perpustakaan.bappenas.go.idperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/135546... ·...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL
PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES, MA
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D
TIM PENYUSUN Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D
Awan Setiawan, SE, MM, ME Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP
Supriyadi, S.Si, MTP Rudi Alfian, SE
Septaliana Dewi Prananingtyas, SE Anang Budi Gunawan, SE
TIM AHLI
Rasidin KK S.Sp, M.Si Zulkifli, M.Sc
Tidar H, SP, M.Si Ir. Surya A. S, M.Si
Theresia Rachmalia G Ardani, SP
Ir. Almasril Sembiring
TIM PENDUKUNG Anna Astuti, SE
Eni Arni Sapto Mulyono Tri Supriyana, ST
Setya Rusdianto, S.Si Selenia Ediyani P., ST
Vini Irawati, ST
Komentar, saran dan kritik dapat disampaikan ke :
Direktorat Pengembangan Wilayah
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat 10310
Telp/Fax. (021) 3193 4195
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir yang
berjudul ”Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan
Model Ekonometrik-Multiregional”.
Laporan akhir ini terdiri dari tujuh bab. Empat Bab pertama tentang
justifikasi penelitian yang mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, kerangka
pemikiran. Dua Bab berikutnya tentang perumusan model keterkaitan regional dan
prosedur analisis, keragaan umum model keterkaitan regional. sementara bab
terakhir berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan.
Sebagai suatu proses tentu kegiatan ini masih perlu masukan dari berbagai
pihak yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan model.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
kebijakan ekonomi regional di Indonesia dan menjadi motivator model-model
ekonomi regional selanjutnya.
Atas kerjasama dan kepercayaan Direktorat Pengembangan Wilayah, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional dalam penyelesaian penelitian ini, kami
mengucapkan terimakasih.
Jakarta, Desember 2008
Direktur Pengembangan Wilayah
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional i
EXECUTIVE SUMMARY
ABSRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membangun model keterkaitan regional dan menganalisis pola dampak dari keterkaitan regional dengan melakukan berbagai simulasi kebijakan seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Menggunakan data series tahun 1975-2007. Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan pendekatan model ekonometrik persamaan simultan melalui metode estimasi two stages least squares. Hasil estimasi menunjukkan bahwa arus migarasi penduduk relatif lebih ditentukan oleh faktor beaten path dibandingkan dengan faktor upah dan pendapatan daerah yang akan dikunjungi oleh para migran. Kerjasama perdagangan antara region selain disebabkan karena karakteristik lokal daerah, juga sangat ditentukan oleh demografi wilayah, jika secara demografi region tersebut berdekatan maka volume perdagangan mereka akan semakin besar. Simulasi target pertumbuhan ekonomi nasional, peningkatan DAU dan DAK memberikan dampak positif untuk seluruh provinsi, yaitu peningkatan kesempatan kerja dan berkurangnya jumlah penduduk miskin. Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu tinggi, dibanding dengan wilayah lain, namun, net migrasi ke region lain masih positif yang menunjukkan adanya indikasi beaten path dan adanya perbedaan tingkat upah yang lebih tinggi. 1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai keberagaman, baik dalam sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kesatuan dalam keberagaman tersebut adalah hal yang sangat penting untuk diimplementasikan di Indonesia. Menurut Geertz, “Indonesia akan makmur jika dapat menerima dan memanfaatkan keberagamannya dan sebaliknya akan terpecah-pecah jika mencoba untuk menghilangkan keberagaman tersebut” (Hill, 1996).
Indonesia perlu menjalankan kebijakan yang akan mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan selain memerlukan intervensi kebijakan yang berpihak pada kearifan lokal yang berbasis kewilayahan, juga memerlukan strategi pembangunan yang bersifat lintas wilayah dan lintas sektor.
Strategi ini diperlukan agar wilayah tersebut dapat berkembang mencapai tingkat yang diinginkan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya alam secara harmonis dengan pendekatan komprehensif yang memperhatikian kesembangan fisik, ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu tujuan pokok pembangunan adalah menciptakan keseluruhan pola pertumbuhan pendapatan yang diinginkan dengan penekanan khusus pada akselerasi pertumbuhan dan pendapatan golongan miskin. Sehingga konsep penerapan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi semata tanpa diiringi dengan penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bukanlah merupakan konsep yang tepat. Meskipun analisis ekonomi umumnya tidak menyinggung hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teori mengisyaratkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan sesuatu yang harus dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat.
2
Orieantasi kebijakan pembangunan sebelumnya dianggap identik dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat regional maupun nasional tanpa memperhatikan distribusi pendapatan dapat menyebabkan kemiskinan semakin melebar. Disamping hal tersebut kebijakan pembangunan juga masih bersifat parsial dan terlalu menekankan kepada akumulasi dari kapital fisik (man-made capital), tanpa memperhatikan keterkaitan dengan natural capital, human capital, social capital. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang menguras sumberdaya alam tanpa diimbangi dengan akumulasi kapital dan investasi dalam pemeliharaannya akan berdampak terhadap rusaknya kelestarian (sustainability) dari sumber-sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Penyusutan dan degradasi dari sumberdaya tersebut juga telah memperparah terjadinya ketidakseimbangan (unbalance growths) pembangunan antar wilayah (provinsi, kabupaten/kota, wilayah perdesaan-perkotaan) dan kelompok–kelompok dalam masyarakat, bahkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok tersebut pada akhirnya akan mengarah pada melebarnya tingkat kemiskinan.
Disamping itu, persoalan-persoalan penting lainnya di daerah yang selama ini kita hadapi antara lain: daya saing daerah dan keterkaitan ekonomi antardaerah yang rendah, kegiatan ekonomi yang masih terkonsentrasi pada beberapa daerah dan sektor tertentu saja, belum termanfaatkannya secara optimal potensi sumber daya wilayah, produktivitas wilayah yang rendah, Masih banyaknya wilayah-wilayah miskin seperti perbatasan, pesisir, dan kawasan tertinggal, konversi lahan pertanian yang tinggi ke non pertanian, kapasitas aparat yang masih rendah, kurangnya keterlibatan masyarakat, dunia usaha, LSM dalam pembangunan, dan belum kondusifnya iklim untuk investasi di daerah.
Seluruh permasalahan tersebut merupakan akumulasi dari kurang terintegrasinya berbagai kebijakan pembangunan. Maka pendekatan pembangunan yang dilakukan selama ini perlu dirubah memakai pendekatan regional. Salah satu implikasi terpenting dari kecenderungan perubahan ini, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi adalah apa yang dikenal dengan integrasi ekonomi menjadi satu kesatuan ekonomi kawasan. Arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara akan semakin meluas, intensif, dan dinamis.
Berbagai literatur tentang regional sciences atau regional development menyebutkan tentang pentingnya tujuh aspek yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan wilayah. Pertama, keterkaitan wilayah secara fisik (physical linkages) baik kondisi infrastruktur yang ada seperti jalan, kereta api, angkutan sungai, dan angkutan udara maupun jaringan interkoneksi yang menghubungkan berbagai infrastruktur tersebut. Kedua, keterkaitan wilayah secara ekonomi (economic linkages) terutama ketersediaan sumberdaya, pola aliran barang dan jasa, keterkaitan produksi, komditas unggulan maupun aliran modal dan pendapatan. Ketiga, pergerakan dan perpindahan penduduk (population movement linkages) baik migrasi tetap maupun migrasi musiman terkait dengan kegiatan ekonomi. Keempat, keterkaitan teknologi (technological linkages) baik teknologi produksi, teknologi informasi, teknologi telekomunikasi. Kelima, keterkaitan sosial (social interaction linkages) dalam kehidupan budaya, agama dan kekerabatan. Keenam, keterkaitan layanan jasa (service delivery linkages) termasuk jaringan layanan energi, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan dan perdagangan. Ketujuh, keterkaitan administrasi, politik, pengorganisasian (political, administrative, and organizational linkages). Selain itu, keseimbangan dan keterkaitan lintas wilayah dan lintas sektor perlu dilakukan
3
melalui penataan ruang sebagai salah satu instrumen utama dalam pengarusutamaan (mainstreaming) kebijakan pembangunan berbasis wilayah.
Pendekatan pembangunan berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Oleh karenanya penyusunan model keterkaitan regional menjadi suatu hal penting dalam mengatisipasi perubahan ekonomi dalam menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan antar wilayah. Akhir-akhir ini pengembangan model pembangunan wilayah perlu dikaji dan dievaluasi secara mendalam. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan, model pembangunan secara luas (broad-based) dilakukan untuk mendorong pemerataan pembangunan antarwilayah.
Kecermatan dalam penyempurnaan model pembagunan wilayah yang telah disusun pada tahun-tahun sebelumnya akan berpengaruh terhadap akurasi analisis keterkaitan pembagunan antar wilayah. Pendekatan pembangunan berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
Contoh model yang telah dikembangkan atau dibangun dan telah dilakukan dilakukan Bappenas adalah membangun multiregional input-ouput model (MRIO), model ekonometrika dan computable general equilibrium model (CGE). Namun demikian, perlu disadari bahwa dari ketiga model yang dikembangkan oleh Bappenas tersebut masih bersifat parsial atau terpisah satu dengan lainnya. Dalam arti bahwa dari ketiga model tersebut memberikan suatu solusi, dimana kemungkinan solusi yang dihasilkan dapat sama atau berbeda satu sama lainnya. Untuk hal tersebut sedapat mungkin model tersebut diintegrasi dalam sebuah sistem yang saling terkait satu sama lainnya. Misalnya kelemahan dalam model MRIO dapat diatasi dengan CGE, model CGE yang bersifat black box (terutama untuk berbagai koefisien patameter yang terdapat dalam model CGE,) dapat diatasi oleh model ekonometrika. Penyempurnaan model-model yang telah ada tersebut perlu terus menerus dilakukan dengan harapan temuan-temuan yang ada dari model dapat memberikan solusi yang lebih komprehensif dan dapat dituangkan dalam kebijakan yang ada di Indonesia. Penyempurnaan model keterkaitan pembangunan antarwilayah diharapkan dapat mengoptimalkan pembangunan antarwilayah dan mengurangi adanya ketimpangan pembangunan antar-wilayah. 2. Tujuan, Sasaran dan Ruang Lingkup Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang dan permasalahan studi yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Membangun model keterkaitan regional berbasis model-model yang telah
dikembangkan sebelumnya (Model MRIO- CGE - Ekonometrika). 2. Melakukan berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan
keterkaitan pembangunan nasional dan regional. 3. Menganalisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional,
sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah.
4
4. Merumuskan strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk periode jangka pendek, menengah dan panjang.
Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah (1) Terumuskannya konsep Pengembangan Model Keterkaitan Regional yang merupakan hasil penyempurnaan dari berbagai model yang telah dikembangkan (Model MRIO- CGE-Ekonometrika); (2) Terlaksananya berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan keterkaitan pembangunan nasional dan regional; (3) Terlaksananya analisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional, sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah; (4) Tersusunnya strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk periode jangka pendek, menengah dan panjang.
Model keterkaitan regional dititikberatkan pada serangkaian kegiatan untuk mengembangkan dan menyempurnakan berbagai model pengembangan wilayah yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dengan lebih menitikberatkan pada keterkaitan regional, sektoral dan tata ruang. Merumuskan skenario dan alternatif kebijakan keterkaitan regional, dan melakukan simulasi dampak kebijakan terhadap pembangunan wilayah. Ruang lingkup kegiatan pengembangan model keterkaitan regional adalah: 1. Pengumpulan data-data dan literatur dari berbagai sumber, antara lain: (a)
Data statistik terbaru: sensus, laporan, (b) Data regional dan sektoral terbaru: data regional dari Provinsi dan data sektoral departemen teknis, LPND, data dari universitas dan lembaga-lembaga kajian; (c) Kebijakan-kebijakan nasional, regional, sektoral dan tata ruang yang terkait dengan pembangunan daerah; (d) Literatur-literatur terkait untuk penyusunan Model Keterkaitan Regional.
2. Analisis data dan pengkajian literatur untuk pengembangan Model Keterkaitan Regional.
3. Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti antara lain oleh unsur-unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, pakar, serta perguruan tinggi, untuk memperoleh masukan dalam pengembangan Model Keterkaitan Regional.
4. Penyusunan laporan kajian pengembangan Model Keterkaitan Regional. Sosialisasi dan Diskusi hasil Kajian berupa Lokakarya/workshop dengan
mengundang stakeholders terkait untuk diseminasi hasil kajian di tingkat pusat dan sosialisasi ke daerah terpilih Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Riau. Setelah membangun model keterkaitan regional, maka output yang diharapkan dari kajian ini adalah: Skenario Pembangunan antarwilayah yang berpedoman pada Konsep perencanaan keterkaitan pembangunan regional. Skenario ini antara lain berisi rekomendasi kebijakan dan prioritas dalam perencanaan pembangunan baik dalam Periode Jangka Pendek (tahunan) dan Jangka Menengah (5 tahun). 3. Metodologi Penelitian 3.1. Spesifikasi Model
Model ekonometrika merupakan suatu pola khusus dari model aljabar, yakni suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu (Intriligator, 1978). Menurut Koutsoyiannis, (1977) Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel
5
penjelas (explanatory variables) terhadap peubah endogen (dependent variables) khususnya yang menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori ekonomi dengan kata lain, model yang baik haruslah memenuhi kriteria teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika dan kriteria ekonometrika.
Tahapan membangun model diawali dengan suatu pemahaman fenomena perekonomian yang dihipotesiskan terjadi sebagai akibat dari keterkaitan regional yang akan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Spesifikasi model dilakukan dengan memformulasikan model yang paling sesuai dengan sistem atau fenomena aktual yang diabstraksikan. Setelah model dispesifikasikan atau diformulasikan, selanjutnya model diestimasi dengan menggunakan teknik estimasi yang paling sesuai, sehingga memberikan hasil estimasi yang terbaik. Tahap berikutnya adalah evaluasi untuk mengetahui apakah model tersebut secara teoritis bermakna dan secara kuantitatif memuaskan. Jika hal ini terlah terpenuhi maka akan dilakukan peramalan variabel endeogen dari tahun 2006 sampai dengan 2014. Tahap terakhir adalah melakukan simulasi kebijakan.
Bolton (1985) mendeskripsikan tiga tipe metode peramalan regional yang sering digunakan dalam peramalan wilayah, yaitu pertama model top down dengan menggunakan input data nasional yang diperoleh melalui peramalan model ekonometrika ekonomi nasional yang dijadikan sebagai variable independent di dalam model regional. Kedua, model bottom up yang dapat digunakan untuk mengestimasi output nasional (atau output wilayah yang lebih luas) yang merupakan penjumlahan dari nilai-nilai peramalan subregion, dan terakhir adalah Multiregional model yang menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik aktifitas dari suatu industri pada wilayah tertentu akan mempengaruhi beberapa sektor di wilayah lain. Multiregional model memerlukan informasi trade flows antara region-region. Tetapi karena kompleksitas dan syarat substansi data yang diperlukan, maka model bottom-up dan multiregional lebih sering hanya difokuskan pada beberapa wilayah, dengan kata lain, jumlah region yang digunakan umumnya hanya dua atau tiga wilayah.
Kajian ini menggunakan data 30 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Data dikumpulkan dari masing-masing region (provinsi) dan model serta analisis, juga berdasarkan region. Provinsi yang akan dikaji dalam hal ini adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia, tetapi dengan alasan keterbatasan data, dimana ada beberapa provinsi yang baru terbentuk (seperti Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat) tidak dianalis dalam kajian pengembangan model keterkaitan regional. Spesifikasi model yang dirumuskan dalam kajian ini adalah sangat terkait dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model keterkaitan regional. Model yang dibangun adalah sistem persamaan simultan dinamis. Model keterkaitan regional dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan, yang diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah secara sederhana dan jelas.
Spesifikasi model dalam kajian ini dibagi dalam sepuluh blok, yaitu PDRB sektoral, investasi swasta sektoral, investasi pemerintah sektoral, tenaga kerja sektoral, upah sektoral, inflasi, pengangguran, kemiskinan, migrasi dan blok perdagangan. Gambar 1 merupakan penyederhaan dari model keterkaitan regional secara utuh, mengingat persamaan dalam model keterkaitan regional mencapai 1650 persamaan, maka tidak semua explanatory variables dinyatakan di dalamnya.
6
Gambar 1: Simplifikasi Model Keterkaitan Regional
3.2. Prosedur Analisis 3.2.1. Identifikasi Model
Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis (1977). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi.
Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977). Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 1650 persamaan atau 1650 variabel endogen, terdiri dari 1530 persamaan perilaku dan 120 persamaan identitas, jumlah peubah dalam persamaan adalah 5 peubah. Maka berdasarkan kriteria order condition persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.
PDRB
PDRB sektoral Capital
HC
Inflasi
Upah
Tenaga Kerja
Ekspor
Arus Migrasi
Unemploy
UMR
KHM
ImporPX
PDRB j
POP j
POP
PM j SDA j
SDA
(U/L) j
Poverty
CV
Investasi
7
3.2.2. Metode Pendugaan Model dan Validasi Model Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified,
dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares) dengan pertimbangan bahwa penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model.
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Square Error (RMSE), (Root Means Percent Square Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991).
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangikan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif. Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R², maka pendugaan model semakin baik.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1975 sampai dengan tahun 2007. Sedangkan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro Pusat Statistik (BPS). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan catatan bahwa dalam penelitian harga dideflasi dengan indeks harga sesuai dengan indeks harga masing-masing dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari pengaruh inflasi. Sehingga harga nominal yang diperoleh secara langsung dapat menjadi harga riil. 4. Hasil Penelitian 4.1. Analisis Keragaan Umum Model Keterkaitan Regional
Hasil estimasi model keterkaitan regional dalam penelitian ini dapat dikatakan baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasinya (R²) dari masing-masing persamaan perilaku yaitu berkisar antara 0.50 sampai dengan 0.99. Dari seluruh persamaan perilaku yang di estimasi, hanya terdapat 3 persamaan perilaku, yaitu persamaan kemiskinan di provinsi NTB, Banten dan Jambi dimana nilai R2 berada masing-masing adalah 0.44, 0.49, dan 0.42. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada di dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen (endogenous variable).
Besaran nilai statistik uji F umumnya tinggi, yaitu dengan nilai lebih besar dari 10.99, yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya, pada taraf = 0.0001 dan 0.0078, disamping itu setiap persamaan struktural mempunyai besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan
8
cukup logis dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic), meskipun demikian masih terdapat beberapa explanatory variables yang tidak signifikan secara statistik, dalam arti bahwa secara individu variabel tersebut tidak berbeda nyata dengan nol mempengaruhi variabel endogennya.
Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengarauh nyata terhadap variabel endogennya. Hasil estimasi dari statistik-t yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang tidak signifikan atau tidak berbeda nyata dengan nol terhadap variabel endogennya pada taraf =0.05. Dalam studi ini taraf yang digunakan cukup fleksibel yaitu dengan taraf = 0.15.
Berdasarkan hasil uji statistik durbin-w (dw) dan terdapat sejumlah persamaan yang mengalami masalah serial korelasi dan juga terdapat beberapa persamaan yang tidak terdeteksi serial korelasinya. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena keterkaitan regional.
4.2. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu
simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu uji validasi model, dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana model tersebut dapat mewakili fenomena keterkaitan regional. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model ini dapat dilihat dari nilai RMSPE, dimana hampir seluruh persamaan perilaku nilai RMPSE dibawah 20%, yang munujukkan bahwa persamaan perilaku yang hanya menyimpang 20 persen dari nilai aktualnya. Hanya terdapat 4 persamaan perilaku yang nilai RMSPE berkisar diantara 50% - 69%. Dengan kata lain bahwa model ini dapat dijadikan sebagai model peramalan. Dilihat dari nilai Theil’s Inequality Coefficient (U), model ini juga dapat dijadikan sebagai sebuah model untuk alternatif simulasi kebijakan, karena nilai U-Theil seluruhnya berada di bahwa 0.2. Hanya terdapat 3 persamaan perilaku yang niai U-Theil berada diantara 0.37 – 0.47, yaitu persamaan perilaku Persamaan PDRB provinsi Bangka Belitung (R07PDB), persamaan Kemiskinan provinsi Kalimantan Selatan (R19PVT) dan Persamaan Pengangguran provinsi Kalimantan Barat (R17UNT) (Lampiran). Dengan kata lain bahwa, secara keseluruhan model ini dapat digunakan untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi alternatif kebijakan.
4.3. Simulasi Kebijakan Skenario alternatif kebijakan yang dilakukan dalam kajian ini adalah
ditentukan secara arbitrary, yaitu (1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.0 persen, 5.5 persen dan 6.0 persen, (2) Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen, (3) Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen dan (4) Simulasi kombinasi peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) masing-masing sebesar 5.0 persen, 10 persen dan 15 persen. Dalam kajian ini periode simulasi kebijakan yang akan dilakukan adalah tahun 2010 – 2014.
9
4.3.1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi
nasional sebesar 5 persen, berdampak pada kenaikan GDP untuk seluruh provinsi. Kenaikan GDP yang terkecil adalah provinsi Maluku, yaitu sebesar 3.807, sedangkan peningkatan GDP terbesar terdapat pada provinsi Jakarta dan Jawa Barat, masing-masing 7.644 persen dan Kalimantan Timur 6.964 (Tabel 11.). Jika dilihat secara rata-rata ekonomi nasional menjadi tumbuh sebesar 5.418 persen. Dengan kata lain bahwa kenaikan GDP sebesar 5 persen, akan memiliki kenaikan atau dampak multiplier sebesar 0.418 persen (Tabel 1).
Jika dilihat berdasarkan tingkat inflasi (CPI), dapat dijelaskan bahwa kenaikan PDRB sebesar 5 persen, menyebabkan kenaikan inflasi antara 0.068 persen sampai dengan 6.375 persen. Kenaikan inflasi terbesar terjadi pada Benkulu, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan yaitu sebesar 6.375 persen, 5.900 persen dan 5.187 persen secara berturut-turut. Hal tersebut disebabkan karena wilayah ini, dalam beberapa tahun terakhir begitu pesat perkembangannya, sehingga bertambahnya PDRB akan semakin mendorong peningkatan Agregat Demand (AD), antara lain untuk investasi, konsumsi dan pengeluaran pemerintah. Meningkatnya AD akan mendorong peningkatan harga barang dan jasa secara umum. Jika dilihat dari indikator kemiskinan, dapat diketahui bahwa pengaruh dari kenaikan GDP nasional, secara umum menurunkan jumlah kemiskinan, walaupun ada beberapa daerah yang kemiskinannya meningkat, yaitu Bengkulu dan Jawa Tengah, sedangkan provinsi Maluku Utara dan Papua tidak memiliki dampak yang signifikan. Meningkatnya kemiskianan tersebut disebabkan karena kenaikan rata-rata kenaikan pertumbuhan ekonomi wilayah umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan tingkat inflasi itu sendiri yang mencapai 6.375 persen, terutama di provinsi Bengkulu dan Jawa Tengah, hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan biaya hidup yang cukup besar di Bengkulu dan Jawa Tengah, sehingga jumlah orang miskin meningkat.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum juga memberikan dampak yang baik terhadap penyerapan tenaga kerja, hal ini terlihat dari menurunnya jumlah pengangguran di hampir seluruh provinsi. Hanya provinsi Jawa Timur dan provinsi Nusa Tenggara Timur yang jumlah penganggurannya meningkat, meskipun relatif kecil. Meningkatnya pengangguran di provinsi Jawa Timur disebabkan tingkat inflasi yang lebih lebih tinggi di banding dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, dimana pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut adalah sebesar 5.689 persen sedangkan tingkat inflasi yang ada adalah 6.499 persen. Untuk provinsi NTT lebih disebabkan karena rendahnya tingkat investasi baik swasta maupun pemerintah, sehingga laju ekonomi yang ada masih belum dapat menurunkan jumlah pengangguran (Tabel 1).
Hal yang sama juga akan terjadi, jika pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar 5.5 persen dan 6.0 persen tetapi memiliki besaran yang berbeda.
Secara nasional terlihat bahwa perningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, 5.5 persen dan 6.0 persen akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi disetiap provinsi, dan secara nasional juga terlihat bahwa tingkat iflasi akan meningkat, namun demikian dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran.
10
Tabel 1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 4.496 0.443 -0.087 -0.876Sumatera Utara 5.605 0.243 -0.033 -0.374Sumatera Barat 4.728 0.334 -5.762 -0.426Riau 5.427 0.459 -0.298 -0.120Jambi 5.374 0.734 -4.395 -2.810Sumatera Selatan 4.564 5.187 1.463 -0.508Bangka Belitung 5.125 0.108 -0.014 -0.495Bengkulu 5.811 6.375 0.220 -2.282Lampung 5.959 0.280 -0.142 -2.171Jakarta 7.644 0.709 -0.550 -0.052Jawa Barat 6.189 2.668 -0.215 -0.246Banten 5.431 4.354 -3.133 -0.158Jawa Tengah 5.047 5.900 0.138 0.313DI. Yogyakarta 6.567 0.835 -3.930 -0.547Jawa Timur 5.185 3.465 -3.832 0.334Bali 4.833 2.064 3.817 -0.692Kalimantan Barat 5.466 4.010 -5.562 -5.754Kalimantan Tengah 5.758 1.255 -10.750 -1.799Kalimantan Selatan 6.474 4.474 -32.202 -5.991Kalimantan Timur 6.949 0.194 -2.887 -5.123Sulawesi Utara 4.998 0.101 -4.002 -1.111Grontalo 4.696 0.034 -1.283 -1.241Sulawesi Tengah 5.294 1.122 -1.678 -0.064Sulawesi Selatan 5.738 1.060 -1.230 -0.937Sulawesi Tenggara 4.852 0.918 -3.349 -0.114Nusa Tenggara Barat 4.952 0.718 -12.382 0.000Nusa Tenggara Timur 4.364 2.548 -0.503 0.761Maluku 3.807 0.068 -0.023 -0.007Maluku Utara 4.604 0.071 0.000 -0.011Papua 6.613 4.138 0.000 -1.872Nasional 5.418 1.829 -3.087 -1.146
Jelas bahwa untuk menurunkan kemiskinan dan pengangguran masih
diperlukan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih besar yang didapat didorong dari kenaikan investasi baik dari pemerintah ataupun swasta. Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan jumlah pertumbuhan wilayah, kemiskinan, dan tingkat pengangguran.
4.3.2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum
Kenaikan dana alokasi umum (DAU) sebesar 5 persen, secara umum berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah kecuali di beberapa provinsi di Indonesia seperti di daerah provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan beberapa di pulau Kalimantan. Kenaikan GDP tersebut akan mendorong naiknya tingkat inflasi yang digambarkan oleh meningkatnya Indeks harga konsumen. Peningkatan GDP tersebut juga diikuti oleh menurunkan jumlah penduduk miskin dan tingkat pengangguran, meskipun di beberapa daerah menunjukkan variasi yang berbeda (Tabel 2).
11
Tabel 2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.00 -0.009 -0.024Sumatera Utara 2.836 0.63 -0.084 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.00 -0.053 -0.004Riau 0.743 0.07 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.03 -0.216 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.81 -3.388 0.000Bangka Belitung 0.004 0.00 0.000 -0.002Bengkulu 0.037 5.76 0.000 -0.020Lampung 0.252 0.00 -0.006 -0.117Jakarta 0.049 0.00 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.00 -0.731 -0.840Banten 0.000 0.00 -4.646 0.000Jawa Tengah 0.116 0.13 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.000 -1.07 -0.500 -3.063Jawa Timur 0.025 0.00 -0.019 0.002Bali 0.000 0.00 -4.098 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.00 -11.962 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.00 -0.495 0.000Kalimantan Selatan 0.004 0.00 -6.454 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.00 -0.050 -0.077Sulawesi Utara 0.000 0.00 -2.467 0.000Grontalo 0.438 0.03 -0.790 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.03 -0.024 -0.001Sulawesi Selatan 0.080 0.00 -4.652 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.03 -0.170 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.10 -2.109 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.11 -0.023 0.026Maluku 0.031 0.00 0.000 0.000Maluku Utara 0.179 0.07 0.000 -0.011Papua 0.372 4.14 0.000 -0.924Nasional 0.214 0.462 -1.434 -0.235
Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dengan jumlah sebesar 10 dan 15
persen dari rata-rata sebelumnya, juga memberikan dampak yang hampir sama namun dengan nilai besaran yang berbeda. Secara Nasional dapat disebutkan bahwa kenaikan dana alokasi umum sebesar 10 persen, akan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu meningkat sebesar 0.429 persen, yang diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran masing-masing sebesar 2.652 persen dan 0.470 persen. Terlihat bahwa DAU lebih efektif menurunkan tingkat kemiskinan nasional.
Hanya beberapa wilayah yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU tidak memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya, yaitu seperti provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan beberapa di pulau Kalimantan, namun demikian memberikan pengaruh positif bagi penurunan kemiskinan. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU akan memberikan pengaruh yang positif bagi penurunan tingkat kemiskinan dibandingkan dengan penurunan pengangguran dan kanaikan GDP sendiri.
12
4.3.3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Kenaikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5 persen, secara umum juga
berdampak lebih besar menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kenaikan GDP masing-masing wilayah.Pertumbuhan ekonomi wilayah di beberapa provinsi tikda memiliki pengaruh dan kenaikan GDP itu sendiri relatif kecil. Pulau sumatera dan kalimantan umumnya tidak memiliki pengaruh terhadap kenaikan GDP. Dengan kata lain bahwa kenaikan DAK memiliki pengaruh langsung dalam menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kanaikan dalam GDP (Tabel 3). Tabel 3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 5 Persen,
terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -1.538 0.000Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.065 0.000Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.159 0.000Riau 0.000 0.000 0.000 0.000Jambi 0.000 0.000 -0.243 0.000Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.152 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -0.447 0.000Bengkulu 0.000 5.760 -0.037 0.000Lampung 0.000 0.000 -0.117 0.000Jakarta 0.000 0.000 0.000 0.000Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 0.000Banten 0.052 0.037 -0.033 -0.002Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.000DI. Yogyakarta 0.016 0.033 -0.048 -0.004Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.000Bali 0.014 0.035 0.000 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -0.030 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 0.000 -0.005Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -14.343 0.000Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.050 0.000Sulawesi Utara 0.021 0.000 0.000 -0.011Grontalo 0.000 0.000 -0.066 0.000Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.142 -0.005Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -0.356 0.000Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.170 0.000Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -0.551 0.000Nusa Tenggara Timur 0.000 0.000 -0.069 0.000Maluku 0.000 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -0.833 -1.575Papua 0.000 4.138 -0.827 0.000Nasional 0.004 0.461 -0.677 -0.054
Secara nasional dapat diketahui bahwa kenaikan dana alokasi khusus
(DAK) sebesar 5 persen akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.004 persen, perbaikan ekonomi ini akan menuju pada penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Kenaikan DAK dengan jumlah sebesar 10 dan 15 persen, juga memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAK sebesar 5 persen tetapi dengan nilai besaran yang berbeda di setiap kenaikannya. Lebih jauh dapat
13
disebutkan bahwa DAK lebih berperan dalam menurunkan kemiskinan di setiap wilayah. 4.3.4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5 persen berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah untuk setiap provinsi (Tabel 4).
