lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../uploads/2015/02/nurul-ulfatin_profil.docx · web viewpengembangan...
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN KURIKULUM “JALAKAR” (BELAJAR DAN BERKARYA) UNTUK MENINGKATKAN KEBERMAKNAAN HASIL PEMBELAJARAN SISWA SMP SATU ATAP SEBAGAI PROGRAM
WAJIB BELAJAR 9 TAHUN DI DAERAH TERPENCIL
Prof. Dr. Nurul Ulfatin, M.Pd.
Administrasi PendidikanUniversitas Negeri malangJalan Terusan Sigura-gura D 172
Prof. Dr. Amat Mukhadis, M.Pd
Teknik MesinUniversitas Negeri malangJalan Terusan Sigura-gura D 172
Satu alternatif pemecahan untuk penuntasan program wajib belajar sembilan tahun di daerah terpencil yang dipilih pemerintah adalah sekolah (SMP) satu atap, yaitu SMP yang didirikan dalam satu gedung dengan SD. Dalam pelaksanaannya, SMP satu atap masih memerlukan kajian terutama yang terkait dengan kurikulum. Kurikulum yang dianggap cocok untuk SMP Satu Atap adalah kurikulum yang menggabungkan antara kurikulum pendidikan pra-kejuruan, kurikulum SMP, dan kurikulum pendidikan luar sekolah. Kurikulum ini dinamai kurikulum “Jalakar” (Belajar dan Berkarya).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan kurikulum “Jalakar” untuk SMP Satu Atap di daerah terpencil. Penelitian dirancang tiga tahap dan dilaksakanan selama tiga tahun. Tahun pertama (2013), telah dihasilkan luaran: (1) deskripsi: (a) SMP satu atap memiliki kekhususan yang cenderung di bawah standar SMP reguler terutama dari segi ekonomi, akses pembangunan, dan sumber daya; (b) kurikulum yang dibutuhkan oleh siswa adalah kurikulum yang memberikan pengalaman tentang keterampilan untuk bekerja, yang disebut kurikulum “Jalakar”; (c) kerangka dasar kurikulum “Jalakar” terdiri atas: landasan filosofis, teoretis, yuridis, dan geografis; makna “Jalakar” berarti memberikan pengalaman pembelajaran dalam mata pelajaran inti dan pengalaman berlatih keterampilan dalam matapelajaran Prakarya; standar kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan; dan gambaran pembelajaran adalah mempertimbangkan potensi dan keterbatasan lingkungan sekolah; (d) struktur kurikulum “Jalakar” mencakup kompetensi inti, kompetensi dasar, susunan matapelajaran, beban belajar, dan muatan pembelajaran; (e) perangkat kurikulum yang diperlukan adalah silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, dan buku/sumber belajar; dan (f) keefektifan kurikulum “Jalakar” yang mencakup kerangka dasar, struktur, dan perangkat dikategorikan baik menurut uji ahli; (2) dua tesis dan satu disertasi terkait tema penelitian, serta kelulusan 2 orang mahasiswa S2 dan 1 orang mahasiswa S3; (3) dua artikel: (a) dimuat pada Jurnal Peradaban: Jurnal Rasmi Pusat
Peneliti Ringkasan Eksekutif
Dialog Peradaban Universiti Malaya, diterbitkan oleh Pusat Dialog Peradaban Universiti Malaya, Jilid 6, 2013, ISSN 1985-6296 dengan judul “Manajemen Layanan Khusus pada Kurikulum Muatan Lokal di Sekolah Satu Atap untuk Penguatan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun di Saerah Pedesaan dan Terpencil”, dan (b) dimuat pada Ilmu Pendidikan: Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan yang diterbitkan oleh FIP Universitas Negeri Malang, Volume 40, Nomor 2, 2013, ISSN 0854-8307 dengan judul “Kurikulum ‘Jalakar’ untuk SMP Satu Atap: Alternatif Pemenuhan Kebutuhan Peserta Didik di Daerah Pedesaan dan Terpencil”.
