ii. tinjauan pustaka, kerangka fikir dan hipotesis a ...digilib.unila.ac.id/15553/3/bab ii.pdf ·...

26
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA FIKIR DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka 1. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam suatu organisasi pemimpin adalah unsur terpentingnya, karena seorang pemimpin yang memiliki daya kemampuan mempengaruhi, menggerakkan manusia lainya dalam rangka pengelolaan organisasi. Begitu pula organisasi sekolah, kepala sekolah akan berperan sebagai manajer bertanggungjawab untuk meleksanakan manajemen pendidikan di sekolahnya. Kepala sekolah dapat menentukan arah dan tujuan dari penyelenggaraaan pendidikan, memberikan motivasi dan menciptakan lingkungan kerja dan lingkungan belajar yang mendukung peleksanaan administrasi sekolah dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan. Sukses atau kegagalan yang dialami oleh suatu organisasi sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh orang-orang yang diserahi tugas memimpin dalam organisasi yang bersangkutan (pimpinan). Menurut D.E. McFarland (Sudarwan Danim, 2006 : 204) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana pimpinan dilukiskan akan

Upload: phamminh

Post on 02-Aug-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA FIKIR DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Dalam suatu organisasi pemimpin adalah unsur terpentingnya, karena seorang

pemimpin yang memiliki daya kemampuan mempengaruhi, menggerakkan

manusia lainya dalam rangka pengelolaan organisasi. Begitu pula organisasi

sekolah, kepala sekolah akan berperan sebagai manajer bertanggungjawab untuk

meleksanakan manajemen pendidikan di sekolahnya. Kepala sekolah dapat

menentukan arah dan tujuan dari penyelenggaraaan pendidikan, memberikan

motivasi dan menciptakan lingkungan kerja dan lingkungan belajar yang

mendukung peleksanaan administrasi sekolah dalam rangka mewujudkan tujuan

pendidikan.

Sukses atau kegagalan yang dialami oleh suatu organisasi sebagian besar

ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh orang-orang yang

diserahi tugas memimpin dalam organisasi yang bersangkutan (pimpinan).

Menurut D.E. McFarland (Sudarwan Danim, 2006 : 204) mengemukakan bahwa

kepemimpinan adalah suatu proses di mana pimpinan dilukiskan akan

12

memberikan perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi

pekerjaaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Wiradidatdja (2000 : 20), Mengemukakan bahwa:

1. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan kelompok, menuju ke

arah penentuan tujuan dan mencapai tujuan

2. Kepemimpinan adalah proses pada diri seseorang berusaha menggunakan

pangaruh masyarakat, terhadap para anggota suatu kelompok lainya.

3. Pemimpin adalah seorang yang dengan daya kekuatan terhadap orang lain

melekukan wewenangnya untuk tujuan mempengaruhi tata laku mereka.

Menurut Melayu S.P Hasibuan (2001 :167), mengakatan kepemimpinan

merupakan cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau

bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 480 dan 892) kata ‘kepala’

dapat diartikan ‘ketua’ atau ‘pemimpin’ dalam suatu organisasi atau suatu

lembaga. Sedangkan ‘sekolah’ adalah sebuah lembaga dimana menjadi tempat

menerima dan memberi pelajaran. Wahjosumidjo (2007 : 83), mengatakan

bahwa “kepala sekolah adalah seorang fungsional guru yang diberi tugas untuk

memimpin suatu sekolah yang menyelenggarakan proses belajar dan mengajar,

atau tempat terjadi interaksi antara guru yang memberikan pelajaran dan murid

menerima pelajaran”. Menurut Sugeng kepemimpinan kepala sekolah adalah

kemampuan dari seorang kepala sekolah dalam mempengaruhi dan menggerakkan

bawahan dalam suatu organisasi atau lembaga sekolah guna tercapainya tujuan sekolah

(Sugeng,2004:55)(sumber:http://www.damandiri.or.id/file/segenguhamkabab3.pdf).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka kepemimpinan kepala sekolah

yang dimaksud di sini adalah suatu sikap interaksi, dorongan dan mempengaruhi

13

orang lain(warga sekolah) agar dapat melaksanakan berbagai kegiatan atau

pekerjaan untuk mencapai tujuan pendidikan dari sekolah yang dipimpinnya.

Dalam buku yang berjudul Organization Theory and Behavior yang dikarang

oleh H.G Hick dan C.R Gullet mengemukakan bahwa kepala sekolah sebagai

pemimpin seharusnya dalam praktek sehari-hari berusaha memperhatikan dan

mempraktekan delapan fungsi (leadership function), yaitu :

1. Adil

2. Memberikan sugesti

3. Mendukung tercapainya tujuan organisasi

4. Sebagai katalisator

5. Menciptakan rasa aman

6. Sebagai wakil orang

7. Sumber inspirasi

8. Dan bersedia menghargai.

Wahjosumidjo (2007 : 106)

Kepala sekolah sebagai pemimpin pengajaran harus mengintrosepsi dirinya

apakah memiliki sifat-sifat di atas, jika belum dia harus berangsur-angsur

berusaha memiliki sifat dan sikap seperti di atas satu demi satu.

