kesantunan berbahasa pengguna face book

33
KESANTUNAN BERBAHASA PENGGUNA FACE BOOK A. Pendahuluan Jaringan face book saat ini menjadi sebuah media komunikasi yang akrab di kalangan masyarakat. Berdasarkan perkiraan kasar, pengguna face book di seluruh dunia sudah mencapai ratusan juta. Di Indonesia pengguna face book sampai bulan April 2010 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 21.027.660 tumbuh tertinggi kedua di Asia setelah Malaysia (wikipedia.org) Jumlah ini akan terus berkembang karena setiap hari pengguna face book akan terus bertambah. Selain berdampak positif, beberapa kasus penah terjadi sebagai dampak negative penggunaan face book. Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat, dari 100 laporan pengaduan dampak Facebook, 60 kasus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik oleh anak. (Kompas.com, 17 Februari 2010) Empat siswa SMAN 4 Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah. Mereka dituduh menghina salah seorang guru wanita di sekolah itu melalui jejaring sosial Facebook. (Kompas.com, 15 Februari 2010) Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Politisi PKS itu menyayangkan penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi di situs jejaring sosial. (news.okezone.com) Penelitian tentang dampak face book pernah dilakukan. Muhammad Effendi meneliti Fenomena penggunaan facebook di Indonesia (fend-skripsifendighozali.blogspot.com) Gustitia

Upload: jangkrix

Post on 05-Jul-2015

458 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

KESANTUNAN BERBAHASA PENGGUNA FACE BOOK

A. Pendahuluan

Jaringan face book saat ini menjadi sebuah media komunikasi yang akrab di kalangan

masyarakat. Berdasarkan perkiraan kasar, pengguna face book di seluruh dunia sudah

mencapai ratusan juta. Di Indonesia pengguna face book sampai bulan April 2010

pengguna Facebook di Indonesia mencapai 21.027.660 tumbuh tertinggi kedua di Asia

setelah Malaysia (wikipedia.org) Jumlah ini akan terus berkembang karena setiap hari

pengguna face book akan terus bertambah.

Selain berdampak positif, beberapa kasus penah terjadi sebagai dampak negative

penggunaan face book. Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat, dari 100 laporan

pengaduan dampak Facebook, 60 kasus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak

baik oleh anak. (Kompas.com, 17 Februari 2010) Empat siswa SMAN 4 Tanjung Pinang,

Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah. Mereka dituduh menghina salah seorang guru

wanita di sekolah itu melalui jejaring sosial Facebook. (Kompas.com, 15 Februari 2010)

Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Politisi PKS itu menyayangkan

penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi di situs jejaring sosial. (news.okezone.com)

Penelitian tentang dampak face book pernah dilakukan. Muhammad Effendi meneliti

Fenomena penggunaan facebook di Indonesia (fend-skripsifendighozali.blogspot.com)

Gustitia Putri P dari UNS Surakarta meneliti dampak budaya dalam skripsi berjudul

“Analisis Positif Negatif Facebook di Indonesia”

Sebagai media komunikasi, face book mengandalkan ketrampilan berbahasa (menulis dan

membaca ) sebagai alat menyampaikan pikiran dan perasaan. Walaupun ada beberapa

menu yang memungkinkan menampilkan fitur gambar dan film, tetapi fitur-fitur tersebut

selalu diiringi menu komentar yang memungkinkan pengguna face book menyatakan ide,

pendapat, perasaan dan sebagainya. Dalam penyampaiannya, pengguna face book terikat

oleh aturan formal seperti tidak diperbolehkan mengungkapkan hal-hal yang berbau

pornografi dan aturan informal seperti kesantunan.

Kesantunan dalam berbahasa sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh dalam proses

komunikasi. Beberapa kasus yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa

Page 2: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

kesantunan bebahasa dalam face book merupakan salah satu aspek yang harus

diperhatikan.

Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dianalisis kesantunan berbahasa pada jaringan

face book, khususnya dalam pengungkapan kalimat direktif yang berupa saran dan

permintaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimanakah pemakaian bahasa

Indonesia dalam jaringan face book ditinjau dari segi kesantunan berbahasa.

B. Definisi

1. Face Book

Facebook adalah sebuah sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi

secara lebih effisien dengan teman-teman, keluarga dan teman sekerja. Perusahaan ini

mengembangkan teknologi yang memudahkan dalam sharing informasi melewati social

graph, digital mapping kehidupan real hubungan sosial manusia. Siapun boleh mendaftar

di Facebook dan berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kenal dalam lingkungan

saling percaya.” (Wikipedia.or.id)

Penemu situs pertemanan ini adalah Mark Zuckerberg seorang mahasiswa “droup out”

Universitas Harvard Amerika Serikat. Dia dilahirkan pada 14 Mei 1984. Kejeniusan dan

kreativitas lewat Facebook menempatkan dirinya sebagai jajaran 400 orang terkaya di

Amerika Serikat versi Majalah Forbes edisi September 2008, tepatnya peringkat 321

dengan total kekayaan 1,5 Miliyar Dollar US. (Forbes.com; September 2008)

Banyak menu yang terdapat pada jaringan face book. Menu utama berupa “beranda”

yang memungkinkan pengguna mengungkapkan semua perasaan dan pikirannya dan

kemudian ditanggapi oleh pengguna lain yang sudah terikat pertemanan. Menu “profil”

berisi “dinding, info, foto, video, tautan dan sebagainya”. Menu-menu ini menyediakan

kolom komentar yang dapat diisi oleh pengguna untuk menyatakan tanggapan dan

pendapatnya.

2. Kesantunan Berbahasa

a. Pengertian

Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau

Page 3: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang

ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan

sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu,

kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". (Muslich, 2006)

Selanjutnya Muslich menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara

berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita

tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita

pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam

masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila

tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan

mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak

acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. 

Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau

kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang Inggris berbeda dengan

tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris.

Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tata cara berbahasa orang

Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa

kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola

berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma

budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang

mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

Hal di atas sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat ( Aslinda, 2007:93) yang

menyatakan bahwa bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur

kebudayaan manusia lainnya. Saat ini, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia

telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur, namun fungsinya sangat

penting bagi kehidupan manusia.

Page 4: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

Secara implisit Nababan ( 1989:38) memasukan kesantunan berbahasa sebagai

kompetensi sosiolinguistik. Kompetensi sosiolinguistik mengalamatkan atau

mengarahkan luas/ tingkat pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan dan dipahami

secara tepat dan memuaskan dalam berbagai kontekstual seperti status partisipan,

maksud/ tujuan interaksi, dan norma-norma atau konvensi-konvensi interaksi teradap

faktor-faktor tersebut.

Apabila dikaitkan dengan moral, kesantunan berbahasa termasuk tolok ukur moral

seseorang. Sebagaimana dinyatakan oleh Magnis Suseno (Budiningsih, 2004: 24) bahwa

moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Tindakah

lahiriah ini salah satunya adalah ucapan atau kegiatan berbahasa seseorang. Jadi dapat

dikatakan bahwa kesantunan berbahasa mencerminkan moralitas seseorang.

b. Pembentukan Kesantunan Berbahasa 

Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan

kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech

dalam Muslich, 2006 ) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip. 

1) Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini

ditandai dengan memaksimalkan prinsip-prinsip kesantunan yang terdiri dari : (1)

maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang

menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim

kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang

hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada

orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang

mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang

mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini,

orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga

komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif. 

Page 5: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

2) Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata

yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi

pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata

"kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam

berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu. 

3) Sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan

penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan

negatif. 

4) Penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan

menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa

yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa

yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan,

penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk

pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa

Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari

pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.

Grice (Leech,1983:11) mengemukakan bahwa prinsip kerja sama dalam penggunaan

bahasa yang tertib itu direalisasikan dengan memperhatikan empat maksim, yaitu maksim

kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kuantitas

menghendaki agar dalam melakukan tindak tutur, setiap partisipan memberikan informasi

yang cukup, yakni sebanyak yang diperlukan oleh mitra tuturnya. Maksim kualitas

mengikat setiap partisipan untuk menyampaikan hal yang benar kepada mitra tuturnya.

Maksim relevansi mengikat setiap partisipan memberikan kontribusi (informasi) yang

relevan dengan hal atau topik yang sedang dibicarakan. Maksim cara mengikat setiap

partisipan untuk mengungkapkan informasi secara benar, langsung, tidak kabur, tidak

taksa, dan tidak berlebihan.

Page 6: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

C. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis isi ( content analysis ). Fraenkel dan Willan

(2001 : 483) menyatakan analisis isi adalah teknik yang dapat digunakan peneliti untuk

mengkaji perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis terhadap komunikasi

mereka seperti : buku teks, esay, Koran, novel, artikel majalah, lagu, gambar iklan dan

semua jenis komunikasi yang dapat dianalisis.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi. Kata “dokumen”,

digunakan untuk mengacu pada setiap tulisan atau bukan selain “rekaman”, yaitu tidak

dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, naskah

editorial surat kabar, catatan kasus, skrip televisi, foto-foto (Syamsudin dan Vismaia,

2007:108) Sesuai dengan pengertian ini, tuturan-tuturan pengguna face book yang

tercantum pada menu dinding dapat dianggap sebagai dokumen. Untuk mengetahui usia

dan tingkat pendidikan, peneliti memeriksa informasi pengguna face book yang

tercantum pada menu info. 

Jumlah pengguna face book yang diteliti 277 orang dengan perincian sebagai berikut : (1)

Remaja berpendidikan SMP berjumlah 52orang ,(2) Remaja berpendidikan SMA

berjumlah 78 orang (3) Dewasa berpendidikan Mahasiswa berjumlah35orang (4)Dewasa

berpendidikan sarjana berjumlah 47 orang dan (5) Diluar ketegori dan tidak diketahui

berjumlah 65orang.

Dari populasi tersebut ditarik sampling secara purposif dengan mengambil tuturan yang

berisi kalimat berilokusi direktif saran dan permohonan. Searle (Leech,1983:164)

menyatakan ilkokusi direktif bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang

dilakukan oleh petutur misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan

memberi nasihat.

Selanjutnya tuturan-tuturan tersebut dianalisis menggunakan model alir. Model yang

dinyatakan oleh Miles dan Huberman mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :

1. Antisipasi, yaitu untuk menyiapkan butir-butir yang akan dianalisis.

2. Reduksi data, yaitu kegiatan untuk memilah, mengelompokan dan mengurangi data

sehingga data mencapai titik jenuh.

3. Penyajian data, yaitu penyajian data hasil reduksi untuk kemudian dianalisis

Page 7: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan.

4. Penarikan kesimpulan, merupakan langkah terakhir dari analisis data. 

D. Hasil Penelitian

Dari hasil reduksi data diperoleh 32 situasi tutur yang berisi kalimat direktif saran dan

permintaan dan dikategorikan berdasarkan usia dan pendidikan penutur dan petutur. Tiga

puluh dua situasi tutur berisi 72 tuturan. Tuturan tersebut dianalisis berdasarkan prinsip-

prinsip kesantunan yaitu (1) prinsip kesantunan Leech (2) Ketiadaan kata tabu

(3)Eufimisme (4) Honorifik dan (5) prinsip kerjasama Grice.

Diperoleh 49 tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan dan 24 tuturan yang tidak

memenuhi prinsip kesantunan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1

berisi :

1. No data tuturan ( 1 – 32 )

2. Tuturan (setiap tuturan diberi nomor kode seperti 1a,1b,1c dan selanjutnya)

3. kategori penutur dan petutur yang meliputi usia (R untuk remaja, D untuk

dewasa) ,tingkat pendidikan (P untuk SMP. A untuk SMA, M untuk mahasiswa dan S

untuk sarjana )dan jenis kelamin (L untuk laki-laki dan P untuk perempuan)

4. Prinsip Kesantunan Leech berisi maksim-maksim kesantunan yang dipenuhi atau

dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak

memenuhi maksim.

