hasil dan pembahasan perubahan spasial kawasan pesisir ... · yang menyebabkan perubahan, ... pada...
TRANSCRIPT
85
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate
Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront
Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan
adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk
mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga
secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis
pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan,
diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan,
terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia
yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam
(Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai
(garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor
eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor
internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana
sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008).
Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate
dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai.
Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan
khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman
kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana
daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan
langsung dengan daratan baru.
Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk
mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan
dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya
penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir
mengalami perubahan.
Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra
tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk
membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia
86
sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang
terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai
pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data
tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk
citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut
sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye
tahun 2001.
Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk
mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi
Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan
pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota
Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak
pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi
laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara
darat dan laut.
Gambar 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010
87
Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara
visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis
pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra
berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang
direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km2), dengan titik awal delineasi pada
koordinat 0°46”941 LU, 127°23”305 BT dan titik akhir pada koordinat 0°48”033
LU, 127°23”160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah
3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi
3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai
atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat
0°47”456 LU, 127°23”415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai
awal (tahun 2001).
Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota
Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan
hanya 110,07 km2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau
Ternate bertambah menjadi 110,30 km2. Secara administratif, terjadi penambahan
luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08
km² (tahun 2010) (Gambar 19).
Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun 2001-2010
88
Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat)
kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan
Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan
semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan
wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk
(perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang
tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di
sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang
membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut.
Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan
ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas
lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan
luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi
ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir
tersebut.
Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara
digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual
untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur,
bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey
langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan
objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk
mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya.
Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa
dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/Mall.
Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan
di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II)
yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront
dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang
terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah
kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam
89
bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di
sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan
waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai
landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan
waterfront.
Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
90
Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada
Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan
sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan
dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat
sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya.
Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan
ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12
ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini
berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan,
dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala
regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan
untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota
seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk
penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai
landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk
permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai
menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront.
Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
Penggunaan Lahan Luas
(ha)
Persentase
(%)
Badan air 4,25 17
Jalan 3,90 16
RTH/Taman Kota 2,86 12
Mall/Dept.Store 2,56 11
Pasar Tradisional 2,01 8
Permukiman 2,02 8
Pertokoan 1,42 6
RTH/Jalur Hijau 1,40 6
Ruko 1,12 5
Sarana Ibadah 0,87 4
Terminal Angkutan Umum 0,90 4
Perkantoran 0,59 2
TPS 0,03 1
Jumlah 23,93 100
91
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010
Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta
penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas
penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari
hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan
terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan
dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan
terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi.
Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini
berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal
untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk
penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar
dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara
horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District-
CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk
melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun
2004-2010 disajikan pada Gambar 21.
Gambar 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010
92
Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010
(Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi
perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun
terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%).
Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha
(55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004
seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas 10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada
tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang
sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan
kawasan waterfront.
Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010
Penggunaan Lahan
Tahun Perubahan
2004
(ha)
2010
(ha)
Luas
(ha)
Persentase Perubahan luas/luas lahan awal
(%)
Lahan Tidak Terbangun
Lahan Terbangun
9.166
944
8.755
1.465
-411
521
-4
55
Jumlah Luas 10.110 10.220 110
Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel
25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak
terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan
perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan
terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha.
Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut
dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate
Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi.
Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010
Penggunaan Lahan
Tahun 2004 (ha)
Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha) Jumlah Luas
(ha) Lahan Tidak Terbangun
(non built up)
Lahan Terbangun
(built up)
Lahan Tidak Terbangun
(non built up) 8.721 445 9.166
Lahan Terbangun
(built up) 34 910 944
Jumlah Luas (ha) 8.755 1.355
93
Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate
Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh
berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau
sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang
ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk
menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut
berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis
berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang
ada di unit wilayah tersebut.
Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing
kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi
kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1
(pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland).
Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks
Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP.
Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa
kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat
titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama
masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui
bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga
untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang
seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik
tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk
menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori
variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan,
kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan.
Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi
(Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya
peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan
nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan
nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04
(lihat Gambar 22).
94
Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan
Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki
tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan
infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke
prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah
menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor
ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit.
Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006,
2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini
berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat
dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu
tempuh.
Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan
terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan
tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3
(hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2,
dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan
ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1
ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,
9,25 9,86 8,29 9,80
25,04 24,55 26,05 24,86
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
2005 2006 2008 2011
Stdev IP Average IP
58,49
10,17
59,73
10,15
48,34
12,75 11,95
60,17
95
terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh
yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan
yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan
Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa),
dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma).
2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP
24,86 - 34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang
lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki
ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir.
3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat
sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan
hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18
kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.
Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 Hierarki
Wilayah
Jenis
Kelurahan
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Indeks
Perkembangan (IP) Jumlah Jenis
Hierarki 1 Pesisir
Bukan pesisir
6
1 > 34,66 140
Hierarki 2 Pesisir Bukan pesisir
8 7
24,86 - 34,66 275
Hierarki 3 Pesisir
Bukan pesisir
18
8 < 24,86 398
Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan
banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12
kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari
jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan
pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan
ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1
ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,
terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta
jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada
hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir
96
(Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan
pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro).
2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP
25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang
lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini
dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir.
3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana
dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2.
Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan
pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.
Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 Hierarki
Wilayah
Jenis
Kelurahan
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Indeks
Perkembangan (IP) Jumlah Jenis
Hierarki 1 Pesisir
Bukan pesisir
3
3 > 34,29 123
Hierarki 2 Pesisir
Bukan pesisir
7
5 25,04 - 34,29 213
Hierarki 3 Pesisir
Bukan pesisir
22
8 < 25,04 428
Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan
bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan
aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat
pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011),
sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang
menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2
meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga
ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan
pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi
18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki
wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.
97
Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011
Hierarki
Wilayah
Tahun 2005 Tahun 2011
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Bukan pesisir
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Pesisir
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Bukan pesisir
Banyaknya
Kelurahan/Desa
Pesisir
Hierarki 1 3 3 1 6
Hierarki 2 5 7 7 8
Hierarki 3 8 22 8 18
Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah
penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas
yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi
dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah
mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas
dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah
hinterland dari wilayah yang lainnya.
Gambar 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011
98
Cakupan Pelayanan Infrastruktur
Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan
infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen.
Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan
perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat
mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota
berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk
kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai
tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.
Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota
diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur
pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik
dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure),
infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur
hijau (green infrastructure).
Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi
sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di
Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah
dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan
infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada
peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan
infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan
membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik
Infrastruktur Jaringan Jalan
Kondisi Eksisting Jaringan Jalan
Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa
jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan
Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa
99
pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor
primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk
jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan
jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan
jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang
berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.
Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010
Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi
fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan
antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar
permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan
jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997
hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada
tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan
dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang
jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan
kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km
100
(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari
panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun
2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km.
Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya
saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan
kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya
Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate.
Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan
Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990
Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan
jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor
sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan).
Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan
jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada
kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota
yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang
jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis
moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama
arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini
berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32
Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00
Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75
Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67
101
Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya
berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan
pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi
jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah.
Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat
sub bagian wilayah kota dengan panjang jalan 23,10 km dan lebar jalan 5-6 m.
Jalan lokal primer menghubungkan jalan kolektor sekunder dengan lokal
sekunder, dengan panjang jalan 39,8 km. Sementara untuk jalan lokal sekunder
merupakan jalan lingkungan yang menghubungkan langsung dengan jalan lokal
primer. Panjang jalan lokal primer adalah 41,27 km dan hanya tipe kendaraan
mobil dan motor yang dapat diizinkan untuk melintas.
Klasifikasi jalan perkotaan sesuai fungsinya berdasarkan Panduan
Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990,
yang dibandingkan dengan kondisi eksisting jaringan jalan di kota Ternate dapat
dilihat pada Tabel 29 dan Lampiran 3. Lebar jalur pada jalan kolektor primer dan
jalan kolektor sekunder telah memenuhi standar yang ada. Jalan lokal primer dan
lokal sekunder masih belum memenuhi standar, yaitu masing-masing masih
terdapat ruas jalan dengan lebar jalur hanya 3 m dan 1,5 m.
Tabel 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate
Status Jalan Kondisi
Jalan
Panjang
Jalan (km)
Lebar Jalur
(m)
Standar
Lebar Jalur* (m) Keterangan
Kolektor Primer Baik 47,499 6,0-8,0 5,0-6,0 Memenuhi
standar Jumlah 47,499
Kolektor Sekunder Baik
Rusak
41,651
7,947 5,0-6,0 5,0-6,5 Memenuhi
standar Jumlah 49,598
Lokal Primer Baik
Rusak
21,278
4,958 3,0-7,0 4,5-5,0
Belum
memenuhi
standar Jumlah 26,236
Lokal Sekunder
Jumlah
Baik
Rusak
26,347
2,720
29,067
1,5-5,0 3,0-4,5
Belum
memenuhi
standar
* Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990
Akses Pencapain Infrastruktur Jalan per Kecamatan
Akses pencapaian prasarana jalan dianalisis berdasarkan kerapatan jalan
yaitu hasil perbandingan antara luas wilayah dibagi dengan panjang jalan.
Semakin rapat jalan semakin mudah akses di dalam wilayah, yang berimplikasi
pada; 1) cakupan wilayah pelayanan jaringan jalan dan 2) jarak tempuh. Analisis
102
kerapatan jalan di Kota Ternate menunjukkan bahwa kecamatan Ternate Tengah
memiliki kerapatan jalan tinggi. Ini ditandai dengan kerapatan jalan 0,280 km
(<0,5 km), yang berarti bahwa untuk menuju ke kecamatan ini mudah diakses dan
waktu tempuh relatif lebih cepat. Berbeda halnya dengan kecamatan Pulau
Ternate yang hanya memiliki kerapatan jalan 1,073 km (>0,5 km). Hal ini
menunjukkan kerapatan jalan rendah di kecamatan Pulau Ternate dibanding
dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Pulau Ternate juga memiliki permukiman
yang jarang, sehingga berpengaruh pada perkembangan jaringan jalan yang ada.
Analisis kerapatan jalan di Kota Ternate tahun 2010 disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010
Kecamatan
Panjang
Jalan
(km)
Luas
Wilayah
(km2)
Kerapatan
Jalan
(km/km2)
Keterangan*
Pulau Ternate 34,685 37,23 1,073 Kerapatan jalan rendah
Ternate Selatan 38,293 16,98 0,443 Kerapatan jalan tinggi
Ternate Tengah 38,656 10,85 0,280 Kerapatan jalan tinggi
Ternate Utara 27,504 14,38 0,522 Kerapatan jalan rendah *kerapatan jalan <0,5 km/km2 = kerapatan jalan tinggi;
kerapatan jalan >0,5 km/km2 = kerapatan jalan rendah
Kecamatan Ternate Tengah merupakan Bagian Wilayah Kota II (BWK II),
yang diarahkan untuk pengembangan kawasan jasa dan perdagangan, pariwisata,
pelabuhan, pemukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga,
sehingga kerapatan jalan meningkat/tinggi yang menyebabkan akses ke pusat kota
(sarana dan prasarana kota) semakin mudah. Luas wilayahnya hanya 10,85 km2,
dengan panjang jalan 38,656 km yang menunjukkan tingkat kerapatan jalan tinggi
yaitu 0,280 km/km2. Hal ini memberikan dampak pada tingginya mobilisasi moda
transportasi di kecamatan tersebut (lihat Gambar 26).
103
Gambar 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah
Gambar 27 menampilkan prasarana jalan di Kecamatan Ternate Selatan,
dengan tingkat kerapatan tinggi hanya terdapat pada beberapa kelurahan/desa
yang temasuk bagian pusat kota Ternate. Luas wilayah 16,98 km2 memiliki
panjang jalan 38,293 km, sehingga kerapatan jalannya tergolong tinggi yaitu
0,443 km/km2. Jalan lokal sekunder mendominasi jaringan jalan yang ada di
kecamatan tersebut, sehingga akses dari permukiman ke pusat-pusat prasarana
dapat dicapai dan waktu tempuh relatif lebih cepat.
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
104
Gambar 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan
Infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara memiliki kerapatan jalan
rendah. Kerapatan jalannya 0,522 km/km2 (>0,5 km/km
2) dengan luas wilayah
14,38 km2 dan panjang jalan yang berada di kecamatan ini adalah 27,504 km.
Kerapatan jalan dominan berada di sekitar pusat kota (menuju Kecamatan Ternate
Tengah). Meskipun demikian, akses dari permukiman ke pusat-pusat sarana dan
prasarana kota cenderung mudah, yang dihubungkan dengan jalan lokal primer
dan lokal sekunder (jalan lingkungan) menuju jalan kolektor sekunder maupun
jalan kolektor primer. Gambar 28 memperlihatkan ketersediaan infrastruktur jalan
di kecamatan Ternate Utara.
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
105
Gambar 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara
Sementara untuk infrastruktur jalan di Kecamatan Pulau Ternate yang
ditampilkan dalam Gambar 29, menunjukkan bahwa hanya terdapat jalan kolektor
primer, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Umumnya kawasan
permukiman memadati sepanjang jalan kolektor primer. Luas wilayahnya 37,23
km2 cenderung lebih luas dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang
merata dengan panjang jalan 34,685 km, sehingga memiliki kerapatan jalan
rendah yaitu 1,073 km/km2 (>0,5 km/km
2). Akses menuju pusat sarana dan
prasarana kota tergolong mudah, karena dihubungkan dengan jalan kolektor
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
106
primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu
tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama.
Gambar 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Jaringan Jalan
Infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang akan
membentuk struktur tata ruang kota (Sinulingga, 1999), dimana hampir semua
elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung memerlukan jaringan jalan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat,
Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder
107
infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar
karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal
ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke
tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi
kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi
terhadap pemakai jalan.
Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada
di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan
jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran
tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat
pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang
tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki
prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya.
Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah,
sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang
merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat
di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat
berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang
mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi
pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut.
Infrastruktur Air Bersih
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih
Air bersih yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum
bagi masyarakat kota saat ini masih bersumber pada air permukaan dan air tanah
melalui sumur dalam maupun sumur dangkal yang terdapat di wilayah Kota
Ternate. Sumber air baku yang meliputi air permukaan berasal dari danau Laguna
di kecamatan Ternate Selatan, sedangkan air tanah berasal dari mata air Tege-
Tege yang berada di kecamatan Ternate Tengah, mata air Akega’ale, mata air
Santosa di kecamatan Ternate Utara, dan mata air Akerica di kecamatan Pulau
Ternate (lihat Gambar 30).
108
Instalasi Pengolahan Air Minum pertama yang dibangun guna memenuhi
kebutuhan pelabuhan Ternate pada tahun 1976 adalah dengan membuat sumur
gali dan menara air (tower reservoir) di jalan Jenderal A.Yani. Sistem tersebut
kemudian dikembangkan pada ground reservoir yang bersumber dari mata air
Santosa dan mulai melayani 200 sambungan pelanggan di pusat kota Ternate.
