laporan akhir praktikum farmakologi p3

27
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI PERCOBAAN III ANALGETIK Disusun oleh : Golongan 1 Kelompok I Ligia Oktapia S (G1F013002) Taradifa Nur Insi (G1F013004) Syifa Zakiyya (G1F013006) Tri Budi Hastuti (G1F013008) Suci Baitul Sodiqomah (G1F013010) Nama Dosen Pembimbing Praktikum : Heny Ekowati Nama Asisten Praktikum : Wildatus Farah JURUSAN FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: tri-tantne-chendrawasih

Post on 07-Dec-2015

248 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

farmakologi

TRANSCRIPT

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN III

ANALGETIK

Disusun oleh :

Golongan 1 Kelompok I

Ligia Oktapia S (G1F013002)

Taradifa Nur Insi (G1F013004)

Syifa Zakiyya (G1F013006)

Tri Budi Hastuti (G1F013008)

Suci Baitul Sodiqomah (G1F013010)

Nama Dosen Pembimbing Praktikum : Heny Ekowati

Nama Asisten Praktikum : Wildatus

Farah

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2014

ANALGETIK

Percobaan III

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nyeri merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan penderita sehingga untuk

mengurangi secara simtomatis diperlukan analgetika. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala

yang berfungsi memberi tanda tentang adanya gangguan – gangguan di tubuh seperti

peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsangan mekanis atau

kimiawi, kalor atau listrik yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat

yang disebut mediator nyeri atau pengantar (Sukandar, 2010)

Nyeri   adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walau pun sering

berfungsi untuk mengingatkan, melindungi dan sering memudahkan diagnosis, pasien

merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu

berusaha untuk bebas darinya. Seluruh kulit luar mukosa yang membatasi jaringan dan juga

banyak organ dalam bagian luar tubuh peka terhadap rasa nyeri, tetapi ternyata terdapat juga

organ yang tak mempunyai reseptor nyeri, seperti misalnya otak. Nyeri timbul jika rangsang

mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri)

dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa

nyeri (Sukandar, 2010).

Obat-obatan yang terutama digunakan sebagai analgetik adalah golongan analgesic

opioid dan golongan analgesic non opioid, seperti aspirin dan obat-obat anti inflamasi

nonsteroid (AINS). Obat-obatan AINS bekerja dengan menghambat sintesis mediator kimia

yang berperan dalam mekanisme terjadinya nyeri dan inflamasi melalui inhibisi salah satu

enzim yang diperlukan dalam pembentukan mediator kimia tersebut, yakni enzim

cyclooksigenase (COX) (Wilmana, 1995). Maka dar itu dilakukan uji daya analgetika agar kita

dapat mempelajari obat analgetika secara lebih terperinci sekaligus dapat membandingkan

efektifitas analgetika yang dimiliki oleh beberapa obat analgetik non opioid dengan praktikum

langsung membandingkannya secara teoritis.

B. Tujuan

Mengenal, mempraktekan dan membandingkan daya analgetika daya analgetika asetosal

dan parasetosal menggunakan metode rangsang kimia.

C. Dasar Teori

Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan

akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah

perasaansensoris dan emosional yang tidak nyaman,berkaitan dengan ancaman kerusakan

jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan halhanya merupakan suatu gejala yang berfungsi

sebagai isyarat bahaya tentangadanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok

atau kejang otot (Tjay dan Rahardja, 2007).

Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot,

tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras

nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan

neurotransmiternya substansi P (Ganong, 2003).

Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan

prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit,

mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-

kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari

tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan

sangat banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus

impuls kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri

(Tjay dan Rahardja, 2007).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi

melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di

jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh

rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan.

Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator

nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi

reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat

diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak

melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang

belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke

pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).

Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

a.  Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)

Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non

salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat ternmasuk derivat as.

Arylalkanoat (Ganiswara, 1995).

b.  Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau

morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.

Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi / ketergantungan.