5. Kata Tabu (A berarti ada, TA berarti tidak ada )

6. Eufimisme (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)

7. Honorifik (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)

8. Prinsip kerjasama Grice berisi maksim-maksim kerja sama yang dipenuhi atau

dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak

memenuhi maksim.

9. Simpulan (Santun dan tidak santun )

Dalam table 2, kajian dilakukan untuk melihat tuturan berdasarkan kelmpok penutur dan

petutur. Diperoleh ketidak santunan sebanyak 2 dari 4 tuturan( 50 %) untuk remaja SMP

dengan remaja SMP. Ketidak santunan sebanyak 10 dari 20 tuturan ( 50% ) untuk

kelompok remaja SMA dengan remaja SMA. Tidak ditemukan ketidaksantunan pada

Page 8: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

kelompok remaja SMA dengan dewasa mahasiswa. Ketidak santunan sebanyak 5 dari 10

(50%) pada kelompok dewasa mahasiswa dan dewasa mahasiswa. Terdapat ketidak

santunan 3 dari 13 tuturan ( 23 % ) antara remaja SMA dengan dewasa sarjana. Ketidak

santunan 4 dari 24 (16 %) pada tuturan antara dewasa sarjana dengan dewasa sarjana. 

Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan terbesar pada prinsip kerja sama Grice ( 17

pelanggaran ) diikuti pelanggaran prinsip kesantunan Leech (12 pelanggaran).

Penggunaan kata-kata tabu terjadi pada 10 tuturan dan penghilangan eufimisme terjadi 10

kali. Semua tuturan memenuhi prinsip penggunaan honorific.

E. Diskusi

Dari hasil analisis di atas, beberapa temuan perlu didiskusikan lebih lanjut. 

1. Pelanggaran terhadap prinsip kasantunan terjadi pada semua situasi tutur, walaupun

persentasenya menurun seiring dengan tingkat usia dan tingkat pendidikan. Dalam situasi

tutur antara usia remaja berpendidikan SMP, usia remaja berpendidikan SMP dan dewasa

berstatus mahasiswa, persentase kesantunan sekitar 50 %. Menurun pada situasi tutur

dewasa berstatus sarjana. Hasil ini sejalan dengan, fenomena yang diungkap oleh Sauri

( 2006: 112). Dalam bertutur kata para remaja menunjukkan ketidaksantunan bahasa yang

digunakan dalam pembicaraan antarremaja. Dalam pandangan sosiolinguistik, gejala ini

juga sejalan dengan beberapa penelitian seperti yang dikemukakan oleh Wardough

(2001:167). Ia menyimpulkan bahasa yang digunakan remaja mencerminkan usia dan

menjadi bahasa yang aneh bagi usia yang lebih tua. 

2. Pelanggaran prinsip kesantunan bervariasi pada berbagai situasi tutur. Pelangaran

prinsip kesantunan Leech dan Grice mendominasi ketidaksantunan antara orang dewasa.

Pelanggaran yang berupa kata-kata tabu dan tidak adanya eufimisme mendominasi

ketidak santunan berbahasa anak remaja. Gejala penggunaan kata tabu dalam bahasa

remaja dapat ditinjau dari sudut pandang psikolinguistik. Kata Tabu mempunyai tujuan

utama untuk menyalurkan situasi emosional dalam diri manusia. (Jay, 2004: 335). Secara

psikologis, remaja dalam kondisi emosi yang masih labil sehingga cenderung lebih

mudah mengungkapkan kata-kata tabu.

3. Selain temuan-temuan di atas, hal menarik lainnya yang berkenaan dengan pemakaian

bahasa pada face book adalah munculnya bahasa khusus yang berbeda dengan pemakaian

bahasa pada umumnya. Fenomena ini lebih tampak pada pemakaian bahasa oleh anak

Page 9: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

remaja dengan pendidikan SMP dan SMA. Pemakaian bahasa seperti ini sudah lama

muncul dan menjadi bahan kajian. Beberapa media pernah mengungkapkan hasil

kaijannya seperti Majalah Gema Widyakarya edisi 04 tahun 2010 mengungkapkan

penggunaan bahasa Alay atau bahasa khusus yang sering digunakan dalam SMS dan face

book. Kata-kata seperti : dunt (dong) , mupzh (maaf), beud (banget), sxan (sekalian), ftx

(fotonya),bdw ,(by the way) dan sebagainya. 

F. Kesimpulan

Dengan penelitian analisis isi diperoleh gambaran bahasa yang dipakai oleh para

pengguna face book. Gambaran ini diperoleh dengan mengambil data tuturan pengguna

face book yang berjumlah 277 orang yang terdiri dari berbagai usia, jenis kelamin dan

tingkat pendidikan. Sampel ditarik secara purposif dengan mengambil tuturan yang

berilokusi direktif berupa saran dan permintaan. Diperoleh 72 tuturan dari 32 situasi

tutur. 

Penelitian ini menghasilkan beberapa fenomena yang layak untuk didiskusikan lebih

lanjut. Ketidaksantunan berbahasa terjadi pada semua tingkatan usia, jenis kelamin dan

tingkat pendidikan. Prinsip-prinsip yang dilanggar bervariasi, namun tampak bahwa

pengguna face book tingkat usia remaja cenderung lebih tidak santun dan lebih banyak

menggunakan kata-kata tabu. Selain itu, muncul penggunaan bahasa yang tidak

selazimnya dalam face book atau dikenal dengan bahasa Alay.

