format laporan sk 3 kulit

46
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK KULIT SKENARIO 3 ERUPSI ALERGI OBAT KELOMPOK 7 ALINDINA IZZANI G0011013 ATIKA SUGIARTO G0011043 DOROTHY EUGENE G0011075 HANY ZAHRO G0011105 RATNA SARIYATUN G0011165 SHINTA AMALIA KARTIKA G0011197 AFRIZAL TRI HERYADI G0011007 BRYAN PANDU PERMANA G0011055 HANIF NUGRA PUJIYANTO G0011103 NOVANDI LISYAM PRASETYA G0011153 NOVY WAHYUNENGSIH L. G0011155

Upload: shinta-amalia-kartika

Post on 29-Dec-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Format Laporan Sk 3 Kulit

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK KULIT SKENARIO 3

ERUPSI ALERGI OBAT

KELOMPOK 7

ALINDINA IZZANI G0011013

ATIKA SUGIARTO G0011043

DOROTHY EUGENE G0011075

HANY ZAHRO G0011105

RATNA SARIYATUN G0011165

SHINTA AMALIA KARTIKA G0011197

AFRIZAL TRI HERYADI G0011007

BRYAN PANDU PERMANA G0011055

HANIF NUGRA PUJIYANTO G0011103

NOVANDI LISYAM PRASETYA G0011153

NOVY WAHYUNENGSIH L. G0011155

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

Page 2: Format Laporan Sk 3 Kulit

BAB I

PENDAHULUAN

Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan

pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi

yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat

mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit

merupakan manifestasi yang tersering.

Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak

dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi

pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan efek farmakologik

obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk

diantaranya efek samping dan overdoses (kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat

diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis dan

tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk di antaranya reaksi alergi obat.

Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat.

LUKA ITU MUNCUL KEMBALI

Seorang laki-laki usia 30 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan lecet-lecet

berair di kepala penisnya. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan terasa perih. BAK

tidak ada keluhan. Keluhan ini pernah muncul 1 tahun yang lalu ditempat yang sama.

Penderita mengkonsumsi obat pegal 1 minggu sebelumnya yang dibeli diwarung. Penderita

mengaku tidak pernah berhubungan seksual selain dengan istri.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium sekret penderita didapatkan : lekosit PMN 1 – 2,

diplokokus Gram (-) ekstra dan intra seluler (-), kandida (-), trikomonas (-). Pemeriksaan

Tzank test (-). Pemeriksaan serologis (-).

Page 3: Format Laporan Sk 3 Kulit

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. JUMP 1 : MENGKLARIFIKASI ISTILAH

1. Lecet-lecet berair

Luka level epidermis atau diatas stratum basale epidermis. Cairan yang terlihat adalah

cairan serum, cairan intrasel maupun cairan ekstrasel.

2. Obat pegal

mengandung steroid ataupun non steroid yang berguna sebagai anti inflamasi.

Contohnya adalah kortikosteroid.

3. Lekosit PMN 1-2

merupakan kepanjangan dari sel polimorfonuklear. Gambaran mikroskopisnya berinti

polimorf, berlobus, sitoplasma terdapat granula. Berfungsi sebagai pertahanan pertama

terhadap infeksi.

4. Diplokokus Gram (-) ekstra dan intra seluler

Tidak ditemukannya bakteri Neisseria gonorrhoeae di ekstra seluler maupun

intraseluler dalam hal ini sel netrofil.

5. Kandida

Genus jamur menyurupai ragi yang umumnya merupakan bagian dari flora normal

mulut, kulit, saluran pencernaan, dan vagina, tetapi dapat menyebabkan berbagai

infeksi cadidiasis.

6. Trikomonas

Genus protozoa flagelata meliputi Trikomonas hominis parasit usus manusia

nonpatogenik, Trikomonas vaginalis penyebab trikomoniasis..

7. Pemeriksaan Tzank test

Tes ini dilakukan dengan cara diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright dimana

akan tampak sel raksasa berinti banyak. Tes ini dapat membedakan virus varicella

zooster dengan herpes simpleks virus.

8. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan mengenai reaksi antigen-antibodi in vitro. Pemeriksaan dengan serum

untuk melihat imunoglobulin, DNA ataupun RNA virus.

Page 4: Format Laporan Sk 3 Kulit

B. JUMP 2 : MENDEFINISIKAN PERMASALAHAN

1. Laki-laki 30 tahun dengan keluhan lecet-lecet berair di kepala penisnya.

2. Keluhan sejak 3 hari yang lalu dan terasa perih.

3. BAK tidak ada keluhan.

4. Keluhan ini pernah muncul 1 tahun yang lalu di tempat yang sama.

5. Penderita mengkonsumsi obat pegal 1 minggu yang lalu.

6. Penderita mengaku tidak pernah berhubungan seksual selain dengan istri.

7. Pemeriksaan laboratorium lekosit PMN 1-2, diplokokus Gram (-) ekstra dan intra

seluler (-), kandida (-), trikomonas (-).

8. Pemeriksaan Tzank test (-).

9. Pemeriksaan serologis (-).

C. JUMP 3 : MENGANALISIS PERMASALAHAN

1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan ?

2. Bagaimana penyebab kronologis keluhan sejak 3 hari yang lalu lecet-lecet berair dan

perih ?

3. Bagaimana faktor resiko dari terjadinya kekambuhan di lokasi yang sama ?

4. Apa saja kandungan, indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari obat pegal ?

5. Bagaimana hubungan obat pegal dengan timbulnya keluhan ?

6. Mengapa tidak ada gangguan BAK ?

7. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Tzank test dan pemeriksaan

serologis ?

8. Bagaimana etiologi,epidemiologi, patogenesis, gejala dan tanda, penatalaksanaan,

komplikasi, prognosis dan preventif dari masing-masing diagnosis banding?

