kecemasan n - arielheryanto.files.wordpress.com · suk di daerah asal-usul saya, jawa timur. ada...

2
Kecemasan N a5 A ri el Heryant o*) L ABRAKAN Gu s Dur pada elite politik Singapu ra terbil ang keras untuk ukuran seorang kepala negara berbi cara tent ang tetangganya dalam suasana damai. Yang bar an gkaJi kurang di sadari bany ak oran g, juga di Indones ia, kritik itu terasa Ie bih keras bagi masyarakat Singapura daripada yang dib ay angkan dunia luar. Dalam soal kritik, Singapura termas uk sang at peka dibandin gkan dengan tetangganya seperti Indone sia, Thail and , atau Filipina. Na- mun , kepekaan ini menj adi salah sa tu bagian dari beberapa kontradiksi Singapura. Wal au publik Singapura terbilang sangat peka, peril aku sehari-hari orang Singapura tidak se rb a lemah-gemulai, penuh basa-b as i, dan unggah-ungguh . Orang as in g sering heran menyak sik an perilaku orang Singapura di temp at publik. Mereka tidakj ahat, tapi cara mereka men yatakan sikapn ya bi sa terkesan kasar bag i yang tidak terbi as a. Ini mirip de- nga n stereotip beberapa kel ompok masyarakat di Indonesia, term a- suk di daerah asal-u sul saya, Jawa Timur. Ad a anekdot tentang orang di sekitar wil ayah keraton Jawa ya ng sa ngat halus, sampai- sampai mereka mampu menikam teman dari belakang dengan lembut dan tersenyum. Kalau di sumpahi orang Jawa Timur dengan kata-kata joro k, beg itu menurut anekdot ini , orang Jawa Tengah menjawab denga n sa ntun sambi I membungku k, " Sami- sam i" ("sama-sama, ka u juga"). Ki ta bisa bikin anekdot ya ng sebaliknya. Di Singapura atau Jawa Timur, orang bisa kedengaran marah-marah wa lau sedang beru saha menolong. Orang Jawa Timur bi sa hangat , ro manti s, dan jujUI', tapi jangan terl alu banyak berh arap mereka suka berbasa-basi. Mengapa? Kono n karena di sana tidak ada kebudayaan keraton, atau wari sa nn ya. Budaya rakyat jelata ya ng menonj ol denga n ga mbl ang ke ru ang publik: kas ar, bl akblaka n, dan langsun g. Itu berbeda dengan suasa- na per ga ul an Jawa Tengah di sebelah baratn ya, atau Bali di timurnya. Kedu a wilayah yan g belakangan ini ku yup dengan bud aya adiluhung kaum bangsawan dan pangeran. Gaya ber ga ul yang angg un juga dapat dij umpai di berbagai negeri ya ng pern ah punya keraton besar: Semen anjung Malaysia, Brunei, Thail and , ]epang, Indi a, sert a se- jumlah masyarakat Eropa. Jawa Timur dulunya ko non menj ad i tempat pe lari an politik dari Jawa Ten gah. Kerajaan Singsosari di Jawa Timur dikuasai kaum preman seperti Ken Arok. Semangat dan gaya hidup Jawa Timur ada miripnya dengan gaya hidup bangsa Amerika Serikat yang bercikal-bakal kaum pelarian dari Eropa, seperti haln ya bangsa Aus- trali a. Samp ai pada tahap tertentu , semua itu mirip Singapur a, yang sejarahnya tidak terlep as dari kaum pend atang dan pedagang tanpa wari san budaya keraton . Pemerintah Singapura bukann ya tidak tahu den gan sikap dan gaya bi cara masyarakatn ya . Berbagai prog ram re smi dan kampanye di- sel enggarak an untuk meningkatkan sik ap santun dan ramah dalam masyarakat. Jadi, kalau ada orang Singapura