gangguan pendengaran akibat bising

20
DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi 1 BAB I Pendahuluan 2 BAB II Gangguan Pendengaran Akibat Bising 4 II.1. Etiologi 4 II.2. Patofisiologi 4 II.3. Jenis Gangguan 6 II.4. Gejala Klinis 7 II.5. Diagnosis 8 II.6. Penatalaksanaan 9 II.7 Pencegahan 10 II.8. Prognosis 11 BAB III Kesimpulan 12 Daftar pustaka 13 1

Upload: zonadian

Post on 13-Aug-2015

300 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

gangguan pendengaran akibat bising

TRANSCRIPT

Page 1: gangguan pendengaran akibat bising

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi 1

BAB I

Pendahuluan 2

BAB II

Gangguan Pendengaran Akibat Bising 4

II.1. Etiologi 4

II.2. Patofisiologi 4

II.3. Jenis Gangguan 6

II.4. Gejala Klinis 7

II.5. Diagnosis 8

II.6. Penatalaksanaan 9

II.7 Pencegahan 10

II.8. Prognosis 11

BAB III

Kesimpulan 12

Daftar pustaka 13

1

Page 2: gangguan pendengaran akibat bising

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan pendengaran adalah hal yang lazim kita temui saat ini. Salah satunya

adalah gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) atau dalam istilah asing disebut Noise

Induce Hearing Lost (NIHL). Dengan semakin bertambah majunya teknologi, maka semakin

mudah dan nyaman hidup manusia. Tetapi dibalik itu tersimpan ancaman yang sering

tersamar dan tidak kita sadari. GPAB ini merupakan salah satu ancaman kemajuan tersebut.  

Bising dan penuaan merupakan dua hal utama penyebab hilangnya pendengaran

permanen. Sayangnya kelainan ini tidak dapat dikoreksi baik menggunakan obat-obatan

maupun tindakan operatif, tetapi GPAB dapat dicegah5.

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising secara Ilmu

Kesehatan Masyarakat adalah suara yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang

menggangu, atau suara yang diinginkan namun berpotensi menyebabkan gangguan

kesehatan. Bahkan menurut WHO, bising dikategorikan sebagai salah satu jenis polutan2 .

Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan rusaknya reseptor

pendengaran pada telinga dalam 10. Bising dapat kita temui juga dalam kehidupan kita sehari-

hari. Tidak hanya bising di tempat kerja, tetapi dapat juga bersumber dari alat rumah tangga,

alat elektronik, pemutar musik, pusat perbelanjaan sampai tempat bermain anak-anak. 

Pada tahun 1900, angka rata-rata harapan hidup di dunia hanya sebesar 47 tahun. Pada

saat itu, kehilangan pendengaran karena penuaan bukan suatu masalah yang banyak

ditemukan. Bandingkan dengan saat ini, rata-rata usia harapan hidup sudah meningkat tajam3.

Usia harapan hidup di Jepang adalah yang tertinggi, mencapai usia 80 tahun. Negara maju

seperti Australia, Kanada, Swiss dan lainnya memiliki angka rata-rata harapan hidup yang

mencapai 79 tahun8. Saat usia rata-rata semakin tua, maka mulai muncullah akumulasi

masalah kesehatan. Tidaklah mengherankan jika pada saat ini kejadian kehilangan

pendengaran semakin sering terjadi.

Gangguan pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar bising yang cukup keras

dalam jangka waktu yang cukup lama. Tuli ini merupakan jenis ketulian sensorineural yang

paling banyak ditemui setelah presbiakusis. Sejalan dengan berkembangnya gaya hidup

masyarakat, kejadian kehilangan pendengaran semakin banyak ditemukan. Selain paparan

2

Page 3: gangguan pendengaran akibat bising

suara bising, ada banyak faktor lain yang menyebankan gangguan pendengaran seperti

hipertensi, diabetes, obat-obatan, dan paparan substansi yang dapat merusak telinga

merupakan penyebab dari berkurangnya pendengaran3.

Lagi-lagi gaya hidup mempengaruhi berkembangnya keadaan-keadaan tersebut.

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara.

Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85

dB atau lebih 11. Di indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah

banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sundari (1994) yang menemukan

31,55% pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta menderita tuli akibat bising dengan

intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun11. Penelitian lain

dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di

perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising

lingkungan antara 84,9-108,2 dB11. Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising

ini tidak hanya dilakukan di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan, seperti yang dilakukan

oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (jl. M.H Thamrin,

Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk11.