D. JUMP 4 : MENGINVENTARI PERMASALAHAN SECARA SISTEMATIS

ALERGI

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:

1. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu

menjelaskan mekanisme ini.

2. Sistem imunitas

Page 5: Format Laporan Sk 3 Kulit

Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan

sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru

meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan

dengan populasi normal.

3. Usia

Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan

orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim

immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena

lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua

akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang

lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.

4. Dosis

Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya

sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun

sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar

pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.

5. Infeksi dan keganasan

Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang

disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus

(HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas

obat.

6. Atopik

Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.

PATOGENESIS

Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme

imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul

karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit

obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat

terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over

dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. (Revus,2003)

Tabel 1. Reaksi imunologis dan non imunologis

Page 6: Format Laporan Sk 3 Kulit

Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options.

In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Available at:

www.aafp.org/afp

1. Mekanisme Imunologis

Tipe I (Reaksi anafilaksis)

Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai

afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak

menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka

obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan

bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA.

Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya

urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok (Hamzah,

2002).

Tipe II (Reaksi Autotoksis)

Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi

sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

(Hamzah, 2002)

Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Page 7: Format Laporan Sk 3 Kulit

Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen

antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam

jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang

pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan

jaringan. (Hamzah, 2002)

Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi

dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam

setelah pajanan terhadap antigen. (Hamzah, 2002)

Page 8: Format Laporan Sk 3 Kulit

2. Mekanisme Non Imunologis

Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-

dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras

media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat;

pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem

komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel

(Andrew, 1993).

Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat

menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi

anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit,

dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti

hiperpigmentasi generalisata diffuse (Andrew, 1993).

3. Unknown Mechanisms

Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat

dijelaskan (Andrew, 1993).

Alergi obat dapat diklasifikasikan seperti semua penyakit alergi lainnya (Coombs

dan Gell). Atas dasar diskusi yang kami lakukan, kasus pada skenario 3 ini merupakan

reaksi hipersensitivitas tipe 4 karena obat. Pada tabel yang diadaptasi dari buku “Allergy

Page 9: Format Laporan Sk 3 Kulit

in Practice” dapat dilihat bahwa kebanyakan hipersensitivitas tipe 4 karena obat adalah

penyakit eczema, fotoalergi, fixed drug eruption, maculopapular, dan toxic epidermal

necrolysis (TEN).(Ring, 2005)

E. JUMP 5 : MERUMUSKAN TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan ?

2. Bagaimana penyebab kronologis keluhan sejak 3 hari yang lalu lecet-lecet berair dan

perih ?

3. Bagaimana faktor resiko dari terjadinya kekambuhan di lokasi yang sama ?

4. Apa saja kandungan, indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari obat pegal ?

5. Bagaimana hubungan obat pegal dengan timbulnya keluhan ?

6. Mengapa tidak ada gangguan BAK ?

7. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Tzank test dan pemeriksaan

serologis ?

8. Bagaimana etiologi,epidemiologi, patogenesis, gejala dan tanda, penatalaksanaan,

komplikasi, prognosis dan preventif dari masing-masing diagnosis banding?

F. JUMP 6 : MENGUMPULKAN INFORMASI

Kami mencari informasi dari tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan sebelumnya

secara mandiri untuk disampaikan pada pertemuan berikutnya.

Page 10: Format Laporan Sk 3 Kulit

G. JUMP 7 : MELAPORKAN, MEMBAHAS, DAN MENATA KEMBALI

INFORMASI BARU YANG DIPEROLEH

1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan ?

Tidak ada batasan umur untuk terjadinya kasus FDE. Namun, beberapa kasus yang

telah dilaporkan rentang usianya berkisar antara 1,5 tahun hingga 87 tahun. Rata-rata

usia penderita FDE pada laki-laki adalah 30,4 dan pada perempuan adalah 31,3 tahun.

Dalam studi kasus FDE, dari 450 pasien yang diteliti, perbandingan penderita pria dan

wanita adalah 1 : 1,1 (David, 2012).

2. Bagaimana penyebab kronologis keluhan sejak 3 hari yang lalu lecet-lecet berair

dan perih ?

Pada Fixed Drug Eruption (FDE), belum diketahui patogenesisnya secara pasti.

Gejala yang muncul biasanya asimtomatik. Bisa terjadi rasa gatal, nyeri, maupun rasa

terbakar. Rasa nyeri biasanya muncul ketika lesi mengalami erosi. Onset dari FDE

bermula 30 menit – 8 jam setelah mengkonsumsi obat penyebab alergi pada pasien yang

pernah tersensitisasi sebelumya. Lesi yang terjadi tetap berlanjut dan membaik perlahan

setelah konsumsi obat dihentikan. (Wolff et al, 2007)

Ujud kelainan kulit pada FDE dicirikan dengan lesi awal berupa makula bulat atau

oval berbatas tegas yang muncul beberapa jam setelah konsumsi obat. Awalnya makula

eritem dan dapat berkembang menjadi merah kehitaman sampai ungu. Seringnya, lesi

soliter dan dapat berkembang menjadi lesi multipel. Lesi makulapun berkembang

menjadi edematous, kemudian menjadi palk, berkembang menjadi bula, dan terjadi erosi.

Lesi yang erosi biasanya terasa amat nyeri pada genital dan oral.(Wolff et al, 2007)

Kasus yang terjadi di skenario 3, lecet-lecet berair disebut juga erosi. Erosi adalah

luka level epidermis atau diatas stratum basale epidermis. Cairan yang terlihat adalah

cairan serum, cairan intrasel maupun cairan ekstrasel. Erosi terjadi 3 hari kemudian

setelah mengkonsumsi obat pegal. Hal ini dikarenakan ketika lesi berkembang dari

makula sampai bula bisanya asimtomatik.

