kultur jaringan

39
HASIL DAN PEMBAHASAN Sub Penelitian I. Kultur Jaringan Umum Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan dan sel tanaman secara in vitro sehingga mampu tumbuh menjadi tanaman utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur jaringan tanaman antara lain bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan, metode sterilisasi yang digunakan, lingkungan kerja, alat dan bahan kimia yang digunakan serta proses penanaman yang dilakukan. Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan tanaman sebagai sumber eksplan yaitu bahan tanaman berupa bibit gaharu berumur 4 bulan yang tumbuh di rumah kaca dan bahan tanaman yang tumbuh dalam botol berupa planlet berumur 14 minggu. Secara umum penggunaan bahan tanaman berupa bibit dari rumah kaca berbeda dengan bahan tanaman berupa planlet yang masih hidup di dalam botol (hasil kultur In vitro) dalam proses induksi, multiplikasi dan keragaan planlet yang dihasilkan. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih mudah untuk diperbanyak dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Hal ini terlihat dari jumlah eksplan yang tumbuh, eksplan yang terkontaminasi dan waktu munculnya tunas pertama. Kedua sumber eksplan tersebut memiliki tingkat meristematik sel yang berbeda. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih juvenil dan sel-selnya lebih bersifat meristematik dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar, sehingga secara umum proses perkembangan dan induksi tunas dari eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih cepat dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Pierik (1987), menyatakan bahwa keberhasilan inisiasi dan morfogenesis dari suatu eksplan dalam kultur in vitro sangat ditentukan oleh genotipe, umur tanaman, umur jaringan/organ, fisiologi tanaman, kesehatan tanaman, kondisi pertumbuhan letak eksplan dari tanaman (topofisis), ukuran eksplan, perlukaan, metode inokulasi, perawatan eksplan dan persiapan atau perlakuan terhadap tanaman induk.

Upload: oemar-badry

Post on 06-Sep-2015

218 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kultur jaringan

TRANSCRIPT

  • HASIL DAN PEMBAHASAN

    Sub Penelitian I. Kultur Jaringan

    Umum

    Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan

    organ, jaringan dan sel tanaman secara in vitro sehingga mampu tumbuh menjadi

    tanaman utuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam kultur

    jaringan tanaman antara lain bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber

    eksplan, metode sterilisasi yang digunakan, lingkungan kerja, alat dan bahan

    kimia yang digunakan serta proses penanaman yang dilakukan.

    Pada penelitian ini digunakan dua jenis bahan tanaman sebagai sumber

    eksplan yaitu bahan tanaman berupa bibit gaharu berumur 4 bulan yang tumbuh

    di rumah kaca dan bahan tanaman yang tumbuh dalam botol berupa planlet

    berumur 14 minggu. Secara umum penggunaan bahan tanaman berupa bibit dari

    rumah kaca berbeda dengan bahan tanaman berupa planlet yang masih hidup di

    dalam botol (hasil kultur In vitro) dalam proses induksi, multiplikasi dan keragaan

    planlet yang dihasilkan. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih mudah

    untuk diperbanyak dibanding eksplan yang berasal dari tunas aksilar. Hal ini

    terlihat dari jumlah eksplan yang tumbuh, eksplan yang terkontaminasi dan waktu

    munculnya tunas pertama. Kedua sumber eksplan tersebut memiliki tingkat

    meristematik sel yang berbeda. Eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih

    juvenil dan sel-selnya lebih bersifat meristematik dibanding eksplan yang berasal

    dari tunas aksilar, sehingga secara umum proses perkembangan dan induksi tunas

    dari eksplan yang berasal dari tunas adventif lebih cepat dibanding eksplan yang

    berasal dari tunas aksilar. Pierik (1987), menyatakan bahwa keberhasilan inisiasi

    dan morfogenesis dari suatu eksplan dalam kultur in vitro sangat ditentukan oleh

    genotipe, umur tanaman, umur jaringan/organ, fisiologi tanaman, kesehatan

    tanaman, kondisi pertumbuhan letak eksplan dari tanaman (topofisis), ukuran

    eksplan, perlukaan, metode inokulasi, perawatan eksplan dan persiapan atau

    perlakuan terhadap tanaman induk.

  • 34

    Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi dan Jumlah Eksplan yang Tumbuh

    Dalam penelitian ini, eksplan yang berasal dari tunas aksilar berjumlah 84

    eksplan dan yang berasal dari tunas adventif berjumlah 84 eksplan, setiap botol

    ditanam 1 eksplan, total keseluruhannya sebanyak 168 eksplan atau botol. Hasil

    pengamatan menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari rumah kaca yaitu

    tunas aksilar persentase tumbuhnya lebih rendah yaitu 58,33% dibanding eksplan

    yang berasal dari tunas adventif yaitu 77,38%. Total eksplan yang tumbuh adalah

    sebanyak 144 eksplan atau 67.86%. Perbandingan eksplan yang mengalami

    pencokelatan, terkontaminasi, tidak tumbuh, dan tumbuh disajikan dalam Tabel 4.

    Tabel 4. Persentase Pencokelatan, Terkontaminasi, Tidak Tumbuh dan Tumbuh

    dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar dan Tunas Adventif Parameter Eksplan Aksilar (n=84) Eksplan Adventif (n=84) Pencokelatan Terkontaminasi Tidak tumbuh Tumbuh

    6 (7,14%) 18 (21.42%) 11 (13.09%) 49 (58.33%)

    0 (0%) 11 (13.09%) 8 (9.52%) 65 (77.38%)

    Tabel 4 menunjukkan bahwa pencokelatan hanya terjadi pada eksplan yang

    berasal dari tunas aksilar yaitu sebanyak 7,14%, sedangkan eksplan yang berasal

    dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan. Terjadinya pencokelatan pada

    eksplan yang berasal dari tunas aksilar disebabkan oleh senyawa fenolik yang

    terkandung di dalam eksplan. Hal ini merupakan salah satu kendala kultur

    jaringan pada tanaman berkayu. Eksplan yang digunakan jika mengalami

    pencokelatan akan dapat menyebabkan kematian eksplan. Untuk meminimalisir

    terjadinya pencokelatan perlu dilakukan berbagai perlakuan seperti memberikan

    antioksidan baik pada media maupun pada eksplan prakultur, dengan harapan

    eksplan yang ditanaman dapat tumbuh dengan baik.

    Selain menggunakan antioksidan, ukuran dan umur eksplan juga sangat

    mempengaruhi terjadinya pencokelatan. Pada tanaman berkayu umumnya

    semakin besar ukuran atau semakin tua umur ekplan yang digunakan maka

    terjadinya pencokelatan semakin tinggi karena senyawa fenolik yang terdapat di

    dalam eksplan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin kecil ukuran atau umur

    eksplan yang digunakan maka persentase pencokelatan semakin rendah. Dalam

  • 35

    hal ini lebih dianjurkan menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan yang

    bersifat meristematik. Eksplan yang sehat dan segar dapat dipindahkan dari media

    lama ke media baru. Pada penelitian ini penulis tidak menggunakan antioksidan

    tetapi eksplan diinkubasi pada ruangan gelap selama satu minggu dengan tujuan

    untuk mengurangi terjadinya pencokelatan.

    Yusnita (2003), menyatakan bahwa masalah yang sering dihadapi dalam

    kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencokelatan atau penghitaman

    bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stres mekanik, seperti pelukaan pada

    waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa berfenol

    pada eksplan sering terangsang. Senyawa berfenol ini sering bersifat toksik,

    menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan. George

    dan Sherrington (1984), menyarankan beberapa tindakan untuk mengatasi

    terjadinya pencokelatan yaitu dengan menggunakan arang aktif atau PVP,

    merendam dengan asam sitrat atau asam askorbat, menggunakan pengkelat seperti

    EDTA, perlakuan pH rendah dan inkubasi dalam ruang gelap.

    Pada eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak mengalami pencokelatan

    hal ini diduga karena eksplan masih relatif muda, bersifat heterotrof sehingga

    senyawa fenolik yang terkandung di dalam eksplan relatif rendah. Pencokelatan

    pada eksplan biasanya terjadi pada pangkal eksplan dan diikuti dengan pelepasan

    zat phenolik ke dalam media tumbuh.

    Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang terkontaminasi adalah

    sebanyak 21,42% dari tunas aksilar dan 13,09% dari tunas adventif. Secara umum

    sterilisasi berhasil dengan baik, karena dari 168 botol yang ditanam hanya 29

    botol yang terkontaminasi (17,26%). Tingginya jumlah terkontaminasi pada

    eksplan tunas aksilar ini diduga eksplan yang berasal dari rumah kaca banyak

    membawa mikroorganisme sumber kontaminan. Meskipun sudah dilakukan

    sterilisasi dengan baik, namun mikroorganisme masih sering terbawa oleh eksplan

    (mikroorganisme endophytic).

    Hutchinson et al. (1995), menyatakan bahwa tanaman yang berasal dari

    lapangan memiliki mikroflora yang dapat mematikan eksplan sebelum kultur

    berkembang. Kesalahan dan tidak berhasilnya sterilisasi dapat menyebabkan

    eksplan 100% terkontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi

  • 36

    adalah dengan menumbuhkan tanaman di rumah kaca, perlakuan tanaman dengan

    fungisida dan insektisida sebelum dikultur. Ditambahkan juga bahwa lamanya

    waktu yang digunakan dalam proses sterilisasi tergantung dari jenis bahan

    tanaman yang digunakan dan konsentrasi bahan kimia. Bahan tanaman yang

    sukulen membutuhkan waktu yang lebih singkat dibanding bahan tanaman seperti

    batang, pucuk, dan biji. Sebaiknya konsentrasi bahan kimia yang digunakan

    memiliki konsentrasi yang rendah, sehingga waktu sterilisasinya dibuat lebih

    lama.

    Berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan ada beberapa penyebab

    terjadinya kontaminasi pada media kultur jaringan yaitu 1). Sterilisasi eksplan

    yang kurang tepat sehingga eksplan belum benar-benar steril, 2). Sterilisasi media

    kultur yang belum tepat, ini ditandai dengan masih adanya media yang

    terkontaminasi meskipun tidak dilakukan inokulasi, 3). Proses inokulasi, dimana

    sering terjadi kontaminasi saat memasukan eksplan ke dalam media kultur, yang

    perlu diperhatikan adalah usahakan eksplan yang sudah disteril sesedikit mungkin

    menyentuh benda lain, 4). Saat membuka dan menutup botol, sebaiknya jangan

    menghadap hembusan udara laminar atau menghadap inokulan, jika menghadap

    laminar ini dikuatirkan masuknya partikel debu yang terbawa oleh hembusan

    udara laminar yang masuk ke dalam media kultur.

