gangguan pendengaran akibat bising
DESCRIPTION
gangguan pendengaran akibat bisingTRANSCRIPT
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi 1
BAB I
Pendahuluan 2
BAB II
Gangguan Pendengaran Akibat Bising 4
II.1. Etiologi 4
II.2. Patofisiologi 4
II.3. Jenis Gangguan 6
II.4. Gejala Klinis 7
II.5. Diagnosis 8
II.6. Penatalaksanaan 9
II.7 Pencegahan 10
II.8. Prognosis 11
BAB III
Kesimpulan 12
Daftar pustaka 13
1
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran adalah hal yang lazim kita temui saat ini. Salah satunya
adalah gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau dalam istilah asing disebut Noise
Induce Hearing Lost (NIHL). Dengan semakin bertambah majunya teknologi, maka semakin
mudah dan nyaman hidup manusia. Tetapi dibalik itu tersimpan ancaman yang sering
tersamar dan tidak kita sadari. GPAB ini merupakan salah satu ancaman kemajuan tersebut.
Bising dan penuaan merupakan dua hal utama penyebab hilangnya pendengaran
permanen. Sayangnya kelainan ini tidak dapat dikoreksi baik menggunakan obat-obatan
maupun tindakan operatif, tetapi GPAB dapat dicegah5.
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising secara Ilmu
Kesehatan Masyarakat adalah suara yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang
menggangu, atau suara yang diinginkan namun berpotensi menyebabkan gangguan
kesehatan. Bahkan menurut WHO, bising dikategorikan sebagai salah satu jenis polutan2 .
Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan rusaknya reseptor
pendengaran pada telinga dalam 10. Bising dapat kita temui juga dalam kehidupan kita sehari-
hari. Tidak hanya bising di tempat kerja, tetapi dapat juga bersumber dari alat rumah tangga,
alat elektronik, pemutar musik, pusat perbelanjaan sampai tempat bermain anak-anak.
Pada tahun 1900, angka rata-rata harapan hidup di dunia hanya sebesar 47 tahun. Pada
saat itu, kehilangan pendengaran karena penuaan bukan suatu masalah yang banyak
ditemukan. Bandingkan dengan saat ini, rata-rata usia harapan hidup sudah meningkat tajam3.
Usia harapan hidup di Jepang adalah yang tertinggi, mencapai usia 80 tahun. Negara maju
seperti Australia, Kanada, Swiss dan lainnya memiliki angka rata-rata harapan hidup yang
mencapai 79 tahun8. Saat usia rata-rata semakin tua, maka mulai muncullah akumulasi
masalah kesehatan. Tidaklah mengherankan jika pada saat ini kejadian kehilangan
pendengaran semakin sering terjadi.
Gangguan pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar bising yang cukup keras
dalam jangka waktu yang cukup lama. Tuli ini merupakan jenis ketulian sensorineural yang
paling banyak ditemui setelah presbiakusis. Sejalan dengan berkembangnya gaya hidup
masyarakat, kejadian kehilangan pendengaran semakin banyak ditemukan. Selain paparan
2
suara bising, ada banyak faktor lain yang menyebankan gangguan pendengaran seperti
hipertensi, diabetes, obat-obatan, dan paparan substansi yang dapat merusak telinga
merupakan penyebab dari berkurangnya pendengaran3.
Lagi-lagi gaya hidup mempengaruhi berkembangnya keadaan-keadaan tersebut.
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara.
Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85
dB atau lebih 11. Di indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah
banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sundari (1994) yang menemukan
31,55% pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta menderita tuli akibat bising dengan
intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun11. Penelitian lain
dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di
perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising
lingkungan antara 84,9-108,2 dB11. Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising
ini tidak hanya dilakukan di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan, seperti yang dilakukan
oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (jl. M.H Thamrin,
Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk11.
Fakta bahwa paparan bising yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
pendengaran mulai dikenali sejak abad kedelapan belas. Pada awal abad keduapuluh,
gangguan pendengaran akibat bising ini dikenal dengan nama Boilermaker’s Deafness1.
