fix laporan pk2 d4 bahagia gembiraaaa
DESCRIPTION
laporanTRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK
BLOK HEMATOIMUNOLOGI
Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
Pemeriksaan Hematokrit
Hitung Jenis Leukosit
Indeks Hematokrit
Oleh
Kelompok D4
Anggota : Risma Pramudya G1A010045
Bayu Aji Pamungkas G1A011071
Gilang Ananda G1A011082
Bagas Ryan Kusuma G1A011089
Btari Farhana Indillah G1A012153
Muhammad Reiza P G1A012154
Ong Reaya Sany G1A012155
PJ Laboratorium : Yefta
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013
1
BAB I
DASAR TEORI
A. Eritrosit
Eritrosit merupakan elemen terbesar penyusun darah, berbentuk piringan
bikonkaf dengan garis tengah 8 um, ketebalan 2 um di tepi luar, dan ketebalan
1 um di bagian tengah. Bentuk bikonkaf sel darah merah ini menghasilkan
luas permukaan yang lebih besar untuk difusi O2 menembus membran
dibandingkan dengan bentuk sel yang bulat dengan besar volum sama. Sel
yang tipis juga memungkinkan O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam
sel dan eksterior sel. Gambaran lain yang mempermudah fungsi transpor sel
darah merah adalah kelenturan membrannya. Sel darah merah yang memiliki
garis tengah 8 um dapat mengalami perubahan bentuk secara luar biasa
sewaktu mengalir satu per satu melewati kapiler yang garis tengahnya
sesempit 3 um (Sherwood, 2002).
Sel darah merah tidak memiliki nukleus, mitokondria, dan ribosom, serta
tidak dapat bergerak. Eritrosit hanya terdiri dari (Sherwood, 2002):
1. membran luar;
2. hemoglobin (Hb), komponennya terdiri atas:
a. heme yang merupakan gabungan protoporfirin dengan besi;
b. globin bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai
beta;
3. karbonik anhidrase (enzim yang terlibat dalam transpor
karbondioksida).
Kisaran jumlah normal eritrosit adalah: laki – laki 4,5 – 6,5 juta / liter,
wanita 3,9 – 5,8 juta / liter (Gibson, 2002).
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di sumsum
tulang hingga terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi yang dipengaruhi
dan dirangsang oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon
glikoprotein yang terutama dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus
ginjal, dalam respon terhadap kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma,
untuk digunakan oleh sel-sel induk sumsum tulang. Eritropoietin
2
mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium terutama saat sel induk
membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit. Di samping
mempercepat pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan pengambilan
besi, mempercepat pematangan sel dan memperpendek waktu yang
dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi.
Pada orang dewasa terutama terjadi di dalam sumsum tulang, dimana
sistem eritrosit menempati 20% – 30% bagian jaringan sumsum tulang yang
aktif membentuk sel darah. Sel eritrosit berasal dari sel induk multipotensial
dalam sumsum tulang. Sel induk multipotensial ini mampu berdiferensiasi
menjadi sel darah sistem eritroid, mieloid, dan megakariosibila yang
dirangsang oleh eritropoeitin. sel induk multipotensial akan berdiferensiasi
menjadi sel induk unipotensial. Sel induk unipotensial tidak mampu
berdiferensiasi lebih lanjut, sehingga sel induk unipotensial seri eritrosit hanya
akan berdiferensiasi menjadi sel pronormoblas. Sel pronormoblas akan
membentuk DNA yang diperlukan untuk tiga sampai dengan empat kali
mitosis. Melalui empat kali mitosis dari tiap sel pronormoblas akan terbentuk
16 eritrosit. Eritrosit matang kemudian dilepaskan dalam sirkulasi. Pada
produksi eritrosit normal sumsum tulang memerlukan besi, vitamin B12, asam
folat, piridoksin (vitamin B6), kobal, asam amino, dan tembaga. Secara garis
besar, perubahan morfologi sel yang terjadi selama proses diferensiasi sampai
eritrosit matang adalah sebagai berikut (Handayani, 2008):
1. Ukuran sel mengecil akibat mengecilnya inti sel.
2. Inti sel menjadi semakin padat dan akan dikeluarkan pada tingkatan
eritroblas asidosis.
3. Dalam sitoplasma dibentuk hemoglobin yang diikuti dengan
hilangnya RNA dari dalam sitoplasma sel.
B. Hematokrit
Pemeriksaan hematokrit menggambarkan perbandingan persentase antara
sel darah merah, sel darah putih dan trombosit terhadap volume seluruh darah
atau konsentrasi (%) eritrosit dalam 100mL/dL keselurahan darah.
3
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
hemoglobin (Hb) dan eritrosit.
Hematokrit dapat diukur pada darah vena atau kapiler dengan teknik
makrokapiler dan mikrokapiler. Pada teknik makrokapiler, darah vena diambil
kemudian dimasukkan dalam tabung berskala dengan panjang 100 mm dan
disentrifuse pada 2260 g selama 30 menit. Volume packed red cell dan plasma
dibaca secara langsung dari angka milimeter disisi tabung. Metode
makrokapiler ini sudah tidak banyak lagi digunakan (Sacher, 2004).
Prinsip pengukuran hematokrit cara manual (metode mikro) adalah darah
vena dengan menggunakan antikoagulan, kemudian dimasukkan kedalam
tabung kapiler yang salah satu ujungnya ditutup dengan bahan khusus
(malam) dan dipusingkan dengan kecepatan tertentu sehingga terjadi
pemadatan sel-sel darah merah. Tingginya sel darah merah diukur dengan
menggunakan skala hematokrit yang dinyatakan dalam persen terhadap
seluruh darah.