menyinggung perasaan Gus Dur, itu bukan berita atau kejutan. Y an g men arik, Gu s Dur men ye rang balik, bukan denga n sin gg un gan canggih al a keraton, melain ka n dengan labrakan fro nt al ala Ken Arok. Dari em pat presi - den Indones ia , han ya satu , yakni Soehart o sang diktator, ya ng akr ab dengan kebuday aan keraton, yang tid ak pemah memaki Sin gapura. Karena kepekaann ya, mun gkin saja orang Sin gapura tid ak akan melupakan atau memaafkan kritik Gu s Dur. Terl epas dari se- jauh mana kritik itu ben ar atau sal ah, masyarakat Singapura ter- la lu lam a tidak terbi as a hidup dengan kritik tajam di muka pu- blik. Ap alagi jika kritik itu ada benamya, atau cocok den gan pra- sa ngka umum yan g sebelumnya sud ah terlalu men yebar. Para warta wan Singapura be- lakangan sibuk men yiapkan ber- bagai tulis an untuk menolak kecaman Gus Dur dan menye- rang balik. Juga mereka yang menj adi koresponden di Jakarta. Tindakan seperti ini jauh lebih sulit di lakukan koresponden as in g di Singapura. Sebagian wart awan rajin mengutip berb a- gai pemyataan dali mu suh politik Gus Dur di Indonesia se ndi ri. Para anali s me nuduh kritik Gus Dur meru pakan usah a menutupi kebo brokan nege ri sendiri, atau mengalihkan perh ati an masya- rakat Ind onesia dari masalah di Tanah Air. Tapi , kalau beg itu, mengapa Gu s Dur tid ak mengun g- kapk ann ya di Tan ah Air? Artik el dari Indones ia ya ng menyerang Gus Dur ditelj emahkan dan dipublikasik an ul ang di med ia Singapura. Tanp a di se ngaja, hal itu bi sa memberikan pendidikan politik yang sehat. Walau mun gkin dimaksudkan sebagai co nt oh betapa kelirunya kritik Gu s Dur kepada Sin gapura, juga menurut parlemen atau masy arakat Indones ia , se- cara tidak langs un g pu blik asi terj emah an itu memberikan co nt oh kepada publik Singap ura bagaimana sebu ah negara tetangga bi sa pun ya pat' lemen dan pel' s ya ng kritis kepada penguasa. Dan pengu- asa bi sa tenang-tenang saj a. Harap mak lum, jurnali sme di Singapura pada masa ini mas ih mirip-kalau bu ka nn ya lebih parah daripada-jurnali sme Indone - sia di masa jayan ya Soeh art o. Ingat bagaimana sibuknya koran In- done sia menye rang Au stralia ketika ad a artikel Sydn ey Mornin g Herald membongkar kekayaan Soeharto pada 1986. Harap maklum juga, Singapura seperti Malays ia hari ini merupakan kelanjutan mulu s dari produk politik Perang Dingin . Mereka, seperti sejumlah negara di Indoc in a, belum terken a angin demokrati sas i atau reform as i pasca- Perang Din gin yang meland a dan merombak Filipina, Th ail and , Korea Selatan, se lain Indonesia. Sin gapu ra berbeda denga n masyarakat bermayo ritas pendatang seperti di Jawa Timur, Amerika Seri kat, atau Au stralia dalam du a hal pen ting. Pert ama, Singap ura sedang sibuk mengagumi diri se n- dili karena keberhas il an gernilan g dalam perekonomi an untuk ukuran mana pun di dunia. Karena pres tas i ini mas ih baru tercapai dan ma- sih be rl anjut, kebanggaan masyarakat Singapura ma sih sedang 1 52 TEMPO, 10 DESEMBER 2 000 Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: hoangdieu

