kelompok 9 pai 71 sumber ajaran islam yang diperselisihkan

60
Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan Oleh: Kelompok 9 Kelas PAI 7.1 Abdurrozaq (122010101086) Elisa Ratnasari (122010101087) Diastri Nur Suprobo Dewi (122010101088) Maulidiah Ayuningtyas (122010101089)

Upload: sarah-andriani

Post on 27-Oct-2015

240 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pai

TRANSCRIPT

Page 1: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan

Oleh:

Kelompok 9 Kelas PAI 7.1

Abdurrozaq (122010101086)

Elisa Ratnasari (122010101087)

Diastri Nur Suprobo Dewi (122010101088)

Maulidiah Ayuningtyas (122010101089)

Ahmad Hashemi (122010101090)

Universitas Jember

2012

Page 2: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan

Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Sumber Ajaran

Islam yang Diperselisihkan”

Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai “Sumber Ajaran Islam

yang Diperselisihkan”, Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada

kita semua tentang “Sumber Ajaran Islam yang Diperselisihkan”. 

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan

demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah

SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Jember, 27 September 2012

Penyusun

Page 3: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................... i

Daftar Isi................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang...................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3

2.1. Ihtihsan.................................................................................................. 3

2.1.1. Pengertian Ihtihsan........................................................................ 3

2.1.2. Dasar Dasar Ihtihsan..................................................................... 3

2.1.3. Macam Macam Ihtihsan................................................................ 5

2.1.4. Kehujjahan Ihtihsan....................................................................... 8

2.2. Istishab.................................................................................................. 10

2.2.1. Pengertian Istishab........................................................................ 10

2.2.2. Macam Macam Istishab................................................................ 11

2.2.3. Kehujjhan Istishab......................................................................... 12

2.3. Maslahah Mursalah............................................................................... 14

2.3.1. Pengertian Maslahah Mursalah..................................................... 14

2.3.2. Syarat Syarat Maslahah Mursalah................................................. 14

2.3.3. Macam Macam Maslahah Mursalah............................................. 15

2.3.4. Kehujjahan Maslahah Mursalah.................................................... 18

2.3.5. Alasan Ulama menjadikannya sebagai Hujjah.............................. 19

2.4. Saddu Dzari’ah...................................................................................... 20

2.4.1. Pengertian Saddu Dzari’ah............................................................ 20

2.4.2. Dasar Hukum Saddu Dzari’ah....................................................... 21

2.4.3. Obyek Saddu dzari’ah................................................................... 23

2.4.4. Ketentuan Dasar Mengamalkan Saddu Dzari’ah.......................... 23

2.5. Uruf....................................................................................................... 25

Page 4: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

2.5.1. Pengertian Uruf............................................................................. 25

2.5.2. Macam Macam Uruf..................................................................... 25

2.5.3. Kehujjahan Uruf............................................................................ 29

BAB III PENUTUP............................................................................................... 31

3.1 Kesimpulan............................................................................................ 31

3.2 Saran....................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 32

Page 5: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir

al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang

ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber

hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir

al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti

dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah1. Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah

dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk

menemukan hukum’.

Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan

ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang

disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga

sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan

Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para

ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, istishab, maslahah

mursalah, saddu dzari’ah, dan uruf.

Oleh karena itu, penyusun membuat makalah tentang “Sumber Ajaran Islam

yang Diperselisihkan” ini dengan di dalamnya terdapat lima hal yaitu istihsan,

istishab, maslahah mursalah, saddu dzari’ah dan uruf dengan tujuan menjelaskan

terhadap pembaca dan menggali khazanah yang lebih dalam lagi.

1 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu), 1999, hal 82.

Page 6: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu istihsan?

2. Apa itu istishab?

3. Apa itu maslahah mursalah?

4. Apa itu saddu dzari’ah?

5. Apa itu uruf?

Page 7: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. IHTIHSAN

2.1.1. Pengertian Ihtihsan

Secara harfiah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni

menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.

Menurut pengertian ulama ushul, istihsan adalah adalah sebagai berikut ini:

1.      Menurut Al-khozali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz 1 : 137, “istihsan adalah

semuua hal yang di anggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”

2.      Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata: istihsan adalah suatu keadilan

terhadap hukum dan pandangannya karena ada dalil tertentu dari Al-Qur’an dan

sunnah.