Metode mikrohematokrit menggunakan darah vena atau darah kapiler
untuk mengisi sebuah tabung kapiler dengan panjang sekitar 7 cm dan
diameter 1 milimeter. Tabung yang sudah terisi kemudian disentrifuse selama
4 – 5 menit pada 10.000 g, dan proporsi plasma dan sel darah merah
ditentukan dengan alat pembaca berkalibrasi. Proses sentrifuse harus dikontrol
agar gaya sentrifugalnya optimal. Teknik ini memungkinkan kita untuk
memperkirakan secara kasat mata volume sel darah putih dan trombosit yang
membentuk buffy coat antara sel darah merah dan plasma. Hematokrit juga
dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen elektronik otomatis, dan
hematokrit dihitung dari volume sel rerata dan hitung sel darah merah (Sacher,
2004).
Semakin tinggi persentase hematokrit berarti konsentrasi darah semakin
kental, dan diperkirakan banyak plasma darah yang keluar dari pembuluh
darah hingga berlanjut pada kondisi syok hipovolemik. Penurunan hematokrit
terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan darah akut, anemia, leukemia,
dan kondisi lainnya.
4
C. Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin eritrosit.
Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks kospouskuler. Indeks eritrosit
terdiri atas : isi/volume atau ukuran eritrosit (MCV : mean corpuscular
volume atau volume eritrosit rata-rata), berat (MCH : mean corpuscular
hemoglobin atau hemoglobin eritrosit rata-rata), konsentrasi (MCHC : mean
corpuscular hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-
rata), dan perbedaan ukuran (RDW : RBC distribution width atau luas
distribusi eritrosit).
Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia
atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai macam anemia.
Indeks eritrosit dapat ditetapkan dengan dua metode, yaitu manual dan
elektronik (automatik) menggunakan hematology analyzer. Untuk dapat
menghitung indeks eritrosit secara manual diperlukan data kadar hemoglobin,
hematokrit/PCV dan hitung eritrosit.
a. MCV (Mean Corpouscular Volume)
MCV atau Volume Eritrosit Rata-rata (VER) merupakan
penghitungan untuk volume eritrosit rata – rata. MCV merupakan
indeks eritrosit yang paling sering digunakan. MCV dapat
dirumuskan sebagai berikut (Kee, 2007):
MCV= HematokritJumlah eritrosit
×10
Nilai normal dari MCV adalah antara 82 – 92 femtoliter untuk
dewasa, 73 – 101 femtoliter untuk anak usia 1 – 3 tahun, 72 – 88
femtoliter untuk anak usia 4 – 5 tahun, 69 – 93 femtoliter untuk anak
usia 6 – 10 tahun, dan 98 – 122 femtoliter untuk bayi yang baru lahir
(Kee, 2007).
Interpretasi dari MCV adalah makrositik (MCV di atas normal),
normositik (MCV dalam batas normal), dan mikrositik (MCV di
bawah normal) (Kee, 2007).
b. MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)
MCH atau Hemoglobin Eritrosit Rata – Rata (HER) mengindikasikan
bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa memperhatikan ukurannya.
5
MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10 kali, lalu
membaginya dengan hitung eritrosit (Kee, 2007).
MCH= HemoglobinJumlaheritrosit
×10
Nilai normal dari MCH untuk dewasa adalah antara 27 – 32
pikogram, 33 – 41 pikogram untuk bayi yang baru lahir, 23 – 31
pikogram untuk anak usia 1 – 5 tahun, dan 22 – 34 pikogram untuk
anak usia 6 – 10 tahun (Kee, 2007).
MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik – normokromik
atau sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik –
normokromik atau anemia mikrositik – hipokromik (Kee, 2007).
c. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)
MCHC atau Kadar Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)
mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit.
MCHC dapat dirumuskan sebagai berikut (Kee, 2007):
MCHC= HemoglobinHematokrit
× 100 %
Nilai normal untuk dewasa adalah antara 32 – 37%, 31 – 35% untuk
bayi yang baru lahir, 26 – 34% untuk anak usia 1,5 – 3 tahun, dan 32
– 36% untuk anak usia 5 – 10 tahun (Kee, 2007).
Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi
zat besi serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan
MCV atau dari hemoglobin dan hematocrit (Kee, 2007).
6
D. Jenis Leukosit
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh yang
dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe (Guyton &
Hall, 1997).
Sel darah putih yang secara normal ditemukan dalam darah, yaitu
(Eroschenko, 2003):
a. Eosinofil
Eosinofil merupakan 2 – 4% leukosit di dalam darah. Sel ini biasanya
mudah dikenali pada apusan darah karena sitoplasmanya dipenuhi
granul eosinofilik (merah muda terang) besar. Inti eosinofil berlobus
dua, tetapi kadang – kadang berlobus 3 yang kecil (Eroschenko,
2003).
Gambar 1.1 Eosinofil
b. Basofil
Basofil mencakup kurang dari 1% dari leukosit darah dan itulah
sebabnya basofil paling sulit ditemukan dalam apusan darah. Granula
pada basofil tidak sebanyak pada eosinofil, namun ukuran granulnya
lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau
cokelat. Intinya tidak berlobus banyak dan terpulas basofilik pucat,
namun terhalangi oleh kepadatan granul (Eroschenko, 2003).
Gambar 1.2 Basofil
c. Neutrofil
7
Neutrofil terdapat kira – kira 60 – 70% dari populasi leukosit darah
dan mudah ditemukan dalam apusan darah. Neutrofil segmen lebih
banyak ditemukan daripada neutrofil stab. Sitoplasma neutrofil
mengandung granul halus berwarna ungu atau merah muda yang
susah dilihat dengan mikroskop cahaya biasa, akibatnya,
sitoplasmanya tampak bening. Inti neutrofil terdiri atas beberapa
lobus yang dihubungkan benang kromatin halus (Eroschenko, 2003).