Tabel 4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.000 -1.538 -0.004Sumatera Utara 2.836 0.625 -0.149 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.000 -0.211 -0.004Riau 0.743 0.071 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.033 -0.458 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.814 -3.539 0.000Bangka Belitung 0.004 0.000 -0.447 -0.002Bengkulu 0.037 5.760 -0.037 -0.020Lampung 0.252 0.000 -0.124 -0.117Jakarta 0.049 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -0.731 -0.840Banten 0.052 0.037 -4.679 -0.002Jawa Tengah 0.116 0.128 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.016 -1.068 -0.548 -3.068Jawa Timur 0.025 0.000 -0.019 0.002Bali 0.014 0.035 -4.058 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -11.962 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 -0.495 -0.005Kalimantan Selatan 0.004 0.000 -14.422 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.000 -0.075 -0.077Sulawesi Utara 0.021 0.000 -2.522 -0.011Grontalo 0.438 0.034 -0.888 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.031 -0.165 -0.006Sulawesi Selatan 0.080 0.000 -5.008 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.028 -0.339 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.098 -2.650 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.108 -0.092 0.026Maluku 0.031 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.179 0.071 -0.833 -1.586Papua 0.372 4.138 -0.827 -0.924Nasional 0.218 0.465 -1.898 -0.288
Peningkatan DAK dan DAU sebesar 5 persen secara statistik tidak
signifkan. Kenaikan tertinggi terletak pada provinsi Sumatera Utara, Riau dan Grontalo. Secara nasional terlihat bahwa dampak kenaikan DAU dan DAK akan memberikan pengaruh positif bagi kinerja perekonomian yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan sebesar 0.128 persen. Kenaikan pertumbuhan tersebut, akan berdampak pada penurunan kemiskinan sebesar 1.898 persen dan tingkat pengangguran menurun sebesar 0.288 persen. Namun demikian tingkat inflasi juga mengalami kenaikan tetapi masih dalam
14
batas yang wajar yaitu sebesar 0.465 persen. Kenaikan DAU dan DAK di setiap provinsi dengan jumlah sebesar 10 persen dan 15 persen, juga memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAU dan DAK sebesar 5 persen, tetapi dengan jumlah besaran yang berbeda di setiap kenaikannya.
Hanya terdapat beberapa provinsi yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU dan DAK tidak memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya, yaitu seperti provinsi Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU dan DAK akan memberikan pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, penurunan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Dapat disebutkan bahwa instrument kebijakan DAK dan DAU lebih berpengaruh langsung pada perubahan tingkat kemiskinan, dibandingkan dengan tingkat perubahan dalam GDP.
5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
PDRB sektoral dipengaruhi dipengaruhi secara nyata oleh tenaga kerja sektoral, sedangkan investasi baik swasta maupun pemerintah memberikan respon positif tetapi tidak dapat dijadikan sebagai faktor utama dalam meningkatkan pertumbuhan PDRB setkoral. Perilaku investasi swasta di setiap sektor, nilainya ditentukan oleh besarnya peluang tingkat pengembalian investasi itu sendiri. Permintaan tenaga kerja di setiap sektor untuk seluruh provinsi berhubungan negatif terhadap upah sektoral, tetapi responnya adalah inelastis. Expor bersih provinsi relatif tidak memberikan dampak yang besar dalam hal penyerapan tenaga kerja. Upah tenaga kerja sektoral tidak memiliki integrasi yang kuat dengan Upah Minimum Regional (UMR), artinya bahwa penetapan upah lewat instrument UMR adalah tidak efektif dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan atau balasa jasa yang diterima oleh pekerja. Migrasi bersih yang lebih besar menyebabkan tingkat upah tenaga kerja sektoral menurun, tetapi responnya terahadap perubahan migrasi bersih adalah inelastis. Tingkat inflasi yang ada di provinsi secara umum dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi provinsi itu sendiri dan tingkat upah rata-rara provinsi, tetapi responnya inelastis, dengan kata lain, inflasi merupakan sesuatu hal yang melekat (inherent) di dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri.
Pengangguran berkorelasi postif dengan inflasi di seluruh provinsi. Inflasi dan pengangguran adalah trade off. Tidak adanya inflasi maupun kelebihan pengangguran adalah harapan dari para pelaku ekonomi. Tetapi gangguan dalam perekonomian memang nyata terjadi, dan tanpa adanya fleksibilitas harga yang sempurna, tidak mungkin memulihkan kondisi tenaga kerja penuh (full employment) dengan tingkat harga yang stabil dalam jangka pendek.
Faktor utama yang paling berpengaruh terhadap jumlah orang miskin di setiap provinsi adalah jumlah pengangguran. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi meskipun dapat menurunkan kemiskinan tetapi responnya adalah inelastis, dengan kata lain trickel down effect yang diharapkan dari pelaku ekonomi secara umum tidak berlaku di setiap provinsi. Arus migarasi penduduk relatif lebih ditentukan oleh faktor beaten path dibandingkan dengan faktor upah dan kinerja perekonomian daerah yang akan dikunjungi oleh para migran. Kerjasama perdagangan antara region selain disebabkan karena karakteristik lokal daerah, juga sangat ditentukan oleh demografi wilayah tersebut. Dalam arti
15
bahwa, jika secara demografi region tersebut berdekatan maka volume perdagangan mereka akan semakin besar.
Pertumbuhan ekonomi nasional secara umum memberikan dampak yang baik bagi seluruh provinsi, yaitu peningkatan kesempatan kerja, mengurangi jumlah penduduk miskin. Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu tinggi, dibanding dengan wilayah lain, namun, net migrasi ke region lain masih positif yang menunjukkan adanya indikasi beaten path dan adanya perbedaan tingkat upah yang lebih tinggi. Dana alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus memiliki peranan penting dan berpengaruh positif bagi perkembangan perekonomian di setiap provinsi. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, tingkat inflasi yang stabil, penurunan tingkat kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran. 5.1. Implikasi Kebijakan
Terpusatnya pendapatan dan kesempatan kerja ke pulau Jawa merupakan hambatan terbesar bagi upaya pemerataan ekonomi antarpulau di Indonesia. Untuk mengurangi fenomena tersebut diperlukan kebijakan pemerintah dengan menciptakan iklim investasi yang lebih baik di luar pulau jawa. Peningkatan jumlah penduduk melalui arus migrasi di hampir seluruh provinsi memiliki dampak yang berbeda antara provinsi, tetapi umumnya migrasi penduduk ini berdampak pada peningkatan jumlah angkatan tenaga kerja di provinsi lain dan hal ini akan mendorong pada peningkatan pengangguran dan penurunan tingkat upah di wilayah tersebut. Untuk mengurangi arus net migrasi ini disarankan kepada pemerintah setempat untuk melakukan intervensi melalui pemberlakukan upah minimum provinsi yang layak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup minimum provinsi.
Untuk mendorong peningkatan ekspor untuk barang dan jasa yang menjadi unggulan, perlu dilakukan intervensi pemerintah daerah. Disarankan pemerintah daerah berupaya dengan cara memberikan insentif untuk berproduksi bagi para eksportir, seperti kemudahan dalam pengurusan administasi dan penurunan pajak. Selain itu pemerintah juga berusaha memfasilitasi peningkatan produksi bagi usaha mikro kecil dan menengah yang berorientasi ekspor. Implikasi dari kebijakan yang mendorong ekspor tersebut diharapkan net ekspor akan naik, dimana permintaan terhadap tenaga kerja juga akan meningkat. Adanya peningkatan permintaan tenaga kerja tentunya akan mengurangi jumlah pengangguran dan diharapkan jumlah kemiskinan akan menurun. Selain itu, dengan peningkatan net ekspor dapat mendorong permintaan tenaga kerja meningkat yang selanjutnya juga meningkatkan PDRB. Dalam untuk mengurangi kemiskinan, DAK dan DAU masih dapat dijadikan sebagai instrument kebijakan, karena selain memiliki dampak langung terhadap jumlah kemiskinan, juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
LAPORAN AKHIR
PENGEMBANGAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL
PENGARAH Ir. Max H. Pohan, CES, MA
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D
TIM PENYUSUN Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D
Awan Setiawan, SE, MM, ME Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP
Supriyadi, S.Si, MTP Rudi Alfian, SE
Septaliana Dewi Prananingtyas, SE Anang Budi Gunawan, SE
TIM AHLI
Rasidin KK S.Sp, M.Si Zulkifli, M.Sc
Tidar H, SP, M.Si Ir. Surya A. S, M.Si
Theresia Rachmalia G Ardani, SP
Ir. Almasril Sembiring
TIM PENDUKUNG Anna Astuti, SE
Eni Arni Sapto Mulyono Tri Supriyana, ST
Setya Rusdianto, S.Si Selenia Ediyani P., ST
Vini Irawati, ST
Komentar, saran dan kritik dapat disampaikan ke :
Direktorat Pengembangan Wilayah
Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat 10310
Telp/Fax. (021) 3193 4195
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir yang
berjudul ”Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan
Model Ekonometrik-Multiregional”.
Laporan akhir ini terdiri dari tujuh bab. Empat Bab pertama tentang
justifikasi penelitian yang mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, kerangka
pemikiran. Dua Bab berikutnya tentang perumusan model keterkaitan regional dan
prosedur analisis, keragaan umum model keterkaitan regional. sementara bab
terakhir berisi kesimpulan dan implikasi kebijakan.
Sebagai suatu proses tentu kegiatan ini masih perlu masukan dari berbagai
pihak yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan model.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan
kebijakan ekonomi regional di Indonesia dan menjadi motivator model-model
ekonomi regional selanjutnya.
Atas kerjasama dan kepercayaan Direktorat Pengembangan Wilayah, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional dalam penyelesaian penelitian ini, kami
mengucapkan terimakasih.
Jakarta, Desember 2008
Direktur Pengembangan Wilayah
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional i
K A T A P E N G A N T A R
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir yang berjudul
”Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-
Multiregional”.
Laporan akhir ini terdiri dari tujuh bab. Empat Bab pertama tentang justifikasi
penelitian yang mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran. Dua Bab
berikutnya tentang perumusan model keterkaitan regional dan prosedur analisis, keragaan
umum model keterkaitan regional. sementara bab terakhir berisi kesimpulan dan implikasi
kebijakan.
Sebagai suatu proses tentu kegiatan ini masih perlu masukan dari berbagai pihak yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan model. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan kebijakan ekonomi regional di
Indonesia dan menjadi motivator model-model ekonomi regional selanjutnya.
Namun, seperti kata pepatah “tidak ada gading yang tak retak”, tentu laporan ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan komentar, masukan, saran
dan kritik yang membangun.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada mitra kerja, baik di pusat maupun
daerah, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
Semoga laporan ini bermanfaat.
Jakarta, Desember 2008
Direktorat Pengembangan Wilayah
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional i
D A F T A R I S I
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vii
I. PENDAHULUAN ....................................................................... I-1
1.1. Latar Belakang ...................................................................... I-1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................... I-4
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. I-10
1.4. Sasaran ..................................................................................... I-10
1.5. Relevansi Kajian dengan Unit Kerja ....................................... I-10
1.6. Ruang Lingkup Kegiatan ........................................................ I-11
1.7. Keluaran ................................................................................. I-12
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... II-1
2.1. Definisi Wilayah ...................................................................... II-1
2.2. Migrasi di Indonesia ............................................................... II-2
2.3. Distribusi Pendapatan dan Ketimpangan Antar-Daerah ......... II-4
2.4. Studi Terdahulu Yang Terkait ................................................ II-7
III. KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................... III-1
3.1. Kerangka Teori .................................................................... III-1
3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi ...................................... III-1
3.1.2. Model Regional Flows .............................................. III-9
3.1.3. Perpindahan Penduduk dan Tenaga Kerja ................ III-16
3.1.4. Mobilitas Capital .......................................................... III-23
3.1.5. Pendekatan Neraca Pembayaran untuk Pertumbuhan
Ekonomi Wilayah …………………………………… III-24
3.2. Kerangka Konseptual …………………………………….. III-26
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional ii
IV. PERUMUSAN MODEL KETERKAITAN REGIONAL DAN PROSEDUR ANALISIS …………………………………… IV-1
4.1. Spesifikasi Model …………………………………………… IV-1 4.1.1. Blok PDRB Sektor …………………………………… IV-3
4.1.2. Blok Investasi Swasta Sektoral ……………………… IV-4
4.1.3. Blok Investasi Pemerintah Sektoral …………………. IV-5
4.1.4. Blok Tenaga Kerja Sektoral ………………………….. IV-5
4.1.5. Blok Upah Sektoral …………………………………… IV-6
4.1.6. Blok Inflasi …………………………………………… IV-6
4.1.7. Blok Pengangguran ...................................................... IV-7
4.1.8. Blok Kemiskinan ........................................................... IV-8
4.1.9. Blok Migrasi ................................................................ IV-8
4.1.10. Blok Perdagangan .........................................................IV-10
4.2. Prosedur Analisis …………………………………………… IV-11
4.2.1. Identifikasi Model ………………………………….. IV-11
4.2.2. Metode Pendugaan Model ………………………….. IV-12
4.2.3. Validasi Model …………………………………….. IV-12
4.2.4. Simulasi Model …………………………………….. IV-13
4.3. Jenis dan Sumber Data ……………………………………… IV-15
4.4. Waktu Pelaksanaan ………………………………………….. IV-15
4.5. Sistematika Pelaporan ………………………………………. IV-15
V. KERAGAAN UMUM MODEL KETERKAITAN REGIONAL ................................................................ V-1
5.1. Keragaan Umum Model Keterkaitan Regional ....................... V-1
5.2. Validasi Model ........……………………………………….. V-2
5.3. Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia ………….. V-3
5.4. Simulasi Kebijakan ................................................................ V-7
5.4.1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional V-7
5.4.2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum .............. V-11
5.4.3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus ............ V-14
5.4.4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ........................................................... V-17
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional iii
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...... VI-1
6.1. Kesimpulan ………………………………………………. VI-1
6.2. Implikasi Kebijakan …………………………………………. VI-3
6.3. Saran Penelitian Lanjutan …………………………………. VI-4
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 1
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional iv
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional v
Judul Tabel alaman
Tabel 1 isi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2000 – 2005
I-6
Tabel 2 Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi, Tahun 2000-2005 (%)
I-7
Tabel 3 onstan 2000 Menurut Pulau, Tahun 2000-2005 (Juta rupiah)
I-8
abel 4 Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Proses Produksi III-11
Tabel 5 ftar Faktor-Faktor Perbandingan Biaya-Keuntungan Berpindah
III-18
Tabel 6 t Migrasi dan Kondisi Ekonomi III-20
Tabel 7 konomi Wilayah Berdasarkan Provinsi, Tahun, 2008-2014
V-3
Tabel 8 ah Penduduk Miskin Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014
V-4
Tabel 9 lah Pengangguran Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014
V-5
Tabel 10 ks Harga Konusmen Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014
V-6
Tabel 11 besar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
V-8
H
Kompos
Komposisi Produk Domistik Regional Bruto Berdasarkan
PDRB per Kapita dalam Harga K
T
Matriks Da
Perpindahan Gros dan Ne
Lokal
Proyeksi Pertumbuhan E
Proyeksi Pertumbuhan Juml
Proyeksi Pertumbuhan Jum
Proyeksi Pertumbuhan Inde
Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Se
D A F T A R T A B E L
Tabel 12 Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar
5.5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-9
Tabel 13 Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar
6 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-10
Tabel 14 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 5 Persen,
terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-11
Tabel 15 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 10 Persen,
terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-12
Tabel 16 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 15 Persen,
terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-13
Tabel 17 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 5 Persen,
terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-14
Tabel 18 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 10 Persen,
terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-15
Tabel 19 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 15 Persen,
terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah V-16
Tabel 20 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
V-17
Tabel 21 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus Sebesar 10 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
V-18
Tabel 22 Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus Sebesar 15 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
V-19
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional vi
D A F T A R G A M B A R
Nomor Halaman
1. Kurva Kemungkinan Produksi dan Konsumsi ....................................... III-12
2. Model Perpindahan Sumberdaya ........................................................... III-14
3. Kerangka Konseptual Keterkaitan Regional ............................................. III-27
4. Simplifikasi Model Keterkaitan Regional................................................. IV-3
5. Garis Waktu Peramalan............................................................................. IV-14
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional vii
BAB
I P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai keberagaman, baik dalam
sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kesatuan dalam keberagaman
tersebut adalah hal yang sangat penting untuk diimplementasikan di Indonesia. Menurut
Geertz, “[Indonesia] akan makmur jika dapat menerima dan memanfaatkan
keberagamannya dan sebaliknya akan terpecah-pecah jika mencoba untuk
menghilangkan keberagaman tersebut” (Hill, 1996). Indonesia perlu menjalankan
kebijakan yang akan mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya manusia
maupun sumberdaya alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan selain memerlukan intervensi kebijakan yang berpihak pada kearifan
lokal yang berbasis kewilayahan, juga memerlukan strategi pembangunan yang bersifat
lintas wilayah dan lintas sektor. Strategi ini diperlukan agar wilayah tersebut dapat
berkembang mencapai tingkat yang diinginkan melalui optimasi pemanfaatan
sumberdaya alam secara harmonis dengan pendekatan komprehensif yang
memperhatikian kesembangan fisik, ekonomi, sosial dan budaya.
Salah satu tujuan pokok pembangunan adalah menciptakan keseluruhan pola
pertumbuhan pendapatan yang diinginkan dengan penekanan khusus pada akselerasi
pertumbuhan dan pendapatan golongan miskin. Sehingga konsep penerapan pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi semata tanpa diiringi dengan penurunan angka
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bukanlah merupakan konsep yang
tepat.
Meskipun analisis ekonomi umumnya tidak menyinggung hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teori
mengisyaratkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan sesuatu yang
harus dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-1
Orieantasi kebijakan pembangunan sebelumnya dianggap identik dengan
kebijakan pertumbuhan ekonomi baik pada tingkat regional maupun nasional tanpa
memperhatikan distribusi pendapatan dapat menyebabkan kemiskinan semakin melebar.
Disamping hal tersebut kebijakan pembangunan juga masih bersifat parsial dan terlalu
menekankan kepada akumulasi dari kapital fisik (man-made capital), tanpa
memperhatikan keterkaitan dengan natural capital, human capital, social capital.
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang menguras sumberdaya alam tanpa diimbangi
dengan akumulasi kapital dan investasi dalam pemeliharaannya akan berdampak
terhadap rusaknya kelestarian (sustainability) dari sumber-sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Penyusutan dan degradasi dari sumberdaya tersebut juga telah
memperparah terjadinya ketidakseimbangan (unbalance growths) pembangunan antar
wilayah (provinsi, kabupaten/kota, wilayah perdesaan-perkotaan) dan kelompok–
kelompok dalam masyarakat, bahkan ketidakmerataan pendapatan antar kelompok
tersebut pada akhirnya akan mengarah pada melebarnya tingkat kemiskinan.
Disamping itu, persoalan-persoalan penting lainnya di daerah yang selama ini
kita hadapi antara lain:
1. Daya saing daerah dan keterkaitan ekonomi antardaerah yang rendah
2. Kegiatan ekonomi yang masih terkonsentrasi pada beberapa daerah dan sektor
tertentu saja
3. Belum termanfaatkannya secara optimal potensi sumber daya wilayah
4. Produktivitas wilayah yang rendah
5. Masih banyaknya wilayah-wilayah miskin seperti perbatasan, pesisir, dan kawasan
tertinggal
6. Konversi lahan pertanian yang tinggi ke non pertanian
7. Kapasitas aparat yang masih rendah
8. Kurangnya keterlibatan masyarakat, dunia usaha, LSM dalam pembangunan; dan
9. Belum kondusifnya iklim untuk investasi di daerah.
Seluruh permasalahan tersebut merupakan akumulasi dari kurang terintegrasinya
berbagai kebijakan pembangunan. Maka pendekatan pembangunan yang dilakukan
selama ini perlu dirubah memakai pendekatan regional. Salah satu implikasi terpenting
dari kecenderungan perubahan ini, khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi
adalah apa yang dikenal dengan integrasi ekonomi menjadi satu kesatuan ekonomi
kawasan. Arus lalu lintas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara akan
semakin meluas, intensif, dan dinamis.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-2
Berbagai literatur tentang regional sciences atau regional development
menyebutkan tentang pentingnya tujuh aspek yang perlu diperhitungkan dalam
pengembangan wilayah. Pertama, keterkaitan wilayah secara fisik (physical linkages)
baik kondisi infrastruktur yang ada seperti jalan, kereta api, angkutan sungai, dan
angkutan udara maupun jaringan interkoneksi yang menghubungkan berbagai
infrastruktur tersebut. Kedua, keterkaitan wilayah secara ekonomi (economic linkages)
terutama ketersediaan sumberdaya, pola aliran barang dan jasa, keterkaitan produksi,
komditas unggulan maupun aliran modal dan pendapatan. Ketiga, pergerakan dan
perpindahan penduduk (population movement linkages) baik migrasi tetap maupun
migrasi musiman terkait dengan kegiatan ekonomi. Keempat, keterkaitan teknologi
(technological linkages) baik teknologi produksi, teknologi informasi, teknologi
telekomunikasi. Kelima, keterkaitan sosial (social interaction linkages) dalam
kehidupan budaya, agama dan kekerabatan. Keenam, keterkaitan layanan jasa (service
delivery linkages) termasuk jaringan layanan energi, keuangan dan perbankan,
pendidikan, kesehatan dan perdagangan. Ketujuh, keterkaitan administrasi, politik,
pengorganisasian (political, administrative, and organizational linkages). Selain itu,
keseimbangan dan keterkaitan lintas wilayah dan lintas sektor perlu dilakukan melalui
penataan ruang sebagai salah satu instrumen utama dalam pengarusutamaan
(mainstreaming) kebijakan pembangunan berbasis wilayah.
Otonomi daerah merupakan tantangan bagi pemerintah daerah itu sendiri, karena
kewenangannya yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program
pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan
daerah masing-masing. Dengan latar belakang demografi, geografis, infrastruktur dan
ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, maka salah satu
konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah keberagaman daerah dalam hal
kinerja pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja
selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan antardaerah. Pendekatan pembangunan
berbasis wilayah merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi
lokal secara lebih efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan
wilayah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Oleh karenanya
penyusunan model keterkaitan regional menjadi suatu hal penting dalam mengatisipasi
perubahan ekonomi dalam menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan antar
wilayah.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-3
Akhir-akhir ini pengembangan model pembangunan wilayah perlu dikaji dan
dievaluasi secara mendalam. Dengan berbagai kelemahan dan kelebihan, model
pembangunan secara luas (broad-based) dilakukan untuk mendorong pemerataan
pembangunan antarwilayah.
Kecermatan dalam penyempurnaan model pembagunan wilayah yang telah
disusun pada tahun-tahun sebelumnya akan berpengaruh terhadap akurasi analisis
keterkaitan pembagunan antar wilayah. Pendekatan pembangunan berbasis wilayah
merupakan jawaban untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan potensi lokal secara lebih
efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan wilayah sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional.
Contoh model yang telah dikembangkan atau dibangun dan telah dilakukan
dilakukan Bappenas adalah membangun multiregional input-ouput model (MRIO),
model ekonometrika dan computable general equilibrium model (CGE). Namun
demikian, perlu disadari bahwa dari ketiga model yang dikembangkan oleh Bappenas
tersebut masih bersifat parsial atau terpisah satu dengan lainnya. Dalam arti bahwa dari
ketiga model tersebut memberikan suatu solusi, dimana kemungkinan solusi yang
dihasilkan dapat sama atau berbeda satu sama lainnya.
Untuk hal tersebut sedapat mungkin model tersebut diintegrasi dalam sebuah
sistem yang saling terkait satu sama lainnya. Misalnya kelemahan dalam model MRIO
dapat diatasi dengan CGE, model CGE yang bersifat black box (terutama untuk
berbagai koefisien patameter yang terdapat dalam model CGE,) dapat diatasi oleh
model ekonometrika. Penyempurnaan model-model yang telah ada tersebut perlu terus
menerus dilakukan dengan harapan temuan-temuan yang ada dari model dapat
memberikan solusi yang lebih komprehensif dan dapat dituangkan dalam kebijakan
yang ada di Indonesia.
Penyempurnaan model keterkaitan pembangunan antarwilayah diharapkan dapat
mengoptimalkan pembangunan antarwilayah dan mengurangi adanya ketimpangan
pembangunan antar-wilayah.
1.2. Perumusan Masalah
Sejak pelita I hingga VII pembangunan terkonsentrasi di Jawa. Hal ini tidak
terlepas dari kenyataan bahwa pulau Jawa memiliki kesiapan lebih awal dalam
menjalankan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mengumumkan gagasan yang
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-4
diluncurkan dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto tahun 1990, dimana Kawasan
Timur Indonesia (KTI) akan mendapat prioritas utama dalam kegiatan pembangunan,
namun demikian program pembangunan KTI ini belum memberikan hasil yang
menggembirakan. Alasannya, program pemerintah ini tidak mendapat dukungan
sepenuhnya dari para pelaku ekonomi di lapangan. Dengan kata lain, pihak swasta
kurang tertarik berinvestasi di KTI. Akibatnya sampai saat ini, masih terdapat
kesenjangan ekonomi yang cukup besar antara KTI dan Kawasan Barat Indonesia
(KBI).
Ada dua alasan mengapa pihak swasta kurang tertarik berinvestasi di KTI,
Pertama, penduduk Jawa (Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali) lebih 60 persen dari total penduduk Indonesia (lihat
Tabel 1), sedangkan luasnya hanya sekitar 7 persen. Akibatnya investor lebih tertarik
berproduksi di Jawa dengan alasan skala ekonomi dan mendekati lokasi pasar. Kedua,
sarana dan prasarana di KTI belum memadai dalam mendukung investasi, terutama
prasarana angkutan dan komunikasi. Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah
menciptakan lingkungan yang mampu menarik minat investor.
Diterapkannya otonomi daerah, membuat pemerintah daerah berlomba-lomba
menarik minat investor masuk dan menanamkan modalnya di daerah. Daerah berharap
bahwa seluruh atau sebagian besar manfaat dari investasi di daerahnya mampu memicu
pertumbuhan perekonomian daerahnya. Pemerintah daerah belum menyadari dengan
baik bahwa limpahan manfaat investasi tidak semuanya mengalir ke daerah tempat
investasi, tetapi sebagian kecil atau dapat juga dalam porsi yang cukup besar dapat
mengalir ke daerah lain, terutama pulau Jawa. Hal ini disebabkan karena Pulau Jawa
memiliki infrastruktur perekonomian paling lengkap.
Tingginya konsentrasi penduduk di Jawa tentu saja diikuti oleh konsentrasi
aktivitas ekonomi. Kadar aktivitas ekonomi dapat ditunjukkan oleh angka Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), periode 2000-2005, Jawa (Provinsi Banten, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali) memberikan
kontribusi lebih dari 60 persen terhadap total PDRB seluruh daerah (Tabel 2).
Kemudian perannya agak menurun ketika terjadi krisis ekonomi nasional. Diperkirakan
perannya kembali akan meningkat setelah perekonomian pulih dari krisis. Fakta
demikian menunjukkan bahwa peran Jawa sangat dominan dalam perekonomian
Indonesia.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-5
Tabel 1. Komposisi Penduduk Indonesia Menurut Provinsi, Tahun 2000-2005
No Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 NAD 0.86 0.86 1.90 1.97 1.88 1.882 Sumatera Utara 5.72 5.70 5.64 5.53 5.56 5.563 Sumatera Barat 2.11 2.09 2.03 2.08 2.09 2.084 Riau 2.36 2.40 2.52 2.59 2.62 2.625 Jambi 1.20 1.20 1.18 1.20 1.21 1.216 Sumatera Selatan 3.41 3.41 3.40 3.03 3.04 3.047 Bangka Belitung 0.45 0.47 0.43 0.46 0.47 0.478 Bengkulu 0.78 0.70 0.78 0.71 0.71 0.719 Lampung 3.30 3.30 3.25 3.23 3.24 3.2410 Banten 4.02 4.06 4.04 4.18 4.19 4.1911 DKI Jakarta 4.15 4.13 3.97 4.01 3.81 4.0212 Jawa Barat 17.75 17.73 17.51 17.72 17.74 17.7213 Jawa Tengah 15.37 15.27 15.03 14.95 14.93 14.9414 DI Yogya 1.55 1.54 1.50 1.50 1.48 1.4815 Jawa Timur 17.28 17.06 16.67 16.89 16.78 16.7516 Kalimantan Barat 1.85 1.86 1.98 1.84 1.85 1.8517 Kalimantan Tengah 0.89 0.90 0.92 0.85 0.86 0.8618 Kalimantan Selatan 1.00 1.03 1.08 1.03 1.04 1.0319 Kalimantan Timur 1.48 1.47 1.45 1.48 1.48 1.4820 Sulawesi Utara 3.88 3.86 3.91 3.83 3.85 3.8421 Gorontalo 1.21 1.22 1.22 1.26 1.27 1.2722 Sulawesi Tengah 0.98 0.98 0.97 0.99 0.99 0.9923 Sulawesi Selatan 0.41 0.42 0.41 0.41 0.41 0.4124 Sulawesi Tenggara 0.88 0.89 0.91 0.87 0.88 0.8825 Bali 1.56 1.55 1.53 1.56 1.56 1.5626 NTB 1.90 1.90 1.96 1.87 1.88 1.8727 NTT 1.89 1.96 1.86 1.90 1.91 1.9128 Maluku 0.57 0.59 0.57 0.57 0.57 0.5729 Maluku Utara 0.33 0.39 0.37 0.40 0.54 0.4030 Papua 0.84 1.06 1.04 1.10 1.15 1.16
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00Sumber: Statistik Indonesia, diolah dari berbagai terbitan, BPS
Walaupun posisi ekonomi Jawa sangat dominan, pendapatan per kapitanya
bukanlah yang tertinggi. PDRB per kapita tertinggi diraih oleh penduduk yang
bertempat tinggal di luar Jawa, seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. PDRB
per kapita Jawa berada di sekitar nilai PDRB per kapita nasional. PDRB per kapita Jawa
tertekan oleh jumlah penduduknya yang mencapai lebih 60 persen dari penduduk
Indonesia. Pada Tabel 3 dicantumkan nilai PDRB per kapita dalam harga konstan 2000
menurut kelompok provinsi.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-6
Tabel 2. Komposisi Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Konstan 2000 Menurut Provinsin, Tahun 2000-2005 (%)
No Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 NAD 2.97 2.53 2.92 2.96 2.57 2.12 2 Sumatera Utara 5.19 5.16 5.19 5.23 5.30 5.33 3 Sumatera Barat 1.72 1.70 1.71 1.74 1.76 1.77 4 Riau 5.22 5.65 5.53 4.85 4.79 4.80 5 Jambi 0.72 0.73 0.75 0.75 0.76 0.76 6 Sumatera Selatan 3.10 3.04 3.01 3.00 3.01 3.01 7 Bangka Belitung 0.46 0.46 0.48 0.51 0.51 0.50 8 Bengkulu 0.37 0.36 0.37 0.37 0.38 0.38 9 Lampung 1.75 1.73 1.75 1.78 1.80 1.78
10 Banten 3.43 3.41 3.41 3.45 3.49 3.52 11 DKI Jakarta 17.11 17.13 17.26 17.49 17.73 17.89 12 Jawa Barat 14.70 14.59 14.58 14.71 14.83 14.90 13 Jawa Tengah 8.61 8.53 8.49 8.57 8.64 8.67 14 DI Yogya 1.01 1.01 1.01 1.02 1.03 1.03 15 Jawa Timur 15.23 15.10 15.07 15.19 15.42 15.54 16 Kalimantan Barat 1.45 1.42 1.43 1.42 1.43 1.42 17 Kalimantan Tengah 0.82 0.81 0.82 0.83 0.84 0.85 18 Kalimantan Selatan 1.30 1.29 1.28 1.29 1.30 1.31 19 Kalimantan Timur 6.19 6.20 6.06 5.94 5.80 5.67 20 Sulawesi Utara 0.80 0.78 0.78 0.77 0.77 0.77 21 Gorontalo 0.11 0.11 0.11 0.12 0.12 0.12 22 Sulawesi Tengah 0.65 0.65 0.66 0.68 0.70 0.71 23 Sulawesi Selatan 2.12 2.31 2.31 2.34 2.36 2.21 24 Sulawesi Tenggara 0.43 0.44 0.45 0.46 0.48 0.49 25 Bali 1.30 1.28 1.27 1.27 1.27 1.28 26 NTB 0.92 0.94 0.93 0.93 0.95 0.92 27 NTT 0.59 0.59 0.59 0.60 0.60 0.59 28 Maluku 0.21 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 29 Maluku Utara 0.14 0.14 0.14 0.13 0.14 0.14 30 Papua 1.38 1.71 1.45 1.39 1.04 1.35
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Sumber: PDRB Provinsi, diolah dari berbagai terbitan, BPS
Posisi ekonomi Jawa yang dominan menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi
antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan ini mendapat perhatian karena dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap aspek demografi, politik, ekonomi, pertahanan
keamanan dan sebagainya. Penyebab lain ketimpangan ekonomi di antaranya adalah
kondisi infrastruktur dan sumberdaya manusia Jawa & Bali telah lebih maju daripada
daerah lain. Infrastruktur yang dimaksud diantaranya adalah ketersediaan tenaga listrik,
prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi. Karena kelebihannya dalam
kepemilikan infrastruktur tersebut, maka pelaku ekonomi memilih Jawa & Bali sebagai
pusat kegiatan bisnis nasional.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-7
Tabel 3. PDRB per Kapita dalam Harga Konstan 2000 Menurut Pulau, Tahun 2000-2005 (Juta rupiah)
No Provinsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005
1 NAD 22.77 20.10 10.56 10.60 9.91 8.55 2 Sumatera Utara 6.01 6.21 6.32 6.65 6.90 7.25 3 Sumatera Barat 5.40 5.59 5.79 5.87 6.09 6.43 4 Riau 14.63 16.13 15.09 13.15 13.24 13.88 5 Jambi 3.98 4.19 4.36 4.42 4.56 4.81 6 Sumatera Selatan 6.03 6.11 6.09 6.98 7.18 7.49 7 Bangka Belitung 6.79 6.71 7.56 7.91 7.87 8.03 8 Bengkulu 3.12 3.56 3.24 3.69 3.82 4.03 9 Lampung 3.50 3.58 3.71 3.88 4.02 4.15
10 Banten 5.64 5.75 5.80 5.80 6.04 6.37 11 DKI Jakarta 27.30 28.42 29.88 30.64 33.66 33.75 12 Jawa Barat 5.48 5.64 5.73 5.84 6.06 6.37 13 Jawa Tengah 3.71 3.82 3.88 4.03 4.19 4.40 14 DI Yogya 4.32 4.49 4.65 4.79 5.01 5.26 15 Jawa Timur 5.83 6.06 6.22 6.32 6.66 7.03 16 Kalimantan Barat 5.18 5.24 4.98 5.42 5.58 5.81 17 Kalimantan Tengah 6.10 6.15 6.11 6.84 7.06 7.46 18 Kalimantan Selatan 8.58 8.56 8.20 8.82 9.12 9.57 19 Kalimantan Timur 27.71 28.79 28.76 28.19 28.28 29.00 20 Sulawesi Utara 1.37 1.39 1.37 1.42 1.46 1.52 21 Gorontalo 0.60 0.62 0.65 0.65 0.69 0.73 22 Sulawesi Tengah 4.38 4.55 4.70 4.79 5.07 5.43 23 Sulawesi Selatan 34.04 37.79 39.14 39.96 41.38 40.59 24 Sulawesi Tenggara 3.25 3.34 3.38 3.71 3.91 4.17 25 Bali 5.49 5.66 5.73 5.69 5.88 6.20 26 NTB 3.18 3.39 3.28 3.51 3.67 3.73 27 NTT 2.06 2.06 2.20 2.21 2.28 2.34 28 Maluku 2.41 2.30 2.37 2.44 2.50 2.62 29 Maluku Utara 2.81 2.43 2.52 2.38 1.82 2.56 30 Papua 10.84 11.04 9.64 8.95 6.51 8.84
Sumber: PDRB Provinsi dan Statistik Indonesia, diolah dari berbagai terbitan, BPS
Jawa & Bali oleh sebagian besar pengusaha dijadikan tempat penyusunan
kebijakan, strategi dan perencanaan bisnis berskala nasional maupun internasional.
