bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/42582/3/bab ii.pdfdaun dari tanaman limonia acidissima ini...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Tanaman Limonia acidissima
2.1.1. Taksonomi Limonia acidissima
Kingdom : Plantae
Sub-kingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliospida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Keluarga : Rutaceae
Genus : Limonia
Spesies : Limonia acidissima L. (Vijayvargia & Rekha, 2014).
Gambar 2.1. Buah kinca (a) dan bagian dalam buah kinca (b) (Thi Hong Tham &
Nguyen, 2014)
2.1.2. Sinonim Limonia acidissima
Nama lain dari Limonia acidissima L. adalah Feronia elephantum Correa,
Feronia limonia (L.) Swingle, dan Schinus limonia L. Dalam bahasa Inggris disebut
sebagai wood apple, elephant apple, monkey fruit atau curd fruit (Khare, 2011).
Sedangkan di Indonesia, penyebutan tanaman Limonia acidissima L. ini adalah
kawista atau di Jawa dapat disebut dengan kinca (Tim Penyusun Kamus PS, 2013).
a b
7
2.1.3. Distribusi dan Pengembangan Limonia acidissima
Tanaman kawista atau Limonia acidissima ini berasal dari India Selatan dan
tersebar di seluruh India, yang juga dibudidayakan di Bangladesh, Pakistan dan
Srilanka. Tanaman ini kemudian menyebar ke Asia Tenggara termasuk Jawa.
Kawista tumbuh baik di daerah pantai atau tanah berpasir. Kawista dapat tumbuh
baik di Sumba (Nusa Tenggara Barat) dan di Taman Nasional Purwodadi, Jawa
Timur (Absar, et al., 2010; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2010).
Limonia acidissima ini merupakan salah satu tanaman obat yang tumbuh di
seluruh wilayah tropis dan beriklim sedang. Buah ini dapat bertahan terhadap
tempat yang panas dan kering. Perkembangan tanaman ini dilakukan dengan
metode generatif yang menghasilkan biji dan vegetatif dengan tunas yang tumbuh
dari akar atau dengan okulasi (Absar, et al., 2010; Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2010; Naidu, et
al., 2014).
2.1.4. Morfologi Limonia acidissima
Limonia acidissima termasuk tanaman yang dapat tumbuh setinggi 9 m dan
tumbuh di seluruh India atau pada daerah kering dan hangat dengan ketinggian
mencapai 450 m. Tanaman ini memiliki kulit kasar dan berduri. Durinya terdapat
pada aksila ranting, berukuran pendek, lurus, dan panjangnya 2-5 cm (Longman,
1933; Vijayvargia & Rekha, 2014).
Daun dari tanaman Limonia acidissima berukuran sedang sampai cukup
besar, berwarna hijau gelap, kasar, panjangnya 3 sampai 5 inci, terdapat duri yang
berbentuk lurus pada aksila, ujung berlekuk, terdapat kelenjar minyak, dan sedikit
beraroma lemon saat dihancurkan (Longman, 1933; Vijayvargia & Rekha, 2014).
Bunga dari tanaman Limonia acidissima ini berkelompok, berukuran kecil,
berwarna merah kusam sampai merah kehijauan, berbau harum, dan terdapat organ
reproduksi jantan dan betina dalam satu bunga. Kemudian getah dari tanaman ini
dapat diperoleh dari batang dan ranting pohonnya, yang dikenal sebagai feronia
gum yang berwarna coklat kemerahan hingga warna kuning pucat dan transparan
(Longman, 1933; Vijayvargia & Rekha, 2014).
8
Sedangkan buah dari tanaman Limonia acidissima ini berbentuk bulat
sampai lonjong, kasar, lebar buah 2 sampai 5 inci, termasuk dalam golongan buah
berry, berwarna abu-abu, kulit buah keras dan berkayu. Daging buahnya berwarna
kecoklatan, aromatik, memiliki getah, rasanya asam atau manis, dan biji putih
tersebar di dalamnya (Longman, 1933; Vijayvargia & Rekha, 2014).
2.1.5. Kandungan Senyawa Limonia acidissima
Menurut Naidu, et al., (2014), tanaman Limonia acidissima mengandung
flavanoid, glikosida, saponin, tanin, coumarins dan turunan tyramine. Juga adanya
alkaloid, steroid, glikosida, fenol, gum dan mucilage, minyak dan lemak tertentu,
resin dan tanin.
Menurut Amin, et al., (2017), kulit pohon tanaman ini mengandung kumarin,
alkaloid steroid dan triterpenoid, dan flavon. Pada daunnya mengandung alkaloid,
flavon, saponin, dan minyak esensial. Kemudian pada akarnya terdapat kumarin
dan alkaloid quinolone. Lalu pada bijinya mengandung minyak lemak, protein,
karbohidrat, dan asam amino. Pada bunganya mengandung asam lemak dan
karbohidrat.
Buah Limonia acidissima ini mengandung beberapa senyawa seperti
alkaloid, saponin, tanin, triterpenoid, dan flavonoid (Pandey, et al., 2014; Rini, et
al., 2017). Sedangkan menurut Amin, et al., (2017), daging buah dari Limonia
acidissima mengandung glikosida flavonoid dan berbagai macam minyak esensial
dengan jumlah yang cukup banyak.
2.1.6. Pemanfaatan Limonia acidissima
Semua bagian Limonia acidissima digunakan dalam sistem pengobatan
tradisional untuk pengobatan berbagai penyakit. Daun, kulit kayu dan buah Limonia
acidissima memiliki nilai obat dan digunakan sebagai obat tradisional selama
berabad-abad karena aktivitas antimikroba, astringent, dan anti-inflamasi. Di
negara-negara Asia selatan seperti Myanmar, Thailand dan lain-lain, kulit pohon
tanaman ini digunakan sebagai kosmetik (Shermin, et al., 2012).
Secara tradisional, buah Limonia acidissima digunakan untuk sakit perut,
diare, disentri, stimulan, diuretik, menyembuhkan batuk, asma, dan keputihan.
