laporan akhir asma

47
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 1 SISTEM PERNAFASAN “Asma Bronkiale Gravida 6 Bulan” Disusun oleh: Kelompok 3 Kelas A 1. Rizki Puspitasari G1F010031 2. Eka Wulandari G1F010035 3. Anisa Dewi Ratnaningtyas G1F010037 4. Herdyna Gita Violleni G1F010039 5. Yuni Umi Astuti G1F010043 6. Amanda Prita Katalia G1F010047 7. Yurissa Karimah G1F010049 8. Iriyanti G1F010051 9. Indra Pradipta G1F010057 10. Aldi Permadi G1F010079 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: dina-aruni-saffanah

Post on 26-Dec-2015

103 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

farmakoterapi terapan

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Akhir Asma

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 1

SISTEM PERNAFASAN

“Asma Bronkiale Gravida 6 Bulan”

Disusun oleh:

Kelompok 3 Kelas A

1. Rizki Puspitasari G1F010031

2. Eka Wulandari G1F010035

3. Anisa Dewi Ratnaningtyas G1F010037

4. Herdyna Gita Violleni G1F010039

5. Yuni Umi Astuti G1F010043

6. Amanda Prita Katalia G1F010047

7. Yurissa Karimah G1F010049

8. Iriyanti G1F010051

9. Indra Pradipta G1F010057

10. Aldi Permadi G1F010079

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

PURWOKERTO

2012

Page 2: Laporan Akhir Asma

PRAKTIKUM 1V

FARMAKOTERAPI PENYAKIT SISTEM PERNAFASAN

I. Database Pasien :

Nama : TY

Usia : 29 tahun

Jenis kelamin : perempuan

Tanggal MRS : 25 Juni 2010

Riwayat penyakit : asma

Keadaan : Gravida 6 bulan

Diagnosa : Asma Bronkiale gravida 6 bulan

Keluhan :

1 HSMRS : mual, muntah, makan dan minum sedikit, BAB/BAK lancar, sesak napas

II. DATA LABORATORIUM :

Tgl/data TD N RR S

25/6 130/80 72

26/6

27/6 120/70 80 20 37

Normal 120/80-130/85 60-100 14-20 ≤37

III. PATOFISIOLOGI PENYAKIT

Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala mengi

serta batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodic dan atau

kronik, cenderung pada malam hari atau dini hari (nokturnal), musiman. Adanya

factor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversible baik secara

spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain

pada pasien atau keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan

(Nelson, 1996).

JENIS-JENIS ASMA :

1. Asma Alergi

Jenis asma ini adalah yang paling umum di antara yang lain. Statistik

menunjukkan bahwa anak-anak lebih rentan terhadap asma alergi dengan kurang

Page 3: Laporan Akhir Asma

lebih 90% memiliki gangguan tersebut. Alergen seperti debu, serbuk sari, dan

tungau adalah penyebab paling umum asma alergi. Berolahraga di udara dingin

atau menghirup asap, parfum atau cologne dapat membuat lebih buruk kondisi

ini. Karena alergen dapat ditemukan di mana-mana, orang dengan asma alergi

harus berhati-hati dengan selalu menjaga kebersihan lingkungan. Sebisa mungkin,

mereka harus menjauhi tempat-tempat yang berdebu dan membuat rumah bebas

debu.

2. Asma Non-alergi

Asma jenis ini biasanya muncul setelah usia paruh baya dan sering

disebabkan akibat infeksi pada saluran pernafasan bawah dan atas. Asma non-

alergi ditandai oleh penyumbatan saluran udara akibat peradangan. Asma jenis ini

bisa dikontrol dengan pengobatan yang tepat. Gejala asma non-alergi meliputi

mengi, batuk, sesak napas, napas menjadi cepat, dan dada terasa sesak. Asma

non-alergi dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan, kurang atau

kelebihan olahraga, udara dingin, hiperventilasi, udara kering, virus, asap, dan

iritasi lainnya.

3. Asma Nocturnal

Asma nocturnal dapat mengganggu tidur karena penderitanya dapat

terbangun di tengah malam akibat batuk kering. Dada sesak adalah salah satu

gejala pertama dari asma nocturnal yang diikuti oleh batuk kering. Asma

nocturnal dapat membuat penderitanya lesu di pagi hari akibat tidur malam yang

terganggu.

4. Asma Akibat Pekerjaan

Asma karena pekerjaan adalah suatu penyakit saluran pernafasan yang

ditandai dengan serangan sesak nafas, bengek dan batuk, disebabkan oleh

berbagai bahan yang ditemui di tempat kerja. Gejala-gejala tersebut biasanya

timbul akibat kejang pada otot-otot yang melapisisaluran udara sehingga saluran

udara menjadi sangat sempit. Penyebabnya adalah banyak bahan (alergen,

penyebab terjadinya gejala) di tempat kerja yang bisa menyebabkan asma karena

pekerjaan, yang paling sering adalah molekul protein (debu kayu, debu gandum,

bulu binatang, partikel jamur) atau bahan kimia lainnya (terutama disossianat).

Angka yang pasti dari kejadian asma karena pekerjaan tidak diketahui, tetapi

disuga sekitar 2-20% asma di negara industri diduga karena asma akibat

pekerjaan. Para pekerja yang memiliki resiko tinggi untuk menderita asma karena

Page 4: Laporan Akhir Asma

pekerjaan adalah : pekerja plastik, pekerja logam, pekerja pembakaran, pekerja

penggilan, pekerja pengangkut gandum, pekerja laboratorium, pekerja kayu,

pekerja di pabrik obat, pekerja di pabrik deterjen. Gejalanya berupa : sesak nafas,

bengek, batuk, merasakan sesak di dada serta napas pendek dan cepat.

5. Asma Anak

Penyakit ini merupakan salah satu manifestasi alergi. Jika salah satu atau

kedua orangtua, atau kerabat lain(kakek, nenek, paman, bibi) mengidap alergi,

maka si anak memiliki bakat besar untuk alergi. Seorang anak dengan salah satu

orangtua yang menderita asma memiliki resiko 25 % memiliki asma, jika kedua

orangtua memiliki asma, resikonya meningkat menjadi 50 %. Dalam riwayat

keluarga, biasanya ditemui asma, serta bentuk lain penyakit alergi, seperti eksim,

pilek alergi, atau alergi obat maupun makanan.

Anak yang ibunya merokok selama hamil lebih mungkin terkena asma.

