hasil dan pembahasan perubahan spasial kawasan pesisir ... · yang menyebabkan perubahan, ... pada...

85
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan, terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam (Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai (garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008). Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai. Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru. Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir mengalami perubahan. Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia

Upload: hoangtruc

Post on 08-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

85

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate

Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront

Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan

adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk

mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga

secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis

pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan,

diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan,

terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia

yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam

(Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai

(garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor

eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor

internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana

sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008).

Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate

dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai.

Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan

khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman

kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana

daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan

langsung dengan daratan baru.

Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk

mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan

dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya

penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir

mengalami perubahan.

Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra

tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk

membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia

86

sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang

terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai

pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data

tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk

citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut

sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye

tahun 2001.

Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk

mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi

Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan

pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota

Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak

pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi

laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara

darat dan laut.

Gambar 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010

87

Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara

visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis

pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra

berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang

direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km2), dengan titik awal delineasi pada

koordinat 0°46”941 LU, 127°23”305 BT dan titik akhir pada koordinat 0°48”033

LU, 127°23”160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah

3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi

3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai

atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat

0°47”456 LU, 127°23”415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai

awal (tahun 2001).

Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota

Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan

hanya 110,07 km2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau

Ternate bertambah menjadi 110,30 km2. Secara administratif, terjadi penambahan

luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08

km² (tahun 2010) (Gambar 19).

Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun 2001-2010

88

Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat)

kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan

Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan

semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan

wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk

(perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang

tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di

sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang

membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut.

Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan

ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan

memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas

lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan

luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi

ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir

tersebut.

Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara

digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual

untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur,

bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey

langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan

objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk

mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya.

Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa

dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/Mall.

Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan

di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II)

yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront

dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang

terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah

kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam

89

bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di

sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan

waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai

landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan

waterfront.

Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

90

Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada

Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan

sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan

dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat

sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya.

Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan

ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12

ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini

berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan,

dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala

regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan

untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota

seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk

penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai

landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk

permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai

menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront.

Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

Penggunaan Lahan Luas

(ha)

Persentase

(%)

Badan air 4,25 17

Jalan 3,90 16

RTH/Taman Kota 2,86 12

Mall/Dept.Store 2,56 11

Pasar Tradisional 2,01 8

Permukiman 2,02 8

Pertokoan 1,42 6

RTH/Jalur Hijau 1,40 6

Ruko 1,12 5

Sarana Ibadah 0,87 4

Terminal Angkutan Umum 0,90 4

Perkantoran 0,59 2

TPS 0,03 1

Jumlah 23,93 100

91

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010

Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta

penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas

penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari

hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan

terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan

dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan

terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi.

Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini

berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal

untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk

penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar

dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara

horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District-

CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk

melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun

2004-2010 disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010

92

Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010

(Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi

perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun

terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%).

Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha

(55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004

seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas 10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada

tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang

sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan

kawasan waterfront.

Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010

Penggunaan Lahan

Tahun Perubahan

2004

(ha)

2010

(ha)

Luas

(ha)

Persentase Perubahan luas/luas lahan awal

(%)

Lahan Tidak Terbangun

Lahan Terbangun

9.166

944

8.755

1.465

-411

521

-4

55

Jumlah Luas 10.110 10.220 110

Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel

25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak

terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa

kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan

perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan

terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha.

Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut

dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate

Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi.

Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010

Penggunaan Lahan

Tahun 2004 (ha)

Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha) Jumlah Luas

(ha) Lahan Tidak Terbangun

(non built up)

Lahan Terbangun

(built up)

Lahan Tidak Terbangun

(non built up) 8.721 445 9.166

Lahan Terbangun

(built up) 34 910 944

Jumlah Luas (ha) 8.755 1.355

93

Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate

Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh

berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau

sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang

ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk

menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut

berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis

berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang

ada di unit wilayah tersebut.

Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing

kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi

kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1

(pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland).

Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks

Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP.

Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa

kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat

titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama

masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui

bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga

untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang

seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik

tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk

menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori

variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan,

kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan.

Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi

(Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya

peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan

nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan

nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04

(lihat Gambar 22).

94

Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan

Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki

tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan

infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke

prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah

menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor

ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit.

Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006,

2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini

berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat

dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu

tempuh.

Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan

terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan

tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3

(hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2,

dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan

ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1

ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,

9,25 9,86 8,29 9,80

25,04 24,55 26,05 24,86

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

40,00

45,00

2005 2006 2008 2011

Stdev IP Average IP

58,49

10,17

59,73

10,15

48,34

12,75 11,95

60,17

95

terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh

yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan

yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan

Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa),

dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma).

2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP

24,86 - 34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang

lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki

ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir.

3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat

sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan

hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18

kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 Hierarki

Wilayah

Jenis

Kelurahan

Banyaknya

Kelurahan/Desa

Indeks

Perkembangan (IP) Jumlah Jenis

Hierarki 1 Pesisir

Bukan pesisir

6

1 > 34,66 140

Hierarki 2 Pesisir Bukan pesisir

8 7

24,86 - 34,66 275

Hierarki 3 Pesisir

Bukan pesisir

18

8 < 24,86 398

Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan

banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12

kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari

jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan

pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan

ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1

ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,

terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta

jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada

hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir

96

(Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan

pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro).

2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP

25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang

lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini

dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir.

3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana

dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2.

Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan

pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 Hierarki

Wilayah

Jenis

Kelurahan

Banyaknya

Kelurahan/Desa

Indeks

Perkembangan (IP) Jumlah Jenis

Hierarki 1 Pesisir

Bukan pesisir

3

3 > 34,29 123

Hierarki 2 Pesisir

Bukan pesisir

7

5 25,04 - 34,29 213

Hierarki 3 Pesisir

Bukan pesisir

22

8 < 25,04 428

Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan

bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan

aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat

pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011),

sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang

menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2

meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga

ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan

pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi

18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki

wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.

97

Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011

Hierarki

Wilayah

Tahun 2005 Tahun 2011

Banyaknya

Kelurahan/Desa

Bukan pesisir

Banyaknya

Kelurahan/Desa

Pesisir

Banyaknya

Kelurahan/Desa

Bukan pesisir

Banyaknya

Kelurahan/Desa

Pesisir

Hierarki 1 3 3 1 6

Hierarki 2 5 7 7 8

Hierarki 3 8 22 8 18

Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah

penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas

yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi

dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah

mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas

dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah

hinterland dari wilayah yang lainnya.

Gambar 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011

98

Cakupan Pelayanan Infrastruktur

Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan

infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen.

Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan

perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat

mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota

berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk

kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai

tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.

Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota

diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur

pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik

dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.

Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure),

infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur

hijau (green infrastructure).

Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi

sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di

Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah

dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan

infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada

peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan

infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan

membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik

Infrastruktur Jaringan Jalan

Kondisi Eksisting Jaringan Jalan

Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa

jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan

Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa

99

pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor

primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk

jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan

jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan

jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang

berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.

Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010

Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi

fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan

antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar

permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan

jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997

hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada

tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan

dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang

jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan

kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km

100

(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari

panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun

2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km.

Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya

saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan

kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya

Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate.

Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan

Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990

Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan

jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor

sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan).

Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan

jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada

kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota

yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang

jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis

moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama

arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini

berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

140,00

160,00

1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32

Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00

Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75

Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67

101

Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya

berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan

pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi

jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah.

Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat

sub bagian wilayah kota dengan panjang jalan 23,10 km dan lebar jalan 5-6 m.

Jalan lokal primer menghubungkan jalan kolektor sekunder dengan lokal

sekunder, dengan panjang jalan 39,8 km. Sementara untuk jalan lokal sekunder

merupakan jalan lingkungan yang menghubungkan langsung dengan jalan lokal

primer. Panjang jalan lokal primer adalah 41,27 km dan hanya tipe kendaraan

mobil dan motor yang dapat diizinkan untuk melintas.

Klasifikasi jalan perkotaan sesuai fungsinya berdasarkan Panduan

Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990,

yang dibandingkan dengan kondisi eksisting jaringan jalan di kota Ternate dapat

dilihat pada Tabel 29 dan Lampiran 3. Lebar jalur pada jalan kolektor primer dan

jalan kolektor sekunder telah memenuhi standar yang ada. Jalan lokal primer dan

lokal sekunder masih belum memenuhi standar, yaitu masing-masing masih

terdapat ruas jalan dengan lebar jalur hanya 3 m dan 1,5 m.

Tabel 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate

Status Jalan Kondisi

Jalan

Panjang

Jalan (km)

Lebar Jalur

(m)

Standar

Lebar Jalur* (m) Keterangan

Kolektor Primer Baik 47,499 6,0-8,0 5,0-6,0 Memenuhi

standar Jumlah 47,499

Kolektor Sekunder Baik

Rusak

41,651

7,947 5,0-6,0 5,0-6,5 Memenuhi

standar Jumlah 49,598

Lokal Primer Baik

Rusak

21,278

4,958 3,0-7,0 4,5-5,0

Belum

memenuhi

standar Jumlah 26,236

Lokal Sekunder

Jumlah

Baik

Rusak

26,347

2,720

29,067

1,5-5,0 3,0-4,5

Belum

memenuhi

standar

* Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990

Akses Pencapain Infrastruktur Jalan per Kecamatan

Akses pencapaian prasarana jalan dianalisis berdasarkan kerapatan jalan

yaitu hasil perbandingan antara luas wilayah dibagi dengan panjang jalan.

Semakin rapat jalan semakin mudah akses di dalam wilayah, yang berimplikasi

pada; 1) cakupan wilayah pelayanan jaringan jalan dan 2) jarak tempuh. Analisis

102

kerapatan jalan di Kota Ternate menunjukkan bahwa kecamatan Ternate Tengah

memiliki kerapatan jalan tinggi. Ini ditandai dengan kerapatan jalan 0,280 km

(<0,5 km), yang berarti bahwa untuk menuju ke kecamatan ini mudah diakses dan

waktu tempuh relatif lebih cepat. Berbeda halnya dengan kecamatan Pulau

Ternate yang hanya memiliki kerapatan jalan 1,073 km (>0,5 km). Hal ini

menunjukkan kerapatan jalan rendah di kecamatan Pulau Ternate dibanding

dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Pulau Ternate juga memiliki permukiman

yang jarang, sehingga berpengaruh pada perkembangan jaringan jalan yang ada.

Analisis kerapatan jalan di Kota Ternate tahun 2010 disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010

Kecamatan

Panjang

Jalan

(km)

Luas

Wilayah

(km2)

Kerapatan

Jalan

(km/km2)

Keterangan*

Pulau Ternate 34,685 37,23 1,073 Kerapatan jalan rendah

Ternate Selatan 38,293 16,98 0,443 Kerapatan jalan tinggi

Ternate Tengah 38,656 10,85 0,280 Kerapatan jalan tinggi

Ternate Utara 27,504 14,38 0,522 Kerapatan jalan rendah *kerapatan jalan <0,5 km/km2 = kerapatan jalan tinggi;

kerapatan jalan >0,5 km/km2 = kerapatan jalan rendah

Kecamatan Ternate Tengah merupakan Bagian Wilayah Kota II (BWK II),

yang diarahkan untuk pengembangan kawasan jasa dan perdagangan, pariwisata,

pelabuhan, pemukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga,

sehingga kerapatan jalan meningkat/tinggi yang menyebabkan akses ke pusat kota

(sarana dan prasarana kota) semakin mudah. Luas wilayahnya hanya 10,85 km2,

dengan panjang jalan 38,656 km yang menunjukkan tingkat kerapatan jalan tinggi

yaitu 0,280 km/km2. Hal ini memberikan dampak pada tingginya mobilisasi moda

transportasi di kecamatan tersebut (lihat Gambar 26).

103

Gambar 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah

Gambar 27 menampilkan prasarana jalan di Kecamatan Ternate Selatan,

dengan tingkat kerapatan tinggi hanya terdapat pada beberapa kelurahan/desa

yang temasuk bagian pusat kota Ternate. Luas wilayah 16,98 km2 memiliki

panjang jalan 38,293 km, sehingga kerapatan jalannya tergolong tinggi yaitu

0,443 km/km2. Jalan lokal sekunder mendominasi jaringan jalan yang ada di

kecamatan tersebut, sehingga akses dari permukiman ke pusat-pusat prasarana

dapat dicapai dan waktu tempuh relatif lebih cepat.

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

104

Gambar 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan

Infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara memiliki kerapatan jalan

rendah. Kerapatan jalannya 0,522 km/km2 (>0,5 km/km

2) dengan luas wilayah

14,38 km2 dan panjang jalan yang berada di kecamatan ini adalah 27,504 km.

Kerapatan jalan dominan berada di sekitar pusat kota (menuju Kecamatan Ternate

Tengah). Meskipun demikian, akses dari permukiman ke pusat-pusat sarana dan

prasarana kota cenderung mudah, yang dihubungkan dengan jalan lokal primer

dan lokal sekunder (jalan lingkungan) menuju jalan kolektor sekunder maupun

jalan kolektor primer. Gambar 28 memperlihatkan ketersediaan infrastruktur jalan

di kecamatan Ternate Utara.

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

105

Gambar 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara

Sementara untuk infrastruktur jalan di Kecamatan Pulau Ternate yang

ditampilkan dalam Gambar 29, menunjukkan bahwa hanya terdapat jalan kolektor

primer, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Umumnya kawasan

permukiman memadati sepanjang jalan kolektor primer. Luas wilayahnya 37,23

km2 cenderung lebih luas dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang

merata dengan panjang jalan 34,685 km, sehingga memiliki kerapatan jalan

rendah yaitu 1,073 km/km2 (>0,5 km/km

2). Akses menuju pusat sarana dan

prasarana kota tergolong mudah, karena dihubungkan dengan jalan kolektor

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

106

primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu

tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama.

Gambar 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Jaringan Jalan

Infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang akan

membentuk struktur tata ruang kota (Sinulingga, 1999), dimana hampir semua

elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung memerlukan jaringan jalan.

Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat,

Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder

107

infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar

karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal

ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke

tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi

kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi

terhadap pemakai jalan.

Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada

di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan

jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran

tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat

pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang

tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki

prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya.

Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah,

sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang

merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat

di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat

berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang

mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi

pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut.

Infrastruktur Air Bersih

Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih

Air bersih yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum

bagi masyarakat kota saat ini masih bersumber pada air permukaan dan air tanah

melalui sumur dalam maupun sumur dangkal yang terdapat di wilayah Kota

Ternate. Sumber air baku yang meliputi air permukaan berasal dari danau Laguna

di kecamatan Ternate Selatan, sedangkan air tanah berasal dari mata air Tege-

Tege yang berada di kecamatan Ternate Tengah, mata air Akega’ale, mata air

Santosa di kecamatan Ternate Utara, dan mata air Akerica di kecamatan Pulau

Ternate (lihat Gambar 30).

