mata lain : prof zubairi djoerban

72
MataLain Prof. Zubairi Djoerban

Upload: zubairi-djoerban

Post on 28-Jul-2016

225 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

First Book for collection of photo prof Zubairi Djoerban that bibagi several themes ranging from travel to with family and friends . Is a collection of pictures since started shooting with DSLR cameras first publish September 2014

TRANSCRIPT

Page 1: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

MataLain Prof. Zubairi Djoerban

Page 2: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 3: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Sekapur SirihFotografi adalah sebentuk lain komunikasi. Setidaknya ada dua orang terlibat dalam setiap foto: sang fotografer dan si penonton. Fotografer mengabadikan sebuah obyek – atau sebagian orang lebih suka menyebutnya membekukan waktu – dengan persepsinya sendiri mengenai keindahan serta hal-hal yang dianggapnya penting dan menarik. Persepsi yang dibentuknya hampir seumur hidup dan dipengaruhi berbagai pengalaman juga sepanjang masa itu. Di sisi lain, penonton juga melihat hasil karya fotografi dengan persepsi yang terbentuk sejak ia lahir. Sebuah foto, karenanya, bisa menjadi menjadi medium komunikasi antara keduanya, nirbahasa dan melampaui sekat-sekat budaya, agama, politik dan bahkan dimensi waktu itu sendiri.

Buku ini hadir dengan kesadaran seperti itu. Melalui foto-foto di sini, saya ingin berdialog kepada Anda semua, baik pecinta fotografi serius atau penikmat biasa, sahabat dan sejawat, keluarga dan tetangga. Melalui foto-foto ini, saya menawarkan kepada Anda cara pandang lain terhadap berbagai obyek yang mungkin selama ini dianggap biasa-biasa saja, atau bahkan rutin sehingga nyaris “tidak kelihatan”. Bunga, capung, laba-laba, gedung tinggi, pendorong gerobak, sepeda … adalah hal yang ada di sekitar kita setiap hari. Namun izinkan saya menyajikannya kepada Anda, melalui cara saya memandang itu semua. Melalui mata saya. Siapa tahu di antara Anda ada yang mendapatkan sesuatu yang baru dari obyek-obyek biasa dan sederhana ini.

Sebagai pendatang baru dalam dunia fotografi, dengan rendah hati saya mengakui ada tak terbilang karya yang lebih baik dari yang saya sajikan di sini. Saat ini fotografi baru sekadar hobi, namun karena efek terapetisnya yang besar, saya ingin berbagi minat kepada Anda semua. Dan saya berharap akan mendapat banyak masukan dari Anda demi perbaikan ke depan.

Terima kasih dan salam hangat,

ZD

Page 4: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 5: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Alam yang terbentang, dan yang tersembunyi di dalam diri, menyimpan jejak tak terhingga dari kehadiran dan kasih Tuhan kepada manusia. Para ilmuwan, filsuf, dan agamawan telah membuktikan hal ini dengan berbagai cara dan pendekatan berbeda. Semakin banyak rahasia Alam yang terungkap, semakin membentang cakrawala pengetahuan, hingga (seharusnya) semakin manusia menyadari, bahwa dirinya adalah noktah dalam bentangan raya alam semesta.

Tak ada ciptaan yang sia-sia. Bahkan makhluk yang kehadirannya hanya sekejap saja, kupu-kupu misalnya, mengajarkan kepada manusia mengenai pentingnya kesabaran dalam menjalani pertumbuhan – fisik dan spiritual – yang digariskan menyakitkan.

Dikisahkan, seorang gadis kecil menemukan kepompong di pohon dekat rumahnya yang tampaknya akan segera menjelma menjadi kupu-kupu. Cukup lama ia menunggu, hingga akhirnya sebuah lubang kecil mulai terbuka. Gadis kecil itu melihat betapa kupu-kupu mungil berjuang untuk keluar dari kepompong tersebut.