Dengan bantuan hibah dalam program Six City’s Water Supply pada tahun 1980,
kemudian dibangun 6 unit sumur berkapasitas 60 liter/detik dengan sistem
pengendalian terpusat di Operation Building yang berada di Kelurahan
Kalumpang, Ground Reservoir dengan kapasitas 1.080 m3 di Skep (Kelurahan
Salahudin) dan jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang ±82 km yang
tersebar di pusat kota.
Pada tahun 1991 hingga saat ini, bangunan penyadap air semakin
bertambah. Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah bagian tengah dan utara
kota, maka dibangun Instalasi Akega’ale dengan kapasitas 60 lt/det yaitu 6 unit
sumur dangkal, reservoir di Facei dengan kapasitas 500 m3 serta sistem booster di
Skep dan reservoir di Tabahawa 300 m3 dan perluas jaringan pipa distribusi
sepanjang ±52 km’. Untuk melayani wilayah bagian selatan kota, dibangun
instalasi Ubo-Ubo sebesar 40 lt/det dengan 2 unit sumur bor, reservoir di
kelurahan Ubo-Ubo yang berkapasitas 500 m3 serta reservoir di Jan dengan
kapasitas 100 m3 dalam upaya melayani pada daerah ketinggian.
Jaringan pipa yang tertanam di tiap-tiap kota umumnya menggunakan
jenis pipa Poly Vinyl Cloride (PVC) dan Galvanis Iron Pipe (GIP) dengan
berbagai ukuran, seperti yang disajikan dalam Tabel 31.
Tabel 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi
Jaringan Pipa (mm)
Transmisi (m)
Distribusi (m)
Dn-315
Dn-250
Dn-200 Dn-160
Dn-110
Dn-90 Dn-75
Dn-63
Dn-50
1.700
1.481
3.505 975
2.066
- -
-
-
1.276
1.382
6.391 14.535
27.106
28.059 39.445
51.485
13.297
Jumlah 9.664 182.968
Sumber: PDAM Kota Ternate (2011)
109
Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan
distribusi disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate
Wilayah cakupan pelayanan air bersih yang bersumber dari PDAM
melingkupi 4 (empat) kecamatan di Kota Ternate, yaitu kecamatan Ternate
Tengah, kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Utara dan kecamatan
Pulau Ternate. Data tahun 2008 sampai tahun 2011 yang bersumber dari PDAM
Kota Ternate, menampilkan jumlah penduduk yang terlayani pada 4 (empat)
kecamatan tersebut semakin meningkat. Pada tahun 2008, misalnya pada
Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk yang terlayani air bersih
PDAM yaitu 33.738 jiwa meningkat menjadi 41.916 jiwa di tahun 2011. Di
kecamatan Pulau Ternate, peningkatan jumlah penduduk yang terlayani tidak
terlalu singnifikan, yakni penambahan jumlah penduduk hanya berkisar 200 jiwa
atau naik dari 2.025 jiwa (tahun 2008) menjadi 2.256 jiwa (tahun 2011) (Gambar
31).
110
Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM
Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32.
Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di
kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan
di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara.
Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2
kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan
kecamatan Ternate Selatan.
Gambar 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010
PULAU
TERNATE
TERNATE
SELATAN
TERNATE
TENGAH
TERNATE
UTARA
2008 2.052 33.738 29.688 28.344
2009 2.058 35.820 30.864 27.756
2010 2.082 37.488 32.010 32.112
2011 2.256 41.916 36.228 32.550
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
111
Komparasi Ketersediaan Air Bersih dengan Standar Kebutuhan Air Minum
Berdasarkan Pedoman No.534/KPTS/M/2001
Standar kebutuhan air bersih untuk wilayah perkotaan adalah 60-220
liter/orang/hari dengan cakupan pelayanan 55%-75% (Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air
bersih kota Ternate diasumsikan 100 liter/orang/hari, maka kebutuhan air bersih
dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan
dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari).
Dengan perhitungan ini, maka diketahui kebutuhan air bersih pada tahun
2011 adalah sebesar 18.331.300 lt/hari (Tabel 33). Sementara itu, ketersediaan air
bersih hanya 3.965.760 lt/hari, sehingga masih kekurangan 14.365.540 lt/hari.
Data tersebut mengindikasikan bahwa masih dibutuhkan peningkatan kapasitas
produksi sebesar 78% di tahun 2011.
Perhatikan Tabel 32, jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011
sebanyak 183.313 jiwa, dimana jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM
di Kota Ternate sebanyak 112.950 jiwa (62%) dan penduduk yang tidak terlayani
sebanyak 70.363 jiwa (38%). Kecamatan Ternate Utara memiliki jumlah
penduduk terlayani air bersih PDAM yang terbanyak yaitu sekitar 68% (32.550
jiwa) dari jumlah penduduk yang bermukim di kecamatan tersebut. Kecamatan
Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Pulau Ternate masing-masing memiliki
jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM sebanyak 66% (36.228 jiwa), 64%
(41.916 jiwa) dan 15% (2.256 jiwa). Merujuk pada jumlah penduduk dan jumlah
penduduk terlayani air bersih, maka jumlah penduduk yang tidak terlayani air
bersih di empat kecamatan tersebut berkisar 32-85%. Angka tersebut didasarkan
pada hasil perhitungan persentase jumlah penduduk tidak terlayani dibagi dengan
jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Hasil persentase tersebut
menunjukkan bahwa penduduk yang belum terlayani air bersih dari PDAM cukup
tinggi. Hal demikian dipengaruhi oleh adanya beberapa kelurahan/desa di
kecamatan Pulau Ternate yang belum mendapat akses air bersih dari PDAM.
112
Tabel 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011
Infrastruktur Air Bersih
PDAM
Kecamatan Kota
Ternate Pulau
Ternate
Ternate
Selatan
Ternate
Tengah
Ternate
Utara
Jumlah Penduduk
(jiwa) 15.024 65.888 54.677 47.724 183.313
Kebutuhan Air Bersih*
(lt/hari) 1.502.400 6.588.800 5.467.700 4.772.400 18.331.300
Jumlah Penduduk
Terlayani PDAM
(Jiwa) 2.256 41.916 36.228 32.550 112.950
(%) 15 64 66 68 62
Ketersediaan Air
Bersih PDAM
(lt/hari) 79.210 1.471.702 1.271.993 1.142.855 3.965.760
(%) 5 22 23 24 22
Jumlah Penduduk
Tidak Terlayani
PDAM
(jiwa) 12.768 23.972 18.449 15.174 70.363
(%) 85 36 34 32 38
Kekurangan Air
Bersih PDAM
(lt/hari) 1.423.190 5.117.098 4.195.707 3.629.545 14.365.540
(%) 95 78 77 76 78
*Standar 100 lt/org/hari
Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat
yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses
distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas
pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu
diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01
ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5
tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan.
Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada
tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan (18.916 sambungan). Namun sebagian
pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan
bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini
berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97%
atau 5.930.417 m3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu 14.475.024 m
3. Dampak
kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang
ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a).
Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara
kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke
pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran
tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk
113
mendapatkan distribusi air minum PDAM. Hal ini mengindikasikan belum
terpenuhinya persyaratan kontinuitas secara menyeluruh dalam memberikan
pelayanan terhadap masyarakat.
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Air Bersih
Masih terdapat beberapa kelurahan/desa pada Kecamatan Ternate Tengah,
dan Kecamatan Pulau Ternate yang belum terlayani air bersih PDAM. Di
Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2 (dua) kelurahan yang tidak terlayani.
Sementara untuk Kecamatan Pulau Ternate masih terdapat 10 (sepuluh) kelurahan
yang belum tersedia air bersih dari PDAM. Hal ini disebabkan karena kondisi
topografis, dimana wilayah/kelurahan tersebut berada pada ketinggian (dataran
tinggi) dan jauh dari sumber air atau reservoir yang ada sebelumnya. Untuk
mendistribusikan air bersih ke wilayah tersebut tentunya memerlukan biaya
operasional yang tinggi, karena pada umumnya sumber air baku berada pada
wilayah pesisir/dataran rendah. Wilayah yang tidak terlayani air bersih dari
PDAM, masih memanfaatkan sumur gali, penampungan air hujan dan mata air
sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari.
Kapasitas produksi air (supply) masih jauh dari rata-rata kebutuhan air
(demand) yang harus disediakan oleh PDAM. Hal ini dikaitkan juga dengan
tingkat kehilangan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 40% di tahun 2011,
sehingga menimbulkan biaya (nilai jual) yang tinggi terhadap konsumen. Wilayah
cakupan pendistribusian air bersih hanya menjangkau bagian pusat kota yang
berada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelayanan PDAM
terhadap kebutuhan masyarakat di Kota Ternate masih belum mencukupi standar
pelayanan. Tingkat akses prasarana air yang rendah akan mengakibatkan
rendahnya tingkat kesehatan masyarakat.
Infrastruktur Listrik
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik
Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit,
penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan
listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.
114
Pembangkit listrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di Kota
Ternate yaitu dengan memanfaatkan tenaga diesel. Panjang jaringan yang ada
untuk tegangan rendah (SUTR) 171,83 KMS dan tegangan menengah (SUTM)
94,08 KMS, dengan jumlah gardu sebanyak 133 dan kapasitas terpasang 35.870
VA (lihat Tabel 33). Sampai tahun 2010, wilayah pelayanan (service area)
kelistrikan sudah menjangkau seluruh kelurahan di Kecamatan Ternate Utara,
Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Pulau Ternate, namun demikian pada waktu
tertentu sering mengalami pemadaman bergilir dalam kurun waktu rata-rata 1 jam.
Tabel 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang
Uraian Satuan Jumlah
Jumlah Pelanggan Sambungan 27.310
SKTM KMS 0,70
SUTM KMS 94,08
SUTR KMS 171,83
Daya Terpasang VA 35.870
Gardu Buah 133
Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2010)
Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk
membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun
dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan
kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin
tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar 102.233 MWH dengan daya
tersambung sebesar 40.467 MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan
adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan
jumlah mesin yang ada.
Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas
mesin, selama tahun 2006-2011. Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun
2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6
unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan
energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang
dihasilkan sebesar 65.600 MWH di tahun 2006 meningkat hingga 115.620 MWH
pada tahun 2011. Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006
sebesar 31.239 KVA meningkat menjadi 41.042 KVA di tahun 2011. Daya
mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini
115
mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dalam waktu rata-rata 4 jam/hari,
sehingga menggangu aktivitas masyarakat.
Tabel 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate
Keadaan Mesin 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah Mesin (Unit)
Kapasitas Terpasang (KW)
Daya Mampu (KW)
Beban Puncak (KW) Produksi (MWH)
Daya Sambung (KVA)
7
21.122
13.300
12.811 65.600
31.239
7
21.122
12.800
12.811 76.553
34.814
6
24.402
11.300
12.270 82.904
38.468
7
26.842
14.500
15.000 87.015
39.215
6
25.802
18.900
16.815 102.233
40.467
7
27.064
26.200
19.000 115.620
41.042
Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2011)
Cakupan pelayanan listrik pada masing-masing kecamatan ikut mengalami
peningkatan. Variabel jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 33
menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan listrik dari PT. PLN Cabang Ternate
cenderung semakin meningkat. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah
pelanggan terbanyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Sementara untuk
jumlah pelanggan listrik yang terkecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. Hal
ini disebabkan oleh faktor jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk di
kecamatan Ternate Selatan lebih banyak sedangkan penduduk yang jumlahnya
lebih kecil berada pada kecamatan Pulau Ternate.
Gambar 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN Tahun 2005-2011
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
PULAU
TERNATE
TERNATE
SELATAN
TERNATE
TENGAH
TERNATE
UTARA
2005 2.263 6.968 7.434 5.672
2006 2.279 6.968 7.434 5.678
2008 3.093 11.195 10.632 8.711
2011 3.250 12.884 12.292 10.186
116
Gambar 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN Tahun 2011
Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah
pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate
Tengah. Kategori jumlah pelanggan 700-1.000 sambungan/pelanggan terdapat
pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate
Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan
pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan
Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di
kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate,
terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota
(kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota.
Komparasi Ketersediaan Listrik Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004
Jaringan distribusi dan jumlah daya terpasang/daya sambung listrik
menjadi hal utama dalam pemenuhan energi listrik. Daya sambung listrik yang
diproduksi oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke gardu induk melalui
jaringan transmisi selanjutnya diteruskan ke gardu-gardu distribusi kemudian
117
disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Berdasarkan SNI 03-1733-2004,
mengsyaratkan bahwa setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik
minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari
jumlahkebutuhan rumah tangga.
Evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana listrik dianalisis berdasarkan
jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah pelayanan. Besaran daya dalam
wilayah layanan dipengaruhi jumlah dan kepadatan rumah tangga (KK) wilayah
tersebut. Pasokan daya yang dibutuhkan disebar melalui jaringan transmisi (gardu
listrik).
Jika distandarkan daya listrik minimal yang harus dilayani 450 VA per
jiwa, maka dapat dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011
sebanyak 183.313 jiwa sehingga didapat jumlah daya listrik yang dibutuhkan
adalah 82.491.300 VA atau 82.491 KVA. Dibadingkan dengan daya sambung
41.042 KVA pada tahun 2011, maka pasokan listrik rumah tangga secara
keseluruhan belum mampu melayani standar kebutuhan yang ada dan masih
kekurangan pasokan daya listrik sekitar 50%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada
Tabel 35.
Tabel 35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011
Kecamatan Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Jumlah Keluarga
(KK)
Jumlah Pelanggan
Daya Tersambung
Standar Kebutuhan
Daya
Listrik* (KVA)
Kekurangan Daya Listrik
(PLG) (%) (KVA) (%) (KVA) (%)
Pulau Ternate
15.024 3.947 3.250 82 3.455 51 6.761 3.306 49
Ternate Selatan
65.888 15.795 12.884 82 13.695 46 29.650 15.955 54
Ternate Tengah
54.677 11.898 11.892 100 13.066 53 24.605 11.539 47
Ternate Utara
47.724 10.882 10.186 94 10.827 50 21.476 10.649 50
Kota Ternate
183.313 42.522 38.212 90 41.042 50 82.491 41.449 50
*Standar minimal daya listrik 450 VA per jiwa
Melihat jumlah pelanggan listrik dengan jumlah keluarga di Kota Ternate
yang tersaji pada Tabel 36, maka jumlah keluarga yang telah mendapat akses
listrik sekitar 90%. Pada masing-masing kecamatan, persentase jumlah pelanggan
yang telah teraliri listrik berkisar 82-100%. Persentase jumlah pelanggan tersebut
didasarkan pada perhitungan jumlah pelanggan dibagi dengan jumlah keluarga
118
yang berada pada masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut
menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap listrik mudah dan telah
menjangkau empat kecamatan yang ada di Kota Ternate.
