format laporan sk 3 kulit
TRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK KULIT SKENARIO 3
ERUPSI ALERGI OBAT
KELOMPOK 7
ALINDINA IZZANI G0011013
ATIKA SUGIARTO G0011043
DOROTHY EUGENE G0011075
HANY ZAHRO G0011105
RATNA SARIYATUN G0011165
SHINTA AMALIA KARTIKA G0011197
AFRIZAL TRI HERYADI G0011007
BRYAN PANDU PERMANA G0011055
HANIF NUGRA PUJIYANTO G0011103
NOVANDI LISYAM PRASETYA G0011153
NOVY WAHYUNENGSIH L. G0011155
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan dan
pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat menimbulkan reaksi
yang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat dapat
mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang tetapi reaksi kulit
merupakan manifestasi yang tersering.
Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang tidak
dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi
pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan efek farmakologik
obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat termasuk
diantaranya efek samping dan overdoses (kelebihan dosis). Reaksi simpang yang tidak dapat
diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis dan
tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat, termasuk di antaranya reaksi alergi obat.
Reaksi alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat.
LUKA ITU MUNCUL KEMBALI
Seorang laki-laki usia 30 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan lecet-lecet
berair di kepala penisnya. Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan terasa perih. BAK
tidak ada keluhan. Keluhan ini pernah muncul 1 tahun yang lalu ditempat yang sama.
Penderita mengkonsumsi obat pegal 1 minggu sebelumnya yang dibeli diwarung. Penderita
mengaku tidak pernah berhubungan seksual selain dengan istri.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium sekret penderita didapatkan : lekosit PMN 1 – 2,
diplokokus Gram (-) ekstra dan intra seluler (-), kandida (-), trikomonas (-). Pemeriksaan
Tzank test (-). Pemeriksaan serologis (-).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. JUMP 1 : MENGKLARIFIKASI ISTILAH
1. Lecet-lecet berair
Luka level epidermis atau diatas stratum basale epidermis. Cairan yang terlihat adalah
cairan serum, cairan intrasel maupun cairan ekstrasel.
2. Obat pegal
mengandung steroid ataupun non steroid yang berguna sebagai anti inflamasi.
Contohnya adalah kortikosteroid.
3. Lekosit PMN 1-2
merupakan kepanjangan dari sel polimorfonuklear. Gambaran mikroskopisnya berinti
polimorf, berlobus, sitoplasma terdapat granula. Berfungsi sebagai pertahanan pertama
terhadap infeksi.
4. Diplokokus Gram (-) ekstra dan intra seluler
Tidak ditemukannya bakteri Neisseria gonorrhoeae di ekstra seluler maupun
intraseluler dalam hal ini sel netrofil.
5. Kandida
Genus jamur menyurupai ragi yang umumnya merupakan bagian dari flora normal
mulut, kulit, saluran pencernaan, dan vagina, tetapi dapat menyebabkan berbagai
infeksi cadidiasis.
6. Trikomonas
Genus protozoa flagelata meliputi Trikomonas hominis parasit usus manusia
nonpatogenik, Trikomonas vaginalis penyebab trikomoniasis..
7. Pemeriksaan Tzank test
Tes ini dilakukan dengan cara diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright dimana
akan tampak sel raksasa berinti banyak. Tes ini dapat membedakan virus varicella
zooster dengan herpes simpleks virus.
8. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan mengenai reaksi antigen-antibodi in vitro. Pemeriksaan dengan serum
untuk melihat imunoglobulin, DNA ataupun RNA virus.
B. JUMP 2 : MENDEFINISIKAN PERMASALAHAN
1. Laki-laki 30 tahun dengan keluhan lecet-lecet berair di kepala penisnya.
2. Keluhan sejak 3 hari yang lalu dan terasa perih.
3. BAK tidak ada keluhan.
4. Keluhan ini pernah muncul 1 tahun yang lalu di tempat yang sama.
5. Penderita mengkonsumsi obat pegal 1 minggu yang lalu.
6. Penderita mengaku tidak pernah berhubungan seksual selain dengan istri.
7. Pemeriksaan laboratorium lekosit PMN 1-2, diplokokus Gram (-) ekstra dan intra
seluler (-), kandida (-), trikomonas (-).
8. Pemeriksaan Tzank test (-).
9. Pemeriksaan serologis (-).
C. JUMP 3 : MENGANALISIS PERMASALAHAN
1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan ?
2. Bagaimana penyebab kronologis keluhan sejak 3 hari yang lalu lecet-lecet berair dan
perih ?
3. Bagaimana faktor resiko dari terjadinya kekambuhan di lokasi yang sama ?
4. Apa saja kandungan, indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari obat pegal ?
5. Bagaimana hubungan obat pegal dengan timbulnya keluhan ?
6. Mengapa tidak ada gangguan BAK ?
7. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Tzank test dan pemeriksaan
serologis ?
8. Bagaimana etiologi,epidemiologi, patogenesis, gejala dan tanda, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis dan preventif dari masing-masing diagnosis banding?
D. JUMP 4 : MENGINVENTARI PERMASALAHAN SECARA SISTEMATIS
ALERGI
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu
menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan
sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru
meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan
dengan populasi normal.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan
orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim
immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena
lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua
akan memperlambat munculnya onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang
lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya
sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun
sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar
pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang
disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus
(HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas
obat.
6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan.
PATOGENESIS
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul
karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit
obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat
terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over
dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme. (Revus,2003)
Tabel 1. Reaksi imunologis dan non imunologis
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options.
