laporan farmakologi (1)

23
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT DAN EFEK SEDATIF PERCOBAN I DAN VI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi. Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi obat dengan sub-bab rute pemberian obat. Ada pun yang melatar belakangi pengangkatan materi adalah agar kita dapat mengetahui kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang ditampakkan pertama kali. Obat-obat yang diklasifikasikan sebagai sedatif hipnotik banyak digunakan untuk merelaksasikan pasien dan memacu tidur. Obat sedative memberi efek ketenangan pada pasien. Pada dosis tinggi, obat yang sama dapat mengakibatkan kantuk dan mengawali tahap normal tidur (hipnosis). Pada dosis yang lebih tinggi, beberapa obat sedative (khususnya barbiturat) akan menyebabkan hilang rasa. Karena efeknya dalam menekan sistem saraf pusat, beberapa obat sedative hipnotik digunakan dalam mengobati epilepsi atau menghasilkan relaksasi otot. Obat-obat sedatif-hipnotik dan anti anxietas banyak digunakan di dunia. Diperkirakan 10-15% masyarakat yang mengalami insomnia menggunakan pengobatan farmakologi untuk menormalkan tidur. Insomnia sendiri diartikan sebagai keadaan

Upload: ilmi-nur-hafizah

Post on 13-Apr-2017

1.514 views

Category:

Art & Photos


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan farmakologi (1)

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT DAN EFEK SEDATIF

PERCOBAN I DAN VI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan

dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi

farmakologi. Kali ini kami akan membahas dalam bab farmakologi obat dengan sub-bab rute

pemberian obat. Ada pun yang melatar belakangi pengangkatan materi adalah agar kita dapat

mengetahui kaitan antara rute pemberian obat dengan waktu cepatnya reaksi obat yang

ditampakkan pertama kali.

Obat-obat yang diklasifikasikan sebagai sedatif hipnotik banyak digunakan untuk

merelaksasikan pasien dan memacu tidur. Obat sedative memberi efek ketenangan pada

pasien. Pada dosis tinggi, obat yang sama dapat mengakibatkan kantuk dan mengawali tahap

normal tidur (hipnosis). Pada dosis yang lebih tinggi, beberapa obat sedative (khususnya

barbiturat) akan menyebabkan hilang rasa. Karena efeknya dalam menekan sistem saraf pusat,

beberapa obat sedative hipnotik digunakan dalam mengobati epilepsi atau menghasilkan

relaksasi otot.

Obat-obat sedatif-hipnotik dan anti anxietas banyak digunakan di dunia. Diperkirakan

10-15% masyarakat yang mengalami insomnia menggunakan pengobatan farmakologi untuk

menormalkan tidur. Insomnia sendiri diartikan sebagai keadaan susahnya memulai tidur, tidak

bisa tidur atau durasi tidur yang tidak adekuat. Beberapa obat yang digunakan untuk insomnia

merupakan agonis GABA dan mempunyai efek sedasi langsung, yang terdiri dari relaksasi

otot, melemahnya ingatan, ataxia dan hilangnya keterampilan kerja, seperti mengemudi.

Durasi kerja obat untuk insomnia yang panjang, dapat menyebabkan gangguan psikomotor,

konsentrasi dan ingatan

B. Tujuan Percobaan

Mengenal, mempraktekan, dan membandingkan cara - cara pemberian obat terhadap

ketepatan absorbsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.

Mempelajari dan mengamati pengaruh dari obat penekan syaraf pusat.

Page 2: Laporan farmakologi (1)

C. Dasar Teori

Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia

yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suply

darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan

tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi

kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat (Katzug,

B.G, 1989).

Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi

pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

1) Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik

2) Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama

3) Stabilitas obat di dalam lambung atau usus

4) Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute

5) Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter

6) Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-

macam rute

7) Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.

Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang

diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk

sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika

obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat

yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah di bidang kedokteran atau

biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau sarana percobaan

haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis /

keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis,

mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya

pada manusia. (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2002).

Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara

memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh

Page 3: Laporan farmakologi (1)

sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan

dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan

dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang

memegangnya (Katzug, B.G, 1989).

Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate merupakan senyawa organik pertama yang

digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan

dan menaikkan ambang rangsang. Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat

depresi dapat dicapai mulai dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anesthesia, koma, sampai

dengan kematian. Efek hipnotik barbiturate dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan

dosis hipnotik. Tidurnya tidak disertai mimpi yang. (Ganiswara,1995).