Sementara bisnis di luar Jawa kebanyakan berupa pabrikan atau unit usaha yang hanya
menjalankan operasional secara teknis. Dengan demikian sekalipun omset bisnis di luar
Jawa cukup besar, namun perputaran uang sebagian besar masih berada di antara
rekanan usaha yang berlokasi di Jawa. Besarnya perputaran uang di Jawa ini mendorong
kegiatan perekonomian yang semakin tinggi di Jawa, sekalipun usaha penciptaan
uangnya berada di luar Jawa.
Penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antardaerah berikutnya dapat dilihat
dari aspek kepemilikan faktor produksi, yaitu modal atau kapital dan tenaga kerja. Jawa
memiliki keunggulan dalam faktor kapital dan tenaga kerja, tetapi miskin akan
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-8
sumberdaya alam. Sementara itu daerah luar Jawa memiliki keunggulan dalam
kepemilikan bahan baku berupa sumberdaya alam, baik berupa barang tambang, hasil
perkebunan dan kelautan.
Daerah yang menguasai kepemilikan kapital dan tenaga kerja cenderung
mengalami laju pertumbuhan ekonomi tinggi, sedangkan daerah kaya sumberdaya alam
mengalami laju pertumbuhan ekonomi lebih lamban. Oleh karena terdapat perbedaan
kepemilikan faktor antar daerah, maka terjadi spesifikasi produksi, yang akan
mendorong kegiatan perdagangan antardaerah.
Daerah yang memiliki banyak keunggulan dalam kepemilikan faktor akan
menjadi tempat berproduksi (sentra produksi) dan sekaligus sebagai pemasok barang
dan jasa bagi daerah-daerah lainnya. Apalagi jika ditunjang dengan jumlah penduduk
yang besar. Berbeda dengan daerah yang memiliki keunggulan dalam aspek
kepemilikan sumberdaya alam dan kepemilikan faktor, maka daerah-daerah yang
terbelakang perkembangan ekonominya hampir dipastikan lebih lambat. Selain itu
daerah ini masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap daerah yang lebih maju.
Mengingat adanya perbedaan karakteristik antardaerah di Indonesia yang disebabkan
oleh jumlah penduduk, kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kapital dan
sumberdaya alam, maka ketergantungan atau keterkaitan ekonomi antardaerah
dipastikan akan terjadi. Sehubungan dengan struktur keterkaitan ekonomi tersebut
muncul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban melalui suatu penelitian
ilmiah, yaitu:
1. Bagaimana model keterkaitan ekonomi regional antar-pulau dan bagaimana
konsep pengembangan podel keterkaitan regional yang ”acceptable,
implementable, dan managable.”
2. Bagaimana dampak terhadap pulau tertentu, jika terdapat shock di pulau lain
dengan melakukan berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk
perencanaan keterkaitan pembangunan nasional dan regional.
3. Bagaimana pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional, sektoral
maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah.
4. Bagaimana suatu skenario pembangunan wilayah yang sesuai dengan
keterkaitan pembangunan regional dan sasaran pembangunan nasional.
5. Bagaimana merumuskan strategi kebijakan, program pembangunan prioritas,
kewenangan serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun
untuk periode jangka pendek, menengah dan panjang.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-9
1.3. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang dan permasalahan studi yang telah
diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari kajian ini adalah:
1. Membangun model keterkaitan regional berbasis model-model yang telah
dikembangkan sebelumnya (Model MRIO- CGE - Ekonometrika).
2. Melakukan berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan
keterkaitan pembangunan nasional dan regional.
3. Menganalisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional, regional,
sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah.
4. Merumuskan strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan
serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk
periode jangka pendek, menengah dan panjang.
1.4. Sasaran
Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah:
1. Terumuskannya konsep Pengembangan Model Keterkaitan Regional yang
merupakan hasil penyempurnaan dari berbagai model yang telah
dikembangkan (Model MRIO- CGE - Ekonometrika);
2. Terlaksananya berbagai simulasi kebijakan pembangunan untuk perencanaan
keterkaitan pembangunan nasional dan regional;
3. Terlaksananya analisis pola dampak dari keterkaitan kebijakan nasional,
regional, sektoral maupun tata ruang terhadap perekonomian suatu daerah;
4. Tersusunnya strategi kebijakan, program pembangunan prioritas, kewenangan
serta instrumen kebijakan berdasarkan hasil model yang dibangun untuk
periode jangka pendek, menengah dan panjang.
1.5. Relevansi Kajian dengan Unit Kerja
Adapun penerima manfaat dari kajian ini adalah Bappenas pada umumnya dan
unit kerja bersangkutan pada khususnya. Keluaran dari kajian ini akan mendukung
upaya analisis untuk perencanaan pengembangan wilayah dan antarwilayah dengan
menggunakan model kuantitatif keterkaitan regional untuk melakukan simulasi berbagai
kebijakan pembangunan untuk perencanaan, analisis dampak dari keterkaitan kebijakan,
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-10
dan pengembangan skenario pembangunan wilayah. Dari hasil simulasi dan analisis
tersebut diharapkan akan memberikan masukan dalam rencana pembangunan
pemerintah dalam jangka pendek dan menengah, khususnya dalam perencanaan
pembangunan untuk pengembangan wilayah dan antarwilayah, dan mengurangi
kesenjangan antarwilayah. Masukan tersebut akan mendukung dan memperkaya
perencanaan dalam bidang pembangunan wilayah serta memberikan aspek spasial pada
sistem perencanaan nasional.
1.6. Ruang Lingkup Kegiatan
Model keterkaitan regional dititikberatkan pada serangkaian kegiatan untuk
mengembangkan dan menyempurnakan berbagai model pengembangan wilayah yang
telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dengan lebih menitikberatkan pada
keterkaitan regional, sektoral dan tata ruang. Merumuskan skenario dan alternatif
kebijakan keterkaitan regional, dan melakukan simulasi dampak kebijakan terhadap
pembangunan wilayah. Ruang lingkup kegiatan pengembangan model keterkaitan
regional adalah: ”Pengembangan Model CGE (Pendekatan Botto-Up) dan Model
Ekonometrika Keterkaitan Regional”
1. Pengumpulan data-data dan literatur dari berbagai sumber, antara lain:
a. Data statistik terbaru: sensus, laporan, dst.
b. Data regional dan sektoral terbaru: data regional dari Provinsi dan data
sektoral departemen teknis, LPND, data dari universitas dan lembaga-
lembaga kajian;
c. Kebijakan-kebijakan nasional, regional, sektoral dan tata ruang yang terkait
dengan pembangunan daerah;
d. Literatur-literatur terkait untuk penyusunan Model Keterkaitan Regional.
2. Analisis data dan pengkajian literatur untuk pengembangan Model Keterkaitan
Regional.
3. Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti antara lain oleh unsur-unsur
pemerintah pusat, pemerintah daerah, pakar, serta perguruan tinggi, untuk
memperoleh masukan dalam pengembangan Model Keterkaitan Regional.
4. Penyusunan laporan kajian pengembangan Model Keterkaitan Regional.
Sosialisasi dan Diskusi hasil Kajian berupa Lokakarya/workshop dengan
mengundang stakeholders terkait untuk diseminasi hasil kajian di tingkat pusat dan
sosialisasi ke daerah terpilih Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Riau.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-11
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional I-12
1.7. Keluaran
Setelah membangun model keterkaitan regional, maka output yang diharapkan
dari kajian ini adalah: Skenario Pembangunan antarwilayah yang berpedoman pada
Konsep perencanaan keterkaitan pembangunan regional. Skenario ini antara lain berisi
rekomendasi kebijakan dan prioritas dalam perencanaan pembangunan baik dalam
Periode Jangka Pendek (tahunan) dan Jangka Menengah (5 tahun).
BAB
II T I N J A U A N P U S T A K A
2.1. Definisi Wilayah
Setidaknya ada tiga definisi tentang daerah yang sering dijumpai dalam literatur,
yaitu daerah homogen, daerah nodal dan daerah perencanaan atau daerah administratif
(Richardson, 1969). Penjelasan masing-masing definisi daerah adalah sebagai berikut:
1. Konsep daerah homogen didasarkan pada suatu pandangan bahwa unit-unit spasial
dapat dikelompokkan menjadi suatu daerah tunggal jika mereka memiliki
karakteristik yang sama. Karakteristik yang dimaksud dapat berupa karakteristik
ekonomi, geografi ataupun sosial-politik. Pendefinisian daerah akan menjadi sulit
manakala daerah-daerah tersebut seragam dalam beberapa hal tetapi tidak seragam
dalam aspek lainnya.
2. Konsep daerah nodal, didefinisikan sebagai suatu daerah yang terdiri atas satuan-
satuan ruang yang berbeda yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya baik
secara internal maupun secara eksternal. Secara internal keterkaitan fungsional
terjadi melalui perdagangan dan layanan jasa-jasa di dalam daerah yang
bersangkutan. Secara eksternal jaringan produksi, perdagangan, angkutan,
komunikasi, imigrasi, aliran bahan baku dan komoditas mengaitkan suatu daerah
dengan daerah yang lainnya, termasuk dengan luar negeri.
3. Klasifikasi daerah perencanaan atau administratif dipandang penting dalam kaitannya
dengan perumusan kebijakan dan perencanaan serta analisis daerah. Mengingat
pelaksanaan kebijakan daerah membutuhkan legitimasi kekuasaan maka daerah ini
perlu didefinisikan sebagai daerah administratif dengan legalitas politik yang jelas
pada berbagai tingkat.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 1
Mengacu kepada definisi daerah administratif, maka Indonesia dapat dibagi-bagi
menjadi beberapa tingkat daerah yaitu propinsi, kabupaten/kota dan Desa.
Memperhatikan aspek ini sangatlah penting dalam upaya mengelompokkan berbagai
propinsi menjadi beberapa kesatuan daerah yang lebih luas, misalnya kesatuan pulau.
Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau, dengan adat-istiadat dan budaya yang
berbeda-beda menjadi dasar terjadinya perbedaan karakter sosial, politik dan ekonomi.
Aspek ekonomi sangat dipengaruhi oleh karakter geografis, aspek sosial dan politik.
Oleh karena itu di samping mempertimbangkan aspek ekonomi, untuk
mengelompokkan daerah-daerah menjadi beberapa kesatuan daerah yang lebih luas,
misalnya pulau, juga harus mempertimbangkan aspek geografis, sosial dan politik.
Akibat dari penjelasan pada dua paragraf sebelumnya, maka penggabungan beberapa
propinsi menjadi daerah yang lebih besar harus mempertimbangkan kriteria daerah
administratif dan daerah homogen.
2.2. Migrasi di Indonesia
Migrasi merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan dari gerak
langkah pembangunan ekonomi. Berbagai motif yang melatarbelakangi individu untuk
melakukan migrasi didominasi oleh adanya keinginan untuk mengubah hidup dan mutu
kehidupan individu tersebut. Tirtosudarmo (1985), menyatakan bahwa keputusan dan
kemampuan merealisasikan keputusan tersebut sangat tergantung pada lingkungan
sosial, ekonomi dan industri yang bersangkutan. Artinya keputusan untuk melakukan
migrasi tidak hanya semata-mata karena pertimbangan sendiri tetapi juga oleh
perubahan-perubahan struktural di dalam masyarakat dimana individu berdomisili
(Syafa’at, 1998).
Keputusan untuk melakukan migrasi ditandai oleh adanya faktor pendorong
(push factor) dari tempat seseorang bermukim dan pilihan tujuan sebagai tempat
berpindah yang dicirikan oleh adanya faktor penarik (pull factor) dari tempat tujuan
tadi. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, satu hal yang dominan adalah
kemungkinan diperolehnya tambahan pendapatan tunai sebagai hasil jerih payah bekerja
pada berbagai pilihan pekerjaan di tempat yang baru. Berbagai alasan yang
dikemukakan untuk melakukan migrasi sebenarnya mempunyai tujuan utama untuk
mengubah status ekonomi, sekaligus status sosial dan kehidupan seseorang/sekeluarga
di tengah masyarakat.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 2
Colter (1984), menyebutkan bahwa walaupun pembangunan ekonomi antara
perdesaan dan kota belum seimbang, sehingga mendorong adanya mobilitas penduduk
dari wilayah perdesaan ke perkotaan. Pola migrasi penduduk, menunjukkan adanya
kecenderungan meningkatnya migran sirkuler dan kecenderungan makin menurunnya
migran komuter. Hal ini terjadi karena faktor sosial, yaitu adanya pandangan dalam
masyarakat desa bahwa migran sirkuler merupakan kelompok migran paling berhasil
dalam memperbaiki status ekonomi dan sosialnya (Erwidodo, 1991), sehingga
kelompok migran komuter yang sudah merasa mapan pekerjaannya merubah pola
migrannya menjadi sirkuler. Perubahan pola migran tersebut, juga dipengaruhi oleh
semakin mahalnya biaya transportasi dan makin tidak pastinya kesempatan kerja di
desa.
Adanya empat konsep yang dapat digunakan untuk menelaah proses urbanisasi
yaitu : (1) sistem perekonomian (urban systems), (2) mobilitas penduduk desa-desa,
kota-kota, desa-kota, (3) struktur tata ruang, dan (4) model ekonomi yang digunakan
dalam pembangunan ekonominya (Todaro, 2000).
Urbanisasi merupakan suatu proses yang wajar dan dialami oleh semua negara.
Proses urbanisasi suatu negara perlu diketahui untuk melihat sejauh mana tingkat
hubungan antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan, apakah hubungan
tersebut bersifat simetris atau asimetris, dan sejauh mana intensitas atau bentuk
hubungan antara kedua wilayah tersebut. Proses urbanisasi dapat dilihat dari dinamika
mobilitas penduduk desa-kota dan kota-desa. Mobilitas penduduk secara geometris
antara satu lokasi dengan lokasi yang lain atau antara daerah perdesaan dan daerah
perkotaan merupakan suatu fenomena yang dapat terjadi dimana pun selama dua lokasi
tersebut masih terdapat adanya perbedaan.
Selanjutnya pada periode krisis ekonomi tingkat urbanisasi tergolong tinggi,
karena lebih kurang 50 persen penduduk telah terurbanisasi. Tingkat urbanisasi
meningkat dari 2.173 persen menjadi 2.487 persen pada periode krisis ekonomi (BPS,
1998). Hal ini menunjukkan bahwa periode krisis, perpindahan penduduk dari desa ke
kota tetap terjadi. Namun diperkirakan keputusan migrasi yang terjadi pada periode
tersebut terjadi bukan karena alasan ekonomi, tetapi lebih mengarah kepada alasan non-
ekonomi.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 3
2.3. Distribusi Pendapatan dan Ketimpangan Antar-Daerah
Dalam teori ekonomi distribusi pendapatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) distribusi pendapatan institusional atau distribusi pendapatan personal, yaitu
distribusi pendapatan yang terjadi antar institusi maupun antar kelompok rumahtangga;
dan (2) distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial, adalah
distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi (Semaoen, 1992).
Distribusi pendapatan personal atau institusional adalah merupakan ukuran yang
paling umum digunakan oleh para ekonom. Ukuran ini hanya berkaitan dengan masing-
masing individu atau satu kelompok masyarakat dan jumlah penghasilan yang mereka
terima. Besarnya pendapatan personal yang diterima oleh masing-masing individu atau
kelompok masyarakat, sangat tergantung dari kepemilikan faktor produksi. Individu
dapat memberikan jasa tenaga kerja, keterampilan (manajemen), dan modal yang
dimilikinya dalam suatu proses produksi. Imbalan terhadap digunakannya faktor
produksi milik individu masyarakat itulah yang diterima sebagai pendapatan personal
(Semaoen. 1992).
Imbalan yang diterima oleh setiap individu atau kelompok masyarakat, dapat
berupa : (1) upah atau gaji, sebagai balas jasa atas penggunaan faktor produksi dalam
suatu proses produksi, (2) laba, dividen, bunga, sewa, dan lain sebagainya atas imbalan
penggunaan modal atau kapital, dan (3) pendapatan lain, atas imbalan yang dibayarkan
untuk kepemilikan faktor produksi lainnya.
Selanjutnya Todaro (1991), Yotopolus dan Nugent (1976), menggunakan Kurva
Lorenz dan Koefisien Gini untuk mengukur distribusi pendapatan. Kurva Lorenz dapat
menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis, sedangkan Koefisien Gini mengukur
ketimpangan pendapatan yang terjadi dengan melihat hubungan antara jumlah
penduduk dengan distribusi pendapatan dalam bentuk persentase kumulatif.
Distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan faktorial ini
menjelaskan distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi
yang digunakan dalam proses produksi. Besarnya kecilnya pendapatan ini tergantung
dari seberapa besar atau seberapa banyak faktor produksi yang digunakan, selain juga
ditentukan oleh faktor harga faktor produksi.
Dalam melakukan analisis distribusi pendapatan faktorial ini, produksi total
dibagi habis dalam faktor produksi yang digunakan. Dalam konteks analisis SAM, ada
dua faktor produksi yang digunakan yaitu modal dan tenaga kerja. Perubahan dalam
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 4
pemakaian faktor produksi akan menyebabkan perubahan dalam distribusi pendapatan
faktorial atau fungsional. Selanjutnya, pendapatan yang diterimakan kepada masing-
masing faktor produksi tersebut akan diterima oleh pemilik faktor produksi.
Semaoen (1992) mengatakan bahwa pengukuran distribusi pendapatan dapat
dilakukan dengan metode akuntansi dan dengan menggunakan fungsi produksi guna
memperoleh andil faktor (factor share) dari setiap faktor produksi yang digunakan.
Metode akuntansi dalam menghitung andil faktor setiap masukan (faktor produksi)
memerlukan data mengenai jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi dan balas jasa yang diterima oleh setiap faktor tersebut. Dalam
perhitungannya, nilai produksi dialokasikan kepada setiap faktor produksi sebagai balas
jasa dari penggunaan faktor produksi tersebut. Balas jasa terhadap faktor produksi ini,
merupakan pendapatan dari masing-masing faktor tersebut, atau yang disebut sebagai
pendapatan faktorial.
Wie (1981) mengemukakan bahwa negara yang hanya menekankan pada
pertumbuhan ekonomi tanpa memikirkan distribusi pendapatan, akan memunculkan
ketimpangan-ketimpangan di antaranya:
a. Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif. Ketimpangan
yang terjadi antar golongan ini sering kali diukur dengan menggunakan koefisien
Gini. Kendati koefisien Gini bukan merupakan indikator yang ideal mengenai
ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat
memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi
pendapatan.
b. Ketimpangan pendapatan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan. Ketimpangan
dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan pendapatan
antara masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan (urban-rural income
disparities). Untuk membedakan hal itu digunakan dua indikator: (1) perbandingan
antara tingkat pendapatan per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan, dan (2)
disparitas pendapatan daerah perkotaan dan daerah perdesaan(perbedaan pendapatan
rata-rata antara kedua daerah sebagai persentase dari pendapatan nasional rata-rata).
Menurut Bank Dunia, pola pembangunan Indonesia memang memperlihatkan suatu
urban bias dengan tekanan berat pada sektor industri, yang merupakan landasan bagi
ketimpangan distribusi pendapatan di kemudian hari.
c. Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah. Untuk melihat ketimpangan
distribusi pendapatan nasional, adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 5
antar berbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pula terjadinya
ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah (regional income disparities).
Ketimpangan pendapatan seperti ini disebabkan oleh karena penyebaran
sumberdaya alam yang tidak merata, perbedaan laju pertumbuhan antar daerah, dan
belum berhasilnya usaha-usaha pembangunan yang merata antar daerah di
Indonesia.
Arif (1978) menyebutkan bahwa terdapat delapan proses yang telah
menimbulkan ketimpangan yang pada suatu wilayah ( pada level propinsi ataupun
negara), di antaranya (1) Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan
menurunnya pendapatan per kapita, (2) Inflasi dimana pendapatan uang bertambah
tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang, (3)
Ketidakmerataan pembangunan antar subwilayah (atau daerah yang lebih kecil), (4)
Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang intensif modal sehingga
persentase pendapatan dari harta bertambah besar dibandingkan dengan persentase
pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah, (5) Rendahnya
mobilitas sosial, (6) Pelaksanaan kebijaksanaan substitusi-impor industri yang
menyebabkan kenaikan harga barang-barang hasil industri untuk melindungi golongan
kapitalis, (7) Memburuknya term of trade bagi wilayah yang sedang berkembang dalam
perdagangan dengan wilayah maju (daerah atau negara) sebagai akibat ketidak elastisan
permintaan wilayah maju, dan (8) Hancurnya industri-industri rakyat, seperti:
pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lainnya.
Lebih lanjut, Wie (1981) menjelaskan bahwa dalam upaya mengurangi
ketimpangan tersebut adalah dengan strategi campur tangan pemerintah. Dalam hal ini
diupayakan pembagian yang merata dari sumberdaya yang ada kepada golongan
masyarakat termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat.
Terdapat tiga cara dalam menanggulangi atau melakukan redistribusi
ketimpangan pendapatan, yaitu, (1) Redistribusi Non-Incremental. Hal ini menyangkut
kebijaksanaan redistribusi harta yang ada, seperti: pemungutan pajak pendapatan secara
progresif, (2) Redistribusi Incremental. Cara ini digunakan dalam pemungutan pajak
bagi golongan yang berpendapatan tinggi, yang selanjutnya dibagikan langsung kepada
mereka yang kurang mampu. Kebijaksanaan ini biasanya dianut oleh negara-negara
sosialis, dan (3) Redistribusi melalui pertumbuhan. Kebijakan ini bertujuan untuk
menaikkan laju pertumbuhan pendapatan golongan masyarakat miskin, dengan tidak
mengurangi secara absolut pendapatan total.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 6
Ada beberapa hal yang terkandung dalam kebijaksanaan ini, seperti: (1)
mempertahankan laju pertumbuhan yang tinggi, (2) menstabilkan penghasilan golongan
paling kaya, (3) menyalurkan sebagian pendapatan golongan kaya sebagai hasil
pertumbuhan ke dalam berbagai bentuk investasi, dan (4) mengalokasikan investasi ke
dalam bentuk yang lebih bermanfaat bagi golongan masyarakat termiskin.Redistribusi
melalui pertumbuhan dapat digunakan untuk menganalisis potensi jangka panjang
pembangunan ekonomi, khususnya yang menyangkut kesenjangan (trade-off).
Setidaknya ada empat pendekatan untuk meningkatkan kesejahteraan golongan
masyarakat paling miskin (1) meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah
sampai tingkat maksimal dengan jalan meningkatkan tabungan dan mengalokasikan
sumberdaya secara lebih efektif dan efisien, (2) mengalihkan investasi kepada golongan
masyarakat miskin dalam bentuk pendidikan, kesehatan, penyediaan kredit dan fasilitas
umum, (3) melakukan redistribusi pendapatan kepada golongan masyarakat miskin
melalui sistem fiskal, atau mengalokasikan barang-barang konsumsi secara langsung,
dan (4) pengalihan harta yang sudah ada kepada golongan masyarakat miskin, misalnya
melalui land reform.
2.4. Studi Terdahulu Yang Terkait
Pada dasarnya penelitian mengenai keterkaitan multi regional di Indonesia
dengan menggunakan analisis ekonometrika belum pernah dilakukan sebelumnya.
Adapun penelitian mengenai keterkaitan regional biasanya dilakukan menggunakan
kerangka analisis input-output (I-O) dan Social Accounting Matrix (SAM). Para peneliti
umumnya menggunakan kedua alat analisis di atas mencoba mengungkapkan dan
mencari jawabannya, "siapa menerima apa" dari hasil-hasil pembangunan yang telah
dilaksanakan.
Downey (1984), melakukan penelitian untuk disertasi, mencoba menganalisis
ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia, untuk melihat siapa mendapat apa
(who gets what). Untuk menggambarkan kondisi ini, Downey melakukan disagregasi
terhadap institusi rumahtangga berdasarkan kepemilikan tanah pertanian, buruh tani,
buruh non-pertanian, desa-kota, dan lain sebagainya. Kemudian baru dianalisis
distribusi pendapatan yang diterima oleh masing-masing klasifikasi rumahtangga
tersebut. Pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga buruh tani sedangkan yang
tertinggi diterima oleh tenaga kerja perkotaan dan diikuti oleh pemilik tanah di atas lima
hektar. Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (1986), menggunakan Sistem Neraca Sosial
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 7
Ekonomi istilah lain dari SAM dan Model Keseimbangan Umum untuk melihat
pengaruh turunnya harga minyak dan subsidi minyak terhadap distribusi pendapatan.
Analisis SAM juga dapat digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan antar
sistem usahatani (tanaman dan ternak), daerah-daerah produksi, buruh tani dan tenaga
kerja wanita, dilakukan oleh Budiyanti dan Schreiner (1991).
Sutomo (1995), dengan menggunakan analisis SAM mencoba membandingkan
kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang terjadi pada dua wilayah, yaitu Propinsi
Riau dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Diperoleh hasil bahwa dalam
pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini telah terjadi ketimpangan pendapatan
antar kedua wilayah (NTT dan Riau), dan ketimpangan juga terjadi antar kelompok
rumahtangga dikedua wilayah. Masyarakat miskin (dengan pendapatan terendah)
diterima oleh rumahtangga buruh non-pertanian dan tertinggi pada kelompok
rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian (terjadi pada kedua propinsi).
Ketimpangan pendapatan ini ditunjukkan oleh indeks gini kedua propinsi tersebut
melebihi 0.5. Sedangkan dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan faktorial,
menunjukkan propinsi NTT intensif tenaga kerja sedangkan di propinsi Riau terjadi
sebaliknya, yaitu intensif modal. Ini berarti pada kedua propinsi, bila terjadi
peningkatan penggunaan tenaga kerja dan modal memiliki peranan penting dalam
meningkatkan nilai tambah bruto wilayah.
Analisis SAM regional dapat juga digunakan untuk menganalisis keterkaitan
sosial-ekonomi antar propinsi atau antar wilayah (dua wilayah atau lebih). Analisis ini
dikenal dengan analisis SAM Interregional (IRSAM). Analisis IRSAM untuk Malaysia
sudah dilakukan tahun 1970 (Pyatt dan Round, 1985), dengan membagi wilayah
Malaysia menjadi dua wilayah, yaitu: Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Studi
IRSAM di Indonesia dilakukan oleh Hidayat (1991). Hidayat membagi wilayah
Indonesia menjadi dua wilayah makro (Jawa dan Luar Jawa) dan tujuh wilayah mikro,
masing-masing tiga wilayah mikro di Jawa, dan empat wilayah mikro untuk luar Jawa.
Studi ini digunakan untuk menguji struktur dan keterkaitan (interdependence) antar
kedua wilayah makro dan menunjukkan implikasinya pada perekonomian secara
menyeluruh, termasuk di dalamnya: distribusi pendapatan, peningkatan produksi dan
kinerja ekspor dari sektor-sektor yang berlainan antara wilayah pinggir dengan wilayah
pusat.