Tahun kedua (2014) telah dihasilkan luaran: (1) produk kurikulum “Jalakar” yang sudah teruji lapangan, terdiri atas: (a) kerangka das ar kurikulum (landasan, inti kegiatan belajar dan berkarya, standar kompetensi lulusan, dan gambaran proses pembelajaran); (b) struktur kurikulum (susunan matapelajaran, beban belajar, kompetensi inti, kompetensi dasar, dan muatan pembelajaran); (2) perangkat pembelajaran (contoh silabus, RPP, dan draft buku ajar penunjang kurikulum); (3) tiga tesis dan satu disertasi terkait tema penelitian serta kelulusan tiga orang mahasiswa S2 dan 1 orang mahasiswa S3; dan (4) satu makalah disajikan pada National Research Symposium di Universitas Negeri Malang 8-9 Oktober 2014 dengan judul “Pengembangan Kurikulum SMP di Daerah Pedesaan dan Terpencil”.
Tahun ketiga (2015) telah dihasilkan luaran: (1) video model pembelajaran tematik karya sebagai contoh implementasi kurikulum “Jalakar”; (2) buku panduan kurikulum “Jalakar” yang sudah disosialisaikan ke sejumlah SMP Satu Atap di Indonesia; (3) buku teks dengan judul “Pengembangan Kurikulum Belajar dan Berkarya” (UM Press); (4) buku ajar matapelajaran Prakarya kelas VII SMP (sedang proses terbit di percetakan); (5) satu makalah dengan judul “Roadmap Manajemen Pendidikan dalam upaya Memecahkan Masalah Pendidikan di Daerah Pedesaan/Terpencil Menghadapi Era MEA”, disajikan pada Scientific Forum Faculty of Education Department of Science Education (FIP-JIP) 9-11 Sepetember 2015 di UNG Gorontalo, [email protected] ; (6) makalah dengan judul “Junior High School Students in Remote Area: Learn and Help Parent Dilemma” disajikan pada The 1st International Confernce in Education and Training (ICET) , 6-8 November 2015 di FIP UM Malang, [email protected] ; (7) artikel jurnal internasional dengan judul “Matching curriculum for junior high school students in rural and remote
areas in Indonesia: towards the needs of learning and working” terbit 5(12),71-79, 2015 pada Journal of Basic and Applied Scientific Research (JBASR), www.textroad.com, dan (8) tesis dan disertasi mahasiswa secara komplementer (2 orang lulus dan lainnya sedang proses analisis data).
Pendidikan merupakan usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan pembimbingan, pengajaran
dan/atau pelatihan untuk menjadikan
peranannya di masyarakat pada masa yang
akan datang. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan bahwa salah satu arah
kebijakan pembangunan pendidikan adalah
mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu tinggi bagi seluruh rakyat
Indonesia. Amanat undang-undang itu
dijabarkan melalui program pendidikan
dasar yang bertujuan untuk: (1) memperluas
jangkauan dan daya tampung SD dan MI,
SMP dan MTs sehingga menjangkau anak-
anak dari seluruh lapisan masyarakat; (2)
meningkatkan kesamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan bagi kelompok
yang kurang beruntung, termasuk mereka
yang tinggal di daerah terpencil dan kumuh
perkotaan, daerah bermasalah, masyarakat
miskin, dan anak yang berkebutuhan
1. Penyebarluasan kurikulum “Jalakar”
Sebagaimana yang telah dikemukakan
pada rancangan penelitian, penyebarluasan
kurikulum hasil pengembangan kepada pihak-
pihak terkait dilakukan dalam bentuk tertulis,
tatap muka, dan praktik pembelajaran
Penelitian Mahasiswa Pascasarjana
yang KomplementerPenelitian mahasiswa yang
komplementer dengan penelitian ini dilakukan
oleh mahasiswa pascasarjana program studi
Manajemen Pendidikan S2 dan S3 di bawah
pembimbingan peneliti yang sedang menempuh
matakuliah tesis dan disertasi dengan tema
pendidikan di daerah pedesaan atau terpencil.
Penelitian ini sangat urgen dan penting
karena hasilnya bermanfaat untuk melihat
keunggulan dan kelemahan kurikulum “Jalakar”
yang dirancang dan dikembangkan secara khusus
bagi siswa SMP satu atap. Keunggulan kurikulum
“Jalakar” terletak pada relevansi dan
kebermaknaan hasil pembelajarannya untuk
siswa SMP satu atap di daerah pedesaan atau
daerah terpencil sebagai program penuntasan
wajib belajar 9 tahun. Produk akhir penelitian ini
Latar Belakang Hasil dan Manfaat
khusus; (3) meningkatkan kualitas
pendidikan dasar dan prasekolah dengan
kualitas yang memadai; dan (4)
meningkatkan pelaksanaan manajemen
pendidikan dasar dan prasekolah berbasis
pada sekolah dan masyarakat.