3. Bagaimana faktor resiko dari terjadinya kekambuhan di lokasi yang sama ?

Mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obatdapat berupa IgE-mediated

drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction,cytotoxic drug induced reaction

dan cell mediated reaction.

Page 11: Format Laporan Sk 3 Kulit

Proses imunologik yang terjadi diantaranya adalah peningkatankadar histamine dan

komplemen yang sangat bermakna (200-640 nMol/L). Keadaan ini diduga sebagai

penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan rasa gatal. 60-80% sel infiltratyang

berperanadalah sel Limfosit T (T4 dan T8). Ada pula peningkatan sel mast sebesar 5-

10%serta HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di dermis. Keadaanini

sama dengan lesi pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit T yang

menetapdilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi

padatempat yang sama. Timbulnya kembalilesi ditempat yang sama menjelaskan arti

kata “fixed” pada penyakit fixed drug eruption.

4. Apa saja kandungan, indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari obat pegal ?

Terapi menggunakan obat umumnya bersifat simtomatik, yaitu menggunakan

analgetika dan antiinflamasi.

A. Analgetika

Beberapa obat yang efektif untuk rematik/pegal linu adalah; 1. Asetaminofen

(parasetamol) Merupakan obat yang penting untuk analgetik pada nyeri yang ringan

sampai sedang yang tidak disertai inflamasi. Obat ini bekerja menghambat sintesis

prostaglandin (PG) di sistem saraf pusat melalui penghambatan COX, tetapi tidak

menghambat PG di perifer (Priyatno, 2009). 2. Aspirin Aspirin mempunyai 3 efek,

analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, bahkan pada dosis rendah juga bermanfaat

sebagai antitrombosis. Efek analgetik dan antiinflamasinya karena dapat menghambat

prostaglandin dan juga menghambat simulasi nyeri pada bagian subkortikal. Dapat

menyebabkan iritasi lambung dari derajat ringan hingga berat. Untuk meminimalisirnya

obat ini harus diminum bersama makan atau minum susu (Priyatno, 2009). 3. Capsaisin

Merupakan ekstrak etanol dari cabe merah yang dapat mengurangi nyeri ketika dioleskan

pada permukaan sendi yang terkena. Obat ini dapat dipakai sendirian atau

dikombinasikan dengan OAINS (Priyatno, 2009).

B. Antiinflamasi

Ada dua jenis antiinflamasi yang dapat dugunakan, yaitu; 1. Obat antiinflamasi non-

steroid (OAINS) mempunyai efek analgetika pada dosis rendah dan antiinflamasi pada

dosis yang lebih tinggi. Efek analgetik timbul 1-2 jam setelah pemakaian dan efek

antiinflamasinya timbul pada waktu yang lebih lama. Efek antiinflamasinya timbul

karena OAINS dapat menghambat enzim cyclooxygenase (COX) yang berfungsi dalam

mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin.

Page 12: Format Laporan Sk 3 Kulit

Mekanisme lain kemungkinan mempengaruhi mediator inflamasi lain seperti bradikinin,

histamin, dan serotonin, serta memodulasi sel T, stabilisasi membran lisosom, dan

menghambat kemotaksis. Efek antipiretinya dikaitkan dengan menghambat pirogen (IL-

1) yang menginduksi PG di hipotalamus dan resetting pada sistem termoregulator,

menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan hilangnya panas (Priyatno, 2009). 2.

Glukokortikoid Glukokortikoid bekerja menghambat konversi fosfolipid menjadi asam

arakidonat dan asam arakidonat menjadi leukotrien melalui kemampuannya mengikat

enzim lipogenase. Leukotrien adalah zat kemotaktik yang akan menyebabkan fagositosis

berlebihan. Namun, penggunaannya tidak dianjurkan karena terbukti tidak efektif dan

pada pemakaian jangka panjang berbahaya(Priyatno, 2009).

Penggunaan OAINS dalam pengobatan

OAINS umunya diberikan secara dini dimaksudkan untuk mengatasi rematik/pegal

linu akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi

sinovial yang bermakna. Selain itu, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat

baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenasi sehingga

menekan sintesis prostaglandin. OAINS bekerja dengan cara;

Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal

Menghambat pembebasan dan aktivasi mediator inflamasi (histamin, serotonin,

enzim lisosomal, dan enzim lainnya)

Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan

Menghambat proliferasi selular

Menetralisasi radikal oksigen

Menekan rasa nyeri (Sudoyo, dkk, 2007)

Yang perlu diperhatikan dalam penggunaan OAINS adalah :

Dapat menyebabkan iritasi lambung dengan gejala mual, dispepsia, anoreksia, dan

nyeri

Obat ini tidak menyembuhkan penyakit tetapi hanya bersifat simtomatik

Kombinasi penggunaan OAINS akan meningkatkan toksisitasnya tanpa diikuti

peningkatan manfaat

Semua OAINS berpotensi menimbulkan ulcer dan perdarahan saluran cerna karena

efek langsung maupun efek sistemiknya dan dapat dikurangi jika diminum pada perut

dalam kondisi terisi (setelah makan)

Page 13: Format Laporan Sk 3 Kulit

Efek toksik OAINS akan meningkat pada penderita lanjut usia atau penderita

penyakit kardiovaskuler, menggunakan kortikosteroid, antikoagulan, dan punya riwayat

ulcer

Bagi yang rentan terkena efek samping OAINS dapat memilih OAINS yang spesifik,

yaitu yang hanya menghambat enzim COX2, yaitu celekosib dan refecosib

Interaksi serius dapat terjadi jika diberikan bersamaan dengan lithium, warfarin, oral

antiglikemik (tolbutamid), methotreksak, ACE-inhibitor, ß-bloker, dan diuretik.