Model Interregional Computable General Equilibrium (IRCGE) adalah
pengembangan dari IRSAM, seperti yang dilakukan oleh Tumenggung (1995) dan
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 8
Wuryanto (1996). Tumenggung membangun model IRCGE dengan menggunakan
kerangka IRSAM Indonesia yang dibangun oleh Hidayat sebagai tabel dasar, dengan
membagi wilayah Indonesia menjadi dua, Jawa dan Luar Jawa.
Wuryanto (1996), dengan menggunakan model CGE, menganalisis keterkaitan
antara desentralisasi fiskal dengan kinerja ekonomi Indonesia. Wuryanto juga
mengelompokkan Indonesia menjadi dua wilayah makro; Jawa dan Luar Jawa, seperti
halnya Hidayat dan Tumenggung. Dari hasil studinya ditemukan bahwa desentralisasi
fiskal dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga regional hampir di semua wilayah
(region), terutama di Jawa. Namun, peningkatan pendapatan rumahtangga di Luar Jawa
yang awalnya rendah cenderung menimbulkan ketimpangan pendapatan.
Penelitian mengenai migrasi lebih banyak dilakukan dalam skala mikro dan
spasial/kewilayahan. Pergerakan atau mobilitas penduduk sudah merupakan bagian
yang tak terpisahkan dengan proses berkembangnya pembangunan di Indonesia.
Mobilitas penduduk sendiri merupakan produk dari berbagai faktor antara lain
kepadatan penduduk, langkanya lapangan kerja di desa, keinginan untuk mencapai taraf
hidup yang lebih baik, daya tarik kota dan berbagai faktor lainnya yang pada dasarnya
dapat diklasifikasikan pada faktor penarik dan pendorong terjadinya mobilitas
penduduk.
Noekman dan Erwidodo (1992), meneliti tentang pengaruh kondisi desa dan
karakteristik individu terhadap mobilitas penduduk dengan menggunakan fungsi logit.
Hasil studinya menunjukkan bahwa keputusan seseorang untuk bermigrasi dipengaruhi
oleh luas lahan yang dimiliki, usia, pendidikan, dan kondisi desa yang diwakili oleh
keadaan irigasinya.
Hasil studi di atas sejalan dengan hasil penelitian Gunawan dan Zulham (1992),
yang menemukan bahwa minat masyarakat perdesaan untuk bekerja di sektor pertanian
berkurang terutama pada kelompok muda dan berpendidikan. Pada kelompok ini tingkat
migrasi sangat tinggi, sehingga diperkirakan pertanian akan didominasi pekerja berusia
tua dan berpendidikan rendah.
Hasil penelitian Levy dan Walter (1974), menunjukkan hasil yang berlawanan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Noekman dan Erwidodo (1992), terutama
mengenai faktor jarak, yaitu menunjukkan bahwa: (1) Jarak berpengaruh nyata terhadap
migrasi, baik migran yang tidak berpendidikan maupun migran yang berpendidikan
dasar dan lanjutan, dimana semakin jauh jarak yang ditempuh migran akan mengurangi
jumlah migran di Venezuela. Pengaruh jarak ini semakin kecil dengan semakin tinggi
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 9
pendidikan migran, (2) Jumlah migran akan menurun dengan meningkatnya upah di
daerah asal dan jumlah migran akan meningkat dengan meningkatnya upah di daerah
tujuan, (3) Berdasarkan tingkat pendidikan, migran yang berpendidikan lebih respons
terhadap perubahan upah baik di daerah asal maupun di daerah tujuan daripada migran
yang tidak berpendidikan, dan (4) Tingkat pengangguran di daerah asal mempunyai
hubungan positif dengan jumlah migrasi, sedangkan tingkat pengangguran di daerah
tujuan (Venezuela) mempunyai hubungan negatif dengan jumlah migrasi.
Sebaliknya, hasil penelitian Rofiqoh (1994), menunjukkan hasil analisis yang
sama dengan penelitian Levy dan Walter (1974). Rofiqoh (1994), meneliti faktor-faktor
yang mempengaruhi migrasi di Kalimantan Timur dan menemukan bahwa: (1) Jarak
antara daerah asal dan daerah tujuan mempunyai hubungan negatif dengan migrasi neto
yang masuk ke Kalimantan Timur, (2) Rasio upah nyata antara daerah asal dan tujuan
berhubungan positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (3) Rasio
jumlah tenaga kerja yang menamatkan SMP dan SMA antara daerah asal dan tujuan
mempunyai hubungan yang positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan
Timur, (4) Rasio jumlah tenaga kerja yang menamatkan Perguruan Tinggi antara daerah
asal dan tujuan mempunyai hubungan negatif dengan migrasi neto yang masuk ke
Kalimantan Timur, (5) Tingkat kesempatan kerja relatif daerah asal terhadap daerah
tujuan berpengaruh positif dengan migrasi neto yang masuk ke Kalimantan Timur, (6)
Tingkat industrialisasi di propinsi tersebut relatif terhadap daerah asal berhubungan
positif dengan migrasi neto.
Secara lebih spesifik hasil studi Mintchell (1961) dan Mantra (1978),
mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang mendorong migran melakukan migrasi.
Faktor-faktor yang mendorong migran meninggalkan daerah asalnya disebut faktor
sentrifugal, sedangkan faktor-faktor yang menarik kembali ke daerah asalnya disebut
faktor sentripetal.
Mantra (1987), menganalisis mengenai migrasi penduduk di Indonesia
berdasarkan hasil Survey Penduduk Antar Sensus BPS (1985), memperoleh beberapa
karakteristik pada migran di antaranya: (1) Usia migran terkonsentrasi pada kelompok
usia 25-44 tahun, dimana kelompok ini merupakan kelompok usia produktif. Pada
kelompok usia 15-19 tahun persentase migran perempuan lebih besar dari persentase
migran laki-laki, karena pada usia tersebut migran perempuan pada umumnya belum
kawin, (2) Kebanyakan migran bekerja di sektor informal. Sekitar 45 persen sebagai
buruh, hampir seperempatnya berusaha sendiri, dan sekitar 15 persen bekerja sebagai
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 10
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional II- 11
buruh tetap, dan (3) Pendidikan migran relatif tinggi daripada pendidikan non migran.
Namun demikian migran yang telah berusia lanjut (>50 tahun) tingkat pendidikannya
rendah.
K E R A N G K A P E M I K I R A N BAB
III
3.1. Kerangka Teori
Berikut ini akan diuraikan kerangka teori yang digunakan sehubungan dengan
pengembangan model keterkaitan regional. Kerangka teori diwali dengan teori
pertumbuhan, model arus wilayah, perpindahan penduduk dan tenaga kerja, mobilitas
modal, dan neraca perdagangan dalam konteks wilayah.
3.1.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan gambaran kemampuan suatu wilayah untuk
menghasilkan barang-barang dan jasa, yang merupakan unsur penting dan menjadi
tujuan utama dari pembangunan ekonomi. Teori yang membahas tentang faktor-faktor
yang menentukan pertumbuhan ekonomi, secara umum dapat dibedakan menjadi dua
faktor, yaitu (1) faktor-faktor penentu dan sisi penawaran (supply side) dan (2) faktor-
faktor penentu dari sisi permintaan (demand side).
Dan sisi penawaran, faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi mencakup:
jumlah penduduk (sumber daya manusia), stok kapital, sumberdaya alam, dan
teknologi. Sedangkan dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi ditentukan atau
dipengaruhi antara lain oleh pengeluaran pemerintah (government expenditure),
investasi swasta (private investment) dan jumlah uang beredar (money supply). Berikut
ini akan dibahas beberapa teori pertumbuhan ekonomi, diantaranya adalah Teori
pertumbuhan Harrod-Domar, Teori pertumbuhan Solow dan Teori Pertumbuhan Baru
dan Model Human Capital.
3.1.1.1.Model Harrod-Domar
Teori Harrod-Domar (H-D) pada dasarnya berusaha untuk memadukan
pandangan kaum Klasik yang dinilai terlalu menekankan sisi penawaran (ingat Say's
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-1
law of market) dan pandangan Keynes yang lebih menekankan pada sisi permintaan
(demand side). Dalam kaitan ini, Harrod-Domar mengatakan bahwa investasi
memainkan peran ganda (dual role) yaitu di satu sisi, investasi akan meningkatkan
kemampuan produktif (productive capacity) dari perekonomian (Klasik) dan di sisi lain,
investasi akan menciptakan atau meningkatkan permintaan (demand creating) di dalam
perekonomian (Keynes).
Dalam teori H-D, investasi merupakan faktor penentu yang sangat penting dan
pertumbuhan ekonomi. Bahkan mereka mengatakan bahwa “tabungan dan investasi
merupakan kekuatan sentral dibalik pertumbuhan ekonomi” (saving and investment is
central forces behind economic growth). Secara sederhana, kaitan pertumbuhan
ekonomi, tabungan dan investasi dalam versi model H-D dapat dinyatakan sebagai
berikut:
Misalkan tabungan (S) adalah bagian dalam jumlah tertentu, atau, s, dari
pendapatan nasional (Y). Oleh karena itu, kita pun dapat menuliskan hubungan tersebut
dalam bentuk persamaan yang sederhana :
S = sY ……………………………………………………… (3.1)
Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diwakili
oleh K, sehingga kita dapat menuliskan persamaan sederhana yang kedua sebagai
berikut :
I = K ………………………………………………………….. (3.2)
Akan tetapi, karena jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung
dengan jumlah pendapatan nasional atau output Y, seperti telah ditunjukkan oleh rasio
modal-output, k, maka:
K/Y = k atau K/Y = k
Akhirnya
K = kY ……………………………………………………. (3.3)
Yang terakhir, mengingat jumlah keseluruhan dari tabungan nasional (S) harus
sama dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis
sebagai berikut :
S = I ………………………………………………………….. (3.4)
Dari persamaan (3.1) telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (3.2) dan
(3.3), juga telah diketahui bahwa: I = K = kY. Dengan demikian, ‘identitas’
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-2
tabungan yang merupakan persamaan modal dalam persamaan (3.4) adalah sebagai
berikut :
S = sY = kY = K = I …………………………………………. (3.5)
Atau bisa diringkas menjadi
sY = kY ………………………………………………………. (3.6)
Selanjutnya, apabila kedua sisi persamaan (3.6) dibagi mula-mula dengan Y dan
kemudian dengan k, maka akan didapat :
Y/Y = s/k ................................................................................ (3.7)
Dimana :
(Y/Y) = pertumbuhan ekonomi
s = tingkat tabungan nasional
k = ICOR (incremental capital output rasio, K/Y atau I/Y)
Y = Output nasional atan GNP, K = stok kapital, I=investasi
Persamaan tersebut menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (Y/Y)
ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s), dan rasio modal
output nasional (k). Dengan kata lain, makna secara ekonomi dapat diartikan bahwa
agar suatu perekonomian dapat bertumbuh, maka perekonomian yang bersangkutan
haruslah menabung dan menginvestasikan sebesar proporsi tertentu dari GNP-nya.
Dalam arti bahwa semakin besar suatu perekonomian menabung dan menginvestasikan
GNP-nya, maka semakin pesat pertumbuhan ekonominya (Todaro, 2000; Perkins, et. al,
2001).
3.1.1.2.Model Pertumbuhan Solow
Menurut teori pertumbuhan neoklasik tradisional (traditional neoclassical
growth theory), pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga
faktor: kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah
penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan
investasi), serta penyempurnaan teknologi.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa perekonomian tertutup (closed economy),
yakni tidak menjalin hubungan dengan pihak-pihak luar, yang tingkat tabungannya
rendah (dalam kondisi cateris paribus) dalam jangka pendek pasti akan mengalami laju
pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan perekonomian lainnya yang
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-3
memiliki tingkat tabungan lebih tinggi. Pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan
konvergensi penurunan pendapatan per kapita (semua perekonomian tertutup akan
sama-sama mengalami penurunan pendapatan per kapita). Di lain pihak, perekonomian
terbuka (open economy), yakni yang mengadakan hubungan perdagangan, investasi, dan
sebagainya dengan negara atau pihak-pihak luar, pasti akan mengalami suatu
konvergensi peningkatan pendapatan per kapita, karena arus permodalan akan mengalir
deras dan negara-negara kaya ke negara-negara miskin di mana rasio modal-tenaga
kerjanya masih rendah sehingga menjanjikan imbalan atau tingkat keuntungan investasi
(returns on investments) yang lebih tinggi.
Model pertumbuhan neoklasik Solow, merupakan model pertumbuhan ekonomi
yang paling terkenal, meskipun dalam hal tertentu model Solow menggambarkan
perekonomian negara maju secara lebih baik daripada kemampuannya dalam
menjelaskan perekonomian negara berkembang, namun tetap menjadi titik acuan dasar
dalam kepustakaan mengenai pertumbuhan dan pembangunan. Model ini menyatakan
bahwa secara kondisional, perekonomian berbagai negara akan bertemu (converge)
pada tingkat pendapatan yang sama, dengan syarat bahwa negara tersebut mempunyai
tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja, dan pertumbuhan
produktivitas yang sama.
Modifikasi penting dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah bahwa model
Solow membolehkan substitusi antara modal dan tenaga kerja. Dalam proses produksi,
dengan mengasumsikan bahwa terdapat tambahan hasil yang semakin berkurang dalam
penggunaan input-input ini. Fungsi produksi agregat,
Y = F(K, L) .................................................................................... (3.8)
dengan mengasumsikan skala hasil yang konstan (constant returns to scale). Sebagai
contoh, dalam kasus khusus yang dikenal sebagai fungsi produksi Cobb-Douglas, pada
waktu t kita mendapatkan:
Y(t) = K(t) [A(t)L(t)]1- ............................................................. (3.9)
Dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah modal (yang dapat mencakup modal
manusia maupun modal fisik), L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas tenaga
kerja, yang tumbuh selamanya pada tingkat eksogen. Karena adanya skala hasil yang
konstan, mak jika semua input dinaikkan dengan jumlah proporsi yang sama, maka
output akan naik dengan jumlah proporsi yang sama, yang dinotasikan, dengan:
Y = F ( K, L) ........................................................................... (3.10)
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-4
Dimana > 0. Karena dapat berupa angka riil positif berapa pun, secara matematis
yang bermanfaat untuk menganalisis implikasi model tersebut adalah dengan
menetapkan nilai = 1/ L, sehingga:
Y/L = F(K/L, 1) ................................................................................ (3.11)
atau
y = f(k)
Dengan penyederhanaan ini mak kita hanya berurusan dengan satu variabel dalam
fungsi produksi. Misalnya, dalam kasus fungsi Cobb-Douglas kita dapat menuliskan
kembali persamaan dengan cara:
Y = Ak ........................................................................................ (3.12)
Hal ini mencerminkan sebuah cara alternatif mengenai fungsi produksi, dimana segala
sesuatu dihitung dalam kuantitas per tenaga kerja. Persamaan di atas menyatakan
bahwa output per pekerja adalah fungsi dari jumlah modal per tenaga kerja. Semakin
banyak jumlah modal yang harus ditangani masing-masing pekerja, maka semakin
banyak pula output yang dapat dihasilkan per pekerja.
3.1.1.3.Model Pertumbuhan Baru (New Growth Theory)
Kinerja teori neoklasik yang kurang memuaskan dalam menjelaskan sumber-
sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang menyebabkan kekecewaan yang meluas
terhadap teori pertumbuhan tradisional. Bahkan, menurut teori tradisional, tidak terdapat
karakteristik intrinsik dari perekonomian yang dapat menyebabkannya tumbuh dalam
jangka panjang. Sebaliknya, literatur tersebut malah membahas proses dinamis yang
membuat rasio modal-tenaga kerja mendekati tingkat keseimbangan jangka panjang.
Jika tidak ada shock eksternal atau perubahan teknologi, yang tidak dijelaskan dalam
model neoklasik, semua perekonomian akan menuju kepada pertumbuhan nol, sehingga
peningkatan GNP per kapita dianggap merupakan fenomena sementara saja, yang
bersumber dari perubahan teknologi atau proses penyeimbangan jangka pendek selama
perekonomian mendekati keseimbangan jangka panjangnya. Karenanya, teori ini gagal
memberikan penjelasan atas terjadinya pertumbuhan ekonomi yang berlangsung dengan
kecepatan yang luar biasa di seluruh dunia.
Setiap peningkatan GNP yang bukan berasal dari penyesuaian jangka pendek
dalam cadangan tenaga kerja maupun modal, dianggap bersumber dari kategori ketiga,
yaitu yang biasa disebut sebagai residu Solow (Solow residual). Residu ini, tidak seperti
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-5
namanya, bertanggung jawab sekitar 50 persen pertumbuhan yang terjadi di banyak
negara industri. Dengan kata lain, teori neoklasik menyebutkan bahwa sebagian besar
sumber pertumbuhan ekonomi merupakan faktor eksogen atau proses yang sama sekali
independent dari kemajuan teknologi (Todaro and Smith, 2004).
Meskipun hal ini mungkin terjadi, pendekatan ini paling tidak mempunyai dua
kelemahan. Pertama, dengan menggunakan kerangka neoklasik, adalah tidak mungkin
untuk menganalisis penentu kemajuan teknologi karena kemajuan tersebut sama sekali
tidak berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh berbagai lembaga ekonomi. Dan
kedua, teori tersebut gagal menjelaskan besarnya perbedaan residu yang terdapat di
antara negara yang mempunyai teknologi yang serupa. Dengan kata lain, keyakinan
yang besar ditempatkan pada proses eksternal yang kurang dipahami, dan kurang
didukung oleh teori maupun bukti empiris.
Menurut teori neoklasik, rasio modal-tenaga kerja yang rendah pada negara-
negara berkembang menjanjikan tingkat pengembalian investasi yang luar biasa tinggi,
bahkan setelah menerapkan liberalisasi dalam perdagangan dan pasar domestik, banyak
negara berkembang yang tidak tumbuh atau hanya tumbuh sedikit dan gagal menarik
investasi asing, atau gagal mencegah larinya modal domestik ke luar negeri. Perilaku
aliran modal negara-negara berkembang yang aneh (dari negara miskin ke negara kaya)
turut memicu konsep pertumbuhan endogen (endogenous growth) atau dengan kata lain
yang lebih sederhana, teori pertumbuhan baru (new growth theory).
Teori pertumbuhan baru tersebut memberikan kerangka teoritis untuk
menganalisis pertumbuhan endogen, yaitu pertumbuhan GNP yang persisten, yang
ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi dan bukan oleh kekuatan-
kekuatan di luar sistem. Berlawanan dengan teori neoklasik tradisional, model-model
ini menganggap bahwa pertumbuhan GNP merupakan konsekuensi alamiah dari
keseimbangan jangka panjang. Motivasi utama dari teori pertumbuhan baru ini adalah
untuk menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara maupun faktor-faktor
yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan yang diobservasi. Lebih
jelasnya lagi, teori pertumbuhan endogen berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor
yang menentukan tingkat pertumbuhan GDP yang tidak dijelaskan dan dianggap
sebagai variabel eksogen dalam perhitungan teori pertumbuhan neoklasik Solow (residu
Solow).
Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan model
neoklasik, namun sangat berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan kesimpulan
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-6
yang ditarik darinya. Perbedaan teoritis yang paling signifikan berasal dari
dikeluarkannya asumsi neoklasik tentang hasil marjinal yang semakin menurun atas
investasi modal, memberikan peluang terjadinya skala hasil yang semakin meningkat
(increasing returns to scale) dalam produksi agregat, dan sering kali berfokus pada
peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian investasi modal. Dengan
mengasumsikan bahwa investasi sektor publik dan swasta dalam sumberdaya manusia
menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas yang membalikkan
kecenderungan hasil yang semakin menurun yang alamiah, teori pertumbuhan endogen
berupaya menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola
pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Dan karena teknologi
masih memainkan peran penting dalam model-model ini, tidak ada perlunya lagi untuk
menjelaskan pertumbuhan jangka panjang.
Dalam membandingkan teori pertumbuhan baru dengan teori neoklasik
tradisional, sangat bermanfaat jika kita mengetahui bahwa banyak teori pertumbuhan
endogen dapat dinyatakan oleh persamaan, yaitu Y = AK, seperti yang terdapat dalam
model Harrod-Domar. Dalam formulasi ini, A mewakili semua faktor yang
mempengaruhi teknologi, dan K adalah modal fisik dan sumberdaya manusia. Pada
rumus ini tidak terdapat hasil yang semakin menurun atas modal; sehingga terdapat
kemungkinan bahwa investasi dalam modal fisik dan sumberdaya manusia dapat
menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas yang melebihi
keuntungan pribadi dalam jumlah yang cukup untuk membalikkan efek hasil yang
semakin berkurang. Hasil akhirnya adalah pertumbuhan jangka panjang yang
berkesinambungan, sebuah hasil yang ditabukan oleh teori pertumbuhan neoklasik
tradisional.
Meskipun teori pertumbuhan baru menekankan kembali pentingnya tabungan
dan investasi modal manusia untuk mempercepat pertumbuhan, teori ini juga membawa
beberapa implikasi pertumbuhan yang sama sekali berlawanan dengan teori tradisional.
Pertama, tidak terdapat kekuatan yang mengarahkan terciptanya persamaan tingkat
pertumbuhan antar negara yang perekonomiannya tertutup; tingkat pertumbuhan
nasional tetap konstan dan berbeda antar negara tergantung pada tingkat tabungan
nasional dan tingkat teknologinya. Selanjutnya, tidak terdapat kecenderungan bahwa
level pendapatan per kapita di negara yang miskin modal akan menyamai tingkat
pendapatan per kapita di negara-negara kaya meskipun tingkat pertumbuhan tabungan
dan tingkat pertumbuhan populasinya serupa. Konsekuensi serius dari fakta ini adalah
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-7
bahwa resesi yang berlangsung sementara atau lama di sebuah negara dapat
menyebabkan semakin melebarnya jurang pendapatan yang permanen di dalam negara
tersebut dan dengan negara-negara lain yang lebih kaya. Aspek yang paling menarik
dari model pertumbuhan endogen adalah model tersebut membantu menjelaskan
keanehan aliran modal internasional yang memperburuk ketimpangan antara negara
maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian investasi yang tinggi
yang ditawarkan oleh negara berkembang yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja
yang rendah berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi
komplementer (complementary investments) dalam sumber daya manusia, infrastruktur,
atau riset dan pengembangan. Pada gilirannya, negara miskin kurang mendapat manfaat
dari luasnya keuntungan sosial yang terkait dengan setiap alternatif bentuk pengeluaran
modal ini. Karena para individu tidak menerima keuntungan pribadi dari eksternalitas
positif yang tercipta dari investasi mereka sendiri, pasar bebas menyebabkan akumulasi
modal komplementer menjadi lebih sedikit daripada tingkat optimalnya (Todaro and
Smith, 2004).
Karena investasi komplementer menghasilkan manfaat sosial maupun pribadi,
pemerintah dapat memperbaiki efisiensi alokasi sumberdayanya. Mereka dapat me-
lakukannya dengan menyediakan barang-barang publik (infrastruktur) atau mendorong
investasi swasta dalam industri-industri yang padat pengetahuan (knowledge-intensive
industries) dimana sumberdaya manusia dapat diakumulasikan dan akhirnya diperoleh
skala hasil yang semakin meningkat.
Model teori pertumbuhan baru menganggap perubahan teknologi sebagai sebuah
hasil endogen dari investasi publik dan swasta dalam sumberdaya manusia dan industri
padat pengetahuan. Sehingga, berlawanan dengan contoh teori kontrarevolusi neoklasik,
model pertumbuhan endogen mendorong peran aktif kebijakan publik dalam
merangsang pembangunan ekonomi melalui investasi langsung maupun tidak langsung
dalam pembentukan sumberdaya manusia dan mendorong investasi swasta asing dalam
berbagai industri padat-pengetahuan seperti industri perangkat lunak komputer dan
telekomunikasi.
3.1.1.4.Model Human Capital dan Pertumbuhan
Model ini merupakan pegembangan dari model Solow dengan fungsi produksi
Cobb-Douglas, dimana output merupakan fungsi dari kapital (K), stok human capital
(H), dan jumlah tenaga kerja (L). Fungsi produksi tersebut adalah:
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-8
Y(t) = K(t) H (t) [A(t)L(t)]1 - - , ............................................... (3.13)
Dimana > 0, > 0 dan + < 1. Sekali lagi bahwa H adalah stok human capital, L
merupakan jumlah tenaga kerja : selanjutnya keahlian tenaga kerja disuplai dari 1 unit L
dan beberapa jumlah H. Persamaan di atas mengimplikasikan bahwa constant return to
scale terhadap K, H dan L secara bersama. Dengan membuat asumsi tentang dinamika
K dan L :
)()( tYstK K ................................................................................. (3.14)
dan
)()( tnLtL .................................................................................... (3.15)
Dimana sK merupakan fraksi output dari physical capital accumulation, untuk
penyederhaan diasumsikan tidak ada depresiasi. Selanjutnya model Solow diasumsikan
constant dan kemajuan teknologi eksogen, maka :
)()( tgAtA ...................................................................................(3.16) dan
persamaan yang terakhir, human capital accumulation di modelkan dengan cara yang
sama dengan physical capital accumulation, yaitu:
)()( tYstH H ............................................................................... (3.17)
Dimana sH adalah fraksi sumberdaya dari human capital accumulation. Model ini dapat
digeneralisasi dalam beberapa cara tanpa mempengaruhi maknanya. Fungsi produksi
Cobb-Douglas dapat digantikan dengan fungsi produksi umum sebagai berikut :
Y = F (K, H, AL) ............................................................................. (318)
Persamaan diatas menyatakan bahwa output suatu perekonomian merupakan fungsi dari
kapital, human capital, produktivitas tenaga kerja. Menurut Park (1995), human capital
dapat diartikan sebagai kumpulan spesialisasi keahlian. Persediaan tenaga kerja yang
dapat diperoleh dengan mengalokasikan pendapatan untuk beraktivitas yang disebut
”pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan”. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa human capital dapat diproxy dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan
kesehatan.
3.1.2. Model Regional Flows
Asumsi tradisional yang digunakan oleh ahli ekonomi regional bahwa
sumberdaya dengan bebas masuk diantara daerah atau wilayah dalam suatu negara.
Berbeda dengan model teori perdagangan internasional dimana faktor produksi
dianggap tidak dapat berpindah sedangkan komoditi dapat berpindah. Banyak studi
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-9
dimana negara ditempatkan sebagai wilayah dalam ekonomi global yang lebih luas,
sehingga, secara teoritis perbedaan antara ekonomi regional dan internasional menjadi
kabur bagi ahli ekonomi internasional dalam memberikan apresiasi untuk kekuatan dan
asumsi model ekonomi regional. Pada prakteknya, perbedaan antara ekonomi regional
dan internasional menjadi tidak jelas karena sumberdaya dan komoditi/barang secara
relatif bebas berpindah. Masyarakat Ekonomi Eropa merupakan contoh yang menonjol
sebagai wilayah dimana hubungan ekonomi antara negara-negara terjadi karena
keterkaitan antara wilayah sebagai suatu negara. Asumsi yang digunakan untuk
membangun model regional flows yaitu pertama, sumberdaya tidak dapat berpindah
dari suatu daerah ke daerah lain dan kedua mobilitas sumberdaya sempurna.
3.1.2.1.Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif menunjukkan bahwa negara akan memperoleh
keuntungan dari perdagangan. Prinsip dari keunggulan komparatif yaitu jika
sumberdaya tidak berpindah diantara area, maka akan ada spesialisasi dalam komoditi
yang diproduksi secara efisien. Efisiensi relatif ditentukan oleh biaya oportunity, jumlah
unit barang atau jasa yang harus diproduksi. Jika suatu negara menghasilkan barang
yang memiliki keunggulan komparatif dan melakukan perdagangan dengan negara lain,
maka spesialisasi dan perdagangan akan menguntungkan kepada kedua negara. Salah
satu implikasi terpenting dari teori keunggulan komparatif adalah perdagangan masih
memberikan keuntungan sekalipun jika suatu negara dapat menghasilkan lebih murah
dibandingkan dengan negara lainnya.
Tabel 4 menunjukkan bagaimana spesialisasi produk dalam keunggulan
komparatif dan perdagangan terhadap produk lainnya akan meningkatkan pendapatan.
Contoh pada Tabel 4 menjelaskan sebuah negara, contoh data tersebut diaplikasikan
dimana sumberdaya tidak berpindah antara daerah. Tabel 4 diasumsikan semua biaya
diukur dalam jumlah jam kerja, biaya transportasi nol, dan biaya oportunitas tidak
berubah terhadap perubahan output (biaya konstan).
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-10
Tabel 4. Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Proses Produksi
Biaya Absolut ( jumlah jam kerja diperlukan per unit)
Tiap unit dari Region I Bagian dunia lain Makanan Produk manufaktur
1 2
3 4
Biaya oportunitas Biaya untuk setiap unit makanan terhadap setiap unit produk manufaktur Biaya produk manufaktur terhadap makanan
½
2
¾
4/3
Tabel 4 menunjukkan jumlah tenaga kerja untuk menghasilkan makanan dan
produk manafaktur di suatu wilayah dan bagian dunia lain. Asumsikan, dunia lain yang
lebih luas merupakan daerah homogen dimana rasio harga dunia tidak mempengaruhi
output suatu daerah kecil. Region dapat menghasilkan makanan dan produk
manufaktur dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan dunia
lain. Biaya oportunitas untuk setiap unit makanan di region I adalah ½ dari produk
manufaktur. Artinya, untuk menghasilkan setiap makanan domestik, region I
menghasilkan ½ produk manufaktur. Setiap unit biaya makanan ¾ unit produk
manufaktur di bagian dunia lain. Karena itu, region I mempunyai keunggulan
komparatif dalam memproduksi makanan.
Untuk menentukan keuntungan spesialisasi dan perdagangan, maka kita dapat
membandingkan konsumsi dan produksi pada region I sebelum dan sesudah
perdagangan. Jika perdagangan tidak ada, maka upah riil untuk setiap jam kerja pada
region I adalah 1 unit makanan atau ½ unit produk manufaktur. Sedangkan upah riil di
bagian dunia lain yaitu 1/3 unit makanan atau ¼ unit produk manufaktur. Misalkan
region I memiliki 6 juta jam kerja yang dapat digunakan. Kurva kemungkinan produksi
ditunjukkan pada Gambar 1.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-11
Food (Millions of units)
Production Possibilities
2
a c
d
4
6 Consumption possibilities with trade
1.5 31 2 4 4.5
Gambar 1. Kurva Kemungkinan Produksi dan Konsumsi
Tanpa ada perdagangan, titik yang sesuai untuk produksi (konsumsi) tergantung
pada pilihan dari setiap individu di region I. Misalnya, individu di region I memilih
untuk menghasilkan 4 juta unit makanan dan 1 juta unit produk manufaktur yang
ditunjukkan pada titik a, dan tingkat produksi ditunjukkan oleh kemungkinan konsumsi.
Jika dilakukan perdagangan diantara negara dimana biaya transportasi dan transaksi
tidak berpengaruh. Harga relatif di region I akan sama dengan harga relatif di bagian
dunia lain. Pedagang akan membeli produk yang lebih murah dan menjual kembali jika
harga produk meningkat. Barang manufaktur di region I lebih mahal dibandingkan
dengan makanan, maka pedagang akan membawa produk manafaktur ke region I dan
membawa makanan ke bagian dunia lain.
Keuntungan dari perdagangan dapat meningkat terhadap penduduk yang tinggal
di region I dan patner dagangnya. Sebelum perdagangan, kurva kemungkinan produksi
sama dengan kurva kemungkinan konsumsi. Jika region I melakukan perdagangan
dengan bagian dunia lain, kurva kemungkinan konsumsi di region I akan melebihi
kemungkinan produksi dan kemungkinan konsumsi.