Kebijakan strategis oleh pemerintah
untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan
pendidikan dilakukan melalui program wajib
belajar pendidikan dasar (tingkat SD/MI dan
SMP/MTs) atau dikenal dengan wajib belajar 9
(sembilan) tahun. Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Ayat 2
ditegaskan bahwa “pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa memungut biaya”. Selanjutnya, pada
Ayat 3 juga ditegaskan bahwa “wajib belajar
tersebut merupakan tanggung jawab negara
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat”. Wajib belajar 9 tahun yang
dimaksud juga dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47
Tahun 2008 Pasal 1, yaitu bahwa program
pendidikan minimal yang harus diikuti Warga
Negara Indonesia (WNI) atas tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah adalah
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan yang
dimaksud berbentuk sekolah dasar (SD),
madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
berupa seperangkat kurikulum “Jalakar” yang
teruji dan siap disosialisasikan kepada pembuat
kebijakan di daerah, para praktisi di lapangan,
dan didesiminasikan kepada akademisi sebagai
pengembang ilmu melalui jurnal terakreditasi
nasional dan atau internasional. Perangkat
kurikulum hasil penelitian ini dinamai Kurikulum
“Jalakar” (Belajar dan Berkarya) untuk SMP Satu
Atap.
Secara teori, penelitian ini sangat penting
karena selama ini pengembangan kurikulum
dilakukan secara terpusat dan menghasilkan
kurikulum yang sama untuk semua sekolah
dengan kondisi peserta didik dan lingkungan yang
berbeda. Berdasarkan temuan penelitian
sebelumnya, peserta didik dan lingkungan
sekolah pedesaan, terutama daerah pedesaan
dan terpencil (termasuk SMP satu atap yang
secara khusus didirikan di daerah terpencil)
memiliki keunikan yang sangat khusus. Oleh
karenanya, sekolah tidak bisa maksimal jika
menggunakan kurikulum SMP reguler. Dengan
kata lain, mereka membutuhkan kurikulum yang
dirancang secara khusus sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi karakteristik sekolah.
Karakteristik yang sangat menonjol dan perlu
diakomodasi dalam pengembangan kurikulum
SMP satu atap adalah kebutuhan peserta didik
yang segera ingin dan bisa bekerja/berkarya
karena mereka dari keluarga tingkat ekonomi
rendah yang tidak akan melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi.
Penelitian ini penting untuk
sederajat, serta sekolah menengah pertama
(SMP), dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau
bentuk lain yang sederajat. Pada Pasal 2 juga
dijelaskan bahwa pemerintah mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi
setiap WNI untuk dapat mengembangkan
potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di
dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi.
Secara lebih rinci, tujuan program wajib
belajar 9 tahun adalah (1) mendorong anak usia
13-15 tahun agar masuk sekolah, baik SMP,
MTs, maupun pendidikan lainnya yang
sederajat; (2) meningkatkan angka partisipasi
anak untuk masuk SMP/MTs terutama di
daerah yang jumlah anak tidak bersekolah
SMP/MTs masih tinggi; (3) menurunnya angka
putus sekolah (drop out) SD/MI sampai
SMP/MTs; (4) meningkatkan peran serta
masyarakat untuk mensukseskan gerakan
nasional wajib belajar; (5) meningkatkan peran,
fungsi, dan kapasitas pemerintah (pusat,
propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan)
dalam penuntasan wajib belajar di daerah
masing-masing; dan (6) mewujudkan
komitmen internasional mengenai Education for
All (EFA) yang dideklarasikan di Dakar tahun
2000.
Dari data Susenas tahun 2003 terungkap
bahwa sekitar 75% anak usia 7-18 tahun yang
putus sekolah disebabkan oleh alasan ekonomi.
Selain itu, angka mengulang yang cukup tinggi
pengembangan teori manajemen pendidikan,
khususnya manajemen kurikulum dan
pembelajaran. Dengan penelitian ini, dihasilkan
inovasi pendidikan berupa pengembangan
kurikulum yang dilakukan dengan strategi
empirical-rational (Owens, 2005), artinya
perubahan dilakukan dengan metodologi yang
sistematis untuk memecahkan permasalahan
pendidikan secara lebih baik. Sistematika
pemecahan masalah diawali dengan penelitian
pendahuluan, mengembangkan prototipe, dan
diakhiri dengan finalisasi produk untuk
menghasilkan kurikulum (produk jadi) yang
sudah teruji dan hasilnya diharapkan memberi
dampak bagi perubahan kehidupan sekolah dan
masyarakat.