Sedangkan bijinya digunakan sebagai obat penyakit jantung. Selain itu, orang-
9
orang Hindu menganggap bahwa buah ini berguna dalam diare dan disentri.
(Buvanaratchagan & Dandhapani, 2016; Absar, et al., 2010).
Daun dari tanaman Limonia acidissima ini juga memiliki manfaat sebagai
pengobatan masalah perut, muntah, dan disentri jika diberikan pada anak-anak.
Selain itu juga digunakan sebagai antiemetik, karminatif, kardiotonik, ekspektoran,
obat pencahar, batuk, dan diare. Sedangkan rebusan daun dari Limonia acidissima
ini digunakan dalam pengobatan sembelit, muntah, dan diuretik (Naidu, et al.,
2014; Absar, et al., 2010).
Menurut Jayashree dan Ramesh, (2014), ekstrak metanol daging buah Limonia
acidissima dengan metode ekstraksi soxhlet, menunjukkan aktivitas antimikroba
yang cukup tinggi dibandingkan dengan ekstrak kloroform dan aqua. Hal ini
menunjukkan bahwa, senyawa antimikroba yang signifikan bersifat polar yang
dibuktikan dengan tingginya tingkat aktivitas antibakteri ekstrak metanol daging
buah Limonia acidissima. Zona hambat dari ekstrak metanol menghasilkan rata-
rata zona hambat 15-21 mm dengan konsentrasi minimum sebesar 3,125-12,5
mg/mL. Mikroba yang diuji yaitu Salmonella typhimurium, Klebsiella pneumonia,
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Aspergillus niger, dan Aspergillus
flavus.
Menurut Naidu, Sujatha, dan Chandra, (2014), fraksi methanol daun Limonia
acidissimamenunjukkan aktivitas antibakteri yang tinggi terhadap bakteri E. coli,
P. vulgaris dan S. pneumoniae. Hal ini ditunjukkan dengan zona hambat terhadap
masing-masing bakteri yaitu E. Coli sebesar 24±0.13 mm dengan konsentrasi
minimum sebesar 62,5 μg/mL, sedangkan pada P. vulgaris adalah 26±0.32 mm
dengan konsentrasi minimum <62,5 μg/mL, padaS. Pneumoniae yaitu 24±0.36 mm
dengan konsentrasi minimum <62,5 μg/mL.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Buvanaratchagan dan
Dandhapani, (2016), ekstrak daun Limonia acidissima dengan fraksi etanol
menunjukkan aktivitas antijamur terhadap ketiga fungi dermatofitik seperti
Trichophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Epidermophyton floccosum
yang memiliki pengaruh sebanding dengan kelompok kontrol yang menggunakan
ketokonazol. Zona hambat ekstrak daun Limonia acidissima dengan konsentrasi 10
µL (50 mg/mL) dalam menghambat Trichophyton mentagrophytes, Microsporum
10
canis dan Epidermophyton floccosum masing-masing adalah 32,42 ± 1,43 mm;
27,56 ± 0,95 mm; dan 28,62 ± 1,37 mm.
Pada penelitian yang dilakukan Anebaracy, et al., (2015), ekstrak akar
Limonia acidissima dengan pelarut etanol memiliki efek antimikroba yang
sebanding dengan kelompok kontrol yang menggunakan streptomisin. Mikroba
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Candida albicans. Sedangkan zona
hambat ekstrak akar Limonia acidissima dengan konsentrasi 50 µg adalah 5,37 ±
0,02 mm.
Kemudian menurut penelitian yang dilakukan Ilango dan Chitra, (2010),
ekstrak metanol daging buah Limonia acidissima pada dosis 200 dan 400 mg/kg
memberikan efek dalam peningkatan penyembuhan luka pada hewan uji (tikus) bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, pada penelitian ini diketahui
bahwa ekstrak metanol daging buah Limonia acidissima menunjukkan adanya
aktivitas antioksidan.
2.2. Tinjauan Jamur Candida albicans
Candida albicans merupakan mikroorganisme yang terdapat pada saluran
pencernaan, saluran reproduksi, rongga mulut, dan kulit manusia kebanyakan,
tetapi tidak memberikan gejala apapun. Pada individu dengan sistem kekebalan
tubuh yang sehat, Candida albicans seringkali tidak berbahaya. Namun, perubahan
pada mikrobiota inang, perubahan respons imun inang, atau akibat lingkungan
dapat memungkinkan jamur ini untuk tumbuh dan menyebabkan infeksi yang
bahkan dapat menyebabkan kematian (Nobile & Alexander, 2015).
Gambar 2.2. Jamur Candida albicans dengan pewarnaan menggunakan LPCB
pada perbesaran 400x (Wibawa, et al., 2015).
11
2.2.1. Taksonomi Candida albicans
Taksonomi Candida albicans menurut C.P. Robin Berkhout, (1923), dalam
Komariah, (2012), adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Saccharomycotina
Class : Saccharomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Family : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
2.2.2. Morfologi dan Sifat Candida albicans
Candida albicans atau yang dulu disebut dengan monilia merupakan sel
jamur yang terdiri dari sel-sel oval seperti ragi dan sel-sel oval yang memanjang
dan saling berikatan. Jamur ini merupakan bagian dari flora normal (komensal)
pada selaput lendir di saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan vagina (Tjay &
Kirana, 2002).
Spesies Candida secara morfologi mempunyai beberapa bentuk elemen
jamur yaitu sel ragi (blastospora/yeast), hifa dan bentuk intermedia/pseudohifa
(Gambar 2.3). Sel-sel jamur Candida berbentuk bulat, lonjong dengan ukuran 2-5µ
x 3-6µ sampai 2-5,5µ x 5-28,5µ. Jamur ini berkembang biak dengan
memperbanyak diri dengan spora yang tumbuh dari tunas, disebut blastospora
(Siregar, 2004; Komariah, 2012).