Gambar 1.3 Stab Neutrofil
Gambar 1.4 Segmen Neutrofil
d. Limfosit
Limfosit mencakup 20 – 30% dalam leukosit darah. Limfosit hampir
tidak memiliki granul sitoplasma, dengan inti bulat sampai berbentuk
tapal kuda. Besarnya bervariasi, dari yang lebih kecil dari eritrosit
sampai dua kali besarnya. Pada limfosit, intinya yang terpulas gelap
mengisi hampir seluruh sitoplasma (Eroschenko, 2003).
Gambar 1.5 Limfosit
e. Monosit
8
Monosit adalah leukosit terbesar. Intinya bervariasi, dari bulat atau
lonjong sampai berlekuk atau berbentuk tapal kuda dan terpulas lebih
pucat daripada inti limfosit. Sitoplasmanya banyak dan sedikit
basofilik, sering mengandung granula zurofilik halus. Monosit ini
mencakup kira – kira 3 – 8% leukosit darah (Eroschenko, 2003).
Gambar 1.6 Monosit
Nilai normal jenis leukosit menurut Miller (Tim Patologi Klinik, 2010):
1. Eosinofil : 1 – 4%.
2. Basofil : 0 – 1%.
3. Stab : 2 – 5%.
4. Segmen : 50 – 70%.
5. Limfosit : 20 – 40%.
6. Monosit : 1 – 6%.
9
BAB II
Metode
A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
Alat :
1. Hemositometer :
a. Bilik Hitung NI
b. Pipet Eritrosit (skala, 0,5-1-101)
c. Kaca Penutup
2. Mikroskop
Bahan :
Darah venna atau darah kapiler
Reagen, Larutan Hayem :
1. NaSO4 kristal : 5 gram
2. NaCl : 1 gram
3. HgCl2 : 0,5 gram
4. Aquadest : 200 ml
Cara Kerja :
1. Bilik hitung ditutupdengan kaca penutup lalu letakkan dibawah
mikroskop
2. Kemudian cari kotak kecil atau kotak eritrosit
10
3. Dengan mengguanakan pipet eritrosit hisap darah sampai angka
0,5 pengenceran 200 kali.
4. Bersihkan ujung pipet, kocong searah horizontal
5. Buang 3 tetes pertama, teteskan ke bilik hitung
6. Amati dengan menggunakan mikroskop
B. Pemeriksaan Hematokrit
Alat :
1. Pipet Hematokrit
2. Vaselline
3. Sentrifuge (16.000 rpm)
4. Skala Pembaca Ht
Bahan :
Darah venna atau darah kapiler
Reagen :
Heparin
Cara Kerja :
1. Isi tabung kapiler dengan darah hingga ¾ tabung
2. Sumbat bagian ujung tabung dengan menggunakan vaslline
3. Lakukan sentrifuge dengan kecepatan 16000 rpm selama 3-5
menit
4. Baca hasil dengan skala hematokrit panjang kolom merah
C. Pemeriksaan Jumlah Leukosit
Tabel Hitung Leukosit
1 2 3 4 5
Eosinofil
Basofil
Staff
11
Segmen
Limfosit
Monosit
JUMLAH
Nilai Normal Menurut Miller :
Eosinofil : 1 – 4 %
Basofil : 0 – 1 %
Staff : 2 – 5 %
Segmen : 50 – 70 %
Limfosit : 20 – 40 %
Monosit : 1 – 6 %
D. Nilai Eritrosit Rata – rata ( Nilai Indeks Eritrosit)
1. MCV
Volume Eritrosit Rata-rata ( V E R ) satuan Femtoliter
HematokritJumlah Eritrosit
x 10
Nilai normal = 82 – 92 Femtoliter
2. MCH
Hemoglobin Eritrosit Rata – rata ( H E R ), adalah banyaknya
Hb per eritrosit dinyatakan dengan satuan pikogram
HemoglobinJumlah Eritrosit
x 10
12
Nilai normal 27 – 32 Pikogram
3. MCHC
Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit rata-rata ( KHER ), adalah
Kadar Hemoglobin Eritrosit yang didapat per Eritrosit
dinyatakan dengan satuan %
HemoglobinHematokrit
x100%
Nilai normal 32 – 37 %
13
BAB III
Hasil
A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
¿ jumlah eritrositkotak kecil
× 400× 10 ×200
¿ 10716
× 400 ×10 ×200
= 4750 juta / mm3
B. Pemeriksaan Hematokrit
¿ panjang kolom merahpanjang kolom total
× 100 %
¿ 34100
×100 %
¿ 34%
C. Tabel Hitung Leukosit
1 2 3 4 5
Eosinofil I I ii - I
Basofil - - - - -
Staff - - iii Iii -
Segmen iiiii ii Iiiii ii I iii
Limfosit I Iiii iii iiiii i iiiii i
Monosit I - - - -
JUMLAH 10 10 10 10 10
Eosinofil = 10%
Basofil = 4%
Staff = 12%
Segmen = 17%
Limfosit = 20%
Monosit = 0%
14
Hasil : Eosinofilia
D. Nilai Indeks Eritrosit
MCV (Mean Corpusculum Volume)
¿ Htjumlah eritrosit
×10
¿ 344,75
× 10
= 71,58 Femtoliter (tidak normal)
MCH (Mean Corpusculum Hemoglobin)
¿ Hbjumlaheritrosit
×10
¿ 164,75
× 10
= 33,68 Pikogram (tidak normal)
MCHC (Mean Corpusculum Hemoglobin Concentrate)
¿ HbHt
×100%
¿ 1634
× 100 %
= 47,06% (tidak normal)
15
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pemeriksaan Jumlah Eritrosit
Berdasarkan hasil pemeriksaan dari sampel darah yang diambil dari
probandus:
Nama : Bagas Ryan Kusuma
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
didapatkan sebanyak 107 eritrosit pada 16 kotak kecil. Dengan menggunakan
perhitungan jumlah eritrosit, maka didapatkan hasil jumlah eritrosit sebanyak
4,75 juta / mm3. Sedangkan nilai rujukan jumlah eritrosit untuk pria dewasa
adalah 4,5 – 6,5 juta / mm3, hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah eritrosit
yang dimiliki probandus masih dalam batas normal. Selain karena probandus
tidak memiliki penyakit yang berhubungan dengan jumlah eritrosit, ketajaman
mata yang baik, penyebaran kotak kecil yang dihitung, dan ketelitian dalam
menghitung sel eritrosit pada mikroskop juga mempengaruhi valid atau
tidaknya pemeriksaan jumlah eritrosit ini.