            Barbiturat secara oral diabsorbsi cepat dan sempurna. Mula kerja bervariasi antara 10-

60 menit, bergantung kepada zat serta formula sediaan dan dihambat oleh adanya makanan

didalam lambung. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat lewat plasenta, ikatan dengan

PP yang sesuai dengan kelarutannya dalam lemak, thiopental yang terbesar, terikat lebih dari

65%. Kira-kira 25% fenobarbital dan hampir semua aprobarbital diekskresi kedalam urin

dalam bentuk utuh (Ganiswara, 1995).

Reabsorpinya di usus baik (70-90%) dan lebih kurang 50% terikat pada protein; plasma-

t ½-nya panjang, lebih kurang 3-4 hari, maka dosisnya dapat diberikan sehari sekaligus.

Kurang lebih 50% dipecah menjadi p-hidrokdifenobarbitat yang diekskresikan lewat urin dan

hanya 10-30% dalam kedaan utuh. Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya, yakni

pusing, mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Bersifat menginduksi

enzim dan antara lain mempercepat penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan

timbulnya rachitis pada anak kecil. Pengunaannya bersama valproat harus hati-hati, karena

kadar darah fenobarbital dapat ditingkatkan. Di lain pihak kadar darah fenitoin dan

karbamazepin serta efeknya dapat diturunkan oleh fenobarbital. Dosisnya 1-2 dd 30-125 mg,

maksimal 400 mg (dalam 2 kali); pada anak-anak 2-12 bulan 4 mg/kg berat badan sehari; pada

status epilepticus dewasa 200-300 mg (Tjay dan Rahardja, 2006).

Page 4: Laporan farmakologi (1)

II. ALAT DAN BAHAN

Alat – alat yang digunakan pada praktikum ini adalah rotarod (Batang berputar) spuit

injeksi (0,1-2 ml), jarum sonde, labu ukur 10 ml, stopwatch, timbangan tikus, neraca analitik

dan alat-alat gelas. Sedangkan bahan – bahan yang digunakan berupa aquabidest,

(fenobarbital), hewan coba (tikus), kapas dan alcohol.

III. CARA KERJA

Disiapkan

Ditimbang

Dikonversikan dosis, konsentrasi larutan stok obat, jumlah obat yang

harus diambil, perhitungan perhitungan volume diazepam yang akan

diberikan

Diletakkan pada rotarod selama 5 menit

Diujikan dengan diazepam melalui oral, subkutan, intramuskular,

intraperioneanal, intravena

Dilakukan percobaan pada menit ke 15, 30, 45, 60 dan 90 dengan

meletakan tikus di atas rotarod selama 2 menit

Diamati berapa kali tikus terjatuh

Diamati reflek balik badan kornea

Diamati perubahan diameter pupil mata

Diamati dan dicatat waktu mulai hilangnya reflek balik badan sampai

kembalinya reflek balik badan

Dihitung onset dan durasinya

Dicatat hasil percobaannya

TIKUS

HASIL

PERALATAN

Page 5: Laporan farmakologi (1)

IV. PERHITUNGAN DAN HASIL PERCOBAAN

1. PERHITUNGAN

Berat tablet Diazepam = 117 mg

Dosis Diazepam tablet = 2 mg

Dosis Diazepam ampul = 10 mg/ 2 ml

Berat Badan Tikus

- Tikus untuk Peroral = 150 gram

- Tikus untuk Intraperitoneal =......... gram

- Tikus untuk Intravena = 150 gram

- Tikus untuk Intramuskular = ...... gram

- Tikus untuk Subkutan = ......... gram

Dosis Konversi = faktor konversi x dosis manusia

= 0,018 x 10 mg

= 0,18 mg per 200 gr BB tikus

Konsentrasi larutan stok = Dosis konversi

Volume maksimal

= 0,18 mg/ 5 ml

= 0,9 mg/ 25 ml

a. Peroral

Berat tablet yang diambil = berat tablet yg dibutuhkan

sediaan yg ada x berat tablet

= 0,9 mg2mg x 117 mg

= 52,65 mg = 0,0526 gr

Volume Pemberian = Berat badantikus

100 gr x 5ml

= 150 gram200 gram x 5 ml

= 3,75 ml

b. Intraperitoneal

Pengenceran

V1M1 = V2M2

Page 6: Laporan farmakologi (1)

