ide kebangsaan gus dur.doc

26
Ide Kebangsaan Gus Dur Dalam rangka memperingati seribu hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tepat jika dikaji tentang pemikirannya, terutama dalam kehidupan bernegara. Di NU, terlebih Indonesia, ada begitu banyak insan yang cerdas dan memiliki visi kepemimpinan yang bagus. Dari sederet nama pemimpin, ada nama Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita panggil Gus Dur. Hanya, Gus Dur bukan pemimpin biasa. Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang-orang semacam itu. Gus Dur adalah manusia multidimensional. Gus Dur tidak hanya melahap pemikiran al-Ghazali sampai Ibn Rushd. Gus Dur juga mempunyai semangat tinggi untuk berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membaca karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura. Sudah terlampau banyak penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai perspektif, mulai dari segi ilmiah hingga khazanah gaib. Puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemikiran Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia. Dari berbagai pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan. Komitmen Humanisme

Upload: miswanto

Post on 03-Oct-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Ide Kebangsaan Gus Dur

Dalam rangka memperingati seribu hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tepat jika dikaji tentang pemikirannya, terutama dalam kehidupan bernegara. Di NU, terlebih Indonesia, ada begitu banyak insan yang cerdas dan memiliki visi kepemimpinan yang bagus. Dari sederet nama pemimpin, ada nama Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita panggil Gus Dur. Hanya, Gus Dur bukan pemimpin biasa.

Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang-orang semacam itu.

Gus Dur adalah manusia multidimensional. Gus Dur tidak hanya melahap pemikiran al-Ghazali sampai Ibn Rushd. Gus Dur juga mempunyai semangat tinggi untuk berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membaca karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura.

Sudah terlampau banyak penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai perspektif, mulai dari segi ilmiah hingga khazanah gaib. Puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemikiran Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia.

Dari berbagai pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.

Komitmen HumanismeKini, di tengah masalah kebangsaan di Indonesia yang masih menghadapi tantangan yang tidak ringan, perlu kiranya kita memahami akar pemikiran Gus Dur. Memahami akar pemikiran Gus Dur adalah bentuk antisipasi bersama untuk menyelamatkan Pancasila.

Akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan (humanism-insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komit men kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam dalam masyarakat modern dan pluralistik Indonesia.

Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial. Menurut Gus Dur, dua elemen asasi, yaitu humanisme dan toleransi dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.

Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah, sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di dalam politik Gus Dur selalu menghindari formalitas Islam dalam negara.

Akar pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah penguatancivil society. Ia berpendapat, paradigma baru yang harus dikembangkan oleh umat Islam adalah mengambil titik masuk strategis, yaitu pembentukancivil society(pemberdayaan rakyat bawah). Pengembangan orientasicivil societyini sejalan dengan NU setelah kembali ke Khittah 1926.

Civil society sejalan dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi hanya membatasi diri pada upaya pemecahan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan warga Nahdliyin, tetapi diperluas hingga menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensi bagi sebuahcivil societyyang mandiri kini menjadi komitmen utama perjuangannya. Ketiga, NU pascaKhittah berniat menitikberatkan geraknya pada level masyarakat untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya.

Pancasila dan IslamKajian ini mendapat perhatian dikarenakan masih banyak pemikir Islam dan literatur Islam yang mendikotomikan negara Pancasila dan negara Islam. Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah dapat dilihat ketika kebijakan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial politik dan sosial keagamaan.

Mulai saat itu kajian tentang Pancasila dalam perspektif Islam berlangsung sangat intens dan baru mulai reda ketika NU, yang memaknainya atas dasar-dasar pemikiran keagamaan, menerima Pan casila sebagai asas organisasi pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila adalah sebuah ke sepakatan politik yang memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk men gembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan.

Dalam pandangan Islam, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara agama, bukan berarti tidak mem perbolehkan umat Islam men jalankan syariat agamanya. Bagi Gus Dur, agama mempunyai peranan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ini adalah inti hubungan antara Islam dan Pancasila.

Namun, pada saat yang sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di tahun 1992 berikrar: Pancasila adalah serangkaian prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam. Tanpa Pancasila negara RI tidak akan pernah ada.

Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, bahwa Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat nal. Ini memang keputusan jamiyah NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, tanpa mengecilkan peranan tokoh yang lain, patut disadari Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Seribu hari Gus Dur berpulang, rasanya kita me merlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur.

Pemikiran Gus Dur tentang kebangsaan harusdilanjutkan

Ide dan pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang soal kebangsaan, khususnya tentang Bhinneka Tunggal Ika, telah memberikan peranan besar bagi perjalanan bangsa.

