perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... ·...

119

Upload: dohuong

Post on 10-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,
Page 2: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

LAPORAN AKHIR

PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL

PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES, MA 

 PENANGGUNG JAWAB 

Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D  

TIM PENYUSUN  Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D 

Awan Setiawan, SE, MM, ME Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP 

Supriyadi, S.Si, MTP Rudi Alfian, SE 

Septaliana Dewi Prananingtyas, SE Anang Budi Gunawan, SE 

 TIM AHLI 

Rasidin KK S.Sp, M.Si Zulkifli, M.Sc 

Tidar H, SP, M.Si Ir. Surya A. S, M.Si 

Theresia Rachmalia G Ardani, SP 

Ir. Almasril Sembiring  

TIM PENDUKUNG  Anna Astuti, SE 

Eni Arni Sapto Mulyono Tri Supriyana, ST 

Setya Rusdianto, S.Si Selenia Ediyani P., ST 

Vini Irawati, ST 

Komentar, saran dan kritik dapat disampaikan ke : 

 

Direktorat Pengembangan Wilayah 

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah  

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) 

Jl. Taman Suropati No. 2  Jakarta Pusat 10310 

Telp/Fax. (021) 3193 4195 

Page 3: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir yang

berjudul ”Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan

Model Ekonometrik-Multiregional”.

Laporan akhir ini terdiri dari tujuh bab. Empat Bab pertama tentang

justifikasi penelitian yang mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, kerangka

pemikiran. Dua Bab berikutnya tentang perumusan model keterkaitan regional dan

prosedur analisis, keragaan umum model keterkaitan regional. sementara bab

terakhir berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan.

Sebagai suatu proses tentu kegiatan ini masih perlu masukan dari berbagai

pihak yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan model.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan

kebijakan ekonomi regional di Indonesia dan menjadi motivator model-model

ekonomi regional selanjutnya.

Atas kerjasama dan kepercayaan Direktorat Pengembangan Wilayah, Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional dalam penyelesaian penelitian ini, kami

mengucapkan terimakasih.

Jakarta, Desember 2008

Direktur Pengembangan Wilayah

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional i

Page 4: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

EXECUTIVE SUMMARY

ABSRAK

Penelitian ini bertujuan untuk membangun model keterkaitan regional dan menganalisis pola dampak dari keterkaitan regional dengan melakukan berbagai simulasi kebijakan seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Menggunakan data series tahun 1975-2007. Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan pendekatan model ekonometrik persamaan simultan melalui metode estimasi two stages least squares. Hasil estimasi menunjukkan bahwa arus migarasi penduduk relatif lebih ditentukan oleh faktor beaten path dibandingkan dengan faktor upah dan pendapatan daerah yang akan dikunjungi oleh para migran. Kerjasama perdagangan antara region selain disebabkan karena karakteristik lokal daerah, juga sangat ditentukan oleh demografi wilayah, jika secara demografi region tersebut berdekatan maka volume perdagangan mereka akan semakin besar. Simulasi target pertumbuhan ekonomi nasional, peningkatan DAU dan DAK memberikan dampak positif untuk seluruh provinsi, yaitu peningkatan kesempatan kerja dan berkurangnya jumlah penduduk miskin. Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu tinggi, dibanding dengan wilayah lain, namun, net migrasi ke region lain masih positif yang menunjukkan adanya indikasi beaten path dan adanya perbedaan tingkat upah yang lebih tinggi. 1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai keberagaman, baik dalam sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kesatuan dalam keberagaman tersebut adalah hal yang sangat penting untuk diimplementasikan di Indonesia. Menurut Geertz, “Indonesia akan makmur jika dapat menerima dan memanfaatkan keberagamannya dan sebaliknya akan terpecah-pecah jika mencoba untuk menghilangkan keberagaman tersebut” (Hill, 1996).

Indonesia perlu menjalankan kebijakan yang akan mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan selain memerlukan intervensi kebijakan yang berpihak pada kearifan lokal yang berbasis kewilayahan, juga memerlukan strategi pembangunan yang bersifat lintas wilayah dan lintas sektor.

Strategi ini diperlukan agar wilayah tersebut dapat berkembang mencapai tingkat yang diinginkan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis dengan pendekatan komprehensif yang memperhatikian kesembangan fisik, ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu tujuan pokok pembangunan adalah menciptakan keseluruhan pola pertumbuhan pendapatan yang diinginkan dengan penekanan khusus pada akselerasi pertumbuhan dan pendapatan golongan miskin. Sehingga konsep penerapan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi semata tanpa diiringi dengan penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bukanlah merupakan konsep yang tepat. Meskipun analisis ekonomi umumnya tidak menyinggung hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teori mengisyaratkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan sesuatu yang harus dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat.

Page 5: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

2

Orieantasi kebijakan pembangunan sebelumnya dianggap identik dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat regional maupun nasional tanpa memperhatikan distribusi pendapatan dapat menyebabkan kemiskinan semakin melebar. Disamping hal tersebut kebijakan pembangunan juga masih bersifat parsial dan terlalu menekankan kepada akumulasi dari kapital fisik (man-made capital), tanpa memperhatikan keterkaitan dengan natural capital, human capital, social capital. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang menguras sumberdaya alam tanpa diimbangi dengan akumulasi kapital dan investasi dalam pemeliharaannya akan berdampak terhadap rusaknya kelestarian (sustainability) dari sumber-sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Penyusutan dan degradasi dari sumberdaya tersebut juga telah memperparah terjadinya ketidakseimbangan (unbalance growths) pembangunan antar wilayah (provinsi, kabupaten/kota, wilayah perdesaan-perkotaan) dan kelompok–kelompok dalam masyarakat, bahkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok tersebut pada akhirnya akan mengarah pada melebarnya tingkat kemiskinan.

Disamping itu, persoalan-persoalan penting lainnya di daerah yang selama ini kita hadapi antara lain: daya saing daerah dan keterkaitan ekonomi antardaerah yang rendah, kegiatan ekonomi yang masih terkonsentrasi pada beberapa daerah dan sektor tertentu saja, belum termanfaatkannya secara optimal potensi sumber daya wilayah, produktivitas wilayah yang rendah, Masih banyaknya wilayah-wilayah miskin seperti perbatasan, pesisir, dan kawasan tertinggal, konversi lahan pertanian yang tinggi ke non pertanian, kapasitas aparat yang masih rendah, kurangnya keterlibatan masyarakat, dunia usaha, LSM dalam pembangunan, dan belum kondusifnya iklim untuk investasi di daerah.

Seluruh permasalahan tersebut merupakan akumulasi dari kurang terintegrasinya berbagai kebijakan pembangunan. Maka pendekatan pembangunan yang dilakukan selama ini perlu dirubah memakai pendekatan regional. Salah satu implikasi terpenting dari kecenderungan perubahan ini, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi adalah apa yang dikenal dengan integrasi ekonomi menjadi satu kesatuan ekonomi kawasan. Arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara akan semakin meluas, intensif, dan dinamis.

Berbagai literatur tentang regional sciences atau regional development menyebutkan tentang pentingnya tujuh aspek yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan wilayah. Pertama, keterkaitan wilayah secara fisik (physical linkages) baik kondisi infrastruktur yang ada seperti jalan, kereta api, angkutan sungai, dan angkutan udara maupun jaringan interkoneksi yang menghubungkan berbagai infrastruktur tersebut. Kedua, keterkaitan wilayah secara ekonomi (economic linkages) terutama ketersediaan sumberdaya, pola aliran barang dan jasa, keterkaitan produksi, komditas unggulan maupun aliran modal dan pendapatan. Ketiga, pergerakan dan perpindahan penduduk (population movement linkages) baik migrasi tetap maupun migrasi musiman terkait dengan kegiatan ekonomi. Keempat, keterkaitan teknologi (technological linkages) baik teknologi produksi, teknologi informasi, teknologi telekomunikasi. Kelima, keterkaitan sosial (social interaction linkages) dalam kehidupan budaya, agama dan kekerabatan. Keenam, keterkaitan layanan jasa (service delivery linkages) termasuk jaringan layanan energi, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan dan perdagangan. Ketujuh, keterkaitan administrasi, politik, pengorganisasian (political, administrative, and organizational linkages). Selain itu, keseimbangan dan keterkaitan lintas wilayah dan lintas sektor perlu dilakukan

Page 6: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

3

melalui penataan ruang sebagai salah satu instrumen utama dalam pengarusutamaan (mainstreaming) kebijakan pembangunan berbasis wilayah.

Pendekatan pembangunan berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Oleh karenanya penyusunan model keterkaitan regional menjadi suatu hal penting dalam mengatisipasi perubahan ekonomi dalam menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan antar wilayah. Akhir-akhir ini pengembangan model pembangunan wilayah perlu dikaji dan dievaluasi secara mendalam. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan, model pembangunan secara luas (broad-based) dilakukan untuk mendorong pemerataan pembangunan antarwilayah.

Kecermatan dalam penyempurnaan model pembagunan wilayah yang telah disusun pada tahun-tahun sebelumnya akan berpengaruh terhadap akurasi analisis keterkaitan pembagunan antar wilayah. Pendekatan pembangunan berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.

Contoh model yang telah dikembangkan atau dibangun dan telah dilakukan dilakukan Bappenas adalah membangun multiregional input-ouput model (MRIO), model ekonometrika dan computable general equilibrium model (CGE). Namun demikian, perlu disadari bahwa dari ketiga model yang dikembangkan oleh Bappenas tersebut masih bersifat parsial atau terpisah satu dengan lainnya. Dalam arti bahwa dari ketiga model tersebut memberikan suatu solusi, dimana kemungkinan solusi yang dihasilkan dapat sama atau berbeda satu sama lainnya. Untuk hal tersebut sedapat mungkin model tersebut diintegrasi dalam sebuah sistem yang saling terkait satu sama lainnya. Misalnya kelemahan dalam model MRIO dapat diatasi dengan CGE, model CGE yang bersifat black box (terutama untuk berbagai koefisien patameter yang terdapat dalam model CGE,) dapat diatasi oleh model ekonometrika. Penyempurnaan model-model yang telah ada tersebut perlu terus menerus dilakukan dengan harapan temuan-temuan yang ada dari model dapat memberikan solusi yang lebih komprehensif dan dapat dituangkan dalam kebijakan yang ada di Indonesia. Penyempurnaan model keterkaitan pembangunan antarwilayah diharapkan dapat mengoptimalkan pembangunan antarwilayah dan mengurangi adanya ketimpangan pembangunan antar-wilayah. 2. Tujuan, Sasaran dan Ruang Lingkup Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang dan permasalahan studi yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Membangun model keterkaitan regional berbasis model-model yang telah

dikembangkan sebelumnya (Model MRIO- CGE - Ekonometrika). 2. Melakukan berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan

keterkaitan pembangunan nasional dan regional. 3. Menganalisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional,

sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah.

Page 7: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

4

4. Merumuskan strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk periode jangka pendek, menengah dan panjang.

Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah (1) Terumuskannya konsep Pengembangan Model Keterkaitan Regional yang merupakan hasil penyempurnaan dari berbagai model yang telah dikembangkan (Model MRIO- CGE-Ekonometrika); (2) Terlaksananya berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan keterkaitan pembangunan nasional dan regional; (3) Terlaksananya analisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional, sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah; (4) Tersusunnya strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk periode jangka pendek, menengah dan panjang.

Model keterkaitan regional dititikberatkan pada serangkaian kegiatan untuk mengembangkan dan menyempurnakan berbagai model pengembangan wilayah yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dengan lebih menitikberatkan pada keterkaitan regional, sektoral dan tata ruang. Merumuskan skenario dan alternatif kebijakan keterkaitan regional, dan melakukan simulasi dampak kebijakan terhadap pembangunan wilayah. Ruang lingkup kegiatan pengembangan model keterkaitan regional adalah: 1. Pengumpulan data-data dan literatur dari berbagai sumber, antara lain: (a)

Data statistik terbaru: sensus, laporan, (b) Data regional dan sektoral terbaru: data regional dari Provinsi dan data sektoral departemen teknis, LPND, data dari universitas dan lembaga-lembaga kajian; (c) Kebijakan-kebijakan nasional, regional, sektoral dan tata ruang yang terkait dengan pembangunan daerah; (d) Literatur-literatur terkait untuk penyusunan Model Keterkaitan Regional.

2. Analisis data dan pengkajian literatur untuk pengembangan Model Keterkaitan Regional.

3. Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti antara lain oleh unsur-unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, pakar, serta perguruan tinggi, untuk memperoleh masukan dalam pengembangan Model Keterkaitan Regional.

4. Penyusunan laporan kajian pengembangan Model Keterkaitan Regional. Sosialisasi dan Diskusi hasil Kajian berupa Lokakarya/workshop dengan

mengundang stakeholders terkait untuk diseminasi hasil kajian di tingkat pusat dan sosialisasi ke daerah terpilih Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Riau. Setelah membangun model keterkaitan regional, maka output yang diharapkan dari kajian ini adalah: Skenario Pembangunan antarwilayah yang berpedoman pada Konsep perencanaan keterkaitan pembangunan regional. Skenario ini antara lain berisi rekomendasi kebijakan dan prioritas dalam perencanaan pembangunan baik dalam Periode Jangka Pendek (tahunan) dan Jangka Menengah (5 tahun). 3. Metodologi Penelitian 3.1. Spesifikasi Model

Model ekonometrika merupakan suatu pola khusus dari model aljabar, yakni suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu (Intriligator, 1978). Menurut Koutsoyiannis, (1977) Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel

Page 8: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

5

penjelas (explanatory variables) terhadap peubah endogen (dependent variables) khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori ekonomi dengan kata lain, model yang baik haruslah memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika dan kriteria ekonometrika.

Tahapan membangun model diawali dengan suatu pemahaman fenomena perekonomian yang dihipotesiskan terjadi sebagai akibat dari keterkaitan regional yang akan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Spesifikasi model dilakukan dengan memformulasikan model yang paling sesuai dengan sistem atau fenomena aktual yang diabstraksikan. Setelah model dispesifikasikan atau diformulasikan, selanjutnya model diestimasi dengan menggunakan teknik estimasi yang paling sesuai, sehingga memberikan hasil estimasi yang terbaik. Tahap berikutnya adalah evaluasi untuk mengetahui apakah model tersebut secara teoritis bermakna dan secara kuantitatif memuaskan. Jika hal ini terlah terpenuhi maka akan dilakukan peramalan variabel endeogen dari tahun 2006 sampai dengan 2014. Tahap terakhir adalah melakukan simulasi kebijakan.

Bolton (1985) mendeskripsikan tiga tipe metode peramalan regional yang sering digunakan dalam peramalan wilayah, yaitu pertama model top down dengan menggunakan input data nasional yang diperoleh melalui peramalan model ekonometrika ekonomi nasional yang dijadikan sebagai variable independent di dalam model regional. Kedua, model bottom up yang dapat digunakan untuk mengestimasi output nasional (atau output wilayah yang lebih luas) yang merupakan penjumlahan dari nilai-nilai peramalan subregion, dan terakhir adalah Multiregional model yang menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik aktifitas dari suatu industri pada wilayah tertentu akan mempengaruhi beberapa sektor di wilayah lain. Multiregional model memerlukan informasi trade flows antara region-region. Tetapi karena kompleksitas dan syarat substansi data yang diperlukan, maka model bottom-up dan multiregional lebih sering hanya difokuskan pada beberapa wilayah, dengan kata lain, jumlah region yang digunakan umumnya hanya dua atau tiga wilayah.

Kajian ini menggunakan data 30 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Data dikumpulkan dari masing-masing region (provinsi) dan model serta analisis, juga berdasarkan region. Provinsi yang akan dikaji dalam hal ini adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia, tetapi dengan alasan keterbatasan data, dimana ada beberapa provinsi yang baru terbentuk (seperti Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat) tidak dianalis dalam kajian pengembangan model keterkaitan regional. Spesifikasi model yang dirumuskan dalam kajian ini adalah sangat terkait dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model keterkaitan regional. Model yang dibangun adalah sistem persamaan simultan dinamis. Model keterkaitan regional dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan, yang diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah secara sederhana dan jelas.

Spesifikasi model dalam kajian ini dibagi dalam sepuluh blok, yaitu PDRB sektoral, investasi swasta sektoral, investasi pemerintah sektoral, tenaga kerja sektoral, upah sektoral, inflasi, pengangguran, kemiskinan, migrasi dan blok perdagangan. Gambar 1 merupakan penyederhaan dari model keterkaitan regional secara utuh, mengingat persamaan dalam model keterkaitan regional mencapai 1650 persamaan, maka tidak semua explanatory variables dinyatakan di dalamnya.

Page 9: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

6

Gambar 1: Simplifikasi Model Keterkaitan Regional

3.2. Prosedur Analisis 3.2.1. Identifikasi Model

Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi.

Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977). Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 1650 persamaan atau 1650 variabel endogen, terdiri dari 1530 persamaan perilaku dan 120 persamaan identitas, jumlah peubah dalam persamaan adalah 5 peubah. Maka berdasarkan kriteria order condition persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.

PDRB

PDRB sektoral Capital

HC

Inflasi

Upah

Tenaga Kerja

Ekspor

Arus Migrasi

Unemploy

UMR

KHM

ImporPX

PDRB j

POP j

POP

PM j SDA j

SDA

(U/L) j

Poverty

CV

Investasi

Page 10: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

7

3.2.2. Metode Pendugaan Model dan Validasi Model Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified,

dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares) dengan pertimbangan bahwa penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model.

Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Square Error (RMSE), (Root Means Percent Square Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991).

Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangikan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif. Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R², maka pendugaan model semakin baik.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1975 sampai dengan tahun 2007. Sedangkan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan catatan bahwa dalam penelitian harga dideflasi dengan indeks harga sesuai dengan indeks harga masing-masing dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari pengaruh inflasi. Sehingga harga nominal yang diperoleh secara langsung dapat menjadi harga riil. 4. Hasil Penelitian 4.1. Analisis Keragaan Umum Model Keterkaitan Regional

Hasil estimasi model keterkaitan regional dalam penelitian ini dapat dikatakan baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasinya (R²) dari masing-masing persamaan perilaku yaitu berkisar antara 0.50 sampai dengan 0.99. Dari seluruh persamaan perilaku yang di estimasi, hanya terdapat 3 persamaan perilaku, yaitu persamaan kemiskinan di provinsi NTB, Banten dan Jambi dimana nilai R2 berada masing-masing adalah 0.44, 0.49, dan 0.42. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada di dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen (endogenous variable).

Besaran nilai statistik uji F umumnya tinggi, yaitu dengan nilai lebih besar dari 10.99, yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, pada taraf = 0.0001 dan 0.0078, disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan

Page 11: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

8

cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic), meskipun demikian masih terdapat beberapa explanatory variables yang tidak signifikan secara statistik, dalam arti bahwa secara individu variabel tersebut tidak berbeda nyata dengan nol mempengaruhi variabel endogennya.

Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengarauh nyata terhadap variabel endogennya. Hasil estimasi dari statistik-t yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang tidak signifikan atau tidak berbeda nyata dengan nol terhadap variabel endogennya pada taraf =0.05. Dalam studi ini taraf yang digunakan cukup fleksibel yaitu dengan taraf = 0.15.

Berdasarkan hasil uji statistik durbin-w (dw) dan terdapat sejumlah persamaan yang mengalami masalah serial korelasi dan juga terdapat beberapa persamaan yang tidak terdeteksi serial korelasinya. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena keterkaitan regional.

4.2. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu

simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu uji validasi model, dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena keterkaitan regional. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model ini dapat dilihat dari nilai RMSPE, dimana hampir seluruh persamaan perilaku nilai RMPSE dibawah 20%, yang munujukkan bahwa persamaan perilaku yang hanya menyimpang 20 persen dari nilai aktualnya. Hanya terdapat 4 persamaan perilaku yang nilai RMSPE berkisar diantara 50% - 69%. Dengan kata lain bahwa model ini dapat dijadikan sebagai model peramalan. Dilihat dari nilai Theil’s Inequality Coefficient (U), model ini juga dapat dijadikan sebagai sebuah model untuk alternatif simulasi kebijakan, karena nilai U-Theil seluruhnya berada di bahwa 0.2. Hanya terdapat 3 persamaan perilaku yang niai U-Theil berada diantara 0.37 – 0.47, yaitu persamaan perilaku Persamaan PDRB provinsi Bangka Belitung (R07PDB), persamaan Kemiskinan provinsi Kalimantan Selatan (R19PVT) dan Persamaan Pengangguran provinsi Kalimantan Barat (R17UNT) (Lampiran). Dengan kata lain bahwa, secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi alternatif kebijakan.

4.3. Simulasi Kebijakan Skenario alternatif kebijakan yang dilakukan dalam kajian ini adalah

ditentukan secara arbitrary, yaitu (1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.0 persen, 5.5 persen dan 6.0 persen, (2) Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen, (3) Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen dan (4) Simulasi kombinasi peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) masing-masing sebesar 5.0 persen, 10 persen dan 15 persen. Dalam kajian ini periode simulasi kebijakan yang akan dilakukan adalah tahun 2010 – 2014.

Page 12: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

9

4.3.1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi

nasional sebesar 5 persen, berdampak pada kenaikan GDP untuk seluruh provinsi. Kenaikan GDP yang terkecil adalah provinsi Maluku, yaitu sebesar 3.807, sedangkan peningkatan GDP terbesar terdapat pada provinsi Jakarta dan Jawa Barat, masing-masing 7.644 persen dan Kalimantan Timur 6.964 (Tabel 11.). Jika dilihat secara rata-rata ekonomi nasional menjadi tumbuh sebesar 5.418 persen. Dengan kata lain bahwa kenaikan GDP sebesar 5 persen, akan memiliki kenaikan atau dampak multiplier sebesar 0.418 persen (Tabel 1).

Jika dilihat berdasarkan tingkat inflasi (CPI), dapat dijelaskan bahwa kenaikan PDRB sebesar 5 persen, menyebabkan kenaikan inflasi antara 0.068 persen sampai dengan 6.375 persen. Kenaikan inflasi terbesar terjadi pada Benkulu, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan yaitu sebesar 6.375 persen, 5.900 persen dan 5.187 persen secara berturut-turut. Hal tersebut disebabkan karena wilayah ini, dalam beberapa tahun terakhir begitu pesat perkembangannya, sehingga bertambahnya PDRB akan semakin mendorong peningkatan Agregat Demand (AD), antara lain untuk investasi, konsumsi dan pengeluaran pemerintah. Meningkatnya AD akan mendorong peningkatan harga barang dan jasa secara umum. Jika dilihat dari indikator kemiskinan, dapat diketahui bahwa pengaruh dari kenaikan GDP nasional, secara umum menurunkan jumlah kemiskinan, walaupun ada beberapa daerah yang kemiskinannya meningkat, yaitu Bengkulu dan Jawa Tengah, sedangkan provinsi Maluku Utara dan Papua tidak memiliki dampak yang signifikan. Meningkatnya kemiskianan tersebut disebabkan karena kenaikan rata-rata kenaikan pertumbuhan ekonomi wilayah umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan tingkat inflasi itu sendiri yang mencapai 6.375 persen, terutama di provinsi Bengkulu dan Jawa Tengah, hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan biaya hidup yang cukup besar di Bengkulu dan Jawa Tengah, sehingga jumlah orang miskin meningkat.

Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum juga memberikan dampak yang baik terhadap penyerapan tenaga kerja, hal ini terlihat dari menurunnya jumlah pengangguran di hampir seluruh provinsi. Hanya provinsi Jawa Timur dan provinsi Nusa Tenggara Timur yang jumlah penganggurannya meningkat, meskipun relatif kecil. Meningkatnya pengangguran di provinsi Jawa Timur disebabkan tingkat inflasi yang lebih lebih tinggi di banding dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, dimana pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut adalah sebesar 5.689 persen sedangkan tingkat inflasi yang ada adalah 6.499 persen. Untuk provinsi NTT lebih disebabkan karena rendahnya tingkat investasi baik swasta maupun pemerintah, sehingga laju ekonomi yang ada masih belum dapat menurunkan jumlah pengangguran (Tabel 1).

Hal yang sama juga akan terjadi, jika pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar 5.5 persen dan 6.0 persen tetapi memiliki besaran yang berbeda.

Secara nasional terlihat bahwa perningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, 5.5 persen dan 6.0 persen akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi disetiap provinsi, dan secara nasional juga terlihat bahwa tingkat iflasi akan meningkat, namun demikian dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran.

Page 13: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

10

Tabel 1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 4.496 0.443 -0.087 -0.876Sumatera Utara 5.605 0.243 -0.033 -0.374Sumatera Barat 4.728 0.334 -5.762 -0.426Riau 5.427 0.459 -0.298 -0.120Jambi 5.374 0.734 -4.395 -2.810Sumatera Selatan 4.564 5.187 1.463 -0.508Bangka Belitung 5.125 0.108 -0.014 -0.495Bengkulu 5.811 6.375 0.220 -2.282Lampung 5.959 0.280 -0.142 -2.171Jakarta 7.644 0.709 -0.550 -0.052Jawa Barat 6.189 2.668 -0.215 -0.246Banten 5.431 4.354 -3.133 -0.158Jawa Tengah 5.047 5.900 0.138 0.313DI. Yogyakarta 6.567 0.835 -3.930 -0.547Jawa Timur 5.185 3.465 -3.832 0.334Bali 4.833 2.064 3.817 -0.692Kalimantan Barat 5.466 4.010 -5.562 -5.754Kalimantan Tengah 5.758 1.255 -10.750 -1.799Kalimantan Selatan 6.474 4.474 -32.202 -5.991Kalimantan Timur 6.949 0.194 -2.887 -5.123Sulawesi Utara 4.998 0.101 -4.002 -1.111Grontalo 4.696 0.034 -1.283 -1.241Sulawesi Tengah 5.294 1.122 -1.678 -0.064Sulawesi Selatan 5.738 1.060 -1.230 -0.937Sulawesi Tenggara 4.852 0.918 -3.349 -0.114Nusa Tenggara Barat 4.952 0.718 -12.382 0.000Nusa Tenggara Timur 4.364 2.548 -0.503 0.761Maluku 3.807 0.068 -0.023 -0.007Maluku Utara 4.604 0.071 0.000 -0.011Papua 6.613 4.138 0.000 -1.872Nasional 5.418 1.829 -3.087 -1.146

Jelas bahwa untuk menurunkan kemiskinan dan pengangguran masih

diperlukan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih besar yang didapat didorong dari kenaikan investasi baik dari pemerintah ataupun swasta. Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan jumlah pertumbuhan wilayah, kemiskinan, dan tingkat pengangguran.

4.3.2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum

Kenaikan dana alokasi umum (DAU) sebesar 5 persen, secara umum berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah kecuali di beberapa provinsi di Indonesia seperti di daerah provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan beberapa di pulau Kalimantan. Kenaikan GDP tersebut akan mendorong naiknya tingkat inflasi yang digambarkan oleh meningkatnya Indeks harga konsumen. Peningkatan GDP tersebut juga diikuti oleh menurunkan jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran, meskipun di beberapa daerah menunjukkan variasi yang berbeda (Tabel 2).

Page 14: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

11

Tabel 2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.00 -0.009 -0.024Sumatera Utara 2.836 0.63 -0.084 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.00 -0.053 -0.004Riau 0.743 0.07 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.03 -0.216 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.81 -3.388 0.000Bangka Belitung 0.004 0.00 0.000 -0.002Bengkulu 0.037 5.76 0.000 -0.020Lampung 0.252 0.00 -0.006 -0.117Jakarta 0.049 0.00 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.00 -0.731 -0.840Banten 0.000 0.00 -4.646 0.000Jawa Tengah 0.116 0.13 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.000 -1.07 -0.500 -3.063Jawa Timur 0.025 0.00 -0.019 0.002Bali 0.000 0.00 -4.098 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.00 -11.962 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.00 -0.495 0.000Kalimantan Selatan 0.004 0.00 -6.454 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.00 -0.050 -0.077Sulawesi Utara 0.000 0.00 -2.467 0.000Grontalo 0.438 0.03 -0.790 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.03 -0.024 -0.001Sulawesi Selatan 0.080 0.00 -4.652 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.03 -0.170 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.10 -2.109 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.11 -0.023 0.026Maluku 0.031 0.00 0.000 0.000Maluku Utara 0.179 0.07 0.000 -0.011Papua 0.372 4.14 0.000 -0.924Nasional 0.214 0.462 -1.434 -0.235

Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dengan jumlah sebesar 10 dan 15

persen dari rata-rata sebelumnya, juga memberikan dampak yang hampir sama namun dengan nilai besaran yang berbeda. Secara Nasional dapat disebutkan bahwa kenaikan dana alokasi umum sebesar 10 persen, akan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu meningkat sebesar 0.429 persen, yang diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran masing-masing sebesar 2.652 persen dan 0.470 persen. Terlihat bahwa DAU lebih efektif menurunkan tingkat kemiskinan nasional.

Hanya beberapa wilayah yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU tidak memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya, yaitu seperti provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan beberapa di pulau Kalimantan, namun demikian memberikan pengaruh positif bagi penurunan kemiskinan. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU akan memberikan pengaruh yang positif bagi penurunan tingkat kemiskinan dibandingkan dengan penurunan pengangguran dan kanaikan GDP sendiri.

Page 15: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

12

4.3.3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Kenaikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5 persen, secara umum juga

berdampak lebih besar menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kenaikan GDP masing-masing wilayah.Pertumbuhan ekonomi wilayah di beberapa provinsi tikda memiliki pengaruh dan kenaikan GDP itu sendiri relatif kecil. Pulau sumatera dan kalimantan umumnya tidak memiliki pengaruh terhadap kenaikan GDP. Dengan kata lain bahwa kenaikan DAK memiliki pengaruh langsung dalam menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kanaikan dalam GDP (Tabel 3). Tabel 3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 5 Persen,

terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -1.538 0.000Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.065 0.000Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.159 0.000Riau 0.000 0.000 0.000 0.000Jambi 0.000 0.000 -0.243 0.000Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.152 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -0.447 0.000Bengkulu 0.000 5.760 -0.037 0.000Lampung 0.000 0.000 -0.117 0.000Jakarta 0.000 0.000 0.000 0.000Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 0.000Banten 0.052 0.037 -0.033 -0.002Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.000DI. Yogyakarta 0.016 0.033 -0.048 -0.004Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.000Bali 0.014 0.035 0.000 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -0.030 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 0.000 -0.005Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -14.343 0.000Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.050 0.000Sulawesi Utara 0.021 0.000 0.000 -0.011Grontalo 0.000 0.000 -0.066 0.000Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.142 -0.005Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -0.356 0.000Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.170 0.000Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -0.551 0.000Nusa Tenggara Timur 0.000 0.000 -0.069 0.000Maluku 0.000 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -0.833 -1.575Papua 0.000 4.138 -0.827 0.000Nasional 0.004 0.461 -0.677 -0.054

Secara nasional dapat diketahui bahwa kenaikan dana alokasi khusus

(DAK) sebesar 5 persen akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.004 persen, perbaikan ekonomi ini akan menuju pada penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Kenaikan DAK dengan jumlah sebesar 10 dan 15 persen, juga memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAK sebesar 5 persen tetapi dengan nilai besaran yang berbeda di setiap kenaikannya. Lebih jauh dapat

Page 16: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

13

disebutkan bahwa DAK lebih berperan dalam menurunkan kemiskinan di setiap wilayah. 4.3.4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5 persen berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah untuk setiap provinsi (Tabel 4).