    Selain terjadinya pencokelatan dan terkontaminasi, total dari eksplan yang

    diinokulasi terdapat 19 eksplan yang tidak tumbuh atau tidak mengalami

    organogenesis tetapi masih hidup dan berwarna kuning kehijauan yang

    menyerupai kalus. Apabila kalus ini dibiarkan terus berkembang maka akan

    terbetuk tunas-tunas baru.

    Tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal

    dari tunas aksilar diduga karena eksplan yang digunakan secara fisiologis tidak

    seragam, sehingga kemampuan eksplan untuk berkembang sangat bervariasi.

    Kemungkinan lainnya adalah eksplan membutuhkan waktu yang cukup lama

    untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan tempat tumbuh yang baru. Pada

    eksplan yang berasal dari tunas aksilar terjadi perubahan lingkungan tanaman

    yaitu dari lingkungan autotrof menjadi heterotrof, dari lingkungan alam menjadi

    lingkungan yang terkontrol, sehingga membutuhkan waktu untuk beradaptasi,

  • 37

    sedangkan eksplan yang berasal dari tunas adventif tidak membutuh waktu yang

    lama untuk beradaptasi pada media baru. Selanjutnya, eksplan yang berasal dari

    tunas adventif lebih bersifat meristematik dibanding yang berasal dari tunas

    aksilar, sehingga faktor lingkungan, keadaan sel dan perlakuan ZPT di dalam

    media kultur sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Selain itu, faktor lain

    yang menyebabkan tingginya jumlah eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan

    yang berasal dari tunas aksilar adalah bahan sterilisi yang digunakan yaitu HgCl2

    yang memiliki sifat toksik, dan tidak stabil apabila digunakan dalam waktu yang

    lama selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian pada

    eksplan (Hendaroyono dan Wijayanti, 1994). Sebaliknya, sodium hipoklorida

    (NaOCl) yang bersifat kurang toksik, mengandung unsur Na dan Cl, sejenis

    logam organik yang lebih stabil, dapat membunuh jamur dan spora-sporanya,

    sedangkan ion klor berfungsi untuk menurunkan oksidasi fenol. Penggunaan

    kedua bahan sterilisasi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab kematian,

    kontaminasi dan banyaknya eksplan yang tidak tumbuh pada eksplan yang berasal

    dari tunas aksilar.

    Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ Terhadap Pertumbuhan

    Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif

    Hasil pengamatan terhadap dua sumber eksplan yang ditanam pada media

    yang diberi perlakuan ZPT BAP atau TDZ menunjukkan perbedaan yang sangat

    nyata pada taraf uji 0,01 DMRT. Rekapitulasi hasil sidik ragam tersebut disajikan

    pada Tabel 5 dan Lampiran 2.

    Tabel 5. Rekapitulasi Sidik Ragam (Anova) Pengaruh Perlakuan BAP atau TDZ

    terhadap Pertumbuhan Eksplan Tunas Aksilar dan Adventif.

    Eksplan Jumlah Tunas Panjang Tunas Jumlah Daun Tunas Aksilar 0,000** 0,000** 0,000** Tunas Adventif 0,000** 0,000** 0,000**

    ** Berbeda sangat nyata pada 0,01 DMRT.

    Tabel 5 menunjukkan bahwa media yang diberi perlakuan ZPT BAP atau

    TDZ memberikan pengaruh yang sangat nyata (DMRT 0,01) terhadap semua

    parameter yang diamati yaitu Jumlah Tunas, Panjang Tunas dan Jumlah Daun,

    baik pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif.

  • 38

    1. Jumlah Tunas

    Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas

    aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan

    penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas

    yang dihasilkan selama 12 MST (Lampiran 2). Rata-rata jumlah tunas kumulatif

    akibat pengaruh pemberian BAP atau TDZ pada eksplan yang berasal dari tunas

    aksilar dan adventif dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

    Hasil pengamatan terhadap jumlah tunas planlet gaharu selama 12 MST

    menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan

    BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm memberikan respons yang terbaik dan

    optimum terhadap proses induksi tunas dan menghasilkan rata-rata jumlah tunas

    tertinggi yaitu sebanyak 5,67 dan 5,28 tunas (Gambar 13).

    Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, eksplan yang berasal dari tunas aksilar

    yang ditanam pada media dengan perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda nyata

    dengan perlakuan BAP 0,75 ppm tetapi berbeda nyata dengan perlakuan BAP 1,0

    ppm dan kontrol dalam menghasilkan jumlah tunas (Gambar 13). Pada media

    yang diberi perlakuan TDZ menunjukkan bahwa perlakuan TDZ 0,25 ppm

    berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol

    (Gambar 13).

    2.67

    5.67 5.334.44

    0123456

    0 0,5 0,75 1,0

    Konsentrasi BAP

    Jum

    lah

    Tuna

    s

    c

    a a b

    2.67

    5.284.39

    3.17

    0123456

    0 0,25 0,50 0,75

    Konsentrasi TDZ

    Jum

    lah

    Tuna

    s

    c

    ab

    c

    Gambar 13. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,

    dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

    berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

    Eksplan yang berasal dari tunas adventif yang ditanam pada media yang

    diberi perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm juga memiliki respon yang

  • 39

    terbaik dan lebih optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah tunas yaitu secara

    berturut-turut 6,11 dan 5,61 tunas (Gambar 14).

    Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak

    berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 atau BAP 1,0 tetapi berbeda nyata

    dengan kontrol (Gambar 14). Media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda

    nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 dan kontrol, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm

    tidak berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm (Gambar 14).

    2.61

    6.115.22

    4.55

    0

    2

    4

    6

    8

    0 0,5 0,75 1,0

    Konsentrasi BAP

    Jum

    lah

    Tuna

    s

    c

    a ab b

    2.61

    5.61

    3.893.33

    0123456

    0 0,25 0,50 0,75

    Konsentrasi TDZ

    Jum

    lah

    Tuna

    s

    c

    a

    b b

    Gambar 14. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Tunas,

    dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

    berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

    Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa baik pada eksplan tunas aksilar maupun

    tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm adalah

    perlakuan yang terbaik dan optimum dalam menghasilkan jumlah tunas,

    sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan dalam menghasilkan jumlah

    tunas. Jumlah tunas yang terendah dihasilkan oleh kontrol. Hal ini berarti bahwa

    konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm dapat meningkatkan jumlah tunas,

    sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah tunas. Hal ini

    didukung oleh pernyataan Tiwari et al. (2000) bahwa konsentrasi sitokinin yang

    tinggi dapat menyebabkan jumlah tunas berkurang, dan BAP melebihi kadar

    optimum yang dibutuhkan tanaman umumnya menyebabkan perkembangan tajuk

    atau tunas terhambat.

    Abidin (1983), menyatakan bahwa ZPT pada tanaman adalah senyawa

    organik yang bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote),

    menghambat (inhibit) dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Hormon

  • 40

    tumbuhan adalah zat organik yang dihasilkan oleh tanaman, yang dalam

    konsentrasi rendah dapat mengatur proses fisiologi, yang disintesis pada bagian

    tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana

    zat tersebut dapat menimbulkan pengaruh secara biokimia, fisiologis dan

    morfologis (Wattimena, 1988).

    Sesuai dengan fungsinya, baik ZPT BAP maupun TDZ adalah merupakan

    ZPT yang termasuk ke dalam kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk

    memacu pertumbuhan tunas dalam kultur jaringan tanaman. Walaupun ZPT

    tersebut berasal dari golongan yang sama tetapi mempunyai daya aktivitas yang

    berbeda. Pemberian konsentrasi BAP atau TDZ yang tepat dan tidak melebihi

    dosis mampu menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak dan vigour.

    Sebaliknya pemberian konsentrasi yang melebihi kebutuhan eksplan akan

    menghambat induksi tunas yang terbentuk. Seperti yang terlihat pada Gambar 13

    dalam penelitian ini, baik pada eksplan tunas aksilar maupun eksplan tunas

    adventif, semakin tinggi konsentrasi BAP maupun TDZ yang digunakan, maka

    jumlah tunas semakin menurun. Pada konsentrasi yang rendah memberikan hasil

    yang lebih baik. Meskipun demikian, visualisasi perkembangan eksplan

    menunjukkan bahwa pada dua sumber eksplan yang ditanam pada konsentrasi

    yang lebih tinggi terlihat adanya mata tunas yang akan berkembang menjadi

    tunas, hal ini mengindikasikan bahwa ada kemungkinan bertambahnya jumlah

    tunas pada perlakuan konsentrasi BAP atau TDZ yang lebih tinggi, tetapi proses

    pertumbuhannya terlihat lebih lambat, sehingga dapat dikatakan bahwa

    konsentrasi BAP yang tinggi tidak meningkatkan jumlah tunas.

    Secara alamiah tanaman sudah mengandung hormon pertumbuhan seperti

    sitokinin yang dinamakan dengan hormon endogen. Kebanyakan hormon endogen

    ditanaman terdapat pada jaringan meristem yaitu jaringan yang aktif tumbuh dan

    membelah. Sehingga pemberian hormon eksogen sangat mempengaruhi kerja

    hormon endogen sebagai fungsinya dalam proses cytokinesis (proses pembelahan

    sel) pada berbagai organ tanaman. Pemberian hormon eksogen dengan konsentrasi

    yang melebihi kebutuhan tanaman dapat menyebabkan pembentukan tunas

    terhambat.

  • 41

    Pemberian hormon eksogen BAP dapat merangsang pembentukan tunas

    yang berbeda. Salah satu kinerja BAP adalah memacu pembentukan RNA

    (Ribonucleic Acid) dan enzim (Wattimena, 1988). Pendugaan ini berdasarkan

    pada fenomena yang terjadi jika terdapat zat penghambat sintesis RNA atau

    protein, maka kinerja sitokinin terhambat. Salisbury dan Ross (1995), menyatakan

    bahwa sitokinin mendorong pembelahan sel dalam jaringan dengan meningkatkan

    laju sistesis protein.

    Menurut Davies (2004), di dalam tanaman variasi dan distribusi sitokinin

    tidak merata tergantung dari spesies, jaringan dan tahap perkembangan tanaman.

    Meskipun beberapa sitokinin telah diidentifikasi, fungsinya secara fisiologi

    terhadap suatu spesies, namun secara lengkap belum dapat dipahami. Sitokinin

    dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama yaitu dalam bentuk aktif,

    dalam bentuk translokasi dan dalam bentuk tersimpan dan tidak aktif.

    Pemberian TDZ 0,25 ppm pada media perlakuan memberikan jumlah tunas

    yang terbaik dibanding perlakuan yang lainnya, baik pada eksplan tunas aksilar

    maupun tunas adventif, sedangkan pada perlakuan lainnya terjadi penurunan

    jumlah tunas. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi TDZ yang

    digunakan dapat menyebabkan toksik bagi tanaman.