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Listrik
Ketersediaan infrastruktur listrik telah menjangkau ke seluruh kecamatan
yang berada di kota Ternate. Cakupan pelayanan listrik di tiap kecamatan ikut
mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2011.
Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang
terbanyak, sedangkan kecamatan Pulau Ternate memiliki jumlah pelanggan listrik
PLN yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan
tersebut. Jika dibandingkan dengan standar SNI 03-1733-2004 yang
mengsyaratkan setiap unit rumah tangga harus dilayani daya listrik minimum 450
VA per jiwa, maka pasokan daya listrik rumah tangga pada tahun 2011 belum
mampu melayani standar kebutuhan masyarakat.
Daya mampu infrastruktur listrik antara tahun 2007 hingga tahun 2008
mengalami penurunan, disebabkan oleh rusaknya mesin pembangkit listrik. Hal
ini mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dengan waktu rata-rata 4
jam/hari. Pemadaman listrik secara bergilir berdampak pada terganggunya
aktivitas masyarakat dan menambah biaya (cost) untuk produksi di berbagai
sektor yang berujung pada kerugian perekonomian daerah.
Infrastruktur Sistem Drainase
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Sistem Drainase
Sistem drainase kota juga disebut sistem tulang daun, yakni terdiri dari
saluran utama/primer (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air
hujan ke laut, saluran pengumpul (sekunder) dan saluran lokal (tersier). Saluran
drainase primer di Kota Ternate berupa sungai (kalimati) membentuk sistem
drainase makro, sedangkan sistem drainase mikro berupa saluran drainase
sekunder dan tersier terbentang mengikuti jaringan jalan utama maupun jalan
lingkungan.
119
Kondisi eksisting saluran drainase utama kota Ternate, baik alamiah
maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih tinggi
(>500 mdpl) dari pada elevasi dasar muara/pantai (< 50 mdpl). Hal ini berkaitan
dengan kondisi topografis yang bervariatif, karena berupa pulau gunung api yang
mengerucut ke puncak (kawah gunung api). Kondisi topografis yang demikian
memudahkan dalam mengalirkan air permukaan menuju ke laut tanpa
memerlukan teknologi, namun kelemahannya terletak pada tingkat sedimentasi
yang sangat tinggi akibat erosi, apalagi jenis tanahnya ialah Regosol yang sangat
peka terhadap pergerakan air.
Secara makro pola penggunaan lahan perkotaan mempengaruhi sistem
drainase. Pola penggunaan lahan di kota Ternate, diantaranya lahan permukiman
(1.270,23 ha), jasa dan perdagangan (69,26 ha), hutan lindung (2.608,26 ha),
perkebunan (5.125,68 ha), dan pertanian lahan kering (208,18 ha). Penggunaan
lahan permukiman terkonsentrasi di kawasan pusat kota, akibat adanya daya tarik
ketersediaan infrastruktur yang terpusat di kawasan tersebut. Keterbatasan lahan
dalam kota yang disertai tingginya harga lahan serta kecenderungan
berkembangnya permukiman yang mendekat ke infrastruktur kota memicu
pembangunan perumahan pada areal bantaran sungai serta lahan pertanian dan
perkebunan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dengan tingkat kemiringan
lereng 15-30%. Kondisi ini akan berdampak pada cepatnya atau bertambah besar
aliran permukaan dan berkurangnya cadangan air tanah, karena semakin
berkurangnya daerah resapan air.
Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, akan berdampak pada
kebutuhan lahan permukiman. Kondisi demikian tentunya mempengaruhi
konversi lahan dari kawasan perkebunan maupun pertanian menjadi kawasan
permukiman. Konversi lahan di kota Ternate tidak merata di setiap kecamatan,
disebabkan karena hanya 3 (tiga) kecamatan yang berada di pusat kota atau dekat
pusat kota, cenderung memiliki daya tarik untuk bermukim di lokasi tersebut.
Khususnya untuk lahan permukiman di sekitar pesisir pantai ikut terkonversi
menjadi lahan jasa dan perdagangan, sedangkan wilayah belakang/puncak gunung
(hinterland) terkonversi menjadi kawasan permukiman.
120
Konversi lahan perkebunan dan pertanian menjadi lahan terbangun seperti
permukiman ataupun sarana dan prasarana tentunya akan berpengaruh pada
kondisi tata air tanah dan fisiografis lahan. Kemampuan tanah dalam menyerap air
akan semakin berkurang seiring dengan terganggunya tata air tanah yang
berdampak pada besarnya aliran permukaan serta perubahan permukaan tanah.
Tanpa adanya upaya pematangan lahan yang baik, maka akan berakibat terjadinya
longsor dan erosi karena sangat tidak menguntungkan dengan jenis tanah Regosol
dan kemiringan lereng rata-rata >8-15% yang mendominasi bentang alam kota
Ternate. Material erosi dan longsor yang terbawa serta kedalam saluran air dan
sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran.
Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Tengah menunjukkan
bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut sebagai saluran primer
dengan 107 bangunan gorong-gorong (Culvert), 18.131 m saluran tersier, 30.276
m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan
kolektor yang berada di kawasan permukiman seluas 340,10 ha atau 24,79% dari
jumlah luas wilayahnya 1.371,88 ha. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36.
Tabel 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah
Kelurahan Luas
Wilayah (ha)
Luas Lahan Permukiman
(ha)
Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase
Sekunder (m)
Tersier (m)
Gorong-Gorong Sungai
Makassar Timur 18,74 18,68 1432 802 12 -
Makassar Barat 29,03 22,75 1150 2250 9 -
Santiong 24,36 16,47 1440 1906 8 1
Gamalama 40,56 38,99 3578 1394 19 -
Kalumpang 25,73 24,38 2383 1945 13 1
Moya 453,20 15,91 3596 2739 19 2
Marikrubu 432,79 51,12 5932 475 7 4
Muhajirin 14,38 14,03 1050 278 3 -
Tanah Raja 8,42 8,42 792 444 3 -
Stadion 16,54 14,78 1405 1096 - -
Kampung Pisang 14,73 14,13 1198 1004 2 1
Maliaro 249,66 57,55 2747 1696 9 4
Takoma 20,46 20,39 1886 1042 - -
Kota Baru 23,28 22,50 1687 1060 3 -
Jumlah 1.371,88 340,10 30.276 18.131 107 13
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Tengah seperti yang
terlihat dalam Gambar 35, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area
permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi
121
tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat
kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu
kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar
Barat.
Gambar 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah
Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Tengah membentuk 3 (tiga)
pola, yaitu pola pararel, pola siku dan pola jaring-jaring. Saluran-saluran drainase
yang membentuk pola pararel dibuat sejajar dengan saluran sekunder untuk dialiri
ke pembuangan saluran primer yakni sungai hingga menuju ke laut. Pola siku dan
pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung sebelum masuk ke
saluran sekunder.
Kecamatan Ternate Selatan memiliki saluran drainase yang terdiri dari 39
sungai sebagai saluran primer, 142 bangunan gorong-gorong, 19.070 m saluran
tersier, dan 31.801 m saluran sekunder yang berada di kawasan permukiman
(412,91 ha), dimana saluran sekunder sebagian besar membentang mengikuti
jaringan jalan kolektor (Tabel 37). Kecamatan ini memiliki saluran primer
(sungai) terbanyak dibanding kecamatan lainnya, sehingga aliran air dari hulu
122
sebagian besar masuk ke sungai-sungai yang melintasi kecamatan Ternate
Selatan. Namun demikian dimensi sungai yang berada di bagian hilir cenderung
semakin menyempit yang diakibatkan oleh permukiman warga yang berada di
bantaran sungai. Selain itu, tumpukan sampah dan sedimentasi masih terlihat di
hilir sungai hingga sampai ke tepi pantai.
Tabel 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan
Kelurahan
Luas
Wilayah
(ha)
Luas Lahan
Permukiman
(ha)
Panjang Drainase Jumlah Bangunan
Drainase
Sekunder
(m)
Tersier
(m)
Gorong-
Gorong Sungai
Toboko 12,06 10,42 956 1213 2 -
Tanah Tinggi 44,56 33,10 3241 1713 6 3
Jati 58,11 41,13 3988 1750 6 -
Jati Perumnas 25,31 16,70 1922 1849 10 2
Tobona 302,89 27,69 1872 996 10 2
Mangga Dua 58,03 51,87 1628 2487 6 3
Ubu-Ubo 22,23 21,59 1864 1082 11 1
Bastiong 60,38 57,91 2270 2803 28 3
Kalumata 333,63 73,54 2771 745 30 5
Sasa 388,83 30,91 938 1974 12 5
Gambesi 311,29 26,63 3814 2280 9 7
Fitu 331,15 21,42 6537 178 12 8
Jumlah 1.948,47 412,91 31.801 19.070 142 39
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Selatan, menunjukkan
bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran
drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi
(>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut
diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kalumata, kelurahan Tobona,
dan kelurahan Ngade (Gambar 36).
123
Gambar 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan
Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Selatan membentuk 4 (empat)
pola, yaitu pola pararel, pola siku, pola jaring-jaring dan pola grid iron. Pola
pararel pada jaringan drainase di lokasi ini berfungsi sebagai saluran pengumpul
untuk selanjutnya diteruskan ke saluran primer. Pola siku cocok untuk wilayah
dengan topografi dataran tinggi, dimana aliran air dapat dialiri dari saluran
sekunder yang dibuat lebih tinggi untuk mengaliri dengan baik langsung ke
sungai/laut. Pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung/pengumpul
sebelum masuk ke saluran sekunder. Beberapa saluran drainase sekunder yang
membentuk pola grid iron dibangun sejajar satu sama lain sedangkan saluran yang
lainnya dibuat sebagai saluran pengumpul.
Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Utara menunjukkan bahwa
terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 101 bangunan gorong-
gorong, 24.479 m saluran terseier, 18.703 m saluran sekunder yang berada di
permukiman 360,79 ha atau 24,33% dari jumlah luas wilayahnya 1.482,42 ha
(lihat Tabel 38).
124
Tabel 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara
Kelurahan
Luas
Wilayah
(ha)
Luas Lahan
Permukiman
(ha)
Panjang Drainase Jumlah Bangunan
Drainase
Sekunder
(m)
Tersier
(m)
Gorong-
Gorong Sungai
Tabam 234,89 39,76 1602 142 5 -
Tafure 71,06 61,42 1959 106 3 1
Tubo 202,01 13,87 2663 454 5 1
Akehuda 52,79 34,82 2374 554 9 1
Dufa-Dufa 270,31 42,72 1825 1275 11 2
Sangaji 130,92 32,73 3700 6923 20 2
Toboleu 118,46 27,91 2725 2271 12 1
Salero 20,18 14,42 921 1741 12 1
Kasturian 59,67 20,53 3877 1841 11 1
Soasio 17,90 14,67 681 621 6 1
Soa 46,76 26,68 2122 2248 6 2
Sango 257,47 31,26 30 527 1 -
Jumlah 1.482,42 360,79 24.479 18.703 101 13
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Sebagian area permukiman di kecamatan Ternate Utara masih belum
terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi
dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi
tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kasturian, kelurahan
Tubo, dan kelurahan Sangaji (Gambar 37).
Gambar 37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara
125
Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Utara membentuk 4 (empat)
pola, yaitu pola grid iron, pola radial, pola siku, dan pola jaring-jaring. Jaringan
drainase dengan pola grid iron yakni seluruh drainase tersier mengarah pada
drainase sekunder yang berada memanjang mengikuti jaringan jalan kemudian
masuk ke saluran primer (sungai) hingga menuju ke laut. Pola radial dibangun
agar supaya air berpencar ke segala arah sehingga air dibuang ke sebelah utara
yang merupakan lahan perkebunan, ke sebelah timur menuju drainase sekunder
sedangkan ke selatan menuju sungai. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi
sebagai saluran pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder.
Kecamatan Pulau Ternate memiliki 13 kelurahan, yang terdata memiliki
saluran drainase hanya 3 kelurahan yaitu kelurahan Kastela, Foramadiahi dan
Jambula. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate menunjukkan
bahwa terdapat 9 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 17 bangunan
gorong-gorong (Culvert), 2.247 m saluran tersier, 2.918 m saluran sekunder yang
sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor primer (jalan trans
Ternate). Jumlah luas wilayah kecamatan ini adalah 4.770,68 ha dengan luas
lahan permukiman 172,56 ha atau 3,62% dari luas jumlahnya. Kondisi saluran
drainase di kecamatan Pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate
Kelurahan
Luas
Wilayah
(ha)
Luas Lahan
Permukiman
(ha)
Panjang Drainase Jumlah Bangunan
Drainase
Sekunder
(m)
Tersier
(m)
Gorong-
Gorong Sungai
Kastela 144,48 11,07 955 415 9 5
Foramadiahi 491,59 5,63 825 958 6 2
Jambula 115,16 33,01 1138 874 2 2
Jumlah 751,23 49,71 2.918 2.247 17 9
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Kecamatan ini memiliki luas permukiman terkecil dibanding dengan
kecamatan lain, sehingga ikut berpengaruh pada jaringan drainase yang tersedia.
Jaringan drainase yang berada di kecamatan Pulau Ternate, menunjukkan bahwa
masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase.
Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Afetaduma,
kelurahan Rua, dan kelurahan Dorpedu (Gambar 38).
126
Gambar 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate
Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola
siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase
yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum
masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran
drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa
juga langsung menuju sungai.
Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama
kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan
Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol
membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas
tampung 800 m3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m
3/det. Namun hal
tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang
bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat
musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa
memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas
tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.
127
Limpasan air (run-off) dari wilayah belakang atau dari wilayah atas
(dataran tinggi) yang membebani saluran drainase di pusat kota (kelurahan
Gamalama dan sekitarnya) yang dapat menimbulkan genangan atau banjir lokal,
dapat diatasi dengan adanya riol di kelurahan Takoma. Apabila kawasan
permukiman berkembang di kawasan ini atau daerah atasnya, maka diketahui
koefisien pengaliran akan meningkat maka dapat dievakuasi masuk kedalam riol
tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa air limpasan dari daerah atas
yang kerap menimbulkan masalah banjir bagi kawasan pusat kota dapat diatasi
dengan saluran riol tersebut (Dinas PU Kota Ternate, 2008).
Identifikasi Daerah Genangan di Kota Ternate
Sistem drainase di kota Ternate masih terdapat saluran-saluran yang tidak
berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan genangan, misalnya di kelurahan
Gamalama, kelurahan Mangga Dua Utara, kelurahan Dufa-Dufa, kelurahan Tafure
dan Kelurahan Tubo (Lihat Tabel 40 dan Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh
rusaknya saluran drainase akibat dari sedimentasi dan tumpukan sampah pada
saluran yang menyumbat aliran air.