Oleh karena itu, ide, gagasan dan pemikiran Gus Dur tentang kebangsaan dan persatuan harus dilanjutkan, demi kemajuan bangsa Indonesia.

Ulama, umaro dan pimpinan pesantren di sejumlah daerah di Indonesia menilai sosok Gus Dur sebagai inspirasi bagi ulama dan santri.

Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyari, itu dinilai telah mengajarkan pentingnya penghormatan atas perbedaan agama, suku, bangsa, dan nilai-nilai demokrasi.

Anggota Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengatakan bahwa keberlangsungan ide dan pemikiran yang ditinggalkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yaitu gigih memperjuangkan demokrasi dan pluralisme, menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia.

Pemikiran Gus Dur yang tajam dan cemerlang soal kebangsaan, khususnya tentang Bhinneka Tunggal Ika, telah memberikan peranan besar bagi perjalanan bangsa.

Praktik yang dilakukan Gus Dur mengenai sikap saling menghormati segala bentuk perbedaan demi tercapainya tatanan masyarakat yang demokratis harus diteladani. Konsep kebangsaan Gus Dur itu kini menghadapi banyak tantangan dan hambatan.

Pengasuh Pondok Pesantren Syalafiah As-Syafiiyah, Asembagus, Situbondo, KH Fawaid Asad Samsul Arifin, mengatakan, saat ini yang perlu dilakukan sepeninggal Gus Dur adalah melawan bibit-bibit perpecahan bangsa.

Munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama yang membahayakan persatuan perlu terus diwaspadai.

Generasi muda harus dibentengi dengan pemahaman tentang pemikiran Gus Dur agar terhindar dari aliran keagamaan yang merusak.

Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Asrama Perguruan Islam Tegalrejo, Magelang, M Yusuf Chudlori, menilai Gus Dur adalah sumber motivasi dan inspirasi bagi pesantren. Gus Dur telah menebarkan nilai-nilai demokrasi kepada ulama dan santri. Gus Dur mampu membuka mata hati mereka tentang keterkaitan antara Islam, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Pengajar Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Rembang, Bisri Adib Hatani, menganggap Gus Dur sebagai sosok ideal negarawan produk pendidikan pesantren. Pemikiran Gus Dur mengajarkan sekaligus mencontohkan bagaimana ber-Islam

dalam konteks keindonesiaan. Gus Dur memandang dan meyakini perbedaan adalah rahmat, sunnatullah (telah digariskan Allah).

Perbedaan itulah yang membentuk warga Indonesia menjadi bangsa yang terhormat, mandiri, dan merdeka lahir batin.

Wakil Ketua Yayasan Buntet Pesantren, Cirebon, KH Wawan Arwani, mengungkapkan, salah satu nilai yang ditularkan Gus Dur adalah keterbukaan terhadap penganut agama atau kepercayaan lain. Cara hidup bersama di negara multikultural itulah yang juga disebarkan kepada santri Buntet Pesantren. Santri diajarkan untuk tidak menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan menegaskan terorisme yang mengatasnamakan jihad adalah haram.

Mengantarkan kepergian Gus Dur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, mendiang sebagai bapak pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia.

Gus Dur merupakan pejuang reformasi yang melembagakan penghormatan pada kemajemukan ide dan identitas. Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan penghormatan kita pada kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari perbedaan agama, kepercayaan, etnik, dan kedaerahan. Disadari atau tidak oleh kita, sesungguhnya beliau adalah bapak pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia.

Almarhum Gus Dur, adalah salah satu pemimpin dan pemikir Islam yang sangat dihormati, baik di Indonesia maupun di dunia. Gus Dur meyakini Islam sebagai sumber universal bagi kemanusiaan, keselamatan, perdamaian, keadilan, dan toleransi.

Gus Dur menetapkan berbagai kebijakan untuk mengakhiri diskriminasi dan untuk menegaskan bahwa negara memuliakan berbagai bentuk kemajemukan.

Mari kita teladani gaya kepemimpinan dan kehidupan Gus Dur, terutama upaya mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam kerangka NKRI.

Oleh: Muhammad Rasyid Ridha Saragih*

KATAGORI PESERTA LOMBA

Mahasiswa

PendahuluanPeta kehidupan berbangsa di Indonesia sangat mengalami perubahan yang signifikan ketika keran demokrasi reformasi dibuka. Jika pada era Orde Baru, kita melihat suasana penyeragaman yang kolektif, terutama dalam hal ideologi, maka ketika era reformasi, semua elemen masyarakat dibebaskan untuk mengekspresikan ideologinya masing-masing. Kehidupan reformasi seperti ini merupakan konsekuensi akan kehidupan demokrasi yang subtansial, yakni kebebasan ekspresi bagi semua golongan secara setara dan bertanggung jawab.