Fakta bahwa paparan bising yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan

pendengaran mulai dikenali sejak abad kedelapan belas. Pada awal abad keduapuluh,

gangguan pendengaran akibat bising ini dikenal dengan nama Boilermaker’s Deafness1.    

Istilah ini muncul mungkin karena pada saat itu ketulian ini ditemukan pada para pekerja

pabrik yang bising. Jika kita tetap menginginkan untuk terus menikmati kualitas hidup sehat,

maka menjaga alat indera terutama pendengaran adalah kuncinya. Tulisan ini mencoba untuk

menjelaskan apa itu gangguan pendengaran akibat bising, patofisiologi, menegakkan

diagnosis dan cara pencegahannya. 

BAB II

3

Page 4: gangguan pendengaran akibat bising

Gangguan Pendengaran Akibat Bising

II.1. Etiologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan :

1. Intensitas kebisingan

2. Frekwensi kebisingan

3. Lamanya waktu pemaparan bising

4. Kerentanan individu

5. Jenis kelamin

6. Usia

II.2. Patofisiologi

Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini bergantung pada

beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi pendengaran normal

bergantung pada mekanisme mekanik pada telinga tengah dan koklea, mikromekanik dan

seluler dari organon corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan bioelektris telinga dalam,

dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang bekerja dengan baik1.

Sebagian besar paparan bising akan menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural

sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel ini disebut sebagai

kenaikan ambang dengar sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS)1. Apabila bising

tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau waktu paparan yang cukup lama bahkan

keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang dengar permanen, Permanent Threshold Shift

(PTS)1. Sedangkan trauma akustik adalah suatu paparan bising dalam tingkat yang berbahaya

dimana akan mengakibatkan keadaan PTS tanpa melalui proses TTS dalam satu kali paparan 1.

Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang

pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya pertama kali

muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini penderita mungkin hanya mengeluh tinitus, suara

yang teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan pendengaran yang temporer.

Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat bising, atau sesaat setelah

meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan berangsur menghilang setelah beberapa

jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan pendengaran biasanya tidak disadari sampai

ambang pendengaran bunyi nada percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari

25 dB. Awal dan perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian

4

Page 5: gangguan pendengaran akibat bising

selalu bertipe sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga.

Secara otoskopik, membran timpani tampak normal4.

Dobie, R.A (2001) dalam Head and Neck Surgery-Otolaryngology, menjelaskan

bahwa GPAB mengakibatkan kerusakan pada organon corti. Didapatkan kesulitan dalam

menemukan kelainan anatomis sehubungan dengan TTS, tetapi diyakini bahwa kelainan ini

disebabkan oleh stereocilia dari sel rambut yang berkurang ketegangannya yang

mengakibatkan turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan stereocilia ini dapat

kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan meningkatnya intensitas dan

durasi paparan bising, maka kerusakan akan semakin berat sampai akhirnya terjadi hilangnya

stereocilia tersebut. Ketika stereocilia telah hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami

kerusakan. Dengan bertambahnya paparan, maka sel rambut dan sel-sel pendukung dalam

organon corti akan turut rusak. Selain itu juga dilaporkan adanya degenerasi syaraf

pendengaran dan nukleus pendengaran.

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa nada murni dengan frekuensi dan

intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan

frekuensi rendah akan merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar

dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang

melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputusnya dan degenerasi  sel-sel

rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat menunjukkan adanya

degenerasi, baik sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh

organon corti4.

Beberapa teori telah diajukan mengenai mengapa daerah yang melayani frekuensi

4000 Hz lebih rentan terhadap pemaparan bising. Teori yang paling populer adalah bahwa

struktur anatomi di daerah tersebut lebih lemah. Kelemahan struktur anatomi tersebut adalah

sebagai akibat ketajaman pendengaran dan spektrum dari stimulus suara. Didapatkan bahwa

ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu sampai satu setengah oktaf diatas skala

frekuensi nada stimulator. Karena ambang pendengaran lebih peka pada nada diantara 1000

dan 3000 Hz, beralasan untuk menduga bahwa bising industri, karena spektrumnya, akan

menyebabkan kerusakan paling dini pada frekuensi antara 3000 sampai 4000 Hz 4.