Anak di lingkungan perkotaan lebih mungkin memiliki asma, terutama sekali jika

mereka berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah. Meskipun asma

berpengaruh dengan persentasi yang tinggi pada anak berkulit hitam

dibandingkan dengan anak berkulit putih, peranan genetik berpengaruh dalam

meningkatnya asma adalah kontroversi karena anak berkulit hitam juga lebih

mungkin untuk tinggal di daerah perkotaan. Anak yang menghadapi alergen

dengan konsentrasi tinggi, seperti debu atau kotoran kecoa, pada usia dini lebih

mungkin menderita terkena asma.

Sebagian besar asma pada anak menghilang saat dewasa. Sebagian lagi

terbawa sampai dewasa.

6. Asma Dewasa

Asma jenis ini berkembang setelah seseorang berusia dewasa. Kondisi ini

bisa disebabkan alergi, non-alergi, pekerjaan, musiman, atau nocturnal.

7. Asma Batuk

Jenis asma ini agak sulit didiagnosa karena dapat terkaburkan oleh batuk

lain yang berhubungan dengan bronkhitis kronis atau penyakit sinus. Dibutuhkan

tes dan check-up sebelum dokter dapat membuat diagnosa yang tepat.

Kemudian ada juga yang disebut dengan jenis asma Cough-Variant Asma,

batuk berat dengan asma merupakan gejala dominan yang terjadi.Kemudian

didalamnya terdapat beberapa penyebab batuk berupa postnasal drip, rinitis

kronis, sinusitis, atau gastroesophageal reflux disease (GERD atau mulas).Selain

Page 5: Laporan Akhir Asma

itu ada juga beberapa batuk karena sinusitis dengan asma merupakan hal yang

umum. Penyakit asma merupakan penyebab serius dari batuk terjadi secara umum

saat ini. Cough-Variant Asma sangat kurang terdiagnosis dan sulit

diobati.Penyebab Cough-Variant Asma biasanya terjadi akibat dari infeksi

saluran pernapasan dan olahraga.Apabila batuk Anda sudah terjadi

berkepanjangan, lakukan pengecekan pada dokter spesialis paru-paru. Pengobatan

yang biasanya dilakukan adalah tes fungsi paru-paru guna melihat kinerja paru-

paru penderita.

8. Asma Campuran

Ini adalah campuran dari asma ekstrinsik dan intrinsik. Asma jenis ini

umumnya lebih serius karena penderita harus waspada terhadap kedua faktor

ekstrinsik dan intrinsik yang dapat memicu serangan asma.

9. Asma Musiman

Asma musiman hanya terjadi pada musim-musim tertentu dimana serbuk

sari atau alergen hadir dalam jumlah melimpah. Sebagai contoh, seorang individu

mungkin cukup sehat sepanjang tahun kecuali saat musin tanaman berbunga.

Musim bunga berarti akan lebih banyak serbuk sari beterbangan di udara yang

dapat memicu asma (Anonim, 2012).

ASMA BRONKIALE

Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran nafas yang

melibatkan berbagai sel dan elemen sel. Inflamasi kronik ini menyebabkan

hiperresponsivitas saluran nafas yang ditandai oleh episode berulang berbagai

gejala dan tanda seperti bising mengi, batuk, sesak nafas dan dada terasa penuh,

terutama pada malam atau dini hari. Episode serangan asma biasanya

berhubungan dengan obstruksi aliran udara pernafasan yang bervariasi derajatnya

dan umumnya reversibel, baik secara spontan maupun dengan pengobatan

(Mangatas, 2006). Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi

(wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada.

Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang

lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain silent chest,

sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat

dangkal.

Page 6: Laporan Akhir Asma

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3

tipe, yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus

yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic

dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya

suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor

pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan

asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus

yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga

disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini

menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat

berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan

mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari

bentuk alergik dan non-alergik.

ETIOLOGI

1) Faktor predisposisi

Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum

diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit

alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.

Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma

bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran

pernafasannya juga bisa diturunkan.

2) Faktor presipitasi

Alergen

Page 7: Laporan Akhir Asma

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Seperti : debu,

bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.

Ingestan, yang masuk melalui mulut. Seperti : makanan dan obat-

obatan.

Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Seperti :

perhiasan, logam dan jam tangan.

Perubahan cuaca.

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering

mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu

terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,

seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan

dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

Stress

Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain

itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma

yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami

stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah

pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa

diobati.

Lingkungan kerja.

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan

asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja

di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini

membaik pada waktu libur atau cuti.

Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika

melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah

menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi

segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Page 8: Laporan Akhir Asma

2.4 Derajat Asma (National Asthma Education Program)

a) Asma Ringan

- Singkat (< 1 jam) eksaserbasi simptomatik ≤ dua kali/minggu

- Puncak aliran udara ekspirasi ≥ 80% dengan adaptasi baik

- Kemampuan volume ekspirasi/detik ≥ 80% diduga tanpa gejala

b) Asma Sedang

- Gejala asma kambuh > dua kali/minggu

- Kekambuhannya mempengaruhi aktivitasnya

- Kekambuhannya mungkin berlangsung berhari-hari

- Kemampuan puncak ekspirasi/derik dan kemampuan volume ekspirasi

berkisar antara 60-80%

- Obat yang biasa diperlukan untuk mengendalikan gejala

c) Asma berat

- Gejala terus-menerus menganggu aktivitas sehari-hari

- Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi < 60%

dengan variasi luas

- Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala

Indikasi masuk rumah sakit :

× Asma akut dengan bronkodilator yang tidak membaik

× Takikardi persisten

× Dispnea

× Hipertensi

Page 9: Laporan Akhir Asma

× Pulsus paradoksus

× Sianosis

× Hipoksemia (PO2 kurang 70 mmHg)

× Hiperkapnia (PCO2 kurang 38 mmHg)

× Emfisema subkutan

Mekanisme asma

Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang

menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas

bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada

asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi

mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal

dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan

antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast

yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan

bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang

tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel

mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,

diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan

leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.

Page 10: Laporan Akhir Asma

Gambar 2. mekanisme asma

Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal

pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen

bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan

saluran napas menjadi sangat meningkat.

Gambar 3. Penyempitan saluran nafas

Page 11: Laporan Akhir Asma

Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada

selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa

menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian,

maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang

menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma

biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali

melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional

dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat

kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan

barrel chest.