Secara praktis, kurikulum “Jalakar” yang
sudah teruji keefektifannya sangat penting bagi
guru di SMP satu atap karena kurikulum SMP
reguler yang selama ini digunakan dinilai tidak
efektif dan efisien. Ketidakefektifan terlihat dari
hasil belajar peserta didik yang selalu berada
pada tingkat rendah dari batas ketuntasan yang
dicapai oleh SMP reguler. Sedangkan
ketidakefisien dapat terlihat dari ketersediaan
sumberdaya guru dan sarana-prasarana yang
kurang memadai di sekolah. Di samping itu,
kondisi dan karakteristik peserta didik dan latar
belakang orang tua, serta kondisi geografis
menuntut adanya kurikulum khusus untuk SMP
satu atap.
Sebagai akibat digunakannya kurikulum
SMP reguler untuk SMP satu atap adalah
menyebabkan berkurangnya kapasitas sekolah/
madrasah untuk menambah jumlah siswa baru
(Susenas, 2003). Data menurut Direktorat
Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan
Nasional (Kemendiknas) tahun 2011
(JPNN.Com, 18 Juli 2011) menunjukkan bahwa
angka putus sekolah jenjang SD mencapai 1,5
persen dari total siswa 22,7 juta anak,
sedangkan putus SMP mencapai 1,7 persen dari
total siswa 9,7 juta anak. Dikatakan lebih lanjut
bahwa angka putus sekolah tersebut setiap
tahunnya relatif stabil. Media massa tersebut
juga melansir berita bahwa secara umun ada
tiga penyebab utama putus sekolah di
Indonesia. Pertama, faktor ekonomi. Tingginya
angka kemiskinan membuat orang tua sulit
menyekolahkan anaknya. Kedua, faktor
geografis. Kondisi geografis, terutama di daerah
Indonesia Timur dan Kepulauan, jarak dari
rumah tempat tinggal anak untuk masuk ke
SMP sangat jauh, sehingga mereka kesulitan
mendatanginya. Ketiga, faktor budaya. Banyak
orang tua, terutama kalangan ekonomi rendah
yang belum menganggap pendidikan sebagai
kebutuhan dasar. Para orang tua enggan
kehilangan pendapatan dari anaknya yang
disuruh bekerja. Bagi para orang tua seperti itu,
anak harus/lebih baik bekerja daripada
bersekolah.
Ada banyak masalah yang timbul dalam
pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, terutama di
daerah pedesaan dan daerah
pegunungan/terpencil. Penyebab
pembelajaran tidak maksimal, dan hasilnyapun
kurang bermakna bagi peserta didik. Hal ini
diperparah dengan kondisi lingkungan (guru dan
fasilitas) yang kurang mendukung jika harus
menerapkan kurikulum SMP reguler. Untuk itu,
diperlukan kurikulum yang dirancang khusus,
yaitu kurikulum yang lebih akomodatif, namun
memiliki kebermaknaan yang tinggi sesuai
dengan kebutuhan peserta didik SMP satu atap.
Secara khusus, penelitian ini dilakukan
melalui skema hibah pascasarjana di Universitas
Negeri Malang. Dengan demikian, penelitian ini
sangat penting karena dapat mempercepat
proses penyusunan tesis S2 dan disertasi S3
program studi Manajemen Pendidikan
Pascasarjana Universitas Negeri Malang yang
terlibat secara kolaboratif dalam penlitian ini.
Secara praktis, penelitian ini membantu untuk
mempercepat kelulusan mahasiswa S2 dan
mahasiswa S3 program studi Manajemen
Pendidikan di Pascasarjana Universitas Negeri
Malang yang mengambil tema penelitian tentang
pendidikan di daerah pedesaan atau terpencil
Secara teori, keterlibatan mahasiswa dalam
penelitian ini akan memperkaya pengembangan
ilmu manajemen pendidikan secara
komplementer, terutama dalam hal manajemen
kurikulum dan pembelajaran.
ketidaktuntasan wajib belajar dapat
diidentifikasi sesuai dengan kondisi wilayah dan
masyarakatnya. Menurut hasil penelitian yang
sudah dilakukan oleh beberapa peneliti yang
kemudian dirangkum dan disimpulkan, yaitu:
(1) masyarakat/orang tua memiliki ekonomi
lemah, (2) sosial budaya masyarakat kurang
mendukung, (3) kurangnya sarana pendidikan,
(4) rendahnya kualitas dan dedikasi guru, (5)
letak geografis sulit dijangkau, (6) keterbatasan
informasi, dan (7) persepsi masyarakat
menganggap pendidikan kurang penting
(Ulfatin, Mukhadis, dan Imron, 2009).