V1.5 mg/ml = 10 ml x 0,036 mg/ml

V1 = 0,072 ml ad 10 ml

Volume pemberian = Berat badantikus

100 gr x Volume maksimal

= 150 gram200 gram x 5 ml

= 2,75 ml

c. Intravena

Pengenceran

V1M1 = V2M2

V1.5 mg/ ml = 10 x 0,18

V1 = 0,36 ml ad 10 ml

Volume pemberian = Berat badantikus

100 gr x 12Volume maksimal

= 150 gram200 gram x 1 ml

= 0,75 ml

d. Subkutan

Dosis ampul 10 mg/ 2 ml = 5 mg/ml

Dosis konversi = 0,18mg/200 gr

Konsentrasi larutan = 0,18 mg/5 ml = 0,036 mg/ml

Pengenceran

V1M1 = V2M2

V1.5 = 10 x 0,056

V1= 0,072 ml ad 10 ml

Volume pemberian = Berat badantikus

200 gr x Volume maksimal

= gram

200 gram x 5 ml

= ml

e. Intramuskular

larutan stok =0,18 mg/ 0,1 ml = 1,8 mg/ ml

Pengenceran

Page 7: Laporan farmakologi (1)

V1M1 = V2M2

V1.5 = 10 x 1,8 mg/ml

V1= 3,6 ad 10 ml

Volume pemberian = Berat badantikus

100 gr x 12 Volume maksimal

= . gram

200 gramx 0,1 ml

= ....... ml

2. HASIL PERCOBAAN

Onset dan Durasi

PO IM SC IV IP

Onset (menit) 10 13 21 5 30

Durasi (menit) >120 >120 >120 >120 >120

Waktu pemberian 13.37 13.34 14.06 13.23 13.40

Jatuhnya tikus saat di rotarod

Waktu/Perlakuan PO IM SC IV IP

15 5 1 4 - -

30 4 - 5 3 4

60 2 2 3 4 -

90 5 - 3 - 3

120 2 1 - 5 5

Lama nya tikus tertidur

Efek sedatif Waktu menit ke- P.O I.V I.P S.C I.M

Tidur 21 27 40 54 43Bangun 138 152 >160 74 144

Reflek hilang dan kembali

Page 8: Laporan farmakologi (1)

Reflek Menit ke-P.O I.V I.P S.C I.M

Hilang 10 5 30 21 13Kembali 78 27 63 20

V. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, di lakukan berbagai macam cara pemberian obat fenobarbitol

kepada dua mencit. Adapun untuk mencit cara memegang yang benar agar siap untuk diberi

sediaan yaitu dengan cara: Awalnya ujung ekor mencit diangkat dengan tangan kanan ataupun

kiri ( tergatung nyamannya praktikan). Kemudian telunjuk dan jari manis tangan kiri menjepit

kulit tengkuk, sedangkan ekornya tetap dipegang dengan tangan kanan (ataupun sebaliknya).

Selanjutnya, posisi tubuh mencit dibalikkan, sehingga permukaan perut menghadap kita dan

ekor dijepitkan diantara jari manis dan kelingking tangan kiri.   

Hal yang perlu diperhatikan sebelumnya adalah kita harus melakukan pendekatan

terlebih dahulu terhadap hewan uji. Tujuannya agar nantinya mencit ataupun tikus tersebut

lebih mudah untuk dipegang. Jangan justru membuat mencit ataupun tiku stres, membuatnya

berontak yang bisa melukai diri kita sendiri. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi

kondisi mencit diantaranya adalah kebisingan suara di dalam laboratorium, frekuensi

perlakuan terhadap mencit tersebut, dan lain-lain. Apabila kondisinya terganggu, maka mencit

tersebut akan mengalami stress. Kondisi stress yang terjadi pada mencit akan mempengaruhi

hasil percobaan yang dilakukan.

Pada awalnya mencit dilakukan adaptasi terlebih dahulu dengan menaruhnya pada

rotarod agar dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang akan dilakukan selama proses

praktikum ini berlangsung dan hasilnya mencit bersifat normal (aktif berlari, memanjat, dll).

Kemudian disuntikkan obat fenobarbital ke masing-masing mencit dengan berbagai macam

cara pemberian obat, yaitu oral, intra vena, intra peritoneal, intra muscular, dan subcutan yang

diberi tanda berbeda-beda dengan spidol pada ekornya agar dapat diketahui perbedaan

pemberian obatnya. Dosis yang diberikan kepada masing-masing mencit berbeda-beda, sesuai

dengan berat badan mencit masing-masing.

Setelah pemberian obat, efek yang ditimbulkan obat ini adalah tidur tidak bereaksi.