Ketiga fenomena di atas perlu dipecahkan, khususnya bagi pihak-pihak yang berkaitan

dengan dunia pendidikan, termasuk kita semua. Apakah gejala ini akan hilang seiring

dengan perkembangan usia dan meningkatnya pendidikan kaum remaja ? Tentu saja

tidak. Pendidikan yang mengajarkan tata cara berbahasa masih diperlukan untuk

memperbaiki semua itu.(Bambang)

Diposkan oleh Kami semua di 16:57 0 komentar   

Sastra Terlupa Karakter Terlena

Hari-hari terakhir suguhan yang sering hadir di pagi bukan hanya secangkir kopi

dan selembar roti tetapi juga berita-berita miring tentang negeri ini. Anggota DPR yang

bersikeras ‘jalan-jalan’ ke luar negeri dengan berbagai dalih yang diputarbalikan. Ada

pula kasus ‘jalan-jalannya’ pegawai negeri paling tersohor, Gayus, ke Bali. Berita-berita

ini disajikan dengan penuh pesona oleh pembawa berita yang tidak kalah mempesona

Page 10: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

sehingga sering kita lupa bahwa di balik berita itu ada sesuatu yang hilang dari jiwa kita

sebagai bangsa. 

Berita-berita sejenis yang bertubi-tubi dan saling bersusulan membuat kita terkadang

jenuh dan bosan. Satu persoalan belum tuntas, disusul persoalan lain sehingga ada kesan

berita terbaru sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik. Akibatnya,

sebagian besar publik merasa tidak ada yang aneh pada berita-berita tersebut. Bahkan

kemudian muncul pemikiran bahwa berita-berita negatif itu suatu hal yang biasa dan

dapat diterima sebagai sebuah kewajaran. Padahal bila direnungkan, semua perilaku

tersebut adalah cerminan dari sebuah ‘bencana’ yang harus kita waspadai.

Bila akhir-akhir ini kita semua prihatin dengan rangkaian bencana yang melanda negeri

ini, ternyata ada sebuah ‘bencana’ yang kita semua kadang tidak menyadarinya. Hal ini

karena kita sering terbius pada hal-hal yang sifatnya kasat mata. Padahal bila dirunut ke

akar-akarnya adanya bencana seperti tanah longsor, banjir, kebakaran, dan tsunami

terdapat hubungan dengan ‘bencana’ yang telah lama kita alami tetapi tidak disadari.

Bencana itu adalah hilangnya karakter bangsa.

Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa bangsa ini telah kehilangan karakternya,

tetapi marilah kita tengok keadaan di sekitar kita. Memang masih banyak hal-hal yang

dapat kita banggakan. Tetapi juga terlalu naif untuk mengatakan tidak ada masalah pada

karakter bangsa ini. Untuk itu, artikel sederhana akan mencoba mengaitkan hilangnya

karakter bangsa dengan dilupakannya pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

Pembelajaran Sastra Dulu dan Kini

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri

Yogyakarta (UNY), Taufiq Ismail menyinyalir ada perubahan mendasar yang perjadi

pada pembelajaran sastra masa dulu dan kini. Beliau mengatakan titik balik perubahan itu

terjadi pada 1 Januari 1950 ketika bangsa Indonesia memiliki kewenangan penuh

merumuskan kurikulum pendidikan. Perubahan mendasar itu berupa dihapuskannya

bacaan-bacaan wajib bagi siswa.

Pada masa penjajahan Belanda, sekolah Hindia Belanda kala itu (AMS, MULO)

mewajibkan siswanya membaca karya sastra. Tercatat ada kurang lebih dua puluh lima

bacaan wajib yang harus diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Apakah sistem pendidikan

Page 11: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

seperti ini yang menghasilkan tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Sukarno, Mohammad

Hatta, Syahrir dan sebagainya ? Memang masih perlu dibuktikan. Tetapi bila menengok

negara-negara yang sudah berhasil seperti Amerika Serikat dan Rusia, kita pantas

mengakui bahwa ada peran bacaan sastra dalam pembentukan karakter seseorang.

Amerika sampai kini masih mewajibkan siswa-siswanya membaca karya sastra seperti

karya-karya Ernest Hemingway. Demikian juga Rusia masih mempertahankan karya

sastra seperti War and Peace karya Leo Tolstoy. Negeri tetangga Malaysia juga tidak

ketinggalan. Siswa-siswa di Malaysia masih diwajibkan minimal enam karya sastra.

Tidak ketinggalan pula Singapura dan Thailand.

Bagaimana dengan Indonesia ? Beberapa sekolah mungkin masih melaksanakan bacaan-

bacaan wajib. Tetapi secara umum, siswa-siswa Indonesia hanya sekali, dua kali atau

bahkan ada yang sama sekali belum pernah membaca karya sastra. Taufiq Ismail lebih

menyukai istilah “bangsa yang rabun membaca dan pincang mengarang” untuk

menggambarkan situasi pembelajaran sastra di Indonesia.

Secara lebih rinci, Taufiq Ismail menyebutkan setidaknya terdapat 35 permasalahan

dalam pembelajaran sastra di Indonesia. Permasalahan itu di antaranya adalah

merosotnya minat masyarakat secara umum untuk membaca karya sastra. Memang ada

beberapa fakta yang dapat membantah pernyataan ini. Terbukti novel-novel seperti

Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta laris di pasaran. Tetapi dapatkah kedua novel ini

mewakili karya sastra secara keseluruhan ? Masih harus dibuktikan ketika novel-novel

yang kental nilai sastranya dilepas ke masyarakat.

Permasalahan lain adalah peran media lain seperti media elektronik dalam mengenalkan

sebuah karya sastra kepada masyarakat. Sekarang ini tak dapat dipungkiri, media

elektronik telah menyita perhatian masyarakat sehingga media-media lain harus berusaha

keras agar tidak tersingkir. Seharusnya keunggulan ini dimanfaatkan untuk mengenalkan

karya-karya sastra melalui tayangan-tayangannya. Tetapi, hanya sedikit sinetron-sinetron

yang diangkat dari karya sastra. Beberapa tahun lalu ditayangkan sinetron “Siti Nurbaya”

yang sempat sukses. Tetapi setelah itu, sinetron di televisi lebih banyak dihiasi cerita-

cerita yang lebih mementingkan nilai jual dari pada kualitas.

Masalah-masalah lain masih banyak tetapi pokok permasalahan dari semua persoalan itu

terletak pada merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran

Page 12: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

sastra di sekolah. Seperti sudah dikemukakan di atas, hilangnya kewajiban membaca

karya sastra berbanding lurus dengan menurunnya kualitas karakter bangsa. 