Nilai rujukan untuk jumlah eritrosit pada bayi < 3 bulan adalah 4,0 – 5,6
juta / mm3, untuk bayi berusia 3 bulan adalah 3,2 – 4,5 juta / mm3, untuk usia
1 tahun adalah 3,6 – 5,0 juta / mm3, untuk anak berusia 12 tahun adalah 4,2 –
5,2 juta / mm3, dan untuk pria dewasa adalah 4,5 – 6,5 juta / mm3 (Tim
Patologi Klinik, 2010).
Jika jumlah eritrosit di bawah nilai rujukan keadaan tersebut disebut
anemia, sedangkan jika jumlah eritrosit melebihi nilai rujukan maka keadaan
tersebut disebut polisitemia.
B. Pemeriksaan Hematokrit
Berdasarkan hasil pemeriksaan dari sampel darah yang diambil dari
probandus:
Nama : Bagas Ryan Kusuma
Usia : 20 tahun
16
Jenis kelamin : Laki-laki
didapatkan hasil panjang kolom merah adalah 34, sedangkan panjang kolom
total adalah 100. Jika dihitung dengan rumus perhitungan nilai hematokrit,
maka didapatkan nilai hematokrit pada darah probandus adalah 34%.
Sedangkan nilai rujukan hematokrit menurut Dacie untuk pria dewasa adalah
47 ± 7 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai hematokrit pada darah
probandus kurang dari normal.
Dalam hal ini dapat terjadi kesalahan dalam pemeriksaan. Sumber
kesalahan dapat berasal dari proses sentrifuge yangtidak benar, lupa
mengocok sampel, penutupan ujung kapiler tidak rapat, antikoagulan yang
digunakan tidak tepat, atau tabung kapiler tidak ditera (Tim Patologi Klinik,
2010).
Nilai hematokrit dapat menurun pada saat perdarahan dan hemolisis.
Selain itu ada beberapa variabel yang dapat menurunkan kadar Ht, di
antaranya (Wirawan, 1996):
1. Penggunaan antikoagulan EDTA yang lebih dari kadar 1,5 mg/ml
darah mengakibatkan eritrosit mengerut sehingga nilai hematokrit akan
turun.
2. Bahan pemeriksaan yang ditunda lebih dari 6 jam akan meningkatkan
hematokrit.
3. Bahan pemeriksaan tidak dicampur hingga homogen sebelum
pemeriksaan dilakukan.
4. Darah yang digunakan untuk pemeriksaan tidak boleh mengandung
bekuan.
5. Kecepatan dan lamanya pemusingan harus sesuai.
6. Pemakaian mikro sentrifuge dalam waktu yang lama mengakibatkan
alat menjadi panas sehingga dapat mengkibatkan hemolisis.
7. Lapisan buffy coat tidak turut dibaca tetapi hal ini sulit diatasi.
8. Endapan atau lisis dari eritrosit dapat terjadi bila salah satu ujung pipet
kapiler disumbat dengan cara dibakar.
9. Penguapan plasma dapat terjadi selama pemusingan atau bila pipet
kapiler yang akan dibaca dibiarkan terlalu lama.
17
10. Pembacaan yang salah.
Kadar hematokrit sering digunakan untuk mengetahui derajat anemia
(Sacher & McPherson, 2004).
Nilai hematokrit akan menurun pada penderita anemia hemolitik, anemia
aplastik, anemia defisiensi besi, dan beberapa kasus anemia defisiensi asam
folat (Waterbury, 1995).
C. Nilai Indeks Eritrosit
Nilai indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin
eritrosit maupun Hemotokrit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks
kospouskuler. Nilai indeks eritrosit rata – rata dihitung dengan tujuan agar
dapat menentukan ukuran eritrosit rata – rata dan menentukan banyaknya
hemoglobin rata – rata pada setiap eritrosit.
Tujuan dari menghitung nilai indeks eritrosit adalah untuk
memperkirakan:
1. Ukuran eritrosit rata – rata
2. Banyaknya hemoglobin tiap eritrosit
3. Untuk menegakkan penyakit anemia yang diderita seseorang
Nilai indeks eritrosit memberikan informasi tentang ukuran (MCV: Mean
Corpusculum Volume), berat (MCH: Mean Corpusculum Hemoglobin) dan
konsentrasi hemoglobin (MCHC: Mean Corpusculum Hemoglobin
Concentration) dari sel darah merah.
Nilai MCV pada probandus didapatkan hasil 71,85 fL. Hasil tersebut jika
dibandingkan dengan normalnya 82 – 92 fL maka didapat hasil menurun,
abnormal. Hal ini dapat disimpulkan sel mikrositik atau ukurannya lebih kecil
dai sel normal. Sel mikrositik ditemukan pada anemia defisiensi besi,
keracunan timah, artritis rematoid, hemoglobinopati: anemia sel sabit,
thalassemia dan hemoglobin C.
Nilai MCH pada probandus didapatkan hasil 33,68 pg jika dibandingkan
dengan nilai normal yaitu 27 – 32 pg dapat dikatakan bawa nilai MCH pada
probandus meningkat, abnormal. Kesalahan kemungkinan saja terjadi, sebab
dalam meghitung MCH menggunakan nilai Hb dan Ht dari probandus yang
18
berbeda, sehingga nilai yang didapat mempengaruhi penghitungan MCH.
Nilai MCH yang menurun, abnormal disebut hipekromik.
