dengan volvulus, sedangkan sakit perut
pada 80% anak.1,18
Muntah dapat pula disebabkan oleh kelainan di luar saluran cerna seperti infeksi
saluran napas atau saluran kemih. Beberapa obat dapat pula sebagai pencetus muntah
pada anak seperti histamin, lenitoin, (obat anti epilepsi), kemoterapi, aspirin, dan
beberapa antibiotika. Muntah setelah trauma kepala yang ringan ditemukan pada 15%
anak dan sebagian besar mempunyai riwayat sakit kepala berulang dan motion sickness.3
Oleh karena itu, muntah pada trauma kepala ringan lebih dihubungkan dengan adanya
faktor intrinsik individual. Muntah akibat kelainan fungsional biasanya ditemukan pada
anak berusia 2-7 tahun dengan disertai keluhan migrain, motion sickness, dan gangguan
saluran cerna fungsional lainnya (sakit perut, gangguan defekasi). Saat keluhan, adanya
gangguan tingkah perilaku seperti anoreksia atau bulimia nervosa perlu dipikirkan adanya
kelainan psikiatri. Secara garis besar pendekatan diagnosis muntah pada anak dapat
dirangkum sebagai berikut:
- tegakkan/singkirkan penyakit infeksi sebagai penyebab muntah (misalnya otitis
media, diare, infeksi intrakranial, infeksi saluran kemih atau napas, sepsis, atau
hepatitis)
- tegakkan/singkirkan kelainan organik saluran cerna (misalnya atresia esofagus, RGE,
stenosis pilorus, M. Hirschsprung, penyakit peptikum)
- cari kemungkinan adanya masalah dalam makanan (misalnya intoleransi laktosa,
alergi makanan, kebanyakan makan, teknik pemberian makan/minum yang salah)
- cari kemungkinan adanya pengaruh obat-obatan, kelainan psikologi, dan kelainan
metabolik.1,9
2.6 Diagnosis
Pendekatan untuk identifikasi masalah sangat penting, yang meliputi:
1. Usia dan jenis kelamin
2. Tentukan terlebih dahulu apa yang dihadapi: muntah/yang lain
3. Bagaimana keadaan gizi anak
4. Adakah faktor predisposisi
5. Apakah ada penyakit yang menyerang anak secara interkuren
6. Bagaimana bentuk (isi) muntahan, apakah seperti susu/makanan asal (tanda isi dari
esofagus), atau telah merupakan susu yang telah menggumpal (isi lambung) atau
mengandung empedu (isi duodenum), atau adakah darah
7. Apakah saat muntah berhubungan dengan saat makan/minum
8. Apakah perubahan posisi tubuh mempengaruhi muntah
9. Informasi diet: kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan (terutama untuk anak kecil)
10. Bagaimana teknik pemberian minum
11. Bagaimana kondisi psikososial di rumah
Pemeriksaan penunjang dilaksanakan untuk membantu pendekatan diagnosis, jenis
pemeriksaan yang dipilih sesuai dengan dugaan diagnosis berdasarkan anamnesis dan
manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan darah, radiologis
dengan atau tanpa kontras, ultrasonografi, endoskopi, pemantauan pH esofagus (pH-
metri), uji hidrogen napas, biopsi mukosa saluran cerna.16,19,23
Muntah hijau pada neonatus baik yang disertai atau tidak disertai distensi abdomen
dapat merupakan petanda awal obstruksi saluran cerna. Pipa nasogastrik harus segera
dipasang untuk dekompresi lambung. Pemeriksaan foto polos perut yang memperlihatkan
dilatasi usus dan air-fluid levels menunjukkan adanya obstruksi saluran cerna yang
memerlukan tindakan bedah. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras dapat
membedakan adanya atresia duodeni, malrotasi midgut, volvulus, atresia jejunum, atau
ileus yang merupakan penyebab obstruksi saluran cerna paling sering pada neonatus.7,16,19
Kecurigaan klinis adanya stenosis pilorus dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
barium meal atau ultrasonografi yang memperlihatkan gambaran khas. Adanya refluks
gastroesofagus (RGE) dapat dibuktikan dengan pemantauan pH esofagus selama 24 jam
(pH-metri). Indeks refluks di atas 5% menunjukkan adanya RGE patologis. Esofagitis
dan penyakit peptikum (erosi, ulkus) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi
dan biopsi mukosa saluran cerna. Kecurigaan terhadap intoleransi laktosa dan overgrowth
