ii. tinjauan pustaka 2.1 solanum melongena l.) 2.4eprints.umm.ac.id/48484/3/bab ii.pdf · fenol...
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Terung (Solanum melongena L.)
2.4.1 Morfologi Tanaman Terung
Terung (Solanum melongena) merupakan tanaman setahun jenis perdu yang
dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 50 - 150 cm. Batang bulat, bercabang,
berkayu, berduri dan berbulu. Daun tunggal, bulat telur, ujung runcing, pangkal
berlekuk, tepi berombak, panjang 3 - 15 cm, lebar 2 - 9 cm, pertulangan menyirip,
warnanya hijau, letak daun berselang-seling dan bertangkai pendek. Bunga
majemuk, berseling, terdiri dari 5 kelopak, bentuk lonceng, terdiri dari lima
mahkota,berwarna putih lembayung sampai ungu, kepala sari kuning, (Haryoto,
2009). Buah terong merupakan buah sejati tunggal, berdaging tebal, bentuk
buahnya beraneka ragam, diantaranya bulat kecil, silindris, lonjong, dan bulat
panjang. Warna buahnya ungu, tetapi ada pula yang berwarna putih dan hijau
bergaris putih (Mashudi, 2007).
Gambar 1. Terung Hijau
(Dokumentasi Pribadi)
Gambar 2. Terung Ungu (Dokumentasi Pribadi)
5
Menurut Hadiatna (2007) terung merupakan bunga berkelamin dua, dalam
satu bunga terdapat kelamin jantan (benang sari) dan betina (putik), bunga ini sering
disebut juga bunga sempurna. Bunga terung berwarna ungu ada pula yang berwarna
putih. Bentuk buah terung beranekaragam, ada yang bulat, lonjong, atau bulat
panjang. Ciri-ciri terung yang sudah siap dipanen adalah memiliki ukuran yang
sudah optimal (umum), warna kulit yang cemerlang mengkilap dan panjang buah
sekitar 15 – 20 cm. Struktur buah terung tersebut padat, menggembung bentuk oval
dan warna merata pada permukaan kulit terung yang halus.
2.4.2 Varietas Terung (Solanum melongena L.)
Sebagian besar petani menggunakan benih dari hasil seleksinya sendiri,
sehingga sering menghasilkan keragaman tanaman dan tipe buah yang sangat
berbeda. Di lahan pertanaman terung bisa terdapat tiga tipe buah. Beberapa terung
varietas lokal yang bisa di buat sayur atau lalap diantaranya terung varietas Karnia
F1, varietas Turangga F1 dan varietas Yumi F1. Deskripsinya sebagai berikut :
1. Terung Kania F1
Terung Kania merupakan terung yang memiliki bentuk panjang, berwarna
putih (hibrida), bentuk buah silindris dan panjang, warna buah lebih putih dan
mengkilat, 26 x 5,5 cm, bobot 130 g/buah. Mulai panen umur 45 - 50 HST
dengan potensi hasil 2,5 - 3 kg/tanaman, 50 - 60 ton/ha (Mashudi, 2007)..
2. Terung Yumi F1
Varietas ini memiliki bentuk yang panjang dan berwarna ungu, cocok
untuk dataran rendah –menengah, memiliki ciri tahan layu bakteri, bentuk
buah silindris dan panjang, warna ungu mengkilat, 24 x 5 cm, bobot 125
6
g/buah. Mulai panen umur 50 - 55 hari setelah tanam dengan potensi hasil 2,5
- 3,5 kg/tanaman, 60 - 90 ton/ha (Mashudi, 2007).
3. Terung Turangga F1
Terung Turangga merupakan terung yang memiliki ciri panjang dengan
warna buah hijau muda, untuk ketinggian tempat di dataran rendah-
menengah, panjang buah 22-25 cm, bobot 100-120 g/buah, vigor baik, mulai
panen 50 - 55 HST, umur produksi mencapai 12 buah/tanaman, 60 - 90 ton/ha
(Mashudi, 2007).
2.4.3 Komponen Kimia dan Manfaat Terung
Menurut Chen dan Li (2008) Kandungan nutrisi buah terung setiap 100 g
adalah sebagaimana Tabel 1. berikut :
Tabel 1. Kandungan nutrisi pada setiap 100 gram buah terung
Zat Gizi Kandungan
Energi 24 kkal
Kadar air 92,7 %
Karbohidrat 4 %
Protein 1,4 g
Lemak 0,3 g
Kalsium 18 mg
Fosfor 47 mg
Zat Besi 0,9 mg
Vitamin A 124 IU
Vitamin C 12 mg
Terung mengandung komponen fenolik berperan sebagai antioksidan yang
berfungsi untuk melindungi dirinya terhadap stres oksidatif juga terhadap infeksi
bakteri dan jamur. Berdasarkan penelitian Akanitapichat et al (2010) kandungan
total fenolik dari 5 varietas terung berkisar antara 739.36 - 1002.67 mg GAE/100 g
ekstrak. Fenol adalah zat kristal yang tidak berwarna dan memiliki bau yang khas.
