makna simbol duka dalam upacara rambu...
TRANSCRIPT
PA’ WAI MATA
MAKNA SIMBOL DUKA DALAM UPACARA RAMBU SOLO’
DI GEREJA TORAJA JEMAAT TILENGKO
(Suatu Tinjauan Sosio-Teologis)
Oleh,
Stevie Anastasia Pasolang
NIM: 712013030
Program Studi: Ilmu Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
1
“PA’ WAI MATA”
MAKNA SIMBOL DUKA DALAM UPACARA RAMBU SOLO’
DI GEREJA TORAJA JEMAAT TILENGKO
(Suatu Tinjauan Sosio-Teologis)
Stevie Anastasia Pasolang
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna pa’ wai mata dalam budaya
Toraja dan anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko; bagaimana praktik ini
dilaksanakan, dampaknya bagi warga Jemaat dan peran sosiologis Gereja Toraja
dalam menyikapi dampak dari praktik pa’ wai mata. Praktik pa’ wai mata dalam
upacara adat rambu solo’ sekarang ini telah mengalami pergeseran makna,
dibutuhkan sebuah pendekatan teori simbol, ritual dan teologi sosial untuk
mengetahui apa yang menjadi penyebab bergesernya makna pa’ wai mata di
kalangan masyarakat Toraja khususnya anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko.
Adapun metode yang digunakan dalam usaha memahami makna pa’ wai mata
adalah metode kualitatif yaitu wawancara mendalam dengan narasumber dan
observasi langsung di lapangan. Sehingga tulisan ini pada akhirnya akan
memunculkan sebuah pandangan bahwa telah terjadi pergeseran makna pa’ wai
mata yang dalam tradisi Toraja dipahami sebagai simbol cinta kasih, empati,
persaudaraan dan kekerabatan atas duka namun dewasa ini telah dipahami oleh
anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko sebagai pemberian yang berarti utang.
Kata kunci: Simbol, Ritual, Duka, Utang, Rambu Solo’, Pa’ wai mata
Pendahuluan
Pa’ wai mata dalam kebudayaan Toraja merupakan bagian dari rangkaian
ritual upacara adat kematian Toraja yang biasa dikenal dengan aluk rambu solo’.
Pa’ wai mata memiliki pengertian sebagai simbol air mata. Pa’ artinya simbol
dan wai mata artinya air mata.1 Pa’ wai mata bertujuan sebagai simbol
penghargaan kepada orang yang meninggal dan keprihatinan serta turut
berdukacita kepada keluarga yang ditinggalkan, dengan memberikan hewan
berupa babi atau kerbau. Meskipun demikian sekarang ini jika diamati makna pa’
wai mata telah bergeser di kalangan masyarakat Toraja. Pa’ wai mata sering
dianggap sebagai pemberian yang berarti pinjaman atau utang yang nantinya
1 J. Tammu dan Van Der Veen, Kamus Toraja –Indonesia (Rantepao: Yayasan Perguruan
Kristen Toraja, 1972), 356.
2
harus dikembalikan. Akibatnya beberapa orang Toraja khususnya beberapa
anggota Gereja Toraja mengalami tekanan pikiran, stres, perselisihan dalam
keluarga, pendidikan anak terbengkalai dan berpindah aliran Gereja karena tidak
mampu membayar kembali pinjaman atau utang yang sudah diterima dari pa’ wai
mata. Di sisi lain meskipun kekristenan telah berakar kuat di Toraja, praktik pa’
wai mata sampai sekarang jika diamati masih menjadi permasalahan dan
pergumulan yang belum terselesaikan bagi Gereja Toraja.
Pa’ wai mata merupakan kebudayaan Toraja yang bernilai baik, menarik,
menertibkan, menyempurnakan masyarakat dan wajib dilestarikan, namun
sepertinya telah mengalami pergeseran makna dan berdampak negatif bagi
sebagian masyarakat Toraja, khususnya anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko;
tempat penulis melaksanakan praktik pendidikan lapangan selama 4 bulan. Oleh
karena itu penulis ingin meneliti makna sesungguhnya dari praktik pa’ wai mata
dalam pemahaman budaya Toraja dan anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko;
bagaimana praktik ini dilaksanakan dan dampaknya bagi warga Jemaat. Serta
peran sosiologis Gereja Toraja dalam menanggapi dampak dari praktik pa’ wai
mata. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman pa’
wai mata dalam budaya Toraja dan anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko;
bagaimana praktik ini dilaksanakan dan dampaknya bagi warga Jemaat,
berdasarkan bingkai analisis perspektif teori ritual oleh Turner dan simbol oleh
Bourdieu dan Mead. Serta menganalisis peran sosiologis Gereja Toraja dalam
menyikapi dampak dari praktik pa’ wai mata berdasarkan perspektif teologi
sosial.
Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
karena penelitian ini berusaha untuk memahami dan mendeskripsikan alasan-
alasan dan makna serta dampak dari praktik pa’ wai mata menurut pemahaman
budaya Toraja dan anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko. Selain itu penelitian
ini juga berusaha untuk menganalisis peran sosiologis Gereja Toraja dalam
menanggapi dampak dari praktik pa’ wai mata. Sumber data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder. Sumber
data primer adalah data yang penulis peroleh langsung dari narasumber-
narasumber melalui wawancara dan tindakan yang dapat diamati. Sedangkan
3
sumber data sekunder adalah data tertulis yang penulis peroleh langsung dari
buku-buku, jurnal, berita, arsip, dokumen resmi dan artikel.
Simbol dan Ritual Masyarakat
Masyarakat sebagai pendukung kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari simbol,
karena kebudayaan itu sendiri terdiri dari gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai
sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Begitu eratnya hubungan manusia
dengan simbol maka oleh Ersnst Cassier dikatakan bahwa manusia pada
hahekatnya adalah animal symbolicum. Simbol adalah suatu tanda yang dapat
menyatakan suatu hal atau maksud tertentu.2 Bourdieu memahami simbol sebagai
medium yang menjadi perantara manusia dalam memaknai sesuatu, memproduksi
dan mengubah makna. Lewat simbol-simbol seperti bahasa, wacana, gambar dan
semacamnya, manusia mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-idenya tentang
sesuatu. Makna suatu hal sangat tergantung dari cara manusia
merepresentasikannya. Dengan membedah simbol-simbol dan gambar yang
digunakan manusia dalam merepresentasikan sesuatu, maka dapat terlihat jelas
bagaimana proses pemaknaan, penilaian dan pembelokan tanda yang diberikan
pada sesuatu tersebut.3
Bourdieu dalam pemahamannya tentang simbol juga tidak dapat dilepaskan
dari kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik merupakan suatu kekuasaan untuk
mengkontruksi realitas melalui tatanan gnoseological, yaitu pemaknaan yang
paling dekat mengenai dunia sosial suatu kelompok atau orang. Kekuasaan
simbolik adalah kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujuannya untuk
memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak dikenali bentuk
aslinya tetapi tetap diakui. Kekuasaan simbolik bekerja dengan menggunakan
simbol-simbol sebagai instrument “pemaksa” terhadap kelompok subordinat yang
berperan memproduksi tatanan sosial sesuai dengan keinginan kelompok
dominan.4 Dalam menyembunyikan dominasinya, kekuasaan simbolik
menjalankan bentuk-bentuk yang halus agar tak dikenali. Dominasi yang
2 Suhartati et al., Fungsi dan Makna Simbolis Genta di Jawa Tengah (Semarang: Dinas
pendidikan dan kebudayaan provinsi jawa tengah,2007), 124. 3 Pierre Bourdieu, Menyikap Kuasa Simbol (Bantul: Jalasutra, 2014), 21.
