sistematika ilmu fiqih
DESCRIPTION
STUDY ISLAM SEBAGAI ILMUTRANSCRIPT
1
MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM
“SISTEMATIKA ILMU FIQIH”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Dosen Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag.
Di susun oleh :
Eka Nurul Hidayah
JURUSAN SYARIAH ( PBS )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)JURAI SIWO METRO
2012
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam pada
masa kini” tepat pada waktunya.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan, sahabat, orang tua serta dosen
pengampu yakni Dra. Siti Nurjanah, M.Ag, atas segala bantuan berupa bimbingan maupun
berupa dukungan dalam menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mandiri
yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya dalam penyempurnaan makalah
mandiri ini. Semoga dengan adanya kritik dan saran yang diberikan, makalah ini dapat lebih
baik dari sebelunnya. Atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terima kasih.
Metro, November 2012
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar belakang ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 2
A. Pengertian Ilmu Fiqih................................................................................ 2
B. Pengertian dan Gambaran Fiqih Secara Umum........................................3
C. Pengertian Ushul Fiqih .............................................................................. 6
D.Objek Kajian Ushul Fiqih .......................................................................... 10
E. Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih dan Qawa id Kulliah......................12
F. Isi dan Ssitematika Ushul Fiqih.................................................................13
G. Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqih...................................................14
H. Ruang Lingkup Fiqih Siyasah..................................................................19
I. Kedudukan Fiqih Siyasah didalam Sistematika Hukum Islam..................21
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 27
A. Menurut Pemikiran Penulis ....................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang
laindalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam,
sehinggaterkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus
berhubungan denganorang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain
dalam memenuhi kebutuhan,harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban
keduanya berdasarkan kesepakatan.Proses untuk membuat kesepakatan dalam
kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazimdisebut dengan proses untuk berakad
atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrahyang sudah ditakdirkan oleh
Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusiam ul a i m en gena l
a r t i h ak m i l i k . I s l am s eb aga i agam a yan g k o mp r eh ens i f d an
u n i v er s a l memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan
dalam setiapmasa.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN ILMU FIQH
Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama islam,karena
islam merupakan himpunana dari aqidah ,akhlak,dan hukum amaliyyah.Hukum amaliyyah ini
pada masa Rasullulah saw,terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat didalam al-qur‟an ,dari
berbagai hukum yang keluar dari Rasulullah saw.Sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus
atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu
pertanyaan .Kompilasi hukum-hukum fiqh pada periode yang pertama terbentuk dari hukum-
hukum Allah dan Rasulullah,dan sumbernya adalah al-qur‟an dan as-sunnah.
Pada masa sahabat mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya
berbagai hal baru yang hal itu tidak pernah dihadapi kaum muslim sebelumnya dan tidak
pernah muncul pada masa Rasulullah saw.maka berijtihadlah orang yang ahli ijtidah diantara
mereka,mereka memberikan putusan hukum,berfatwa,menetapkan hukum syariat dan
menambahkan sejumlah hukum yang mereka persembahkan melalui ijtihad mereka kepada
kompilasi hukum yang pertama itu.
Maka pada periode kedua kompilasi hukum fiqh terbentuk dari hukum-hukum Allah
dan Rasulnya ,serta fatwa sahabat dan putusan mereka.Sedangkan sumbernya al-qur‟an,as-
sunnah,dan ijtihad para sahabat.
Pada kedua periode ini hukum-hukum tersebut belum terkondifikasikan dan belum da
penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif.akan tetapi penetapan hukum islam adalah
berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan kasus-kasus yang
terjadi saja.Hukum-hukum ini belum menjelma dalam bentuk ilmiah,akan tetapi hanya
sekedar suatu penyelesaian insidental terhadap peristiwa-peristiwa faktual.Kompilasi hukum
6
ini belum pula dinamakan sebagai ilmu fiqh dan tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat belum
disebut sebagai fuqaha.