Figur Gus Dur sebagai tokoh bangsa sudah tidak diragukan lagi. Pasca naiknya ia menjadi Ketua PBNU di tahun 1984, Gus Dur mulai menampilkan potensi leadership kebangsaan yang sangat progresif. Ini bisa dilihat dalam cara pandangnya mengenai pemahaman keagamaan, civil society yang berbasis intelektualisme kepesantrenan, dan penyikapan terhadap keberagaman. Pada era akhir Orde Baru itu, Gus Dur pun sempat bersiteru dengan Soeharto, karena lontaran-lontaran Gus Dur yang dianggap membahayakan fondasi kepolitikannya Orde Baru.

Ketika era reformasi dibuka, Gus Dur pun tak mau ketinggalan untuk menuntaskan agenda politik kebangsaannya. Dengan kontribusi dan aksi nyatanya pada pengawalan kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa, Gus Dur mulai banyak menuai simpati yang sangat banyak sekali, dan terutamanya dari golongan santri muda Indonesia hingga masyarakat lintas etnis/golongan, sehingga yang seperti ini jugalah yang mengantarkan Gus Dur ke lingkaran eksekutif Pemerintahan Republik Indonesia.

Sejumlah kebijakan yang ditelurkan oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden di era reformasi bisa dibilang cukup kontroversial, karena setelah sekian lama Orde Baru menganggapnya sebagai tabu bagi masyarakat, namun pada saat itu Gus Dur mencoba mengangkatnya kembali. Ini bisa dilihat dari kebijakan Gus Dur dalam hal penyetaraan kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, pencabutan peraturan terkait pelarangan beberapa organisasi-organisasi oleh Presiden Soekarno ketika era tahun 1960-an, lalu rencana pembukaan hubungan diplomasi dengan Israel, hingga pada rencana pencabutan TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966, dan yang lainnya.

Bagi golongan-golongan yang diluar visi kebangsaan seorang Gus Dur, rencana-rencana dan kebijakan yang dipopulerkan oleh Gus Dur terlihat sangat asing di telinga. Selain terlihat kontroversial (bahkan beberapa golongan menolak mati-matian dengan memakai argumen teologis), kebijakan seperti ini seolah-olah berusaha meruntuhkan kemapanan monopoli visi kebangsaan yang dipropagandakan oleh rezim Orde Baru. Namun patut diingat, bahwa Gus Dur terlahir dari kalangan santri baru (Zainuddin Maliki, 2004), maka disini kita bisa melihat bahwa konstruk berpikir yang dipakai oleh Gus Dur merupakan hubungan dialektika multikultur yang sudah diajarkan oleh ayahnya Wahid Hasyim dalam berkehidupan sehari-hari.

Kemungkinan Politik Emansipasi Pasca-Gus DurDitengah-tengah carut marutnya politik kekinian, kita perlu merumuskan agenda high-politics yang jauh melihat kepada visi kedepan. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai penerus agenda kebangsaan Gus Dur perlu menekankan kembali visi-misi politik yang segar. Disinilah kita bisa melihat, bahwa seorang Subjek yang Radikal perlu diciptakan demi melaksanakan agenda politik emansipasi Pasca Gus Dur. Jadi pembentukan Subjek itu sendiri harus selalu melalui dan berada dalam ruang dialektika. Selaras dalam hal ini, Slavoj Zizek, seorang Filsuf Slovenia menekankan bahwa inti Subjek itu sendiri merupakan negativitas dan kosong, yang artinya bahwa isi subtansialnya diumpan ke dalam determinasi predikatnya: dalam Subjektivisasi Substansi, keringkasan pada dirinya sendiri terlebur pada bagian-bagian partikular, beragam ada bagi Yang Lain, dan Subyek itu sendiri kosong seperti wadah yang sesudah itu substansinya dipartikulasi/disubjetivisasi (Robertus Robet, 2010).

Radikal dalam pengertian disini yakni bahwa subjek itu mampu membawa semangat ruh politik yang emansipasitif juga berangkat dari subjek bernegativitas, sehingga ia bukan hanya sebuah Yang Simbolik, namun ia menjadi Yang Riil, karena Yang Simbolik itu merupakan realitas yang (telah) terbahasakan dan kerangka impersonal dalam masyarakat, sehingga ia merupakan penjara bagi Subjek, berbeda dengan Yang Riil, yakni bagian yang tak tertangkap oleh bahasa, sehingga ia mencakup pada dimensi keabadian (Slavoj Zizek, 1989). Pada dasar filosofi disinilah kita melihat, bahwa politik emansipasi tidak terlepas dari keterkaitan Subjek, wilayah simbolik, hingga wilayah riil. Entah wilayah simbolik dan Riil ini bercampur padu, namun pada kenyataannya ide-ide Gus Dur yang terkadang dilontarkan dengan banyolan-banyolan konyol segar terlihat semakin hari semakin terlihat relevansinya. Disini kita melihat bahwa wilayah Subjek Gus Dur sudah berada pada daerah persimpangan antara Yang Simbolik dan Yang Riil, karena ide-ide Gus Dur terlihat semakin menggaung dan semi-abadi.