4 Bourdieu, Menyikapi Kuasa, 142.
4
mengambil bentuk halus ini disebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic
violence), yaitu sebuah kekerasan yang lembut, sebuah kekerasan yang tak kasat
mata. Secara lebih lengkap, kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk
kekerasan yang halus dan tak tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik
dominasi.5
Di samping itu Mead dalam teorinya interaksionisme simbolik memahami
bahwa interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya
dengan masyarakat. Mead memahami pentingnya makna bagi perilaku masyarakat
yaitu manusia bertindak tehadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan
orang lain terhadap mereka. Makna yang diciptakan dalam interaksi antar manusia
dan makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Mead juga memahami
pentingnya konsep mengenai diri; individu-individu mengembangkan konsep diri
melalui interaksi dengan orang lain kemudian konsep diri memberikan sebuah
motif penting untuk berperilaku. Selain itu adanya hubungan antara individu dan
masyarakat; orang dengan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya
dan sosial dan struktur sosial dihasilkan oleh interaksi sosial.6
Ritual dan simbol adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dalam setiap
proses ritual maka akan selalu ditemukan simbol di dalamnya, hal itu dikarenakan
ritual merupakan suatu bentuk ekspresi untuk menjelaskan situasi sosial yang ada
di dalam masyarakat dan untuk menjelaskan hal tersebut dapat dilihat melalui
simbol-simbol yang hadir di dalamnya.7 Ritual merupakan tata cara dalam
upacara atau sesuatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat
beragama. Ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu
adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara
serta orang-orang yang menjalankan upacara.8 Secara mendasar ritual dapat
diartikan sebagai rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan
benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu dan memakai
pakaian tertentu pula. Begitu halnya dalam ritual upacara kematian, banyak
5 Bourdieu, Menyikapi Kuasa, 143.
6 NA Anzarsari, “BAB II Teori Interaksionisme Simbolik Sebagai Alat Analisis,” diakses
Juli 13, 2017, http://digilib.uinsby.ac.id/5928/5/Bab%202.pdf. 7 Sevilla Putri. “Melihat Hubungan Konsep Ritual dan Simbol dalam Upacara Ngaben,”
Anak Kedua Blog, Juni 27, 2015, diakses Juli 12, 2017,
http://lejaf.blogspot.co.id/2015/06/melihat-hubungan-konsep-ritual-dan.html 8 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985), 56.
5
perlengkapan, benda-benda yang harus dipersiapkan dan dipakai.9 Turner dalam
bukunya The Ritual Process menuliskan penelitiannya tentang proses ritual pada
masyarakat Ndembu di Afrika Tengah.10
Turner beranggapan bahwa ritus –ritus yang diadakan oleh suatu masyarakat
merupakan penampakan dari keyakinan religius. Ritus-ritus yang dilakukan
tersebut mendorong orang-orang untuk melakukan dan mentaati tatanan sosial
tertentu. Ritus-ritus tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada
tingkat yang paling dalam.11
Dari penelitiannya terhadap masyarakat Ndembu di
Afrika Tengah, ia kemudian menggolongkan ritus ke dalam dua bagian, yaitu ritus
krisis hidup dan ritus gangguan. Pertama, ritus krisis hidup yaitu ritus-ritus yang
diadakan untuk mengiringi krisis-krisis hidup yang dialami manusia; mengalami
krisis karena ia beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya. Ritus ini meliputi
kelahiran, pubertas, perkawinan dan kematian. Ritus-ritus ini tidak hanya berpusat
kepada individu, melainkan juga tanda adanya perubahan dalam relasi sosial
diantara orang yang berhubungan dengan mereka; ikatan darah, perkawinan,
kontrol sosial dan sebagainya.12
Kedua ritus gangguan, pada ritus ini masyarakat
Ndembu menghubungkan nasib sial dalam berburu, ketidak teraturan reproduksi
pada para wanita dan lain sebagainya dengan tindakan roh orang mati. Roh
leluhur mengganggu orang sehingga membawa nasib sial.13
Teologi Sosial dan pergumulan Gereja
Teologi sosial dapat dipahami dalam dua bentuk. Pertama, teologi sosial
dalam arti luas yaitu sebagai teologi kontekstual atau semacam teologi
fundamental. Dalam pengertian ini teologi sosial merupakan orientasi seluruh
teologi dan bukan merupakan bagian atau cabang teologi tertentu, karena teologi
sosial harus selalu berbicara tentang masyarakat maka seluruh usaha teologi harus
mempunyai ciri sosial. Teologi sosial sebagai dimensi, arus, arah dasar, orientasi
atau cakrawala seluruh usaha refleksi teologis. Kedua, teologi sosial dalam arti
9 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001), 41. 10
Victor Turner, The Ritual Process, (America: Aldine Publishing Company, 1969) 11
Y.W. Wartajaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 67. 12
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, 21. 13
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, 22.
6
sempit yaitu sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-
masalah masyarakat, misalnya dalam menghadapi tantangan kemiskinan dan
ketidakadilan.14
Dari kedua pengertian tersebut yang menjadi fokus dalam
penulisan ini adalah teologi sosial dalam arti sempit. Keterlibatan Gereja dalam
menyikapi masalah-masalah masyarakat seperti penyakit sosial yang diakibatkan
oleh kebudayaan dengan cara melakukan analisis dan sintesis.
Adapun tahapan- tahapan yang dapat dipakai dalam melakukan analisis dan
sintesis teologi sosial yaitu: 15
1. Melakukan refleksi teologis-sosial yang dimulai dengan kenyataan sosial
atau situasi yang dialami bersama. Dalam menangkap situasi yang dialami
bersama secara bertanggung jawab diperlukan suatu sarana yang disebut
analisis. Analisis mengenai situasi yang dialami bersama membutuhkan
bantuan dari berbagai ilmu. Dengan demikian, proses teologi sosial
menuntut suatu pendekatan lintas ilmu atau interdisipliner. Pendekatan
semacam itu mengandung segi-segi pokok diantaranya: analisis sosial,
analisis historis, analisis cultural, dan analisis personal.
2. Setelah situasi yang dialami bersama dianalisis secara bertanggung jawab
dapatlah dirumuskan keprihatinan bersama secara lebih teliti dan terinci.
Orang-orang beriman yang ambil bagian dalam situasi itu merumuskan
keprihatinan iman mereka.
3. Keprihatinan iman dalam hidup nyata itu diteruskan dengan analisis iman
lebih lanjut, yaitu melalui komunikasi dengan tradisi-tradisi kristiani.
Tradisi-tradisi Kristiani dimengerti secara luas, yakni apa-apa saja yang
menampilkan iman akan Yesus Kristus “iman timbul dari pendengaran”
(Roma 10:17).
4. Sesudah itu dibuat perencanaan pastoral ke arah kegiatan pelayanan, ke
arah gerakan bersama. Perencanaan seharusnya dibuat bersama-sama oleh
kelompok yang mempunyai keprihatinan bersama.
Masalah sosial sekarang ini sudah amat mendesak dan tidak boleh didiamkan
lagi. Kemiskinan, penderitaan manusia, keterbelakangan, ketidakadilan dan
ketergantungan mengancam hidup dan perdamaian manusia. Tidak seorang pun
bahkan Gereja dapat cuci tangan dari masalah-masalah sosial tersebut.16
Oleh
14
J.B. Banawiratma, Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius,
1993), 25-26. 15
J.B. Banawiratma (Editor), Aspek-Aspek Teologi Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1988),
11-14 16
Banawiratma, Aspek-Aspek, 122.
7
karena itu peran sosiologis Gereja sangat penting dalam menyikapi fenomena pa’
wai mata.