ASMA PADA KEHAMILAN

Asma bronkial dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat

menyebabkan komplikasi pada 7% kehamilan. Faktor mekanik, hormonal dan

stress metabolik menyebabkan serangan asma pada kehamilan. Penderita asma

yang hamil akan mengalami perbaikan gejala pada sepertiga kasus, sepertiga lagi

memburuk, dan sisanya tetap sama. Serangan asma seringkali muncul pada

kehamilan minggu ke-24 sampai minggu ke-36, serangan hanya terjadi 10%

selama persalinan (Subijanto, 2008).

Asma bronkial yang tak terkontrol pada kehamilan meningkatkan risiko

kematian perinatal, preeklampsia, kelahiran prematur, Intra Uterine Growth

Retardation (IUGR) dan berat bayi lahir rendah. Besar risiko diatas berhubungan

dengan derajat berat asma pada kehamilan. Derajat asma yang lebih berat

memiliki risiko tinggi, sedangkan asma yang terkontrol dengan baik memiliki

risiko rendah. Tujuan penatalaksanaan asma pada kehamilan ialah untuk

mendapatkan terapi optimal, mempertahankan asma terkontrol, dan meningkatkan

kualitas hidup ibu dan janin. Asma yang terkontrol secara adekuat selama

kehamilan penting bagi kesehatan ibu dan janin (Subijanto, 2008).

Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang

disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-perubahan

ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi

untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus.

Page 12: Laporan Akhir Asma

Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas

sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari

450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi

permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume tidal ini diduga

disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan

meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida.

Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah

pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya

kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan

dalam paru, sebesar 20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi

saluran napas sebesar 50%.

Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia

dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2

menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai

penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi

plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah tidak mengalami

perubahan.

Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5

selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma

sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm.

Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan pola pernapasan dari

pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga memberikan pengaruh untuk

memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan.

Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh

peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat

meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru,

kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin tidak

cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal distress dapat

terjadI.

FAKTOR HORMONAL

Page 13: Laporan Akhir Asma

Faktor hormonal seorang wanita juga dipengaruhi oleh masa kehamilan.

Sekitar 8 persen dari wanita hamil mengalami asma. Karena itu, wanita dengan

asma yang merencanakan kehamilan perlu mempersiapkan diri lebih baik lagi

untuk mengendalikan gejala asma dan juga terhadap keamanan obat-obat yang

dipergunakannya. Hormon – hormon yang berpengaruh yaitu:

1. Progesteron

Hormon Progesteron, yang kadarnya meningkat pada masa kehamilan,

mempunyai efek langsung terhadap pusat pernapasan (respiratory center),

menyebabkan peningkatan frekuensi pernapasan (respiratory rate), sehingga

menyebabkan hiperventilasi. Progesteron juga bersifat “smooth muscle relaxan”

terhadap otot-otot polos usus, genitourinarius, dan diduga juga pada otot-otot

bronkus.

2. Estrogen

Hormon Estrogen, kadarnya mneingkat saat kehamilan, terutama pada

trimester ketiga. Pecora dan kawan-kawan membuktikan estrogen mempunyai

efek menurunkan “diffusing capacity” dari CO2 pada paru-paru dan diduga ini

terjadi sebagai akibat meningkatnya asam mukopolisakharida perikapiler.

3. Kortisol

Hormon Kortisol, kadarnya meningkat pada kehamilan, diduga sebagai

akibat klirens kortisol yang menurun, bukan karena sekresinya yang meningkat.

Sehingga waktu paruhnya akan memanjang. Dan pemberian preparat steroid pada

masa kehamilan harus disesuaikan dengan keadaan ini.

IV. KOMPOSISI TERAPI

a. Terapi dokter

Terapi 25/6 26/6 27/6

MP 2 x 6,5 √ √ √

D 5% 20 tpm √ √ √

Nebul/8 jam K/P √ √ √

Cefo 2 x 1 √ √ √

Radin 2 x 1 √ √ √

Lasal 3 x 1 cth √ √ √

Symbicort √ √ √

Page 14: Laporan Akhir Asma

b. Terapi yang digunakan

Terapi 25/6 26/6 27/6

Prednisolon √ √ √

Ampicilin √ √ √

Ranitidine √ √ √

Nebul/8 jam K/P √ √ √

Lasal

expectorant

√ √ √

Infus D5% √ √ √

Obat yang diganti atau tidak digunakan:

1. MP (metilprednisolon)

Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja

intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi, dan

imunosupresan. Namun, salah satu peringatan dan perhatian penggunaan

obat ini yaitu terhadap wanita hamil dan ibu menyusui. Metilprednisolon

dapat menyebabkan kerusakan fetus bila diberikan pada wanita hamil sebab

metilprednisolon memiliki sifat fisika kimia yang sangat lipofil sehingga

sangat mudah menembus sawar darah otak. Kortikosteroid dapat berdifusi

ke air susu dan dapat menekan pertumbuhan atau efek samping lainnya

pada bayi yang disusui. Oleh sebab itu dalam kasus ini metilprednisolon

diganti dengan prednisolon. Prednisolon digunakan untuk mengontrol gejala

asma penting diberikan bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia

ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat. Penggunaan prednisolon dosis

rendah memiliki tingkat keamanan yang lebih baik daripada penggunaan

metilprednisolon (Greenberger, 1985).

2. Symbicort (formoterol)

Symbicort merupakan kombinasi terbaru antara kortikosteroid inhaler

dan long-acting bronchodilators yaitu fluticasone/salmeterol (Seretide) dan

budesonide/eformeterol. Symbicort memiliki efek terapi yang baik jika

digunakan sebagai upaya preventif, namun tidak dianjurkan untuk

Page 15: Laporan Akhir Asma

penanganan saat terjadinya asma akut. Penggunaan obat ini perlu diawasi

sangat ketat atau dapat pula dikatakan membutuhkan tingkat kepatuhan

pasien yang tinggi, sebab apabila kehilangan satu dosis pemberian saja dapat

berakibat fatal terhadap kondisi pasien apalagi dengan kondisi hamil

(Cunningham, 2006).