In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Available at:
www.aafp.org/afp
1. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak
menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka
obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan
bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA.
Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya
urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok (Hamzah,
2002).
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi
sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
(Hamzah, 2002)
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang
pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan
jaringan. (Hamzah, 2002)
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah pajanan terhadap antigen. (Hamzah, 2002)
2. Mekanisme Non Imunologis
Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras
media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat;
pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem
komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel
(Andrew, 1993).
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi
anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit,
dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti
hiperpigmentasi generalisata diffuse (Andrew, 1993).
3. Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat
dijelaskan (Andrew, 1993).
Alergi obat dapat diklasifikasikan seperti semua penyakit alergi lainnya (Coombs
dan Gell). Atas dasar diskusi yang kami lakukan, kasus pada skenario 3 ini merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe 4 karena obat. Pada tabel yang diadaptasi dari buku “Allergy
in Practice” dapat dilihat bahwa kebanyakan hipersensitivitas tipe 4 karena obat adalah
penyakit eczema, fotoalergi, fixed drug eruption, maculopapular, dan toxic epidermal
necrolysis (TEN).(Ring, 2005)
E. JUMP 5 : MERUMUSKAN TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan ?
2. Bagaimana penyebab kronologis keluhan sejak 3 hari yang lalu lecet-lecet berair dan
perih ?
3. Bagaimana faktor resiko dari terjadinya kekambuhan di lokasi yang sama ?
4. Apa saja kandungan, indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari obat pegal ?
5. Bagaimana hubungan obat pegal dengan timbulnya keluhan ?
6. Mengapa tidak ada gangguan BAK ?
7. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Tzank test dan pemeriksaan
serologis ?
8. Bagaimana etiologi,epidemiologi, patogenesis, gejala dan tanda, penatalaksanaan,
komplikasi, prognosis dan preventif dari masing-masing diagnosis banding?
F. JUMP 6 : MENGUMPULKAN INFORMASI
Kami mencari informasi dari tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan sebelumnya
secara mandiri untuk disampaikan pada pertemuan berikutnya.
G. JUMP 7 : MELAPORKAN, MEMBAHAS, DAN MENATA KEMBALI
INFORMASI BARU YANG DIPEROLEH
1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan ?
Tidak ada batasan umur untuk terjadinya kasus FDE. Namun, beberapa kasus yang
telah dilaporkan rentang usianya berkisar antara 1,5 tahun hingga 87 tahun. Rata-rata
usia penderita FDE pada laki-laki adalah 30,4 dan pada perempuan adalah 31,3 tahun.
Dalam studi kasus FDE, dari 450 pasien yang diteliti, perbandingan penderita pria dan
wanita adalah 1 : 1,1 (David, 2012).
2. Bagaimana penyebab kronologis keluhan sejak 3 hari yang lalu lecet-lecet berair
dan perih ?
Pada Fixed Drug Eruption (FDE), belum diketahui patogenesisnya secara pasti.
Gejala yang muncul biasanya asimtomatik. Bisa terjadi rasa gatal, nyeri, maupun rasa
terbakar. Rasa nyeri biasanya muncul ketika lesi mengalami erosi. Onset dari FDE
bermula 30 menit – 8 jam setelah mengkonsumsi obat penyebab alergi pada pasien yang
pernah tersensitisasi sebelumya. Lesi yang terjadi tetap berlanjut dan membaik perlahan
setelah konsumsi obat dihentikan. (Wolff et al, 2007)
Ujud kelainan kulit pada FDE dicirikan dengan lesi awal berupa makula bulat atau
oval berbatas tegas yang muncul beberapa jam setelah konsumsi obat. Awalnya makula
eritem dan dapat berkembang menjadi merah kehitaman sampai ungu. Seringnya, lesi
soliter dan dapat berkembang menjadi lesi multipel. Lesi makulapun berkembang
menjadi edematous, kemudian menjadi palk, berkembang menjadi bula, dan terjadi erosi.
Lesi yang erosi biasanya terasa amat nyeri pada genital dan oral.(Wolff et al, 2007)
Kasus yang terjadi di skenario 3, lecet-lecet berair disebut juga erosi. Erosi adalah
luka level epidermis atau diatas stratum basale epidermis. Cairan yang terlihat adalah
cairan serum, cairan intrasel maupun cairan ekstrasel. Erosi terjadi 3 hari kemudian
setelah mengkonsumsi obat pegal. Hal ini dikarenakan ketika lesi berkembang dari
makula sampai bula bisanya asimtomatik.
3. Bagaimana faktor resiko dari terjadinya kekambuhan di lokasi yang sama ?
Mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obatdapat berupa IgE-mediated
drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction,cytotoxic drug induced reaction
dan cell mediated reaction.
Proses imunologik yang terjadi diantaranya adalah peningkatankadar histamine dan
komplemen yang sangat bermakna (200-640 nMol/L). Keadaan ini diduga sebagai
penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan rasa gatal. 60-80% sel infiltratyang
berperanadalah sel Limfosit T (T4 dan T8). Ada pula peningkatan sel mast sebesar 5-
10%serta HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di dermis. Keadaanini
sama dengan lesi pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit T yang
menetapdilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi
padatempat yang sama. Timbulnya kembalilesi ditempat yang sama menjelaskan arti
kata “fixed” pada penyakit fixed drug eruption.