7
Senyawa fenol dapat mengalami oksidasi sehingga dapat berperan sebagai
reduktor. Fenol bersifat lebih asam bila dibandingkan dengan alkohol, tetapi lebih
basa daripada asam karbonat karena fenol dapat melepaskan ion H+ dari gugus
hidroksilnya. Lepasnya ion H+ menjadikan anion fenoksida C6H5O - dapat melarut
dalam air. Fenol mempunyai titik leleh 41°C dan titik didih 181°C. Fenol memiliki
kelarutan yang terbatas dalam air yaitu 8,3 gram/100 ml (Yordi et al., 2012).
Menurut Radoslaw dan Grazyna (2005), Solanum melongena L. merupakan
salah satu sumber antioksidan alami yang mengandung senyawa golongan asam
fenolat yaitu caffeic, P-coumaric, ferulic, gallic, protocatechnic dan asam p-
hydroxybenzoic. Selanjutnya dikatakan dalam 100 gram Solanum mengandung 1,4
% protein, 0,3% lemak, > 4,32% karbohidrat, 30% bahan kering dan 220 mg
kalsium. Kandungan kalsium dalam Solanum cukup untuk memenuhi 10 %
kebutuhan harian manusia untuk potasium. Senyawa yang ada dalam terung adalah
campesterol, sitosterol, stigmasterol dan sejumlah kecil kolesterol serta antosianin.
Hasil penelitian John R Stommel and Bruce D Whitaker (2003) Solanum
melongena mengandung asam fenolat, sehingga memiliki kemampuan sebagai
antioksidan.
Coon (2003) mengatakan efek penurunan kolesterol pada beberapa hewan
coba, karena adanya antiokidan yang menghambat aktivitas oksidasi lemak. Terung
mengandung komponen fitonutrien penting yang memiliki aktivitas sebagai
antioksidan. Fitonutrien yang terkandung di dalam terung ungu yaitu komponen
fenolik seperti caffeic dan chlorogenic acid, dan flavonoid yaitu nasunin (Tiwari,
2009). Antosianin juga tergolong senyawa flavonoid yang memiliki fungsi sebagai
antioksidan alami. Selain itu, antosianin mampu menghentikan reaksi radikal bebas
8
dengan menyumbangkan hidrogen atau elektron pada radikal bebas dan
menstabilkannya.
2.2 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel
lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh seperti pada
waktu kita bernafas (hasil samping proses oksidasi atau pembakaran) pada saat
mekanisme reaksi radikal bebas merupakan suatu deret reaksi-reaksi bertahap
(Sayuti dan Yenrina, 2015).
Menurut Sayuti dan Yenrina (2015) tahapan radikal bebas yaitu tahap
inisiasi, propagasi dan terminasi.
a. Tahap inisiasi
Inisiasi adalah sebuah tahap pembentukan radikal bebas. Inisiator penyebab
pembentukan radikal bebas ini umumnya adalah Reactive Oxygen Species (ROS),
misalnya oksigen singlet atau ·OH. ROS ini dapat bergabung dengan atom hidrogn
pada asam lemak tidak jenuh, sehingga membentuk radikal bebas (R·).
RH + (reactive oxygen species) ∙OH R∙ + H2O
b. Tahap propagasi
Tahap propagasi merupakan awal pemanjangan rantai radikal. Reaksi ini
adalah reaksi rantai panjang karena ia tidak dapat dihentikan sampai konsentrasi
radikal yang tinggi tercapai.
R∙ + O2 ROO∙
ROO∙ + RH R∙ + ROOH
ROOH RO∙ + HO-
9
c. Tahap terminasi
Konsentrasi radikal yang tinggi dapat menciptakan lingkungan dimana
pembentukan spesies non-radikal yang dibentuk dari dua radikal dapat terjadi. Jika
ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa sedang terjadi tahap terminasi. Oksidasi
lipid adalah reaksi yang berantai karena ketika spesies non-radikal terbentuk, akan
sangat mudah kembali untuk bereaksi dengan radikal bebas lain dan masuk ke
dalam siklus oksidasi, yang nantinya terus-menerus akan dapat mendegradasi lipid.