Tabel 40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate
Lokasi Genangan Banjir
Data Kuantitatif Genangan Area yang
Tergenang Luas
(ha)
Tinggi
(cm)
Waktu Konsentrasi
(menit)
Jl. Poros Tafure 0,4 15 15 Jalan
Kel. Tubo RT 03-08 1,7 20 90 Jalan dan rumah
penduduk
Jl. Poros Mangga Dua
(Depan SD Islamiyah) 0,2 10 12 Jalan
Kel. Gamalama
(Depan RS. Dharma Ibu) 0,3 15 15 Jalan
Kel. Dufa-Dufa
Lingkungan Toloko 0,7 20 30 Jalan dan rumah
penduduk
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)
Faktor penyebab terjadinya banjir dan genangan di kota Ternate adalah
sebagai berikut :
a. Limpasan air dari sungai menggenangi dalam kota.
b. Limpasan air akibat kecepatan aliran air dalam saluran yang tinggi terutama
drainase yang berada pada jalan yang memiliki kemiringan.
128
c. Menurunnya kemampuan saluran/drainase akibat sedimentasi/endapan lumpur
dan penyumbatan akibat sampah.
d. Tidak cukupnya kapasitas saluran drainase kota.
e. Dimensi saluran yang mengecil akibat penyerobotan lahan permukiman atau
bangunan ataupun adanya bangunan di atas saluran.
f. Kemungkinan back water di saluran drainase atau di muara-muara sungai
karena air pasang atau karena sampah dan sedimentasi.
Gambar 39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Sistem Drainase
Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan
yang sangat penting dalam menangani kelebihan air permukaan sebelum masuk
ke alur-alur besar atau sungai. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari
kualitas sistem drainase yang ada. Kondisi sistem drainase yang ada di kota
Ternate memberikan gambaran bahwa masih terdapat wilayah yang belum
tersedia saluran drainase (khususnya dataran tinggi) dan daerah-daerah genangan
yang umumnya terjadi pada saluran-saluran yang berada di jalan-jalan pusat kota.
Waktu konsentrasi genangan tidak berlangsung lama (rata-rata 30 menit) dan
129
terjadi jika intensitas hujan tinggi. Namun demikian, genangan air tersebut dapat
memperlambat kendaraan yang melintas dan secara berjangka air dapat merusak
infrastruktur jalan. Selain itu, genangan air dapat menurunkan kualitas lingkungan
yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
Infrastruktur Persampahan
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Persampahan
Pengelolaan sampah di kota Ternate merupakan tanggung jawab Dinas
Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola
pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Buku Deru-Deru terletak di
Kelurahan/Desa Takome Kecamatan Pulau Ternate merupakan tempat
pemrosesan akhir terhadap sampah perkotaan. Akses ke TPA ±15 km dari pusat
kota, dengan luas 60 ha dan kondisi topografisnya bergelombang pada bagian kaki
bukit, serta kemiringan lereng 8-15% kearah pantai dengan kondisi tanah
bebatuan.
Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open
dumping dengan zona aktif 5,25 ha dimanfaatkan sebagai lahan penimbunan
terbuka, 0,02 ha digunakan sebagai sarana dan prasarana pendukung TPA dan
bangunan komposting. Untuk lahan yang termasuk zona pasif seluas 7,80 ha
merupakan eks lahan penimbunan sampah sistem open dumping dan 0,4 ha sistem
controlled landfill. Sisa lahan ±46,52 ha merupakan zona penyangga yang
ditumbuhi oleh berbagai semak belukar dan tanaman non produktif. Fungsi zona
penyangga tersebut berguna untuk meredam dampak yang timbul dari aktivitas
TPA seperti bau dan kebisingan terhadap masyarakat yang bermukim di
sekitarnya (lihat Tabel 41 dan Gambar 39).
Tabel 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru No Area Luas (ha) Keterangan
1 Zona Pasif
TPA controlled landfill
Eks open dumping
1,12
0,40
Belum beroperasi
Tidak beroperasi
2 Zona Aktif
Open dumping
Bangunan sarana dan prasarana
Bangunan Komposting
5,25
0,18
0,01
3 Zona Penyangga
Semak belukar, tanaman non
produktif
53,03
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2008)
130
Pengolahan sampah secara open dumping dinilai ekonomis terhadap biaya
serta mekanisme pelaksanaannya mudah, namun dampak yang ditimbulkan cukup
kompleks terhadap lingkungan sekitar TPA. Dampak yang ditimbulkan meliputi
pencemaran udara berupa bau, pencemaran air meliputi pengaruh fisik dan kimia
air serta penyakit yang ditularkan oleh perkembangbiakan hewan misalnya lalat,
tikus, kecoak, cacing dan berbagai hewan lainnya. Selain itu sistem sanitasi yang
tidak baik dapat menimbulkan pencemaran air, karena air lindi dapat
meresap/merembes secara terinfiltrasi masuk kedalam tanah yang dapat
menyebabkan pencemaran tanah, air permukaan maupun air sungai yang berada di
sekitarnya.
Secara teknis sistem pengolahan sampah dengan metode open dumping
dimulai dari kedatangan truck amroll atau dump truck yang mengangkut sampah
dari sumber sampah ke lokasi TPA, selanjutnya petugas pengawas lapangan
menunjukkan lokasi dimana sampah yang datang harus dibongkar, hasil
pembongkaran selanjutnya diratakan tanpa diberi timbunan penutup, hal ini
berlangsung setiap hari yang dilakukan oleh petugas pengelola di lokasi TPA.
Adapun mekanisme pengelolaan sampah di lokasi TPA diantaranya dengan cara
penimbunan, komposting, pemanfaatan sapi, serta daur ulang (recycling).
Dalam perencanaannya kedepan, sistem open dumping akan ditingkatkan
menjadi controlled landfill dengan mengambil lokasi dari zona aktif TPA seluas
1,12 ha (Dinas Kebersihan Kota Ternate, 2008). Penyiapan prasarana untuk
controller landfill telah dilaksanakan sebagian seperti penyediaan area sel dengan
sistem geomembran. Pemrosesan air lindi yang terdiri dari 3 (tiga) kolam, yaitu
kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi, pipa saluran air lindi yang
meliputi pipa primer 6” dan pipa sekunder 4”, dan pembuatan sumur kontrol
kualitas air sebanyak 3 buah. Akan tetapi prasarana tersebut belum dapat
dipergunakan karena ada beberapa hal teknis yang masih dipertimbangkan.
131
Gambar 40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate
Pengelolaan persampahan di Kota Ternate hingga saat ini baru
menjangkau 28 kelurahan pada 3 kecamatan di Kota Ternate yang terbagi dalam
10 blok pelayanan. Pada kecamatan Ternate Utara hanya dapat menjangkau 12
kelurahan dari jumlah14 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 3 blok pelayanan.
Sementara untuk kecamatan Ternate Tengah hanya mampu menjangkau kelurahan
yang berada di sekitar kawasan pesisir yaitu 12 kelurahan dari jumlah 15
kelurahan dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Ternate Selatan hanya
terlayani 12 kelurahan dari jumlah17 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 4 blok
pelayanan. Kecamatan Pulau Ternate belum sama sekali terlayani untuk
pengangkutan sampah ke TPA. Namun demikian lokasi Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) tersebar merata di seluruh kecamatan (lihat Gambar 40).
Cakupan pelayanan pada tahun 2010 sebesar 80,02% dari jumlah penduduk Kota
Ternate (lihat Tabel 42).
132
Tabel 42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate
Lokasi
Volume TPA Produksi Sampah Dan Tingkat Pelayanan
Luas
(ha)
Luas Terpakai
(ha)
Produksi sampah Jumlah Tingkat
Pelayanan (jiwa) Per hari
(m3)
Per hari
lt/hari
TPA
Buku Deru-
Deru
(Kel.Takome)
56 3 145 2,5
80,02 %
dari jumlah
penduduk kota
Ternate
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)
Komparasi Ketersediaan InfrastrukturPersampahan Berdasarkan Standar SNI
19-2454-2002
Kondisi eksisting penanganan persampahan di Kota Ternate dianalisis
menggunakan beberapa pola pelayanan yang disesuaikan dengan SNI 19-2454-
2002, dengan wilayah pelayanan antara lain :
1. Sampah Rumah Tangga
Untuk daerah permukiman menggunakan pola pelayanan dengan sistem
pola individual langsung atau sistem door to door yaitu sampah dikumpulkan dan
diangkut dengan dump truk dari sumbernya ke TPA. Masyarakat hanya
mengumpulkan dengan kantong-kantong plastik dan meletakkan dipinggir jalan.
Pola pelayanan tersebut sering menimbulkan kemacetan atau sulitnya kendaraan
berlintasan di permukiman yang jalannya sempit. Selain itu sistem door to door
ini waktu tempuh pengumpulan dan pengangkutan sampah menjadi lebih lama.
2. Sampah Perkantoran
Pola pelayanan sampah perkantoran menggunakan pola komunal langsung
yaitu sampah dikumpulkan pada wadahnya/TPS kemudian langsung diangkut ke
TPA menggunakan dump truk.
3. Sampah Jalan, Taman dan Drainase.
Pengumpulan sampah jalan, taman dan drainase pada umumnya dilakukan
pembersihan sampah dan dikumpulkan pada bak sampah kemudian diangkut
langsung ke TPA.
4. Sampah Pasar
Untuk areal pasar, pola pelayanan yang dipakai adalah pola kumunal
langsung yaitu sampah diangkut langsung ke TPA setelah sampah dikumpulkan
warga pasar dalam kontainer yang disediakan Dinas Kebersihan Kota Ternate.
133
namun demikian, ada pula sampah yang sebagian diolah (komposting) misalnya
di wilayah kelurahan Gamalama yang menyediakan bangunan komposting untuk
mengolah sampah yang berasal dari pasar.
Merujuk pada SNI 19-3983-1995 tentang spesifikasai timbulan sampah
untuk ukuran kota kecil yaitu 2,5–2,75 lt/org/hari, maka timbulan sampah yang
diangkut ke TPA telah sesuai dengan standar yang ada (lihat Tabel 42) dengan
komposisi sampah terlihat pada Tabel 44. Ini berarti bahwa dengan jumlah
penduduk kota Ternate di tahun 2010 yang mencapai 174.945 jiwa menghasilkan
produksi sampah sebesar 2,5 lt/hari, dengan komposisi sampah terbesar yaitu dari
komponen sampah sisa makanan (organik). Namun timbulan sampah yang tidak
terangkut ke TPA belum dapat diketahui, karena adanya lokasi (kelurahan) yang
belum terlayani pengangkutan sampah misalnya pada kelurahan-kelurahan yang
berada di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 39).
Tabel 43. Komposisi Sampah Kota Ternate
No Komponen Sampah Berat Sampah per
Komponen di TPA (kg)
Persentase
(%)
1
2
3
4
5
6
7
Sisa Makanan (organik)
Kertas
Plastik
Kaca/botol gelas
Kulit
Logam
Kaleng
63,82
2,51
3,40
2,88
0,21
2,48
3,19
81,31
3,20
4,33
3,67
0,27
3,16
4,06
Jumlah 78,49 100,00
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)
Adapun produksi sampah dan kapasitas pelayanan mulai dari tahun 2005
sampai 2008 disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008
Tahun Jumlah
Penduduk (jiwa)
Jumlah Penduduk Terlayani
Jumlah Penduduk
Tidak Terlayani
Produksi Sampah
Diangkut ke TPA
Tidak diangkut ke TPA
jiwa % jiwa % m3/tahun m3/tahun % m3/tahun %
2005
2006 2007 2008
163.166
165.961 171.722 185.453
134.499
141.272 142.134 153.925
82
85 83 83
28.667
24.689 29.588 31.528
18
15 17 17
129.240
131.400 136.080 146.880
77.040
80.280 82.800 90.000
60
61 61 61
52.200
51.120 53.280 56.880
40
39 39 39
Kapasitas pelayanan sampah dari tahun 2005 hingga tahun 2008,
menunjukkan adanya peningkatan pelayanan. Ini ditandai dengan meningkatnya
tingkat pelayanan pada tahun 2005 hanya mampu melayani penduduk 134.499
134
jiwa (82%) dari jumlah penduduk meningkat 153.925 jiwa (83%) di tahun 2008.
Jumlah penduduk yang tidak terlayani hanya berkisar 17%-18% dari jumlah
penduduk di tahun 2005-2008. Hal ini tentunya berpengaruh pada kapasitas
angkut sampah, dimana produksi sampah yang dihasilkan tidak secara
keseluruhan diangkut ke TPA. Tercatat dari Tabel 44 bahwa produksi sampah
pada tahun 2008 yaitu 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 90.000
m3/tahun (61%) atau adanya produksi sampah yang tidak terangkut berkisar
56.880 m3/tahun (39%).
Sampah yang tidak terangkut ke TPA, umumnya dikelola masyarakat
dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi
pantai. Fenomena tersebut sudah membudaya dan berlangsung sejak lama. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pencemaran air di sekitar tepian pantai. Contoh kasus
ialah pada kawasan permukiman yang berada diatas air (rumah gantung) di
kelurahan Makassar Timur, sebelumnya tidak difasilitasi dengan sarana sanitasi
dan persampahan yang ideal sehingga badan air sangat mudah tercemar oleh
aktivitas masyarakat yang membuang sampah ataupun MCK di tepian pantai
tersebut (Djafar, 2004). Kawasan permukiman tersebut sangat terlihat kumuh dan
tepat berada di kawasan waterfront, sehingga sangat menganggu estetika kota.
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Infrastruktur Persampahan
Sampah di kota Ternate dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate
semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan
sistem open dumping yang dinilai ekonomis dalam hal biaya serta mekanisme
pelaksanaannya yang mudah, namun berdampak terhadap lingkungan sekitar
TPA.
Pengelolaan persampahan di Kota Ternate telah menjangkau 28 Kelurahan
dari 59 kelurahan yang berada di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 (sepuluh)
blok pelayanan. Kapasitas pelayanan sampah pada tahun 2005-2008 cenderung
meningkat dari 82% (134.499 jiwa) menjadi 83% (153.925 jiwa). Produksi
sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Produksi
sampah pada tahun 2008 adalah 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA
61% dan sampah yang tidak terangkut berkisar 39%. Sampah yang tidak terangkut
135
ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan
membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan di sekitarnya.
Dengan demikian, pengelolaan sampah di Kota Ternate memerlukan
perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena hal ini berkaitan erat
dengan keindahan kota dan kesehatan masyarakat. Semakin besar ukuran suatu
kota, maka masalah persampahan semakin sulit ditangani karena jumlah
bangkitan sampah semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi
Prasarana Pendidikan
Kondisi Eksisting Prasarana Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen
sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional. Secara berjenjang pendidikan dasar terdiri dari pendidikan
anak usia dini meliputi taman kanak-kanak, raudhatul athfal, kelompok bermain
dengan masa pendidikan 2-3 tahun, pendidikan dasar 6 tahun meliputi sekolah
dasar, madrasah ibtidaiyah, kelompok belajar paket A, dan pendidikan dasar 3
tahun meliputi sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan kelompok
belajar paket B.