Tabel 4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.000 -1.538 -0.004Sumatera Utara 2.836 0.625 -0.149 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.000 -0.211 -0.004Riau 0.743 0.071 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.033 -0.458 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.814 -3.539 0.000Bangka Belitung 0.004 0.000 -0.447 -0.002Bengkulu 0.037 5.760 -0.037 -0.020Lampung 0.252 0.000 -0.124 -0.117Jakarta 0.049 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -0.731 -0.840Banten 0.052 0.037 -4.679 -0.002Jawa Tengah 0.116 0.128 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.016 -1.068 -0.548 -3.068Jawa Timur 0.025 0.000 -0.019 0.002Bali 0.014 0.035 -4.058 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -11.962 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 -0.495 -0.005Kalimantan Selatan 0.004 0.000 -14.422 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.000 -0.075 -0.077Sulawesi Utara 0.021 0.000 -2.522 -0.011Grontalo 0.438 0.034 -0.888 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.031 -0.165 -0.006Sulawesi Selatan 0.080 0.000 -5.008 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.028 -0.339 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.098 -2.650 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.108 -0.092 0.026Maluku 0.031 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.179 0.071 -0.833 -1.586Papua 0.372 4.138 -0.827 -0.924Nasional 0.218 0.465 -1.898 -0.288

Peningkatan DAK dan DAU sebesar 5 persen secara statistik tidak

signifkan. Kenaikan tertinggi terletak pada provinsi Sumatera Utara, Riau dan Grontalo. Secara nasional terlihat bahwa dampak kenaikan DAU dan DAK akan memberikan pengaruh positif bagi kinerja perekonomian yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan sebesar 0.128 persen. Kenaikan pertumbuhan tersebut, akan berdampak pada penurunan kemiskinan sebesar 1.898 persen dan tingkat pengangguran menurun sebesar 0.288 persen. Namun demikian tingkat inflasi juga mengalami kenaikan tetapi masih dalam

Page 17: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

14

batas yang wajar yaitu sebesar 0.465 persen. Kenaikan DAU dan DAK di setiap provinsi dengan jumlah sebesar 10 persen dan 15 persen, juga memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAU dan DAK sebesar 5 persen, tetapi dengan jumlah besaran yang berbeda di setiap kenaikannya.

Hanya terdapat beberapa provinsi yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU dan DAK tidak memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya, yaitu seperti provinsi Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU dan DAK akan memberikan pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Dapat disebutkan bahwa instrument kebijakan DAK dan DAU lebih berpengaruh langsung pada perubahan tingkat kemiskinan, dibandingkan dengan tingkat perubahan dalam GDP.

5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

PDRB sektoral dipengaruhi dipengaruhi secara nyata oleh tenaga kerja sektoral, sedangkan investasi baik swasta maupun pemerintah memberikan respon positif tetapi tidak dapat dijadikan sebagai faktor utama dalam meningkatkan pertumbuhan PDRB setkoral. Perilaku investasi swasta di setiap sektor, nilainya ditentukan oleh besarnya peluang tingkat pengembalian investasi itu sendiri. Permintaan tenaga kerja di setiap sektor untuk seluruh provinsi berhubungan negatif terhadap upah sektoral, tetapi responnya adalah inelastis. Expor bersih provinsi relatif tidak memberikan dampak yang besar dalam hal penyerapan tenaga kerja. Upah tenaga kerja sektoral tidak memiliki integrasi yang kuat dengan Upah Minimum Regional (UMR), artinya bahwa penetapan upah lewat instrument UMR adalah tidak efektif dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan atau balasa jasa yang diterima oleh pekerja. Migrasi bersih yang lebih besar menyebabkan tingkat upah tenaga kerja sektoral menurun, tetapi responnya terahadap perubahan migrasi bersih adalah inelastis. Tingkat inflasi yang ada di provinsi secara umum dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi provinsi itu sendiri dan tingkat upah rata-rara provinsi, tetapi responnya inelastis, dengan kata lain, inflasi merupakan sesuatu hal yang melekat (inherent) di dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri.

Pengangguran berkorelasi postif dengan inflasi di seluruh provinsi. Inflasi dan pengangguran adalah trade off. Tidak adanya inflasi maupun kelebihan pengangguran adalah harapan dari para pelaku ekonomi. Tetapi gangguan dalam perekonomian memang nyata terjadi, dan tanpa adanya fleksibilitas harga yang sempurna, tidak mungkin memulihkan kondisi tenaga kerja penuh (full employment) dengan tingkat harga yang stabil dalam jangka pendek.

Faktor utama yang paling berpengaruh terhadap jumlah orang miskin di setiap provinsi adalah jumlah pengangguran. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi meskipun dapat menurunkan kemiskinan tetapi responnya adalah inelastis, dengan kata lain trickel down effect yang diharapkan dari pelaku ekonomi secara umum tidak berlaku di setiap provinsi. Arus migarasi penduduk relatif lebih ditentukan oleh faktor beaten path dibandingkan dengan faktor upah dan kinerja perekonomian daerah yang akan dikunjungi oleh para migran. Kerjasama perdagangan antara region selain disebabkan karena karakteristik lokal daerah, juga sangat ditentukan oleh demografi wilayah tersebut. Dalam arti

Page 18: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

15

bahwa, jika secara demografi region tersebut berdekatan maka volume perdagangan mereka akan semakin besar.

Pertumbuhan ekonomi nasional secara umum memberikan dampak yang baik bagi seluruh provinsi, yaitu peningkatan kesempatan kerja, mengurangi jumlah penduduk miskin. Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu tinggi, dibanding dengan wilayah lain, namun, net migrasi ke region lain masih positif yang menunjukkan adanya indikasi beaten path dan adanya perbedaan tingkat upah yang lebih tinggi. Dana alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus memiliki peranan penting dan berpengaruh positif bagi perkembangan perekonomian di setiap provinsi. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, tingkat inflasi yang stabil, penurunan tingkat kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran. 5.1. Implikasi Kebijakan

Terpusatnya pendapatan dan kesempatan kerja ke pulau Jawa merupakan hambatan terbesar bagi upaya pemerataan ekonomi antarpulau di Indonesia. Untuk mengurangi fenomena tersebut diperlukan kebijakan pemerintah dengan menciptakan iklim investasi yang lebih baik di luar pulau jawa. Peningkatan jumlah penduduk melalui arus migrasi di hampir seluruh provinsi memiliki dampak yang berbeda antara provinsi, tetapi umumnya migrasi penduduk ini berdampak pada peningkatan jumlah angkatan tenaga kerja di provinsi lain dan hal ini akan mendorong pada peningkatan pengangguran dan penurunan tingkat upah di wilayah tersebut. Untuk mengurangi arus net migrasi ini disarankan kepada pemerintah setempat untuk melakukan intervensi melalui pemberlakukan upah minimum provinsi yang layak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup minimum provinsi.

Untuk mendorong peningkatan ekspor untuk barang dan jasa yang menjadi unggulan, perlu dilakukan intervensi pemerintah daerah. Disarankan pemerintah daerah berupaya dengan cara memberikan insentif untuk berproduksi bagi para eksportir, seperti kemudahan dalam pengurusan administasi dan penurunan pajak. Selain itu pemerintah juga berusaha memfasilitasi peningkatan produksi bagi usaha mikro kecil dan menengah yang berorientasi ekspor. Implikasi dari kebijakan yang mendorong ekspor tersebut diharapkan net ekspor akan naik, dimana permintaan terhadap tenaga kerja juga akan meningkat. Adanya peningkatan permintaan tenaga kerja tentunya akan mengurangi jumlah pengangguran dan diharapkan jumlah kemiskinan akan menurun. Selain itu, dengan peningkatan net ekspor dapat mendorong permintaan tenaga kerja meningkat yang selanjutnya juga meningkatkan PDRB. Dalam untuk mengurangi kemiskinan, DAK dan DAU masih dapat dijadikan sebagai instrument kebijakan, karena selain memiliki dampak langung terhadap jumlah kemiskinan, juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Page 19: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,
Page 20: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

LAPORAN AKHIR

PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL

PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES, MA 

 PENANGGUNG JAWAB 

Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D  

TIM PENYUSUN  Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D 

Awan Setiawan, SE, MM, ME Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP 

Supriyadi, S.Si, MTP Rudi Alfian, SE 

Septaliana Dewi Prananingtyas, SE Anang Budi Gunawan, SE 

 TIM AHLI 

Rasidin KK S.Sp, M.Si Zulkifli, M.Sc 

Tidar H, SP, M.Si Ir. Surya A. S, M.Si 

Theresia Rachmalia G Ardani, SP 

Ir. Almasril Sembiring  

TIM PENDUKUNG  Anna Astuti, SE 

Eni Arni Sapto Mulyono Tri Supriyana, ST 

Setya Rusdianto, S.Si Selenia Ediyani P., ST 

Vini Irawati, ST 

Komentar, saran dan kritik dapat disampaikan ke : 

 

Direktorat Pengembangan Wilayah 

Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah  

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) 

Jl. Taman Suropati No. 2  Jakarta Pusat 10310 

Telp/Fax. (021) 3193 4195 

Page 21: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir yang

berjudul ”Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan

Model Ekonometrik-Multiregional”.

Laporan akhir ini terdiri dari tujuh bab. Empat Bab pertama tentang

justifikasi penelitian yang mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, kerangka

pemikiran. Dua Bab berikutnya tentang perumusan model keterkaitan regional dan

prosedur analisis, keragaan umum model keterkaitan regional. sementara bab

terakhir berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan.

Sebagai suatu proses tentu kegiatan ini masih perlu masukan dari berbagai

pihak yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan model.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan

kebijakan ekonomi regional di Indonesia dan menjadi motivator model-model

ekonomi regional selanjutnya.

Atas kerjasama dan kepercayaan Direktorat Pengembangan Wilayah, Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional dalam penyelesaian penelitian ini, kami

mengucapkan terimakasih.

Jakarta, Desember 2008

Direktur Pengembangan Wilayah

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional i

Page 22: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

K A T A P E N G A N T A R

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir yang berjudul

”Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-

Multiregional”.

Laporan akhir ini terdiri dari tujuh bab. Empat Bab pertama tentang justifikasi

penelitian yang mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran. Dua Bab

berikutnya tentang perumusan model keterkaitan regional dan prosedur analisis, keragaan

umum model keterkaitan regional. sementara bab terakhir berisi kesimpulan dan implikasi

kebijakan.

Sebagai suatu proses tentu kegiatan ini masih perlu masukan dari berbagai pihak yang

diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan model. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan ekonomi regional di

Indonesia dan menjadi motivator model-model ekonomi regional selanjutnya.

Namun, seperti kata pepatah “tidak ada gading yang tak retak”, tentu laporan ini masih

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan komentar, masukan, saran

dan kritik yang membangun.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada mitra kerja, baik di pusat maupun

daerah, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.

Semoga laporan ini bermanfaat.

Jakarta, Desember 2008

Direktorat Pengembangan Wilayah

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional i

Page 23: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

D A F T A R I S I

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vii

I. PENDAHULUAN ....................................................................... I-1

1.1. Latar Belakang ...................................................................... I-1

1.2. Perumusan Masalah ............................................................... I-4

1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. I-10

1.4. Sasaran ..................................................................................... I-10

1.5. Relevansi Kajian dengan Unit Kerja ....................................... I-10

1.6. Ruang Lingkup Kegiatan ........................................................ I-11

1.7. Keluaran ................................................................................. I-12

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... II-1

2.1. Definisi Wilayah ...................................................................... II-1

2.2. Migrasi di Indonesia ............................................................... II-2

2.3. Distribusi Pendapatan dan Ketimpangan Antar-Daerah ......... II-4

2.4. Studi Terdahulu Yang Terkait ................................................ II-7

III. KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................... III-1

3.1. Kerangka Teori .................................................................... III-1

3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi ...................................... III-1

3.1.2. Model Regional Flows .............................................. III-9

3.1.3. Perpindahan Penduduk dan Tenaga Kerja ................ III-16

3.1.4. Mobilitas Capital .......................................................... III-23

3.1.5. Pendekatan Neraca Pembayaran untuk Pertumbuhan

Ekonomi Wilayah …………………………………… III-24

3.2. Kerangka Konseptual …………………………………….. III-26

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional ii

Page 24: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

IV. PERUMUSAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL DAN PROSEDUR ANALISIS …………………………………… IV-1

4.1. Spesifikasi Model …………………………………………… IV-1 4.1.1. Blok PDRB Sektor …………………………………… IV-3

4.1.2. Blok Investasi Swasta Sektoral ……………………… IV-4

4.1.3. Blok Investasi Pemerintah Sektoral …………………. IV-5

4.1.4. Blok Tenaga Kerja Sektoral ………………………….. IV-5

4.1.5. Blok Upah Sektoral …………………………………… IV-6

4.1.6. Blok Inflasi …………………………………………… IV-6

4.1.7. Blok Pengangguran ...................................................... IV-7

4.1.8. Blok Kemiskinan ........................................................... IV-8

4.1.9. Blok Migrasi ................................................................ IV-8

4.1.10. Blok Perdagangan .........................................................IV-10

4.2. Prosedur Analisis …………………………………………… IV-11

4.2.1. Identifikasi Model ………………………………….. IV-11

4.2.2. Metode Pendugaan Model ………………………….. IV-12

4.2.3. Validasi Model …………………………………….. IV-12

4.2.4. Simulasi Model …………………………………….. IV-13

4.3. Jenis dan Sumber Data ……………………………………… IV-15

4.4. Waktu Pelaksanaan ………………………………………….. IV-15

4.5. Sistematika Pelaporan ………………………………………. IV-15

V. KERAGAAN UMUM MODEL KETERKAITAN REGIONAL ................................................................ V-1

5.1. Keragaan Umum Model Keterkaitan Regional ....................... V-1

5.2. Validasi Model ........……………………………………….. V-2

5.3. Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia ………….. V-3

5.4. Simulasi Kebijakan ................................................................ V-7

5.4.1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional V-7

5.4.2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum .............. V-11

5.4.3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus ............ V-14

5.4.4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ........................................................... V-17

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional iii

Page 25: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...... VI-1

6.1. Kesimpulan ………………………………………………. VI-1

6.2. Implikasi Kebijakan …………………………………………. VI-3

6.3. Saran Penelitian Lanjutan …………………………………. VI-4

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 1

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional iv

Page 26: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional v

Judul Tabel alaman

Tabel 1 isi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2000 – 2005

I-6

Tabel 2 Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi, Tahun 2000-2005 (%)

I-7

Tabel 3 onstan 2000 Menurut Pulau, Tahun 2000-2005 (Juta rupiah)

I-8

abel 4 Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Proses Produksi III-11

Tabel 5 ftar Faktor-Faktor Perbandingan Biaya-Keuntungan Berpindah

III-18

Tabel 6 t Migrasi dan Kondisi Ekonomi III-20

Tabel 7 konomi Wilayah Berdasarkan Provinsi, Tahun, 2008-2014

V-3

Tabel 8 ah Penduduk Miskin Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014

V-4

Tabel 9 lah Pengangguran Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014

V-5

Tabel 10 ks Harga Konusmen Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014

V-6

Tabel 11 besar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

V-8

H

Kompos

Komposisi Produk Domistik Regional Bruto Berdasarkan

PDRB per Kapita dalam Harga K

T

Matriks Da

Perpindahan Gros dan Ne

Lokal

Proyeksi Pertumbuhan E

Proyeksi Pertumbuhan Juml

Proyeksi Pertumbuhan Jum

Proyeksi Pertumbuhan Inde

Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Se

D A F T A R T A B E L

Page 27: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 12 Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar

5.5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-9

Tabel 13 Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar

6 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-10

Tabel 14 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 5 Persen,

terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-11

Tabel 15 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 10 Persen,

terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-12

Tabel 16 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 15 Persen,

terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-13

Tabel 17 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 5 Persen,

terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-14

Tabel 18 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 10 Persen,

terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-15

Tabel 19 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 15 Persen,

terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-16

Tabel 20 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi

Khusus Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

V-17

Tabel 21 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi

Khusus Sebesar 10 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

V-18

Tabel 22 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi

Khusus Sebesar 15 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

V-19

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional vi

Page 28: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

D A F T A R G A M B A R

Nomor Halaman

1. Kurva Kemungkinan Produksi dan Konsumsi ....................................... III-12

2. Model Perpindahan Sumberdaya ........................................................... III-14

3. Kerangka Konseptual Keterkaitan Regional ............................................. III-27

4. Simplifikasi Model Keterkaitan Regional................................................. IV-3

5. Garis Waktu Peramalan............................................................................. IV-14

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional vii

Page 29: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

BAB

I P E N D A H U L U A N

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai keberagaman, baik dalam

sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kesatuan dalam keberagaman

tersebut adalah hal yang sangat penting untuk diimplementasikan di Indonesia. Menurut

Geertz, “[Indonesia] akan makmur jika dapat menerima dan memanfaatkan

keberagamannya dan sebaliknya akan terpecah-pecah jika mencoba untuk

menghilangkan keberagaman tersebut” (Hill, 1996). Indonesia perlu menjalankan

kebijakan yang akan mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya manusia

maupun sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara

berkelanjutan selain memerlukan intervensi kebijakan yang berpihak pada kearifan

lokal yang berbasis kewilayahan, juga memerlukan strategi pembangunan yang bersifat

lintas wilayah dan lintas sektor. Strategi ini diperlukan agar wilayah tersebut dapat

berkembang mencapai tingkat yang diinginkan melalui optimasi pemanfaatan

sumberdaya alam secara harmonis dengan pendekatan komprehensif yang

memperhatikian kesembangan fisik, ekonomi, sosial dan budaya.

Salah satu tujuan pokok pembangunan adalah menciptakan keseluruhan pola

pertumbuhan pendapatan yang diinginkan dengan penekanan khusus pada akselerasi

pertumbuhan dan pendapatan golongan miskin. Sehingga konsep penerapan pencapaian

pertumbuhan ekonomi yang tinggi semata tanpa diiringi dengan penurunan angka

kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bukanlah merupakan konsep yang

tepat.

Meskipun analisis ekonomi umumnya tidak menyinggung hubungan antara

pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teori

mengisyaratkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan sesuatu yang

harus dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-1

Page 30: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Orieantasi kebijakan pembangunan sebelumnya dianggap identik dengan

kebijakan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat regional maupun nasional tanpa

memperhatikan distribusi pendapatan dapat menyebabkan kemiskinan semakin melebar.

Disamping hal tersebut kebijakan pembangunan juga masih bersifat parsial dan terlalu

menekankan kepada akumulasi dari kapital fisik (man-made capital), tanpa

memperhatikan keterkaitan dengan natural capital, human capital, social capital.

Pertumbuhan ekonomi tinggi yang menguras sumberdaya alam tanpa diimbangi

dengan akumulasi kapital dan investasi dalam pemeliharaannya akan berdampak

terhadap rusaknya kelestarian (sustainability) dari sumber-sumberdaya alam dan

lingkungan hidup. Penyusutan dan degradasi dari sumberdaya tersebut juga telah

memperparah terjadinya ketidakseimbangan (unbalance growths) pembangunan antar

wilayah (provinsi, kabupaten/kota, wilayah perdesaan-perkotaan) dan kelompok–

kelompok dalam masyarakat, bahkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok

tersebut pada akhirnya akan mengarah pada melebarnya tingkat kemiskinan.

Disamping itu, persoalan-persoalan penting lainnya di daerah yang selama ini

kita hadapi antara lain:

1. Daya saing daerah dan keterkaitan ekonomi antardaerah yang rendah

2. Kegiatan ekonomi yang masih terkonsentrasi pada beberapa daerah dan sektor

tertentu saja

3. Belum termanfaatkannya secara optimal potensi sumber daya wilayah

4. Produktivitas wilayah yang rendah

5. Masih banyaknya wilayah-wilayah miskin seperti perbatasan, pesisir, dan kawasan

tertinggal

6. Konversi lahan pertanian yang tinggi ke non pertanian

7. Kapasitas aparat yang masih rendah

8. Kurangnya keterlibatan masyarakat, dunia usaha, LSM dalam pembangunan; dan

9. Belum kondusifnya iklim untuk investasi di daerah.

Seluruh permasalahan tersebut merupakan akumulasi dari kurang terintegrasinya

berbagai kebijakan pembangunan. Maka pendekatan pembangunan yang dilakukan

selama ini perlu dirubah memakai pendekatan regional. Salah satu implikasi terpenting

dari kecenderungan perubahan ini, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi

adalah apa yang dikenal dengan integrasi ekonomi menjadi satu kesatuan ekonomi

kawasan. Arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara akan

semakin meluas, intensif, dan dinamis.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-2

Page 31: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Berbagai literatur tentang regional sciences atau regional development

menyebutkan tentang pentingnya tujuh aspek yang perlu diperhitungkan dalam

pengembangan wilayah. Pertama, keterkaitan wilayah secara fisik (physical linkages)

baik kondisi infrastruktur yang ada seperti jalan, kereta api, angkutan sungai, dan

angkutan udara maupun jaringan interkoneksi yang menghubungkan berbagai

infrastruktur tersebut. Kedua, keterkaitan wilayah secara ekonomi (economic linkages)

terutama ketersediaan sumberdaya, pola aliran barang dan jasa, keterkaitan produksi,

komditas unggulan maupun aliran modal dan pendapatan. Ketiga, pergerakan dan

perpindahan penduduk (population movement linkages) baik migrasi tetap maupun

migrasi musiman terkait dengan kegiatan ekonomi. Keempat, keterkaitan teknologi

(technological linkages) baik teknologi produksi, teknologi informasi, teknologi

telekomunikasi. Kelima, keterkaitan sosial (social interaction linkages) dalam

kehidupan budaya, agama dan kekerabatan. Keenam, keterkaitan layanan jasa (service

delivery linkages) termasuk jaringan layanan energi, keuangan dan perbankan,

pendidikan, kesehatan dan perdagangan. Ketujuh, keterkaitan administrasi, politik,

pengorganisasian (political, administrative, and organizational linkages). Selain itu,

keseimbangan dan keterkaitan lintas wilayah dan lintas sektor perlu dilakukan melalui

penataan ruang sebagai salah satu instrumen utama dalam pengarusutamaan

(mainstreaming) kebijakan pembangunan berbasis wilayah.

Otonomi daerah merupakan tantangan bagi pemerintah daerah itu sendiri, karena

kewenangannya yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program

pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan

daerah masing-masing. Dengan latar belakang demografi, geografis, infrastruktur dan

ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, maka salah satu

konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah keberagaman daerah dalam hal

kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja

selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan antardaerah. Pendekatan pembangunan

berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi

lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan

wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Oleh karenanya

penyusunan model keterkaitan regional menjadi suatu hal penting dalam mengatisipasi

perubahan ekonomi dalam menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan antar

wilayah.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-3

Page 32: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Akhir-akhir ini pengembangan model pembangunan wilayah perlu dikaji dan

dievaluasi secara mendalam. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan, model

pembangunan secara luas (broad-based) dilakukan untuk mendorong pemerataan

pembangunan antarwilayah.

Kecermatan dalam penyempurnaan model pembagunan wilayah yang telah

disusun pada tahun-tahun sebelumnya akan berpengaruh terhadap akurasi analisis

keterkaitan pembagunan antar wilayah. Pendekatan pembangunan berbasis wilayah

merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih

efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai

bagian integral dari pembangunan nasional.

Contoh model yang telah dikembangkan atau dibangun dan telah dilakukan

dilakukan Bappenas adalah membangun multiregional input-ouput model (MRIO),

model ekonometrika dan computable general equilibrium model (CGE). Namun

demikian, perlu disadari bahwa dari ketiga model yang dikembangkan oleh Bappenas

tersebut masih bersifat parsial atau terpisah satu dengan lainnya. Dalam arti bahwa dari

ketiga model tersebut memberikan suatu solusi, dimana kemungkinan solusi yang

dihasilkan dapat sama atau berbeda satu sama lainnya.

Untuk hal tersebut sedapat mungkin model tersebut diintegrasi dalam sebuah

sistem yang saling terkait satu sama lainnya. Misalnya kelemahan dalam model MRIO

dapat diatasi dengan CGE, model CGE yang bersifat black box (terutama untuk

berbagai koefisien patameter yang terdapat dalam model CGE,) dapat diatasi oleh

model ekonometrika. Penyempurnaan model-model yang telah ada tersebut perlu terus

menerus dilakukan dengan harapan temuan-temuan yang ada dari model dapat

memberikan solusi yang lebih komprehensif dan dapat dituangkan dalam kebijakan

yang ada di Indonesia.

Penyempurnaan model keterkaitan pembangunan antarwilayah diharapkan dapat

mengoptimalkan pembangunan antarwilayah dan mengurangi adanya ketimpangan

pembangunan antar-wilayah.

1.2. Perumusan Masalah

Sejak pelita I hingga VII pembangunan terkonsentrasi di Jawa. Hal ini tidak

terlepas dari kenyataan bahwa pulau Jawa memiliki kesiapan lebih awal dalam

menjalankan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mengumumkan gagasan yang

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-4

Page 33: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

diluncurkan dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto tahun 1990, dimana Kawasan

Timur Indonesia (KTI) akan mendapat prioritas utama dalam kegiatan pembangunan,

namun demikian program pembangunan KTI ini belum memberikan hasil yang

menggembirakan. Alasannya, program pemerintah ini tidak mendapat dukungan

sepenuhnya dari para pelaku ekonomi di lapangan. Dengan kata lain, pihak swasta

kurang tertarik berinvestasi di KTI. Akibatnya sampai saat ini, masih terdapat

kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara KTI dan Kawasan Barat Indonesia

(KBI).

Ada dua alasan mengapa pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di KTI,

Pertama, penduduk Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali) lebih 60 persen dari total penduduk Indonesia (lihat

Tabel 1), sedangkan luasnya hanya sekitar 7 persen. Akibatnya investor lebih tertarik

berproduksi di Jawa dengan alasan skala ekonomi dan mendekati lokasi pasar. Kedua,

sarana dan prasarana di KTI belum memadai dalam mendukung investasi, terutama

prasarana angkutan dan komunikasi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah

menciptakan lingkungan yang mampu menarik minat investor.

Diterapkannya otonomi daerah, membuat pemerintah daerah berlomba-lomba

menarik minat investor masuk dan menanamkan modalnya di daerah. Daerah berharap

bahwa seluruh atau sebagian besar manfaat dari investasi di daerahnya mampu memicu

pertumbuhan perekonomian daerahnya. Pemerintah daerah belum menyadari dengan

baik bahwa limpahan manfaat investasi tidak semuanya mengalir ke daerah tempat

investasi, tetapi sebagian kecil atau dapat juga dalam porsi yang cukup besar dapat

mengalir ke daerah lain, terutama pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena Pulau Jawa

memiliki infrastruktur perekonomian paling lengkap.

Tingginya konsentrasi penduduk di Jawa tentu saja diikuti oleh konsentrasi

aktivitas ekonomi. Kadar aktivitas ekonomi dapat ditunjukkan oleh angka Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB), periode 2000-2005, Jawa (Provinsi Banten, DKI

Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali) memberikan

kontribusi lebih dari 60 persen terhadap total PDRB seluruh daerah (Tabel 2).