MCHC yang didapat dari probandus adalah 47,06%. Jika dibandingkan
dengan nilai normalnya 32 – 37%. Hal ini dapat disimpulkan nilai MCHC di
atas batas normal. Hal ini mungkin terjadi karena adanya kesalahan yang
dilakukan oleh praktikan dalam proses praktikum.
19
D. Hitung Jenis Leukosit
Pada pemeriksaan jenis leukosit, digunakan preparat darah apus dan
dilihat melalui mikroskop. Pengamatan dilakukan pada zona 5 atau zona even
atau zona baca. Hasil dari pengamatan pada 23 sel didapatkan hasil:
1. Eosinofil : 10%
2. Basofil : 0%
3. Staff : 12%
4. Segmen : 36%
5. Limfosit : 40%
6. Monosit : 2%
Nilai yang masih dalam batas normal adalah basofil, segmen, limfosit
dan monosit. Sedangkan eosinofil dan staff di atas batas normal. Hal ini dapat
terjadi karena terlalu sedikitnya sel yang diamati, seharusnya ada kurang lebih
100 sel yang diamati, tetapi pada praktikum kali ini hanya 50 sel yang dapat
diamati sehingga mempengaruhi persentase masing-masing jenis sel leukosit
dan menjadikan hasilnya tidak valid.
Kelebihan eosinofil disebut eosinofilia. Eosinofilia adalah tingginya
rasio eosinofil di dalam plasma darah. Eosinofilia bukan merupakan
suatu penyakit, tetapi merupakan respon terhadap suatu penyakit. Peningkatan
jumlah eosinofil dalam darah dipicu sekresi interleukin-5 oleh sel
T, mastosit dan makrofaga, biasanya menunjukkan respon yang tepat terhadap
sel-sel abnormal, parasit atau bahan-bahan penyebab reaksi alergi (alergen).
Setelah dibuat di dalam sumsum tulang, eosinofil akan memasuki aliran
darah dan tinggal dalam darah hanya beberapa jam, kemudian masuk ke
dalam jaringan di seluruh tubuh. Jika suatu bahan asing masuk ke dalam
tubuh, akan terdeteksi oleh limfosit dan neutrofil, yang akan melepaskan
bahan untuk menarik eosinofil ke daerah ini. Eosinofil kemudian melepaskan
bahan racun yang dapat membunuh parasit dan menghancurkan sel-sel yang
abnormal (Hanson, 2002).
Sedangkan keadaan kelebihan neutrofil disebut neutrofilia. Keadaan ini
dapat diakibatkan banyak hal, misalnya stress, kegirangan, banyak olahraga,
20
konsumsi obat kortikosteroid, infeksi oleh bakteri dan jamur, reaksi
peradangan, penyakit mieloproliferatif, infark akut (endotoksin), defisiensi
protein adhesi leukosit, ketoasidosis, gagal ginjal akut, keracunan akut pada
eklamsia, karsinoma metastatik, perdarahan akut, atau hemolisis (Gallin,
1995).
Jenis leukosit dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Granulosit (leukosit polimorfonuklear)
Merupakan leukosit yang memiliki inti berlobus dua atau lebih yang
dihubungkan dengan benang kromatin, disebut juga leukosit
multinuklear. Ada 3 jenis yaitu eosinofil, basofil, dan neutrofil. Sel –
selnya memiliki granul yang setiap jenisnya memiliki warna yang
berbeda (Saunders Comprehensive Veterinary Dictionary, 2007).
2. Agranulosit (leukosit mononuklear)
Merupakan leukosit yang memiliki inti berlobus satu. Ada 2 jenis
yaitu limfosit dan monosit. Kedua sel ini tidak memiliki granul
(Mitchell, 2009).
21
BAB V
APLIKASI KLINIS
1. Sindroma Hiper-Eosinofilik Idiopatik
Sindroma hiper-eosinofilik idiopatik adalah suatu penyakit dimana jumlah
eosinofil meningkat sampai lebih dari 1.500 sel/mikroL darah selama lebih
dari 6 bulan tanpa penyebab yang jelas.
Penyakit ini bisa mengenai usia berapapun, tetapi lebih sering menyerang
pria diatas 50 tahun. Peningkatan jumlah eosinofil bisa merusak jantung, paru-
paru, hati, kulit dan sistem saraf. Misalnya jantung bisa mengalami
peradangan yang menyebabkan terbentuknya bekuan darah, gagal jantung,
serangan jantung atau kelainan fungsi katup jantung. Gejalanya tergantung
kepada organ mana yang mengalami kerusakan.
Diagnosis ditegakkan jika peningkatan jumlah eosinofil yang bersifat
menetap ditemukan pada orang-orang yang memiliki gejala-gejala
tersebut. Sebelum dimulainya pengobatan, harus yakin bahwa penyebabnya
bukan infeksi parasit ataupun suatu reaksi alergi. Tanpa pengobatan, biasanya
lebih dari 80% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun. Dengan
pengobatan, lebih dari 80% penderita yang bisa bertahan hidup. Penyebab
utama dari kematian adalah kerusakan jantung. Beberapa penderita tidak
memerlukan pengobatan selain pengawasan ketat selama 3-6 bulan;
sedangkan sebagian besar penderita memerlukan pengobatan dengan
prednison atau hidroksiurea. Jika pengobatan ini gagal, digunakan obat
lainnya yang bisa digabungkan dengan suatu prosedur untuk membuang
eosinofil dari darah (leukoferesis).
2. Polisitemia Vera
Polisitemia vera merupakan suatu penyakit kelainan pada sistem
mieloproliferatif yang melibatkan unsur – unsur hemopoetik dalam sumsum
tulang, mulainya diam – diam tetapi progresif, kronik terjadi bila sebagian
populasi eritrosit berasal dari satu klon induk darah yang abnormal. Berbeda
dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak
membutuhkan eritropoietin untuk proses pematangannya (Sudoyo, 2009).
22
Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berumur 40 – 60 tahun.