bacteria dibuktikan dengan pemeriksaan uji hidrogen napas. Peningkatan kadar H2 napas
diatas 20 ppm pada menit ke 60-120 setelah minum larutan laktosa menunjukkan adanya
malabsorpsi laktosa, sedangkan peningkatan pada menit ke-30 menunjukkan overgrowth
bacteria. Pemeriksaan darah perifer dan urin diperlukan untuk melihat kemungkinan
adanya infeksi yang mendasari keluhan tersebut, sedangkan pemeriksaan analisis gas
darah dan elektrolit dilakukan bila diduga telah terjadi komplikasi gangguan metabolik
atau sebaliknya adanya kecurigaan gangguan metabolik yang mendasari keluhan
tersebut.16,19,22
2.7 Terapi
Terapi utama muntah ditujukan untuk mencari dan mengatasi penyebabnya,
sedangkan terapi suportif diperlukan untuk mencegah keadaan yang lebih buruk dan
mengatasi komplikasi yang telah terjadi. Beberapa petunjuk di bawah ini dapat dipakai
sebagai terapi awal muntah pada anak, yaitu:
- Apabila tidak ada obstruksi saluran cerna, muntah biasanya akan berhenti dalam
waktu 6-48 jam.
- Atasi dan cegah dehidrasi serta gangguan keseimbangan elekrolit.
- Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa lebih enak atau tidak
ada muntah lagi selama 6 jam.
- Hentikan obat-obatan yang diduga dapat mengiritasi lambung dan membuat muntah
bertambah (misalnya aspirin, asetosal, kortikosteroid, antibiotik golongan makrolid).
- Hindarkan makanan padat pada 6 jam pertama dan berikan rasa nyaman pada anak
selama periode ini (misalnya dengan menurunkan suhu tubuh).
- Berikan makanan yang mudah dicerna sehingga membantu proses penyembuhan
saluran cerna yang mengalami gangguan.
- Berikan minuman manis seperti jus buah (kecuali jeruk dan anggur karena terlalu
asam), sirup, atau madu (unruk anak di atas 1 tahun) secara bertahap setiap 15-20
menit sebanyak 1-2 sendok teh. Cairan lain yang dapat pula diberikan antara lain
kaldu ayam, atau oralit.
- Setelah 1 jam pertama dapat diberikan minuman dengan jumlah yang lebih banyak
(2-4 sendok teh setiap 15-20 menit) secara bertahap dan ditingkatkan 2 kali setiap 1
jam. Apabila terjadi muntah kembali, berikan minuman dalam jumlah lebih sedikit.
Pemberian minum ad libitum pada anak terutama bayi mempunyai risiko terjadi
muntah yang berulang.
- Setelah 3 jam tidak mengalami muntah, dapat diberikan minuman melalui gelas
(anak) atau botol (bayi) dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap pula.
- Setelah 6 jam tidak mengalami muntah, bayi dapat diberikan buah pisang, sereal, dan
jus apel, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat diberikan roti, krakers, madu,
sup ayam, kentang atau nasi. Jenis dan jumlah makanan juga diberikan secara
bertahap. Diet normal biasanya dapat diberikan setelah 24 jam.
- Hindarkan aktivitas setelah makan.
- Obat anti muntah diberikan bila memang benar-benar diperlukan. Pemberian obat-
obatan ini harus meinpertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Obat diberikan
bila anak menolak minum setelah muntah atau muntah telah berlangsung lebih dari 24
jam.
- Pemantauan lebih teliti periu diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut:
muntah tetap berlangsung selama 12 jam (untuk bayi) dan 24 jam (untuka nak),
muntah disertai diare, disertai gangguan neurologis, letargi, tanda dehidrasi dan sakit
perut, gangguan pernapasan, atau isi muntah berwama kehijauan.19,23,24
Obat anti muntah tidak digunakan secara rutin pada anak, tetapi hanya pada anak
yang menolak minum setelah muntah atau muntah berlangsung lebih dari 24 jam
sehingga dikhawatirkan keadaan tersebut akan menimbulkan komplikasi baik berupa
dehidrasi maupun gangguan keseimbangan elektrolit dan gas darah. Obat anti muntah
dapat langsung diberikan pada kasus yang mendapat kemoterapi atau radioterapi. Hal
yang paling penting adalah harus diyakini bahwa tidak ada obstruksi saluran cerna.23,25
Berbagai jenis obat dilaporkan sebagai obat anti muntah seperti golongan antagonis
reseptor dopamin, antikolenergik, antihistamin, dan antagonis reseptor serotonin.