3.      Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam mazhab Al-Maliki berkata, “istihsan adalah

pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat Juz’I dalam menanggapi dalil

yang bersifat global.”

4.      Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “istihsan adalah perbuatan adil

terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain,

karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”

5.      Menurut Muhammad Abu zahrah,” definisi yang lebih baik adalah menurut Al-

Hasan Al-kurkhi di atas.”

6.      Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam

hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-

lain.[1][1]

2.1.2. Dasar-Dasar Istihsan

Dasar-dasar terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits rasulullah Saw, antara lain:

1. Dasar-Dasar Istihsan Dalam Al-qur’an:

[1][1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung : Pustaka Setia,1998 ), Hal. 111.

Page 8: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

الذين أولئك أحسنه فيتبعون القول يستمعون الذين

اآللباب أولو هم وأولئك الله هداهمArtinya: “yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik

diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah SWT petunjuk dan

mereka itulah yang mempunyai akal”.(Qs.Az-Zumar:18).

2. Dasar-Dasar Istihsan Dalam Hadits

: صلى الله رسول قال قال عنه الله رضي أنس عن

). : رواه العبادةالفقه وخير أيسره خيردينكم وسلم عليه الله

( البر عبد ابنArtinya: “Anas ra, berkata, rasulullah Saw, sebaik-baik agamamu adalah yang

lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat

dan rukun-rukunnya”.(HR.Ibnu Abdul Barr).

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Mazhab Hanafi, menurut mereka

istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jalli

atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang

ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu

kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan

hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan

karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang

berlainan. Disamping Mazhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan

ialah sebagian Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali.

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah

Mazhab Syafi'i. Istihsan menurutnya adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan

keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan

berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa

nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT."

Page 9: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang

yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang

menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah,

tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta

pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan

menurut pendapat Mazhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Mazhab

Syafi'i. Menurut Mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada

suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi'i,

istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih

enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan

pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena

itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang menetapkan

hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata,

akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai

dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah

syara' yang umum".

2.1.3. Macam-Macam Istihsan

Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka

istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:

1.    Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan

pemindahan.

2.    Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang

mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan

darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena

darurat.

A. Contoh istihsan macam pertama:

1.    Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian,

maka yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas

Page 10: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali

hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu

dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari

penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang

penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh

dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa

yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang

kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting

pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang

sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika

waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan

tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena

itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada

persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi

qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya

tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi,

yang disebut istihsan.

2.    Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang

burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan

dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing

dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah

bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang

buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke

tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya

dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram

dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang

atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu

sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram

dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini

Page 11: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan

binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali

kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

B. Contoh istihsan macam kedua

1.    Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian

tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan.

Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum

kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang

dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu

yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam).

Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas

perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan

pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i,

karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam

masyarakat.

2.    Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah

perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya

tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf.

Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf

itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya

perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).

Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau

keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli.

Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:

1.    Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;

2.    Istihsan dengan sandaran nash;

3.    Istihsan dengan sandaran 'urf; dan

Page 12: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

4.    Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.[2][2]

2.1.4. Kehujjahan Ihtihsan

Pandangan para ulama tentang istihsan:

1. Ulama hanafiah

Abu Zahrah berpendapat bahwa bahwa Abu Hanifah banyak sekali

menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam

beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanifah mengikuti adanya

istihsan.

2. Ulama malikiyah

Asy-syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat

dalam hukum sebagaimana pendapat imam maliki dan imam Abu Hanifah.

3. Ulama hanabilah

Dalam beberapa kitab ushul disebutkan bahwa golongan hanabilah mengikuti

adanya istihsan, sebagai mana dikatakan oleh imam Al Amudi dan Ibnu Hazib.

Akan tetapi, Al-jalal al-mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Kawami

mengatakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang

lain mengingkari termasuk didalamnya golongan hanabilah.

