eprints.umm.ac.id ii.docx · web viewbab ii tinjauan pustaka tinjauan tentang perkawinan perkawinan...

43
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perkawinan Perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki- laki dan perempuan pada dasarnya agar terhindar dari tindakan menyimpang yang dianggap melanggar norma masyarakat dan hukum positif Indonesia. Selain itu perkawinan salah satu tindakan sederhana yang dapat menyempurnakan sebuah kehidupan, yang dimana nantinya melahirkan suatu keturunan dan dapat menjadi penerus keturunannya. Pada bab ini akan membahas secara mendasar dan menyertakan teori-teori antara lain terkait dengan pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, dasar Hukum perkawinan, syarat- syarat sahnya perkawinan yang akan dibahas pada sub- sub bab secara singkat akan tetapi dapat dipahami oleh setiap pembaca. 1. Pengertian Perkawinan Secara etimologis perkawinan berasal dari kata “kawin” yang memiliki arti melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh untuk membentuk keluarga 21

Upload: others

Post on 19-Jul-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1. Tinjauan Tentang Perkawinan
Perkawinan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan perempuan pada dasarnya agar terhindar dari tindakan menyimpang yang dianggap melanggar norma masyarakat dan hukum positif Indonesia. Selain itu perkawinan salah satu tindakan sederhana yang dapat menyempurnakan sebuah kehidupan, yang dimana nantinya melahirkan suatu keturunan dan dapat menjadi penerus keturunannya. Pada bab ini akan membahas secara mendasar dan menyertakan teori-teori antara lain terkait dengan pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, dasar Hukum perkawinan, syarat-syarat sahnya perkawinan yang akan dibahas pada sub-sub bab secara singkat akan tetapi dapat dipahami oleh setiap pembaca.
0. Pengertian Perkawinan
Secara etimologis perkawinan berasal dari kata “kawin” yang memiliki arti melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh untuk membentuk keluarga dengan lawan jenisnya.[footnoteRef:1] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) perkawinan berasal dari kata kawin yang bermakna membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah.[footnoteRef:2] Kata lain dari Perkawinan ialah Pernikahan dan mempunyai arti yang sama.[footnoteRef:3] [1: Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Cetakan Ke-1), Kencana, Bogor, 2003, hal. 7.] [2: Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hal. 518.] [3: Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit.]
Kemudian beberapa pengertian perkawinan yang diutarakan oleh beberapa para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan.
0. Menurut Pendapat Ahli
a. Menurut Prof. Subekti, SH, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[footnoteRef:4] [4: Subekti dan Tjitrosudibio, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 23.]
b. Menurut Tengku Erwinsyahbana mengutip dari pendapat Sayuti Thalib, Perkawinan sebagai suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga.[footnoteRef:5] [5: Tengku Erwinsyahbana, Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 No. 2, Februari 2012, hal. 167]
0. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Secara yuridis pengertian perkawinan telah tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, yang berbunyi
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[footnoteRef:6] [6: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.]
Dari pengertian perkawinan diatas dapat diketahui bahwa terdapat lima unsur didalam pengertian perkawinan, yaitu :
a. Adanya Ikatan Lahir Batin. Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian serta persetujuan yang menimbulkan suatu ikatan secara lahiriyah maupun batiniah antara seorang pria dengan seorang perempuan.
b. Antara Seorang Laki-Laki Dengan Seorang Perempuan. Perkawinan yang dilaksanakan haruslah dilakukan oleh seseorang yang berbeda jenis kelamin, karena salah satu tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah untuk menghasilkan suatu keturunan.
c. Sebagai Suami Isteri. Setelah dilaksanakannya perkawinan tentu saja scara yuridis statusya juga berubah, yang dimana laki-laki berubah statusnya sebagai suami dan perempuan berubah statusnya berubah sebagai isteri
d. Adanya Tujuan. Pelaksanaan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga pelaksanaan perkawinan tidak boleh dalam jangka waktu tertentu saja ataupun sebagai ajang coba-coba.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama dan kerohanian yang dimana terdapat unsur keagamaan didalamnya bukan hanya keperdataan saja. Karena pelaksanaan perkawinan merupakan untuk melaksanakan anjuran Allah SWT yang merupakan termasuk dalam kategori melakukam ibadah.