Namun kita juga perlu melihat bahwa pembentukan Subjek yang sedemikian radikal pada diri Gus Dur tak semerta-merta terjadi dengan instan. Namun disini kita yakin, bahwa pengalamannya dengan berbagai macam komunitas masyarakat dan banyaknya literatur yang ia lahap merupakan bagian yang fundamental dalam pembentukan subjek seorang Gus Dur. Keterkaitan Gus Dur dengan tradisi Islam sudah tidak bisa diragukan lagi, karena tradisi Islam juga merupakan tradisi teks turats, maka sekalipun sudah banyak Gus Dur membaca tulisan-tulisan ilmu agama, namun ia terus selalu menafsir ulang teks keislaman. Bentuk tafsir keislaman yang sudah mapan, terkadang didekontruksi sedemikian rupa oleh seorang Gus Dur. Gus Dur sangat yakin, bahwa teks itu harus dibebaskan dari kebekuannya dengan adanya penafsiran, sehingga pluralitas penafsiran teks menjadi sunnatullah. Meminjam istilahnya Gustavo Gutierrez (seorang pioneer dalam ide mengenai Teologi Pembebasan di Amerika Latin), senada juga dengan ide-ide Asghar Ali-Engineer, Gus Dur yakin bahwa Agama seharusnya bersifat kemanusiaan dan membebaskan manusia dari ketertindasan. Sehingga dimensi sosial pada Agama justru menjadi yang terpenting dan bersifat antroposentris, bukan hanya soal teologi saja yang bersifat teosentris. Lebih-lebih ajaran agama yang terlihat dimensi sosialnya seperti zakat, Gus Dur melihat bahwa ini juga fondasi utama membangun masyarakat madani. Masyarakat madani tentunya bisa diciptakan dengan menjamin kesetaraan dan memberantas diskriminasi.

Apa yang diharapkan oleh Gus Dur pasca reformasi ini adalah selain kehidupan kesetaraan dalam keberagaman, yakni pemberantasan sikap yang tidak baik dalam perpolitikan yang didalamnya termasuk juga kekerasan dan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Rasionalitas dalam perpolitikan perlu dijadikan fondasi yang utama. Dengan demikian, agenda politik emansipasi tidak didapatkan melalui kalkulus politik, namun ia hanya didapatkan dalam wilayah kalkulasi dan keyakinan filosofis. Keyakinan akan emansipasi ini tentunya hadir dengan cara mempersiapkan kerangka metafisisnya, yakni subjektifitas, imajinasi, intervensi kepada takmungkinan, hingga kolektivitas (Robertus Robet, 2010). Sehingga, emansipasi ini melampaui hukum, jabatan, dan institusi-institusi yang ada, dan ini ditemukan dalam kebersamaan riil.

Langkah-langkah Gus Dur dalam hal semangatnya memberantas ketidakadilan perlu diapresiasi, dan dalam hal yang spesifik, PKB sebagai wadah penerus perjuangan politik kebangsaan Gus Dur harus selalu menemukan idealismenya, baik dari internal partai hingga wilayah parlemen. Di dalam PKB, moderasi antara pemahaman ideologi Pancasila, Ke-Aswaja-an, hingga Keislaman harus selalu dikawal dan dipadukan dengan agenda politik progesif kebangsaannya Gus Dur. Dengan begini, dinamisasi ide-ide politik kebangsaan PKB akan selalu berjalan seiring waktu, dan tidak mengalami stagnanisasi.

Etika-moral politik santri merupakan bagian terpenting dari PKB. Karena etika-moral seperti ini jugalah yang turut membentuk diri seorang Gus Dur. Walaupun banyak kader-kader PKB yang berasal dari lingkungan homogen (satu jenis, yakni santri atau muslim semua), kader-kader PKB juga harus memiliki visi kebangsaan yang pluralis dan inklusif. Sehingga PKB itu sendiri bukanlah untuk satu golongan, tapi PKB itu untuk semua, yaitu Indonesia. Karena visi santri seorang Gus Dur yang terpenting itu adalah bahwa ia mampu menerima dan mengayomi multikulturalisme. Visi santri seperti inilah yang kelak akan melahirkan subjek radikal yang mampu membawa politik emansipasi kebangsaan.