Didorong oleh kepolosannya, gadis kecil itu mengambil gunting untuk memperbesar lubang, agar si kupu malang bisa mudah keluar. Benar, makhluk cantik itu bisa keluar dengan dengan mudah. Namun ternyata sayapnya mengkerut sementara tubuhnya besar. Lama gadis kecil itu menunggu kupu-kupu tumbuh sempurna dan terbang. Tapi harapan itu tak pernah terpenuhi. Kupu-kupu malang tetap tak bisa terbang. Ia menghabiskan seluruh hidupnya dengan merangkak di atas tanah.

The butterfly counts not months but moments, and has time enough, kata penyair dan filsuf besar dari Kolkata, India, Rabindranath Tagore. Alam memiliki ritmenya sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan penciptaan. Segala bentuk intervensi yang disandarkan pada egoisme dan kepentingan sesaat manusia hanya akan merusak keseimbangannya. Maka tugas manusia tak lain adalah memahami bagaimana alam bekerja. Karena dengan cara itulah manusia akan memahami tujuan-tujuan penciptaan, termasuk penciptaan dirinya.

Page 6: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 7: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 8: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 9: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 10: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 11: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.

QS. Al-Ghasyiyah [88]: 17-21.

Page 12: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 13: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 14: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 15: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Bunga mengajarkan banyak hal kepada manusia. Kecantikannya yang sesaat menyampaikan pesan mendalam mengenai kefanaan manusia. Kefanaan yang indah. Bunga dan kecantikannya yang fana juga hadir dalam setiap momen terpenting. Sejak kelahiran, hingga kematian. Dalam suka cita, maupun duka. Bunga hadir tanpa banyak kata. Hanya warna dan wanginya. Dan cukuplah ia mewakili segenap perasaan, pikiran, dan imajinasi manusia dalam saat-saat penting tersebut. Kata-kata sungguh lumpuh di hadapkan pada sebuket karangan bunga, apalagi hamparan bunga di musim semi.

Ralph Waldo Emerson, sang penyair, pernah mengatakan bahwa bunga tercipta ketika bumi tertawa, untuk menjelaskan kegembiraan yang dibawa oleh bunga-bunga, bahkan yang tampaknya paling sederhana sekalipun.

Bunga adalah lukisan Yang Maha Indah. Semakin tajam lensa menangkap detail sekuntum bunga, akan semakin tampak harmoni yang luarbiasa dari warna-warna yang membentuk kecantikannya. Semakin fokus lensa bekerja, semakin kita tahu, tak ada bunga yang sederhana. Setiap bunga memiliki kecantikan yang tiada tara, gugusan warna yang memancarkan harmoni penciptaan. Yang kita perlukan adalah berhenti sejenak dan memperhatikan dengan segenap ingatan kita kepada-Nya.

Page 16: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 17: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 18: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 19: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 20: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

“I am the lover's gift; I am the wedding wreath;I am the memory of a moment of happiness;I am the last gift of the living to the dead;I am a part of joy and a part of sorrow.”

(Kahlil Gibran)

Page 21: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 22: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 23: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 24: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 25: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 26: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 27: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Kota yang hebat adalah kota yang melahirkan warga yang hebat, laki-laki atau perempuan. Bahkan seandainya kota itu hanya terdiri dari beberapa gubuk reot saja, ia tetap layak mendapat atribut kota yang baik. Demikian antara lain pernah dikatakan oleh Walt Whitman, salah satu penyair paling inovatif dan berpengaruh AmerikaSerikat, kelahiran 31 Mei 1819.

Kota-kota pertama dalam sejarah adalah pemukiman-pemukiman yang penduduknya mulai memiliki keragaman profesi dan menciptakan jejaring sosial-ekonomi. Tidak melulu dikitari oleh pertanian dan rumah tangga petani, tetapi juga oleh mereka yang mencari nafkah dari berdagang, membuka usaha gudang, pembuat aneka jenis barang, hingga menyediakan aneka jasa perantara. Interaksi antar penduduk juga berjalan semakin kompleks, hingga memerlukan lembaga administratif untuk mengatur relasi-relasi yang muncul. Dari kebutuhan itu lahirlah pemerintahan, sistem hukum, dan seterusnya.