5

Page 6: gangguan pendengaran akibat bising

Besarnya gangguan pendengaran yang didapat tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas

bising dan durasi paparan tetapi juga karakter dari bising tersebut (spektrum frekuensi dan

pola waktu). Paparan terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi yang

sempit menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran tersebut terjadi

pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara dengan energi terbesar. Alasan

dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini paling mungkin adalah dari jarak pergeseran

maksimal membran basilar terhadap dasar koklea saat adanya peningkatan intensitas suara9.

Selain bervariasinya kondisi paparan, ada beberapa hal yang menyebabkan

bervariasinya kejadian GPAB pada paparan bising yang sama. Selain oleh paparan bising,

GPAB juga dipengaruhi oleh beberapa variabilitas meliputi perbedaan genetis, usia, jenis

kelamin, warna kulit, perbedaan jalur konduksi suara (telinga luar dan telinga tengah), suplai

darah, dan inervasi koklea. 

II.3. Jenis Gangguan

Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2

kategori yaitu : 13,15,16

1. Noise Induced Temporary Threshold Shift ( TTS )

2. Noise Induced Permanent Threshold Shift ( NIPTS )

NOISE INDUCED TEMPORARY THRESHOLD SHIFT ( NITTS )

Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai

perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi

pada frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch “ yang

curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Pada tingkat awal

terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga

NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat

kembali normal. 16

NOISE INDUCED PERMANENT THRESHOLD SHIFT ( NIPTS )

Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran

akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “ occupational hearing loss “ atau

6

Page 7: gangguan pendengaran akibat bising

kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising

industri.15

Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja

dilingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :16

1. tingkat suara bising

2. kepekaan seseorang terhadap suara bising

NIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat

dan menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan,tetapi

apabila sudah menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah ( 2000 dan 3000 Hz )

keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk

mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke

frekwensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suarayang

sangat lemah. Notch bermula pada frekwensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah beberapa

waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi.

Kehilangan pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap

setelah 10 tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.

II.4. Gejala Klinis

Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech

discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan

kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi,

seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian

biasanya bilateral. Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya

dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi. 12

Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced

hearing loss ) adalah :15

1. Bersifat sensorineural

2. Hampir selalu bilateral

3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ) Derajat ketulian

berkisar antara 40 s/d 75 dB.

4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunanpendengaran yang

signifikan.

7

Page 8: gangguan pendengaran akibat bising

5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz,

dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000Hz.

6. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz

akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.

Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga

mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan

konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.12 ,13

II.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk otoskopi,

dan pemeriksaan penunjang seperti audiometri. Pada anamnesis ditemukan adanya tanda

pernah berada di tempat dengan bising tinggi dalam jangka waktu lama atau intensitas tinggi.

Bising intensitas tinggi tidak hanya didapat dari tempat bekerja, tetapi dapat juga didapat di

lingkungan tempat tinggal sehari-hari, contohnya riwayat penggunaan pemutar musik yang

berlebihan, aktifitas ke pusat hiburan yang terlalu sering, berada di lalu lintas padat dalam

jangka waktu lama dan lain-lain.

Pada pemeriksaan otoskopi biasanya tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan

audiologi didapatkan tanda-tanda tuli sensori neural pada tes penala. Pemeriksaan audiometri

nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada

frekuensi 4000 Hz sering didapatkan takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian

ini10.

Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity Index),

ABLB (Alternate Binaural loudness balance), MLB (monoaural Loudness Balance),

audiometri tutur, hasil menunjukkan adanya fenomena rekrutmen yang patognomonik untuk

tuli saraf koklea. Rekrutmen adalah suatu fenomena dimana telinga yang tuli menjadi lebih

sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah

melewati ambang dengarnya10. Sebagai contoh, orang yang pendengarannya normal tidak

dapat mendeteksi kenaikan intensitas bunyi sebesar 1 dB bila sedang mendengarkan bunyi

nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen maka akan dapat mendeteksi

kenaikan bunyi tersebut

8

Page 9: gangguan pendengaran akibat bising

gambar Pemeriksaan audiologi untuk Gangguan Pendengaran Akibat Bising

II.6. Penatalaksanaan

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari

lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung

telinga yaitu berupa sumbat telinga ( ear plugs ), tutup telinga ( ear muffs ) dan pelindung

kepala (helmet).12

Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap

(irreversible ), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi

dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar ( ABD ).

Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak

dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat

menerima keadaannya. Latihan pendengaran ( auditory training ) juga dapat dilakukan agar

pasien dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan

membaca ucapan bibir ( lip reading ), mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat

untuk dapat berkomunikasi.12.14

II.7. Pencegahan

9

Page 10: gangguan pendengaran akibat bising

Untuk mengurangi angka terjadinya GPAB, diperlukan usaha-usaha baik secara

promotif preventif dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan

kerjasama  yang baik dari masyarakat dan pemerintah melalui tenaga kesehatan.

Tindakan pencegahan merupakan hal paling bijak yang dapat kita lakukan dalam

menghadapi masalah GPAB ini. Sejalan dengan ini, Departemen Tenaga Kerja berdasarkan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomor: KEP-51/MEN/1999 telah menentukan batas

paparan suara bising yang diperkenankan.

Lama Pajanan Intensitas dlm dB

Jam 24168421

808285889194

Menit 30157.503.751.880.94

97100103106109112

Detik 28.1214.067.033.521.760.880.440.220.11

115118121124127130133136139

Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB, walau sesaat12

Dengan dikeluarkannya peraturan, pemerintah berusaha melindungi masyarakatnya

yang bekerja ditempat bising. Perlindungan tersebut diwujudkan dengan pengaturan jam

kerja sesuai dengan paparan bising yang didapat oleh pekerja.

Pembatasan pemaparan bising dapat dilakukan dengan mengontrol lingkungan mesin

atau perlindungan diri pekerja yang terpapar. Program konservasi pendengaran yang ideal

adalah dapat mengurangi atau menghilangkan bising yang berbahaya tepat pada sumbernya4.

Sayangnya kondisi ideal ini sukar dicapai ditinjau dari pengaturan teknis dan ekonomi.

Apabila pengontrolan sumber bising tersebut masih tetap mebahayakan, maka dapat

diberikan Alat Pelindung Diri (APD) pekerja berupa sumbat telinga4.

10

Page 11: gangguan pendengaran akibat bising

Usaha-usaha diatas merupakan pencegahan terjadinya GPAB di tempat kerja, yang

disebut dengan Occupational Hearing Loss. Tetapi ada yang tidak kalah pentingnya yaitu

tindakan pencegahan GPAB diluar lingkungan kerja, yang disebut dengan non-Occupational

Hearing Loss.

Komnas PGPKT (Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan

Ketulian) telah melakukan penelitian menggunakan sound level meter di 10 kota besar

Indonesia pada tempat bermain anak, balita dan remaja. Hasilnya sangat mengejutkan dimana

tingkat kebisingan di area tersebut mencapai 90-97,9 dB. Komisi ini juga mengukur pemutar

musik portabel, dimana didapatkan angka 80 dB pada volume suara 50-60%6. Sumber-

sumber bising ini rupanya belum mendapat perhatian lebih sehingga belum ada peraturan

yang mengikatnya. Padahal sumber bising ini tidak kalah berbahaya dibanding dengan

kebisingan di tempat kerja, baik dari segi intensitas bising dan durasi paparan yang sulit

terkontrol.

Untuk dapat menghindari terjadinya ketulian akibat bising terutama diluar lingkungan

kerja ini perlu kiranya kita mendorong pemerintah melalui dinas terkait untuk membuat

peraturan tentang ‘Intensitas Bising’ yang diijinkan di tempat hiburan, arena bermain anak,

dan pengontrolan penggunaan alat musik digital dan lain-lain6.

Selain itu kontrol orang tua terhadap anaknya juga tidak kalah pentingnya. Kontrol ini

diperlukan sebagai benteng keluarga, sementara pemerintah membuat peraturan yang

melindungi masyarakat dari paparan bising diluar tempat kerja. Orangtua hendaknya

memberikan arahan tentang penggunaan alat pemutar musik kepada anaknya, dengan tidak

memutar volume melebihi 50%. Proteksi juga dilakukan dengan membatasi waktu kunjungan

anak ke pusat perbelanjaan dan arena bermain anak. Karena tempat-tempat tersebut

berdasarkan penelitian memiliki intensitas bunyi sebesar 90-97 dB, sehingga kita tidak boleh

lebih dari satu jam disana.