Pertumbuhan optimum Candida albicans terjadi pada pH antara 2,5 – 7,5
dengan temperatur 20°C – 38°C. Candida merupakan jamur yang dapat tumbuh
cukup cepat yaitu sekitar 48–72 jam. Candida albicans dapat tumbuh pada suhu
37°C dalam kondisi aerob dan juga lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan
dengan pH normal atau alkali. Spesies jamur yang patogen dapat tumbuh dengan
mudah pada suhu 25°C– 37°C, sedangkan spesies jamur yang saprofit akan sulit
tumbuh pada temperatur yang semakin tinggi (Komariah, 2012).
12
Gambar 2.3. Ilustrasi morfologi Candida (a) bentuk ragi, (b) bentuk pseudohifa,
dan (c) bentuk hifa (Komariah, 2012).
Dua tes morfologi sederhana membedakan Candida albicans dari spesies
Candida lainnya, yaitu setelah inkubasi dalam serum selama kurang lebih 90 menit
pada suhu 37°C, sel-sel ragi Candida albicans akan mulai membentuk hifa sejati
atau tabung benih. Dan pada media yang kekurangan nutrisi, Candida albicans
menghasilkan chlamydospora bulat dan besar (Brooks, et al., 2007).
Candida albicans tumbuh baik pada media padat, tetapi kecepatan
pertumbuhannya lebih tinggi pada media cair. Candida dapat mudah tumbuh di
dalam media sabouraud dextrose agar (SDA) dengan membentuk koloni ragi
dengan sifat-sifat khas, yakni: menonjol dari permukaan media, permukaan koloni
halus, licin, berwarna putih kekuning-kuningan, dan berbau ragi. Jamur Candida
dapat hidup didalam tubuh manusia, hidup sebagai parasit atau saprofit, yaitu di
dalam alat pencernaan, alat pernapasan, atau vagina pada individu yang sehat. Pada
keadaan tertentu, sifat Candida ini dapat berubah menjadi patogen dan dapat
menyebabkan penyakit yang disebut kandidiasis atau kandidosis (Siregar, 2004;
Komariah, 2012).
2.3. Tinjauan Kandidiasis
2.3.1. Pengertian Kandidiasis
Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen,
seperti bakteri, virus, parasit atau jamur. Penyakit ini, dapat menyebar baik secara
13
langsung maupun tidak langsung, dari satu orang ke orang lain (Anonim, 2017).
Salah satu infeksi akibat jamur yang umum terjadi adalah kandidiasis. Kandidiasis
adalah suatu infeksi akut atau subakut yang disebabkan oleh Candida albicans atau
terkadang oleh spesies Candida yang lain, yang dapat menyerang berbagai jaringan
tubuh. Namun penyebab utama dari penyakit ini ialah Candida albicans. Spesies
lain seperti Candida krusei, Candida stellatoidea, Candida tropicalis, Candida
pseudotropicalis, dan Candida parapsilosis, umumnya bersifat apatogen (Siregar,
2004).
2.3.2. Penyebab Kandidiasis
Beberapa faktor yang dapat mempermudah terjadinya kandidiasis
digolongkan dalam 2 kelompok yaitu faktor endogen dan eksogen.
Beberapa yang tergolong faktor endogen, yaitu:
1. Perubahan fisiologi tubuh, yang terjadi pada:
a. Kehamilan, terjadi perubahan pada vagina;
b. Obesitas, kegemukan menyebabkan banyak keringat, mudah terjadi
maserasi kulit, dan memudahkan infestasi Candida;
c. Endokrinopati, gangguan konsentrasi gula dalam darah, yang pada kulit
akan menyuburkan pertumbuhan Candida;
d. Penyakit menahun, seperti tuberkulosis, lupus eritematosus, karsinoma,
dan leukemia;
e. Pengaruh pemberian obat-obatan, seperti antibiotik, kortikosteroid, atau
sitostatik;
f. Pemakaian alat-alat dalam tubuh, seperti gigi palsu, infus, dan kateter.
2. Umur, orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status
imunologisnya tidak sempurna.
3. Gangguan imunologis, pada penyakit genetik seperti atopik dermatitis.
Sedangkan yang termasuk dalam faktor eksogen, yaitu:
1. Iklim panas dan lembab menyebabkan banyak keringat terutama pada
lipatan kulit, menyebabkan kulit maserasi dan ini mempermudah invasi
Candida;
2. Kebiasaan dan pekerjaan yang banyak berhubungan dengan air
mempermudah invasi Candida;
14
3. Kebersihan individu;
4. Terjadinya kontak dengan penderita kandidiasis (Siregar, 2004).
Infeksi Candida dapat berlangsung secara endogen dan eksogen atau kontak
langsung. Infeksi endogen lebih sering terjadi karena Candida bersifat saprofit
didalam saluran pencernaan. Bila ada faktor predisposisi, Candida dapat lebih
mudah berinvasi disekitar mukokutan, anus yang dapat menyebabkan perianal
kandidiasis, atau di sudut mulut yang menyebabkan perioral kandidiasis (Siregar,
2004).
Infeksi eksogen atau kontak langsung dapat terjadi bila sel-sel ragi menempel
pada kulit atau selaput lendir sehigga dapat menimbulkan kelainan-kelainan pada
kulit tersebut, misalnya vaginitis, balanitis, atau kandidiasis interdigitalis (Siregar,
2004).
2.3.3. Klasifikasi dan Gambaran Klinis Kandidiasis
Berbagai jenis Kandidiasis mempunyai gambaran klinis yang berbeda,
tergantung pada organ yang dikenainya.
1. Kandidiasis selaput lendir, yaitu:
a. Kandidiasis oral
Disebut juga oral trush, gambaran klinisnya berupa stomatitis akut.
Pada selaput lendir mulut tampak bercak-bercak putih kekuningan yang
timbul dari dasar selaput lendir yang merah yang dapat meluas sampai
menutupi lidah (Siregar, 2004).
b. Perlece
Keadaan dimana kedua sudut mulut berwarna merah, bibir pecah-
pecah, yang kemudian terjadi fisura pada kedua sudut mulut. (Siregar,
2004).
c. Kandidiasis vaginitis
Pada mukosa vagina terlihat ada bercak putih-kekuningan. Labia
minora dan mayora membengkak dengan ulkus-ulkus kecil berwarna
merah. Penderita akan merasa gatal, panas, dan sakit pada saat buang air
kecil (Siregar, 2004).
d. Kandidiasis balanitis
15
Pada balanitis tampak bercak-bercak pada glan penis. Kelainan ini
dapat meluas sampai skrotum, perineum, dan kulit di lipatan paha yang
disertai rasa gatal, sakit, dan panas (Siregar, 2004).
e. Kandidiasis mukokutan kronis
Biasanya banyak ditemukan pada anak-anak. Kelainan yang timbul
berupa bercak-bercak merah pada daerah-daerah mukokutan dan timbul
rasa panas dan gatal (Siregar, 2004).