Kepala sekolah harus melaksanakan tugas dan fungsinya di sekolah secara baik,

karena lancar atau tidaknya satu sekolah tidak hanya ditentukan oleh kecakapan

guru dalam mengajar, tetapi termasuk juga ketrampilan kepala sekolah dalam

memimpin, membimbing, mengelola, mengawasi guru, dan menciptakan

lingkungan kerja serta lingkungan belajar yang kondusif. Tugas dan fungsi

kepala sekolah harus dijalankan secaa konsisten dan kontinu

(berkesinambungan), karena tugas dan fungsi kepala sekolah merupakan satu

kesatuan tanggung jawab kepala sekolah dalam mencapai tujuan sekolah pada

khususnya dan tujuan pendidikan nasional pada umumnya.

14

Kepemimpinan dalam pendidikan merupakan tolak ukur untuk mencapai tujuan

pendidikan. Pemimpin pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah, karena ia

merupakan seorang yang diberi tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan

pendidikan di sekolah.

Menurut Burhanuddin dalam Alfonsius (2004: 34) kepemimpinan pendidikan

adalah suatu kesiapan, kemampuan yang dimiliki oleh seorang dalam proses

mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan dan mengerakkan

orang lain yang ada hubunganya dengan pelaksanaan dan pengembangan

pendidikan dan pengajaran, agar segenap kegiatan dapat berjalan secara efektif

dan efisien, yang pada giliranya dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah

ditetapkan.

Selanjutnya menurut Mulyasa dalam Hafidz (2002: 116) dilihat bagaimana

pemimpin itu menggunakan kekuasaannya, ada tiga tipe dasar kepemimpinan,

yaitu :

1. Tipe Otoriter (Autocractic)

Pemimpin dengan tipe ini dipandang sebagai orang yang memberikan perintah

dan mengharapkan pelaksanaanya secara dognatis dan positif. Dengan segala

kemampuannya, ia berusaha menakut-nakuti bawahanya dengan jalan

memberikan hukuman tertentu bagi yang berbuat negatif, dan hadiah untuk

seorang bawahan yang bekerja dengan baik (correct). Kepala sekolah semacam

ini akan menimbulkan sikap menyerah tanpa syarat, “a-b-s” (asal bapak senang).

Dengan demikian kepala sekolah dengan tipe otoriter dianggap tidak baik

dijadikan seorang pemimpin.

15

2. Tipe Demokratis atau Partisipatif (Democrtic or Participative)

Tipe ini dipandang sebagai kebalikan dari tipe kepemimpinan yang otoriter,

pemimpin dengan tipe demokatis mengadakan konsultasi/kompromi dengan

bawahanya mengenai tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang

diusulkan/dikehendaki oleh pemimpin, serta berusaha memberikan dorongan

untuk turut serta aktif melaksanakan semua keputusan dan kegiatan-kegiatan

yang telah ditetapkan. Kepala sekolah dengan tipe kepemimpinan demokratis

perlakuanya bersifat kerakyatan atau persaudaraan, berharap kerjasama dengan

guru dan staf tidak dipandang sebagai manusia artinya hubungan antara

pemimpin, guru, dan staf, akan tetapi sebagai saudara tua/teman sekerjanya.

3. Tipe Bebas (Laissez Faire)

Pada tipe ini, pemimpin sedikit menggunakan kekuatanya, sebab dalam

pelaksanaannya pemimpin memberikan kebebasan yang tinggi terhadap para

bawahanya. Kepala sekolah dengan tipe kepemimpinan bebas menganggap

bahwa peran mereka sebenarnya sebagai orang yang berusaha memberikan

kemudahan (fasilitas) kepada guru dan staf, dengan kata lain sebagai

penghubung kepada orang-orang yang dipimpinnya dan juga sebagai penyimpan

informasi. Ia mempunyai sifat masa bodoh terhadap guru dan stafnya,

lingkungan, maupun tugasnya sehingga semangat dan kegairahan kerja, serta

kegiatan pembelajaran tidak terarah. Kepala sekolah semacam ini sekedar simbol

yang tetap dihormati dan disegani meskipun, sama sekali tidak berfungsi dalam

kepemimpinanya.

16

Berdasarkan uraian dari ketiga tipe kepemimpinan di atas, tidak ada

kepemimpinan yang paling baik dan paling buruk. Hal ini dikarenakan masing-

masing tipe kepemimpinan mempunyai keungulan dan kelemahan, sehingga

penerapan ketiga tipe itu harus dilaksanakan, terutama melihat kondisi

kematangan bawahan (terpimpin) yang akan dibinanya. Hal ini sesuai dengan

apa yang dikemukakan oleh Pidarta dalam Melda Sari(2007: 12), bila yang

dipimpinya sudah matang dalam cara kerja dan kemauan untuk bekerja dalam

arti keduanya bersifat positif maka kepala sekolah bisa menggunakan

kepemimpinan yang membebaskan (Laissez Faire). Tetapi jika yang dipimpinya

belum atau semi matang, maka sebaiknya dipakai kepemimpinan demokrasi.

Bawahan yang dipimpin suka bekerja santai atau bermalas-malasan tidak ada

salahnya kalau memakai kepemimpinan otoriter. Oleh karena itu, keberhasilan

pemimpin akan bergantung kepada kesesuaian Kepemimpinan yang diterapkan

dengan kematangan yang dipimpin.

Bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara mengungkapakan bahwa

kepemimpinan pendidikan di negara kita berdasarkan pancasila, menurutnya

kepemimpinan pendidikan dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

1. Ing ngrso sung tulodo, yaitu seorang pemimpin harus tampil ke muka untuk

memberi bimbingan, perintah dan petunjuk serta mengembil prakarsa,

bilamana situasi dan kondisi bawahan benar-benar memerlukan petunjuk.

2. Ing madyo mangun karso, yaitu bilamana kondisi bawahan sudah mulai

mengerti tugasnya, pemimpin harus berada di tengah artinya “ngemong”

membiarkan bawahanya melakukan tugasnya sendiri. Pegang teguh prinsip

17

“rules of errors” jika ada kesalahan biarlah bawahan menyadari

kekekeliruanya untuk segera memperbaiki sendiri.

3. Tut wuri handayani, yaitu seorang pemimpin mengikuti dari belakang serta

melakukan monitoring, memberitahukan kekeliruan untuk diperbaiki sendiri.

Kondisi dan situasi bawahan sudah matang, serta mengetahui tugasnya.

(Depdikbud dalam Alfonsius, 2004)

Berdasarkan uraian mengenai kepemimpinan sekolah di atas, maka kepala

sekolah sebagai pemimpin (leader) sebuah lembaga pendidikan hendaknya

mempergunakan setiap kesempatan untuk menanamkan setiap kesempatan serta

memupuk hubungan yang akrab dengan guru, karyawan dan siswa secara

langsung. Tentu hal ini akan memperkokoh hubungan kerja sama yang baik.

Kepala sekolah hendaknya tidak menyalahgunakan wewenangnya terhadap

bawahan, justru mampu mengkoordinasikan dan mengayomi, sehingga guru

terus dapat menerapkan disiplin kerja yang tinggi.

Seorang pemimpin pendidikan hendaknya miliki pengetahuan, pengalaman dan

sifat kepemimpinan yang baik dalam mengatasi masalah-masalah bawahanya,

oleh karena itu seorang kepala sekolah dituntut memiliki kemahiran dan

ketrampilan dalam mengelola lembaga pendidikan. Ketrampilan yang harus

dimiliki oleh kepala sekolah adalah ketrampilan memimpin, menjalin hubungan

kerja dengan rekan kerja, mengasai kelompok, mengelola administrasi

personalia, menilai (mengevaluasi).

18

2. Lingkungan kerja

Setiap pegawai memerlukan lingkukngan kerja yang kondusif dan harmonis agar

dapat menunjang pekerjaan yang dilakukanya, karena lingkungan kerja yang

nyaman dapat menambah semangat kerja, begitu pula, sebaliknya lingkungan

kerja yang buruk akan membuat pegawai tidak nyaman dan mengakibatkan

semangat kerja menurun.

Alex Nitisemito (Yasin Setiawan, 2008), mengemukakan bahwa lingkungan

kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja dan mempengaruhi

dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan(hhtp://siaksoft.

Net/?p=435). Jahrie dan Hariyoto dalam Nur Megawati(2005: 9) , lingkungan

kerja adalah keseluruhan sarana dan prasarana kerja yang ada di sekitar para

pekerja yang sedang melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi

pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Sedangkan menurut Sedarmayati (intinghina,

2008) mendefinisikan “Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan

bahan yang dihadapi, lingkungan sekitar di mana seorang bekerja, metode

kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai

kelompok”(http://intinghina.wordpress.com/2010/04/28)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka, dapat diartikan bahwa lingkungan

kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja yang mempengaruhi

pelaksanaan dalam menjalankan tugas-tugas yang bebankan kepadanya.

Lingkungan kerja meliputi tempat bekerja, fasilitas dan alat bantu kerja,

kebersihan, penataan cahaya, penerangan termasuk juga hubungan antara orang-

orang yang ada di tempat tesebut.

19

Menurut Tohardi (2002 : 137), lingkungan kerja terbagi menjadi dua yaitu :

lingkungan fisik dan lingkungan non fisik (sosial). Lingkungan fisik merupakan

fasilitas atau sarana harus disediakan untuk memperlancar dan mempermudah

pekerjaan. Tanpa fasilitas yang memadai, kenyamanan dalam bekerja akan

terganggu. Lingkunagan non fisik adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat

bentuknya, karena lingkungan non fisik meliputi hubungan kerja pegawai atasan

dan hubungan pegawai dengan pegawai.

Menurut Alex Nitisemito (Yasin, 2008) Faktor-faktor yang termasuk dalam

lingkungan kerja adalah :

Pewarnaan

Kebersihan

Pertukaran Udara

Penerangan

Musik

Keamanan

Kebisingan

(Sumberr :http://saiksoft.net/)

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa jika lingkungan kerja tidak

diperhatikan akan berakibat negatif pada produktifitas kerja maupun disiplin

kerja guru dan karyawan. Banyak perusahaan yang mengabaikan masalah-

masalah yang dianggap kecil dalam lingkungan tempat bekerja seperti

penerangan, keamanan dan lain-lain, padahal sebenarnya mempunyai pengaruh

yang cukup besar dalam lingkungan tersebut.