4. Ulama syafi’iyah

Golongan Al-Syafi’I secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan

mereka benar-benar menjahui untuk menggunakannya dalam istimbat hukum

dan tidak menggunakan sebagai dalil. Bahkan, imam syafi’I berkata: “barang

siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.” Beliau

juga berkata : ”sesungguhnya urusan itu telah diatur oleh Allah SWT,

[2][2].http://makalah-gratis.blogspot.com/2007/09/istihsan-kumpulan-makalah-ushul-

fiqh.html.

Page 13: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas,

namun tidak boleh menggunakan istihsan.”[3][3]

Menurut ulama hanafiyyah, malikiyyah dan sebagaian ulama hanabilah,

ihtihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan

yang mereka ungkapkan adalah:

Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan

dari umat manusia, yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Baqorah Ayat

185:

العسر بكم يريد اليسر بكم الله يريدArtinya:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran

kepadamu”. (Qs.Al-Bakarah. 185)

Dalam surat Az-zumar ayat 55 Allah berfirman:

ربكم من إليكم أبزل ما أحسن واتبعواArtinya:

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”,

(Qs. Az-zumar 55)

Rasulullah dalam riwayat Abdullah Ibn Mas’ud mengatakan:

حسن الله عند فهو حسنا المسلمون ماراهArtinya:

“sesuatu yang dipandang baik oleh umat islam, maka ia juga baik dihadapan

Allah SWT”. (HR. Ahmad Ibnu Hanbal dan Abdullah bin mas’ud).

Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadits terdapat berbagai permasalahan

yang terperinci menunjukan bahwa memberlakukan hukum sesuai dengan

kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia,

[3][3] Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1998), Hal.112.

Page 14: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

sedangkan syari’at islam ditunjukkan untuk menghasilkan dan mencapai

kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam

menetapkan hukum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat

diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan

hukum lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.[4][4]

2.2. ISTISHAB

2. 2.1. Pengertian Istishab

Menurut Hasby Ash-Shidiqy

) دكون اعتقا الغير نعدام ال عليه ن كا ما على ن كا ما ابقاء

فىالحال ته ثبو ظن يوجب ضر اوالحا ضى الما فى الشىء

ل واالستقبا’Mengekalkan apa yang sudah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada

yang mengubah hukum atau karena sesuatu hal yang belum di yakini.

Definisi lain yang hampir sama dengan itu dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim

al-Jauziyah,beliau adalah tokoh Ushul Fiqh Hanbali yaitu : menetapkan berlakunya

suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tidak ada sampai

ada yang mengubah kedudukanya atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan

pada masa lampau yang sudah kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang

menunjukkan perubahannya.

Secara bahasa istishab adalah tuntutan pemeliharaan dan melanjutkanya.

Adapun arti istishab secara istilah dijelaskan oleh ulama dengan redaksi yang

berbeda-beda. Imam Syihab al-Din Abu al-Abbas al-Qurafi, dalam karyanya,

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istishab adalah: keyakinan (mujtahid)

tentang sesuatu pada masa lalu atau sekarang ini; ia mewajibkan untuk menetapkan

(hukumnya) berdasarkan dugaan sekarang dan masa yang akan datang. Imam al-

[4][4] Chaerul Umam, Ushul Fiqh, ( Bandung : Cv.Pustaka Satia,1989), Hal. 129.

Page 15: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Syaukani, pengarang kitab Irsyad al-Fukhul, menjelaskan bahwa yang dimaksud

istishab adalah: tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu yang lain yang

mengubahnya.

Selain itu istishab secara bahasa berarti menemani atau membarengi. Orang

mengatakan “Istashhabtufi Safariyl Kitaba Awir Rafiqa”, berarti: saya menjadikan

kitab sebagai teman dalam berpergianku. “Istashhabtu makana fil madhi”, berarti:

saya menjadikan sesuatu yang lalu sebagai teman hingga sekarang.

Maka apabila hukum suatu perkara telah ditetapkan pada suatu masa yang

telah lalu, maka hukum tersebut tetap berlaku pada masa sesudahnya, kecuali jika

terdapat dalil yang merubahnya. Dan apabila perkara tersebut tidak ditetapkan

hukumnya pada suatu waktu maka ia tetap tidak ada hukumnya pada masa

sesudahnya, sehingga terdapat dalil yang menetapkan hukumnya.