2. Kandidiasis kutis
a. Lokalisata: intertriginosa dan perianal
Kandidiasis intertriginosa: lesi-lesi timbul pada tempat predileksi,
yaitu daerah-daerah lipatan kulit, seperti ketiak, bawah payudara, lipatan
paha, intergluteal, antara jari-jari tangan dan jari-jari kaki, dan lipatan
leher (Siregar, 2004).
Kandidiasis perianal: infeksi candida pada kulit sekitar anus, lipat
paha, kemaluan, perineum menjadi merah dan bersisik halus berwarna
putih. Infeksi kandidiasis ini banyak diderita oleh bayi yang dikenal
sebagai diaper rash (Siregar, 2004).
b. Generalisata
Lesi terdapat pada lipat payudara, intergluteal, umbilikus, ketiak,
lipat paha, sering disertai glositis, stomatitis, dan paronikia. Kelainan
dapat berupa eksematoid yang disertai vesikel-vesikel dan pustula-
pustula milier yang generalisata (Siregar, 2004).
c. Paronikia dan onikomikosis
Proses peradangan kronis pada lipatan kuku proksimal dan matriks
kuku. Kondisi ini menyebabkan kuku bengkak dan mengeluarkan nanah
seperti krim susu dari bawah lipatan kuku (Graham-Brown & Tony,
2005).
Onikomikosis adalah infeksi jamur pada kuku dan jaringan di
sekitarnya, yang ditandai oleh penebalan dan atau perubahan warna
kuku, serta pemisahan kuku dari bantalan kuku. Onikomikosis dapat
mengenai lempeng kuku, bantalan kuku, dan matriks kuku (Menaldi, et
al., 2016).
16
d. Kandidiasis kutis granulomatosa
Lesi berupa papul merah yang ditutupi oleh krusta yang tebal
berwarna kuning kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya,
membentuk granuloma menyerupai tanduk (Siregar, 2004).
3. Kandidiasis sistemik, bercirikan rasa lemah, letih, disertai perasaan
mengantuk, ingatan lemah, nyeri otot dan persendian. Pada kondisi ini,
Candida telah menembus mukosa usus dan menyebar ke semua organ
melalui pembuluh darah (Tjay & Kirana, 2002).
2.3.4. Terapi Kandidiasis
Pada umumnya, untuk melawan jamur Candida albicans, digunakan obat-
obat antijamur golongan imidazol seperti klotrimazol, dan mikonazol, flusitosin,
dan golongan polien seperti nistatin (Neal, 2006).
Pengobatan pada kandidiasis terdiri atas lini pertama dan pengobatan lini
kedua. Pengobatan kandidiasis oral lini pertama, yaitu:
1. Nistatin
Nistatin merupakan obat lini pertama pada kandidiasis oral yang
terdapat dalam bentuk topikal. Obat nistatin tersedia dalam inokulasi bentuk
krim dan suspensi oral. Nistatin dapat menghambat pertumbuhan jamur
dengan mengikat sterol pada membran sel jamur (Hakim & Ricky, 2015;
Badan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995).
2. Ampoterisin B
Obat ini dikenal dengan Lozenge (fungilin 10 mg) dan suspensi oral
100 mg/mL dimana diberikan tiga sampai empat kali dalam sehari.
Ampoterisin B bekerja dengan berikatan dengan sterol pada membran sel
jamur (Hakim & Ricky, 2015; Badan Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1995).
3. Klotrimazol
Klotrimazol mempunyai efek antijamur dan antibakteri. Obat ini
dapat mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Klotrimazol dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Obat ini tersedia
dalam bentuk krim dan tablet 10 mg (Hakim & Ricky, 2015; Badan
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995).
17
Sedangkan untuk pengobatan kandidiasis lini kedua, yaitu:
1. Ketokonazol
Ketokonazol memiliki aktivitas antijamur baik sistemik maupun
nonsistemik. Ketokonazol memblok sintesis ergosterol pada membran sel
fungal. Dosis yang dianjurkan adalah 200-400 mg tablet yang diberikan
sakali atau dua kali dalam sehari selama dua minggu (Hakim & Ricky, 2015;
Badan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995).
2. Flukonazol
Dalam tubuh, flukonazol dapat diserap sempurna melalui saluran
cerna tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman lambung. Obat
ini digunakan pada kandidiasis orofaringeal dengan dosis 50-100 mg kapsul
sekali dalam sehari dalam dua sampai tiga minggu. Sedangkan untuk
kandidiasis vaginal, diberikan dosis tunggal 150 mg (Hakim & Ricky, 2015;
Badan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995).
3. Itrakonazol
Itrakonazol adalah salah satu antijamur spektrum luas yang
merupakan antijamur sistemik dan dikontraindikasikan pada kehamilan dan
penyakit hati. Dosis obat adalah 100 mg dalam bentuk kapsul sehari sekali
selama dua minggu. Efek samping utama adalah mual, neuropati dan alergi
(Hakim & Ricky, 2015; Badan Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1995).
2.4. Tinjauan Nistatin
Pada umumnya, pengobatan untuk kandidiasis ini adalah nistatin. Nistatin
berasal dari bakteri Streptomyces noursei. Obat ini berupa bubuk warna kuning
kemerahan yang bersifat higroskopis, berbau khas, dan sukar larut dalam kloroform
dan eter. Larutannya dapat terurai dalam air atau plasma (Badan Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995).