Lingkungan kerja guru adalah sekolah, sehingga lingkungan kerja dan

lingkungan belajar tidak dapat dipisahkan, sebab di mana guru bekerja di situlah

para siswa belajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan lingkungan kerja yang

20

baik, berupa keadaan sekolah yang bersih, rapih, tersedia saran dan prasarana

sekolah yang memadai. Lingkungan kerja yang baik memberikan kenyamanan

kepada guru yang bekerja di dalamnya, sehingga mereka bersemangat, bergairah

kerja dan memperoleh kepuasan dalam bekerja dan akhirnya produktivitas kerja

dapat meningkat.

Sekolah yang menjadi lingkungan kerja guru terdiri atas : ruangan kelas, ruang

serba guna, laboraturium, perpustakaan, kantor kepala sekolah, kantor tata usaha,

ruang guru, halaman sekolah, tempat parkir, dan WC. Lingkungan-lingkungan

itulah yang perlu diperkaya dengan perlengkapan dan kebutuhan yang memadai

di masing-masing tempat tersebut dan ditata secara harmonis, bersih, yang akan

memberi kemudahan dan semangat bekerja meningkat.

Menurut P. Siagian yang dikutip oleh Apsusiani (2003 : 19), yang dimaksud

dengan lingkungan kerja atau suasana kerja yang menyenagkan adalah :

1. Pekerjaan yang menarik, penuh tantangan dan tidak terlalu rutin

2. Hubungan kerja yang intim(akrab)

3. Lingkungan kerja yang membngkitkan semangat kerja

4. Perlakuan yang adil

Hubungan kerja yang baik dapat terwujud apabila terjadi komunikasi yang

harmonis di antara semua pihak di dalam sebuah organisasi atau lembaga, karena

dalam mengerjakan tugasnya di sekolah guru-guru banyak berhubungan dengan

semua pihak yang berkaitan dengan pendidikan. Hubungan kerja guru itu

meliputi : hubungan kerja dengan kepala sekolah, hubungan guru dengan guru,

hubungan guru dengan pegawai ketata-usahaan, dan hubungan guru dengan

siswa.

21

Untuk suasana bekerja dan belajar di sekolah pada umumnya ditentukan oleh

banyak hal, terutama hubungan dan komunikasi antara guru dengan guru, yang

memiliki frekuensi hubungan paling besar. Kepala sekolah harus berusaha

membangun keakraban di antara guru di sekolah. Salah satunya dengan cara

mengupayakan agara sebagian besar pekerjaan dilakukan secara bersama-sama,

sehingga jika pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik, maka bukan hanya

satu guru yang bangga, melainkan sejumlah guru. Hal ini jelas akan

meningkatkan keakraban di antara guru-guru. Makin sering guru dilibatkan

dalam kegiatan tertentu akan semakin bersemangat dan semakin puas bekerja,

sebab mereka merasa dihargai.

Hal-hal tersebut di atas, bila dilakukan dengan baik akan memberikan kepuasan

kerja yang bersifat interistik (bersumber dari dalam) tanpa paksaan atau desakan

dari luar, pada mulanya dirasakan tidak enak tetapi kemudian bisa memberi

kepuasan yang benar-benar bersumber dari hati nurani guru-guru itu sendiri.

Kepuasan interistik lebih berarti dari kepuasan ekstrisik, karena kepuasaan

interistik tumbuh dalam diri dan melekat erat dalam hati guru. Hal inilah yang

menjadi modal penting bagi dedikasi dan semangat kerja guru yang

bersangkutan dan tentunya akan berdampak positif bagi suasana kerja dan

belajar di sekolah.

22

3. Disiplin Kerja

Kedisiplinan merupakan hal yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan

manajemen dalam suatu organisasi, karena dengan disiplin kerja pegawai yang

baik, maka output dari organisasi tersebut akan dapat meningkat. Tanpa

penerapan disiplin yang optimal suatu organisasi akan hancur karena tidak ada

tanggungjawaban di antara pegawai. Kedisiplinan yang tinggi akan mendorong

semangat kerja dan terwujudnya tujuan dari organisasi tersebut.

Disiplin berasal dari akar kata “disciple“ yang berarti belajar.

Disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk seseorang melakukan

sesuatu menjadi lebih baik. Sekolah merupakan suatu organisasi pendidikan di

mana manajernya adalah kepala sekolahnya. Manajer di sekolah harus bisa

menerapkan disiplin kerja kepada guru, staf, dan para siswa agar pencapaian

tujuan pendidikan dari sekolah tersebut dapat tercapai secara optimal. Guru

merupakan orang yang paling mendorong tercapainya kedisiplinan yang tinggi,

karena guru sangat berperan dalam jalanya kegiatan pembelajaran.

Menurut Heru Basuki (http://subektiheru.blogspot.com/2008/03/disiplin-

kerja.html), disiplin adalah suatu proses yang dapat menumbuhkan perasaan

seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan tujuan organisasi secara

obyektif, melalui kepatuhannya menjalankan peraturan organisasi. Menurut

Pidarta dalam Melda Sari (2007: 16) disiplin adalah tata kerja seseorang yang

sesuai dengan aturan dan norma yang telah disepakati sebelumnya.