II.8. Prognosis

Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya

menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka

prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya

ketulian.12,13

11

Page 12: gangguan pendengaran akibat bising

BAB III

KESIMPULAN

Gangguan Mendengar akibat suasana bising atau dikenal dengan NOICE INDUCED

HEARING LOSS merupakan problem yang akan sering ditemukan di zaman sekarang. Hal ini

diakibatkan banyaknya kebisingan, bising adalah bunyi yang tidak diinginkan, dimana bunyi

ini memiliki frekuensi atapun decibel yang tinggi. Dalam proses penurunan kemampuan

mendengar dipengaruhi oleh Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan :

1. Intensitas kebisingan

2. Frekwensi kebisingan

3. Lamanya waktu pemaparan bising

4. Kerentanan individu

5. Jenis kelamin

6. Usia

Dalam penegakan diagnosis anamnesis merupakan faktor penting karen dapat mengetahui

faktor – faktor utama yang menjadi penyebab penurunan kemampuan mendengar. Selain itu

Pemeriksaan audiologi dapat membantu memastikan diagnosis. Dalam penelitian terakhir

untuk mengatasi keadaan gangguan pendengaran akibat bising sukar dilakukan, yang dapat

dilakukan adalah pencegahan, mulai dari penggunaan perlindungan ataupun pemindahan dan

mengurangi kebisingan, akan tetapi untuk mengatasi penurunan kemampuan ini dapat

digunakan alat bantu dengar.

12

Page 13: gangguan pendengaran akibat bising

DAFTAR PUSTAKA

1. Arts, A. H., 1999. Differential Diagnosis of Sensorineural Hearing Loss. Dalam: Cummings, C. W., Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-3. Mosby-Year Book, St Louis-Toronto.

2. Bunde, Y. E., 2012. Bising Mengepung. http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=36. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.

3. Burkey, J. M., 2006. Baby Boomers and Hearing Loss: A Guide to Prevention and Care. Rutgers University Press, New Brunswick-London.

4. Fox, M. S., 1997. Pemaparan Bising Industri dan Kurang Pendengaran. Dalam: Ballenger, J. J., Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid dua. Alih bahasa: Staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara, Jakarta.

5. Dobie, A. R., 2001. Noice-Induce Hearing Loss. Dalam: Byron, J. B., Healy, G. B., Johnson, J. T., Jackler, R. K., Calhoun, K. H., Pillsbury III, H. C., Tardy Jr, M. E., Head an Neck Surgery – Otolaryngology. Edisi ke-3. Lippincott Milliams & Wilkins, Milwaukee.  

6. Husni, T., 2011. Waspadai bising. http://www.ccde.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=458:waspadai-bising&catid=21:sehati&Itemid=28. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012

7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja., 1999. Nomor: KEP-51/MEN/1999. Tentang. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.

8. Kinsela, K., Suzman, R., Robine, J. M., Myers, G., 2000. Demography of Older Population in Developed Countries. Dalam: Evans, J. G., Williams, T. F., Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Edisi ke-2. Oxford University Press, Boston.

9. Moller, A. R., 2006. Hearing: Anatomy, Phisiology and Disorders of Auditory System. Edisi ke-2. Elsevier, Amsterdam-Tokyo, 219-226

10. Soetirto, I., Bashirudin, J., 2006. Tuli Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke Lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

11. Soetjipto, D., 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising/ GPAB. http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=15. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.

12. Soetirto I. Tuli akibat bising ( Noise induced hearing loss ). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990. h. 37-9

13. Oedono RMT. Penatalaksanaan penyakit akibat lingkungan kerja dibidang THT. Disampaikan pada PIT Perhati, Batu-Malang, 27-29 Oktober, 1996

14. Heggins II ,J. The effects of industrial noise on hearing. http://hubel.sfasu.edu/courseinfo/SL98/hearing.html

15. Brookhouser PE, Worthington DW, Kelly WJ. Noise-induced hearing loss. http://www.uchsc.edu/sm/pmb/envh/noise.htm

16. Melnick W. Industrial hearing conservation. Dalam : Katz J, Ed. Handbook of clinical audiology. 4thed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1994.h.534-51.

13