Istilah ini muncul mungkin karena pada saat itu ketulian ini ditemukan pada para pekerja
pabrik yang bising. Jika kita tetap menginginkan untuk terus menikmati kualitas hidup sehat,
maka menjaga alat indera terutama pendengaran adalah kuncinya. Tulisan ini mencoba untuk
menjelaskan apa itu gangguan pendengaran akibat bising, patofisiologi, menegakkan
diagnosis dan cara pencegahannya.
BAB II
3
Gangguan Pendengaran Akibat Bising
II.1. Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan :
1. Intensitas kebisingan
2. Frekwensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis kelamin
6. Usia
II.2. Patofisiologi
Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini bergantung pada
beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi pendengaran normal
bergantung pada mekanisme mekanik pada telinga tengah dan koklea, mikromekanik dan
seluler dari organon corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan bioelektris telinga dalam,
dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang bekerja dengan baik1.
Sebagian besar paparan bising akan menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel ini disebut sebagai
kenaikan ambang dengar sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS)1. Apabila bising
tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau waktu paparan yang cukup lama bahkan
keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang dengar permanen, Permanent Threshold Shift
(PTS)1. Sedangkan trauma akustik adalah suatu paparan bising dalam tingkat yang berbahaya
dimana akan mengakibatkan keadaan PTS tanpa melalui proses TTS dalam satu kali paparan 1.
Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang
pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya pertama kali
muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini penderita mungkin hanya mengeluh tinitus, suara
yang teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan pendengaran yang temporer.
Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat bising, atau sesaat setelah
meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan berangsur menghilang setelah beberapa
jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan pendengaran biasanya tidak disadari sampai
ambang pendengaran bunyi nada percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari
25 dB. Awal dan perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian
4
selalu bertipe sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga.
Secara otoskopik, membran timpani tampak normal4.
Dobie, R.A (2001) dalam Head and Neck Surgery-Otolaryngology, menjelaskan
bahwa GPAB mengakibatkan kerusakan pada organon corti. Didapatkan kesulitan dalam
menemukan kelainan anatomis sehubungan dengan TTS, tetapi diyakini bahwa kelainan ini
disebabkan oleh stereocilia dari sel rambut yang berkurang ketegangannya yang
mengakibatkan turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan stereocilia ini dapat
kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan meningkatnya intensitas dan
durasi paparan bising, maka kerusakan akan semakin berat sampai akhirnya terjadi hilangnya
stereocilia tersebut. Ketika stereocilia telah hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami
kerusakan. Dengan bertambahnya paparan, maka sel rambut dan sel-sel pendukung dalam
organon corti akan turut rusak. Selain itu juga dilaporkan adanya degenerasi syaraf
pendengaran dan nukleus pendengaran.
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa nada murni dengan frekuensi dan
intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan
frekuensi rendah akan merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar
dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang
melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputusnya dan degenerasi sel-sel
rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat menunjukkan adanya
degenerasi, baik sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh
organon corti4.
Beberapa teori telah diajukan mengenai mengapa daerah yang melayani frekuensi
4000 Hz lebih rentan terhadap pemaparan bising. Teori yang paling populer adalah bahwa
struktur anatomi di daerah tersebut lebih lemah. Kelemahan struktur anatomi tersebut adalah
sebagai akibat ketajaman pendengaran dan spektrum dari stimulus suara. Didapatkan bahwa
ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu sampai satu setengah oktaf diatas skala
frekuensi nada stimulator. Karena ambang pendengaran lebih peka pada nada diantara 1000
dan 3000 Hz, beralasan untuk menduga bahwa bising industri, karena spektrumnya, akan
menyebabkan kerusakan paling dini pada frekuensi antara 3000 sampai 4000 Hz 4.