108

Instalasi Pengolahan Air Minum pertama yang dibangun guna memenuhi

kebutuhan pelabuhan Ternate pada tahun 1976 adalah dengan membuat sumur

gali dan menara air (tower reservoir) di jalan Jenderal A.Yani. Sistem tersebut

kemudian dikembangkan pada ground reservoir yang bersumber dari mata air

Santosa dan mulai melayani 200 sambungan pelanggan di pusat kota Ternate.

Dengan bantuan hibah dalam program Six City’s Water Supply pada tahun 1980,

kemudian dibangun 6 unit sumur berkapasitas 60 liter/detik dengan sistem

pengendalian terpusat di Operation Building yang berada di Kelurahan

Kalumpang, Ground Reservoir dengan kapasitas 1.080 m3 di Skep (Kelurahan

Salahudin) dan jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang ±82 km yang

tersebar di pusat kota.

Pada tahun 1991 hingga saat ini, bangunan penyadap air semakin

bertambah. Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah bagian tengah dan utara

kota, maka dibangun Instalasi Akega’ale dengan kapasitas 60 lt/det yaitu 6 unit

sumur dangkal, reservoir di Facei dengan kapasitas 500 m3 serta sistem booster di

Skep dan reservoir di Tabahawa 300 m3 dan perluas jaringan pipa distribusi

sepanjang ±52 km’. Untuk melayani wilayah bagian selatan kota, dibangun

instalasi Ubo-Ubo sebesar 40 lt/det dengan 2 unit sumur bor, reservoir di

kelurahan Ubo-Ubo yang berkapasitas 500 m3 serta reservoir di Jan dengan

kapasitas 100 m3 dalam upaya melayani pada daerah ketinggian.

Jaringan pipa yang tertanam di tiap-tiap kota umumnya menggunakan

jenis pipa Poly Vinyl Cloride (PVC) dan Galvanis Iron Pipe (GIP) dengan

berbagai ukuran, seperti yang disajikan dalam Tabel 31.

Tabel 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi

Jaringan Pipa (mm)

Transmisi (m)

Distribusi (m)

Dn-315

Dn-250

Dn-200 Dn-160

Dn-110

Dn-90 Dn-75

Dn-63

Dn-50

1.700

1.481

3.505 975

2.066

- -

-

-

1.276

1.382

6.391 14.535

27.106

28.059 39.445

51.485

13.297

Jumlah 9.664 182.968

Sumber: PDAM Kota Ternate (2011)

109

Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan

distribusi disajikan pada Gambar 30.

Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate

Wilayah cakupan pelayanan air bersih yang bersumber dari PDAM

melingkupi 4 (empat) kecamatan di Kota Ternate, yaitu kecamatan Ternate

Tengah, kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Utara dan kecamatan

Pulau Ternate. Data tahun 2008 sampai tahun 2011 yang bersumber dari PDAM

Kota Ternate, menampilkan jumlah penduduk yang terlayani pada 4 (empat)

kecamatan tersebut semakin meningkat. Pada tahun 2008, misalnya pada

Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk yang terlayani air bersih

PDAM yaitu 33.738 jiwa meningkat menjadi 41.916 jiwa di tahun 2011. Di

kecamatan Pulau Ternate, peningkatan jumlah penduduk yang terlayani tidak

terlalu singnifikan, yakni penambahan jumlah penduduk hanya berkisar 200 jiwa

atau naik dari 2.025 jiwa (tahun 2008) menjadi 2.256 jiwa (tahun 2011) (Gambar

31).

110

Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM

Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32.

Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di

kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan

di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara.

Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2

kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan

kecamatan Ternate Selatan.

Gambar 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010

PULAU

TERNATE

TERNATE

SELATAN

TERNATE

TENGAH

TERNATE

UTARA

2008 2.052 33.738 29.688 28.344

2009 2.058 35.820 30.864 27.756

2010 2.082 37.488 32.010 32.112

2011 2.256 41.916 36.228 32.550

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

111

Komparasi Ketersediaan Air Bersih dengan Standar Kebutuhan Air Minum

Berdasarkan Pedoman No.534/KPTS/M/2001

Standar kebutuhan air bersih untuk wilayah perkotaan adalah 60-220

liter/orang/hari dengan cakupan pelayanan 55%-75% (Keputusan Menteri

Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air

bersih kota Ternate diasumsikan 100 liter/orang/hari, maka kebutuhan air bersih

dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan

dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari).

Dengan perhitungan ini, maka diketahui kebutuhan air bersih pada tahun

2011 adalah sebesar 18.331.300 lt/hari (Tabel 33). Sementara itu, ketersediaan air

bersih hanya 3.965.760 lt/hari, sehingga masih kekurangan 14.365.540 lt/hari.

Data tersebut mengindikasikan bahwa masih dibutuhkan peningkatan kapasitas

produksi sebesar 78% di tahun 2011.

Perhatikan Tabel 32, jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011

sebanyak 183.313 jiwa, dimana jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM

di Kota Ternate sebanyak 112.950 jiwa (62%) dan penduduk yang tidak terlayani

sebanyak 70.363 jiwa (38%). Kecamatan Ternate Utara memiliki jumlah

penduduk terlayani air bersih PDAM yang terbanyak yaitu sekitar 68% (32.550

jiwa) dari jumlah penduduk yang bermukim di kecamatan tersebut. Kecamatan

Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Pulau Ternate masing-masing memiliki

jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM sebanyak 66% (36.228 jiwa), 64%

(41.916 jiwa) dan 15% (2.256 jiwa). Merujuk pada jumlah penduduk dan jumlah

penduduk terlayani air bersih, maka jumlah penduduk yang tidak terlayani air

bersih di empat kecamatan tersebut berkisar 32-85%. Angka tersebut didasarkan

pada hasil perhitungan persentase jumlah penduduk tidak terlayani dibagi dengan

jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Hasil persentase tersebut

menunjukkan bahwa penduduk yang belum terlayani air bersih dari PDAM cukup

tinggi. Hal demikian dipengaruhi oleh adanya beberapa kelurahan/desa di

kecamatan Pulau Ternate yang belum mendapat akses air bersih dari PDAM.

112

Tabel 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011

Infrastruktur Air Bersih

PDAM

Kecamatan Kota

Ternate Pulau

Ternate

Ternate

Selatan

Ternate

Tengah

Ternate

Utara

Jumlah Penduduk

(jiwa) 15.024 65.888 54.677 47.724 183.313

Kebutuhan Air Bersih*

(lt/hari) 1.502.400 6.588.800 5.467.700 4.772.400 18.331.300

Jumlah Penduduk

Terlayani PDAM

(Jiwa) 2.256 41.916 36.228 32.550 112.950

(%) 15 64 66 68 62

Ketersediaan Air

Bersih PDAM

(lt/hari) 79.210 1.471.702 1.271.993 1.142.855 3.965.760

(%) 5 22 23 24 22

Jumlah Penduduk

Tidak Terlayani

PDAM

(jiwa) 12.768 23.972 18.449 15.174 70.363

(%) 85 36 34 32 38

Kekurangan Air

Bersih PDAM

(lt/hari) 1.423.190 5.117.098 4.195.707 3.629.545 14.365.540

(%) 95 78 77 76 78

*Standar 100 lt/org/hari

Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat

yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses

distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas

pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu

diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01

ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5

tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan.

Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada

tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan (18.916 sambungan). Namun sebagian

pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan

bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini

berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97%

atau 5.930.417 m3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu 14.475.024 m

3. Dampak

kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang

ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a).

Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara

kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke

pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran

tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk

113

mendapatkan distribusi air minum PDAM. Hal ini mengindikasikan belum

terpenuhinya persyaratan kontinuitas secara menyeluruh dalam memberikan

pelayanan terhadap masyarakat.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Air Bersih

Masih terdapat beberapa kelurahan/desa pada Kecamatan Ternate Tengah,

dan Kecamatan Pulau Ternate yang belum terlayani air bersih PDAM. Di

Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2 (dua) kelurahan yang tidak terlayani.

Sementara untuk Kecamatan Pulau Ternate masih terdapat 10 (sepuluh) kelurahan

yang belum tersedia air bersih dari PDAM. Hal ini disebabkan karena kondisi

topografis, dimana wilayah/kelurahan tersebut berada pada ketinggian (dataran

tinggi) dan jauh dari sumber air atau reservoir yang ada sebelumnya. Untuk

mendistribusikan air bersih ke wilayah tersebut tentunya memerlukan biaya

operasional yang tinggi, karena pada umumnya sumber air baku berada pada

wilayah pesisir/dataran rendah. Wilayah yang tidak terlayani air bersih dari

PDAM, masih memanfaatkan sumur gali, penampungan air hujan dan mata air

sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari.

Kapasitas produksi air (supply) masih jauh dari rata-rata kebutuhan air

(demand) yang harus disediakan oleh PDAM. Hal ini dikaitkan juga dengan

tingkat kehilangan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 40% di tahun 2011,

sehingga menimbulkan biaya (nilai jual) yang tinggi terhadap konsumen. Wilayah

cakupan pendistribusian air bersih hanya menjangkau bagian pusat kota yang

berada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelayanan PDAM

terhadap kebutuhan masyarakat di Kota Ternate masih belum mencukupi standar

pelayanan. Tingkat akses prasarana air yang rendah akan mengakibatkan

rendahnya tingkat kesehatan masyarakat.

Infrastruktur Listrik

Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik

Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit,

penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan

listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.

114

Pembangkit listrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di Kota

Ternate yaitu dengan memanfaatkan tenaga diesel. Panjang jaringan yang ada

untuk tegangan rendah (SUTR) 171,83 KMS dan tegangan menengah (SUTM)

94,08 KMS, dengan jumlah gardu sebanyak 133 dan kapasitas terpasang 35.870

VA (lihat Tabel 33). Sampai tahun 2010, wilayah pelayanan (service area)

kelistrikan sudah menjangkau seluruh kelurahan di Kecamatan Ternate Utara,

Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Pulau Ternate, namun demikian pada waktu

tertentu sering mengalami pemadaman bergilir dalam kurun waktu rata-rata 1 jam.

Tabel 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang

Uraian Satuan Jumlah

Jumlah Pelanggan Sambungan 27.310

SKTM KMS 0,70

SUTM KMS 94,08

SUTR KMS 171,83

Daya Terpasang VA 35.870

Gardu Buah 133

Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2010)

Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk

membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun

dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan

kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin

tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar 102.233 MWH dengan daya

tersambung sebesar 40.467 MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan

adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan

jumlah mesin yang ada.

Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas

mesin, selama tahun 2006-2011. Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun

2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6

unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan

energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang

dihasilkan sebesar 65.600 MWH di tahun 2006 meningkat hingga 115.620 MWH

pada tahun 2011. Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006

sebesar 31.239 KVA meningkat menjadi 41.042 KVA di tahun 2011. Daya

mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini

115

mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dalam waktu rata-rata 4 jam/hari,

sehingga menggangu aktivitas masyarakat.

Tabel 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate

Keadaan Mesin 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jumlah Mesin (Unit)

Kapasitas Terpasang (KW)

Daya Mampu (KW)

Beban Puncak (KW) Produksi (MWH)

Daya Sambung (KVA)

7

21.122

13.300

12.811 65.600

31.239

7

21.122

12.800

12.811 76.553

34.814

6

24.402

11.300

12.270 82.904

38.468

7

26.842

14.500

15.000 87.015

39.215

6

25.802

18.900

16.815 102.233

40.467

7

27.064

26.200

19.000 115.620

41.042

Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2011)

Cakupan pelayanan listrik pada masing-masing kecamatan ikut mengalami

peningkatan. Variabel jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 33

menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan listrik dari PT. PLN Cabang Ternate

cenderung semakin meningkat. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah

pelanggan terbanyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Sementara untuk

jumlah pelanggan listrik yang terkecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. Hal

ini disebabkan oleh faktor jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk di

kecamatan Ternate Selatan lebih banyak sedangkan penduduk yang jumlahnya

lebih kecil berada pada kecamatan Pulau Ternate.

Gambar 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN Tahun 2005-2011

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

PULAU

TERNATE

TERNATE

SELATAN

TERNATE

TENGAH

TERNATE

UTARA

2005 2.263 6.968 7.434 5.672

2006 2.279 6.968 7.434 5.678

2008 3.093 11.195 10.632 8.711

2011 3.250 12.884 12.292 10.186

116

Gambar 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN Tahun 2011

Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah

pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate

Tengah. Kategori jumlah pelanggan 700-1.000 sambungan/pelanggan terdapat

pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate

Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan

pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan

Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di

kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate,

terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota

(kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota.

Komparasi Ketersediaan Listrik Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004

Jaringan distribusi dan jumlah daya terpasang/daya sambung listrik

menjadi hal utama dalam pemenuhan energi listrik. Daya sambung listrik yang

diproduksi oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke gardu induk melalui

jaringan transmisi selanjutnya diteruskan ke gardu-gardu distribusi kemudian

117

disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Berdasarkan SNI 03-1733-2004,

mengsyaratkan bahwa setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik

minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari

jumlahkebutuhan rumah tangga.

Evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana listrik dianalisis berdasarkan

jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah pelayanan. Besaran daya dalam

wilayah layanan dipengaruhi jumlah dan kepadatan rumah tangga (KK) wilayah

tersebut. Pasokan daya yang dibutuhkan disebar melalui jaringan transmisi (gardu

listrik).

Jika distandarkan daya listrik minimal yang harus dilayani 450 VA per

jiwa, maka dapat dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011

sebanyak 183.313 jiwa sehingga didapat jumlah daya listrik yang dibutuhkan

adalah 82.491.300 VA atau 82.491 KVA. Dibadingkan dengan daya sambung

41.042 KVA pada tahun 2011, maka pasokan listrik rumah tangga secara

keseluruhan belum mampu melayani standar kebutuhan yang ada dan masih

kekurangan pasokan daya listrik sekitar 50%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada

Tabel 35.

Tabel 35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011

Kecamatan Jumlah

Penduduk

(Jiwa)

Jumlah Keluarga

(KK)

Jumlah Pelanggan

Daya Tersambung

Standar Kebutuhan

Daya

Listrik* (KVA)

Kekurangan Daya Listrik

(PLG) (%) (KVA) (%) (KVA) (%)

Pulau Ternate

15.024 3.947 3.250 82 3.455 51 6.761 3.306 49

Ternate Selatan

65.888 15.795 12.884 82 13.695 46 29.650 15.955 54

Ternate Tengah

54.677 11.898 11.892 100 13.066 53 24.605 11.539 47

Ternate Utara

47.724 10.882 10.186 94 10.827 50 21.476 10.649 50

Kota Ternate

183.313 42.522 38.212 90 41.042 50 82.491 41.449 50

*Standar minimal daya listrik 450 VA per jiwa

Melihat jumlah pelanggan listrik dengan jumlah keluarga di Kota Ternate

yang tersaji pada Tabel 36, maka jumlah keluarga yang telah mendapat akses

listrik sekitar 90%. Pada masing-masing kecamatan, persentase jumlah pelanggan

yang telah teraliri listrik berkisar 82-100%. Persentase jumlah pelanggan tersebut

didasarkan pada perhitungan jumlah pelanggan dibagi dengan jumlah keluarga

118

yang berada pada masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut

menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap listrik mudah dan telah

menjangkau empat kecamatan yang ada di Kota Ternate.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Listrik

Ketersediaan infrastruktur listrik telah menjangkau ke seluruh kecamatan

yang berada di kota Ternate. Cakupan pelayanan listrik di tiap kecamatan ikut

mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2011.

Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang

terbanyak, sedangkan kecamatan Pulau Ternate memiliki jumlah pelanggan listrik

PLN yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan

tersebut. Jika dibandingkan dengan standar SNI 03-1733-2004 yang

mengsyaratkan setiap unit rumah tangga harus dilayani daya listrik minimum 450

VA per jiwa, maka pasokan daya listrik rumah tangga pada tahun 2011 belum

mampu melayani standar kebutuhan masyarakat.

Daya mampu infrastruktur listrik antara tahun 2007 hingga tahun 2008

mengalami penurunan, disebabkan oleh rusaknya mesin pembangkit listrik. Hal

ini mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dengan waktu rata-rata 4

jam/hari. Pemadaman listrik secara bergilir berdampak pada terganggunya

aktivitas masyarakat dan menambah biaya (cost) untuk produksi di berbagai

sektor yang berujung pada kerugian perekonomian daerah.

Infrastruktur Sistem Drainase

Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Sistem Drainase

Sistem drainase kota juga disebut sistem tulang daun, yakni terdiri dari

saluran utama/primer (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air

hujan ke laut, saluran pengumpul (sekunder) dan saluran lokal (tersier). Saluran

drainase primer di Kota Ternate berupa sungai (kalimati) membentuk sistem

drainase makro, sedangkan sistem drainase mikro berupa saluran drainase

sekunder dan tersier terbentang mengikuti jaringan jalan utama maupun jalan

lingkungan.

119

Kondisi eksisting saluran drainase utama kota Ternate, baik alamiah

maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih tinggi

(>500 mdpl) dari pada elevasi dasar muara/pantai (< 50 mdpl). Hal ini berkaitan

dengan kondisi topografis yang bervariatif, karena berupa pulau gunung api yang

mengerucut ke puncak (kawah gunung api). Kondisi topografis yang demikian

memudahkan dalam mengalirkan air permukaan menuju ke laut tanpa

memerlukan teknologi, namun kelemahannya terletak pada tingkat sedimentasi

yang sangat tinggi akibat erosi, apalagi jenis tanahnya ialah Regosol yang sangat

peka terhadap pergerakan air.

Secara makro pola penggunaan lahan perkotaan mempengaruhi sistem

drainase. Pola penggunaan lahan di kota Ternate, diantaranya lahan permukiman

(1.270,23 ha), jasa dan perdagangan (69,26 ha), hutan lindung (2.608,26 ha),

perkebunan (5.125,68 ha), dan pertanian lahan kering (208,18 ha). Penggunaan

lahan permukiman terkonsentrasi di kawasan pusat kota, akibat adanya daya tarik

ketersediaan infrastruktur yang terpusat di kawasan tersebut. Keterbatasan lahan

dalam kota yang disertai tingginya harga lahan serta kecenderungan

berkembangnya permukiman yang mendekat ke infrastruktur kota memicu

pembangunan perumahan pada areal bantaran sungai serta lahan pertanian dan

perkebunan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dengan tingkat kemiringan

lereng 15-30%. Kondisi ini akan berdampak pada cepatnya atau bertambah besar

aliran permukaan dan berkurangnya cadangan air tanah, karena semakin

berkurangnya daerah resapan air.

Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, akan berdampak pada

kebutuhan lahan permukiman. Kondisi demikian tentunya mempengaruhi

konversi lahan dari kawasan perkebunan maupun pertanian menjadi kawasan

permukiman. Konversi lahan di kota Ternate tidak merata di setiap kecamatan,

disebabkan karena hanya 3 (tiga) kecamatan yang berada di pusat kota atau dekat

pusat kota, cenderung memiliki daya tarik untuk bermukim di lokasi tersebut.

Khususnya untuk lahan permukiman di sekitar pesisir pantai ikut terkonversi

menjadi lahan jasa dan perdagangan, sedangkan wilayah belakang/puncak gunung

(hinterland) terkonversi menjadi kawasan permukiman.

120

Konversi lahan perkebunan dan pertanian menjadi lahan terbangun seperti

permukiman ataupun sarana dan prasarana tentunya akan berpengaruh pada

kondisi tata air tanah dan fisiografis lahan. Kemampuan tanah dalam menyerap air

akan semakin berkurang seiring dengan terganggunya tata air tanah yang

berdampak pada besarnya aliran permukaan serta perubahan permukaan tanah.

Tanpa adanya upaya pematangan lahan yang baik, maka akan berakibat terjadinya

longsor dan erosi karena sangat tidak menguntungkan dengan jenis tanah Regosol

dan kemiringan lereng rata-rata >8-15% yang mendominasi bentang alam kota

Ternate. Material erosi dan longsor yang terbawa serta kedalam saluran air dan

sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran.

Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Tengah menunjukkan

bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut sebagai saluran primer

dengan 107 bangunan gorong-gorong (Culvert), 18.131 m saluran tersier, 30.276

m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan

kolektor yang berada di kawasan permukiman seluas 340,10 ha atau 24,79% dari

jumlah luas wilayahnya 1.371,88 ha. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36.

Tabel 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah

Kelurahan Luas

Wilayah (ha)

Luas Lahan Permukiman

(ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase

Sekunder (m)

Tersier (m)

Gorong-Gorong Sungai

Makassar Timur 18,74 18,68 1432 802 12 -

Makassar Barat 29,03 22,75 1150 2250 9 -

Santiong 24,36 16,47 1440 1906 8 1

Gamalama 40,56 38,99 3578 1394 19 -

Kalumpang 25,73 24,38 2383 1945 13 1

Moya 453,20 15,91 3596 2739 19 2

Marikrubu 432,79 51,12 5932 475 7 4

Muhajirin 14,38 14,03 1050 278 3 -

Tanah Raja 8,42 8,42 792 444 3 -

Stadion 16,54 14,78 1405 1096 - -

Kampung Pisang 14,73 14,13 1198 1004 2 1

Maliaro 249,66 57,55 2747 1696 9 4

Takoma 20,46 20,39 1886 1042 - -

Kota Baru 23,28 22,50 1687 1060 3 -

Jumlah 1.371,88 340,10 30.276 18.131 107 13

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Tengah seperti yang

terlihat dalam Gambar 35, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area

permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi

121

tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat

kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu

kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar

Barat.

Gambar 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Tengah membentuk 3 (tiga)

pola, yaitu pola pararel, pola siku dan pola jaring-jaring. Saluran-saluran drainase

yang membentuk pola pararel dibuat sejajar dengan saluran sekunder untuk dialiri

ke pembuangan saluran primer yakni sungai hingga menuju ke laut. Pola siku dan

pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung sebelum masuk ke

saluran sekunder.

Kecamatan Ternate Selatan memiliki saluran drainase yang terdiri dari 39

sungai sebagai saluran primer, 142 bangunan gorong-gorong, 19.070 m saluran

tersier, dan 31.801 m saluran sekunder yang berada di kawasan permukiman

(412,91 ha), dimana saluran sekunder sebagian besar membentang mengikuti

jaringan jalan kolektor (Tabel 37). Kecamatan ini memiliki saluran primer

(sungai) terbanyak dibanding kecamatan lainnya, sehingga aliran air dari hulu

122

sebagian besar masuk ke sungai-sungai yang melintasi kecamatan Ternate

Selatan. Namun demikian dimensi sungai yang berada di bagian hilir cenderung

semakin menyempit yang diakibatkan oleh permukiman warga yang berada di

bantaran sungai. Selain itu, tumpukan sampah dan sedimentasi masih terlihat di

hilir sungai hingga sampai ke tepi pantai.

Tabel 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan

Kelurahan

Luas

Wilayah

(ha)

Luas Lahan

Permukiman

(ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan

Drainase

Sekunder

(m)

Tersier

(m)

Gorong-

Gorong Sungai

Toboko 12,06 10,42 956 1213 2 -

Tanah Tinggi 44,56 33,10 3241 1713 6 3

Jati 58,11 41,13 3988 1750 6 -

Jati Perumnas 25,31 16,70 1922 1849 10 2

Tobona 302,89 27,69 1872 996 10 2

Mangga Dua 58,03 51,87 1628 2487 6 3

Ubu-Ubo 22,23 21,59 1864 1082 11 1

Bastiong 60,38 57,91 2270 2803 28 3

Kalumata 333,63 73,54 2771 745 30 5

Sasa 388,83 30,91 938 1974 12 5

Gambesi 311,29 26,63 3814 2280 9 7

Fitu 331,15 21,42 6537 178 12 8

Jumlah 1.948,47 412,91 31.801 19.070 142 39

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Selatan, menunjukkan

bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran

drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi

(>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut

diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kalumata, kelurahan Tobona,

dan kelurahan Ngade (Gambar 36).

123

Gambar 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Selatan membentuk 4 (empat)

pola, yaitu pola pararel, pola siku, pola jaring-jaring dan pola grid iron. Pola

pararel pada jaringan drainase di lokasi ini berfungsi sebagai saluran pengumpul

untuk selanjutnya diteruskan ke saluran primer. Pola siku cocok untuk wilayah

dengan topografi dataran tinggi, dimana aliran air dapat dialiri dari saluran

sekunder yang dibuat lebih tinggi untuk mengaliri dengan baik langsung ke

sungai/laut. Pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung/pengumpul

sebelum masuk ke saluran sekunder. Beberapa saluran drainase sekunder yang

membentuk pola grid iron dibangun sejajar satu sama lain sedangkan saluran yang

lainnya dibuat sebagai saluran pengumpul.

Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Utara menunjukkan bahwa

terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 101 bangunan gorong-

gorong, 24.479 m saluran terseier, 18.703 m saluran sekunder yang berada di

permukiman 360,79 ha atau 24,33% dari jumlah luas wilayahnya 1.482,42 ha

(lihat Tabel 38).

124

Tabel 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara

Kelurahan

Luas

Wilayah

(ha)

Luas Lahan

Permukiman

(ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan

Drainase

Sekunder

(m)

Tersier

(m)

Gorong-

Gorong Sungai

Tabam 234,89 39,76 1602 142 5 -

Tafure 71,06 61,42 1959 106 3 1

Tubo 202,01 13,87 2663 454 5 1

Akehuda 52,79 34,82 2374 554 9 1

Dufa-Dufa 270,31 42,72 1825 1275 11 2

Sangaji 130,92 32,73 3700 6923 20 2

Toboleu 118,46 27,91 2725 2271 12 1

Salero 20,18 14,42 921 1741 12 1

Kasturian 59,67 20,53 3877 1841 11 1

Soasio 17,90 14,67 681 621 6 1

Soa 46,76 26,68 2122 2248 6 2

Sango 257,47 31,26 30 527 1 -

Jumlah 1.482,42 360,79 24.479 18.703 101 13

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Sebagian area permukiman di kecamatan Ternate Utara masih belum

terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi

dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi

tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kasturian, kelurahan

Tubo, dan kelurahan Sangaji (Gambar 37).

Gambar 37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara

125

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Utara membentuk 4 (empat)

pola, yaitu pola grid iron, pola radial, pola siku, dan pola jaring-jaring. Jaringan

drainase dengan pola grid iron yakni seluruh drainase tersier mengarah pada

drainase sekunder yang berada memanjang mengikuti jaringan jalan kemudian

masuk ke saluran primer (sungai) hingga menuju ke laut. Pola radial dibangun

agar supaya air berpencar ke segala arah sehingga air dibuang ke sebelah utara

yang merupakan lahan perkebunan, ke sebelah timur menuju drainase sekunder

sedangkan ke selatan menuju sungai. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi

sebagai saluran pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder.

Kecamatan Pulau Ternate memiliki 13 kelurahan, yang terdata memiliki

saluran drainase hanya 3 kelurahan yaitu kelurahan Kastela, Foramadiahi dan

Jambula. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate menunjukkan

bahwa terdapat 9 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 17 bangunan

gorong-gorong (Culvert), 2.247 m saluran tersier, 2.918 m saluran sekunder yang

sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor primer (jalan trans

Ternate). Jumlah luas wilayah kecamatan ini adalah 4.770,68 ha dengan luas

lahan permukiman 172,56 ha atau 3,62% dari luas jumlahnya. Kondisi saluran

drainase di kecamatan Pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 39.

Tabel 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate

Kelurahan

Luas

Wilayah

(ha)

Luas Lahan

Permukiman

(ha)

Panjang Drainase Jumlah Bangunan

Drainase

Sekunder

(m)

Tersier

(m)

Gorong-

Gorong Sungai

Kastela 144,48 11,07 955 415 9 5

Foramadiahi 491,59 5,63 825 958 6 2

Jambula 115,16 33,01 1138 874 2 2

Jumlah 751,23 49,71 2.918 2.247 17 9

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Kecamatan ini memiliki luas permukiman terkecil dibanding dengan

kecamatan lain, sehingga ikut berpengaruh pada jaringan drainase yang tersedia.

Jaringan drainase yang berada di kecamatan Pulau Ternate, menunjukkan bahwa

masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase.

Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Afetaduma,

kelurahan Rua, dan kelurahan Dorpedu (Gambar 38).

126

Gambar 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate

Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola

siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase

yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum

masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran

drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa

juga langsung menuju sungai.

Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama

kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan

Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol

membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas

tampung 800 m3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m

3/det. Namun hal

tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang

bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat

musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa

memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas

tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.

127

Limpasan air (run-off) dari wilayah belakang atau dari wilayah atas

(dataran tinggi) yang membebani saluran drainase di pusat kota (kelurahan

Gamalama dan sekitarnya) yang dapat menimbulkan genangan atau banjir lokal,

dapat diatasi dengan adanya riol di kelurahan Takoma. Apabila kawasan

permukiman berkembang di kawasan ini atau daerah atasnya, maka diketahui

koefisien pengaliran akan meningkat maka dapat dievakuasi masuk kedalam riol

tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa air limpasan dari daerah atas

yang kerap menimbulkan masalah banjir bagi kawasan pusat kota dapat diatasi

dengan saluran riol tersebut (Dinas PU Kota Ternate, 2008).

Identifikasi Daerah Genangan di Kota Ternate

Sistem drainase di kota Ternate masih terdapat saluran-saluran yang tidak

berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan genangan, misalnya di kelurahan

Gamalama, kelurahan Mangga Dua Utara, kelurahan Dufa-Dufa, kelurahan Tafure

dan Kelurahan Tubo (Lihat Tabel 40 dan Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh

rusaknya saluran drainase akibat dari sedimentasi dan tumpukan sampah pada

saluran yang menyumbat aliran air.