Kenyataan ini baru disadari akhir-akhir ini dengan digalakkannya kembali pendidikan

karakter. Presiden SBY melalui pidatonya dalam rangka memperingati hari Pendidikan

Nasional menyatakan keprihatinannya pada berbagai fenomena yang muncul di

masyarakat seperti kekerasan, korupsi, kejahatan seksual dan sebagainya. Jalan keluar

dari permasalahan ini adalah pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kurikulum

yang ada.

Saat inilah barangkali waktu yang tepat untuk merubah paradigma agar pembelajaran

sastra di sekolah dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan karakter siswa. 

Merubah Paradigma

Taufiq Ismail mengusulkan setidaknya enam perubahan paradigma agar pengajaran sastra

dapat memenuhi fungsinya. 

Yang pertama adalah merubah pendekatan dalam pengajaran agar siswa dibimbing

memasuki sastra secara asyik dan gembira. Sastra bukan hal yang dipaksakan sebagai

materi pelajaran yang harus dipahami. Sastra harus dikemas menjadi materi yang

menyenangkan sehingga membuat siswa antusias dan merasa sebagai sesuatu yang

diperlukan.

Perubahan paradigma yang kedua adalah menyajikan karya sastra bukan melalui

ringkasan seperti yang selama ini dilakukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah

karya sastra dapat dihayati jika karya tersebut dibaca secara utuh. Membaca sepotong-

potong atau membaca ringkasan dan ulasan hanya membekali siswa dengan pengetahuan

tentang karya tersebut. Hal ini belum sesuai dengan hakikat pembelajaran sastra yang

menekankan kemampuan mengapresiasi. Memang mungkin saja ringkasan dan ulasan

bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran, tetapi itu bukan merupakan tujuan akhir

pembelajaran sastra.

Perubahan berikutnya berkaitan dengan pembelajaran mengarang. Selama ini kegiatan

mengarang masih merupakan hal yang ditakuti siswa. Sebagian besar siswa merasa

terbebani ketika guru memberikan tugas berupa karangan baik yang bersifat fiksi maupun

nonfiksi, baik berupa prosa maupun puisi. Memang ada beberapa siswa yang langsung

antusias, tetapi dapat dihitung dengan sebelah jari. Untuk itu, pendekatan dan metode

Page 13: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

pembelajaran mengarang harus dirubah agar menyenangkan baik bagi siswa maupun

guru. Caranya dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : membawa siswa ke alam,

menulis bersama, dan sebagainya.

Perubahan keempat berkaitan dengan penilaian dalam apresiasi. Banyak yang

menyayangkan ketika soal-soal apresiasi sastra dibuat dalam bentuk pilihan ganda.

Contoh yang sangat nyata adalah soal-soal Ujian Nasional. Dengan ditentukannya

jawaban, siswa akan berpikir benar salah. Padahal karya sastra selalu dapat ditafsirkan

berbeda. Perbedaan penafsiran harus dihargai dalam kegiatan apresiasi sastra. Dengan

menghargai perbedaan siswa akan mendapatkan beberapa nilai seperti menghargai orang

lain, demokrasi, berpikir logisdan sebagainya. Oleh karena itu, sebaiknya soal-soal UN

dipertimbangkan kembali agar dapat mengukur kemampuan apresiasi.

Bila selama ini pembelajaran sastra lebih mengutamakan pengetahuan tentang sastra

seperti teori dan sejarah sastra, sekarang paradigma itu harus dirubah. Pengetahuan

tentang sastra dilakukan secara sambil lalu sebagai informasi sekunder. Sastra bukan

pengetahuan yang harus dihafalkan. Sastra harus dinikmati sebagai sebuah karya seni

seperti lagu-lagu dan lukisan.

Perubahan terakhir berkaitan dengan fungsi karya sastra itu sendiri. Pembelajaran sastra

harus mampu menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa. Inilah yang disebut

dengan pembangunan karakter. Bila pelajaran eksakta mengutamakan pengembagan

intelektual yang berpusat pada otak, pembelajaran sastra mengutamakan pengembangan

nilai-nilai dalam jiwa siswa. Banyak sekali nilai yang dapat ditanamkan pada diri siswa

melalui karya sastra. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pelajaran lain. Untuk itulah,

sudah seharusnya pembelajaran sastra menggunakan karya sastra sebagai materi

utamanya bukan ulasan, ringkasan, resensi atau yang lainnya.

Sekaranglah Saatnya

Momen digalakkannya kembali pendidikan karakter menjadi pemicu yang tepat untuk

diadakannya kembali kewajiban membaca karya sastra di sekolah-sekolah. Tanpa itu,

pendidikan karakter seperti halnya benih yang dibiarkan kerontang. Karya sastra dapat

menjadi setetes embun yang membasahi pucuk daun yang mulai bersemi. Atau juga,

tetes-tetes gerimis yang menyuburkan akar-akar karakter yang dapat menjaga kebesaran

bangsa agar selalu tegar berdiri walau angin badai meniup kencang. Semoga !(Bambang)

Page 14: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

Diposkan oleh Kami semua di 16:53 0 komentar   

Kamis, 11 Maret 2010

TRANSFORMASI TRADISI

Mengapa muncul cerita Dewi Sri ? Dewi Padi yang mulai dilupakan generasi kini

ternyata menyimpan hikmah yang apabila kita renungi merupakan bentuk kecerdasan

nenek moyang. Agar ingat kembali, berikut akan diceritakan kembali dongeng yang

sempat sangat terkenal itu.

Suatu hari Sanghayang Guru menitahkan semua dewa di kahyangan untuk membawa

sebongkah batu sebagai material pembangunan kahyangan. Seorang Dewa tak mampu

melaksanakan titah Sanghayang Guru karena keterbatasan fisik. Dialah Dewa Anta yang

ditakdirkan berbentuk seekor ular.