4. Apa saja kandungan, indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari obat pegal ?
Terapi menggunakan obat umumnya bersifat simtomatik, yaitu menggunakan
analgetika dan antiinflamasi.
A. Analgetika
Beberapa obat yang efektif untuk rematik/pegal linu adalah; 1. Asetaminofen
(parasetamol) Merupakan obat yang penting untuk analgetik pada nyeri yang ringan
sampai sedang yang tidak disertai inflamasi. Obat ini bekerja menghambat sintesis
prostaglandin (PG) di sistem saraf pusat melalui penghambatan COX, tetapi tidak
menghambat PG di perifer (Priyatno, 2009). 2. Aspirin Aspirin mempunyai 3 efek,
analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi, bahkan pada dosis rendah juga bermanfaat
sebagai antitrombosis. Efek analgetik dan antiinflamasinya karena dapat menghambat
prostaglandin dan juga menghambat simulasi nyeri pada bagian subkortikal. Dapat
menyebabkan iritasi lambung dari derajat ringan hingga berat. Untuk meminimalisirnya
obat ini harus diminum bersama makan atau minum susu (Priyatno, 2009). 3. Capsaisin
Merupakan ekstrak etanol dari cabe merah yang dapat mengurangi nyeri ketika dioleskan
pada permukaan sendi yang terkena. Obat ini dapat dipakai sendirian atau
dikombinasikan dengan OAINS (Priyatno, 2009).
B. Antiinflamasi
Ada dua jenis antiinflamasi yang dapat dugunakan, yaitu; 1. Obat antiinflamasi non-
steroid (OAINS) mempunyai efek analgetika pada dosis rendah dan antiinflamasi pada
dosis yang lebih tinggi. Efek analgetik timbul 1-2 jam setelah pemakaian dan efek
antiinflamasinya timbul pada waktu yang lebih lama. Efek antiinflamasinya timbul
karena OAINS dapat menghambat enzim cyclooxygenase (COX) yang berfungsi dalam
mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin.
Mekanisme lain kemungkinan mempengaruhi mediator inflamasi lain seperti bradikinin,
histamin, dan serotonin, serta memodulasi sel T, stabilisasi membran lisosom, dan
menghambat kemotaksis. Efek antipiretinya dikaitkan dengan menghambat pirogen (IL-
1) yang menginduksi PG di hipotalamus dan resetting pada sistem termoregulator,
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan hilangnya panas (Priyatno, 2009). 2.
Glukokortikoid Glukokortikoid bekerja menghambat konversi fosfolipid menjadi asam
arakidonat dan asam arakidonat menjadi leukotrien melalui kemampuannya mengikat
enzim lipogenase. Leukotrien adalah zat kemotaktik yang akan menyebabkan fagositosis
berlebihan. Namun, penggunaannya tidak dianjurkan karena terbukti tidak efektif dan
pada pemakaian jangka panjang berbahaya(Priyatno, 2009).
Penggunaan OAINS dalam pengobatan
OAINS umunya diberikan secara dini dimaksudkan untuk mengatasi rematik/pegal
linu akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi
sinovial yang bermakna. Selain itu, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat
baik. OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenasi sehingga
menekan sintesis prostaglandin. OAINS bekerja dengan cara;
Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
Menghambat pembebasan dan aktivasi mediator inflamasi (histamin, serotonin,
enzim lisosomal, dan enzim lainnya)
Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
Menghambat proliferasi selular
Menetralisasi radikal oksigen
Menekan rasa nyeri (Sudoyo, dkk, 2007)
Yang perlu diperhatikan dalam penggunaan OAINS adalah :
Dapat menyebabkan iritasi lambung dengan gejala mual, dispepsia, anoreksia, dan
nyeri
Obat ini tidak menyembuhkan penyakit tetapi hanya bersifat simtomatik
Kombinasi penggunaan OAINS akan meningkatkan toksisitasnya tanpa diikuti
peningkatan manfaat
Semua OAINS berpotensi menimbulkan ulcer dan perdarahan saluran cerna karena
efek langsung maupun efek sistemiknya dan dapat dikurangi jika diminum pada perut
dalam kondisi terisi (setelah makan)
Efek toksik OAINS akan meningkat pada penderita lanjut usia atau penderita
penyakit kardiovaskuler, menggunakan kortikosteroid, antikoagulan, dan punya riwayat
ulcer
Bagi yang rentan terkena efek samping OAINS dapat memilih OAINS yang spesifik,
yaitu yang hanya menghambat enzim COX2, yaitu celekosib dan refecosib
Interaksi serius dapat terjadi jika diberikan bersamaan dengan lithium, warfarin, oral
antiglikemik (tolbutamid), methotreksak, ACE-inhibitor, ß-bloker, dan diuretik.
(Priyatno, 2009).
Efek samping OAINS pada pengobatan
Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas OAINS yang
umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika
OAINS digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok, atau dalam
keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek
samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada pasien sensitif dapat digunakan preparat
OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-
acidic (Sudoyo, dkk, 2007)
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain
adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta penekanan system
hematopoetik (Sudoyo, dkk, 2007). Menurut Katzung (1998), efek samping yang dapat
terjadi pada penggunaan OAINS antara lain;
1. Efek terhadap saluran cerna
Pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada lambung
(intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (bersama makanan
yang diikuti oleh segelas air atau antasid). Gastritis yang timbul pada aspirin mungkin
disebabkan oleh iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut atau karena
penghambatan prostaglandin pelindung. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang
berhubungan dengan penggunaan OAINS biasanya berkaitan dengan erosi lambung.