Pa’ wai mata adalah bagian dari kebudayaan Toraja yang juga tumbuh dan
berkembang di kalangan anggota Gereja Toraja, oleh karena itu tidak mungkin
untuk memisahkan sepenuhnya Gereja dengan kebudayaan. Dibutuhkan sebuah
usaha yang disebut inkulturasi. Menurut G. Collet inkulturasi yaitu proses yang
berlangsung terus menerus yakni Injil diungkapkan di dalam situasi sosio-politik
dan religius-budaya sedemikian rupa sehingga ia tidak hanya diwartakan
melalui unsur-unsur situasi tersebut, tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan
mengolah budaya tersebut, sekaligus budaya tersebut memperkaya Gereja
universal.17
Gereja membuka diri dan memandang positif terhadap budaya dan adat-
istiadat setempat, artinya Gereja tidak menganggap bahwa semua unsur yang
terkandung dalam adat dan budaya setempat bertentangan dengan nilai-nilai Injili.
Gereja justru mengajak untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan yang
memiliki nilai-nilai tertentu. Pier seorang ahli teologi memahami nilai-nilai Injil
juga terdapat dalam adat istiadat atau tradisi-tradisi, sehingga menjadikan adat
istiadat atau tradisi lebih berarti dan bernilai serta dapat membantu umat
untuk menghayati nilai-nilai adat maupun memperkaya Gereja dengan warna
budaya yang baru.18
Pa’ wai mata dalam ritual upacara Rambu Solo’
Dalam kebudayaan Toraja pa’ wai mata dapat dimaknai sebagai rasa empati,
cinta kasih yang murni dari hati, turut berdukacita atau membalas kebaikan orang
yang telah meninggal “mammaran mata” dan keluarga yang ditinggalkan.19
Dalam peribahasa Toraja dikenal dengan istilah “sonda-sonda mali’”.20
Pa’ wai
mata juga dapat bermakna saling tolong menolong dan mensosialkan masyarakat,
karena dengan adanya pa’ wai mata maka ketentuan pemotongan hewan kurban
dalam upacara rambu solo’ dapat terpenuhi. Jadi keluarga yang melaksanakan
17
Slamet R Aji, “Gereja dan Budaya,” Academia, diakses Agustus 28, 2017,
https://www.academia.edu/17778351/Gereja_dan_Budaya 18
Slamet Aji, “Gereja dan budaya”. 19
Wawancara dengan Bpk YKT (tokoh adat), Tilengko, 21 Juli 2017. 20
Wawancara dengan Bpk BK (tokoh adat), Tilengko, 24 Juli 2017.
8
upacara rambu solo’ tidak perlu lagi membeli kerbau atau babi dalam jumlah
banyak. Di samping itu dengan adanya pemotongan babi dan kerbau dapat
mensosialkan masyarakat. Daging babi dan kerbau dimasak oleh pihak keluarga
lalu dimakan bersama-sama dan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang
menghadiri maupun orang-orang yang tinggal di sekitar lokasi upacara rambu
solo’.21
Dalam wawancara dengan bapak BK, ia mengatakan:
iyatu pa’ wai mata tonna dolona bai sibitti ya na ba tau, taepa’ tu bai si
kapua, si’ da’dua ri tu tau mbulle i… tae na susi totemo si annan tau mbulle.
yaduka ke tae apanta’, se bangki… ma’ dokko ki sola raka, si ni sirampun-
rampun, sipa’kada, untundui garaga lantang, kande raka…. Nakua todolona,
si popa’dik tongan ki yah. apala taenisaan mo di pokada totemo te ada’ ta’
Toraya nala… (pa’ wai mata pada jaman dahulu, orang-orang membawa babi
kecil, belum ada yang membawa babi besar, hanya dua orang yang
memikulnya, tidak seperti sekarang enam orang yang memikulnya. Begitu
juga jika kita tidak memiliki apa-apa, kita datang saja… duduk bersama,
berkumpul-kumpul, bercakap-cakap, membantu membuat lantang atau
makanan. Kata orang tua dahulu, kita sama-sama saling merasakan sakit.
Tidak seperti adat Toraja sekarang sudah tidak bisa dimengerti)
Berdasarkan wawancara tersebut dapat dipahami bahwa pa’ wai mata pada jaman
dahulu tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk memberikan babi atau kerbau
dengan ukuran yang besar jika memang tidak ada, melainkan dapat diwujudkan
dengan memberikan apa yang ada pada diri kita, seperti membantu dalam
pembuatan tenda dan lantang (tempat duduk), menyiapkan konsumsi,
menyumbangkan ide dan pemikiran dalam upacara rambu solo’ ataupun hanya
duduk bersama menemani dan mendengarkan keluh kesa keluarga yang berduka.
Dalam pemahaman tua-tua adat jaman dahulu, hal itu dikenal dengan istilah “si
popa’dik tongan ki ya” yang artinya kita sama-sama saling merasakan sakit
karena duka.22
Di samping itu orang Toraja juga mengenal istilah “lepe’ aluk”
yang artinya jika ada seseorang yang meninggal maka sudah seharusnya kita
bersama-sama saling tolong menolong dan merasakan sakit karena duka dengan
memberikan apa yang ada pada diri kita baik itu tenaga, pikiran maupun harta
benda. Dalam pemahaman tua-tua adat jaman dahulu dikenal dengan kalimat “da’
la dena’ bangki na mepare tau” yang berarti kita tidak boleh hanya diam dan tak
21
Wawancara dengan Bpk YKT (tokoh adat), Tilengko, 21 Juli 2017. 22
Wawancara dengan Bpk BK (tokoh adat), Tilengko, 24 Juli 2017.
9
melakukan apapun sementara seseorang sedang mengalami kedukaan.23
Bapak
BK mengatakan:
na bua’ raka la kappa bangki ke den tu mammaran mata, yake na kua
todolona “da’ la dena’ bangki na mepare tau (tidak mungkin jika kita hanya
diam ketika ada orang yang meninggal, orang tua dahulu mengatakan kita
tidak boleh hanya duduk mengusir burung yang memakan padi sementara
orang turun ke sawah menanam padi)
Menurut pengalaman penulis ketika menyaksikan praktik pa’ wai mata,24
babi
dan kerbau yang dipotong dalam upacara rambu solo’ sebagian besar didapatkan
dari pa’ wai mata keluarga atau kerabat. Prosesi pa’ wai mata terjadi pada saat
rombongan keluarga atau kerabat datang melayat dengan cara berbaris beriringan
sambil membawa babi atau kerbau memasuki halaman upacara. Sementara itu
panitia rambu solo’ menyebutkan nama keluarga atau kerabat yang datang seperti
“Rombonganna nene’ Sinda untama lantang nomoro’ misa’” yang berarti
rombongan keluarga Sinda memasuki lantang nomor satu (tempat menerima
tamu). Sebelum keluarga memasuki lantang mereka akan meninggalkan babi
atau kerbau yang dibawa di halaman bersama dengan babi dan kerbau yang
dibawa oleh keluarga atau kerabat lain.
Kemudian panitia rambu solo’ yang bertanggung jawab mencatat nama babi
dan kerbau yang dibawa akan mengatakan misalnya “inda bai te?” yang berarti
“ini babi siapa?” sambil menunjuk babi dengan tongkat. Panitia lain yang bertugas
untuk mencari tahu akan mengatakan “bainna nene’ Sinda na pa’ wai mataan
tomate” yang artinya babi dari nenek Sinda diberikan kepada orang yang
meninggal atau “tedongna nenek Sinda na petuaran anak tomate” yang artinya
kerbau dari nenek Sinda diberikan atau diutangkan kepada seluruh anak dari orang
yang meninggal. Setelah itu babi dan kerbau akan diberikan tanda pengenal
dengan ditulisi badannya.25
Hal yang menarik dari prosesi pa’ wai mata ini adalah setiap keluarga atau
kerabat yang datang membawa babi atau kerbau ke upacara rambu solo’ pasti
23
Wawancara dengan Bpk BK (tokoh adat), Tilengko, 24 Juli 2017. 24
Penulis sebagai orang Toraja; lahir dan besar di Toraja sering mengikuti upacara rambu
solo’ dan menyaksikan prosesi pa’ wai mata. 25
Informasi selanjutnya pada bagian ini adalah berdasarkan pengalaman penulis sebagai
orang Toraja dan sering menyaksikan prosesi upacara rambu solo’ dan informasi yang penulis
dapatkan dari keluarga penulis sendiri.