Tabel 40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate

Lokasi Genangan Banjir

Data Kuantitatif Genangan Area yang

Tergenang Luas

(ha)

Tinggi

(cm)

Waktu Konsentrasi

(menit)

Jl. Poros Tafure 0,4 15 15 Jalan

Kel. Tubo RT 03-08 1,7 20 90 Jalan dan rumah

penduduk

Jl. Poros Mangga Dua

(Depan SD Islamiyah) 0,2 10 12 Jalan

Kel. Gamalama

(Depan RS. Dharma Ibu) 0,3 15 15 Jalan

Kel. Dufa-Dufa

Lingkungan Toloko 0,7 20 30 Jalan dan rumah

penduduk

Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Faktor penyebab terjadinya banjir dan genangan di kota Ternate adalah

sebagai berikut :

a. Limpasan air dari sungai menggenangi dalam kota.

b. Limpasan air akibat kecepatan aliran air dalam saluran yang tinggi terutama

drainase yang berada pada jalan yang memiliki kemiringan.

128

c. Menurunnya kemampuan saluran/drainase akibat sedimentasi/endapan lumpur

dan penyumbatan akibat sampah.

d. Tidak cukupnya kapasitas saluran drainase kota.

e. Dimensi saluran yang mengecil akibat penyerobotan lahan permukiman atau

bangunan ataupun adanya bangunan di atas saluran.

f. Kemungkinan back water di saluran drainase atau di muara-muara sungai

karena air pasang atau karena sampah dan sedimentasi.

Gambar 39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Sistem Drainase

Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan

yang sangat penting dalam menangani kelebihan air permukaan sebelum masuk

ke alur-alur besar atau sungai. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari

kualitas sistem drainase yang ada. Kondisi sistem drainase yang ada di kota

Ternate memberikan gambaran bahwa masih terdapat wilayah yang belum

tersedia saluran drainase (khususnya dataran tinggi) dan daerah-daerah genangan

yang umumnya terjadi pada saluran-saluran yang berada di jalan-jalan pusat kota.

Waktu konsentrasi genangan tidak berlangsung lama (rata-rata 30 menit) dan

129

terjadi jika intensitas hujan tinggi. Namun demikian, genangan air tersebut dapat

memperlambat kendaraan yang melintas dan secara berjangka air dapat merusak

infrastruktur jalan. Selain itu, genangan air dapat menurunkan kualitas lingkungan

yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

Infrastruktur Persampahan

Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Persampahan

Pengelolaan sampah di kota Ternate merupakan tanggung jawab Dinas

Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola

pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Buku Deru-Deru terletak di

Kelurahan/Desa Takome Kecamatan Pulau Ternate merupakan tempat

pemrosesan akhir terhadap sampah perkotaan. Akses ke TPA ±15 km dari pusat

kota, dengan luas 60 ha dan kondisi topografisnya bergelombang pada bagian kaki

bukit, serta kemiringan lereng 8-15% kearah pantai dengan kondisi tanah

bebatuan.

Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open

dumping dengan zona aktif 5,25 ha dimanfaatkan sebagai lahan penimbunan

terbuka, 0,02 ha digunakan sebagai sarana dan prasarana pendukung TPA dan

bangunan komposting. Untuk lahan yang termasuk zona pasif seluas 7,80 ha

merupakan eks lahan penimbunan sampah sistem open dumping dan 0,4 ha sistem

controlled landfill. Sisa lahan ±46,52 ha merupakan zona penyangga yang

ditumbuhi oleh berbagai semak belukar dan tanaman non produktif. Fungsi zona

penyangga tersebut berguna untuk meredam dampak yang timbul dari aktivitas

TPA seperti bau dan kebisingan terhadap masyarakat yang bermukim di

sekitarnya (lihat Tabel 41 dan Gambar 39).

Tabel 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru No Area Luas (ha) Keterangan

1 Zona Pasif

TPA controlled landfill

Eks open dumping

1,12

0,40

Belum beroperasi

Tidak beroperasi

2 Zona Aktif

Open dumping

Bangunan sarana dan prasarana

Bangunan Komposting

5,25

0,18

0,01

3 Zona Penyangga

Semak belukar, tanaman non

produktif

53,03

Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2008)

130

Pengolahan sampah secara open dumping dinilai ekonomis terhadap biaya

serta mekanisme pelaksanaannya mudah, namun dampak yang ditimbulkan cukup

kompleks terhadap lingkungan sekitar TPA. Dampak yang ditimbulkan meliputi

pencemaran udara berupa bau, pencemaran air meliputi pengaruh fisik dan kimia

air serta penyakit yang ditularkan oleh perkembangbiakan hewan misalnya lalat,

tikus, kecoak, cacing dan berbagai hewan lainnya. Selain itu sistem sanitasi yang

tidak baik dapat menimbulkan pencemaran air, karena air lindi dapat

meresap/merembes secara terinfiltrasi masuk kedalam tanah yang dapat

menyebabkan pencemaran tanah, air permukaan maupun air sungai yang berada di

sekitarnya.

Secara teknis sistem pengolahan sampah dengan metode open dumping

dimulai dari kedatangan truck amroll atau dump truck yang mengangkut sampah

dari sumber sampah ke lokasi TPA, selanjutnya petugas pengawas lapangan

menunjukkan lokasi dimana sampah yang datang harus dibongkar, hasil

pembongkaran selanjutnya diratakan tanpa diberi timbunan penutup, hal ini

berlangsung setiap hari yang dilakukan oleh petugas pengelola di lokasi TPA.

Adapun mekanisme pengelolaan sampah di lokasi TPA diantaranya dengan cara

penimbunan, komposting, pemanfaatan sapi, serta daur ulang (recycling).

Dalam perencanaannya kedepan, sistem open dumping akan ditingkatkan

menjadi controlled landfill dengan mengambil lokasi dari zona aktif TPA seluas

1,12 ha (Dinas Kebersihan Kota Ternate, 2008). Penyiapan prasarana untuk

controller landfill telah dilaksanakan sebagian seperti penyediaan area sel dengan

sistem geomembran. Pemrosesan air lindi yang terdiri dari 3 (tiga) kolam, yaitu

kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi, pipa saluran air lindi yang

meliputi pipa primer 6” dan pipa sekunder 4”, dan pembuatan sumur kontrol

kualitas air sebanyak 3 buah. Akan tetapi prasarana tersebut belum dapat

dipergunakan karena ada beberapa hal teknis yang masih dipertimbangkan.

131

Gambar 40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate

Pengelolaan persampahan di Kota Ternate hingga saat ini baru

menjangkau 28 kelurahan pada 3 kecamatan di Kota Ternate yang terbagi dalam

10 blok pelayanan. Pada kecamatan Ternate Utara hanya dapat menjangkau 12

kelurahan dari jumlah14 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 3 blok pelayanan.

Sementara untuk kecamatan Ternate Tengah hanya mampu menjangkau kelurahan

yang berada di sekitar kawasan pesisir yaitu 12 kelurahan dari jumlah 15

kelurahan dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Ternate Selatan hanya

terlayani 12 kelurahan dari jumlah17 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 4 blok

pelayanan. Kecamatan Pulau Ternate belum sama sekali terlayani untuk

pengangkutan sampah ke TPA. Namun demikian lokasi Tempat Pembuangan

Sementara (TPS) tersebar merata di seluruh kecamatan (lihat Gambar 40).

Cakupan pelayanan pada tahun 2010 sebesar 80,02% dari jumlah penduduk Kota

Ternate (lihat Tabel 42).

132

Tabel 42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate

Lokasi

Volume TPA Produksi Sampah Dan Tingkat Pelayanan

Luas

(ha)

Luas Terpakai

(ha)

Produksi sampah Jumlah Tingkat

Pelayanan (jiwa) Per hari

(m3)

Per hari

lt/hari

TPA

Buku Deru-

Deru

(Kel.Takome)

56 3 145 2,5

80,02 %

dari jumlah

penduduk kota

Ternate

Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)

Komparasi Ketersediaan InfrastrukturPersampahan Berdasarkan Standar SNI

19-2454-2002

Kondisi eksisting penanganan persampahan di Kota Ternate dianalisis

menggunakan beberapa pola pelayanan yang disesuaikan dengan SNI 19-2454-

2002, dengan wilayah pelayanan antara lain :

1. Sampah Rumah Tangga

Untuk daerah permukiman menggunakan pola pelayanan dengan sistem

pola individual langsung atau sistem door to door yaitu sampah dikumpulkan dan

diangkut dengan dump truk dari sumbernya ke TPA. Masyarakat hanya

mengumpulkan dengan kantong-kantong plastik dan meletakkan dipinggir jalan.

Pola pelayanan tersebut sering menimbulkan kemacetan atau sulitnya kendaraan

berlintasan di permukiman yang jalannya sempit. Selain itu sistem door to door

ini waktu tempuh pengumpulan dan pengangkutan sampah menjadi lebih lama.

2. Sampah Perkantoran

Pola pelayanan sampah perkantoran menggunakan pola komunal langsung

yaitu sampah dikumpulkan pada wadahnya/TPS kemudian langsung diangkut ke

TPA menggunakan dump truk.

3. Sampah Jalan, Taman dan Drainase.

Pengumpulan sampah jalan, taman dan drainase pada umumnya dilakukan

pembersihan sampah dan dikumpulkan pada bak sampah kemudian diangkut

langsung ke TPA.

4. Sampah Pasar

Untuk areal pasar, pola pelayanan yang dipakai adalah pola kumunal

langsung yaitu sampah diangkut langsung ke TPA setelah sampah dikumpulkan

warga pasar dalam kontainer yang disediakan Dinas Kebersihan Kota Ternate.

133

namun demikian, ada pula sampah yang sebagian diolah (komposting) misalnya

di wilayah kelurahan Gamalama yang menyediakan bangunan komposting untuk

mengolah sampah yang berasal dari pasar.

Merujuk pada SNI 19-3983-1995 tentang spesifikasai timbulan sampah

untuk ukuran kota kecil yaitu 2,5–2,75 lt/org/hari, maka timbulan sampah yang

diangkut ke TPA telah sesuai dengan standar yang ada (lihat Tabel 42) dengan

komposisi sampah terlihat pada Tabel 44. Ini berarti bahwa dengan jumlah

penduduk kota Ternate di tahun 2010 yang mencapai 174.945 jiwa menghasilkan

produksi sampah sebesar 2,5 lt/hari, dengan komposisi sampah terbesar yaitu dari

komponen sampah sisa makanan (organik). Namun timbulan sampah yang tidak

terangkut ke TPA belum dapat diketahui, karena adanya lokasi (kelurahan) yang

belum terlayani pengangkutan sampah misalnya pada kelurahan-kelurahan yang

berada di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 39).

Tabel 43. Komposisi Sampah Kota Ternate

No Komponen Sampah Berat Sampah per

Komponen di TPA (kg)

Persentase

(%)

1

2

3

4

5

6

7

Sisa Makanan (organik)

Kertas

Plastik

Kaca/botol gelas

Kulit

Logam

Kaleng

63,82

2,51

3,40

2,88

0,21

2,48

3,19

81,31

3,20

4,33

3,67

0,27

3,16

4,06

Jumlah 78,49 100,00

Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)

Adapun produksi sampah dan kapasitas pelayanan mulai dari tahun 2005

sampai 2008 disajikan pada Tabel 44.

Tabel 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008

Tahun Jumlah

Penduduk (jiwa)

Jumlah Penduduk Terlayani

Jumlah Penduduk

Tidak Terlayani

Produksi Sampah

Diangkut ke TPA

Tidak diangkut ke TPA

jiwa % jiwa % m3/tahun m3/tahun % m3/tahun %

2005

2006 2007 2008

163.166

165.961 171.722 185.453

134.499

141.272 142.134 153.925

82

85 83 83

28.667

24.689 29.588 31.528

18

15 17 17

129.240

131.400 136.080 146.880

77.040

80.280 82.800 90.000

60

61 61 61

52.200

51.120 53.280 56.880

40

39 39 39

Kapasitas pelayanan sampah dari tahun 2005 hingga tahun 2008,

menunjukkan adanya peningkatan pelayanan. Ini ditandai dengan meningkatnya

tingkat pelayanan pada tahun 2005 hanya mampu melayani penduduk 134.499

134

jiwa (82%) dari jumlah penduduk meningkat 153.925 jiwa (83%) di tahun 2008.

Jumlah penduduk yang tidak terlayani hanya berkisar 17%-18% dari jumlah

penduduk di tahun 2005-2008. Hal ini tentunya berpengaruh pada kapasitas

angkut sampah, dimana produksi sampah yang dihasilkan tidak secara

keseluruhan diangkut ke TPA. Tercatat dari Tabel 44 bahwa produksi sampah

pada tahun 2008 yaitu 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 90.000

m3/tahun (61%) atau adanya produksi sampah yang tidak terangkut berkisar

56.880 m3/tahun (39%).

Sampah yang tidak terangkut ke TPA, umumnya dikelola masyarakat

dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi

pantai. Fenomena tersebut sudah membudaya dan berlangsung sejak lama. Hal ini

mengakibatkan terjadinya pencemaran air di sekitar tepian pantai. Contoh kasus

ialah pada kawasan permukiman yang berada diatas air (rumah gantung) di

kelurahan Makassar Timur, sebelumnya tidak difasilitasi dengan sarana sanitasi

dan persampahan yang ideal sehingga badan air sangat mudah tercemar oleh

aktivitas masyarakat yang membuang sampah ataupun MCK di tepian pantai

tersebut (Djafar, 2004). Kawasan permukiman tersebut sangat terlihat kumuh dan

tepat berada di kawasan waterfront, sehingga sangat menganggu estetika kota.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Infrastruktur Persampahan

Sampah di kota Ternate dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate

semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat

Pembuangan Akhir (TPA). Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan

sistem open dumping yang dinilai ekonomis dalam hal biaya serta mekanisme

pelaksanaannya yang mudah, namun berdampak terhadap lingkungan sekitar

TPA.

Pengelolaan persampahan di Kota Ternate telah menjangkau 28 Kelurahan

dari 59 kelurahan yang berada di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 (sepuluh)

blok pelayanan. Kapasitas pelayanan sampah pada tahun 2005-2008 cenderung

meningkat dari 82% (134.499 jiwa) menjadi 83% (153.925 jiwa). Produksi

sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Produksi

sampah pada tahun 2008 adalah 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA

61% dan sampah yang tidak terangkut berkisar 39%. Sampah yang tidak terangkut

135

ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan

membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya

pencemaran lingkungan di sekitarnya.

Dengan demikian, pengelolaan sampah di Kota Ternate memerlukan

perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena hal ini berkaitan erat

dengan keindahan kota dan kesehatan masyarakat. Semakin besar ukuran suatu

kota, maka masalah persampahan semakin sulit ditangani karena jumlah

bangkitan sampah semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi

Prasarana Pendidikan

Kondisi Eksisting Prasarana Pendidikan

Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen

sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan

jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan

pendidikan nasional. Secara berjenjang pendidikan dasar terdiri dari pendidikan

anak usia dini meliputi taman kanak-kanak, raudhatul athfal, kelompok bermain

dengan masa pendidikan 2-3 tahun, pendidikan dasar 6 tahun meliputi sekolah

dasar, madrasah ibtidaiyah, kelompok belajar paket A, dan pendidikan dasar 3

tahun meliputi sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan kelompok

belajar paket B.

Sebaran prasarana pendidikan dasar di kota Ternate tahun 2010 adalah

jumlah TK 42 unit, jumlah SD 96 unit, jumlah SMP sebesar 19 unit, jumlah

SMU/SMK sebesar 19 unit. Sebaran prasarana pendidikan dasar pada setiap

jenjang dikaitkan dengan jumlah peserta didik (siswa) dan jumlah tenaga pendidik

(guru). Jumlah prasarana pendidikan dasar di Kota Ternate disajikan dalam Tabel

45 dan Tabel 46.