Post on 08-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kecemasan N - arielheryanto.files.wordpress.com · suk di daerah asal-usul saya, Jawa Timur. Ada anekdot tentang orang di sekitar wil ayah keraton Jawa yang sangat hal us, sampai-sampai

Kecemasan N a5 Ariel Heryanto*)

L ABRAKAN Gus Dur pada elite politik Singapura terbilang keras untuk ukuran seorang kepala negara berbicara tentang tetangganya dalam suasana damai. Yang barangkaJi kurang disadari banyak orang, juga di Indones ia, kritik itu terasa Ie bih keras bagi masyarakat Singapura daripada yang

dibayangkan dunia luar. Dalam soal kritik, Singapura termasuk sangat peka dibandingkan

dengan tetangganya seperti Indonesia, Thailand, atau Filipina. Na­mun , kepekaan ini menj adi salah satu bagian dari beberapa kontradiksi Singapura. Walau publik Singapura terbilang sangat peka, perilaku sehari-hari orang Singapura tidak serba lemah-gemulai, penuh basa-basi, dan unggah-ungguh.

Orang asing sering heran menyaksikan perilaku orang Singapura di temp at publik. Mereka tidakjahat, tapi cara mereka menyatakan sikapnya bisa terkesan kasar bagi yang tidak terbiasa. Ini mirip de­ngan stereotip beberapa kelompok masyarakat di Indonesia, term a­suk di daerah asal-usul saya, Jawa Timur.

Ada anekdot tentang orang di sekitar wil ayah keraton Jawa yang sangat hal us, sampai-sampai mereka mampu menikam teman dari belakang dengan lembut dan tersenyum. Kalau disumpahi orang Jawa Timur dengan kata-kata jorok, begitu menurut anekdot ini, orang Jawa Tengah menjawab dengan santun sambi I membungkuk, "Sami­sami" ("sama-sama, kau juga"). Ki ta bisa bikin anekdot yang sebaliknya. Di Singapura atau Jawa Timur, orang bisa kedengaran marah-marah walau sedang berusaha menolong.

Orang Jawa Timur bisa hangat, romantis, dan jujUI', tapi jangan terlalu ban yak berharap mereka suka berbasa-basi. Mengapa? Konon karena di sana tidak ada kebudayaan keraton, atau warisannya. Budaya rakyat jelata yang menonjol dengan gamblang ke ruang publik: kasar, blakblakan, dan langsung. Itu berbeda dengan suasa­na pergaulan Jawa Tengah di sebelah baratnya, atau Bali di timurnya. Kedua wilayah yang belakangan ini kuyup dengan budaya adiluhung kaum bangsawan dan pangeran. Gaya bergaul yang anggun juga dapat dijumpai di berbagai negeri yang pernah punya keraton besar: Semenanjung Malaysia, Brunei, Thailand, ]epang, India, serta se­jumlah masyarakat Eropa.

Jawa Timur dulunya konon menj adi tempat pelarian politik dari Jawa Tengah. Kerajaan Singsosari di Jawa Timur dikuasai kaum preman seperti Ken Arok. Semangat dan gaya hidup Jawa Timur ada miripnya dengan gaya hidup bangsa Amerika Serikat yang bercikal-bakal kaum pelarian dari Eropa, seperti halnya bangsa Aus­tralia. Sampai pada tahap tertentu , semua itu mirip Singapura, yang sejarahnya tidak terlepas dari kaum pendatang dan pedagang tanpa warisan budaya keraton .

Pemerintah Singapura bukannya tidak tahu dengan sikap dan gaya bicara masyarakatnya. Berbagai program resmi dan kampanye di­selenggarakan untuk meningkatkan sikap santun dan ramah dalam masyarakat. Jadi, kalau ada orang Singapura menyinggung perasaan Gus Dur, itu bukan berita atau kejutan. Yang menarik, Gus Dur menyerang balik, bukan dengan singgungan canggih ala keraton, melainkan dengan labrakan frontal ala Ken Arok. Dari em pat presi ­den Indonesia, hanya satu, yakni Soeharto sang diktator, yang akrab dengan kebudayaan keraton, yang tidak pemah memaki Singapura.

Karena kepekaannya, mungkin saja orang Singapura tidak akan

melupaka n atau memaafkan kritik Gus Dur. Terlepas dari se­jauh mana kritik itu benar at au salah, masyarakat Singapura ter­lalu lama tidak terbi asa hidup dengan kritik tajam di muka pu­blik. Apalagi jika kritik itu ada benamya, atau cocok dengan pra­sangka umum yang sebelumnya sudah terlalu menyebar.