Kemudian perannya agak menurun ketika terjadi krisis ekonomi nasional. Diperkirakan

perannya kembali akan meningkat setelah perekonomian pulih dari krisis. Fakta

demikian menunjukkan bahwa peran Jawa sangat dominan dalam perekonomian

Indonesia.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-5

Page 34: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 1. Komposisi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2000-2005

No Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005

1 NAD 0.86 0.86 1.90 1.97 1.88 1.882 Sumatera Utara 5.72 5.70 5.64 5.53 5.56 5.563 Sumatera Barat 2.11 2.09 2.03 2.08 2.09 2.084 Riau 2.36 2.40 2.52 2.59 2.62 2.625 Jambi 1.20 1.20 1.18 1.20 1.21 1.216 Sumatera Selatan 3.41 3.41 3.40 3.03 3.04 3.047 Bangka Belitung 0.45 0.47 0.43 0.46 0.47 0.478 Bengkulu 0.78 0.70 0.78 0.71 0.71 0.719 Lampung 3.30 3.30 3.25 3.23 3.24 3.2410 Banten 4.02 4.06 4.04 4.18 4.19 4.1911 DKI Jakarta 4.15 4.13 3.97 4.01 3.81 4.0212 Jawa Barat 17.75 17.73 17.51 17.72 17.74 17.7213 Jawa Tengah 15.37 15.27 15.03 14.95 14.93 14.9414 DI Yogya 1.55 1.54 1.50 1.50 1.48 1.4815 Jawa Timur 17.28 17.06 16.67 16.89 16.78 16.7516 Kalimantan Barat 1.85 1.86 1.98 1.84 1.85 1.8517 Kalimantan Tengah 0.89 0.90 0.92 0.85 0.86 0.8618 Kalimantan Selatan 1.00 1.03 1.08 1.03 1.04 1.0319 Kalimantan Timur 1.48 1.47 1.45 1.48 1.48 1.4820 Sulawesi Utara 3.88 3.86 3.91 3.83 3.85 3.8421 Gorontalo 1.21 1.22 1.22 1.26 1.27 1.2722 Sulawesi Tengah 0.98 0.98 0.97 0.99 0.99 0.9923 Sulawesi Selatan 0.41 0.42 0.41 0.41 0.41 0.4124 Sulawesi Tenggara 0.88 0.89 0.91 0.87 0.88 0.8825 Bali 1.56 1.55 1.53 1.56 1.56 1.5626 NTB 1.90 1.90 1.96 1.87 1.88 1.8727 NTT 1.89 1.96 1.86 1.90 1.91 1.9128 Maluku 0.57 0.59 0.57 0.57 0.57 0.5729 Maluku Utara 0.33 0.39 0.37 0.40 0.54 0.4030 Papua 0.84 1.06 1.04 1.10 1.15 1.16

100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00Sumber: Statistik Indonesia, diolah dari berbagai terbitan, BPS

Walaupun posisi ekonomi Jawa sangat dominan, pendapatan per kapitanya

bukanlah yang tertinggi. PDRB per kapita tertinggi diraih oleh penduduk yang

bertempat tinggal di luar Jawa, seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. PDRB

per kapita Jawa berada di sekitar nilai PDRB per kapita nasional. PDRB per kapita Jawa

tertekan oleh jumlah penduduknya yang mencapai lebih 60 persen dari penduduk

Indonesia. Pada Tabel 3 dicantumkan nilai PDRB per kapita dalam harga konstan 2000

menurut kelompok provinsi.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-6

Page 35: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 2. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Konstan 2000 Menurut Provinsin, Tahun 2000-2005 (%)

No Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005

1 NAD 2.97 2.53 2.92 2.96 2.57 2.12 2 Sumatera Utara 5.19 5.16 5.19 5.23 5.30 5.33 3 Sumatera Barat 1.72 1.70 1.71 1.74 1.76 1.77 4 Riau 5.22 5.65 5.53 4.85 4.79 4.80 5 Jambi 0.72 0.73 0.75 0.75 0.76 0.76 6 Sumatera Selatan 3.10 3.04 3.01 3.00 3.01 3.01 7 Bangka Belitung 0.46 0.46 0.48 0.51 0.51 0.50 8 Bengkulu 0.37 0.36 0.37 0.37 0.38 0.38 9 Lampung 1.75 1.73 1.75 1.78 1.80 1.78

10 Banten 3.43 3.41 3.41 3.45 3.49 3.52 11 DKI Jakarta 17.11 17.13 17.26 17.49 17.73 17.89 12 Jawa Barat 14.70 14.59 14.58 14.71 14.83 14.90 13 Jawa Tengah 8.61 8.53 8.49 8.57 8.64 8.67 14 DI Yogya 1.01 1.01 1.01 1.02 1.03 1.03 15 Jawa Timur 15.23 15.10 15.07 15.19 15.42 15.54 16 Kalimantan Barat 1.45 1.42 1.43 1.42 1.43 1.42 17 Kalimantan Tengah 0.82 0.81 0.82 0.83 0.84 0.85 18 Kalimantan Selatan 1.30 1.29 1.28 1.29 1.30 1.31 19 Kalimantan Timur 6.19 6.20 6.06 5.94 5.80 5.67 20 Sulawesi Utara 0.80 0.78 0.78 0.77 0.77 0.77 21 Gorontalo 0.11 0.11 0.11 0.12 0.12 0.12 22 Sulawesi Tengah 0.65 0.65 0.66 0.68 0.70 0.71 23 Sulawesi Selatan 2.12 2.31 2.31 2.34 2.36 2.21 24 Sulawesi Tenggara 0.43 0.44 0.45 0.46 0.48 0.49 25 Bali 1.30 1.28 1.27 1.27 1.27 1.28 26 NTB 0.92 0.94 0.93 0.93 0.95 0.92 27 NTT 0.59 0.59 0.59 0.60 0.60 0.59 28 Maluku 0.21 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 29 Maluku Utara 0.14 0.14 0.14 0.13 0.14 0.14 30 Papua 1.38 1.71 1.45 1.39 1.04 1.35

100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber: PDRB Provinsi, diolah dari berbagai terbitan, BPS

Posisi ekonomi Jawa yang dominan menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi

antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan ini mendapat perhatian karena dapat

menimbulkan dampak negatif terhadap aspek demografi, politik, ekonomi, pertahanan

keamanan dan sebagainya. Penyebab lain ketimpangan ekonomi di antaranya adalah

kondisi infrastruktur dan sumberdaya manusia Jawa & Bali telah lebih maju daripada

daerah lain. Infrastruktur yang dimaksud diantaranya adalah ketersediaan tenaga listrik,

prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi. Karena kelebihannya dalam

kepemilikan infrastruktur tersebut, maka pelaku ekonomi memilih Jawa & Bali sebagai

pusat kegiatan bisnis nasional.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-7

Page 36: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 3. PDRB per Kapita dalam Harga Konstan 2000 Menurut Pulau, Tahun 2000-2005 (Juta rupiah)

No Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005

1 NAD 22.77 20.10 10.56 10.60 9.91 8.55 2 Sumatera Utara 6.01 6.21 6.32 6.65 6.90 7.25 3 Sumatera Barat 5.40 5.59 5.79 5.87 6.09 6.43 4 Riau 14.63 16.13 15.09 13.15 13.24 13.88 5 Jambi 3.98 4.19 4.36 4.42 4.56 4.81 6 Sumatera Selatan 6.03 6.11 6.09 6.98 7.18 7.49 7 Bangka Belitung 6.79 6.71 7.56 7.91 7.87 8.03 8 Bengkulu 3.12 3.56 3.24 3.69 3.82 4.03 9 Lampung 3.50 3.58 3.71 3.88 4.02 4.15

10 Banten 5.64 5.75 5.80 5.80 6.04 6.37 11 DKI Jakarta 27.30 28.42 29.88 30.64 33.66 33.75 12 Jawa Barat 5.48 5.64 5.73 5.84 6.06 6.37 13 Jawa Tengah 3.71 3.82 3.88 4.03 4.19 4.40 14 DI Yogya 4.32 4.49 4.65 4.79 5.01 5.26 15 Jawa Timur 5.83 6.06 6.22 6.32 6.66 7.03 16 Kalimantan Barat 5.18 5.24 4.98 5.42 5.58 5.81 17 Kalimantan Tengah 6.10 6.15 6.11 6.84 7.06 7.46 18 Kalimantan Selatan 8.58 8.56 8.20 8.82 9.12 9.57 19 Kalimantan Timur 27.71 28.79 28.76 28.19 28.28 29.00 20 Sulawesi Utara 1.37 1.39 1.37 1.42 1.46 1.52 21 Gorontalo 0.60 0.62 0.65 0.65 0.69 0.73 22 Sulawesi Tengah 4.38 4.55 4.70 4.79 5.07 5.43 23 Sulawesi Selatan 34.04 37.79 39.14 39.96 41.38 40.59 24 Sulawesi Tenggara 3.25 3.34 3.38 3.71 3.91 4.17 25 Bali 5.49 5.66 5.73 5.69 5.88 6.20 26 NTB 3.18 3.39 3.28 3.51 3.67 3.73 27 NTT 2.06 2.06 2.20 2.21 2.28 2.34 28 Maluku 2.41 2.30 2.37 2.44 2.50 2.62 29 Maluku Utara 2.81 2.43 2.52 2.38 1.82 2.56 30 Papua 10.84 11.04 9.64 8.95 6.51 8.84

Sumber: PDRB Provinsi dan Statistik Indonesia, diolah dari berbagai terbitan, BPS

Jawa & Bali oleh sebagian besar pengusaha dijadikan tempat penyusunan

kebijakan, strategi dan perencanaan bisnis berskala nasional maupun internasional.

Sementara bisnis di luar Jawa kebanyakan berupa pabrikan atau unit usaha yang hanya

menjalankan operasional secara teknis. Dengan demikian sekalipun omset bisnis di luar

Jawa cukup besar, namun perputaran uang sebagian besar masih berada di antara

rekanan usaha yang berlokasi di Jawa. Besarnya perputaran uang di Jawa ini mendorong

kegiatan perekonomian yang semakin tinggi di Jawa, sekalipun usaha penciptaan

uangnya berada di luar Jawa.

Penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antardaerah berikutnya dapat dilihat

dari aspek kepemilikan faktor produksi, yaitu modal atau kapital dan tenaga kerja. Jawa

memiliki keunggulan dalam faktor kapital dan tenaga kerja, tetapi miskin akan

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-8

Page 37: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

sumberdaya alam. Sementara itu daerah luar Jawa memiliki keunggulan dalam

kepemilikan bahan baku berupa sumberdaya alam, baik berupa barang tambang, hasil

perkebunan dan kelautan.

Daerah yang menguasai kepemilikan kapital dan tenaga kerja cenderung

mengalami laju pertumbuhan ekonomi tinggi, sedangkan daerah kaya sumberdaya alam

mengalami laju pertumbuhan ekonomi lebih lamban. Oleh karena terdapat perbedaan

kepemilikan faktor antar daerah, maka terjadi spesifikasi produksi, yang akan

mendorong kegiatan perdagangan antardaerah.

Daerah yang memiliki banyak keunggulan dalam kepemilikan faktor akan

menjadi tempat berproduksi (sentra produksi) dan sekaligus sebagai pemasok barang

dan jasa bagi daerah-daerah lainnya. Apalagi jika ditunjang dengan jumlah penduduk

yang besar. Berbeda dengan daerah yang memiliki keunggulan dalam aspek

kepemilikan sumberdaya alam dan kepemilikan faktor, maka daerah-daerah yang

terbelakang perkembangan ekonominya hampir dipastikan lebih lambat. Selain itu

daerah ini masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap daerah yang lebih maju.

Mengingat adanya perbedaan karakteristik antardaerah di Indonesia yang disebabkan

oleh jumlah penduduk, kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kapital dan

sumberdaya alam, maka ketergantungan atau keterkaitan ekonomi antardaerah

dipastikan akan terjadi. Sehubungan dengan struktur keterkaitan ekonomi tersebut

muncul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban melalui suatu penelitian

ilmiah, yaitu:

1. Bagaimana model keterkaitan ekonomi regional antar-pulau dan bagaimana

konsep pengembangan podel keterkaitan regional yang ”acceptable,

implementable, dan managable.”

2. Bagaimana dampak terhadap pulau tertentu, jika terdapat shock di pulau lain

dengan melakukan berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk

perencanaan keterkaitan pembangunan nasional dan regional.

3. Bagaimana pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional, sektoral

maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah.

4. Bagaimana suatu skenario pembangunan wilayah yang sesuai dengan

keterkaitan pembangunan regional dan sasaran pembangunan nasional.

5. Bagaimana merumuskan strategi kebijakan, program pembangunan prioritas,

kewenangan serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun

untuk periode jangka pendek, menengah dan panjang.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-9

Page 38: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang dan permasalahan studi yang telah

diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari kajian ini adalah:

1. Membangun model keterkaitan regional berbasis model-model yang telah

dikembangkan sebelumnya (Model MRIO- CGE - Ekonometrika).

2. Melakukan berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan

keterkaitan pembangunan nasional dan regional.

3. Menganalisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional,

sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah.

4. Merumuskan strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan

serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk

periode jangka pendek, menengah dan panjang.

1.4. Sasaran

Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah:

1. Terumuskannya konsep Pengembangan Model Keterkaitan Regional yang

merupakan hasil penyempurnaan dari berbagai model yang telah

dikembangkan (Model MRIO- CGE - Ekonometrika);

2. Terlaksananya berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan

keterkaitan pembangunan nasional dan regional;

3. Terlaksananya analisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional,

regional, sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah;

4. Tersusunnya strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan

serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk

periode jangka pendek, menengah dan panjang.

1.5. Relevansi Kajian dengan Unit Kerja

Adapun penerima manfaat dari kajian ini adalah Bappenas pada umumnya dan

unit kerja bersangkutan pada khususnya. Keluaran dari kajian ini akan mendukung

upaya analisis untuk perencanaan pengembangan wilayah dan antarwilayah dengan

menggunakan model kuantitatif keterkaitan regional untuk melakukan simulasi berbagai

kebijakan pembangunan untuk perencanaan, analisis dampak dari keterkaitan kebijakan,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-10

Page 39: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

dan pengembangan skenario pembangunan wilayah. Dari hasil simulasi dan analisis

tersebut diharapkan akan memberikan masukan dalam rencana pembangunan

pemerintah dalam jangka pendek dan menengah, khususnya dalam perencanaan

pembangunan untuk pengembangan wilayah dan antarwilayah, dan mengurangi

kesenjangan antarwilayah. Masukan tersebut akan mendukung dan memperkaya

perencanaan dalam bidang pembangunan wilayah serta memberikan aspek spasial pada

sistem perencanaan nasional.

1.6. Ruang Lingkup Kegiatan

Model keterkaitan regional dititikberatkan pada serangkaian kegiatan untuk

mengembangkan dan menyempurnakan berbagai model pengembangan wilayah yang

telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dengan lebih menitikberatkan pada

keterkaitan regional, sektoral dan tata ruang. Merumuskan skenario dan alternatif

kebijakan keterkaitan regional, dan melakukan simulasi dampak kebijakan terhadap

pembangunan wilayah. Ruang lingkup kegiatan pengembangan model keterkaitan

regional adalah: ”Pengembangan Model CGE (Pendekatan Botto-Up) dan Model

Ekonometrika Keterkaitan Regional”

1. Pengumpulan data-data dan literatur dari berbagai sumber, antara lain:

a. Data statistik terbaru: sensus, laporan, dst.

b. Data regional dan sektoral terbaru: data regional dari Provinsi dan data

sektoral departemen teknis, LPND, data dari universitas dan lembaga-

lembaga kajian;

c. Kebijakan-kebijakan nasional, regional, sektoral dan tata ruang yang terkait

dengan pembangunan daerah;

d. Literatur-literatur terkait untuk penyusunan Model Keterkaitan Regional.

2. Analisis data dan pengkajian literatur untuk pengembangan Model Keterkaitan

Regional.

3. Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti antara lain oleh unsur-unsur

pemerintah pusat, pemerintah daerah, pakar, serta perguruan tinggi, untuk

memperoleh masukan dalam pengembangan Model Keterkaitan Regional.

4. Penyusunan laporan kajian pengembangan Model Keterkaitan Regional.

Sosialisasi dan Diskusi hasil Kajian berupa Lokakarya/workshop dengan

mengundang stakeholders terkait untuk diseminasi hasil kajian di tingkat pusat dan

sosialisasi ke daerah terpilih Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Riau.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-11

Page 40: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-12

1.7. Keluaran

Setelah membangun model keterkaitan regional, maka output yang diharapkan

dari kajian ini adalah: Skenario Pembangunan antarwilayah yang berpedoman pada

Konsep perencanaan keterkaitan pembangunan regional. Skenario ini antara lain berisi

rekomendasi kebijakan dan prioritas dalam perencanaan pembangunan baik dalam

Periode Jangka Pendek (tahunan) dan Jangka Menengah (5 tahun).

Page 41: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

BAB

II T I N J A U A N P U S T A K A

2.1. Definisi Wilayah

Setidaknya ada tiga definisi tentang daerah yang sering dijumpai dalam literatur,

yaitu daerah homogen, daerah nodal dan daerah perencanaan atau daerah administratif

(Richardson, 1969). Penjelasan masing-masing definisi daerah adalah sebagai berikut:

1. Konsep daerah homogen didasarkan pada suatu pandangan bahwa unit-unit spasial

dapat dikelompokkan menjadi suatu daerah tunggal jika mereka memiliki

karakteristik yang sama. Karakteristik yang dimaksud dapat berupa karakteristik

ekonomi, geografi ataupun sosial-politik. Pendefinisian daerah akan menjadi sulit

manakala daerah-daerah tersebut seragam dalam beberapa hal tetapi tidak seragam

dalam aspek lainnya.

2. Konsep daerah nodal, didefinisikan sebagai suatu daerah yang terdiri atas satuan-

satuan ruang yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya baik

secara internal maupun secara eksternal. Secara internal keterkaitan fungsional

terjadi melalui perdagangan dan layanan jasa-jasa di dalam daerah yang

bersangkutan. Secara eksternal jaringan produksi, perdagangan, angkutan,

komunikasi, imigrasi, aliran bahan baku dan komoditas mengaitkan suatu daerah

dengan daerah yang lainnya, termasuk dengan luar negeri.

3. Klasifikasi daerah perencanaan atau administratif dipandang penting dalam kaitannya

dengan perumusan kebijakan dan perencanaan serta analisis daerah. Mengingat

pelaksanaan kebijakan daerah membutuhkan legitimasi kekuasaan maka daerah ini

perlu didefinisikan sebagai daerah administratif dengan legalitas politik yang jelas

pada berbagai tingkat.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 1

Page 42: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Mengacu kepada definisi daerah administratif, maka Indonesia dapat dibagi-bagi

menjadi beberapa tingkat daerah yaitu propinsi, kabupaten/kota dan Desa.

Memperhatikan aspek ini sangatlah penting dalam upaya mengelompokkan berbagai

propinsi menjadi beberapa kesatuan daerah yang lebih luas, misalnya kesatuan pulau.

Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau, dengan adat-istiadat dan budaya yang

berbeda-beda menjadi dasar terjadinya perbedaan karakter sosial, politik dan ekonomi.

Aspek ekonomi sangat dipengaruhi oleh karakter geografis, aspek sosial dan politik.

Oleh karena itu di samping mempertimbangkan aspek ekonomi, untuk

mengelompokkan daerah-daerah menjadi beberapa kesatuan daerah yang lebih luas,

misalnya pulau, juga harus mempertimbangkan aspek geografis, sosial dan politik.

Akibat dari penjelasan pada dua paragraf sebelumnya, maka penggabungan beberapa

propinsi menjadi daerah yang lebih besar harus mempertimbangkan kriteria daerah

administratif dan daerah homogen.

2.2. Migrasi di Indonesia

Migrasi merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari gerak

langkah pembangunan ekonomi. Berbagai motif yang melatarbelakangi individu untuk

melakukan migrasi didominasi oleh adanya keinginan untuk mengubah hidup dan mutu

kehidupan individu tersebut. Tirtosudarmo (1985), menyatakan bahwa keputusan dan

kemampuan merealisasikan keputusan tersebut sangat tergantung pada lingkungan

sosial, ekonomi dan industri yang bersangkutan. Artinya keputusan untuk melakukan

migrasi tidak hanya semata-mata karena pertimbangan sendiri tetapi juga oleh

perubahan-perubahan struktural di dalam masyarakat dimana individu berdomisili

(Syafa’at, 1998).

Keputusan untuk melakukan migrasi ditandai oleh adanya faktor pendorong

(push factor) dari tempat seseorang bermukim dan pilihan tujuan sebagai tempat

berpindah yang dicirikan oleh adanya faktor penarik (pull factor) dari tempat tujuan

tadi. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, satu hal yang dominan adalah

kemungkinan diperolehnya tambahan pendapatan tunai sebagai hasil jerih payah bekerja

pada berbagai pilihan pekerjaan di tempat yang baru. Berbagai alasan yang

dikemukakan untuk melakukan migrasi sebenarnya mempunyai tujuan utama untuk

mengubah status ekonomi, sekaligus status sosial dan kehidupan seseorang/sekeluarga

di tengah masyarakat.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 2

Page 43: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Colter (1984), menyebutkan bahwa walaupun pembangunan ekonomi antara

perdesaan dan kota belum seimbang, sehingga mendorong adanya mobilitas penduduk

dari wilayah perdesaan ke perkotaan. Pola migrasi penduduk, menunjukkan adanya

kecenderungan meningkatnya migran sirkuler dan kecenderungan makin menurunnya

migran komuter. Hal ini terjadi karena faktor sosial, yaitu adanya pandangan dalam

masyarakat desa bahwa migran sirkuler merupakan kelompok migran paling berhasil

dalam memperbaiki status ekonomi dan sosialnya (Erwidodo, 1991), sehingga

kelompok migran komuter yang sudah merasa mapan pekerjaannya merubah pola

migrannya menjadi sirkuler. Perubahan pola migran tersebut, juga dipengaruhi oleh

semakin mahalnya biaya transportasi dan makin tidak pastinya kesempatan kerja di

desa.

Adanya empat konsep yang dapat digunakan untuk menelaah proses urbanisasi

yaitu : (1) sistem perekonomian (urban systems), (2) mobilitas penduduk desa-desa,

kota-kota, desa-kota, (3) struktur tata ruang, dan (4) model ekonomi yang digunakan

dalam pembangunan ekonominya (Todaro, 2000).

Urbanisasi merupakan suatu proses yang wajar dan dialami oleh semua negara.

Proses urbanisasi suatu negara perlu diketahui untuk melihat sejauh mana tingkat

hubungan antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan, apakah hubungan

tersebut bersifat simetris atau asimetris, dan sejauh mana intensitas atau bentuk

hubungan antara kedua wilayah tersebut. Proses urbanisasi dapat dilihat dari dinamika

mobilitas penduduk desa-kota dan kota-desa. Mobilitas penduduk secara geometris

antara satu lokasi dengan lokasi yang lain atau antara daerah perdesaan dan daerah

perkotaan merupakan suatu fenomena yang dapat terjadi dimana pun selama dua lokasi

tersebut masih terdapat adanya perbedaan.

Selanjutnya pada periode krisis ekonomi tingkat urbanisasi tergolong tinggi,

karena lebih kurang 50 persen penduduk telah terurbanisasi. Tingkat urbanisasi

meningkat dari 2.173 persen menjadi 2.487 persen pada periode krisis ekonomi (BPS,

1998). Hal ini menunjukkan bahwa periode krisis, perpindahan penduduk dari desa ke

kota tetap terjadi. Namun diperkirakan keputusan migrasi yang terjadi pada periode

tersebut terjadi bukan karena alasan ekonomi, tetapi lebih mengarah kepada alasan non-

ekonomi.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 3

Page 44: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

2.3. Distribusi Pendapatan dan Ketimpangan Antar-Daerah

Dalam teori ekonomi distribusi pendapatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

(1) distribusi pendapatan institusional atau distribusi pendapatan personal, yaitu

distribusi pendapatan yang terjadi antar institusi maupun antar kelompok rumahtangga;

dan (2) distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial, adalah

distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang

digunakan dalam proses produksi (Semaoen, 1992).

Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran yang

paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan dengan masing-

masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah penghasilan yang mereka

terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima oleh masing-masing individu atau

kelompok masyarakat, sangat tergantung dari kepemilikan faktor produksi. Individu

dapat memberikan jasa tenaga kerja, keterampilan (manajemen), dan modal yang

dimilikinya dalam suatu proses produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor

produksi milik individu masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal

(Semaoen. 1992).

Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat, dapat

berupa : (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor produksi dalam

suatu proses produksi, (2) laba, dividen, bunga, sewa, dan lain sebagainya atas imbalan

penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain, atas imbalan yang dibayarkan

untuk kepemilikan faktor produksi lainnya.

Selanjutnya Todaro (1991), Yotopolus dan Nugent (1976), menggunakan Kurva

Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi pendapatan. Kurva Lorenz dapat

menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis, sedangkan Koefisien Gini mengukur

ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan melihat hubungan antara jumlah

penduduk dengan distribusi pendapatan dalam bentuk persentase kumulatif.

Distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial ini

menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi

yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya pendapatan ini tergantung

dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor produksi yang digunakan, selain juga

ditentukan oleh faktor harga faktor produksi.

Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan faktorial ini, produksi total

dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Dalam konteks analisis SAM, ada

dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan dalam

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 4

Page 45: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan

faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan kepada masing-

masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor produksi.

Semaoen (1992) mengatakan bahwa pengukuran distribusi pendapatan dapat

dilakukan dengan metode akuntansi dan dengan menggunakan fungsi produksi guna

memperoleh andil faktor (factor share) dari setiap faktor produksi yang digunakan.

Metode akuntansi dalam menghitung andil faktor setiap masukan (faktor produksi)

memerlukan data mengenai jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses

produksi dan balas jasa yang diterima oleh setiap faktor tersebut. Dalam

perhitungannya, nilai produksi dialokasikan kepada setiap faktor produksi sebagai balas

jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Balas jasa terhadap faktor produksi ini,

merupakan pendapatan dari masing-masing faktor tersebut, atau yang disebut sebagai

pendapatan faktorial.

Wie (1981) mengemukakan bahwa negara yang hanya menekankan pada

pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan distribusi pendapatan, akan memunculkan

ketimpangan-ketimpangan di antaranya:

a. Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif. Ketimpangan

yang terjadi antar golongan ini sering kali diukur dengan menggunakan koefisien

Gini. Kendati koefisien Gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai

ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat

memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi

pendapatan.

b. Ketimpangan pendapatan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan. Ketimpangan

dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan pendapatan

antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan (urban-rural income

disparities). Untuk membedakan hal itu digunakan dua indikator: (1) perbandingan

antara tingkat pendapatan per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan, dan (2)

disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah perdesaan(perbedaan pendapatan

rata-rata antara kedua daerah sebagai persentase dari pendapatan nasional rata-rata).

Menurut Bank Dunia, pola pembangunan Indonesia memang memperlihatkan suatu

urban bias dengan tekanan berat pada sektor industri, yang merupakan landasan bagi

ketimpangan distribusi pendapatan di kemudian hari.

c. Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Untuk melihat ketimpangan

distribusi pendapatan nasional, adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 5

Page 46: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

antar berbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pula terjadinya

ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah (regional income disparities).

Ketimpangan pendapatan seperti ini disebabkan oleh karena penyebaran

sumberdaya alam yang tidak merata, perbedaan laju pertumbuhan antar daerah, dan

belum berhasilnya usaha-usaha pembangunan yang merata antar daerah di

Indonesia.

Arif (1978) menyebutkan bahwa terdapat delapan proses yang telah

menimbulkan ketimpangan yang pada suatu wilayah ( pada level propinsi ataupun

negara), di antaranya (1) Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan

menurunnya pendapatan per kapita, (2) Inflasi dimana pendapatan uang bertambah

tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang, (3)

Ketidakmerataan pembangunan antar subwilayah (atau daerah yang lebih kecil), (4)

Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang intensif modal sehingga

persentase pendapatan dari harta bertambah besar dibandingkan dengan persentase

pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah, (5) Rendahnya

mobilitas sosial, (6) Pelaksanaan kebijaksanaan substitusi-impor industri yang

menyebabkan kenaikan harga barang-barang hasil industri untuk melindungi golongan

kapitalis, (7) Memburuknya term of trade bagi wilayah yang sedang berkembang dalam

perdagangan dengan wilayah maju (daerah atau negara) sebagai akibat ketidak elastisan

permintaan wilayah maju, dan (8) Hancurnya industri-industri rakyat, seperti:

pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lainnya.

Lebih lanjut, Wie (1981) menjelaskan bahwa dalam upaya mengurangi

ketimpangan tersebut adalah dengan strategi campur tangan pemerintah. Dalam hal ini

diupayakan pembagian yang merata dari sumberdaya yang ada kepada golongan

masyarakat termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat.

Terdapat tiga cara dalam menanggulangi atau melakukan redistribusi

ketimpangan pendapatan, yaitu, (1) Redistribusi Non-Incremental. Hal ini menyangkut

kebijaksanaan redistribusi harta yang ada, seperti: pemungutan pajak pendapatan secara

progresif, (2) Redistribusi Incremental. Cara ini digunakan dalam pemungutan pajak

bagi golongan yang berpendapatan tinggi, yang selanjutnya dibagikan langsung kepada

mereka yang kurang mampu. Kebijaksanaan ini biasanya dianut oleh negara-negara

sosialis, dan (3) Redistribusi melalui pertumbuhan. Kebijakan ini bertujuan untuk

menaikkan laju pertumbuhan pendapatan golongan masyarakat miskin, dengan tidak

mengurangi secara absolut pendapatan total.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 6

Page 47: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Ada beberapa hal yang terkandung dalam kebijaksanaan ini, seperti: (1)

mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi, (2) menstabilkan penghasilan golongan

paling kaya, (3) menyalurkan sebagian pendapatan golongan kaya sebagai hasil

pertumbuhan ke dalam berbagai bentuk investasi, dan (4) mengalokasikan investasi ke

dalam bentuk yang lebih bermanfaat bagi golongan masyarakat termiskin.Redistribusi

melalui pertumbuhan dapat digunakan untuk menganalisis potensi jangka panjang

pembangunan ekonomi, khususnya yang menyangkut kesenjangan (trade-off).

Setidaknya ada empat pendekatan untuk meningkatkan kesejahteraan golongan

masyarakat paling miskin (1) meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah

sampai tingkat maksimal dengan jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan

sumberdaya secara lebih efektif dan efisien, (2) mengalihkan investasi kepada golongan

masyarakat miskin dalam bentuk pendidikan, kesehatan, penyediaan kredit dan fasilitas

umum, (3) melakukan redistribusi pendapatan kepada golongan masyarakat miskin

melalui sistem fiskal, atau mengalokasikan barang-barang konsumsi secara langsung,

dan (4) pengalihan harta yang sudah ada kepada golongan masyarakat miskin, misalnya

melalui land reform.

2.4. Studi Terdahulu Yang Terkait

Pada dasarnya penelitian mengenai keterkaitan multi regional di Indonesia

dengan menggunakan analisis ekonometrika belum pernah dilakukan sebelumnya.

Adapun penelitian mengenai keterkaitan regional biasanya dilakukan menggunakan

kerangka analisis input-output (I-O) dan Social Accounting Matrix (SAM). Para peneliti

umumnya menggunakan kedua alat analisis di atas mencoba mengungkapkan dan

mencari jawabannya, "siapa menerima apa" dari hasil-hasil pembangunan yang telah

dilaksanakan.

Downey (1984), melakukan penelitian untuk disertasi, mencoba menganalisis

ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia, untuk melihat siapa mendapat apa

(who gets what). Untuk menggambarkan kondisi ini, Downey melakukan disagregasi

terhadap institusi rumahtangga berdasarkan kepemilikan tanah pertanian, buruh tani,

buruh non-pertanian, desa-kota, dan lain sebagainya. Kemudian baru dianalisis

distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing klasifikasi rumahtangga

tersebut. Pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga buruh tani sedangkan yang

tertinggi diterima oleh tenaga kerja perkotaan dan diikuti oleh pemilik tanah di atas lima

hektar. Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (1986), menggunakan Sistem Neraca Sosial

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 7

Page 48: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Ekonomi istilah lain dari SAM dan Model Keseimbangan Umum untuk melihat

pengaruh turunnya harga minyak dan subsidi minyak terhadap distribusi pendapatan.

Analisis SAM juga dapat digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan antar

sistem usahatani (tanaman dan ternak), daerah-daerah produksi, buruh tani dan tenaga

kerja wanita, dilakukan oleh Budiyanti dan Schreiner (1991).

Sutomo (1995), dengan menggunakan analisis SAM mencoba membandingkan

kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang terjadi pada dua wilayah, yaitu Propinsi

Riau dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diperoleh hasil bahwa dalam

pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini telah terjadi ketimpangan pendapatan

antar kedua wilayah (NTT dan Riau), dan ketimpangan juga terjadi antar kelompok

rumahtangga dikedua wilayah. Masyarakat miskin (dengan pendapatan terendah)

diterima oleh rumahtangga buruh non-pertanian dan tertinggi pada kelompok

rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian (terjadi pada kedua propinsi).

Ketimpangan pendapatan ini ditunjukkan oleh indeks gini kedua propinsi tersebut

melebihi 0.5. Sedangkan dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan faktorial,

menunjukkan propinsi NTT intensif tenaga kerja sedangkan di propinsi Riau terjadi

sebaliknya, yaitu intensif modal. Ini berarti pada kedua propinsi, bila terjadi

peningkatan penggunaan tenaga kerja dan modal memiliki peranan penting dalam

meningkatkan nilai tambah bruto wilayah.

Analisis SAM regional dapat juga digunakan untuk menganalisis keterkaitan

sosial-ekonomi antar propinsi atau antar wilayah (dua wilayah atau lebih). Analisis ini

dikenal dengan analisis SAM Interregional (IRSAM). Analisis IRSAM untuk Malaysia

sudah dilakukan tahun 1970 (Pyatt dan Round, 1985), dengan membagi wilayah

Malaysia menjadi dua wilayah, yaitu: Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Studi

IRSAM di Indonesia dilakukan oleh Hidayat (1991). Hidayat membagi wilayah

Indonesia menjadi dua wilayah makro (Jawa dan Luar Jawa) dan tujuh wilayah mikro,

masing-masing tiga wilayah mikro di Jawa, dan empat wilayah mikro untuk luar Jawa.