0. Kompilasi Hukum Islam
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan tercantum pada Pasal 2 yakni “Perkawinan hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.[footnoteRef:7] [7: Kompilasi Hukum Islam Pasal 2. ]
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa perkawinan atau yang lebih dikenal dengan istilah pernikahan dalam hukum Islam adalah pernikahan yang dilaksanakan untuk mentaati serta melaksanakan perintah Allah, yang dimana perbuatan tersebut dikategorikan sebagai suatu ibadah.
Sehingga dari beberpa pengertian perkawinan yang telah dikemukakan oleh para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan sebuah hubungan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang hidup bersama guna memenuhi kebutuhan biologis dan menciptakan suatu hubungan timbal balik antara kedua belah pihak yang diharapkan dapat menjadi suatu keluarga yang bahagia secara lahir dan batin guna dapat mewujudkan sebuah keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[footnoteRef:8] [8: Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit, hal 22-23.]
0. Tujuan Perkawinan
Tiap warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban pada masing-masing individu. Salah satu hak warga negara Indonesia adalah membentuk keluarga dan melanjutkan keturuannya, hal tersebut tercantum pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang menyebutkan bahwa :
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.[footnoteRef:9] [9: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B ayat (1)]
Kemudian beberapa tujuan perkawinan yang diutarakan oleh beberapa para ahli serta ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan.
1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pengaturan perihal perkawinan itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 yang kemudian Undang-Undang Perkawinan tersebut mengalami beberapa perubahan sehingga diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dimana undang-undang tersebut mulai berlaku pada tanggal 15 Oktober 2019. Selain itu terdapat pula Peraturan Pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan perundang-undangan tersebut, mengatur megenai perkawinan secara nasional, yang secara otomatis berlaku bagi semua masyarakat yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, tidak memandang ras maupun golongan-golongan yang ada di Indonesia.[footnoteRef:10] [10: Fuad Buchari, Kedudukan Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Hukum, Volume 1 No. 2, Oktober 2014, hal. 1.]
Tujuan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur dalam pasal 1 yang dimana tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[footnoteRef:11] Kemudian selanjutnya dijelaskan pula bahwa suami isteri perlu untuk saling membantu dan melengkapi agar dapat membantu untuk mengembangkan dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material masing-masing pihak.[footnoteRef:12] [11: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.] [12: Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam dan Hukum Adat, Jurnal Yudisia, Volume 7 No. 2, Desember 2016, hal. 419.]
Hal ini dikarenakan perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Sehingga dalam hal ini perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir secara jasmani, akan tetapi terdapat unsur batin yang sama-sama mempunyai peranan penting didalamnya.[footnoteRef:13] [13: Ibid.]
1.2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam atau yang sering disingkat dengan sebutan KHI merupakan pengaturan yang disusun dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat Islam yang ada di Indonesia.[footnoteRef:14] Terwujudnya KHI didasarkan pada keinginan untuk menyeragamkan hukum Islam yang ada di Indonesia, dikarenakan pada saat sebelum KHI dikeluarkan, para hakim Pengadilan Agama saat membuat putusan dalam suatu perkara hukum selalu berpedoman pada kitab-kitab fiqih yang dimana terdapat beberapa pemahaman yang berbeda di dalamnya.[footnoteRef:15] [14: Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jurnal AJUDIKASI, Volume 1 No. 2, Desember 2017, hal. 50.] [15: Ibid, hal. 42.]
Sehingga tidak sedikit pula putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama hasilnya berbeda-beda, padahal perkara hukum yang dibahas sama. Dikarenakan hal tersebut, maka kemudian diterbitkanlah KHI untuk mewujudan keseragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan para hakim dalam memutuskan suatu perkara yang berada di lingkungan Pengadilan Agama.[footnoteRef:16] [16: Ibid.]
Penyebarluasan KHI dilaksanakan melalui instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan.[footnoteRef:17] [17: Kompilasai Hukum Islam.]
Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Pasal 3 yang dimana menyatakan bahwa tujuan perkawinan yakni guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dikarenakan dengan adanya pelaksanaan perkawinan dapat menambah kesejahteraan umat baik secara individu ataupun bermasyarakat, yang dimana kesejahteraan kelurga merupakan suatu pondasi agar terwujudnya kesejahteraan individu sekaligus kesejahteraan masyarakat.[footnoteRef:18] [18: Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2019, hal. 9]
0. Syarat Sahnya Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 menyatakan bahwa :
0. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu
0. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[footnoteRef:19] [19: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan (2).]
