makalah ikterik tmk
DESCRIPTION
Modul TMK Universitas Trisakti Fakultas KedokteranTRANSCRIPT
MODUL ORGAN TINDAKAN MEDIK DAN KEPERAWATAN
OTITIS MEDIA AKUT
KELOMPOK 4
030 06 058 Dennys Bercia
030 06 149 M. Ardiyansyah Rakun
030 07 204 Primanda Andyastuty
030 07 205 Putri Balqis
030 08 034 Anrico Muhammad
030 08 035 Aqsha Tiara Viazelda
030 08 097 Fani Safitri
030 08 102 Ferdy
030 08 173 Naskaya Suriadinata
030 08 174 Neysa Glenda Preciosa
030 08 251 Vilma Swari
030 08 252 Vithia Ghozalla
030 08 303 Siti Nasirah BT Ahmad S
JAKARTA, 18 November 2010
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
BAB I
PENDAHULUAN
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya
produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal
ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih
pendek(1).
Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin
(lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus
neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat
menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental
yang sangat mempengaruhi kualitas hidup(1).
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per
1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah
satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan
proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup(1).
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis
dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.
Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8(2).
Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita
ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan, hal ini disebut ikterus fisiologis. Namun sebagian lagi memerlukan pengobatan
karena berbahaya dan dikenal dengan ikterus patologis.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang bayi usia 4 hari, mengalami ikterus sejak usia 2 hari, lahir spontan ditolong
bidan dengan berat lahir 2200 gram dan tidak langsung menang. Pada pemeriksaaam fisis
didaatkan berat 2100 gram, sadar, tidak panas, ikterus diwajah sampai toraks dan abdomen.
Hasil pemeriksaan bilirubin total 16, 5 ml/dL. Anda sebagai mahasiswa diminta merancang
tatalaksana kasus tersebut.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus
pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL (kondisi
hiperbilirubinemia) atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum, bila masuk ke
otak dapat menyebabkan ensefalopati bilirubin atau kern ikterus, dimana anak dapat
mengalami gangguan gerakan hingga kehilangan pendengaran sensorial.
ETIOLOGI
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi
enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang
berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan
diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya
akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
5. Perinatal Stress
Terjadi karena adanya gangguan seperti sepsis, sesak nafas, dehidrasi, demam,
perdarahan yang menyebabkan hambatan pada proses konjugasi.
6. Prematuritas
Sehingga terjadi hepar belum terbentuk sempurna dan terjadi gangguan pada
perubahan bilirubin indirect menjadi bilirubin direct.
PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian
yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar
yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan pengambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan
proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau
dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase)
atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak
ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih
dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus
sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan
susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi. (7,9)
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan umur pasien.
Stadium otitis media akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah :
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah.
Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan
dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi.
2. Stadium hiperemis (presupurasi)
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani
tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat
serosa sehingga sukar terlihat.
3. Stadium supurasi
Membrana timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa
telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di
kavum timpani. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta nyeri di telinga
bertambah hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia, tromboflebitis dan
nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
4. Stadium perforasi
Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat terjadi
ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien
yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak.
5. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila terjadi
perforasi maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh baik dan
virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. Otitis media akut
(OMA) berubah menjadi otitis media supuratif subakut bila perforasi menetap dengan sekret
yang keluar terus-menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut otitis media
supuratif kronik (OMSK) bila berlangsung lebih 1,5 atau 2 bulan. Dapat meninggalkan gejala
sisa berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa perforasi.
Pada anak, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada orang dewasa, didapatkan juga gangguan pendengaran berupa rasa penuh atau kurang
dengar.
Pada bayi dan anak kecil gejala khas otitis media anak adalah suhu tubuh yang tinggi (> 39,5
derajat celsius), gelisah, sulit tidur, tiba-tiba menjerit saat tidur, diare, kejang, dan kadang-
kadang memegang telinga yang sakit. Setelah terjadi ruptur membran tinmpani, suhu tubuh
akan turun dan anak tertidur.