Dengan muka sedih Dewa Anta menghadap Batara Narada. Diceritakanlah

ketidakmampuannya melaksanakan titah Sanghyang Guru. Begitu menyedihkan keluh

kesah Dewa Anta, sampai dari matanya menetes tiga butir air mata. Berkat kesaktiannya,

air mata itu menjelma menjadi tiga buah telur. Atas saran Batara Narada, Dewa Anta

membawa tiga butir telur itu hendak dipersembahkan kepada Sanghayang Guru.

Dalam perjalanan menuju kahyangan, seekor elang yang tidak tahu permasalahan Dewa

Anta menanyakan tujuan Dewa Anta ke kayangan.

" Hendak kemana kau Anta " Dewa Anta tak bisa menjawab karena dalam mulutnya

tersimpan tiga butir telur. Begitulah pertanyaan diulang hingga tiga kali. Marahlah elang

karena Dewa Anta tak mau menjawab. Disambarlah, telur di mulut Dewa Anta, hingga

tertinggal hanya satu butir.

Batara Guru menerima persembahan Dewa Anta dengan senang hati. Meskipun, Dewa

Anta hanya memberinya sebuah telur, tetapi itu wujud dari kepatuhannya. Disuruhnya,

dewa Anta mengerami telur tersebut. Selang beberapa waktu, menetaslah telur itu.

Keluarlah seorang bayi mungil perempuan. Oleh Sang Hyang Guru, bayi itu deiberi nama

Dewi Sri.

Tumbuhlah Dewi Sri menjadi gadis yang cantik jelita. Batara Narada melihat sebuah

kejanggalan pada tingkah laku Sang Hayng Guru ketika melihat kecantikan Dewi Sri.

Kemudian, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Sri buah dari surga. Dewi Sri

makan buah tersebut. Dan setelah itu, Dewi Sri tak mau makan kecuali buah itu. Lama

Page 15: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

kelamaan, tubuh Dewi Sri melemah karena tidak mau makan yang lain. Akhirnya,

meninggallah Dewi Sri.

Dikuburnya mayat Dewi Sri. Tak berapalama, di atas kuburan Dewi Sri tumbuhlah

beraneka tumbuhan. Dari bagian kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari bagian tangannya

tumbuh batang padi. dari bagian pinggulnya tumbuh pohon aren (nira). Dari kakinya

tumbuh pohon bambu.

Berlanjut.....

Diposkan oleh Kami semua di 20:04 0 komentar   

Selasa, 09 Maret 2010

MENJADI GURU YANG BERMISI

Tulisan ini merupakan pendapat yang muncul dari endapan pemikiran selama satu

setengah semester berinteraksi dengan guru-guru besar di SPS UPI. Tentu saja bukan

tidak mungkin, pemikiran ini keliru atau salah persepsi, tetapi sebagai sebuah pendapat

tidak ada salahnya untuk didiskusikan bersama. 

Selama kurun waktu 8 bulan ada sebuah pemikiran yang mungkin berbeda dari

mahasiswa yang satu dengan yang lain. Pemikiran itu adalah ternyata para guru besar

yang terhormat itu berusaha menanamkan sebuah prinsip yang selama ini mereka yakini

menjadi kunci sebuah keberhasilan.

Salah seorang guru besar selalu tampil dalam kesederhanaan baik dalam pola pikir

maupun dalam penampilan fisik. Tidak jarang pula, beliau menunjukkan pengakuan

bahwa penjelasan yang baru disampaikan ternyata tidak sesuai dengan buku-buku yang

pernah dibacanya. Lalu dibukanya sebuah buku catatan yang sangat rapi.

Disampaikannya kembali teori tersebut dengan teliti. Diajaknya mahasiswa mengkritisi

teori tersebut. Apabila ternyata, teori tersebut kurang tepat, akan disampaikan alasan-

alasan yang masuk akal sehingga pantas kalau teori tersebut perlu direvisi. Beliau

mempunyai misi : kesedehanaan, ketelitian dan keberanian bersikap kritis.

Dosen yang lain sering mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Pernah

diungkapkan oleh Beliau, bahwa teori perkembangan Jean Piaget perlu direvisi apabila

dikaitkan dengan perkembangan psikologis orang Indonesia. Alasannya cukup rasional

apabila dikaitkan dengan fenomena yang ada seperti mahasiswa dan politisi yang suka

tawuran. Teori yang sudah bertahan berratus tahun itu masihkah relevan hingga kini ?

Page 16: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

Begitu beliau mengajak mahasiswa berpikir inovatif. Di saat lain, Beliau memunculkan

istilah yang sama sekali baru bagi kami, yaitu tata bahasa paedagogis. Tujuannya agar

dalam pembelajaran bahasa Indonesia, tata bahasa tidak dilupakan sama sekali. Disinyalir

para guru bahasa Indonesia, telah menghilangkan pembelajaran tata bahasa dengan dalih

tidak dituntut oleh kurikulum. Beliau mempunyai misi : inovatif.

Guru besar yang lain senantiasa berpenampilan rapi. Apabila berjalan, nyata sekali

sebuah keyakinan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia merupakan kebanggaan yang

harus selalu dijaga. Begitulah nilai-nilai yang selalu disampaikan kepada para mahasiswa.

Hampir di setiap akhir perkuliahan, para mahasiswa diyakinkan pada sebuah kebanggaan

bahwa bangsa Indonesia tidak kalah dari bangsa lain. Saudara boleh menjadi orang

sukses di mana pun jua, tetapi tetaplah saudara menjadi orang Indonesia. Kecintaan dan

kebanggaan terhadap bangsa Indonesia selalu menjadi prinsip Beliau. Semua itu

diwujudkan dalam karya-karyanya. Beliau mempunyai misi : kebanggaan dan kecintaan

terhadap bangsa Indonesia (nasionalisme).