Tabel 45. Jumlah Prasarana Pendidikan

Kecamatan Jumlah Praarana Pendidikan

TK SD SLTP SMU/SMK

Pulau Ternate 7 13 4 1

Ternate Selatan 12 33 8 7 Ternate Tengah 12 27 5 6

Ternate Utara 11 23 2 5

Kota Ternate 42 96 19 19

Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

136

Tabel 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik

Kecamatan TK SD SLTP SMU/SMK

Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru

Pulau Ternate 249 37 1.637 189 440 64 118 33

Ternate Selatan 395 56 5.912 391 2.088 208 1.630 197 Ternate Tengah 396 62 6.283 372 2.473 187 3.213 255

Ternate Utara 381 57 3.819 274 1.502 96 2.353 280

Kota Ternate 1.421 212 17.651 1.226 6.503 555 7.314 765

Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Komparasi Ketersediaan Prasarana Pendidikan Berdasarkan Standar SNI 19-

2454-2002

Perencanaan fasilitas pendidikan yang didasarkan pada tujuan pendidikan,

harus menyediakan ruang belajar untuk mengembangkan pengetahuan,

keterampilan, serta sikap siswa (peserta didik) secara optimal. Penyedian fasilitas

pendidikan di suatu wilayah harus mempertimbangkan usia anak sekolah yang

membutuhkan pendidikan, pendekatan ruang setiap unit dalam lingkungan, dan

memperhatikan jangkauan radius pelayanan.

Kebutuhan prasarana pendidikan berdasarkan SNI-03-1733-2004,

dianalisis dari jumlah penduduk (usia anak sekolah) secara berjenjang dari unit

terendah (PAUD/TK) hingga unit tertinggi (SMU/SMK). Kebutuhan taman

kanak-kanak (TK) per 1.250 jiwa dengan radius 500 meter, dimana 1 gedung

sekolah minimal terdapat 2 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 25-30 siswa dan

berada di dalam lingkungan perumahan. Sekolah Dasar (SD) per 1.600 jiwa

dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang

belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa serta berada di dalam lingkungan

perumahan bergabung dengan taman dan ruang terbuka hijau. Sekolah Menengah

Pertama (SLTP) per 4.800 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah

minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa dan dapat

bergabung dengan Sekolah Dasar serta akses pencapaian dapat juga ditempuh

dengan kendaraan dan berlokasi di jalan lokal atau jalan lingkungan perumahan.

Dengan mengetahui jumlah anak usia sekolah, maka secara langsung akan

diketahui kebutuhan prasarana pendidikan dalam suatu wilayah. Hingga tahun

2010, jumlah usia sekolah di Kota Ternate pada masing-masing jenjang

pendidikan disajikan pada Tabel 47.

137

Tabel 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar

Kecamatan Umur 0-4

Tahun (jiwa)

Umur 5-9

Tahun (jiwa)

Umur 10-14

Tahun (jiwa)

Umur 15-19

Tahun (jiwa)

Pulau Ternate

Ternate Selatan

Ternate Tengah

Ternate Utara

2.243

4.807

5.952

4.020

1.798

6.038

6.311

3.974

1.938

3.277

3.954

2.819

2.595

3.121

4.412

3.892

Kota Ternate 17.022 18.121 11.988 14.020

Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK)

Usia sekolah untuk pendidikan usia dini (TK) diasumsikan rata-rata 2-4

tahun sebanyak 10.000 jiwa (Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar ialah 333

kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @ 25-30 siswa) atau 167 sekolah

(1 gedung sekolah minimal 2 ruang belajar).

Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting TK yang ada di Kota Ternate

(tahun 2010) yang hanya berkisar 42 unit sekolah atau ketersediaan hanya

berkisar 25% (lihat Tabel 48), maka ketersediaan gedung sekolah TK belum

mencukupi dari segi jumlah penduduk usia sekolah yang terlayani. Dari

perhitungan tersebut maka terlihat bahwa masih kekurangan fasilitas sekolah

sebanyak 125 unit (75%). Jumlah penduduk yang tercatat sebagai siswa TK hanya

berkisar 1.421 siswa, sementara dengan melihat jumlah anak usia sekolah

pendidikan usia dini sebanyak 10.000 jiwa menunjukkan bahwa masih ada sekitar

8.000 jiwa (75%) yang belum mendapatkan akses pendidikan TK.

Tabel 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate

Kecamatan Jumlah

Penduduk

(Usia 0-4)

Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan

Ket Anak Usia Sekolah*

Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %

Pulau Ternate 2.243 1.300 22 249 7 32 15 68 Tidak cukup

Ternate Selatan 4.807 2.800 47 395 12 26 35 74 Tidak cukup

Ternate Tengah 5.952 3.500 58 396 12 21 46 79 Tidak cukup

Ternate Utara 4.020 2.400 40 381 11 28 29 73 Tidak cukup

Kota Ternate 17.022 10.000 167 1.421 42 25

125 75

Tidak Cukup

*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 0-4 tahun

Akses pencapaian sekolah TK pada masing-masing kecamatan rata-rata

berada pada radius <500 m dan berada pada lingkungan perumahan. Sebaran

138

fasilitas pendidikan TK, umumnya merata pada 3 (tiga) kecamatan, yaitu

kecamatan Ternate Utara, kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate

Selatan. Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate hanya terdapat 8 sekolah TK

yang hanya tersebar pada beberapa kelurahan, sehingga ada sekitar 6 kelurahan

yang tidak mendapatkan akses fasilitas gedung sekolah. Namun demikian, jumlah

sekolah tentunya berkaitan dengan jumlah usia anak sekolah, dimana jumlahnya

di kecamatan Pulau Ternate lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan

lainnya, sehingga sebaran fasilitas gedung sekolah lebih sedikit atau terbatas

(Gambar 41).

Gambar 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD)

Pendidikan sekolah dasar (SD) dengan usia sekolah 6-12 tahun

diasumsikan jumlah penduduk sebanyak 17.800 jiwa (dianalisis dari Tabel 47),

maka kebutuhan ruang belajar adalah 445 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1

ruang kelas @40 siswa) atau 74 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang

belajar).

139

Ketersediaan SD di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 96 sekolah,

maka ketersediaan sekolah SD telah melebihi dari standar jumlah penduduk yang

terlayani. Meskipun demikian, belum secara keseluruhan jumlah usia anak

sekolah SD mendapat akses pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa

SD yang terdaftar sebanyak 17.651 siswa, sedangkan jumlah usia sekolah SD

sebanyak 17.800 jiwa, sehingga diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 150

jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan SD. Selanjutnya dapat disajikan

pada Tabel 49.

Tabel 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate

Kecamatan Jumlah

Penduduk (Usia 5-14)

Kebutuhan Ketersediaan

Keterangan Anak Usia Sekolah*

Sekolah Siswa Sekolah

Pulau Ternate 3.736 2.200 9 1.637 13 Cukup Ternate Selatan 9.315 5.500 23 5.912 33 Cukup Ternate Tengah 10.265 6.100 25 6.283 27 Cukup Ternate Utara 6.793 4.000 17 3.819 23 Cukup

Kota Ternate 30.109 17.800 74 17.651 96 Cukup

*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 6-12 tahun

Akses pencapaian sekolah SD pada masing-masing kecamatan terbilang

mudah, karena memiliki sebaran merata pada tiap kelurahan. Rata-rata akses

pencapaian ke fasilitas SD berada pada radius <1.000 m dan berada pada

lingkungan perumahan maupun jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder.

Umumnya fasilitas gedung sekolah yang berada di jalan lokal primer dan jalan

kolektor sekunder terkonsentrasi di pusat kota, yaitu pada kecamatan Ternate

Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara. Sebaran

fasilitas pendidikan SD yang terlihat pada Gambar 42 menunjukkan sebaran

merata pada 4 (empat) kecamatan dan kecamatan Ternate Selatan memiliki

ketersediaan sekolah SD yang lebih banyak yaitu 33 sekolah. Jumlah siswa yang

hanya 5.912 siswa di kecamatan Ternate Selatan lebih kecil dibandingkan

kecamatan Ternate Tengah, sehingga secara keseluruhan kecamatan Ternate

Tengah lebih cenderung mempunyai daya tampung terpadat dibandingkan dengan

kecamatan lainnya (lihat Tabel 49).

140

Gambar 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama

Kebutuhan prasarana pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) dengan

usia sekolah 13-15 tahun, diasumsikan jika jumlah penduduk usia sekolah

sebanyak 7.400 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 185 kelas (standar SNI

03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 30 sekolah (1 gedung sekolah

minimal 6 ruang belajar).

Jika sarana pendidikan SLTP yang ada di kota Ternate pada tahun 2010

sebanyak 19 unit sekolah (cakupan pelayanan 12%) dengan jumlah siswa

sebanyak 6.503 siswa (Tabel 50), maka ketersediaan sekolah masih kurang dari

standar untuk dapat melayani jumlah usia sekolah tingkat pertama. Berdasarkan

perhitungan tersebut, maka diasumsikan bahwa masih dibutuhkan sarana sekolah

sekitar 11 unit (37%) untuk dapat menampung sekitar 900 jiwa (jumlah penduduk

usia sekolah) yang tersisa.

141

Tabel 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate

Kecamatan Jumlah

Penduduk (Usia 10-19)

Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan

Ket Anak Usia Sekolah*

Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %

Pulau Ternate 4.533 1.200 6 440 4 67 2 33 Tidak cukup

Ternate Selatan 6.398 1.900 7 2.088 8 100 - - Cukup

Ternate Tengah 8.366 2.400 10 2.473 5 50 5 50 Tidak cukup

Ternate Utara 6.711 1.900 7 1.502 2 29 5 71 Tidak

cukup

Kota Ternate 26.008 7.400 30 6.503 19 63 11 37

Tidak Cukup

*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 13-15 tahun

Gambar 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP

Akses pencapaian sekolah SLTP pada masing-masing kecamatan yang

terlihat pada Gambar 43 memiliki sebaran merata hampir pada tiap kecamatan.

Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas sekolah berada pada radius <1 km untuk

kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan, sedangkan

untuk kecamatan Ternate Utara, kecamatan Pulau Ternate dan sebagian

kecamatan Ternate Selatan berada pada radius >1 km atau jarak terjauh dengan

radius 2 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer maupun

142

terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah

meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke

fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian

kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar 10-15 menit. Sementara untuk wilayah

kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu

tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi.

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Sekolah Menengah Umum/Kejuruan

Usia sekolah untuk pendidikan sekolah menengah baik umum maupun

kejuruan (SMU/SMK), diasumsikan rata-rata 16-18 tahun dengan perhitungan

jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 8.200 jiwa, maka kebutuhan ruang

belajar adalah 200 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa)

atau dibutuhkan sekitar 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar).

Jika sarana pendidikan SMU/SMK yang ada di kota Ternate pada tahun

2010 diketahui sebanyak 19 unit sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 7.314

siswa (Tabel 51), maka berdasarkan standar ketersediaan sekolah masih kurang

untuk dapat melayani jumlah usia sekolah menengah. Bila dibandingkan dengan

jumlah penduduk untuk usia sekolah, maka diasumsikan bahwa masih terdapat

sekitar 1.000 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan dan masih

kekurangan fasilitas sekolah adalah 15 unit (44%).

Tabel 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate

Kecamatan Jumlah

Penduduk (Usia 15-19)

Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan

Ket Anak Usia Sekolah*

Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %

Pulau Ternate 2.595 1.500 6 118 1 17 5 83 Tidak cukup

Ternate Selatan 3.121 1.800 7 1.630 7 100 - - Cukup

Ternate Tengah 4.412 2.600 10 3.213 6 60 4 40 Tidak cukup

Ternate Utara 3.892 2.300 9 2.353 5 56 4 44 Tidak cukup

Kota Ternate 14.020 8.200 34 7.314 19 56 15 44 Tidak Cukup

*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 16-18 tahun

143

Gambar 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK

Akses pencapaian ke fasilitas sekolah SMU/SMK pada masing-masing

kecamatan (lihat Gambar 44) memiliki sebaran cenderung bergerombol pada

wilayah pusat kota (berada atau dekat kecamatan Ternate Tengah). Radius

pencapaian dari permukiman ke fasilitas sekolah untuk kecamatan Ternate Tengah

dan kecamatan Ternate Selatan <1 km, sedangkan untuk kecamatan Ternate

Utara dan kecamatan Pulau Ternate berada pada radius >1 km atau radius terjauh

hingga 3 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer dan

jalan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses pencapaiannya.

Waktu tempuh tiap kecamatan berbeda, misalnya untuk kecamatan Pulau Ternate

membutuhkan waktu tempuh >30 menit untuk menuju sekolah, dibanding 3 (tiga)

kecamatan lainnya yang cenderung membutuhkan waktu <15 menit. Perbedaan

jarak antara permukiman dan fasilitas pelayanan menyebabkan adanya perbedaan

dalam waktu tempuh.

144

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Pendidikan

Analisis jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia sekolah pada tiap

jenjang pendidikan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan sarana dan prasarana

pendidikan dasar belum mencukupi. Fasilitas pendidikan yang belum mencukupi

diantaranya sekolah TK, SLTP dan SMU/SMK, sedangkan fasilitas sekolah SD

telah mencukupi standar pelayanan. Jika jumlah penduduk usia sekolah

dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan,

maka diketahui masing-masing jenjang pendidikan masih membutuhkan fasilitas

sekolah TK 75%, SLTP 36% dan SMU/SMK 44%. Jumlah usia sekolah untuk

jenjang pendidikan usia dini (TK) lebih tinggi untuk kategori yang belum

mendapatkan akses pendidikan. Hal ini disebabkan karena umumnya usia sekolah

TK di Kota Ternate rata-rata setelah 4 tahun, sehingga jumlah anak yang

bersekolah di TK hanya separuh dari jumlah yang ada. Sementara ketentuan

pendidikan anak usia dini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan ialah usia sekolah untuk jenjang tersebut antara 2-5 tahun.

Sebaran fasilitas pendidikan berhubungan dengan jumlah penduduk usia

sekolah di suatu wilayah. Jumlah penduduk usia sekolah yang lebih banyak

misalnya pada Kecamatan Ternate Tengah (pusat kota), maka ketersediaan

fasilitas akan semakin tinggi. Pola sebaran terlihat merata pada tiap kelurahan

untuk sarana pendidikan SD, sedangkan untuk sarana pendidikan TK, SLTP, dan

SMU/SMK lebih cenderung (lebih banyak) terkonsentrasi di pusat kota. Akses

pencapaian pada jenjang pendidikan TK dan SD telah memenuhi standar dengan

radius pencapaian masing-masing >500 m dan >1 km. Jenjang pendidikan SLTP

dan SMU/SMK di kecamatan Pulau Ternate memiliki jarak tempuh dalam radius

terjauh masing-masing 2 km dan 3 km, dan untuk wilayah sekitar pusat kota yang

meliputi 3 (tiga) kecamatan memiliki radius ke fasilitas pendidikan < 1 km.

Pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk dapat meningkatkan

kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Jumlah

fasilitas atau sarana penunjang yang lengkap berkorelasi positif terhadap kualitas

pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik dapat memainkan peran kunci dalam

membentuk sumberdaya manusia untuk menciptakan, menyerap teknologi

modern, dan untuk mengembangkan kapasitas serta menyebarluaskan

145

pengetahuan. Secara makro mutu pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan

daya saing bangsa.

Prasarana Kesehatan

Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan

Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam

mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk

mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah

didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut.

Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733-

2004 adalah sebagai berikut :

a. Posyandu

b. Balai Pengobatan Warga

c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin)

d. Puskesmas dan Balai Pengobatan

e. Puskesmas

f. Tempat Praktek Dokter

g. Apotek

Kondisi eksisiting ketersediaan prasarana kesehatan di Kota Ternate pada

tahun 2011 meliputi, 6 rumah sakit, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik/balai

pengobatan, 6 puskemas, 9 puskesmas pembantu, 21 posyandu, 47 tempat praktek

dokter dan 26 Apotek (dilihat pada Tabel 52).

Tabel 52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate

Prasarana Kesehatan

Kecamatan

Jumlah Pulau

Ternate

Ternate

Selatan

Ternate

Tengah

Ternate

Utara

Posyandu 3 5 2 11 21

Poliklinik/Balai Pengobatan - - 1 - 1

Rumah Sakit Bersalin - 1 1 1 3

Puskesmas 1 2 2 1 6 Puskesmas Pembantu 2 2 2 3 9

Tempat Praktek Dokter - 11 32 4 47

Apotek - 7 15 4 26

Rumah Sakit - 1 4 1 6

Jumlah 6 29 59 25 119

Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

146

Kecamatan Ternate Tengah memiliki prasarana kesehatan terbanyak dari

pada kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pusat pelayanan kesahatan

terkonsentrasi pada kecamatan Ternate Tengah. Puskesmas, Puskesmas Pembantu

dan Posyandu terlihat sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan (lihat Gambar

45). Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum

kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Sementara

sarana dan prasarana kesehatan lainnya misalnya rumah sakit, rumah sakit

bersalin, balai pengobatan, tempat praktek dokter maupun apotek hanya terpusat

pada wilayah yang berada di pusat kota atau sekitar pusat kota yaitu pada

kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate

Utara.

Gambar 45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate

Komparasi Ketersediaan Prasarana Kesehatan Berdasarkan Standar SNI 03-

1733-2004

Jangkauan radius pelayanan fasilitas kesehatan dipertimbangkan terkait

dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi dalam melayani suatu

wilayah. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, kebutuhan Posyandu dengan ratio

147

pelayanan per 2.500 jiwa berada pada radius pelayanan 1 km2, balai kesejahteraan

ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per 30.000 jiwa radius pelayanan 4 km2,

puskesmas pembantu dan balai pengobatan per 30.000 jiwa radius pelayanan 1,5

km2, puskesmas dan balai pengobatan per 120.000 jiwa dengan radius pelayanan

3 km2, tempat praktek dokter per 5.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km

2,

dan Apotek per 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2.

Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate

Prasarana Kesehatan

Kecamatan

Pulau Ternate (15.024 jiwa)*

Ternate Selatan (65.888 jiwa)*

Ternate Tengah (54.677 jiwa)*

Ternate Utara (47.724 jiwa)*

Rumah Sakit

Kebutuhan1 - 1 1 1 Ketersediaan - 1 4 1

Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup

Rumah Sakit Bersalin

Kebutuhan2 - 2 1 1 Ketersediaan - 1 1 1 Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup

Puskesmas

Kebutuhan3 1 1 1 1 Ketersediaan 1 2 2 1

Keterangan cukup cukup cukup cukup

Posyandu

Kebutuhan4 3 13 10 9 Ketersediaan 3 13 10 11

Keterangan cukup cukup cukup cukup

Praktek Dokter

Kebutuhan5 3 13 11 10

Ketersediaan - 11 32 4

Keterangan tidak cukup tidak cukup cukup tidak cukup

Apotek

Kebutuhan6 - 2 1 1

Ketersediaan - 7 15 4 Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup

* Jumlah Penduduk tahun 2011 1 Standar 150.000 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 120.000 jiwa; 4 Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000 jiwa; 6 Standar 30.000 jiwa;

Evaluasi ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat didasarkan pada

jumlah layanan dari jenjang terendah yakni posyandu, puskesmas atau balai

pengobatan hingga jenjang tertinggi yakni rumah sakit. Ketersediaan fasilitas

yang terlihat pada Tabel 53 menunjukkan bahwa untuk fasilitas posyandu, rumah

sakit, praktek dokter dan apotek sebarannya tidak merata. Fasilitas tersebut

cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota.

Jumlah posyandu terbanyak berada di Kecamatan Ternate Utara dengan

jumlah penduduk hanya berkisar 47.724 jiwa, sehingga masyarakat terlayani

untuk setiap Posyandu adalah sekitar 4.000 jiwa. Untuk fasilitas Puskemas di

Kecamatan Ternate Utara memiliki 1 Puskesmas yang melayani 47.724 jiwa.

Sama halnya pada kecamatan Pulau Ternate yang memiliki 1 Puskesmas untuk

dapat melayani 15.024 jiwa, namun jumlah tersebut masih memenuhi standar SNI

148

03-1733-2004 untuk 30.000 jiwa/Puskesmas. Kapasitas pelayanan Puskesmas

juga masih tercukupi untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate

Selatan.

Fasilitas praktek dokter dan apotek terpusat di beberapa lokasi, sehingga

sebarannya tidak merata. Kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas tersebut

paling banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Untuk itu pelayanan

kesehatan di kecamatan ini tergolong lebih tinggi. Selain itu faktor kemudaan

dalam akses pencapaian menjadi faktor utama dalam penyediaan tempat praktek

dokter dan apotek, dimana hampir keseluruhan berada pada jalan-jalan utama

(jalan kolektor).

Akses pencapaian dari permukiman ke fasilitas kesehatan didukung oleh

adanya jaringan jalan untuk menuju ke lokasi sarana kesehatan. Wilayah

pelayanan posyandu rata-rata berjarak <0,5 km dengan waktu tempuh <25 menit,

puskesmas rata-rata 1-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, RSB/BKIA dan RS

jarak rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >40 menit, dan praktek dokter

maupun apotek berjarak rata-rata 0,5-1 km dengan waktu tempuh <30 menit.

Umumnya lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat

kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga untuk akses

ke fasilitas kesehatan sangat mudah. Kondisi jaringan jalan yang baik menjadi

titik tolak terpenting untuk melayani pertolongan pertama/tindakan darurat. Akses

pencapaian ke sarana kesehatan berkaiatan dengan jaringan jalan dari jenjang

jalan lingkungan hingga jalan kolektor. Jarak pencapaian ke fasilitas kesehatan

oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 54.

Tabel 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan

Kecamatan

Radius Pencapaian

Posyandu

(km)

Puskesmas

(km)

RSB/

BKIA

(km)

RS

(km)

Praktek

Dokter

(km)

Apotek

(km)

Pulau Ternate

Ternate Selatan

Ternate Tengah

Ternate Utara

0,5-1

0,2-0,5

0,2-0,5

0,2-0,5

5-6

2-3

1-2

2-3

6-7

2-3

1-2

4-5

6-7

2-3

1-1,5

3-4

6-7

1,5-2

0,5-1

1,5-2

6-7

1-1,5

0,5-1

1,5-2

149

Radius pencapaian dari permukiman di kecamatan Pulau Ternate ke

berbagai fasilitas kesehatan sangat jauh yakni berkisar 6-7 km. Hal ini disebabkan

karena minimnya fasilitas yang ada di kecamatan ini, sehingga untuk menjangkau

fasilitas kesehatan yang terdekat harus menempuh radius jarak hingga 7 km

dengan waktu tempuh > 1 jam.

Untuk akses ke fasilitas kesehatan di kecamatan Ternate Tengah,

kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara tergolong sangat mudah.

Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk

menuju fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, rumah sakit, atau praktek dokter

berjarak rata-rata < 1 km. Sebaran sarana dan prasarana kesehatan masyarakat di 3

(tiga) kecamatan tersebut rata-rata berjarak 1-2,5 km. Pencapaian dari

permukiman ke sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terlayani mulai dari

lingkungan hingga ke jenjang kecamatan. Jarak pencapaian terpenuhi atau sesuai

standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Kesehatan

Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kota Ternate menunjukkan sebaran

tidak merata untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek, dan

cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Lokasi

pelayanaan pada tiap kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan

kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses ke

fasilitas kesehatan. Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebarannya merata pada

tiap-tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan

minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Ini

berarti ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan telah memenuhi standar

pelayanan minimum.

Prasarana Niaga dan Perdagangan

Kondisi Eksisting Prasarana Niaga dan Perdagangan

Dasar penyediaan fasilitas niaga dan perdagangan selain berdasarkan

jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan

desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Lokasi

penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan

150

terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani

pada area tertentu.

Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan

dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang

tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga

dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai

berikut:

1. Toko/warung.

2. Pertokoan, Rumah Toko.

3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan.

4. Mini Market/Swalayan kecil.

5. Supermarket/Pasar Swalayan.

6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall.

Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate

pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit

Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya

pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan 3.152 unit toko/warung tersebar di semua

kecamatan (lihat Tabel 55).

Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan

Kecamatan Toko/

Warung

Pasar

Tradisional Minimarket

Pusat

Pertokoan

(Ruko)

Pusat

Perbelanjaan/

Mall

Pulau Ternate

Ternate Selatan

Ternate Tengah

Ternate Utara

204

815

1.379

754

-

1

1

1

-

13

6

2

-

2

6

3

-

-

2

-

Jumlah 3.152 3 21 11 2

Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, khususnya untuk fasilitas

toko/warung memiliki sebaran merata di seluruh kecamatan yang ada di Kota

Ternate. Fasilitas ini yang melayani kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang

bermukim di kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya

fasilitas niaga dan perdagangan lainnya misalnya pasar tradisional maupun

minimarket di wilayah tersebut. Berdasarkan standar kebutuhan, maka jumlah

penduduk manjadi acuan sebagai faktor penyediaan sarana niaga dan

151

perdagangan. Jumlah penduduk kecamatan Pulau Ternate yang hanya berkisar

14.692 jiwa, belum mencukupi standar pelayanan untuk fasilitas pasar atau

minimarket. Namun demikian akses ke prasarana tersebut cukup mudah karena

ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai, yakni adanya jalan

kolektor primer (jalan trans Ternate) sehingga memudahkan akses pencapaian ke

pusat kota.

Sebaran prasarana niaga dan perdagangan skala besar misalnya pusat

perbelanjaan/Mall, atau pusat pertokoan (ruko) yang ada di Kota Ternate, hampir

semuanya terkonsentrasi di pusat kota atau dekat pusat kota. Sementara untuk

pasar tradisional seperti yang terlihat dalam Gambar 46, menunjukkan pola

sebaran merata di masing-masing kecamatan, meskipun wilayah kecamatan Pulau

Ternate tidak terlayani pasar tradisional. Secara makro, kecamatan Ternate

Tengah memiliki fasilitas niaga dan perdagangan yang lengkap, atau dengan kata

lain bahwa aglomerasi fasilitas niaga dan perdagangan berada di kecamatan ini.

Hal ini berkaitan pula dengan peruntukan Bagian Wilayah Kota I (BWK I)

berdasarkan RTRW Kota Ternate, dimana kecamatan Ternate Tengah difokuskan

sebagai pusat perdagangan skala kota/lokal.

Gambar 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate

152

Studi Komparasi Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Berdasarkan

Standar SNI 03-1733-2004

Kebutuhan fasilitas niaga dan perdagangan berdasarkan SNI-03-1733-

2004 dianalisis berdasarkan ratio jumlah penduduk terlayani dan radius

pelayanannya. Kebutuhan toko/warung ratio per 250 jiwa dengan radius 300 m,

dan pertokoan/ruko ratio 6.000 jiwa dengan radius 2 km berlokasi di pusat

kegiatan sub lingkungan. Kebutuhan pasar berdasarkan ratio penduduk 30.000

jiwa berlokasi di pusat lingkungan jenjang kelurahan atau kecamatan dengan

radius pelayanan 5-10 km. Minimarket/swalayan kecil ratio 30.000 jiwa dengan

radius pelayanan 500 m dari pasar dan dapat dijangkau dengan berkendaraan.

Kebutuhan pusat perbelanjaan/mall ratio per 120.000 jiwa berlokasi di jalan

utama dan pusat kegiatan serta memiliki fasilitas parkir mandiri.

Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan seperti toko/warung,

minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate berdasarkan standar pelayanan

minimum penduduk telah terpenuhi (Tabel 56). Sementara untuk pasar masih

diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan.

Pasar tradisonal dan minimarket berada di lokasi sama (berdampingan) yakni pada

kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan, sedangkan kecamatan

Ternate Utara pasar tradisional tidak dilengkapi dengan minimarket. Jumlah

sebaran fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah layanan dengan

jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada

wilayah pelayanannya terpusat di satu lokasi (kecamatan Ternate Tengah).

Tabel 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan

Prasarana Niaga dan Perdagangan

Kecamatan

Pulau Ternate (14.692 jiwa)*

Ternate Selatan (63.746 jiwa)*

Ternate Tengah (52.072 jiwa)*

Ternate Utara (45.574 jiwa)*

Toko/warung

Kebutuhan1 59 255 208 182 Ketersediaan 204 815 1.379 754

Keterangan cukup cukup cukup cukup

Pasar Kebutuhan2 - 2 1 1 Ketersediaan - 1 1 1 Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup

Minimarket

Kebutuhan3 - 2 1 1

Ketersediaan - 13 6 2

Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup

Pusat Perbelanjaan/ Mall

Kebutuhan4 - - 1 - Ketersediaan - - 2 -

Keterangan tidak butuh tidak butuh cukup tidak butuh

* Jumlah Penduduk tahun 2010 1 Standar 250 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 30.000 jiwa; 4 Standar 120.000 jiwa;

153

Wilayah pelayanan fasilitas toko/warung rata-rata berjarak <300 m atau

jarak terdekat dengan radius 150 m dengan relatif waktu tempuh <10 menit dari

permukiman penduduk. Jarak tempuh ke pasar tradisional rata-rata 2-3 km dengan

waktu tempuh >30 menit, minimarket dengan jarak <0,5 km dengan waktu

tempuh <15 menit, dan pusat pertokoan (ruko) maupun pusat perbelanjaan/mall

masing-masing berjarak rata-rata 2-3 km waktu tempuh >30 menit dan 3 km

dengan waktu tempuh >30 menit. Lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan

yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor

sekunder, sehingga memudahkan akses ke fasilitas. Jarak pencapaian sarana dan

prasarana niaga dan perdagangan disajikan dalam Tabel 57.