Sebuah kota yang baik, yang mampu melahirkan warga yang hebat dengan karya yang bermanfaat dan abadi, umumnya memiliki ciri khusus yang melambangkan jiwanya. Demikian dikatakan antara lain oleh Benjamin Disraeli, politikus dan pemikir berkebangsaan Inggris abad 19. Menara-menara rumah ibadah yang melambangkan kota suci tiga agama Yerusalem, karya-karya seni yang melambangkan capaian estetika Athena, atau keperkasaan Coliseum yang melambangkan kekuatan penaklukan Roma, adalah beberapa contohnya.

Perjalanan menjelajahi kota-kota adalah kesempatan yang senantiasa saya syukuri. Bukan hanya kebudayaan yang berbeda yang kita jumpai, tetapi juga refleksi baru atas kota asal kita. Perjalanan juga “membarukan” diri kita, karena mengajarkan kepada kita tidak hanya banyak hal baru, tetapi juga meluruskan pemahaman yang keliru mengenai tempat yang kita kunjungi, orang-orangnya, tradisi dan kebiasaan mereka.

Page 28: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 29: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 30: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 31: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 32: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 33: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 34: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 35: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 36: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 37: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Sa’di dari Shiraz menceritakan kisah dirinya:

Ketika masih kecil, aku anak yang saleh,tekun dalam berdoa dan melakukan ibadah.Pada suatu malam aku berjaga bersama ayahkudengan memegang kitab suci Al-Qurandi atas pangkuanku.

Tiap orang yang ada di kamarbersama kami mulai mengantuk dan akhirnya semua tertidur pulas.Maka aku berkata kepada ayahku: “Darisemua orang yang tidur ini tidak adaseorang pun yang membuka matanya atau mengangkat kepalanya untuk berdoa.Seperti mati mereka semua itu.”

Ayahku menjawab:“Anakku tercinta, aku lebihsenang engkau juga tertidur dan tidak berdoa daripadamengumpat.”

Membenarkan diri sendiri adalah bahaya yang paling sering timbul pada orang yang berusaha maju dalam hidup doa dan menjadi semakin saleh.

(Dikutip dari A. de Mello SJ, Burung Berkicau, Cipta Loka Caraka: 1997)

Page 38: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 39: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 40: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 41: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 42: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 43: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Suatu saat, di Madinah, Rasulullah SAW yang baru kembali dari sebuah pertempuran disambut banyak pengikutnya. Salah satu di antara yang berdesakan menyambut beliau adalah seorang lelaki yang datang untuk mencium tangan Sang Nabi. Demi merasakan tangan yang kasar, Nabi SAW bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?” Orang itu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya setiap hari adalah membelah batu, lalu batu-batu itu saya jual ke pasar, dan hasilnya saya gunakan untuk member nafkah keluarga saya. Karena itulah tangan saya kasar.”

Nabi Muhammad SAW, manusia paling agung dan paling mulia sejagat raya, segera menggenggam tangan itu dan menciumnya. Sesaat sebelum mencium tangan itu, beliau berkata, “Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada” … inilah tangan yang tak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya.

Page 44: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 45: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 46: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 47: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 48: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 49: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 50: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 51: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

“Kreativitas adalah motivator yang hebat, karena kreativitaslah yang membuat manusia menyukai pekerjaannya. Kreativitas juga menumbuhkan harapan akan lahirnya gagasan-gagasan cemerlang. Kreativitas pula yang menjamin setiap orang akan meraih prestasi masing-masing. Dan akhirnya, kreativitaslah yang membuat hidup tak hanya menarik, tapi juga menyenangkan.” (Edward de Bono)

Page 52: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 53: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 54: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 55: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 56: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 57: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Sebuah cerita kebajikan dari Jepang:

Ada sekelompok orang-orang tua yang berkumpul untuk bertukar berita dan minum teh. Salah satu minta mereka adalah mencari berbagai jenis teh yang mahal dan membuat ramuan baru yang memuaskan cita rasa mereka.