Para wartawan Singapura be­lakangan sibuk menyiapkan ber­bagai tuli san untuk menolak kecaman Gus Dur dan menye­rang balik. Juga mereka yang menj adi koresponden di Jakarta. Tindakan seperti ini jauh lebih sulit di lakukan koresponden as ing di Singapura. Sebagian wartawan rajin mengutip berba­gai pemyataan dali musuh politik Gus Dur di Indonesia sendi ri. Para analis menuduh kritik Gus Dur merupakan usaha menutupi kebobrokan negeri sendiri, atau mengalihkan perhatian masya­rakat Indonesia dari masalah di Tanah Air. Tapi, kalau begitu, mengapa Gus Dur tidak mengung­kapkannya di Tanah Air?

Artikel dari Indonesia yang menyerang Gus Dur diteljemahkan dan dipublikasikan ul ang di media Singapura. Tanpa disengaja, hal itu bi sa memberikan pendidikan politik yang sehat. Walau mungkin dimaksudkan sebagai contoh betapa kelirunya kritik Gus Dur kepada Singapura, juga menurut parlemen atau masyarakat Indonesia, se­cara tidak langsung publikasi terjemahan itu memberikan contoh kepada publik Singapura bagaimana sebuah negara tetangga bisa punya pat'lemen dan pel's yang kritis kepada penguasa. Dan pengu­asa bisa tenang-tenang saja.

Harap maklum, jurnalisme di Singapura pada masa ini masih mirip-kalau bukannya lebih parah daripada-jurnalisme Indone­sia di masa jayanya Soeharto. Ingat bagaimana sibuknya koran In­donesia menyerang Australia ketika ada artikel Sydney Morning Herald membongkar kekayaan Soeharto pada 1986. Harap maklum juga, Singapura seperti Malaysia hari ini merupakan kelanjutan mulus dari produk politik Perang Dingin . Mereka, seperti sejumlah negara di Indocina, belum terkena angin demokratisasi atau reformasi pasca­Perang Dingin yang melanda dan merombak Filipina, Thailand, Korea Selatan, selain Indonesia.

Singapura berbeda dengan masyarakat bermayoritas pendatang seperti di Jawa Timur, Amerika Serikat, atau Australia dalam dua hal penting. Pertama, Singapura sedang sibuk mengagumi diri sen­dili karena keberhasilan gernilang dalam perekonomian untuk ukuran mana pun di dunia. Karena prestasi ini masih baru tercapai dan ma­sih berlanjut , kebanggaan masyarakat Singapura masih sedang

152 TEMPO, 10 DESEMBER 2000

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Page 2: Kecemasan N - arielheryanto.files.wordpress.com · suk di daerah asal-usul saya, Jawa Timur. Ada anekdot tentang orang di sekitar wil ayah keraton Jawa yang sangat hal us, sampai-sampai

~OM .

ional Singapura

hangat-hangatnya. Tidak sepenuhnya salah kalau Gus Our menuduh Singapura ku­

rang berminat berurusan dengan tetangga terdekat dan lebih asyik bercumbu dengan negara-negara kuat dan kaya. Sebagian karena begitulah tuntutan kapitalisme global. Negara mana yang bisa me­nolak dorongan global itu? Tapi sebagian karena Singapura tidak cukup memahami tetangganya dengan baik, seperti juga tetangga­nya tidak memahami Singapura secara memadai .

Kedua, b~rbeda dengan masyarakat yang bercikal-bakal pendatang dari jauh yang lain, Singapura menderita kecemasan yang kronis dan mungkin abadi. Teritori negeri mereka teramat kecil, tidak bisa dipindahkan, dan teIjepit di antara negara-negara yang dianggap le­bih jorok, miskin, dan kacau. Lebih sulit lagi , ras dan agama yang dominan di Singapura berbeda dengan dua tetangga terdekatnya, Malaysia dan Indonesia.

Semua ini masih ditambah lagi dengan fakta negeri superkecil yang superkaya ini tidak punya sumber alam seperti beberapa negeri tetangganya. Untuk kebutuhan air saja, mereka bergantung pad a te­tangganya. Tidak banyak orang luar yang mau atau mampu mema­hami betapa mendalam kecemasan Singapura.

Kecemasan ini memacu mereka bekerja ekstrakeras untuk meng­atasi kesulitan masa depan yang dibayangkan dan mungkin tidak sepenuhnya nyata. Anak-anak sekolah digenjot dengan tugas belajar berlebih sejak berusia sangat muda. Kemalasan, korupsi, apalagi narkotik tidak lagi dianggap sebagai kejahatan individu, tapi ancaman nasional. Hukumannya terkenal di dunia.