PenutupDalam kehidupan pasca-reformasi ini, keterhubungan struktur kehidupan sosial masyarakat semakin terbuka. Kehidupan yang awalnya cenderung kolektif dan monopolitik, kini berubah menjadi lebih beragam dan lebih kompleks. Permasalahan masyarakat semakin banyak, baik dalam aspek ekonomi, keamanan, politik, dan sosial budaya. Terkait gejala keberagaman inilah, ruang komunikasi publik harus sering digalakkan dengan nilai-nilai inklusif dan moderat. Inilah metode yang dipakai Gus Dur dalam konsolidasi sosial dengan seluruh elemen nasional Indonesia.

Politik emansipasi yang digalakkan seorang Gus Dur kini sudah tercatat di sejarah, dan kini kita pun menemui realitas yang berbeda sama sekali. Dengan pembentukan Subjek Radikal yang terbaharui, politik emansipasi masih mungkin dilakukan. PKB sebagai wadah politik kebangsaan dengan tradisi moderatnya tentunya siap meneruskan agenda-agenda progresifnya Gus Dur, yang tercakupi pada wilayah intrepretasi-dinamisasi penafsiran keagamaan, Pancasila, hingga pada Pluralisme-Multikulturalisme. Pembelaannya terhadap kaum-kaum tertindas/minoritas sudah menjadi ciri khas tersendiri dalam politik kebangsaannya.

Pada wilayah Pluralisme-Multikulturalisme inilah, konsep high politics Gus Dur yang paling fundamental. Meminjam istilahnya Hannah Arendt, seorang pemikir politik, bahwa ruang dialog politik yang menjamin Pluralisme dan Multikulturalisme yakni politik otentik, politik yang hanya bisa didapat ketika individu yang berbeda-beda sekaligus setara bertindak dan berbicara untuk memutuskan perkara bersama-sama secara argumentatif-diskursif (Agus Sudibyo, 2012). Sudah menjadi tradisi awal reformasi, PKB beserta kader-kadernya selalu siap untuk berduduk bersama untuk bertindak dan memutuskan perkara bersama secara argumentative, sehingga sangat disayangkan sekali tradisi yang sangat bagus ini jika ditinggalkan begitu saja. Tradisi ini harus dipertahankan, karena ini adalah modal utama untuk menjalankan agenda reformasi Indonesia yang masih terus berlanjut. Mari jadikan hari ulang tahun yang ke 15 PKB ini sebagai revitalisasi ideologi kebangsaan yang mewarisi semangat ide-ide Gus Dur.