Perbedaan cara pemberian obat ke dalam tubuh akan mempengaruhi onset dan durasi dari

obat. Dimana onset berarti waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat

tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Sedangkan durasi kerja adalah lama obat

Page 9: Laporan farmakologi (1)

menghasilkan suatu efek terapi (dari awal obat bereaksi hingga obat tersebut sudah tidak

bereaksi lagi). Dengan kata lain, perbedaan cara pemberian obat akan memberikan efek yang

yang berbeda-beda. (Gunawan, 2009)

Obat yang diinjeksikan pada mencit merupakan larutan fenobarbital yang kerjanya,

membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital

masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat, tersering di gunakan, dan

termurah. Dosisefektif relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap efek samping, dapat

diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa menghi-langkan

khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya timbul ruam

skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai antiepilepsi

belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi epilepsi

grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya dengan

fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut. (Utama,

H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan

kortikal lainnya; juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya

terbatas, karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, feno barbital sering cocok

untuk terapi awal serangan absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi

mengingat kemungkinan komplikasi serang an tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-

nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams

berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama

hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih

pada setiapkelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang kesehatan anak) (Utama, H

dan Vincent H.S. Gan,1995).

Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk

mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10

sampai 30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata.

Penghentian pem berian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan

meningkatnya frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus. (Utama,

H dan Vincent H.S. Gan,1995).

Page 10: Laporan farmakologi (1)

Pada pemberian secara oral, akan memberikan onset paling lambat karena melalui

saluran cerna dan lambat di absorbsi oleh tubuh. Selain itu banyak faktor yang dapat

mempengaruhi bioavaibilitas obat sehingga mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Pemberian

secara intravena seharusnya menunjukkan onset paling cepat karena kadar obat langsung

terdistribusi dan dibawa ol eh darah dalam pembuluh. Namun pada praktikum ini onset

tercepat ditunjukkan oleh injeksi melalui subkutan, bukan dari injeksi melalui intravena.

Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :

1. Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji

diperlakukan oleh praktikan dengan skill yang berbeda-beda.

2. Injeksi yang salah dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan yang

salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari yang seharusnya.

Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk tidak sesuai

dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi sistemik.

3. Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda. Hewan percobaan yang

lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi lebih cepat dari

pada seharusnya atau tidak timbul efek.

4. Kondisi hewan coba.

Kali ini yaitu perhitungan dosis, dimana dosis yang diberikan harus sesuai dengan bobot

hewan coba, yang berarti setiap hewan coba memiliki dosis yang berbeda-beda. Percobaan

pertama diberikan pada jalur peroral dan intravena. Pemberian obat secara oral tidak

memperlihatkan efek obat yang diinginkan, rata-rata memerlukan waktu yang lama untuk

dapat mencapai onsetnya. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhi

bioavailabilitas obat, yaitu jumlah obat dalam persen terhadap dosis yangmencapai sirkulasi

sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu faktor obat

itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat. Sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi,

antara lain

a. Stabilitas pada pH lambung

b. Stabilitas terhadap enzim-enzim pencernaan

c. Stabilitas terhadap flora usus

d. Kelarutan dalam air atau cairan saluran cerna

e. Ukuran molekul

Page 11: Laporan farmakologi (1)

f. Derajat ionisasi pada pH salauran cerna

g. Kelarutan bentuk non-ion dalam lemak

h. Stabilitas terhadap enzim-enzim dalam dinding saluran cerna

i. Stabilitas terhadap enzim-enzim di dalam hati.

Keterangan :

Poin a – c menentukan jumlah obat yang tersedia untuk diabsorpsi.

Poin d – g menentukan kecepatan absorpsi obat.

Poin h dan i menentukan kecepatandisintegrasi dan disolusi obat.

Pemberian obat pada hewan percobaan (Priyanto, 2008)

1. Pemberian Per Oral

Hal ini dilakukan dengan bantuan jarum suntik yang ujungnya tumpul atau

berbentuk bola (jarum sonde). Jarum sonde dimasukkan kedalam mulut, secara pelan-

pelan melalui langit-langit kearah belakang esophagus, kemudian cairan dimasukkan. Jika

terasa ada hambatan mungkin melukai saluran nafas.  Maka dari itu jarum sonde di tarik

dan dimasukkan kembali hingga tak ada hambatan.

2. Pemberian Intra Peritoneal

Penyuntikan pada bagian perut  dimana jarum disuntikkan dengan kemiringan 30-45

derajat dengan abdomen agak kegaris tengah.