10
pulang membawa daging. Jadi babi atau kerbau yang dibawa oleh pihak keluarga
harus dipotong oleh keluarga yang berduka dan dagingnya diberikan kepada
keluarga yang memberi. Jika keluarga yang berduka berniat untuk memelihara
babi atau kerbau yang dibawakan, ia harus mengganti dengan memberikan daging
babi atau kerbau lain. Hal tersebut sebagai wujud terima kasih dari keluarga yang
berduka kepada keluarga yang memberi pa’ wai mata.26
Jika melihat pada kenyataan sekarang ini keluarga yang datang membawa pa’
wai mata dalam bentuk babi atau kerbau sepertinya berharap membawa pulang
daging. Oleh karena itu dalam pemotongan hewan kurban “mantunu” ada istilah
tawaku yang berarti bagianku. Jadi orang yang berkontribusi dalam upacara
rambu solo’ dalam artian membawa pa’ wai mata otomatis sudah mendapatkan
bagian daging. Sehingga berdasarkan pengamatan penulis, jika ada yang pulang
dengan tangan kosong atau tidak mendapatkan daging, akan kecewa kepada pihak
keluarga yang berduka atau yang melaksanakan upacara rambu solo’.27
Hal lain yang penulis temukan selama berada di lapangan adalah, ternyata pa’
wai mata memiliki bentuk lain namun mengandung kemiripan yaitu petua. Petua
dapat dipahami sebagai wujud berbela sungkawa dan turut berdukacita kepada
keluarga yang ditinggalkan namun bermakna utang atau mengembalikan utang.
Dalam bahasa Toraja dikenal dengan istilah “sipaindanan” yaitu pinjam-
meminjam saling meminjamkan, saling berutang.28
Jika ada salah satu rumpun
keluarga datang membawa babi atau kerbau ke pesta kematian dan ditujukan
untuk seluruh keluarga yang berduka maka itu dapat berarti petua. Sebaliknya jika
salah satu keluarga atau kerabat datang membawa babi atau kerbau ke pesta
kematian dan ditujukan untuk salah satu anggota keluarga yang berduka atau
khusus untuk orang yang meninggal, maka itu dapat berarti pa’ wai mata.29
Sekalipun petua dipahami sebagai utang (“indan”) tetapi petua sebenarnya
bernilai kebersamaan dan persatuan. Kebersamaan yang dilakukan oleh seluruh
rumpun keluarga dengan cara bersama-sama mengumpulkan uang untuk membeli
26
Berdasarkan observasi penulis ketika menghadiri upacara rambu’ solo’; Ritual mantunu
(pemotongan hewan kurban), La’bo, 22 Juli 2017. 27
Berdasarkan observasi penulis ketika menghadiri upacara rambu’ solo’; Ritual
mantunu (pemotongan hewan kurban), La’bo, 22 Juli 2017. 28
J. Tammu dan Van Der Veen, Kamus Toraja –Indonesia (Rantepao: Yayasan
Perguruan Kristen Toraja, 1972), 164. 29
Wawancara dengan Bpk YKT (tokoh adat), Tilengko, 21 Juli 2017.
11
babi atau kerbau lalu diberikan kepada keluarga yang berduka. Dengan adanya
petua maka seluruh rumpun keluarga dapat bersatu dan turut bersama-sama
merasakan dukacita dengan keluarga yang ditinggalkan. Petua memperkokoh tali
kekeluargaan, menjaga harga diri keluarga dan hubungan kekeluargaan diantara
kedua bela pihak tidak akan hilang, oleh karena itu setiap anggota keluarga harus
mampu berkontribusi.30
Penulis mengamati bahwa dewasa ini sudah banyak orang Toraja yang
memahami pa’ wai mata dan petua sebagai hal yang sama. Misalnya di wilayah
Rantepao khususnya Tilengko, umumnya menganggap pa wai mata dan petua
sebagai pemberian yang suatu saat harus dikembalikan, terlepas dari apa makna
dari kedua hal tersebut. Meskipun demikian tetapi masih ada juga wilayah yang
memahami pa’ wai mata dan petua sebagai hal yang berbeda. Misalnya di
wilayah Lempo, Sa’dan, dan Sanggalla masih menganggap pa wai mata sebagai
pemberian yang tidak perlu dikembalikan.31
Pa’ wai mata dalam pandangan anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko
Jemaat Tilengko merupakan Jemaat yang berada di bawah naungan Gereja
Toraja yang tergabung dalam anggota PGI. Jumlah anggota Jemaat Tilengko
sekitar 135 KK. Jumlah penduduk di sekitar wilayah Tilengko sekitar 1.800-an
penduduk yang sebagian besar adalah orang Toraja. Jarak yang ditempuh dari
kota Rantepao ke Tilengko sekitar 2 km atau memakan waktu sekitar 30 menit
dengan mengendarai motor dan 45 menit dengan mengendarai mobil. Penduduk
sekitar wilayah Tilengko mayoritas beragama Kristen, hanya 1 keluarga yang
beragama Khatolik dan 1 keluarga yang beragama Kristen beraliran Pentakosta.
Letak Geografisnya yang adalah dataran tinggi, pegunungan dan persawahan
membuat sebagian besar Jemaat Tilengko berprofesi sebagai petani beras dan
sayur. Selain itu profesi lain yang juga digeluti oleh anggota Jemaat Tilengko
adalah PNS, yakni bidan, guru dan pegawai pemerintahan. Tingkat pendidikan di
Jemaat Tilengko adalah mulai dari lulusan SD sampai dengan sarjana S1. 32
30
Wawancara dengan Bpk BK (tokoh adat), Tilengko, 24 Juli 2017. 31
Wawancara dengan Bpk BK (tokoh adat), Tilengko, 24 Juli 2017. 32
Wawancara dengan Ibu AT (pegawai kantor kependudukan lembang limbong),
Limbong, 28 Juli 2017.