    Khawar et al. (2004), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada

    konsentrasi tinggi dapat menurunkan regenerasi tunas, regenerasi tunas tertinggi

    dihasilkan pada media MS dengan konsentrasi TDZ 0,25 ppm. Hasil penelitian

    Gajdosova et al. (2006), juga melaporkan bahwa penggunaan TDZ pada

    kosentrasi tinggi dapat menghambat regenerasi tunas dan menyebabkan

    pencokelatan (nekrosis) pada eksplan. Ozturk et al. (2004), menyatakan

    konsentrasi TDZ yang sangat rendah lebih efektif dalam proliferasi tunas dan

    meningkatkan jumlah tunas yang terbentuk.

    Penggunaan TDZ pada konsentrasi yang lebih rendah umumnya dapat

    menghasilkan proses induksi dan multiplikasi tunas yang lebih baik (Yunita,

    2004; Thomas dan Puthur, 2004; Huetteman dan Preece, 1993; Onamu, et al.

    2003; dan Gyves et al. 2001).

    Thidiazuron menurut Lu (1993) dapat menstimulasi pembelahan sel dan

    proliferasi tunas aksilar dan efektif untuk tanaman berkayu. Thidiazuron telah

  • 42

    banyak digunakan untuk kultur jaringan tanaman karena mempunyai aktivitas

    menyerupai sitokinin.

    Lu (1993), menyatakan bahwa TDZ dapat mendorong terjadinya perubahan

    sitokinin ribonukleotida menjadi nukleotida yang lebih aktif. Menurut Thomas

    dan Katterman (1986), TDZ dapat mendorong sintesis sitokinin alami. Kemudian

    Suttle (1985), menyatakan bahwa komponen organik TDZ pada konsentrasi tinggi

    dapat meningkatkan produksi etilen yang menghambat pertumbuhan tunas dan

    Tang et al. (2002), menyatakan TDZ pada level tinggi kurang efektif

    dibandingkan dengan BAP dalam regenerasi tunas pada eksplan daun cherry yang

    diteliti.

    2. Panjang Tunas

    Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa baik eksplan yang berasal dari tunas

    aksilar maupun tunas adventif yang ditanam pada media dasar MS dengan

    penambahan ZPT BAP atau TDZ berpengaruh sangat nyata terhadap panjang

    tunas planlet gaharu (Lampiran 2).

    Hasil pengamatan pada panjang tunas menunjukkan bahwa eksplan berasal

    dari tunas aksilar yang ditanam pada media yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm

    atau TDZ 0,25 ppm menghasilkan jumlah tunas yang terbanyak yaitu secara

    berturut-turut 3,15 cm dan 2,88 cm (Gambar 15). Hasil uji lanjut Duncan

    menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,50 ppm

    berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm dan kontrol, tetapi perlakuan BAP

    0,75 ppm tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm (Gambar 15). Berbeda dengan

    media yang diberi perlakuan TDZ, media yang diberi perlakuan dengan TDZ 0,25

    ppm berbeda nyata dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, TDZ 0,75 ppm dan kontrol

    (Gambar 15).

  • 43

    1.63

    3.152.5 2.5

    0

    1

    2

    3

    4

    0 0,5 0,75 1,0

    Konsentrasi BAP

    Panj

    ang

    Tuna

    s (c

    m)

    c

    a b b

    1.63

    2.88 2.72.12

    00.5

    11.5

    22.5

    33.5

    0 0,25 0,50 0,75

    Konsentrasi TDZ

    Panj

    ang

    Tuna

    s (c

    m)

    d

    a bc

    Gambar 15. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,

    dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

    berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

    Pada eksplan tunas adventif dengan perlakuan BAP 0,50 ppm atau TDZ

    0,25 ppm menghasilkan panjang tunas yang terpanjang dibanding perlakuan

    lainnya yaitu secara berturut-turut 2,79 cm dan 2,67 cm (Gambar 16), sedangkan

    perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0 ppm, TDZ 0,50 ppm dan TDZ 0,75

    ppm ) terjadi penurunan panjang tunas. Nilai terendah dihasilkan oleh kontrol

    yaitu 1,6 cm.

    Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm

    berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, tetapi perlakuan BAP 0,75 ppm

    tidak berbeda nyata dengan BAP 1,0 ppm dan kontrol. Media yang diberi

    perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan

    TDZ 0,50 ppm tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,75 ppm dan kontrol.

    1.6

    2.79

    1.94 1.79

    00.5

    11.5

    22.5

    3

    0 0,5 0,75 1,0

    Konsentrasi BAP

    Panj

    ang

    Tuna

    s (c

    m)

    b

    a

    b b

    1.6

    2.67

    1.63 1.6

    00.5

    11.5

    22.5

    3

    0 0,25 0,50 0,75

    Konsentrasi TDZ

    Panj

    ang

    Tuna

    s (c

    m)

    b

    a

    b b

    Gambar 16. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Panjang Tunas,

    dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

    berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

  • 44

    Panjang tunas planlet gaharu berumur 12 MST dari dua sumber eksplan

    yang dicobakan baik eksplan dari tunas aksilar maupun adventif menunjukkan

    adanya perbedaan dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas, namun media

    yang diberi perlakuan ZPT BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm menunjukkan rata-

    rata panjang tunas yang terpanjang dibanding dengan perlakuan lainnya (Gambar

    15 dan 16). Perlakuan dengan konsentrasi BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm

    adalah konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata panjang tunas.

    Hal ini menunjukkan bahwa BAP atau TDZ pada konsentrasi rendah lebih

    optimum dalam memacu pertumbuhan tunas dibanding dengan konsentrasi BAP

    atau TDZ yang lebih tinggi. Pada perlakuan lainnya (BAP 0,75 ppm, BAP 1,0,

    TDZ 0,50 dan TDZ 0,75) mengalami penurunan panjang tunas. Hal ini berarti

    bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT baik BAP atau TDZ maka panjang tunas

    yang dihasilkan semakin menurun.

    Semakin tinggi konsentrasi BAP, maka panjang tanaman semakin pendek.

    Keadaan ini diduga akibat periode inkubasi eksplan yang terlalu lama pada media

    yang mengandung sitokinin, sehingga perpanjangan batang terhambat. Hal ini

    sesuai dengan pernyataan Moncalean et al. (2001), bahwa konsentrasi BAP yang

    tinggi dapat menyebabkan tinggi tanaman terhambat. Damayanti (2004), juga

    menyatakan bahwa BAP tidak memperpanjang tinggi tanaman Dianthus

    caryophillus, bahkan sebaliknya menyebabkan tanaman terlihat lebih pendek dan

    roset

    Herawan dan Hardi (2005), menyatakan bahwa BAP merupakan derivat

    sitokinin yang keberadaannya dalam medium tumbuh memacu pembelahan sel-sel

    di bagian apikal bakal tunas, sehingga mempengaruhi perkembangan tunas.

    Sitokinin disintesis di dalam akar dan didistribusikan ke tunas untuk pertumbuhan

    tunas. Penambahan sitokinin dari luar sangat diperlukan karena akar yang

    mensintesis sitokinin belum terbentuk dalam tahap induksi kultur jaringan.

    Menurut Suryowinoto (1996), secara umum sitokinin eksogen diperlukan untuk

    merangsang diferensiasi mata tunas dengan menghasilkan tunas yang panjang.

    Pertumbuhan tunas aksiler sama dengan pertumbuhan tunas pucuk yang ditandai

    dengan adanya aktivitas pembelahan jaringan meristem apikal.

  • 45

    Ndoye et al. (2003), melaporkan, peningkatan konsentrasi BAP hingga 5

    mg/l dapat menurunkan panjang tunas dalam kultur in vitro dan BAP yang

    dikombinasikan dengan NAA lebih efektif dalam multiplikasi tunas aksilar.

    Herawan dan Hardi (2005) juga melaporkan hasil penelitiannya, bahwa media

    yang ditambahkan BAP 0,5 mg/l merupakan konsentrasi yang paling optimum

    untuk pertumbuhan tunas aksilar dibanding dengan penambahan hormon pada

    konsentrasi yang lebih tinggi.

    Menurut Heddy (1986), hormon pengatur tumbuh BAP, walaupun dengan

    konsentrasi rendah, dapat mengatur proses fisiologis tumbuhan. Hal ini

    disebabkan hormon pengatur tumbuh dipengaruhi oleh asam nukleat sehingga

    langsung mempengaruhi sintesis protein dan mengatur aktivitas enzim.

    Sama halnya dengan BAP, pemberian TDZ dengan konsentrasi semakin

    tinggi pada dua sumber eksplan yang ditanam dapat menyebabkan panjang tunas

    yang terbentuk semakin rendah. Menurut Lu (1993), pemberian TDZ pada

    konsentrasi tertentu akan menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.

    3. Jumlah Daun

    Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa media yang diberi

    perlakuan BAP atau TDZ berpengaruh nyata terhadap jumlah daun yang

    dihasilkan selama 12 MST baik eksplan yang berasal dari tunas aksilar maupun

    eksplan yang berasal dari tunas adventif (Lampiran 2). Rata-rata jumlah daun

    kumulatif dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.

    Hasil pengamatan menunjukkan bahwa planlet gaharu untuk eksplan yang

    berasal dari tunas aksilar yang diberi perlakuan BAP 0,5 ppm atau TDZ 0,25 ppm

    merupakan konsentrasi yang optimum dalam menghasilkan rata-rata jumlah daun

    planlet gaharu, hal ini dapat dilihat dari rata-rata jumlah daun yang dihasilkan

    yaitu secara berturut-turut 6,5 dan 6,28 (Gambar 17). Pada perlakuan lainnya

    terjadi penurunan jumlah daun, jumlah daun yang paling sedikit dihasilkan oleh

    kontrol yaitu 4,33.

    Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa eksplan tunas aksilar yang

    diberi perlakuan BAP 0,50 ppm berbeda nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm,

    BAP 1,0 ppm dan kontrol, sedangkan media yang diberi perlakuan TDZ 0,25 ppm

  • 46

    tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,50 ppm, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan

    TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 17).

    4.33

    6.5 65.39

    01234567

    0 0,5 0,75 1,0

    Konsentrasi BAP

    Jum

    lah

    Dau

    n

    d

    ab

    c

    4.33

    6.28 65.28

    0

    2

    4

    6

    8

    0 0,25 0,50 0,75

    Konsentrasi TDZ

    Jum

    lah

    Dau

    n

    c

    a a b

    Gambar 17. Grafik Pengaruh BAP atau TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,

    dengan Sumber Eksplan dari Tunas Aksilar. Keterangan: Angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda

    nyata pada 0,01 DMRT.