R∙ + R∙ RR
R∙ + ROO∙ ROOR
ROO∙ + ROO∙ ROOR + O2
RO∙ + R∙ ROR
2RO∙ + 2ROO∙ 2ROOR + O2
(Keterangan: H = Asam Lemak Tak Jenuh; R∙=Alkil radikal; ROO∙=Peroksi
radikal; RO∙ = Alkoksi radikal; ROOH = hidroperoksida)
2.3 Senyawa Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi
berantai dari radikal bebas. Antioksidan juga berguna untuk mencegah oksidasi
komponen makanan yang mengandung senyawa tidak jenuh (mempunyai ikatan
rangkap) misalnya minyak dan lemak. Kombinasi beberapa jenis oksidasi
antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) dibanding
dengan satu jenis antioksidan saja (Ramadhan, 2015).
10
Antioksidan yang terdapat pada buah terung berasal dari flavonoid. Bagian
dari senyawa flavonoid yang mempunyai potensi antioksidan tersebut adalah
antosianin yang merupakan pigmen yang memberikan warna merah, merah
senduduk dan ungu pada tanaman (Gordon, 1990). Warna ungu dari terong ungu
berasal dari salah satu antosianin yang terdapat di dalam kulit yang bernama
nasunin. Antosianin bertindak sebagai penangkap radikal bebas karena gugus
hidroksil yang dikandungnya mendonorkan hidrogen kepada radikal bebas.
Antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama
yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi
utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat
memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipid (R•, ROO•) atau
mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A•)
tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid. Fungsi kedua
merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi
dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi
dengan pengubahan radikal lipid ke bentuk lebih stabil (Gordon, 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipid
dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun
propagasi Radikal-radikal antioksidan (A•) yang terbentuk pada reaksi tersebut
relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan
molekul lipid lain membentuk radikal lipid baru. Reaksi penghambatan antioksidan
primer terhadap radikal lipid adalah sebagai berikut :
11
Inisiasi :
R• + AH RH + A•
(Radikal lipid) (antioksidan primer) (radikal antioksidan)
Propagasi :
ROO• + AH ROOH + A•
Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipid
Menurut Ramadhan (2015) berdasarkan sumbernya antioksidan dapat
digolongkan menjadi :
a. Antioksidan alami
Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil dari ekstraksi
bahan alami dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah
ada dari satu atau dua komponen makanan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama
proses pengolahan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan
ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan. Contohnya: superoxide
dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroxide (GSH).
b. Antioksidan Sintetik
Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil reaksi
kimia. Beberapa contoh antioksidan yang diizinkan penggunaannya untuk makanan
yang telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi anisol (BHA), tokoferol, asam
askorbat, dan butil hidroksi toluen (BHT).
2.4 Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki
vaskularisasi akibat stimulus (rangsang) eksogen dan endogen. Dalam arti yang
paling sederhana, Inflamasi adalah suatu repons protektif yang ditujukan untuk
12
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik
yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Rahayu, 2009).
Radikal bebas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya inflamasi.
Radikal bebas di dalam tubuh mempunyai elektron yang tidak berpasangan
sehingga tidak stabil dan reaktif hebat. Sebelum memiliki pasangan, radikal bebas
akan terus menerus menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya
termasuk menyerang sel-sel tubuh yang normal. Hal ini menyebabkan
terbentuknya gugus radikal bebas (hydroxyl, superoxide, hydrogen peroxide, dan
sebagainya) adalah akibat terjadinya otooksidasi dari molekul intraselular karena
pengaruh sinar UV. Radikal bebas ini akan merusak enzim superoksida-dismutase
(SOD) yang berfungsi mempertahankan fungsi sel sehingga fungsi sel menurun dan
menjadi rusak. Proses penuaan pada kulit (inflamasi) yang dipicu oleh sinar UV
(photoaging) merupakan salah satu efek dari radikal bebas (Yaar dan Gilchrest,
2007).
2.4.1 Mekanisme Antiinflamasi dalam Menghambat Denaturasi Protein
Denaturasi protein disebabkan oleh aksi panas, radikal bebas, larutan asam
atau alkali, elektrolit, alkohol, dan beberapa agen lainnya yang menghasilkan
perubahan pada kelarutan albumin dan globulin, terutama pada titik isoelektrik.
Denaturasi protein adalah sebuah proses dimana protein kehilangan struktur
tersier dan struktur sekunder oleh senyawa eksternal, seperti basa kuat atau basa
kuat, garam organik, pelarut organik dan pemanasan. Pada umunya protein
kehilangan fungsi biologisnya ketika didenaturasi. Misalnya enzim kehilangan
aktivitasnya karena subtrat tidak dapat lagi mengikat pada gugus aktifnya (Verma
et al, 2011).