23

Menurut Prijodarminto dalam Tu’u (2004: 31) disiplin adalah suatu kondisi yang

tercipta dan berbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang

menunjukan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan

keterikatan. Menurut Maman Rachman dalam Tu’u (2004: 32) menyatakan

disiplin sebagai upaya mengendalikan diri dan sikap mental individu atau

masyarakat dalam mengembangkan kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan

dan tata tertib berdasarkan dorongan dan kesadaran yang muncul dari dalam

hatinya. Sedangkan, menurut Alex Nitisemito disiplin kerja adalah suatu sikap,

tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan baik tertulis maupun

tidak tertulis (http://siaksoft.net?p=435). Hasibuan mengartikan disiplin sebagai

kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan

norma-norma sosial yang berlaku (Mangkunegara, 2000 : 129). Disiplin kerja

menurut Hodges dalam Alvin (2001 : 10) adalah suatu sikap dan tingkah laku

yang menunjukan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi.

Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa disiplin kerja adalah suatu sikap,

tingkah laku dan perbuatan dalam melakukan kegiatan yang ditunjukan dengan

tata kerja yang sesuai dengan aturan atau norma yang telah disepakati dan

ditetapkan sebelumnya baik aturan yang tertulis maupun aturan yang yang tidak

tertulis. Dari definisi tersebut terdapat beberapa aspek dalam penerapan disiplin

yaitu adanya sikap dan tingkah laku, norma, kaidah, adanya ketaatan untuk

mematuhi segala peraturan baik tertulis atau tidak tertulis. Aspek aspek inilah

yang akan mendasari seorang pegawai untuk melaksanakan disiplin kerja.

24

Menurut Moenir dan Tohari (2002: 100), disiplin dapat dibedakan menjadi dua

yaitu disiplin terhadap waktu dan disiplin terhadap perbuatan atau tingkah laku.

Seorang guru dikatakan berdisiplin kerja, jika ia mampu bekerja tepat waktu, taat

kepada perintah kepala sekolah dan peraturan sekolah, serta melakukan

kewajiban sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kegiatan belajar dan

mengajar.

Sekolah yang memiliki disiplin yang baik tentunya didukung oleh para guru

yang bekerja dengan disiplin tinggi. Untuk membina guru agar berdisplin dalam

bekerja, sekolah harus memiliki disiplin yang baik di samping membina para

guru secara pribadi, seperti yang dinyatakan oleh Weyson dkk dalam Melda Sari

(2007: 17) mereka telah meneliti sejumlah sekolah dan menemukan cirri-ciri

sekolah yang baik. Ciri-ciri tersebut antara lain :

1. Lingkungan sekolah yang kondusif untuk bekerja secara disiplin seperti

pengajaran berjalan secar efektif, program yang saling menunjang satu

sama lain, program yang terkoordinasi dengan baik, dan sebagainya.

2. Sebagian besar guru memandang sekolah sebagai tempat untuk bekerja dan

mendapatkan pengalaman yang sukses dalam mengerjakan sesuatu

3. Dalam memperbaiki disiplin, sekolah memusatkan diri pada mencari

sebab-sebabnya, bukan pada gejalanya.

4. Program sekolah menekankan pada perilaku positif serta preventif bukan

menitik beratkan pada hukuman

5. Menyelesaikan tindakan dengan kebutuhan sekolah dan memberi

kesempatan melakukan sesuatu dengan gaya tersendiri.

25

6. Mengadakan kerjasama yang kuat dengan cara orang tua dan masyarakat

setempat

7. Bersedia menerima kritikan dan penilaiaan secara luas dari berbagai pihak.

Berdasarkan ciri-ciri sekolah yang berdisiplin baik, maka dapat disimpulkan

bahwa kedisiplinan sekolah dikatakan baik, jika sebagian besar guru menaati

peraturan. Dengan adanya kedisiplinan tersebut diharapkan tujuan pendidikan

sekolah dapat tercapai sesuai dengan harapan.

Setiap sekolah memiliki berbagai ketentuan yang harus ditaati oleh para guru.

Menurut Sondang Siagian yang dikutip oleh Ance Vinansia (2005 : 30),

pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha

memperbaiki dan berbentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku karyawan,

sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara

kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi

kerjanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat dua jenis disiplin

dalam organisasi, yaitu yang bersifat preventif dan bersifat korelatif :

Preventif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para karyawan

agar mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan dapat

dicegah. Sasaran pokoknya adalah untuk mendorong disiplin diri di antara para

karyawan. Dengan cara ini para karyawan menjaga disiplin mereka bukan

semata-mata karena dipaksa manajemen. Disiplin korelatif adalah kegiatan yang

diambil untuk menangani pelanggaran terhadap aturan-aturan dan mencoba

untuk menghindari pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Tindakan disiplin

dapat berupa peringatan atau skorsing. (Hani Handoko, 2000 : 208)

26

Menurut Gary Dessler dalam Alfonsius (2005: 19) tujuan disiplin adalah untuk

mendorong karyawan berprilaku secara bijaksana di tempat kerja, di mana

menjadi bijaksana didefinisasikan sebagai tata peraturan dan keputusan.

Pembinaan disiplin perlu dilaksanakan secara berkesinambungan (terus

menerus), oleh pihak manajemen sehingga para karyawan diharapkan dapat

bekerja bukan karena sanksi dan hukuman apabila melakukan pelanggaran.