Ada 3 golongan obat ini yaitu (Ganiswara, 1995) :

1)      Obat yang berasal dari opium-morfin

2)      Senyawa semisintetik morfin

3)      Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

D. Pemerian

a. Aqua Destillata

Nama Latin :  AQUA DESTILLATA

Pemerian :  Cairan jenih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa

Penyimpanan :  Dalam wadah tertutup baik

(Anonim, 1979).

b. Asetosal

Nama Latin : ACIDUM ACETYLSALICYLICUM

Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hamper

tidak berbau, rasa asam

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol 95% P, larut dalam

kloroform P dan dalam eter P

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

(Anonim, 1979).

c. Na Diklorofenak

Nama Latin : NATRIUM DIKLOROFENAK

Pemerian : Serbuk hablur putih hingga hamper putih, higroskopik dan melebur pada

suhu 248oC

Kelarutan : Mudah larut dalam metanol, larut dalam etanol, agak sukar larut dalam air,

praktis larut dalam kloroform dan dalam eter

Penyimpanan : Dalam wada tertutup baik (Anonim, 1995).

II. ALAT DAN BAHAN

A. Alat

Pada percobaan “ANALGETIK” menggunakan alat : spuit injeksi (0,1-1ml), jarum

sonde/ujung tumpul/membulat,beaker glass (1-2 ml),stopwatch,timbangan tikus,neraca analitik dan

alat-alat gelas.

B. Bahan

Pada percobaan “ANALGETIK” menggunakan bahan: aquabidest, parasetamol, asetosal,

natrium diklofenak, larutan steril asam asetat 1% dan hewan coba (tikus).

III. CARA KERJA

Peralatan disiapkan

Tikus ditimbang bobot badannya

Dilakukan perhitungan dosis, dibuat larutan stok dan dihitung banyaknya volume pemberian bahan-bahan uji yang diperlukan

Obat diberikan pada hewan uji melalui cara pemberian (sesuai masing masing kelompok).

IV. PERHITUNGAN DAN HASIL PERCOBAAN

A. Perhitungan

Na Diklofenak

Dosis Konversi = Faktor konversi x dosis pada manusia

Berat badan tikus standar

= 0,018 x 50 mg

BB Tikus

= 0,9 mg

BB Tikus

Konversi larutan stok = Dosis konversi

V max

= 0,9 mg

2 x 5

= 0,9 mg

10

= 0,09 mg/ml x 10 ml = 0,9 mg

Tablet yang diambil = larutan stok x berat tablet

Dosis sediaan

Hewan uji setelah mendapat perlakuan, 5 menit kemudian seluruh hewan coba diberi larutan steril asetat 1% v/v secara intra peritoneal. Diamati

jumlah geliatnya. Dicatat jumlah kumulatif geliat yang dilakukan tikus setiap 5 menit selama 60 menit.

Hasil

= 0,9 mg x 227,1 mg

50

= 4,0878 mg

= 0,0040 gr ad 10 ml

Bobot tikus I : 180gr

Bobot tikus II : 140gr

Bobot tikus III : 160 gr

Volume Pemberian

Aquadest pada tikus 1 melalui per oral (p.o) :

= BB tikus x ½ Vmax

100 gr

= 180 x ½ . 5

100 gr

= 4,5 ml

5 menit kemudian diberi asam asetat sebanyak 4,5 ml secara intra peritoneal (i.p)

Asetosal pada tikus 2 secara per oral (p.o)

= BB tikus x ½ Vmax

100 gr

= 140 x ½ . 5

100 gr

= 3,5 ml

5 menit kemudian diberi asam asetat sebanyak 3,5 ml secara intra peritoneal (i.p)

Natrium diklofenak pada tikus 3 secara per oral (p.o)

= BB tikus x ½ Vmax

100 gr

= 160 x ½ . 5

100 gr

= 4 ml

5 menit kemudian diberi asam asetat sebanyak 4 ml secara intra peritoneal (i.p)

B. Hasil Pengamatan

Obat ∑ geliat (1) % DA (1)

Kontrol 130 -

Asetosal 85 34,6 %

Na diklofenak 93 28,4 %

V. PEMBAHASAN

A. Analgetik

Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa

nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum). Nyeri adalah perasaan

sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan.

keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau

memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan

suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap

orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay dan Rahardja, 2007).

Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk

pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat orang merasakan nyeri.

Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay dan Rahardja, 2007).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi

tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti

peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis,

kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu

pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat

mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf

bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ

tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-

tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak

tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls

dirasakan sebagai nyeri (Tjay dan Rahardja, 2007).

Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :

a. Analgetika perifer (non-narkotik)

Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Secara kimiawi

analgetika perifer dapat dibagi dalam bebrapa kelompok, yakni :

Parasetamol

Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat

Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll

Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin

Derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan

Metamizol

Lainnya : benzidamin

(Tjay dan Rahardja, 2007).

Penggunaan obat analgetik non narkotik atau obat analgetik perifer ini cenderung mampu

menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa pengaruh pada sistem susunan saraf pusat

atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat analgetik non narkotik ini juga

tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (Kee, 1996).

b. Analgetika Narkotik

Digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fracturadan kanker. Analgetik

narkotik, kini disebut juga opioida (mirip opioat) adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru

opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya

µreseptor) (Tjay dan Rahardja, 2007). Efek utama analgesik opioid dengan afinitas untuk

resetor µ terjadi pada susunan saraf pusat; yang lebih penting meliputi analgesia, euforia, sedasi,

dan depresi pernapasan. Dengan penggunaan berulang, timbul toleransi tingkat tinggi bagi

semua efek (Katzung, 1986).

Opioid menghasilkan alagetik dengan kerjanya pada susunan syaraf pusat, obat-obat

tersebut mengaktivasi neuron penghambat nyeri secara langsung menghambat neurotransmitter

nyeri. Hampir semua analgetik opioid yang dijual di pasaran bekerja pada reseptor opiate yang

sama dan berbeda terutamam pada potensial, cepatnya awalan kerja dan cara pemberian yang

optimall meskipun efek samping yang tergantung dosis adalah serupa diantara opioid yang

berbeda, beberapa efek samping disebabkan oleh akumulasi metabolit monopioid yang unik

untuk masing-masing obat (Isselbacher, 1987).

Nama Generik Dosis Parenteral (mg) Dosis per oral (mg) Keterangan

Kodein 30-60 mg setiap 4 jam 30-60 mg setiap 4

jam

Serng terjadi nausceae

Oksikodon - 5-10 mg setiap 4 m Biasanya dikombinasi

dengan asetaminofen

Morfin 10 mg tiap tiap 4 jam 60 setap 4 jam

Levorfanol 2 setiap 6-8 jam 4 setiap 6-8 jam Kerjanya lebih lamaa

daripada morfin

Metadon 10 setiap 6-8 jam 20 setiap 6-8 jam Sedasi tertunda karena

waktu paruh yang

panjang

Mepedrin 75-100 setiap 3-4 jam 300 tiap 4 jam Absorb tidak baik

peroral, normepedrin

merupakan metabolit

sekunder

Butorfanol 1-2 setiap 4 jam Semprot internasal

(Isselbacher, 1987).

Perbedaan analgetik nonnarkotik dan narkotik :

No. Analgetik nonnarkotik Analgetik narkotik

1. Menghilangkan nyeri ringan sampai sedang Menghilangkan nyeri ringan sampai

hebat

2. Secara kimia bukan steroid Secara kimia steroid (turuna opium)

3. Menghambat Cox1 dan Cox2 Tidak menghambat Cox1 dan Cox2

4. Tidak menyebabkan toleransi/

ketergantungan fisik pada pemakaian

jangka panjang.

Menimbulkan toleransi/ ketergantungan

fisik pada pemakaian jangka panjang.

5. Bekerja di perifer dengan menghambat

biosintesis prostaglandin yang merupakan

mediator timbulnya rasa nyeri

Bekerja di pusat rasa nyeri yaitu

melalui reseptor opioid

6. Merupakan senyawa heterogen karena

struktur kimia senyawa NSAID berbeda-

beda. Contoh aspirin dengan asetaminofen,

asam mefenamat dengan ibuprofen

mempunyai struktur yang berbeda

Meerupakan senyawa homogen karena

merupakan golongan narkotika kecuali

tramadol

7. Efek samping penggunaan jangka panjang Efek samping akibat penggunaan

dapat merangsang sekresi asam lambung

dan  menurunkan aliran darah ke ginjal

jangka panjang dapat menyebabkan

konstipasi karena di saluran pencernaan

juga terdapat reseptor opioid yaitu

reseptor σ, Ƙ, µ

  ( Ganiswara, 1995)