(Priyatno, 2009).

Efek samping OAINS pada pengobatan

Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas OAINS yang

umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika

OAINS digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam

keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek

samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada pasien sensitif dapat digunakan preparat

OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-

acidic (Sudoyo, dkk, 2007)

Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain

adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta penekanan system

hematopoetik (Sudoyo, dkk, 2007). Menurut Katzung (1998), efek samping yang dapat

terjadi pada penggunaan OAINS antara lain;

1. Efek terhadap saluran cerna

Pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada lambung

(intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (bersama makanan

yang diikuti oleh segelas air atau antasid). Gastritis yang timbul pada aspirin mungkin

disebabkan oleh iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut atau karena

penghambatan prostaglandin pelindung. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang

berhubungan dengan penggunaan OAINS biasanya berkaitan dengan erosi lambung.

Peningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutinPeningkatan

kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutin berhubungan dengan konsumsi

OAINS; kira-kira 1 mL darah normal yang hilang dari tinja per hari meningkat sampai

kira-kira 4 mL per hari pada penderita yang minum OAINS dosis biasa dan pada dosis

lebih tinggi. Di lain pihak, dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh, meskipun OAINS

diberikan bersamaan. Muntah juga dapat terjadi sebagai akibat rangsangan susunan saraf

pusat setelah absorbsi dosis besar OAINS.

Page 14: Format Laporan Sk 3 Kulit

2. Efek susunan saraf pusat

Dengan dosis yang lebih tinggi, penderita bisa mengalami ”salisilisme”-tinitus,

penurunan pendengaran, dan vertigo-yang reversibel dengan pengurangan dosis. Dosis

salisilat yang lebih besar lain dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek langsung

terhadap medula oblongata. Pada kadar salisilat toksik yang rendah, bisa timbul respirasi

alkalosis sebagai akibat peningkatan ventilasi. Kemudian asidosis akibat pengumpulan

turunan asam salisilat dan depresi pusat pernapasan.

3. efek samping lainnya Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan

kadar asam urat serum. Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik,

terutama pada penderita dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus

sistemik serta artritis rematoid juvenilis dan dewasa. Dapat menyebabkan penurunan laju

filtrasi glomerulus yang reversibel pada penderita dengan dasar penyakit ginjal, tetapi

dapat pula (meskipun jarang) tejadi pada ginjal normal. Pada dosis biasa mempunyai

efek yang dapat diabaikan terhadap toleransi glukosa. Sejumlah dosis toksik akan

mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung serta dapat menekan fungsi

jantung dan melebarkan pembuluh darah perifer. Dosis besar akan mempengaruhi otot

polos secara langsung. Reaksi hipersensitifitas bisa timbul setelah konsumsi pada

penderita asma dan polip hidung serta bisa disertai dengan bronkokonstruksi dan syok.

Dikontrainsikasikan pada penderita hemofilia. Juga tidak dianjurkan bagi wanita hamil

dan anak-anak. Selama 20 tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai

golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh dipasaran. Dalam memilih suatu

OAINS untuk digunakan pada seorang pasien, seorang dokter umunya harus

mempertimbangkan beberapa hal seperti :

Khasiat antiinflamasi

Efek samping obat

Kenyamanan/kepatuhan pasien

Biaya

Karena faktor seperti khasiat inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau

biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya tidak jauh berbeda, sejak beberapa

tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan

pasien dalam menggunakan OAINS (sudoyo, dkk, 2007).

5. Bagaimana hubungan obat pegal dengan timbulnya keluhan ?

Page 15: Format Laporan Sk 3 Kulit

Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non

imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang terjadi

melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang

sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut. Disebabkan oleh berat

molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang

tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten, harus

berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari

membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein, kecuali

obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung sebagai

antigen yang lengkap.

6. Mengapa tidak ada gangguan BAK ?

Lecet berair yang disertai dengan keluhan BAK biasanya merupakan manifestasi

dari penyakit menular seksual. Keluhan BAK dapat timbul karena adanya

infeksi/inflamasi pada organ dalam, sementara jika lecet berair tanpa adanya keluhan

BAK berarti infeksi atau inflamasi hanya terjadi di bagian luar, yaitu kulit.

7. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Tzank test dan

pemeriksaan serologis ?

lekosit PMN 1 – 2 hal ini menandakan normal . tidak terdapat radang akut.

diplokokus Gram (-) ekstra dan intra seluler (-) hal ini menandakan bahwa tidak

ditemukannya bakteri Neisseria gonorrhoeae di ekstra seluler maupun intraseluler dalam

hal ini sel netrofil. Keadaan ini menyingkirkan diagnosis banding uretritis gonore,

kandida (-) menandakan tidak ditemukannya jamur Candida. Hal ini menyingkirkan

diagnosis banding kandidiasis.

trikomonas (-) menandakan tidak ditemukannya parasit trichomonas. Hal ini

menyingkirkan diagnosis banding trikomoniasis.

Pemeriksaan Tzank test (-), hal ini menyingkirkan diagnosis banding herpes simpleks.

Pemeriksaan serologis (-) hal ini menandakan tidak ditemukannya antigen antibodi

terhadap suatu kompleks tertentu.

8. Bagaimana etiologi,epidemiologi, patogenesis, gejala dan tanda,

penatalaksanaan, komplikasi, prognosis dan preventif dari masing-masing

diagnosis banding?

Page 16: Format Laporan Sk 3 Kulit

1. Gonore

1.1. Defenisi

Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria

gonorrhoeae yang bersifat purulen dan dapat menyerang permukaan mukosa manapun di

tubuh manusia (Behrman, 2009).

