hukum menutup muka bagi wanita
TRANSCRIPT
8/3/2019 Hukum Menutup Muka Bagi Wanita
http://slidepdf.com/reader/full/hukum-menutup-muka-bagi-wanita 1/3
HUKUM MENUTUP MUKA BAGI WANITA (CADAR)?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Bagaimana hukum wanita
menutup muka (cadar) ?"
Jawaban.Kami tidak mengetahui ada seorangpun dari shahabat yang mewajibkan hal itu.
Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun
mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syari'at. Tidak
boleh mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.
Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam kitab 'Hijabul
Mar'aatul Muslimah', untuk membantah orang yang menganggap bahwa menutup
wajah wanita adalah bid'ah. Saya telah jelaskan bahwa hal ini (menutup
wajah) adalah lebih utama bagi wanita.
Hadits Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukantermasuk aurat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
'Al-Mushannaf'.
Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal yang baru. Para ulama dari
kalangan 'As Salafus Shalih' dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir
Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah bukan termasuk aurat tetapi
menutupnya lebih utama.
Sebagian dari mereka berdalil tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita
dengan kaidah.
"Artinya : Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan"
Tanggapan saya.
Memang kaidah ini bukan bid'ah tapi sesuatu yang berdasarkan syari'at.
Sedangkan orang yang pertama menerima syari'at adalah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kemudian orang-orang yang menerima syari'at ini dari
beliau adalah para shahabat. Para Shahabat tentu sudah memahami kaidah ini,
walaupun mereka belum menyusunnya dengan tingkatan ilmu ushul fiqih seperti
di atas.
Telah kami sebutkan dalam kitab 'Hijaab Al-Mar'aatul Muslimah' kisah seorang
wanita 'Khats'amiyyah' yang dipandangi oleh Fadhl bin 'Abbas ketika Fadhl
sedang dibonceng oleh Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam, dan wanita itupun
melihat Fadhl. Ia adalah seorang yang tampan dan wanita itupun seorang yang
cantik. Kecantikan wanita ini tidak mungkin bisa diketahui jika wanita itu
menutup wajahnya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu
memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini menunjukkan bahwa
wanita tadi membuka wajahnya.
Sebagian mereka mengatakan bahwa wanita tadi dalam keadaan ber-ihram,
sehingga boleh baginya membuka wajah. Padahal tidak ada tanda-tandasedikitpun bahwa wanita tadi sedang ber-ihram. Dan saya telah men-tarjih
(menguatkan) dalam kitab tersebut bahwa wanita itu berada dalam kondisi
setelah melempar jumrah, yaitu setelah 'tahallul' awal.
Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang ber-ihram, mengapa
Rasulullah tidak menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah mencegah kerusakan
.?!
Kemudian kami katakan bahwa pandangan seorang lelaki terhadap wajah wanita,
8/3/2019 Hukum Menutup Muka Bagi Wanita
http://slidepdf.com/reader/full/hukum-menutup-muka-bagi-wanita 2/3
tidak ada bedanya dengan pandangan seorang wanita terhadap wajah lelaki dari
segi syari'at dan dari segi tabi'at manusia.
Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman. 'Hendaknya mereka
menahan pandangannya" [An-Nuur : 30]
Maksudnya dari (memandang) wanita.
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman. 'Hendaklah mereka
menahan pandangannya" [An-Nuur : 31]
Maksudnya yaitu jangan memandangi seorang laki-laki.
Kedua ayat diatas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkanmenundukkan pandangan dari wajah wanita dan ayat kedua memerintahkan
menundukkan pandangan dari wajah pria.
Sebagaimana kita tahu pada ayat kedua tidak memerintahkan seorang laki-laki
untuk menutup. Demikian pula ayat pertama tidak memerintahkan seorang wanita
untuk menutup wajah.
Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ada sesuatu yang biasa terbuka dan bisa
dilihat yaitu wajah. Maka Allah, Sang Pembuat syari'at dan Yang Maha
Bijaksana memerintahkan kepada kedua jenis menusia (laki-laki dan perempuan)
untuk menundukkan pandangan masing-masing.
Adapun hadits.
"Artinya : Wanita adalah aurat"
Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh
menampakkan auratnya di dalam shalat.
Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah minoritas ulama.Sedangkan yang berpendapat bahwa wajah bukan aurat adalah mayoritas ulama
(Jumhur).
Hadits diatas, yang berbunyi.
"Artinya : Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaithan memperindahnya"
Tidak bisa diartikan secara mutlak. Karena ada kaidah yang berbunyi :
"Dalil umum yang mengandung banyak cabang hukum, dimana cabang-cabang hukum
itu tidak bisa diamalkan berdasarkan dalil umum tersebut, maka kita tidak
boleh berhujah dengan dalil umum tersebut untuk menentukan cabang-cabanghukum tadi".
Misalnya : Orang-orang yang menganggap bahwa 'bid'ah-bid'ah' itu baik adalah
berdasarkan dalil yang sifatnya umum. Contoh : Di negeri-negeri Islam
seperti Mesir, Siria, Yordania dan lain-lain.... banyak orang yang membaca
shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang
sangat umum yaitu firman Allah.
"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
8/3/2019 Hukum Menutup Muka Bagi Wanita
http://slidepdf.com/reader/full/hukum-menutup-muka-bagi-wanita 3/3
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [Al-Ahzaab : 56]
Dan dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan dalil-dalil umum (yang tidak
bisa daijadikan hujjah dalam adzan yang memakai shalawat, karena ia
membutuhkan dalil khusus, wallahu a'lam, -pent-).
Mewajibkan wanita menutup wajah. Berdasarkan hadits : "Wanita adalah aurat",
adalah sama dengan kasus di atas. Karena wanita (Shahabiyah) ketika
melaksanakan shalat mereka umumnya membuka wajah. Demikian pula ketika
mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang
lain masih membuka wajah.
Jika demikian hadits diatas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan
telapak tangan. Prinsip ini tidak pernah bertentangan dengan praktek
orang-orang salaf (para shahabat).
[Fatwa-Fatwa Albani, hal 150-154 Pustaka At-Tauhid]