mama dangdut

6
Mama dangdut Ironis ! kata yang tepat untuk menggambarkan diriku. Namaku Sinta dalia, pemberian mama. Kamu sudah dapat mengira. Ya, nama itu terinsprirasi dari idolanya mama sepanjang masa, Iis Dahlia. Kata papa, aku memang diharapkan bakal meneruskan cita-cita mama yang tak sempat terwujud, jadi penyanyi dangdut. Dulu mama punya orkes melayu yang lumayan terkenal di kampungnya. Tapi apa boleh buat, garis hidup berkata lain. Mama malah bekerja di salah satu perusahan ternama di Jakarta dan meninggalkan orkesnya. Makanya mama ingin anak-anaknya kelak dapat mewujudkan mimpinya yang terpeendam. Tapi aku memang berbakat jadi anak durhaka. Bukannya mengikuti jejak mama, aku malah menentangnya dengan menyukai musik jazz. Entah kenapa aku tidak bisa mencerna musik dangdut apalagi menyukainya. Sia-sia usia mama. Sejak aku masih dalam kandungan, mama selalu memperdengarkan lagu-lagu dangdut dengan menempelkan earphone walkmanke perutnya. Tapi tetep ,, irama itu tidak familiar di kupingku. Mama memperdengarkanku musik kesayangannya itu hingga aku lahir. Menurut papa, setiap malam sebelum

Upload: muhammad-ichsan-my

Post on 19-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

oh yes

TRANSCRIPT

Mama dangdutIronis ! kata yang tepat untuk menggambarkan diriku. Namaku Sinta dalia, pemberian mama. Kamu sudah dapat mengira. Ya, nama itu terinsprirasi dari idolanya mama sepanjang masa, Iis Dahlia. Kata papa, aku memang diharapkan bakal meneruskan cita-cita mama yang tak sempat terwujud, jadi penyanyi dangdut. Dulu mama punya orkes melayu yang lumayan terkenal di kampungnya. Tapi apa boleh buat, garis hidup berkata lain. Mama malah bekerja di salah satu perusahan ternama di Jakarta dan meninggalkan orkesnya. Makanya mama ingin anak-anaknya kelak dapat mewujudkan mimpinya yang terpeendam. Tapi aku memang berbakat jadi anak durhaka. Bukannya mengikuti jejak mama, aku malah menentangnya dengan menyukai musik jazz. Entah kenapa aku tidak bisa mencerna musik dangdut apalagi menyukainya. Sia-sia usia mama. Sejak aku masih dalam kandungan, mama selalu memperdengarkan lagu-lagu dangdut dengan menempelkan earphone walkmanke perutnya. Tapi tetep ,, irama itu tidak familiar di kupingku.Mama memperdengarkanku musik kesayangannya itu hingga aku lahir. Menurut papa, setiap malam sebelum tidur lagu-lagu itu yang menemaniku tidur hingga ku terlelap. Dan itu terjadi sampai aku berumur 11 tahun. Sejak duduk di SMP, aku mulai berontak. Musik lain mulai masuk ke telingaku, menggeser kedudukan musik dangdut yang memang tak pernah bisa singgah di hatiku. Sekedar info, saking sukanya dengan musik dangdut, di dinding rumah kami nyaris semuanya ditutupi dengan poster Iis Dahlia. Baik yang sedang bernyanyi di atas panggung, ataupun lagi nyanyi bareng Krisdayanti dan Yuni shara. Aku ingat, di masa kecil dulu mama senang bercerita tentang masa mudanya. Menurut mama, di kampungnya tidak ada orang yang tak menyukai Iis Dahlia. Bahkan masyarakat di sana rela tidak membeli beras asal dapat membeli tiket konser Iis Dahlia. Sampai sekarang, mama juga tak pernah bosan menonton acara musik yang ada Iis Dahlianya di tv.

******

Minggu pagi di rumah om Amrin benar-benar membuatku tersiksa, baru melek aja telingaku sudah di suguhi lagu dangdut yang di putar sangat keras di ruang depan. Kayanya sih volumenya udah superduper volume dan mungkin juga makek double speaker raksasa. Aku jadi merasa aneh sendiri. Kurasa tak ada tempat yang aman untukku disini. Ingin rasanya aku pulang kerumah sendirian sekarang. Untung tak lama bang Razi, anak sulung om Amrin, mengajakku pergi. ada beberapa peralatan yang harus di ambil di rumah tukang rias pengantin untuk resepsi besok, mau ikut? ajak bang Razi.Mau,mau,mau. Tanpa banyak tanya aku mengangguk dengan cepat. Setidaknya untuk beberapa waktu kedepan telingaku bisa bebas dari virus mematikan . jarak rumah Om Amrin ke rumah tukang rias tak terlalu jauh. Sepuluh menit dengan mobil sudah sampai. Ketika kami masuk, rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada ibu perias dengan gadisnya yang sedang nonton tv. Ketika bang Razi beranjak masuk ke dalam, aku menunggu sambil menonton tv bersama cewek itu. Tak lama kami pun berkenalan dan berbasa-basi. Beberapa menit kemudian kami sudah akrab dan terlibat obrolan seru. Namanya Keisya. Dia sebaya denganku dan kuliah di semester tiga sastra inggris. Keisya tak hanya baik tapi juga pintar. Wawasannya luas. Apalagi kalo soal musik. Sayang waktu terasa cepaat berlalu. Bang Razi kemudian muncul dan mengaajakku pulang.