Keseriusan penyakit ini ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien
sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5 – 3 tahun sedangkan dengan
pengobatan > 10 tahun (Sudoyo, 2009).
Penyebab terjadinya penyakit polisitemia vera tidak diketahui, tetapi ada
pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya kelainan molekul, salah
satunya menunjukan adanya kariotipe abnormal di sel induk homopoiesis
(Sudoyo, 2009).
Secara umum polisitemia dibagi menjadi 2 yaitu (Sudoyo,2009):
a. Polisitemia primer (eritrosit absolut)
1. Polisitemia vera
2. Polisitemia familial primer
b. Polisitemia sekunder (penurunan oksigenasi pada jaringan)
1. High – altitude erythrocytosis (Mong a disease)
2. Penyakit paru
3. Cyanotic congenital heart disease
4. Sindrom hipoventilasi
5. Hemoglobin abnormal
6. Polisitemia familial
Tanda dan gejala awal polisitemia vera (PV) dibagi kedalam 3 fase yaitu
(Sedoyo, 2009):
1. Gejala awal (early symptoms)
Gejala awal dari PV sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan
walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal yang
terjadi biasanya sakit kepala (48%), telingan berdenging (43%),
mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernafas (26%),
darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (31%), rasa panas pada
tangan dan kaki (29%), gatal (43%), juga pendarahan dari hidung,
lambung (24%), dan sakit tulang (26%).
2. Gejala akhir (later symptoms) dan komplikasi
Sebagai penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami pendrahan
(hemorrhage) atau trombosis. Trombosis adalah penyebab kematian
23
terbanyak dari PV. Komplikasi lain peningkatan asam urat dalam
darah sekitar 10% berkembang menjadi gout dan peningkatan resiko
ulkus peptikum (10%).
3. Fase splenomegali (Spent phase)
Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegli. Pada
fese ini terjad kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia
berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan limpa membesar.
Selain itu terdapat beberapa hal penting yang berhubungan dengan gejala
yaitu (Sudoyo, 2009):
a. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah eritrosit akan meningkatkan viskositas darah
yang kemudian akan menyebabkan:
1. Penurunan kecepatan aliran darah
2. Penurunan laju transport oksigen
b. Penurunan kecepatan aliran (shear rate)
Penurunan share rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis
primer yaitu agregasi trombosit pada endotel hal tersebut akan
mengakibatkan timbulnya pendarahan, walaupun jumlah trombosit >
450 ribu / mL. Pendarahan terjadi pada 10 – 30% kasus PV,
manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan pendarahan
gastrointestinal.
c. Basofilia (> 65 / mL)
Lima puluh persen kasus PV datang dengan gatal di seluruh tubuh
terutama setelah mandi air panas, dan 10% datang dengan urtikaria
suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin
dalam darah sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan
pendarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin.
d. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira – kira sejumlah 40% PV.
Sebagaimana halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan
akibat sekunder hiperaktif hemopoiesis ekstra medular.
e. Laju siklus yang tinggi
24
Sebagai konskuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan
splenomegali adalah sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak.
Dengan demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat,
disisi lain laju filtrasi glomerulus menurun karena penurunan shear
rate.
f. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat menimbulkan defisiensi asam
folat dan vitamin B12. Hal ini disebabkan karena penggunaan /
metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein
tidak tersaturasi. Defiiensi kedua vitamin ini dapat menyebabkan
kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N. Optikus, serta
psikosis.
Dapat dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium diantaranya
(Sedoyo, 2009):
a. Pemeriksaan eritrosit
b. Pemeriksaan granulosit
c. Pemeriksaan trombosit
d. Pemeriksaan B12 serum
e. Pemeriksaan sumsum tulang
f. Pemeriksaan sitogenetika
Prinsip pengobatan pada penyakit polisitemia vera adalah (Sedoyo,
2009):
a. Menurunkan viskositas darah sampai tingkat normal kasus individual
dan megotrol eritropoiesis degan flebotomi.
b. Menghindari pembedahan pada fase eritrosik/ polisitemia yang belum
terkontrol.
c. Menghindari pengobatan berlebihan.
d. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi
pada pasien usia muda.
Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor radio aktif atau
kemoterapi sitostatika pada pasien di atas 40 tahun.
25
3. Thalasemmia
Thalasemmia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited)
dan masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau
dekat gen globin (Sudoyo, 2009).
Mutasi gen globin ini dapat menimbulkan dua perubahan rantai globin,
yakni (Sudoyo, 2009):
a. Perubahan struktur rangkaian asam amino (amino acid sequence)
rantai globin tertentu, disebut hemoglobinopati struktural
b. Perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan
produksi rantai globin tertentu, disebut thalassemia.
Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih
rantai globin a atau b, ataupun rantai globin lainnya, dapat menimbulkan
defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh (komplit) rantai goblin
tersebut. Akibatnya, terjadi thalassemia yang jenisnya sesuai dengan rantai
globin yang terganggu produksinya, seperti yang ditunjukkan di bawah ini
(Sudoyo, 2009):
1. Thalassemia – α , terjadi akibat berkurangnya (defisiensi parsial)
(thalassemia – α+) atau tidak diproduksi sama sekali rantai globin
(defisiensi total) (thalassemia – α 0) produksi rantai globin – α .
2. Thalassemia – β, terjadi akibat berkurangnya rantai globin – b
(thalassemia – β+) atau tidak diproduksi sama sekali rantai globin – β
(thalassemia – β0).
3. Thalassemia – δβ terjadi akibat berkurangnya atau tidak
diproduksinya kedua rantai – δ dan rantai – β. Hal yang sama terjadi
pada thalassemia – γδβ , dan thalassemia – αβ .
4. Heterozigot ganda thalassemia α atau β dengan varian hemoglobin
thalassemik.
Patogenesis Thalassemia
Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin.