Untuk membuktikan kondisi ini, misalkan region menggunakan semua
sumberdaya untuk menghasilkan 6 juta unit makanan dan menukarkan 2 juta unit
makanan untuk barang-barang manufaktur. Jumlah produk manufaktur yang dapat
dibeli dengan makanan tergantung pada hubungan perdagangan. Jika diasumsikan
output yang dihasilkan oleh region kecil tidak berpengaruh terhadap harga dunia, maka
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-12
hubungan perdagangan ditentukan oleh rasio harga dunia. Dengan demikian, region
akan menerima 1.5 juta unit produk manufaktur yang dipertukarkan dengan 2 juta unit
makanan, konsumsi pada titik c pada kurva kemungkinan konsumsi setelah
perdagangan. Jika seluruh penduduk di region berkeinginan untuk mengkonsumsi
seluruh produk manufaktur, maka jumlah produk manufaktur yang dikonsumsi adalah
4.5 juta unit. Jika titik a merupakan kemungkinan produksi dan konsumsi sebelum
perdagangan, maka perdagangan akan memindahkan kurva kemungkinan kunsumsi,
dimana penduduk di region I akan mengkonsumsi lebih banyak kedua barang,
ditunjukkan oleh titik diantara c dan d. Penjelasan ini merupakan contoh antara suatu
negara dengan bagian dunia lain, prinsip yang sama juga dapat digunakan antar region
dalam suatu Negara.
3.1.2.2.Teori Heckscher–Ohlin
Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa suatu negara (regions) harus
melakukan spesialisasi untuk memproduksi komoditi yang dihasilkan dengan biaya
yang relatif murah, tetapi produk yang dihasilkan belum mengindikasikan apakah
barang dan jasa akan diekspor. Hipotesis Heckscher dan Ohlin menyatakan jika suatu
negara mempunyai faktor produksi yang berlimpah, negara tersebut memiliki
keunggulan komparatif untuk memproduksi barang yang diperlukan dalam jumlah besar
dari kelebihan faktor produksi tersebut. Sebagai contoh, region dengan top soil dan
curah hujan yang berlimpah tentu memiliki keunggulan komparatif dalam produk-
produk pertanian. Oleh karena itu, meskipun faktor produksi tidak dapat berpindah
(immobile), Heckscher dan Ohlin menduga bahwa faktor produksi yang berlebih dapat
berpindah yang diwujudkan menjadi ekspor dominan.
Aliran komoditi dari perdagangan akan berakibat bukan hanya terhadap harga
komoditi tetapi juga harga sumberdaya. Suatu negara yang melimpah dalam tenaga
kerja cenderung memiliki upah yang rendah sebelum ada perdagangan. Ekspor tenaga
kerja, produk yang intensif akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja dan
upah. Negara pengimpor tenaga kerja akan menekan permintaan tenaga kerja sehingga
upah terhadap kerja dibayar rendah. Jika dalam kenyataannya dimana diasumsikan
informasi sempurna dan komoditi dapat berpindah, maka teori Heckscher dan Ohlin
menuju kepada kesimpulan bahwa komoditi yang berpindah akan menghasilkan
persamaan dengan harga faktor produksi. Dalam kondisi demikian, perpindahan
komoditi dapat disubstitusi dengan perpindahan sumberdaya.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-13
Teori keunggulan komparatif Hechscher – Ohlin dihadapkan pada tantangan
karena teori ini tidak mampu menjelaskan dan memprediksi pola perdagangan aktual.
Beberapa pertimbangan untuk berpikir ulang terhadap teori keunggulan komparatif
yaitu (1) mekanisme dan kelembagaan kurang diperhatikan, (2) jika hukum,
kelembagaan dan kebiasaan tidak mendukung, maka spesialisasi dan perdagangan tidak
bekembang dan (3) keunggulan komparatif adalah teori yang statis.
3.1.2.3.Mobilitas Sumberdaya
Teori keunggulan komparatif berkembang dengan asumsi bahwa sumberdaya
tidak berpindah. Ahli ekonomi regional membangun model dengan asumsi sumberdaya
berpindah sempurna. Sudah pasti, masalah perpindahan tenaga kerja dan modal antara
wilayah lebih kecil dengan perpindahan faktor produksi antara negara.
Jika informasi sempurna dan tidak ada biaya relokasi, faktor produksi akan
berpindah ke region yang kompensasinya lebih tinggi. Gambar 2 dapat menunjukkan
analisis tentang sumberdaya yang berpindah. Diasumsikan ada 2 region, di region J
kompensasi lebih besar $ 2 per unit dibandingkan dengan region I (Kurva S). Perbedaan
ini akan mendorong sumberdaya akan bergerak dari region I ke region J. Apabila
kompensasi faktor produksi adalah $5, maka migrasi akan berhenti.
D D
S
S’
S’
4
6
55
$ Region JS
$ Region I
Q Q
Gambar 2. Model Perpindahan Sumberdaya
Berikutnya, jika ada biaya realokasi akan mengakibatkan munculnya
penyesuaian. Pergerakan sumberdaya akan bermanfaat jika present value penerimaan
mendatang di daerah tujuan dikurangi present value dari penerimaan mendatang
terhadap biaya realokasi di daerah asal. Insentif cukup untuk realokasi, biaya realokasi
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-14
harus lebih kecil dari present value of future ditambah returns sehingga penerimaan
input antara region J dapat dibandingkan dengan I.
Gambar 2 menunjukkan kurva penawaran bergeser sehingga menjadi sama
dengan harga faktor produksi karena diasumsikan perpindahan sumberdaya tanpa biaya.
Jika relokasi sumberdaya dikenakan biaya, maka present value dari perbedaan
kompensasi terhadap umur faktor produksi akan sama dengan biaya realokasi pada
keseimbangan.
Proses penyesuaian bukan terjadi secara langsung, penerimaan faktor produksi
yang tinggi di region J akan mendorong sumberdaya berpindah dari I ke J. Perpindahan
sumberdaya dari I ke J, kurva penawaran dari faktor produksi akan bergeser ke kanan
sedangkan di region I akan bergeser ke kiri. Penerimaan faktor produksi pada daerah
dimana kompensasi rendah akan meningkat sedangkan penerimaan faktor produksi akan
menurun pada wilayah yang kompensasi tinggi.
Jika gap harga faktor produksi tidak konstan tetapi kecil selama proses
penyesuaian, maka sangat sulit bagi migran potensial untuk menentukan nilai
penerimaan mendatang dengan berpindah ke wilayah dengan harga yang tinggi. Untuk
menghitung perpindahan faktor produksi yang memberi keuntungan pada wilayah yang
memberikan penerimaan yang tinggi, pemilik faktor produksi tidak hanya mengetahui
harga faktor produksi yang berlaku tetapi juga bagaimana perbedaan harga akan
berubah pada waktu mendatang.
Perpindahan dalam sumberdaya akan menguntungkan terhadap pemilik
sumberdaya yang melimpah pada daerah yang memiliki harga faktor produksi yang
rendah dan merugikan terhadap pemilik sumberdaya pada daerah yang harga faktor
produksi tinggi. Sulit menentukan kapan memperoleh keuntungan yang lebih atau
kerugian dari realokasi. Kondisi tersebut ditentukan oleh jumlah pekerja asal di masing-
masing wilayah. Perpindahan sumberdaya akan meningkatkan jumlah output, jika
sumberdaya yang dibeli adalah nilai produk marginal. Misalkan, sumberdaya di wilayah
J memiliki marginal produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah I, akan
bemasalah jika pembayaran sumberdaya sama dengan nilai marginal produk. Jika
sumberdaya ditransfer dari I ke J, nilai output yang hilang di wilayah I akan lebih
rendah dibandingkan dengan peningkatan output nasional oleh sumberdaya pekerja di J.
Karena itu, produk nasional bruto akan meningkat sebagai hasil dari perpindahan
sumberdaya.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-15
Model yang ditunjukkan gambar 2 tidak menunjukkan respon permintaan.
Pergerakan permintaan dapat membantu menghapus perbedaan harga. Sebagai contoh,
misalkan tenaga dan modal adalah faktor produksi utama. Tenaga kerja dapat
direalokasi dari upah yang rendah ke wilayah yang upah tinggi. Tetapi secara simultan,
modal mengalir ke wilayah yang upah rendah sebagai ganti keuntungan dari input
komplementer yang berbiaya rendah.
3.1.3. Perpindahan Penduduk dan Tenaga Kerja
3.1.3.1.Ekonomi dari Migrasi
Perbedaan antara ketidakseimbangan dan keseimbangan model migrasi sangat
penting. Model ketidakseimbangan, migrasi diasumsikan sebagai motivasi keuntungan
atau ketidakberuntungan yang terjadi diantara region. Sebagai contoh, upah yang tinggi
di suatu wilayah, maka pekerja dan keluarganya akan berpindah ke wilayah dengan
upah tinggi. Model keseimbangan menjelaskan migrasi pada pasar faktor produksi
wilayah adalah seimbang.
Motivasi untuk melakukan migrasi sangat berbeda diantara individu. Dalam
model ketidakseimbangan, upah dan kesempatan tenaga kerja merupakan kemungkinan
faktor utama perpindahan tenaga kerja. Dalam berbagai analisis, migrasi sering
diakibatkan oleh adanya pengaruh dorongan dan tarikan. Migran merespon pengaruh
tarikan untuk pekerjaan dengan gaji yang tinggi di wilayah tujuan dan merupakan faktor
pendorong ketika di daerah asalnya rendah dan atau kesempatan tenaga yang rendah di
wilayah asal. Pengaruh tarikan bekerja jauh lebih kuat dibandingkan dengan dorongan
bekerja, sehingga migran akan berpindah ke daerah tujuan.
3.1.3.2.Faktor Non Upah
Hampir keseluruhan studi menunjukkan bahwa kecenderungan tenaga kerja
melakukan migrasi ke daerah yang upahnya lebih tinggi atau daerah yang mengalami
pertumbuhan kesempatan kerja, tetapi faktor bukan upah juga dapat membantu
menjelaskan tentang migrasi.
Di luar gaji, ada dua faktor yang sangat mempengaruhi migran mengambil
keputusan untuk berpindah yaitu pertama, keuntungan tunjangan tambahan seperti
kompensasi dan kedua, perbedaan biaya hidup. Alasan-alasan lainnya seperti perbaikan
kualitas hidup, prospek kesempatan promosi, dan prospek upah yang tinggi di lokasi
yang baru.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-16
Walaupun keputusan setiap individu untuk melakukan migrasi adalah kompleks,
hampir semua faktor tersebut dapat dijelaskan dengan konsep biaya dan keuntungan,
karena nilai moneter dapat memberikan keutungan dan biaya non-moneter.
Tabel 5. menjelaskan tentang keuntungan dan biaya migrasi, alasan untuk
memutuskan migrasi atau tidak berimigrasi. Prospek meningkatkan penghasilan adalah
salah satu komponen yang utama untuk memutuskan migrasi.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-17
Tabel 5. Matriks Daftar Faktor-Faktor Perbandingan Biaya-Keuntungan Berpindah
Keputusan Biaya Potensial Keuntungan Potensial
A (migration cost factors) B (migration pull factors) Transportasi ke tempat tinggal baru Pembayaran gaji yang tinggi Ketidakpastian untuk menemukan pekerjaan
Preferensi atau memilih jenis pekerjaan
Perumahan sementara mencari pekerjaan Pendidikan yang baik untuk anak-anak, diri sendiri
Makanan sementara mencari pekerjaan Ada lembaga yang menyediakan jasa untuk berkomunikasi yang baik
Pakaian yang digunakan mencari pekerjaan
Lebih menarik, kehidupan social
Gangguan dari orang asing Kondisi social yang lebih baik, bangsa dan etnik
Perbedaan status sosial Kehidupan yang asing dengan sekeliling Kebutuhan untuk menggunakan bahasa lain, meningkatkan berkomunikasi
Migrasi
Kebutuhan untuk mengubah cara berpakaian, perilaku, tingkah laku sehari-hari
Tidak Berimigrasi
C (migration push factors) D (migration counterinfluence)
Kesulitan mencari pekerjaan di tempat asal
Perumahan yang tidak mahal dan dapat digunakan
Kehilangan kesempatan rekreasi tempat asal
Makanan yang murah
Dominasi yang kuat dari keluarga Setiap hari berhubungan dengan keluarga
Ketidakpuasan hubungan social di tempat asal
Setiap hari berhubungan dengan teman lama
Ketidakpuasan terhadap kelembagaan tempat asal
Kehidupan yang dekat dengan sekeliling Menggunakan bahasa setempat, kebiasaan setempat
Ketidakpuasan ras, etnik, dan kondisi politik
Ada jaminan pekerjaan (dari beberapa orang)
3.1.3.3.Model Harris-Tadaro
Haris dan Todaro (1970) mengembangkan sebuah model untuk menjelaskan
permasalahan migrasi yang dihadapi oleh negara-negara berkembang pada saat orang
beramai-ramai masuk ke kota besar kendati tingkat pengangguran di kota sangat tinggi.
Model tersebut juga menjelaskan adanya kecenderungan perbedaan upah yang tetap
berlangsung kepada migrasi. Dalil yang dikemukakan oleh Haris-Todaro adalah migrasi
terjadi ketika upah aktual di wilayah asal lebih rendah dibandingkan dengan upah yang
diharapkan (expected) di daerah tujuan. Upah yang diharapkan adalah upah aktual dikali
dengan peluang bekerja. Di dalam model mereka diasumsikan bahwa peluang bekerja
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-18
untuk para pekerja adalah 1-U, dimana U adalah tingkat pengangguran. Dengan kata
lain, penduduk baru percaya bahwa mereka mempunyai peluang memperoleh pekerjaan
yang sama dengan penduduk setempat. Jika besarnya upah $ 10.000 per tahun dan
angka pengangguran 20 persen, upah yang diharapkan $ 8.000.
Untuk mengerti Model Harris dan Todaro diasumsikan ada wilayah dengan upah
yang tinggi dan upah yang rendah. Juga diasumsikan bahwa upah di wilayah yang
tinggi kelembagaan tidak berpengaruh seperti hukum, serikat dan kebiasaan. Upah
perkotaan tidak menurun diperhadapkan dengan pengangguran yang besar. Jika ada full
employment di kedua wilayah, para pekerja melakukan migrasi ke wilayah yang
upahnya tinggi. Jika jumlah pekerjaan pada wilayah dengan upah yang tinggi sama,
maka penggangguran akan bertambah. Para migran rela melakukan trade off antara
resiko menganggur dengan potensi untuk upah yang tinggi. Tambahan migran mungkin
akan memperoleh pekerjaan tetapi bagi pekerjaan lainnya akan kehilangan pekerjaan.
Oleh karena itu migrasi dapat menyebabkan penggangguran yang tinggi sehingga
produk nasional akan turun. Pekerja memilih menganggur daripada bekerja dengan
upah yang rendah (produktifitas rendah).
3.1.3.4.Model Gravitasi
Arus perpindahan penduduk sering didekati dengan model gravitasi. Asumsi
model gravitasi bahwa migrasi penduduk antara dua wilayah akan meningkat dan
menurun terhadap jarak kedua wilayah. Pada model dasar, penduduk mewakili individu
yang tinggal atau melakukan migrasi di tempat. Jarak adalah penghalang utama untuk
berimigrasi. Rumus Model gravitasi sederhana, yaitu
2ab
baab
D
PPM ............................................................................ (3.19)
Dimana Mab = Migrasi dari A ke B
PaPb = Penduduk di A atau B
Dab = Jarak antara A dan B
Permasalahan utama dengan model gravitasi sederhana ialah bahwa migrasi
diantara setempat selalu nol. Variabel lain telah masuk dalam perbedaan oportunitas.
Perbedaan dalam upah, pendapatan dan angka pengangguran sering digunakan
mengukur perbedaan opportunitas. Kritik lainnya terhadap model gravitasi adalah
kelemahan spesifikasi, karena jarak sulit diukur dengan perjalanan, terutama dalam era
tranportasi modern, sehingga waktu perjalanan telah disubtitusi terhadap jarak di
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-19
beberapa model. Hambatan sosial dan politik, sama seperti ketidakpastian, merupakan
penghalang yang penting. Faktor-faktor ini memiliki korelasi yang rendah dengan jarak.
Salah satu alasan yang menyebabkan model gravitasi kurang akurat dikenal
dengan dampak beaten-path. Dampak beaten-path menunjuk kepada kecenderungan
observasi kepada individu terutama daerah asal melakukan migrasi pada tujuan yang
sama. Beberapa “pendahulu” dari suatu wilayah pertama-tama melakukan migrasi.
Setelah itu, menyusul yang lainnya, dan tujuan migrasi yang sama, karena telah
memperoleh pekerjaan atau informasi tempat tinggal dan dukungan dari pendahulunya.
Dengan mengikuti beaten path, maka para migran mempunyai biaya rendah,
ketidakpastian dan biaya sosial untuk realokasi. Efek beaten path dapat menolong
menjelaskan kelompok etnik terkonsentrasi khususnya di beberapa kota. Biaya migrasi
yang rendah, efek beaten path mempunyai dua implikasi penting, yaitu pertama,
perpindahan para migran dapat menjadi terus-menerus sebagai migrasi berbiaya rendah
dan faktor pendorong menambahan jumlah migrasi dan kedua, beaten path dapat
perjalanan dengan dua cara, migrasi kembali ke daerah asalnya. Model gravitasi dapat
juga dimodifikasi untuk menghitung intervensi oportunitas.
3.1.3.5.Net dan gross Migrasi
Ketika ahli ekonomi mengumpulkan dan menganalisis data migrasi, fokus
analisis terutama net migrasi, yaitu perbedaan migrasi ke dalam (in migration) dan
migrasi keluar (out migration). Bagaimanapun juga, net migrasi merupakan perbedaan
substansi pada tingkat gros migrasi karena beberapa individu masuk ke suatu wilayah
dan pada waktu yang sama ada yang keluar.
Tabel 6. Perpindahan Gros dan Net Migrasi dan Kondisi Ekonomi Lokal
Migrasi keluar
Tinggi Rendah
Tinggi Migrasi net rendah Migrasi net masuk tinggi
Migrasi ke dalam
Rendah Migrasi net masuk negatif Migrasi net rendah
Table 6 menunjukkan empat pola perbedaan gross migrasi, yaitu (1) mobilitas
tinggi; migrasi masuk dan keluar sama-sama tinggi, (2) migrasi masuk tinggi, migrasi
keluar rendah, (3) migrasi masuk rendah, migrasi keluar tinggi dan (4) migrasi masuk
rendah, migrasi keluar juga rendah. Kasus migrasi masuk dan keluar yang tinggi dan
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-20
migrasi masuk dan keluar yang rendah akan menghasilkan migrasi net yang rendah
tetapi dengan alasan yang berbeda.
Kasus migrasi keluar dan masuk yang tinggi menghasilkan migrasi silang yang
signifikan, yang merupakan peluang bagi penduduk keluar-masuk antara-wilayah.
Wilayah oportunitas dapat menarik perpindahan penduduk yang tinggi. Wilayah dengan
oportunitas yang tinggi dapat menarik menghasilkan perpindahan penduduk melalui
migrasi silang. Wilayah dengan migrasi masuk yang rendah dan migrasi keluar yang
rendah akan memiliki net perubahan penduduk yang rendah. Daerah yang stabil atau
penurunan perekonomian menjadi kesempatan migrasi masuk, tetapi mungkin ada
faktor pendorong untuk memperoleh pekerjaan. Hasil studi terakhir menunjukkan
bahwa faktor-faktor demografi dari masyarakat penting atau sangat penting
dibandingkan dengan faktor-faktor pendorong (kesempatan ekonomi yang hilang)
dalam menentukan migrasi keluar.
Wilayah dengan migrasi masuk yang rendah dan migrasi keluar yang tinggi
menggambarkan wilayah dengan oportunity rendah dengan perpindahan penduduk
tinggi. Wilayah dengan proporsi umur 18-25 tahun yang tinggi, tetapi oportunity
kesempatan kerja yang menurun. Migrasi bersih (net migration) dapat negatif
disebabkan karena migrasi keluar yang tinggi dan migrasi masuk yang rendah. Wilayah
dengan migrasi masuk yang rendah dan migrasi keluar yang tinggi maka wilayah
tersebut akan kehilangan penduduk dari perpindahan penduduk tersebut. Migrasi masuk
yang tinggi dan migrasi keluar yang rendah disebabkan karena oportunity yang lebih
besar, sementara penduduk yang ada memiliki karakteristik mobilitas yang rendah.
Walaupun para migran pindah ke wilayah oportunity yang tinggi, mungkin ada
kegagalan disana jika perpindahan penduduk menyebabkan perekonomian diantara
wilayah menurun. Pada beberapa kajian disebutkan bahwa migrasi menyebabkan
perbedaan antar-daerah antara upah yang tinggi dan yang rendah sehingga menarik
para migran ke daerah tujuan.
Ada tiga cara para migran memberikan stimulasi pada perekonomian pada
wilayah tujuan yaitu (1) penduduk yang besar dan menyebar akan meningkatkan
permintaan pekerja, menambah barang-barang dan jasa untuk penduduk lokal, (2)
aktivitas ekonomi yang besar akan diikuti dengan aglomerasi perekonomian yang besar
dan peningkatan produktifitas dan (3) migrasi alami yang selektif mendorong pekerja
lebih produktif, sehingga meningkatkan permintaan tenaga kerja. Di wilayah yang
kurang berkembang, migrasi keluar akan menyebabkan penurunan opportunity
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-21
perekonomian. Migrasi yang selektif, dimana penduduk yang tinggal lebih tua, bukan
sarjana dan kurang trampil. Kondisi ini kurang menarik untuk mendorong kegiatan
perekonomian yang baru. Jika upah rendah, maka wilayah tersebut memberi upah
rendah kepada pekerja. Jika upah di wilayah kurang berkembang tinggi dan kaku, maka
tidak ada daya tarik di wilayah tersebut tidak memiliki prospek dan jumlah perusahaan
akan menurun.
Gerking dan Weirick (1983) menentukan bahwa ada perbedaan upah yang
persisten diantara wilayah di Amerika Serikat. Bagaimanapun juga, perbedaan tersebut
tidak lengkap menjelaskan efek stimulasi dari migrasi. Upah regional dan perbedaan
pendapatan secara luas diakibatkan oleh fakta bahwa wilayah mempunyai fungsi
perekonomian yang berbeda, misalnya perbedaan skill pekerja. Penemuan Gerking dan
Weirick mendukung teori bahwa perbedaan upah merupakan penentu utama migrasi.
3.1.3.6.Efisiensi Migrasi
Implikasi model ekonomi sederhana menunjukkan bahwa migrasi akan efisien
jika para migran akan berpindah ke wilayah yang membayar tinggi dengan produktifitas
tinggi. Migrasi tidak efisien dalam model Harris-Tadaro karena migrasi meningkatkan
angka pengangguran. Migrasi silang memberi kesan tidak efisien karena jika diantara
wilayah ada pertukaran perpindahan maka realokasi tidak diperlukan. Migrasi silang
memungkinkan tidak ada hubungan antara skill dan tipe pekerja yang berbeda antara-
wilayah. Substansi migrasi silang mereflesikan persoalan agregasi yang kuat dari semua
pekerja seperti faktor produksi yang homogen.
Salah satu cara mengevaluasi efektifitas migrasi yaitu menguji apakah migrasi
better off sesudah migrasi. Ada tiga pendekatan umum yang digunakan untuk
mengevaluasi keuntunganh individu bermigrasi yaitu (1) menanyakan kepada para
migran jika mereka better off, (2) membandingkan penghasilan para migran dengan
penghasilan orang yang tidak bermigrasi dan (3) menguji keuntungan sosial termasuk
eksternalitas.
Survey Lansing dan Mueller (1967) menemukan bahwa mayoritas migran
berpindah karena pertimbangan adanya harapan yang lebih baik dan menguntungkan.
Studi ini juga menunjukkan bahwa pengalaman secara umum para migran bahwa
penghasilan para migran meningkat. Individu yang melaksanakan migrasi mempunyai
harapan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tidak bermigrasi.
Dapat dikatakan bahwa migrasi meningkatkan posisi ekonomi dari para migran.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-22
Hunt dan Kau (1985) menguji penerimaan pria muda yang bermigrasi. Mereka
menemukan bahwa 13 persen dari migran upah tahunan yang diterima meningkat. Hunt
dan Kau menyimpulkan bahwa dengan skill yang dimiliki akan membantu memperoleh
pekerjaan di wilayah yang baru. Implikasi dari penemuan ini bahwa efisiensi dari
migrasi meningkat dengan pengalaman para migran. Hal ini dihipotesiskan bahwa jika
seseorang bermigrasi akan memiliki tambahan pendapatan dengan adanya keahlian dan
pengalaman para migran. Total keuntungan sosial dari migrasi termasuk eksternalitas
sulit dievaluasi. Migrasi dapat disebutkan sebagai keuntungan sosial jika penghasilan
migran yang tinggi merefleksikan output social yang tinggi. Efek sosial dari migrasi
sulit untuk diakses karena efisiensi migrasi sulit untuk dievaluasi ketika kita
membandingkan biaya marginal sosial dengan keuntungan.
3.1.4. Mobilitas Capital
Pengertian modal (capital) menurut ahli ekonomi yaitu input untuk produksi
dalam menghasilkan barang. Yang termasuk dalam capital yaitu input fisik untuk proses
produksi, seperti bangunan, mesin dan human capital.
Jumlah modal fisik diukur dengan nilai uang. Bagi individu, perbedaan uang
dengan modal fisik tidak selalu penting karena setiap individu dapat menukarkan modal
fisik dengan uang tetapi masyarakat secara keseluruhan tidak dapat menukarkan modal
fisik dengan uang. Modal uang memiliki mobilitas yang tinggi antar-wilayah baik
domestik dan internasional. Modal (real capital) merupakan salah satu faktor produksi
utama, dan dikombinasikan dengan tanah, tenaga kerja dan ketrampilan. Modal yang
digunakan untuk proses produksi kurang mobile jika dibandingkan dengan uang.
Meskipun ada keterbatasan mobilitas real capital, individu dapat menjual asetnya dan
mentransfer ke wilayah lainnya. Dari perspektif individu, kapital dapat berpindah di
suatu tempat meskipun aset fisik tidak dapat berpindah. Lagipula, karena real capital
adalah nilai dalam uang maka jumlah capital yang diinvestasikan di suatu wilayah dapat
bergerak dengan cepat.
Ada tiga tipe perpindahan capital yang dapat diidentifikasi. Pertama, modal
uang ditransfer dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, baik untuk pertukaran terhadap
barang dan jasa-jasa ataupun biaya investasi riil. Kedua, aset fisik dapat diangkut dari
suatu tempat ke tempat lainnya, walaupun perpindahan untuk beberapa aset fisik adalah
terbatas. Ketiga, nilai modal fisik dapat berubah yang menggambarkan perubahan
lingkungan ekonomi.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-23
3.1.5. Pendekatan Neraca Pembayaran untuk Pertumbuhan Ekonomi Wilayah
Untuk mengerti latar belakang cara berpikir pendekatan neraca pembayaran
wilayah untuk pertumbuhan ekonomi, perlu memperhatikan model pendapatan dan
pengeluaran wilayah berikut ini:
Yt = ( Ct + I t + Gt ) + ( Xt - Mt) ………………………….. (3.20)
Tiga bagian pertama disisi bagian kanan persaman (3.20) menunjukkan agregat
permintaan yang dihubungkan dengan kegiatan domestik dalam perekonomian wilayah;
disebut juga sebagai, regional domestic absorption, At. Sementara itu dua bagian dari
sisi kanan menunjukkan komponen dari agregat permintaan wilayah yang dihubungkan
dengan sektor perdagangan antar-wilayah. Bentuk umum, dari persamaan (3.20) dapat
ditulis:
(Yt –At) = (Xt – Mt) …………………………………………… (3.21)
Dimana (Yt-At) adalah sama dengan tambahan aset bersih dari wilayah lainnya. Untuk
mengetahui tambahan aset bersih dari wilayah lainnya, sebagai perbedaan diantara
pendapatan regional dan regional domestic absorption, dapat dilihat pada model neraca
pembayaran tingkat nasional, dan kemudian menterjemahkannya dalam kasus wilayah.
Model sederhana neraca pembayaran pada tingkat nasional didefinisikan sebagai
berikut:
CAN + KAN + BOFN = 0 ……………………………………….. (3.22)
Dimana CAN adalah neraca pembayaran transaksi berjalan pada tingkat nasional, KAN
adalah neraca pembayaran capital account pada tingkat nasional dan BOFN adalah
neraca pembiayaan pegawai pemerintah.
Neraca pembayaran pada transaksi berjalan menggambarkan arus uang bersih
dari perdagangan untuk seluruh barang dan jasa, ditambah arus bunga bersih dan
deviden dari semua aset yang berada di luar negeri yang dimiliki oleh penduduk
domestik dan orang asing. Dengan demikian neraca pembayaran transaksi berjalan
lebih luas daripada neraca perdagangan yang sederhana, yang hanya menunjuk kepada
perdagangan barang-barang.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-24
Jika transaksi berjalan pada posisi surplus, hal ini berarti bahwa negara tersebut
sedang membangun cadangan devisa yang berasal dari valuta asing yang didedominasi
oleh mata uang lokal. Harga dari mata uang domestik meningkat secara relatif terhadap
mata uang asing. Sementara itu, neraca pembayaran dari neraca modal menunjukkan
pendapatan bersih negara dari aset asing melalui pinjaman dan meminjam dari
keuangan internasional yang menunjukkan penerimaan bersih dari penduduk setempat
dalam hal kekayaan yang terletak diluar negeri. Jika neraca modal surplus,
mengimplikasikan ada aliran uang masuk dari negara-negara lain yang biasa digunakan
untuk membeli aset domestik daripada digunakan untuk membeli aset dari negara lain.
Keduanya secara bersamaan transaksi berjalan dan neraca modal menunjuk surplus
bersih dari neraca pembayaran total. Neraca keuangan pemerintah adalah jumlah yang
diperlukan untuk menjaga agar pendapatan dan pengeluaran internasional seimbang dan
sama dengan perbedaan bersih antara uang permintaan dan penawaran mata uang lokal
dalam pasar valuta asing.
CAN + KAN = - BOFN ………………………………………….. (3.23)
Jika kita kembali menyusun persamaan (3.22) menghasilkan persamaan (3.23), kita
dapat lihat bahwa sisi kiri persamaan (3.23) adalah positif, berarti neraca pembayaran
dalam kondisi surplus dan jika negative maka neraca pembayaran adalah defisit. Jika
neraca pembayaran berada dalam surplus, cadangan aset asing meningkat atau secara
aternatif menurunkan hutang kepada penduduk asing. Jika neraca pembayaran defisit
maka aset asing menurun maka hutang penduduk asing meningkat. Penyesuaian
kekayaan dimediasi melalui pasar valuta asing.