13
Beberapa metode in vitro lain dapat digunakan untuk mengetahui potensi
atau aktivitas antiinflamasi dari suatu obat, kandungan kimia dan preparat herbal.
Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain adalah pelepasan fosforilasi
oksidatif (ATP biogenesis terkait dengan respirasi), penghambatan denaturasi
protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi membran lisosomal, tes fibrinolitik
dan agregasi trombosit. Selain itu uji antiinflamasi secara in vitro juga bisa
dilakukan dengan melihat efek inhibisi pada siklooksigenase menggunakan kit
khusus uji skrining siklooksigenase (Umar et al., 2012).
2.5 Flavonoid
Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman yang
tersebar luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai konsentrasi.
Kandungan senyawa flavonoid dalam tanaman sangat rendah, sekitar 0,25%.
Komponen tersebut pada umum nya terdapat dalam keadaan terikat atau
terkonjugasi dengan senyawa gula (Winarsi, 2007).
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6- C3-C6.
Artinya kerangka karbonnya terdiri dari dua gugus C6 (cincin benzene tersubsitusi)
disambungkan oleh rantai alifatik 3 karbon. Pada identifikasi flavonoid yang
pertama dijadikan acuan dengan menafsirkan warna bercak dari segi struktur
flavonoid dengan penampak bercak amoniak dan sinar ultraviolet, untuk
selanjutnya diidentifikasi dilanjutkan dengan mengukur absorbansinya dengan
pereaksi geser dan spektrofotometer ultraviolet-sinar tampak.
Kuersetin adalah molekul flavonol dimana merupakan salah satu jenis
flavonoid yang aktif sebagai antioksidan. Sifat antioksidan dari senyawa kuersetin
mampu menghibisi proses karsinogenesis. Senyawa karsinogen merupakan
14
senyawa yang mampu mengoksidasi DNA sehingga terjadi mutasi. Kuersetin
sebagai antioksidan dapat mecegah terjadinya oksidasi pada fase inisiasi maupun
propagasi (Winarsi, 2007).
Gambar 1. Struktur Kuersetin (Silalahi, 2006)
Flavonoid berperan sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung
gugus hidroksil. Karena bersifat sebagai reduktor, flavonoid dapat bertindak
sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas (Silalahi, 2006). Senyawa flavonoid
seperti quersetin, morin, mirisetin, kaemferol, asam tanat, dan asam elagat
merupakan antioksidan kuat yang dapat melindungi makanan dari kerusakan
oksidatif (Silalahi, 2006). Sebagai antioksidan, flavonoid dapat menghambat
penggumpalan keping-keping sel darah, merangsang pembentukan nitrit oksida
yang dapat melebarkan (relaksasi) pembuluh darah, dan juga menghambat sel
kanker. Selain berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas,
flavonoid juga memiliki sifat sebagai hepatoprotektif, antitrombotik, antiinflamasi,
dan antivirus (Winarsi, 2007). Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme
sangat banyak macamnya dan menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung
flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional.
Sifat- sifat dari senyawa flavonoid antara lain:
1. Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Flavonoid
15
Flavonoid merupakan senyawa polifenol sehingga bersifat kimia senyawa
fenol yaitu agak asam dan dapat larut dalam basa, dan karena merupakan senyawa
polihidroksi (gugus hidroksil) maka juga bersifat polar sehingga dapat larut dalan
pelarut polar seperti metanol, etanol, aseton, air, butanol, dimetil sulfoksida, dimetil
formamida. Disamping itu dengan adanya gugus glikosida yang terikat pada gugus
flavonoid sehingga cenderung menyebabkan flavonoid mudah larut dalam air.
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Mereka dapat
diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini
dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu
warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, jadi mereka mudah dideteksi
pada kromatogram atau dalam larutan (Harborne, 1987).
Sifat-sifat kimia dari senyawa fenol adalah sama, akan tetapi dari segi
biogenetik senyawa senyawa ini dapat dibedakan atas dua jenis utama, yaitu:
1. Senyawa fenol yang berasal dari asam shikimat atau jalur shikimat.
2. Senyawa fenol yang berasal dari jalur asetat-malonat.
Senyawa-senyawa fenol ada yang berasal dari kombinasi antara kedua jalur
biosintesa ini yaitu senyawa-senyawa flanonoida. Tidak ada benda yang begitu
menyolok seperti flavonoida yang memberikan kontribusi keindahan dan
kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di alam. Flavin memberikan warna
kuning atau jingga, antodianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu
semua warna yang terdapat pada pelangi kecuali warna hijau. Secara biologis
flavonoida memainkan peranan penting dalam kaitan penyerbukan tanaman oleh
serangga. Sejumlah flavonoida mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat
menolak sejenis ulat tertentu.