Peningkatan kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutinPeningkatan
kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutin berhubungan dengan konsumsi
OAINS; kira-kira 1 mL darah normal yang hilang dari tinja per hari meningkat sampai
kira-kira 4 mL per hari pada penderita yang minum OAINS dosis biasa dan pada dosis
lebih tinggi. Di lain pihak, dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh, meskipun OAINS
diberikan bersamaan. Muntah juga dapat terjadi sebagai akibat rangsangan susunan saraf
pusat setelah absorbsi dosis besar OAINS.
2. Efek susunan saraf pusat
Dengan dosis yang lebih tinggi, penderita bisa mengalami ”salisilisme”-tinitus,
penurunan pendengaran, dan vertigo-yang reversibel dengan pengurangan dosis. Dosis
salisilat yang lebih besar lain dapat menyebabkan hiperpnea melalui efek langsung
terhadap medula oblongata. Pada kadar salisilat toksik yang rendah, bisa timbul respirasi
alkalosis sebagai akibat peningkatan ventilasi. Kemudian asidosis akibat pengumpulan
turunan asam salisilat dan depresi pusat pernapasan.
3. efek samping lainnya Dalam dosis harian 2 g atau lebih kecil, biasanya meningkatkan
kadar asam urat serum. Dapat menimbulkan hepatitis ringan yang biasanya asimtomatik,
terutama pada penderita dengan kelainan yang mendasarinya seperti lupus eritematosus
sistemik serta artritis rematoid juvenilis dan dewasa. Dapat menyebabkan penurunan laju
filtrasi glomerulus yang reversibel pada penderita dengan dasar penyakit ginjal, tetapi
dapat pula (meskipun jarang) tejadi pada ginjal normal. Pada dosis biasa mempunyai
efek yang dapat diabaikan terhadap toleransi glukosa. Sejumlah dosis toksik akan
mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung serta dapat menekan fungsi
jantung dan melebarkan pembuluh darah perifer. Dosis besar akan mempengaruhi otot
polos secara langsung. Reaksi hipersensitifitas bisa timbul setelah konsumsi pada
penderita asma dan polip hidung serta bisa disertai dengan bronkokonstruksi dan syok.
Dikontrainsikasikan pada penderita hemofilia. Juga tidak dianjurkan bagi wanita hamil
dan anak-anak. Selama 20 tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai
golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh dipasaran. Dalam memilih suatu
OAINS untuk digunakan pada seorang pasien, seorang dokter umunya harus
mempertimbangkan beberapa hal seperti :
Khasiat antiinflamasi
Efek samping obat
Kenyamanan/kepatuhan pasien
Biaya
Karena faktor seperti khasiat inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau
biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya tidak jauh berbeda, sejak beberapa
tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan
pasien dalam menggunakan OAINS (sudoyo, dkk, 2007).
5. Bagaimana hubungan obat pegal dengan timbulnya keluhan ?
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui mekanisme imunologik atau non
imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi obat adalah alergi terhadap obat yang terjadi
melalui mekanisme imunologik. Hal ini terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah mempunyai hipersesitivitas terhadap obat tersebut. Disebabkan oleh berat
molekulnya yang rendah, biasanya obat itu berperan pada mulanya sebagai antigen yang
tidak lengkap atau hapten. Obat atau metaboliknya yang berupa hapten, harus
berkombinasi terlebih dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari
membran sel untuk membentuk kompleks antigen yaitu kompleks hapten protein, kecuali
obat-obat dengan berat molekul yang tinggi yang dapat berfungsi langsung sebagai
antigen yang lengkap.
6. Mengapa tidak ada gangguan BAK ?
Lecet berair yang disertai dengan keluhan BAK biasanya merupakan manifestasi
dari penyakit menular seksual. Keluhan BAK dapat timbul karena adanya
infeksi/inflamasi pada organ dalam, sementara jika lecet berair tanpa adanya keluhan
BAK berarti infeksi atau inflamasi hanya terjadi di bagian luar, yaitu kulit.
7. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Tzank test dan
pemeriksaan serologis ?
lekosit PMN 1 – 2 hal ini menandakan normal . tidak terdapat radang akut.
diplokokus Gram (-) ekstra dan intra seluler (-) hal ini menandakan bahwa tidak
ditemukannya bakteri Neisseria gonorrhoeae di ekstra seluler maupun intraseluler dalam
hal ini sel netrofil. Keadaan ini menyingkirkan diagnosis banding uretritis gonore,
kandida (-) menandakan tidak ditemukannya jamur Candida. Hal ini menyingkirkan
diagnosis banding kandidiasis.
trikomonas (-) menandakan tidak ditemukannya parasit trichomonas. Hal ini
menyingkirkan diagnosis banding trikomoniasis.
Pemeriksaan Tzank test (-), hal ini menyingkirkan diagnosis banding herpes simpleks.
Pemeriksaan serologis (-) hal ini menandakan tidak ditemukannya antigen antibodi
terhadap suatu kompleks tertentu.
8. Bagaimana etiologi,epidemiologi, patogenesis, gejala dan tanda,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis dan preventif dari masing-masing
diagnosis banding?
1. Gonore
1.1. Defenisi
Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae yang bersifat purulen dan dapat menyerang permukaan mukosa manapun di
tubuh manusia (Behrman, 2009).