Studi ini digunakan untuk menguji struktur dan keterkaitan (interdependence) antar

kedua wilayah makro dan menunjukkan implikasinya pada perekonomian secara

menyeluruh, termasuk di dalamnya: distribusi pendapatan, peningkatan produksi dan

kinerja ekspor dari sektor-sektor yang berlainan antara wilayah pinggir dengan wilayah

pusat.

Model Interregional Computable General Equilibrium (IRCGE) adalah

pengembangan dari IRSAM, seperti yang dilakukan oleh Tumenggung (1995) dan

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 8

Page 49: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Wuryanto (1996). Tumenggung membangun model IRCGE dengan menggunakan

kerangka IRSAM Indonesia yang dibangun oleh Hidayat sebagai tabel dasar, dengan

membagi wilayah Indonesia menjadi dua, Jawa dan Luar Jawa.

Wuryanto (1996), dengan menggunakan model CGE, menganalisis keterkaitan

antara desentralisasi fiskal dengan kinerja ekonomi Indonesia. Wuryanto juga

mengelompokkan Indonesia menjadi dua wilayah makro; Jawa dan Luar Jawa, seperti

halnya Hidayat dan Tumenggung. Dari hasil studinya ditemukan bahwa desentralisasi

fiskal dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga regional hampir di semua wilayah

(region), terutama di Jawa. Namun, peningkatan pendapatan rumahtangga di Luar Jawa

yang awalnya rendah cenderung menimbulkan ketimpangan pendapatan.

Penelitian mengenai migrasi lebih banyak dilakukan dalam skala mikro dan

spasial/kewilayahan. Pergerakan atau mobilitas penduduk sudah merupakan bagian

yang tak terpisahkan dengan proses berkembangnya pembangunan di Indonesia.

Mobilitas penduduk sendiri merupakan produk dari berbagai faktor antara lain

kepadatan penduduk, langkanya lapangan kerja di desa, keinginan untuk mencapai taraf

hidup yang lebih baik, daya tarik kota dan berbagai faktor lainnya yang pada dasarnya

dapat diklasifikasikan pada faktor penarik dan pendorong terjadinya mobilitas

penduduk.

Noekman dan Erwidodo (1992), meneliti tentang pengaruh kondisi desa dan

karakteristik individu terhadap mobilitas penduduk dengan menggunakan fungsi logit.

Hasil studinya menunjukkan bahwa keputusan seseorang untuk bermigrasi dipengaruhi

oleh luas lahan yang dimiliki, usia, pendidikan, dan kondisi desa yang diwakili oleh

keadaan irigasinya.

Hasil studi di atas sejalan dengan hasil penelitian Gunawan dan Zulham (1992),

yang menemukan bahwa minat masyarakat perdesaan untuk bekerja di sektor pertanian

berkurang terutama pada kelompok muda dan berpendidikan. Pada kelompok ini tingkat

migrasi sangat tinggi, sehingga diperkirakan pertanian akan didominasi pekerja berusia

tua dan berpendidikan rendah.

Hasil penelitian Levy dan Walter (1974), menunjukkan hasil yang berlawanan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Noekman dan Erwidodo (1992), terutama

mengenai faktor jarak, yaitu menunjukkan bahwa: (1) Jarak berpengaruh nyata terhadap

migrasi, baik migran yang tidak berpendidikan maupun migran yang berpendidikan

dasar dan lanjutan, dimana semakin jauh jarak yang ditempuh migran akan mengurangi

jumlah migran di Venezuela. Pengaruh jarak ini semakin kecil dengan semakin tinggi

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 9

Page 50: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

pendidikan migran, (2) Jumlah migran akan menurun dengan meningkatnya upah di

daerah asal dan jumlah migran akan meningkat dengan meningkatnya upah di daerah

tujuan, (3) Berdasarkan tingkat pendidikan, migran yang berpendidikan lebih respons

terhadap perubahan upah baik di daerah asal maupun di daerah tujuan daripada migran

yang tidak berpendidikan, dan (4) Tingkat pengangguran di daerah asal mempunyai

hubungan positif dengan jumlah migrasi, sedangkan tingkat pengangguran di daerah

tujuan (Venezuela) mempunyai hubungan negatif dengan jumlah migrasi.

Sebaliknya, hasil penelitian Rofiqoh (1994), menunjukkan hasil analisis yang

sama dengan penelitian Levy dan Walter (1974). Rofiqoh (1994), meneliti faktor-faktor

yang mempengaruhi migrasi di Kalimantan Timur dan menemukan bahwa: (1) Jarak

antara daerah asal dan daerah tujuan mempunyai hubungan negatif dengan migrasi neto

yang masuk ke Kalimantan Timur, (2) Rasio upah nyata antara daerah asal dan tujuan

berhubungan positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (3) Rasio

jumlah tenaga kerja yang menamatkan SMP dan SMA antara daerah asal dan tujuan

mempunyai hubungan yang positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan

Timur, (4) Rasio jumlah tenaga kerja yang menamatkan Perguruan Tinggi antara daerah

asal dan tujuan mempunyai hubungan negatif dengan migrasi neto yang masuk ke

Kalimantan Timur, (5) Tingkat kesempatan kerja relatif daerah asal terhadap daerah

tujuan berpengaruh positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (6)

Tingkat industrialisasi di propinsi tersebut relatif terhadap daerah asal berhubungan

positif dengan migrasi neto.

Secara lebih spesifik hasil studi Mintchell (1961) dan Mantra (1978),

mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang mendorong migran melakukan migrasi.

Faktor-faktor yang mendorong migran meninggalkan daerah asalnya disebut faktor

sentrifugal, sedangkan faktor-faktor yang menarik kembali ke daerah asalnya disebut

faktor sentripetal.

Mantra (1987), menganalisis mengenai migrasi penduduk di Indonesia

berdasarkan hasil Survey Penduduk Antar Sensus BPS (1985), memperoleh beberapa

karakteristik pada migran di antaranya: (1) Usia migran terkonsentrasi pada kelompok

usia 25-44 tahun, dimana kelompok ini merupakan kelompok usia produktif. Pada

kelompok usia 15-19 tahun persentase migran perempuan lebih besar dari persentase

migran laki-laki, karena pada usia tersebut migran perempuan pada umumnya belum

kawin, (2) Kebanyakan migran bekerja di sektor informal. Sekitar 45 persen sebagai

buruh, hampir seperempatnya berusaha sendiri, dan sekitar 15 persen bekerja sebagai

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 10

Page 51: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 11

buruh tetap, dan (3) Pendidikan migran relatif tinggi daripada pendidikan non migran.

Namun demikian migran yang telah berusia lanjut (>50 tahun) tingkat pendidikannya

rendah.

Page 52: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

K E R A N G K A P E M I K I R A N BAB

III

3.1. Kerangka Teori

Berikut ini akan diuraikan kerangka teori yang digunakan sehubungan dengan

pengembangan model keterkaitan regional. Kerangka teori diwali dengan teori

pertumbuhan, model arus wilayah, perpindahan penduduk dan tenaga kerja, mobilitas

modal, dan neraca perdagangan dalam konteks wilayah.

3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran kemampuan suatu wilayah untuk

menghasilkan barang-barang dan jasa, yang merupakan unsur penting dan menjadi

tujuan utama dari pembangunan ekonomi. Teori yang membahas tentang faktor-faktor

yang menentukan pertumbuhan ekonomi, secara umum dapat dibedakan menjadi dua

faktor, yaitu (1) faktor-faktor penentu dan sisi penawaran (supply side) dan (2) faktor-

faktor penentu dari sisi permintaan (demand side).

Dan sisi penawaran, faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi mencakup:

jumlah penduduk (sumber daya manusia), stok kapital, sumberdaya alam, dan

teknologi. Sedangkan dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi ditentukan atau

dipengaruhi antara lain oleh pengeluaran pemerintah (government expenditure),

investasi swasta (private investment) dan jumlah uang beredar (money supply). Berikut

ini akan dibahas beberapa teori pertumbuhan ekonomi, diantaranya adalah Teori

pertumbuhan Harrod-Domar, Teori pertumbuhan Solow dan Teori Pertumbuhan Baru

dan Model Human Capital.

3.1.1.1.Model Harrod-Domar

Teori Harrod-Domar (H-D) pada dasarnya berusaha untuk memadukan

pandangan kaum Klasik yang dinilai terlalu menekankan sisi penawaran (ingat Say's

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-1

Page 53: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

law of market) dan pandangan Keynes yang lebih menekankan pada sisi permintaan

(demand side). Dalam kaitan ini, Harrod-Domar mengatakan bahwa investasi

memainkan peran ganda (dual role) yaitu di satu sisi, investasi akan meningkatkan

kemampuan produktif (productive capacity) dari perekonomian (Klasik) dan di sisi lain,

investasi akan menciptakan atau meningkatkan permintaan (demand creating) di dalam

perekonomian (Keynes).

Dalam teori H-D, investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting dan

pertumbuhan ekonomi. Bahkan mereka mengatakan bahwa “tabungan dan investasi

merupakan kekuatan sentral dibalik pertumbuhan ekonomi” (saving and investment is

central forces behind economic growth). Secara sederhana, kaitan pertumbuhan

ekonomi, tabungan dan investasi dalam versi model H-D dapat dinyatakan sebagai

berikut:

Misalkan tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu, atau, s, dari

pendapatan nasional (Y). Oleh karena itu, kita pun dapat menuliskan hubungan tersebut

dalam bentuk persamaan yang sederhana :

S = sY ……………………………………………………… (3.1)

Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diwakili

oleh K, sehingga kita dapat menuliskan persamaan sederhana yang kedua sebagai

berikut :

I = K ………………………………………………………….. (3.2)

Akan tetapi, karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung

dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti telah ditunjukkan oleh rasio

modal-output, k, maka:

K/Y = k atau K/Y = k

Akhirnya

K = kY ……………………………………………………. (3.3)

Yang terakhir, mengingat jumlah keseluruhan dari tabungan nasional (S) harus

sama dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis

sebagai berikut :

S = I ………………………………………………………….. (3.4)

Dari persamaan (3.1) telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (3.2) dan

(3.3), juga telah diketahui bahwa: I = K = kY. Dengan demikian, ‘identitas’

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-2

Page 54: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan (3.4) adalah sebagai

berikut :

S = sY = kY = K = I …………………………………………. (3.5)

Atau bisa diringkas menjadi

sY = kY ………………………………………………………. (3.6)

Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (3.6) dibagi mula-mula dengan Y dan

kemudian dengan k, maka akan didapat :

Y/Y = s/k ................................................................................ (3.7)

Dimana :

(Y/Y) = pertumbuhan ekonomi

s = tingkat tabungan nasional

k = ICOR (incremental capital output rasio, K/Y atau I/Y)

Y = Output nasional atan GNP, K = stok kapital, I=investasi

Persamaan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (Y/Y)

ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s), dan rasio modal

output nasional (k). Dengan kata lain, makna secara ekonomi dapat diartikan bahwa

agar suatu perekonomian dapat bertumbuh, maka perekonomian yang bersangkutan

haruslah menabung dan menginvestasikan sebesar proporsi tertentu dari GNP-nya.

Dalam arti bahwa semakin besar suatu perekonomian menabung dan menginvestasikan

GNP-nya, maka semakin pesat pertumbuhan ekonominya (Todaro, 2000; Perkins, et. al,

2001).

3.1.1.2.Model Pertumbuhan Solow

Menurut teori pertumbuhan neoklasik tradisional (traditional neoclassical

growth theory), pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga

faktor: kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah

penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan

investasi), serta penyempurnaan teknologi.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa perekonomian tertutup (closed economy),

yakni tidak menjalin hubungan dengan pihak-pihak luar, yang tingkat tabungannya

rendah (dalam kondisi cateris paribus) dalam jangka pendek pasti akan mengalami laju

pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan perekonomian lainnya yang

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-3

Page 55: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

memiliki tingkat tabungan lebih tinggi. Pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan

konvergensi penurunan pendapatan per kapita (semua perekonomian tertutup akan

sama-sama mengalami penurunan pendapatan per kapita). Di lain pihak, perekonomian

terbuka (open economy), yakni yang mengadakan hubungan perdagangan, investasi, dan

sebagainya dengan negara atau pihak-pihak luar, pasti akan mengalami suatu

konvergensi peningkatan pendapatan per kapita, karena arus permodalan akan mengalir

deras dan negara-negara kaya ke negara-negara miskin di mana rasio modal-tenaga

kerjanya masih rendah sehingga menjanjikan imbalan atau tingkat keuntungan investasi

(returns on investments) yang lebih tinggi.

Model pertumbuhan neoklasik Solow, merupakan model pertumbuhan ekonomi

yang paling terkenal, meskipun dalam hal tertentu model Solow menggambarkan

perekonomian negara maju secara lebih baik daripada kemampuannya dalam

menjelaskan perekonomian negara berkembang, namun tetap menjadi titik acuan dasar

dalam kepustakaan mengenai pertumbuhan dan pembangunan. Model ini menyatakan

bahwa secara kondisional, perekonomian berbagai negara akan bertemu (converge)

pada tingkat pendapatan yang sama, dengan syarat bahwa negara tersebut mempunyai

tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja, dan pertumbuhan

produktivitas yang sama.

Modifikasi penting dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah bahwa model

Solow membolehkan substitusi antara modal dan tenaga kerja. Dalam proses produksi,

dengan mengasumsikan bahwa terdapat tambahan hasil yang semakin berkurang dalam

penggunaan input-input ini. Fungsi produksi agregat,

Y = F(K, L) .................................................................................... (3.8)

dengan mengasumsikan skala hasil yang konstan (constant returns to scale). Sebagai

contoh, dalam kasus khusus yang dikenal sebagai fungsi produksi Cobb-Douglas, pada

waktu t kita mendapatkan:

Y(t) = K(t) [A(t)L(t)]1- ............................................................. (3.9)

Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah modal (yang dapat mencakup modal

manusia maupun modal fisik), L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas tenaga

kerja, yang tumbuh selamanya pada tingkat eksogen. Karena adanya skala hasil yang

konstan, mak jika semua input dinaikkan dengan jumlah proporsi yang sama, maka

output akan naik dengan jumlah proporsi yang sama, yang dinotasikan, dengan:

Y = F ( K, L) ........................................................................... (3.10)

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-4

Page 56: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Dimana > 0. Karena dapat berupa angka riil positif berapa pun, secara matematis

yang bermanfaat untuk menganalisis implikasi model tersebut adalah dengan

menetapkan nilai = 1/ L, sehingga:

Y/L = F(K/L, 1) ................................................................................ (3.11)

atau

y = f(k)

Dengan penyederhanaan ini mak kita hanya berurusan dengan satu variabel dalam

fungsi produksi. Misalnya, dalam kasus fungsi Cobb-Douglas kita dapat menuliskan

kembali persamaan dengan cara:

Y = Ak ........................................................................................ (3.12)

Hal ini mencerminkan sebuah cara alternatif mengenai fungsi produksi, dimana segala

sesuatu dihitung dalam kuantitas per tenaga kerja. Persamaan di atas menyatakan

bahwa output per pekerja adalah fungsi dari jumlah modal per tenaga kerja. Semakin

banyak jumlah modal yang harus ditangani masing-masing pekerja, maka semakin

banyak pula output yang dapat dihasilkan per pekerja.

3.1.1.3.Model Pertumbuhan Baru (New Growth Theory)

Kinerja teori neoklasik yang kurang memuaskan dalam menjelaskan sumber-

sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang menyebabkan kekecewaan yang meluas

terhadap teori pertumbuhan tradisional. Bahkan, menurut teori tradisional, tidak terdapat

karakteristik intrinsik dari perekonomian yang dapat menyebabkannya tumbuh dalam

jangka panjang. Sebaliknya, literatur tersebut malah membahas proses dinamis yang

membuat rasio modal-tenaga kerja mendekati tingkat keseimbangan jangka panjang.

Jika tidak ada shock eksternal atau perubahan teknologi, yang tidak dijelaskan dalam

model neoklasik, semua perekonomian akan menuju kepada pertumbuhan nol, sehingga

peningkatan GNP per kapita dianggap merupakan fenomena sementara saja, yang

bersumber dari perubahan teknologi atau proses penyeimbangan jangka pendek selama

perekonomian mendekati keseimbangan jangka panjangnya. Karenanya, teori ini gagal

memberikan penjelasan atas terjadinya pertumbuhan ekonomi yang berlangsung dengan

kecepatan yang luar biasa di seluruh dunia.

Setiap peningkatan GNP yang bukan berasal dari penyesuaian jangka pendek

dalam cadangan tenaga kerja maupun modal, dianggap bersumber dari kategori ketiga,

yaitu yang biasa disebut sebagai residu Solow (Solow residual). Residu ini, tidak seperti

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-5

Page 57: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

namanya, bertanggung jawab sekitar 50 persen pertumbuhan yang terjadi di banyak

negara industri. Dengan kata lain, teori neoklasik menyebutkan bahwa sebagian besar

sumber pertumbuhan ekonomi merupakan faktor eksogen atau proses yang sama sekali

independent dari kemajuan teknologi (Todaro and Smith, 2004).

Meskipun hal ini mungkin terjadi, pendekatan ini paling tidak mempunyai dua

kelemahan. Pertama, dengan menggunakan kerangka neoklasik, adalah tidak mungkin

untuk menganalisis penentu kemajuan teknologi karena kemajuan tersebut sama sekali

tidak berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh berbagai lembaga ekonomi. Dan

kedua, teori tersebut gagal menjelaskan besarnya perbedaan residu yang terdapat di

antara negara yang mempunyai teknologi yang serupa. Dengan kata lain, keyakinan

yang besar ditempatkan pada proses eksternal yang kurang dipahami, dan kurang

didukung oleh teori maupun bukti empiris.

Menurut teori neoklasik, rasio modal-tenaga kerja yang rendah pada negara-

negara berkembang menjanjikan tingkat pengembalian investasi yang luar biasa tinggi,

bahkan setelah menerapkan liberalisasi dalam perdagangan dan pasar domestik, banyak

negara berkembang yang tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit dan gagal menarik

investasi asing, atau gagal mencegah larinya modal domestik ke luar negeri. Perilaku

aliran modal negara-negara berkembang yang aneh (dari negara miskin ke negara kaya)

turut memicu konsep pertumbuhan endogen (endogenous growth) atau dengan kata lain

yang lebih sederhana, teori pertumbuhan baru (new growth theory).

Teori pertumbuhan baru tersebut memberikan kerangka teoritis untuk

menganalisis pertumbuhan endogen, yaitu pertumbuhan GNP yang persisten, yang

ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi dan bukan oleh kekuatan-

kekuatan di luar sistem. Berlawanan dengan teori neoklasik tradisional, model-model

ini menganggap bahwa pertumbuhan GNP merupakan konsekuensi alamiah dari

keseimbangan jangka panjang. Motivasi utama dari teori pertumbuhan baru ini adalah

untuk menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara maupun faktor-faktor

yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan yang diobservasi. Lebih

jelasnya lagi, teori pertumbuhan endogen berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor

yang menentukan tingkat pertumbuhan GDP yang tidak dijelaskan dan dianggap

sebagai variabel eksogen dalam perhitungan teori pertumbuhan neoklasik Solow (residu

Solow).

Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan model

neoklasik, namun sangat berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan kesimpulan

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-6

Page 58: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

yang ditarik darinya. Perbedaan teoritis yang paling signifikan berasal dari

dikeluarkannya asumsi neoklasik tentang hasil marjinal yang semakin menurun atas

investasi modal, memberikan peluang terjadinya skala hasil yang semakin meningkat

(increasing returns to scale) dalam produksi agregat, dan sering kali berfokus pada

peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian investasi modal. Dengan

mengasumsikan bahwa investasi sektor publik dan swasta dalam sumberdaya manusia

menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas yang membalikkan

kecenderungan hasil yang semakin menurun yang alamiah, teori pertumbuhan endogen

berupaya menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola

pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Dan karena teknologi

masih memainkan peran penting dalam model-model ini, tidak ada perlunya lagi untuk

menjelaskan pertumbuhan jangka panjang.

Dalam membandingkan teori pertumbuhan baru dengan teori neoklasik

tradisional, sangat bermanfaat jika kita mengetahui bahwa banyak teori pertumbuhan

endogen dapat dinyatakan oleh persamaan, yaitu Y = AK, seperti yang terdapat dalam

model Harrod-Domar. Dalam formulasi ini, A mewakili semua faktor yang

mempengaruhi teknologi, dan K adalah modal fisik dan sumberdaya manusia. Pada

rumus ini tidak terdapat hasil yang semakin menurun atas modal; sehingga terdapat

kemungkinan bahwa investasi dalam modal fisik dan sumberdaya manusia dapat

menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas yang melebihi

keuntungan pribadi dalam jumlah yang cukup untuk membalikkan efek hasil yang

semakin berkurang. Hasil akhirnya adalah pertumbuhan jangka panjang yang

berkesinambungan, sebuah hasil yang ditabukan oleh teori pertumbuhan neoklasik

tradisional.

Meskipun teori pertumbuhan baru menekankan kembali pentingnya tabungan

dan investasi modal manusia untuk mempercepat pertumbuhan, teori ini juga membawa

beberapa implikasi pertumbuhan yang sama sekali berlawanan dengan teori tradisional.

Pertama, tidak terdapat kekuatan yang mengarahkan terciptanya persamaan tingkat

pertumbuhan antar negara yang perekonomiannya tertutup; tingkat pertumbuhan

nasional tetap konstan dan berbeda antar negara tergantung pada tingkat tabungan

nasional dan tingkat teknologinya. Selanjutnya, tidak terdapat kecenderungan bahwa

level pendapatan per kapita di negara yang miskin modal akan menyamai tingkat

pendapatan per kapita di negara-negara kaya meskipun tingkat pertumbuhan tabungan

dan tingkat pertumbuhan populasinya serupa. Konsekuensi serius dari fakta ini adalah

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-7

Page 59: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

bahwa resesi yang berlangsung sementara atau lama di sebuah negara dapat

menyebabkan semakin melebarnya jurang pendapatan yang permanen di dalam negara

tersebut dan dengan negara-negara lain yang lebih kaya. Aspek yang paling menarik

dari model pertumbuhan endogen adalah model tersebut membantu menjelaskan

keanehan aliran modal internasional yang memperburuk ketimpangan antara negara

maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian investasi yang tinggi

yang ditawarkan oleh negara berkembang yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja

yang rendah berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi

komplementer (complementary investments) dalam sumber daya manusia, infrastruktur,

atau riset dan pengembangan. Pada gilirannya, negara miskin kurang mendapat manfaat

dari luasnya keuntungan sosial yang terkait dengan setiap alternatif bentuk pengeluaran

modal ini. Karena para individu tidak menerima keuntungan pribadi dari eksternalitas

positif yang tercipta dari investasi mereka sendiri, pasar bebas menyebabkan akumulasi

modal komplementer menjadi lebih sedikit daripada tingkat optimalnya (Todaro and

Smith, 2004).

Karena investasi komplementer menghasilkan manfaat sosial maupun pribadi,

pemerintah dapat memperbaiki efisiensi alokasi sumberdayanya. Mereka dapat me-

lakukannya dengan menyediakan barang-barang publik (infrastruktur) atau mendorong

investasi swasta dalam industri-industri yang padat pengetahuan (knowledge-intensive

industries) dimana sumberdaya manusia dapat diakumulasikan dan akhirnya diperoleh

skala hasil yang semakin meningkat.

Model teori pertumbuhan baru menganggap perubahan teknologi sebagai sebuah

hasil endogen dari investasi publik dan swasta dalam sumberdaya manusia dan industri

padat pengetahuan. Sehingga, berlawanan dengan contoh teori kontrarevolusi neoklasik,

model pertumbuhan endogen mendorong peran aktif kebijakan publik dalam

merangsang pembangunan ekonomi melalui investasi langsung maupun tidak langsung

dalam pembentukan sumberdaya manusia dan mendorong investasi swasta asing dalam

berbagai industri padat-pengetahuan seperti industri perangkat lunak komputer dan

telekomunikasi.

3.1.1.4.Model Human Capital dan Pertumbuhan

Model ini merupakan pegembangan dari model Solow dengan fungsi produksi

Cobb-Douglas, dimana output merupakan fungsi dari kapital (K), stok human capital

(H), dan jumlah tenaga kerja (L). Fungsi produksi tersebut adalah:

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-8

Page 60: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Y(t) = K(t) H (t) [A(t)L(t)]1 - - , ............................................... (3.13)

Dimana > 0, > 0 dan + < 1. Sekali lagi bahwa H adalah stok human capital, L

merupakan jumlah tenaga kerja : selanjutnya keahlian tenaga kerja disuplai dari 1 unit L

dan beberapa jumlah H. Persamaan di atas mengimplikasikan bahwa constant return to

scale terhadap K, H dan L secara bersama. Dengan membuat asumsi tentang dinamika

K dan L :

)()( tYstK K ................................................................................. (3.14)

dan

)()( tnLtL .................................................................................... (3.15)

Dimana sK merupakan fraksi output dari physical capital accumulation, untuk

penyederhaan diasumsikan tidak ada depresiasi. Selanjutnya model Solow diasumsikan

constant dan kemajuan teknologi eksogen, maka :

)()( tgAtA ...................................................................................(3.16) dan

persamaan yang terakhir, human capital accumulation di modelkan dengan cara yang

sama dengan physical capital accumulation, yaitu:

)()( tYstH H ............................................................................... (3.17)

Dimana sH adalah fraksi sumberdaya dari human capital accumulation. Model ini dapat

digeneralisasi dalam beberapa cara tanpa mempengaruhi maknanya. Fungsi produksi

Cobb-Douglas dapat digantikan dengan fungsi produksi umum sebagai berikut :

Y = F (K, H, AL) ............................................................................. (318)

Persamaan diatas menyatakan bahwa output suatu perekonomian merupakan fungsi dari

kapital, human capital, produktivitas tenaga kerja. Menurut Park (1995), human capital

dapat diartikan sebagai kumpulan spesialisasi keahlian. Persediaan tenaga kerja yang

dapat diperoleh dengan mengalokasikan pendapatan untuk beraktivitas yang disebut

”pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan”. Dengan kata lain, dapat dikatakan

bahwa human capital dapat diproxy dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan

kesehatan.

3.1.2. Model Regional Flows

Asumsi tradisional yang digunakan oleh ahli ekonomi regional bahwa

sumberdaya dengan bebas masuk diantara daerah atau wilayah dalam suatu negara.

Berbeda dengan model teori perdagangan internasional dimana faktor produksi

dianggap tidak dapat berpindah sedangkan komoditi dapat berpindah. Banyak studi

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-9

Page 61: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

dimana negara ditempatkan sebagai wilayah dalam ekonomi global yang lebih luas,

sehingga, secara teoritis perbedaan antara ekonomi regional dan internasional menjadi

kabur bagi ahli ekonomi internasional dalam memberikan apresiasi untuk kekuatan dan

asumsi model ekonomi regional. Pada prakteknya, perbedaan antara ekonomi regional

dan internasional menjadi tidak jelas karena sumberdaya dan komoditi/barang secara

relatif bebas berpindah. Masyarakat Ekonomi Eropa merupakan contoh yang menonjol

sebagai wilayah dimana hubungan ekonomi antara negara-negara terjadi karena

keterkaitan antara wilayah sebagai suatu negara. Asumsi yang digunakan untuk

membangun model regional flows yaitu pertama, sumberdaya tidak dapat berpindah

dari suatu daerah ke daerah lain dan kedua mobilitas sumberdaya sempurna.

3.1.2.1.Keunggulan Komparatif

Teori keunggulan komparatif menunjukkan bahwa negara akan memperoleh

keuntungan dari perdagangan. Prinsip dari keunggulan komparatif yaitu jika

sumberdaya tidak berpindah diantara area, maka akan ada spesialisasi dalam komoditi

yang diproduksi secara efisien. Efisiensi relatif ditentukan oleh biaya oportunity, jumlah

unit barang atau jasa yang harus diproduksi. Jika suatu negara menghasilkan barang

yang memiliki keunggulan komparatif dan melakukan perdagangan dengan negara lain,

maka spesialisasi dan perdagangan akan menguntungkan kepada kedua negara. Salah

satu implikasi terpenting dari teori keunggulan komparatif adalah perdagangan masih

memberikan keuntungan sekalipun jika suatu negara dapat menghasilkan lebih murah

dibandingkan dengan negara lainnya.

Tabel 4 menunjukkan bagaimana spesialisasi produk dalam keunggulan

komparatif dan perdagangan terhadap produk lainnya akan meningkatkan pendapatan.

Contoh pada Tabel 4 menjelaskan sebuah negara, contoh data tersebut diaplikasikan

dimana sumberdaya tidak berpindah antara daerah. Tabel 4 diasumsikan semua biaya

diukur dalam jumlah jam kerja, biaya transportasi nol, dan biaya oportunitas tidak

berubah terhadap perubahan output (biaya konstan).

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-10

Page 62: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 4. Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Proses Produksi

Biaya Absolut ( jumlah jam kerja diperlukan per unit)

Tiap unit dari Region I Bagian dunia lain Makanan Produk manufaktur

1 2

3 4

Biaya oportunitas Biaya untuk setiap unit makanan terhadap setiap unit produk manufaktur Biaya produk manufaktur terhadap makanan

½

2

¾

4/3

Tabel 4 menunjukkan jumlah tenaga kerja untuk menghasilkan makanan dan

produk manafaktur di suatu wilayah dan bagian dunia lain. Asumsikan, dunia lain yang

lebih luas merupakan daerah homogen dimana rasio harga dunia tidak mempengaruhi

output suatu daerah kecil. Region dapat menghasilkan makanan dan produk

manufaktur dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan dunia

lain. Biaya oportunitas untuk setiap unit makanan di region I adalah ½ dari produk

manufaktur. Artinya, untuk menghasilkan setiap makanan domestik, region I

menghasilkan ½ produk manufaktur. Setiap unit biaya makanan ¾ unit produk

manufaktur di bagian dunia lain. Karena itu, region I mempunyai keunggulan

komparatif dalam memproduksi makanan.

Untuk menentukan keuntungan spesialisasi dan perdagangan, maka kita dapat

membandingkan konsumsi dan produksi pada region I sebelum dan sesudah

perdagangan. Jika perdagangan tidak ada, maka upah riil untuk setiap jam kerja pada

region I adalah 1 unit makanan atau ½ unit produk manufaktur. Sedangkan upah riil di

bagian dunia lain yaitu 1/3 unit makanan atau ¼ unit produk manufaktur. Misalkan

region I memiliki 6 juta jam kerja yang dapat digunakan. Kurva kemungkinan produksi

ditunjukkan pada Gambar 1.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-11

Page 63: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Food (Millions of units)

Production Possibilities

2

a c

d

4

6 Consumption possibilities with trade

1.5 31 2 4 4.5

Gambar 1. Kurva Kemungkinan Produksi dan Konsumsi

Tanpa ada perdagangan, titik yang sesuai untuk produksi (konsumsi) tergantung

pada pilihan dari setiap individu di region I. Misalnya, individu di region I memilih

untuk menghasilkan 4 juta unit makanan dan 1 juta unit produk manufaktur yang

ditunjukkan pada titik a, dan tingkat produksi ditunjukkan oleh kemungkinan konsumsi.