    Eksplan tunas adventif yang ditanamn pada media yang diberi perlakuan

    BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm lebih optimum dan menghasilkan rata-rata

    jumlah daun yang terbanyak yaitu 7,22 dan 6,78 secara berturut-turut (Gambar

    18). Pada perlakuan lainnya terjadi penurunan jumlah daun yang dihasilkan. Hasil

    uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan BAP 0,50 ppm tidak berbeda

    nyata dengan perlakuan BAP 0,75 ppm, perlakuan BAP 1,0 ppm tidak berbeda

    nyata dengan kontrol (Gambar 18). Perlakuan TDZ 0,25 ppm berbeda nyata

    dengan perlakuan TDZ 0,50 ppm, tetapi perlakuan TDZ 0,50 ppm tidak berbeda

    nyata dengan perlakuan TDZ 0,75 ppm dan kontrol (Gambar 18).

    4.5

    7.226.11

    4.66

    0

    2

    4

    6

    8

    0 0,5 0,75 1,0

    Konsentrasi BAP

    Jum

    lah

    Dau

    n

    b

    aa

    b

    4.5

    6.785.22 4.78

    0

    2

    4

    6

    8

    0 0,25 0,50 0,75

    Konsentrasi TDZ

    Jum

    lah

    Dau

    n

    c

    a

    b bc

    Gambar 18. Grafik Pengaruh BAP dan TDZ terhadap Rerata Jumlah Daun,

    dengan Sumber Eksplan dari Tunas Adventif. Keterangan: Angka-angka di atas bar yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak

    berbeda nyata pada 0,01 DMRT.

  • 47

    Gambar 17 dan 18 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ZPT

    yang diberikan baik BAP maupun TDZ pada dua eksplan yang dicobakan, maka

    rata-rata jumlah daun yang dihasilkan semakin menurun. Penambahan BAP atau

    TDZ yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan jumlah daun. Hal ini

    menunjukkan bahwa penambahan BAP 0,50 ppm atau TDZ 0,25 ppm pada media

    mampu merangsang pembelahan sel di meristem apikal tunas dibanding pada

    konsentrasi yang lebih tinggi. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

    Herawan dan Hardi (2005) pada tanaman murbei, semakin tinggi konsentrasi ZPT

    yang diberikan maka jumlah daun murbei yang dihasilkan semakin rendah.

    Suryowinoto (1996), menyatakan bahwa untuk meningkatkan jumlah daun

    dalam kultur jaringan sering diperlukan ZPT, karena akan mempengaruhi

    pertumbuhan termasuk pembelahan dan pembesaran sel, penambahan plasma dan

    diferensiasi sel untuk kemudian membentuk organ-organ lain seperti tunas, akar,

    daun dan sebagainya.

    Menurut Strabala et al. (1996), auksin dan sitokinin berperan dalam

    perkembangan primordia daun, dan posisi inisiasi primordia daun juga

    dipengaruhi oleh transport auksin. Kemudian menurut Salisbury dan Ross (1995),

    transportasi auksin bersifat basipetal dari tempat sintesisnya yaitu tunas apikal

    atau pucuk. Pada tunas apikal pertumbuhan daun cenderung mengarah kebagian

    terminal. Akibatnya terjadi dominasi apikal yang menghambat pertumbuhan tunas

    aksilar. Pada tunas aksilar arah pertumbuhan daun sering mengarah ke bagian

    lateral. Apabila tunas apikal dibuang, sumber auksin endogen hilang, maka

    pertumbuhan daun pada tunas aksilar mengarah kebagian terminal menggantikan

    pertumbuhan tunas apikal. Pertumbuhan planlet selengkapnya dapat dilihat pada

    Gambar 19.

  • 48

    A B

    F

    C

    D E

    Gambar 19. Planlet Gaharu Berumur 12 MST pada Media MS. Keterangan: A: BAP 0,50 ppm dan B: BAP 0,75 ppm Eksplan Tunas Adventif, C: BAP 0,50 ppm

    Eksplan Tunas Aksilar, D: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Aksilar, E: TDZ 0,75 ppm dan F: TDZ 0,25 ppm Eksplan Tunas Adventif.

    Visualisasi Perkembangan Eksplan

    Visualisasi perkembangan eksplan dilakukan sejak hari keenam eksplan

    ditanam di dalam media perlakuan, sedangkan lima hari sebelumnya tidak

    dilakukan pengamatan karena eksplan dalam tahap inkubasi dalam ruangan gelap.

    Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan dua sumber eksplan sejak awal

    hingga akhir penelitian. Pengamatan pertama dilakukan terhadap jumlah eksplan

    yang terkontaminasi dan pencokelatan. Dari 168 eksplan yang ditanam, 18

    (21,42%) eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan 11 (13,09%) eksplan dari

    tunas adventif yang terkontaminasi. Jumlah yang mengalami pencokelatan hanya

    terjadi pada eksplan yang berasal dari tunas aksilar yaitu 6 (7,14%) (Gambar 20).

    Eksplan tunas adventif tidak mengalami pencokelatan karena hasil kultur in vitro

    dan masih muda.

  • 49

    7.14

    0

    21.42

    13.09

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    PencokelatanEksplan Aksilar

    PencokelatanEksplanAdventif

    Kontamekslpan aksilar

    Kontameksplanadventif

    Pers

    enta

    se (%

    )

    Gambar 20. Persentase Pencokelatan dan Terkontaminasi Eksplan dari Tunas

    Aksilar dan Adventif yang Ditanam Pada Media MS Mengandung BAP atau TDZ.

    Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap proses perkembangan eksplan,

    yang mana dari dua sumber eksplan yang ditanam baik eksplan tunas aksilar

    maupun tunas adventif memiliki proses perkembangan yang berbeda. Perbedaan

    ini disebabkan oleh daya adaptasi eksplan pada lingkungan tempat tumbuh yang

    baru sangat mempengaruhi perkembangan eksplan. Pada eksplan yang berasal

    dari tunas aksilar, perkembangan eksplan didahului oleh pembengkokan sehingga

    membentuk seperti lingkaran atau menggulung (Gambar 21 A), sedangkan pada

    eksplan yang berasal dari tunas adventif, proses perkembangan eksplan langsung

    membesar dan memanjang (Gambar 21 B).

    A B

    Gambar 21. Perbedaan Perkembangan Eksplan dalam Botol Kultur. Eksplan Tunas Asilar (A) dan Eksplan Tunas Adventif (B).

    Tahap selanjutnya, kedua eksplan tersebut pada bagian pangkal atau bagian

    pemotongan terlihat mulai membengkak menyerupai bonggol yang berwarna

    putih kekuningan, sedangkan pada bagian ujungnya mulai membentuk tunas

  • 50

    pertama, selanjutnya pada bonggol terlihat mata-mata tunas yang akan muncul

    menjadi tunas.

    Pada setiap eksplan yang ditanam, baik pada media yang diberi perlakuan

    ZPT BAP maupun TDZ, terlihat proses perkembangan eksplan yang berbeda-

    beda, hal ini disebabkan oleh eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas

    dan meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya, terutama eksplan

    yang berasal dari tunas aksilar. Oleh karena itu tahap awal perkembangan eksplan

    terlihat lebih bervariasi dalam proses pembentukan tunas. Hasil pengamatan

    menunjukkan bahwa eksplan yang berasal dari tunas aksilar lebih lambat dalam

    induksi atau pembentukan tunas dibandingkan eksplan yang berasal dari tunas

    adventif. Tunas pertama terbentuk pada minggu ke 5 pada eksplan yang berasal

    dari tunas aksilar dan minggu ke 3 pada eksplan yang berasal dari tunas adventif.

    Lambatnya proses pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tunas

    aksilar diduga karena eksplan berasal dari bibit yang diambil dari rumah kaca,

    kemudian dilakukan sterilisasi dengan bahan sterilan, menyebabkan eksplan

    tercekam akibat perlakuan mekanik sebelum inokulasi sehingga membutuhkan

    waktu untuk beradaptasi pada kondisi dan lingkungan yang baru. Selain itu

    eksplan yang berasal dari lapangan yang awalnya pada lingkungan autotrof

    menjadi heterotrof. Berbeda dengan eksplan yang berasal dari tunas adventif.

    Pada awalnya sudah berasal dari dalam botol atau lingkungan aseptik, sehingga

    apabila dipindahkan pada lingkungan baru tidak terlalu stress dan tidak

    membutuhkan waktu yang cukup lama untuk beradaptasi. Kondisi ini akan terjadi

    apabila eksplan yang ditanam tidak terkontaminasi.

    Secara visual proses perkembangan eksplan sampai menjadi planlet antara

    eksplan yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif terlihat ada perbedaan.

    Perbedaan ini terlihat dari bentuk bonggol, jumlah tunas, panjang tunas, jumlah

    daun, dan bentuk daun (Tabel 6). Pengamatan bentuk bonggol terlihat bahwa

    eksplan tunas aksilar memiliki bentuk bonggol agak lebih besar dibanding eksplan

    tunas adventif. Tetapi jumlah tunas dan jumlah daun lebih banyak dihasilkan oleh

    eksplan tunas adventif. Untuk panjang tunas, eksplan tunas aksilar lebih panjang

    dibanding eksplan tunas adventif. Berdasarkan jumlah daun yang terbentuk

    menunjukkan bahwa planlet yang berasal dari eksplan tunas aksilar lebih panjang

  • 51

    dan lebar-lebar, sedangkan eksplan tunas adventif terlihat lebih kecil-kecil dan

    panjang.

    Tabel 6. Perbedaan Visualisasi Perkembangan Eksplan Sampai 12 MST.

    Eksplan No. Bagian Yang Diamati Tunas Aksilar Tunas Adventif 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

    Jumlah terkontaminasi Pencokelatan Bentuk eksplan umur 6 HST Bentuk bonggol Muncul tunas Jumlah tunas Panjang tunas Jumlah daun Bantuk daun Bakal tunas / mata tunas Warna planlet

    21.42 % ada melengkung lebih besar minggu ke 5 banyak lebih panjang banyak lebar dan panjang lebih sedikit hijau

    13.09 % tidak ada memanjang besar minggu ke 3 lebih banyak panjang lebih banyak kecil dan panjang lebih banyak hijau

    Sub Penelitian II. Evaluasi Stabilitas Genetik

    Umum

    Ekstraksi DNA dilakukan pada daun gaharu yang sudah ditetapkan sebagai

    sampel untuk dianalisis dengan menggunakan teknik RAPD. Jumlah yang

    digunakan adalah sebanyak 22 sampel yang terdiri dari 6 sampel dari pohon

    induk, 4 sampel sebelum dikultur (sebelum diberi perlakuan BAP), 4 sampel hasil

    kultur (hasil perlakuan BAP), 4 sampel sub kultur I dan 4 sampel sub kultur II.

    Sampel diambil dari dua sumber eksplan yang ditanam yaitu yang berasal dari

    tunas aksilar dan yang berasal dari tunas adventif (Gambar 10).