Sehingga saat akan melaksanakan perkawinan terdapat persyaratan-persyaratan yang diatur agar perkawinan yang dilaksanakan dapat dikatakan sah dimata hukum.
Syarat Perkawinan ialah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, apabila terdapat salah satu dari persyaratan yang telah ditentukan tidak dipenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah di mata hukum.[footnoteRef:20] Syarat sah perkawinan dibagi menjadi 2 macam, yakni syarat sah formil, dan materil. Syarat perkawinan formil lebih kepada tata cara ataupun prosedur pelaksanaan. Kemudian syarat meteril yakni berupa syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi sebelum dilaksanakannya suatu perkawinan oleh masing-masing pihak calon mempelai. [20: Kang Yadi, Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, http://www.apik-web.blogspot.com, diakses pada 26 Februari 2019.]
Pada pembahasan kali ini akan lebih berfokus mengenai syarat materiil perkawinan yang dimana telah diatur berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Namun sebelumnya perlu diketahui bahwa syarat materiil itu sendiri dibagi menjadi 2 macam. Syarat materiil yang pertama yakni syarat materiil absolut atau mutlak, yang dimana syarat materiil ini mengatur mengenai syarat-syarat dasar yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai perihal batasan umur, persetujuan, dan ijin.[footnoteRef:21] [21: Komariah, Op.cit, hal. 37-40.]
Syarat materiil yang kedua adalah syarat materiil relatif yang dimana syarat ini mengatur mengenai adanya larangan perkawinan antara seorang dengan seseorang tertentu.[footnoteRef:22] Namun Pada pembahasan kali ini hanya akan mengutarakan mengenai syarat materiil obsolut atau mutlak yang dimana menjadi dasar sah tidaknya suatu perkawinan, sedangkan untuk syarat materiil relatif akan diutarakan dalam pembahasan selanjutnya. [22: Ibid.]
Berikut beberapa ketentuan yang mengatur mengenai syarat-syarat sahnya Perkawinan.
0. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bahwasannya berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, syarat-syarat materiil absolut atau mutlak diatur dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 6 terdiri dari 6 ayat dan Pasal 7 terdiri dari 4 ayat, yakni sebagai berikut :
1. Persetujuan
Menurut Pasal 6 ayat (1), perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai. Sehingga perkawinan tersebut tidak terdapat unsur paksaan di dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain murni atas dasar suka sama suka.[footnoteRef:23] [23: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (1)]
1. Usia Mencukupi
Menurut Pasal 7 ayat (1), batas umur saat akan melaksanakan perkawinan yakni 19 tahun untuk calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.[footnoteRef:24] Akan tetapi apabila kedua calon belum memenuhi batasan usia atau terjadi penyimpangan usia untuk melaksanakan perkawinan, maka orang tua calon mempelai laki-laki ataupun perempuan harus meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak dan disertai dengan bukti-bukti pendukung yang cukup.[footnoteRef:25] Selain itu disaat pengadilan akan memberikan dispensani haruslah mendengarkan terlebih dahulu pendapat dari kedua calon mempelai yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.[footnoteRef:26] [24: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1).] [25: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (2).] [26: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (3).]
Kemudian berdasarkan Pasal 6 ayat (2) menerangkan bahwa, apabila kedua calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, maka untuk melangsungkan perkawinan tersebut haruslah mendapat izin dari masing-masing kedua orang tua calon mempelai.[footnoteRef:27] Hal ini dikarenakan dianggap belum cukup untuk diakatakan dewasa secara hukum, yang dimana belum dianggap cakap dalam melakukan tindakan hukum.[footnoteRef:28] [27: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (2)] [28: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 330.]