1.2 Epidemiologi
Di dunia, gonore merupakan IMS yang paling sering terjadi sepanjang abad ke 20,
dengan perkiraan 200 juta kasus baru yang terjadi tiap tahunnya (Behrman, 2009). Sejak
tahun 2008, jumlah penderita wanita dan pria sudah hampir sama yaitu sekitar 1,34 tiap
100.000 penduduk untuk wanita dan 1,03 tiap 100.000 penduduk untuk pria (CDC,
2009).
1.3. Etiologi dan morfologi
Gonore disebabkan oleh gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879.
Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae bersama dengan 3
spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca.
Gonokok termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan
pajang 1,6 u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat ditemui baik di
dalam maupun di luar leukosit. (Daili, 2009).
1.4. Gejala klinis
Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria. Sedangkan
pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan untuk bersifat
asimptomatis pada wanita.
Keluhan subjektif yang paling sering timbul adalah rasa gatal, disuria, polakisuria, keluar
duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang dapat disertai darah dan
rasa nyeri pada saat ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra eksternum tampak
kemerahan, edema, ekstropion dan pasien merasa panas. Pada beberapa kasus didapati
pula pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral maupun bilateral.
Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita,
gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif.
Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita adalah rasa nyeri pada
panggul bawah, dan dapat ditemukan serviks yang memerah dengan erosi dan sekret
mukopurulen (Daili, 2009).
1.5. Pemeriksaan
- Pemeriksaan Gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh uretra memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terutama pada duh uretra pria, sedangkan duh
endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak begitu tinggi. Pemeriksaan ini akan
menunjukkan N.gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan dapat ditemukan
baik di dalam maupun luar sel leukosit.
- Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae
- Tes defenitif: dimana pada tes oksidasi akan ditemukan semua Neisseria akan
mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening menjadi merah muda
hingga merah lembayung. Sedangkan dengan tes fermentasi dapat dibedakan
N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan glukosa saja.
- Tes beta-laktamase: tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak perubahan
warna koloni dari kuning menjadi merah.
- Tes Thomson: tes ini dilakukan dengan menampung urine setelah bangun pagi ke
dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas kedua. Hasil
dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh sedangkan gelas kedua tampak jernih
(Daili, 2009).
1.6. Komplikasi
Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal
genitalia (Daili, 2009). Komplikasi lokal pada pria dapat berupa tisonitis, parauretritis,
littritis, dan cowperitis. Selain itu dapat pula terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis,
epididimitis yang dapat menimbulkan infertilitas. Sementara pada wanita dapat terjadi
servisitis gonore yang dapat menimbulkan komplikasi salpingitis ataupun penyakit
radang panggul dan radang tuba yang dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan
ektopik. Dapat pula terjadi komplikasi diseminata seperti artritis, miokarditis,
endokarditis, perikarditis, meningitis dan dermatitis. Infeksi gonore pada mata dapat
menyebabkan konjungtivitis hingga kebutaan (Behrman, 2009 ).
2. Infeksi Genital Non-Spesifik (IGNS)
2.1. Defenisi
IGNS merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyebab yang
nonspesifik yang meliputi beberapa keadaan yaitu Uretritis Non-spesifik (UNS), proktitis
nonspesifik dan Uretritis Non-Gonore (UGN) (Lumintang, 2009).
2.2. Epidemiologi
Di dunia, WHO memperkirakan terdapat 140 juta kasus yang terjadi akibat infeksi
C.trachomatis. Terdapat 1,1 juta kasus dilaporkan di Amerika Serikat dengan prevalensi
tertinggi terjadi pada wanita diusia 15-24 tahun pada tahun 2007 (Struble, 2010).
2.3. Etiologi dan morfologi
Penyebab 30% hingga 50% kasus IGNS adalah Chamydia trachomatis, sedangkan
kasus selebihnya umumnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum. Chlamydia
trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50 % dari kasus
uretritis non gonokokus.
Klamidia yang menyebabkan penyakit pada manusia diklasifikasikan menjadi tiga
spesies, yaitu: (Struble, 2010)
1. Chlamydia psittaci, penyebab psittacosis.
2. C. trachomatis, termasuk serotipe yang menyebabkan trachoma infeksi alat kelamin,
Chlamydia conjunctivitis dan pneumonia anak dan serotipe lain yang menyebabkan
Lymphogranuloma venereum.
3. C. pneumoniae, penyebab penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia dan
merupakan penyebab penyakit arteri koroner.
2.4. Gejala klinis
Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit dibedakan dengan gonorrhea dan
termasuk adanya discharge mukopurulen dalam jumlah sedikit atau sedang, terutama
pada pagi hari (morning drops) dan dapat pula berupa bercak di celana dalam, gatal pada
uretra dan rasa panas ketika buang air kecil. Infeksi tanpa gejala bisa ditemukan pada 1-
25% pria dengan aktivitas seksual aktif. Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama
dengan gonorrhea, dan seringkali muncul sebagai discharge endoservik mukopurulen,
disertai dengan pembengkakan, eritema dan mudah mengakibatkan perdarahan
endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel kolumner endoservik. Namun, 70 %
dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang menderita klamidia, biasanya tidak
menunjukkan gejala. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tuba bisa
memberikan hasil yang sama. Manifestasi klinis lain namun jarang terjadi seperti
bartolinitis, sindroma uretral dengan disuria dan pyuria, perihepatitis (sindroma Fitz-
Hugh-Curtis) dan proktitis.