Nistatin ini terutama digunakan untuk infeksi Candida albicans pada kulit,
selaput lendir, dan saluran cerna. Nistatin digunakan secara topikal pada kulit atau
membran mukosa (mulut dan vagina) dalam bentuk krim, salep, supositoria,
suspensi atau bubuk untuk infeksi Candida lokal (Staf Pengajar Departemen
18
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008; Neal, 2006; Tjay &
Kirana, 2002).
Untuk penggunaan pada kulit, obat ini dapat berupa krim atau salep.
Sedangkan untuk penggunaan pada membran mukosa dapat berupa tablet hisap dan
pesarium vagina. Pemberian obat ini bisa pada bayi, anak kecil, atau pada orang-
orang dengan daya tahan yang rendah (diabetes melitus, leukemia, dan yang
mendapat steroid dosis tinggi) (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008; Neal, 2006).
Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi, tetapi tidak aktif
terhadap bakteri, protozoa, dan virus. Sehingga nistatin tidak menimbulkan masalah
superinfeksi. Resistensi dari obat ini dapat timbul karena menurunnya jumlah sterol
pada membran sel jamur atau terjadi perubahan sifat struktur atau sifat ikatannya.
Tetapi pada Candida albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi terhadap
nistatin (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008; Badan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1995).
Mekanisme kerja dari obat ini adalah dengan jalan berikatan dengan sterol
membran sel jamur, terutama ergosterol. Oleh karena itu, terjadi gangguan pada
permeabilitas membran sel jamur dan mekanisme transpornya. Akibatnya, sel
jamur kehilangan banyak kation dan makromolekul (Staf Pengajar Departemen
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2008; Neal, 2006).
Onset dari nistatin yaitu 24-72 jam. Absorpsi apabila topikal hampir tidak ada
yang melalui selaput lendir atau kulit; dan apabila melalui rute oral nistatin kurang
dapat diserap tubuh. Kemudian ekskresi nistatin yaitu melalui feses sebagai obat
yang tidak berubah (American Pharmacist Association, 2009).
Untuk dosis dari nistatin terbagi menjadi dua, yaitu dosis untuk dewasa dan
untuk anak-anak. Dosis untuk dewasa:
- Kandidiasis oral: Suspensi (kocok dan telan): 400.000-600.000 unit 4
kali/hari
- Infeksi mukokutan: Topikal: Gunakan 2-3 kali/hari pada daerah yang sakit
- Infeksi usus: Tablet oral: 500.000-1.000.000 unit setiap 8 jam
19
- Infeksi vagina: Tablet vagina: Masukkan 1 tablet/hari pada waktu tidur
selama 2 minggu (American Pharmacist Association, 2009).
Sedangkan dosis pediatric (untuk anak-anak dan bayi), yaitu:
- Kandidiasis oral: Suspensi (kocok dan telan): Bayi prematur: 100.000 unit
4 kali/hari; Bayi: 200.000 unit 4 kali/hari atau 100.000 unit ke setiap sisi
mulut 4 kali/hari; Anak-anak: 400.000-600.000 unit 4 kali/hari (American
Pharmacist Association, 2009).
Jarang terjadi efek samping pada pemberian oral ataupun topikal pada obat ini.
Tetapi efek samping yang mungkin timbul dari penggunaan nistatin, yang belum
teridentifikasi frekuensi kejadiannya yaitu: dermatitis, sindrom Stevens-Johnson;
kemudian pada frekuensi kejadian 1% sampai 10%: mual, muntah, diare, sakit
perut; sedangkan pada frekuensi kejadian <1% yaitu reaksi hipersensitivitas.
Pemberian dosis tinggi tidak akan menimbulkan superinfeksi karena obat ini tidak
mempengaruhi bakteri, protozoa, atau virus (American Pharmacist Association,
2009; Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya, 2008).
2.5. Kandungan Metabolit Sekunder dari Daging Buah Limonia acidissima
yang Dapat Dimanfaatkan Sebagai Agen Antijamur
Buah Limonia acidissima ini mengandung beberapa senyawa seperti
alkaloid, saponin (Pandey, et al., 2014), terpenoid (Rini, et al., 2017), dan
antrakuinon (Anand & Deborah, 2017). Senyawa-senyawa tersebut memiliki
aktivitas sebagai antijamur.
Dalam menghambat pertumbuhan jamur, terpenoid bekerja dengan
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan spora jamur, juga mengganggu
membran sitoplasma. Membran sel jamur terdiri dari lapisan ganda lipid dimana
terdapat transport enzim dan protein. Sehingga, menyebabkan terganggunya
transportasi ion dan juga menyebabkan kondisi osmotik yang tidak seimbang dalam
membran (Lutfiyanti, et al., 2012; Heejeong & Dong Gun, 2015).
Alkaloid yang didapat dari berbagai tanaman obat memiliki aktivitas sebagai
antijamur. Bahkan alkaloid dari beberapa tanaman juga digunakan sebagai obat
anti-infeksi. Mekanisme kerja alkaloid seperti berberin dan harmane dikaitkan
20
dengan kemampuan mereka untuk berikatan dengan DNA (Al-Bayati & Hasan,
2008).
Antrakuinon yang didapat dari tanaman obat juga memiliki aktivitas sebagai
antijamur. Antrakuinon bekerja dengan dengan beraksi melalui depolarisasi
membran potensial mitokondria dan penghambatan efflux pump (Wijayanti &
Endang, 2017).
Senyawa kimia saponin yang diisolasi dari tanaman obat digunakan sebagai
unsur antijamur. Saponin ini memiliki sifat sebagai surfaktan alami karena
mengandung komponen yang larut dalam air dan dapat larut dalam lemak. Saponin
dapat menyebabkan kerusakan membran dan kebocoran pada materi sel, yang
akhirnya menyebabkan kematian sel (Zhang, et al., 2005).
2.6. Tinjauan Tentang Ekstraksi
2.6.1. Tinjauan Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia
yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak
dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang
terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak
atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan
mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap
pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman (Depkes RI, 2000).
Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut,
karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang
keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar sulit diserap oleh pelarut, karena itu perlu
diserbuk sampai halus. Disamping memperhatikan sifat fisik dan senyawa aktif dari
simplisia harus juga diperhatikan senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam
simplisia seperti protein, karbohidrat, lemak dan gula, karena senyawa ini akan
mempengaruhi tingkat kejenuhan pelarut sehingga akan berpengaruh pula pada
proses pelarutan senyawa aktif (Depkes RI, 2000).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
21
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena panas
(Depkes RI, 2014).
Sedangkan menurut BPOM RI, (2010), ekstrak adalah sediaan kering, kental
atau cair dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh
cahaya matahari langsung. Sebagai cairan penyari digunakan air, eter, etanol, atau
campuran etanol dan air.
Menurut Depkes RI, (2000), terdapat berbagai metode dalam pembuatan
ekstrak (ekstraksi), yaitu sebagai berikut:
a. Cara dingin: maserasi dan perkolasi;
b. Cara panas: refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok.
2.6.2. Tinjauan Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Depkes RI, 2000).
Kata maserasi berasal dari kata Latin maceratus, yang berarti melunak.
Sehubungan dengan tanaman obat, maserasi mengacu pada persiapan larutan
dengan merendam bahan tanaman didalam pelarut. Cara ini sangat sederhana, tetapi
membutuhkan waktu yang cukup lama. Dalam proses ini, seluruh bahan
dimasukkan ke dalam wadah dengan pelarut dan dibiarkan pada suhu kamar sampai
bahan terlarut larut. Periode maserasi 24 jam memungkinkan pelarut berdifusi
melalui obat, melarutkan unsur penyusun dan melepaskan bahan terlarut (Handa, et
al., 2008).
Salah satu metode maserasi yaitu maserasi kinetik. Penyarian dengan
maserasi kinetik diperlukan pengadukan yang berputar dan kontinu (terus
menerus). Hal ini untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia,
sehingga tetap terjaga derajat perbedaan konsentrasinya yang sekecil-kecilnya
antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Selanjutnya, hasil dari
penyarian didiamkan selama waktu tertentu untuk mengendapkan zat yang tidak
22
diperlukan yang ikut terlarut dalam cairan penyari (Depkes RI, 2000; Indrawati &
Razimin, 2013).
Metode lain dari maserasi yaitu maserasi ultrasonik. Prosedur ini melibatkan
penggunaan ultrasound dengan frekuensi berkisar antara 20 kHz sampai 2000 kHz,
hal ini untuk meningkatkan permeabilitas dinding sel dan menghasilkan kavitasi.
Aplikasi metode ini dalam skala besar terbatas karena biaya yang lebih tinggi. Salah
satu kelemahan dari prosedur ini adalah efek energi ultrasound yang lebih dari 20
kHz terhadap unsur penyusun tanaman obat yang aktif unsur aktif tanaman obat
melalui pembentukan radikal bebas akan mengakibatkan perubahan yang tidak
diinginkan pada molekul obat (Handa, et al., 2008).
2.7. Tinjauan Tentang Fraksinasi
Ekstrak awal merupakan campuran dari berbagai senyawa. Ekstrak awal sulit
dipisahkan melalui teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal.
Oleh karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki
polaritas dan ukuran molekul yang sama. Fraksinasi dapat dilakukan dengan
metode ektraksi cair-cair atau dengan kromatografi cair vakum (KCV),
kromatografi kolom (KK), size-exclution chromatography (SEC), solid-phase
extraction (SPE), dan sebagainya (Sarker, et al., 2006).
Fraksinasi adalah teknik pemisahan dan pengelompokan kandungan kimia
ekstrak berdasarkan pada kepolarannya. Pada proses fraksinasi digunakan dua
pelarut atau lebih yang tidak tercampur dan memiliki tingkat kepolaran yang
berbeda. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak akan terpisah menurut
kepolarannya (Hawkins & Rahn, 1997).
Pemisahan dengan metode ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi
yang lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan
berada diatas. Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti
eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut.
Fraksinasi bertingkat ini umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan
dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar (Nur & Hendra, 1989).
2.8. Tinjauan Tentang Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan
23
demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih
yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Depkes RI,
2000).
Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah
sebagai berikut:
1. Selektivitas;
2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut;
3. Ekonomis;
4. Ramah lingkungan;
5. Keamanan (Depkes RI, 2000).
Pelarut yang digunakan untuk pembuatan fraksi pada penelitian ini, yaitu
etanol. Etanol dapat disebut sebagai etil alkohol, aetanolum, ethyl hydroxide, grain
alkohol, ataupun methyl carbinol. Etanol mengandung 92,3% b/b sampai 93,8%
b/b, dan 94,9% v/v sampai 96,0% v/v C2H5OH, pada suhu 15,56°. Bobot jenis dari
etanol ini yaitu antara 0,812 sampai 0,816. Titik didih dari etanol yaitu pada suhu
78,15°C (Depkes RI, 1995; Rowe, et al., 2009).
Etanol merupakan cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna, berbau khas,
menyebabkan rasa terbakar pada lidah, dan mudah terbakar. Etanol dapat
bercampur dengan air dan praktis bercampur dengan semua pelarut organik, seperti
kloroform, eter, dan gliserin. Pelarut ini harus tersimpan dalam wadah tertutup rapat
dan jauh dari api (Depkes RI, 1995; Rowe, et al., 2009).
Etanol dengan berbagai konsentrasi banyak digunakan dalam formulasi
sediaan farmasi dan kosmetik. Selain digunakan sebagai pelarut, etanol juga
digunakan sebagai desinfektan, dan dalam sebuah larutan digunakan sebagai
pengawet antimikroba. Untuk penggunaan topikal, etanol digunakan sebagai
peningkat penetrasi pada distribusi obat transdermal (Rowe, et al., 2009).
Etanol bersifat bakterisidal dalam campuran larutan pada konsentrasi antara
60% dan 95% v/v, dengan konsentrasi optimum 70% v/v. Aktivitas antimikroba
dari etanol meningkat dengan adanya garam edetic acid atau edetate. Etanol tidak
24
efektif melawan spora bakteri dan menjadi tidak aktif apabila terdapat surfaktan
nonionik (Rowe, et al., 2009).