1. Wali
Menurut Pasal 6 ayat (3), (4) dan 5, apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam hal lain tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin pelaksanaan perkawinan dapat dimintakan kepada orang tua yang masih hidup ataupun orang tua yang mampu mengatakan kehendaknya.[footnoteRef:29] [29: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (3)]
Akan tetapi jika kedua orang tuanya meninggal dunia ataupun tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin pelaksanaan perkawinan dapat diperoleh dari wali. Wali yang dimaksud merupakan seseorang yang memelihara ataupun keluarga yang mempunyai hubungan darah dalah garis keturunan lurus keatas selama wali terasebut masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya.[footnoteRef:30] [30: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (4)]
Akan tetapi berbeda halnya apabila orang tua atau wali tidak menyatakan pendapatnya, maka calon mempelai dapat meminta izin pelaksanaan perkawinan ke Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal. Dan dalam hal ini Pengadilan baru dapat memberikan izin pelaksanaan perkawinan tersebut harus mendengar pendapat orang tua ataupun walinya terlebih dahulu.[footnoteRef:31] [31: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 ayat (5)]
0. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Berikut syarat sahnya perkawinan yang harus terpenuhi saat ingin melaksanakan perkawinan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang tercantum pada Pasal 14. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ini menyebutkan lima rukun perkawinan yang dijadikan sebagai syarat sahnya perkawinan, yakni sebagai berikut :
1. Calon Mempelai
Calon mempelai terdiri dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18.
Menurut pasal 15, kedua calon mempelai telah mencapai umur yang di tetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yakni calon suami minimal berusia 19 tahun dan calon isteri minimal berusia 16 tahun.[footnoteRef:32] Akan tetapi apabila calon mempelai yang berusia belim mencapai 21 tahun harus mendapatkan izin pelaksanaan perkawinan dari orang tua, wali ataupun pengadilan.[footnoteRef:33] [32: Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1)] [33: Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (2)]
Menurut Pasal 16 dan 17, pelaksanaan perkawinan harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai.[footnoteRef:34] Persetujuan dari calon mempelai wanita dapat berupa penyataan tegas disertai dengan tulisan, lisan atau isyarat. Dan apabila calon mempelai wanita hanya diam saja berarti calon mempelai wanita setuju dengan pelaksanaan perkawinan tersebut. Dikarenakan dalam hal ini sikap calon mempelai tersebut dianggap tidak ada penolakan.[footnoteRef:35] [34: Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (1)] [35: Kompilasi Hukum Islam Pasal 16 ayat (2)]
Selain itu sebelum berlangsungnya perkawinan, para pegawai pencatat nikah terlebih dahulu menanyakan persetujuan dua calon mempelai dengan didampingi oleh 2 orang saksi nikah.[footnoteRef:36] Dan apabila salah satu calon mempelai tidak menyetujuinya, maka pelaksanaan perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan.[footnoteRef:37] Apabila dalam hal ini calon mempelai menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dilakukan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.[footnoteRef:38] [36: Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (1)] [37: Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (2)] [38: Kompilasi Hukum Islam Pasal 17 ayat (3)]
Dan ketentuan yang lebih penting bagi para calon mempelai yakni tidak ada hubungan larangan perkawinan antara calon mempelai suami dengan calon mempelai isteri.[footnoteRef:39] [39: Kompilasi Hukum Islam Pasal 18]
1. Wali Nikah
Wali nikah adalah seseorang yang bertindak untuk menikahkan calon mempelai wanita. Selain itu terdapat dua jenis wali nikah, yakni wali nasab dan wali hakim. Berikut syarat serta penjelasan mengenai wali nikah yeng telah diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 23.
1. Wali Nasab
Wali nasab terdiri dari empat kelompok, pertama kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Dan keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. [footnoteRef:40] [40: Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (1)]
Sehingga dalam hal ini yang diprioritaskan sebagai wali nikah yakni :[footnoteRef:41] [41: Anggi Rosalia, Urutan Wali Nikah Dalam Islam, https://dalamislam.com, diakses pada 19 Oktober 2019.]
1. Ayah
1. Paman, Saudara Kandung Ayah
1. Paman, Saudara Ayah Yang Sebapak
1. Sepupu, Keponakan Saudara Kandung Ayah
1. Sepupu, Keponakan Saudara Ayah Yang Sebapak
Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.[footnoteRef:42] Akan tetapi berbeda halnya apabila wali nikah yang paling berhak tidak dapat memenuhi syarat sebagai wali yang dimana wali nikah tersebut menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka yang berhak menjadi wali nikah bergeser menurut urutannya.[footnoteRef:43] [42: Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 ayat (4).] [43: Kompilasi Hukum Islam Pasal 22]
1. Wali Hakim
Wali hakim merupakan wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak serta kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.[footnoteRef:44] Dalam hal ini wali hakim baru dapat bertindak apabila wali nasab tidak ada ataupun tidak mungkin dapat dihadirkan karena tidak mengetahui tempat tinggalnya.[footnoteRef:45] Akan tetapi apabila wali adlal atau eenggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah adanya putusan dari Pengadilan Agama mengenai wali tersebut.[footnoteRef:46] [44: Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf b.] [45: Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (1).] [46: Kompilasi Hukum Islam Pasal 23 ayat (2).]