Mengulas Sufisme Gus Dur

Dari Asketisme, Hingga Pengakuan Dosa dari Seorang yang MemusuhinyaPerdebatan tentang sufisme K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tak hanya terjadi di kalangan muslim. Sejumlah kalangan non muslim juga ternyata kerap berdebat tentang sikap hidup Gus Dur yang asketik, egaliter, menebar kasih terhadap sesama dan kemungkinan surga menerima beliau.Abdul Malik Mughni (Tan Malika)Jaya Suprana, seorang penulis, humorolog sekaligus antropolog yang beragama keristen bercerita tentang perdebatan sejumlah pendeta pasca wafatnya Gus Dur. Perdebatan sufisme meruncing ketika Gus Dur meninggal. Saya bertanya pada pendeta, bisakah Gus Dur masuk surga? kata Jaya dalam bedah buku Sang Zahid; Mengarungi Sufisme Gus Dur, karya K.H Hussein Muhammad, di kantor Wahid Isntitute, Selasa (25/9). Pendeta, kata Jaya, dengan tegas menjawab bahwa Gus Dur pasti masuk neraka, sebab Gus Dur tak mengakui ketuhanan Yesus. Jaya dan sejumlah pendeta lain sebenarnya tahu prasyarat masuk surga dalam agama kristen adalah pengakuan terhadap Yesus. Tetapi Jaya mengaku penasaran. Sebab selama hidupnya, Gus Dur mengamalkan ajaran kasih sayang terhadap sesama. Pengorbanan Gus Dur bagi sesama, menurut Jaya, sangatlah besar dan layak diganjar surga.Pendeta tetap ngotot bahwa Gus Dur tak mungkin masuk surga. Maka saya jawab. Baiklah kalau begitu, saya lebih baik masuk neraka menemani Gus Dur, ketimbang masuk surga bersama kalian, tandas Jaya. Pengakuan unik itu spontan membuat para hadirin tertawa, sekaligus terharu.Dalam kesempatan itu, Jaya juga mengungkap permohonan penyesalannya atas kemunculan Film Innocence of Moslem, yang menurutnya merupakan film tak berkualitas, dan menistakan kesucian Nabi Muhammad. Sebagai sahabat Gus Dur, Jaya mengaku sangat kehilangan sosok yang selama ini dianggap sebagai guru dan teladan hidupnya. Tapi sebagai humorolog, Jaya berhasil meramu kesedihannya dalam guyonan khas Gusdurian. Saya kehilangan Gus Dur. Sebagai seorang guru, saya sering bertanya pada Gus Dur, apa itu sufi. Maka ketika Gus Dur wafat, saya bertanya-tanya. Jangan-jangan Gus Dur wafat karena saya terlalu sering bertanya tentang apa itu sufi. Gus Dur mungkin tak mau kelihatan kesufiannya, kata Jaya seraya mengungkap bahwa sufisme merupakan pemahaman keagamaan yang melampaui agama itu sendiri. Beyond religion.Dalam bedah buku yang berlangsung selama tiga jam itu, Kiai Hussein, sang penulis buku Sang Zahid, mengungkap sejumlah pengalamannya berdekatan dengan Gus Dur. Bagi Hussein, sikap hidup Gus Dur layak diteladani dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad, yang menekankan ummatnya untuk bersikap sederhana, dan tak menggantungkan diri pada duniawi. Gus Dur menghayati kesederhanaan dan mementingkan pemberian bagi orang lain. Sebagai seorang yang zahid, Gus Dur tak pernah menceritakan kepada siapapun soal rizki yang sudah dibagikannya untuk mereka yang memerlukannya, kecil maupun besar. Gus Dur, saya yakin, selalu tak ingin membuat orang yang memintanya kecewa atau pulang ke rumahnya dengan wajah duka dan tangan yang tak bawa apa-apa, paparnya.Sementara, K.H Lukman Hakim, Pemimpin Redaksi Majalah Sufi dalam paparanya mengulas keberanian Gus Dur, dan berbagai wacana yang dilontarkannya merupakan anugerah Allah. Kita Sebagai pengagum beliau, mempelajari wacana beliau, sulit meneladani beliau seutuhnya. Mengenai derajat wali adalah hak prerogatif Tuhan.Tapi dalam hal zuhud, Gus Dur berhasil melepaskan diri dari cinta dunia, ujarnya.Dalam diskusi itu juga seorang kiai yang Menjabat Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan pembina Pertahanan Ideologi Syarikat Islam (Perisai) K.H Muhammad E Irmansyah mengaku sempat salah memahami Gus Dur. Saya Muhammad Hermansyah, ketua syarekat Islam. Saya ingin membuat pengakuan dosa. Saya pernah membenci Gus Dur. Saya kenal dengan keluarga Gus Dur, tapi terus terang saya ada tabir dengan Gus Dur karena ajaran pluralisme beliau, ungkapnya.Ia mengaku pernah mendiskreditkan Gus Dur dalam sejumlah ceramahnya. Sebagai pengamal syariah, ia pernah tak sepaham dengan konsep pluralisme Gus Dur. Tapi setelah memahami lebih lanjut, bertahun kemudian, ia mengaku terkesan dengan sikap dan ajaran Gus Dur. Saya merasa berdosa. Ternyata pluralisme yang diajarkan Gus Dur tak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan itulah ajaran nabi yang mengajarkan pentingnya kasih sayang bagi sesama. Ternyata yang tak sepaham dengan Gus Dur, itu karena belum mencapai pada maqamnya saja, katanya seraya mengutip beberapa hadist, dan ayat al-Quran yang mendukung konsep pluralisme Gus Dur. Ia mengaku semakin terkesan kepada Gus Dur, ketika ia menemui Gus Dur saat menjabat sebagai Presiden. Sikap sederhana Gus Dur masih melekat dalam ingatannya hingga sekarang. Karenanya kemudian ia kini berguru tasawwuf kepada K.H Lukman Hakim, yang notabene merupakan murid Gus Dur. Saya pernah beberapa kali bertemu presiden, tapi belum pernah bertemu presiden di kamar tidurnya. Saya merasa kecil sekali, ketika Gus Dur dengan santai menerima saya di kamar tidurnya. Betapa beliau telah menghilangkan sekat duniawi, tandasnya. PKB dan Spirit Politik Gus Dur

Oleh: Matroni Muserang*Partai Kebangkitan Bangsa yang di singkat PKB menjadi jembatan dalam percaturan politik di Indonesia. Sejak berdirinya PKB (baca;sejarah) memang bertujuan untuk memberikan ide atau pemikiran dalam memaknai politik di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya dengan tidak lepas dari garis ahlus sunnah wal jamaah dan Gus Dur sebagai orang nomor satu di Indonesia atau dengan bahasa lain Gus Dur menjadi presiden Indonesia dengan membawa ide-ide segar yang sebenarnya menjadi formula terhadap pemikiran politik Indonesia, akan tetapi ide-ide segar yang di bawa Gus Dur tidak berjalan lama, karena ide-ide tersebut di anggap tidak cocok dengan undang-undang dasar 1945.