Tabel 57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan

Kecamatan

Radius Pencapaian

Toko/

Warung

(km)

Pasar

(km)

Mini-

market

(km)

Pusat Pertokoan

(Ruko)

(km)

Pusat Perbelanjaan/

Mall

(km)

Pulau Ternate

Ternate Selatan

Ternate Tengah

Ternate Utara

0,2-0,3

0,1-0,25

0,1-0,25

0,2-0,25

6-7

2,5-4

2-2,5

3-5

6-7

0,5-1

0,3-0,5

0,5-1

6-7

2-3

1-2

2-3

9-10

3-5

1-2

3-4,5

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Niaga dan Perdagangan

Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan diantaranya toko/warung,

minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate telah memenuhi standar

pelayanan minimum. Namun fasilitas pasar masih diperlukan 1 unit untuk

mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Jumlah fasilitas

toko/warung dan minimarket melebihi jumlah pelayanan minimum dengan jarak

pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada

wilayah pelayanan yang terpusat di satu lokasi yaitu di kecamatan Ternate

Tengah.

Sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa merupakan

sektor-sektor yang memiliki andil terbesar dalam peningkatan Produk Domestik

Reginal Bruto (PDRB) Kota Ternate. Terlebih lagi sejak pengembangan kawasan

waterfront, peningkatan sektor tersebut cukup signifikan pada waktu memasuki

tahun 2008 hingga tahun 2011 (empat tahun terakhir) (lihat pada hal. 82 tentang

PDRB Kota Ternate). Hal ini tentunya berkaitan erat dengan peningkatan

154

prasarana niaga dan perdagangan berdasarkan analisis cakupan pelayanannya,

sehingga dapat mendukung pertumbuhan sektor tersebut.

Akses pencapaian sangat mudah dari permukiman khususnya di

kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota yakni kecamatan Ternate

Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara untuk menuju

sarana dan prasarana niaga dan perdagangan. Khususnya di kecamatan Ternate

Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas tersebut berjarak rata-

rata <1 km, sedangkan pada 3 (tiga) kecamatan lainnya rata-rata radius terdekat

berjarak 1-2,5 km. Hal ini didasari oleh peruntukan ruang kecamatan Ternate

Tengah, untuk pusat kegiatan khususnya untuk kawasan niaga dan perdagangan

(Central Business District) skala kota/lokal. Secara keseluruhan akses pencapaian

ke sarana dan prasarana niaga dan perdagngan telah terpenuhi atau sesuai standar

karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Pengaturan zona pelayanan

diperlukan agar tidak terjadi pemusatan sarana dan prasarana niaga dan

perdagangan di satu lokasi.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau

Dalam mewujudkan kota ramah lingkungan (eco-city), maka penataan

ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur harus mempertimbangan

keseimbangan ekologis dengan menerapkan konsep infrastruktur hijau (green

infrastructure). Infrastruktur hijau terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link

dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan

menyediakan komponen ekosistem alam, misalnya daerah konservasi, hutan

lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links merupakan komponen yang

menghubungkan antar hubs, berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk

hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Sites merupakan unit yang lebih kecil

dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian

penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site dapat berupa taman ataupun ruang

terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan

rekreasi atau tempat wisata alam.

Dari hasil identifikasi citra satelit, peta tematik dan survey lapang,

diperoleh objek-objek yang termasuk Hubs, Links dan Site di Kota Ternate,

155

dengan hasil klasifikasi menurut kategori elemen-elemen tersebut, sebagai

berikut:

Hubs

1. Cadangan alami : Hutan lindung, mangrove, semak belukar

2. Lahan kegiatan usaha: perkebunan cengkeh dan pala, kebun campur,

pertanian lahan kering

Links

1. Koridor konservasi: sepadan sungai, sepadan danau (badan air)

2. Keterkaitan lansekap: sepadan jaringan jalan

Site

1. Taman Kota, Taman wisata sejarah

2. Lapangan

3. Areal Pemakaman

Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate

Konsep pembangunan infrastruktur hijau (green infrastructure) di

Indonesia saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan ruang terbuka

hijau (RTH) (Herwirawan, 2009). Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat

rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya

sebesar 30% dari luas wilayah kota. Tipologi RTH secara fisik dapat dibagi RTH

alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta

RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau

jalur-jaur hijau jalan, sedangkan berdasarkan kepemilikan terbagi atas RTH publik

dan RTH privat (PERMEN PU No.05/PRT/M/2008).

Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber

daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan

pembangunan berkelanjutan. RTH merupakan salah satu objek kawasan lindung

yang diprioritaskan dalam rencana pola ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2010-2030.

156

Dengan mengetahui luas wilayah pusat kota Ternate (Kecamatan Ternate

Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara) 5.428,58 ha, maka luas RTH yang

harus disediakan sebesar 1.628,57 ha dari luas kota. Pembagian RTH publik 20%

atau 1.085,72 ha dan 10% atau 542,86 ha untuk RTH privat. Target ketersediaan

RTH tersebut, dapat diwujudkan dengan sebaran kawasan hijau pada 3 (tiga)

kecamatan yang ada di Kota Ternate.

Ketersediaan RTH dapat diidentifikasi dari data penggunaan lahan

eksisting. Dari hasil analisis citra 2010, penggunaan lahan (landuse) didominasi

oleh kawasan vegetasi/RTH yaitu 4.035,94 ha atau 74% dari luas wilayah pusat

kota Ternate. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pusat kota Ternate tergolong

masih hijau, terutama di bagian dataran tinggi hingga menuju ke puncak gunung

Gamalama. Kawasan ini meliputi hutan lindung, kebun campur, semak belukar,

mangrove, taman dan lapangan. Berikut ini disajikan Tabel 58 berkaitan dengan

proporsi penggunaan lahan di Kota Ternate.

Tabel 58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate

Penggunaan Lahan Jumlah Luas

(ha)

Persentase

(%)

Lahan Terbangun 1.253,58 23

Kawasan Jasa Perdagangan 151,85

Permukiman 1.101,73

RTH/Vegetasi 4.035,94 74

Mangrove 3,38

Hutan 1.447,21

Kebun Campuran 75,90

Lapangan 11,91

Makam

Perkebunan

23,93

2.148,04

Pertanian Lahan Kering 121,51

Semak Belukar 178,56

Taman 25,51

Badan Air 40,55 1 Danau 18,32

Sungai 22,23

Lahan Kosong 54,83 1

Lahan Kosong 54,83

Kawah 43,68 1

Kawah Gunung Api 43,68

Penggunaan lahan di Kota Ternate 5.428,58

Ketersediaan RTH Kota Ternate saat ini adalah 4.035,94 ha, yang terbagi

dalam RTH publik 1.690,50 ha dan RTH privat 2.345,46 ha. Jika dibandingan

dengan standar ketersediaan RTH kota yakni 30%, maka luas RTH Kota Ternate

157

tergolong masih melebihi dari standar yang ditetapkan yaitu masing-masing RTH

Publik 31% dan RTH Privat 43%. Dilihat pada tiap kecamatan, maka luas RTH

adalah 76% (Ternate Selatan), 74% (Ternate Utara) dan 72% (Ternate Tengah)

(lihat Tabel 59).

Tabel 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan

Kecamatan Luas

Wilayah (ha)

RTH Publik RTH Privat Jumlah Luas RTH

(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)

Ternate Tengah 1.416,34 365,33 26 656,06 46 1.021,39 72

Ternate Selatan 2.304,99 794,58 34 962,23 42 1.756,80 76

Ternate Utara 1.707,24 530,59 31 727,17 43 1.257,75 74

Kota Ternate 5.428,58 1.690,50 31 2.345,46 43 4.035,94 74

Gambar 47. RTH Kecamatan Ternate Selatan

Tabel 60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan

Penggunaan Lahan Luas (ha)

Persentase (%)

Lahan Terbangun 470,32 20,40

RTH/Vegetasi 1.756,80 76,22

Badan Air 32,32 1,40

Lahan Kosong 25,05 1,09

Kawah Gunung Api 20,48 0,89

Jumlah 2.304,99 100

158

Penggunaan lahan vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas di kecamatan

Ternate Selatan dengan memiliki luas 1.756,80 ha atau masih ada sekitar 76% dari

luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan

kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 47). Sementara untuk penggunaan lahan

terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai dengan jumlah luasnya

470,32 ha atau 20% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 60.

Persentase ketersediaan RTH didasarkan pada perhitungan persentase dari

jumlah luas RTH publik maupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah

kecamatan Ternate Selatan. RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate

Selatan yang terlihat pada Tabel 61 yaitu masing-masing 34% dan 42%. Hal ini

menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas 962,23 ha dibandingkan

RTH Publik yang hanya 794,58 ha. Penggunaan lahan perkebunan mendominasi

RTH Privat yaitu 847,59 ha.

Tabel 61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan

RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)

Lapangan 4,42 Kebun Campur 48,92

Makam 6,69 Pertanian Lahan Kering 65,72

Mangrove 3,38 Perkebunan 847,59

Taman 12,20

Hutan Lindung 766,93

Semak Belukar 0,96

Jumlah 794,58 962,23

Persentase (%) 34 42

Kondisi eksisting penggunaan lahan Kecamatan Ternate Tengah seperti

yang terlihat pada Gambar 48, menggambarkan bahwa perbandingan luas lahan

terbangun dan non terbangun hampir 1:3. Kecamatan ini merupakan wilayah

terpadat di Kota Ternate, karena merupakan bagian wilayah kota yang melayani

sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, jasa dan perdagangan, serta kawasan

permukiman. Luas RTH di kecamatan ini tergolong paling kecil diantara

kecamatan lainnya yaitu hanya 1.021,39 ha atau 72% (Tabel 62). Kawasan

vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >40%.

Penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai

159

(kemiringan 0-10%) hingga ke dataran tinggi (kemiringan 10-20%) dengan luas

berkisar 379,21 ha atau 26% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Tengah.

Gambar 48. RTH Kecamatan Ternate Tengah

Tabel 62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

Lahan Terbangun 379,21 26,77

RTH/Vegetasi 1.021,39 72,11

Badan Air 4,62 0,33

Lahan Kosong 2,57 0,18

Kawah Gunung Api 8,53 0,60

Jumlah 1.416,34 100

Tabel 63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah

RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)

Lapangan 4,12 Kebun Campur 21,96

Makam 12,90 Pertanian Lahan Kering 2,45

Taman 4,45 Perkebunan 631,64

Hutan Lindung 343,84

Jumlah 365,31 656,05

Persentase (%) 26 46

160

Persentase ketersediaan RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan

Ternate Tengah yaitu masing-masing 26% dan 46%. Perhitungan persentase

jumlah luas RTH publik ataupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah

kecamatan Ternate Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat

masih lebih luas 365,31 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 656,05 ha.

Penggunaan lahan perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 631,64 ha

dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat.

Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 63.

Proporsi penggunaan lahan di kecamatan Ternate Utara juga menunjukkan

penggunaan lahan untuk vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas yakni 1.257,75

ha atau masih ada sekitar 73% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH

dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 49).

Berbeda halnya dengan penggunaan lahan terbangun, dimana hampir sepanjang

kawasan pesisir pantai dipadati permukiman dengan jumlah luasnya berkisar

404,03 ha atau 23% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Utara (lihat pada

Tabel 654).

Gambar 49. RTH Kecamatan Ternate Utara

161

Tabel 64. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Utara

Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

Lahan Terbangun 404,03 23,67

RTH/Vegetasi 1.257,75 73,67

Badan Air 3,59 0,21

Lahan Kosong 27,20 1,59

Kawah Gunung Api 14,66 0,86

Jumlah 1.707,24 100

Tabel 65. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Utara RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)

Lapangan 3,36 Kebun Campur 5,01

Makam 4,33 Pertanian Lahan Kering 53,34

Taman 8,85 Perkebunan 668,80

Hutan Lindung 336,43

Semak Belukar 177,59

Jumlah 530,56 727,15

Persentase (%) 31 43

Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan yang dibagi menjadi RTH

Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Utara yaitu masing-masing 31%

dan 43%. Angka tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas

727,15 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 530,56 ha. Penggunaan lahan

untuk perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 668,80 ha

dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat.

Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan di kecamatan Ternate Utara disajikan

pada Tabel 65.

Kesimpulan Cakupan Infrastruktur Hijau

Meskipun ketersediaan RTH kota Ternate tergolong cukup dalam

memenuhi standar RTH kota 30%, namun keberadaan RTH yang dominan bukan

berada pada kawasan pesisir (pusat kota) menyebabkan kondisi iklim kota

semakin tidak nyaman. Hal ini berkaitan dengan kondisi iklim di Kota Ternate,

dimana rata-rata suhu udara berkisar 21.0ºC – 32.5ºC dengan tingkat penyinaran

matahari rata-rata 64%, sehingga kondisi cuaca khususnya pada siang hari cukup

panas. Keberadaan tanaman dan unsur air sebagai komponen utama RTH mampu

menciptakan iklim mikro yang lebih baik di kawasan perkotaan.

162

Sebaran RTH khususnya di pusat Kota, yaitu 3 (tiga) kecamatan, Ternate

Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara, diupayakan untuk dapat

mengoptimalkan fungsi RTH. Penggunaan lahan di kawasan pusat perkotaan lebih

dominan sebagai kawasan jasa dan perdagangan, sarana pendidikan, kesehatan,

areal perkantoran serta permukiman penduduk, sehingga ketersediaan ruang

terbuka hijau masih sangat minim. Hal ini disebabkan karena laju konversi lahan

pada kawasan perkotaan semakin tinggi. Untuk itu perencanaan tata ruang kota

(RTRW) dapat dijadikan kerangka kerja (framework) untuk pengendalian

pemanfaatan ruang khususnya kawasan pusat kota serta peremajaan kota dengan

membangun spot-spot area terbuka hijau (site) dan jalur hijau pada jaringan jalan

(link) di pusat perkotaan sebagai RTH publik dan menetapkan koefisien dasar

hijau (KDH) pada lahan-lahan milik masyarakat di kawasan permukiman sebagai

RTH privat.

Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2013-2032

Jumlah penduduk merupakan faktor utama untuk menentukkan banyaknya

infrastruktur dan fasilitas umum yang harus disediakan di suatu wilayah

perencanaan. Proyeksi jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu sangat

membantu untuk menyusun perencanaan wilayah (perkotaan) di masa mendatang.

Berdasarkan hasil analisis regresi linear, proyeksi penduduk kota Ternate di tahun

2013-2032 disajikan pada Tabel 66.

Tabel 66. Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Ternate Tahun 2013-2032

Kecamatan Tahun Proyeksi Rata-Rata

Pertumbuhan

(%) 2013 2017 2022 2027 2032

Pulau Ternate 15.483 16.348 17.428 18.509 19.589 1,33

Ternate Selatan 67.865 72.517 78.332 84.146 89.961 1,63

Ternate Tengah 56.293 60.744 66.308 71.872 77.436 1,88

Ternate Utara 49.154 53.034 57.884 62.734 67.584 1,87

Jumlah 188.795 202.643 219.952 237.261 254.570 1,68

Proyeksi penduduk di tahun 2013 diprediksikan mencapai 188.795 jiwa

dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan

penduduk dalam kurun waktu 20 tahun sebesar 1,68%. Jumlah penduduk yang

terbesar diprediksikan berada di kecamatan Ternate Selatan yaitu 89.961 jiwa

pada tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,63%.

163

Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate diprediksikan memiliki jumlah

penduduk terkecil yaitu 19.589 jiwa di tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan

1,33%. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi jumlah dan sebaran sarana dan

prasarana yang harus disediakan untuk melayani kebutuhan masyarakat Kota

Ternate.