1.2 Epidemiologi

Di dunia, gonore merupakan IMS yang paling sering terjadi sepanjang abad ke 20,

dengan perkiraan 200 juta kasus baru yang terjadi tiap tahunnya (Behrman, 2009). Sejak

tahun 2008, jumlah penderita wanita dan pria sudah hampir sama yaitu sekitar 1,34 tiap

100.000 penduduk untuk wanita dan 1,03 tiap 100.000 penduduk untuk pria (CDC,

2009).

1.3. Etiologi dan morfologi

Gonore disebabkan oleh gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879.

Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae bersama dengan 3

spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca.

Gonokok termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan

pajang 1,6 u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat ditemui baik di

dalam maupun di luar leukosit. (Daili, 2009).

1.4. Gejala klinis

Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria. Sedangkan

pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan untuk bersifat

asimptomatis pada wanita.

Keluhan subjektif yang paling sering timbul adalah rasa gatal, disuria, polakisuria, keluar

duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang dapat disertai darah dan

rasa nyeri pada saat ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra eksternum tampak

kemerahan, edema, ekstropion dan pasien merasa panas. Pada beberapa kasus didapati

pula pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral maupun bilateral.

Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita,

gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif.

Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita adalah rasa nyeri pada

panggul bawah, dan dapat ditemukan serviks yang memerah dengan erosi dan sekret

mukopurulen (Daili, 2009).

1.5. Pemeriksaan

Page 17: Format Laporan Sk 3 Kulit

- Pemeriksaan Gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh uretra memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terutama pada duh uretra pria, sedangkan duh

endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak begitu tinggi. Pemeriksaan ini akan

menunjukkan N.gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan dapat ditemukan

baik di dalam maupun luar sel leukosit.

- Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae

- Tes defenitif: dimana pada tes oksidasi akan ditemukan semua Neisseria akan

mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening menjadi merah muda

hingga merah lembayung. Sedangkan dengan tes fermentasi dapat dibedakan

N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan glukosa saja.

- Tes beta-laktamase: tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak perubahan

warna koloni dari kuning menjadi merah.

- Tes Thomson: tes ini dilakukan dengan menampung urine setelah bangun pagi ke

dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas kedua. Hasil

dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh sedangkan gelas kedua tampak jernih

(Daili, 2009).

1.6. Komplikasi

Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal

genitalia (Daili, 2009). Komplikasi lokal pada pria dapat berupa tisonitis, parauretritis,

littritis, dan cowperitis. Selain itu dapat pula terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis,

epididimitis yang dapat menimbulkan infertilitas. Sementara pada wanita dapat terjadi

servisitis gonore yang dapat menimbulkan komplikasi salpingitis ataupun penyakit

radang panggul dan radang tuba yang dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan

ektopik. Dapat pula terjadi komplikasi diseminata seperti artritis, miokarditis,

endokarditis, perikarditis, meningitis dan dermatitis. Infeksi gonore pada mata dapat

menyebabkan konjungtivitis hingga kebutaan (Behrman, 2009 ).

2. Infeksi Genital Non-Spesifik (IGNS)

2.1. Defenisi

IGNS merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyebab yang

nonspesifik yang meliputi beberapa keadaan yaitu Uretritis Non-spesifik (UNS), proktitis

nonspesifik dan Uretritis Non-Gonore (UGN) (Lumintang, 2009).

2.2. Epidemiologi

Page 18: Format Laporan Sk 3 Kulit

Di dunia, WHO memperkirakan terdapat 140 juta kasus yang terjadi akibat infeksi

C.trachomatis. Terdapat 1,1 juta kasus dilaporkan di Amerika Serikat dengan prevalensi

tertinggi terjadi pada wanita diusia 15-24 tahun pada tahun 2007 (Struble, 2010).

2.3. Etiologi dan morfologi

Penyebab 30% hingga 50% kasus IGNS adalah Chamydia trachomatis, sedangkan

kasus selebihnya umumnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum. Chlamydia

trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50 % dari kasus

uretritis non gonokokus.

Klamidia yang menyebabkan penyakit pada manusia diklasifikasikan menjadi tiga

spesies, yaitu: (Struble, 2010)

1. Chlamydia psittaci, penyebab psittacosis.

2. C. trachomatis, termasuk serotipe yang menyebabkan trachoma infeksi alat kelamin,

Chlamydia conjunctivitis dan pneumonia anak dan serotipe lain yang menyebabkan

Lymphogranuloma venereum.

3. C. pneumoniae, penyebab penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia dan

merupakan penyebab penyakit arteri koroner.

2.4. Gejala klinis

Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit dibedakan dengan gonorrhea dan

termasuk adanya discharge mukopurulen dalam jumlah sedikit atau sedang, terutama

pada pagi hari (morning drops) dan dapat pula berupa bercak di celana dalam, gatal pada

uretra dan rasa panas ketika buang air kecil. Infeksi tanpa gejala bisa ditemukan pada 1-

25% pria dengan aktivitas seksual aktif. Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama

dengan gonorrhea, dan seringkali muncul sebagai discharge endoservik mukopurulen,

disertai dengan pembengkakan, eritema dan mudah mengakibatkan perdarahan

endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel kolumner endoservik. Namun, 70 %

dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang menderita klamidia, biasanya tidak

menunjukkan gejala. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tuba bisa

memberikan hasil yang sama. Manifestasi klinis lain namun jarang terjadi seperti

bartolinitis, sindroma uretral dengan disuria dan pyuria, perihepatitis (sindroma Fitz-

Hugh-Curtis) dan proktitis.