Pada thalassemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai
26
globin α atau β, berupa perubahan kecepatan sinteson (rate of synthesis) atau
kemampuan produksi rantai globin tertentu, dengan akibat menurunnya atau
tidak diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini disebabkan oleh
adanya mutasi gen globin pada clusters gen α atau β berupa bentuk delesi atau
non delesi. Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen thalassemia yang
telah diidentifikasi, tidak jarang pada analisis DNA thalassemia belum dapat
ditentukan jenis mutasi gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen
pada thalassemia (Sudoyo, 2009).
Patofisiologi Thalassemia
Pada thalassemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi
rantai globin satu, atau lebih rantai globin. Penurunan secara bermakna
keceoatan sintesis salah satu jenis rantai globin (rantai – α atau rantai – β)
menyebabkan sintesis rantai globin yang tidak seimbang. Bila pada keadaan
normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai α dan rantai β,
yakni berupa α 2 β2, maka pada thalassemia – β0, dimana tidak disintesis sama
sekali rantai β, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai α yang
berlebihan (α 4). Sedangkan pada thalassemia – α 0, dimana tidak disintesis
sama sekali rantai α , maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai β yang
berlebihan (β4) (Sudoyo, 2009).
4. SindromaEosinofilia-Mialgia
Sindroma eosinofilia-mialgia adalah sutu penyakit dimana eosinofilia
disertai dengan nyeri otot, kelelahan, pembengkakan, nyeri sendi, batuk, sesak
nafas, ruam kulit dan kelainan neurologis. Sindroma ini muncul pada awal
tahun1990, yaitu pada orang-orang yang mengkonsumsi sejumlah besar
triptofan, yang merupakan suatu produk toko makanan sehat yang populer,
yang kadang dianjurkan oleh dokter untuk menambah tidur. Kemungkinan
penyebabnya adalah pencemaran pada produk tersebut, bukan triptofannya
sendiri. Sindroma ini bisa berlangsung selama beberapa minggu sampai
beberapa bulan setelah pemakaian triptofan dihentikan dan bisa menyebabkan
kerusakan saraf yang menetap, bahkan kematian. Obatnya tidak diketahui,
biasanya penderita dianjurkan untuk menjalani rehabilitisi fisik.
27
5. Hemokonsentrasi pada Penyakit DHF
Dengue hemorrhagic fever adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue yang meyebabkan demam akut selama 2 – 7 hari, ditandai oleh
dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut (Sedoyo, 2009):
a. Nyeri kepala
b. Nyeri retro – orbital
c. Mialgia / atralgia
d. Ruam kulit
e.
f. Manifestasi pendarahan (petekie atau uji bendung positif)
g. Leukopenia
h. Trombositopenia tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma),
sebagai berikut:
1. Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai
dengan umur dan jenis kelamin.
2. Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien DHF
adalah melalui pemeriksaan kadar Hb, Ht, jumlah trombosit dan hapusan
darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru (Sedoyo,2009).
Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:
1. Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke – 3 dapat
ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total leukosit) disertai adanya
limfosit plasma biru > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
2. Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3 – 8.
3. Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke – 3 demam.
4. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, fibrinogen, D –
Dimer, atau FDP.
28
5. Protein / albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
6. Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
Pada penyakit DHF sering terjadi trombositopenia melalui mekanisme:
a. Supresi sumsum tulang
b. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia
justru menunjukan kenaikan, hal ini menunjukan adanya stimulasi
trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b – tromboglobulin dan PF4
yang merupakan petanda degranulasi trombosit (Sedoyo, 2009).
6. HJL pada Infeksi Bakteri Mycobacterium Tuberkulosis
Menurut Sugeng Hartono, analisis cairan pleura digunakan untuk menilai
kemungkinan penderita suatu efusi pleura tuberkulosis. Dimana cairan
pleuranya hampir selalu exudat. Pada penelitian Luis Valest dkk ditemukan
98,8% cairan pleuranya bersifat exudat. Disamping itu juga, kadar protein
cairan pleura pada penderita efusi pleura tuberkulosis sering di atas 5,0 g / dl.
Sehingga kemungkinan efusi pleura tuberkulosis sebaiknya dipertimbangkan
pada penderita efusi pleura exudat, terutama pada efusi pleura exudat yang
tidak terdiagnosis. Akan tetapi ada dua penyebab utama efusi pleura exudat
yaitu oleh karena proses infeksi (pneumoni dan tuberkulosis ) dan keganasan.
Dimana pada analisa cairan pleura secara kimiawi memberikan hasil yang
sama. Sehingga diperlukan suatu uji diagnosis lain di dalam penegakan efusi
pleura tuberkulosis.
Sugeng Hartono mengatakan, pada umumnya penderita efusi pleura
tuberkulosis gambaran differensial leukosit cairan pleura adalah lebih dari
50% limfosit (limfositosis). Akan tetapi pada penderita yang gejalanya kurang
dari dua minggu differensial leukosit lebih dominan polymorphonuclear
leukosit dan apabila dilakukan torakosintesis ulang kemudian differensial
29
leukosit akan menunjukkan limfosit yang dominan. Limfositosis adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan jumlah limfosit lebih dari 8000 / µl pada
bayi dan anak – anak serta lebih dari 4000 / µl darah pada dewasa.
Limfositosis dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti morbili,
mononukleosis infeksiosa; infeksi kronik seperti tuberkulosis, sifilis, pertusis
dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia limfositik kronik dan
makroglobulinemia primer.
Menurut Sugeng Hartono, pada penderita efusi pleura tuberkulosis jarang
dijumpai eosinofil diatas 10% dan sel mesothelialnya juga jarang diatas 5%.
Kadar glukosa pada cairan pleura biasanya diatas 60 mg / dl tapi bisa di bawah
60 mg / dl dan jarang dibawah 20 mg / dl. PH cairan pleuranya biasanya 7,3
akan tetapi bisa dibawah 7. LDH nya lebih dari 200 u / dl. Ratio LDH cairan
pleura dan serum diatas 0,6.