2.5. Pemeriksaan
Diagnosa Uretritis Non Gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis non gonokokus
ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria gonorrhoeae
melalui sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai penyebab dipastikan dengan
pemeriksaan preparat apus yang diambil dari uretra atau endoserviks atau dengan tes IF
langsung dengan antibodi monoklonal, EIA, Probe DNA, tes amplifikasi asam nukleus
(Nucleic Acid Amplification Test, NAAT), atau dengan kultur sel. NAAT bisa dilakukan
dengan menggunakan spesimen urin. Organisme intraseluler sulit sekali dihilangkan dari
discharge.
Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan Gram ditemukan leukosit lebih
dari 5 pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Pada pemeriksaan
mikroskopik sekret serviks dengan pewarnaan Gram didapatkan leukosit lebih dari 30
per lapangan pandang dengan pembesaran 1000 kali. Tidak dijumpai diplokokus negatif
gram, serta pada pemeriksaan sediaan basah tidak didapati parasit Trichomonas vaginalis
(Lumintang,2009).
Pembiakan C.trachomatis yang bersifat obligat intraseluler harus dilakukan pada sel
hidup. Sel hidup ini dibiakkan dalam gelas kaca yang disebut biakan monolayer seperti
Mc Coy dan BHK yang dapat dilihat hasil pertumbuhannya pada hari ketiga.
2.6. Komplikasi
Komplikasi dan gejala sisa berupa salpingitis dengan risiko infertilitas, kehamilan
diluar kandungan atau nyeri pelvis kronis. Komplikasi dan gejala sisa mungkin terjadi
dari infeksi uretra pada pria berupa epididimitis, infertilitas dan sindroma Reiter. Pada
pria homoseksual, hubungan seks anorektal bisa menyebabkan proktitis klamidia.
3. Sifilis
3.1. Defenisi
Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum yang
bersifat kronis dan sistemik ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder
pada kulit dan selaput lendir kemudian masuk kedalam periode laten tanpa manifestasi
lesi di tubuh diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem
syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Infeksi ini dapat ditularkan kepada bayi di dalam
kandungan (sifilis kongenital) (Hutapea, 2010).
3.2. Epidemiologi
Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik
yang dapat dikendalikan dengan baik. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan
masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anak-anak muda
dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia muda
berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan prevalensi
penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor
biologis. (Liu,2009).
3.3. Etiologi dan morfologi
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang merupakan spesies
Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Treponema pallidum
berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 μm (antara 6-20 μm) dengan
diameter antara 0,09 – 0,18 μm. (Hutapea, 2010).
3.4. Gejala klinis
Periode inkubasi sifilis biasanya 3 minggu. Fase sifilis primer ditandai dengan
munculnya tanda klinis yang pertama yang umumnya berupa tukak baik tunggal maupun
multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras dan
terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang
mengelilingi lesi meninggi dan keras. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya
chancer (ulkus durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di rektum atau serviks.
Tanpa diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6
minggu.
Sepertiga dari kasus yang tidak diobati mengalami stadium generalisata, stadium
dua, dimana muncul erupsi di kulit yang kadang disertai dengan gejala konstitusional
tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti
dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan
menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan
kemudian. Sifilis sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ
tubuh dan dapat disertai demam dan malaise.
Fase laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis namun dengan pemeriksaan
serologis yang reaktif. Akan tetapi bukan berarti perjalanan penyakit akan berhenti pada
tingkat ini, sebab dapat terjadi sifilis stadium lanjut berbentuk gumma, kelainan susunan
syaraf pusat dan kardiovaskuler.
3.5. Pemeriksaan
Beberapa pemeriksaan terhadap sifilis dapat dilakukan dengan berbagai cara:
- Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam
lesi.
- Penentuan antibodi di dalam serum yang timbul akibat infeksi T.pallidum.
- Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan serologis terhadap darah dan likuor
serebrospinalis.
3.6. Komplikasi
Sifilis stadium lanjut yang dapat menyebakan neurosifilis, sifilis kardiovaskuler, dan
sifilis benigna lanjut dapat menyebabkan kematian bila menyerang otak.
4. Herpes genitalis
4.1. Defenisi
Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex
Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema
dan bersifat rekurens (CDC Fact Sheet, 2007).
4.2. Epidemiologi
Data - data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi herpes
genital rendah sekali pada tahun 1992 di RSUP dr.Moewardi yaitu hanya 10 kasus dari
9983 penderita IMS. Namun, prevalensi di RSUD Dr.Soetomo agak tinggi yaitu sebesar
64 dari 653 kasus IMS dan lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu 22 kasus dari 126
kasus IMS (Hakim, 2009).
4.3. Etiologi dan morfologi
Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun 1940
menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia,
keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2
merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital. HSV
tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan
(Salvaggio, 2009).
4.4. Gejala klinis
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala awal
biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan yang
kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Gejala awal ini
sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan
mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan (Salvaggio, 2009).
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit
depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di
vulva dan leher rahim.
4.5. Pemeriksaan
Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel
berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan laboratorium yang
paling sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau
Wright dimana akan tampak sel raksasa berinti banyak. Cara terbaik dalam menegakkan
diagnosa adalah dengan melakukan kultur jaringan karena paling sensitif dan spesifik.
Namun cara ini membutuhkan waktu yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-
tes serologis terhadap antigen HSV baik dengan cara imunoflouresensi,
imunoperoksidase maupun ELISA (Daili, 2009).
4.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada bayi yang
baru lahir (Daili, 2009). Herpes genitalis pada trimester awal kehamilan dapat
menyebabkan abortus atau malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang
lahir dari ibu pengidap herpes ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis, ensefalitis,
keratokonjungtifitis bahkan stillbirth.