Disiplin yang berasal dari diri sendiri lebih baik dari yang bersumber dari luar,

sebab ia bisa memotivasi diri sendiri untuk mematuhi peraturan.

Kedisiplinan dapat ditegakkan apabila ada hukuman atau sanksi bagi siapa saja

yang melanggar peraturan. Pelanggaran disiplin kerja adalah setiap ucapan dan

perbuatan karyawan yang melanggar ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan

displin pegawai baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja,

sedangkan hukuman disiplin kerja adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap

pegawai yang melanggar disiplin kerja pegawai.

Menurut Hani Handoko (2000 : 206), pelaksanaan sanksi pelanggaran terhadap

pelanggar disiplin adalah dengan menggunakan pedoman “aturan tungku panas

(hot stove rule)”. Menurut pendekatan ini disipliner haruslah memiliki

konsekuensi yang analog dengan menyentuh sebuah tungku panas :

1. Jika tindakan disipliner akan diambil, tindakan ini mesti terjadi dengan

segera sehingga, individu memahami alasan tindakan tersebut.

2. Memberi peringatan. Hal ini juga sangat penting untuk memberikan

peringatan sebelumnya bahwa hukuman akan mengikuti perilaku yang

tidak diterima

27

3. Memberikan hukuman yang konsisten. Disiplin yang konsisten berarti

setiap karyawan yang terkena disiplin harus menerima/menjalaninya,

setiap karyawan yang melakukan pelanggaran yang sama akan

mendapatkan ganjaran disiplin yang sama dan disiplin diberlakukan dalam

acara yang sepadan kepda segenap karyawan.

4. Tindak disipliner haruslah tidak membeda-bedakan.

Dengan demikian, pendisiplinan perlu dilakukan dengan pendekatan yang tepat

sehingga, tingkat disiplin kerja dapat ditingkatkan karena tanpa dukungan kerja

guru yang baik, maka sulit bagi sekolah untuk mencapai tujuannya. Hal ini

berarti dengan disiplin kerja guru yang tinggi, maka suatu sekolah dapat

mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Begitu pula sebaliknya, jika

disiplin kerja guru menurun, maka sekolah akan sulit mencapai tujuan yang

diharapkan. Hal ini membuktikan bahwa displin kerja merupakan kunci

keberhasilan suatu organisasi termasuk sekolah dalam mencapai tujuan

pendidikan.

Prinsip-prinsip disiplin yang diungkapkan oleh Heru Subekti

(http://subektiheru.blogspot.com/2008/03/disiplin-kerja.html). ada beberapa

diantaranya adalah:

1. Pemimpin mempunyai prilaku positif

Untuk dapat menjalankan disiplin yang baik dan benar, seorang pemimpin

harus dapat menjadi role model/panutan bagi bawahannya. Oleh karena itu

seorang pimpinan harus dapat mempertahankan perilaku yang positif sesuai

dengan harapan staf.

28

2. Penelitian yang Cermat

Dampak dari tindakan indisipliner cukup serius, pimpinan harus memahami

akibatnya. Data dikumpulkan secara faktual, dapatkan informasi dari staf

yang lain, tanyakan secara pribadi rangkaian pelanggaran yang telah

dilakukan, analisa, dan bila perlu minta pendapat dari pimpinan lainnya.

3. Kesegeraan

Pimpinan harus peka terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan

sesegera mungkin dan harus diatasi dengan cara yang bijaksana. Karena,

bila dibiarkan menjadi kronis, pelaksanaan disiplin yang akan ditegakkan

dapat dianggap lemah, tidak jelas, dan akan mempengaruhi hubungan kerja

dalam organisasi tersebut.

4. Lindungi Kerahasiaan (privacy)

Tindakan indisipliner akan mempengaruhi ego staf, oleh karena itu akan

lebih baik apabila permasalahan didiskusikan secara pribadi, pada ruangan

tersendiri dengan suasana yang rileks dan tenang. Kerahasiaan harus tetap

dijaga karena mungkin dapat mempengaruhi masa depannya .

5. Fokus pada Masalah

Pimpinan harus dapat melakukan penekanan pada kesalahan yang dilakukan

bawahan dan bukan pada pribadinya, kemukakan bahwa kesalahan yang

dilakukan tidak dapat dibenarkan.

6. Peraturan Dijalankan Secara Konsisten

Peraturan dijalankan secara konsisten, tanpa pilih kasih. Setiap pegawai

yang bersalah harus dibina sehingga mereka tidak merasa dihukum dan

dapat menerima sanksi yang dilakukan secara wajar.

29

7. Fleksibel

Tindakan disipliner ditetapkan apabila seluruh informasi tentang pegawai

telah di analisa dan dipertimbangkan. Hal yang menjadi pertimbangan antara

lain adalah tingkat kesalahannya, prestasi pekerjaan yang lalu, tingkat

kemampuannya dan pengaruhnya terhadap organisasi

8. Mengandung Nasihat

Jelaskan secara bijaksana bahwa pelanggaran yang dilakukan tidak dapat

diterima. File pegawai yang berisi catatan khusus dapat digunakan sebagai

acuan, sehingga mereka dapat memahami kesalahannya.