2.2.2. Macam Macam Istishab

Menurut “Muhammad Abu Zahrah”, Istishab dibagi menjadi 4,yaitu:

a) Istishab Al-Ibarah Al Ashliyah, yaitu: Istishab yang didasarkan atas hukum asal

dari sesuatu yang mubah(boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam

menetapkan hukum di bidang muamalat. Landasannya adalah sebuah prinsip yang

mengatakan bahwa hukum dasar suatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam

kehidupan umat Islam selama tidak ada dalil yang melarangnya. Misalnya makanan,

minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan, dll. Selama tidak ada dalil yang melarangnya,

adalah halal dimakan atau boleh dikerjakan.

Dialah (Allah), yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia

berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha

Mengetahui segala sesuatu. ( QS. Al-Baqarah: 29)

Page 16: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

b) Istishab Al-baraah al-ashliyah, yaitu: Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa

pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan bebas taklif sampai ada dalil yang

mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang

mengubah status itu. Seseorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada diri

seseorang, maka ia harus mampu membuktikannya. Karena pihak tertuduh pada

dasarnya bebas dari segala tuntutan, dan status bebasnya itu tidak bisa diganggu gugat

kecuali dengan bukti yang jelas. Jadi seseorang dalam prinsip Istishab akan selalu

dianggap berada dalam status tidak bersalah sampai ada bukti yang mengubah status

itu.

c) Istishab Al-hukm, yaitu: Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang

sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.

Contoh: seseorang yang jelas berhutang pada fulan, akan selalu dianggap berhutang

sampai ada yang mengubahnya, seperti membayarnya sendiri, atau pihak yang

berpiutang membebaskannya dari utang itu.

d) Istishab Al-wasf, yaitu: Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya

sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.

Contoh: air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang

mengubah statusnya.

2.2.3. Kehujjahan Istishab

Ahli ushul fiqh berbeda pendapat tentang ke-Hujjah-an Istishab ketika tidak

ada dalil Syara’ yang menjelaskannya,antara lain :

1. Menurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam) Istishab tidak dapat di jadikan

dalil, karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya

dalil. Demikian pula untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang

dan masa yang akan datang, harus berdasarkan dalil.

2. Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin, Istishab bisa

dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan

Page 17: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak

bisa menetapkan hukum yang akan ada.

3. Ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyyah dan Syi’ah berpendapat

bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah secara mutlaq untuk menetapkan hukum

yang telah ada selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasan mereka

adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,selama tidak ada

dalil yang mengubahnya baik secara qath’I maupun Zhanni,maka hukum yang

telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahanya.

Page 18: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

2.3 MASLAHAH MURSALAH

2.3.1. Pengertian Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah menurut lugat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan

mursalah.Perpaduan dua kata menjadi ``marsalah mursalah``yang berarti prinsip

kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga

dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya:

:

1. Imam Ar-Razi mena`rifkan sebagai berikut:

``Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh

Musyarri` (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,

akalnya, keturunannya dan harta bendanya).``

2. Imam Al-Ghazali mena`rifkan sebagai berikut:

``Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat``

3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah :

``Memelihara tujuan syara` dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan

makhluk.``

2.3.2. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam

pembentukkan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang

dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan

keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak

menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai

syari`atnya.

Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :

1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang

mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukumitu

harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk

Page 19: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

Maka maslahah-maslahahyang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang

sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih

malsalah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak

isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua

keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan

kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan

rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya

ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar

keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.

2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu

dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali

memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu

contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum

muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara

kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan

menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan

apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir

maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang

kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan

cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.

3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh

syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh

Syari`.Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah

tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak

dapat disebut maslahah.

4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak

membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

Page 20: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

2.3.3. Macam-Macam Maslahah

Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu:

1. Maslahah dharuriyah

Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya

kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia,

yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan,

timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.

Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan

perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan

harta.

Di antara syri`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban

jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah.

Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin

dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban

untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk

mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat

orang yang berbuat pidana.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban

untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan.

Begitu juga menyiksa orang yan meminumnya.

Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah

kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang

dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.

2. Maslahah Hajjiah

``Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak

terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan

oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan

menghilangkan kesempitan``

Page 21: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan

dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlakudalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan

dan bidang jinayat.

Dalam hal ibadah misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi yang musafir.

Dalam adat dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yag bak-baikbdan yang

indah-indah. Dalam hal muamalat, dibolehkan jual-beli secara salam, dibolehkan

talak untuk menghindarkan kemaslahatan dari suami-istri. Dalam hal uqubat/jinayat,

menolak hudud lantaran adalah kesamaan-kesamaan pada perkara.

Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi,

kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan

kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia.

Melarang/mengharamkan rampasandan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.

3. Maslahah tahsiniyah

``Maslahah tasiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas

yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul

akhlak``.

Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang

uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, enutup

aurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada

Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah

dan lain-lain.

Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-

makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah,

misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu

kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya

dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak

boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut

usia.

Page 22: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu

melarang wanita-wanita muslimat keluar kejalan-jalan umum memakai pakaian-

pakaian yang seronok atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa

menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama.

Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya

merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa

menjadi wanita-wanita yang baik menjadi kebanggaan.

2.3.4. Kehujjahan Maslahah Mursalah

Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat

dikalangan ulama ushul di antaranya :

a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama

syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan

ahli zahir .

b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam

maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah

mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila

terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat

mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir

kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan

yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah

yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal

pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang

merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak

memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.

c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah

dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka

membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan

Page 23: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

hukum yang mengikat``. Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau

menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus

utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang

mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa

maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah

diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.

2.3.5. Alasan Ulama Menjadikannya Sebagai Hujjah

Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang

dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karma kejadian tersebut tidak hukumnya

dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan

sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum. Alasan mereka dalam hal

ini antara lain :

1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka

jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan

sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai

zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain

menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.

2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para

sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hokum

yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang

dianggap oleh syar’i.

Seperti yang dilakukan oleh abu bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas

yang tercecer menjadi suatu tulisan al-qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak

mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar

menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak,

menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan

terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi

tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada

Page 24: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

dalil syara’ yang menolaknya.

Page 25: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

2.4. SADDU DZARI’AH

2.4.1. Pengertian Saddu Dzari'ah

Saddu Adz-Dzari'ah secara etimologi bermakna menutupi kekurangan,

menyumbat lobang, dan menahan sesuatu. Kata artinya سد Menutup celah atau

mencegah sesuatu, sedangkan ذريعة berarti wasilah (sarana).

Pengertian Saddu Dzari’ah menurut para ‘ulama:

”Mencegah sarana-sarana yang dapat menjadi sarana kepada keharaman, atau

menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan dan

menolaknya.”

Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan

yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.

Tujuan penetapan hukum Saddu dan Dzari’ah ini ialah untuk memudahkan

tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau

terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan

ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan

diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini, Syari’at menetapkan perintah-

perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan

larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak

dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.

Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

واجب فهو به إال الواجب يتم ال ماArtinya:

"Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib

pula.

Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu.

Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu,

Page 26: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa

belajar shalat itu tidak wajib.

Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau

tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib

belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.

Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang

secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara

langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara

tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat

antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar

pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju

pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan

berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang.

Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka

tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

2.4.2. Dasar Hukum Saddu Dzari'ah

Dasar hukum Saddu dan Dzari’ah ialah dari Al-Qu’an dan Hadits, yaitu:

a. Firman Allah SWT yang artinya:

"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah

selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa

pengetahuan." (Al-Anam: 108).