Pada kasus perdagangan antar regional, dan karena transaksi dilakukan dalam
mata uang lokal, pembayaran pemerintah didominasi oleh mata uang yang sama. Kita
mengetahui bahwa daerah tidak memiliki hambatan bea cukai dan perdagangan. Tetapi
pada prinsipnya, kita catat bahwa neraca pembayaran dari bagian kanan persamaan
(3.24) harus selalu sama dengan nol. Ketika diterapkan persamaan tersebut untuk antar-
wilayah, maka neraca pembayaran antar-wilayah diformulasikan dalam:
CAR + KAR = 0 …………………………………………………… (3.24)
Dimana CAR adalah neraca pembayaran transaski berjalan pada tingkat regional dan
KAR adalah neraca pembayaran capital account pada tingkat daerah, dan dapat diubah
menjadi
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-25
CAR = - KAR ……………………………………………………. (3.25)
Dengan kata lain surplus bersih dari perdagangan barang dan jasa di suatu daerah
dengan daerah lain (Xt-Mt) dalam persamaan (3.21) diseimbangkan dengan pendapatan
bersih dari aset wilayah dari wilayah yang lain (Yt-At) pada persamaan (3.21). Sebagai
contoh, jika suatu wilayah yang berbasis industri berhasil mengeksport, hal ini
mengimplikasikan bahwa pendapatan yang diperoleh dari ekspor dapat digunakan
kedua-duanya untuk impor barang dan jasa dari daerah-daerah lain dan juga membeli
aset-aset yang lebih dari daerah lain. Aset-aset yang dibeli ini akan termasuk aset negara
yang riil di daerah-daerah lain, sama seperti pangsa pendapatan di dalam perusahaan
yang berlokasi di daerah lain. Jika suatu wilayah neraca pembayaran defisit, itu harus
dibiayai dengan penjualan bersih dari aset domestik kepada pembeli dari daerah-daerah
lain. Jika neraca pembayaran seimbang itu berarti bahwa pendapatan bersih yang ada di
negara-negara lain adalah nol.
Wilayah yang mengalami defisit neraca pembayaran secara terus menerus akan
menyebabkan cadangan devisanya terbatas. Untuk mebiayai necara defisit tersebut
maka wilayah tersebut dapat menjual aset kepemilikan domestik ke pembeli luar.
Sehingga daerah tersebut dapat memelihara neraca pembayaran defisit dalam jangka
panjang. Hal ini mengimplikasikan bahwa pendapatan regional dalam jangka panjang
juga dipengaruhi oleh tingkat ekspor wilayah.
3.2. Kerangka Konseptual
Untuk menjawab tujuan penelitian ini, digunakan sebuah model ekonometrik-
multiregional. Region dalam hal ini dapat diartikan sebagai provinsi. Beberapa literatur
yang ada, keterkaitan regional umumnya hanya menggunakan dua regional. Belum
pernah kajian yang menggunakan keterkaitan regional lebih dari dua region. Dalam
penelitian ini, region yang ingin dilihat adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
Tetapi karena alasan keterbatasan data, maka provinsi hanya dikaji sebanyak 30
provinsi.
Seperti yang telah dijelaskan dalam kerangka teori sebelumnya bahwa
keterkaitan region ini dapat dilihat dari beberapa cara yaitu dari arus migrasi penduduk
dan arus perdagangan antar-wilayah. Dampak migrasi ini memiliki dampak yang
berbeda antar-wilayah. Migrasi dapat memberikan stimulus ekonomi dan mungkin
diwilayah lain dapat juga menyebabkan pengangguran yang tinggi yang berdampak
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-26
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional III-27
pada penurunan pendapatan wilayah. Bagaimana dengan arus perdagangan? Jika suatu
negara memiliki keunggulan komparatif dan melakukan perdagangan, sehingga dapat
meningkatkan capital diwilayah tersebut. Berikut ini adalah simplifikasi dalam
membangun keterkaitan Model Ekonometrik-Multiregional ditampilkan pada Gambar
berikut ini.
Indikator Makroekonomi Growth Unemployment Inflasi Neraca Perdagangan
Kemiskinan
Provinsi- i
Arus Perdagangan
Arus Migrasi
Provinsi- j
KetimpanganAntar provinsi
Gambar 3. Kerangka Konseptual Keterkaitan Regional
Keterkaitan antar region (provinsi) dalam model ini ditandai oleh arus migrasi
dan arus perdagangan yang terjadi antar region, keterkaitan ini secara langsung akan
mempengaruhi kondisi perekonomian region itu sendiri dan region lainnya.
Perekonomian dalam suatu region diukur melalui indikator makroekonominya. Selain
itu, dari keterkaitan region ini juga akan dilihat dampaknya terhadap ketimpangan
pendapatan. Dari indikator indikator makroekonomi dan ketimpangan pendapatan yang
terjadi selanjutnya akan dilihat dampak kemiskinan di masing-masing region.
PERUMUSAN MODEL
KETERKAITAN REGIONAL DAN
PROSEDUR ANALISIS
BAB
IV
4.1. Spesifikasi Model
Model ekonometrika merupakan suatu pola khusus dari model aljabar, yakni
suatu unsur yang bersifat stochastic yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu
(Intriligator, 1978). Menurut Koutsoyiannis, (1977) Model ekonometrika merupakan
gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas (explanatory variables)
terhadap peubah endogen (dependent variables) khususnya yang menyangkut tanda dan
besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis
secara apriori ekonomi dengan kata lain, model yang baik haruslah memenuhi kriteria
teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria statistika dan kriteria ekonometrika.
Tahapan membangun model diawali dengan suatu pemahaman fenomena
perekonomian yang dihipotesiskan terjadi sebagai akibat dari keterkaitan regional yang
akan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Spesifikasi model dilakukan dengan
memformulasikan model yang paling sesuai dengan sistem atau fenomena aktual yang
diabstraksikan. Setelah model dispesifikasikan atau diformulasikan, selanjutnya model
diestimasi dengan menggunakan teknik estimasi yang paling sesuai, sehingga
memberikan hasil estimasi yang terbaik. Tahap berikutnya adalah evaluasi untuk
mengetahui apakah model tersebut secara teoritis bermakna dan secara kuantitatif
memuaskan. Jika hal ini terlah terpenuhi maka akan dilakukan peramalan variabel
endeogen dari tahun 2006 sampai dengan 2014. Tahap terakhir adalah melakukan
simulasi kebijakan.
Bolton (1985) mendeskripsikan tiga tipe metode peramalan regional yang sering
digunakan dalam peramalan wilayah, yaitu pertama model top down dengan
menggunakan input data nasional yang diperoleh melalui peramalan model
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-1
ekonometrika ekonomi nasional yang dijadikan sebagai variable independent di dalam
model regional. Kedua, model bottom up yang dapat digunakan untuk mengestimasi
output nasional (atau output wilayah yang lebih luas) yang merupakan penjumlahan dari
nilai-nilai peramalan subregion, dan terakhir adalah Multiregional model yang
menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik aktifitas dari suatu industri pada wilayah
tertentu akan mempengaruhi beberapa sektor di wilayah lain. Multiregional model
memerlukan informasi trade flows antara region-region. Tetapi karena kompleksitas
dan syarat substansi data yang diperlukan, maka model bottom-up dan multiregional
lebih sering hanya difokuskan pada beberapa wilayah, dengan kata lain, jumlah region
yang digunakan umumnya hanya dua atau tiga wilayah.
Dalam kajian pengembangan model keterkaitan jumla wilayah atau region yang
digunakan adalah 30 provinsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Data dikumpulkan
dari masing-masing region (provinsi) dan model serta analisis, juga berdasarkan region.
Provinsi yang akan dikaji dalam hal ini adalah seluruh provinsi yang ada di Indonesia,
tetapi dengan alasan keterbatasan data, dimana ada beberapa provinsi yang baru
terbentuk (seperti Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat) tidak dianalis
dalam kajian pengembangan model keterkaitan regional.
Spesifikasi model yang dirumuskan dalam kajian ini adalah sangat terkait
dengan tujuan penelitian yaitu merumuskan model keterkaitan regional. Model yang
dibangun adalah sistem persamaan simultan dinamis. Model keterkaitan regional
dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan, yang
diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah secara sederhana dan
jelas.
Untuk memudahkan mengingat nama-nama variabel yang akan digunakan dalam
model keterkaitan regional ini, berikut ini akan didefinisikan beberapa karakter yang
akan digunakan seterusnya, yaitu:
i = klasifikasi sektoral (1-9)
p = Provinsi (1,..., 30)
t = tahun pengamatan(Tahun 1975 – 2006)
Spesifikasi model dalam kajian ini dibagi dalam sepuluh blok, yaitu PDRB
sektoral, investasi swasta sektoral, investasi pemerintah sektoral, tenaga kerja sektoral,
upah sektoral, inflasi, pengangguran, kemiskinan, migrasi dan blok perdagangan.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-2
Berikut ini adalah akan diuraian spesifikasi dari masing-masing blok, dan secara
sederhana keterkaitan antar-blok digambarkan pada Gambar 4 berikut ini:
PDRB
PDRB sektoral Capital
HC
Inflasi
Upah
Tenaga Kerja
Ekspor
Arus Migrasi
Unemploy
UMR
KHM
Impor PX
PDRB j
POP j
POP
PM j SDA j
SDA
Poverty
Investasi
CV
(U/L) j
Gambar 4: Simplifikasi Model Keterkaitan Regional
Pada Gambar 4 merupakan penyederhaan dari model keterkaitan regional secara utuh,
mengingat persamaan dalam model keterkaitan regional ini lebih dari 1000 persamaan
perilaku, maka tidak semua provinsi dan explanatory variables dinyatakan di dalamnya.
4.1.1. Blok PDRB Sektoral
Dalam teori Solow disebutkan bahwa output suatu perekonomian sangat
dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan modal (Mankiw, 2000). Model ini selanjutnya
dikembangkan oleh Romer, dimana selain faktor modal dan tenaga kerja, human capital
merupakan faktor penggerak pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Harrord-Domard
mementingkan tingkat investasi dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Dalam kajian
ini PDRB provinsi ke p merupakan fungsi dari jumlah tenaga kerja, investasi swasta dan
pemerintah. Sehingga secara umum model ekonomi untuk PDRB sektoral di masing-
masing provinsi p adalah:
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-3
Yipt = f( Lipt, ISipt, IGipt, DAUpt) ................................................ (4.1)
PDRBpt = .......................................................................... (4.2)
9
1iiY
dimana:
i = 1, 2, 3,…,9 (Klasifikasi Sektoral)
= 1 adalah PDRB Sektor pertanian per pekerja di provinsi p
= 2 adalah PDRB Sektor pertambangan per pekerja di provinsi p
= 3 adalah PDRB Sektor industri per pekerja di provinsi p
= 4 adalah PDRB Sektor LGA per pekerja di provinsi p
= 5 adalah PDRB Sektor bangunan per pekerja di provinsi p
= 6 adalah PDRB Sektor perdagangan per pekerja di provinsi p
= 7 adalah PDRB Sektor transportasi per pekerja di provinsi p
= 8 adalah PDRB Sektor lembaga keuangan per pekerja provinsi p
= 9 adalah PDRB Sektor jasa-jasa per pekerja di provinsi p
p = provinsi ke 1, 2, 3,…,30
DAUt = dana alokasi umum di provinsi p pada tahun ke t
IGipt = investasi pemerintah di sektor i di provinsi p pada tahun t
ISipt = investasi swasta di sektor i di provinsi p pada tahun t
Jumlah persamaan dalam blok PDRB sektoral terdiri dari sembilan persamaan
struktural dan satu persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri PDRB sektoral,
sedangkan persamaan identitas adalah penjumlahan dari seluruh PDRB sektoral yang
dalam hal ini disebut sebagai PDRB provinsi. Jumlah persamaan di dalam blok sektoral
adalah 300 persamaan.
4.1.2. Blok Investasi Swasta Sektoral
Secara umum dapat diketahui bahwa investasi merupakan fungsi dari suku
bunga dan tingkat pendapatan.
ISipt = f (SBI, Yipt) ........................................................................ (4.3) Dalam kajian pengembangan model regional ini, blok investasi swasta
merupakan fungsi dari tingkat suku bunga yang diwakili oleh suku bunga Bank
Indonesia dan tingkat pendapatan yang diwakili oleh PDRB sektoral Sehingga secara
umum model ekonomi untuk Investasi swasta di masing-masing sektor pada provinsi p
ditunjukkan pada persamaan (4.3). Total persamaan investasi swasta untuk seluruh
provinsi adalah 270 persamaan perilaku.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-4
4.1.3. Blok Investasi Pemerintah Sektoral
Hal yang sama juga diperlakukan untuk investasi pemerintah sektoral., yang
diformulasi secara umum untuk masing-masing provinsi adalah.
ISipt = f (SBI, Yipt) ........................................................................ (4.4) Dari persamaan (4.4) dalam pengembangan model regional ini, dapat diketahui
investasi pemerintah ditentukan oleh tingkat suku bunga yang diwakili oleh suku bunga
Bank Indonesia dan tingkat pendapatan yang diwakili oleh PDRB sektoral. Total
persamaan investasi pemerintah untuk seluruh provinsi adalah 270 persamaan perilaku.
4.1.4. Blok Tenaga Kerja Sektoral
Berdasarkan pada konsep ekonomi, bahwa tenaga kerja merupakan fungsi linier
dari upah, tingkat output dan tingkat investasi. Sehingga permintaan tenaga kerja yang
dibangun dalam model ini adalah:
Lipt = f(Wipt, Yipt, NEXpt) ………………………………. (4.5)
LFpt = TLpt + UNpt + NMpt …………………………….. (4.6)
dimana:
Lipt = jumlah tenaga kerja di sektor i di provinsi p pada tahun ke t TLpt = total permintaan tenaga kerja di provinsi p pada tahun t LFpt = total angkatan kerja di provinsi p pada tahun ke t Wipt = upah di sektor i di provinsi p pada tahun ke t Yipt = PDRB di sektor i di provinsi p pada tahun ke t UNpt = pengangguran di provinsi p pada tahun ke t INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t NMpt = migrasi bersih provinsi p pada tahun ke t. Migrasi bersih diperoleh dari
migrasi in di kurangi dengan migrasi out atau dituliskan (MGIN-MGOUT).
NEXpt = Ekspor bersih dari provinsi p pada tahun ke t
Jumlah persamaan blok permintaan tenaga kerja terdiri dari satu persamaan
struktural dan satu persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari persamaan
jumlah permintaan tenaga kerja itu sendiri di masing-masing sektor dan persamaan
identitas adalah total anggkatan kerja. Jumlah persamaan tenaga kerja adalah 270 (9
sektor x 30 provinsi) persamaan perilaku dan 30 (1 x 30) persamaa identitas. Sehingga
total jumlah persamaan di dalam blok tenaga kerja adalah 300 persamaan.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-5
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-6
4.1.5. Blok Upah Sektoral
Upah dapat didefinisikan sebagai harga yang dibayar kepada mereka yang
menyelenggara jasa-jasa, atau dapat juga disebut sebagai semua jenis kompensasi untuk
jasa-jasa. Dalam menetapkan upah, perusahaan dan pekerja berinteraksi terhadap
kondisi di pasar tenaga kerja. Penetapan upah juga harus memperhatikan efek inflasi.
Sehingga persamaan blok upah ditentukan sebagai berikut:
Wipt = f(UMRpt, Yipt, KHMpt, LFpt, INFpt) ........................... (4.7)
WRpt =
i
Wi
i
9
1 ...................................................................... (4.8)
dimana:
Wipt = upah di sektor i di provinsi p pada tahun ke t UMRpt = upah minimum regional provinsi p pada tahun ke t Yipt = PDRB sektor i di provinsi p pada tahun ke t KHMpt = kebutuhan hidup minimum di provinsi p pada tahun ke t LFpt = total angkatan kerja di provinsi p pada tahun ke t INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t WRpt = upah rata-rata di provinsi p pada tahun ke t yang diperoleh
Jumlah persamaan blok upah terdiri dari satu persamaan struktural dan saru
persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari persamaan upah di masing-masing
sektor, yaitu sebesar 270 (9 sektor x 30 Provinsi). Sedangkan jumlah persamaan
identitas adalah upah rata-rata provinsi, yaitu sebesar 30, sehingga jumlah persamaan
menjadi 300.
4.1.6. Blok Inflasi
Tingkat inflasi merupakan gambaran dari kenaikan harga yang dapat disebabkan
oleh tarikan permintaan, dorongan biaya atau mungkin disebabkan oleh gabunga
keduanya.
INFpt = f(WRpt, PDRBpt) .............................................. (4.9)
dimana:
INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t WRpt = upah rata-rata di provinsi p pada tahun ke t
Dalam kajian ini tingkat inflasi ditentukan oleh fungsi dari dorongan biaya yang
diwakili oleh upah ra-rata dan tarikan permintaan yang diwakili oleh PDRB provinsi.
Total persamaan perilaku inflasi dalam kajian adalah 30 persamaan.
4.1.7. Blok Pengangguran
Pengangguran dan inflasi adalah merupakan dua dari beberapa indikator penting
dalam ekonomi makro. Tingkat pengangguran dapat mengkuantifikasi kinerja
perekonomian suatu negara. Konsekuensi dari tingginga tingkat pengangguran
memberikan perubahan-perubahan negatif dalam perekonomian. Kerugian dari
tingginya tingkat pengangguran dapat diukur dalam bentuk keluaran yang hilang bagi
keseluruhan perekonomian (economic waste). Hal ini disebabkan karena penganggur
merupakan sumber daya berharga yang potensi outputnya tersia-siakan.
Kerugian dari tingginya tingkat pengangguran dapat berupa peningkatan
keresahan sosial dalam masyarakat (the human cost of unemployment). Seperti halnya
pengangguran, inflasi juga merupakan masalah utama dalam ekonomi makro. Akan
tetapi inflasi tidak menyebabkan kerugian nyata terhadap output nasional. Sementara
bila terjadi pengangguran maka output potensial menjadi terbuang dan ini sangat tidak
diharapkan.
Tidak adanya inflasi maupun kelebihan pengangguran adalah harapan dari para
pelaku ekonomi. Tetapi gangguan dalam perekonomian memang nyata terjadi, dan
tanpa adanya fleksibilitas harga-upah yang sempurna, tidaklah mungkin memulihkan
kondisi tenaga kerja penuh (full employment) dengan tingkat harga yang stabil dalam
jangka pendek. Oleh karena itu seringkali para pembuat kebijakan mengahadapai tujuan
keduanya bertentangan. Ketika para pembuat kebijakan menggerakkan perekonomian
ke atas sepanjang kurva penawaran agregat jangka pendek, mereka menurunkan tingkat
pengangguran dan menaikkan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika mereka mengkontraksi
permintaan agregat dan menggerakkan perekonomian ke bawah kurva penawaran
agregat jangka pendek, pengangguran naik dan inflasi turun. Trade-off inflasi dan
pengangguran jelas menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.
Kurva Phillips menggambarkan keterkaitan antara inflasi dan tingkat
pengangguran. Kurva ini menyimpulkan bahwa penurunan tingkat pengangguran akan
selalu dapat dipertahankan dengan mendorong kenaikan laju inflasi, dan bahwa laju
inflasi akan selalu dapat diturunkan dengan membiarkan terjadinya kenaikan tingkat
pengangguran. Kurva Phillips adalah cara yang berguna untuk menunjukkan penawaran
agregat karena inflasi dan pengangguran merupakan ukuran kinerja perekonomian yang
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-7
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-8
penting. Dalam kajian ini pengangguran ditentukan oleh fungsi dari tingkat inflasi,
product regional bruto suatu provinsi, tingkat upah dan net migrasi migrasi. Formulasi
dalam bentuk model ekonomi adalah:
UNpt = f(INFpt, PDRBpt, WRpt, NMpt, DAKpt ) ..........................(4.10)
ahun t
Dimana:
UNpt = tingkat pengangguran provinsi p pada tahun ke t INFpt = tingkat inflasi provinsi p pada tahun ke t PDRBpt = PDRB provinsi p pada tahun ke t DAKpt = Dana alokasi khusus pada tahun ke t
Dalam studi ini, inflasi diwakili oleh consumen price index (CPI) masing-
masing provinsi. Jumlah persamaan dalam blok inflasi adalah 30 persamaan perilaku.
4.1.8. Blok Kemiskinan
Blok kemiskinan hanya dibentuk dengan oleh satu persamaan perilaku. yaitu
persamaan jumlah penduduk miskin di masing-masing provinsi, yang merupakan fungsi
dari tingkat pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi, kekayaan sumberdaya
alam, dan tingkat pengangguran, upah rata-rata provinsi dan tingkat inflasi di provinsi
itu sendiri. Bentuk persamaan ekonomi dituliskan sebagai berikut:
POVpt = f (GROWTHpt, UNpt, WRpt, INFpt, DAKpt) ............... (4.11)
dimana
POVipt = Jumlah penduduk miskin di provinsi p pada tahun ke t
GROWTHpt = Pertumbuhan ekonomi provinsi p pada t
UNpt = Pengangguran di provinsi p pada tahun t
INFpt = tingkat inflasi di provinsi p pada tahun ke t
Jumlah persamaan dalam blok kemiskinan terdiri dari satu persamaan struktural.
Dimana persamaan kemiskinan tersebut terdiri dari 1 persamaan untuk masing-masing
region, sehingga total persamaan dalam blok kemiskinan adalah 30 persamaan.
4.1.9. Blok Migrasi
Keputusan seseorang untuk bermigrasi, pada garis besarnya dapat
dikelompokkan menjadi faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor).
Untuk menentukan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap migrasi digunakan
kerangka berpikir yang didasarkan pada teori Human Capital dan model Haris Todaro.
Teori Human Capital dan Model Haris Todaro lebih memfokuskan perhatiannya pada
hubungan ekonomi dari migrasi. Menurut Teori Human Capital bahwa seseorang akan
bermigrasi, jika pendapatan yang diperoleh di daerah tujuan lebih besar dari pendapatan
di daerah asal ditambah dengan biaya langsung migrasi. Selanjutnya model Haris
Todaro menyatakan bahwa keputusan untuk bermigrasi tidak hanya ditentukan oleh
berapa pendapatan yang diterima seandainya bermigrasi, tetapi juga juga dipengaruhi
oleh peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang berkaitan erat dengan kesempatan
kerja dan tingkat pengangguran di daerah tujuan.
Sebagai tenaga kerja, migran mempunyai potensi atau mute tertentu untuk
menghasilkan barang dan jasa. Apabila potensi yang dimiliki kurang dapat berproduksi
di daerah asal, karena kesempatan tidak ada atau terbatas, sedangkan potensi yang
dimiliki mampu berproduksi relatif tinggi di daerah tujuan, maka tenaga kerja yang
bersangkutan akan bermigrasi ke daerah yang penduduknya kurang dapat berproduksi
sesuai dengan mutu yang dimiliki. Mutu mempunyai peranan penting untuk
mempengaruhi proses terjadinya migrasi, karena mutu disini akan menentukan besainya
peluang dalam memperoleh pekerjaan. Di Indonesia, pasar kerja didominasi oleh
pekerja dengan pendidikan rendah, sehingga pengamatan mengenai mutu pekerja akan
lebih baik jika didekati dengan usia penduduk, dengan asumsi semakin tinggi usia
pekerja, sampai pada batas tertentu, akan semakin baik mutu pekerja.
Dalam migrasi juga terjadi persoalan assymetric information. Situasi ini
menyebabkan peningkatan suatu variabel ekonomi, misalnya peningkatan upah daerah
tujuan, tidak dapat langsung diikuti dengan penurunan migrasi dalam waktu yang sama.
Dengan kata lain, suatu penyebab menimbulkan akibat setelah suatu selang waktu
tertentu.
Selang waktu tersebut disebut lag. Oleh karena itu, perumusan realitistis dari
hubungan-hubungan ekonomi di dalam pasar kerja memerlukan variabel-variabel lag
dari variabel-variabel terikatnya. Variabel migrasi ini meruapakan salah satu bentuk
keterkaitan antar wilayah, namun demikian karena alasan data, tidak adanya sumberdata
yang menunjukkan arus migrasi berdasarkan daerah asal dan tujuan, maka persamaan
migrasi hanya dibentuk oleh satu persamaan saja, yait persamaan net migrasi (NMG).
Berdasarkan uraian tersebut, maka fungsi ekonomi migrasi keluar diformulasi sebagai
berikut:
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-9
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-10
NMGpt = f (Wpt, PDRBpt, Wjt , PDRBjt ) ................................. (4.12)
dimana :
NMjpt = migrasi penduduk bersih di provinsi p pada tahun ke t yang diperoleh dengan cara mengurangkan migrasi yang masuk dikurangi dengan migrasi yang keluar (MGINTpt – MGOUTpt)
Wpt = upah rata-rata di provinsi p pada tahun ke t
Wjt = upah rata-rata di provinsi j pada tahun ke t
PDRBpt = PDRB provinsi p pada tahun ke t
PDRBjt = PDRB provinsi j pada tahun ke t
Jumlah persamaan dalam blok migrasi terdiri dari satu persamaan struktural
yaitu net migrasi. Sehingga jumlah persamaan perilaku dalam persamaan net migrasi
adalah 30 persamaan perilaku.
4.1.10. Blok Perdagangan
Asumsi tradisional yang digunakan oleh ahli ekonomi regional bahwa
sumberdaya dengan bebas masuk diantara daerah atau wilayah dalam suatu negara.
Berbeda dengan model teori perdagangan internasional dimana faktor produksi
dianggap tidak dapat berpindah sedangkan komoditi dapat berpindah.
Asumsi yang digunakan untuk membangun model regional flows yaitu pertama,
sumberdaya tidak dapat berpindah dari suatu daerah ke daerah lain, tetapi modal dan
arus barang dan jasa dapat berpindah secara sempurna dan kedua mobilitas sumberdaya
juga diasumsikan adalah sempurna. Dengan demikian, persamaan ekspor yang
ditentukan dalam model keterkaitan regional dalam hal ini ditentukan oleh harga ekspor,
PDRB dan jumlah penduduk. Berikut adalah model ekonomi untuk persamaan ekspor
dan impor, yaitu:
Xpt = f(PXpt, PDRBjt, POPjt, PDRBjt) ............................. (4.13)
Mpt = f(PMjt, PDRBpt, POPpt) .......................................... (4.14)
NEXpt = Xpt - Mpt ............................................................... (4.15)
Keterangan:
Xpt = ekspor provinsi p j pada tahun ke t
Mpt = impor provinsi p pada tahun ke t dimana p j
PXpt = harga ekspor sektor i di provinsi p pada tahun ke t
PMpt = harga impor settor i di provinsi p pada tahun ke t
NEXpt = ekspor bersih sektor i di provinsi p pada tahun ke t
NEXpt = ekspor bersih sektor i di provinsi p pada tahun ke t
PDRBpt = PDRB provinsi p pada tahun ke t.
PDRBjt = PDRB provinsi j pada tahun ke t.
POPpt = jumlah penduduk provinsi p pada tahun ke t
Jumlah persamaan blok BOT terdiri dari dua persamaan struktural dan 1
persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari ekspor dan impor provinsi.
Jumlah persamaan ekspor 30 dan persamaan impor adalah 30 persamaan perilaku, dan
persamaan identitas sebanyak 30 persamaan. Sehingga total persamaan dalam blok
perdagangan adalah 90 persamaan.
4.2. Prosedur Analisis
4.2.1. Identifikasi Model
Indentifikasi model ditentukan atas dasar “order condition” sebagai syarat
keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut Koutsoyiannis
(1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition
ditentukan oleh:
(K - M) > (G - 1) ………………………………………………. (4.16)
dimana:
K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah
predetermined.
M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu
persamaan tertentu dalam model, dan
G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam
model.
Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut.
( K – M ) > ( G – 1 ) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified)
(K – M ) = ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi
secara tepat (exactly identified), dan (K – M ) < (G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak
teridentifikasi (unidentified).
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-11
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified
atau overidentified untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu
persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi.
Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal
itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan, bahwa dalam
suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk
minimal satu determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah
yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank
ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama
dengan nol (Koutsoyiannis, 1977).
Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 1650 persamaan
atau 1650 variabel endogen, terdiri dari 1530 persamaan perilaku dan 120 persamaan
identitas, jumlah peubah dalam persamaan adalah 5 peubah. Maka berdasarkan kriteria
order condition persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.
4.2.2. Metode Pendugaan Model
Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified, dalam hal
ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares),
3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood)
atau FIML (Full Information Maximum Likehood). Dalam penelitian metode pendugaan
model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan
2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah,
sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih
sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati,
1999)
Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama
berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan
digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas
berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan
digunakan uji statistik t.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-12
4.2.3. Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi
alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu
validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat
mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai
pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Square Error
(RMSE), (Root Means Percent Square Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality
Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai
berikut:
n
t
at
st YY
nRMSE
1
21 ………………………………. (4.17)
n
ta
t
at
st
Y
YY
nRMSPE
1
21
……………………………… (4.18)
n
t
at
n
t
st
n
t
at
st
Yn
Yn
YYn
U
1
2
1
2
1
2
11
1
……………………… (4.19)
dimana:
stY = nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi a
tY = nilai aktual variabel observasi
n = jumlah periode observasi Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah
endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran
relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai
aktualnya. Sedangikan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan
model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan
0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1 maka pendugaan model naif.
Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s dan makin besar nilai R², maka
pendugaan model semakin baik.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-13
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-14
4.2.4. Simulasi Model
Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model
tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Peramalan dapat dapat dibedakan
beberapa jenis dan tujuan simulasi, diantaranya adalah ramalan berdasarkan horizon
waktu, yang dibedakan menjadi ex post forecasting, ex ante forecasting dan
backcasting., yang diilustrasikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Garis Waktu Peramalan.
Pada periode t1 menunjukkan batas waktu dari model yang dihitung dengan data
yang ada. Simulasi yang dibuat diantara t1 ke t2 disebut dengan ex-post simulation atau
historical simulation. Nilai historical series yang dimulai tahun t1 dan berakhir tahun t2,
digunakan untuk peubah eksogen, sedangkan nilai historical dalam t1 merupakan
keadaan awal dari peubah endogen.
Ex-post forecasting menunjukkan kalau periode dugaan t2 < t3, maka peramalan
dapat dilakukan diakhir periode. Sedangkan pada ex-ante forecasting yang dimulai dari
t3 adalah simulasi atau perkiraan nilai dependent variabel yang didasarkan pada variabel
bebas dan dapat diteruskan hingga pada tahun-tahun berikutnya. Analisis kebijakan
dilakukan untuk melihat dampak kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan
(melalui intrumen tarif) terhadap semua peubah endogen.
Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana reaksi peubah endogen
terhadap perubahan peubah eksogen. Beberapa skenario simulasi alternatif kebijakan
ekonomi secara parsial dan alternatif kombinasi kebijakan ekonomi yang ditentukan
secara arbitrary, yaitu:
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.0 persen, 5.5 persen dan
6.0 persen.
Forecasting
t2 t1 t3 (t d )
Periode data dugaan
Periode dugaan
ex-ante forecasting
ex-post forecasting
backcasting ex-post simulation or historical simulation
2. Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 5.0 persen, 10.0
persen dan 15 persen.
3. Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5.0 persen, 10.0
persen dan 15 persen.
4. Simulasi kombinasi peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi
Umum (DAU) masing-masing sebesar 5.0 persen, 10 persen dan 15 persen
4.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan
rentang waktu (time series) dari tahun 1978 sampai dengan tahun 2007. Sedangkan
sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi yang terkait yaitu Biro
Pusat Statistik (BPS). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan merupakan catatan
bahwa dalam penelitian harga dideflasi dengan indeks harga sesuai dengan indeks
harga masing-masing dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari pengaruh
inflasi. Sehingga harga nominal yang diperoleh secara langsung dapat menjadi harga
riil.
4.4. Waktu Pelaksanaan
Pengembangan Model Keterkaitan Regional ini akan dilaksanakan secara
swakelola dalam kurun waktu (6 bulan) tahun anggaran 2008 dimulai pada bulan Juni
sampai dengan Nopember 2008.