Padahal kalau kita berpikir lebih dalam lagi, ide-ide yang di bawa Gus Dur sebenarnya tidak bertentangan dengan alur demokrasi dan undang-undang yang selama ini berjalan. Apa yang diwariskan dari K.H Hasyim Asyari dijalankan oleh Gus Dur dalam mengatur rakyat Indonesia baik di ranah agama, budaya, dan seni lebih-lebih di ranah politik dan ekonomi. Hanya saja para elit politik belum mampu berpikir ke arah apa yang dipikirkan Gus Dur. Jadi tidak heran kalau para elit politik menganggap Gus Dur sebagai orang salah terhadap hukum dan undang-undang.

Lalu bagaimana peran PKB dan Gus Dur dalam menjalankan pemikirannya untuk menata politik hubungannya dengan perkembangan masyarakat di Indonesia? Spirit apa yang digunakan Gus Dur dan PKB dalam menjalankan roda pemerintahannya? Pertanyaan inilah yang hendak saya analisis dalam esai ini.

Pemikiran atau ide yang di bawa Gus Dur banyak orang mengatakan terlalu ke depan dalam artian melampuai pemikiran rata-rata para elit politik yang lain. Ini menjadi benar kalau Gus Dur di lihat dari kacamata seorang ulama, tapi menjadi salah jika di lihat dari kacamata politik waktu itu yang hanga mendepankan hal-hal yang sifatnya materi. Mengapa? Gus Dur menjalankan roda pemerintahannya dengan menggunakan tiga cara dengan rasionalitas, dialog dan spiritualitas.

Rasionalitas digunakan untuk memberi pengertian terhadap para elit politik tentang makna politik yang sebenarnya, bagaimana berpolitik. Dialog digunakan untuk memberikan kesempatan terhadap orang lain untuk saling berpendapat dalam hal politik, agama, ekonomi, budaya, termasuk dalam hal relasi dengan negara-negara lain. Dan spiritualitas digunakan sebagai tempat pengaduan Gus Dur kepada para ulama, Habaib dan waliyullah yang ada di Indonesia maupun di luar negeri.

Spirit PolitikSebenarnya spirit politik Gus Dur lahir dari sosok figur K.H Hasyim AsyArie yang sejak dulu memperjuangkan rakyat. Spirit itulah yang mengalir terhadap Gus Dur sehingga perjuangan untuk rakyat tetap di lanjutkan Gus Dur melalui jembatan partai politik yaitu PKB.

Bagi Gus Dur politik bukan dimaknai sebagai ajang untuk mencari duit seperti yang sekarang terjadi terhadap koruptor, bukan dijadikan bisnis jangka pangjang, akan tetapi politik dijadikan alat untuk memperbaiki keadaan rakyat. Gus Dur lebih substansial dalam memaknai dan menjalankan politik. PKB hanya sebuah alat untuk masuk ke ranah politik, karena sulit bagi kita untuk menjadi tokoh politik Indonesia tanpa melalui jalur partai, jadi PKB bukanlah bagian mutlak dari dari perjalanan politik Gus Dur selama menjadi presiden.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah ada spirit itu hari ini? Spirit yang diwariskan Gus Dur terhadap para generasi PKB? Pertanyaan ini penting untuk kita refleksikan bersama, agar PKB dan Spirit Gus Dur tidak menjadi hampa di mata pemuda PKB ke depan.

Karena kalau mau masuk dunia politik maka kita harus memiliki partai, walau pun prosedur ini sangat formal, sebenarnya untuk menjadi pemimpin tidak harus lewat partai, tapi apa mau di kata, ketika Indonesia sudah demikian. Jadi bagaimana memperbaiki partai itu dengan memasukkan spirit K.H. Hasyim AsyArie dan Gus Dur dan tokoh NU yang sejak dulu memperjuangkan habis-habis untuk rakyat. Pertanyaanya apakah kita mampu?

Kalau kita mau belajar dan mau untuk berpikir, spirit itu pasti di dapat dan bisa dijadikan dasar pemikiran partai dalam menjalankan roda pemerintahan, karena kalau PKB ingin lepas dari spirit itu, saya tidak yakin generasi PKB mampu memberikan ide segar dan formula yang kontekstual dalam menata rakyat dan bangsa yang sudah semraut ini.