    Ekstraksi DNA dilakukan bertujuan untuk memisahkan atau mengisolasi

    DNA dari material daun yang lainnya, agar diperoleh DNA yang murni. Proses ini

    diawali dengan penggerusan yaitu proses pemecahan dinding sel yang dibantu

    oleh larutan CTAB ekstraksi untuk melisis dinding sel dan aktif pada kondisi

    panas (65C), CTAB juga dapat menyebabkan protein dalam sel terdenaturasi.

    Dalam penelitian ini, penggerusan daun gaharu dilakukan secara mekanik dengan

    menggunakan mortar dan pestel. Penggerusan secara mekanik dengan

    menggunakan metode ekstraksi CTAB (Murray and Thompson, 1980 dalam

    Rimbawanto et al. 2004). Metode ini mengunakan buffer ekstraksi yang terdiri

  • 52

    dari 10% CTAB, I M Tris pH 9, 5 M NaCl, Mercaptoethanol, psd H2O dan 0,5 M

    EDTA.

    Daun gaharu yang berasal dari pohon induk dan dari bibit proses

    penggerusan dilakukan lebih lama karena daun agak tua dan banyak mengandung

    serat, sebaliknya pada daun gaharu dari tunas adventif atau hasil kultur jaringan

    lebih mudah karena daun relatif masih muda dan sedikit mengandung serat. Untuk

    lebih memudahkan dalam proses penggerusan dan untuk mengurangi aktivitas

    enzim selama proses ekstraksi pada daun atau sampel yang lebih tua sebaiknya

    penggerusan dilakukan dengan menggunakan nitrogen cair. Dalam penelitian ini

    tidak menggunakan nitrogen cair, karena sampel yang digunakan relatif muda dan

    masih mudah dalam proses penggerusan.

    Selanjutnya dilakukan penambahan PVP 2% yang berfungsi untuk

    menghambat enzim polifenol oksidase yang dapat mendegradasi rantai DNA dan

    menyebabkan teroksidasinya senyawa fenol. Senyawa fenol yang teroksidasi

    ditandai dengan warna cokelat pada jaringan tanaman yang akan diisolasi. Sampel

    daun gaharu yang lebih tua menghasilkan warna cairan agak kekuningan,

    sedangkan sampel daun gaharu yang muda terlihat lebih bening. Hal ini

    menunjukkan bahwa daun gaharu yang tua masih mengandung senyawa polifenol

    di dalam jaringannya. Larutan NaCl dalam bufer berfungsi sebagai larutan

    isotonik yang memberikan tekanan osmotik bagi DNA dalam sel sehingga DNA

    tidak rusak, sedangkan larutan basa tris memberikan kondisi pH yang optimum.

    Setelah dilisis, DNA dipisahkan dari senyawa-senyawa pengotor seperti protein

    dan polisakarida dengan larutan klorofrom karena klorofrom mampu

    mengendapkan protein yang terdenaturasi dan polisakarida melalui sentrifugasi.

    Protein dan sebagian polisakarida akan terendapkan dalam fase organik sedangkan

    asam nukleat larut dalam fase air. Pemurnian dengan larutan klorofrom ini

    dilakukan dua kali agar didapatkan DNA murni. Pemurnian selanjutnya dengan

    menggunakan etanol dan isopropanol. Pencucian dengan etanol dimaksudkan

    untuk memisahkan senyawa lain yang masih ada seperti larutan CTAB dan

    garam-garam yang menempel pada DNA.

  • 53

    DNA Pohon Induk Hasil Ekstraksi

    Enam sampel yang digunakan untuk diekstraksi yang berasal dari pohon

    induk menghasilkan resolusi pita DNA yang lebih seragam, hanya sampel nomor

    satu yang memiliki resolusi pita yang kurang jelas (Gambar 22). Sehingga untuk

    analisis PCR selanjutnya dilakukan pengenceran DNA, untuk sampel nomor 1

    dilakukan pengenceran hingga 90 kali (1 l DNA dan 89 l aquabides),

    sedangkan untuk sampel nomor 2 sampai 6 dilakukan pengenceran hingga 100

    kali (1 l DNA dan 99 l aquabides).

    pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

    80x 90x 90x 90x 90x 90x

    Gambar 22. Profil DNA Hasil Ekstraksi Pohon Induk, Jumlah Sampel (pi1-pi6). Perbandingan Pengenceran DNA (80x).

    DNA Hasil Ekstraksi Sampel Sebelum Kultur Hingga Sub Kultur II

    Hasil 16 sampel yang diekstraksi terlihat adanya resolusi pita DNA yang

    bervariasi. Sampel nomor ad3 dan ak5 terlihat resolusi pita DNA yang paling

    tipis. Selanjutnya, pada sampel yang berasal dari eksplan tunas adventif (ad) ada 4

    sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas yaitu pada sampel

    dengan kode ad1, ad2, ad7 dan ad8, sedangkan yang berasal dari tunas aksilar (ak)

    ada 5 sampel yang memberikan resolusi pita DNA yang paling jelas ditunjukan

    oleh sampel dengan kode ak1, ak2, ak3, ak7 dan ak8 (Gambar 23).

  • 54

    M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8

    Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)

    80x 80x 20x 50x 40x 60x 80x 80x 80x 80x 80x 60x 30x 30x 80x 50x Gambar 23. Profil DNA Gaharu Hasil Ekstraksi sebelum Kultur hingga Sub

    Kultur II. Keterangan: M: Marker, 80x: Perbandingan Pengenceran DNA. ad1-ad8: Eksplan dari Tunas

    Adventif dan ak1-ak8: Eksplan dari Tunas Aksilar.

    Primer Hasil Seleksi

    Setiap organisme hidup memiliki DNA yang spesifik sehingga dalam

    penelitian ini perlu dilakukan seleksi primer untuk mendapatkan primer yang

    cocok yang digunakan selanjutnya dalam proses RAPD. Primer merupakan

    sekuen DNA dengan urutan basa tertentu yang dibutuhkan oleh DNA cetakan

    untuk pembentukan DNA baru. Primer dengan urutan basa yang komplemen

    dengan urutan basa DNA cetakan akan diperpanjang oleh enzim polimerase DNA

    dengan menambahkan dNTP sehingga membentuk DNA baru. Rimbawanto

    (2004), menyatakan bahwa seleksi primer (primer screening) dimaksudkan untuk

    mencari random primer yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak

    semua nukleotide primers dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif)

    dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik

    Dalam penelitian ini digunakan primer dari Operon Technology. Dari 10

    primer acak yang diseleksi dengan cara amplifikasi terhadap DNA daun gaharu

    sebelum dikultur sampai pada subkultur ke 2, diperoleh 9 primer yang

    menghasilkan profil pita amplifikasi yang bervariasi dan mempunyai ukuran

    antara 200 sampai dengan 1500 pasang basa (pb) yaitu OPO-06, OPO-09, OPO-

    10 , OPO-14, OPO-18, OPY-02, OPY-06, OPY-08, OPY-11, sedangkan satu

    primer OPY-09 tidak teramplifikasi (Gambar 24). Dua primer yang menghasilkan

  • 55

    pita yang lebih jelas dan jumlah pita polimorfik yang lebih tinggi yaitu OPY-06

    dan OPY-08 (Gambar 24) dan (Tabel 7), yang selanjutnya digunakan untuk

    mengamplifikasi DNA dari 16 sampel daun gaharu yang diteliti.

    M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Gambar 24. Profol DNA Hasil Seleksi 5 Primer OPO dan 5 Primer OPY Sampel sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.

    Keterangan: M: Marker, 1: OPO-06, 2: OPO-09, 3: OPO-10 , 4: OPO-14, 5: OPO-18, 6: OPY-02, 7: OPY-06, 8: OPY-08, 9: OPY-09 dan 10: OPY-11.

    Tabel 7. Jenis Primer, Urutan Basa dan Jumlah Pita DNA Genotipe Gaharu

    No Primer Urutan Basa Jumlah Pita Polimorfik 1. OPO-06 5CCACGGGAAG3 3 2. OPO-09 5TCCCACGCAA3 2 3. OPO-10 5TCAGAGCGCC3 4 4. OPO-14 5AGCATGGCTC3 4 5. OPO-18 5CTCGCTATCC3 3 6. OPY-02 5CATCGCCGCA3 3 7. OPY-06 5AAGGCTCACC3 5 8. OPY-08 5AGGCAGAGCA3 5 9. OPY-09 5GTGACCGAGT3 0

    10. OPY-11 5AGACGATGGG3 3

    Tidak terjadinya amplifikasi segmen DNA (eksplan tunas aksilar dan tunas

    adventif) dengan primer di atas disebabkan oleh DNA genom (eksplan tunas

    aksilar dan adventif) tidak mempunyai sekuen komplemen dengan primer-primer

    tersebut, karena salah satu syarat untuk terjadinya amplifikasi DNA dengan

    primer arbitrary tunggal adalah kedua utas mempunyai sekuen komplemen dengan

  • 56

    primer yang digunakan. Dalam penelitian ini pencampuran DNA dilakukan secara

    komposit terhadap 16 sampel yang dianalisis. DNA yang tidak teramplifikasi

    diduga terjadi karena tingkat kemurnian DNA template hasil ekstraksi masih

    rendah atau masih terdapat senyawa kontaminan seperti polifenol yang dapat

    menghambat terjadinya reaksi PCR.

    Dalam penelitian ini pencampuran DNA contoh (bulking) didasarkan pada

    asumsi bahwa jika primer yang digunakan dapat mengamplifikasi bagian genom

    yang berbeda antara 16 sampel/genom tanaman maka perbedaan tersebut akan

    terdeteksi pada pola pita yang dihasilkan. Primer yang menghasilkan amplifikasi

    pita DNA yang sedikit dan polimorfis yang rendah tidak digunakan untuk analisis

    keragaman genetik tanaman dengan metode RAPD, sehingga dalam penelitian ini

    hanya digunakan 2 primer yang memberikan resolusi pita-pita yang tajam dan

    jelas untuk dianalisis RAPD pada 16 sampel daun gaharu sebelum hingga sub

    kultur II yaitu OPY-06 dan OPY-08.

    Resolusi dari setiap pita DNA hasil amplifikasi tidak selalu terlihat dengan

    jelas. Hal ini disebabkan oleh jumlah fragmen yang diamplifikasi terdapat pada

    tanaman. Makin banyak fragmen DNA yang teramplifikasi pada genom tanaman,

    maka resolusi pita DNA yang dihasilkan akan semakin jelas. Pada genom

    tanaman lebih kurang 90% dari DNA genom merupakan urutan berulang

    (Weising et al. 1995). Disamping itu adanya kompetisi tempat penempelan primer

    pada DNA genom menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam

    jumlah yang banyak dan fragmen lainya sedikit. Faktor lain yang mempengaruhi

    DNA hasil amplifikasi terlihat tidak jelas adalah kemurnian dan konsistensi

    cetakan DNA, DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawa-

    senyawa seperti polisakarida dan polifenol, dan konsentrasi cetakan DNA yang

    terlalu kecil sering menghasilkan penanda RAPD yang kabur dan redup.

    Hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan primer yang sama pada

    individu dalam satu populasi yang sama tidak semuanya memiliki intensitas,

    jumlah dan ukuran pita yang sama. Perbedaan jumlah dan ukuran pita DNA yang

    dihasilkan oleh setiap primer menggambarkan kompleksitas genom tanaman

    (Grattapaglia et al. 1992). Karena pita DNA merupakan hasil berpasangannya

    nukleotida primer dengan nukleotida genom tanaman, maka semakin banyak

  • 57

    primer yang digunakan akan semakin terwakili bagian-bagian genom dan semakin

    tergambar keadaan genom tanaman yang sesungguhnya. Sebaran situs

    penempelan primer pada DNA genom, jumlah fragmen yang diamplifikasi, serta

    kemurnian dan konsentrasi DNA genom dalam reaksi mempengaruhi intensitas

    pita DNA hasil amplifikasi (Weising et al. 1995).

    Adanya perbedaan hasil intensitas ini disebabkan karena 1) makin banyak

    fragmen DNA yang diamplifikasi pada tanaman genom, maka intensitas pita DNA

    yang dihasilkan semakin tegas, 2) adanya kompetisi tempat penempelan primer

    pada DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi

    dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit, 3) kemurnian dan konsentrasi

    cetakan DNA mempengaruhi efisiensi amplifikasi. DNA yang memiliki tingkat

    kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik

    seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang kabur.

    Secara teoritis polimorfisme yang dideteksi berdasarkan RAPD merupakan

    hasil dari beberapa tipe kejadian, yaitu 1) insersi DNA berukuran besar pada

    fragmen diantara sepasang situs penempelan primer yang mengakibatkan jarak

    amplifikasi terlalu besar sehingga fragmen tersebut hilang atau tidak

    teramplifikasi, 2) delesi pada bagian genom yang membawa satu atau dua situs

    penempelan primer sehingga mengakibatkan hilangnya fragmen, 3) substitusi

    nukleotida yang mengubah homologi antara primer dengan DNA genom sehingga

    menyebabkan hilangnya fragmen atau mengubah ukuran fragmen, 4) insersi atau

    delesi fragmen kecil DNA yang dapat mengubah ukuran fragmen yang

    diamplifikasi (Weising et al. 1995).

    DNA Pohon Induk Hasil RAPD

    Dalam penelitian ini primer yang menghasilkan amplifikasi pita DNA yang

    sedikit dan polimorfisme yang rendah tidak digunakan untuk analisis keragaman

    genetik dengan metode RAPD. Dua primer yang digunakan dalam proses

    amplifikasi sampel DNA dari pohon induk (pi1 sampai dengan pi6) yaitu OPY-06

    dan OPY-08 (Tabel 7). Penggunaan dua primer ini didasarkan atas seleksi

    terhadap 10 primer yang telah dilakukan sebelumnya. Dua primer ini dianggap

    menghasilkan amplifikasi yang lebih banyak dibanding 8 primer lainnya.

  • 58

    Berdasarkan hasil analisis dari dua primer yang digunakan untuk PCR DNA

    pohon induk memperlihatkan pola pita yang dihasilkan cukup bervariasi seperti

    yang terlihat pada Gambar 25.

    M pi1 pi2 pi3 pi 4 pi5 pi6

    A

    M pi1 pi2 pi3 pi4 pi5 pi6

    B

    200 pb

    1300 pb 1000 pb

    300 pb

    1700 pb

    1000 pb

    Gambar 25. Profil DNA Pohon Induk Hasil RAPD. Keterangan: M: Marker, A: Primer OPY-06, B: Primer OPY-08 dan pi1-pi6: Jumlah Sampel

    Profil pita DNA pohon induk hasil amplifikasi dengan setiap primer untuk

    setiap sampel pohon gaharu diinterpretasikan sebagai lokus untuk ukuran pita

    yang sama. Lokus tersebut diubah dalam bantuk data biner yang digunakan untuk

    menyusun matriks kemiripan. Berdasarkan Gambar 25 di atas, maka dilakukan

    Cluster analysis untuk mengelompokan aksesi-aksesi yang diuji berdasarkan

    kedekatan kekerabatannya. Sehingga dari Gambar 25 diperoleh dendogram

    kemiripan genetik pohon induk seperti yang terlihat pada Gambar 26.

  • 59

    pi1

    pi2

    pi3

    pi4

    pi5

    Coefficient

    pi6

    0,00 0,18 0,37

    Gambar 26. Dendogram Kemiripan Genetik 6 Sampel dari Populasi Pohon Induk. 0,55 0,73

    Gambar 26 adalah dendogram sampel dari populasi pohon induk yang

    menunjukkan bahwa dari 6 sampel yang dianalisis terdapat 5 sampel yang

    membentuk satu kelompok besar (pi2 sampai dengan pi6) dan satu sampel

    terpisah (pi1). Hal ini menunjukkan bahwa hanya lima sampel yaitu pi2 hingga

    pi6 yang memiliki tingkat kekerabatan dan jarak genetik yang lebih dekat yaitu 0

    sampai dengan 0,37, sedangkan sampel pi1 terdapat pada jarak genetik 0,37

    sampai dengan 0,73. Jarak genetik yang terkecil ditunjukkan oleh sampel pi5

    dengan pi6 yaitu nol (Lampiran 3A).

    Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 6 sampel dari pohon induk

    memiliki nilai rata-rata he (heterozigositas harapan) sebesar 24,54% dengan lokus

    polimorfik 69,44%. Populasi pohon induk menghasilkan jarak pasang basa antara

    200 pb sampai 1400 pb untuk primer OPY-06 dan 300 pb sampai 2000 pb untuk

    primer OPY-08 dengan 19 lokus untuk OPY-06 dan 17 lokus untuk OPY-08

    (Lampiran 5). Ini mengindikasikan bahwa 6 individu dalam populasi tersebut

    memiliki variasi genetik yang cukup tinggi. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem

    perkawinan tanaman gaharu/pohon induk, tanaman gaharu adalah jenis tanaman

    biseksual atau hermaprodit yang menghasilkan gamet jantan dan betina pada

    tanaman yang sama. Gamet dari tanaman yang sama mempunyai potensi untuk

    bertemu dan bersatu membentuk zigot. Hal ini dapat terjadi dalam satu bunga

    sering disebut menyerbuk sendiri (selfing), antar bunga dalam satu individu

    (Geitonogami) atau penyerbukan dari tanaman yang berbeda (Xenogami)

  • 60

    (Finkeldey, 2005). Jenis pohon yang tumbuh dalam kerapatan populasi yang

    tinggi lebih bervariasi dibanding kerapatan populasinya rendah, tetapi nilai he

    dapat tinggi untuk banyak jenis walaupun pada populasi dengan kerapatan rendah.

    Tabel 8. Nilai Rata-rata na, ne dan he untuk 6 Sampel Daun Gaharu Pohon Induk

    Jumlah Sampel na ne he Rata-rata St. Dev

    6

    1,6944 0,4672

    1,3996 0,3262

    0,2454 0,1803

    na: Jumlah allel yang diamati, ne: Jumlah allel yang efektif, he: Keragaman genetik. Jumlah lokus polimorfik 25 dan persentase lokus polimorfik 69,44%. Dalam penelitian ini, populasi pohon induk untuk analisis keragaman

    genetik ditanam pada areal tidak luas dan jumlah individu yang ditanam cukup

    rapat hanya berjarak 3 sampai 4 meter (Gambar 27), dengan demikian

    kemungkinan terjadinya perkawinan silang (open pollination) antar individu

    cukup besar sehingga dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik pada

    keturunan berikutnya.

    Gambar 27. Populasi Pohon Induk Tanaman Gaharu di Desa Cangkorawok, Bogor.

    DNA Hasil RAPD Sebelum Hingga Sub Kultur II

    Dua dari sepuluh primer hasil seleksi yang digunakan yaitu OPY-06 dan

    OPY-08 dapat mengamplifikasi DNA tanaman gaharu, baik sampel yang berasal

    dari tunas aksilar (bibit) maupun sampel yang berasal dari tunas adventif (planlet).

    Pada gambar 25 terlihat 16 sampel yang diamplifikasi dengan primer OPY-06 dan

    pada gambar 26 dengan primer OPY-08. Nomor sampel ad1 sampai dengan ad8

    adalah eksplan berasal dari tunas adventif (planlet) dan nomor sampel ak1 sampai

    dengan ak8 adalah eksplan berasal dari tunas aksilar (bibit).

  • 61

    Amplifikasi dengan mengunakan dua primer yaitu OPY-06 dan OPY-08

    menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran yang bervariasi yaitu 225 pb sampai

    dengan 1200 pb pada OPY-06 dan 325 pb sampai 1200 pb pada OPY-08 (Gambar

    28 dan 29). Jumlah pasang basa tersebut dihitung berdasarkan jumlah lokus yang

    dihasilkan dari proses amplifikasi DNA. Perbedaan hasil amplifikasi karena

    adanya perbedaan jumlah tempat penempelan primer dan jarak antara dua primer

    yang menempel pada DNA cetakan, sedangkan untuk perbedaan ketajaman dari

    intensitas pita DNA yang terlihat merupakan hasil dari banyaknya situs

    penempelan yang serupa dari sekuen DNA berulang.

    Variasi kuantitas DNA hasil amplifikasi dicerminkan oleh variasi intensitas

    pendaratan pita DNA di dalam gen. Semakin banyak fragmen DNA maka pita

    DNA akan semakin jelas di atas sinar ultra violet. Menurut Finkeldey (2005),

    amplifikasi dari potongan-potongan tersebut juga tergantung pada ada tidaknya

    sekuensi komplementer terhadap primer pendek, sehingga penanda RAPD ini

    hanya bersifat dominan dan tidak mungkin mengenali individu yang bersifat

    heterozigot.

    DNA hasil PCR sampel mulai dari sebelum hingga sub kultur II pada dua

    sumber eksplan, selanjutnya dilakukan skoring terhadap ada atau tidaknya pita

    yang teramplifikasi, hal ini bertujuan untuk mendapatkan nilai he dalam individu

    maupun populasi. Menurut Finkeldey (2005), nilai he ditentukan berdasarkan

    struktur alelik, ditambahkan juga bahwa suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika

    frekuensi dari alel yang paling sering ditemukan adalah kurang dari 95%.