1. Saksi Nikah
Saksi nikah merupakan seseorang yang ditunjuk oleh calon ataupun keluarga yang akan melaksanakan perkawinan untuk turut hadir dan menyaksikan saat terjadinya akad nikah dan penandatanganan akta nikah. Berikut uraian pasal-pasal yang menerangkan mengenai saksi nikah yang terdapat pada Pasal 24 sampai dengan Pasal 26.[footnoteRef:47] [47: Kompilasi Hukum Islam Pasal 24 sampai dengan Pasal 26.]
Saksi merupakan salah satu rukun dalam pelaksanaan akad nikah, yang dimana dalam pelaksanaannya harus dihadiri dua orang saksi.[footnoteRef:48] Seseorang yang dapat ditunjuk sebagai saksi yakni seserang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatannya serta tidak menderita tuna rungu atau tuli.[footnoteRef:49] Kemudian selain itu saksi tersebut juga harus hadir langsung dalam pelaksanaan akad nikah untuk menyaksikan secara langsung pelaksanaan perkawinan serta penandatanganan akta nikah saat dilangsungkannya akad nikah.[footnoteRef:50] [48: Kompilasi Hukum Islam Pasal 24.] [49: Kompilasi Hukum Islam Pasal 25.] [50: Kompilasi Hukum Islam Pasal 26.]
1. Akad Nikah
Akad nikah merupakan kunci dari pelaksanaan perkawinan itu sendiri.[footnoteRef:51] Dikarenakan akad nikah adalah upacara keagamaan untuk menyatakan kesepakatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk mengikatkan dirinya dalam suatu ikatan perkawinan,[footnoteRef:52] yang diresmikan dihadapan manusia dan Tuhan.[footnoteRef:53] Berikut pengaturan mengenai akad nikah yang diatur pada Pasal 27 sampai dengan Pasal 29. [51: Mud A.W., Pengertian Dasar Acara Akad Nikah, www.fimela.com, diakses pada 2 Oktober 2019.] [52: MT Hudha, Bab II Tinjauan Umum Tentang Akad Nikah, www.eprints.walisongo.ac.id, diakses pada 2 Oktober 2019, hal. 16.] [53: Wikipedia, Ijab Kabul, https://id.m.wikipedia.org, diakses pada 2 Oktober 2019.]
Pada saat mengucapkan ijab dan qabul antara wali nikah dengan mempelai pria harus secara jelas dan beruntun, yang dimana tidak terdapat selang waktu.[footnoteRef:54] Seseorang yang berhak untuk mengucapkan qabul adalah mempelai pria pribadi.[footnoteRef:55] [54: Kompilasi Hukum Islam Pasal 27.] [55: Kompilasi Hukum Islam Pasal 29 ayat (1).]
Namun apabila mempelai pria terdapat dalam keadaan tertentu, pengucapan qabul dapat diwakilkan dengan cara mempelai pria memberikan kuasa kepada pria lain dalam bentuk tertulis yang secara tegas menegaskan bahwa penerimaan wakil atas akad nikah tersebut adalah untuk mempelai pria.[footnoteRef:56] Akan tetapi apabila mempelai wanita serta wali nikahnya merasa keberatan, maka pelaksanaan akad nikah tersebut tidak dapat dilangsungkan.[footnoteRef:57] [56: Kompilasi Hukum Islam Pasal 29 ayat (2).] [57: Kompilasi Hukum Islam Pasal 30.]
1. Tinjauan Tentang Perkawinan Incest
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Incest merupakan hubungan seksual antara dua orang saudara kandung atau yang masih terkait hubungan darah.[footnoteRef:58] Perbuatan Incest pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dan sangat-sangat ditentang, baik oleh agama maupun hukum positif yang ada di Indonesia. Sehingga banyak sekali peraturan-peraturan yang melarang terjadinya perkawinan Incest. Dan perlu diketahui juga bahwa perkawinan Incest merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas syarat materiil relatif, yang dimana terdapat hubungan yang dilarang kawin antar kedua calon mempelai.[footnoteRef:59] [58: Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 435.] [59: Komariah, Op.cit, hal. 39-40.]