3. Radin (Ranitidin Hidroklorida)

Radin memiliki komposisi Ranitidin dan HCl. Pada kasus ini radin

diganti dengan ranitidine dikarenakan kondisi pasien sudah mual muntah

yang mengindikasikan tingginya kadar HCl dalam lambung. Tingginya kadar

HCl juga disebabkan oleh meningkatnya hormone progesterone yang

menyebabkan pengosongan lambung terhambat (Price, 2003). Apabila tetap

digunakan radin dikhawatirkan tidak dapat menyelesaikan masalah karena

adanya kandungan HCl dalam obat tersebut yang dapat membuat kadar HCl

lambung semakin tinggi. Oleh karena itu, digunakan ranitidine untuk

menangani keluhan mual muntah pasien dengan mekanisme H2 antagonis

bloker.

4. Cefotaxim

Cefotaxime adalah antibiotic golongan sefalosporin generasi ketiga,

spectrum luas, yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan

menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Penggunaan

antibiotic dalam kasus ini adalah sebagai pencegahan terhadap infeksi

nosokomial pada pasien rawat inap. Cefotaxim dianggap terlalu tinggi jika

hanya digunakan sebagai preventif karena cefotaxim merupakan antibiotic

golongan sefalosporin generasi ketiga, di mana semakin tinggi generasi maka

semakin poten pula obat tersebut, hal ini dapat menyebabkan peluang

terjadinya resistensi menjadi lebih besar karena pasien sudah diberikan

antibiotic generasi tinggi sejak awal dan apabila suatu saat nanti terkena

infeksi bakteri golongan rendah pasien tersebut telah kebal atau resisten.

Selain itu, cefotaxim memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap bakteri

gram negative daripada bakteri gram positive. Oleh karena itu, dalam kasus

ini cefotaxim diganti dengan ampisilin. Ampisilin adalah derivat penisilin

semi sintetik yang bersifat bakterisida yang bekerja dengan cara

menghambat sintesa dinding sel bakteri. Ampisilin aktif terhadap bakteri

Page 16: Laporan Akhir Asma

gram positive (Streptococcus faecalis, Streptococcus pneumoniae dan

Streptococcus haemolyticus) dan bakteri gram negative (Haemophilus

influenzae, Salmonella sp., Neisseria gonorrhoeae, Proteus mirabillis).

Ampisilin merupakan antibiotic derivate penisilin generasi pertama

sehingga dapat digunakan sebagai upaya preventif (Soedarto, 2007).

V. PEMBAHASAN PER TERAPI YANG DIBERIKAN

1. TUJUAN TERAPI

o Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas

hidup meningkat

o Mencegah eksaserbasi akut

o Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal

mungkin

o Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan

aktivitas lainnya

o Mencegah hipoksia pada janin

2. TERAPI FARMAKOLOGI

a. PREDNISON

Tablet Prednison mengandung prednison yang merupakan glukokortikoid.

Glukokortikoid adalah steroid adrenokortikal, dimana keduaduanya ada yang

alami dan sintetik, yang mudah dan siap diserap melalui traktus gastrointestinalis.

Sifat fisiko-kimia dan rumus prednison adalah (Anonim 1, 2009). Nama kimia:

17-hydroxy-17-(2-hydroxyacetyl)-10,13-dimethyl 7,8,9,10,12,13,14,15,16,17-

decahydro-6H-cyclopenta[a]phenanthrene-3,11-dione. Berat molekul: 358,428

Page 17: Laporan Akhir Asma

g/mol. Titik leleh: 233-235 °C. Kelarutan dalam air: 312 mg/L. Enzim

metabolisme fase 1 yang berperan: CYP3A4. Target primer obat: Glukokortikoid

Reseptor (GR), dengan nama gen NR3C1, berfungsi untuk reseptor

glukokortikoid. Mempunyai dua model peran: sebagai factor transkripsi yang

mengikat kepada elemen respon glukokortikoid (Glukokotikoid Response

Element/GRE) dan sebagai modulator untuk faktor transkripsi yang lain.

Berpengaruh pada respons inflamasi, proliferasi sel, dan diferensiasi target

jaringan (Anonim 1, 2009).

Secara internasional tiap tablet, untuk pemberian per oral, mengandung 5 mg,

10 mg, atau 20 mg untuk USP (anhydrous) prednison (Anonim 3, 2009).

Pemberian loading dose tablet prednisone berkisar antara 5 mg sampai 60 mg per

hari, tergantung pada keadaan spesifik yang sedang diterapi (dengan prinsip trial

and error). Dosis rendah digunakan untuk menangani keadaan yang kurang

berbahaya sedangkan pada pasien tertentu mungkin dibutuhkan loading dose

yang tinggi (Fanta, 2009). Loading dose dipertahankan atau disesuaikan sampai

respons yang memuaskan, setelah itu pengaturan dosis yang tepat dilakukan

dengan pengurangan loading dose obat secara perlahan sampai mencapai dosis

yang paling rendah tetapi tetap memberikan respons klinis yang cukup. Jika

setelah terapi jangka panjang obat hendak dihentikan, direkomendasikan

penghentian dilakukan secara bertahap (Neal, 2005).

Dosis untuk eksaserbasi akut asma pada orang dewasa adalah prednison

30mg, 2 kali sehari selama 5 hari. Bila perlu jangka terapi dapat diperpanjang

sampai 7 hari dengan dosis yang lebih rendah. Dosis khusus untuk anak-anak

dengan asma bronkhial akut yaitu 1-2mg/kgBB/hari untuk 3-10 hari (maksimal

60mg/hari) (Anonim 7, 2009).

Mekanisme

Glukokortikoid adalah hormon yang muncul secara alamiah yang mencegah

atau menekan proses radang dan respons imun ketika diberikan dengan dosis

farmakologi (Anonim 2, 2009). Pada tingkat molekuler, glukokortikoid yang

tidak terikat dapat melintasi membran sel dan yang terikat dengan reseptor

sitoplasma yang spesifik, mempunyai ikatan yang afinitas tinggi. Ikatan ini

menginduksi respons berupa perubahan transkripsi dan akhirnya terjadi sintesis

Page 18: Laporan Akhir Asma

protein, untuk mencapai kerja steroid yang sesuai dengan harapan. Prednison

adalah bentuk sintetik dari steroid dimana obat ini merupakan prodrug yang akan

diubah oleh hati menjadi prednisolon yang merupakan bentuk aktif dan steroid.

Steroid bekerja dengan cara seperti: inhibisi infiltrasi leukosit pada tempat

terjadinya peradangan, ikut bekerja pada fungsi mediator respons radang, dan

penekanan pada respons imun humoral. Beberapa efek lainnya seperti reduksi

edema atau jaringan parut, juga penekanan secara umum pada respons imun.