3. Pemberian Intra Vena

Dilakukan dengan cara memasukkan hewan uji ke dalam holder atau sangkar

selanjutnya celupkan ekornya ke air hangat (dilatasi vena lateralis). Setelah vena

mengalami pelebaran, pegang ekor hewan coba tersebut, dimana posisi vena berada di

permukaan sebelah atas. Tusukkan jarum suntik dengan ukuran yang sesuai sejajar vena

kemudian alirkan secara perlahan-lahan zat yang terdapat di dalam alat suntik.

4. Pemberian Intramuskular

Penyuntikan dilakukan dalam otot misalnya, penyuntikan antibiotika atau dimana

tidak banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya otot pantat atau lengan atas. 

5. Pemberian Subcutan/Hipodermal

Page 12: Laporan farmakologi (1)

Penyuntikkan dibawah kulit, obatnya tidak merangsang dan larut dalam air atau

minyak, Efeknya agak lambat dan dapat digunakan sendiri misalnya : penyuntikan insulin

pada penderita diabetes.

Monografi Bahan

1. Phenobarbitalum (C 12H12N2O3)

Fenobarbital mengandung tidak kurag dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C12H12N2O3

dihiitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian hablur atau serbuk hablur; putih tidak berbau; rasa agak pahit.

Kelarutan sangat sukar larut dalam air; larut dalam etanol (95%) P, dalam eter P, dalam

larutan alkali hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat.

Suhu lebur 174º sampai 179º

Penyimpanan dalam wadah tertutup baik

Khasiat dan penggunaan Hipnotikum, sedativum

Dosis maksimum Sekali 300 mg, sehari 600 mg (Anonym, 1979 : 481)

2. Aqua Destilata (H 2O)

Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum.

Pemerian Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak mempunyai rasa.

Penyimpanan dalam wadah tertutup baik. (Anonym, 1979 : 96)

Page 13: Laporan farmakologi (1)

VI. KESIMPULAN

Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan

dengan urutan mencit.

Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian

abdomen mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah

masukknya obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.

Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara

Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi

langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan

mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan

memberikan efek.

Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat

Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute

pemberian obat secara oral.

Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan

rute pemberian obat secara oral.

Cara-cara penanganan hewan percobaan meliputi penandaan, persiapan dan penyuntikan

hewan percobaan tersebut.

Page 14: Laporan farmakologi (1)

Dalam praktikum ini penandaan hewan percobaan dilakukan dengan menandai ekor

mencit dengan spidol permanent.

Pada umumnya pemberian Phenobarbital secara intraperitonial pada mencit memberikan

efek yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberaian oral

Onset of action lebih cepat dicapai pada pemberian intraperitonial dibandingkan dengan

pemberian oral.

Phenobarbital memberikan efek yang bervariasi pada mencit mulai dari normal, reaktif,

gerak lambat dan bahkan tidur.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 1979, Farmakope Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

Jakarta.

Anief, Moh., 1990, Perjalanan dan Nasib Obat dalam Badan, Gadjah Mada University Press, D.I

Yogayakarta.

Ganiswara, Sulistia G (Ed)., 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, Balai Penerbit Falkultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Gunawan, Gan Sulistia., 2009, Farmakologi dan Terapi edisi 5, Departemen Farmakologi dan

Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Katzung, Bertram G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta.

Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar, Edisi II, Leskonfi, Depok.

Tjay, T.H. dan K. Rahardja., 2002, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek

Sampingnya, Edisi Kelima, Cetakan Pertama, PT Elex Media Komputindo Kelompok

Gramedia, Jakarta.

Page 15: Laporan farmakologi (1)

Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja., 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.

Utama, H dan Vincent H.S.Gan., 1995, Antikonvulsi Dalam“Farmakologi dan Terapi”, Edisi IV,

Gaya Baru, Jakarta.

Purwokerto, 4 April 2014

Mengetahui, Ketua Kelompok,

Dosen Pembimbing Praktikum

(Esti Dyah Utami, M.Sc., Apt) ( Eva Karyati)

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN II DAN III

PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORBSI OBAT DAN EFEK SEDATIF

Page 16: Laporan farmakologi (1)

Disusun Oleh :

Golongan B1 kelompok 1

Eva Karyati (G1F014002)

Fitri Wulan Ramadhani (G1F014004)

Charlina Detty Vikarosa (G1F014006)

Ilmi Nur Hafizah (G1F014008)

Hamidah Raisa Utami (G1F014010)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015