Kunci utama keberhasilan pendidikan bagi seorang guru adalah kewibawaan. Banyak hal

dapat dilakukan guru untuk memperoleh kewibawaan. Beliau menyebutnya alat

kewibawaan. Ada guru yang menggunakan media pembelajaran. Tidak sedikit pula yang

menggunakan alat berupa kekerasan. Tetapi kewibawaan yang sebenarnya akan muncul

dari sebuah keikhlasan. Dengan ikhlas sorang guru akan melakukan segala sesuatu

dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan yang konsisten itulah yang akan menghasilkan

wibawa. Misi beliau adalah : kewibawaan dan keikhlasan.

Sebuah generalisasi dari beberapa ilustrasi di atas adalah setiap guru memiliki misi. Misi

itu lahir dari pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian mengkristal menjadi prinsip

hidup. Pengalaman hidup setiap manusia selalu berbeda, maka dari itu prinsip hidup yang

diyakini pun berbeda. Selanjutnya, misi itupun dikemas menjadi roh dari materi pelajaran

yang disampaikan. Dapat dibayangkan apabila di sebuah sekolah terdapat sepuluh sampai

lima belas guru, maka misi atau prinsip hidup yang dapat menjadi pilihan siswa untuk

diadopsi menjadi prinsip hidupnya. Dengan begitu, siswa akan menjadi kaya dengan

teladan-teladan yang dapat menjadi bekal masa depannya.

Salah seorang guru mempunyai prinsip kedisiplinan. Sementara yang lain meyakini kasih

sayang sebagai prinsip hidupnya. Secara sepintas seperti berlawanan, tetapi sejatinya

Page 17: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

kedua prinsip tersebut dapat dipadukan. Bolehlah diibaratkan apabila kita ingin membuat

sebuah resep makanan. Buah cabai yang pedas, garam yang asin dan gula yang manis,

apabila diramu akan menghasilkan sebuahsambal yang nikmat. Demikian juga, prinsip

kehidupan guru akan mewarnai pengalaman hidup siswa. Kuncinya kita meyakini sebuah

prinsip dan berusaha menanamkan prinsip tersebut melalui misi dalam pembelajaran kita.

(Bambang S)

Diposkan oleh Kami semua di 23:17 0 komentar   

GETARAN EMOSIONAL : MENUJU PEMBELAJARAN YANG

BERMAKNA

Sebuah jargon guru yang sudah sangat akrab di telinga adalah tugas kita bukan

mengajar tetapi mendidik. Tugas kita bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi

lebih ke arah membangun kepribadian (character building). Jika dalam mengajar, factor

utama yang harus kita kuasai adalah materi pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan

strategi penyampaian materi pelajaran seperti metode, media dan sebagainya. Dalam

mendidik, factor-faktor yang harus kita kuasai lebih luas lagi.

Agar pemahaman kita tentang mendidik lebih jelas lagi, kita coba kaji ilustrasi hirarki

pengetahuan sebagai berikut.

Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, seseorang harus melewati 6 tingkatan. Pada

level paling bawah terdapat sebuah data. Data hanya akan menjadi data apabila kita tidak

membutuhkannya. Terhadap data yang dikehendaki, kita dapat mengolahnya menjadi

sebuah informasi (information) yang bermanfaat (level 2). Selanjutnya, beberapa

informasi itu dapat dirangkaikan menjadi sebuah pengetahuan (knowledge) yang

memudahkan kita memutuskan sebuah masalah (level 3). Tingkat berikutnya adalah

pembangunan kecerdasan (intelligent) yang dibuktikan dengan pengambilan keputusan

yang benar (level 4). Hirarki paling tinggi berupa kearifan (wisdom) seseorang yaitu

ketika orang tersebut mampu menyelaraskan tindakannya dengan nilai-nilai yang berlaku.

Berdasarkan hirarki di atas dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan mendidik tidak hanya

berhenti pada level 3 (knowledge) atau level 4 (intelligent) karena pada level tersebut

masih berada dalam ranah pengetahuan (kognitif). Jika proses pendidikan berhenti pada

level itu, berarti kita masih berstatus sebagai “pengajar” yang hanya mentransfer

pengetahuan. Kita harus mencapai level tertinggi yang menghasilkan kearifan (wisdom)

Page 18: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

yang berada pada ranah sikap (afektif). 

Sebuah kata bijak dari Herbert Spencer berbunyi “The great aim of education is not

knowledge but action “. Jika kita terpaku hanya pada tujuan menghasilkan siswa yang

cerdas dalam pengetahuan, kita hanya membekali siswa sebuah ‘badan’ tanpa ‘roh’,

sehingga bukan tidak mungkin siswa akan bersikap dan berperilaku yang tidak sesuai

dengan pengetahuan yang dikuasainya. Kita semua tahu korupsi itu sebuah tindak

kejahatan, tetapi mengapa Negara kita selalu bercokol di papan atas liga korupsi dunia ?

Barangkali salah satu jawabannya ada pada proses pendidikan kita. Terlalu sering kita

berpuas diri apabila siswa kita mencapai sebuah KD yang kita ajarkan. Tanpa menyadari

bahwa sebenarnya KD tersebut dapat disalahgunakan oleh siswa. Untuk itu, kita

memberikan makna mulia yang terkandung dalam sebuah materi pelajaran. Caranya

adalah dengan melakukan sentuhan-sentuhan emosional atau getaran emosional

(emotional thrill) agar nilai-nilai mulia dalam materi tersebut tertanam dalam hati siswa.

Contoh sederhana jika kita ingin membelajarkan siswa tentang korupsi. Sisi emosional

yang dapat digetarkan adalah kesadaran tentang bahaya korupsi bagi dirinya dan orang

lain. Siswa dapat dibawa untuk melihat kemiskinan yang diderita rakyat banyak untuk

menunjukkan bahayanya korupsi. Dengan menyentuh sisi emosional dalam diri siswa

akan terbangung sebuah pola pikir bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat

biadab. Bandingkan misalnya siswa hanya dijejali pengetahuan tentang pengertian

korupsi dan bahayanya. Dalam diri siswa hanya tertanam sebuah pengetahuan tanpa

sebuah kesadaran.

Banyak cara yang dapat digunakan untuk menggetarkan emosi siswa. Tentunya rekan-

rekan semua mempunyai pengalaman. Ini salah satu poin yang disampaikan Prof. Dr.