Sebagian besar daerah yang mengalami
masalah ketidaktuntasan wajib belajar adalah
daerah-daerah kabupaten yang jauh dari
perkotaan. Kasus di Jawa Timur misalnya,
menurut catatan Mile Stones Pendidikan Jawa
Timur tahun 2007 menunjukkan bahwa di
setiap kabupaten terdapat kantong
penyumbang drop out SMP, lulusan SD tidak
melanjutkan ke SMP, dan buta huruf terbesar.
Sebagai contoh adalah kabupaten Kediri.
Menurut data statistik (Dinas Kabupaten Kediri,
2009) yang dikuatkan dengan hasil penelitian
(Ulfatin, Mukhadis, dan Imron, 2010), dari 24
kecamatan yang ada, hanya lima kecamatan
yang dinyatakan telah tuntas wajib belajar 9
tahun (SMP). Kondisi yang sama telah dialami
oleh banyak daerah di Indonesia. Bahkan
sebagian daerah ada yang lebih parah dari itu,
terutama daerah di wilayah Indonesia Timur.
Berdasarkan pengamatan langsung peneliti
ketika melaksanakan tugas ke sejumlah daerah
di Indonesia, dua daerah (propinsi) yang
tergolong sangat rendah angka partisipasi wajib
belajarnya 9 tahunnya adalah Nusa Tenggara
Barat dan Papua Barat.
Penuntasan wajib belajar 9 tahun perlu
upaya strategis. Hal ini diperkuat dengan
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5
tahun 2006 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
Pemberantasan Buta Aksara. Beberapa
alternatif penuntasan wajib belajar 9 tahun
telah ditemukan, direkomendasikan, dan
bahkan sebagian ada yang sedang diadopsi
(Taruh, 2008; Ulfatin, 2010). Satu alternatif
yang dipilih sebagai program pemerintah adalah
sekolah (SMP) satu atap. Yang disebut SMP satu
atap adalah sekolah yang menggabungkan
antara SD dan SMP dalam satu atap (lokasi dan
gedung). Penggabungan dilakukan dengan
memanfaatkan gedung SD yang sudah ada
beserta fasilitasnya untuk dimanfaatkan dengan
mendirikan SMP di tempat yang sama. SMP
Satu atap ini dianggap efisien karena dengan
adanya SMP satu atap, anak-anak tidak perlu
pergi jauh untuk melanjutkan sekolah dari SD ke
SMP. Berdasarkan kasus yang dilansir oleh
JPNN.com (18 Juli 2011), di Papua misalnya,
anak harus berjalan tiga hari tiga malam baru
sampai di sekolahnya. Oleh karena itu,
pemerintah kemudian membuat kebijakan
mendirikan SMP satu atap (di mana ada SD di
situlah didirikan SMP). SMP ini diperuntukkan
bagi anak yang sudah lulus SD tersebut,
kemudian masuk kembali di sekolah yang sama
dengan nama SMP.
Sejak dikeluarkannya Intruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2006 sampai dengan tahun
2011, sudah lebih dari 500 sekolah (SMP) satu
atap yang telah didirikan oleh pemerintah
(JPNN, Com, 18 Juli 2011). Dengan jumlah ini,
penutasan wajib belajar 9 tahun akan cepat
tercapai, setidaknya ditunjukkan oleh
meningkatnya persentase angka partisipasi
kasar (APK) peserta didik usia 13 -15 tahun yang
mencapai sekurang-kurangnya 95 % pada akhir
2008. Jumlah SMP satu atap ini terus
ditingkatkan seiring dengan meningkatnya
jumlah lulusan SD yang belum bisa dilayani
dengan jumlah SMP yang sudah ada.