Kecemasan serupa menj adi pembenaran untuk sejumlah

penindasan politik, apalagi bila menyangkut masalah ras , sebuah soal yang jauh lebih peka daripada di Indonesia. Bisa dibayangkan ketika Gus Our justru mengaduk-aduk soal paling peka ini seenaknya. Oalam pemilu tahun lalu , seorang tokoh oposisi dihajar lewat pengadilan sehingga layu sebelum bertanding. Ia dituduh membuat hasutan yang berkaitan dengan soal ras. Beberapa minggu sebelum geger Gus Our di Singapura, pemerintah melarang sebuah pementasan teater karena dianggap terlalu peka untuk minoritas Is­lam dan Melayu .

Semua kecemasan itu diatas i antara lain dengan menghibur diri dan propaganda. Pers Singapura secara gencar menyebarkan kisah­kisah kehebatan Singapura dan pemerintahnya, sambil membahas berbagai berita ten tang bencana dan tragedi di negara lain . Itu sebabnya publik menjadi tidak terlatih menerima kritik tentang kekurangan negaranya atau men ghargai tetangganya. Bi sa dibayangkan, hari-hari ini orang Indonesia yang berada di Singapura menjadi sasaran balas dendam kecil-kecilan tapi bertubi-tubi dari penduduk setempat yang nasionalis.

Hidup dengan kecemasan-plus-kebanggaan berdosis berat seper­ti itu membuat masyarakat Singapura tampil lain, bahkan aneh, di mata tetangganya. Ini sudah diketahui dunia luar. Celakanya, watak dan ciri-ciri itu dibesar-besarkan lewat gosip dan berbagai diskusi publik menjadi karikatural dan stereotip. Sayang, karena ini , semlla pihak dirugikan.

Oi satu pihak, dunia luar terbiasa mengolok-olok Singapura berdasarkan prasangka. Singapura dianggap sebagai lam bang otoritmianisme Asia. Jangankan oposisi politik, kebebasan untuk kreativitas ilmu, analisis sosial, dan keseni an dianggap tidak punya tempat. Singapura dibayangkan sangat alergi pada sampah dan terobsesi pada ketertiban dan kebersihan. Oianggap sangat op0l111nis dan mata-duitan. Hanya dua hal yang dianggap memikat dari Singapura: shopping dan rumah sakit.

Seorang rekan dmi Australia menganggap ilmu sosial di Singapura tak mungkin berkembang. Hanya lelucon, katanya. Seorang analis politik lain menganggap secara ekonomi Singapura adalah parasit karena tak punya dan tak memberikan apa-apa tapi menyedot yang ada di sekitarnya. Goenawan Mohamad menganggap Singapura bukan sebuah "masyarakat", melainkan "intensive care unit" (lCU) yang tidak persis sama bila diterjemahkan menjadi "ruang gawat darurat". Maksudnya, di Singapura segalanya diawasi, diatur, dan dipelihara (care) oleh negara yang ahli sehingga serba tertib dan bersih seperti rumah saki t. Rakyat adalah pasien.

Tak banyak yang tahu, selama 13 tahun terakhir, Singapura men­jadi salah satu pusat kegiatan festival film internasional terkemuka di Asia. Perguruan tingginya menarik cendekiawan dari mancanegara dan secara tetap menjadi empat terbaik di seluruh kawasan Asia Pasifik menurut survei rutin majalah Asiaweek. Mungkin seperti Gus Our, Goenawan Mohamad juga ada benarnya ketika mengolok-olok Singapura. Bila benar Singapura merupakan sebuah ICU, mungkin itu sebabnya setiap hari orang Indonesia berbondong-bondong ke Singapura. Entah sebagai pembantu rumah tangga, pemodal , atau pasien . Sebab, di tanah air kita banyak yang sakit dan telantar.

*) Penulis pemah menjadi TK/ di Singapura ( /996-2000)

TEMPO, 10 DESEMBER 2000 153

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>