12
Anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko memahami pa’ wai mata sebagai
sebuah kebiasaan turun temurun yang dilakukan oleh orang Toraja pada saat
upacara rambu solo’. Sebagian besar Jemaat Tilengko memahami pa’ wai mata
sama dengan petua.33
Makna pa’ wai mata dan petua bagi mereka adalah sebagai
wujud turut berdukacita dan berbela sungkawa kepada orang yang meninggal dan
keluarga yang ditinggalkan. Pa’ wai mata tidak hanya diberikan karena turut
berdukacita kepada orang yang meninggal saja, melainkan pa’ wai mata juga
diberikan kepada orang meninggal yang dianggap telah berjasa baik selama
hidupnya; orang yang memiliki hubungan emosional atau kekerabatan. Sudah
seharunya bagi orang yang menerima kebaikan itu untuk membalasnya dengan
membawakan babi atau kerbau. Di samping itu seiring berjalannya waktu orang
sudah mulai mengganti babi atau kerbau dengan membawakan amplop berisi uang
senilai harga babi dan kerbau. Hal itu dikarenakan tidak ingin repot untuk
mengangkat babi atau menggiring kerbau.34
Ukuran dan harga babi atau kerbau yang dibawa sebaiknya dilebihkan atau
disetarakan seperti yang pernah dibawa sebelumnya. Sebagai contoh keluarga A
membawa babi 1 meter dengan harga Rp.4.000.000 kepada keluarga B. Dilain
kesempatan keluarga B juga sebaiknya mengembalikan babi dengan harga dan
ukuran yang lebih kepada keluarga A. Tingginya harga babi yang dikembalikan
disesuaikan dengan permainan pasar; jika tahun sebelumnya harga satu ekor babi
yang berukuran 1 meter senilai Rp 3.000.000 maka di tahun berikutnya mungkin
akan mengalami kenaikan senilai Rp. 4.000.000 sampai 5.000.000.35
Jarang ada keluarga atau kerabat yang tidak membawa atau mengembalikan
babi dan kerbau. Jika ada yang tidak membawa babi atau kerbau maka itu secara
tidak langsung menurunkan harga diri mereka. Oleh karena itu tidak jarang jika
sebagian orang rela meminjam uang di koperasi syalom ataupun mengadai dan
menjual sawah dan tanah miliknya. Hal lain untuk mengantisipasi itu adalah
33
Wawancara dengan Bpk OP (warga Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 26 Juli
2017. 34
Wawancara dengan Bpk OP (warga Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 26 Juli
2017. 35
Wawancara dengan Bpk DP (anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 27
Juli 2017.
13
dengan beternak babi atau kerbau, namun jika memang sama sekali tidak ada uang
untuk membeli babi atau kerbau maka dapat menunggu di lain waktu.36
Sebagai contoh si A berhutang satu ekor kerbau kepada si B, ketika ayah si B
meninggal si A belum memiliki uang untuk mengembalikan kerbau tersebut,
maka si A akan menunggu sampai ibu si B meninggal lalu mengembalikan kerbau
dengan ukuran yang lebih besar. Selain itu cara lain adalah sebelum upacara
rambu solo’ diadakan, si A akan menemui keluarga B terlebih dahulu untuk
bersabar “sa’ bara mokomi dolo saba’ tae pa te apa” (sabarlah dulu karena kami
belum ada apa-apa) atau jika memang sangat berat dan malu untuk mengatakan
itu, Si A tidak akan menghadiri upacara rambu solo’ yang diadakan oleh si B.37
Orang Toraja sering mengistilahkan hal-hal tersebut sebagai “lingkaran setan”
yang berarti utang yang tidak ada habisnya dan akan terus dibawa sampai mati.
Perlu dipahami bahwa utang disini adalah utang yang tidak memiliki batas waktu
untuk dikembalikan; dapat dikembalikan kapan pun kita siap, tidak ada unsur
paksaan, hanya saja kebanyakan orang merasa malu jika terlambat untuk
mengembalikannya, oleh karena itu dilakukan cara sedemikian rupa agar utang itu
dapat dibayar.38
Peran Gereja Toraja dalam menanggapi dampak dari praktik pa’ wai mata
Pa’ wai mata dalam kehidupan bergereja lebih mengarah pada pelayanan;
pelayanan yang dilakukan kepada mereka yang berbeban berat. Tidak ada unsur
pemaksaan ataupun mengharap untuk dikembalikan. Pa’ wai mata lebih dipahami
sebagai wujud cinta kasih yang tulus kepada mereka yang merasakan sakit karena
duka. Bentuk pa’ wai mata sendiri tidak selamanya berupa babi atau kerbau
melainkan apa saja yang ada pada diri kita sesuai kemampuan, baik itu pikiran,
tenaga, ide dan waktu. Bagi Gereja pa’ wai mata bernilai positif karena telah
menerapkan ajaran saling mengasihi seperti yang dikehendaki Yesus.39
36
Wawancara dengan Bpk OP (warga Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 26 Juli
2017. 37
Wawancara dengan Bpk OP (warga Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 26 Juli
2017. 38
Wawancara dengan Bpk DP (anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 27
Juli 2017. 39
Wawancara dengan Bpk Pdt EYP (Pdt Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 26
Juli 2017.
14
Jika melihat pada konteks sekarang ini, telah terjadi pergeseran makna pa’ wai
mata. Warga Jemaat ataupun masyarakat Toraja memaknai pa’ wai mata tidak
lagi sama seperti pemahaman Gereja tentang kasih ataupun pemahaman aluk
todolo (kepercayaan orang dahulu). Baik petua ataupun pa’ wai mata sekarang ini
sudah dipahami sebagai sebuah utang yang harus dikembalikan kapanpun
waktunya. Sekalipun waktu yang dipahami di sini tidak terbatas, namun karena
sebagian besar orang Toraja berpegang pada budaya harga diri Siri (malu) maka
pemberian yang diterima itu mau tidak mau harus segera dikembalikan dan
bentuknya sebaiknya lebih dari yang diterima sebelumnya. Oleh karena itu tidak
dapat dipungkiri jika berbagai penyakit sosial ditimbulkan seperti pertikaian
dalam keluarga, stres, pendidikan anak terbengkalai, korupsi, budaya pesta pora
dan berpindah aliran Gereja ke pentakosta karena di pentakosta tidak
menghendaki pemotongan hewan kurban.40
Melihat hal tersebut Gereja Toraja Jemaat Tilengko tentunya merasa prihatin,
namun untuk terjun langsung mengatasi persoalan yang dialami oleh warga
Jemaat sejauh ini pihak Gereja belum menanggulangi. Hal tersebut dikarenakan
tidak adanya keterbukaan dari warga Jemaat mengenai pergumulan atau kendala
yang dihadapi dalam praktik pa’ wai mata. Meskipun demikian pihak Gereja telah
mempersiapkan diri untuk melakukan pendampingan dan penggembalaan kepada
warga Jemaat, jika sewaktu-waktu ada warga Jemaat yang ingin ditolong.
Pendampingan dan penggembalaan yaitu dengan memberikan semangat,
penguatan dan doa.41
Bapak pendeta EYP mengatakan:
Sebenarnya Gereja hanya melakukan pendampingan atau penggembalaan
kepada keluarga tetapi untuk mau memberikan jalan keluar, Gereja tidak
memiliki kapasitas di situ. Biasa memang… keluarga secara khusus anggota
Jemaat yang mengalami, mereka bergumul tetapi untuk terbuka kepada pihak
Gereja itu jarang sekali. Jadi semisalnya ada, Gereja cuma memberikan
penguatan dan penggembalaan yang di dalamnya itu memberi semangat
menguatkan dan mendoakan.
Berdasarkan pengamatan penulis pun selama 4 bulan melaksanakan praktik
pendidikan lapangan di Gereja Toraja Jemaat Tilengko, Gereja sepertinya kurang
40
Wawancara dengan Bpk Pdt EYP (Pdt Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 26
Juli 2017. 41
Wawancara dengan Bpk Pdt EYP (Pdt Gereja Toraja Jemaat Tilengko), Tilengko, 26
Juli 2017.
15
memberikan perhatian terhadap pemahaman budaya. Gereja kurang berperan
dalam relasi kultural. Hal itu nyata dalam setiap khotbah-khotbah mingguan yang
disampaikan oleh majelis. Sekalipun ada bahan khotbah yang membahas tentang
persoalan kebudayaan, pihak majelis Gereja Toraja Jemaat Tilengko seakan tutup
mata dan tidak ingin membahas. Baik dalam ibadah-ibadah bulanan tidak ada
yang menyinggung tentang paham budaya Toraja. Misalnya Gereja menolak keras
akan praktik massaung (sabung ayam) dalam upacara rambu solo’ tetapi tidak
memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada jemaat terkait praktik tersebut.