Sebaran prasarana pendidikan dasar di kota Ternate tahun 2010 adalah
jumlah TK 42 unit, jumlah SD 96 unit, jumlah SMP sebesar 19 unit, jumlah
SMU/SMK sebesar 19 unit. Sebaran prasarana pendidikan dasar pada setiap
jenjang dikaitkan dengan jumlah peserta didik (siswa) dan jumlah tenaga pendidik
(guru). Jumlah prasarana pendidikan dasar di Kota Ternate disajikan dalam Tabel
45 dan Tabel 46.
Tabel 45. Jumlah Prasarana Pendidikan
Kecamatan Jumlah Praarana Pendidikan
TK SD SLTP SMU/SMK
Pulau Ternate 7 13 4 1
Ternate Selatan 12 33 8 7 Ternate Tengah 12 27 5 6
Ternate Utara 11 23 2 5
Kota Ternate 42 96 19 19
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
136
Tabel 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik
Kecamatan TK SD SLTP SMU/SMK
Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru
Pulau Ternate 249 37 1.637 189 440 64 118 33
Ternate Selatan 395 56 5.912 391 2.088 208 1.630 197 Ternate Tengah 396 62 6.283 372 2.473 187 3.213 255
Ternate Utara 381 57 3.819 274 1.502 96 2.353 280
Kota Ternate 1.421 212 17.651 1.226 6.503 555 7.314 765
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Komparasi Ketersediaan Prasarana Pendidikan Berdasarkan Standar SNI 19-
2454-2002
Perencanaan fasilitas pendidikan yang didasarkan pada tujuan pendidikan,
harus menyediakan ruang belajar untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan, serta sikap siswa (peserta didik) secara optimal. Penyedian fasilitas
pendidikan di suatu wilayah harus mempertimbangkan usia anak sekolah yang
membutuhkan pendidikan, pendekatan ruang setiap unit dalam lingkungan, dan
memperhatikan jangkauan radius pelayanan.
Kebutuhan prasarana pendidikan berdasarkan SNI-03-1733-2004,
dianalisis dari jumlah penduduk (usia anak sekolah) secara berjenjang dari unit
terendah (PAUD/TK) hingga unit tertinggi (SMU/SMK). Kebutuhan taman
kanak-kanak (TK) per 1.250 jiwa dengan radius 500 meter, dimana 1 gedung
sekolah minimal terdapat 2 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 25-30 siswa dan
berada di dalam lingkungan perumahan. Sekolah Dasar (SD) per 1.600 jiwa
dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang
belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa serta berada di dalam lingkungan
perumahan bergabung dengan taman dan ruang terbuka hijau. Sekolah Menengah
Pertama (SLTP) per 4.800 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah
minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa dan dapat
bergabung dengan Sekolah Dasar serta akses pencapaian dapat juga ditempuh
dengan kendaraan dan berlokasi di jalan lokal atau jalan lingkungan perumahan.
Dengan mengetahui jumlah anak usia sekolah, maka secara langsung akan
diketahui kebutuhan prasarana pendidikan dalam suatu wilayah. Hingga tahun
2010, jumlah usia sekolah di Kota Ternate pada masing-masing jenjang
pendidikan disajikan pada Tabel 47.
137
Tabel 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar
Kecamatan Umur 0-4
Tahun (jiwa)
Umur 5-9
Tahun (jiwa)
Umur 10-14
Tahun (jiwa)
Umur 15-19
Tahun (jiwa)
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
2.243
4.807
5.952
4.020
1.798
6.038
6.311
3.974
1.938
3.277
3.954
2.819
2.595
3.121
4.412
3.892
Kota Ternate 17.022 18.121 11.988 14.020
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK)
Usia sekolah untuk pendidikan usia dini (TK) diasumsikan rata-rata 2-4
tahun sebanyak 10.000 jiwa (Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar ialah 333
kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @ 25-30 siswa) atau 167 sekolah
(1 gedung sekolah minimal 2 ruang belajar).
Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting TK yang ada di Kota Ternate
(tahun 2010) yang hanya berkisar 42 unit sekolah atau ketersediaan hanya
berkisar 25% (lihat Tabel 48), maka ketersediaan gedung sekolah TK belum
mencukupi dari segi jumlah penduduk usia sekolah yang terlayani. Dari
perhitungan tersebut maka terlihat bahwa masih kekurangan fasilitas sekolah
sebanyak 125 unit (75%). Jumlah penduduk yang tercatat sebagai siswa TK hanya
berkisar 1.421 siswa, sementara dengan melihat jumlah anak usia sekolah
pendidikan usia dini sebanyak 10.000 jiwa menunjukkan bahwa masih ada sekitar
8.000 jiwa (75%) yang belum mendapatkan akses pendidikan TK.
Tabel 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk
(Usia 0-4)
Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Ket Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Pulau Ternate 2.243 1.300 22 249 7 32 15 68 Tidak cukup
Ternate Selatan 4.807 2.800 47 395 12 26 35 74 Tidak cukup
Ternate Tengah 5.952 3.500 58 396 12 21 46 79 Tidak cukup
Ternate Utara 4.020 2.400 40 381 11 28 29 73 Tidak cukup
Kota Ternate 17.022 10.000 167 1.421 42 25
125 75
Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 0-4 tahun
Akses pencapaian sekolah TK pada masing-masing kecamatan rata-rata
berada pada radius <500 m dan berada pada lingkungan perumahan. Sebaran
138
fasilitas pendidikan TK, umumnya merata pada 3 (tiga) kecamatan, yaitu
kecamatan Ternate Utara, kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate
Selatan. Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate hanya terdapat 8 sekolah TK
yang hanya tersebar pada beberapa kelurahan, sehingga ada sekitar 6 kelurahan
yang tidak mendapatkan akses fasilitas gedung sekolah. Namun demikian, jumlah
sekolah tentunya berkaitan dengan jumlah usia anak sekolah, dimana jumlahnya
di kecamatan Pulau Ternate lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan
lainnya, sehingga sebaran fasilitas gedung sekolah lebih sedikit atau terbatas
(Gambar 41).
Gambar 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD)
Pendidikan sekolah dasar (SD) dengan usia sekolah 6-12 tahun
diasumsikan jumlah penduduk sebanyak 17.800 jiwa (dianalisis dari Tabel 47),
maka kebutuhan ruang belajar adalah 445 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1
ruang kelas @40 siswa) atau 74 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang
belajar).
139
Ketersediaan SD di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 96 sekolah,
maka ketersediaan sekolah SD telah melebihi dari standar jumlah penduduk yang
terlayani. Meskipun demikian, belum secara keseluruhan jumlah usia anak
sekolah SD mendapat akses pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa
SD yang terdaftar sebanyak 17.651 siswa, sedangkan jumlah usia sekolah SD
sebanyak 17.800 jiwa, sehingga diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 150
jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan SD. Selanjutnya dapat disajikan
pada Tabel 49.
Tabel 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk (Usia 5-14)
Kebutuhan Ketersediaan
Keterangan Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah
Pulau Ternate 3.736 2.200 9 1.637 13 Cukup Ternate Selatan 9.315 5.500 23 5.912 33 Cukup Ternate Tengah 10.265 6.100 25 6.283 27 Cukup Ternate Utara 6.793 4.000 17 3.819 23 Cukup
Kota Ternate 30.109 17.800 74 17.651 96 Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 6-12 tahun
Akses pencapaian sekolah SD pada masing-masing kecamatan terbilang
mudah, karena memiliki sebaran merata pada tiap kelurahan. Rata-rata akses
pencapaian ke fasilitas SD berada pada radius <1.000 m dan berada pada
lingkungan perumahan maupun jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder.
Umumnya fasilitas gedung sekolah yang berada di jalan lokal primer dan jalan
kolektor sekunder terkonsentrasi di pusat kota, yaitu pada kecamatan Ternate
Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara. Sebaran
fasilitas pendidikan SD yang terlihat pada Gambar 42 menunjukkan sebaran
merata pada 4 (empat) kecamatan dan kecamatan Ternate Selatan memiliki
ketersediaan sekolah SD yang lebih banyak yaitu 33 sekolah. Jumlah siswa yang
hanya 5.912 siswa di kecamatan Ternate Selatan lebih kecil dibandingkan
kecamatan Ternate Tengah, sehingga secara keseluruhan kecamatan Ternate
Tengah lebih cenderung mempunyai daya tampung terpadat dibandingkan dengan
kecamatan lainnya (lihat Tabel 49).
140
Gambar 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama
Kebutuhan prasarana pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) dengan
usia sekolah 13-15 tahun, diasumsikan jika jumlah penduduk usia sekolah
sebanyak 7.400 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 185 kelas (standar SNI
03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 30 sekolah (1 gedung sekolah
minimal 6 ruang belajar).
Jika sarana pendidikan SLTP yang ada di kota Ternate pada tahun 2010
sebanyak 19 unit sekolah (cakupan pelayanan 12%) dengan jumlah siswa
sebanyak 6.503 siswa (Tabel 50), maka ketersediaan sekolah masih kurang dari
standar untuk dapat melayani jumlah usia sekolah tingkat pertama. Berdasarkan
perhitungan tersebut, maka diasumsikan bahwa masih dibutuhkan sarana sekolah
sekitar 11 unit (37%) untuk dapat menampung sekitar 900 jiwa (jumlah penduduk
usia sekolah) yang tersisa.
141
Tabel 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk (Usia 10-19)
Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Ket Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Pulau Ternate 4.533 1.200 6 440 4 67 2 33 Tidak cukup
Ternate Selatan 6.398 1.900 7 2.088 8 100 - - Cukup
Ternate Tengah 8.366 2.400 10 2.473 5 50 5 50 Tidak cukup
Ternate Utara 6.711 1.900 7 1.502 2 29 5 71 Tidak
cukup
Kota Ternate 26.008 7.400 30 6.503 19 63 11 37
Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 13-15 tahun
Gambar 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP
Akses pencapaian sekolah SLTP pada masing-masing kecamatan yang
terlihat pada Gambar 43 memiliki sebaran merata hampir pada tiap kecamatan.
Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas sekolah berada pada radius <1 km untuk
kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan, sedangkan
untuk kecamatan Ternate Utara, kecamatan Pulau Ternate dan sebagian
kecamatan Ternate Selatan berada pada radius >1 km atau jarak terjauh dengan
radius 2 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer maupun
142
terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah
meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke
fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian
kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar 10-15 menit. Sementara untuk wilayah
kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu
tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi.
Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Sekolah Menengah Umum/Kejuruan
Usia sekolah untuk pendidikan sekolah menengah baik umum maupun
kejuruan (SMU/SMK), diasumsikan rata-rata 16-18 tahun dengan perhitungan
jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 8.200 jiwa, maka kebutuhan ruang
belajar adalah 200 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa)
atau dibutuhkan sekitar 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar).
Jika sarana pendidikan SMU/SMK yang ada di kota Ternate pada tahun
2010 diketahui sebanyak 19 unit sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 7.314
siswa (Tabel 51), maka berdasarkan standar ketersediaan sekolah masih kurang
untuk dapat melayani jumlah usia sekolah menengah. Bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk untuk usia sekolah, maka diasumsikan bahwa masih terdapat
sekitar 1.000 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan dan masih
kekurangan fasilitas sekolah adalah 15 unit (44%).
Tabel 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate
Kecamatan Jumlah
Penduduk (Usia 15-19)
Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Ket Anak Usia Sekolah*
Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Pulau Ternate 2.595 1.500 6 118 1 17 5 83 Tidak cukup
Ternate Selatan 3.121 1.800 7 1.630 7 100 - - Cukup
Ternate Tengah 4.412 2.600 10 3.213 6 60 4 40 Tidak cukup
Ternate Utara 3.892 2.300 9 2.353 5 56 4 44 Tidak cukup
Kota Ternate 14.020 8.200 34 7.314 19 56 15 44 Tidak Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 16-18 tahun
143
Gambar 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK
Akses pencapaian ke fasilitas sekolah SMU/SMK pada masing-masing
kecamatan (lihat Gambar 44) memiliki sebaran cenderung bergerombol pada
wilayah pusat kota (berada atau dekat kecamatan Ternate Tengah). Radius
pencapaian dari permukiman ke fasilitas sekolah untuk kecamatan Ternate Tengah
dan kecamatan Ternate Selatan <1 km, sedangkan untuk kecamatan Ternate
Utara dan kecamatan Pulau Ternate berada pada radius >1 km atau radius terjauh
hingga 3 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer dan
jalan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses pencapaiannya.
Waktu tempuh tiap kecamatan berbeda, misalnya untuk kecamatan Pulau Ternate
membutuhkan waktu tempuh >30 menit untuk menuju sekolah, dibanding 3 (tiga)
kecamatan lainnya yang cenderung membutuhkan waktu <15 menit. Perbedaan
jarak antara permukiman dan fasilitas pelayanan menyebabkan adanya perbedaan
dalam waktu tempuh.
144
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Pendidikan
Analisis jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia sekolah pada tiap
jenjang pendidikan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan sarana dan prasarana
pendidikan dasar belum mencukupi. Fasilitas pendidikan yang belum mencukupi
diantaranya sekolah TK, SLTP dan SMU/SMK, sedangkan fasilitas sekolah SD
telah mencukupi standar pelayanan. Jika jumlah penduduk usia sekolah
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan,
maka diketahui masing-masing jenjang pendidikan masih membutuhkan fasilitas
sekolah TK 75%, SLTP 36% dan SMU/SMK 44%. Jumlah usia sekolah untuk
jenjang pendidikan usia dini (TK) lebih tinggi untuk kategori yang belum
mendapatkan akses pendidikan. Hal ini disebabkan karena umumnya usia sekolah
TK di Kota Ternate rata-rata setelah 4 tahun, sehingga jumlah anak yang
bersekolah di TK hanya separuh dari jumlah yang ada. Sementara ketentuan
pendidikan anak usia dini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ialah usia sekolah untuk jenjang tersebut antara 2-5 tahun.
Sebaran fasilitas pendidikan berhubungan dengan jumlah penduduk usia
sekolah di suatu wilayah. Jumlah penduduk usia sekolah yang lebih banyak
misalnya pada Kecamatan Ternate Tengah (pusat kota), maka ketersediaan
fasilitas akan semakin tinggi. Pola sebaran terlihat merata pada tiap kelurahan
untuk sarana pendidikan SD, sedangkan untuk sarana pendidikan TK, SLTP, dan
SMU/SMK lebih cenderung (lebih banyak) terkonsentrasi di pusat kota. Akses
pencapaian pada jenjang pendidikan TK dan SD telah memenuhi standar dengan
radius pencapaian masing-masing >500 m dan >1 km. Jenjang pendidikan SLTP
dan SMU/SMK di kecamatan Pulau Ternate memiliki jarak tempuh dalam radius
terjauh masing-masing 2 km dan 3 km, dan untuk wilayah sekitar pusat kota yang
meliputi 3 (tiga) kecamatan memiliki radius ke fasilitas pendidikan < 1 km.
Pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk dapat meningkatkan
kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Jumlah
fasilitas atau sarana penunjang yang lengkap berkorelasi positif terhadap kualitas
pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik dapat memainkan peran kunci dalam
membentuk sumberdaya manusia untuk menciptakan, menyerap teknologi
modern, dan untuk mengembangkan kapasitas serta menyebarluaskan
145
pengetahuan. Secara makro mutu pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan
daya saing bangsa.
Prasarana Kesehatan
Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam
mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah
didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut.
Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733-
2004 adalah sebagai berikut :
a. Posyandu
b. Balai Pengobatan Warga
c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin)
d. Puskesmas dan Balai Pengobatan
e. Puskesmas
f. Tempat Praktek Dokter
g. Apotek
Kondisi eksisiting ketersediaan prasarana kesehatan di Kota Ternate pada
tahun 2011 meliputi, 6 rumah sakit, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik/balai
pengobatan, 6 puskemas, 9 puskesmas pembantu, 21 posyandu, 47 tempat praktek
dokter dan 26 Apotek (dilihat pada Tabel 52).
Tabel 52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate
Prasarana Kesehatan
Kecamatan
Jumlah Pulau
Ternate
Ternate
Selatan
Ternate
Tengah
Ternate
Utara
Posyandu 3 5 2 11 21
Poliklinik/Balai Pengobatan - - 1 - 1
Rumah Sakit Bersalin - 1 1 1 3
Puskesmas 1 2 2 1 6 Puskesmas Pembantu 2 2 2 3 9
Tempat Praktek Dokter - 11 32 4 47
Apotek - 7 15 4 26
Rumah Sakit - 1 4 1 6
Jumlah 6 29 59 25 119
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
146
Kecamatan Ternate Tengah memiliki prasarana kesehatan terbanyak dari
pada kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pusat pelayanan kesahatan
terkonsentrasi pada kecamatan Ternate Tengah. Puskesmas, Puskesmas Pembantu
dan Posyandu terlihat sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan (lihat Gambar
45). Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum
kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Sementara
sarana dan prasarana kesehatan lainnya misalnya rumah sakit, rumah sakit
bersalin, balai pengobatan, tempat praktek dokter maupun apotek hanya terpusat
pada wilayah yang berada di pusat kota atau sekitar pusat kota yaitu pada
kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate
Utara.
Gambar 45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate
Komparasi Ketersediaan Prasarana Kesehatan Berdasarkan Standar SNI 03-
1733-2004
Jangkauan radius pelayanan fasilitas kesehatan dipertimbangkan terkait
dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi dalam melayani suatu
wilayah. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, kebutuhan Posyandu dengan ratio
147
pelayanan per 2.500 jiwa berada pada radius pelayanan 1 km2, balai kesejahteraan
ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per 30.000 jiwa radius pelayanan 4 km2,
puskesmas pembantu dan balai pengobatan per 30.000 jiwa radius pelayanan 1,5
km2, puskesmas dan balai pengobatan per 120.000 jiwa dengan radius pelayanan
3 km2, tempat praktek dokter per 5.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km
2,
dan Apotek per 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2.
Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate
Prasarana Kesehatan
Kecamatan
Pulau Ternate (15.024 jiwa)*
Ternate Selatan (65.888 jiwa)*
Ternate Tengah (54.677 jiwa)*
Ternate Utara (47.724 jiwa)*
Rumah Sakit
Kebutuhan1 - 1 1 1 Ketersediaan - 1 4 1
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
Rumah Sakit Bersalin
Kebutuhan2 - 2 1 1 Ketersediaan - 1 1 1 Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup
Puskesmas
Kebutuhan3 1 1 1 1 Ketersediaan 1 2 2 1
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Posyandu
Kebutuhan4 3 13 10 9 Ketersediaan 3 13 10 11
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Praktek Dokter
Kebutuhan5 3 13 11 10
Ketersediaan - 11 32 4
Keterangan tidak cukup tidak cukup cukup tidak cukup
Apotek
Kebutuhan6 - 2 1 1
Ketersediaan - 7 15 4 Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
* Jumlah Penduduk tahun 2011 1 Standar 150.000 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 120.000 jiwa; 4 Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000 jiwa; 6 Standar 30.000 jiwa;
Evaluasi ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat didasarkan pada
jumlah layanan dari jenjang terendah yakni posyandu, puskesmas atau balai
pengobatan hingga jenjang tertinggi yakni rumah sakit. Ketersediaan fasilitas
yang terlihat pada Tabel 53 menunjukkan bahwa untuk fasilitas posyandu, rumah
sakit, praktek dokter dan apotek sebarannya tidak merata. Fasilitas tersebut
cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota.
Jumlah posyandu terbanyak berada di Kecamatan Ternate Utara dengan
jumlah penduduk hanya berkisar 47.724 jiwa, sehingga masyarakat terlayani
untuk setiap Posyandu adalah sekitar 4.000 jiwa. Untuk fasilitas Puskemas di
Kecamatan Ternate Utara memiliki 1 Puskesmas yang melayani 47.724 jiwa.
Sama halnya pada kecamatan Pulau Ternate yang memiliki 1 Puskesmas untuk
dapat melayani 15.024 jiwa, namun jumlah tersebut masih memenuhi standar SNI
148
03-1733-2004 untuk 30.000 jiwa/Puskesmas. Kapasitas pelayanan Puskesmas
juga masih tercukupi untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate
Selatan.
Fasilitas praktek dokter dan apotek terpusat di beberapa lokasi, sehingga
sebarannya tidak merata. Kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas tersebut
paling banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Untuk itu pelayanan
kesehatan di kecamatan ini tergolong lebih tinggi. Selain itu faktor kemudaan
dalam akses pencapaian menjadi faktor utama dalam penyediaan tempat praktek
dokter dan apotek, dimana hampir keseluruhan berada pada jalan-jalan utama
(jalan kolektor).
Akses pencapaian dari permukiman ke fasilitas kesehatan didukung oleh
adanya jaringan jalan untuk menuju ke lokasi sarana kesehatan. Wilayah
pelayanan posyandu rata-rata berjarak <0,5 km dengan waktu tempuh <25 menit,
puskesmas rata-rata 1-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, RSB/BKIA dan RS
jarak rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >40 menit, dan praktek dokter
maupun apotek berjarak rata-rata 0,5-1 km dengan waktu tempuh <30 menit.
Umumnya lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat
kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga untuk akses
ke fasilitas kesehatan sangat mudah. Kondisi jaringan jalan yang baik menjadi
titik tolak terpenting untuk melayani pertolongan pertama/tindakan darurat. Akses
pencapaian ke sarana kesehatan berkaiatan dengan jaringan jalan dari jenjang
jalan lingkungan hingga jalan kolektor. Jarak pencapaian ke fasilitas kesehatan
oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 54.
Tabel 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan
Kecamatan
Radius Pencapaian
Posyandu
(km)
Puskesmas
(km)
RSB/
BKIA
(km)
RS
(km)
Praktek
Dokter
(km)
Apotek
(km)
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
0,5-1
0,2-0,5
0,2-0,5
0,2-0,5
5-6
2-3
1-2
2-3
6-7
2-3
1-2
4-5
6-7
2-3
1-1,5
3-4
6-7
1,5-2
0,5-1
1,5-2
6-7
1-1,5
0,5-1
1,5-2
149
Radius pencapaian dari permukiman di kecamatan Pulau Ternate ke
berbagai fasilitas kesehatan sangat jauh yakni berkisar 6-7 km. Hal ini disebabkan
karena minimnya fasilitas yang ada di kecamatan ini, sehingga untuk menjangkau
fasilitas kesehatan yang terdekat harus menempuh radius jarak hingga 7 km
dengan waktu tempuh > 1 jam.
Untuk akses ke fasilitas kesehatan di kecamatan Ternate Tengah,
kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara tergolong sangat mudah.
Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk
menuju fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, rumah sakit, atau praktek dokter
berjarak rata-rata < 1 km. Sebaran sarana dan prasarana kesehatan masyarakat di 3
(tiga) kecamatan tersebut rata-rata berjarak 1-2,5 km. Pencapaian dari
permukiman ke sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terlayani mulai dari
lingkungan hingga ke jenjang kecamatan. Jarak pencapaian terpenuhi atau sesuai
standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai.
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Kesehatan
Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kota Ternate menunjukkan sebaran
tidak merata untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek, dan
cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Lokasi
pelayanaan pada tiap kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan
kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses ke
fasilitas kesehatan. Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebarannya merata pada
tiap-tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan
minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Ini
berarti ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan telah memenuhi standar
pelayanan minimum.
Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kondisi Eksisting Prasarana Niaga dan Perdagangan
Dasar penyediaan fasilitas niaga dan perdagangan selain berdasarkan
jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan
desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Lokasi
penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan
150
terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani
pada area tertentu.
Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan
dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang
tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga
dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai
berikut:
1. Toko/warung.
2. Pertokoan, Rumah Toko.
3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan.
4. Mini Market/Swalayan kecil.
5. Supermarket/Pasar Swalayan.
6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall.
Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate
pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit
Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya
pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan 3.152 unit toko/warung tersebar di semua
kecamatan (lihat Tabel 55).
Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kecamatan Toko/
Warung
Pasar
Tradisional Minimarket
Pusat
Pertokoan
(Ruko)
Pusat
Perbelanjaan/
Mall
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
204
815
1.379
754
-
1
1
1
-
13
6
2
-
2
6
3
-
-
2
-
Jumlah 3.152 3 21 11 2
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, khususnya untuk fasilitas
toko/warung memiliki sebaran merata di seluruh kecamatan yang ada di Kota
Ternate. Fasilitas ini yang melayani kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang
bermukim di kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya
fasilitas niaga dan perdagangan lainnya misalnya pasar tradisional maupun
minimarket di wilayah tersebut. Berdasarkan standar kebutuhan, maka jumlah
penduduk manjadi acuan sebagai faktor penyediaan sarana niaga dan
151
perdagangan. Jumlah penduduk kecamatan Pulau Ternate yang hanya berkisar
14.692 jiwa, belum mencukupi standar pelayanan untuk fasilitas pasar atau
minimarket. Namun demikian akses ke prasarana tersebut cukup mudah karena
ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai, yakni adanya jalan
kolektor primer (jalan trans Ternate) sehingga memudahkan akses pencapaian ke
pusat kota.
Sebaran prasarana niaga dan perdagangan skala besar misalnya pusat
perbelanjaan/Mall, atau pusat pertokoan (ruko) yang ada di Kota Ternate, hampir
semuanya terkonsentrasi di pusat kota atau dekat pusat kota. Sementara untuk
pasar tradisional seperti yang terlihat dalam Gambar 46, menunjukkan pola
sebaran merata di masing-masing kecamatan, meskipun wilayah kecamatan Pulau
Ternate tidak terlayani pasar tradisional. Secara makro, kecamatan Ternate
Tengah memiliki fasilitas niaga dan perdagangan yang lengkap, atau dengan kata
lain bahwa aglomerasi fasilitas niaga dan perdagangan berada di kecamatan ini.
Hal ini berkaitan pula dengan peruntukan Bagian Wilayah Kota I (BWK I)
berdasarkan RTRW Kota Ternate, dimana kecamatan Ternate Tengah difokuskan
sebagai pusat perdagangan skala kota/lokal.
Gambar 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate
152
Studi Komparasi Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Berdasarkan
Standar SNI 03-1733-2004
Kebutuhan fasilitas niaga dan perdagangan berdasarkan SNI-03-1733-
2004 dianalisis berdasarkan ratio jumlah penduduk terlayani dan radius
pelayanannya. Kebutuhan toko/warung ratio per 250 jiwa dengan radius 300 m,
dan pertokoan/ruko ratio 6.000 jiwa dengan radius 2 km berlokasi di pusat
kegiatan sub lingkungan. Kebutuhan pasar berdasarkan ratio penduduk 30.000
jiwa berlokasi di pusat lingkungan jenjang kelurahan atau kecamatan dengan
radius pelayanan 5-10 km. Minimarket/swalayan kecil ratio 30.000 jiwa dengan
radius pelayanan 500 m dari pasar dan dapat dijangkau dengan berkendaraan.
Kebutuhan pusat perbelanjaan/mall ratio per 120.000 jiwa berlokasi di jalan
utama dan pusat kegiatan serta memiliki fasilitas parkir mandiri.
Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan seperti toko/warung,
minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate berdasarkan standar pelayanan
minimum penduduk telah terpenuhi (Tabel 56). Sementara untuk pasar masih
diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan.
Pasar tradisonal dan minimarket berada di lokasi sama (berdampingan) yakni pada
kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan, sedangkan kecamatan
Ternate Utara pasar tradisional tidak dilengkapi dengan minimarket. Jumlah
sebaran fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah layanan dengan
jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada
wilayah pelayanannya terpusat di satu lokasi (kecamatan Ternate Tengah).
Tabel 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan
Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kecamatan
Pulau Ternate (14.692 jiwa)*
Ternate Selatan (63.746 jiwa)*
Ternate Tengah (52.072 jiwa)*
Ternate Utara (45.574 jiwa)*
Toko/warung
Kebutuhan1 59 255 208 182 Ketersediaan 204 815 1.379 754
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Pasar Kebutuhan2 - 2 1 1 Ketersediaan - 1 1 1 Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup
Minimarket
Kebutuhan3 - 2 1 1
Ketersediaan - 13 6 2
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
Pusat Perbelanjaan/ Mall
Kebutuhan4 - - 1 - Ketersediaan - - 2 -
Keterangan tidak butuh tidak butuh cukup tidak butuh
* Jumlah Penduduk tahun 2010 1 Standar 250 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 30.000 jiwa; 4 Standar 120.000 jiwa;
153
Wilayah pelayanan fasilitas toko/warung rata-rata berjarak <300 m atau
jarak terdekat dengan radius 150 m dengan relatif waktu tempuh <10 menit dari
permukiman penduduk. Jarak tempuh ke pasar tradisional rata-rata 2-3 km dengan
waktu tempuh >30 menit, minimarket dengan jarak <0,5 km dengan waktu
tempuh <15 menit, dan pusat pertokoan (ruko) maupun pusat perbelanjaan/mall
masing-masing berjarak rata-rata 2-3 km waktu tempuh >30 menit dan 3 km
dengan waktu tempuh >30 menit. Lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan
yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor
sekunder, sehingga memudahkan akses ke fasilitas. Jarak pencapaian sarana dan
prasarana niaga dan perdagangan disajikan dalam Tabel 57.