6 (enam) Bulan No Kegiatan
Juni Juli Agus Sept Okt Nop
1. Persiapan xxxx xxxx
2. Rapat Diskusi xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx xxxx
3. Seminar Konsep Awal xxxx
4. Kunjungan Lapangan xxxx
5. Pengumpulan Data xxxx xxxx
6. Pembuatan Aplikasi xxxx xxxx
7. Penyusunan Laporan xxxx xxxx xxxx
8. Seminar Akhir xxxx
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-15
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional IV-16
4.5. Sistematika Pelaporan
Hasil dari kegiatan “Pengembangan Model Keterkaitan Regional” akan disusun
dalam satu laporan yang terbagi dalam tiga tahap, yiatu: laporan awal, kemajuan dan
laporan akhir.
1. Laporan Awal
Merupakan laporan pendahuluan yang antara lain berisi hasil perumusan
permasalahan secara hipotetik, tinjauan dan studi pustaka dan referensi yang telah
diperoleh yang dianggap relevan.
2. Laporan Kemajuan
Merupakan laporan yang hampir lengkap dengan memuat hasil data dan analisis
berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan wilayah-daerah dan
strategis. Dalam laporan ini juga telah terakomodasi hasil-hasil diskusi dengan staf
bappenas yang dilakukan secara intensif sebelumnya.
3. Laporan Akhir
Merupakan penyempurnaan laporan sebelumnya yang berisi hasil analisis dan
perumusan strategi yang telah mendapat tanggapan dan masukan dari berbagai
pihak. Pada laporan akhir, akan dilampirkan pula ringkasan laporan berbagai data
yang dianggap penting serta hasil analisis yang mendukung pemahaman terhadap
hasil kajian serta implementasinya.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-1
5.1. Keragaan Umum Model Keterkaitan Regional
Hasil estimasi model keterkaitan regional dalam penelitian ini dapat dikatakan
baik, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasinya (R²) dari masing-masing
persamaan perilaku yaitu berkisar antara 0.50 sampai dengan 0.99. Dari seluruh
persamaan perilaku yang di estimasi, hanya terdapat 3 persamaan perilaku, yaitu
persamaan kemiskinan di provinsi NTB, Banten dan Jambi dimana nilai R2 berada
masing-masing adalah 0.44, 0.49, dan 0.42. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum
peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada di dalam persamaan perilaku
mampu menjelaskan dengan baik perilaku peubah endogen (endogenous variable).
Besaran nilai statistik uji F umumnya tinggi, yaitu dengan nilai lebih besar dari
10.99, yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku
secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah endogennya,
pada taraf = 0.0001 dan 0.0078, disamping itu setiap persamaan struktural
mempunyai besaran parameter dan tandanya sesuai dengan harapan dan cukup logis
dari sudut pandang teori ekonomi (a priori economic), meskipun demikian masih
terdapat beberapa explanatory variables yang tidak signifikan secara statistik, dalam arti
bahwa secara individu variabel tersebut tidak berbeda nyata dengan nol mempengaruhi
variabel endogennya.
Nilai statistik-t, digunakan untuk menguji apakah masing-masing variabel
penjelas berpengarauh nyata terhadap variabel endogennya. Hasil estimasi dari statistik-
t yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang tidak
signifikan atau tidak berbeda nyata dengan nol terhadap variabel endogennya pada taraf
=0.05. Dalam studi ini taraf yang digunakan cukup fleksibel yaitu dengan taraf =
0.15.
KERANGKA UMUM MODEL
KETERKAITAN REGIONAL
BAB
V
Berdasarkan hasil uji statistik durbin-w (dw) dan terdapat sejumlah persamaan
yang mengalami masalah serial korelasi dan juga terdapat beberapa persamaan yang
tidak terdeteksi serial korelasinya. Terlepas dari ada tidaknya masalah serial korelasi
yang serius, Pindyck dan Rubinfeld (1991) membuktikan bahwa masalah serial korelasi
hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan
bias parameter regresi, oleh karena itu, hasil pendugaan model dalam kajian ini dapat
dinyatakan cukup representatif dalam menggambarkan fenomena keterkaitan regional.
5.2. Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi
alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu uji
validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat
mewakili fenomena keterkaitan regional. Dalam kajian ini, kriteria statistik untuk
validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah Root Means
Percent Square Error (RMSPE) yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-
nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam
ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan
nilai aktualnya, sedangkan Theil’s Inequality Coefficient (U), yang bermanfaat untuk
mengetahui kemampuan model untuk melakukan simulasi dan analisis kebijakan. Pada
dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s, maka pendugaan model semakin baik
(Pindyck and Rubinfield, 1991).
Hasil validasi model menunjukkan bahwa model ini dapat dilihat dari nilai
RMSPE, dimana hampir seluruh persamaan perilaku nilai RMPSE dibawah 20%, yang
munujukkan bahwa persamaan perilaku yang hanya menyimpang 20 persen dari nilai
aktualnya. Hanya terdapat 4 persamaan perilaku yang nilai RMSPE berkisar diantara
50% - 69%. Dengan kata lain bahwa model ini dapat dijadikan sebagai model
peramalan.
Sedangkan dilihat dari nilai Theil’s Inequality Coefficient (U), model ini juga
dapat dijadikan sebagai sebuah model untuk alternatif simulasi kebijakan, karena nilai
U-Theil seluruhnya berada di bahwa 0.2. Hanya terdapat 3 persamaan perilaku yang niai
U-Theil berada diantara 0.37 – 0.47, yaitu persamaan perilaku Persamaan PDRB
provinsi Bangka Belitung (R07PDB), persamaan Kemiskinan provinsi Kalimantan
Selatan (R19PVT) dan Persamaan Pengangguran provinsi Kalimantan Barat (R17UNT)
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-2
(Lampiran). Dengan kata lain bahwa, secara keseluruhan model ini dapat digunakan
untuk melakukan peramalan perilaku dan simulasi alternatif kebijakan.
5.3. Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi Indonesia
Hasil proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2008 menunjukkan bahwa
pertumbuhan ekonomi provinsi NAD masih negatif (0.14 persen), tetapi rata-rata dari
tahun 2008-2014 perekonomian NAD relatif stabil yang ditunjukkan dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi sebesar 4.91 persen. Hal ini menunjukkan bahwa investasi pasca
tsunami di NAD akan terlihat pengaruhnya lebih kurang selama 5 tahun. Urutan kedua
pertumbuhan ekonomi diikuti oleh provinsi Sulawesi tenggara dan provinsi Kalimantan
Timur (4.37 persen). Rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional adalah 3.54 persen
(Tabel 7).
Tabel 7. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Berdasarkan Provinsi, Tahun, 2008-2014.
(%) Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata
Nanggro Aceh Darusalam -0.14 10.33 6.00 1.49 6.17 8.36 2.20 4.91 Sumatera Utara 3.97 3.82 3.68 3.55 3.43 3.31 3.21 3.57 Sumatera Barat 4.02 3.87 3.72 3.59 3.46 3.35 3.24 3.61 Riau 2.36 2.31 2.25 2.21 2.16 2.11 2.07 2.21 Jambi 4.36 4.18 4.01 3.86 3.71 3.58 3.46 3.88 Sumatera Selatan 3.17 3.08 2.98 2.90 2.82 2.74 2.67 2.91 Bangka Belitung 4.91 4.68 4.47 4.28 4.10 3.94 3.79 4.31 Bengkulu 4.08 3.92 3.77 3.64 3.51 3.39 3.28 3.66 Lampung 3.98 3.82 3.68 3.55 3.43 3.32 3.21 3.57 Jakarta 4.20 4.03 3.88 3.73 3.60 3.47 3.36 3.75 Jawa Barat 3.79 3.65 3.52 3.40 3.29 3.19 3.09 3.42 Banten 3.97 3.82 3.68 3.55 3.43 3.31 3.21 3.57 Jawa Tengah 3.71 3.58 3.46 3.34 3.23 3.13 3.04 3.36 DI. Yogyakarta 3.80 3.66 3.53 3.41 3.30 3.19 3.09 3.43 Jawa Timur 3.89 3.74 3.61 3.48 3.36 3.25 3.15 3.50 Bali 3.32 3.22 3.12 3.02 2.93 2.85 2.77 3.03 Kalimantan Barat 3.32 3.22 3.12 3.02 2.93 2.85 2.77 3.03 Kalimantan Tengah 4.02 3.86 3.72 3.58 3.46 3.35 3.24 3.60 Kalimantan Selatan 3.71 3.58 3.45 3.34 3.23 3.13 3.03 3.35 Kalimantan Timur 4.49 4.45 4.40 4.37 4.33 4.29 4.26 4.37 Sulawesi Utara 3.03 2.94 2.86 2.78 2.71 2.63 2.57 2.79 Grontalo 4.98 4.75 4.53 4.33 4.15 3.99 3.84 4.37 Sulawesi Tengah 4.80 4.58 4.38 4.20 4.03 3.87 3.73 4.23 Sulawesi Selatan 4.10 3.93 3.79 3.65 3.52 3.40 3.29 3.67 Sulawesi Tenggara 5.16 4.91 4.68 4.47 4.28 4.10 3.94 4.51 Nusa Tenggara Barat 3.67 3.54 3.42 3.31 3.20 3.10 3.01 3.32 Nusa Tenggara Timur 3.66 3.53 3.41 3.30 3.19 3.09 3.00 3.31 Maluku 2.99 2.91 2.82 2.75 2.67 2.60 2.54 2.75 Maluku Utara 3.06 2.97 2.88 2.80 2.72 2.65 2.58 2.81 Papua 3.95 2.87 2.34 4.04 4.73 1.30 4.85 3.44
Nasional 3.74 3.92 3.64 3.43 3.50 3.36 3.18 3.54
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-3
Tabel 8. Proyeksi Pertumbuhan Jumlah Penduduk Miskin Berdasarkan Provinsi,
Tahun 2008-2014 (%)
Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata
Nanggro Aceh Darusalam -0.83 -0.38 0.00 0.33 0.60 0.83 1.02 0.23 Sumatera Utara 2.73 2.68 2.63 2.57 2.51 2.45 2.40 2.57 Sumatera Barat 5.08 -3.51 -4.47 -3.34 2.24 4.58 4.43 0.71 Riau -1.60 -0.66 0.06 0.59 0.98 1.26 1.46 0.30 Jambi 5.10 -5.11 -6.86 -6.09 0.14 4.33 5.53 -0.42 Sumatera Selatan 2.91 2.51 2.33 2.23 2.16 2.11 2.06 2.33 Bangka Belitung 5.18 3.25 2.04 1.26 0.74 0.39 0.16 1.86 Bengkulu -2.42 -2.49 -5.39 -5.61 -2.72 -3.96 -4.84 -3.92 Lampung -4.52 -4.97 -5.29 7.31 1.71 0.14 -0.69 -0.90 Jakarta -4.67 -7.80 -0.52 3.62 0.95 1.19 1.62 -0.80 Jawa Barat -5.05 -1.68 -0.88 11.10 5.94 4.44 2.52 2.34 Banten -3.12 -0.69 -8.58 2.03 -3.89 -4.25 -2.56 -3.01 Jawa Tengah -2.95 4.55 3.92 3.51 3.23 3.03 2.89 2.60 DI. Yogyakarta -3.05 -3.13 -3.28 -3.24 -3.23 -3.23 -3.30 -3.21 Jawa Timur -13.89 -3.58 -2.26 10.09 2.88 1.74 0.56 -0.64 Bali -4.03 -4.74 -5.40 -6.04 -6.69 -7.38 -8.13 -6.06 Kalimantan Barat 3.67 1.73 -3.12 -6.06 -5.52 -2.97 0.41 -1.69 Kalimantan Tengah -0.70 -1.63 -2.30 -2.80 -3.20 -3.52 -3.81 -2.57 Kalimantan Selatan 0.54 8.85 -0.84 -4.15 -6.75 -8.82 -5.82 -2.43 Kalimantan Timur 0.80 0.83 0.85 0.86 0.87 0.87 0.86 0.85 Sulawesi Utara 0.01 -2.23 -3.98 -5.44 -6.76 -8.06 -9.41 -5.12 Grontalo 1.85 1.82 1.79 1.75 1.72 1.70 1.67 1.76 Sulawesi Tengah -3.05 -3.06 -3.10 -3.16 -3.23 -3.32 -3.42 -3.19 Sulawesi Selatan -5.19 5.71 5.63 4.70 -1.48 -2.62 -2.43 0.62 Sulawesi Tenggara -4.31 -12.45 -13.87 -15.80 -18.48 -22.42 -28.64 -16.57 Nusa Tenggara Barat -1.63 -2.47 -0.23 1.16 0.81 0.08 -0.11 -0.34 Nusa Tenggara Timur 4.67 -0.26 -2.24 -2.15 -1.20 -0.36 0.01 -0.22 Maluku 1.10 0.75 -4.72 -8.56 -9.52 -8.37 -5.63 -4.99 Maluku Utara 6.30 5.00 4.18 3.64 3.26 3.00 2.81 4.03 Papua -2.66 -3.76 -3.01 -2.24 -1.28 -1.00 -1.17 -2.16 Nasional -0.79 -0.90 -1.90 -0.60 -1.44 -1.60 -1.65 -1.27
Membaiknya kinerja ekonomi di masing-masing provinsi diikuti juga dengan
penurunan jumlah penduduk miskin. Penurunan penduduk miskin terbesar terdapat di
provinsi Jawa Timur (12.89%). Secara umum terlihat bahwa penduduk miskin dari
tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal ini mengindikasi bahwa kinerja ekonomi
Indonesia semakin membak. Secara nasional terlihat bahwa dari tahun 2014-2018
penduduk miskin mengalami penurunan. Rata-rata penurunan pertumbuhan penduduk
miskin adalah sebesar 1.27 persen (Tabel 8).
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-4
Tabel 9. Proyeksi Pertumbuhan Jumlah Pengangguran Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014
(%) Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata
Nanggro Aceh Darusalam -2.17 0.41 1.76 2.42 2.71 2.81 2.82 1.54 Sumatera Utara 0.91 1.22 1.46 1.67 1.82 1.95 2.04 1.58 Sumatera Barat -0.79 0.30 1.08 1.63 2.00 2.24 2.39 1.27 Riau -4.02 -2.48 -1.23 -0.23 0.53 1.10 1.52 -0.69 Jambi -4.51 -1.76 0.05 1.18 1.84 2.22 2.41 0.20 Sumatera Selatan 0.29 0.95 1.45 1.80 2.04 2.21 2.31 1.58 Bangka Belitung -6.90 -5.74 -5.08 3.79 2.18 2.38 2.28 -1.01 Bengkulu -8.39 -6.79 -5.52 3.72 2.33 2.69 2.69 -1.32 Lampung -7.02 -5.73 -4.93 4.04 2.50 2.74 2.69 -0.82 Jakarta -3.42 -7.97 -1.02 -0.84 5.38 2.10 2.63 -0.45 Jawa Barat -7.65 -8.88 -5.71 1.98 -1.20 2.58 2.19 -2.38 Banten -4.84 -4.05 -1.72 0.44 2.50 4.13 5.02 0.21 Jawa Tengah -1.45 -0.52 0.21 0.79 1.23 1.55 1.79 0.51 DI. Yogyakarta 2.23 2.46 2.57 2.61 2.61 2.59 2.55 2.52 Jawa Timur -9.74 4.52 -4.63 5.57 -0.37 5.83 1.76 0.42 Bali 1.60 2.00 2.27 2.44 2.54 2.59 2.61 2.29 Kalimantan Barat -3.21 -1.09 0.37 1.33 1.94 2.30 2.51 0.59 Kalimantan Tengah 2.35 6.85 5.71 -4.42 -4.10 -7.27 10.63 1.39 Kalimantan Selatan 1.75 2.18 2.45 2.61 2.69 2.72 2.71 2.44 Kalimantan Timur -8.39 -5.03 -4.43 4.38 2.75 2.91 2.79 -0.72 Sulawesi Utara 0.60 1.96 2.52 2.73 2.78 2.75 2.70 2.29 Grontalo 2.03 2.55 2.82 2.94 2.97 2.96 2.91 2.74 Sulawesi Tengah 1.43 2.50 2.92 3.05 3.05 3.00 2.94 2.70 Sulawesi Selatan -6.72 -11.07 -3.48 3.47 -6.50 -2.12 27.48 0.15 Sulawesi Tenggara -7.56 0.02 5.71 9.18 9.58 8.36 6.42 4.53 Nusa Tenggara Barat -3.95 -2.54 -1.35 -0.39 0.36 0.94 1.38 -0.79 Nusa Tenggara Timur -3.59 -1.79 -0.43 0.56 1.26 1.74 2.05 -0.03 Maluku 1.88 2.45 2.49 2.66 2.63 2.65 2.59 2.48 Maluku Utara 3.03 2.94 2.86 2.78 2.70 2.63 2.57 2.79 Papua -1.82 0.02 1.20 1.91 2.33 2.55 2.65 1.26 Nasional -2.60 -1.07 0.01 2.19 1.84 2.26 3.73 0.91
Berbeda halnya dengan tingkat pertumbuhan pengangguran, dimana secara
nasional terlihat bahwa tingkat pengangguran menurun pada tahun 2008 sebesar 2.60
persen, dan pada tahun 2009 menurun sebesar 1.07 persen. Tetapi pada tahun 2010-
2014 diperkirakan tingkat pertumbuhan pengangguran meningkat. Rata-rata dari tahun
2008-2014, tingkat pertumbuhan pengangguran meningkat sebesar 0,91 persen. Tingkat
penurunan pertumbuhan kemiskinan terbesar terdapat di pulau Jawa (Tabel 9).
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-5
Tabel 10. Proyeksi Pertumbuhan Indeks Harga Konusmen Berdasarkan Provinsi, Tahun 2008-2014
(%) Provinsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rerata
Nanggro Aceh Darusalam -2.27 -1.08 -0.23 0.35 0.74 1.00 1.17 -0.04 Sumatera Utara -2.19 -0.98 -0.13 0.46 0.84 1.10 1.26 0.05 Sumatera Barat -2.63 -1.50 -0.64 0.00 0.46 0.80 1.03 -0.35 Riau -2.68 -1.51 -0.65 -0.03 0.41 0.71 0.92 -0.41 Jambi -3.36 -2.02 -1.07 -0.41 0.04 0.34 0.54 -0.85 Sumatera Selatan -2.95 -1.87 -1.05 -0.44 0.01 0.34 0.57 -0.77 Bangka Belitung -2.95 -1.87 -1.05 -0.44 0.01 0.34 0.57 -0.77 Bengkulu -2.56 -1.31 -0.41 0.22 0.65 0.94 1.13 -0.19 Lampung -2.57 -1.37 -0.51 0.10 0.51 0.80 0.98 -0.29 Jakarta -1.62 -0.50 0.26 0.77 1.10 1.31 1.44 0.39 Jawa Barat -2.59 -1.52 -0.73 -0.16 0.24 0.53 0.72 -0.50 Banten -2.59 -1.52 -0.73 -0.16 0.24 0.53 0.72 -0.50 Jawa Tengah -3.02 -1.86 -1.02 -0.42 0.00 0.29 0.48 -0.79 DI. Yogyakarta -2.75 -1.65 -0.84 -0.25 0.16 0.46 0.66 -0.60 Jawa Timur -2.41 -1.36 -0.60 -0.07 0.30 0.55 0.72 -0.41 Bali -1.89 -0.96 -0.30 0.15 0.47 0.68 0.82 -0.15 Kalimantan Barat -2.03 -0.86 -0.03 0.54 0.93 1.18 1.34 0.15 Kalimantan Tengah -1.77 -0.74 -0.03 0.44 0.76 0.96 1.09 0.10 Kalimantan Selatan -3.41 -2.23 -1.34 -0.68 -0.21 0.13 0.37 -1.05 Kalimantan Timur -1.81 -0.57 0.26 0.81 1.15 1.37 1.50 0.39 Sulawesi Utara -2.86 -1.64 -0.74 -0.09 0.37 0.70 0.92 -0.48 Grontalo -2.86 -1.64 -0.74 -0.09 0.37 0.70 0.92 -0.48 Sulawesi Tengah -2.13 -1.07 -0.28 0.31 0.73 1.03 1.23 -0.03 Sulawesi Selatan -2.51 -1.40 -0.58 0.03 0.47 0.77 0.99 -0.32 Sulawesi Tenggara -1.62 -0.46 0.35 0.89 1.25 1.48 1.63 0.50 Nusa Tenggara Barat -1.88 -0.79 -0.05 0.45 0.78 0.99 1.12 0.09 Nusa Tenggara Timur -3.16 -1.88 -0.94 -0.25 0.23 0.57 0.80 -0.66 Maluku -2.43 -0.88 0.16 0.83 1.26 1.52 1.67 0.30 Maluku Utara -2.51 -0.91 0.16 0.86 1.30 1.57 1.72 0.31 Papua -2.34 -1.20 -0.37 0.22 0.63 0.91 1.10 -0.15 Nasional -2.48 -1.31 -0.46 0.13 0.54 0.82 1.01 -0.25
Dalam kajian ini, tingkat inflasi diwakili oleh indeks harga konsumen (consumer
prices index, CPI). Pada tahun 2008-2010 seluruh provinsi mengalami penurunan
pertumbuhan indeks harga konsumen. Pada Tahun berikutnya, pertumbuhan indeks
harga konsumen bervariasi antara provinsi. Secara nasional terlihat bahwa pertumbuhan
indeks harga konsumen tahun 2008-2010 mengalami penurunan sebesar 2.48%, 1.31%
dan 0.46% secara berturut-turut. Sedangkan pada tahun 2011-2014 pertumbuhan indeks
harga konsumen mengalami peningkatan. Rata-rata pertumbuhan indeks harga
konsumen turun sebesar 0.25 persen (Tabel 10).
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-6
5.4. Simulasi Kebijakan
Skenario alternatif kebijakan yang dilakukan dalam kajian ini adalah ditentukan
secara arbitrary, yaitu (1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5.0
persen, 5.5 persen dan 6.0 persen, (2) Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum
(DAU) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen, (3) Simulasi Peningkatan Dana
Alokasi Khusus (DAK) sebesar 5.0 persen, 10.0 persen dan 15 persen dan (4) Simulasi
kombinasi peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU)
masing-masing sebesar 5.0 persen, 10 persen dan 15 persen. Dalam kajian ini simulasi
kebijakan yang akan dilakukan adalah periode 2010 – 2014.
5.4.1. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional
sebesar 5 persen, berdampak pada kenaikan GDP untuk seluruh provinsi. Kenaikan
GDP yang terkecil adalah provinsi Maluku, yaitu sebesar 3.807, sedangkan
peningkatan GDP terbesar terdapat pada provinsi Jakarta dan Jawa Barat, masing-
masing 7.644 persen dan Kalimantan Timur 6.964 (Tabel 11.). Jika dilihat secara rata-
rata ekonomi nasional menjadi tumbuh sebesar 5.418 persen. Dengan kata lain bahwa
kenaikan GDP sebesar 5 persen, akan memiliki kenaikan atau dampak multiplier
sebesar 0.418 persen
Jika dilihat berdasarkan tingkat inflasi (CPI), dapat dijelaskan bahwa kenaikan
PDRB sebesar 5 persen, menyebabkan kenaikan inflasi antara 0.068 persen sampai
dengan 6.375 persen. Kenaikan inflasi terbesar terjadi pada Benkulu, Jawa Tengah dan
Sumatera Selatan yaitu sebesar 6.375 persen, 5.900 persen dan 5.187 persen secara
berturut-turut. Hal tersebut disebabkan karena wilayah ini, dalam beberapa tahun
terakhir begitu pesat perkembangannya, sehingga bertambahnya PDRB akan semakin
mendorong peningkatan Agregat Demand (AD), antara lain untuk investasi, konsumsi
dan pengeluaran pemerintah. Meningkatnya AD akan mendorong peningkatan harga
barang dan jasa secara umum.
Jika dilihat dari indikator kemiskinan, dapat diketahui bahwa pengaruh dari
kenaikan GDP nasional, secara umum menurunkan jumlah kemiskinan, walaupun ada
beberapa daerah yang kemiskinannya meningkat, yaitu Bengkulu dan Jawa Tengah,
sedangkan provinsi Maluku Utara dan Papua tidak memiliki dampak yang signifikan.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-7
Meningkatnya kemiskianan tersebut disebabkan karena kenaikan rata-rata kenaikan
pertumbuhan ekonomi wilayah umumnya lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan
tingkat inflasi itu sendiri yang mencapai 6375 persen, terutama di provinsi Bengkulu
dan Jawa Tengah, hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan biaya hidup yang cukup
besar di Bengkulu dan Jawa Tengah, sehingga jumlah orang miskin meningkat.
Tabel 11. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 4.496 0.443 -0.087 -0.876Sumatera Utara 5.605 0.243 -0.033 -0.374Sumatera Barat 4.728 0.334 -5.762 -0.426Riau 5.427 0.459 -0.298 -0.120Jambi 5.374 0.734 -4.395 -2.810Sumatera Selatan 4.564 5.187 1.463 -0.508Bangka Belitung 5.125 0.108 -0.014 -0.495Bengkulu 5.811 6.375 0.220 -2.282Lampung 5.959 0.280 -0.142 -2.171Jakarta 7.644 0.709 -0.550 -0.052Jawa Barat 6.189 2.668 -0.215 -0.246Banten 5.431 4.354 -3.133 -0.158Jawa Tengah 5.047 5.900 0.138 0.313DI. Yogyakarta 6.567 0.835 -3.930 -0.547Jawa Timur 5.185 3.465 -3.832 0.334Bali 4.833 2.064 3.817 -0.692Kalimantan Barat 5.466 4.010 -5.562 -5.754Kalimantan Tengah 5.758 1.255 -10.750 -1.799Kalimantan Selatan 6.474 4.474 -32.202 -5.991Kalimantan Timur 6.949 0.194 -2.887 -5.123Sulawesi Utara 4.998 0.101 -4.002 -1.111Grontalo 4.696 0.034 -1.283 -1.241Sulawesi Tengah 5.294 1.122 -1.678 -0.064Sulawesi Selatan 5.738 1.060 -1.230 -0.937Sulawesi Tenggara 4.852 0.918 -3.349 -0.114Nusa Tenggara Barat 4.952 0.718 -12.382 0.000Nusa Tenggara Timur 4.364 2.548 -0.503 0.761Maluku 3.807 0.068 -0.023 -0.007Maluku Utara 4.604 0.071 0.000 -0.011Papua 6.613 4.138 0.000 -1.872Nasional 5.418 1.829 -3.087 -1.146
Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum juga memberikan
dampak yang baik terhadap penyerapan tenaga kerja, hal ini terlihat dari menurunnya
jumlah pengangguran di hampir seluruh provinsi. Hanya provinsi Jawa Timur dan
provinsi Nusa Tenggara Timur yang jumlah penganggurannya meningkat, meskipun
relatif kecil.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-8
Meningkatnya pengangguran di provinsi Jawa Timur disebabkan tingkat inflasi
yang lebih lebih tinggi di banding dengan kenaikan pertumbuhan ekonomi wilayah
tersebut, dimana pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut adalah ebesar 5.689 persen
sedangkan tingkat inflasi yang ada adalah 6.499 persen. Sementara untuk provinsi Nusa
Tenggara Timur lebih disebabkan karena rendahnya tingkat investasi baik swasta
maupun pemerintah, sehingga laju ekonomi yang ada masih belum dapat menurunkan
jumlah pengangguran. Hal yang sama juga akan, jika pertumbuhan ekonomi nasional
meningkat sebesar 5.5 persen dan 6.0 persen tetapi memiliki besaran yang berbeda
(Lihat Tabel 12. dan Tabel 13).
Tabel 12. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 5.5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 4.851 0.475 -0.096 -0.964Sumatera Utara 5.705 0.243 -0.033 -0.411Sumatera Barat 5.084 0.367 -6.344 -0.469Riau 5.834 0.495 -0.324 -0.132Jambi 5.668 0.834 -4.853 -3.091Sumatera Selatan 4.953 5.339 1.609 -0.559Bangka Belitung 5.202 0.145 -0.015 -0.544Bengkulu 6.226 6.452 0.257 -2.510Lampung 6.429 0.315 -0.155 -2.388Jakarta 8.002 0.774 -0.600 -0.057Jawa Barat 6.647 2.920 -0.236 -0.271Banten 5.913 4.801 -3.445 -0.174Jawa Tengah 5.530 6.499 0.151 0.345DI. Yogyakarta 6.735 0.902 -4.323 -0.602Jawa Timur 5.689 3.833 -4.215 0.367Bali 5.020 2.274 4.178 -0.761Kalimantan Barat 5.966 4.417 -6.130 -6.329Kalimantan Tengah 6.258 1.387 -11.810 -1.979Kalimantan Selatan 6.946 4.925 -34.777 -6.590Kalimantan Timur 7.297 0.226 -3.188 -5.635Sulawesi Utara 5.221 0.101 -4.386 -1.222Grontalo 4.766 0.034 -1.415 -1.365Sulawesi Tengah 5.792 1.246 -1.844 -0.070Sulawesi Selatan 6.210 1.133 -1.353 -1.031Sulawesi Tenggara 5.293 1.029 -3.688 -0.125Nusa Tenggara Barat 5.296 0.815 -13.620 0.000Nusa Tenggara Timur 4.622 2.799 -0.557 0.837Maluku 3.906 0.068 -0.023 -0.007Maluku Utara 4.621 0.071 0.000 -0.012Papua 7.221 4.138 0.000 -2.060Nasional 5.763 1.969 -3.374 -1.260
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-9
Tabel 13. Dampak Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Sebesar 6 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 5.207 0.538 -0.104 -1.052Sumatera Utara 5.805 0.278 -0.037 -0.448Sumatera Barat 5.440 0.401 -6.907 -0.511Riau 6.248 0.530 -0.350 -0.143Jambi 5.963 0.901 -5.284 -3.372Sumatera Selatan 5.342 5.454 1.755 -0.610Bangka Belitung 5.278 0.145 -0.016 -0.594Bengkulu 6.642 6.490 0.257 -2.738Lampung 6.898 0.350 -0.167 -2.605Jakarta 8.360 0.870 -0.650 -0.062Jawa Barat 7.102 3.208 -0.258 -0.296Banten 6.395 5.247 -3.757 -0.190Jawa Tengah 6.008 7.097 0.165 0.376DI. Yogyakarta 6.903 1.002 -4.717 -0.656Jawa Timur 6.194 4.165 -4.598 0.401Bali 5.208 2.483 4.580 -0.831Kalimantan Barat 6.465 4.791 -6.669 -6.905Kalimantan Tengah 6.758 1.519 -12.871 -2.159Kalimantan Selatan 7.419 5.376 -37.352 -7.189Kalimantan Timur 7.652 0.226 -3.489 -6.147Sulawesi Utara 5.443 0.135 -4.825 -1.333Grontalo 4.836 0.034 -1.547 -1.489Sulawesi Tengah 6.289 1.340 -2.033 -0.076Sulawesi Selatan 6.683 1.243 -1.475 -1.124Sulawesi Tenggara 5.735 1.113 -3.985 -0.137Nusa Tenggara Barat 5.641 0.881 -14.858 0.000Nusa Tenggara Timur 4.880 3.050 -0.610 0.913Maluku 4.004 0.068 -0.023 -0.008Maluku Utara 4.639 0.071 0.000 -0.014Papua 7.828 4.138 0.000 -2.247Nasional 6.109 2.105 -3.661 -1.375
Secara nasional terlihat bahwa perningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 5
persen, 5.5 persen dan 6.0 persen akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan
ekonomi disetiap provinsi, dan secara nasional juga terlihat bahwa tingkat iflasi akan
meningkat, namun demikian dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut akan dapat
mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Jelas bahwa untuk
menurunkan kemiskinan dan pengangguran masih diperlukan tingkat pertumbuhan
ekonomi lebih besar yang didapat didorong dari kenaikan investasi baik dari pemerintah
ataupun swasta. Kenaikan pertumbuhan ekonomi nasional, secara umum memberikan
dampak yang signifikan bagi perubahan jumlah pertumbuhan wilayah, kemiskinan, dan
tingkat pengangguran.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-10
5.4.2. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum
Kenaikan dana alokasi umum (DAU) sebesar 5 persen, secara umum berdampak
pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah kecuali di beberapa provinsi di
Indonesia seperti di daerah provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta
dan beberapa di pulau Kalimantan. Kenaikan GDP tersebut akan mendorong naiknya
tingkat inflasi yang digambarkan oleh meningkatnya Indeks harga konsumen.