Mereka hanya menekankan bahwa praktik tersebut dalam Alkitab adalah dosa
karena melakukan judi, tetapi mereka tidak memberikan pemahaman kebudayaan
tentang praktik massaung padahal dalam budaya Toraja praktik tersebut tidak
sepenuhnya kotor hanya saja dewasa ini banyak orang Toraja yang memaknai
salah parktik massaung.
Di samping itu sebenarnya pihak sinode Gereja Toraja juga telah melakukan
berbagai upaya dalam mengatasi persoalan penyakit sosial dalam hal kebudayaan.
Beberapa upaya yang telah dilakukan adalah menyuarakan budaya anti
pemborosan pada upacara rambu solo’ dalam setiap khotbah-khotbah mingguan.
Sinode juga telah menyinggung dalam buku-buku renungan yang diterbitkan agar
supaya budaya pesta pora dalam upacara rambu solo; tidak dilakukan secara
berlebihan. Selain itu sinode juga telah melakukan penyuluhan atau pembinaan
kepada Gereja-Gereja dengan mengadakan salah satu kegiatan yaitu tallu batu
lalikan yang menghadirkan pihak pemerintah, tokoh adat dan Gereja. Meskipun
demikian sejauh ini sinode Gereja Toraja belum memiliki sikap resmi atau
menetapkan keputusan sidang terkait bagaimana seharusnya bersikap dalam
melaksanakan upacara rambu solo’. Tidak ada ketegasan dari pihak sinode antara
hubungan relasi keagamaan dan kebudayaan. Hal ini disadari oleh Gereja Toraja
bukanlah perkara mudah oleh karena itu masih menjadi tantangan, pergumulan
dan perdebatan sampai sekarang. 42
42
Wawancara dengan Bpk Pdt GGR (Pdt senior Gereja Toraja), Rantepao, 27 Juli 2017.
16
Pa’ wai mata dalam bingkai perspektif Turner, Bourdieu dan Mead
Setelah menguraikan hasil penelitian di atas maka penulis mencoba untuk
mengkaji pemahaman pa’ wai mata menurut budaya Toraja dan anggota Gereja
Toraja Jemaat Tilengko berkaitan dengan teori ritual dan simbol yang telah
penulis paparkan. Jika melihat pada teori ritual dapat dipahami bahwa pa’ wai
mata merupakan tata cara atau adat kebiasaan dalam upacara rambu solo’ yang
selalu dilakukan oleh orang Toraja ketika ada kerabat atau keluarga yang
mengalami kedukaan. Pa’ wai mata sebagai bentuk ekspresi untuk menjelaskan
bahwa seseorang atau sekelompok orang turut prihatin, peduli dan juga merasakan
sakit atas kehilangan. Oleh karena itu diwujudkan dalam bentuk memberikan
materi, jasa, pemikiran, ide dan waktu.
Sebagaimana yang diketahui, Turner beranggapan bahwa ritus –ritus yang
diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius.
Ritus-ritus yang dilakukan tersebut mendorong orang-orang untuk melakukan dan
mentaati tatanan sosial tertentu. Ritus-ritus tersebut juga memberikan motivasi
dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam.43
Makna pa’ wai mata yang adalah
empati, cinta kasih yang murni dari hati, turut berduka cita atau membalas
kebaikan orang yang telah meninggal (“mammaran mata”) dan keluarga yang
ditinggalkan merupakan cerminan dari aluk todolo (kepercayaan orang dulu atau
keyakinan religius orang-orang Toraja dulu). Jika dipahami lebih jauh sebenarnya
jauh sebelum kekristenan masuk ke Toraja dan mengajarkan ajaran Yesus tentang
kasih yang tulus, nenek moyang orang Toraja sudah mengenal dan memahami
kasih itu, kasih yang diwujudkan dalam bentuk pa’ wai mata ketika ada keluarga
atau kerabat yang mengalami kedukaan.
Pa’ wai mata maupun petua juga memberikan motivasi dan nilai-nilai yang
sangat berpengaruh dalam kehidupan keluarga orang Toraja. Sekalipun petua
dipahami sebagai pemberian yang berarti utang, tetapi nilai yang ada pada petua
sangat penting mempererat dan memperkokoh hubungan kekeluargaan. Dengan
adanya petua maka hubungan kekeluargaan diantara kedua bela pihak tidak akan
terputus justru akan saling menyatukan karena setiap keluarga berkontribusi dan
mengambil bagian dalam kedukaan.
43
Y.W. Wartajaya Winangun, Masyarakat bebas struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 67.
17
Di samping itu jika pemahaman Bourdieu tentang simbol dikaitkan dengan
praktik pa’ wai mata menurut budaya Toraja dan anggota Gereja Toraja Jemaat
Tilengko maka dapat dipahami bahwa pa’ wai mata merupakan medium yang
menjadi perantara orang Toraja dalam memaknai wujud cinta kasihnya atau turut
berduka cita kepada orang yang meninggal atau keluarga yang ditinggalkan.
Lewat babi, kerbau, ide, pemikiran, jasa dan waktu orang Toraja mengungkapkan
kasih, kepedulian dan keprihatinannya kepada orang yang meninggal dan keluarga
yang ditinggalkan ataupun sebaliknya dewasa ini dapat mengungkapkan sebuah
utang atau pinjaman yang tak tersirat namun kedua bela pihak sudah saling
mengetahui dan mengerti.
Bourdieu memahami bahwa makna suatu hal sangat tergantung dari cara
manusia merepresentasikannya,44
jika melihat pada pemahaman anggota Jemaat
Tilengko dalam melakukan praktik pa’ wai mata dengan cara menilai dan
mengukur babi atau kerbau yang diberikan ataupun dibawakan maka dapat
dipahami bahwa maksud keluarga tersebut tidak selamanya berarti wujud cinta
kasih atau berbela sungkawa melainkan wujud utang atau pinjaman yang
diharapkan akan dikembalikan suatu saat nanti. Dalam peribahasa orang Toraja
dikenal dengan istilah “mantanan punti” (menanam pisang) yang berarti
memberikan babi atau kerbau kepada setiap kerabat atau keluarga yang berduka
dengan harapan suatu hari nanti harus dikembalikan dengan nilai dan ukuran yang
lebih besar.
Sekalipun teori Bourdieu tentang kekuasaan simbolik dikhususkan bagi
ketidakadilan yang dialami kaum budak dari para penguasa namun dewasa ini
dapat juga dipakai dalam melihat kasus pa’ wai mata yang maknanya telah
bergeser. Kekuasaan simbolik menjalankan bentuk-bentuk yang halus agar tak
dikenali; dominasi yang mengambil bentuk yang halus disebut sebagai kekerasan
simbolik.45
Pa’ wai mata dapat dianggap sebagai bentuk-bentuk halus agar
tujuannya tak dikenali. Jadi sekalipun orang Toraja mengerti maksud dari pa’ wai
mata yang diberikan tetapi tidak akan langsung merasa didominasi atau dililit
44
Pierre Bourdieu, Menyikap Kuasa Simbol (Bantul: Jalasutra, 2014), 21. 45
Bourdieu, Menyikapi Kuasa, 143.
18
utang karena bentuknya sebagai wujud berdukacita dan keprihatinan kepada
keluarga yang ditinggalkan.
Makna praktik pa’ wai mata yang telah bergeser mengakibatkan praktik pa’
wai mata menjadi sebuah kekerasan simbolik. Di balik pa’ wa mata yang
bermakna kasih, berbela sungkawa, menolong dan meringankan keluarga yang
berduka sebenarnya tersimpan sebuah tuntutan atau beban kepada orang yang
menerimanya. Orang yang menerimanya mendapatkan dua kali beban; beban
karena duka dan beban karena utang dari pa’ wai mata.