9. Tindakan Konstruktif

Pimpinan harus yakin bahwa bawahan telah memahami perilakunya

bertentangan dengan tujuan organisasi dan jelaskan kembali pentingnya

peraturan untuk staf maupun organisasi. Upayakan agar staf dapat merubah

perilakunya sehingga tindakan indisipliner tidak terulang lagi.

10. Follow Up (Evaluasi)

Pimpinan harus secara cermat mengawasi dan menetapkan apakah perilaku

bawahan sudah berubah. Apabila perilaku bawahan tidak berubah, pimpinan

harus melihat kembali penyebabnya dan mengevaluasi kembali batasan

akhir tindakan indisipliner.

Untuk dapat meningkatkan disiplin kerja yang tinggi perlu diperhatikan faktor-

faktor yang mempengaruhinya. Menurut Melayu S.P Hasibuan (2001 : 194),

faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja adalah :

30

1. Tujuan dan kemampuan

2. Teladan pemimpim

3. Balas jasa

4. Keadilan

5. Waskat

6. Sanksi hukuman

7. Ketegasan

8. Hubungan kemanusiaan

Berikut ini akan diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja

menurut Melayu S.P Hasibuan :

1. Tujuan dan Kemampuan

Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan

karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara

ideal, cukup manantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa

tujuan (pekerjaan) yang dibebankan pada karyawan harus sesuai dengan

kemampuan karyawan. Agar mereka dapat bekerja dengan sungguh-

sungguh dalam mengerjakan.

2. Teladan Pemimpin

Teladan pemimpin sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan

karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para

bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik,

jujur, adil, serta sesuai kata dan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang

baik, kedisiplinan bawahanya akan ikut baik, jika teladan disiplin

pimpinan kurang baik, para bawahan akan ikut kurang disiplin nantinya.

31

3. Balas Jasa

Balas jasa (gaji dan kesejahteraan), ikut mempengaruhi kedisiplinan

karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan

karyawan terhadap pekerjaan. Semakin besar balas jasa yang diberikan

para karyawan akan semakin mencintai pekerjaanya dan berusaha menaati

displin yang telah ditetapkan. Sebaliknya jika balas jasa tidak sesuai

dengan pekerjaanya maka, para pekerja akan meremehkan pekerjaan dan

akhirnya peraturan yang telah dibuat sengaja dilanggar.

4. Keadilan

Keadilan ikut mendorong terwujunya kedisiplinan karyawan. Karyawan

mempunyai pemikiran dan pemahaman yang berbeda-beda, umumnya

mereka merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan

manusia yang lainnya. Keadilan yang dijadikan perumus kebijakan dalam

pemberian balas jasa (pengakuan) sesuai dengan kinerja yang telah dia

lakukan yang akan medorong peningkatan karyawan. Dengan keadilan

yang baik maka, akan terciptanya kedisiplinan yang baik pula.

5. Waskat

Waskat (pengawasan melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif

dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan. Dengan waskat berarti

pimpinan harus aktif dan langsung mengawasi prilaku, moral, sikap dan

prestasi kerja bawahanya. Hal ini berarti pimpinan harus selalu hadir di

tempat kerja agar dapat mengawasi dan memberi petunjuk jika karyawan

mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaanya. Waskat efektif

32

mendorong kedisiplinan dan moral kerja karyawan. Karyawan merasa

dapat perhatian, bimbingan, pengarahan, dan pengawasan.

6. Sanksi Hukuman

Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan

karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan

semaakin takut melanggar peraturan. Berat dan ringannya sanksi hukuman

yang akan diterapkan ikut mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan

karyawan. Sanksi hukuman hendaknya cukup wajar untuk setiap tingkatan

indisipliner, bersifat mendidik dan menjadi alat motivasi untuk memelihara

kedisiplinan.

7. Ketegasan

Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi

kedisiplinan karyawan. Pimpinan yang berani bertindak tegas menerapkan

hukuman bagi karyawan yang tidak disiplin akan disegani dan diakui

kepemimpinannya. Ketegasan akan menimbulkan rasa untuk tidak

melanggar peraturan yang ada karena suatu yang telah dilanggar telah ada

hukumannya tersendiri. Akhirnya karyawan akan dapat menaati peraturan

yang telah dibuat berdasarkan kesepakatan bersama

8. Hubungan Kemanusiaan

Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan ikut

menciptakan kedisiplinan yang baik. Hubungan-hubungan baik bersifat

vertikal dan horizontal yang terdiri dari direct single relationship, direct

33

group relationship dan ctoss relationship hendaknya harmonis. Pemimpin

harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi

serta mengikat, vertikal maupun horizontal di antara semua karyawannya.

Jadi kedisiplinan karyawan akan tercipta apabila hubungan kemanusiaan

dalam organisasi tersebut baik.

Kedelapan faktor-faktor yang mempengaruhi kedisiplanan harus dapat dipupuk

dan ditanamkan dalam organisasi agar dapat mencapai tujuan organisasi yang

telah dirumuskan.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Tabel 2. Penelitian Yang Relevan

Nama/ tahun Judul Kesimpulan R

Titin Wahyuni

(2002)

Hubungan jenjang pendidikan,

persepsi terhadap

kepemimpinan dan kepuasan

kompensasi dengan disiplin

kerja karyawan bagian

produksi pada perusahaan

tepung aren “Nasional” di

kemiling Kodya Bandar

Lampung tahun 2001.