Page 27: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum

muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke

arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui

batas.

b. Dan firman Allah SWT:

"...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan

yang mereka sembunyikan..." (An-Nur: 31)

Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang

kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain

untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha

untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c. Nabi Muhammad SAW bersabda:

”Termasuk dosa besar adalah seseorang memaki kedua orangtuanya” mereka

bertanya, ’wahai Rasulullahg apakah ada seseorang memaki kedua

Page 28: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

orangtuanya?”Beliau menjawab, ”Ya, seseorang memaki bapak orang lain lalu orang

tersebut memaki bapaknya dan memaki ibu orang lain lalu orang lain memaki

ibunya” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah

kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan

kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.

Tindakan yang paling

selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu

2.4.3. Obyek Saddu Dzari'ah

Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:

Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Perbuatan itu

mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Macam yang pertama

tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana

perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek

Saddu dan Dzari’ah karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan

dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong

orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.

Di samping itu Imam As-Syatibi menyatakn bahwa, dilihat dari segi kualitas

ke-mafsadat-annya, Dzari,ah dapat dibagi kepada empat macam :

a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada ke-mafsadat-an secara pasti

(qath’i).

b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada ke-

mafsadat-an.

c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada

ke-mafsadat-an.

d. Pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, tetapi ada

kemungkinan perbuatan itu membawa kepada ke-mafsadat-an.

Page 29: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

2.4.4. Ketentuan Dasar Mengamalkan Saddu Dzari’ah

Untuk mengamalkan Saddu Az-Dzari’ah, ada beberapa point yang harus

diperhatikan:

1. Perbuatan yang dibolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusaka secara

dominan. apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan hanya kadang-kadang

atau tidak dominan, maka tidak dilarang dan tetap pada hukum asalnya, tidak butuh

mencari dalil kebolehannya.

2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar

dari maslahatnya.

3. Tidak disyaratkan dalam mengamalkan kaidah ini adanya tujuan mukallaf berbuat

kerusakan, bahkan cukup banyak tujuan itu secara adat, sebab niat atau tujuan

tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit

dijadikan pedoman.

4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-Dzara’i’ dibolehkan apabila

dibutuhkan (hajat membutuhkannya). contohnya melihat wanita bukan mahromnya

bagi orang yang akan melamar.

5. Kehujjahan kaidah Saddu Adz-Dzari’ah

Dzari’ah dari sisi wajibnya untuk ditutup atau dicegah terbagi tiga dalam pendapat

para ulama :

1. Ijma’ menyatakan kewajiban mencegahnya dan itu pada perbuatan yang menjadi

sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan itu memang

menjadi sarana kerusakan secara pasti. contoh:larangan minum minuman

memabukkan, karena sarana yang mengantar kepada mabuk yang merusak akal.

2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah, namun tidak wajib dicegah. seperti

menanam anggur walaupun mungin ada yang membeli dan memiliki serta

memerasnya untuk dijadikan Khomr.

3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar

kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.

Page 30: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Dalam masalah ini pendapat mereka dikategorikan dalam dua pendapat:

a. Harus dicegah. inilah pendapat madzhab Malikiyah dan Hanabilah.

b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat madzhab Syafi’iyah dan

Hanafiyah.

Yang Rajih adalah pendapat pertama, karena sebagaiman disebutkan dalam

kitab Ushul Fiqh Karya Muhammad Abu Zahrah, bahawa penetapan Saddu Adz-

Dzari’ah sebagai salah satu Sumber Hukum (Mashadir Al-Ahkam), adalah Madzhab

Malikiyah dan Hanabilah. Meskipun Syafi’iyah, Hanafiyah dan ulama-ulama lainnya

tidak memandangnya sebagai Mashadir Al-Ahkam, akan tetapi hasil formulasi dari

Saddu Adz-Dzari’ah ada ditemukan dalam hasil ijtihad mereka. Pendapat pertama

inilah yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau,

”Dzari’at-dzari’at ini apabila mengantar pada kerusakan (mafsadat)secara pasti

(yakin) atau dominan maka syari’at mengharamkannya secar mutlak.”

2.5      URUF

2.5.1.    Pengertian Uruf

Uruf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima

akal sehat. Menurut kebanyakan ulama, uruf dinamakan juga adat sebab perkara yang

sudah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia.