    Penggunaan primer OPY-06 menghasilkan 19 lokus dan OPY-08

    menghasilkan 17 lokus (Lampiran 5). Masing-masing sumber eksplan

    menunjukkan perbedaan jumlah pita yang dihasilkan mulai dari sebelum kultur

    hingga sub kultur II. Seperti yang terlihat pada bibit pertama (ak1) dengan primer

    OPY-06 hanya menghasilkan 9 lokus yang diberi nilai 1 yang memperlihatkan

    adanya pita DNA, sedangkan sisanya 10 lokus tidak memperlihatkan pita DNA

    diberi nilai 0, dan selanjutnya untuk OPY-08 masih pada bibit pertama

    menghasilkan 5 lokus yang diberi nilai 1 dan 12 lokus diberi nilai nol, perubahan

    genetik sebelum hingga sub kultur II tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.

  • 62

    Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)

    Gambar 28. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-06

    Gambar 29. Profil Pita DNA Gaharu Hasil RAPD dengan Primer OPY-08 Keterangan Gambar 25 dan 26. (ad1, ad3, ad5, ad7): sampel eksplan tunas adventif, sebelum

    hingga sub kultur II dengan perlakuan BAP 0,5 ppm; (ad2, ad4, ad6, ad8): eksplan tunas adventif, sebelum hingga sub kultur II perlakuan BAP 1,0 ppm, dan (ak1, ak3, ak5, ak7): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP 0,5 ppm; (ak2, ak4, ak6, ak8): eksplan tunas aksilar, sebelum hingga sub kultur II adalah perlakuan BAP 1,0 ppm.

    Banyaknya jumlah lokus yang dihasilkan dari dua primer tersebut

    merupakan penggabungan dari hasil skoring sampel pohon induk dengan sampel

    325 pb

    700 pb 1000 pb 1200 pb

    M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8

    Eksplan Tunas Aksilar (ak) Eksplan Tunas Adventif (ad)

    M 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8

    225 pb

    750 pb 1000 pb 1200 pb

  • 63

    sebelum hingga sub kultur II. Terlihat bahwa jumlah DNA pohon induk yang

    teramplifikasi menghasilkan jumlah lokus yang lebih banyak dibanding DNA

    yang berasal dari sampel sebelum hingga sub kultur II (Gambar 25, 28, 29),

    meskipun analisis RAPD dilakukan secara terpisah.

    Untuk melihat perbedaan nilai he pada masing-masing tahapan mulai dari

    pohon induk, sebelum dikultur, hasil kultur, sub kultur I dan subkultur II pada dua

    sumber eksplan yang diteliti yaitu eksplan tunas aksilar (bibit) dan eksplan tunas

    adventif (planlet) dapat dilihat pada Tabel 9.

    Tabel 9. Perbedaan Nilai Heterozigositas Harapan (he) Per Tahapan

    Bibit 1 Bibit 2 Planlet 1 Planlet 2 Tahapan Kode Nomor Sampel he

    Pohon Induk pi1 pi6 0,2454 Sebelum Kultur ak1 ak2 ad1 ad2 0,0729

    Hasil Kultur ak3 ak4 ad3 ad4 0,0833 Sub Kultur I ak5 ak6 ad5 ad6 0,0903 Sub Kultur II ak7 ak8 ad7 ad8 0,0382

    Keterangan: ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar dan ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif.

    Pada Tabel 9 terdiri dari 5 tahapan kultur, tahapan sebelum kultur hingga

    sub kultur II terdiri dari 4 sampel per tahapan. Pada tahapan pertama yaitu ak1,

    ak2, ad1 dan ad2 yang memiliki nilai he = 0,0729, selanjutnya terjadi peningkatan

    nilai he pada tahap hasil kultur dan sub kultur I berturut-turut 0,0833 dan 0,0903

    atau 8,33% dan 9,03%. Namun pada tahap sub kultur II terjadi penurunan nilai he

    yang begitu signifikan yaitu 0,0382 atau 3,82%. Nilai he tertinggi dihasilkan oleh

    sampel dari pohon induk yaitu 0.2454 atau 24,54%.

    Besarnya keragaman genetik dalam setiap tahapan ditentukan berdasarkan

    hubungan kemiripan genetik antara individu dengan individu lain dalam tahapan

    yang sama, dengan cara membandingkan pita DNA dari setiap individu tanaman.

    Berdasarkan pita DNA gaharu hasil amplifikasi dengan menggunakan dua primer

    acak yang terseleksi, ditentukan matrik kemiripan genetik (matrik jarak genetik)

    untuk menentukan hubungan kemiripan genetik antar individu dan antar tahapan

    (Lampiran 3A-F).

    Jika dilakukan perbandingan keragaman genetik dari pohon induk dengan

    tahap sebelum hingga sub kultur II pada dua sumber eksplan yang diteliti, terlihat

  • 64

    berbeda sangat nyata yaitu untuk pohon induk 0,2454 atau 24,54%, sedangkan

    nilai pada semua tahap hanya 0,0968 atau 9,68%. Hal ini dapat dikatakan pada

    tingkat populasi induk variasi genetik pohon induk gaharu lebih tinggi dibanding

    pada semua tahap kultur. Variasi genetik pada tahap sebelum hingga subkultur II

    hanya berkisar antara 3,82% - 9,03%. Nilai tertinggi diperoleh pada tahap sub

    kultur II dan yang terendah pada tahap subkultur II (Tabel 9).

    Pada tahap sebelum kultur, hasil kultur dan sub kultur I terjadi peningkatan

    nilai he, meskipun tidak signifikan tetapi dapat diduga bahwa terjadi perubahan

    genetik pada tiga tahapan kultur jaringan tersebut. Meskipun variasi genetik atau

    variasi somaklonal yang terjadi jauh lebih rendah dibanding dengan variasi

    genetik dari pohon induk. Variasi somaklonal dikatakan tidak terjadi apabila nilai

    he pada tahap sebelum kultur hingga sub kultur II adalah tetap atau tidak berubah.

    Untuk melihat jarak genetik dan pengelompokan dari tiap tahapan tersebut dapat

    dilihat pada Gambar 30.

    pi1

    SBK

    HK

    SubK1

    SubK2

    0,01 0,10 0,18 0,26 0,34

    Coefficient

    Gambar 30. Dendogram Kemiripan Genetik untuk Setiap Tahapan mulai dari Pohon Induk, sebelum Kultur hingga Sub Kultur II.

    Keterangan. pi: Pohon Induk, SBK: Sebelum Kultur, HK: Hasil Kultur, SubK1: Sub Kultur I dan SubK2: Sub Kultur II.

    Gambar 30 memperlihatkan bahwa sampel yang berasal dari tahap sebelum

    kultur hingga sub kultur II membentuk satu kelompok besar, sedangkan sampel

    dari pohon induk membentuk garis tersendiri, tetapi masih memiliki hubungan

    dengan kelompok sebelum kultur hingga sub kultur II. Jarak genetik yang

  • 65

    terkecil terlihat pada tahap hasil kultur (HK) dengan Sub Kultur I (SubK1) yaitu

    0.0142, dan jarak genetik yang tertinggi dihasilkan antara pohon induk (pi)

    dengan tahap Sub Kultur II (SubK2) yaitu 0.3654 (Lampiran 3F). Kemiripan

    genetik untuk masing-masing tahapan dapat dilihat pada Lampiran 3A-E.

    Skirvin et al. (1993) dalam Soedjono (2003), menyatakan bahwa keragaman

    dapat terjadi karena pembiakan vegetatif melalui kultur in vitro menggunakan

    media dengan bahan kimia murni, atau lingkungan yang mengalami gangguan.

    Variasi somaklonal berasal dari kultur sel pucuk, daun, akar atau organ tanaman

    yang lain. Tanaman yang berasal dari variasi somaklonal dinamakan somaklon,

    protoklon untuk yang dari protoplas, gametoklon dari gamet, dan kaliklon yang

    berasal dari kalus. Pada umumnya setiap siklus regenerasi menghasilkan 13%

    variasi somaklonal, meskipun tingkat perbedaannya dari 0 100%. Penggunaan

    mutagen fisika atau kimia dosis tinggi terhadap hasil regenerasi sel seperti kalus,

    protokorm atau eksplan sebelum membentuk plantlet secara in vitro, dapat

    menghasilkan keragaman genetik yang lebih luas (Soertini et al. 1996 dalam

    Soedjono, 2003).

    Sementara itu pada tahap sub kultur II menunjukkan bahwa nilai variasi

    genetik yang diperoleh lebih rendah dibandingkan pada tahap yang lain, hal ini

    diduga mulai terjadi stabilisasi genetik karena media yang digunakan adalah

    media MS tanpa ZPT dan ukuran eksplan yang digunakan pada tahap sub kulur II

    lebih besar dibanding pada waktu penanaman awal. Selain itu, penurunan nilai he

    pada tahap sub kultur II diduga disebabkan oleh pengaruh hormonal mulai

    berkurang, sehingga diduga ada kemungkinan terjadinya aberasi genetik. Yeoman

    dan Mc Leod (1977) dalam Harjadi et a.l (1986), menyatakan bahwa secara

    umum eksplan yang berukuran besar menguntungkan karena jumlah selnya

    banyak sehingga kemungkinan keberhasilan regenerasi dari jaringan yang ditanam

    lebih besar.

    Untuk melihat kemiripan atau perubahan genetik yang terjadi pada bibit 1

    (ak1, ak3, ak5 ak7), bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8), planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) dan

    planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8), mulai dari sebelum dikultur hingga sub kultur II

    dapat dilihat pada dendogram atau Gambar 28, 29, 30 dan 31, sedangkan matrik

    kemiripan genetik dapat dilihat pada Lampiran 4.

  • 66

    Gambar 31 adalah dendogram bibit 1 menunjukkan bahwa ak3 dengan ak7

    dan ak5 dengan ak7 terlihat memiliki kemiripan genetik yang terendah yaitu

    0.0572, sedangkan antara ak1 dengan ak3, ak5 dan ak7 memiliki kemiripan

    genetik 0.1178 (Lampiran 4A). Gambar 32 adalah dendogram bibit 2

    menunjukkan bahwa ak2, ak4 dan ak8 yang memiliki kemiripan genetik yang

    terendah yaitu 0.1178 (Lampiran 4B).

    Gambar 33 dan 34 adalah dendogram dari planlet 1 dan planlet 2, pada

    gambar 33 terlihat bahwa ad3 dengan ad7 dan ad5 dengan ad7 yang memiliki

    kemiripan genetik yang terendah yaitu 0.0572, sedangkan yang tertinggi terdapat

    antara ad1 dengan ad3, ad5 dan ad7 yaitu 0.1178 (Lampiran 4C).