Kerjaanti-inflamasi dari kortikosteroid diperkirakan karena kortikosteroid ikut

melibatkan protein inhibitor Fosfolipase A2, yang disebut dengan lipocortins.

Lipocortins mengontrol biosintesis mediator radang yang poten seperti

prostaglandin dan leukotriene dengan cara menghambat pembentukan asam

arakidonat secara tidak langsung melaui mekanisme penghambatan Fosfolipase

A2 (Katzung , 2001).

Pola ADME

Prednison diabsorbsi dari traktus gastrointestinalis sebesar 50%-90%. Efek

puncak sistemik didapat setelah 1-2 jam konsumsi obat. Obat yang bersirkulasi

terikat erat pada protein plasma albumin dan transcortin, dan hanya bagian tidak

terikat dari dosis aktif. Sistemik prednison didistribusi secara cepat menuju ginjal,

usus, kulit, liver, dan otot. Kortikosteroid terdistribusi pada air susu ibu dan

mampu melintasi plasenta. Prednison dimetabolisme secara aktif di liver menjadi

prednisolon oleh hidrogenisasi grup keton pada posisi 11 di hati, kemudian

prednisolon dimetabolisme lagi lebih lanjut menjadi metabolit biologis inaktif

(seperti glukonoride dan sulfat).

Prednison diekskresi melalui traktus urinarius sebesar 3 ± 2% tanpa berubah

bentuk menjadi prednisolon. Diekskresi dalam bentuk prednisolon sebesar 15 ±

5% bersama dengan beberapa bagian prednisolon yang tidak berubah menjadi

metabolit inaktif. Prednison mempunyai waktu paruh biologis sekitar 18-36 jam

dan waktu paruh eliminasi plasmanya adalah 3,5 jam. Sedangkan prednisolon

sebagai metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh plasma sekitar 2-4 jam.

Dalam distribusinya prednison terikat dengan protein plasma albumin dan

transcortin sebesar 65%-91%. Prednison mempunyai bioavalibilitas sebesar 80 ±

11% ( Rang, 2007).

Page 19: Laporan Akhir Asma

Toksisitas

Pada penggunaan prednisone jangka panjang, jika ingin menghentikan

pemakaiannya harus melakukan tapering, karena saat pemberian prednisone

jangka panjang, glandula adrenal mengalami atrofi dan berhenti memproduksi

kortikosteroid tubuh alami. Karena itu penggunaan prednison harus dihentikan

secara bertahap sehingga glandula adrenal mempunyai waktu untuk pulih kembali

dan melanjutkan produksi kortisol (Suherman, 2008).

s

Ilustrasi pemberian obat prednison dan mekanisme timbulnya efek samping

dapat dilihat pada gambar 3. Dalam gambar 3A tampak keadaan normal jalur

Hipotalamus-Hipofise-Organ dalam tubuh seseorang sebelum mengkonsumsi

prednison. Pada gambar 3B tampak mulai diberikan dosis normal prednison

sehingga produksi hormon kortisol oleh tubuh menjadi mengecil. Pada gambar

3C tampak pemberian prednison dalam jumlah besar dan dengan jangka waktu

yang lama sehingga terjadi atrofi dari kelenjar adrenal. Sedangkan pada gambar

terakhir 3D, tampak penghentian prednison secara mendadak sehingga kelenjar

adrenal yang tadinya atrofi tidak mampu memulihkan dirinya secara sempurna

sehingga produksi kortisol alamiah benar-benar terhenti.

Page 20: Laporan Akhir Asma

Efek samping paling khas pada penggunaan prednison adalah keadaan yang

disebut dengan moon face (wajah pasien menjadi berisi sehingga terlihat bulat

seperti bulan purnama) dan buffalo hump (timbunan lemak berlebih pada

punggung bagian atas sehingga tampak seperti punuk kerbau) (Anonim 4, 2009).

Efek samping prednison lainnya antara lain tekanan darah menjadi tinggi,

berkurangnya kadar kalium dalam plasma, glaukoma, katarak, munculnya ulkus

pada usus dua belas jari (duodenum), memburuknya keadaan diabetes, dapat

terjadi obesitas tetapi juga mungkin terjadi penurunan berat badan, susah tidur,

pusing, perasaan bahagia yang tidak tepat, bulging eyes, jerawat/acne, kulit

menjadi rapuh, garis merah atau ungu di bawah kulit, proses penyembuhan luka

dan jejas yang melambat, pertumbuhan rambut meningkat, perubahan

pendistribusian lemak ke seluruh tubuh (khas: buffalo hump), kelelahan yang

ekstrim, lemah otot, siklus mens yang tidak teratur, penurunan keinginan

melakukan aktivitas seksual, rasa terbakar pada ulu hati, peningkatan pengeluaran

keringat, penghambatan pertumbuhan pada anakanak, kejang, dan gangguan

psikiatri (termasuk di dalamnya adalah depresi, euforia, insomnia, perubahan

mood mendadak, perubahan kepribadian, dan juga dapat berupa kelakuan

psikotik) (Rang, 2009).

Prednison menekan sistem imun sebagai konsekuensinya, meningkatkan

frekuensi atau keparahan dari infeksi oleh mikroorganisme lain dan mengurangi

efektivitas dari vaksin dan antibiotik. Prednison dapat menyebabkan osteoporosis

yang mengakibatkan fraktur pada tulang (Anonim 6, 2009).

b. NEBULIZER (isi: salbutamol)

Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan

paling efektif. Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan

asma. Selain untuk membuka saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga

efektif untuk mencegah timbulnya exercise-induced broncospasm (penyempitan

saluran pernafasan akibat olahraga). Saat ini, salbutamol telah banyak beredar di

pasaran dengan berbagai merk dagang, antara lain: Asmacare, Bronchosal,

Buventol Easyhaler, Glisend, Ventolin, Venasma, Volmax, dll. Selain itu,

salbutamol juga telah tersedia dalam berbagai bentuk sediaan mulai dari sediaan

Page 21: Laporan Akhir Asma

oral (tablet, sirup, kapsul), inhalasi aerosol, inhalasi cair sampai injeksi. Adapun

dosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

1. Sediaan oral

Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari

Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari

Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari

Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali

minum sebesar 8 mg

Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif sebesar 2

mg

2. Inhalasi aerosol

Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2

hisapan) bila perlu.

Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari

3. Inhalasi cair

Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari atau 5

kali bila perlu. Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih

diragukan.

4. Injeksi subkutan atau intramuscular

Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu

5. Injeksi intravena lambat

Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu

Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk mengatasi

asma akut yang berat, sedangkan injeksi digunakan untuk mengatasi penyempitan

saluran nafas yang berat. Bentuk sediaan lain, seperti tablet, sirup dan kapsul

digunakan untuk penderita asma yang tidak dapat menggunakan cara inhalasi.

Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian salbutamol dalam bentuk

inhalasi aerosol cenderung lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek

samping yang ditimbulkan lebih kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti

tablet. Bentuk sediaan ini cukup efektif untuk mengatasi serangan asma ringan

sampai sedang, dan pada dosis yang dianjurkan, efeknya mampu bertahan selama

Page 22: Laporan Akhir Asma

3-5 jam. Beberapa keuntungan penggunaan salbutamol dalam bentuk inhalasi

aerosol, antara lain:

      Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang

disemprotkan/dihisap langsung masuk ke saluran nafas.

      Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat yang dibutuhkan

lebih kecil jika dibandingkan dengan sediaan oral.

      Efek samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral

karena dosis yang digunakan juga lebih kecil.

Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga memiliki kelemahan

yaitu ada kemungkinan obat tertinggal di mulut dan gigi sehingga dosis obat yang

masuk ke saluran nafas menjadi lebih sedikit dari dosis yang seharusnya. Untuk

memperbaiki penyampaian obat ke saluran nafas, maka bisa digunakan alat yang

disebut spacer (penghubung ujung alat dengan mulut).

Sangat penting untuk mengetahui bagaimana cara penggunaan inhalasi

aerosol yang benar. Mengapa? Karena cara pakai yang salah bisa berakibat

kegagalan terapi. Cara yang benar adalah dengan menghisapnya secara perlahan

dan menahan nafas selama 10 detik sesudahnya.

Kontraindikasi dari obat ini adalah untuk penderita yang hipersensitif

terhadap salbutamol maupun salah satu bahan yang terkandung di dalamnya.

Adapun efek samping yang mungkin timbul karena pamakaian salbutamol, antara

lain: gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing, sakit kepala, kejang,

insomnia); nyeri dada; mual, muntah; diare; anorexia; mulut kering; iritasi

tenggorokan; batuk; gatal; dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk penderita asma

yang disertai dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme, diabetes mellitus,

gangguan jantung termasuk insufisiensi miokard maupun hipertensi, perlu adanya

pengawasan yang lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa memperparah

keadaan dan meningkatkan resiko efek samping. Pengawasan juga perlu

dilakukan pada penderita asma yang sedang hamil dan menyusui karena

salbutamol dapat menembus sawar plasenta. Untuk meminimalkan efek samping

maka untuk wanita hamil, sediaan inhalasi aeorosol bisa dijadikan pilihan

Page 23: Laporan Akhir Asma

pertama. Penggunaan salbutamol dalam bentuk sediaan oral pada usia lanjut

sebaiknya dihindari mengingat efek samping yang mungkin muncul.

Beberapa hal penting yang perlu diketahui oleh para pengguna salbutamol

untuk mengatasi asma, adalah sebagai berikut:

Sebaiknya tidak menggunakan obat ini jika memiliki riwayat alergi

terhadap salbutamol atau bahan-bahan lain yang terkandung di dalamnya.

Untuk sediaan oral, sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 2 jam

sesudah makan.

Telan tablet salbutamol dan jangan memecah maupun mengunyahnya.

Untuk sediaan inhalasi, kocok dulu sebelum digunakan dan buang 4

semprotan pertama jika menggunakan inhaler baru atau inhaler yang sudah tidak

terpakai selama lebih dari 2 minggu.

Sebaiknya berkumur setiap kali sehabis mengkonsumsi salbutamol

supaya tenggorokan dan mulut tidak kering.

Jika dibutuhkan lebih dari 1 hisapan dalam sekali pemakaian, maka

beri jarak waktu minimal 1 menit untuk setiap hisapan.

Simpan obat pada suhu kamar agar stabil (aerosol: 15-25o C; inhalasi

cair: 2-25o C dan sirup: 2-30o C)

Jika ada dosis yang terlewat, segera minum salbutamol yang terlewat.

Namun jika waktu yang ada hampir mendekati waktu pengonsumsian

selanjutnya, lewati pengonsumsian yang tertinggal kemudian lanjutkan

mengkonsumsi salbutamol seperti biasa. Jangan pernah mengkonsumsi 2 dosis

dalam sekali pemakaian.

Obat-obat golongan beta blocker, seperti: propanolol, metoprolol,

atenolol, dll bisa menurunkan efek salbutamol.

Penggunaan salbutamol dosis tinggi bersamaan dengan kortikosteroid

dosis tinggi akan meningkatkan resiko hipokalemia.

Asetazolamid, diuretik kuat dan thiazida dosis tinggi akan

meningkatkan resiko hipokalemia jika diberikan bersamaan dengan salbutamol

dosis tinggi pula.

Page 24: Laporan Akhir Asma

Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor

(misal: isocarboxazid, phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius. Hindari

pemakaian obat-obat golongan ini 2 minggu sebelum, selama maupun sesudah

konsumsi salbutamol.

Asma merupakan penyakit yang membutuhkan terapi jangka panjang

sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap perkembangannya secara terus-

menerus untuk melihat apakah obat yang diberikan cocok atau tidak. Ada kalanya

asma tidak cukup diatasi hanya dengan satu macam obat saja, sehingga perlu

penambahan obat (kombinasi obat). Maka dari itu, pengetahuan akan salah satu

jenis obat saja tidak cukup karena masih banyak obat selain salbutamol yang

tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

c. AMPICILIN

a. Indikasi obat

Ampicillin sebagai antibiotic termasuk antibiotic penicillin aktif terhadap

berbagai kuman gram positif dan gram negative.

b. Dosis

3 x sehari 1 tablet

c. Interaksi obat

Ampicillin dan surfactant meningkatkan efek metotreksa alupurinol,

uricosuric, menurunkan efek asam fusidik dan tetrasiklin. Namun tidak

berinteraksi dengan obat-obat dalam terapi ini.

d. Aturan pemakaian obat

Obat ini diberikan secara peroral, diberikan 3x sehari.

e. Efek samping obat

Reaksi alergi, diare, mual, muntah. Efek yang muncul dalam terapi adalah

mual dan muntah (Lacy,2010)

f. Mekanisme kerja

Ampicilin adalah antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri.