5. TRIKOMONIASIS
5.1. Definisi
Trikomoniasis adalah infeksi saluran urogenital yang dapat bersifat akut atau kronik
dan disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.
5.2. Epidemiologi
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat juga melalui pakaian,
handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu trikomoniasis ini terutama ditemukan
pada orang dengan aktivitas sosial tinggi, tetapi dapat juga ditemukan pada bayi dan
penderita setelah menopause. Penderita wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.
5.3. Patogenesis
T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital
dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. Masa tunas rata-rata 4
hari sampai 3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan jaringan
granulasi yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan di lapisan subepitel yang menjalar
sampai dipermukaan epitel. Didalam vagina dan uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel,
kuman-kuman dan benda lain dalam sekret.
5.4. Gejala Klinis
1. Trikomoniasis pada wanita
Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut maupun kronik. Pada
kasus akut akan terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuning-kuningan, kuning-
hijau berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa. Pada kasus yang kronik gejala lebih
ringan dan sekret vagina biasanya tidak berbusa.
2. Trikomoniasis pada laki-laki
Pada laki-laki yang diserang terutama uretra, kelenjar prostat, kadang-kadang
preputium, vesikula seminalis dan epididimis. Pada umumnya gambaran klinis lebih
ringan dibandingkan dengan wanita. Bentuk akut gejalanya mirip uretritis non gonore,
misalnya disuria, poliuria dan sekret uretra mukoid atau mukopurulen. Urin biasanya
jernih, tetapi kadang-kadang ada benang-benang halus. Pada bentuk kronik gejalanya
tidak khas; gatal pada uretra, disuria dan urin keruh pagi hari.
5.5. Diagnosis
Untuk mendiagnosis trikomoniasis dapat dipakai beberapa cara, misalnya
pemeriksaan mikroskopik sediaan basah, dan sediaan hapus serta pembiakan. Sediaan
basah dicampur dengan garam faal dan dapat dilihat pergerakan aktif parasit. Pada
pembiakan dapat digunakan bermacam-macam perbenihan yang mengandung serum.
5.6. Pengobatan
Pengobatan dapat diberikan secara topikal atau sistemik
Secara topikal, dapat berupa:
1. Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-2% dan larutan asam
laktat 4%.
2. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat trikomoniasidal
3. Jel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal
Secara sistemik
Obat yang sering digunakan tergolong derivat nitromidazol.
6. Fixed Drug Eruption
6.1. Definisi
Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada
tempat yang sama. ( Soebaryo, 1995 )
6.2. Epidemiologi
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang pernah
dilaporkan adalah 8 bulan.
6.3 Etiologi
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang paling sering
dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin,
antipiretik,pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid. ( Shear, 2000 )
6.4. Patofisiologi
Meskipun patogenesis pasti FDE belum pasti, penelitian terkini mengarah pada
proses yang dimediasi sel yang menginisiasi lesi aktif maupun tidak aktif. Proses ini
mungkin melibatkan response sitotoksik dimediase sel yang tergantung antibodi (Teraki
dan Shiohara, 2004). Sel T efektor/memori CD8+ memainkan peran penting dalam
reaktivasi lesi dengan paparan ualng dengan obat pemicu (Mizukawa dan Shiohara,
2009; Shiohara, 2009).
Obat pemicu diduga berfungsi sebagai hapten yang mudah berikatan dengan
keratinosit basal, sehingga memicu respons inflamasi (Weedon, 2002). Melalui
pelepasan sitokin seperti TNF-α, keratinosit mungkin meningkatkan ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM1) secara local (Smoller et al, 1991).
Peningkatan ICAM1 telah ditunjukkan untuk membantu sel T (CD4 dan CD8) untuk
bermigrasi ke situs lesi (Hindsen et al, 1987; Shiohara et al, 1989).
Adanya sel CD8 residen dan sel CD8 yang terus menuju ke situs lesi menimbulkan
kerusakan jaringan secara terus menerus akibat produksi sitokin inflamasi IFN-γ dan
TNF-α. Sel CD8 yang diisolasi dari lesi aktif mengekspresikan alfa E beta 7, yaitu ligan
E-cadherin, yang mungkin berkontribusi pada kemampuan limfosit untuk berlokalisasi
ke epidermis. Molekul permukaan sel lainnya, seperti CLA/alfa4beta1/CD4a, yang
mengikat E-selectin/vascular celluar adhesion molecule-2/ICAM1 selanjutnya
membantu menarik sel CD8 ke area tersebut (Teraki dan Shiohara, 2003).
Perubahan pada marker permukaan sel memungkinkan endothelium vaskular untuk
memicu migrasi sel CD4 ke lesi aktif. Sel CD4 regulator ini diduga memproduksi IL-10,
yang dapat membantu menekan fungsi imun, menghasilkan lesi yang tenang (Teraki dan
Shiohara, 2003). Dengan hilangnya respon inflamasi, ekspresi IL-15 dari keratinosit
diduga membantu menjaga sel CD8, membantu sel-sel ini untuk memenuhi fenotipe
memori efektor. Berikutnya, ketika paparan obat pemicu terjadi lagi, respons akan
berkembang lebih cepat pada lokasi yang sama dengan lesi sebelumnya (Teraki dan
Shiohara, 2003).