7. HJL pada Penyakit akibat Infeksi Virus dan Bakteri
Ada beberapa penyakit akibat infeksi virus atau bakteri yang dapat
diidentifikasi berdasalkan HJL di antaranya:
a. Netrofilia
Netrofilia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil lebih dari
7000 / µl dalam darah tepi. Penyebab biasanya adalah infeksi bakteri,
keracunan bahan kimia dan logam berat, gangguan metabolik seperti
uremia, nekrosia jaringan, kehilangan darah dan kelainan
mieloproliferatif (Bakta, 2012).
Banyak faktor yang mempengaruhi respons netrofil terhadap
infeksi, seperti penyebab infeksi, virulensi kuman, respons penderita,
luas peradangan dan pengobatan. Infeksi oleh bakteri seperti
Streptococcus hemolyticus dan Diplococcus pneumonine
menyebabkan netrofilia yang berat, sedangkan infeksi oleh
Salmonella typhosa dan Mycobacterium tuberculosis tidak
menimbulkan netrofilia. Pada anak – anak netrofilia biasanya lebih
tinggi dari pada orang dewasa. Pada penderita yang lemah, respons
terhadap infeksi kurang sehingga sering tidak disertai netrofilia.
30
Derajat netrofilia sebanding dengan luasnya jaringan yang meradang
karena jaringan nekrotik akan melepaskan leucocyte promoting
substance sehingga abses yang luas akan menimbulkan netrofilia
lebih berat daripada bakteremia yang ringan. Pemberian
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) pada orang normal akan
menimbulkan netrofilia tetapi pada penderita infeksi berat tidak
dijumpai netrofilia.
Rangsangan yang menimbulkan netrofilia dapat mengakibatkan
dilepasnya granulosit muda keperedaran darah dan keadaan ini
disebut pergeseran ke kiri atau shift to the left (Bakta, 2012).
Pada infeksi ringan atau respons penderita yang baik, hanya
dijumpai netrofilia ringan dengan sedikit sekali pergeseran ke kiri.
Sedang pada infeksi berat dijumpai netrofilia berat dan banyak
ditemukan sel muda. Infeksi tanpa netrofilia atau dengan netrofilia
ringan disertai banyak sel muda menunjukkan infeksi yang tidak
teratasi atau respons penderita yang kurang (Bakta, 2012).
Pada infeksi berat dan keadaan toksik dapat dijumpai tanda
degenerasi, yang sering dijumpai pada netrofil adalah granula yang
lebih kasar dan gelap yang disebut granulasi toksik. Disamping itu
dapat dijumpai inti piknotik dan vakuolisasi baik pada inti maupun
sitoplasma (Bakta, 2012).
b. Monositosis
Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih
dari 750 / µl pada anak dan lebih dari 800 / µl darah pada orang
dewasa. Monositosis dijumpai pada penyakit mieloproliferatif seperti
leukemia monositik akut dan leukemia mielomonositik akut; penyakit
kollagen seperti lupus eritematosus sistemik dan reumatoid artritis;
serta pada beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa
maupun jamur. Perbandingan antara monosit: limfosit mempunyai
arti prognostik pada tuberkulosis. Pada keadaan normal dan
tuberkulosis inaktif, perbandingan antara jumlah monosit dengan
limfosit lebih kecil atau sama dengan 1/3, tetapi pada tuberkulosis
31
aktif dan menyebar, perbandingan tersebut lebih besar dari 1/3
(Bakta, 2012).
c. Netropenia
Netropenia adalah suatu keadaan dimana jumlah netrofil kurang
dari 2500/µl darah. Penyebab netropenia dapat dikelompokkan atas 3
golongan yaitu meningkatnya pemindahan netrofil dari peredaran
darah, gangguan pembentukan netrofil dan yang terakhir yang tidak
diketahui penyebabnya (Bakta, 2012).
Termasuk dalam golongan pertama misalnya umur netrofil yang
memendek karena drug induced. Beberapa obat seperti aminopirin
bekerja sebagai hapten dan merangsang pembentukan antibodi
terhadap leukosit. Gangguan pembentukan dapat terjadi akibat radiasi
atau obat-obatan seperti kloramfenicol, obat anti tiroid dan fenotiasin;
desakan dalam sum-sum tulang oleh tumor. Netropenia yang tidak
diketahui sebabnya misal pada infeksi seperti tifoid, infeksi virus,
protozoa dan rickettisa; cyclic neutropenia, dan chronic idiopathic
neutropenia (Bakta, 2012).
32
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, Made. 2012. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Eroschenko, Victor P. 2003. Atlas Histologi di Fiore. Jakarta: EGC.
Gallin, John J. 1995. Harrison: Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
EGC.
Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Handayani, Wiwik dan Andi Sulistyo W. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba
Medika.
Hanson, Curtis A. 2002. Clinical Laboratory Medicine, Second Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Kee, Joyce LeFever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik.
Jakarta: EGC.
Mitchell, Richard dan Edward C Klatt. 2009. Robbins and Cotran Pathology
Flash Cards: With Student Consult Online Access. Jakarta: EGC.
Purwa. 2011. Hematokrit. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/125/jtptunimus-gdl-
indahpurwa-6223-2-babii.pdf diakses pada 11 September 03.56.
Sacher, Ronald A. dan Richard A. McPherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Jakarta: EGC.
Saunders Comprehensive Veterinary Dictionary. 2007. Available at:
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/polymorphonuclear diakses
pada 10 September 2012 pukul 20.29.
33
Sherwood, Lauralee. 2002. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Internal Publishing.
Tim Patologi Klinik. 2010. Buku Petunjuk Praktikum Patologi Klinik Blok
Hemato – Imunologi. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.
Waterburry, Larry. 1998. Buku Saku Hematologi Edisi 3. Jakarta: EGC.
34