Ketika tiba giliran anggota tertua untuk menjamu anggota yang lain, ia menghidangkan teh dengan upacara yang paling besar, dengan menghitung lembar-lembar teh dari wadah terbuat dari emas. Semua orang sangat memuji teh itu dan ingin tahu ramuan macam apa yang ia buat sampai akhirnya member rasa istimewa.

Orang tua itu tertawa dan berkata, “Teh yang menurut tuan-tuan sangat istimewa rasanya adalah teh yang diminum oleh para petani di perkebunan saya. Hal-hal yang paling baik dalam kehidupan bukanlah hal yang mahal dan sulit ditemukan.”

Keluarga, sahabat, kerabat adalah yang pemberian Tuhan yang terdekat, awal mula diri kita dan tempat kita pulang. Mereka adalah sumber kekuatan, suka cita, dan kesyukuran.

Maka tak heran jika Khalifah Ali bin Abi Thalib RA pun pernah berkata, “Yang paling celaka dari semua manusia ialah orang yang tak dapat beroleh beberapa saudara dalam hidupnya, tetapi yang lebih celaka lagi ialah orang yang mendapat saudara tetapi menghilangkannya.”

Maka bagaimana kita tidak bersyukur karena kehadiran mereka?

Page 58: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 59: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 60: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 61: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 62: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 63: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 64: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 65: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 66: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 67: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 68: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 69: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban
Page 70: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

Penutup“It is running in the family. Almarhum bapak saya, Djoerban Wachid SH, menyenangi fotografi. Beliau mempunyai koleksi berbagai kamera (kuno, tentunya untuk ukuran sekarang), merek Minolta, Nikon dan Olympus. Beliau bahkan mempunyai kamar gelap sendiri untuk mencuci dan mencetak foto hitam putih. Masih teringat jelas saya diajak almarhum – walau hanya satu kali – ke perhimpunan peminat fotografi Candranaya, di jalan Gajahmada, sewaktu saya baru saja diterima menjadi mahasiswa FKUI, sekitar tahun 1965. Foto cetakan almarhum bagus sekali, tersimpan rapi sampai sekarang di album saya dan adik-adik.

“Saya sendiri baru bisa dikatakan tertarik fotografi semenjak 5 tahun yang lalu, tahun 2009, sewaktu cucu pertama lahir. Saya ingin sekali mengambil fotonya, namun anak saya memberi satu syarat: Boleh memotret asal tidak memakai lampu blitz. Itu mendorong saya mencari kamera saku yang mampu memotret di cahaya redup, di dalam rumah, istilah kerennya “low light cameras”. Untung sekali saya mendapatkan kamera Canon S95, kamera saku, yang kecil tentu saja, yang mampu memotret di dalam rumah dengan cahaya seadanya. Sebuah kamera yang luar biasa pada zamannya, bahkan sampai sekarang. Mulailah era fotografi saya, dengan belajar melalui “trials and errors”.

“Saya selalu menyarankan kepada teman teman sealumni FKUI lulusan tahun 1971 (ALTUS) yang mulai belajar motret (saya sendiri juga masih pada tahap belajar) untuk JEPRET 33 KALI SEHARI, agar mendapatkan pengalaman, kebiasaan memotret. Tips tersebut paling tidak juga menghasilkan 1-2 foto yang bagus di antara 100 jepretan. Lagi pula kita sekarang ada di era digital, bisa memotret ratusan kali dengan mudah dan murah. Amat berbeda dengan di zaman bapak saya yang paling banyak jepret 36 kali, kadang maksimum 24 kali, untuk kemudian harus mengisi dan mengganti dengan film seluloid yang baru, buatan Kodak atau Fuji.