Dengan teladan yang baik,

maka persepsi karyawan

terhadap kepemimpinan akan

baik, sehingga disiplin kerja

ikut baik. Sebaliknya dengan

teladan pimpinan yang

kurang baik akan

mengakibatkan disiplin kerja

karyawan rendah.

Patmi Rohaida

(2009)

Pengaruh persepsi tentang

kepemimpinan kepala sekolah,

program pengajaran, dan

lingkungan kerja terhadap

semangat kerja guru pada SMK

Negeri 1 Bandar Lampung

Tahun Pelararan 2008/2009.

Ada hubungan antara

kepemimpinan kepala sekolah,

persepsi guru tentang

program pengajaran, dan

lingkungan kerja dengan

semangat kerja guru.

0,581.

Melda Sari (2007) Pengaruh Gaya kepemimpinan

Kepala Sekolah dan

Lingkungan Kerja Guru

Terhadap Disiplin Kerja Guru Di

SMP Negeri 3 Metro Tahun

Pelajaran 2005/2006.

Ada pengaruh gaya

kepemimpinan kepala

sekolah dan lingkungan kerja

guru terhadap disiplin kerja

guru

34

C. Kerangka Fikir

Hal yang mempengaruhi pencapaiaan tujuan organisasi dengan hasil yang baik

adalah peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan peningkatan

sumber daya manusia yang berkualitas, maka akan terwujud kondisi karyawan

yang selain memiliki kualitas yang baik juga memiliki disiplin kerja yang tinggi.

Sekolah adalah suatu organisasi pendidikan yang memilliki tujuan pendidikan

yang mulia. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan mutu pembelajaran di

sekolah ditentukan oleh guru, kurikulum yang menunjang, sarana dan prasaranan

sekolah, penyelanggaraaan dan penggelolaan pendidikan, dan adanya dana yang

cukup untuk operasinal sekolah.

Peningkatan mutu pendidikan di sekolah akan berhasil jika didukung oleh

keefektifan kerja guru. Keefektifan guru ditunjukan oleh adanya disiplin kerja.

Karena dengan, disiplin kerja pegawai yang baik akan mencerminkan rasa

tanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini

mendorong semangat guru dan terwujudnya tujuan organisasi.

Untuk mencapai tujuan pendidikan diperlukan adanya disiplin kerja guru yang

tinggi, hal ini dikarenakan guru yang berdisiplin tinggi melaksanakan tugas dan

tanggungjawabnya secara efektif sehingga kegiatan pembelajaran dapat berjalan

lancar dan juga penurunan disiplin kerja guru akan menyebabkan pencapaiaan

tujuan pembelajaran sekolah akan sulit tercapai seperti yang diharapkan.

Peranan guru dalam kegiatan belajaran mengajar merupakan faktor utama bagi

siswa dalam menyelesaikan setiap bidang studi dan dalam dunia pendidikan tidak

diragukan pentingnya. Oleh karena itu, adanya penurunan keinginan guru untuk

35

mengejar berdampak terhadap hasil pendidikan. Untuk membina dan

meningkatkan displin kerja yang tinggi merupakan tugas yang berat bagi kepala

sekolah, karena itu harus mengatasi faktor yang menyebabkan menurunnya

disiplin kerja dan memperhatikan faktor yang dapat mempengaruhi disiplin kerja.

kepemimpinan kepala sekolah harus sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah

tersebut. Kepemimpinan kepala sekolah akan dapat berhubungan dalam

mendorong, membimbing serta mengarahkan guru, staf, sisiwa, dan sebagainya

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Faktor lain yang diduga berhubungan dengan disiplin kerja adalah lingkungan

kerja. Lingkungan kerja merupakan situasi dan kondisi baik merupakan

lingkungan fisik maupun tidak langsung dan berhubungan dengan guru dan siswa

karena semakin nyaman dan kondusif lingkungan kerja, maka dapat

meningkatkan disiplin kerja guru.

Berdasarkan dari uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa variabel terikat

Disiplin kerja guru (Y) berhubungan dengan berbagai variabel bebas, diantaranya

kepemimpinan kepala sekolah (X1), lingkungan kerja guru (X2).

36

Dengan demikian, maka kerangka penelitian dapat digambarkan sebagi berikut:

Gambar 1. Paradigma Ganda dengan dua Variable independent (X1 dan X2)

dan satu Variable dependent (Y)

(Sugiono, 2009 : 39)

D. Hipotesis

Bedasarkan kerangka pikir di atas maka hipotesis yang dirumuskan dalam

penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan disiplin

kerja guru di SMP Karya Bhakti Gadingrejo tahun pelajaran 2009/2010.

2. Ada hubungan antara lingkungan kerja guru dengan disiplin kerja guru

di SMP Karya Bhakti Gadingrejo tahun pelajaran 2009/2010.

3. Ada hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan lingkungan

kerja guru dengan disiplin kerja guru di SMP Karya Bhakti Gadingrejo

tahun pelajaran 2009/2010.

Lingkungan

Kerja Guru

(X2)

Disiplin Kerja Guru

(Y)

(Y)

Kepemimpinan

Kepala Sekolah

(X1) r1

r2

R