Sensasi nyeri, tak perduli apa penyebabnya, terdiri dari masukan isyarat bahaya ditambah

reaksi organisme ini terhadap stimulus. Sifat analgesik opiat berhubungan dengan kesanggupannya

merubah persepsi nyeri dan reaksi pasien terhadap nyeri. Penelitian klinik dan percobaan

menunjukkan bahwa analgesik narkotika dapat meningkatkan secara efektif ambang rangsang bagi

nyeri tetapi efeknya atas komponen reaktif hanya dapat diduga dari efek subjektif pasien. Bila ada

analgesia efektif, nyeri mungkin masih terlihat atau dapat diterima oleh pasien, tetapi nyeri yang

sangat parah pun tidak lagi merupakan masukan sensorik destruktif atau yang satu-satunya

dirasakan saat itu (Katzung, 1986).

Nyeri memiliki mekanisme sebagai berikut :

Adapun mekanisme bahan-bahan obat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:

a) Parasetamol

Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi

prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana, 1995).

Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang

menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan

panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer (Goodman dan

Gilman, 2003)). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa

nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek

langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin

dan bukan blokade langsung prostaglandin (Wilmana, 1995).

b) Asetosal

Mekanisme kerja dari asetosal yaitu efektivitas aspirin terutama disebabkan oleh

kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat efektivitas enzim

siklooksigenase secara ireversibel (prostaglandin sintetase), yang mengkatalis perubahan asam

arakidonal menjadi senyawa endoperoksida. Pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan

pembentukan prostaglandin maupun trombokan, tetapi tidak leukotrein. Salisilat menghambat

sintesis prostaglandin secara reversibel (Katzung, 1998).

c) Na Diklofenak

Mekanisme kerja dari Na Diklofenak menginhibisi sintesis prostaglandin didalam jaringan

tubuh dengan menginhibisi siklooksigenase ; sedikitnya 2 isoenzim, siklooksigenase- 1 (Cox-1) dan

siklooksidenase-2 (Cox-2), telah di identifikasikan dengan mengkatalis atau memecah formasi atau

bentuk dari prostaglandin didalam jalur asam arakhidonat. Walaupun mekanisme patinya belum

jelas NSAID berfungsi sebagai antiinflamasi, analgetik dan antipiretik yang pada dasarnya

menginhibisi isoenzim Cox-2, meninhibisi Cox-1 kemungkinan terhadap obat yang tidak

dikehendaki pada mukosa GI dan agregasi platelet (AHFS, 2010).

B. Cara Kerja Uji Analgetik

Cara kerja pada praktikum ini menggunakan metode geliat dimana obat uji dinilai

kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan

percobaan. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan

menimbulkan refleks respon geliat yag berupa tarikan kebelakang, penarikan kembali abdomen

dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Frekuensi gerakan ini dalam

waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakan. Metode ini tidak hanya sederhana dan

dapat dipercaya tapi juga dapat memberikan evaluasi yang cepat teradap jenis analgetik perifer

(Wilmama, 1995).

Pertama-tama adalah menyiapkan seluruh alat dan bahan termasuk tikus sudah termasuk

juga menimbang bobotnya. Hal ini dilakukan agar pengujian dapat berjalan baik dan bobot tikus

dipergunakan untuk dapat menghitung dosis maupun volume pemberian pada hewan uji (tikus)

tersebut. Tiga hewan uji yang ditimbang memiliki bobot yang masing-masing berbeda. Tikus yang

ditandai I (ditujukan untuk pemberian aquabidest) berbobot 180 gram, tikus II (ditujukan untuk

pemberian asetosal) berbobot 140 gram, dan tikus III (ditujukan untuk pemberian Na diklofenak)

berbobot 160 gram. Setelah perhitungan selesai dilakukan dan mengetahui jumlah masing-masing

pemberian obat pada tikus, Pemberian obat pada tikus segera dilakukan dimana pada tikus I

diberikan aquabidest, tikus II diberikan asetosal, dan tikus III diberikan Na diklofenak yang

semuanya diberikan secara oral. Selang lima menit tiap-tiap tikus diberikan asam asetat 1% secara

peritonea. Hal ini dilakukan untuk memberi waktu bagi masing-masing obat untuk masuk dan

memberikan efek terlebih dahulu. Proses selanjutnya yaitu mengamati dan mencatat jumlah geliat

pada tikus tiap 5 menit selama 60 menit. Hasil jumlah geliat tikus I adalah 130, tikus II adalah 85

dan tikus III adalah 93.