Maka cara yang baik adalah melanjutkan ide atau pemikiran Gus Dur, walau pun tidak menutup kemungkinan adanya formula baru atau pemikiran baru untuk di masukkan ke ruang pemikiran pemerintahan demi tercapainya cita-cita partai. Bukan waktunya kita mengedepankan duit, terlalu sakit rakyat Indonesia, karena adanya ketidakadilan, koruptor, kasus para pemimpin Indonesia, dan seks komersial yang terus terjadi bahkan para pemimpin kita yang melakukan.

Ide yang segar sangat dibutuhkan saat ini untuk menyejukkan ladang percaturan politik Indonesia. Untuk menyadarkan para elit politik yang sejauh ini sudah jauh menyimpang dari Undang-Undang dan pancasila. Maka formula untuk menyembuhkan penyakit ambisi kekuasaan dan ambisi nikah diam-diam tidak terjadi lagi di dunia politik, karena kalau ini terus-menerus terjadi jangan harap bangsa kita akan damai, makmur dan sentosa.

Isu-isu gender, demokrasi yang kini masih menjadi wacana dan tak mampu diselesaikan karena terlalu banyak kepentingan pribadi. Kalau boleh melirik sejarah, bangsa kita mampu menaklukkan bangsa-bangsa yang lain di dunia bukan karena demokrasi, tapi karena monarki.

Pancasila sebagai ideologi sebenarnya juga dilumpuhkan pelan-pelan, karena Pancasila memiliki relasi yang kuat dan erat dengan keagamaan, politik dan ekonomi. Bagaimana sendi-sendi ini hancur pelan-pelan. Ini di sengaja ingin dihancurkan Pancasila melalui agama. Sehingga yang dibenturkan bukan kristen dengan Budha, akan tetapi Islam Vs Islam. Nah inilah yang sebenarnya sangat berbahaya dan ini tidak banyak para elit politik dan tokoh agama menyadari. Kasus Solo dan Sampang salah satu realitas yang diperlihatkan oleh kaum kapitalis-materalis-modern bahwa kontruksi kita dilumpuhkan pelan-pelan.

Skenario besar yang sedang dirancang untuk melumpuhkan bangsa. Padahal kita tahu kewajiban negara adalah menjaga keamanan, menjaga ketentraman, menjaga kedamaian, tapi mengapa seakan negara mati tak berdaya. Ini salah satu bukti nyata bahwa sendi-sendi negara sedang ada yang lumpuh. Lalu siapa yang bertanggungjawab atas semua itu? maka penting bagi siapa pun termasuk aparat penegak hukum untuk mengerti wawasan sosiologis. Kalau ini tidak diajarkan di dunia pendidikan tersebut maka tidak heran kalau kita berfikir parsial, padahal ilmu harus ada korelasi dengan ilmu-ilmu yang lain.

Karena ada indikasi negara gagal salah satunya adalah kontruksi keamanan gagal, kontruksi ekonomi dan politik gagal, dan kontruksi sosial gagal. Korporasi internasiolan sedang mengusai negara kita, akhirnya yang terjadi adalah politik transaksional. Serangan yang sifatnya membunuh itu merupakan dampak dari politik transaksional yang kini masih nyaris tak bisa dibentung, karena dalam politik, siapa akan dikorbankan demi satu kekuasan. Padahal gerakan pluralisme tidak harus ditampakkan. Maka toleransi keberagaman adalah bagaimana kita langsung turun ke jalan, kalau di Yogyakarta ada Romo Mangun turun ke Kali Code dan kiai Krapyak turun mengayomi masyarakat dan tidak memandang agamamu apa? Dan bagaimana kiai dahulu dalam membangun bangsa Indonesia ini. Sekarang yang terjadi justeru memakai bendera-bendera sendiri. Kebersamaan dalam satu tujuan untuk memberi pelajaran kepada masyarakat nyaris tidak ada. Yang ada bagaimana mendapat keuntungan dari masyarakat. Apakah ini memungkinkan terjadinya negara egoisme atau agama egoisme?.

Mengapa kemudian orang-orang yang dihormati dan mengapa nilai kemanusiaan semakin menurun? Apakah ada kontruksi yang didorong?, Islam didorong untuk belajar agama an sich, sehingga lupa bahwa ada perang politik dan ekonomi? Seharusnya orang-orang tua menjadi orang bijak. Karena dalam satu negara dan bangsa pemimpin yang baik pasti rakyatnya juga baik.

Akhirnya kontruksi perbudakan harus dibentengi oleh kita sebagai penerus bangsa ini dengan pertama oleh budaya lokal harus diperkuat, kedua hubungan kekerabatan harus dipertahankan, sekarang anak-anak muda cenderung egois. Tidak heran kalau menjadi buruh di negeri sendiri. Maka yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang biasa yang mampu mengajarkan dan langsung turun lapangan (orang-orang yang mampu mengayomi dan mengerti masyarakat).