1. Perkawinan Incest Menurut Hukum Nasional
Beberapa ketentuan hukum nasional yang menyinggung mengenai Incest yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
0. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara khusus mengenai Hubungan Sedarah atau Incest. Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur mengenai Dasar Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Batalnya Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami-Isteri, Harta Benda Dalam Perkawinan, Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya, Kedudukan Anak, Hak Dan Kewajiban Antara Orang Tua Dan Anak, Perwakilan, dan Ketentuan-Ketentuan Lain. Walaupun Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai Incest secara khusus. Akan tetapi Undang-Undang Perkawinan mempertegas larangan hubungan Incest pada Pasal 8 yaitu menganai larangan perkawinan adanya hubungan darah.[footnoteRef:60] Hubungan darah yang dimaksud adalah adanya hubungan sedarah antar calon mempelai baik dalam garis lurus keatas, kebawah maupun kesamping, yakni sebagai berikut : [60: Ritna Makdalena M. Arunde, Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Sedarah Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Lex Privatum, Volume 6 No. 2, April 2018, hal. 103.]
1. Hubungan darah garis lurus keatas dan kebawah yakni perkawinan yang dilakukan antara :[footnoteRef:61] [61: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf a.]
1. Seorang laki-laki dengan ibu kandung,
1. Seorang laki-laki dengan nenek yakni ibu dari ayah kandung maupun ibu kandung, dan
1. Seorang laki-laki dengan anak kandung
1. Hubungan darah garis lurus menyamping yaitu perkawinan yang dilakukan antara :[footnoteRef:62] [62: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8 huruf b.]
0. Saudara, yakni dengan saudara seayah dan/atau seibu,
0. Seorang dengan saudara orang tua baik saudara kandung ayah ataupun saudara kandung ibu, dan
0. seorang dengan saudara neneknya.
Berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Perkawinan tersebut Incest masuk sebagai salah satu kategori hubungan yang dilarang untuk melaksanakan suatu perkawinan, yakni antara mereka yang satu sama lain bertalian keluarga baik dalam garis lurus keatas maupun garis lurus kebawah baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah dan garis lurus menyamping, yaitu hubungan seksual antara orang tua dengan anak, dan hubungan seksual antara sesama saudara.[footnoteRef:63]. [63: Ibid.]
0. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Sama halnya dengan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara khusus mengenai hubungan Incest. Akan tetapi hubungan Incest merupakan salah satu hubungan yang dilarang dalam pelaksanaan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan mengenai larangan perkawinan Incest tercantum dalam pasal 39 ayat (1) huruf a sampa dengan huruf c, yang dimana terdapat 3 macam yang dikategorikan sebagai hubungan Incest, yakni :
0. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya, yang dimaksud adalah hubungan seksual yang dilakukan antara seorang anak dengan orang tua kandungnya.[footnoteRef:64] [64: Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf a.]
0. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang merupakan keturunan dari ayah atau ibu, yang dimaksud adalah hubungan seksual yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan seibu kandung ataupun seayah kandung.[footnoteRef:65] [65: Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf b.]
0. Hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan saudara yang melahirkannya, yang dimaksud adalah hubungan seksual yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang merupakan saudara dari ibu kandung ataupun ayah kandung.[footnoteRef:66] [66: Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 Ayat (1) huruf c.]
1. Perkawinan Incest Menurut Hukum Islam
Dalam perkawinan tentu saja terdapat beberapa hal-hal yang diperbolehkan, dan terdapat pula hal-hal yang tidak diperbolehkan ataupun yang dilarang. Salah satu hal yang tidak diperbolehkan dalam pelaksanaan perkawinan adalah adanya hubungan sedarah atau Incest.
Incest Dalam bahasa Arab adalah ghîsyân al-mahârim, sifâh al-qurba atau zinâ al-mahârim yaitu hubungan seksual antara orang yang diharamkan menikah di antara mereka oleh syariah,[footnoteRef:67] dikarenakan dalam hubungan tersebut terdapat kemahraman nasab antara kedua calon mempelai dan haram hukumnya. [67: M. Zia Fikri N. B., Studi Analisis Tindak Pidana Inses Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Jinayah) Dan Hukum Pidana Indonesia (KUHP), Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012, hal. 1.]