Peningkatan GDP tersebut juga diikuti oleh menurunkan jumlah penduduk miskin dan
tingkat pengangguran, meskipun di beberapa daerah menunjukkan variasi yang berbeda
(Tabel 14).
Tabel 14. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 5 Persen, terhadap
Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.00 -0.009 -0.024Sumatera Utara 2.836 0.63 -0.084 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.00 -0.053 -0.004Riau 0.743 0.07 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.03 -0.216 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.81 -3.388 0.000Bangka Belitung 0.004 0.00 0.000 -0.002Bengkulu 0.037 5.76 0.000 -0.020Lampung 0.252 0.00 -0.006 -0.117Jakarta 0.049 0.00 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.00 -0.731 -0.840Banten 0.000 0.00 -4.646 0.000Jawa Tengah 0.116 0.13 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.000 -1.07 -0.500 -3.063Jawa Timur 0.025 0.00 -0.019 0.002Bali 0.000 0.00 -4.098 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.00 -11.962 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.00 -0.495 0.000Kalimantan Selatan 0.004 0.00 -6.454 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.00 -0.050 -0.077Sulawesi Utara 0.000 0.00 -2.467 0.000Grontalo 0.438 0.03 -0.790 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.03 -0.024 -0.001Sulawesi Selatan 0.080 0.00 -4.652 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.03 -0.170 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.10 -2.109 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.11 -0.023 0.026Maluku 0.031 0.00 0.000 0.000Maluku Utara 0.179 0.07 0.000 -0.011Papua 0.372 4.14 0.000 -0.924Nasional 0.214 0.462 -1.434 -0.235
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-11
Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dengan jumlah sebesar 10 dan 15 persen
dari rata-rata sebelumnya, juga memberikan dampak yang hampir sama namun dengan
nilai besaran yang berbeda (lihat Tabel 15 dan Tabel 16).
Tabel 15. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 10 Persen, terhadap
Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.193 0.032 -0.009 -0.048Sumatera Utara 5.680 1.251 -0.168 -2.083Sumatera Barat 0.070 0.000 -0.123 -0.008Riau 1.486 0.177 -0.117 -0.043Jambi 0.293 0.067 -0.431 -0.280Sumatera Selatan 0.000 3.814 -6.775 0.000Bangka Belitung 0.008 0.000 0.000 -0.005Bengkulu 0.074 5.799 0.000 -0.040Lampung 0.503 0.035 -0.012 -0.233Jakarta 0.096 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -1.462 -1.680Banten 0.000 0.000 -9.292 0.000Jawa Tengah 0.232 0.299 0.006 0.015DI. Yogyakarta 0.000 -2.170 -1.000 -6.125Jawa Timur 0.051 0.037 -0.038 0.003Bali 0.000 0.000 -8.196 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.000 -23.923 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.000 -0.990 0.000Kalimantan Selatan 0.008 0.000 -6.454 -0.010Kalimantan Timur 0.107 0.000 -0.075 -0.154Sulawesi Utara 0.000 0.000 -4.989 0.000Grontalo 0.876 0.034 -1.612 -1.553Sulawesi Tengah 0.130 0.031 -0.047 -0.002Sulawesi Selatan 0.161 0.037 -9.304 -0.032Sulawesi Tenggara 0.374 0.083 -0.297 -0.010Nusa Tenggara Barat 1.172 0.228 -4.217 0.000Nusa Tenggara Timut 0.180 0.179 -0.038 0.053Maluku 0.062 0.000 0.000 -0.001Maluku Utara 0.358 0.141 0.000 -0.023Papua 0.743 4.138 0.000 -1.848Nasional 0.429 0.474 -2.652 -0.470
Secara Nasional dapat disebutkan bahwa kenaikan dana alokasi umum sebesar
10 persen, akan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional,
yaitu meningkat sebesar 0.429 persen, yang diikuti dengan penurunan tingkat
kemiskinan dan pengangguran masing-masing sebesar 2.652 persen dan 0.470 persen.
Terlihat bahwa DAU lebih efektif menurunkan tingkat kemiskinan nasional.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-12
Tabel 16. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum Sebesar 15 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.290 0.032 -0.009 -0.071Sumatera Utara 8.524 1.876 -0.252 -3.124Sumatera Barat 0.105 0.033 -0.176 -0.013Riau 2.238 0.247 -0.168 -0.065Jambi 0.439 0.100 -0.647 -0.419Sumatera Selatan 0.000 3.814 -10.163 0.000Bangka Belitung 0.011 0.000 0.000 -0.007Bengkulu 0.111 5.799 0.000 -0.061Lampung 0.755 0.035 -0.019 -0.349Jakarta 0.146 0.032 -0.025 -0.002Jawa Barat 0.000 0.036 -2.191 -2.520Banten 0.000 0.000 -13.932 0.000Jawa Tengah 0.353 0.428 0.009 0.023DI. Yogyakarta 0.000 -3.239 -1.501 -9.188Jawa Timur 0.076 0.037 -0.057 0.005Bali 0.000 0.000 -12.254 0.000Kalimantan Barat 0.000 0.000 -35.855 0.000Kalimantan Tengah 0.000 0.000 -1.485 0.000Kalimantan Selatan 0.011 0.000 -6.534 -0.015Kalimantan Timur 0.161 0.000 -0.126 -0.231Sulawesi Utara 0.000 0.000 -7.456 0.000Grontalo 1.314 0.068 -2.435 -2.329Sulawesi Tengah 0.195 0.062 -0.071 -0.003Sulawesi Selatan 0.241 0.037 -13.957 -0.048Sulawesi Tenggara 0.561 0.111 -0.424 -0.015Nusa Tenggara Barat 1.758 0.359 -6.317 0.000Nusa Tenggara Timut 0.270 0.287 -0.053 0.079Maluku 0.092 0.000 0.000 -0.001Maluku Utara 0.537 0.176 0.093 -0.034Papua 1.115 4.138 0.000 -2.772Nasional 0.643 0.482 -3.867 -0.705
Hanya beberapa wilayah yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU tidak
memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya, yaitu
seperti provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta dan beberapa di
pulau Kalimantan, namun demikian memberikan pengaruh positif bagi penurunan
kemiskinan. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU akan
memberikan pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan
oleh perubahan indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, kemiskinan,
pengangguran dan tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan. Dengan kata
lain bahwa DAU dapat lebih menurunkan tinkat kemiskinan dibandingkan dengan
kanaikan GDP sendiri.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-13
5.4.3. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus
Kenaikan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5 persen, secara umum juga
berdampak lebih besar menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kenaikan GDP
masing-masing wilayah. Pertumbuhan ekonomi wilayah di beberapa provinsi tikda
memiliki pengaruh dan kenaikan GDP itu sendiri relatif kecil. Pulau sumatera dan
kalimantan umumnya tidak memiliki pengaruh terhadap kenaikan GDP. Dengan kata
lain bahwa kenaikan DAK sebesar 5 persen memiliki pengaruh langsung dalam
menurunkan kemiskinan dibandingkan dengan kanaikan dalam GDP. (Tabel 17). Tabel 17. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 5 Persen, terhadap
Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -1.538 0.000Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.065 0.000Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.159 0.000Riau 0.000 0.000 0.000 0.000Jambi 0.000 0.000 -0.243 0.000Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.152 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -0.447 0.000Bengkulu 0.000 5.760 -0.037 0.000Lampung 0.000 0.000 -0.117 0.000Jakarta 0.000 0.000 0.000 0.000Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 0.000Banten 0.052 0.037 -0.033 -0.002Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.000DI. Yogyakarta 0.016 0.033 -0.048 -0.004Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.000Bali 0.014 0.035 0.000 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -0.030 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 0.000 -0.005Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -14.343 0.000Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.050 0.000Sulawesi Utara 0.021 0.000 0.000 -0.011Grontalo 0.000 0.000 -0.066 0.000Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.142 -0.005Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -0.356 0.000Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.170 0.000Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -0.551 0.000Nusa Tenggara Timur 0.000 0.000 -0.069 0.000Maluku 0.000 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -0.833 -1.575Papua 0.000 4.138 -0.827 0.000Nasional 0.004 0.461 -0.677 -0.054
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-14
Secara nasional dapat diketahui bahwa kenaikan dana alokasi khusus (DAK)
sebesar 5 persen akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.004 persen,
perbaikan ekonomi ini akan menuju pada penurunan tingkat kemiskinan dan
pengangguran. Kenaikan DAK dengan jumlah sebesar 10 dan 15 persen, juga
memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAK sebesar 5 persen tetapi dengan nilai
besaran yang berbeda di setiap kenaikannya (lihat Tabel 18 dan Tabel 19). Lebih jauh
dapat disebutkan bahwa DAK lebih berperan dalam menurunkan kemiskinan di setiap
wilayah.
Tabel 18. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 10 Persen, terhadap
Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -3.076 0.000Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.126 0.000Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.317 0.000Riau 0.000 0.000 0.000 0.000Jambi 0.000 0.000 -0.512 0.000Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.303 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -0.894 0.000Bengkulu 0.000 5.760 -0.073 0.000Lampung 0.000 0.000 -0.235 0.000Jakarta 0.000 0.000 0.000 0.000Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 0.000Banten 0.103 0.074 -0.066 -0.003Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.000DI. Yogyakarta 0.032 0.033 -0.095 -0.010Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.000Bali 0.028 0.035 0.040 -0.011Kalimantan Barat 0.013 0.000 -0.030 -0.014Kalimantan Tengah 0.029 0.000 -0.071 -0.011Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -22.310 0.000Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.075 0.000Sulawesi Utara 0.041 0.000 -0.055 -0.021Grontalo 0.000 0.000 -0.132 0.000Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.260 -0.010Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -0.711 0.000Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.339 0.000Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -1.093 0.000Nusa Tenggara Timur 0.000 0.000 -0.145 0.000Maluku 0.000 0.000 -0.093 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -1.667 -3.149Papua 0.000 4.138 -1.654 0.000Nasional 0.008 0.462 -1.143 -0.108
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-15
Tabel 19. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Khusus Sebesar 15 Persen, terhadap
Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah
Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.000 0.000 -4.605 -0.024Sumatera Utara 0.000 0.000 -0.191 -1.041Sumatera Barat 0.000 0.000 -0.476 -0.004Riau 0.000 0.000 0.000 -0.021Jambi 0.000 0.000 -0.755 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.814 -0.461 0.000Bangka Belitung 0.000 0.000 -1.341 -0.002Bengkulu 0.000 5.760 -0.073 -0.020Lampung 0.000 0.000 -0.346 -0.117Jakarta 0.000 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 0.000 -0.840Banten 0.155 0.112 -0.100 -0.002Jawa Tengah 0.000 0.000 0.000 0.008DI. Yogyakarta 0.047 0.033 -0.143 -3.068Jawa Timur 0.000 0.000 0.000 0.002Bali 0.043 0.070 0.080 -0.006Kalimantan Barat 0.019 0.000 -0.030 -0.008Kalimantan Tengah 0.044 0.033 -0.071 -0.005Kalimantan Selatan 0.000 0.000 -30.240 -0.005Kalimantan Timur 0.000 0.000 -0.126 -0.077Sulawesi Utara 0.062 0.000 -0.110 -0.011Grontalo 0.000 0.000 -0.197 -0.776Sulawesi Tengah 0.000 0.000 -0.402 -0.006Sulawesi Selatan 0.000 0.000 -1.067 -0.016Sulawesi Tenggara 0.000 0.000 -0.509 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.000 0.000 -1.644 0.000Nusa Tenggara Timut 0.000 0.000 -0.214 0.026Maluku 0.000 0.000 -0.116 0.000Maluku Utara 0.000 0.000 -0.833 -1.586Papua 0.000 4.138 -0.827 -0.924Nasional 0.012 0.465 -1.493 -0.289
Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAK akan
memberikan pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan
oleh perubahan indikator ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, kemiskinan,
pengangguran dan tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan. Peningkatan
DAK sebesar 15 persen secara nasional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.012 persen dengan tingkat inflasi sebesar 0.465 persen. Sedangkan tingkat
kemiskinan dan pengangguran menurun masing-masing sebesar 1.493 dan 0.289 persen.
Dengan kata lain bahwa DAK masih memberikan konstribusi positif bagi perekonomian
daerah.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-16
5.4.4. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
Kenaikan dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5
persen berdampak pada meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah untuk setiap
provinsi. Peningkatan DAK dan DAU sebesar 5 persen secara statistik tidak signifkan.
Kenaikan tertinggi terletak pada provinsi Sumatera Utara, Riau dan Grontalo. Secara
nasional terlihat bahwa dampak kenaikan DAU dan DAK akan memberikan pengaruh
positif bagi kinerja perekonomian yang ditandai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang mengalami peningkatan sebesar 0.128 persen (Tabel 20). Tabel 20. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
Sebesar 5 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.097 0.000 -1.538 -0.004Sumatera Utara 2.836 0.625 -0.149 -1.041Sumatera Barat 0.035 0.000 -0.211 -0.004Riau 0.743 0.071 -0.065 -0.021Jambi 0.146 0.033 -0.458 -0.140Sumatera Selatan 0.000 3.814 -3.539 0.000Bangka Belitung 0.004 0.000 -0.447 -0.002Bengkulu 0.037 5.760 -0.037 -0.020Lampung 0.252 0.000 -0.124 -0.117Jakarta 0.049 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -0.731 -0.840Banten 0.052 0.037 -4.679 -0.002Jawa Tengah 0.116 0.128 0.002 0.008DI. Yogyakarta 0.016 -1.068 -0.548 -3.068Jawa Timur 0.025 0.000 -0.019 0.002Bali 0.014 0.035 -4.058 -0.006Kalimantan Barat 0.006 0.000 -11.962 -0.008Kalimantan Tengah 0.015 0.000 -0.495 -0.005Kalimantan Selatan 0.004 0.000 -14.422 -0.005Kalimantan Timur 0.054 0.000 -0.075 -0.077Sulawesi Utara 0.021 0.000 -2.522 -0.011Grontalo 0.438 0.034 -0.888 -0.776Sulawesi Tengah 0.065 0.031 -0.165 -0.006Sulawesi Selatan 0.080 0.000 -5.008 -0.016Sulawesi Tenggara 0.187 0.028 -0.339 -0.005Nusa Tenggara Barat 0.586 0.098 -2.650 0.000Nusa Tenggara Timur 0.090 0.108 -0.092 0.026Maluku 0.031 0.000 -0.046 0.000Maluku Utara 0.179 0.071 -0.833 -1.586Papua 0.372 4.138 -0.827 -0.924Nasional 0.218 0.465 -1.898 -0.288
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-17
Kenaikan pertumbuhan tersebut, akan berdampak pada penurunan kemiskinan
sebesar 1.898 persen dan tingkat pengangguran menurun sebesar 0.288 persen. Namun
demikian tingkat inflasi juga mengalami kenaikan tetapi masih dalam batas yang wajar
yaitu sebesar 0.465 persen.
Kenaikan DAU dan DAK di setiap provinsi dengan jumlah sebesar 10 persen
dan 15 persen, juga memberikan arah yang sama dengan kenaikan DAU dan DAK
sebesar 5 persen, tetapi dengan jumlah besaran yang berbeda di setiap kenaikannya
(lihat Tabel 21 dan Tabel 22). Tabel 21. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
Sebesar 10 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.193 0.032 -3.076 -0.048Sumatera Utara 5.680 1.251 -0.294 -2.083Sumatera Barat 0.070 0.000 -0.441 -0.008Riau 1.486 0.177 -0.117 -0.043Jambi 0.293 0.067 -0.944 -0.280Sumatera Selatan 0.000 3.814 -7.084 0.000Bangka Belitung 0.008 0.000 -0.894 -0.005Bengkulu 0.074 5.799 -0.037 -0.040Lampung 0.503 0.035 -0.247 -0.233Jakarta 0.096 0.000 0.000 -0.001Jawa Barat 0.000 0.000 -1.462 -1.680Banten 0.103 0.074 -9.359 -0.003Jawa Tengah 0.232 0.299 0.006 0.015DI. Yogyakarta 0.032 -2.137 -1.096 -6.136Jawa Timur 0.051 0.037 -0.038 0.003Bali 0.028 0.035 -8.116 -0.011Kalimantan Barat 0.013 0.000 -23.923 -0.014Kalimantan Tengah 0.029 0.000 -1.061 -0.011Kalimantan Selatan 0.008 0.000 -22.352 -0.010Kalimantan Timur 0.107 0.000 -0.176 -0.154Sulawesi Utara 0.041 0.000 -5.044 -0.021Grontalo 0.876 0.034 -1.777 -1.553Sulawesi Tengah 0.130 0.031 -0.307 -0.011Sulawesi Selatan 0.161 0.037 -10.016 -0.032Sulawesi Tenggara 0.374 0.083 -0.636 -0.010Nusa Tenggara Barat 1.172 0.228 -5.311 0.000Nusa Tenggara Timur 0.180 0.179 -0.175 0.053Maluku 0.062 0.000 -0.093 -0.001Maluku Utara 0.358 0.141 -1.667 -3.172Papua 0.743 4.138 -1.654 -1.848Nasional 0.437 0.478 -3.580 -0.578
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-18
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional V-19
Hanya terdapat beberapa provinsi yang menunjukkan bahwa penigkatan DAU
dan DAK tidak memberikan pengaruh sama sekali bagi peningkatan pertumbuhan
ekonominya, yaitu seperti provinsi Sumatera Selatan dan Jawa Barat. Secara
keseluruhan dapat disebutkan bahwa peningkatan DAU dan DAK akan memberikan
pengaruh yang positif bagi kinerja ekonomi wilayah, yang ditunjukkan oleh
peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, penurunan tingkat kemiskinan
dan tingkat pengangguran. Dapat disimpulkan bahwa instrument kebijakan DAK dan
DAU lebih berpengaruh langsung pada perubahan tingkat kemiskinan, dibandingkan
dengan tingkat perubahan dalam GDP.
Tabel 22. Dampak Peningkatan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
Sebesar 15 Persen, terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Wilayah Label GDP CPI Poverty Unemp
Nanggro Aceh Darusalam 0.290 0.032 -4.614 -0.071Sumatera Utara 8.524 1.876 -0.444 -3.124Sumatera Barat 0.105 0.033 -0.652 -0.013Riau 2.238 0.247 -0.168 -0.065Jambi 0.439 0.100 -1.429 -0.419Sumatera Selatan 0.000 3.814 -10.623 0.000Bangka Belitung 0.011 0.000 -1.341 -0.007Bengkulu 0.111 5.799 -0.073 -0.061Lampung 0.755 0.035 -0.371 -0.349Jakarta 0.146 0.032 -0.025 -0.002Jawa Barat 0.000 0.036 -2.191 -2.520Banten 0.155 0.112 -14.038 -0.005Jawa Tengah 0.353 0.428 0.009 0.023DI. Yogyakarta 0.047 -3.205 -1.644 -9.203Jawa Timur 0.076 0.037 -0.057 0.005Bali 0.043 0.070 -12.174 -0.016Kalimantan Barat 0.019 0.000 -35.885 -0.022Kalimantan Tengah 0.044 0.033 -1.627 -0.016Kalimantan Selatan 0.011 0.000 -30.302 -0.015Kalimantan Timur 0.161 0.000 -0.251 -0.231Sulawesi Utara 0.062 0.000 -7.566 -0.031Grontalo 1.314 0.068 -2.665 -2.329Sulawesi Tengah 0.195 0.062 -0.449 -0.017Sulawesi Selatan 0.241 0.037 -15.024 -0.048Sulawesi Tenggara 0.561 0.111 -0.933 -0.015Nusa Tenggara Barat 1.758 0.359 -7.961 0.000Nusa Tenggara Timut 0.270 0.287 -0.267 0.079Maluku 0.092 0.000 -0.116 -0.001Maluku Utara 0.537 0.176 -2.500 -4.758Papua 1.115 4.138 -2.491 -2.772Nasional 0.656 0.491 -5.262 -0.867
BAB
VI
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil konstruksi model dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan dan implikasi kebijakan yang terkait
dengan model keterkaitan regional ini. Kesimpulan akan dibagi dalam dua bagian yaitu
kesimpulan hasil dugaan model dan kesimpulan untuk simulasi model.
6.1. Kesimpulan
1. PDRB sektoral dipengaruhi dipengaruhi secara nyata oleh tenaga kerja sektoral,
sedangkan investasi baik swasta maupun pemerintah memberikan respon positif
tetapi tidak dapat dijadikan sebagai faktor utama dalam meningkatkan
pertumbuhan PDRB setkoral.
2. Investasi swasta sektoral di setiap provinsi tidak signifikan dan responnya juga
inelastis terhadap perubahan suku bunga, sebaliknya terahadap PDRB sektoral. Ini
mengindikasikan bahwa perilaku investasi swasta di setiap sektor, nilainya
ditentukan oleh besarnya peluang tingkat pengembalian investasi itu sendiri,
dalam hal ini adalah tingkat pendapatan yang diwakil oleh PDRB sektoral.
3. Investasi pemerintah sektoral juga lebih dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
setkoral atau PDRB sektoral dibandingkan dengan tingkat suku bunga di masing-
masing provinsi.
4. Permintaan tenaga kerja di setiap sektor untuk seluruh provinsi berhubungan
negatif terhadap upah sektoral, tetapi responnya adalah inelastis. Di hampir
seluruh provinsi permintaan tenaga kerja lebih dipengaruhi oleh PDRB di masing-
masing sektor. Sedangkan pengaruh expor bersih provinsi relatif tidak
memberikan dampak yang besar dalam hal penyerapan tenaga kerja.
5. Upah tenaga kerja sektoral tidak memiliki integrasi yang kuat dengan upah
minimum regional yang ditentukan oleh masing-masing provinsi. Artinya bahwa
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-1
penetapan upah lewat instrument upah minimum regional adalah tidak efektif
dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan atau balasa jasa yang diterima oleh
pekerja. Migrasi bersih yang lebih besar menyebabkan tingkat upah tenaga kerja
sektoral menurun, tetapi responnya upah sektoral terahadap perubahan migrasi
bersih adalah inelastis.
6. Tingkat inflasi yang ada di provinsi secara umum dipengaruhi oleh pertumbuhan
ekonomi provinsi itu sendiri dan tingkat upah rata-rara provinsi, tetapi responnya
inelastis, dengan kata lain, inflasi merupakan sesuatu hal yang melekat (inherent)
di dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri.
7. Pengangguran berkorelasi postif dengan inflasi di seluruh provinsi. Inflasi dan
pengangguran adalah trade off. Tidak adanya inflasi maupun kelebihan
pengangguran adalah harapan dari para pelaku ekonomi. Tetapi gangguan dalam
perekonomian memang nyata terjadi, dan tanpa adanya fleksibilitas harga yang
sempurna, tidak mungkin memulihkan kondisi tenaga kerja penuh (full
employment) dengan tingkat harga yang stabil dalam jangka pendek
8. Faktor utama yang paling berpengaruh terhadap jumlah orang miskin di setiap
provinsi adalah jumlah pengangguran. Sedangkan tingkat pertumbuhan ekonomi
meskipun dapat menurunkan kemiskinan tetapi responnya adalah inelastis, dengan
kata lain trickel down effect yang diharapkan dari pelaku ekonomi secara umum
tidak berlaku di setiap provinsi.
9. Arus migarasi penduduk relatif lebih ditentukan oleh faktor beaten path
dibandingkan dengan faktor upah dan kinerja perekonomian daerah yang akan
dikunjungi oleh para migran.
10. Kerjasama perdagangan antara region selain disebabkan karena karakteristik lokal
daerah, juga sangat ditentukan oleh demografi wilayah tersebut. Dalam arti bahwa,
jika secara demografi region tersebut berdekatan maka volume perdagangan
mereka akan semakin besar.
11. Pertumbuhan ekonomi nasional secara umum memberikan dampak yang baik bagi
seluruh provinsi, yaitu peningkatan kesempatan kerja, mengurangi jumlah
penduduk miskin. Meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah itu
tinggi, dibanding dengan wilayah lain, namun, net migrasi ke region lain masih
positif yang menunjukkan adanya indikasi beaten path dan adanya perbedaan
tingkat upah yang lebih tinggi.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-2
12. Dana alokasi umum dan Dana Alokasi Khusus memiliki peranan penting dan
berpengaruh positif bagi perkembangan perekonomian di setiap provinsi. Hal ini
ditunjukkan oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, tingkat inflasi yang
stabil, penurunan tingkat kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran.
6.2. Implikasi Kebijakan
Terpusatnya pendapatan dan kesempatan kerja ke pulau Jawa merupakan
hambatan terbesar bagi upaya pemerataan ekonomi antarpulau di Indonesia. Untuk
mengurangi atau meminimumkan fenomena sangat diperlukan kebijakan pemerintah
dengan menciptakan iklim investasi yang lebih baik di luar pulau jawa seperti di
Kawasan Timur Indonesia pada umumnya.
Peningkatan jumlah penduduk melalui arus migrasi di hampir seluruh provinsi
memiliki dampak yang berbeda antara provinsi, tetapi umumnya migrasi penduduk ini
berdampak pada peningkatan jumlah angkatan tenaga kerja di provinsi lain dan hal ini
akan mendorong pada peningkatan pengangguran dan penurunan tingkat upah di
wilayah tersebut. Untuk mengurangi arus net migrasi ini disarankan kepada pemerintah
setempat untuk melakukan intervensi melalui pemberlakukan upah minimum provinsi
yang layak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup minimum provinsi.
Untuk menunjang pertumbuhan industri ke wilayah yang terbelakang terutama
di kawasan timur dan mendapat respon yang positif bagi investor, disarankan kepada
pemerintah untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur fisik yang mendukung
kegiatan industri. Infrastruktur fisik yang penting diantaranya adalah sarana transportasi
dan komunikasi dan juga diperlukan intervensi pemerintah setempat untuk memberikan
berbagai macam insentif yang meringankan investor yang memilih lokasi usahanya di
kawasan timur.
Untuk mendorong peningkatan ekspor untuk barang dan jasa yang menjadi
unggulan, perlu dilakukan intervensi pemerintah daerah. Disarankan pemerintah daerah
berupaya dengan cara memberikan insentif untuk berproduksi bagi para eksportir,
seperti kemudahan dalam pengurusan administasi dan penurunan pajak. Selain itu
pemerintah juga berusaha memfasilitasi peningkatan produksi bagi usaha mikro kecil
dan menengah yang berorientasi ekspor. Implikasi dari kebijakan yang mendorong
ekspor tersebut diharapkan net ekspor akan naik, dimana permintaan terhadap tenaga
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-3
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional VI-4
kerja juga akan meningkat. Adanya peningkatan permintaan tenaga kerja tentunya akan
mengurangi jumlah pengangguran dan diharapkan jumlah kemiskinan akan menurun.
Selain itu, dengan peningkatan net ekspor dapat mendorong permintaan tenaga kerja
meningkat yang selanjutnya juga meningkatkan PDRB.
6.3. Saran Penelitian Lanjutan
Alasan untuk membagun model ini adalah untuk melihat keterkaitan antara
provinsi, namun demikian, karena keterbatasan data, maka semua aspek yang
merupakan keterkaitan regional tersebut tidak termasuk di dalamnya. Agar model
keterkaitan regional ini menjadi lebih baik dalam arti relatif mendekati fenomena dunia
nyata, maka sebaiknya ekspor dan impor didisagregasi berdasarkan sektor antara
provinsi. Sama halnya dengan arus migrasi, sebaiknya didisagreasi berdasarkan asal dan
daerah tujuan, dan bila perlu dikelompokkan berdasarkan tingkat pendidikan dan status
sosial.
D A F T A R P U S T A K A
Blair, J. P. 1991. Urban and Regional Economics. Richard D. Irwin, Inc. Homewood, IL. Boston.
Colter, J.M. 1984. Ciri-ciri dan Pola Tenaga Kerja Migran dari Daerah Perdesaan. Rural Dynamic Series No. 24. Studi Dinamika Perdesaan. Yayasan Penelitian Survey AgroEkonomi, Bogor.
Erwidodo. 1991. Urbanisasi Temporer di Jawa Barat. Monograph Series No. 4, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Dalam Monograf Dinamika Keterkaitan Desa-Kota di Jawa Barat. Arus Tenaga Kerja, Barang dan Kapital. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
Gunawan, M. dan A. Zulham. 1992. Dampak Migrasi Desa Kota Terhadap Sosial Ekonomi Perdesaan (Kasus Migrasi di Perdesaan Jawa Barat). Monograf Series No.4, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Hidayat, T. 1991. The Construction of Two Region Social Accounting Matrix for Indonesia and Its Application to Some Equity Issues. Ph.D Dissertation. Department of Economics, Cornell University, Ithaca.
Intriligator, M. D. 1978. Econometric Model, Techniques, and Applications. Prentice Hall Inc, New Jersey.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometic Methods. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London
Levy, M.B. dan W.J. Wadycki. 1974. Education and The Decision to Migrate : An Econometric Analysis of Migration in Venezuela. Econometric Jurnal, 42 (2) : 377-388.
McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press. New York.
Mintchell. 1961. The Cause of Labour Migration in Migrant. Dalam I.B. Mantra dan M. Molo. 1985. Konferensi Nasional Pusat Studi Kependudukan III, Jakarta.
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional 1
Laporan Akhir Pengembangan Model Keterkaitan Regional Dengan Pendekatan Model Ekonometrik-Multiregional 2
Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York.
Pyatt, G. and J.I. Round. 1985. Regional Account in a SAM Framework. The World Bank, Washington D.C.
Richardson, H.W. 1969. Regional Economics. Praeger Publisher, New York.
Rofiqoh. 1994. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi dan Produktivitas Pekerja di Kalimantan Timur. Skripsi Sarjana. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Romer, D. 1996. Advanced Macroeconomics. McGraw Hill Companies, Inc. Berkeley, USA.
Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syafa’at, N., C. Saleh dan A.S. Bagi. 1998. Dampak Mobilitas Angkatan Kerja Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Nasional Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Dalam Otonomi Daerah, Bogor, 16-17 November 1998, Bogor.
Tirtosudarmo, R. 1985. Migration Decision Making. The Casae of East Java. National Institut of Economic and Social Research, Jakarta.
Todaro, M. P. 2000. Economic Development. Pearson Education Limited, New York.
Tumenggung, Y.A. 1995. An Interregional Computable General Equilibrium Model for Indonesia: Measuring the Regional Economic Consequences of National Tax Policy. Ph.D Dissertation. Regional Science Program, Cornell University, Ithaca.
Wuryanto, L.E. 1996. Fiscal Decentralitation and Economic Performance In Indonesia : An Interregional Computable General Ekuilibrium Approach. Ph.D. Dissertation. Faculty of Graduate School, Cornell University, Ithaca.
Wie, T.K. 1981. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan: Beberapa Pendekatan Alternatif. LP3ES, Jakarta.