Proyeksi jumlah penduduk (Tabel 67) dapat dimanfaatkan untuk

menghitung kebutuhan infrastruktur perkotaan. Jumlah penduduk dapat dijadikan

sebagai parameter untuk merencanakan infrastruktur kota. Kebutuhan

infrastruktur yang dapat dianalisis dengan proyeksi jumlah penduduk secara linear

diantaranya adalah kebutuhan air bersih PDAM, daya listrik, produksi sampah,

prasarana kesehatan dan prasarana niaga dan perdagangan. Sementara untuk

prasarana pendidikan tidak dapat dilakukan analisis prediksi, disebabkan oleh

keterbatasan data (mortalitas dan fertilitas) sebagai penunjang untuk melakukan

analisi proyeksi penduduk berdasarkan usia. Dilain pihak bahwa untuk

memprediksi kebutuhan prasarana pendidikan harus didasarkan pada jumlah anak

usia sekolah. Hal demikian tentunya membutuhkan data prediksi jumlah

penduduk berdasarkan usia.

Prediksi Kebutuhan Air Bersih

Standar kebutuhan air bersih untuk ukuran Kota Sedang (jumlah penduduk

0,1–0,5 juta jiwa) adalah 100 lt/org/hr dengan asumsi tingkat kebocoran air 10%.

Melihat proyeksi jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2013-2032 (Tabel

66) maka kebutuhan air bersih PDAM disajikan pada Tabel 67. Prediksi

kebutuhan air bersih di Kota Ternate pada tahun 2013 adalah 20.767.450 lt/hari

dan pada tahun 2032 meningkat 28.002.700 lt/hari. Peningkatan jumlah air bersih

tersebut mencapai 7.235.250 lt/hari atau 25%.

Dengan membandingkan ketersediaan air bersih PDAM tahun 2011

sebesar 3.965.760 lt/hari dan prediksi kebutuhan air di tahun 2032 adalah

28.002.700 lt/hari, maka upaya peningkatan kapasitas produksi air bersih yang

harus disediakan oleh PDAM hingga tahun 2023 sebesar 24.036.940 lt/hari atau

peningkatan 7x dari ketersediaan air bersih di tahun 2011. Penyediaan kapasitas

air dengan jumlah tersebut, sangatlah tinggi mengingat keterbatasan pelayanan air

164

bersih PDAM saat ini. Untuk itu disarankan untuk mencari alternatif potensi

sumber air baku yang berada di Kota Ternate untuk dapat dimanfaatkan

masyarakat dalam menunjang aktivitas sehari-hari, mengingat air merupakan

kebutuhan dasar (basic need) bagi kelangsungan kehidupan masyarakat.

Tabel 67. Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032

Kecamatan

Kondisi

Eksisting

2011

Kebutuhan Air Bersih (lt/hari)*

2013 2017 2022 2027 2032

Pulau Ternate 79.210 1.548.300 1.634.800 1.742.800 1.850.900 1.958.900

Ternate Selatan 1.471.702 6.786.500 7.251.700 7.833.200 8.414.600 8.996.100

Ternate Tengah 1.271.993 5.629.300 6.074.400 6.630.800 7.187.200 7.743.600

Ternate Utara 1.142.855 4.915.400 5.303.400 5.788.400 6.273.400 6.758.400

Jumlah 3.965.760 18.879.500 20.264.300 21.995.200 23.726.100 25.457.000

Tingkat

Kebocoran 10%

1.887.950 2.026.430 2.199.520 2.372.610 2.545.700

Jumlah 3.965.760 20.767.450 22.290.730 24.194.720 26.098.710 28.002.700

*Standar 100 lt/org/hari

Prediksi Kebutuhan Daya Listrik

Untuk menentukan kebutuhan daya listrik digunakan standar pelayanan

daya listrik 450 VA per jiwa berdasarkan SNI 03-1733-2004. Proyeksi jumlah

penduduk pada tahun 2032 adalah 254.570 jiwa (Tabel 66), maka kebutuhan daya

listrik mencapai 114.557 KVA. Hasil estimasi perhitungan kebutuhan daya listrik

pada tahun 2013 hingga tahun 2032 terus mengalami peningkatan seiringan

dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa

peningkatan kebutuhan daya listrik mencapai 29.599 KVA atau 26%. Prediksi

kebutuhan daya listrik tahun 2013-2032 disajikan pada Tabel 68.

Kondisi eksisting daya tersambung listrik tahun 2011 sebesar 41.042

KVA. Jika dibandingkan dengan prediksi kebutuhan daya listrik hingga tahun

2032 yaitu 114.557 KVA, maka kapasitas produksi listrik sebesar 73.515 KVA

atau 3x dari ketersediaan daya listrik (tahun 2011) perlu diupayakan untuk dapat

menjamin pelayanan listrik di Kota Ternate hingga tahun 2032.

165

Tabel 68. Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Tahun 2013-2032

Kecamatan

Kondisi

Eksisting

2011

Kebutuhan Daya Listrik (KVA)*

2013 2017 2022 2027 2032

Pulau Ternate 3.455 6.967 7.357 7.843 8.329 8.815

Ternate Selatan 13.695 30.539 32.633 35.249 37.866 40.482

Ternate Tengah 13.066 25.332 27.335 29.839 32.342 34.846

Ternate Utara 10.827 22.119 23.865 26.048 28.230 30.413

Jumlah 41.042 84.958 91.189 98.978 106.767 114.557

*Standar 450 VA per jiwa

Prediksi Produksi Sampah

Berdasarkan hasil perhitungan estimasi produksi sampah tahun 2013-2032

mendatang menunjukkan peningkatan timbulan sampah dari 471.988 lt/hari

meningkat 636.425 lt/hari atau mengalami peningkatan sebesar 26%. Kecamatan

Ternate Selatan diprediksikan memiliki produksi sampah terbanyak yaitu sebesar

224.903 lt/hari, sedangkan produksi sampah yang terkecil berada di kecamatan

Pulau Ternate yaitu 48.973 lt/hari pada tahun 2032. Untuk itu kebutuhan jumlah

sarana TPS dan sebarannya perlu dipertimbangkan pada masing-masing

kecamatan untuk memberikan layanan pengangkutan sampah yang optimal dan

merata. Untuk lebih jelasanya disajikan pada Tabel 69.

Tabel 69. Prediksi Produksi Sampah Tahun 2013-2032

Kecamatan

Kondisi

Eksisting

2008

Produksi Sampah (lt/hari)*

2013 2017 2022 2027 2032

Pulau Ternate 6.720 38.708 40.870 43.570 46.273 48.973

Ternate Selatan 55.710 169.663 181.293 195.830 210.365 224.903

Ternate Tengah 51.980 140.733 151.860 165.770 179.680 193.590

Ternate Utara 32.470 122.885 132.585 144.710 156.835 168.960

Jumlah 146.880 471.988 506.608 549.880 593.153 636.425

*Standar 2,5 lt/org/hari

Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan

Estimasi jumlah kebutuhan prasarana kesehatan didasarkan oleh proyeksi

jumlah penduduk. Proyeksi jumlah penduduk hingga tahun 2032 adalah 254.570

jiwa (Tabel 66), sehingga diprediksikan membutuhkan 129 unit prasarana

kesehatan (Tabel 70). Prasarana kesehatan diprediksikan pada tahun 2013 hingga

tahun 2032 meningkat dari 129 unit menjadi 174 unit atau mengalami

peningkatan sebesar 25% (45 unit).

166

Melihat ketersediaan prasarana kesehatan tahun 2011 dan prediksi

kebutuhan tahun 2013-2032, maka prasarana kesehatan hingga tahun 2032 perlu

diupayakan peningkatannya untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat.

Perencanaan prasarana kesehatan di tahun 2032 membutuhkan peningkatan

sebanyak 65 unit dan sebarannya perlu diperhatikan agar dapat memberikan

kemudahan untuk menjangkau tiap kecamatan ke prasarana kesehatan tersebut.

Tabel 70. Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan Tahun 2013-2032

Prasarana Kesehatan

Kondisi

Eksisting

2011

Tahun Prediksi

2013 2017 2022 2027 2032

Rumah Sakit1 6 1 1 1 2 2

Rumah Sakit Bersalin2 3 6 7 7 8 8

Puskesmas3 6 2 2 2 2 2

Posyandu4 21 76 81 88 95 102

Praktek Dokter5 47 38 41 44 47 51

Apotek6 26 6 7 7 8 8

Jumlah 109 129 138 150 162 174 1Standar 150.000 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 120.000 jiwa; 4Standar 5.000 jiwa; 5Standar 5.000 jiwa; 6Standar 30.000 jiwa;

Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan

Rencana kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 2013-

2032 berdasarkan analisis prediksi adalah 1.037 unit. Tabel 71 menunjukkan

peningkatan kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan di tahun tersebut sebesar

241 unit. Namun ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 2010

telah melebihi kebutuhan pada tahun 2032. Hal ini menunjukkan bahwa prasarana

niaga dan perdagangan cenderung tumbuh lebih cepat di Kota Ternate. Jika dilihat

berdasarkan jenis prasarananya, maka fasilitas pasar masih diperlukan upaya

peningkatan sebanyak 5 unit pada tahun 2032. Selain itu zona pelayanan

prasarana niaga dan perdagangan perlu diatur sehingga sebarannya merata di

setiap unit kecamatan.

Tabel 71. Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan

Tahun 2013-2032 Prasarana Niaga dan

Perdagangan

Kondisi

Eksisting

2010

Tahun Prediksi

2013 2017 2022 2027 2032

Toko/warung1 3.152 755 811 880 949 1.018

Pasar2 3 6 7 7 8 8

Minimarket3 21 6 7 7 8 8 Pusat Perbelanjaan/Mall4 13 2 2 2 2 2

Jumlah 3.189 769 826 896 967 1.037 1Standar 250 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 30.000 jiwa; 4Standar 120.000 jiwa

167

Persepsi Stakeholder dalam Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur

Kawasan Waterfront

Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront

bertujuan untuk memberikan rancangan konsep kebijakan pengelolaan kelayakan

infrastruktur yang berkelanjutan. Setelah pengembangan kawasan waterfront

masih menyisakan sejumlah permasalahan. Permasalahan yang muncul

diantaranya belum selesainya pembangunan sarana dan prasarana misalnya

pembangunan gelanggang remaja sebagai sarana rekreasi dan fasilitas pasar

tradisional, munculnya sektor informal (PKL) yang tidak terencana, kebersihan

kawasan dimana masih terdapat sampah di sekitar tepi pantai dan kondisi taman

kota yang tidak terawat. Analisis persepsi stakeholder diharapkan dapat

memberikan alternatif untuk memperbaiki sarana dan prasarana di kawasan

waterfront.

Analisis persepsi stakeholder menggunakan tools Analitycal Hierarchy

Process (AHP). Jumlah responden sebanyak 11 responden yang terdiri dari

kalangan pemerintah, pihak swasta dan akademisi. Responden yang dipilih yaitu

para pihak yang terkait langsung dengan bidang infrastruktur.

Aspek Infrastruktur

Hasil analisis persepsi stakeholder terkait aspek infrastruktur memiliki

nilai Consistency Ratio (CR) 0,089. Nilai CR tersebut menunjukkan tingkat

konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen yang mewakili semua

responden. Pada elemen-elemen di Tingkat 2 yakni Aspek infrastruktur, aspek

yang menjadi prioritas untuk dibenahi menurut para stakeholders yaitu

infrastruktur fisik (0,525), kemudian disusul infrastruktur hijau (0,238) dan

selanjutnya infrastruktur sosial dan ekonomi (0,237). Pembobotan tertinggi dalam

tingkatan ini yaitu infrastruktur fisik didasarkan atas permasalahan di kawasan

waterfront misalnya belum optimalnya penanggulangan sampah di kawasan,

sehingga perlu pengelolaan lebih lanjut. Hasil analisis AHP untuk aspek

infrastruktur disajikan pada Gambar 50 .

168

Gambar 50. Hasil AHP Aspek Infrastruktur

Sub Aspek Ketersediaan Infrastruktur di Kawasan Waterfront

Sub aspek ketersediaan infrastruktur yang berada di kawasan waterfront

meliputi jalan, air bersih, listrik, drainase dan sampah (infrastruktur fisik);

terminal angkutan umum, pasar tradisional, mall/pertokoan dan mesjid

(infrastruktur sosial ekonomi) dan taman kota (infrastruktur hijau). Beberapa sub

aspek infrastrutkur yang masih menjadi problem dalam penataan dan pengelolaan

kawasan diantaranya adalah sampah, pasar tradisional dan taman kota. Hasil

analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek infrastruktur memiliki nilai

Consistency Ratio (CR) 0,023.

Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek infrastruktur fisik yang

menjadi prioritas untuk diperhatikan menurut para stakeholders yaitu sampah

(0,233), jaringan jalan (0,211), saluran drainase (0,208) kemudian disusul

pelayanan air bersih (0,175) dan selanjutnya jaringan listrik (0,174). Gambar 51

menyajikan hasil analisis AHP sub aspek infrastruktur fisik.

Gambar 51. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Fisik

0,525

0,237

0,238

0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600

Infrastruktur Fisik

Infrastruktur Sosial & Ekonomi

Infrastruktur Hijau

0,211

0,175

0,174

0,208

0,233

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250

Jaringan Jalan

Listrik

Pelayanan Air Bersih

Saluran drainase

Sampah

169

Bobot penilaian 0,233 pada sub aspek sampah menunjukkan bahwa

kebersihan kawasan waterfront yang menjadi prioritas. Pengembangan kawasan

waterfront dilihat dalam rencana tata ruang bahwa salah satu prioritas untuk

menanggulangi pencemaran lingkungan khususnya di kawasan pesisir yang

tercemar akibat sampah. Penanggulangan sampah diharapkan dapat memberikan

tatanan lingkungan khususnya kawasan pesisir yang lebih sehat dan bernilai

estetika.

Berdasarkan hasil analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek

infrastruktur sosial dan ekonomi memiliki nilai Consistency Ratio (CR) 0,043

yang menunjukkan tingkat konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen

yang mewakili semua responden. Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek

infrastruktur sosial dan ekonomi yang mejadi prioritas utama menurut para

stakeholders secara berurutan yaitu pasar tradisional dengan bobot nilai 0,330,

mesjid dengan bobot nilai 0,310, terminal angkutan dengan bobot nilai 0,209

kemudian disusul pertokoan/mall dengan bobot nilai 0,159 (Gambar 52).

Gambar 52. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi

Pengembangan kawasan waterfront ditujukan untuk pelayanan sarana dan

prasarana sosial ekonomi. Sarana tersebut salah satunya adalah pasar tradisional.

Keberadaan pasar tradisional yang lama tidak layak lagi untuk dapat menampung

aktivitas jual beli masyarakat, sehingga pembangunan pasar tradisional yang baru

dirasakan penting untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Prioritas utama

pada pasar tradisional dimaksudkan untuk mengembangkan ekonomi berbasis

masyarakat.

0,330

0,159

0,310

0,209

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350

Pasar Tradisional

Pertokoan/Mall

Mesjid

Terminal Angkutan