16
2. Sifat Kelarutan Flavonoid
Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia
senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa, tetapi bila
dibiarkan dalam larutan basa dan di samping itu terdapat oksigen, banyak yang akan
terurai. Karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih, atau suatu
gula, flavonoid merupakan senyawa polar, maka umumnya flavonoid cukup larut
dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetil-sulfoksida,
dimetilformamida, air, dan lain-lain (Markham, 1988). Adanya gula yang terikat
pada flavonoid (bentuk umum yang ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid
lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan
air merupakan pelarut yang baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang
polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi
cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham,
1988).
Kelarutan flavonoid antara lain :
a) Flavonoid polimetil atau polimetoksi larut dalam heksan, petroleum eter (PE),
kloroform, eter, etil asetat, d an etanol. Contoh: sinersetin (nonpolar).
b) Aglikon flavonoid polihidroksi tidak larut dalam heksan, PE dan kloroform;
larut dalam eter, etil asetat dan etanol; dan sedikit larut dalam air. Contoh:
kuersetin (semipolar) Glikosida flavonoid tidak larut dalam heksan, PE,
kloroform, eter; sedikit larut dalam etil asetat dan etanol; serta sangat larut
dalam air. Contoh: rutin.
3. Kestabilan Flavonoid
Secara fisis, flavonoid bersifat stabil. Namun, secara kimiawi ada 2 jenis
17
flavonoid yang kurang stabil, yaitu:
a. Flavonoid O-glikosida; dimana glikon dan aglikon dihubungkan oleh
ikatan eter (R-O-R). Flavonoid jenis ini mudah terhidrolisis.
b. Flavonoid C-glikosida; dimana glikon dan aglikon dihubungkan oleh
ikatan C-C.
Flavonoid jenis ini sukar terhidrolisis, tapi mudah berubah menjadi
isomernya. Misalnya viteksin, dimana gulanya mudah berpindah ke posisi 8. Perlu
diketahui, kebanyakan gula terikat pada posisi 5 dan 8, jarang terikat pada cincin B
atau C karena kedua cincin tersebut berasal dari jalur sintesis tersendiri, yaitu jalur
sinamat.
2.6 Senyawa Fenolik
Senyawa fenolik merupakan kelompok terbesar metabolit sekunder pada
tanaman. Senyawa ini termasuk dalam alkohol aromatik karena gugus hidroksilnya
selalu melekat pada cincin benzen. Senyawa fenolik secara umum memiliki potensi
sebagai bakterisidal, antiseptik, antioksidan, dan sebagainya (Pengelly, 2006).
Beberapa senyawa yang termasuk dalam kelompok fenolik adalah fenol sederhana,
kumarin, tannin, saponin, dan flavonoid. Senyawa tersebut biasanya berada dalam
bentuk glikosida atau ester pada tanaman (Proestos, 2006).
Senyawa fenolik ini merupakan molekul yang dapat bertindak sebagai
antioksidan untuk mencegah penyakit jantung, mengurangi peradangan,
menurunkan kejadian kanker dan diabetes, serta mengurangi tingkat mutagenesis
pada sel manusia. Perlindungan yang diperoleh dari mengonsumsi produk tanaman
seperti buah-buahan, sayuran dan kacang-kacangan sebagian besar terkait dengan
adanya senyawa fenolik pada tanaman tersebut (Khoddami et al., 2013). Senyawa
18
fenolik dapat memberikan perlindungan sebagai antioksidan dikarenakan senyawa
fenolik dapat bereaksi dengan reactive oxygen species (ROS) dan menghilangkan
aktivitas radikalnya sehingga tidak berbahaya lagi terhadap sel tubuh manusia
(Sochor, 2010).
Gambar 2. Gugus Fenol (Silalahi, 2006)
Banyaknya variasi gugus yang mungkin tersubtitusi pada kerangka utama
fenol menyebabkan kelompok fenolik memiliki banyak sekali anggota. Terdapat
lebih dari 8.000 jenis senyawa yang termasuk dalam golongan senyawa fenolik.
Oleh karena senyawa kimia yang tergolong sebagai senyawa fenolik sangat banyak
macamnya, berbagai cara klasifikasi dilakukan oleh banyak ilmuan.
a. Senyawa fenolik sederhana
Secara umum senyawa fenolik sederhana memiliki sifat bakterisidal,
antiseptic, dan antihelmintik. Senyawa dari kelompok ini merupakan
hasil subtitusi gugus fenol. Subtitusi tersebut bisa berupa dua gugus atau
satu gugus dalam posisi orto, meta, para. Contoh senyawa fenolik
sederhana yang tersubtitusi oleh dua dan satu gugus hidroksil berturut-
turut adalah floroglukinol dan resorcinol, contoh senyawa fenol
sederhana lainnya adalah p-kresol, 3-etilfenol, 3,4-dimetilfenol, dan
hidrokarbon.