Tabel 57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kecamatan
Radius Pencapaian
Toko/
Warung
(km)
Pasar
(km)
Mini-
market
(km)
Pusat Pertokoan
(Ruko)
(km)
Pusat Perbelanjaan/
Mall
(km)
Pulau Ternate
Ternate Selatan
Ternate Tengah
Ternate Utara
0,2-0,3
0,1-0,25
0,1-0,25
0,2-0,25
6-7
2,5-4
2-2,5
3-5
6-7
0,5-1
0,3-0,5
0,5-1
6-7
2-3
1-2
2-3
9-10
3-5
1-2
3-4,5
Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Niaga dan Perdagangan
Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan diantaranya toko/warung,
minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate telah memenuhi standar
pelayanan minimum. Namun fasilitas pasar masih diperlukan 1 unit untuk
mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Jumlah fasilitas
toko/warung dan minimarket melebihi jumlah pelayanan minimum dengan jarak
pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada
wilayah pelayanan yang terpusat di satu lokasi yaitu di kecamatan Ternate
Tengah.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa merupakan
sektor-sektor yang memiliki andil terbesar dalam peningkatan Produk Domestik
Reginal Bruto (PDRB) Kota Ternate. Terlebih lagi sejak pengembangan kawasan
waterfront, peningkatan sektor tersebut cukup signifikan pada waktu memasuki
tahun 2008 hingga tahun 2011 (empat tahun terakhir) (lihat pada hal. 82 tentang
PDRB Kota Ternate). Hal ini tentunya berkaitan erat dengan peningkatan
154
prasarana niaga dan perdagangan berdasarkan analisis cakupan pelayanannya,
sehingga dapat mendukung pertumbuhan sektor tersebut.
Akses pencapaian sangat mudah dari permukiman khususnya di
kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota yakni kecamatan Ternate
Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara untuk menuju
sarana dan prasarana niaga dan perdagangan. Khususnya di kecamatan Ternate
Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas tersebut berjarak rata-
rata <1 km, sedangkan pada 3 (tiga) kecamatan lainnya rata-rata radius terdekat
berjarak 1-2,5 km. Hal ini didasari oleh peruntukan ruang kecamatan Ternate
Tengah, untuk pusat kegiatan khususnya untuk kawasan niaga dan perdagangan
(Central Business District) skala kota/lokal. Secara keseluruhan akses pencapaian
ke sarana dan prasarana niaga dan perdagngan telah terpenuhi atau sesuai standar
karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Pengaturan zona pelayanan
diperlukan agar tidak terjadi pemusatan sarana dan prasarana niaga dan
perdagangan di satu lokasi.
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau
Dalam mewujudkan kota ramah lingkungan (eco-city), maka penataan
ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur harus mempertimbangan
keseimbangan ekologis dengan menerapkan konsep infrastruktur hijau (green
infrastructure). Infrastruktur hijau terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link
dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan
menyediakan komponen ekosistem alam, misalnya daerah konservasi, hutan
lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links merupakan komponen yang
menghubungkan antar hubs, berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk
hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Sites merupakan unit yang lebih kecil
dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian
penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site dapat berupa taman ataupun ruang
terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan
rekreasi atau tempat wisata alam.
Dari hasil identifikasi citra satelit, peta tematik dan survey lapang,
diperoleh objek-objek yang termasuk Hubs, Links dan Site di Kota Ternate,
155
dengan hasil klasifikasi menurut kategori elemen-elemen tersebut, sebagai
berikut:
Hubs
1. Cadangan alami : Hutan lindung, mangrove, semak belukar
2. Lahan kegiatan usaha: perkebunan cengkeh dan pala, kebun campur,
pertanian lahan kering
Links
1. Koridor konservasi: sepadan sungai, sepadan danau (badan air)
2. Keterkaitan lansekap: sepadan jaringan jalan
Site
1. Taman Kota, Taman wisata sejarah
2. Lapangan
3. Areal Pemakaman
Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate
Konsep pembangunan infrastruktur hijau (green infrastructure) di
Indonesia saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan ruang terbuka
hijau (RTH) (Herwirawan, 2009). Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya
sebesar 30% dari luas wilayah kota. Tipologi RTH secara fisik dapat dibagi RTH
alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta
RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau
jalur-jaur hijau jalan, sedangkan berdasarkan kepemilikan terbagi atas RTH publik
dan RTH privat (PERMEN PU No.05/PRT/M/2008).
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan
pembangunan berkelanjutan. RTH merupakan salah satu objek kawasan lindung
yang diprioritaskan dalam rencana pola ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2010-2030.
156
Dengan mengetahui luas wilayah pusat kota Ternate (Kecamatan Ternate
Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara) 5.428,58 ha, maka luas RTH yang
harus disediakan sebesar 1.628,57 ha dari luas kota. Pembagian RTH publik 20%
atau 1.085,72 ha dan 10% atau 542,86 ha untuk RTH privat. Target ketersediaan
RTH tersebut, dapat diwujudkan dengan sebaran kawasan hijau pada 3 (tiga)
kecamatan yang ada di Kota Ternate.
Ketersediaan RTH dapat diidentifikasi dari data penggunaan lahan
eksisting. Dari hasil analisis citra 2010, penggunaan lahan (landuse) didominasi
oleh kawasan vegetasi/RTH yaitu 4.035,94 ha atau 74% dari luas wilayah pusat
kota Ternate. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pusat kota Ternate tergolong
masih hijau, terutama di bagian dataran tinggi hingga menuju ke puncak gunung
Gamalama. Kawasan ini meliputi hutan lindung, kebun campur, semak belukar,
mangrove, taman dan lapangan. Berikut ini disajikan Tabel 58 berkaitan dengan
proporsi penggunaan lahan di Kota Ternate.
Tabel 58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate
Penggunaan Lahan Jumlah Luas
(ha)
Persentase
(%)
Lahan Terbangun 1.253,58 23
Kawasan Jasa Perdagangan 151,85
Permukiman 1.101,73
RTH/Vegetasi 4.035,94 74
Mangrove 3,38
Hutan 1.447,21
Kebun Campuran 75,90
Lapangan 11,91
Makam
Perkebunan
23,93
2.148,04
Pertanian Lahan Kering 121,51
Semak Belukar 178,56
Taman 25,51
Badan Air 40,55 1 Danau 18,32
Sungai 22,23
Lahan Kosong 54,83 1
Lahan Kosong 54,83
Kawah 43,68 1
Kawah Gunung Api 43,68
Penggunaan lahan di Kota Ternate 5.428,58
Ketersediaan RTH Kota Ternate saat ini adalah 4.035,94 ha, yang terbagi
dalam RTH publik 1.690,50 ha dan RTH privat 2.345,46 ha. Jika dibandingan
dengan standar ketersediaan RTH kota yakni 30%, maka luas RTH Kota Ternate
157
tergolong masih melebihi dari standar yang ditetapkan yaitu masing-masing RTH
Publik 31% dan RTH Privat 43%. Dilihat pada tiap kecamatan, maka luas RTH
adalah 76% (Ternate Selatan), 74% (Ternate Utara) dan 72% (Ternate Tengah)
(lihat Tabel 59).
Tabel 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan
Kecamatan Luas
Wilayah (ha)
RTH Publik RTH Privat Jumlah Luas RTH
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
Ternate Tengah 1.416,34 365,33 26 656,06 46 1.021,39 72
Ternate Selatan 2.304,99 794,58 34 962,23 42 1.756,80 76
Ternate Utara 1.707,24 530,59 31 727,17 43 1.257,75 74
Kota Ternate 5.428,58 1.690,50 31 2.345,46 43 4.035,94 74
Gambar 47. RTH Kecamatan Ternate Selatan
Tabel 60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan
Penggunaan Lahan Luas (ha)
Persentase (%)
Lahan Terbangun 470,32 20,40
RTH/Vegetasi 1.756,80 76,22
Badan Air 32,32 1,40
Lahan Kosong 25,05 1,09
Kawah Gunung Api 20,48 0,89
Jumlah 2.304,99 100
158
Penggunaan lahan vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas di kecamatan
Ternate Selatan dengan memiliki luas 1.756,80 ha atau masih ada sekitar 76% dari
luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan
kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 47). Sementara untuk penggunaan lahan
terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai dengan jumlah luasnya
470,32 ha atau 20% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 60.
Persentase ketersediaan RTH didasarkan pada perhitungan persentase dari
jumlah luas RTH publik maupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah
kecamatan Ternate Selatan. RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate
Selatan yang terlihat pada Tabel 61 yaitu masing-masing 34% dan 42%. Hal ini
menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas 962,23 ha dibandingkan
RTH Publik yang hanya 794,58 ha. Penggunaan lahan perkebunan mendominasi
RTH Privat yaitu 847,59 ha.
Tabel 61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan
RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)
Lapangan 4,42 Kebun Campur 48,92
Makam 6,69 Pertanian Lahan Kering 65,72
Mangrove 3,38 Perkebunan 847,59
Taman 12,20
Hutan Lindung 766,93
Semak Belukar 0,96
Jumlah 794,58 962,23
Persentase (%) 34 42
Kondisi eksisting penggunaan lahan Kecamatan Ternate Tengah seperti
yang terlihat pada Gambar 48, menggambarkan bahwa perbandingan luas lahan
terbangun dan non terbangun hampir 1:3. Kecamatan ini merupakan wilayah
terpadat di Kota Ternate, karena merupakan bagian wilayah kota yang melayani
sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, jasa dan perdagangan, serta kawasan
permukiman. Luas RTH di kecamatan ini tergolong paling kecil diantara
kecamatan lainnya yaitu hanya 1.021,39 ha atau 72% (Tabel 62). Kawasan
vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >40%.
Penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai
159
(kemiringan 0-10%) hingga ke dataran tinggi (kemiringan 10-20%) dengan luas
berkisar 379,21 ha atau 26% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Tengah.
Gambar 48. RTH Kecamatan Ternate Tengah
Tabel 62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Lahan Terbangun 379,21 26,77
RTH/Vegetasi 1.021,39 72,11
Badan Air 4,62 0,33
Lahan Kosong 2,57 0,18
Kawah Gunung Api 8,53 0,60
Jumlah 1.416,34 100
Tabel 63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah
RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)
Lapangan 4,12 Kebun Campur 21,96
Makam 12,90 Pertanian Lahan Kering 2,45
Taman 4,45 Perkebunan 631,64
Hutan Lindung 343,84
Jumlah 365,31 656,05
Persentase (%) 26 46
160
Persentase ketersediaan RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan
Ternate Tengah yaitu masing-masing 26% dan 46%. Perhitungan persentase
jumlah luas RTH publik ataupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah
kecamatan Ternate Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat
masih lebih luas 365,31 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 656,05 ha.
Penggunaan lahan perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 631,64 ha
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat.
Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 63.
Proporsi penggunaan lahan di kecamatan Ternate Utara juga menunjukkan
penggunaan lahan untuk vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas yakni 1.257,75
ha atau masih ada sekitar 73% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH
dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 49).
Berbeda halnya dengan penggunaan lahan terbangun, dimana hampir sepanjang
kawasan pesisir pantai dipadati permukiman dengan jumlah luasnya berkisar
404,03 ha atau 23% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Utara (lihat pada
Tabel 654).
Gambar 49. RTH Kecamatan Ternate Utara
161
Tabel 64. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Utara
Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Lahan Terbangun 404,03 23,67
RTH/Vegetasi 1.257,75 73,67
Badan Air 3,59 0,21
Lahan Kosong 27,20 1,59
Kawah Gunung Api 14,66 0,86
Jumlah 1.707,24 100
Tabel 65. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Utara RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)
Lapangan 3,36 Kebun Campur 5,01
Makam 4,33 Pertanian Lahan Kering 53,34
Taman 8,85 Perkebunan 668,80
Hutan Lindung 336,43
Semak Belukar 177,59
Jumlah 530,56 727,15
Persentase (%) 31 43
Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan yang dibagi menjadi RTH
Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Utara yaitu masing-masing 31%
dan 43%. Angka tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas
727,15 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 530,56 ha. Penggunaan lahan
untuk perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 668,80 ha
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat.
Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan di kecamatan Ternate Utara disajikan
pada Tabel 65.
Kesimpulan Cakupan Infrastruktur Hijau
Meskipun ketersediaan RTH kota Ternate tergolong cukup dalam
memenuhi standar RTH kota 30%, namun keberadaan RTH yang dominan bukan
berada pada kawasan pesisir (pusat kota) menyebabkan kondisi iklim kota
semakin tidak nyaman. Hal ini berkaitan dengan kondisi iklim di Kota Ternate,
dimana rata-rata suhu udara berkisar 21.0ºC – 32.5ºC dengan tingkat penyinaran
matahari rata-rata 64%, sehingga kondisi cuaca khususnya pada siang hari cukup
panas. Keberadaan tanaman dan unsur air sebagai komponen utama RTH mampu
menciptakan iklim mikro yang lebih baik di kawasan perkotaan.
162
Sebaran RTH khususnya di pusat Kota, yaitu 3 (tiga) kecamatan, Ternate
Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara, diupayakan untuk dapat
mengoptimalkan fungsi RTH. Penggunaan lahan di kawasan pusat perkotaan lebih
dominan sebagai kawasan jasa dan perdagangan, sarana pendidikan, kesehatan,
areal perkantoran serta permukiman penduduk, sehingga ketersediaan ruang
terbuka hijau masih sangat minim. Hal ini disebabkan karena laju konversi lahan
pada kawasan perkotaan semakin tinggi. Untuk itu perencanaan tata ruang kota
(RTRW) dapat dijadikan kerangka kerja (framework) untuk pengendalian
pemanfaatan ruang khususnya kawasan pusat kota serta peremajaan kota dengan
membangun spot-spot area terbuka hijau (site) dan jalur hijau pada jaringan jalan
(link) di pusat perkotaan sebagai RTH publik dan menetapkan koefisien dasar
hijau (KDH) pada lahan-lahan milik masyarakat di kawasan permukiman sebagai
RTH privat.
Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2013-2032
Jumlah penduduk merupakan faktor utama untuk menentukkan banyaknya
infrastruktur dan fasilitas umum yang harus disediakan di suatu wilayah
perencanaan. Proyeksi jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu sangat
membantu untuk menyusun perencanaan wilayah (perkotaan) di masa mendatang.
Berdasarkan hasil analisis regresi linear, proyeksi penduduk kota Ternate di tahun
2013-2032 disajikan pada Tabel 66.
Tabel 66. Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Ternate Tahun 2013-2032
Kecamatan Tahun Proyeksi Rata-Rata
Pertumbuhan
(%) 2013 2017 2022 2027 2032
Pulau Ternate 15.483 16.348 17.428 18.509 19.589 1,33
Ternate Selatan 67.865 72.517 78.332 84.146 89.961 1,63
Ternate Tengah 56.293 60.744 66.308 71.872 77.436 1,88
Ternate Utara 49.154 53.034 57.884 62.734 67.584 1,87
Jumlah 188.795 202.643 219.952 237.261 254.570 1,68
Proyeksi penduduk di tahun 2013 diprediksikan mencapai 188.795 jiwa
dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan
penduduk dalam kurun waktu 20 tahun sebesar 1,68%. Jumlah penduduk yang
terbesar diprediksikan berada di kecamatan Ternate Selatan yaitu 89.961 jiwa
pada tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,63%.
163
Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate diprediksikan memiliki jumlah
penduduk terkecil yaitu 19.589 jiwa di tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan
1,33%. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi jumlah dan sebaran sarana dan
prasarana yang harus disediakan untuk melayani kebutuhan masyarakat Kota
Ternate.