Ampicillin termasuk golongan Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri

dengan cara berikatan pada enzim DD-transpeptidase yang memperantarai

dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan

dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan

Page 25: Laporan Akhir Asma

tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna

dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk.Ampicillin mampu berpenetrasi

kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan

gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus

membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif.

Ampisilin termasuk salah satu antibiotik golongan beta-laktam dengan jenis

penisilin, subkelompok aminopecisilin. Penisilin merupakan antibiotik yang

efektif dan paling luas kegunaannya. Ampisilin termasuk obat yang sering

diresepkan dokter karena memiliki beberapa kelebihan antara lain harga

ekonomis dibandingkan antibiotik lain, efek samping dan toksisitas yang rendah,

memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Chamber,

2004).

g. Alasan

Sebagai profilaksis terhadap bakteri

d. LASAL EKSPEKTORAN

Indikasi obat

Mengatasi spasme bronkus pada asma bronkial, bronkitis kronis, emfisema

dan penyakit-penyakit paru lain dengan komplikasi bronkokonstriksi. Obat ini

juga dapat digunakan sebagai ekspektoran.

b. Dosis

1 - 2 sendok teh (5-10 ml), 3 - 4 kali sehari

g. Aturan pemakaian obat

Obat ini diberikan secara peroral, diberikan 3x sehari.

h. Efek samping obat

Satu-satunya efek samping yang sering kali terjadi yaitu tremor kecil pada

otot lurik, biasanya pada tangan. Efek ini tergantung dari besarnya dosis dan

berpengaruh langsung pada otot-otot lurik, seperti lazim terjadi pada semua obat

yang merangsang adreno reseptor beta. Apabila dosis agak tinggi atau pada

penderita hipersensitif, dapat terjadi vasodilatasi perifer dan denyut nadi

meningkat sebagai kompensasi. Guaifenesin dapat menimbulkan efek mual,

muntah (Lacy,2010).

i. Mekanisme kerja

Page 26: Laporan Akhir Asma

Lasal ekspektoran adalah perangsang adreno reseptor β2 yang bersifat

selektif, efek utama terjadi pada otot-otot bronkus dan rahim. Oleh karena Lasal

ekspektoran bekerja selektif, maka akan timbul palpitasi / rasa tidak enak, jika

diberikan pada dosis terapeutik. Lasal ekspektoran mengandung Guaifenesin

yang berfungsi sebagai ekspektoran (Chamber, 2004).

g. Alasan

Sebagai bronkodilator dan ekspektoran

e. INFUS D5%

Kandungan : Setiap 100 mL dari Injeksi Dekstrosa 5% USP,

mengandung dekstrosa monohidrat 5 g dalam air untuk injeksi.

Nilai kalori 170 kkal / L. Osmolaritas adalah 252 mOsmol / L

(calc.), yang sedikit hipotonik.

Dosis : 10 tpm

Indikasi : Terapi parenteral untuk memenuhi kebutuhan air dan

kalori karbohidrat pada pasien yang mengalami dehidrasi.

Mekanisme : Meningkatkan kadar glukosa dalam darah,

sehingga dapat memenuhi kebutuhan akan kalori. Konsentrasi

dektrose akan menurun apabila terjadi penurunan jumlah protein dan

nitrogen dalam tubuh, dan juga dapat memicu pembentukan glikogen.

Dextrose merupakan senyawa monosakarida yang sangat cepat

diserap. Metabolismenya akan menghasilkan CO2, air, dan sumber

energy.

f. RANITIDIN

Ranitidin adalah obat golongan antagonis H2

histamin dengan nama generik ranitidin.

Indikasi

Ranitidin memiliki indikasi untuk pengobatan dan pemeliharaan

ulser duodenum, pengaturan penyakit refluks gastroesofagus, termasuk

penyakit erosif atau ulseratif, pengobatan jangka pendek, ulser gastrik jinak,

dan kerusakan gastrik karena NSAID. Penggunaan sebagian dari multidrug

regimen untuk membasmi H. pylori pada pengobatan ulser peptik, menjaga

peningkatan asam selama anastesi, mencegah kerusakan mukosa lambung

Page 27: Laporan Akhir Asma

apabila digabung dengan NSAID jangka panjang, mengontrol pendarahan GI

bagian atas akut, dan menjaga ulser stress (Tatro, 2003).

Dosis

Sediaan Rantin yang ada di pasaran yaitu 1 ampul berisi 50 mg/2 ml.

Bila disesuaikan dengan dosis yang semestinya (50 mg tiap 6-8 jam) maka

pengobatan disarankan dilakukan dengan aturan pemakaian secara IV 2 x 1

ampul/hari. Rantin digunakan selama pengobatan rawat inap yaitu selama 10

hari.

Mekanisme kerja

Mekanisme kerja dari ranitidin ini adalah memblok histamin secara

reversibel dan kompetitif pada reseptor H2, terutama di sel parietal lambung,

dan menyebabkan penghambatan sekresi asam lambung (Tatro, 2003).

Interaksi obat

Pada terapi ini ranitidine tidak berinteraksi dengan obat lain.

Ranitidin dapat berinteraksi dengan:

1.diazepam, dengan menurunkan efek farmakologis dan absorpsi

diazepam;

2.etanol, dengan meningkatkan kadar etanol dalam plasma;

3.glipizide, dengan meningkatkan efek hipoglikemia;

4.ketokonazol, dengan menurunkan efek ketokonazol;

5.lidokain, dengan meningkatkan kadar lidokain;

6.warfarin, dengan mengganggu ranitidine dengan klirens

warfarin (Tatro, 2003).

Alasan pemilihan obat

Ranitidin digunakan dalam terapi ini karena pasien mengalami

mual, dan muntah.

3. TERAPI NON FARMAKOLOGI

Terapi non farmakologi adalah bentuk pengobatan dengan cara pendekatan,

edukasi dan pemahaman tentang penyakit asma. Berikut adalah beberapa terapi

non farmakologi untuk penyakit asma bronchial:

a) Menjaga Kesehatan

Page 28: Laporan Akhir Asma

Menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan

penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang

penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma

beserta komplikasinya. Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan

makanan yang bernilai gizi baik, minum banyak, istirahat yang cukup, rekreasi

dan olahraga yang sesuai. Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila

dilarang dokter, karena menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau

ginjal yang berat. Banyak minum akan mengencerkan dahak yang ada di saluran

pernapasan, sehingga dahak tadi mudah dikeluarkan. Sebaliknya bila penderita

kurang minum, dahak akan menjadi sangat kental, liat dan sukar dikeluarkan.