Sejak 14 abad yang lalu Al-Quran sudah mewanti-wanti dan melarang keras hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sedarah apalagi sampai dilaksanakannya perkawinan. Dalam hal ini Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-siapa yang tidak boleh dan dilarang serta haram untuk dinikahi,[footnoteRef:68] yakni berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nisa Ayat 23 : [68: Rusdaya Basri, Pernikahan Sedarah Dalam Perspektif Hukum Islam, http://www.iainpare.ac.id, diakses pada 8 Oktober 2019.]

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ : 23)[footnoteRef:69] [69: TafsirQ, Surat An-Nisa’ Ayat 23, https://tafsirq.com, diakses pada 5 Oktober 2019.]
Surat An-Nisa ayat 23 dan terjemahannya tersebut, menjelaskan siapa saja perempuan yang haram dinikahi. Perempuan itu adalah : (1) Ibu, (2) Ibu tiri, (3) Anak kandung, (4) Saudara kandung seayah dan/atau seibu, (5) Bibi dari ayah atau ibu, (6) Keponakan dari saudara laki-laki atau saudara perempuan, (7) Ibu yang menyusui, (8) Saudara sesusuan, (9) Mertua (10) Anak tiri dari istri yang sudah diajak berhubungan suami isteri, (11) Menantu, dan (12) Saudara isteri untuk dimadu.
Berdasarkan terjemahan ayat Surat An-Nisa tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat tiga kategori perempuan yang haram untuk dinikahi. Pertama, karena ada hubungan darah, baik hubungan nasab (keturunan) maupun karena hubungan persusuan. Kedua, karena ada hubungan pernikahan, baik yang dilakukan oleh ayah, diri sendiri, maupun anak. Dan ketiga karena status perempuan yang sudah menikah. Sehingga dari beragam kategori tersebut, subject Incest masuk dalam kategori yang pertama.
Sehingga dalam hal ini Incest merupakan salah satu hubungan yang dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan, dan keharaman hubungan mahram ini bersifat abadi atau selamanya. Hal ini dikarenakan hubungan Incest tersebut merupakan hubungan yang dilakukan antara ayah dengan anak, ibu dengan anak, sesama saudara seayah dan/atau seibu yang dimana masih terdapat berhubungan darah ataupun nasab dan secara terang-terangan jelas terdapat kemahraman diantaranya. Sehingga hubungan Incest ini dianggap dapat merusak makna sebenarnya mengenai ayah, anak, ibu, kakak, adik, paman, bibi dan seterusnya.
Keharaman Incest baik sedarah maupun sepersusuan tampaknya dipandang sebagai hal yang mudah diterima akal sehat, hal ini berdasarkan Hadist Riwayat Bukhori :

. ()
“dari Uqbah bin Harits bahwa dia menikahi anak perempuan Ihab bin Azis. Kenudian datang kepadanya seorang perempuan dan berkata, “Sesungguhnya ia telah menyusui Uqbah dan perempuan yang dia nikahi.” Kemudian Uqbah menjawab, “Aku tidak tahu kalau engkau telah menyusuiku dan engkau tidak pula memberitahuku.” Lalu Uqbah berkendara ke Madinah menemui Rasulullah SAW, dia bertanya kepada beliau. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana (lagi) padahal sudah dikatakan (bahwa kalian adalah bersaudara susuan)?” Setelah mendengan ucapan Rosululloh, Uqbah menceraikannya isterinya dan menikahi perempuan”.(HR Bukhari)
Selepas dari keterangan yang berupa pengakuan dari seorang ibu susuannya tadi, maka pernikahan yang telah terjadi itu pun dibatalkan, sehingga Uqbah menceraikan isterinya karena terdapat kemahraman pada keduanya.
Dari kisah tersebut, kita bisa tahu bahwa pada jaman Rosulullah mereka sangat amat menjaga pengetahuan mengenai siapa saja yang bersaudara susuan. Walaupun perbuatan menyusukan anak kepada orang lain merupakan suatu kebiasaan di Arab pada jaman dahulu, namun pengetahuan tentang hubungan mahram ini tetap terjaga. Sehingga ketika didapati seseorang melanggar batasan ini, terdapat orang yang segera memberitahukannya. Sehingga dengan cara beginilah Allah hendak memberitahukan kepada kita semua betapa pentingnya untuk mengetahui hubungan kemahraman.