Dalam sejarah pendiriannya, SMP satu
atap adalah SMP yang diselenggarakan pada
siang sampai sore hari dengan memanfaatkan
ruang kelas yang ada di SD. Di tempat lain, SMP
satu atap didirikan dengan membangun ruang
tambahan di SD yang digunakan untuk
menyelenggarakan pendidikan SMP. Dengan
kata lain, apabila tidak tersedia dana untuk
membangun ruang kelas baru, maka sekolah
satu atap dapat menggunakan gedung SD pada
siang hari untuk menyelenggarakan pendidikan
SMP. Dalam kenyataan, di samping
memanfaatkan gedung SD untuk
menyelenggarakan SMP, banyak sekolah satu
atap yang juga memberdayakan guru-guru SD
untuk mengajar tambahan di SMP. Oleh karena
itu, maka pengelolaan SD dan SMP yang
menjadi sekolah satu atap dapat dikelola oleh
satu manajemen satuan pendidikan dengan
dipimpin oleh seorang kepala sekolah.
Kriteria pengembangan SD-SMP satu
atap, dimulai tahun 2012 dengan mengikuti
kebijakan pemerintah yang mengeluarkan
panduan program Blockgrant khusus
pengembangan SD-SMP satu atap
(Kemendikbud, 2012). Dalam panduan ini
ditentukan bahwa kriteria seleksi
pengembangan SD-SMP satu atap adalah: (1)
lokasi sekolah calon SD-SMP satu atap
diprioritaskan pada SD di daerah pedesaan dan
daerah terpencil; (2) jumlah potensi calon siswa
di daerah tersebut lebih dari 48 anak; (3) jarak
lokasi SMP/MTs terdekat baik negeri maupun
swasta paling tidak 8 km sepanjang melalui
lintasan yang tidak sulit atau tidak
membahayakan; dan (4) pada lokasi SD yang
akan dikembangkan menjadi SMP satu atap,
tersedia lahan minimum 2.500 m persegi
termasuk lahan yang sudah dipakai SD. Jika SD
dikembangkan menjadi SD-SMP satu atap, maka
konsekuensi bagi pemerintah adalah (1)
menetapkan kelembagaan SD-SMP satu atap;
(2) membentuk pengurus manajemen sekolah
dan mengangkat kepala sekolahnya; (3)
menempatkan tenaga pendidik dalam jumlah
dan kualifikasi yang memadai; dan (4)
menyediakan anggaran biaya operasional SMP
(termasuk jika program blockgrant sudah
selesai).
Berdasarkan analisis dan dampak yang
ditimbulkan akibat dirikan SMP satu atap di
berbagai daerah, ternyata telah berhasil
meningkatkan jumlah lulusan SMP-MTs per
tahun secara signifikan. Hal ini terbukti dengan
capaian APK secara nasional yang melebihi 95%
(JPNN com, 18 Juli 2011). Peningkatan yang
cukup signifikan ini perlu juga disertai upaya
meningkatkan layanan pendidikannya, sehingga
capaian APK akan berkorelasi positif dengan
capaian Angka Partisipasi Murni (APM) untuk
pendidikan setingkat lanjutan pertama (SMP).
Hadirnya SMP satu atap juga disambut
baik oleh banyak pihak terutama masyarakat di
pedesaan yang belum terjangkau SMP reguler.
Untuk itu, keberadaannya harus diperjuangkan,
dikembangkan, dan ditingkatkan kualitasnya,
terutama di wilayah pedesaan, wilayah
pegunungan, dan wilayah perbatasan yang sulit
dijangkau. Salah satu perjuangan dan
pengembangan SMP satu atap adalah dengan
mengkaji, mengembangkan, dan berupaya
menemukan sosok kurikulum yang tepat untuk
SMP satu atap sesuai dengan karakteristik dan
keunikannya.
Selama ini, walaupun SMP satu atap
memiliki karakteristik yang unik, namun
penyelenggaraan dan pembelajarannya masih
menggunakan kurikulum yang sama dengan
kurikulum SMP reguler. Sebagai akibatnya,
standar ketuntasan belajar tidak dapat tercapai
secara maksimal, sejumlah matapelajaran tidak
dapat terlaksana, bahkan ada matapelajaran
yang tampak “mubadzir”. Berdasarkan hasil
penelitian awal dapat disimpulkan bahwa bagi
anak-anak SMP satu atap yang dibutuhkan
adalah kurikulum yang bisa mengantarkan
mereka untuk bisa cepat bekerja dan
menghasilkan uang. Mereka memilih dan
“dipaksa” harus bekerja daripada belajar untuk
melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
Sementara dalam kenyataan, kurikulum dan
orientasi pembelajaran di SMP satu atap tidak
berbeda dengan SMP reguler, yaitu menyiapkan
siswa agar lulus ujian akhir, tanpa
memperhatikan apakah pembelajarannya
bermakna atau tidak bagi mereka.