B. Hasil vs Literatur

Berdasarkan percobaan yang dilakukan, asetosal memiliki daya analgetik yang lebih tinggi

yaitu sebesar 34,6 % disusul dengan Na diklofenak sebesar 28,4% dan yang terakhir yaitu pada

hewan kontrol yang hanya diberikan aquabidest dan asam asetat yang tidak memiliki daya

anlgetik. Hasil yang diperoleh tersebut tidak sesuai dengan literatur dimana urutan daya analgetik

dari yang terkuat yaitu Na diklofenak dan setelahnya yaitu asetosal (Wilmana, 1995).

Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat.  Absorpsi obat ini melalui saluran cerna

berlangsung lengkap dan cepat. Obat ini terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek

metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat 1-3 jam,

dilklofenakl diakumulasi di cairan sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih

panjang dari waktu paruh obat tersebut (Ian, 1976).

Asam salisilat atau asetosal sendiri sangat iritatif. Derivatnya yang dapat dipakai secara

sistemik adalah ester salisilat dengan substitusi pada gugus hidroksil, misalnya asetosal. Untuk

memperoleh efek anti-inflamasi yang baik dalam kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300

mg/ml. Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di

lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat

segera menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga ditemukan dalam cairan

sinoval. Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik,

efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan

(Ian, 1976).

C. Faktor Kesalahan

Dalam praktikum yang dilakukan terjadi ketidak sesuaian Antara hasil dan literatur, hal

tersebut kemungkinan dikarenakan adanya kesalahan awal pada saat melakukan perhitungan dosis

konversi

VI. KESIMPULAN

1. Analgetik atau obat-obat penghlang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau melenyapkan

rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.

2. Uji analgetik menggunakan metode geliat memiliki prinsip obat uji dinilai kemampuannya

dalam menekan atau menghlangkan rasa nyeri yang diinduksi secara intraperitoneal pada

hewan percobaan.

3. Berdasarkan uji analgetika di laboratorium didapatkan hasil bahwa obat dengan daya

analgetik terkuat adalah asetosal yaitu sebesar 34,6 % disusul dengan Na diklofenak sebesar

28,4% dan yang terakhir yaitu pada hewan kontrol yang hanya diberikan aquabidest dan

asam asetat yang tidak memiliki daya anlgetik. Hasil yang diperoleh tersebut tidak sesuai

dengan literatur dimana urutan daya analgetik dari yang terkuat yaitu Na diklofenak dan

setelahnya yaitu asetosal.

DAFTAR PUSTAKA

American Hospital Formularium Service, 2010. AHFS Drug Information. USA : American Society

of Health-System Pharmacists Inc

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Deprtemen Kesehatan Republik Indonesia

Anonim, 1979. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Deprtemen Kesehatan Republik Indonesia

Ganiswara, G., S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru

Ganong, 2003. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Jakarta: ECG

Goodman dan Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC

Ian, Tanu. 1976. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Isselbachter, dkk. 1987. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Katzung, G. Bertram. !998. Farrmakologi Dasar dan Klinik Edisi Keenam. Jakarta : EGC

Kee, Joyke L. 1996. Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta : EGC

Sukandar, dkk. 2010. ISO Farmakoterapi. Jakarta : ISFI

Wilmana, P. F. 1995. Analgesik, Antipiretik, Antiinflamasi dan Antipirasi. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI

Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta : PT Gramedia

TUGAS

1. Ada berapa macam analgetika ? Jelaskan beserta contohnya

Jawab :

Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

Analgetik Opioid / Analgetik Narkotika

Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium

atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa

nyeri seperti pada fractura dan kanker. Tetap semua analgetik opioid menimbulkan

adiksi/ketergantungan. Analgetik Opioid/analgetik narkotika. Contoh  obat Analgetik

Opioid yaitu Alfentanil, Benzonatate, Buprenorphine, Butorphanol, Codeine,

Dextromethorphan Dezocine, Difenoxin, Dihydrocodeine, Diphenoxylate, Fentanyl,

Heroin Hydrocodone, Hydromorphone, LAAM, Levopropoxyphene, Levorphanol

Loperamide, Meperidine, Methadone, Morphine, Nalbuphine, Nalmefene, Naloxone,

Naltrexone, Noscapine Oxycodone, Oxymorphone, Pentazocine,  Propoxyphene,

Sufentanil.