    Secara umum dapat dilihat bahwa bibit 1 (Gambar 31) memiliki bentuk

    dendogram dan nilai kemiripan genetik yang sama dengan planlet 1 (Gambar 33)

    dan bibit 2 (Gambar 32) memiliki bentuk dendogram dan nilai kemiripan genetik

    yang sama dengan planlet 2 (Gambar 34). Hal ini menunjukkan bahwa bibit 1

    dengan planlet 1 memiliki kemiripan genetik yang sama dan tingkat kekerabatan

    yang dekat, begitu juga halnya pada bibit 2 dan planlet 2 yang memiliki kemiripan

    genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat. Nilai dari kemiripan genetik antara

    bibit 1 dengan planlet 1 dan bibit 2 dengan planlet 2 dapat dilihat pada Lampiran

    4.

    ak1

    ak3

    ak7

    ak5

    0,06 0,07 0,09 0,10 0,12

    Coefficient

    Gambar 31. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 1 (ak1, ak3, ak5 ak7) sebelum hingga Sub Kultur II.

  • 67

    ak2

    ak4

    ak8

    ak6

    0,12 0,13 0,15 0,17 0,18

    Coefficient

    Gambar 32. Dendogram Kemiripan Genetik pada Bibit 2 (ak2, ak4, ak6, ak8) sebelum hingga Sub Kultur II

    Gambar 33. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 1 (ad1, ad3, ad5, ad7) sebelum hingga Sub Kultur II

    ad2

    ad4

    ad8

    ad6

    0,12 0,13 0,15 0,17 0,18

    Coefficient

    ad1

    ad3

    ad7

    ad5

    0,06 0,07 0,09 0,10 0,12

    Coefficient

    Gambar 34. Dendogram Kemiripan Genetik pada Planlet 2 (ad2, ad4, ad6, ad8) sebelum hingga Sub Kultur II.

  • 68

    Jarak Genetik Pohon Induk, Sebelum Kultur, Hasil Kultur, Sub Kultur I dan Sub Kultur II

    Berdasarkan penanda RAPD dengan menggunakan 2 primer yang

    diturunkan dari matrik kemiripan genetik pada tanaman gaharu memperlihatkan

    bahwa semua sampel yang diteliti terbagi dalam 3 kelompok (Gambar 35).

    Sampel dari eksplan tunas aksilar dan tunas adventif terlihat berbaur dan

    membentuk dua kelompok yaitu kelompok 1 dan 2, sedangkan sampel yang

    berasal dari pohon induk membentuk satu kelompok yaitu kelompok 3. Hal ini

    menunjukkan bahwa setiap kelompok memiliki tingkat kekerabatan yang dekat.

    Secara umum dapat digambarkan bahwa 6 sampel yang berasal dari pohon

    induk tidak berbaur dengan 16 sampel lainnya yang berasal dari tunas aksilar dan

    tunas adventif. Tetapi sampel yang berasal dari tunas aksilar dan tunas adventif

    terlihat lebih berbaur, karena diantara sampel-sampel tersebut berdasarkan analisis

    RAPD ada yang memiliki kemiripan genetik dan tingkat kekerabatan yang dekat,

    seperti contoh ak3 dan ad2 dalam satu garis yang sama pada kelompok 1 yang

    memiliki nilai kemiripan genetik sama dengan nol (Lampiran 6).

    1

    2

    3

    Gambar 35. Dendogram Kemiripan Genetik Tanaman Gaharu dari Pohon Induk, sebelum hingga Sub Kultur II.

    Keterangan. ak1-ak8: Eksplan Tunas Aksilar, ad1-ad8: Eksplan Tunas Adventif, dan pi1-pi6: Sampel Populasi Pohon Induk.

  • 69

    Hasil analisis RAPD terhadap semua sampel menunjukkan bahwa nilai he

    yang dihasilkan adalah 0,2575 atau 25,25%, sedikit lebih tinggi jika dibandingkan

    dengan nilai he yang berasal dari pohon induk yaitu 0,2454 atau 24,54%, dan

    kedua nilai ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pada 4 tahapan

    yang telah diuraikan di atas yaitu 0,0968 atau 9,68%. Hal ini mengindikasikan

    bahwa variasi genetik yang tertinggi hanya dihasilkan oleh sampel yang berasal

    dari pohon induk. Hal ini diduga disebabkan oleh pohon induk yang tumbuh dan

    berkembang di alam adalah merupakan hasil perkawinan silang dalam maupun

    antar individu pada populasi yang sama. Hasil penelitian Yunanto (2006),

    menunjukkan bahwa populasi alam tanaman Shorea johorensis memiliki

    keragaman genetik lebih tinggi dibanding populasi biji, cabutan, stek dan

    tanaman. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika struktur genetik sebagai akibat

    dari seleksi viabilitas, sehingga tiap siklus tanaman dari benih sampai dewasa

    berbeda-beda. Nilai heterozigositas (he) meningkat seiring dengan perkembangan

    tanaman. Menurut Finkeldey (2005), di alam variasi genetik dapat terjadi karena

    disebabkan oleh mutasi, aliran gen dan migrasi, penghanyutan genetik, seleksi dan

    sistem perkawinan.

    Jika dilihat hasil analisis pada tingkat individu yaitu dari 4 sumber eksplan

    yang digunakan untuk dikultur (bibit 1, bibit 2, planlet 1 dan planlet 2), maka nilai

    variasi genetik yang dihasilkan jauh lebih kecil dibanding pohon induk. Meskipun

    demikian, apabila dilihat hasil analisis variasi genetik per tahapan yaitu dari tahap

    sebelum kultur, hasil kultur, subkultur I dan sub kultur II, terlihat adanya variasi

    antar tahapan. Seperti yang terlihat pada Tabel 9, tahap sebelum kultur 7,29%,

    hasil kultur 8,33%, dan sub kultur I 9,03%, terjadi peningkatan nilai he. Tetapi

    pada sub kultur II turun menjadi 3,82. Dari tahap sebelum hingga sub kultur I

    dapat dikatakan bahwa kultur jaringan dapat menyebabkan perubahan genetik atau

    variasi somaklonal, meskipun tidak terlalu tinggi dibanding pohon induk.

    Terjadinya variasi genetik atau variasi somaklonal pada tahap hasil kultur dan sub

    kultur I diduga disebabkan oleh pengaruh bahan-bahan kimia dan ZPT yang

    terkandung di dalam media kultur, serta pengaruh lain saat proses pertumbuhan

    eksplan.

  • 70

    Pada eksplan tunas aksilar maupun tunas adventif hasil kultur in vitro terjadi

    mutasi, yang mana menurut Poespodarsono (1988), mutasi adalah perubahan

    genetik baik gen tunggal atau sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi dapat

    terjadi pada setiap bagian dan pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi

    pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas, biji

    dan sebagainya. Apabila mutasi terjadi pada sel somatis, maka perubahan hanya

    terjadi pada bagian itu saja dan dapat dilihat pada perkembangan sel atau jaringan

    ini, sedangkan apabila mutasi terjadi pada sel generatif, maka akan terjadi

    perubahan menyeluruh pada tanaman keturunannya.

    Menurut Ancora dan Sannino (1987) dalam Mattjik (2005), keadaan

    eksplan dan keseimbangan ZPT dalam media kultur jaringan dapat mempengaruhi

    kestabilan genetik materi kultur. Kultur jaringan merupakan sumber potensial

    untuk mendapatkan keragaman, yaitu dengan mengatur ZPT dalam komposisi

    media dan lamanya mengkulturkan.

    Jacobsen (1987) dalam Mattjik (2005), menyatakan terdapat tiga cara untuk

    mendapatkan variasi somaklonal dari eksplan yang telah berhasil dikerjakan yaitu

    (1) eksplan yang langsung membentuk tunas dan akar, (2) induksi kalus terlebih

    dahulu kemudian dilanjutkan dengan penanaman sel tunggal dan (3) kultur

    protoplasma. Bahan kimia yang diberikan pada kultur jaringan dapat menjadi

    mutagen, karena akan mengalami penetrasi pada jaringan dan sel, apabila dapat

    mencapai untai DNAnya akan dapat merubah susunan DNA tersebut sehingga

    terjadi mutasi.

    Perubahan susunan maupun jumlah kromosom ini disebut aberasi. Aberasi

    dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu aberasi struktur kromosom yang meliputi

    dilesi, duplikasi, inversi dan translokasi. Kemudian aberasi jumlah kromosom

    yaitu monoploid atau haploid, diploid, triploid dan tetraploid.

    Dalam kasus kultur jaringan yang terjadi adalah mutasi somatik. Kejadian

    ini banyak dipengaruhi oleh keadaan sel itu sendiri. Sel yang melakukan mutasi

    akan membelah, kemudian membentuk kumpulan sel yang berbeda dengan

    induknya, membentuk klon baru yang berbeda dengan induknya. Tanaman baru

    ini bukan hasil rekombinan atau segregesi seperti hasil persilangan.

  • 71

    Ostry et al. (1994), menyatakan bahwa kultur jaringan tanaman dapat

    menampilkan sifat yang tidak stabil pada tingkat karyotipik, biokimia, morfologi

    dan molekuler. Sejumlah eksplan yang di isolasi secara in vitro mengalami

    keragaman somatik secara umum fenomena ini dinamakan variasi somaklonal.

    Dinyatakan juga, bahwa frekuensi terjadinya variasi tersebut sepenuhnya belum

    dipahami, hal ini tergantung dari sumber genotipe tanaman, sumber eksplan,

    komponen media, dan lamanya siklus kultur. Ditambahkan pula oleh Jain (1997),

    menyatakan bahwa tingkat keragaman tersebut juga tergantung dari genotype,

    umur tanaman donor, perubahan sitogenetik, metilasi DNA, tipe eksplan, dan

    hormon tanaman di dalam media kultur.

    Berdasarkan analisis RAPD dapat disimpulkan bahwa variasi somaklonal

    pada eksplan dapat terjadi selama proses pengkulturan sehingga diharapkan dapat

    menghasilkan klon baru yang unggul secara genetik lebih baik dari pada tanaman

    induknya dalam proses pertumbuhan maupun kualitas gaharu yang dihasilkan.

    Untuk mengetahui hal tersebut, tentunya perlu dilakukan penanaman di lapangan.

    Penggunaan teknik analisis RAPD untuk mendeteksi terjadinya variasi

    somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan pernah dilakukan oleh Gajdosova

    et al, (2006) pada tanaman Vaccinium Sp. dan Rubus Sp., menunjukkan bahwa

    kultur jaringan dapat menyebabkan variasi somaklonal. Hal yang sama juga

    pernah diteliti oleh Yulismawati (2006) pada tanaman nenas, menunjukkan bahwa

    dari 20 planlet hasil kultur dengan pemberian ZPT BA dan NAA, terdapat hanya

    satu perlakuan yang sama dengan kontrol yaitu media yang diberi perlakuan BA

    13,32 M yang dikombinasikan dengan NAA 2 M, sedangkan 19 perlakuan

    lainnya terjadi variasi somaklonal. Sehingga dapat dikatakan bahwa media kultur

    yang diberi ZPT sitokinin dan thidiazuron pada level tertentu dapat menyebabkan

    variasi somaklonal.