Berdasarkan Hadist Sunan An-Nasa’i No. 3251-Kitab Pernikahan, Rosululloh juga pernah bersabda :[footnoteRef:70] [70: Abdul Rahman Ghazaly, Op.cit, hal. 77.]
‏ " ‏"‏ ‏.‏ ‏.‏ ‏. ‏
“Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ali bin Hasyim dari Abdullah bin Abi Bakr dari ayahnya dari’Amrah, ia berkata; saya mendenganr Aisyah berkata; Rosulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda;” apa yang haram karena nasab adalah haram karena persusuan”.
Berdasarkan hadist tersebut dapat diketahui bahwa telah diharamkan kepada kita untuk menikahi saudara dari satu persusuan yang sama. Hal ini diperkuat dengan berdasarkan terjemahan Surat An-Nisa’ ayat 23 yang telah disinggung sebelumnuya terkait apa saja yang tidak boleh sekaligus haram untuk dinikahi.
1. Tinjauan Tentang Status Anak
Secara etimologis anak diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa. Pengertian anak juga tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dapat disimpulkan ialah keturunan dari seorang pria dan seorang wanita yang melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada waktunya nanti melahirkan keturunannya.[footnoteRef:71] [71: Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2016, hal. 219.]
2. Status Anak Menurut Hukum Nasional
Didalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam hanya mnyantumkan 2 status anak, yakni anak sah dan anak luar kawin.
1.1. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan hanya menerangkan 2 status anak, yang dimana terdiri dari anak sah dan anak luar kawin. Pengertian anak sah menurut Undang-Undang Perkawinan diatur dalam 42, yakni anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.[footnoteRef:72] Sedangkan anak luar kawin diatur dalam pasal 43, yang dimana anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan.[footnoteRef:73] [72: Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42.] [73: Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43.]
1.2. Kompilasi Hukum Islam
Didalam Kompilasi Hukum Islam status anak dibedakan menjadi 2 macam, yakni anak sah dan anak luar kawin yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dan 100.
Anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat 2 kategori, yang pertama yakni anak yang dilahirkan didalam atau akibat dari adanya perkawinan yang sah.[footnoteRef:74] Kemudian anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam yang kedua yakni, anak sah merupakan anak yang lahir dari perbuatan suami dan isteri yang telah melakukan perkawinan yang sah akan tetapi dibuahi diluar rahim dan setelah itu dilahirkan oleh isteri tersebut,[footnoteRef:75] contohnya seperti bayi tabung. Sedangkan yang dimaksud anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang lahir diluar perkawinan.[footnoteRef:76] [74: Kompilasi Hukum Islam Pasal 99a.] [75: Kompilasi Hukum Islam Pasal 99b.] [76: Kompilasi Hukum Islam Pasal 100.]
2. Status Anak Menurut Hukum Islam
Mengenai status anak berdasarkan Hukum Islam hanya menjelaskan beberapa status anak, yakni anak sah dan anak zina. Anak sah menurut hukum Islam yakni anak yang lahir didalam perkawinan yang sah dan fasid. Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan berdasarkan hukum Islam tanpa harus mendaftarkan perkawinan tersebut secara resmi di instasi terkait.[footnoteRef:77] Sedangkan perkawinan fasid adalah perkawinan yang dilangsungkan tidak terdapat wali dan saksi, ataupun saksi yang didatangkan adalah palsu.[footnoteRef:78] [77: Fitiria Nurmalisa, Tugas Akhir : Keabsahan Nasab Anak (Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Revisi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak), Universitas Islam Negeri Ar-Raniry,Banda Aceh, hal. 52.] [78: Ibid, hal. 53.]
Kemudian anak zina, anak zina sebenarnya hampir sama dengan pengertian anak luar kawin. Akan tetapi dalam hukum Islam sendiri tidak mngenal istilah anak luar kawin seperti peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini. Menurut Hukum Islam anak zina merupakan anak hasil pembuahan yang dilakukan diluar perkawinan.
Anak zina dalam hukum islam diklasifikasikan menjadi 2 macam. Pertama anak zina hasil dari hubungan diluar perkawinan atas dasar suka sama suka, yang dimana salah satunya atau keduanya sedang terikat perkawinan, dengan kata lain anak hasil perselingkuhan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Kemudian yang kedua adalah anak zina hasil dari hubungan antara seorang perempuan dan laki-laki diluar perkawinan yang dilakukan atas dasar suka sama suka.
2