Analgetik Non-narkotik

Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan

istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang

terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan

Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu

menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan

saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik

Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan

pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunaan Obat Analgetika jenis Analgetik

Narkotik). Contoh  obat Analgetik Non-Narkotik Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib,

Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen,

Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin,

Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam Rofecoxib, Sulindac, Tolmetin.

2. Ada berapa cara mekanisme kerja analgetika ? Jelaskan dan beri contohnya

Jawab :

Mekanisme kerja analgetik ada 2 yaitu :

Mekanisme Kerja Analgetik Opioid

Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam

pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgetiknya dan efek

sampingnya. Kebanyakan analgetik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek 

analgetiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral.

Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua minggu

pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah

pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3

jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya

makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan

protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan

derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat

berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai

waktu paruh paling panjang (45 jam). 

Mekanisme Kerja Obat Analgesik Non-Nakotik

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim

siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya

adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok

pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang

terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya

tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum

dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati

dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh

penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.

3. Bagaimana mekanisme kerja dari parasetamol dan asetosal ? Mengapa memberikan hasil

yang berbeda ?

Jawab :

Berikut mekanisme bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini :

Parasetamol

Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat

menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara

berbeda (Wilmana, 1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat

dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang

kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek

ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya

menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak

mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan

bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung

prostaglandin. (Wilmana, 1995).

Asetosal

Mekanisme kerja dari asetosal yaitu efektivitas aspirin terutama disebabkan oleh

kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat

efektivitas enzim siklooksigenase secara ireversibel (prostaglandin sintetase), yang

mengkatalis perubahan asam arakidonal menjadi senyawa endoperoksida. Pada dosis

tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun trombokan, tetapi

tidak leukotrein. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin secara reversibel

(Katzung, 1998).

4. Bagaimana proses terjadinya rasa nyeri ?

Jawab :

Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang ditemukan

hampir pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem Saraf Pusat

(SSP) melalui dua sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ bermielin

halus bergaris tengah 2-5 µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem kedua

terdiri dari serabut C tak bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan kecepatan

hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ berperan dalam menghantarkan "Nyeri cepat" dan

menghasilkan persepsi nyeri yang jelas, tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C

menghantarkan "nyeri Lambat" dan menghasilkan persepsi samar-samar, rasa pegal dan

perasaan tidak enak. Pusat nyeri terletak di talamus, kedua jenis serabut nyeri berakhir

pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri berjalan ke atas melalui

traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari talamus. Dari sini

impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak.

5. Cari dan jelaskan cara uji daya analgetika yang lain (3 contoh)

Jawab :

Uji Analgetik Metode Listrik

Metode inii menggunaan aliran listrik sebagai penginduksi nyeri. Sebagai respon

terhadap nyeri, hewan akan menunjukkan gerakan atau cicitsn. Arus listrik dapat

ditingkatkan sesuai dengan kekuatan analgetik yang diberikan. Metode ini dapat

dilakukan terhadap kera, anjing, kucng, kelinci, tikus dan mencit.

Uji Analgetik Metode Panas

Ekor hewan uji dicelupkan dalam air panas yang dipertahankan pada suhu 60 +/- 10oC.

Selain itu bisa juga menggunakan panas radiasi terhadap ekor hewan uji melalui kawat

Ni panas (%5,5 +/- 0,05 Amps)

Uji Analgetik Mekanik

Metode ini menggunakan tekanan sebagai penginduksi nyeri. Tekanan diberikakn pada

ekor atau kaki hewan uji. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tekanan yang

diperlukan untuk menimbulkan nyeri sebelum dan sesudah diberi obat. Metode ini

dapat dilakukan terhadap anjing, tikus, dan mencit.