19
b. Asam fenolat dan senyawa yang berhubungan lainnya (aldehid)
Senyawa fenolik dari golongan asam fenolat adalah fenol yang
tersubtitusi oleh gugus karboksil. Contoh asam fenolat adalah asam galat.
Asam galat merupakan trifenol yang biasa terdapat di daun dalam bentuk
teresterifikasi bersama dengan katekin. Selain gugus karboksil, gugus
lainnya seperti aldehid juga dapat tersubtitusi di gugus fenol, contoh
senyawa dari jenis ini adalah vanillin.
c. Asetofenon dan asam fenilasetat
Asetofenon dan asam fenilasetat adalah golongan senyawa fenolik yang
jarang ditemukan di alam. Asetofenon dikenal dengan adanya gugus
aseton yang tersubtitusi di fenol. Asam fenil asetat juga memiliki gugus
karboksil, namun berbeda dengan asam fenolat, gugus karboksil pada
asam fenilasetat tidak berikatan langsung dengan cincin benzen.
Senyawa golongan fenol diketahui sangat berperan terhadap aktivitas
antioksidan, semakin besar kandungan senyawa golongan fenolnya maka
semakin besar aktivitas antioksidannya (Shahwar et al., 2010).
2.7 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat, belum
mengalami pengolahan apapun, umumnya dalam keadaan kering, langsung
digunakan sebagai obat dalam atau banyak digunakan sebagai obat dalam sediaan
galenik tertentu atau digunakan sebagai bahan dasar untuk memperoleh bahan baku
obat. Sedangkan sediaan galenik berupa ekstrak total mengandung 2 atau lebih
senyawa kimia yang mempunyai aktifitas farmakologi dan diperoleh sebagai
produk ekstraksi bahan alam serta langsung digunakan sebagai obat atau digunakan
20
setelah dibuat bentuk formulasi sediaan obat tertentu yang sesuai (Depkes RI,
1995). Dalam buku ”Materia Medika Indonesia” ditetapkan definisi bahwa
simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan (Depkes RI, 2000).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000), simplisia
dibagi menjadi 3 golongan yaitu: simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia
pelikan (mineral).
1. Simplisia Nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman/eksudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman adalah
isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara terteutu
dipisahkan dari tanamannya.
2. Simplisia Hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan
atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia
murni.
3. Simplisia Pelikan (mineral)
Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan
atau mineral yang belum diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat
kimia murni.
21
2.8 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair yang sesuai. Senyawa aktif simplisia dapat digolongkan menjadi minyak atsiri,
alkaloid, flavonoid, tannin, saponin dan lain-lain (Depkes R. I., 2000).
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Suatu senyawa menunjukan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang
berbeda. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan mengekstrak, toksisitas, kemampuan untuk diuapkan dan
harga pelarut. Biasanya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode
maserasi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna. Beberapa
metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi, perkolasi, refluks, dan
sokletasi (Harborne 1987).
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Dalam proses maserasi,
bahan yang akan diekstraksi biasanya ditempatkan pada wadah atau bejana yang
bermulut lebar, bersama pelarut yang telah ditetapkan. Bejana ditutup rapat dan
isinya diaduk berulang-ulang sekitar 2-14 hari. Pengadukan memungkinkan pelarut
segar mengalir berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan dari bahan yang sudah
halus. Setelah senyawa-senyawa metabolit sekunder tertarik ke dalam pelarut ia
akan turun ke dasar bejana karena meningkatnya gaya berat cairan akibat
penambahan berat. Kemudian pelarut yang segar naik ke permukaaan dan proses
ini berlanjut secara berkelanjutan. Ekstrak dipisahkan dari ampasnya dengan
menapis dan/atau menyaring ampas yang telah dibilas bebas dari ekstrak dengan
penambahan pelarut ke dalam ekstrak dalam wadahnya. Maserasi biasanya
22
dilakukan pada suhu ruangan selama 3 hari sampai senyawa-senyawa metabolit
tertarik ke dalam pelarut (Ansel, 1989).
Menurut List & Schmidt (1989) maserasi yaitu metode ekstraksi dengan
cara merendam sampel menggunakan pelarut dengan atau tanpa pengadukan.
Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sering digunakan.
2.9 Pelarut
Faktor yang mempengaruhi dalam berhasilnya proses ekstraksi adalah mutu
dan pelarut yang dipakai. Ada dua pertimbangan utama dalam memilih pelarut yang
akan digunakan, yaitu harus memiliki daya larut yang tinggi dan pelarut tersebut
tidak berbahaya atau tidak beracun.