2.9. Tinjauan Metode Pengujian Antimikroba
Uji kepekaan antimikroba dilakukan dengan mengukur kemampuan zat
antimikroba untuk menghambat pertumbuhan mikroba secara in vitro. Hal ini dapat
diperkirakan melalui beberapa metode, sebagai berikut:
2.9.1. Metode Difusi Cakram
Metode ini dilakukan dengan menempatkan disk kertas yang telah diberi zat
penghambat pertumbuhan mikroba (biasanya agen antimikroba) pada mikroba yang
berada di permukaan media agar, diinkubasi semalam, dan diukur ada tidaknya
zona penghambatan di sekitar disk. Suatu gradien konsentrasi zat antimikroba yang
terbentuk (zona hambat) menunjukkan pertumbuhan organisme uji dihambat pada
suatu jarak dari cakram (Mayers, et al., 2017; Vandepitte, et al., 2010).
Metode modifikasi Kirby-Bauer merupakan metode difusi cakram, yang
mulai diperkenalkan pada tahun 1966, yang dapat digunakan dalam laboratorium
klinis. Hasil penelitian dilaporkan secara kualitatif dinyatakan sebagai rentan,
intermediate, atau resisten (Mayers, et al., 2017; Vandepitte, et al., 2010).
Menurut Vandepitte, et al., (2010), faktor-faktor teknis yang mempengaruhi
ukuran zona pada metode difusi-cakram adalah sebagai berikut:
- Kepekatan inokulum
Jika inokulum terlalu encer, zona hambat akan menjadi lebih lebar.
Sebaliknya, jika inokulum terlalu pekat, ukuran zona hambat akan
menyempit. Hasil optimal didapat dengan ukuran inokulum yang hampir
menyatu (konfluen).
- Waktu pemasangan cakram
Jika media dibiarkan pada suhu ruang lebih lama dari waktu yang
ditetapkan, perkembangan inokulum dapat terjadi sebelum cakram
dipasang. Ini menyebabkan zona diameter mengecil.
- Suhu inkubasi
Untuk uji sensitivitas antimikroba biasanya diinkubasi pada suhu
35°C untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal. Jika suhu diturunkan,
25
waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan akan memanjang dan dihasilkan
zona yang lebih lebar.
- Waktu inkubasi;
- Ukuran lempeng, ketebalan media agar, dan pengaturan jarak cakram
antimikroba
Untuk uji sensitivitas antimikroba biasanya dilakukan dengan
menggunakan cawan petri ukuran 9-10 cm dan tidak lebih dari 6 atau 7
cakram antimikroba pada tiap lempeng agar. Jika jumlah antimikroba yang
harus diuji lebih banyak, biasanya menggunakan dua cawan petri atau satu
cawan petri berdiameter 14 cm. Zona hambatan yang sangat besar mungkin
terbentuk pada media yang sangat tipis; dan sebaliknya berlaku untuk media
yang tebal.
- Potensi cakram antimikroba
Diameter zona hambat berkaitan dengan jumlah obat dalam cakram.
Jika potensi obat berkurang akibat rusak selama penyimpanan, zona
hambatan akan menunjukkan pengurangan dari ukuran yang sesuai.
- Komposisi media
Media mempengaruhi ukuran zona melalui efeknya terhadap
kecepatan pertumbuhan organisme, kecepatan difusi obat antimikroba, dan
aktivitas obat. Penggunaan media harus sesuai dengan mikroba yang akan
diuji.
2.9.2. Konsentrasi Hambatan Minimum (KHM)
Konsentrasi hambat minimal (KHM) atau minimal inhibitory concentration
(MIC) dari agen antimikroba adalah konsentrasi agen antimikroba paling rendah
yang menghambat isolat mikroba tertentu untuk menghasilkan pertumbuhan yang
terlihat pada sistem uji. Tes KHM dapat dilakukan dengan menggunakan media cair
atau agar, namun mikrodilusi dengan media cair adalah metode yang paling banyak
digunakan di laboratorium (Coyle, 2005).
Tujuan pengujian ini adalah untuk memberikan hasil kuantitatif (dalam
μg/mL) disertai interpretasi kategoris (rentan, sedang, atau tahan) yang dapat
menunjukkan terapi antimikroba lebih tepat, terutama untuk infeksi di tempat tubuh
26
dimana agen antimikroba mencapai konsentrasi rendah pada serum (misalnya
cairan serebrospinal dan tulang) (Mayers, et al., 2017).
a. Mikrodilusi dengan media cair
Metode dilusi tabung ini menggunakan tabung reaksi yang diisi media cair
dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing tabung
diisi dengan obat atau senyawa yang diduga antimikroba yang telah diencerkan
pada masing-masing konsentrasi. Selanjutnya, seri tabung diinkubasikan pada
suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan pada tabung
(Dzen, et al, 2003).
b. Metode dilusi dengan media agar
Dalam metode ini, zat antimikroba dimasukkan ke media agar dengan
masing-masing mengandung konsentrasi yang berbeda, biasanya digunakan
dengan pengenceran dua kali (yaitu, 1, 2, 4, 8, 16, 32 μg/mL, dll). Inkubasi
dilakukan pada suhu 35°C selama 16-18 jam, sementara organisme seperti
Streptococcus pneumoniae, diinkubasi 24 jam, dan dalam atmosfer yang
diperkaya CO2 (Coyle, 2005; Mayers, et al., 2017).
Menurut Coyle, (2005), faktor-faktor teknis yang mempengaruhi ukuran
zona pada tes KHM, sebagai berikut:
- Konsentrasi inokulum
- Pengukuran titik akhir
- Suasana inkubasi
- Suhu inkubasi
- Waktu inkubasi
- Komposisi media
- pH media
2.9.3. Metode Bioautografi
Prosedur dalam metode bioautografi serupa dengan yang digunakan dalam
metode difusi agar. Perbedaannya adalah bahwa senyawa yang diuji menyebar ke
media agar diokulasi dari lapisan kromatografi, yang merupakan adsorben atau
kertas. Dalam bioautografi kontak, plat KLT atau kromatogram kertas ditempatkan
pada permukaan agar diinokulasi selama beberapa menit atau jam untuk
27
memungkinkan terjadinya difusi. Selanjutnya, lempeng dilepas dan lapisan agar
diinkubasi. Zona pertumbuhan penghambatan muncul di tempat dimana senyawa
antimikroba bersentuhan dengan lapisan agar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan metode ini yaitu, mikroorganisme yang diuji, komposisi medium, pH,
dan kelarutan sampel (Choma & Edyta, 2010).