Jika dilakukan perdagangan diantara negara dimana biaya transportasi dan transaksi

tidak berpengaruh. Harga relatif di region I akan sama dengan harga relatif di bagian

dunia lain. Pedagang akan membeli produk yang lebih murah dan menjual kembali jika

harga produk meningkat. Barang manufaktur di region I lebih mahal dibandingkan

dengan makanan, maka pedagang akan membawa produk manafaktur ke region I dan

membawa makanan ke bagian dunia lain.

Keuntungan dari perdagangan dapat meningkat terhadap penduduk yang tinggal

di region I dan patner dagangnya. Sebelum perdagangan, kurva kemungkinan produksi

sama dengan kurva kemungkinan konsumsi. Jika region I melakukan perdagangan

dengan bagian dunia lain, kurva kemungkinan konsumsi di region I akan melebihi

kemungkinan produksi dan kemungkinan konsumsi.

Untuk membuktikan kondisi ini, misalkan region menggunakan semua

sumberdaya untuk menghasilkan 6 juta unit makanan dan menukarkan 2 juta unit

makanan untuk barang-barang manufaktur. Jumlah produk manufaktur yang dapat

dibeli dengan makanan tergantung pada hubungan perdagangan. Jika diasumsikan

output yang dihasilkan oleh region kecil tidak berpengaruh terhadap harga dunia, maka

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-12

Page 64: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

hubungan perdagangan ditentukan oleh rasio harga dunia. Dengan demikian, region

akan menerima 1.5 juta unit produk manufaktur yang dipertukarkan dengan 2 juta unit

makanan, konsumsi pada titik c pada kurva kemungkinan konsumsi setelah

perdagangan. Jika seluruh penduduk di region berkeinginan untuk mengkonsumsi

seluruh produk manufaktur, maka jumlah produk manufaktur yang dikonsumsi adalah

4.5 juta unit. Jika titik a merupakan kemungkinan produksi dan konsumsi sebelum

perdagangan, maka perdagangan akan memindahkan kurva kemungkinan kunsumsi,

dimana penduduk di region I akan mengkonsumsi lebih banyak kedua barang,

ditunjukkan oleh titik diantara c dan d. Penjelasan ini merupakan contoh antara suatu

negara dengan bagian dunia lain, prinsip yang sama juga dapat digunakan antar region

dalam suatu Negara.

3.1.2.2.Teori Heckscher–Ohlin

Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa suatu negara (regions) harus

melakukan spesialisasi untuk memproduksi komoditi yang dihasilkan dengan biaya

yang relatif murah, tetapi produk yang dihasilkan belum mengindikasikan apakah

barang dan jasa akan diekspor. Hipotesis Heckscher dan Ohlin menyatakan jika suatu

negara mempunyai faktor produksi yang berlimpah, negara tersebut memiliki

keunggulan komparatif untuk memproduksi barang yang diperlukan dalam jumlah besar

dari kelebihan faktor produksi tersebut. Sebagai contoh, region dengan top soil dan

curah hujan yang berlimpah tentu memiliki keunggulan komparatif dalam produk-

produk pertanian. Oleh karena itu, meskipun faktor produksi tidak dapat berpindah

(immobile), Heckscher dan Ohlin menduga bahwa faktor produksi yang berlebih dapat

berpindah yang diwujudkan menjadi ekspor dominan.

Aliran komoditi dari perdagangan akan berakibat bukan hanya terhadap harga

komoditi tetapi juga harga sumberdaya. Suatu negara yang melimpah dalam tenaga

kerja cenderung memiliki upah yang rendah sebelum ada perdagangan. Ekspor tenaga

kerja, produk yang intensif akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja dan

upah. Negara pengimpor tenaga kerja akan menekan permintaan tenaga kerja sehingga

upah terhadap kerja dibayar rendah. Jika dalam kenyataannya dimana diasumsikan

informasi sempurna dan komoditi dapat berpindah, maka teori Heckscher dan Ohlin

menuju kepada kesimpulan bahwa komoditi yang berpindah akan menghasilkan

persamaan dengan harga faktor produksi. Dalam kondisi demikian, perpindahan

komoditi dapat disubstitusi dengan perpindahan sumberdaya.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-13

Page 65: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Teori keunggulan komparatif Hechscher – Ohlin dihadapkan pada tantangan

karena teori ini tidak mampu menjelaskan dan memprediksi pola perdagangan aktual.

Beberapa pertimbangan untuk berpikir ulang terhadap teori keunggulan komparatif

yaitu (1) mekanisme dan kelembagaan kurang diperhatikan, (2) jika hukum,

kelembagaan dan kebiasaan tidak mendukung, maka spesialisasi dan perdagangan tidak

bekembang dan (3) keunggulan komparatif adalah teori yang statis.

3.1.2.3.Mobilitas Sumberdaya

Teori keunggulan komparatif berkembang dengan asumsi bahwa sumberdaya

tidak berpindah. Ahli ekonomi regional membangun model dengan asumsi sumberdaya

berpindah sempurna. Sudah pasti, masalah perpindahan tenaga kerja dan modal antara

wilayah lebih kecil dengan perpindahan faktor produksi antara negara.

Jika informasi sempurna dan tidak ada biaya relokasi, faktor produksi akan

berpindah ke region yang kompensasinya lebih tinggi. Gambar 2 dapat menunjukkan

analisis tentang sumberdaya yang berpindah. Diasumsikan ada 2 region, di region J

kompensasi lebih besar $ 2 per unit dibandingkan dengan region I (Kurva S). Perbedaan

ini akan mendorong sumberdaya akan bergerak dari region I ke region J. Apabila

kompensasi faktor produksi adalah $5, maka migrasi akan berhenti.

D D

S

S’

S’

4

6

55

$ Region JS

$ Region I

Q Q

Gambar 2. Model Perpindahan Sumberdaya

Berikutnya, jika ada biaya realokasi akan mengakibatkan munculnya

penyesuaian. Pergerakan sumberdaya akan bermanfaat jika present value penerimaan

mendatang di daerah tujuan dikurangi present value dari penerimaan mendatang

terhadap biaya realokasi di daerah asal. Insentif cukup untuk realokasi, biaya realokasi

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-14

Page 66: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

harus lebih kecil dari present value of future ditambah returns sehingga penerimaan

input antara region J dapat dibandingkan dengan I.

Gambar 2 menunjukkan kurva penawaran bergeser sehingga menjadi sama

dengan harga faktor produksi karena diasumsikan perpindahan sumberdaya tanpa biaya.

Jika relokasi sumberdaya dikenakan biaya, maka present value dari perbedaan

kompensasi terhadap umur faktor produksi akan sama dengan biaya realokasi pada

keseimbangan.

Proses penyesuaian bukan terjadi secara langsung, penerimaan faktor produksi

yang tinggi di region J akan mendorong sumberdaya berpindah dari I ke J. Perpindahan

sumberdaya dari I ke J, kurva penawaran dari faktor produksi akan bergeser ke kanan

sedangkan di region I akan bergeser ke kiri. Penerimaan faktor produksi pada daerah

dimana kompensasi rendah akan meningkat sedangkan penerimaan faktor produksi akan

menurun pada wilayah yang kompensasi tinggi.

Jika gap harga faktor produksi tidak konstan tetapi kecil selama proses

penyesuaian, maka sangat sulit bagi migran potensial untuk menentukan nilai

penerimaan mendatang dengan berpindah ke wilayah dengan harga yang tinggi. Untuk

menghitung perpindahan faktor produksi yang memberi keuntungan pada wilayah yang

memberikan penerimaan yang tinggi, pemilik faktor produksi tidak hanya mengetahui

harga faktor produksi yang berlaku tetapi juga bagaimana perbedaan harga akan

berubah pada waktu mendatang.

Perpindahan dalam sumberdaya akan menguntungkan terhadap pemilik

sumberdaya yang melimpah pada daerah yang memiliki harga faktor produksi yang

rendah dan merugikan terhadap pemilik sumberdaya pada daerah yang harga faktor

produksi tinggi. Sulit menentukan kapan memperoleh keuntungan yang lebih atau

kerugian dari realokasi. Kondisi tersebut ditentukan oleh jumlah pekerja asal di masing-

masing wilayah. Perpindahan sumberdaya akan meningkatkan jumlah output, jika

sumberdaya yang dibeli adalah nilai produk marginal. Misalkan, sumberdaya di wilayah

J memiliki marginal produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah I, akan

bemasalah jika pembayaran sumberdaya sama dengan nilai marginal produk. Jika

sumberdaya ditransfer dari I ke J, nilai output yang hilang di wilayah I akan lebih

rendah dibandingkan dengan peningkatan output nasional oleh sumberdaya pekerja di J.

Karena itu, produk nasional bruto akan meningkat sebagai hasil dari perpindahan

sumberdaya.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-15

Page 67: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Model yang ditunjukkan gambar 2 tidak menunjukkan respon permintaan.

Pergerakan permintaan dapat membantu menghapus perbedaan harga. Sebagai contoh,

misalkan tenaga dan modal adalah faktor produksi utama. Tenaga kerja dapat

direalokasi dari upah yang rendah ke wilayah yang upah tinggi. Tetapi secara simultan,

modal mengalir ke wilayah yang upah rendah sebagai ganti keuntungan dari input

komplementer yang berbiaya rendah.

3.1.3. Perpindahan Penduduk dan Tenaga Kerja

3.1.3.1.Ekonomi dari Migrasi

Perbedaan antara ketidakseimbangan dan keseimbangan model migrasi sangat

penting. Model ketidakseimbangan, migrasi diasumsikan sebagai motivasi keuntungan

atau ketidakberuntungan yang terjadi diantara region. Sebagai contoh, upah yang tinggi

di suatu wilayah, maka pekerja dan keluarganya akan berpindah ke wilayah dengan

upah tinggi. Model keseimbangan menjelaskan migrasi pada pasar faktor produksi

wilayah adalah seimbang.

Motivasi untuk melakukan migrasi sangat berbeda diantara individu. Dalam

model ketidakseimbangan, upah dan kesempatan tenaga kerja merupakan kemungkinan

faktor utama perpindahan tenaga kerja. Dalam berbagai analisis, migrasi sering

diakibatkan oleh adanya pengaruh dorongan dan tarikan. Migran merespon pengaruh

tarikan untuk pekerjaan dengan gaji yang tinggi di wilayah tujuan dan merupakan faktor

pendorong ketika di daerah asalnya rendah dan atau kesempatan tenaga yang rendah di

wilayah asal. Pengaruh tarikan bekerja jauh lebih kuat dibandingkan dengan dorongan

bekerja, sehingga migran akan berpindah ke daerah tujuan.

3.1.3.2.Faktor Non Upah

Hampir keseluruhan studi menunjukkan bahwa kecenderungan tenaga kerja

melakukan migrasi ke daerah yang upahnya lebih tinggi atau daerah yang mengalami

pertumbuhan kesempatan kerja, tetapi faktor bukan upah juga dapat membantu

menjelaskan tentang migrasi.

Di luar gaji, ada dua faktor yang sangat mempengaruhi migran mengambil

keputusan untuk berpindah yaitu pertama, keuntungan tunjangan tambahan seperti

kompensasi dan kedua, perbedaan biaya hidup. Alasan-alasan lainnya seperti perbaikan

kualitas hidup, prospek kesempatan promosi, dan prospek upah yang tinggi di lokasi

yang baru.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-16

Page 68: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Walaupun keputusan setiap individu untuk melakukan migrasi adalah kompleks,

hampir semua faktor tersebut dapat dijelaskan dengan konsep biaya dan keuntungan,

karena nilai moneter dapat memberikan keutungan dan biaya non-moneter.

Tabel 5. menjelaskan tentang keuntungan dan biaya migrasi, alasan untuk

memutuskan migrasi atau tidak berimigrasi. Prospek meningkatkan penghasilan adalah

salah satu komponen yang utama untuk memutuskan migrasi.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-17

Page 69: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 5. Matriks Daftar Faktor-Faktor Perbandingan Biaya-Keuntungan Berpindah

Keputusan Biaya Potensial Keuntungan Potensial

A (migration cost factors) B (migration pull factors) Transportasi ke tempat tinggal baru Pembayaran gaji yang tinggi Ketidakpastian untuk menemukan pekerjaan

Preferensi atau memilih jenis pekerjaan

Perumahan sementara mencari pekerjaan Pendidikan yang baik untuk anak-anak, diri sendiri

Makanan sementara mencari pekerjaan Ada lembaga yang menyediakan jasa untuk berkomunikasi yang baik

Pakaian yang digunakan mencari pekerjaan

Lebih menarik, kehidupan social

Gangguan dari orang asing Kondisi social yang lebih baik, bangsa dan etnik

Perbedaan status sosial Kehidupan yang asing dengan sekeliling Kebutuhan untuk menggunakan bahasa lain, meningkatkan berkomunikasi

Migrasi

Kebutuhan untuk mengubah cara berpakaian, perilaku, tingkah laku sehari-hari

Tidak Berimigrasi

C (migration push factors) D (migration counterinfluence)

Kesulitan mencari pekerjaan di tempat asal

Perumahan yang tidak mahal dan dapat digunakan

Kehilangan kesempatan rekreasi tempat asal

Makanan yang murah

Dominasi yang kuat dari keluarga Setiap hari berhubungan dengan keluarga

Ketidakpuasan hubungan social di tempat asal

Setiap hari berhubungan dengan teman lama

Ketidakpuasan terhadap kelembagaan tempat asal

Kehidupan yang dekat dengan sekeliling Menggunakan bahasa setempat, kebiasaan setempat

Ketidakpuasan ras, etnik, dan kondisi politik

Ada jaminan pekerjaan (dari beberapa orang)

3.1.3.3.Model Harris-Tadaro

Haris dan Todaro (1970) mengembangkan sebuah model untuk menjelaskan

permasalahan migrasi yang dihadapi oleh negara-negara berkembang pada saat orang

beramai-ramai masuk ke kota besar kendati tingkat pengangguran di kota sangat tinggi.

Model tersebut juga menjelaskan adanya kecenderungan perbedaan upah yang tetap

berlangsung kepada migrasi. Dalil yang dikemukakan oleh Haris-Todaro adalah migrasi

terjadi ketika upah aktual di wilayah asal lebih rendah dibandingkan dengan upah yang

diharapkan (expected) di daerah tujuan. Upah yang diharapkan adalah upah aktual dikali

dengan peluang bekerja. Di dalam model mereka diasumsikan bahwa peluang bekerja

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-18

Page 70: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

untuk para pekerja adalah 1-U, dimana U adalah tingkat pengangguran. Dengan kata

lain, penduduk baru percaya bahwa mereka mempunyai peluang memperoleh pekerjaan

yang sama dengan penduduk setempat. Jika besarnya upah $ 10.000 per tahun dan

angka pengangguran 20 persen, upah yang diharapkan $ 8.000.

Untuk mengerti Model Harris dan Todaro diasumsikan ada wilayah dengan upah

yang tinggi dan upah yang rendah. Juga diasumsikan bahwa upah di wilayah yang

tinggi kelembagaan tidak berpengaruh seperti hukum, serikat dan kebiasaan. Upah

perkotaan tidak menurun diperhadapkan dengan pengangguran yang besar. Jika ada full

employment di kedua wilayah, para pekerja melakukan migrasi ke wilayah yang

upahnya tinggi. Jika jumlah pekerjaan pada wilayah dengan upah yang tinggi sama,

maka penggangguran akan bertambah. Para migran rela melakukan trade off antara

resiko menganggur dengan potensi untuk upah yang tinggi. Tambahan migran mungkin

akan memperoleh pekerjaan tetapi bagi pekerjaan lainnya akan kehilangan pekerjaan.

Oleh karena itu migrasi dapat menyebabkan penggangguran yang tinggi sehingga

produk nasional akan turun. Pekerja memilih menganggur daripada bekerja dengan

upah yang rendah (produktifitas rendah).

3.1.3.4.Model Gravitasi

Arus perpindahan penduduk sering didekati dengan model gravitasi. Asumsi

model gravitasi bahwa migrasi penduduk antara dua wilayah akan meningkat dan

menurun terhadap jarak kedua wilayah. Pada model dasar, penduduk mewakili individu

yang tinggal atau melakukan migrasi di tempat. Jarak adalah penghalang utama untuk

berimigrasi. Rumus Model gravitasi sederhana, yaitu

2ab

baab

D

PPM ............................................................................ (3.19)

Dimana Mab = Migrasi dari A ke B

PaPb = Penduduk di A atau B

Dab = Jarak antara A dan B

Permasalahan utama dengan model gravitasi sederhana ialah bahwa migrasi

diantara setempat selalu nol. Variabel lain telah masuk dalam perbedaan oportunitas.

Perbedaan dalam upah, pendapatan dan angka pengangguran sering digunakan

mengukur perbedaan opportunitas. Kritik lainnya terhadap model gravitasi adalah

kelemahan spesifikasi, karena jarak sulit diukur dengan perjalanan, terutama dalam era

tranportasi modern, sehingga waktu perjalanan telah disubtitusi terhadap jarak di

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-19

Page 71: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

beberapa model. Hambatan sosial dan politik, sama seperti ketidakpastian, merupakan

penghalang yang penting. Faktor-faktor ini memiliki korelasi yang rendah dengan jarak.

Salah satu alasan yang menyebabkan model gravitasi kurang akurat dikenal

dengan dampak beaten-path. Dampak beaten-path menunjuk kepada kecenderungan

observasi kepada individu terutama daerah asal melakukan migrasi pada tujuan yang

sama. Beberapa “pendahulu” dari suatu wilayah pertama-tama melakukan migrasi.

Setelah itu, menyusul yang lainnya, dan tujuan migrasi yang sama, karena telah

memperoleh pekerjaan atau informasi tempat tinggal dan dukungan dari pendahulunya.

Dengan mengikuti beaten path, maka para migran mempunyai biaya rendah,

ketidakpastian dan biaya sosial untuk realokasi. Efek beaten path dapat menolong

menjelaskan kelompok etnik terkonsentrasi khususnya di beberapa kota. Biaya migrasi

yang rendah, efek beaten path mempunyai dua implikasi penting, yaitu pertama,

perpindahan para migran dapat menjadi terus-menerus sebagai migrasi berbiaya rendah

dan faktor pendorong menambahan jumlah migrasi dan kedua, beaten path dapat

perjalanan dengan dua cara, migrasi kembali ke daerah asalnya. Model gravitasi dapat

juga dimodifikasi untuk menghitung intervensi oportunitas.

3.1.3.5.Net dan gross Migrasi

Ketika ahli ekonomi mengumpulkan dan menganalisis data migrasi, fokus

analisis terutama net migrasi, yaitu perbedaan migrasi ke dalam (in migration) dan

migrasi keluar (out migration). Bagaimanapun juga, net migrasi merupakan perbedaan

substansi pada tingkat gros migrasi karena beberapa individu masuk ke suatu wilayah

dan pada waktu yang sama ada yang keluar.

Tabel 6. Perpindahan Gros dan Net Migrasi dan Kondisi Ekonomi Lokal

Migrasi keluar

Tinggi Rendah

Tinggi Migrasi net rendah Migrasi net masuk tinggi

Migrasi ke dalam

Rendah Migrasi net masuk negatif Migrasi net rendah

Table 6 menunjukkan empat pola perbedaan gross migrasi, yaitu (1) mobilitas

tinggi; migrasi masuk dan keluar sama-sama tinggi, (2) migrasi masuk tinggi, migrasi

keluar rendah, (3) migrasi masuk rendah, migrasi keluar tinggi dan (4) migrasi masuk

rendah, migrasi keluar juga rendah. Kasus migrasi masuk dan keluar yang tinggi dan

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-20

Page 72: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

migrasi masuk dan keluar yang rendah akan menghasilkan migrasi net yang rendah

tetapi dengan alasan yang berbeda.

Kasus migrasi keluar dan masuk yang tinggi menghasilkan migrasi silang yang

signifikan, yang merupakan peluang bagi penduduk keluar-masuk antara-wilayah.

Wilayah oportunitas dapat menarik perpindahan penduduk yang tinggi. Wilayah dengan

oportunitas yang tinggi dapat menarik menghasilkan perpindahan penduduk melalui

migrasi silang. Wilayah dengan migrasi masuk yang rendah dan migrasi keluar yang

rendah akan memiliki net perubahan penduduk yang rendah. Daerah yang stabil atau

penurunan perekonomian menjadi kesempatan migrasi masuk, tetapi mungkin ada

faktor pendorong untuk memperoleh pekerjaan. Hasil studi terakhir menunjukkan

bahwa faktor-faktor demografi dari masyarakat penting atau sangat penting

dibandingkan dengan faktor-faktor pendorong (kesempatan ekonomi yang hilang)

dalam menentukan migrasi keluar.

Wilayah dengan migrasi masuk yang rendah dan migrasi keluar yang tinggi

menggambarkan wilayah dengan oportunity rendah dengan perpindahan penduduk

tinggi. Wilayah dengan proporsi umur 18-25 tahun yang tinggi, tetapi oportunity

kesempatan kerja yang menurun. Migrasi bersih (net migration) dapat negatif

disebabkan karena migrasi keluar yang tinggi dan migrasi masuk yang rendah. Wilayah

dengan migrasi masuk yang rendah dan migrasi keluar yang tinggi maka wilayah

tersebut akan kehilangan penduduk dari perpindahan penduduk tersebut. Migrasi masuk

yang tinggi dan migrasi keluar yang rendah disebabkan karena oportunity yang lebih

besar, sementara penduduk yang ada memiliki karakteristik mobilitas yang rendah.

Walaupun para migran pindah ke wilayah oportunity yang tinggi, mungkin ada

kegagalan disana jika perpindahan penduduk menyebabkan perekonomian diantara

wilayah menurun. Pada beberapa kajian disebutkan bahwa migrasi menyebabkan

perbedaan antar-daerah antara upah yang tinggi dan yang rendah sehingga menarik

para migran ke daerah tujuan.

Ada tiga cara para migran memberikan stimulasi pada perekonomian pada

wilayah tujuan yaitu (1) penduduk yang besar dan menyebar akan meningkatkan

permintaan pekerja, menambah barang-barang dan jasa untuk penduduk lokal, (2)

aktivitas ekonomi yang besar akan diikuti dengan aglomerasi perekonomian yang besar

dan peningkatan produktifitas dan (3) migrasi alami yang selektif mendorong pekerja

lebih produktif, sehingga meningkatkan permintaan tenaga kerja. Di wilayah yang

kurang berkembang, migrasi keluar akan menyebabkan penurunan opportunity

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-21

Page 73: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

perekonomian. Migrasi yang selektif, dimana penduduk yang tinggal lebih tua, bukan

sarjana dan kurang trampil. Kondisi ini kurang menarik untuk mendorong kegiatan

perekonomian yang baru. Jika upah rendah, maka wilayah tersebut memberi upah

rendah kepada pekerja. Jika upah di wilayah kurang berkembang tinggi dan kaku, maka

tidak ada daya tarik di wilayah tersebut tidak memiliki prospek dan jumlah perusahaan

akan menurun.

Gerking dan Weirick (1983) menentukan bahwa ada perbedaan upah yang

persisten diantara wilayah di Amerika Serikat. Bagaimanapun juga, perbedaan tersebut

tidak lengkap menjelaskan efek stimulasi dari migrasi. Upah regional dan perbedaan

pendapatan secara luas diakibatkan oleh fakta bahwa wilayah mempunyai fungsi

perekonomian yang berbeda, misalnya perbedaan skill pekerja. Penemuan Gerking dan

Weirick mendukung teori bahwa perbedaan upah merupakan penentu utama migrasi.

3.1.3.6.Efisiensi Migrasi

Implikasi model ekonomi sederhana menunjukkan bahwa migrasi akan efisien

jika para migran akan berpindah ke wilayah yang membayar tinggi dengan produktifitas

tinggi. Migrasi tidak efisien dalam model Harris-Tadaro karena migrasi meningkatkan

angka pengangguran. Migrasi silang memberi kesan tidak efisien karena jika diantara

wilayah ada pertukaran perpindahan maka realokasi tidak diperlukan. Migrasi silang

memungkinkan tidak ada hubungan antara skill dan tipe pekerja yang berbeda antara-

wilayah. Substansi migrasi silang mereflesikan persoalan agregasi yang kuat dari semua

pekerja seperti faktor produksi yang homogen.

Salah satu cara mengevaluasi efektifitas migrasi yaitu menguji apakah migrasi

better off sesudah migrasi. Ada tiga pendekatan umum yang digunakan untuk

mengevaluasi keuntunganh individu bermigrasi yaitu (1) menanyakan kepada para

migran jika mereka better off, (2) membandingkan penghasilan para migran dengan

penghasilan orang yang tidak bermigrasi dan (3) menguji keuntungan sosial termasuk

eksternalitas.

Survey Lansing dan Mueller (1967) menemukan bahwa mayoritas migran

berpindah karena pertimbangan adanya harapan yang lebih baik dan menguntungkan.

Studi ini juga menunjukkan bahwa pengalaman secara umum para migran bahwa

penghasilan para migran meningkat. Individu yang melaksanakan migrasi mempunyai

harapan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tidak bermigrasi.

Dapat dikatakan bahwa migrasi meningkatkan posisi ekonomi dari para migran.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-22

Page 74: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Hunt dan Kau (1985) menguji penerimaan pria muda yang bermigrasi. Mereka

menemukan bahwa 13 persen dari migran upah tahunan yang diterima meningkat. Hunt

dan Kau menyimpulkan bahwa dengan skill yang dimiliki akan membantu memperoleh

pekerjaan di wilayah yang baru. Implikasi dari penemuan ini bahwa efisiensi dari

migrasi meningkat dengan pengalaman para migran. Hal ini dihipotesiskan bahwa jika

seseorang bermigrasi akan memiliki tambahan pendapatan dengan adanya keahlian dan

pengalaman para migran. Total keuntungan sosial dari migrasi termasuk eksternalitas

sulit dievaluasi. Migrasi dapat disebutkan sebagai keuntungan sosial jika penghasilan

migran yang tinggi merefleksikan output social yang tinggi. Efek sosial dari migrasi

sulit untuk diakses karena efisiensi migrasi sulit untuk dievaluasi ketika kita

membandingkan biaya marginal sosial dengan keuntungan.

3.1.4. Mobilitas Capital

Pengertian modal (capital) menurut ahli ekonomi yaitu input untuk produksi

dalam menghasilkan barang. Yang termasuk dalam capital yaitu input fisik untuk proses

produksi, seperti bangunan, mesin dan human capital.

Jumlah modal fisik diukur dengan nilai uang. Bagi individu, perbedaan uang

dengan modal fisik tidak selalu penting karena setiap individu dapat menukarkan modal

fisik dengan uang tetapi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat menukarkan modal

fisik dengan uang. Modal uang memiliki mobilitas yang tinggi antar-wilayah baik

domestik dan internasional. Modal (real capital) merupakan salah satu faktor produksi

utama, dan dikombinasikan dengan tanah, tenaga kerja dan ketrampilan. Modal yang

digunakan untuk proses produksi kurang mobile jika dibandingkan dengan uang.

Meskipun ada keterbatasan mobilitas real capital, individu dapat menjual asetnya dan

mentransfer ke wilayah lainnya. Dari perspektif individu, kapital dapat berpindah di

suatu tempat meskipun aset fisik tidak dapat berpindah. Lagipula, karena real capital

adalah nilai dalam uang maka jumlah capital yang diinvestasikan di suatu wilayah dapat

bergerak dengan cepat.

Ada tiga tipe perpindahan capital yang dapat diidentifikasi. Pertama, modal

uang ditransfer dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, baik untuk pertukaran terhadap

barang dan jasa-jasa ataupun biaya investasi riil. Kedua, aset fisik dapat diangkut dari

suatu tempat ke tempat lainnya, walaupun perpindahan untuk beberapa aset fisik adalah

terbatas. Ketiga, nilai modal fisik dapat berubah yang menggambarkan perubahan

lingkungan ekonomi.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-23

Page 75: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

3.1.5. Pendekatan Neraca Pembayaran untuk Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Untuk mengerti latar belakang cara berpikir pendekatan neraca pembayaran

wilayah untuk pertumbuhan ekonomi, perlu memperhatikan model pendapatan dan

pengeluaran wilayah berikut ini:

Yt = ( Ct + I t + Gt ) + ( Xt - Mt) ………………………….. (3.20)

Tiga bagian pertama disisi bagian kanan persaman (3.20) menunjukkan agregat

permintaan yang dihubungkan dengan kegiatan domestik dalam perekonomian wilayah;

disebut juga sebagai, regional domestic absorption, At. Sementara itu dua bagian dari

sisi kanan menunjukkan komponen dari agregat permintaan wilayah yang dihubungkan

dengan sektor perdagangan antar-wilayah. Bentuk umum, dari persamaan (3.20) dapat

ditulis:

(Yt –At) = (Xt – Mt) …………………………………………… (3.21)

Dimana (Yt-At) adalah sama dengan tambahan aset bersih dari wilayah lainnya. Untuk

mengetahui tambahan aset bersih dari wilayah lainnya, sebagai perbedaan diantara

pendapatan regional dan regional domestic absorption, dapat dilihat pada model neraca

pembayaran tingkat nasional, dan kemudian menterjemahkannya dalam kasus wilayah.

Model sederhana neraca pembayaran pada tingkat nasional didefinisikan sebagai

berikut:

CAN + KAN + BOFN = 0 ……………………………………….. (3.22)

Dimana CAN adalah neraca pembayaran transaksi berjalan pada tingkat nasional, KAN

adalah neraca pembayaran capital account pada tingkat nasional dan BOFN adalah

neraca pembiayaan pegawai pemerintah.

Neraca pembayaran pada transaksi berjalan menggambarkan arus uang bersih

dari perdagangan untuk seluruh barang dan jasa, ditambah arus bunga bersih dan

deviden dari semua aset yang berada di luar negeri yang dimiliki oleh penduduk

domestik dan orang asing. Dengan demikian neraca pembayaran transaksi berjalan

lebih luas daripada neraca perdagangan yang sederhana, yang hanya menunjuk kepada

perdagangan barang-barang.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-24

Page 76: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Jika transaksi berjalan pada posisi surplus, hal ini berarti bahwa negara tersebut

sedang membangun cadangan devisa yang berasal dari valuta asing yang didedominasi

oleh mata uang lokal. Harga dari mata uang domestik meningkat secara relatif terhadap

mata uang asing. Sementara itu, neraca pembayaran dari neraca modal menunjukkan

pendapatan bersih negara dari aset asing melalui pinjaman dan meminjam dari

keuangan internasional yang menunjukkan penerimaan bersih dari penduduk setempat

dalam hal kekayaan yang terletak diluar negeri. Jika neraca modal surplus,

mengimplikasikan ada aliran uang masuk dari negara-negara lain yang biasa digunakan

untuk membeli aset domestik daripada digunakan untuk membeli aset dari negara lain.

Keduanya secara bersamaan transaksi berjalan dan neraca modal menunjuk surplus

bersih dari neraca pembayaran total. Neraca keuangan pemerintah adalah jumlah yang

diperlukan untuk menjaga agar pendapatan dan pengeluaran internasional seimbang dan

sama dengan perbedaan bersih antara uang permintaan dan penawaran mata uang lokal

dalam pasar valuta asing.