2.5. Pemeriksaan

Diagnosa Uretritis Non Gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis non gonokokus

ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria gonorrhoeae

melalui sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai penyebab dipastikan dengan

Page 19: Format Laporan Sk 3 Kulit

pemeriksaan preparat apus yang diambil dari uretra atau endoserviks atau dengan tes IF

langsung dengan antibodi monoklonal, EIA, Probe DNA, tes amplifikasi asam nukleus

(Nucleic Acid Amplification Test, NAAT), atau dengan kultur sel. NAAT bisa dilakukan

dengan menggunakan spesimen urin. Organisme intraseluler sulit sekali dihilangkan dari

discharge.

Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan Gram ditemukan leukosit lebih

dari 5 pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Pada pemeriksaan

mikroskopik sekret serviks dengan pewarnaan Gram didapatkan leukosit lebih dari 30

per lapangan pandang dengan pembesaran 1000 kali. Tidak dijumpai diplokokus negatif

gram, serta pada pemeriksaan sediaan basah tidak didapati parasit Trichomonas vaginalis

(Lumintang,2009).

Pembiakan C.trachomatis yang bersifat obligat intraseluler harus dilakukan pada sel

hidup. Sel hidup ini dibiakkan dalam gelas kaca yang disebut biakan monolayer seperti

Mc Coy dan BHK yang dapat dilihat hasil pertumbuhannya pada hari ketiga.

2.6. Komplikasi

Komplikasi dan gejala sisa berupa salpingitis dengan risiko infertilitas, kehamilan

diluar kandungan atau nyeri pelvis kronis. Komplikasi dan gejala sisa mungkin terjadi

dari infeksi uretra pada pria berupa epididimitis, infertilitas dan sindroma Reiter. Pada

pria homoseksual, hubungan seks anorektal bisa menyebabkan proktitis klamidia.

3. Sifilis

3.1. Defenisi

Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum yang

bersifat kronis dan sistemik ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder

pada kulit dan selaput lendir kemudian masuk kedalam periode laten tanpa manifestasi

lesi di tubuh diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem

syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Infeksi ini dapat ditularkan kepada bayi di dalam

kandungan (sifilis kongenital) (Hutapea, 2010).

3.2. Epidemiologi

Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik

yang dapat dikendalikan dengan baik. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan

masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anak-anak muda

dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia muda

berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan prevalensi

Page 20: Format Laporan Sk 3 Kulit

penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor

biologis. (Liu,2009).

3.3. Etiologi dan morfologi

Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang merupakan spesies

Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Treponema pallidum

berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 μm (antara 6-20 μm) dengan

diameter antara 0,09 – 0,18 μm. (Hutapea, 2010).

3.4. Gejala klinis

Periode inkubasi sifilis biasanya 3 minggu. Fase sifilis primer ditandai dengan

munculnya tanda klinis yang pertama yang umumnya berupa tukak baik tunggal maupun

multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras dan

terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang

mengelilingi lesi meninggi dan keras. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya

chancer (ulkus durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di rektum atau serviks.

Tanpa diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6

minggu.

Sepertiga dari kasus yang tidak diobati mengalami stadium generalisata, stadium

dua, dimana muncul erupsi di kulit yang kadang disertai dengan gejala konstitusional

tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti

dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan

menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan

kemudian. Sifilis sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ

tubuh dan dapat disertai demam dan malaise.

Fase laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis namun dengan pemeriksaan

serologis yang reaktif. Akan tetapi bukan berarti perjalanan penyakit akan berhenti pada

tingkat ini, sebab dapat terjadi sifilis stadium lanjut berbentuk gumma, kelainan susunan

syaraf pusat dan kardiovaskuler.

3.5. Pemeriksaan

Beberapa pemeriksaan terhadap sifilis dapat dilakukan dengan berbagai cara:

- Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam

lesi.

- Penentuan antibodi di dalam serum yang timbul akibat infeksi T.pallidum.

- Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan serologis terhadap darah dan likuor

serebrospinalis.

Page 21: Format Laporan Sk 3 Kulit

3.6. Komplikasi

Sifilis stadium lanjut yang dapat menyebakan neurosifilis, sifilis kardiovaskuler, dan

sifilis benigna lanjut dapat menyebabkan kematian bila menyerang otak.

4. Herpes genitalis

4.1. Defenisi

Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex

Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema

dan bersifat rekurens (CDC Fact Sheet, 2007).

4.2. Epidemiologi

Data - data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi herpes

genital rendah sekali pada tahun 1992 di RSUP dr.Moewardi yaitu hanya 10 kasus dari

9983 penderita IMS. Namun, prevalensi di RSUD Dr.Soetomo agak tinggi yaitu sebesar

64 dari 653 kasus IMS dan lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu 22 kasus dari 126

kasus IMS (Hakim, 2009).

4.3. Etiologi dan morfologi

Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun 1940

menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia,

keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2

merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital. HSV

tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan

(Salvaggio, 2009).

4.4. Gejala klinis

Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala awal

biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan yang

kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Gejala awal ini

sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan

mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan (Salvaggio, 2009).

Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit

depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di

vulva dan leher rahim.

4.5. Pemeriksaan

Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel

berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan laboratorium yang

Page 22: Format Laporan Sk 3 Kulit

paling sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau

Wright dimana akan tampak sel raksasa berinti banyak. Cara terbaik dalam menegakkan

diagnosa adalah dengan melakukan kultur jaringan karena paling sensitif dan spesifik.

Namun cara ini membutuhkan waktu yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-

tes serologis terhadap antigen HSV baik dengan cara imunoflouresensi,

imunoperoksidase maupun ELISA (Daili, 2009).