Namun, sebenarnya adat itu lebih luas daripada uruf sebab, adat kadang-kadang

terdiri atas adat perseorangan atau bagi orang tertentu, sehingga hal ini tidak bisa

dinamakan uruf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat. Maka inilah yang

disebut uruf, baik uruf itu bersifat khusus atau umum.

Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan uruf dalam membahas

kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat

didefinisikan sebagai:

عقلية قة رمنغيرعال لمتكر مرا ال ا

Artinya:

Page 31: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.”

Adapun uruf menurut ulama ushul fiqih adalah:

فعل و ا ل قو في م رقو جمهو ة د عا

Artinya:

“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.”

2.5.2.     Macam Macam Uruf

Para ulama ushul fiqih membagi uruf dalam tiga macam yaitu:

1.      Dari segi objeknya, uruf dibagi dalam:

a.       Al-urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan

lafal/ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna

ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.

Misalnya, ungkapan daging yang berarti daging sapi; padahal kata daging

mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual

daging, lalu pembeli mengatakan “Saya beli daging satu kilogram” pedagang itu

langsung mengambilkan daging sapi, Karena kebiasaan masyarakat setempat

yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

b.      Al-urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan

biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah

perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait

dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari

tertentu memakan makanan khusus atau meminum tertentu dan kebiasaan

masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.

Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata adalah kebiasaan masyarakat

dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan

masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke

rumah pembeli oleh penjual, apabila barang dibeli itu berat dan besar, seperti ,lemari

Page 32: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan. Contoh lain

adalah kebiasaan masyarakt dalam berjual beli dengan cara mengambil barang dan

membayar uang, tanpa adanya akad secara jelas, seperti yang berlaku di pasar-pasar

swalayan. Jual-beli seperti ini dalam fiqih islam disebut dengan bay’u al-mu’atab.

2.      Dari segi cakupannya, uruf terbagi dua yaitu:

a.       Al-urf al-‘am adalah kebiasaan terntentu yang berlaku secara luas di seluruh

masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jual-beli mobil, seluruh alat

yang diperlukan untuk memperbaiki mobil, seperti kunci, tang, dongkrak, dan

ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri, dan biaya tambahan.

b.      Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.

Misalnya, di kalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang

yang dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu,

tidak dapat dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi

terhadap barang tertentu.

3.      Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, uruf terbagi dua yaitu:

a.       Al-urf al-sahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang

tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan

kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat bagi mereka.

Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada

pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

b.      Al-urf al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan

kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di

kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjam uang antara

sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo

satu bulan harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,

dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungannya yang diraih

Page 33: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena

keuntungan yang diraih sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya

yang 10%. Akan tetapi, praktek inia bukanlah kebiasaan yang bersifat  tolong

menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut

syara’ tidak boleh saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibnu

Hanbal). Selain itu praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku

di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi’ah (riba yang

muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut ulama

ushul fiqih, termasuk dalam kategori al-urf al-fasid.

Uruf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan

berfatwa, dan para hakim dalam memutuskan perkara diisyaratkan sebagai berikut:

1.      Uruf tidak bertentangan dengan qath’i. oleh karena itu, tidak dibenarkan sesuatu

yang sudah dikenal orang yang bertentangan dengan nash qath’I, seperti makan

riba. Seperti disebutkan dalam firman Allah:

با لر ا وحرم لبيع ا واحلArtinya:

“Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”

2.      Uruf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku. Oleh

karena itu, tidak dibenarkan uruf yang menyamai uruf lainnya karena adanya

pertentangan antara mereka yang mengamalkan dan yang meninggalkan.

Sebagian ulama menyebutkan contohnya, seperti apabila seorang bapak

membiayai biaya kematian anaknya dari hartanya sendiri. Kemudian anaknya

membawa perkakas tersebut kepada suaminya. Lalu terjadilah persengketaan

antara anak dan bapak tentang perkakas tadi. Bapaknya mengakui bahwa

perkakas tersebut hanya pinjaman darinya, sedangkan anaknya mengakui bahwa

perkakas itu adalah pemberian kepadanya, bukan pinjaman, tetapi keduanya tidak

mempunyai bukti atas pengakuannya itu. Dalam keadaan demikian yang diterima

Page 34: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

(dimenangkan) adalah pengakuan pihak yang selaras dengan huruf umumnya, dan

dikuatkan dengan sumpahnya. Jika uruf yang berlaku memberi petunjuk bahwa

perkakas tersebut berarti pinjaman saja, maka yang dimenangkan adalah

pengakuan bapak. Jika menurut uruf berarti sebaliknya, maka yang dimenangkan

adalah pengakuan anaknya.