******

Rumah Om Amrin masih ramai ketika aku pulang bersama bang Razi dari rumah Keisya. Ada yang membantu buat bolu, ada yang meramaikan suasana dan ada juga yang membantu menghabiskan kue konsumsi. Tapi lagi-lagi badai melanda telingaku. Konser dadakan di gelar. Mereka pada ramai karokean lagu dangdut. Dan para remaja sampai manula bau tanah semua menyumbangkan suara. Mending suaranya merdu. Nah ini..., kebanyakan dari mereka bersuara fals dan tidak sesuai dengan musik yang ada. Aku lantas memilih bergabung dengan beberapa anak sebayaku yang lagi membuat bolu. Papa berada tak jauh dari tempatku, bersama bapak-bapak yang tak henti-hentinya menghisap rokok dan meminum kopi gratis. Mustahil menyanyi di atas panggung tanpa menyanyikan lagu IisDahlia, ujar mama kepada seorang teman yang ada di sampingnya . ibu itu hanya manggut-manggut. Mulutnya tak bisa berbicara karena lagi di sumpal dengan keu apem. Lela benar-benar menjadi bintang malam ini. Suaranya, yang kata mama mirip Iis Dahlia itu menuai banyak perhatian terutama bagi para pemuda-pemuda. Tentu saja Lela senang. Disini dia bisa melampiaskan hobinya yang tak pernah tersalurkan selama ini. Lela mendadak ngetop dan menjadi idola baru di kampung Om Amrin. Setelah Lela selesai , tiba-tiba mama maju ke depan. Oh no, rupanya mama ingin ikutan menyumbang lagu juga . melihat itu seseorang berkata padaaku.wah, kalian sekeluarga benar-benar pecinta dangdut rupanya,serunya kagum.Aku speechles, ngga tau harus menjawab apa. Aku hanya mempersembahkan senyum hambar. Sebelum mama bereaksi aku sudah menyingkir ke belakang. Aku mau di cap sebagai keluaga pecinta dangdut. Oh no, itu fitnah besar.

******

Hari senin cuaca sangat cerah. Rumah Om Amrin telah menjelma menjadi gedung yang megah. Tenda-tenda sudah terpasang dengan kokoh. Meja-meja hidangan dan kursi pun telah tersusun rapi. Pelaminan untuk mempelai bagaikan sebuah singgasana di sebuah kerajaan. Disana telah duduk raja dan ratu sehari yang diapit oleh kedua orangtua masing-masing. Senyum mereka kian merekah ketika melihat para undangan menyelipkan amplop di kotak uang. Dari tadi pagi aku dan Lela sudah dapet tugas negara dari papa. Apalagi kalau bukan nge-shoot momen-momen bahagia dari kedua mempelai.

Di sebelah pelaminan ada tenda yang di khususkan untuk pemain keyboard. Bentuknya pun telah di sulap menjadi panggung mini lengkap dengan sound systemnya. Dari sanalah kosentrasiku terbelah. Di panggung kecil itu sang pemain organ terus melayani tamu-tamu dengan lagu-lagu dangdut yang dilantunkan bersama beberapa anggotanya. Sebenarnya aku sih bisa aja fokus dengan kerjaanku , tapi tetep saja tidak bisa. Lagu-lagu medayu itu terus bergentayangan di telingaku. Namun kemudian ada yang beda. Tiba-tibaa terdengar olehku sebuah intro dari lagu The Way You Look at me nya Christian bautista. Aku seperti mendapatkan energi baru mendengar lagu itu. Aku tambah surprise ketika mendengar suara papa yang berduet dengan seorang cewek. Ada rasa bangga ketika mendengar suara papa yang baru kusadari ternyata merdu. Namun di bagian reff aransemennya berubah drastis. Musik yang tadinya terdengar elegan kini berubah menjadi ketukan irama dangdut yang mendayu-dayu. Halah, apa-apaan ini? Aku refleks menoleh dan mengarahkan kamera ke arah panggung mini. Oh my God! Aku sepertinya tidak percaya dengan apa yang kulihat. Cewek yang bernyanyi bersama papa di sana ternyata Keisya.

By : nisak