Proyeksi jumlah penduduk (Tabel 67) dapat dimanfaatkan untuk
menghitung kebutuhan infrastruktur perkotaan. Jumlah penduduk dapat dijadikan
sebagai parameter untuk merencanakan infrastruktur kota. Kebutuhan
infrastruktur yang dapat dianalisis dengan proyeksi jumlah penduduk secara linear
diantaranya adalah kebutuhan air bersih PDAM, daya listrik, produksi sampah,
prasarana kesehatan dan prasarana niaga dan perdagangan. Sementara untuk
prasarana pendidikan tidak dapat dilakukan analisis prediksi, disebabkan oleh
keterbatasan data (mortalitas dan fertilitas) sebagai penunjang untuk melakukan
analisi proyeksi penduduk berdasarkan usia. Dilain pihak bahwa untuk
memprediksi kebutuhan prasarana pendidikan harus didasarkan pada jumlah anak
usia sekolah. Hal demikian tentunya membutuhkan data prediksi jumlah
penduduk berdasarkan usia.
Prediksi Kebutuhan Air Bersih
Standar kebutuhan air bersih untuk ukuran Kota Sedang (jumlah penduduk
0,1–0,5 juta jiwa) adalah 100 lt/org/hr dengan asumsi tingkat kebocoran air 10%.
Melihat proyeksi jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2013-2032 (Tabel
66) maka kebutuhan air bersih PDAM disajikan pada Tabel 67. Prediksi
kebutuhan air bersih di Kota Ternate pada tahun 2013 adalah 20.767.450 lt/hari
dan pada tahun 2032 meningkat 28.002.700 lt/hari. Peningkatan jumlah air bersih
tersebut mencapai 7.235.250 lt/hari atau 25%.
Dengan membandingkan ketersediaan air bersih PDAM tahun 2011
sebesar 3.965.760 lt/hari dan prediksi kebutuhan air di tahun 2032 adalah
28.002.700 lt/hari, maka upaya peningkatan kapasitas produksi air bersih yang
harus disediakan oleh PDAM hingga tahun 2023 sebesar 24.036.940 lt/hari atau
peningkatan 7x dari ketersediaan air bersih di tahun 2011. Penyediaan kapasitas
air dengan jumlah tersebut, sangatlah tinggi mengingat keterbatasan pelayanan air
164
bersih PDAM saat ini. Untuk itu disarankan untuk mencari alternatif potensi
sumber air baku yang berada di Kota Ternate untuk dapat dimanfaatkan
masyarakat dalam menunjang aktivitas sehari-hari, mengingat air merupakan
kebutuhan dasar (basic need) bagi kelangsungan kehidupan masyarakat.
Tabel 67. Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032
Kecamatan
Kondisi
Eksisting
2011
Kebutuhan Air Bersih (lt/hari)*
2013 2017 2022 2027 2032
Pulau Ternate 79.210 1.548.300 1.634.800 1.742.800 1.850.900 1.958.900
Ternate Selatan 1.471.702 6.786.500 7.251.700 7.833.200 8.414.600 8.996.100
Ternate Tengah 1.271.993 5.629.300 6.074.400 6.630.800 7.187.200 7.743.600
Ternate Utara 1.142.855 4.915.400 5.303.400 5.788.400 6.273.400 6.758.400
Jumlah 3.965.760 18.879.500 20.264.300 21.995.200 23.726.100 25.457.000
Tingkat
Kebocoran 10%
1.887.950 2.026.430 2.199.520 2.372.610 2.545.700
Jumlah 3.965.760 20.767.450 22.290.730 24.194.720 26.098.710 28.002.700
*Standar 100 lt/org/hari
Prediksi Kebutuhan Daya Listrik
Untuk menentukan kebutuhan daya listrik digunakan standar pelayanan
daya listrik 450 VA per jiwa berdasarkan SNI 03-1733-2004. Proyeksi jumlah
penduduk pada tahun 2032 adalah 254.570 jiwa (Tabel 66), maka kebutuhan daya
listrik mencapai 114.557 KVA. Hasil estimasi perhitungan kebutuhan daya listrik
pada tahun 2013 hingga tahun 2032 terus mengalami peningkatan seiringan
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa
peningkatan kebutuhan daya listrik mencapai 29.599 KVA atau 26%. Prediksi
kebutuhan daya listrik tahun 2013-2032 disajikan pada Tabel 68.
Kondisi eksisting daya tersambung listrik tahun 2011 sebesar 41.042
KVA. Jika dibandingkan dengan prediksi kebutuhan daya listrik hingga tahun
2032 yaitu 114.557 KVA, maka kapasitas produksi listrik sebesar 73.515 KVA
atau 3x dari ketersediaan daya listrik (tahun 2011) perlu diupayakan untuk dapat
menjamin pelayanan listrik di Kota Ternate hingga tahun 2032.
165
Tabel 68. Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Tahun 2013-2032
Kecamatan
Kondisi
Eksisting
2011
Kebutuhan Daya Listrik (KVA)*
2013 2017 2022 2027 2032
Pulau Ternate 3.455 6.967 7.357 7.843 8.329 8.815
Ternate Selatan 13.695 30.539 32.633 35.249 37.866 40.482
Ternate Tengah 13.066 25.332 27.335 29.839 32.342 34.846
Ternate Utara 10.827 22.119 23.865 26.048 28.230 30.413
Jumlah 41.042 84.958 91.189 98.978 106.767 114.557
*Standar 450 VA per jiwa
Prediksi Produksi Sampah
Berdasarkan hasil perhitungan estimasi produksi sampah tahun 2013-2032
mendatang menunjukkan peningkatan timbulan sampah dari 471.988 lt/hari
meningkat 636.425 lt/hari atau mengalami peningkatan sebesar 26%. Kecamatan
Ternate Selatan diprediksikan memiliki produksi sampah terbanyak yaitu sebesar
224.903 lt/hari, sedangkan produksi sampah yang terkecil berada di kecamatan
Pulau Ternate yaitu 48.973 lt/hari pada tahun 2032. Untuk itu kebutuhan jumlah
sarana TPS dan sebarannya perlu dipertimbangkan pada masing-masing
kecamatan untuk memberikan layanan pengangkutan sampah yang optimal dan
merata. Untuk lebih jelasanya disajikan pada Tabel 69.
Tabel 69. Prediksi Produksi Sampah Tahun 2013-2032
Kecamatan
Kondisi
Eksisting
2008
Produksi Sampah (lt/hari)*
2013 2017 2022 2027 2032
Pulau Ternate 6.720 38.708 40.870 43.570 46.273 48.973
Ternate Selatan 55.710 169.663 181.293 195.830 210.365 224.903
Ternate Tengah 51.980 140.733 151.860 165.770 179.680 193.590
Ternate Utara 32.470 122.885 132.585 144.710 156.835 168.960
Jumlah 146.880 471.988 506.608 549.880 593.153 636.425
*Standar 2,5 lt/org/hari
Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan
Estimasi jumlah kebutuhan prasarana kesehatan didasarkan oleh proyeksi
jumlah penduduk. Proyeksi jumlah penduduk hingga tahun 2032 adalah 254.570
jiwa (Tabel 66), sehingga diprediksikan membutuhkan 129 unit prasarana
kesehatan (Tabel 70). Prasarana kesehatan diprediksikan pada tahun 2013 hingga
tahun 2032 meningkat dari 129 unit menjadi 174 unit atau mengalami
peningkatan sebesar 25% (45 unit).
166
Melihat ketersediaan prasarana kesehatan tahun 2011 dan prediksi
kebutuhan tahun 2013-2032, maka prasarana kesehatan hingga tahun 2032 perlu
diupayakan peningkatannya untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat.
Perencanaan prasarana kesehatan di tahun 2032 membutuhkan peningkatan
sebanyak 65 unit dan sebarannya perlu diperhatikan agar dapat memberikan
kemudahan untuk menjangkau tiap kecamatan ke prasarana kesehatan tersebut.
Tabel 70. Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan Tahun 2013-2032
Prasarana Kesehatan
Kondisi
Eksisting
2011
Tahun Prediksi
2013 2017 2022 2027 2032
Rumah Sakit1 6 1 1 1 2 2
Rumah Sakit Bersalin2 3 6 7 7 8 8
Puskesmas3 6 2 2 2 2 2
Posyandu4 21 76 81 88 95 102
Praktek Dokter5 47 38 41 44 47 51
Apotek6 26 6 7 7 8 8
Jumlah 109 129 138 150 162 174 1Standar 150.000 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 120.000 jiwa; 4Standar 5.000 jiwa; 5Standar 5.000 jiwa; 6Standar 30.000 jiwa;
Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan
Rencana kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 2013-
2032 berdasarkan analisis prediksi adalah 1.037 unit. Tabel 71 menunjukkan
peningkatan kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan di tahun tersebut sebesar
241 unit. Namun ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 2010
telah melebihi kebutuhan pada tahun 2032. Hal ini menunjukkan bahwa prasarana
niaga dan perdagangan cenderung tumbuh lebih cepat di Kota Ternate. Jika dilihat
berdasarkan jenis prasarananya, maka fasilitas pasar masih diperlukan upaya
peningkatan sebanyak 5 unit pada tahun 2032. Selain itu zona pelayanan
prasarana niaga dan perdagangan perlu diatur sehingga sebarannya merata di
setiap unit kecamatan.
Tabel 71. Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan
Tahun 2013-2032 Prasarana Niaga dan
Perdagangan
Kondisi
Eksisting
2010
Tahun Prediksi
2013 2017 2022 2027 2032
Toko/warung1 3.152 755 811 880 949 1.018
Pasar2 3 6 7 7 8 8
Minimarket3 21 6 7 7 8 8 Pusat Perbelanjaan/Mall4 13 2 2 2 2 2
Jumlah 3.189 769 826 896 967 1.037 1Standar 250 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 30.000 jiwa; 4Standar 120.000 jiwa
167
Persepsi Stakeholder dalam Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur
Kawasan Waterfront
Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront
bertujuan untuk memberikan rancangan konsep kebijakan pengelolaan kelayakan
infrastruktur yang berkelanjutan. Setelah pengembangan kawasan waterfront
masih menyisakan sejumlah permasalahan. Permasalahan yang muncul
diantaranya belum selesainya pembangunan sarana dan prasarana misalnya
pembangunan gelanggang remaja sebagai sarana rekreasi dan fasilitas pasar
tradisional, munculnya sektor informal (PKL) yang tidak terencana, kebersihan
kawasan dimana masih terdapat sampah di sekitar tepi pantai dan kondisi taman
kota yang tidak terawat. Analisis persepsi stakeholder diharapkan dapat
memberikan alternatif untuk memperbaiki sarana dan prasarana di kawasan
waterfront.
Analisis persepsi stakeholder menggunakan tools Analitycal Hierarchy
Process (AHP). Jumlah responden sebanyak 11 responden yang terdiri dari
kalangan pemerintah, pihak swasta dan akademisi. Responden yang dipilih yaitu
para pihak yang terkait langsung dengan bidang infrastruktur.
Aspek Infrastruktur
Hasil analisis persepsi stakeholder terkait aspek infrastruktur memiliki
nilai Consistency Ratio (CR) 0,089. Nilai CR tersebut menunjukkan tingkat
konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen yang mewakili semua
responden. Pada elemen-elemen di Tingkat 2 yakni Aspek infrastruktur, aspek
yang menjadi prioritas untuk dibenahi menurut para stakeholders yaitu
infrastruktur fisik (0,525), kemudian disusul infrastruktur hijau (0,238) dan
selanjutnya infrastruktur sosial dan ekonomi (0,237). Pembobotan tertinggi dalam
tingkatan ini yaitu infrastruktur fisik didasarkan atas permasalahan di kawasan
waterfront misalnya belum optimalnya penanggulangan sampah di kawasan,
sehingga perlu pengelolaan lebih lanjut. Hasil analisis AHP untuk aspek
infrastruktur disajikan pada Gambar 50 .
168
Gambar 50. Hasil AHP Aspek Infrastruktur
Sub Aspek Ketersediaan Infrastruktur di Kawasan Waterfront
Sub aspek ketersediaan infrastruktur yang berada di kawasan waterfront
meliputi jalan, air bersih, listrik, drainase dan sampah (infrastruktur fisik);
terminal angkutan umum, pasar tradisional, mall/pertokoan dan mesjid
(infrastruktur sosial ekonomi) dan taman kota (infrastruktur hijau). Beberapa sub
aspek infrastrutkur yang masih menjadi problem dalam penataan dan pengelolaan
kawasan diantaranya adalah sampah, pasar tradisional dan taman kota. Hasil
analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek infrastruktur memiliki nilai
Consistency Ratio (CR) 0,023.
Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek infrastruktur fisik yang
menjadi prioritas untuk diperhatikan menurut para stakeholders yaitu sampah
(0,233), jaringan jalan (0,211), saluran drainase (0,208) kemudian disusul
pelayanan air bersih (0,175) dan selanjutnya jaringan listrik (0,174). Gambar 51
menyajikan hasil analisis AHP sub aspek infrastruktur fisik.
Gambar 51. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Fisik
0,525
0,237
0,238
0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600
Infrastruktur Fisik
Infrastruktur Sosial & Ekonomi
Infrastruktur Hijau
0,211
0,175
0,174
0,208
0,233
0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250
Jaringan Jalan
Listrik
Pelayanan Air Bersih
Saluran drainase
Sampah
169
Bobot penilaian 0,233 pada sub aspek sampah menunjukkan bahwa
kebersihan kawasan waterfront yang menjadi prioritas. Pengembangan kawasan
waterfront dilihat dalam rencana tata ruang bahwa salah satu prioritas untuk
menanggulangi pencemaran lingkungan khususnya di kawasan pesisir yang
tercemar akibat sampah. Penanggulangan sampah diharapkan dapat memberikan
tatanan lingkungan khususnya kawasan pesisir yang lebih sehat dan bernilai
estetika.
Berdasarkan hasil analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek
infrastruktur sosial dan ekonomi memiliki nilai Consistency Ratio (CR) 0,043
yang menunjukkan tingkat konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen
yang mewakili semua responden. Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek
infrastruktur sosial dan ekonomi yang mejadi prioritas utama menurut para
stakeholders secara berurutan yaitu pasar tradisional dengan bobot nilai 0,330,
mesjid dengan bobot nilai 0,310, terminal angkutan dengan bobot nilai 0,209
kemudian disusul pertokoan/mall dengan bobot nilai 0,159 (Gambar 52).
Gambar 52. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi
Pengembangan kawasan waterfront ditujukan untuk pelayanan sarana dan
prasarana sosial ekonomi. Sarana tersebut salah satunya adalah pasar tradisional.
Keberadaan pasar tradisional yang lama tidak layak lagi untuk dapat menampung
aktivitas jual beli masyarakat, sehingga pembangunan pasar tradisional yang baru
dirasakan penting untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Prioritas utama
pada pasar tradisional dimaksudkan untuk mengembangkan ekonomi berbasis
masyarakat.
0,330
0,159
0,310
0,209
0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350
Pasar Tradisional
Pertokoan/Mall
Mesjid
Terminal Angkutan