4.6. Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada bayi yang

baru lahir (Daili, 2009). Herpes genitalis pada trimester awal kehamilan dapat

menyebabkan abortus atau malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang

lahir dari ibu pengidap herpes ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis, ensefalitis,

keratokonjungtifitis bahkan stillbirth.

5. TRIKOMONIASIS

5.1. Definisi

Trikomoniasis adalah infeksi saluran urogenital yang dapat bersifat akut atau kronik

dan disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.

5.2. Epidemiologi

Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat juga melalui pakaian,

handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu trikomoniasis ini terutama ditemukan

pada orang dengan aktivitas sosial tinggi, tetapi dapat juga ditemukan pada bayi dan

penderita setelah menopause. Penderita wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.

5.3. Patogenesis

T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital

dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. Masa tunas rata-rata 4

hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan jaringan

granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di lapisan subepitel yang menjalar

sampai dipermukaan epitel. Didalam vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel,

kuman-kuman dan benda lain dalam sekret.

5.4. Gejala Klinis

1. Trikomoniasis pada wanita

Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut maupun kronik. Pada

kasus akut akan terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuning-kuningan, kuning-

Page 23: Format Laporan Sk 3 Kulit

hijau berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa. Pada kasus yang kronik gejala lebih

ringan dan sekret vagina biasanya tidak berbusa.

2. Trikomoniasis pada laki-laki

Pada laki-laki yang diserang terutama uretra, kelenjar prostat, kadang-kadang

preputium, vesikula seminalis dan epididimis. Pada umumnya gambaran klinis lebih

ringan dibandingkan dengan wanita. Bentuk akut gejalanya mirip uretritis non gonore,

misalnya disuria, poliuria dan sekret uretra mukoid atau mukopurulen. Urin biasanya

jernih, tetapi kadang-kadang ada benang-benang halus. Pada bentuk kronik gejalanya

tidak khas; gatal pada uretra, disuria dan urin keruh pagi hari.

5.5. Diagnosis

Untuk mendiagnosis trikomoniasis dapat dipakai beberapa cara, misalnya

pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, dan sediaan hapus serta pembiakan. Sediaan

basah dicampur dengan garam faal dan dapat dilihat pergerakan aktif parasit. Pada

pembiakan dapat digunakan bermacam-macam perbenihan yang mengandung serum.

5.6. Pengobatan

Pengobatan dapat diberikan secara topikal atau sistemik

Secara topikal, dapat berupa:

1. Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-2% dan larutan asam

laktat 4%.

2. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat trikomoniasidal

3. Jel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal

Secara sistemik

Obat yang sering digunakan tergolong derivat nitromidazol.

6. Fixed Drug Eruption

6.1. Definisi

Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada

tempat yang sama. ( Soebaryo, 1995 )

6.2. Epidemiologi

Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang pernah

dilaporkan adalah 8 bulan.

6.3 Etiologi

Page 24: Format Laporan Sk 3 Kulit

Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering

dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin,

antipiretik,pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid. ( Shear, 2000 )

6.4. Patofisiologi

Meskipun patogenesis pasti FDE belum pasti, penelitian terkini mengarah pada

proses yang dimediasi sel yang menginisiasi lesi aktif maupun tidak aktif. Proses ini

mungkin melibatkan response sitotoksik dimediase sel yang tergantung antibodi (Teraki

dan Shiohara, 2004). Sel T efektor/memori CD8+ memainkan peran penting dalam

reaktivasi lesi dengan paparan ualng dengan obat pemicu (Mizukawa dan Shiohara,

2009; Shiohara, 2009).

Obat pemicu diduga berfungsi sebagai hapten yang mudah berikatan dengan

keratinosit basal, sehingga memicu respons inflamasi (Weedon, 2002). Melalui

pelepasan sitokin seperti TNF-α, keratinosit mungkin meningkatkan ekspresi

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM1) secara local (Smoller et al, 1991).

Peningkatan ICAM1 telah ditunjukkan untuk membantu sel T (CD4 dan CD8) untuk

bermigrasi ke situs lesi (Hindsen et al, 1987; Shiohara et al, 1989).

Adanya sel CD8 residen dan sel CD8 yang terus menuju ke situs lesi menimbulkan

kerusakan jaringan secara terus menerus akibat produksi sitokin inflamasi IFN-γ dan

TNF-α. Sel CD8 yang diisolasi dari lesi aktif mengekspresikan alfa E beta 7, yaitu ligan

E-cadherin, yang mungkin berkontribusi pada kemampuan limfosit untuk berlokalisasi

ke epidermis. Molekul permukaan sel lainnya, seperti CLA/alfa4beta1/CD4a, yang

mengikat E-selectin/vascular celluar adhesion molecule-2/ICAM1 selanjutnya

membantu menarik sel CD8 ke area tersebut (Teraki dan Shiohara, 2003).

Perubahan pada marker permukaan sel memungkinkan endothelium vaskular untuk

memicu migrasi sel CD4 ke lesi aktif. Sel CD4 regulator ini diduga memproduksi IL-10,

yang dapat membantu menekan fungsi imun, menghasilkan lesi yang tenang (Teraki dan

Shiohara, 2003). Dengan hilangnya respon inflamasi, ekspresi IL-15 dari keratinosit

diduga membantu menjaga sel CD8, membantu sel-sel ini untuk memenuhi fenotipe

memori efektor. Berikutnya, ketika paparan obat pemicu terjadi lagi, respons akan

berkembang lebih cepat pada lokasi yang sama dengan lesi sebelumnya (Teraki dan

Shiohara, 2003).