DIAGNOSA
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut.6
1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)
2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh) di telinga
tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
a. menggembungnya gendang telinga
b. terbatas/tidak adanya gerakan gendang
telinga
c. adanya bayangan cairan di belakang
gendang telinga
d. cairan yang keluar dari telinga
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah satu
di antara tanda berikut:
a. kemerahan pada gendang telinga
b. nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun telinga
pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran, demam, sulit makan,
mual dan muntah, serta rewel.4,6,7 Namun gejala-gejala ini (kecuali keluarnya cairan dari
telinga) tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis OMA tidak dapat didasarkan pada
riwayat semata.6
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan gendang
telinga dengan jelas).4 Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan
suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik (pemeriksaan
telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi dengan pompa udara
kecil untuk menilai respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara).6 Gerakan
gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan
ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis
OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa.4 Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan
dengan timpanosentesis (penusukan terhadap gendang telinga).6 Namun timpanosentesis
tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi perlunya timpanosentesis antara lain adalah
OMA pada bayi di bawah usia enam minggu dengan riwayat perawatan intensif di rumah
sakit, anak dengan gangguan kekebalan tubuh, anak yang tidak memberi respon pada
beberapa pemberian antibiotik, atau dengan gejala sangat berat dan komplikasi.8
OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA. Untuk
membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut.4
Gejala dan tanda OMA Otitis media dengan efusi
Nyeri telinga, demam, rewel + -
Efusi telinga tengah + +
Gendang telinga suram + +/-
Gendang yang menggembung +/- -
Gerakan gendang berkurang + +
Berkurangnya pendengaran + +
- Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA tidak memiliki
bukti yang cukup.4
PENCEGAHAN
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah pencegahan ISPA pada
bayi dan anak-anak dan penghindaran pajanan terhadap asap rokok.4,6. Berenang
kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA.4
KOMPLIKASI
Sebelum adanya antibiotik, otitis media akut (OMA) dapat menimbulkan komplikasi, mulai
dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Otitis media yang tidak diobati
dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah, termasuk otak.3 Namun komplikasi ini
umumnya jarang terjadi.4 Salah satunya adalah mastoiditis pada 1 dari 1000 anak dengan
OMA yangtidak diobati.
Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen.3
Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat mengurangi pendengaran anak serta
menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan bahasa. Otitis media dengan efusi
didiagnosis jika cairan bertahan dalam telinga tengah selama 3 bulan atau lebih.4
Rujukan
Beberapa keadaan yang memerlukan rujukan pada ahli THT adalah;
1. Anak dengan episode OMA yang sering (lebih dari 4 episode dalam 6 bulan.)4 Sumber lain
menyatakan lebih dari 3 kali dalam 6 bulan atau lebih dari 4 kali dalam satu tahun7.
2. Anak dengan efusi selama 3 bulan atau lebih, keluarnya cairan dari telinga, atau
berlubangnya gendang telinga4,7 .
3. Anak dengan kemungkinan komplikasi serius seperti kelumpuhan saraf wajah atau
mastoiditis (mastoiditis: peradangan bagian tulang tengkorak, kurang lebih terletak pada
tonjolan tulang di belakang telinga)7 .
4. Anak dengan kelainan kraniofasial (kraniofasial: kepala dan wajah), sindrom Down,
sumbing, atau dengan keterlambatan bicara7.
5. OMA dengan gejala sedang-berat yang tidak memberi respon terhadap 2 antibiotik7
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Tn. A
Usia : 3 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
ANAMNESIS
Keluhan utama :
Sakit telinga kiri
Keluhan tambahan :
Batuk dan pilek sudah satu minggu
Anamnesis tambahan (alloanamnese)
Bagaimana sifat demamnya? Apakah demam muncul mendadak atau perlahan?
(perlahan disebabkan karena bakteri dan jika munculnya mendadak disebabkan
karena virus)
Apakah pada telinga keluar cairan (sekret) atau tidak ada? Jika ada bagaimana warna
dan konsistensi cairannya?
Apakah ada riwayat alergi? (mungkin rhinitis akut oleh karena alergen)
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum:
Tampak sakit berat, gelisah, rewel
Tangannya memegang telinga kirinya
Nadi meningkat tidak normal
Suhu 40 oC febris (karena adanya infeksi)
Status THT :
Telinga kiri: tidak ada nyeri tekan tragus dan nyeri tarik aurikula. Tidak ada
nyeri tekan mastoid, liang telinga lapang, tenang -> telinga luar kiri tenang.
Membran Timpani telinga kiri bulging warna sedikit kekuningan -> tidak
normal. Ada sesuatu yang mendorong keluar membran timpani, mungkin
dikarenakan adanya cairan (sekret) dan pus serta sumbatan akibat inflamasi
jaringan sehingga pus dan cairan ini menekan membran timpani keluar.
Telinga kanan dalam batas normal
Pemeriksaan Lab :
Hemoglobin : 13 gr% -> normal
Leukosit : 19.500/µl -> leukositosis (biasa karena infeksi bakteri)
DIAGNOSIS KERJA
OTITIS MEDIA AKUT STADIUM SUPURASI AURIS SINISTRA
PENATALAKSANAAN
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk
mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik.
Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani
masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur4.
Penanganan
Antibiotik
OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya4. Sekitar 80% OMA
sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak mengurangi komplikasi
yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya pendengaran.4,9 Observasi dapat dilakukan pada
sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-72 jam atau ada perburukan gejala,
antibiotik diberikan.4,6
Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39°C dalam 24
jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang – berat atau demam 39°C.
Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan – dua
tahun dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua
tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat terlaksana.
Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.
Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak
adalah amoxicillin.4,6,7
Buku ajar THT UI menganjurkan pemberian pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-
100 mg/BB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/BB/hari dibagi dalam 3
dosis, atau eritromisin 40 mg/BB/hari14.
Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam.6 Dalam 24 jam
pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi perbaikan. Jika pasien
tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada penyakit lain atau pengobatan yang
diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik lini
kedua. Misalnya:
1. Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian dipilih adalah amoxicillin-
clavulanate.6 Sumber lain menyatakan pemberian amoxicillin-clavulanate dilakukan jika
gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam 14 hari.4
2. Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin seperti
cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.
3. Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau
clarithromycin.4,6
4. Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-trimethoprim.5,6
Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang tidak membaik dengan
amoxicillin.4,6
Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan yang diambil
adalah ceftriaxone selama tiga hari.6
Analgesia/pereda nyeri
Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia).4,6
Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti paracetamol atau
ibuprofen. Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan
bahwa anak tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena
ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna.
Pemberian obat-obatan lain seperti antihistamin (antialergi) atau dekongestan tidak
memberikan manfaat bagi anak.4
- Pemberian kortikosteroid juga tidak dianjurkan.7
- Miringotomi (miringotomi: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan yang
menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus di mana terjadi
gejala yang sangat berat atau ada komplikasi.4 Cairan yang keluar harus dikultur.
Miringotomi
Miringotomi adalah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani agar terjadi drainase
sekret dari telinga tengah ke telinga luar. Tindakan bedah kecil ini harus dilakukan a vue
(lihat langsung), pasien harus tenang dan dikuasai. Lokasi insisi di kuadran posterior inferior.
Operator harus memakai lampu kepala dengan sinar yang cukup terang, corng telinga yang
sesuai,_serta_pisau_parasentesis_yang_kecil_dan_steril.
Dianjurkan untuk melakukannya dengan narkosis umum dan memakai mikroskop.
Bila pasien mendapat terapi yang adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali bila
jelas_tampak_adanya_nanah_di_telinga_tengah.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan akibat trauma liang telinga luar,
dislokasi tulang pendengaran, trauma pada fenestra rotundum, trauma nervus fasialis, dan
trauma_pada_bulbus_jugular.
Indikasi Miringotomi
- Persisten pain dan recurrent otalgia
- Efusi telinga tengah dengan hyperemia dan buldging dan anak tampak sakit berat
- Severe earache
- Bila hasil pengobatan antibiotik kurang memuaskan
- Anak tiba-tiba menderita OMA selagi mendapat terapi AB untuk penyakit lain
- Bila OMA terjadi pada anak yang immunologically comprunused
- OMA pada neonatus
Parasentesis
Parasentesis adalah pungsi pada membran timpani dengan semprit dan jarum khusus untuk
mendapatkan sekret guna pemeriksaan mikrobiologik. Komplikasinya kurang lebih sama
dengan miringotomi.
BAB V
KESIMPULAN
Telinga tengah terdiri dari Membran timpani, Kavum timpani, Prosesus mastoideus,
dan Tuba eustachius. Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Penyebab otitis
media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri. Bakteri penyebab otitis media
tersering adalah Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae dan
Moraxella cattarhalis. Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa.
Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan umur
pasien serta terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pada pasien pada kasus di atas,
pasien menderita otitis media akut stadium supurasi auris sinistra. Selain antibiotik, pasien
harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga
gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur4. Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik,
pilihan pertama untuk sebagian besar anak adalah amoksisilin dan pemberian antibiotik
adalah 3-7 hari atau lima hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pediatrik.Com. Hiperbiliribinnemia. Available at:
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-
ypme265.htm. Access at November 23, 2010
2. Informasi Kesehatan. Mengenal Ikterus Neonatum. Available at:
http://www.smallcrab.com/anak-anak/535-mengenal-ikterus-neonatorum. Access at
November 23, 2010.
3.