Bertolak dari latar belakang di atas,
kurikulum yang sekarang berlaku untuk SMP
satu atap perlu ditinjau kembali relevansinya
dengan kebutuhan peserta didik dan kondisi
sekolah. Untuk itu, peneliti bermaksud
mengembangkan kurikulum yang secara khusus
diperuntukkan bagi peserta didik di SMP satu
atap. Kurikulum itu pada prinsipnya
berorientasi pada kegiatan belajar dan berkarya
(“Jalakar”). Kurikulum “Jalakar” secara khusus
dirancang hanya untuk SMP satu atap.
Kurikulum itu harus menggambarkan struktur
kurikulum yang ramping dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang realistis
sesuai kebutuhan peserta didik dan orang tua.
Pengembangan kurikulum ini dilakukan
melalui skema penelitian tim pascasarjana di
Universitas Negeri Malang, program studi
Manajemen Pendidikan. Merujuk penjelasan
dari BAN-PT (Depdiknas, 2001), lulusan
pascasarjana magister (S2) dan doktor (S3)
terutama program studi Manajemen
Pendidikan, diharapkan menjadi pendidik,
pengelola, dosen, peneliti, dan pejabat
pembuat kebijakan di lembaga pendidikan.
Lulusan yang demikian ini akan menentukan
arah pembangunan sumberdaya manusia di
masa yang akan datang. Dengan demikian,
posisi mereka sangat strategis dalam rangka
membentuk negara, bangsa, dan masyarakat
yang lebih beradab dan bermartabat dalam
kompetisi kehidupan dunia. Hal ini juga
diperkuat oleh Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI),
bahwa lulusan pascasarjana magister (S2) dan
doktor (S3) berada pada level KKNI ke delapan
dan sembilan (dua level tertinggi dari
keseluruhan level yang dirancang). Oleh karena
itu, perguruan tinggi yang menyelenggarakan
program pascasarjana senantiasa terus
meningkatkan kualitas lulusannya agar mereka
dapat berfungsi secara maksimal di masyarakat
dunia.
Mengingat masukan mahasiswa
pascasarjana khususnya program studi
Manajemen Pendidikan Universitas Negeri
Malang, sebagian besar sudah bekerja dan
sudah memiliki kompetensi sebagaimana yang
telah diperoleh pada jenjang program sarjana,
maka perlu diciptakan suasana akademik yang
mengandung kesejawatan dosen dan
mahasiswa. Satu dari beberapa suasana
akademik yang bisa ditempuh penyelenggara
pascasarjana adalah melibatkan mahasiswa
dalam kegiatan akademik dosen, antara lain
dengan penelitian kolaborasi dosen dan
mahasiswa. Dengan cara ini, akan terjadi proses
tukar pikir dan tukar pengalaman secara
intensif antara dosen dan mahasiswa untuk
menemukan ilmu pengetahuan baru atau
mengembangkan pengetahuan yang sudah ada.
Keterlibatan mahasiswa dalam suasana
akademik-kesejawatan antara dosen dan
mahasiswa tercermin pada minat kajian dengan
tema yang sama untuk melakukan penelitian
ini. Dalam proses komunikasi formal dan
informal perkuliahan, mahasiswa (terutama
yang berasal dari Indonesia bagian Timur di
mana di daerahnya terdapat banyak
permasalahan terkait wajib belajar 9 tahun)
menunjukkan minat dan keinginan untuk
meneliti tema wajib belajar 9 tahun. Minat
penelitian itu tertuang dalam proposal tesis
atau disertasinya. Dengan demikian, tema
penelitian mereka memiliki kesamaan dengan
tema penelitian yang telah dilakukan oleh
dosen (peneliti) selama ini. Untuk itu, dalam
rangka mewujudkan adanya komunitas
kesejawatan akademik, maka mahasiswa yang
memiliki minat dan keinginan meneliti tentang
penuntasan wajib balajar 9 tahun tersebut
dilibatkan secara kolaboratif dalam penelitian
ini. Dengan demikian, hasil penelitian ini
merupakan karya yang komplementer dari hasil
penelitian dosen (peneliti) dan penelitian (tesis
dan disertasi) mahasiswa.