5
Besarnya gangguan pendengaran yang didapat tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas
bising dan durasi paparan tetapi juga karakter dari bising tersebut (spektrum frekuensi dan
pola waktu). Paparan terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi yang
sempit menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran tersebut terjadi
pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara dengan energi terbesar. Alasan
dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini paling mungkin adalah dari jarak pergeseran
maksimal membran basilar terhadap dasar koklea saat adanya peningkatan intensitas suara9.
Selain bervariasinya kondisi paparan, ada beberapa hal yang menyebabkan
bervariasinya kejadian GPAB pada paparan bising yang sama. Selain oleh paparan bising,
GPAB juga dipengaruhi oleh beberapa variabilitas meliputi perbedaan genetis, usia, jenis
kelamin, warna kulit, perbedaan jalur konduksi suara (telinga luar dan telinga tengah), suplai
darah, dan inervasi koklea.
II.3. Jenis Gangguan
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2
kategori yaitu : 13,15,16
1. Noise Induced Temporary Threshold Shift ( TTS )
2. Noise Induced Permanent Threshold Shift ( NIPTS )
NOISE INDUCED TEMPORARY THRESHOLD SHIFT ( NITTS )
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch “ yang
curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Pada tingkat awal
terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga
NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat
kembali normal. 16
NOISE INDUCED PERMANENT THRESHOLD SHIFT ( NIPTS )
Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran
akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “ occupational hearing loss “ atau
6
kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising
industri.15
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja
dilingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :16
1. tingkat suara bising
2. kepekaan seseorang terhadap suara bising
NIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat
dan menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan,tetapi
apabila sudah menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah ( 2000 dan 3000 Hz )
keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk
mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke
frekwensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suarayang
sangat lemah. Notch bermula pada frekwensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah beberapa
waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi.
Kehilangan pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap
setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.
II.4. Gejala Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech
discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan
kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi,
seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian
biasanya bilateral. Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya
dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi. 12
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced
hearing loss ) adalah :15
1. Bersifat sensorineural
2. Hampir selalu bilateral
3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ) Derajat ketulian
berkisar antara 40 s/d 75 dB.
4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunanpendengaran yang
signifikan.
7
5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz,
dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000Hz.
6. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz
akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.12 ,13
II.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk otoskopi,
dan pemeriksaan penunjang seperti audiometri. Pada anamnesis ditemukan adanya tanda
pernah berada di tempat dengan bising tinggi dalam jangka waktu lama atau intensitas tinggi.
Bising intensitas tinggi tidak hanya didapat dari tempat bekerja, tetapi dapat juga didapat di
lingkungan tempat tinggal sehari-hari, contohnya riwayat penggunaan pemutar musik yang
berlebihan, aktifitas ke pusat hiburan yang terlalu sering, berada di lalu lintas padat dalam
jangka waktu lama dan lain-lain.
Pada pemeriksaan otoskopi biasanya tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan
audiologi didapatkan tanda-tanda tuli sensori neural pada tes penala. Pemeriksaan audiometri
nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada
frekuensi 4000 Hz sering didapatkan takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian
ini10.
Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity Index),
ABLB (Alternate Binaural loudness balance), MLB (monoaural Loudness Balance),
audiometri tutur, hasil menunjukkan adanya fenomena rekrutmen yang patognomonik untuk
tuli saraf koklea. Rekrutmen adalah suatu fenomena dimana telinga yang tuli menjadi lebih
sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah
melewati ambang dengarnya10. Sebagai contoh, orang yang pendengarannya normal tidak
dapat mendeteksi kenaikan intensitas bunyi sebesar 1 dB bila sedang mendengarkan bunyi
nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen maka akan dapat mendeteksi
kenaikan bunyi tersebut
8
gambar Pemeriksaan audiologi untuk Gangguan Pendengaran Akibat Bising
II.6. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung
telinga yaitu berupa sumbat telinga ( ear plugs ), tutup telinga ( ear muffs ) dan pelindung
kepala (helmet).12
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap
(irreversible ), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi
dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar ( ABD ).
Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak
dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat
menerima keadaannya. Latihan pendengaran ( auditory training ) juga dapat dilakukan agar
pasien dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan
membaca ucapan bibir ( lip reading ), mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat
untuk dapat berkomunikasi.12.14
II.7. Pencegahan
9
Untuk mengurangi angka terjadinya GPAB, diperlukan usaha-usaha baik secara
promotif preventif dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan
kerjasama yang baik dari masyarakat dan pemerintah melalui tenaga kesehatan.
Tindakan pencegahan merupakan hal paling bijak yang dapat kita lakukan dalam
menghadapi masalah GPAB ini. Sejalan dengan ini, Departemen Tenaga Kerja berdasarkan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor: KEP-51/MEN/1999 telah menentukan batas
paparan suara bising yang diperkenankan.
Lama Pajanan Intensitas dlm dB
Jam 24168421
808285889194
Menit 30157.503.751.880.94
97100103106109112
Detik 28.1214.067.033.521.760.880.440.220.11
115118121124127130133136139
Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB, walau sesaat12
Dengan dikeluarkannya peraturan, pemerintah berusaha melindungi masyarakatnya
yang bekerja ditempat bising. Perlindungan tersebut diwujudkan dengan pengaturan jam
kerja sesuai dengan paparan bising yang didapat oleh pekerja.
Pembatasan pemaparan bising dapat dilakukan dengan mengontrol lingkungan mesin
atau perlindungan diri pekerja yang terpapar. Program konservasi pendengaran yang ideal
adalah dapat mengurangi atau menghilangkan bising yang berbahaya tepat pada sumbernya4.
Sayangnya kondisi ideal ini sukar dicapai ditinjau dari pengaturan teknis dan ekonomi.
Apabila pengontrolan sumber bising tersebut masih tetap mebahayakan, maka dapat
diberikan Alat Pelindung Diri (APD) pekerja berupa sumbat telinga4.
10
Usaha-usaha diatas merupakan pencegahan terjadinya GPAB di tempat kerja, yang
disebut dengan Occupational Hearing Loss. Tetapi ada yang tidak kalah pentingnya yaitu
tindakan pencegahan GPAB diluar lingkungan kerja, yang disebut dengan non-Occupational
Hearing Loss.
Komnas PGPKT (Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan
Ketulian) telah melakukan penelitian menggunakan sound level meter di 10 kota besar
Indonesia pada tempat bermain anak, balita dan remaja. Hasilnya sangat mengejutkan dimana
tingkat kebisingan di area tersebut mencapai 90-97,9 dB. Komisi ini juga mengukur pemutar
musik portabel, dimana didapatkan angka 80 dB pada volume suara 50-60%6. Sumber-
sumber bising ini rupanya belum mendapat perhatian lebih sehingga belum ada peraturan
yang mengikatnya. Padahal sumber bising ini tidak kalah berbahaya dibanding dengan
kebisingan di tempat kerja, baik dari segi intensitas bising dan durasi paparan yang sulit
terkontrol.
Untuk dapat menghindari terjadinya ketulian akibat bising terutama diluar lingkungan
kerja ini perlu kiranya kita mendorong pemerintah melalui dinas terkait untuk membuat
peraturan tentang ‘Intensitas Bising’ yang diijinkan di tempat hiburan, arena bermain anak,
dan pengontrolan penggunaan alat musik digital dan lain-lain6.
Selain itu kontrol orang tua terhadap anaknya juga tidak kalah pentingnya. Kontrol ini
diperlukan sebagai benteng keluarga, sementara pemerintah membuat peraturan yang
melindungi masyarakat dari paparan bising diluar tempat kerja. Orangtua hendaknya
memberikan arahan tentang penggunaan alat pemutar musik kepada anaknya, dengan tidak
memutar volume melebihi 50%. Proteksi juga dilakukan dengan membatasi waktu kunjungan
anak ke pusat perbelanjaan dan arena bermain anak. Karena tempat-tempat tersebut
berdasarkan penelitian memiliki intensitas bunyi sebesar 90-97 dB, sehingga kita tidak boleh
lebih dari satu jam disana.