Menurut Stahl, (1969) polaritas pelarut sangat berpengaruh terhadap daya
larut. Indikator kelarutan pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan
nilai polaritas pelarut. Besarnya nilai polaritas pelarut proporsional dengan
konstanta dielektriknya.
2.9.1 Macam – Macam Pelarut
1. Etanol
Etil alkohol atau etanol merupakan zat kimia yang termasuk ke dalam
golongan alkohol (Abramson and Singh, 2009). Etanol memiliki indeks polaritas
4,3 P´ dan konstanta dielektrik 24.3 εr serta memiliki struktur kimia CH3CH2OH,
dengan rumus struktur Gambar 1 memiliki sifat mudah menguap, tidak berwarna,
dan bersifat polar sehingga digunakan sebagai pelarut untuk berbagai senyawa
(Sebayang, 2006). Sifat polar yang dimiliki oleh etanol, membuat zat kimia ini
sering digunakan sebagai pelarut obat, pengawet dalam dunia medis, desinfektan
serta biasanya digunakan sebagai antidotum (senyawa yang mengurangi atau
23
menghilangkan toksisitas) keracunan metanol dan etilen glikol (Arora et al., 2007).
Selain itu, etanol memiliki titik didih sebesar 78,40C sehingga memiliki sifat
mudah terbakar (Simanjuntak, 2009).
Gambar 3. Struktur Kimia Etanol (Sebayang, 2006)
2. Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud
cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc,
dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi
dalam skala besar sebagai pelarut (Chang, 2003).
Gambar 4. Struktur Etil Asetat (Chang, 2003)
Etil asetat adalah pelarut semi polar yang volatil (mudah menguap), tidak
beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat memiliki indeks polaritas 4,4 P´ dan
konstanta dielektrik 6,02 εr. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang
lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang
bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti oksigen
24
dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga
kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih
tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa
atau asam (Chang, 2003).
Etil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam asetat dan
etanol, biasanya disertai katalis asam seperti asam sulfat. Etil asetat dapat
dihidrolisis pada keadaan asam atau basa menghasilkan asam asetat dan etanol
kembali. Katalis asam seperti asam sulfat dapat menghambat hidrolisis karena
berlangsungnya reaksi kebalikan hidrolisis yaitu esterifikasi Fischer. Untuk
memperoleh rasio hasil yang tinggi, biasanya digunakan asam kuat dengan proporsi
stoikiometris, misalnya natrium hidroksida. Reaksi ini menghasilkan etanol dan
natrium asetat, yang tidak dapat bereaksi lagi dengan etanol (Chang, 2003). Bahaya
utama dari pelarut ini yaitu mudah terbakar dan menyebabkan iritasi.
3. N-heksana
Heksana (C6H14) atau (CH3-CH2-CH2-CH2-CH2-CH3) merupakan pelarut
non-polar yang tidak berwarna dan mudah menguap dengan titik didih 69°C, pada
T dan P normal berbentuk cair. Senyawa ini memiliki indeks polaritas 0,1 P´ dan
konstanta dielektrik 1,88 εr. Secara umum heksana dengan 6 rantai karbon lurus
yang didapatkan dari gas alam dan minyak mentah. Heksana biasanya digunakan
dalam pembuatan makanan termasuk ekstraksi dari minyak nabati (Scheflan dan
Morris, 1983).
Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia
C6H14 (isomer utama n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3). Awalan heks-
merujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran -ana
25
berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-
atom karbon tersebut. Seluruh isomer heksana amat tidak reaktif, dan sering
digunakan sebagai pelarut organik yang inert. Heksana juga umum terdapat pada
bensin dan lem sepatu, kulit dan tekstil (Scheflan dan Morris 1983). senyawa ini
meiliki sifat mudah terbakar, beracun dan berbahaya bagi lingkungan.
Dalam keadaan standar senyawa ini merupakan cairan tak berwarna yang
tidak larut dalam air (non polar). Heksana diproduksi oleh kilangkilang minyak
mentah. Komposisi dari fraksi yang mengandung heksana amat bergantung kepada
sumber minyak, maupun keadaan kilang. Produk industri biasanya memiliki 50%
berat isomer rantai lurus, dan merupakan fraksi yang mendidih pada 65±70°C
(Scheflan dan Morris 1983).