" Buku ini adalah sebuah “rapor” yang penilaiannya terserah kepada pembaca sekalian. Ini bisa disebut sebagai catatan perjalanan hidup, pencapaian, atau apa pun. Saya hanya berharap buku ini memperkaya, meski sedikit, batin saya dan Anda semua. "

Editorial Copywriting: Nurul Agustina Desain dan Layout: Mohamad Reza

Page 71: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban

ProfileLahir di Yogyakarta, 11 Februari 1947, dari pasangan H. Djoerban Wachid dan Hj. Buchaeroh, Zubairi kecil pernah bercita-cita menjadi pilot. Namun takdir menentukan lain. Kini, alumni SMA 3 Yogyakarta ini lebih dikenal sebagai dokter ahli penyakit-penyakit “mengerikan” yang kerap menjadi tumpuan terakhir pasien-pasien kanker, lupus dan HIV/AIDS. Kiprahnya di dunia medis dimulai ketika ia diterima di Fakultas Kedokteran UI tahun 1965 dan lulus tahun 1971.

Selain jumlah pasien yang bisa dibilang “ajib”, Zubairi juga masih tercatat sebagai staf akademis di almamaternya dan tercatat pernah menjabat beberapa posisi penting dalam berbagai organisasi profesi. Bersama sahabat (Prof Samsuridjal Djauzi) dan istrinya, Sri Wahyuningsih, pada 1989 ia mendirikan dan aktif hingga hari ini di Yayasan Pelita Ilmu, sebuah yayasan nirlaba yang membantu, melayani, mendampingi, dan mengadvokasi kepentingan orang dengan HIV dan AIDS. Sulit dipungkiri bahwa, bersama Prof. Samsu, Prof Zubairi adalah pionir dalam penanganan HIV dan AIDS di Indonesia. Selain itu, juga bersama Prof Samsuridjal, ia turut mendirikan Yayasan Lupus Indonesia.

Sebagai profesional, menulis adalah cara yang ia pilih untuk berbagi dengan masyarakat luas. Tak hanya buku, tapi ia juga menulis untuk kolom kesehatan harian Republika selama bertahun-tahun, hingga saat ini. Ia juga terus mengikuti perkembangan dunia medis mutakhir melalui internet, dan oleh sahabat-sahabatnya dikenal piawai mencari berbagai literature paling update secara online.

Dan kini, ia menghadirkan satu karya lain, fotografi. Berangkat dari “ketidaksengajaan”, Zubairi menemukan komunitas fotografi yang memungkinkannya mengasah teknik fotografinya. Perjalanannya ke berbagai negara dan kota di Indonesia memperkaya perbendaharaan obyek dan kepekaan terhadap sisi-sisi yang menarik untuk difokuskan dari sebuah obyek. Alam, kota, manusia dan segala aktivitasnya adalah di antara obyek yang kerap menarik perhatiannya. Tentunya di samping wajah istri, ketiga anak, cucu-cucu dan sahabat-sahabat yang mengisi hidupnya.

Tidak lelah dengan semua kegiatan itu? “Daya tahan manusia itu sangat luar biasa. Artinya dengan beban yang besar lama-lama tubuh kita dapat beradaptasi sekaligus kita dapat mengatur waktu. Apalagi kalau memiliki kemampuan menata waktu dengan baik, pekerjaan kita bisa lebih baik lagi.”

Buku dan pameran foto ini adalah pembuktian berikutnya dari energi luar biasa Zubairi, mengenai sisi manusiawi yang mungkin tak begitu kentara ketika ia mengenakan toga guru besar di UI, atau jas putihnya di ruang praktek RS Kramat 128 Jakarta.

Agustus 2014

Page 72: Mata Lain : Prof Zubairi Djoerban