3.      Uruf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan uruf yang datang

kemudian. Oleh karena itu, syarat orang yang berwakaf harus dibawakan kepada

uruf pada waktu mewakafkan meskipun bertentangan dengan uruf yang akan

datang kemudian. Maka para Fuqaha berkata, “Tidak dibenarkan uruf yang

datang kemudian.”

2.5.3.    KEHUJJAHAN URUF

Mengenai kehujjahan uruf terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul

fiqih, yang menyebabkan timbulnya dua golongan dari mereka:

1.     Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa uruf adalah hujjah untuk

menetapkan huku.

 “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan ma’ruf serta

berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)

Ayat ini, bersigat ‘am artinya, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya untuk

mengerjakan yang baik, karena merupakan perintah, maka uruf dianggap oleh syara’

sebagai dalil hukum. Juga mereka beralasan dengan hadis nabi:

حسن فهوعندا حسنا لمسلمون ا ه را ماArtinya:

“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula

menurut Allah.”

2.      Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap uruf itu

sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.

Page 35: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat Al-Quran

diturunkan, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-

tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual-beli yang sudah ada sebelum islam.

Hadis-hadis Rasulullah SAW juga banyak sekali yang mengakui eksistensi uruf yang

berlaku di tengah masyarakat, seperti hadis yang dikaitkan dengan jual-beli pesanan

(salam). Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas dikatakan bahwa ketika Rasulullah

SAW hijrah ke Madinah, Beliau melihat penduduk setempat melakukan jual-beli

salam tersebut. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

زن و و معلوم كيل فى تمرفليسلف في سلف ا من

معلوم اجل لى ا ٠معلومArtinya:

“Siapa yang melakukan jual-beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan

jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya.” (HR. Al-Bukhari)

Dari berbagai kasus uruf yang dijumpai, para ulama ushul fiqih merumuskan

kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan uruf, di antaranya adalah yang paling

mendasar:

محكمة    .1 ة د لعا ا

Artinya:

“Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.”

مكنة    .2 ال وا زمنة ال بتغيرا م الحكا ينكرتغيرا ال

Artinya:

“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”

طشرطا    .3 و لمشر ا كا عرفا لمعروف ا

Artinya:

“Yang baik itu menjadi uruf, sebagaimana yang diisyaratkan itu menjadi

syarat.”

Page 36: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

نص    .4 ا با بت لثا كا لعرف با بت لثا ا

Artinya:

“Yang ditetapkan melalui uruf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat

dan atau hadis).”

Page 37: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan
Page 38: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN1. Istihsan adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya

lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu

dianggap tidak baik oleh orang lain.

2. Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan

yang bisa mengubahnya.

3. Maslahah mursalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya

dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik

manfaat dan menghindari kemudharatan.

4. Saddu dzari’ah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh

atau haram demi kepentinagn umat.

5. Uruf Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan

kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan

aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

3.2 SARAN

Untuk pembaca makalah ini diharapkan bisa menambah khasanah ilmu

pengetahuan tentang islam yang terdapat dalam diri masing-masing. Diharapkan para

pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Page 39: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut:

Dar al-Ma’rifah, 1997).

Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998).

______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

1996).

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi

Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,

tt).

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-

Ushul,  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).

Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar

al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).

Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-

Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut:

Dar Shadir, tt).

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh

Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986).

MyStory.2010.MaslahahMursalah

http://tepolngo2.blogspot.com/2010/06/makalah-maslahah-mursalah.html

[27 September 2012]

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).

Page 40: Kelompok 9 PAI 71 Sumber Ajaran Islam Yang Diperselisihkan

ZakariaHasibuan.2010.SadduAdz-Zari’ah

http://zakariahasibuan.blogspot.com/2010/12/1.html [27 September 2012]