Pada serangan penyakit asma berat banyak penderita yang kekurangan cairan. Hal

ini disebabkan oleh pengeluaran keringat yang berlebihan, kurang minum dan

penguapan cairan yang berlebihan dari saluran napas akibat bernapas cepat dan

dalam.

b) Menjaga Lingkungan

Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya

serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan.

Rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari. Saluran

pembuangan air harus lancar. Kamar tidur merupakan tempat yang perlu

mendapat perhatian khusus. Sebaiknya kamar tidur sesedikit mungkin berisi

barang-barang untuk menghindari debu rumah. Hewan peliharaan, asap rokok,

semprotan nyamuk, atau yang lain-lain yang dapat memicu asma perlu

dihindarkan.

c) Menghindari Faktor Pencetus

Allergen yang sering menimbulkan asma adalah tungau debu, sehingga cara-cara

menghindari debu rumah harus diperhatikan. Alergen lain seperti kucing, anjing

perlu mendapat perhatian khusus. Infeksi virus saluran pernapasan sering

mencetuskan penyakit asma. Sebaiknya penderita penyakit asma menjauhi orang-

orang yang sedang terkena influenza. Zat-zat yang merangsang saluran napas

seperti asap rokok, asap mobil, uap bensin, uap cat, atau uap-uap zat kimia dan

udara kotor lainnya harus dihindari.

d) Edukasi kepada pasien/keluarga

Edukasi untuk pasien atau keluarga bertujuan untuk:

Page 29: Laporan Akhir Asma

Meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola

penyakit asma sendiri) 

Meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma

sendiri/asma mandiri) 

Meningkatkan kepuasan 

Meningkatkan rasa percaya diri 

Meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri 

Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol

asma .

4. INFORMASI OBAT

R/ Prednisolone

s.b.d.d 1 tab

Ampicilin

s.3.d.d 1 tab

Ranitidine

s.b.d.d 1 tab

Nebul / 8 jam K/P

s.p.r.n.

Lasal expectorant

s.t.d.d 1 cth.

Infus dekstrosa 5 %

20 tpm

VI. MONITORING

memantau pemberian infus D5% agar tidak terjadi udem

memantau data klinik pasien (TD, RR) agar berada pada nilai normal. TD 120/80

– 130/85, RR : 14-20

VII. KESIMPULAN

1. Pasien menderita asma bronkial karena kondisi kehamilan gravida 6 bulan

2. Obat yang diberikan

R/ Prednisolone

Page 30: Laporan Akhir Asma

s.b.d.d 1 tab

Ampicilin

s.3.d.d 1 tab

Ranitidine

s.b.d.d 1 tab

Nebul / 8 jam K/P

s.p.r.n.

Lasal expectorant

s.t.d.d 1 cth.

Infus dekstrosa 5 %

20 tpm

DAFTAR PUSTAKA

Page 31: Laporan Akhir Asma

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.

Anonim, 2006, MIMS Petunjuk Konsultasi, Ed. Ke-6, 70-76, PT. InfoMaster : Jakarta

Anonim1, 2009, Active ingredient: Prednisone - Chemisty and Biological Activity, diunduh dari http://www.druglib.com/activeingredient/prednisone/chembio/. Diakses pada tgl 2 Desember 2012

Anonim2, 2009, Prednisone (Prednisone) - Clinical Pharmacology, diunduh dari http://www.druglib.com/druginfo/prednisone/pharmacology/. Diakses pada tgl 2 Desember 2012

Anonim, 2009, Drug Information Handbook 18th Edition, USA : American Pharmacist Association.

Anonim. 2012. Tips Mengenal Asma: Mengetahui 9 Jenis Asma.

http://bumbata.co/2506/tips-mengenal-asma-mengetahui-9-jenis-asma/ diakses tanggal 2

Desember 2012

Benvie. 2009. Asma Bronkial. http://doctorology.net/asma-bronkial/ diakses tanggal 2

Desember 2012

Chambers, H. F. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik . 8thed. Jakarta: SalembaMedika.

Cunningham, F. Gary, 2006, Obstetric Williams, Ed. 21. Vol. 2, EGC: Jakarta.

Dipiro, J.T., 1997, Pharmacotherapy “A Pathophysiologyc Approach“, 3rd Ed., Appleton & Lange Stamford, Connecticut

Greenberger, Paul A. dan Patterson, Roy, 1985, Management of Asthma during Pregnancy, Obstetrical and Gynecological Survey, Williams and Wilkins (Eds.) (34 – 36), Vol. 1 Number 1, January 1986

Katzung BG, 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8. Penerbit Salemba Medika : Jakarta

Lacy, Charles F.; Armstrong, Lora I.; Goldman, Morton P., 2003, Drug Information Handbook, 11th Ed., Lexi-Comp Inc. : Canada

Mangatas SM, Hermawan HM, dan Ketut S. 2006. Imunobiologi Asma Bronkial. Dexa

Medika No.1 Vol.9 Hal. 31-39.

Neal MJ, 2005, At a Glance: Farmakologi medis, Edisi 5, Penerbit Erlangga : Jakarta

Nelson. 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit EGC. Jakarta.

Page 32: Laporan Akhir Asma

Paul, Les and Nagle, Becky, 2002, The Essential Medication Guidebook To Healthy Aging, Ballantine Books : New York

Rang HP, Dale MM, Ritter JM, Flower RJ, 2007, Rand And Dale’s Pharmacology, 6th edition. Elsevier-Churchill Livingstone.

Soedarto, 2007, Sinopsis Kedokteran Tropis, Airlangga University Press: Surabaya.

Subijanto, Achmad Arman. 2008. Genetic Diversity Of Hla-Dr And Varion Of Asthma

Susceptibility; An Overview Of Asthma In Pregnancy. Biodiversitas Vol. 8, No. 3, Juli

2008, Hal. 237-243.

Suherman SK, Ascobat P, 2008, Farmakologi dan terapi, Edisi 5. Balai Penerbit FKUI : Jakarta