Alasan orang Toraja masa kini atau beberapa anggota Jemaat Tilengko
melakukan hal tersebut mungkin didasari seperti teori Mead tentang
interaksionisme simbolik, yaitu didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan
hubungannya dengan masyarakat.46
Adanya pemahaman pada sebagian diri orang
Toraja bahwa harga diri itu penting “siri” (budaya malu) mengakibatkan
pemahaman tentang pa’ wai mata tidak lagi berwujud ketulusan, kasih, saling
tolong menolong, mempererat hubungan persaudaraan dan kekeluargaan,
melainkan ingin menunjukkan prestise bahwa saya bisa memberikan dan
mengembalikan dalam bentuk yang terbaik tidak peduli mampu atau tidak
mampu; menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Selain itu alasan lain mungkin juga karena proses budaya dan sosial.47
Seperti
yang dikatakan oleh salah satu narasumber; pa’ wai mata diistilakan oleh
sebagian orang Toraja sebagai “lingkaran setan” yang berarti utang yang tidak ada
habisnya dan akan terus dibawa sampai mati. Jadi selama kita berinteraksi dengan
keluarga dan kerabat dan terlibat langsung dalam upacara rambu solo’ kita akan
terus melakukan praktik pa’ wai mata. Sebuah kebiasaan yang harus terus
dilakukan oleh orang Toraja karena tidak dapat dipungkiri tanpa pa’ wai mata
yang dipahami sebagai utang hubungan kekerabatan dan kekeluargaan akan
pudar. Ketika kita memutuskan lingkaran setan itu maka tidak ada lagi salah satu
interaksi atau hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang nyata.
46
NA Anzarsari, “BAB II Teori Interaksionisme Simbolik Sebagai Alat Analisis,” diakses
Juli 13, 2017, http://digilib.uinsby.ac.id/5928/5/Bab%202.pdf. 47
Anzarsari, Teori Interaksionisme Simbolik.
19
Pa’ wai mata dalam perjumpaan dengan perspektif Teologi Sosial
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis maka dapat
diketahui bahwa Gereja Toraja secara umum maupun Gereja Toraja Jemaat
Tilengko secara khusus belum sepenuhnya memahami teologi sosial. Hal itu nyata
dari kurangnya keterlibatan Gereja Toraja khususnya Gereja Toraja Jemaat
Tilengko dalam menyikapi penyakit sosial yang disebabkan oleh praktik pa’ wai
mata. Berdasarkan tahapan analisis sosial menurut Banawiratma,48
hal pertama
yang seharusnya dilakukan oleh Gereja Toraja Jemaat Tilengko dalam menyikapi
penyakit sosial yang disebabkan oleh praktik pa’ wai mata adalah melakukan
refleksi teologis-sosial yang dimulai dengan kenyataan sosial atau situasi yang
dialami bersama.49
Namun jika melihat pada kenyataan yang ada di lapangan
Gereja Toraja Jemaat Tilengko sepertinya belum menaruh perhatian serius
terhadap persoalan budaya dalam hal pa’ wai mata. Hal itu dibuktikan dari
pengakuan pihak Gereja bahwa belum ada keterbukaan secara langsung oleh
warga Jemaat terkait persoalan pa’ wai mata. Gereja Toraja Jemaat Tilengko
sepertinya kurang kritis dalam melihat persoalan yang dialami oleh warga
Jemaatnya.
Hal kedua yang seharusnya dilakukan oleh Gereja Toraja Jemaat Tilengko
adalah merumuskan keprihatinan bersama secara lebih teliti dan terinci. Orang-
orang beriman yang ambil bagian dalam situasi itu merumuskan keprihatinan
iman mereka.50
Jika dikaitkan berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan
dengan Pendeta Gereja Toraja Jemaat Tilengko dapat diketahui bahwa pihak
Gereja telah merumuskan keprihatinan mereka dengan cara Gereja mengambil
sikap pendampingan, penggembalaan dan mendoakan jika ada anggota Jemaat
yang mengalami masalah. Menurut penulis hal tersebut belum cukup mengingat
pihak Gereja sejak awal belum kritis dalam melihat persoalan pa’ wai mata yang
dihadapi oleh anggota Jemaatnya sehingga untuk merumuskan keprihatian
tersebut tidak lah instan, dibutuhkan pendekatan dan pembahasan yang serius
dengan warga Jemaat Tilengko.
48
J.B. Banawiratma (Editor), Aspek-Aspek Teologi Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1988),
11-14. 49
Banawiratma, Aspek-Aspek, 11-14. 50
Banawiratma, Aspek-Aspek, 11-14.
20
Hal Ketiga yang seharusnya dilakukan oleh Gereja Toraja Jemaat
Tilengko adalah melakukan analisis iman lebih lanjut, yaitu melalui komunikasi
dengan tradisi-tradisi Kristiani. Tradisi-tradisi Kristiani dimengerti secara luas,
yakni apa-apa saja yang menampilkan iman akan Yesus Kristus.51
Dalam hal ini
Gereja Toraja Jemaat Tilengko sudah melakukan analisis iman; pa’ wai mata bagi
Gereja adalah bagian dari pelayanan kepada mereka yang berbeban berat, dimana
kasih Kristus nyata dalam duka yang dialami oleh saudara seiman, namun jika
melihat pada kenyataan yang ada, hal tersebut belum sepenuhnya diyakini oleh
warga Jemaat, sehingga pergeseran makna dalam praktik pa’ wai mata masih
terus terjadi di kalangan anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko.
Hal terakhir yang perlu dilakukan Gereja dalam menyikapi persoalan pa’
wai mata di kalangan anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko adalah melakukan
perencanaan pastoral ke arah kegiatan pelayanan; ke arah gerakan bersama.52
Jika
melihat pada kenyataan yang ada, Gereja Toraja Jemaat Tilengko belum
mengambil sikap perencanaan pastoral kearah kegiatan pelayanan. Sekalipun
sinode Gereja Toraja sudah melakukan berbagai upaya dalam menyikapi
persoalan budaya tetapi persoalan budaya di tiap Gereja Toraja masih terjadi, oleh
karena itu dibutuhkan kerja sama terus menerus antara pihak sinode Gereja Toraja
dan Jemaat-Jemaat Gereja Toraja.
Berdasarkan analisis-analisis tersebut dapat dipahami bahwa Gereja Toraja
Jemaat Tilengko maupun Sinode Gereja Toraja sepertinya belum mampu
melakukan suatu analisis dalam teologi sosial yang dapat menjawab persoalan
budaya khususnya praktik pa’ wai mata, sehingga pergeseran makna pa’ wai
mata yang berakibat pada penyakit sosial seperti pertikaian dalam keluarga, stres,
pendidikan anak terbengkalai, korupsi, budaya pesta pora dan berpindah aliran
Gereja ke pentakosta masih terus terjadi di kalangan anggota Gereja Toraja
khususnya Jemaat Tilengko.
Di samping itu salah satu penyebab lain bergesernya makna pa’ wai mata
di kalangan anggota Jemaat Gereja Toraja adalah karena tidak adanya usaha
51
Banawiratma, Aspek-Aspek, 11-14. 52
Banawiratma, Aspek-Aspek, 11-14.
21
inkulturasi,53
dari pihak Gereja Toraja. Gereja sepertinya tidak membuka diri dan
memandang positif terhadap budaya dan adat- istiadat setempat. Gereja tidak
mengajak anggota Jemaat untuk belajar melihat nilai-nilai positif yang terdapat
dalam adat istiadat atau tradisi-tradisi.54
Dalam kasus pa’ wai mata, Gereja tidak
memberikan pemahaman kepada warga Jemaat bahwa ada nilai-nilai Kristiani
yang terkandung dalam pratik pa’ wai mata yaitu empati, cinta kasih yang tulus
kepada mereka yang berbeban berat seperti yang diajarkan oleh Yesus. Sehingga
hal ini berdampak pada pergeseran makna pa’ wai mata dari relasi kultural kepada
relasi material di dalam institusi Gereja Toraja.