CAN + KAN = - BOFN ………………………………………….. (3.23)

Jika kita kembali menyusun persamaan (3.22) menghasilkan persamaan (3.23), kita

dapat lihat bahwa sisi kiri persamaan (3.23) adalah positif, berarti neraca pembayaran

dalam kondisi surplus dan jika negative maka neraca pembayaran adalah defisit. Jika

neraca pembayaran berada dalam surplus, cadangan aset asing meningkat atau secara

aternatif menurunkan hutang kepada penduduk asing. Jika neraca pembayaran defisit

maka aset asing menurun maka hutang penduduk asing meningkat. Penyesuaian

kekayaan dimediasi melalui pasar valuta asing.

Pada kasus perdagangan antar regional, dan karena transaksi dilakukan dalam

mata uang lokal, pembayaran pemerintah didominasi oleh mata uang yang sama. Kita

mengetahui bahwa daerah tidak memiliki hambatan bea cukai dan perdagangan. Tetapi

pada prinsipnya, kita catat bahwa neraca pembayaran dari bagian kanan persamaan

(3.24) harus selalu sama dengan nol. Ketika diterapkan persamaan tersebut untuk antar-

wilayah, maka neraca pembayaran antar-wilayah diformulasikan dalam:

CAR + KAR = 0 …………………………………………………… (3.24)

Dimana CAR adalah neraca pembayaran transaski berjalan pada tingkat regional dan

KAR adalah neraca pembayaran capital account pada tingkat daerah, dan dapat diubah

menjadi

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-25

Page 77: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

CAR = - KAR ……………………………………………………. (3.25)

Dengan kata lain surplus bersih dari perdagangan barang dan jasa di suatu daerah

dengan daerah lain (Xt-Mt) dalam persamaan (3.21) diseimbangkan dengan pendapatan

bersih dari aset wilayah dari wilayah yang lain (Yt-At) pada persamaan (3.21). Sebagai

contoh, jika suatu wilayah yang berbasis industri berhasil mengeksport, hal ini

mengimplikasikan bahwa pendapatan yang diperoleh dari ekspor dapat digunakan

kedua-duanya untuk impor barang dan jasa dari daerah-daerah lain dan juga membeli

aset-aset yang lebih dari daerah lain. Aset-aset yang dibeli ini akan termasuk aset negara

yang riil di daerah-daerah lain, sama seperti pangsa pendapatan di dalam perusahaan

yang berlokasi di daerah lain. Jika suatu wilayah neraca pembayaran defisit, itu harus

dibiayai dengan penjualan bersih dari aset domestik kepada pembeli dari daerah-daerah

lain. Jika neraca pembayaran seimbang itu berarti bahwa pendapatan bersih yang ada di

negara-negara lain adalah nol.

Wilayah yang mengalami defisit neraca pembayaran secara terus menerus akan

menyebabkan cadangan devisanya terbatas. Untuk mebiayai necara defisit tersebut

maka wilayah tersebut dapat menjual aset kepemilikan domestik ke pembeli luar.

Sehingga daerah tersebut dapat memelihara neraca pembayaran defisit dalam jangka

panjang. Hal ini mengimplikasikan bahwa pendapatan regional dalam jangka panjang

juga dipengaruhi oleh tingkat ekspor wilayah.

3.2. Kerangka Konseptual

Untuk menjawab tujuan penelitian ini, digunakan sebuah model ekonometrik-

multiregional. Region dalam hal ini dapat diartikan sebagai provinsi. Beberapa literatur

yang ada, keterkaitan regional umumnya hanya menggunakan dua regional. Belum

pernah kajian yang menggunakan keterkaitan regional lebih dari dua region. Dalam

penelitian ini, region yang ingin dilihat adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Tetapi karena alasan keterbatasan data, maka provinsi hanya dikaji sebanyak 30

provinsi.

Seperti yang telah dijelaskan dalam kerangka teori sebelumnya bahwa

keterkaitan region ini dapat dilihat dari beberapa cara yaitu dari arus migrasi penduduk

dan arus perdagangan antar-wilayah. Dampak migrasi ini memiliki dampak yang

berbeda antar-wilayah. Migrasi dapat memberikan stimulus ekonomi dan mungkin

diwilayah lain dapat juga menyebabkan pengangguran yang tinggi yang berdampak

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-26

Page 78: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-27

pada penurunan pendapatan wilayah. Bagaimana dengan arus perdagangan? Jika suatu

negara memiliki keunggulan komparatif dan melakukan perdagangan, sehingga dapat

meningkatkan capital diwilayah tersebut. Berikut ini adalah simplifikasi dalam

membangun keterkaitan Model Ekonometrik-Multiregional ditampilkan pada Gambar

berikut ini.

Indikator Makroekonomi Growth Unemployment Inflasi Neraca Perdagangan

Kemiskinan

Provinsi- i

Arus Perdagangan

Arus Migrasi

Provinsi- j

KetimpanganAntar provinsi

Gambar 3. Kerangka Konseptual Keterkaitan Regional

Keterkaitan antar region (provinsi) dalam model ini ditandai oleh arus migrasi

dan arus perdagangan yang terjadi antar region, keterkaitan ini secara langsung akan

mempengaruhi kondisi perekonomian region itu sendiri dan region lainnya.

Perekonomian dalam suatu region diukur melalui indikator makroekonominya. Selain

itu, dari keterkaitan region ini juga akan dilihat dampaknya terhadap ketimpangan

pendapatan. Dari indikator indikator makroekonomi dan ketimpangan pendapatan yang

terjadi selanjutnya akan dilihat dampak kemiskinan di masing-masing region.

Page 79: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

PERUMUSAN MODEL

KETERKAITAN REGIONAL DAN

PROSEDUR ANALISIS

BAB

IV

4.1. Spesifikasi Model

Model ekonometrika merupakan suatu pola khusus dari model aljabar, yakni

suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu

(Intriligator, 1978). Menurut Koutsoyiannis, (1977) Model ekonometrika merupakan

gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variables)

terhadap peubah endogen (dependent variables) khususnya yang menyangkut tanda dan

besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis

secara apriori ekonomi dengan kata lain, model yang baik haruslah memenuhi kriteria

teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika dan kriteria ekonometrika.

Tahapan membangun model diawali dengan suatu pemahaman fenomena

perekonomian yang dihipotesiskan terjadi sebagai akibat dari keterkaitan regional yang

akan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Spesifikasi model dilakukan dengan

memformulasikan model yang paling sesuai dengan sistem atau fenomena aktual yang

diabstraksikan. Setelah model dispesifikasikan atau diformulasikan, selanjutnya model

diestimasi dengan menggunakan teknik estimasi yang paling sesuai, sehingga

memberikan hasil estimasi yang terbaik. Tahap berikutnya adalah evaluasi untuk

mengetahui apakah model tersebut secara teoritis bermakna dan secara kuantitatif

memuaskan. Jika hal ini terlah terpenuhi maka akan dilakukan peramalan variabel

endeogen dari tahun 2006 sampai dengan 2014. Tahap terakhir adalah melakukan

simulasi kebijakan.

Bolton (1985) mendeskripsikan tiga tipe metode peramalan regional yang sering

digunakan dalam peramalan wilayah, yaitu pertama model top down dengan

menggunakan input data nasional yang diperoleh melalui peramalan model

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-1

Page 80: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

ekonometrika ekonomi nasional yang dijadikan sebagai variable independent di dalam

model regional. Kedua, model bottom up yang dapat digunakan untuk mengestimasi

output nasional (atau output wilayah yang lebih luas) yang merupakan penjumlahan dari

nilai-nilai peramalan subregion, dan terakhir adalah Multiregional model yang

menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik aktifitas dari suatu industri pada wilayah

tertentu akan mempengaruhi beberapa sektor di wilayah lain. Multiregional model

memerlukan informasi trade flows antara region-region. Tetapi karena kompleksitas

dan syarat substansi data yang diperlukan, maka model bottom-up dan multiregional

lebih sering hanya difokuskan pada beberapa wilayah, dengan kata lain, jumlah region

yang digunakan umumnya hanya dua atau tiga wilayah.

Dalam kajian pengembangan model keterkaitan jumla wilayah atau region yang

digunakan adalah 30 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Data dikumpulkan

dari masing-masing region (provinsi) dan model serta analisis, juga berdasarkan region.

Provinsi yang akan dikaji dalam hal ini adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia,

tetapi dengan alasan keterbatasan data, dimana ada beberapa provinsi yang baru

terbentuk (seperti Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat) tidak dianalis

dalam kajian pengembangan model keterkaitan regional.

Spesifikasi model yang dirumuskan dalam kajian ini adalah sangat terkait

dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model keterkaitan regional. Model yang

dibangun adalah sistem persamaan simultan dinamis. Model keterkaitan regional

dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan, yang

diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah secara sederhana dan

jelas.

Untuk memudahkan mengingat nama-nama variabel yang akan digunakan dalam

model keterkaitan regional ini, berikut ini akan didefinisikan beberapa karakter yang

akan digunakan seterusnya, yaitu:

i = klasifikasi sektoral (1-9)

p = Provinsi (1,..., 30)

t = tahun pengamatan(Tahun 1975 – 2006)

Spesifikasi model dalam kajian ini dibagi dalam sepuluh blok, yaitu PDRB

sektoral, investasi swasta sektoral, investasi pemerintah sektoral, tenaga kerja sektoral,

upah sektoral, inflasi, pengangguran, kemiskinan, migrasi dan blok perdagangan.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-2

Page 81: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Berikut ini adalah akan diuraian spesifikasi dari masing-masing blok, dan secara

sederhana keterkaitan antar-blok digambarkan pada Gambar 4 berikut ini:

PDRB

PDRB sektoral Capital

HC

Inflasi

Upah

Tenaga Kerja

Ekspor

Arus Migrasi

Unemploy

UMR

KHM

Impor PX

PDRB j

POP j

POP

PM j SDA j

SDA

Poverty

Investasi

CV

(U/L) j

Gambar 4: Simplifikasi Model Keterkaitan Regional

Pada Gambar 4 merupakan penyederhaan dari model keterkaitan regional secara utuh,

mengingat persamaan dalam model keterkaitan regional ini lebih dari 1000 persamaan

perilaku, maka tidak semua provinsi dan explanatory variables dinyatakan di dalamnya.

4.1.1. Blok PDRB Sektoral

Dalam teori Solow disebutkan bahwa output suatu perekonomian sangat

dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan modal (Mankiw, 2000). Model ini selanjutnya

dikembangkan oleh Romer, dimana selain faktor modal dan tenaga kerja, human capital

merupakan faktor penggerak pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Harrord-Domard

mementingkan tingkat investasi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dalam kajian

ini PDRB provinsi ke p merupakan fungsi dari jumlah tenaga kerja, investasi swasta dan

pemerintah. Sehingga secara umum model ekonomi untuk PDRB sektoral di masing-

masing provinsi p adalah:

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-3

Page 82: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Yipt = f( Lipt, ISipt, IGipt, DAUpt) ................................................ (4.1)

PDRBpt = .......................................................................... (4.2)

9

1iiY

dimana:

i = 1, 2, 3,…,9 (Klasifikasi Sektoral)

= 1 adalah PDRB Sektor pertanian per pekerja di provinsi p

= 2 adalah PDRB Sektor pertambangan per pekerja di provinsi p

= 3 adalah PDRB Sektor industri per pekerja di provinsi p

= 4 adalah PDRB Sektor LGA per pekerja di provinsi p

= 5 adalah PDRB Sektor bangunan per pekerja di provinsi p

= 6 adalah PDRB Sektor perdagangan per pekerja di provinsi p

= 7 adalah PDRB Sektor transportasi per pekerja di provinsi p

= 8 adalah PDRB Sektor lembaga keuangan per pekerja provinsi p

= 9 adalah PDRB Sektor jasa-jasa per pekerja di provinsi p

p = provinsi ke 1, 2, 3,…,30

DAUt = dana alokasi umum di provinsi p pada tahun ke t

IGipt = investasi pemerintah di sektor i di provinsi p pada tahun t

ISipt = investasi swasta di sektor i di provinsi p pada tahun t

Jumlah persamaan dalam blok PDRB sektoral terdiri dari sembilan persamaan

struktural dan satu persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri PDRB sektoral,

sedangkan persamaan identitas adalah penjumlahan dari seluruh PDRB sektoral yang

dalam hal ini disebut sebagai PDRB provinsi. Jumlah persamaan di dalam blok sektoral

adalah 300 persamaan.

4.1.2. Blok Investasi Swasta Sektoral

Secara umum dapat diketahui bahwa investasi merupakan fungsi dari suku

bunga dan tingkat pendapatan.

ISipt = f (SBI, Yipt) ........................................................................ (4.3) Dalam kajian pengembangan model regional ini, blok investasi swasta

merupakan fungsi dari tingkat suku bunga yang diwakili oleh suku bunga Bank

Indonesia dan tingkat pendapatan yang diwakili oleh PDRB sektoral Sehingga secara

umum model ekonomi untuk Investasi swasta di masing-masing sektor pada provinsi p

ditunjukkan pada persamaan (4.3). Total persamaan investasi swasta untuk seluruh

provinsi adalah 270 persamaan perilaku.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-4

Page 83: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

4.1.3. Blok Investasi Pemerintah Sektoral

Hal yang sama juga diperlakukan untuk investasi pemerintah sektoral., yang

diformulasi secara umum untuk masing-masing provinsi adalah.

ISipt = f (SBI, Yipt) ........................................................................ (4.4) Dari persamaan (4.4) dalam pengembangan model regional ini, dapat diketahui

investasi pemerintah ditentukan oleh tingkat suku bunga yang diwakili oleh suku bunga

Bank Indonesia dan tingkat pendapatan yang diwakili oleh PDRB sektoral. Total

persamaan investasi pemerintah untuk seluruh provinsi adalah 270 persamaan perilaku.

4.1.4. Blok Tenaga Kerja Sektoral

Berdasarkan pada konsep ekonomi, bahwa tenaga kerja merupakan fungsi linier

dari upah, tingkat output dan tingkat investasi. Sehingga permintaan tenaga kerja yang

dibangun dalam model ini adalah:

Lipt = f(Wipt, Yipt, NEXpt) ………………………………. (4.5)

LFpt = TLpt + UNpt + NMpt …………………………….. (4.6)

dimana:

Lipt = jumlah tenaga kerja di sektor i di provinsi p pada tahun ke t TLpt = total permintaan tenaga kerja di provinsi p pada tahun t LFpt = total angkatan kerja di provinsi p pada tahun ke t Wipt = upah di sektor i di provinsi p pada tahun ke t Yipt = PDRB di sektor i di provinsi p pada tahun ke t UNpt = pengangguran di provinsi p pada tahun ke t INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t NMpt = migrasi bersih provinsi p pada tahun ke t. Migrasi bersih diperoleh dari

migrasi in di kurangi dengan migrasi out atau dituliskan (MGIN-MGOUT).

NEXpt = Ekspor bersih dari provinsi p pada tahun ke t

Jumlah persamaan blok permintaan tenaga kerja terdiri dari satu persamaan

struktural dan satu persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari persamaan

jumlah permintaan tenaga kerja itu sendiri di masing-masing sektor dan persamaan

identitas adalah total anggkatan kerja. Jumlah persamaan tenaga kerja adalah 270 (9

sektor x 30 provinsi) persamaan perilaku dan 30 (1 x 30) persamaa identitas. Sehingga

total jumlah persamaan di dalam blok tenaga kerja adalah 300 persamaan.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-5

Page 84: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-6

4.1.5. Blok Upah Sektoral

Upah dapat didefinisikan sebagai harga yang dibayar kepada mereka yang

menyelenggara jasa-jasa, atau dapat juga disebut sebagai semua jenis kompensasi untuk

jasa-jasa. Dalam menetapkan upah, perusahaan dan pekerja berinteraksi terhadap

kondisi di pasar tenaga kerja. Penetapan upah juga harus memperhatikan efek inflasi.

Sehingga persamaan blok upah ditentukan sebagai berikut:

Wipt = f(UMRpt, Yipt, KHMpt, LFpt, INFpt) ........................... (4.7)

WRpt =

i

Wi

i

9

1 ...................................................................... (4.8)

dimana:

Wipt = upah di sektor i di provinsi p pada tahun ke t UMRpt = upah minimum regional provinsi p pada tahun ke t Yipt = PDRB sektor i di provinsi p pada tahun ke t KHMpt = kebutuhan hidup minimum di provinsi p pada tahun ke t LFpt = total angkatan kerja di provinsi p pada tahun ke t INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t WRpt = upah rata-rata di provinsi p pada tahun ke t yang diperoleh

Jumlah persamaan blok upah terdiri dari satu persamaan struktural dan saru

persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari persamaan upah di masing-masing

sektor, yaitu sebesar 270 (9 sektor x 30 Provinsi). Sedangkan jumlah persamaan

identitas adalah upah rata-rata provinsi, yaitu sebesar 30, sehingga jumlah persamaan

menjadi 300.

4.1.6. Blok Inflasi

Tingkat inflasi merupakan gambaran dari kenaikan harga yang dapat disebabkan

oleh tarikan permintaan, dorongan biaya atau mungkin disebabkan oleh gabunga

keduanya.

INFpt = f(WRpt, PDRBpt) .............................................. (4.9)

dimana:

INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t WRpt = upah rata-rata di provinsi p pada tahun ke t

Page 85: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Dalam kajian ini tingkat inflasi ditentukan oleh fungsi dari dorongan biaya yang

diwakili oleh upah ra-rata dan tarikan permintaan yang diwakili oleh PDRB provinsi.

Total persamaan perilaku inflasi dalam kajian adalah 30 persamaan.

4.1.7. Blok Pengangguran

Pengangguran dan inflasi adalah merupakan dua dari beberapa indikator penting

dalam ekonomi makro. Tingkat pengangguran dapat mengkuantifikasi kinerja

perekonomian suatu negara. Konsekuensi dari tingginga tingkat pengangguran

memberikan perubahan-perubahan negatif dalam perekonomian. Kerugian dari

tingginya tingkat pengangguran dapat diukur dalam bentuk keluaran yang hilang bagi

keseluruhan perekonomian (economic waste). Hal ini disebabkan karena penganggur

merupakan sumber daya berharga yang potensi outputnya tersia-siakan.

Kerugian dari tingginya tingkat pengangguran dapat berupa peningkatan

keresahan sosial dalam masyarakat (the human cost of unemployment). Seperti halnya

pengangguran, inflasi juga merupakan masalah utama dalam ekonomi makro. Akan

tetapi inflasi tidak menyebabkan kerugian nyata terhadap output nasional. Sementara

bila terjadi pengangguran maka output potensial menjadi terbuang dan ini sangat tidak

diharapkan.

Tidak adanya inflasi maupun kelebihan pengangguran adalah harapan dari para

pelaku ekonomi. Tetapi gangguan dalam perekonomian memang nyata terjadi, dan

tanpa adanya fleksibilitas harga-upah yang sempurna, tidaklah mungkin memulihkan

kondisi tenaga kerja penuh (full employment) dengan tingkat harga yang stabil dalam

jangka pendek. Oleh karena itu seringkali para pembuat kebijakan mengahadapai tujuan

keduanya bertentangan. Ketika para pembuat kebijakan menggerakkan perekonomian

ke atas sepanjang kurva penawaran agregat jangka pendek, mereka menurunkan tingkat

pengangguran dan menaikkan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika mereka mengkontraksi

permintaan agregat dan menggerakkan perekonomian ke bawah kurva penawaran

agregat jangka pendek, pengangguran naik dan inflasi turun. Trade-off inflasi dan

pengangguran jelas menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.

Kurva Phillips menggambarkan keterkaitan antara inflasi dan tingkat

pengangguran. Kurva ini menyimpulkan bahwa penurunan tingkat pengangguran akan

selalu dapat dipertahankan dengan mendorong kenaikan laju inflasi, dan bahwa laju

inflasi akan selalu dapat diturunkan dengan membiarkan terjadinya kenaikan tingkat

pengangguran. Kurva Phillips adalah cara yang berguna untuk menunjukkan penawaran

agregat karena inflasi dan pengangguran merupakan ukuran kinerja perekonomian yang

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-7

Page 86: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-8

penting. Dalam kajian ini pengangguran ditentukan oleh fungsi dari tingkat inflasi,

product regional bruto suatu provinsi, tingkat upah dan net migrasi migrasi. Formulasi

dalam bentuk model ekonomi adalah:

UNpt = f(INFpt, PDRBpt, WRpt, NMpt, DAKpt ) ..........................(4.10)

ahun t

Dimana:

UNpt = tingkat pengangguran provinsi p pada tahun ke t INFpt = tingkat inflasi provinsi p pada tahun ke t PDRBpt = PDRB provinsi p pada tahun ke t DAKpt = Dana alokasi khusus pada tahun ke t

Dalam studi ini, inflasi diwakili oleh consumen price index (CPI) masing-

masing provinsi. Jumlah persamaan dalam blok inflasi adalah 30 persamaan perilaku.

4.1.8. Blok Kemiskinan

Blok kemiskinan hanya dibentuk dengan oleh satu persamaan perilaku. yaitu

persamaan jumlah penduduk miskin di masing-masing provinsi, yang merupakan fungsi

dari tingkat pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi, kekayaan sumberdaya

alam, dan tingkat pengangguran, upah rata-rata provinsi dan tingkat inflasi di provinsi

itu sendiri. Bentuk persamaan ekonomi dituliskan sebagai berikut:

POVpt = f (GROWTHpt, UNpt, WRpt, INFpt, DAKpt) ............... (4.11)

dimana

POVipt = Jumlah penduduk miskin di provinsi p pada tahun ke t

GROWTHpt = Pertumbuhan ekonomi provinsi p pada t

UNpt = Pengangguran di provinsi p pada tahun t

INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t

Jumlah persamaan dalam blok kemiskinan terdiri dari satu persamaan struktural.

Dimana persamaan kemiskinan tersebut terdiri dari 1 persamaan untuk masing-masing

region, sehingga total persamaan dalam blok kemiskinan adalah 30 persamaan.

4.1.9. Blok Migrasi

Keputusan seseorang untuk bermigrasi, pada garis besarnya dapat

dikelompokkan menjadi faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).

Page 87: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Untuk menentukan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap migrasi digunakan

kerangka berpikir yang didasarkan pada teori Human Capital dan model Haris Todaro.

Teori Human Capital dan Model Haris Todaro lebih memfokuskan perhatiannya pada

hubungan ekonomi dari migrasi. Menurut Teori Human Capital bahwa seseorang akan

bermigrasi, jika pendapatan yang diperoleh di daerah tujuan lebih besar dari pendapatan

di daerah asal ditambah dengan biaya langsung migrasi. Selanjutnya model Haris

Todaro menyatakan bahwa keputusan untuk bermigrasi tidak hanya ditentukan oleh

berapa pendapatan yang diterima seandainya bermigrasi, tetapi juga juga dipengaruhi

oleh peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang berkaitan erat dengan kesempatan

kerja dan tingkat pengangguran di daerah tujuan.

Sebagai tenaga kerja, migran mempunyai potensi atau mute tertentu untuk

menghasilkan barang dan jasa. Apabila potensi yang dimiliki kurang dapat berproduksi

di daerah asal, karena kesempatan tidak ada atau terbatas, sedangkan potensi yang

dimiliki mampu berproduksi relatif tinggi di daerah tujuan, maka tenaga kerja yang

bersangkutan akan bermigrasi ke daerah yang penduduknya kurang dapat berproduksi

sesuai dengan mutu yang dimiliki. Mutu mempunyai peranan penting untuk

mempengaruhi proses terjadinya migrasi, karena mutu disini akan menentukan besainya

peluang dalam memperoleh pekerjaan. Di Indonesia, pasar kerja didominasi oleh

pekerja dengan pendidikan rendah, sehingga pengamatan mengenai mutu pekerja akan

lebih baik jika didekati dengan usia penduduk, dengan asumsi semakin tinggi usia

pekerja, sampai pada batas tertentu, akan semakin baik mutu pekerja.

Dalam migrasi juga terjadi persoalan assymetric information. Situasi ini

menyebabkan peningkatan suatu variabel ekonomi, misalnya peningkatan upah daerah

tujuan, tidak dapat langsung diikuti dengan penurunan migrasi dalam waktu yang sama.

Dengan kata lain, suatu penyebab menimbulkan akibat setelah suatu selang waktu

tertentu.

Selang waktu tersebut disebut lag. Oleh karena itu, perumusan realitistis dari

hubungan-hubungan ekonomi di dalam pasar kerja memerlukan variabel-variabel lag

dari variabel-variabel terikatnya. Variabel migrasi ini meruapakan salah satu bentuk

keterkaitan antar wilayah, namun demikian karena alasan data, tidak adanya sumberdata

yang menunjukkan arus migrasi berdasarkan daerah asal dan tujuan, maka persamaan

migrasi hanya dibentuk oleh satu persamaan saja, yait persamaan net migrasi (NMG).

Berdasarkan uraian tersebut, maka fungsi ekonomi migrasi keluar diformulasi sebagai

berikut:

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-9

Page 88: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-10

NMGpt = f (Wpt, PDRBpt, Wjt , PDRBjt ) ................................. (4.12)

dimana :

NMjpt = migrasi penduduk bersih di provinsi p pada tahun ke t yang diperoleh dengan cara mengurangkan migrasi yang masuk dikurangi dengan migrasi yang keluar (MGINTpt – MGOUTpt)

Wpt = upah rata-rata di provinsi p pada tahun ke t

Wjt = upah rata-rata di provinsi j pada tahun ke t

PDRBpt = PDRB provinsi p pada tahun ke t

PDRBjt = PDRB provinsi j pada tahun ke t

Jumlah persamaan dalam blok migrasi terdiri dari satu persamaan struktural

yaitu net migrasi. Sehingga jumlah persamaan perilaku dalam persamaan net migrasi

adalah 30 persamaan perilaku.

4.1.10. Blok Perdagangan

Asumsi tradisional yang digunakan oleh ahli ekonomi regional bahwa

sumberdaya dengan bebas masuk diantara daerah atau wilayah dalam suatu negara.

Berbeda dengan model teori perdagangan internasional dimana faktor produksi

dianggap tidak dapat berpindah sedangkan komoditi dapat berpindah.

Asumsi yang digunakan untuk membangun model regional flows yaitu pertama,

sumberdaya tidak dapat berpindah dari suatu daerah ke daerah lain, tetapi modal dan

arus barang dan jasa dapat berpindah secara sempurna dan kedua mobilitas sumberdaya

juga diasumsikan adalah sempurna. Dengan demikian, persamaan ekspor yang

ditentukan dalam model keterkaitan regional dalam hal ini ditentukan oleh harga ekspor,

PDRB dan jumlah penduduk. Berikut adalah model ekonomi untuk persamaan ekspor

dan impor, yaitu:

Xpt = f(PXpt, PDRBjt, POPjt, PDRBjt) ............................. (4.13)

Mpt = f(PMjt, PDRBpt, POPpt) .......................................... (4.14)

NEXpt = Xpt - Mpt ............................................................... (4.15)

Keterangan:

Xpt = ekspor provinsi p j pada tahun ke t

Mpt = impor provinsi p pada tahun ke t dimana p j

PXpt = harga ekspor sektor i di provinsi p pada tahun ke t

PMpt = harga impor settor i di provinsi p pada tahun ke t

Page 89: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

NEXpt = ekspor bersih sektor i di provinsi p pada tahun ke t

NEXpt = ekspor bersih sektor i di provinsi p pada tahun ke t

PDRBpt = PDRB provinsi p pada tahun ke t.

PDRBjt = PDRB provinsi j pada tahun ke t.

POPpt = jumlah penduduk provinsi p pada tahun ke t

Jumlah persamaan blok BOT terdiri dari dua persamaan struktural dan 1

persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari ekspor dan impor provinsi.

Jumlah persamaan ekspor 30 dan persamaan impor adalah 30 persamaan perilaku, dan

persamaan identitas sebanyak 30 persamaan. Sehingga total persamaan dalam blok

perdagangan adalah 90 persamaan.

4.2. Prosedur Analisis

4.2.1. Identifikasi Model

Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat

keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis

(1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition

ditentukan oleh:

(K - M) > (G - 1) ………………………………………………. (4.16)

dimana:

K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah

predetermined.

M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu

persamaan tertentu dalam model, dan

G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam

model.

Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut.

( K – M ) > ( G – 1 ) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified)

(K – M ) = ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi

secara tepat (exactly identified), dan (K – M ) < (G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak

teridentifikasi (unidentified).

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-11

Page 90: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified

atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu

persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi.

Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal

itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam

suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk

minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah

yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank

ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama

dengan nol (Koutsoyiannis, 1977).

Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 1650 persamaan

atau 1650 variabel endogen, terdiri dari 1530 persamaan perilaku dan 120 persamaan

identitas, jumlah peubah dalam persamaan adalah 5 peubah. Maka berdasarkan kriteria

order condition persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.

4.2.2. Metode Pendugaan Model

Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified, dalam hal

ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares),

3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood)

atau FIML (Full Information Maximum Likehood). Dalam penelitian metode pendugaan

model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan

2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah,

sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih

sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati,

1999)

Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama

berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan

digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas

berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan

digunakan uji statistik t.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-12

Page 91: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

4.2.3. Validasi Model

Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi

alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu

validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat

mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai

pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Square Error

(RMSE), (Root Means Percent Square Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality

Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai

berikut:

n

t

at

st YY

nRMSE

1

21 ………………………………. (4.17)

n

ta

t

at

st

Y

YY

nRMSPE

1

21

……………………………… (4.18)

n

t

at

n

t

st

n

t

at

st

Yn

Yn

YYn

U

1

2

1

2

1

2

11

1

……………………… (4.19)

dimana:

stY = nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi a

tY = nilai aktual variabel observasi

n = jumlah periode observasi Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah

endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran

relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai

aktualnya. Sedangikan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan

model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan

0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif.

Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R², maka

pendugaan model semakin baik.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-13

Page 92: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-14

4.2.4. Simulasi Model

Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model

tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Peramalan dapat dapat dibedakan

beberapa jenis dan tujuan simulasi, diantaranya adalah ramalan berdasarkan horizon

waktu, yang dibedakan menjadi ex post forecasting, ex ante forecasting dan

backcasting., yang diilustrasikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Garis Waktu Peramalan.

Pada periode t1 menunjukkan batas waktu dari model yang dihitung dengan data

yang ada. Simulasi yang dibuat diantara t1 ke t2 disebut dengan ex-post simulation atau

historical simulation. Nilai historical series yang dimulai tahun t1 dan berakhir tahun t2,

digunakan untuk peubah eksogen, sedangkan nilai historical dalam t1 merupakan

keadaan awal dari peubah endogen.

Ex-post forecasting menunjukkan kalau periode dugaan t2 < t3, maka peramalan

dapat dilakukan diakhir periode. Sedangkan pada ex-ante forecasting yang dimulai dari

t3 adalah simulasi atau perkiraan nilai dependent variabel yang didasarkan pada variabel

bebas dan dapat diteruskan hingga pada tahun-tahun berikutnya. Analisis kebijakan

dilakukan untuk melihat dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan

(melalui intrumen tarif) terhadap semua peubah endogen.

Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana reaksi peubah endogen

terhadap perubahan peubah eksogen. Beberapa skenario simulasi alternatif kebijakan

ekonomi secara parsial dan alternatif kombinasi kebijakan ekonomi yang ditentukan

secara arbitrary, yaitu:

1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.0 persen, 5.5 persen dan

6.0 persen.

Forecasting

t2 t1 t3 (t d )

Periode data dugaan

Periode dugaan

ex-ante forecasting

ex-post forecasting

backcasting ex-post simulation or historical simulation

Page 93: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

2. Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 5.0 persen, 10.0

persen dan 15 persen.

3. Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5.0 persen, 10.0

persen dan 15 persen.

4. Simulasi kombinasi peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi

Umum (DAU) masing-masing sebesar 5.0 persen, 10 persen dan 15 persen

4.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan

rentang waktu (time series) dari tahun 1978 sampai dengan tahun 2007. Sedangkan

sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro

Pusat Statistik (BPS). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan catatan

bahwa dalam penelitian harga dideflasi dengan indeks harga sesuai dengan indeks

harga masing-masing dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari pengaruh

inflasi. Sehingga harga nominal yang diperoleh secara langsung dapat menjadi harga

riil.

4.4. Waktu Pelaksanaan

Pengembangan Model Keterkaitan Regional ini akan dilaksanakan secara

swakelola dalam kurun waktu (6 bulan) tahun anggaran 2008 dimulai pada bulan Juni

sampai dengan Nopember 2008.

6 (enam) Bulan No Kegiatan

Juni Juli Agus Sept Okt Nop

1. Persiapan xxxx xxxx

2. Rapat Diskusi xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx

3. Seminar Konsep Awal xxxx

4. Kunjungan Lapangan xxxx

5. Pengumpulan Data xxxx xxxx

6. Pembuatan Aplikasi xxxx xxxx

7. Penyusunan Laporan xxxx xxxx xxxx

8. Seminar Akhir xxxx

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-15

Page 94: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-16

4.5. Sistematika Pelaporan

Hasil dari kegiatan “Pengembangan Model Keterkaitan Regional” akan disusun

dalam satu laporan yang terbagi dalam tiga tahap, yiatu: laporan awal, kemajuan dan

laporan akhir.

1. Laporan Awal

Merupakan laporan pendahuluan yang antara lain berisi hasil perumusan

permasalahan secara hipotetik, tinjauan dan studi pustaka dan referensi yang telah

diperoleh yang dianggap relevan.

2. Laporan Kemajuan

Merupakan laporan yang hampir lengkap dengan memuat hasil data dan analisis

berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan wilayah-daerah dan

strategis. Dalam laporan ini juga telah terakomodasi hasil-hasil diskusi dengan staf

bappenas yang dilakukan secara intensif sebelumnya.

3. Laporan Akhir

Merupakan penyempurnaan laporan sebelumnya yang berisi hasil analisis dan

perumusan strategi yang telah mendapat tanggapan dan masukan dari berbagai

pihak. Pada laporan akhir, akan dilampirkan pula ringkasan laporan berbagai data

yang dianggap penting serta hasil analisis yang mendukung pemahaman terhadap

hasil kajian serta implementasinya.

Page 95: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-1

5.1. Keragaan Umum Model Keterkaitan Regional

Hasil estimasi model keterkaitan regional dalam penelitian ini dapat dikatakan

baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasinya (R²) dari masing-masing

persamaan perilaku yaitu berkisar antara 0.50 sampai dengan 0.99. Dari seluruh

persamaan perilaku yang di estimasi, hanya terdapat 3 persamaan perilaku, yaitu

persamaan kemiskinan di provinsi NTB, Banten dan Jambi dimana nilai R2 berada

masing-masing adalah 0.44, 0.49, dan 0.42. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum

peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada di dalam persamaan perilaku

mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen (endogenous variable).

Besaran nilai statistik uji F umumnya tinggi, yaitu dengan nilai lebih besar dari

10.99, yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku

secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya,

pada taraf = 0.0001 dan 0.0078, disamping itu setiap persamaan struktural

mempunyai besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis

dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic), meskipun demikian masih

terdapat beberapa explanatory variables yang tidak signifikan secara statistik, dalam arti

bahwa secara individu variabel tersebut tidak berbeda nyata dengan nol mempengaruhi

variabel endogennya.

Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel

penjelas berpengarauh nyata terhadap variabel endogennya. Hasil estimasi dari statistik-

t yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang tidak

signifikan atau tidak berbeda nyata dengan nol terhadap variabel endogennya pada taraf

=0.05. Dalam studi ini taraf yang digunakan cukup fleksibel yaitu dengan taraf =

0.15.

KERANGKA UMUM MODEL

KETERKAITAN REGIONAL

BAB

V

Page 96: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Berdasarkan hasil uji statistik durbin-w (dw) dan terdapat sejumlah persamaan

yang mengalami masalah serial korelasi dan juga terdapat beberapa persamaan yang

tidak terdeteksi serial korelasinya. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi

yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi

hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan

bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat

dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena keterkaitan regional.

5.2. Validasi Model

Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi

alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu uji

validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat

mewakili fenomena keterkaitan regional. Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk

validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah Root Means

Percent Square Error (RMSPE) yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-

nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam

ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan

nilai aktualnya, sedangkan Theil’s Inequality Coefficient (U), yang bermanfaat untuk

mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada

dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s, maka pendugaan model semakin baik

(Pindyck and Rubinfield, 1991).

Hasil validasi model menunjukkan bahwa model ini dapat dilihat dari nilai

RMSPE, dimana hampir seluruh persamaan perilaku nilai RMPSE dibawah 20%, yang

munujukkan bahwa persamaan perilaku yang hanya menyimpang 20 persen dari nilai

aktualnya. Hanya terdapat 4 persamaan perilaku yang nilai RMSPE berkisar diantara

50% - 69%. Dengan kata lain bahwa model ini dapat dijadikan sebagai model

peramalan.

Sedangkan dilihat dari nilai Theil’s Inequality Coefficient (U), model ini juga

dapat dijadikan sebagai sebuah model untuk alternatif simulasi kebijakan, karena nilai

U-Theil seluruhnya berada di bahwa 0.2. Hanya terdapat 3 persamaan perilaku yang niai

U-Theil berada diantara 0.37 – 0.47, yaitu persamaan perilaku Persamaan PDRB

provinsi Bangka Belitung (R07PDB), persamaan Kemiskinan provinsi Kalimantan

Selatan (R19PVT) dan Persamaan Pengangguran provinsi Kalimantan Barat (R17UNT)

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-2

Page 97: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

(Lampiran). Dengan kata lain bahwa, secara keseluruhan model ini dapat digunakan

untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi alternatif kebijakan.

5.3. Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia

Hasil proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2008 menunjukkan bahwa

pertumbuhan ekonomi provinsi NAD masih negatif (0.14 persen), tetapi rata-rata dari

tahun 2008-2014 perekonomian NAD relatif stabil yang ditunjukkan dengan tingkat

pertumbuhan ekonomi sebesar 4.91 persen. Hal ini menunjukkan bahwa investasi pasca

tsunami di NAD akan terlihat pengaruhnya lebih kurang selama 5 tahun. Urutan kedua

pertumbuhan ekonomi diikuti oleh provinsi Sulawesi tenggara dan provinsi Kalimantan

Timur (4.37 persen). Rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional adalah 3.54 persen

(Tabel 7).

Tabel 7. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Berdasarkan Provinsi, Tahun, 2008-2014.

(%) Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata

Nanggro Aceh Darusalam -0.14 10.33 6.00 1.49 6.17 8.36 2.20 4.91 Sumatera Utara 3.97 3.82 3.68 3.55 3.43 3.31 3.21 3.57 Sumatera Barat 4.02 3.87 3.72 3.59 3.46 3.35 3.24 3.61 Riau 2.36 2.31 2.25 2.21 2.16 2.11 2.07 2.21 Jambi 4.36 4.18 4.01 3.86 3.71 3.58 3.46 3.88 Sumatera Selatan 3.17 3.08 2.98 2.90 2.82 2.74 2.67 2.91 Bangka Belitung 4.91 4.68 4.47 4.28 4.10 3.94 3.79 4.31 Bengkulu 4.08 3.92 3.77 3.64 3.51 3.39 3.28 3.66 Lampung 3.98 3.82 3.68 3.55 3.43 3.32 3.21 3.57 Jakarta 4.20 4.03 3.88 3.73 3.60 3.47 3.36 3.75 Jawa Barat 3.79 3.65 3.52 3.40 3.29 3.19 3.09 3.42 Banten 3.97 3.82 3.68 3.55 3.43 3.31 3.21 3.57 Jawa Tengah 3.71 3.58 3.46 3.34 3.23 3.13 3.04 3.36 DI. Yogyakarta 3.80 3.66 3.53 3.41 3.30 3.19 3.09 3.43 Jawa Timur 3.89 3.74 3.61 3.48 3.36 3.25 3.15 3.50 Bali 3.32 3.22 3.12 3.02 2.93 2.85 2.77 3.03 Kalimantan Barat 3.32 3.22 3.12 3.02 2.93 2.85 2.77 3.03 Kalimantan Tengah 4.02 3.86 3.72 3.58 3.46 3.35 3.24 3.60 Kalimantan Selatan 3.71 3.58 3.45 3.34 3.23 3.13 3.03 3.35 Kalimantan Timur 4.49 4.45 4.40 4.37 4.33 4.29 4.26 4.37 Sulawesi Utara 3.03 2.94 2.86 2.78 2.71 2.63 2.57 2.79 Grontalo 4.98 4.75 4.53 4.33 4.15 3.99 3.84 4.37 Sulawesi Tengah 4.80 4.58 4.38 4.20 4.03 3.87 3.73 4.23 Sulawesi Selatan 4.10 3.93 3.79 3.65 3.52 3.40 3.29 3.67 Sulawesi Tenggara 5.16 4.91 4.68 4.47 4.28 4.10 3.94 4.51 Nusa Tenggara Barat 3.67 3.54 3.42 3.31 3.20 3.10 3.01 3.32 Nusa Tenggara Timur 3.66 3.53 3.41 3.30 3.19 3.09 3.00 3.31 Maluku 2.99 2.91 2.82 2.75 2.67 2.60 2.54 2.75 Maluku Utara 3.06 2.97 2.88 2.80 2.72 2.65 2.58 2.81 Papua 3.95 2.87 2.34 4.04 4.73 1.30 4.85 3.44

Nasional 3.74 3.92 3.64 3.43 3.50 3.36 3.18 3.54

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-3

Page 98: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 8. Proyeksi Pertumbuhan Jumlah Penduduk Miskin Berdasarkan Provinsi,

Tahun 2008-2014 (%)

Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata

Nanggro Aceh Darusalam -0.83 -0.38 0.00 0.33 0.60 0.83 1.02 0.23 Sumatera Utara 2.73 2.68 2.63 2.57 2.51 2.45 2.40 2.57 Sumatera Barat 5.08 -3.51 -4.47 -3.34 2.24 4.58 4.43 0.71 Riau -1.60 -0.66 0.06 0.59 0.98 1.26 1.46 0.30 Jambi 5.10 -5.11 -6.86 -6.09 0.14 4.33 5.53 -0.42 Sumatera Selatan 2.91 2.51 2.33 2.23 2.16 2.11 2.06 2.33 Bangka Belitung 5.18 3.25 2.04 1.26 0.74 0.39 0.16 1.86 Bengkulu -2.42 -2.49 -5.39 -5.61 -2.72 -3.96 -4.84 -3.92 Lampung -4.52 -4.97 -5.29 7.31 1.71 0.14 -0.69 -0.90 Jakarta -4.67 -7.80 -0.52 3.62 0.95 1.19 1.62 -0.80 Jawa Barat -5.05 -1.68 -0.88 11.10 5.94 4.44 2.52 2.34 Banten -3.12 -0.69 -8.58 2.03 -3.89 -4.25 -2.56 -3.01 Jawa Tengah -2.95 4.55 3.92 3.51 3.23 3.03 2.89 2.60 DI. Yogyakarta -3.05 -3.13 -3.28 -3.24 -3.23 -3.23 -3.30 -3.21 Jawa Timur -13.89 -3.58 -2.26 10.09 2.88 1.74 0.56 -0.64 Bali -4.03 -4.74 -5.40 -6.04 -6.69 -7.38 -8.13 -6.06 Kalimantan Barat 3.67 1.73 -3.12 -6.06 -5.52 -2.97 0.41 -1.69 Kalimantan Tengah -0.70 -1.63 -2.30 -2.80 -3.20 -3.52 -3.81 -2.57 Kalimantan Selatan 0.54 8.85 -0.84 -4.15 -6.75 -8.82 -5.82 -2.43 Kalimantan Timur 0.80 0.83 0.85 0.86 0.87 0.87 0.86 0.85 Sulawesi Utara 0.01 -2.23 -3.98 -5.44 -6.76 -8.06 -9.41 -5.12 Grontalo 1.85 1.82 1.79 1.75 1.72 1.70 1.67 1.76 Sulawesi Tengah -3.05 -3.06 -3.10 -3.16 -3.23 -3.32 -3.42 -3.19 Sulawesi Selatan -5.19 5.71 5.63 4.70 -1.48 -2.62 -2.43 0.62 Sulawesi Tenggara -4.31 -12.45 -13.87 -15.80 -18.48 -22.42 -28.64 -16.57 Nusa Tenggara Barat -1.63 -2.47 -0.23 1.16 0.81 0.08 -0.11 -0.34 Nusa Tenggara Timur 4.67 -0.26 -2.24 -2.15 -1.20 -0.36 0.01 -0.22 Maluku 1.10 0.75 -4.72 -8.56 -9.52 -8.37 -5.63 -4.99 Maluku Utara 6.30 5.00 4.18 3.64 3.26 3.00 2.81 4.03 Papua -2.66 -3.76 -3.01 -2.24 -1.28 -1.00 -1.17 -2.16 Nasional -0.79 -0.90 -1.90 -0.60 -1.44 -1.60 -1.65 -1.27

Membaiknya kinerja ekonomi di masing-masing provinsi diikuti juga dengan

penurunan jumlah penduduk miskin. Penurunan penduduk miskin terbesar terdapat di

provinsi Jawa Timur (12.89%). Secara umum terlihat bahwa penduduk miskin dari

tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal ini mengindikasi bahwa kinerja ekonomi

Indonesia semakin membak. Secara nasional terlihat bahwa dari tahun 2014-2018

penduduk miskin mengalami penurunan. Rata-rata penurunan pertumbuhan penduduk

miskin adalah sebesar 1.27 persen (Tabel 8).

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-4

Page 99: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 9. Proyeksi Pertumbuhan Jumlah Pengangguran Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014

(%) Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata

Nanggro Aceh Darusalam -2.17 0.41 1.76 2.42 2.71 2.81 2.82 1.54 Sumatera Utara 0.91 1.22 1.46 1.67 1.82 1.95 2.04 1.58 Sumatera Barat -0.79 0.30 1.08 1.63 2.00 2.24 2.39 1.27 Riau -4.02 -2.48 -1.23 -0.23 0.53 1.10 1.52 -0.69 Jambi -4.51 -1.76 0.05 1.18 1.84 2.22 2.41 0.20 Sumatera Selatan 0.29 0.95 1.45 1.80 2.04 2.21 2.31 1.58 Bangka Belitung -6.90 -5.74 -5.08 3.79 2.18 2.38 2.28 -1.01 Bengkulu -8.39 -6.79 -5.52 3.72 2.33 2.69 2.69 -1.32 Lampung -7.02 -5.73 -4.93 4.04 2.50 2.74 2.69 -0.82 Jakarta -3.42 -7.97 -1.02 -0.84 5.38 2.10 2.63 -0.45 Jawa Barat -7.65 -8.88 -5.71 1.98 -1.20 2.58 2.19 -2.38 Banten -4.84 -4.05 -1.72 0.44 2.50 4.13 5.02 0.21 Jawa Tengah -1.45 -0.52 0.21 0.79 1.23 1.55 1.79 0.51 DI. Yogyakarta 2.23 2.46 2.57 2.61 2.61 2.59 2.55 2.52 Jawa Timur -9.74 4.52 -4.63 5.57 -0.37 5.83 1.76 0.42 Bali 1.60 2.00 2.27 2.44 2.54 2.59 2.61 2.29 Kalimantan Barat -3.21 -1.09 0.37 1.33 1.94 2.30 2.51 0.59 Kalimantan Tengah 2.35 6.85 5.71 -4.42 -4.10 -7.27 10.63 1.39 Kalimantan Selatan 1.75 2.18 2.45 2.61 2.69 2.72 2.71 2.44 Kalimantan Timur -8.39 -5.03 -4.43 4.38 2.75 2.91 2.79 -0.72 Sulawesi Utara 0.60 1.96 2.52 2.73 2.78 2.75 2.70 2.29 Grontalo 2.03 2.55 2.82 2.94 2.97 2.96 2.91 2.74 Sulawesi Tengah 1.43 2.50 2.92 3.05 3.05 3.00 2.94 2.70 Sulawesi Selatan -6.72 -11.07 -3.48 3.47 -6.50 -2.12 27.48 0.15 Sulawesi Tenggara -7.56 0.02 5.71 9.18 9.58 8.36 6.42 4.53 Nusa Tenggara Barat -3.95 -2.54 -1.35 -0.39 0.36 0.94 1.38 -0.79 Nusa Tenggara Timur -3.59 -1.79 -0.43 0.56 1.26 1.74 2.05 -0.03 Maluku 1.88 2.45 2.49 2.66 2.63 2.65 2.59 2.48 Maluku Utara 3.03 2.94 2.86 2.78 2.70 2.63 2.57 2.79 Papua -1.82 0.02 1.20 1.91 2.33 2.55 2.65 1.26 Nasional -2.60 -1.07 0.01 2.19 1.84 2.26 3.73 0.91

Berbeda halnya dengan tingkat pertumbuhan pengangguran, dimana secara

nasional terlihat bahwa tingkat pengangguran menurun pada tahun 2008 sebesar 2.60

persen, dan pada tahun 2009 menurun sebesar 1.07 persen. Tetapi pada tahun 2010-

2014 diperkirakan tingkat pertumbuhan pengangguran meningkat. Rata-rata dari tahun

2008-2014, tingkat pertumbuhan pengangguran meningkat sebesar 0,91 persen. Tingkat

penurunan pertumbuhan kemiskinan terbesar terdapat di pulau Jawa (Tabel 9).

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-5

Page 100: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 10. Proyeksi Pertumbuhan Indeks Harga Konusmen Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014

(%) Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata

Nanggro Aceh Darusalam -2.27 -1.08 -0.23 0.35 0.74 1.00 1.17 -0.04 Sumatera Utara -2.19 -0.98 -0.13 0.46 0.84 1.10 1.26 0.05 Sumatera Barat -2.63 -1.50 -0.64 0.00 0.46 0.80 1.03 -0.35 Riau -2.68 -1.51 -0.65 -0.03 0.41 0.71 0.92 -0.41 Jambi -3.36 -2.02 -1.07 -0.41 0.04 0.34 0.54 -0.85 Sumatera Selatan -2.95 -1.87 -1.05 -0.44 0.01 0.34 0.57 -0.77 Bangka Belitung -2.95 -1.87 -1.05 -0.44 0.01 0.34 0.57 -0.77 Bengkulu -2.56 -1.31 -0.41 0.22 0.65 0.94 1.13 -0.19 Lampung -2.57 -1.37 -0.51 0.10 0.51 0.80 0.98 -0.29 Jakarta -1.62 -0.50 0.26 0.77 1.10 1.31 1.44 0.39 Jawa Barat -2.59 -1.52 -0.73 -0.16 0.24 0.53 0.72 -0.50 Banten -2.59 -1.52 -0.73 -0.16 0.24 0.53 0.72 -0.50 Jawa Tengah -3.02 -1.86 -1.02 -0.42 0.00 0.29 0.48 -0.79 DI. Yogyakarta -2.75 -1.65 -0.84 -0.25 0.16 0.46 0.66 -0.60 Jawa Timur -2.41 -1.36 -0.60 -0.07 0.30 0.55 0.72 -0.41 Bali -1.89 -0.96 -0.30 0.15 0.47 0.68 0.82 -0.15 Kalimantan Barat -2.03 -0.86 -0.03 0.54 0.93 1.18 1.34 0.15 Kalimantan Tengah -1.77 -0.74 -0.03 0.44 0.76 0.96 1.09 0.10 Kalimantan Selatan -3.41 -2.23 -1.34 -0.68 -0.21 0.13 0.37 -1.05 Kalimantan Timur -1.81 -0.57 0.26 0.81 1.15 1.37 1.50 0.39 Sulawesi Utara -2.86 -1.64 -0.74 -0.09 0.37 0.70 0.92 -0.48 Grontalo -2.86 -1.64 -0.74 -0.09 0.37 0.70 0.92 -0.48 Sulawesi Tengah -2.13 -1.07 -0.28 0.31 0.73 1.03 1.23 -0.03 Sulawesi Selatan -2.51 -1.40 -0.58 0.03 0.47 0.77 0.99 -0.32 Sulawesi Tenggara -1.62 -0.46 0.35 0.89 1.25 1.48 1.63 0.50 Nusa Tenggara Barat -1.88 -0.79 -0.05 0.45 0.78 0.99 1.12 0.09 Nusa Tenggara Timur -3.16 -1.88 -0.94 -0.25 0.23 0.57 0.80 -0.66 Maluku -2.43 -0.88 0.16 0.83 1.26 1.52 1.67 0.30 Maluku Utara -2.51 -0.91 0.16 0.86 1.30 1.57 1.72 0.31 Papua -2.34 -1.20 -0.37 0.22 0.63 0.91 1.10 -0.15 Nasional -2.48 -1.31 -0.46 0.13 0.54 0.82 1.01 -0.25

Dalam kajian ini, tingkat inflasi diwakili oleh indeks harga konsumen (consumer

prices index, CPI). Pada tahun 2008-2010 seluruh provinsi mengalami penurunan

pertumbuhan indeks harga konsumen. Pada Tahun berikutnya, pertumbuhan indeks

harga konsumen bervariasi antara provinsi. Secara nasional terlihat bahwa pertumbuhan

indeks harga konsumen tahun 2008-2010 mengalami penurunan sebesar 2.48%, 1.31%

dan 0.46% secara berturut-turut. Sedangkan pada tahun 2011-2014 pertumbuhan indeks

harga konsumen mengalami peningkatan. Rata-rata pertumbuhan indeks harga

konsumen turun sebesar 0.25 persen (Tabel 10).

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-6

Page 101: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

5.4. Simulasi Kebijakan

Skenario alternatif kebijakan yang dilakukan dalam kajian ini adalah ditentukan

secara arbitrary, yaitu (1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.0

persen, 5.5 persen dan 6.0 persen, (2) Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum

(DAU) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen, (3) Simulasi Peningkatan Dana

Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen dan (4) Simulasi

kombinasi peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU)

masing-masing sebesar 5.0 persen, 10 persen dan 15 persen. Dalam kajian ini simulasi

kebijakan yang akan dilakukan adalah periode 2010 – 2014.

5.4.1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional

sebesar 5 persen, berdampak pada kenaikan GDP untuk seluruh provinsi. Kenaikan

GDP yang terkecil adalah provinsi Maluku, yaitu sebesar 3.807, sedangkan

peningkatan GDP terbesar terdapat pada provinsi Jakarta dan Jawa Barat, masing-

masing 7.644 persen dan Kalimantan Timur 6.964 (Tabel 11.). Jika dilihat secara rata-

rata ekonomi nasional menjadi tumbuh sebesar 5.418 persen. Dengan kata lain bahwa

kenaikan GDP sebesar 5 persen, akan memiliki kenaikan atau dampak multiplier

sebesar 0.418 persen

Jika dilihat berdasarkan tingkat inflasi (CPI), dapat dijelaskan bahwa kenaikan

PDRB sebesar 5 persen, menyebabkan kenaikan inflasi antara 0.068 persen sampai

dengan 6.375 persen. Kenaikan inflasi terbesar terjadi pada Benkulu, Jawa Tengah dan

Sumatera Selatan yaitu sebesar 6.375 persen, 5.900 persen dan 5.187 persen secara

berturut-turut. Hal tersebut disebabkan karena wilayah ini, dalam beberapa tahun

terakhir begitu pesat perkembangannya, sehingga bertambahnya PDRB akan semakin

mendorong peningkatan Agregat Demand (AD), antara lain untuk investasi, konsumsi

dan pengeluaran pemerintah. Meningkatnya AD akan mendorong peningkatan harga

barang dan jasa secara umum.

Jika dilihat dari indikator kemiskinan, dapat diketahui bahwa pengaruh dari

kenaikan GDP nasional, secara umum menurunkan jumlah kemiskinan, walaupun ada

beberapa daerah yang kemiskinannya meningkat, yaitu Bengkulu dan Jawa Tengah,

sedangkan provinsi Maluku Utara dan Papua tidak memiliki dampak yang signifikan.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-7

Page 102: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Meningkatnya kemiskianan tersebut disebabkan karena kenaikan rata-rata kenaikan

pertumbuhan ekonomi wilayah umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan

tingkat inflasi itu sendiri yang mencapai 6375 persen, terutama di provinsi Bengkulu

dan Jawa Tengah, hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan biaya hidup yang cukup

besar di Bengkulu dan Jawa Tengah, sehingga jumlah orang miskin meningkat.

Tabel 11. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 4.496 0.443 -0.087 -0.876Sumatera Utara 5.605 0.243 -0.033 -0.374Sumatera Barat 4.728 0.334 -5.762 -0.426Riau 5.427 0.459 -0.298 -0.120Jambi 5.374 0.734 -4.395 -2.810Sumatera Selatan 4.564 5.187 1.463 -0.508Bangka Belitung 5.125 0.108 -0.014 -0.495Bengkulu 5.811 6.375 0.220 -2.282Lampung 5.959 0.280 -0.142 -2.171Jakarta 7.644 0.709 -0.550 -0.052Jawa Barat 6.189 2.668 -0.215 -0.246Banten 5.431 4.354 -3.133 -0.158Jawa Tengah 5.047 5.900 0.138 0.313DI. Yogyakarta 6.567 0.835 -3.930 -0.547Jawa Timur 5.185 3.465 -3.832 0.334Bali 4.833 2.064 3.817 -0.692Kalimantan Barat 5.466 4.010 -5.562 -5.754Kalimantan Tengah 5.758 1.255 -10.750 -1.799Kalimantan Selatan 6.474 4.474 -32.202 -5.991Kalimantan Timur 6.949 0.194 -2.887 -5.123Sulawesi Utara 4.998 0.101 -4.002 -1.111Grontalo 4.696 0.034 -1.283 -1.241Sulawesi Tengah 5.294 1.122 -1.678 -0.064Sulawesi Selatan 5.738 1.060 -1.230 -0.937Sulawesi Tenggara 4.852 0.918 -3.349 -0.114Nusa Tenggara Barat 4.952 0.718 -12.382 0.000Nusa Tenggara Timur 4.364 2.548 -0.503 0.761Maluku 3.807 0.068 -0.023 -0.007Maluku Utara 4.604 0.071 0.000 -0.011Papua 6.613 4.138 0.000 -1.872Nasional 5.418 1.829 -3.087 -1.146

Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum juga memberikan

dampak yang baik terhadap penyerapan tenaga kerja, hal ini terlihat dari menurunnya

jumlah pengangguran di hampir seluruh provinsi. Hanya provinsi Jawa Timur dan

provinsi Nusa Tenggara Timur yang jumlah penganggurannya meningkat, meskipun

relatif kecil.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-8

Page 103: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Meningkatnya pengangguran di provinsi Jawa Timur disebabkan tingkat inflasi

yang lebih lebih tinggi di banding dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi wilayah

tersebut, dimana pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut adalah ebesar 5.689 persen

sedangkan tingkat inflasi yang ada adalah 6.499 persen. Sementara untuk provinsi Nusa

Tenggara Timur lebih disebabkan karena rendahnya tingkat investasi baik swasta

maupun pemerintah, sehingga laju ekonomi yang ada masih belum dapat menurunkan

jumlah pengangguran. Hal yang sama juga akan, jika pertumbuhan ekonomi nasional

meningkat sebesar 5.5 persen dan 6.0 persen tetapi memiliki besaran yang berbeda

(Lihat Tabel 12. dan Tabel 13).

Tabel 12. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 5.5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 4.851 0.475 -0.096 -0.964Sumatera Utara 5.705 0.243 -0.033 -0.411Sumatera Barat 5.084 0.367 -6.344 -0.469Riau 5.834 0.495 -0.324 -0.132Jambi 5.668 0.834 -4.853 -3.091Sumatera Selatan 4.953 5.339 1.609 -0.559Bangka Belitung 5.202 0.145 -0.015 -0.544Bengkulu 6.226 6.452 0.257 -2.510Lampung 6.429 0.315 -0.155 -2.388Jakarta 8.002 0.774 -0.600 -0.057Jawa Barat 6.647 2.920 -0.236 -0.271Banten 5.913 4.801 -3.445 -0.174Jawa Tengah 5.530 6.499 0.151 0.345DI. Yogyakarta 6.735 0.902 -4.323 -0.602Jawa Timur 5.689 3.833 -4.215 0.367Bali 5.020 2.274 4.178 -0.761Kalimantan Barat 5.966 4.417 -6.130 -6.329Kalimantan Tengah 6.258 1.387 -11.810 -1.979Kalimantan Selatan 6.946 4.925 -34.777 -6.590Kalimantan Timur 7.297 0.226 -3.188 -5.635Sulawesi Utara 5.221 0.101 -4.386 -1.222Grontalo 4.766 0.034 -1.415 -1.365Sulawesi Tengah 5.792 1.246 -1.844 -0.070Sulawesi Selatan 6.210 1.133 -1.353 -1.031Sulawesi Tenggara 5.293 1.029 -3.688 -0.125Nusa Tenggara Barat 5.296 0.815 -13.620 0.000Nusa Tenggara Timur 4.622 2.799 -0.557 0.837Maluku 3.906 0.068 -0.023 -0.007Maluku Utara 4.621 0.071 0.000 -0.012Papua 7.221 4.138 0.000 -2.060Nasional 5.763 1.969 -3.374 -1.260

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-9

Page 104: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 13. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 6 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 5.207 0.538 -0.104 -1.052Sumatera Utara 5.805 0.278 -0.037 -0.448Sumatera Barat 5.440 0.401 -6.907 -0.511Riau 6.248 0.530 -0.350 -0.143Jambi 5.963 0.901 -5.284 -3.372Sumatera Selatan 5.342 5.454 1.755 -0.610Bangka Belitung 5.278 0.145 -0.016 -0.594Bengkulu 6.642 6.490 0.257 -2.738Lampung 6.898 0.350 -0.167 -2.605Jakarta 8.360 0.870 -0.650 -0.062Jawa Barat 7.102 3.208 -0.258 -0.296Banten 6.395 5.247 -3.757 -0.190Jawa Tengah 6.008 7.097 0.165 0.376DI. Yogyakarta 6.903 1.002 -4.717 -0.656Jawa Timur 6.194 4.165 -4.598 0.401Bali 5.208 2.483 4.580 -0.831Kalimantan Barat 6.465 4.791 -6.669 -6.905Kalimantan Tengah 6.758 1.519 -12.871 -2.159Kalimantan Selatan 7.419 5.376 -37.352 -7.189Kalimantan Timur 7.652 0.226 -3.489 -6.147Sulawesi Utara 5.443 0.135 -4.825 -1.333Grontalo 4.836 0.034 -1.547 -1.489Sulawesi Tengah 6.289 1.340 -2.033 -0.076Sulawesi Selatan 6.683 1.243 -1.475 -1.124Sulawesi Tenggara 5.735 1.113 -3.985 -0.137Nusa Tenggara Barat 5.641 0.881 -14.858 0.000Nusa Tenggara Timur 4.880 3.050 -0.610 0.913Maluku 4.004 0.068 -0.023 -0.008Maluku Utara 4.639 0.071 0.000 -0.014Papua 7.828 4.138 0.000 -2.247Nasional 6.109 2.105 -3.661 -1.375

Secara nasional terlihat bahwa perningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 5

persen, 5.5 persen dan 6.0 persen akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan

ekonomi disetiap provinsi, dan secara nasional juga terlihat bahwa tingkat iflasi akan

meningkat, namun demikian dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut akan dapat

mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Jelas bahwa untuk

menurunkan kemiskinan dan pengangguran masih diperlukan tingkat pertumbuhan

ekonomi lebih besar yang didapat didorong dari kenaikan investasi baik dari pemerintah

ataupun swasta. Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum memberikan

dampak yang signifikan bagi perubahan jumlah pertumbuhan wilayah, kemiskinan, dan

tingkat pengangguran.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-10

Page 105: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

5.4.2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum

Kenaikan dana alokasi umum (DAU) sebesar 5 persen, secara umum berdampak

pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah kecuali di beberapa provinsi di

Indonesia seperti di daerah provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta

dan beberapa di pulau Kalimantan. Kenaikan GDP tersebut akan mendorong naiknya

tingkat inflasi yang digambarkan oleh meningkatnya Indeks harga konsumen.