Yoyo Mulyana dalam perkuliahan. Ide dan saran teman semua, akan sangat bermanfaat.

(Bambang)

Diposkan oleh Kami semua di 23:13 0 komentar   

TATA BAHASA PAEDAGOGIS

Sejak adanya kritik terhadap kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia, paradigma kurikulum berubah dari pembelajaran tentang bahasa ke arah

pembelajaran ketrampilan berbahasa. Konsekuensinya, materi pelajaran sekarang ini

dipenuhi oleh materi yang ditujukan untuk mengasah ketrampilan berbahasa yang terdiri

Page 19: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

membaca, menulis, menyimak dan berbicara. 

Jikalau, beberapa decade lalu, kita dapat dengan mudah menemui materi tata bahasa, kini

tidak lagi. Sebagai guru bahasa Indonesia, kita sering bingung untuk menempatkan

materi tata bahasa. Bahkan karena tidak ada tuntutan secara eksplisit dari kurikulum,

materi tata bahasa akhirnya sering kita lupakan.

Berbagai keluhan kemudian muncul. Banyak siswa yang kemudian hanya mengutamakan

kemampuan ketrampilan berbahasa, tanpa didasari penguasaan tata bahasa yang benar.

Kenyataan ini dapat dengan mudah ditemui di lapangan. Karangan siswa yang tidak

patuh tata kalimat. Pidato siswa yang berisi kosa kata tidak baku. 

Masih pentingkah materi tata bahasa diberikan kepada siswa ? Kiranya kita semua

sepakat, bahwa pengetahuan tentang tata bahasa akan meningkatkan ketrampilan

berbahasa seseorang. Dengan mengetahui tata susunan kalimat, karangan atau

pembicaraan seseorang akan terstruktur dan mudah dipahami pembaca dan

pendengarnya. Demikian juga, ketika kita menyimak dan membaca. Pemahaman kita

akan meningkat jika kita mengerti pokok-pokoknya. 

Permasalahannya adalah bagaimana kita mengajarkan tata bahasa jika dalam kurikulum

tidak tercantum secara eksplisit. Dari sinilah kemudian muncul istilah tata bahasa

paedagogis. Istilah ini saya dengar ketika mengikuti kuliah Dr. Andoyo Sastromiharjo.

Beliau membagikan sebuah pengalaman ketika mengisi sebuah seminar tenta

pembelajaran bahasa Indonesia. Dalam seminar itu terungkap, bahwa mayoritas guru

bahasa Indonesia mengabaikan tata bahasa dalam pembelajaran. Perhatian utama guru

adalah mencapai kompetensi dasar yang pokok utamanya terpusat pada ketrampilan

berbahasa. Padahal apabila dicermati secara lengkap, sebuah KD mempunyai prasyarat

tata bahasa, Sebagai contoh :

Mencerita¬kan peng¬alam¬an yang paling me¬nge¬sankan dengan mengguna¬kan

pilihan kata dan kalimat efektif ( KD berbicara kelas 8)

Ketrampilan berbahasa yang dituntut oleh KD tersebut adalah menceritakan kembali.

Sering guru hanya berkosentrasi pada ketrampilan berbahasa yang dituntut sehingga lupa

bahwa tuntutan KD tersebut bukan hanya ketrampilan, tetapi juga penguasaan tata bahasa

dalam hal ini diksi (pilihan kata) dan sintaksis (tata kalimat). Di sinilah kemudian muncul

sebuah pemikiran, bagaimana mengajarkan tata bahasa tanpa menghilangkan esensi

Page 20: Kesantunan Berbahasa Pengguna Face Book

pembelajaran ketrampilan berbahasa. Jawabannya ada pada tata bahasa paedagogis. 

Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa tata bahasa paedagogis merupakan serpihan-

serpihan materi tata bahasa yang diselipkan dalam pembelajaran ketrampilan berbahasa.

Serpihan-serpihan tata bahasa tersebut dipilih dan dikemas secara efektif dan efisien

sehingga hakikat pembelajaran berbahasa tetap pada relnya. 

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana kita mengembangkan tata bahasa

paedagogis sehingga langsung dapat dimanfaatkan dalam mengasah ketrampilan

berbahasa. Dalam forum ini, saya mengundang teman-teman untuk memberikan sumbang

sarannya.(Bambang)

Diposkan oleh Kami semua di 23:09 0 komentar   

Jumat, 05 Maret 2010

PEMBELAJARAN SASTRA DAN ANJING PEMBURU

Dalam sebuah seminar tentang pembelajaran sastra yang diadakan oleh Prodi

Bahasa Indonesia SPS UPI Bandung, Prof. Dr. Yus Rusyiana memberikan sebuah analogi

bagi pembelajaran sastra yang cukup ampuh dari masa ke masa. Beliau memberikan

contoh bagaimana seekor anjing pemburu di latih agar naluri berburunya tajam.

Setiap hari, anjing pemburu dicelupkan ke dalam sebuah baskom yang berisi

darah. Apabila setiap hari, seekor anjing senantiasa berinteraksi dengan bau anyir darah,

naluri berburunya akan semakin tajam sehingga setiap mencium aroma hewan buruan,

secara otomatis akan berlari mengejar hewan buruan.

Demikian juga dengan pembelajaran sastra. Cara yang paling efektif adalah

'mencelupkan' siswa ke dalam 'karya sastra'. Dengan mengenalkan siswa kepada karya

sastra, naluri kesenangannya terhadap sastra akan terasah sedikit demi sedikit.

Memberikan teori bukannya tidak berguna. Teori sastra akan memberikan bekal untuk

memahami karya sastra. Tetapi yang terjadi, siswa hanya puas dengan menghafal dan

memahami istilah-istilah sastra. Padahal, hakikat pembelajaran sastra bukan terletak pada

teori sastra tetapi lebih pada karya sastra.

Permasalahannya adalah bagaimana kita dapat mencelupkan siswa kedalam darah sastra ?

Marilah kita berdiskusi untuk hal ini !(Bambang)