6.5. Gambaran Klinis
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat secara
oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berawarna merah atau keunguan, berbatas
tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi
krusta.. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya
soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul
kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Timbulnya
kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed” pada nama penyakit
tersebut. ( Soebaryo, 1995 )
Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai,
tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital. Lesi FDE pada penis
sering disangka sebagai penyakit kelamin ( Shear, 2000 )
Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar , jarang dijumpai gejala sistemik. Tidak
dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika menyembuh
akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang menetap dalam jangka
waktu lama ( Shear, 2000 )
6.6 Pemeriksaan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.
Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat, dosis,
waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk membuat
diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis:
1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis
banding.
2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya .
3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab.
Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk
mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil
biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan
provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin
ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang
terlatih. ( Shear, 2000 )
6.7. Penatalaksanaan
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab. ( Soebaryo, 1995 )
2. Pengobatan Sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan.Untuk keluhan rasa gatal
pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat
diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai efek sedasi.(Hamzah, 2001)
3. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah.
a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk
mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek
menyejukkan. (Hamzah, 2001)
b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 % atau
2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam jangka
waktu lama. (Hamzah, 2001)
6.8. Prognosis
Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka
sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat
tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan
(misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya FDE. ( Soebaryo, 1995 )
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Andrew J.M, Sun. 1993. Cutaneous Drugs Eruption.In: Hong Kong Practitioner. Volume 15.
Department of Dermatology University of Wales College of Medicine. Cardiff CF4
4XN. U.K.. 1993. Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf
Behrman, A.J. & Shoff, W.H., 2009. Gonorrhea, University of Pennsylvania. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/782913-overview.
Butler, David F. MD. 2012. Fixed Drug Eruption. diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1336702-overview
Centers for Disease Control and Prevention, 2007. CDC Fact Sheet Genital Herpes. Available
from: http://www.cdc.gov/std/healthcomm/factsheets .htm.
Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Sexually Transmitted Disease
Surveillance 2008. Georgia: U.S. Department of Health and Human Services,
Division of STD Prevention.
Daili, S.F., 2009. Gonore. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta:
Balai Penerbitan FKUI, 65-76.
Daili, S.F., 2009. Herpes Genitalis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed.
Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 125-139.
Daili, S.F., 2009. Pemeriksaan Klinis pada Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al.,
Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 19-61.
Effendi EH. 2000. Uji kulit pada Erupsi Alergi Obat. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja E, Agusni
YH, Sugiri U,eds. Buku Makalah Lengkap Kursus Imuno-dermatologi I. Bandung:
Kelompok Studi Dermatologi Bag/SMF Kulit dan Kelamin – RSUP dr. Hasan
Sadikin
Hakim, L., 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al., Infeksi
Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 3-16.
Hamzah M. 2002. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hindsen M, Christensen OB, Gruic V, Lofberg H. Fixed drug eruption: an
immunohistochemical investigation of the acute and healing phase. Br J Dermatol.
Mar 1987;116(3):351-60. [Medline].
Hutapea, N.O., 2009. Sifilis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta:
Balai Penerbitan FKUI, 84-102.
Liu, P.F. & Euerle, B., 2009. Syphilis, Virginia Hospital Center Arlington. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229461-overview.
Lumintang, H., 2009. Infeksi Genital Non Spesifik. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular
Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 77-83
Mizukawa Y, Shiohara T. Fixed drug eruption: a prototypic disorder mediated by effector
memory T cells.Curr Allergy Asthma Rep. Jan 2009;9(1):71-7.
Revus J, Allanore AV.2003. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd
edition. Philadelphia : Elserve limited. 2003.
Riedl MA, Casillas AM. 2003. Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Available at:
www.aafp.org/afp
Salvaggio, M.R. & Lutwick, L.I., 2009. Herpes Simplex, University of Oklahoma College of
Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com /article/218580-
overview.
Shear NH, Landau M, Shapiro Le. 2000. Hypersensitivity reactions to drug. In: Harper J,
Oranje A, Prose N, eds. London: London Blackwell Scientific Publication.
Shiohara T, Nickoloff BJ, Sagawa Y, Gomi T, Nagashima M. Fixed drug eruption.
Expression of epidermal keratinocyte intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-
1). Arch Dermatol. Oct 1989;125(10):1371-6.[Medline].
Shiohara T. Fixed drug eruption: pathogenesis and diagnostic tests. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. Aug 2009;9(4):316-21.
Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. 1995. Eksantema Fikstum. Dalam: Sularsito SA
dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Smoller BR, Luster AD, Krane JF, et al. Fixed drug eruptions: evidence for a cytokine-
mediated process. J Cutan Pathol. Feb 1991;18(1):13-9.
Struble, K. & Lutwick, L.I., 2010. Chlamydial Genitourinary, Universityof Oklahoma
College of Medicine. Available from: http://emedicine.medscape.com
/article/214823-overview
Sudigdoadi, Widiantoro Y.1995. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18 bulan. Jakarta:
Media Dermato-Venereologica Indonesiana
Sudoyo, Aru W. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta
Teraki Y, Shiohara T. IFN-gamma-producing effector CD8+ T cells and IL-10-producing
regulatory CD4+ T cells in fixed drug eruption. J Allergy Clin Immunol. Sep
2003;112(3):609-15.
Weedon D. The lichenoid reaction pattern ('interface dermatitis'). In: Skin Pathology. 2nd ed.
London, England: Churchill Livingstone; 2002:42-43.
Wolff K, Johnson R.A., Suurmond D., (2007). Fitzpatrick's : The Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology Edisi 5. New York: The McGraw-Hill Companies