Peningkatan GDP tersebut juga diikuti oleh menurunkan jumlah penduduk miskin dan

tingkat pengangguran, meskipun di beberapa daerah menunjukkan variasi yang berbeda

(Tabel 14).

Tabel 14. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 5 Persen, terhadap

Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.00 -0.009 -0.024Sumatera Utara 2.836 0.63 -0.084 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.00 -0.053 -0.004Riau 0.743 0.07 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.03 -0.216 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.81 -3.388 0.000Bangka Belitung 0.004 0.00 0.000 -0.002Bengkulu 0.037 5.76 0.000 -0.020Lampung 0.252 0.00 -0.006 -0.117Jakarta 0.049 0.00 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.00 -0.731 -0.840Banten 0.000 0.00 -4.646 0.000Jawa Tengah 0.116 0.13 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.000 -1.07 -0.500 -3.063Jawa Timur 0.025 0.00 -0.019 0.002Bali 0.000 0.00 -4.098 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.00 -11.962 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.00 -0.495 0.000Kalimantan Selatan 0.004 0.00 -6.454 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.00 -0.050 -0.077Sulawesi Utara 0.000 0.00 -2.467 0.000Grontalo 0.438 0.03 -0.790 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.03 -0.024 -0.001Sulawesi Selatan 0.080 0.00 -4.652 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.03 -0.170 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.10 -2.109 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.11 -0.023 0.026Maluku 0.031 0.00 0.000 0.000Maluku Utara 0.179 0.07 0.000 -0.011Papua 0.372 4.14 0.000 -0.924Nasional 0.214 0.462 -1.434 -0.235

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-11

Page 106: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dengan jumlah sebesar 10 dan 15 persen

dari rata-rata sebelumnya, juga memberikan dampak yang hampir sama namun dengan

nilai besaran yang berbeda (lihat Tabel 15 dan Tabel 16).

Tabel 15. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 10 Persen, terhadap

Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.193 0.032 -0.009 -0.048Sumatera Utara 5.680 1.251 -0.168 -2.083Sumatera Barat 0.070 0.000 -0.123 -0.008Riau 1.486 0.177 -0.117 -0.043Jambi 0.293 0.067 -0.431 -0.280Sumatera Selatan 0.000 3.814 -6.775 0.000Bangka Belitung 0.008 0.000 0.000 -0.005Bengkulu 0.074 5.799 0.000 -0.040Lampung 0.503 0.035 -0.012 -0.233Jakarta 0.096 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -1.462 -1.680Banten 0.000 0.000 -9.292 0.000Jawa Tengah 0.232 0.299 0.006 0.015DI. Yogyakarta 0.000 -2.170 -1.000 -6.125Jawa Timur 0.051 0.037 -0.038 0.003Bali 0.000 0.000 -8.196 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.000 -23.923 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.000 -0.990 0.000Kalimantan Selatan 0.008 0.000 -6.454 -0.010Kalimantan Timur 0.107 0.000 -0.075 -0.154Sulawesi Utara 0.000 0.000 -4.989 0.000Grontalo 0.876 0.034 -1.612 -1.553Sulawesi Tengah 0.130 0.031 -0.047 -0.002Sulawesi Selatan 0.161 0.037 -9.304 -0.032Sulawesi Tenggara 0.374 0.083 -0.297 -0.010Nusa Tenggara Barat 1.172 0.228 -4.217 0.000Nusa Tenggara Timut 0.180 0.179 -0.038 0.053Maluku 0.062 0.000 0.000 -0.001Maluku Utara 0.358 0.141 0.000 -0.023Papua 0.743 4.138 0.000 -1.848Nasional 0.429 0.474 -2.652 -0.470

Secara Nasional dapat disebutkan bahwa kenaikan dana alokasi umum sebesar

10 persen, akan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional,

yaitu meningkat sebesar 0.429 persen, yang diikuti dengan penurunan tingkat

kemiskinan dan pengangguran masing-masing sebesar 2.652 persen dan 0.470 persen.

Terlihat bahwa DAU lebih efektif menurunkan tingkat kemiskinan nasional.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-12

Page 107: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 16. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 15 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.290 0.032 -0.009 -0.071Sumatera Utara 8.524 1.876 -0.252 -3.124Sumatera Barat 0.105 0.033 -0.176 -0.013Riau 2.238 0.247 -0.168 -0.065Jambi 0.439 0.100 -0.647 -0.419Sumatera Selatan 0.000 3.814 -10.163 0.000Bangka Belitung 0.011 0.000 0.000 -0.007Bengkulu 0.111 5.799 0.000 -0.061Lampung 0.755 0.035 -0.019 -0.349Jakarta 0.146 0.032 -0.025 -0.002Jawa Barat 0.000 0.036 -2.191 -2.520Banten 0.000 0.000 -13.932 0.000Jawa Tengah 0.353 0.428 0.009 0.023DI. Yogyakarta 0.000 -3.239 -1.501 -9.188Jawa Timur 0.076 0.037 -0.057 0.005Bali 0.000 0.000 -12.254 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.000 -35.855 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.000 -1.485 0.000Kalimantan Selatan 0.011 0.000 -6.534 -0.015Kalimantan Timur 0.161 0.000 -0.126 -0.231Sulawesi Utara 0.000 0.000 -7.456 0.000Grontalo 1.314 0.068 -2.435 -2.329Sulawesi Tengah 0.195 0.062 -0.071 -0.003Sulawesi Selatan 0.241 0.037 -13.957 -0.048Sulawesi Tenggara 0.561 0.111 -0.424 -0.015Nusa Tenggara Barat 1.758 0.359 -6.317 0.000Nusa Tenggara Timut 0.270 0.287 -0.053 0.079Maluku 0.092 0.000 0.000 -0.001Maluku Utara 0.537 0.176 0.093 -0.034Papua 1.115 4.138 0.000 -2.772Nasional 0.643 0.482 -3.867 -0.705

Hanya beberapa wilayah yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU tidak

memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya, yaitu

seperti provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan beberapa di

pulau Kalimantan, namun demikian memberikan pengaruh positif bagi penurunan

kemiskinan. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU akan

memberikan pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan

oleh perubahan indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, kemiskinan,

pengangguran dan tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan. Dengan kata

lain bahwa DAU dapat lebih menurunkan tinkat kemiskinan dibandingkan dengan

kanaikan GDP sendiri.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-13

Page 108: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

5.4.3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus

Kenaikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5 persen, secara umum juga

berdampak lebih besar menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kenaikan GDP

masing-masing wilayah. Pertumbuhan ekonomi wilayah di beberapa provinsi tikda

memiliki pengaruh dan kenaikan GDP itu sendiri relatif kecil. Pulau sumatera dan

kalimantan umumnya tidak memiliki pengaruh terhadap kenaikan GDP. Dengan kata

lain bahwa kenaikan DAK sebesar 5 persen memiliki pengaruh langsung dalam

menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kanaikan dalam GDP. (Tabel 17). Tabel 17. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 5 Persen, terhadap

Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -1.538 0.000Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.065 0.000Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.159 0.000Riau 0.000 0.000 0.000 0.000Jambi 0.000 0.000 -0.243 0.000Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.152 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -0.447 0.000Bengkulu 0.000 5.760 -0.037 0.000Lampung 0.000 0.000 -0.117 0.000Jakarta 0.000 0.000 0.000 0.000Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 0.000Banten 0.052 0.037 -0.033 -0.002Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.000DI. Yogyakarta 0.016 0.033 -0.048 -0.004Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.000Bali 0.014 0.035 0.000 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -0.030 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 0.000 -0.005Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -14.343 0.000Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.050 0.000Sulawesi Utara 0.021 0.000 0.000 -0.011Grontalo 0.000 0.000 -0.066 0.000Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.142 -0.005Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -0.356 0.000Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.170 0.000Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -0.551 0.000Nusa Tenggara Timur 0.000 0.000 -0.069 0.000Maluku 0.000 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -0.833 -1.575Papua 0.000 4.138 -0.827 0.000Nasional 0.004 0.461 -0.677 -0.054

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-14

Page 109: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Secara nasional dapat diketahui bahwa kenaikan dana alokasi khusus (DAK)

sebesar 5 persen akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.004 persen,

perbaikan ekonomi ini akan menuju pada penurunan tingkat kemiskinan dan

pengangguran. Kenaikan DAK dengan jumlah sebesar 10 dan 15 persen, juga

memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAK sebesar 5 persen tetapi dengan nilai

besaran yang berbeda di setiap kenaikannya (lihat Tabel 18 dan Tabel 19). Lebih jauh

dapat disebutkan bahwa DAK lebih berperan dalam menurunkan kemiskinan di setiap

wilayah.

Tabel 18. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 10 Persen, terhadap

Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -3.076 0.000Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.126 0.000Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.317 0.000Riau 0.000 0.000 0.000 0.000Jambi 0.000 0.000 -0.512 0.000Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.303 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -0.894 0.000Bengkulu 0.000 5.760 -0.073 0.000Lampung 0.000 0.000 -0.235 0.000Jakarta 0.000 0.000 0.000 0.000Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 0.000Banten 0.103 0.074 -0.066 -0.003Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.000DI. Yogyakarta 0.032 0.033 -0.095 -0.010Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.000Bali 0.028 0.035 0.040 -0.011Kalimantan Barat 0.013 0.000 -0.030 -0.014Kalimantan Tengah 0.029 0.000 -0.071 -0.011Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -22.310 0.000Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.075 0.000Sulawesi Utara 0.041 0.000 -0.055 -0.021Grontalo 0.000 0.000 -0.132 0.000Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.260 -0.010Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -0.711 0.000Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.339 0.000Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -1.093 0.000Nusa Tenggara Timur 0.000 0.000 -0.145 0.000Maluku 0.000 0.000 -0.093 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -1.667 -3.149Papua 0.000 4.138 -1.654 0.000Nasional 0.008 0.462 -1.143 -0.108

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-15

Page 110: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Tabel 19. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 15 Persen, terhadap

Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah

Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -4.605 -0.024Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.191 -1.041Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.476 -0.004Riau 0.000 0.000 0.000 -0.021Jambi 0.000 0.000 -0.755 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.461 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -1.341 -0.002Bengkulu 0.000 5.760 -0.073 -0.020Lampung 0.000 0.000 -0.346 -0.117Jakarta 0.000 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 -0.840Banten 0.155 0.112 -0.100 -0.002Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.008DI. Yogyakarta 0.047 0.033 -0.143 -3.068Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.002Bali 0.043 0.070 0.080 -0.006Kalimantan Barat 0.019 0.000 -0.030 -0.008Kalimantan Tengah 0.044 0.033 -0.071 -0.005Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -30.240 -0.005Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.126 -0.077Sulawesi Utara 0.062 0.000 -0.110 -0.011Grontalo 0.000 0.000 -0.197 -0.776Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.402 -0.006Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -1.067 -0.016Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.509 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -1.644 0.000Nusa Tenggara Timut 0.000 0.000 -0.214 0.026Maluku 0.000 0.000 -0.116 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -0.833 -1.586Papua 0.000 4.138 -0.827 -0.924Nasional 0.012 0.465 -1.493 -0.289

Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAK akan

memberikan pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan

oleh perubahan indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, kemiskinan,

pengangguran dan tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan. Peningkatan

DAK sebesar 15 persen secara nasional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi

sebesar 0.012 persen dengan tingkat inflasi sebesar 0.465 persen. Sedangkan tingkat

kemiskinan dan pengangguran menurun masing-masing sebesar 1.493 dan 0.289 persen.

Dengan kata lain bahwa DAK masih memberikan konstribusi positif bagi perekonomian

daerah.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-16

Page 111: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

5.4.4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5

persen berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah untuk setiap

provinsi. Peningkatan DAK dan DAU sebesar 5 persen secara statistik tidak signifkan.

Kenaikan tertinggi terletak pada provinsi Sumatera Utara, Riau dan Grontalo. Secara

nasional terlihat bahwa dampak kenaikan DAU dan DAK akan memberikan pengaruh

positif bagi kinerja perekonomian yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi

yang mengalami peningkatan sebesar 0.128 persen (Tabel 20). Tabel 20. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.000 -1.538 -0.004Sumatera Utara 2.836 0.625 -0.149 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.000 -0.211 -0.004Riau 0.743 0.071 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.033 -0.458 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.814 -3.539 0.000Bangka Belitung 0.004 0.000 -0.447 -0.002Bengkulu 0.037 5.760 -0.037 -0.020Lampung 0.252 0.000 -0.124 -0.117Jakarta 0.049 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -0.731 -0.840Banten 0.052 0.037 -4.679 -0.002Jawa Tengah 0.116 0.128 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.016 -1.068 -0.548 -3.068Jawa Timur 0.025 0.000 -0.019 0.002Bali 0.014 0.035 -4.058 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -11.962 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 -0.495 -0.005Kalimantan Selatan 0.004 0.000 -14.422 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.000 -0.075 -0.077Sulawesi Utara 0.021 0.000 -2.522 -0.011Grontalo 0.438 0.034 -0.888 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.031 -0.165 -0.006Sulawesi Selatan 0.080 0.000 -5.008 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.028 -0.339 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.098 -2.650 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.108 -0.092 0.026Maluku 0.031 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.179 0.071 -0.833 -1.586Papua 0.372 4.138 -0.827 -0.924Nasional 0.218 0.465 -1.898 -0.288

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-17

Page 112: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Kenaikan pertumbuhan tersebut, akan berdampak pada penurunan kemiskinan

sebesar 1.898 persen dan tingkat pengangguran menurun sebesar 0.288 persen. Namun

demikian tingkat inflasi juga mengalami kenaikan tetapi masih dalam batas yang wajar

yaitu sebesar 0.465 persen.

Kenaikan DAU dan DAK di setiap provinsi dengan jumlah sebesar 10 persen

dan 15 persen, juga memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAU dan DAK

sebesar 5 persen, tetapi dengan jumlah besaran yang berbeda di setiap kenaikannya

(lihat Tabel 21 dan Tabel 22). Tabel 21. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

Sebesar 10 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.193 0.032 -3.076 -0.048Sumatera Utara 5.680 1.251 -0.294 -2.083Sumatera Barat 0.070 0.000 -0.441 -0.008Riau 1.486 0.177 -0.117 -0.043Jambi 0.293 0.067 -0.944 -0.280Sumatera Selatan 0.000 3.814 -7.084 0.000Bangka Belitung 0.008 0.000 -0.894 -0.005Bengkulu 0.074 5.799 -0.037 -0.040Lampung 0.503 0.035 -0.247 -0.233Jakarta 0.096 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -1.462 -1.680Banten 0.103 0.074 -9.359 -0.003Jawa Tengah 0.232 0.299 0.006 0.015DI. Yogyakarta 0.032 -2.137 -1.096 -6.136Jawa Timur 0.051 0.037 -0.038 0.003Bali 0.028 0.035 -8.116 -0.011Kalimantan Barat 0.013 0.000 -23.923 -0.014Kalimantan Tengah 0.029 0.000 -1.061 -0.011Kalimantan Selatan 0.008 0.000 -22.352 -0.010Kalimantan Timur 0.107 0.000 -0.176 -0.154Sulawesi Utara 0.041 0.000 -5.044 -0.021Grontalo 0.876 0.034 -1.777 -1.553Sulawesi Tengah 0.130 0.031 -0.307 -0.011Sulawesi Selatan 0.161 0.037 -10.016 -0.032Sulawesi Tenggara 0.374 0.083 -0.636 -0.010Nusa Tenggara Barat 1.172 0.228 -5.311 0.000Nusa Tenggara Timur 0.180 0.179 -0.175 0.053Maluku 0.062 0.000 -0.093 -0.001Maluku Utara 0.358 0.141 -1.667 -3.172Papua 0.743 4.138 -1.654 -1.848Nasional 0.437 0.478 -3.580 -0.578

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-18

Page 113: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-19

Hanya terdapat beberapa provinsi yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU

dan DAK tidak memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan

ekonominya, yaitu seperti provinsi Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Secara

keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU dan DAK akan memberikan

pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan oleh

peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, penurunan tingkat kemiskinan

dan tingkat pengangguran. Dapat disimpulkan bahwa instrument kebijakan DAK dan

DAU lebih berpengaruh langsung pada perubahan tingkat kemiskinan, dibandingkan

dengan tingkat perubahan dalam GDP.

Tabel 22. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

Sebesar 15 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp

Nanggro Aceh Darusalam 0.290 0.032 -4.614 -0.071Sumatera Utara 8.524 1.876 -0.444 -3.124Sumatera Barat 0.105 0.033 -0.652 -0.013Riau 2.238 0.247 -0.168 -0.065Jambi 0.439 0.100 -1.429 -0.419Sumatera Selatan 0.000 3.814 -10.623 0.000Bangka Belitung 0.011 0.000 -1.341 -0.007Bengkulu 0.111 5.799 -0.073 -0.061Lampung 0.755 0.035 -0.371 -0.349Jakarta 0.146 0.032 -0.025 -0.002Jawa Barat 0.000 0.036 -2.191 -2.520Banten 0.155 0.112 -14.038 -0.005Jawa Tengah 0.353 0.428 0.009 0.023DI. Yogyakarta 0.047 -3.205 -1.644 -9.203Jawa Timur 0.076 0.037 -0.057 0.005Bali 0.043 0.070 -12.174 -0.016Kalimantan Barat 0.019 0.000 -35.885 -0.022Kalimantan Tengah 0.044 0.033 -1.627 -0.016Kalimantan Selatan 0.011 0.000 -30.302 -0.015Kalimantan Timur 0.161 0.000 -0.251 -0.231Sulawesi Utara 0.062 0.000 -7.566 -0.031Grontalo 1.314 0.068 -2.665 -2.329Sulawesi Tengah 0.195 0.062 -0.449 -0.017Sulawesi Selatan 0.241 0.037 -15.024 -0.048Sulawesi Tenggara 0.561 0.111 -0.933 -0.015Nusa Tenggara Barat 1.758 0.359 -7.961 0.000Nusa Tenggara Timut 0.270 0.287 -0.267 0.079Maluku 0.092 0.000 -0.116 -0.001Maluku Utara 0.537 0.176 -2.500 -4.758Papua 1.115 4.138 -2.491 -2.772Nasional 0.656 0.491 -5.262 -0.867

Page 114: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

BAB

VI

KESIMPULAN DAN

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Berdasarkan hasil konstruksi model dan pembahasan yang telah diuraikan

sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan dan implikasi kebijakan yang terkait

dengan model keterkaitan regional ini. Kesimpulan akan dibagi dalam dua bagian yaitu

kesimpulan hasil dugaan model dan kesimpulan untuk simulasi model.

6.1. Kesimpulan

1. PDRB sektoral dipengaruhi dipengaruhi secara nyata oleh tenaga kerja sektoral,

sedangkan investasi baik swasta maupun pemerintah memberikan respon positif

tetapi tidak dapat dijadikan sebagai faktor utama dalam meningkatkan

pertumbuhan PDRB setkoral.

2. Investasi swasta sektoral di setiap provinsi tidak signifikan dan responnya juga

inelastis terhadap perubahan suku bunga, sebaliknya terahadap PDRB sektoral. Ini

mengindikasikan bahwa perilaku investasi swasta di setiap sektor, nilainya

ditentukan oleh besarnya peluang tingkat pengembalian investasi itu sendiri,

dalam hal ini adalah tingkat pendapatan yang diwakil oleh PDRB sektoral.

3. Investasi pemerintah sektoral juga lebih dipengaruhi oleh tingkat pendapatan

setkoral atau PDRB sektoral dibandingkan dengan tingkat suku bunga di masing-

masing provinsi.

4. Permintaan tenaga kerja di setiap sektor untuk seluruh provinsi berhubungan

negatif terhadap upah sektoral, tetapi responnya adalah inelastis. Di hampir

seluruh provinsi permintaan tenaga kerja lebih dipengaruhi oleh PDRB di masing-

masing sektor. Sedangkan pengaruh expor bersih provinsi relatif tidak

memberikan dampak yang besar dalam hal penyerapan tenaga kerja.

5. Upah tenaga kerja sektoral tidak memiliki integrasi yang kuat dengan upah

minimum regional yang ditentukan oleh masing-masing provinsi. Artinya bahwa

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-1

Page 115: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

penetapan upah lewat instrument upah minimum regional adalah tidak efektif

dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan atau balasa jasa yang diterima oleh

pekerja. Migrasi bersih yang lebih besar menyebabkan tingkat upah tenaga kerja

sektoral menurun, tetapi responnya upah sektoral terahadap perubahan migrasi

bersih adalah inelastis.

6. Tingkat inflasi yang ada di provinsi secara umum dipengaruhi oleh pertumbuhan

ekonomi provinsi itu sendiri dan tingkat upah rata-rara provinsi, tetapi responnya

inelastis, dengan kata lain, inflasi merupakan sesuatu hal yang melekat (inherent)

di dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri.

7. Pengangguran berkorelasi postif dengan inflasi di seluruh provinsi. Inflasi dan

pengangguran adalah trade off. Tidak adanya inflasi maupun kelebihan

pengangguran adalah harapan dari para pelaku ekonomi. Tetapi gangguan dalam

perekonomian memang nyata terjadi, dan tanpa adanya fleksibilitas harga yang

sempurna, tidak mungkin memulihkan kondisi tenaga kerja penuh (full

employment) dengan tingkat harga yang stabil dalam jangka pendek

8. Faktor utama yang paling berpengaruh terhadap jumlah orang miskin di setiap

provinsi adalah jumlah pengangguran. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi

meskipun dapat menurunkan kemiskinan tetapi responnya adalah inelastis, dengan

kata lain trickel down effect yang diharapkan dari pelaku ekonomi secara umum

tidak berlaku di setiap provinsi.

9. Arus migarasi penduduk relatif lebih ditentukan oleh faktor beaten path

dibandingkan dengan faktor upah dan kinerja perekonomian daerah yang akan

dikunjungi oleh para migran.

10. Kerjasama perdagangan antara region selain disebabkan karena karakteristik lokal

daerah, juga sangat ditentukan oleh demografi wilayah tersebut. Dalam arti bahwa,

jika secara demografi region tersebut berdekatan maka volume perdagangan

mereka akan semakin besar.

11. Pertumbuhan ekonomi nasional secara umum memberikan dampak yang baik bagi

seluruh provinsi, yaitu peningkatan kesempatan kerja, mengurangi jumlah

penduduk miskin. Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu

tinggi, dibanding dengan wilayah lain, namun, net migrasi ke region lain masih

positif yang menunjukkan adanya indikasi beaten path dan adanya perbedaan

tingkat upah yang lebih tinggi.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-2

Page 116: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

12. Dana alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus memiliki peranan penting dan

berpengaruh positif bagi perkembangan perekonomian di setiap provinsi. Hal ini

ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, tingkat inflasi yang

stabil, penurunan tingkat kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran.

6.2. Implikasi Kebijakan

Terpusatnya pendapatan dan kesempatan kerja ke pulau Jawa merupakan

hambatan terbesar bagi upaya pemerataan ekonomi antarpulau di Indonesia. Untuk

mengurangi atau meminimumkan fenomena sangat diperlukan kebijakan pemerintah

dengan menciptakan iklim investasi yang lebih baik di luar pulau jawa seperti di

Kawasan Timur Indonesia pada umumnya.

Peningkatan jumlah penduduk melalui arus migrasi di hampir seluruh provinsi

memiliki dampak yang berbeda antara provinsi, tetapi umumnya migrasi penduduk ini

berdampak pada peningkatan jumlah angkatan tenaga kerja di provinsi lain dan hal ini

akan mendorong pada peningkatan pengangguran dan penurunan tingkat upah di

wilayah tersebut. Untuk mengurangi arus net migrasi ini disarankan kepada pemerintah

setempat untuk melakukan intervensi melalui pemberlakukan upah minimum provinsi

yang layak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup minimum provinsi.

Untuk menunjang pertumbuhan industri ke wilayah yang terbelakang terutama

di kawasan timur dan mendapat respon yang positif bagi investor, disarankan kepada

pemerintah untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur fisik yang mendukung

kegiatan industri. Infrastruktur fisik yang penting diantaranya adalah sarana transportasi

dan komunikasi dan juga diperlukan intervensi pemerintah setempat untuk memberikan

berbagai macam insentif yang meringankan investor yang memilih lokasi usahanya di

kawasan timur.

Untuk mendorong peningkatan ekspor untuk barang dan jasa yang menjadi

unggulan, perlu dilakukan intervensi pemerintah daerah. Disarankan pemerintah daerah

berupaya dengan cara memberikan insentif untuk berproduksi bagi para eksportir,

seperti kemudahan dalam pengurusan administasi dan penurunan pajak. Selain itu

pemerintah juga berusaha memfasilitasi peningkatan produksi bagi usaha mikro kecil

dan menengah yang berorientasi ekspor. Implikasi dari kebijakan yang mendorong

ekspor tersebut diharapkan net ekspor akan naik, dimana permintaan terhadap tenaga

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-3

Page 117: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-4

kerja juga akan meningkat. Adanya peningkatan permintaan tenaga kerja tentunya akan

mengurangi jumlah pengangguran dan diharapkan jumlah kemiskinan akan menurun.

Selain itu, dengan peningkatan net ekspor dapat mendorong permintaan tenaga kerja

meningkat yang selanjutnya juga meningkatkan PDRB.

6.3. Saran Penelitian Lanjutan

Alasan untuk membagun model ini adalah untuk melihat keterkaitan antara

provinsi, namun demikian, karena keterbatasan data, maka semua aspek yang

merupakan keterkaitan regional tersebut tidak termasuk di dalamnya. Agar model

keterkaitan regional ini menjadi lebih baik dalam arti relatif mendekati fenomena dunia

nyata, maka sebaiknya ekspor dan impor didisagregasi berdasarkan sektor antara

provinsi. Sama halnya dengan arus migrasi, sebaiknya didisagreasi berdasarkan asal dan

daerah tujuan, dan bila perlu dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dan status

sosial.

Page 118: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

D A F T A R P U S T A K A

Blair, J. P. 1991. Urban and Regional Economics. Richard D. Irwin, Inc. Homewood, IL. Boston.

Colter, J.M. 1984. Ciri-ciri dan Pola Tenaga Kerja Migran dari Daerah Perdesaan. Rural Dynamic Series No. 24. Studi Dinamika Perdesaan. Yayasan Penelitian Survey AgroEkonomi, Bogor.

Erwidodo. 1991. Urbanisasi Temporer di Jawa Barat. Monograph Series No. 4, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Dalam Monograf Dinamika Keterkaitan Desa-Kota di Jawa Barat. Arus Tenaga Kerja, Barang dan Kapital. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

Gunawan, M. dan A. Zulham. 1992. Dampak Migrasi Desa Kota Terhadap Sosial Ekonomi Perdesaan (Kasus Migrasi di Perdesaan Jawa Barat). Monograf Series No.4, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

Hidayat, T. 1991. The Construction of Two Region Social Accounting Matrix for Indonesia and Its Application to Some Equity Issues. Ph.D Dissertation. Department of Economics, Cornell University, Ithaca.

Intriligator, M. D. 1978. Econometric Model, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc, New Jersey.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometic Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London

Levy, M.B. dan W.J. Wadycki. 1974. Education and The Decision to Migrate : An Econometric Analysis of Migration in Venezuela. Econometric Jurnal, 42 (2) : 377-388.

McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press. New York.

Mintchell. 1961. The Cause of Labour Migration in Migrant. Dalam I.B. Mantra dan M. Molo. 1985. Konferensi Nasional Pusat Studi Kependudukan III, Jakarta.

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional 1

Page 119: perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... · LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES,

Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional 2

Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York.

Pyatt, G. and J.I. Round. 1985. Regional Account in a SAM Framework. The World Bank, Washington D.C.

Richardson, H.W. 1969. Regional Economics. Praeger Publisher, New York.

Rofiqoh. 1994. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi dan Produktivitas Pekerja di Kalimantan Timur. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Romer, D. 1996. Advanced Macroeconomics. McGraw Hill Companies, Inc. Berkeley, USA.

Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syafa’at, N., C. Saleh dan A.S. Bagi. 1998. Dampak Mobilitas Angkatan Kerja Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Dalam Otonomi Daerah, Bogor, 16-17 November 1998, Bogor.

Tirtosudarmo, R. 1985. Migration Decision Making. The Casae of East Java. National Institut of Economic and Social Research, Jakarta.

Todaro, M. P. 2000. Economic Development. Pearson Education Limited, New York.

Tumenggung, Y.A. 1995. An Interregional Computable General Equilibrium Model for Indonesia: Measuring the Regional Economic Consequences of National Tax Policy. Ph.D Dissertation. Regional Science Program, Cornell University, Ithaca.

Wuryanto, L.E. 1996. Fiscal Decentralitation and Economic Performance In Indonesia : An Interregional Computable General Ekuilibrium Approach. Ph.D. Dissertation. Faculty of Graduate School, Cornell University, Ithaca.

Wie, T.K. 1981. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan: Beberapa Pendekatan Alternatif. LP3ES, Jakarta.