II.8. Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka
prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya
ketulian.12,13
11
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan Mendengar akibat suasana bising atau dikenal dengan NOICE INDUCED
HEARING LOSS merupakan problem yang akan sering ditemukan di zaman sekarang. Hal ini
diakibatkan banyaknya kebisingan, bising adalah bunyi yang tidak diinginkan, dimana bunyi
ini memiliki frekuensi atapun decibel yang tinggi. Dalam proses penurunan kemampuan
mendengar dipengaruhi oleh Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan :
1. Intensitas kebisingan
2. Frekwensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis kelamin
6. Usia
Dalam penegakan diagnosis anamnesis merupakan faktor penting karen dapat mengetahui
faktor – faktor utama yang menjadi penyebab penurunan kemampuan mendengar. Selain itu
Pemeriksaan audiologi dapat membantu memastikan diagnosis. Dalam penelitian terakhir
untuk mengatasi keadaan gangguan pendengaran akibat bising sukar dilakukan, yang dapat
dilakukan adalah pencegahan, mulai dari penggunaan perlindungan ataupun pemindahan dan
mengurangi kebisingan, akan tetapi untuk mengatasi penurunan kemampuan ini dapat
digunakan alat bantu dengar.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Arts, A. H., 1999. Differential Diagnosis of Sensorineural Hearing Loss. Dalam: Cummings, C. W., Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-3. Mosby-Year Book, St Louis-Toronto.
2. Bunde, Y. E., 2012. Bising Mengepung. http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=36. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.
3. Burkey, J. M., 2006. Baby Boomers and Hearing Loss: A Guide to Prevention and Care. Rutgers University Press, New Brunswick-London.
4. Fox, M. S., 1997. Pemaparan Bising Industri dan Kurang Pendengaran. Dalam: Ballenger, J. J., Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid dua. Alih bahasa: Staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara, Jakarta.
5. Dobie, A. R., 2001. Noice-Induce Hearing Loss. Dalam: Byron, J. B., Healy, G. B., Johnson, J. T., Jackler, R. K., Calhoun, K. H., Pillsbury III, H. C., Tardy Jr, M. E., Head an Neck Surgery – Otolaryngology. Edisi ke-3. Lippincott Milliams & Wilkins, Milwaukee.
6. Husni, T., 2011. Waspadai bising. http://www.ccde.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=458:waspadai-bising&catid=21:sehati&Itemid=28. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja., 1999. Nomor: KEP-51/MEN/1999. Tentang. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
8. Kinsela, K., Suzman, R., Robine, J. M., Myers, G., 2000. Demography of Older Population in Developed Countries. Dalam: Evans, J. G., Williams, T. F., Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Edisi ke-2. Oxford University Press, Boston.
9. Moller, A. R., 2006. Hearing: Anatomy, Phisiology and Disorders of Auditory System. Edisi ke-2. Elsevier, Amsterdam-Tokyo, 219-226
10. Soetirto, I., Bashirudin, J., 2006. Tuli Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke Lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
11. Soetjipto, D., 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising/ GPAB. http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=15. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.
12. Soetirto I. Tuli akibat bising ( Noise induced hearing loss ). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990. h. 37-9
13. Oedono RMT. Penatalaksanaan penyakit akibat lingkungan kerja dibidang THT. Disampaikan pada PIT Perhati, Batu-Malang, 27-29 Oktober, 1996
14. Heggins II ,J. The effects of industrial noise on hearing. http://hubel.sfasu.edu/courseinfo/SL98/hearing.html
15. Brookhouser PE, Worthington DW, Kelly WJ. Noise-induced hearing loss. http://www.uchsc.edu/sm/pmb/envh/noise.htm
16. Melnick W. Industrial hearing conservation. Dalam : Katz J, Ed. Handbook of clinical audiology. 4thed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1994.h.534-51.
13