Pemilihan golongan obat tersebut bergantung dari patofisiologi muntah yang terjadi. Pada
motion sicknes terjadi gangguan sistem vestibular, maka golongan antikolinergik
(misalnya skopolamin) merupakan obat pilihan. Golongan antihistamin (hyoscine
hydrobromide, prometazin) yang bekerja pada ‘pusat muntah’ juga dapat digunakan pada
keadaan tersebut. Golongan antagonis reseptor serotonin (ondansetron) yang bekerja pada
CTZ sangat efektif pada kasus yang mendapat kemoterapi dan radioterapi.25
Gangguan pada saluran cerna seperti yang terjadi pada infeksi, golongan antagonis
reseptor dopamin yang bekerja pada pusat (CTZ) dan perifer (saluran cerna) merupakan
obat pilihan. Dari golongan tersebut, metoklopramid dan domperidon merupakan jenis
obat yang banyak digunakan sebagai antimuntah. Metoklopramid mempunyai efek
menghambat reseptor dopamin di CTZ, sehingga mengurangi nausea dan muntah.
Berbagai gejala seperti ansietas, tremor, distonia dan diskenesis pernah dilaporkan pada
pasien yang menggunakan obat ini.26,27
Domperidon banyak digunakan sebagai obat anti muntah karena efeknya yang
positif dan efek sampingnya kecil (0.5%). Obat ini selain menghambat reseptor dopamin
di CTZ, juga pada reseptor dopamin perifer (saluran cerna). Efek positif yang
diperlihatkan setelah pemberian domperidon, antara lain meningkatkan tekanan SEB,
meningkatkan kontraktilitas lambung, memperbaiki koordinasi antroduodenum, dan
mempercepat pengosongan lambung. Domperidon mempunyai bioavailabilitas yang
rendah karena dimetabolisme secara cepat di dinding usus dan hati. Domperidon dapat
ditoleransi lebih baik dan mempunyai efek samping ekstrapiramidal yang lebih kecil
dibanding metoklopramid karena berkemampuan kecil menembus sawar darah otak.
Dosis yang dianjurkan pada anak adalah 0,2 -0,4 mg/kgBB/hari peroral.28
2.8 Komplikasi
Kehilangan cairan dan elektrolit, aspirasi isi lambung, malnutrisi dan gagal tumbuh,
sindrom Mallory-Weiss (robekan pada epitel gastroesophageal junction akibat muntah
yang berulang), sindrom Boerhave (ruptur esofagus), dan esofagitis peptikum.1,9
2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dimaksud di sini adalah pencegahan terjadinya komplikasi akibat
muntah, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (dehidrasi,
asidosis/alkalosis metabolik, hipokalemia, hiponatremia), aspirasi, gangguan nutrisi,
esofagitis peptikum, dan sindrom Mallory-Weiss. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan
mengikuti petunjuk tata laksana muntah pada anak seperti yang diuraikan sebelumnya.17,19
BAB III
KESIMPULAN
Muntah merupakan salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan
oleh seorang anak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan maupun di luar
saluran pencernaan. Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi, oleh karena itu
pengenalan manifestasi klinis spesifik dari masing-masing penyakit yang sering sebagai
penyebab muntah perlu dipahami oleh seorang dokter. Pendekatan diagnosis yang tepat
dan cepat akan menimbulkan penatalaksanaan yang optimal. Penggunaan obat anti
muntah bukan merupakan pilihan utama pada kasus muntah, tetapi pada beberapa
keadaan, obat anti muntah yang efektif dan aman sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dodge JA. Vomiting and regurgitation. In: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR,
Walker Smith JA, Watkins JB, eds. Pediatric gastrointestinal diseases, 2nd ed.
Philadelphia: BC Decker. 1991:32-44.
2. Fennig S. Cyclic vomiting syndrome. Jounal ofpediatric gastroenterology and
nutrition. 1999.
3. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of gastrointestinal tract. In: Roy CC,
Silverman A, Alagille D, eds. Pediatric clinical gastroenterology, 1st ed. St Louis:
Mosby. 1998: 20-30.
4. Biancani P, Zabinski M, Kerstein M, Behar J. Lower esophageal sphincter mechanics:
Anatomic and physiologic relationships of the esophagogastric junction of cat.
Gastroenterology. 1982; 82:468-75.
5. Penagini R, Bartesaghi B, Bianchi PA. Effect of cold stress on postprandial lower
esophageal sphincter competence and gastrooesophageal reflux in healthy subjects.
Dig Dis Sci. 1992; 37:1200-5.
6. Pope CE. A dynamic test of sphincter strength: Its application to the lower esophageal
sphincter. Gastroenterology. 1967; 52: 779-86.
7. Hegar B, Vandenplas Y. Gastro-esophageal reflux in infancy. J. Gastroenterol
Hepatol. 1999:14:13-9.
8. Jan Nissi RN. Bloody or yellow or green liquid (bile) in vomit in children.
Healthwise. 2007.
9. Tomomasa T, Kurourne T Developmental physiology. In : Hyman PE, Lorenzo CD
eds. Pediatric gastrointestinal motility disorders, 1st ed. New York: Academy
Profesional Information Services. 1994: 1-7.
10. Kumar D. Gross morphology of the gastrointestinal tract. In: Kumar D, Gustavsson
eds. Gastrointestinal motility, 1st ed. London: John Wiley & Sons. 1988; 3-8.
11. Li Buk. Cyclic vomiting syndrome: A pediatric Rorschach. J pediatr gastroenterol
nutr. 1993.
12. Stendal C. Anatomy of the digestive system. In; Stendal C. ed. Practical guide to
gastrointestinal function testing. 1st ed. London: Blackwell Science. 1997: 1-14.
13. Weisbrodt NW. Swallowing. In: Johnson LR, ed. Gastrointestinal physiology. Mosby,
Missouri. 1985:23-31.
14. Dignan F, Symon DNK, Abu Arafeh I, Russel G. The prognosis of cyclical vomiting
syndrome. Archives of disease in childhood. 2001.
15. Kimura K, Loening BV. Billious vomiting in the newbom: Rapid diagnosis of
intestinal obstruction. Am Fam Physician. 2008; 61: 2791-8.
16. Dinkevich E, Ozuah PO, Adam HM. Pyloric stenosis. Pediatric in review. 2007; 21:
1-3.
17. Lerner A, BranskiD, Lebenthal E. Pancreatic diseases in children. Pediatr Clin North
America. 2006;43:125-34.
18. Peitz HG. Volvulus in childhood. Radiology. 1997; 37: 439-45.
19. Davies AEM, Sandhu BK. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal reflux.
Arch Dis Child. 2005; 73: 82-6.
20. Forbes D. Differential diagnosis of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol
nutr. 1993.
21. Hegar B, Buller HA. Breath hydrogen test in lactose malabsorption. Paediatr Indones.
1995; 35:161-71.
22. Hegar B, Vandenplas Y. Electrogastrography in delayed gastric emptying. Paediatr
Indones. 1998; 38: 181-90.
23. VandenplasY, Hegar B. Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux diseases
in infant and children. J Gastroenterol Hepatol. 2008; 15: 593-603.
24. Fleisher DR. Management of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol nutr.
1993.
25. The Italian group for antiemetic research. Dexamethasone alone or in combination
with ondansetron for the prevention or delayed nausea and vomiting induced by
chemotherapy. N EngJMed. 2007; 342; 1554-9.
26. Batts KF, Munter DW. Metoclopramide toxicity in an infant. Pediatr Emerg care.
1998; 14(1):39-41.
27. Ganzini L, Casey DE, Hoffman WF, McCall AL. The prevalence of metoclopramide
induced tardive dyskinesia and acute extrapyramidal movement disorders. Arch
Intern Med. 2003; 153:1469-75.
28. Vandenplas Y, Hegar B, Salvatore S, Hauser B. Pharmacotherapy of
gastrooesophageal reflux disease in children: focus in safety. Expert Opin Drug Saf.
2002; I(4): 355-64.
29. Weber AR, Hyman PE, Cuuhiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ, Staiano A.
Childhood functional gastrointestinal disorders. Gut. 1999; 45(suppl II): 60-8.