6.5. Gambaran Klinis

FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat secara

oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berawarna merah atau keunguan, berbatas

Page 25: Format Laporan Sk 3 Kulit

tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi

krusta.. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya

soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul

kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya

kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada nama penyakit

tersebut. ( Soebaryo, 1995 )

Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai,

tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital. Lesi FDE pada penis

sering disangka sebagai penyakit kelamin ( Shear, 2000 )

Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar , jarang dijumpai gejala sistemik. Tidak

dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika menyembuh

akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang menetap dalam jangka

waktu lama ( Shear, 2000 )

6.6 Pemeriksaan

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.

Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat, dosis,

waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk membuat

diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang

diagnosis:

1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis

banding.

2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya .

3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab.

Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk

mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil

biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan

provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin

ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang

terlatih. ( Shear, 2000 )

6.7. Penatalaksanaan

1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab. ( Soebaryo, 1995 )

2. Pengobatan Sistemik

Page 26: Format Laporan Sk 3 Kulit

Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan.Untuk keluhan rasa gatal

pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat

diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai efek sedasi.(Hamzah, 2001)

3. Pengobatan Topikal

Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah.

a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk

mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek

menyejukkan. (Hamzah, 2001)

b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 % atau

2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam jangka

waktu lama. (Hamzah, 2001)

6.8. Prognosis

Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka

sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat

tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan

(misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang

memungkinkan terulangnya FDE. ( Soebaryo, 1995 )

BAB III

PENUTUP

Page 27: Format Laporan Sk 3 Kulit

DAFTAR PUSTAKA

Andrew J.M, Sun. 1993. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15.

Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4

4XN. U.K.. 1993. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf

Behrman, A.J. & Shoff, W.H., 2009. Gonorrhea, University of Pennsylvania. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/782913-overview.

Page 28: Format Laporan Sk 3 Kulit

Butler, David F. MD. 2012. Fixed Drug Eruption. diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1336702-overview

Centers for Disease Control and Prevention, 2007. CDC Fact Sheet Genital Herpes. Available

from: http://www.cdc.gov/std/healthcomm/factsheets .htm.

Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Sexually Transmitted Disease

Surveillance 2008. Georgia: U.S. Department of Health and Human Services,

Division of STD Prevention.

Daili, S.F., 2009. Gonore. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta:

Balai Penerbitan FKUI, 65-76.

Daili, S.F., 2009. Herpes Genitalis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed.

Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 125-139.

Daili, S.F., 2009. Pemeriksaan Klinis pada Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al.,

Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 19-61.

Effendi EH. 2000. Uji kulit pada Erupsi Alergi Obat. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja E, Agusni

YH, Sugiri U,eds. Buku Makalah Lengkap Kursus Imuno-dermatologi I. Bandung:

Kelompok Studi Dermatologi Bag/SMF Kulit dan Kelamin – RSUP dr. Hasan

Sadikin

Hakim, L., 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al., Infeksi

Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 3-16.

Hamzah M. 2002. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.

Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hindsen M, Christensen OB, Gruic V, Lofberg H. Fixed drug eruption: an

immunohistochemical investigation of the acute and healing phase. Br J Dermatol.

Mar 1987;116(3):351-60. [Medline].

Page 29: Format Laporan Sk 3 Kulit

Hutapea, N.O., 2009. Sifilis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta:

Balai Penerbitan FKUI, 84-102.

Liu, P.F. & Euerle, B., 2009. Syphilis, Virginia Hospital Center Arlington. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/229461-overview.

Lumintang, H., 2009. Infeksi Genital Non Spesifik. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular

Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 77-83

Mizukawa Y, Shiohara T. Fixed drug eruption: a prototypic disorder mediated by effector

memory T cells.Curr Allergy Asthma Rep. Jan 2009;9(1):71-7. 

Revus J, Allanore AV.2003. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd

edition. Philadelphia : Elserve limited. 2003.

Riedl MA, Casillas AM. 2003. Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:

American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Available at:

www.aafp.org/afp

Salvaggio, M.R. & Lutwick, L.I., 2009. Herpes Simplex, University of Oklahoma College of

Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com /article/218580-

overview.

Shear NH, Landau M, Shapiro Le. 2000. Hypersensitivity reactions to drug. In: Harper J,

Oranje A, Prose N, eds. London: London Blackwell Scientific Publication.

Shiohara T, Nickoloff BJ, Sagawa Y, Gomi T, Nagashima M. Fixed drug eruption.

Expression of epidermal keratinocyte intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-

1). Arch Dermatol. Oct 1989;125(10):1371-6.[Medline].

Shiohara T. Fixed drug eruption: pathogenesis and diagnostic tests. Curr Opin Allergy Clin

Immunol. Aug 2009;9(4):316-21. 

Page 30: Format Laporan Sk 3 Kulit

Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. 1995. Eksantema Fikstum. Dalam: Sularsito SA

dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI

Smoller BR, Luster AD, Krane JF, et al. Fixed drug eruptions: evidence for a cytokine-

mediated process. J Cutan Pathol. Feb 1991;18(1):13-9.

Struble, K. & Lutwick, L.I., 2010. Chlamydial Genitourinary, Universityof Oklahoma

College of Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com

/article/214823-overview

Sudigdoadi, Widiantoro Y.1995. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18 bulan. Jakarta:

Media Dermato-Venereologica Indonesiana

Sudoyo, Aru W. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbit

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta

Teraki Y, Shiohara T. IFN-gamma-producing effector CD8+ T cells and IL-10-producing

regulatory CD4+ T cells in fixed drug eruption. J Allergy Clin Immunol. Sep

2003;112(3):609-15.

Weedon D. The lichenoid reaction pattern ('interface dermatitis'). In: Skin Pathology. 2nd ed.

London, England: Churchill Livingstone; 2002:42-43.

Wolff K, Johnson R.A., Suurmond D., (2007). Fitzpatrick's : The Color Atlas and Synopsis of

Clinical Dermatology Edisi 5. New York: The McGraw-Hill Companies