Di antara semua metode bioautografi, yang paling banyak digunakan adalah
bioautografi langsung. Prinsip dari metode ini yaitu plat KLT yang dikembangkan
dicelupkan ke dalam suspensi mikroorganisme yang tumbuh dalam media yang
tepat dan kemudian diinkubasi dalam atmosfir lembab. Permukaan silika dari pelat
KLT yang dilapisi media menjadi sumber nutrisi dan memungkinkan pertumbuhan
mikroorganisme secara langsung di atasnya. Namun, di tempat agen antimikroba
terlihat, zona penghambatan pertumbuhan mikroorganisme terbentuk. Visualisasi
zona ini biasanya dilakukan dengan aktivitas reagen dehidrogenase; yang paling
umum adalah garam tetrazolium. Akibatnya, bintik-bintik putih krem muncul di
atas latar belakang ungu di permukaan pelat KLT, menunjukkan adanya agen
antibakteri (Choma & Edyta, 2010).
2.10. Tinjauan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut dalam
sistem yang terdiri dari dua fase, yaitu fase gerak dan fase diam. Salah satunya,
bergerak secara berkesinambungan dengan arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu
menunjukkan perbedaan mobilitas yang disebabkan adanya perbedaan dalam
adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion.
Dengan demikian masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan
metode analitik (Depkes RI, 2008).
KLT (Kromatografi Lapis Tipis) umumnya lebih banyak digunakan untuk
tujuan identifikasi, karena mudah dan sederhana serta memberikan pilihan fase
diam yang lebih luas dan berguna untuk pemisahan masing-masing senyawa secara
kuantitatif dari suatu campuran (Depkes RI, 2008).
Fase diam dapat bertindak sebagai zat penyerap, yang dapat bertindak
melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak.
Pemilihan fase diam pada KLT didasarkan pada sifat fisika kimia komponen sampel
yang akan dipisahkan meliputi polaritas, kelarutan, berat molekul, bentuk dan
28
ukuran analit. Sorben fase diam pada KLT dapat berupa senyawa anorganik
maupun organik. Sorben anorganik misalnya alumunium oksida, silikon oksida,
magnesium karbonat, kalsium karbonat, dan lain-lain. Sedangkan sorben organik
misalnya pati dan selulosa (Wulandari, 2011; Depkes RI, 2008).
Fase gerak merupakan zat yang membawa zat terlarut melalui media, hingga
terpisah dari zat terlarut lainnya, yang tereluasi lebih awal atau lebih akhir. Fase
gerak terdiri dari pelarut tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut
murni. Fase gerak dapat berupa cair atau gas (Wulandari, 2011; Depkes RI, 2008).
Menurut Depkes RI, (2008), tahapan dalam pengujian dengan metode
kromatografi lapis tipis adalah sebagai berikut:
- Penjenuhan bejana: Tempatkan kertas saring dalam bejana kromatografi.
Tinggi kertas saring 18 cm dan lebamya sarna dengan lebar bejana.
Masukkan sejumlah larutan pengembang ke dalam bejana kromatografi,
hingga tingginya 0,5 sampai 1 cm dari dasar bejana. Tutup dan biarkan
hingga kertas saring basah seluruhnya. Kertas saring harus selalu tercelup
ke dalam larutan pengembang pada dasar bejana.
- Larutan uji KLT: Timbang saksama lebih kurang I g serbuk simplisia,
rendam sambil dikocok di atas penangas air dengan 10 mL pelarut yang
sesuai selama 10 menit. Masukkan filtrat ke dalam labu tentukur 10 mL
tambahkan pelarut sampai tanda.
- Prosedur KLT
Totolkan larutan uji dan larutan pembanding, dengan jarak antara
1,5 sampai 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan biarkan mengering. Gunakan
alat bantu penotolan untuk menentukan tempat penotolan dan jarak rambat,
beri tanda pada jarak rambat.
Tempatkan lempeng pada rak penyangga, hingga tempat penotolan terletak
di sebelah bawah, dan masukkan rak ke dalam bejana kromatografi. Larutan
pengembang dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penyerap, totolan
jangan sampai terendam. Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan sistem
hingga fase gerak merambat sampai batas jarak rambat. Keluarkan lempeng dan
keringkan di udara, dan amati bercak dengan sinar tampak, ultraviolet gelombang
pendek (254 nm) kemudian dengan ultraviolet gelombang panjang (365 nm). Ukur
29
dan catat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta catat panjang gelombang untuk
tiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf. Jika diperlukan, semprot bercak
dengan pereaksi penampak bercak, amati dan bandingkan kromatogram bahan uji
dengan kromatogram pembanding (Depkes RI, 2008).
Dalam KLT (Kromatografi Lapis Tipis), perbandingan jarak rambat suatu
senyawa tertentu terhadap jarak rambat fase gerak, diukur dari titik penotolan
sampai titik yang memberikan intensitas maksimum pada bercak, dinyatakan
sebagai harga Rf senyawa tersebut. Harga Rf berubah sesuai kondisi percobaan
karena itu identifikasi sebaiknya dilakukan menggunakan pembanding dan bahan
uji pada lempeng (Depkes RI, 2008).
Penentuan harga Rf analit, yaitu dengan membandingkan jarak migrasi noda
analit dengan jarak migrasi fase gerak/eluen (Gambar 2.4) yang dihitung dengan
rumus: Rf =Jarak migrasi analit
Jarak migrasi eluen=
Zs
Zf (Wulandari, 2011).
Gambar 2.4. Illustrasi migrasi analit dan eluen pada lempeng KLT (Wulandari,
2011).