A.Rancangan Penelitian Secara
KeseluruhanPenelitian ini dilakukan melalui tiga
tahapan penelitian dengan waktu tiga tahun,
mulai 2013 sampai dengan 2015. Pada tahun
pertama (2013), telah dilakukan empat
kegiatan, yaitu (1) penelitian pendahuluan,
(2) mengembangkan produk, (3) pengujian
produk oleh ahli, dan (4) keterlibatan
penelitian mahasiswa pascasarjana secara
komplementer. Empat kegiatan tersebut
telah selesai dilakukan dan hasilnya telah
dilaporkan pada tahun 2013. Pada tahun
kedua (2014) telah dilakukan dua kegiatan,
yaitu: (1) penelitian untuk uji lapangan
dengan FGD dan action research, dan (2)
penelitian oleh mahasiswa pascasarjana
yang komplementer dengan penelitian ini.
Dua kegiatan tersebut telah selesai
dilakukan dan hasilnya telah dilaporkan
pada tahun 2014. Pada tahun ketiga (2015)
dilakukan dua kegiatan, yaitu (1) kegiatan
desiminasi kurikulum hasil pengembangan,
dan (2) kegiatan penelitian tesis dan
disertasi mahasiswa secara komplementer.
Metode
B. Rancangan Penelitian Tahun
Ketiga (2015) Kegiatan penelitian pada tahapan
ketiga (2015) diilustrasikan pada Gambar
4.1.
Berdasarkan Gambar 4.1, setelah kegiatan
penelitian tahap pertama (tahun 2013) dan
tahap kedua (2014) yang telah menghasilkan
Kurikulum “Jalakar” untuk SMP Satu Atap
beserta perangkatnya yang telah diuji/dinilai
oleh ahli dan uji lapangan, maka langkah
berikutnya adalah melakukan penelitian
tahap ketiga. Pada tahap ketiga (tahun 2015)
dilakukan dua kegiatan, yaitu (1) kegiatan
desiminasi kurikulum “Jalakar”, dan (2)
kegiatan penelitian tesis dan disertasi
mahasiswa secara komplementer.
1. Rancangan Desiminasi
Kurikulum “Jalakar”Kegiatan desiminasi kurikulum
“Jalakar” dilakukan kepada empat kelompok
sasaran, yaitu (1) pembuat kebijakan di
daerah, yang dalam hal ini adalah Dinas
Pendidikan Kabupaten, (2) praktisi di
lapangan, yang dalam hal ini adalah guru,
kepala, dan pengawas sekolah, (3) pihak
terkait, yang dalam hal ini masyarakat
terutama orang tua di daerah
pedesaan/terpencil, dan (4) akademisi, yang
dalam hal ini masyarakat ilmiah di
perguruan tinggi.
Kegiatan desiminasi dilakukan
dalam tiga bentuk, yaitu tulis, tatap muka,
dan praktik. Desiminasi tertulis dilakukan
dalam bentuk buku teks, buku pelajaran,
pedoman kurikulum, dan video
pembelajaran. Desiminasi tatap muka
dilakukan dalam bentuk workshop dan
pelatihan penyusunan perangkat
pembelajaran oleh guru, kepala, dan
pengawas sekolah. Desiminasi praktik
dilakukan dalam bentuk kegiatan belajar-
mengajar di kelas. Perangkat kurikulum
berisi pedoman kurikulum, silabus, RPP,
contoh model pembelajaran, dan dukungan
pejabat dinas pendidikan. Contoh model
pembelajaran dibuat dalam bentuk video
pembelajaran.
Kegiatan desiminasi dilakukan di
dua propinsi di Jawa dan luar Jawa.
Desiminasi di Jawa akan dilakukan di
Malang, Jawa Timur. Sedangkan di luar
Jawa akan dilakukan di propinsi
Gorontalo. Pemilihan lokasi desiminasi di
tingkat kabupaten dilakukan dengan
pemenuhan salah satu tiga kriteria, yaitu: (1)
daerah dengan APK dan APM pendidikan
dasar terendah di kabupaten yang
bersangkutan, (2) daerah yang banyak
memiliki sekolah satu atap, dan atau (3)
daerah pedesaan yang sarat masyarakat
miskin (daerah tertinggal).
2. Penelitian Mahasiswa
Pascasarjana yang
KomplementerPenelitian mahasiswa yang komplementer dengan penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana program studi Manajemen Pendidikan S2 dan S3 di bawah pembimbingan peneliti yang sedang menempuh matakuliah tesis dan disertasi dengan tema pendidikan di daerah pedesaan atau terpencil.