Gambar 5. Struktur kimia n-heksana (Scheflan dan Morris 1983)
2.10 Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
Salah satu uji yang dapat dilakukan untuk menentukan potensi antioksidan
suatu senyawa adalah dengan menguji kemampuannya dalam meredam senyawa
radikal DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). DPPH merupakan radikal bebas
yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk menilai aktivitas
antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi antioksidan
dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan
menetralkan karakter radikal bebas DPPH (Gurav et al., 2007)
26
Gambar 6. Struktur DPPH (Gurav, et al.,2007)
DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul
diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer
elektron atau radikal hidrogen pada DPPH akan menetralkan radikal bebas dari
DPPH. Warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi
pada panjang gelombang 516 nm akan hilang jika semua elektron pada radikal
bebas DPPH menjadi berpasangan. Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan
jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat
adanya zat reduktor.
Suatu zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm.
Bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut
kurang aktif namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan (Molyneux, 2004).
Senyawa antioksidan mempunyai sifat yang relatif stabil dalam bentuk radikalnya.
Senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan dapat diprediksi dari
golongan fenolat, flavonoida dan alkaloida, yang merupakan senyawa-senyawa
polar. Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak
untuk menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen
penghambatan (Williams, et al., 1995)
27
Gambar 7. Reaksi antara DPPH dengan atom H netral yang berasal dari
antioksidan (Williams, et al.,1995)
Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah
harga konsentrasi efisien atau Effective Concentration (EC50) atau Inhibitory
Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat
menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat
antioksidan yang memberikan % penghambatan 50%. Harga EC50 atau IC50 yang
rendah berarti aktivitas antioksidan tinggi (Williams, et al., 1995).
2.11 Penentuan Aktivitas Antiinflamasi menggunakan BSA
Uji aktivitas antiinflamasi secara in vitro dilakukan dengan prinsip
penghambatan denaturasi Bovine Serum Albumin (BSA). Aktivitas antiinflamasi
dengan menghambat denaturasi protein BSA menurut Sadler dan Tucker dapat
terjadi karena adanya interaksi antara molekul sampel dengan tirosin aromatik,
treonin alifatik dan residu lisin dari BSA (Williams et al, 2008). Selain itu aktivitas
antiinflamasi dengan menghambat denaturasi BSA juga terjadi karena molekul
sampel dapat menghambat kerusakan bentuk sekunder dan tersier dari protein BSA,
dimana denaturasi protein terjadi karena terputusnya ikatan hidrogen, interaksi
hidrofobik dan ikatan garam yang terdapat dalam bentuk sekunder dan tersier
protein (Ophardt, 2003).
28
2.12 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis
spektroskopi yang memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat (190-
380) dan sinar tampak (380-780) dengan memakai instrumen spektrofotometer
(Mulja dan Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi
elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga
spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif ketimbang
kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995).
Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer.
Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan
atau yang diabsorpsi. Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang
kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan
suatu alat untuk mengukur pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun
pembanding (Khopkar, 1990).
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel
yang berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu
diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain:
1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap
terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.
2. Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
3. Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.
Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:
29
1. Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan
adalah lampu wolfram.
2. Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.
3. Sel absorpsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet
kaca atau kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV
menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada
daerah ini.
4. Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau
pencatat. Peranan detektor penerima adalah memberikan respon
terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang.
Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan visibel
tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Serapan ultraviolet dan visibel
dari senyawa-senyawa organik berkaitan erat transisi-transisi diantara tingkatan-
tingkatan tenaga elektronik. Disebabkan karena hal ini, maka serapan radiasi
ultraviolet atau terlihat sering dikenal sebagai spektroskopi elektronik. Transisi-
transisi tersebut biasanya antara orbital ikatan antara orbital ikatan atau orbital
pasangan bebas dan orbital non ikatan tak jenuh atau orbital anti ikatan. Panjang
gelombang serapan merupakan ukuran dari pemisahan tingkatan-tingkatan tenaga
dari orbital yang bersangkutan. Spektrum ultraviolet adalah gambar antara panjang
gelombang atau frekuensi serapan lawan intensitas serapan (transmitasi atau
absorbansi).
Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi menuju ke tingkat
yang lebih tinggi oleh sumber listrik bertegangan tinggi atau oleh pemanasan listrik.
Monokromator adalah suatu piranti optis untuk memencilkan radiasi dari sumber
30
berkesinambungan. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar monokromatis.
Alat dapat berupa prisma atau grating (Khopkar, 1990). Pengukuran pada daerah
UV harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah
ini. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi maupun berbentuk silinder dengan
ketebalan 10 mm. Sel tersebut adalah sel pengabsorpsi, merupakan sel untuk
meletakkan cairan ke dalam berkas cahaya spektrofotometer. Sel harus meneruskan
energi cahaya dalam daerah spektral yang diminati. Sebelum sel dipakai
dibersihkan dengan air atau dapat dicuci dengan larutan detergen atau asam nitrat
panas apabila dikehendaki.