Kesimpulan
Makna pa’ wai mata merupakan cerminan religius dari keyakinan orang
Toraja dahulu yaitu aluk todolo. Pa’ wai mata maupun petua adalah sebuah
keyakinan yang mengandung nilai- nilai kasih persaudaraan dan hubungan
kekeluargaan yang kokoh. Pa’ wai mata sebagai simbol cinta kasih,
persaudaraan, kekerabatan dan empati atas duka diwujudkan orang Toraja dalam
bentuk memberikan apa yang ada pada dirinya baik itu materi, ide, pikiran, tenaga
dan waktu, namun seiring berkembangnya zaman, pemahaman akan nilai-nilai itu
telah bergeser di kalangan masyarakat Toraja maupun anggota Gereja Toraja
khususnya anggota Gereja Toraja Jemaat Tilengko. Akibatnya berbagai penyakit
sosial terjadi, seperti pertikaian dalam keluarga, stres, pendidikan anak
terbengkalai, korupsi, budaya pesta pora dan berpindah aliran Gereja.
Berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan, bergesernya makna pa’
wai mata disebabkan karena pertama, berdasarkan teori Mead, adanya ide-ide
mengenai diri menjadi dasar sebagian orang Toraja melakukan praktik pa’ wai
mata. Adanya budaya siri’ (malu) yang melekat pada diri setiap orang Toraja
sehingga pa’ wai mata tidak lagi dimaknai sebagai wujud cinta kasih, kepedulian,
persaudaraan, kekerabatan dan empati atas duka melainkan sebuah utang yang
harus dikembalikan, jika tidak dikembalikan maka secara tidak langsung akan
menurunkan harga diri keluarga atau orang Toraja. Prestise atau aktualisasi diri
53
Slamet R Aji, “Gereja dan Budaya,” Academia, diakses Agustus 28, 2017,
https://www.academia.edu/17778351/Gereja_dan_Budaya 54
Slamet, “Gereja dan Budaya”
22
kemudian tercampur dan terjebak dalam lingkaran setan yang menghalalkan
berbagai cara untuk mendapatkan materi, sehingga praktik ini terus menerus
terjadi di kalangan masyarakat Toraja.
Kedua, bergesernya makna pa’ wai mata dari relasi kultural ke relasi
material dalam institusi Gereja adalah karena tidak adanya usaha inkulturasi dari
pihak Gereja Toraja. Gereja sepertinya tidak membuka diri dan memandang
positif terhadap budaya dan adat- istiadat setempat. Gereja tidak mengajak
anggota Jemaat untuk belajar melihat nilai-nilai positif yang terdapat dalam adat
istiadat atau tradisi-tradisi budaya Toraja, akibatnya anggota Jemaat dalam
melakukan praktik kebudayaan salah satunya praktik pa’ wai mata tidak lagi
melihat makna sesungguhnya dari praktik tersebut. Di samping itu tidak adaya
usaha yang nyata dari pihak Gereja untuk melakukan pendekatan analisis sosial
secara benar dan menyeluruh, sehingga Gereja seakan tidur dan tidak mengetahui
persoalan dari praktik kebudayaan.
Saran penulis adalah Gereja berani menekankan persoalan budaya siri’
atau prestise yang keliru di kalangan orang Toraja kepada warga Jemaat dalam
khotbah-khotbah maupun renungan. Gereja dapat menekankan kembali makna
sesungguhnya dari praktik pa’ wai mata sehingga warga Jemaat maupun
masyarakat Toraja tidak keliru dalam memaknai dan melaksanakan praktik pa’
wai mata maupun praktik lain dalam ritual upacara rambu solo’. Gereja
membangun hubungan yang erat antara injil dan kebudayaan. Selain itu Gereja
juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan akan konseling pastoral
terkhususnya bagi pendeta-pendeta Gereja Toraja, agar majelis Gereja dapat
berinteraksi dengan warga Jemaat, sehingga warga Jemaat dapat memiliki ruang
yang nyaman dalam menyampaikan keluh kesahnya terkait persoalan kebudayaan
terkhususnya praktik pa’ wai mata.
Daftar Pustaka
Anzarsari NA. “BAB II Teori Interaksionisme Simbolik Sebagai Alat Analisis,” diakses Juli 13, 2017, http://digilib.uinsby.ac.id/5928/5/Bab%202.pdf.
Aji R Slamet. “Gereja dan Budaya,” Academia, diakses Agustus 28, 2017,
https://www.academia.edu/17778351/Gereja_dan_Budaya Bararuallo, F. Kebudayaan Toraja. Yogyakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2010.
23
Bangka’Leo. Aluk Rambu Solo’ dan Presepsi Orang Kristen terhadap Rambu
Solo’. Toraja: Percetakan Sulo, 1996 Banawiratma, B.J (Editor). Aspek-Aspek Teologi Sosial. Yogyakarta: Kanisius,
1988 Banawiratma B. J. Berteologi Sosial Lintas Ilmu (Yogyakarta: Kanisius, 1993)
Bourdieu Pierre. Menyikap Kuasa Simbol. Bantul: Jalasutra, 2014
Et al Suhartati. Fungsi dan Makna Simbolis Genta di Jawa Tengah. Semarang:
Dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi jawa tengah, 2007. Kobong T. Manusia Toraja: Dari mana-Bagaimana- Ke mana. Tangmentoe:
Institut Theologia, 1983. Kobong T, Plaisier. B, Rumpa. A, Pasolon. R. J, Parnitak. C, Sarira. A.J, Lebang.
J. Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam perjumpaan dengan Injil. Jakarta: Institut Theologia Indonesia, 1992.
Kobong, T. Injil dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1982. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat,
1985. Moleong J Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1990. Nasir, M. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1999
Paseru Seno. Aluk To dolo Toraja: Upacara Pemakaman Masa Kini Masih Sakral. Salatiga: Widya Sari Press,2004.
PEMDA Toraja. Toraya Ma’kombongan, Yogyakarta: Penerbit Sopai, 2013.
Putri Sevilla. “Melihat Hubungan Konsep Ritual dan Simbol dalam Upacara Ngaben,” Anak Kedua Blog, Juni 27, 2015, diakses Juli 12, 2017, http://lejaf.blogspot.co.id/2015/06/melihat-hubungan-konsep-ritual-dan.html.
Sitonda Nasir Mohamad. Toraja, Warisan Dunia. Makasar: Pustaka Refleksi,
2005. Sarira, Y A. Rambu Solo’ dan Presepsi Orang Kristen tentang Rambu Solo’.
Toraja: PGT, 1996. Saroengallo, T. Ayah anak beda warna!. Yogyakarta: Tembi Rumah Budaya,
2010. Suprayogo Imam. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001.
24
SJ Henriot Petter dan Holland Joe. Analisis sosial dan reflesi teologis; Kaitan
iman dan keadilan. Yogyakarta: Kanisius,1986. SJ Bakker, M.W, J. Filsafat kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Tammu. J dan Veen Van Der. Kamus Toraja –Indonesia. Rantepao: Yayasan
Perguruan Kristen Toraja, 1972. Tangdilintin. E. L. Upacara Pemakaman Adat Toraja.Toraja: Yayasan Lepongan
Bulan, 1980. Turner Victor. The Ritual Process. America: Aldine Publishing Company, 1969.
Winangun Wartajaya Y.W. Masyarakat Bebas Struktur, Liminitas dan Komunitas
menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius, 1990.