Pada masa Tabi‟in dan Tabi‟it serta para imam mujtahid yaitu sekitar dua abad hijriyah yang
kedua dan ketiga,negara islam meluas dan banyak dari orang nonarab yang memeluk agama
islam.Kaum muslim dihadapkan pada kejadian baru ,berbagai kesulitan,bermacam-macam
kajian,aneka ragam teori dan gerakan pembangunan fisik dan intelektualitas yang membawa
para mujtahid untuk memperluas dalam ijtihad dan pembentukan hukun islam terhadap
banyak kasus dan membuka pintu pengkajian dan analisis kepada mereka sehingga semakin
luas pula lapangan pembentukan hukum fiqh dan ditetapkan pula sejumlah hukum untuk
kasus-kasus yang fiktif.
B.Pengertian dan Gambaran Fiqh Secara Umum
Berbicara sistematika berarti kita membicarakan susunan, Urut-urutan teratur, dan berurutan
tentang sesuatu (Burhani, Hasbi Lawrens: 2003), karena kita membahas kitab fiqh maka kita
akan membahas tentang susunan atau urutan pembahasan suatu masalah di dalam kitab fiqh.
Namun sebelum kita membahas tentang urutan atau sistematika kitab fiqh, penulis ingin
mengigatkan kembali hukum-hukum yang terkandung di dalam fiqh secara umum.
Kita semua tahu bahwa hukum-hukum fiqh mengandung dan masuk kedalam semua aspek
kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Maka secara garis besar, masalah-masalah fiqh dapat
dikelompokkan kedalam dua bahagian besar (ash-shiddiqi: 2001) yaitu:
7
1. Ibadah
Yaitu: segala persoalan yang menyangkut dengan urusan akhirat seperti: shalat, puasa dan
zakat. Atau dengan kata lain para fuqaha menyebutkan dengan ibadah mahzhah, yaitu ibadah
yang berhubungan dengan ALLAH secara lansung.
1. Mu‟amalat
Adalah segala persoalan atau permasalahan yanag berpautan atau berhubungan dengan
urusan-urusan dunia atau undang-undang. Atau lebih dikenal dengan ibadah ghairu mahzhah
yaitu ibadah yang berhubungan dengan manusia dengan manusia yang perlu adanya campur
tangan pemerintah dalam pelaksanaannya.
Pada bagian ini dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
1. Bagian „ukubat
Yaitu: pembahasan yang meliputi tentang perbuatan-perbuaran pidana seperti membunuh,
mencuri dan minum minuman yang memabukkan atau khamr.
2. Bagian munakahat (ahwal syakhshiah)
Yaitu: bagian yang membahas antara lain masalah perkawinan dan perceraian.
3. Bagian mu‟amalat
Yaitu: pada bagian ini membahas tentang harta seperti sewa menyewa, jual beli dan pinjam
meminjam.
8
Demikian juga dengan wahbah al-zuhaili yang membagi pembahasan fiqh kedalam 2 bidang
secara umum. (wahbah zuhaili: 1984)
Namun demikian ada juga ulama al Allamah Ibnu Abidin dalam kitabnya Raddl Muhtar yang
membagi pembagian dalam fiqh itu kedalam 3 (tiga) pembahagian besar, yaitu:
1. Ibadah
Meliput: shalat, zakat, shiyam, haji dan jihad.
2. Uqubat
Meliputi: qishas, had pencurian, had zina dan di hubungkan dengan ta‟zir.
3. Mu‟amalat
Meliputi: munakahat dan amanat
Perlu kita ingat kembali yang menyusun kitab fiqh adalah: ahli ijtihad seperti Imam Abu
Hanifah, Malik, Imam Syafi‟i, Ahmad Bin Hambal dan lain-lain. Orang yang mula-mula
mengatur dan menyusun kitabnya menurut sebagian ahli riwayat adalah Abu Hanifah An
Nu‟man Ibn Tsabit. (ash-shiddiqi: 2001) dan ini terjadi pada masa-masa awal dari Dinasti
Abbasiyah (133-766 H atau 750-1258), setelah kaum Muslimin dapat menciptakan stabilitas
keamanan di seluruh wilayah Islam.
Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang semakin baik, tidak
lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun
suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagai
kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga
bentuk, yakni (1) penyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan (3)
9
penerjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan
yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan
yang memang tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu agama, sehingga pada masa ini muncul
ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan
sebagainya.
Pada periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari: fiqih
„ibâdât (fiqih tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih
munâkahât (fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan
hibah), fiqih mu‟âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan fiqih jinâyât (fiqih tentang
tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu
kesatuan.
Berkembangnya ilmu-ilmu fiqh, maka secara tidak lansung berkembang pula sistematika
punyusunan suatu pembahasan didalam kitab-kitab fiqh. Ini yang menyebabkan berbedanya
susunan atau sistematika fiqh setiap ulama yaitu karena perbedaan waktu dan tempat.
C.Pengertian Ushl Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang.
Pertama, dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang
ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri. Dari sisi tarkib idhafi dan dari sisi laqab. Ushul
fiqh sebagai tarkib idhafi, terdiri dari kata ushul dan fiqh yang secara terpisah antara kedua
kata ini mempunyai makna sendiri. kata ushul merupakan jamak dari ashl yang berarti
sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain. atas dasar ini ushul fiqh di pandang sebagai
10
sandaran bagi fiqh dan sebagai alat utuk melahirkan fiqh.1 Kata al aslu menurut bahasa
memiliki arti : asal, pangkal, dasar, pokok atau asas. Dapat juga di artikan sebagai fondasi
sesuatu, baik bersifat materi maupun non materi2
Adapun menurut istilah ashl memiliki beberapa adalah arti berikut ini:
1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqih bahwa ashl
dari wajibanya shalat lima waktu firman allah dan sunnah rasul.
2. Qa’idah, yaitu suatu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda nabi Muhammad
saw:”Buniyal islam ‟ala khamsi ushulin” artinya:”Islam itu didirikan atas lima ushul
(fondasi atau dasar)”
3. Rajih, yaitu yang terkuat seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:”Al-Ashlu fil
kalaam al-haqiqah”. Artinya:”Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti
hakikatnya”. Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna
hakikat dari perkataan tersebut.
4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama
tidak ada dalil yang mengubahnya.misalnya seseoarang yang hilang, apakah ia tetap
mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus
dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara
haknya seperti tetap mendapat waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap
tetap.
5. Far’u, seperti perkataan ulama ushul:”Al-waladu far‟un lilabi” artinya:”Anak adalah
cabang dari ayah” Al-Ghazali,1:5
Dari yang kelima pengertian ashl diatas, yang biasa dipakai digunakan adalah makna
yang pertama ”Dalil”, yakni dalil-dalil fiqh.
1 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), 160.
2 Lihat keterangan panjang lebarnya di bab pembahasan, bagian C.
11
Kata fiqh menurut bahasa pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu, dalam
pengertian ini kata fiqh dan fahm adalah sinonim. kata fiqh pada mulanya di gunakan orang-
orang arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta. dimasa Rasulullah pengertian
fiqh menckup semua aspek dalam islam, baik teologis, politis, ekonomis maupun hukum.3
Pengertian fiqh secara bertahap berubah dari masa ke masa , dan akhirnya terbatas pada
masalah hukum .
Menurut istilah fiqh adalah:
“
ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan
para mukallaf, yang di instinbathkan dari dalil-dalil yang jelas ( tafsili ). Gabungan dari kata
ushul dan fiqh tersebut. oleh para pakar dijadikan nama bagi suatu disiplin ilmu, yang dikenal
dengan sebutan ilmu ushul fiqh.4
Secara definitif, yang disebut ilmu ushul fiqh dalam istilah syara ialah: ilmu
pengetahuan dari hal qaidah –qaidah dan pembahasan –pembahasan yang dapat membawa
kepada pengambilan hukum – hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang
terperinci.5
Imam al-ghazali, seorang ulama syafiiyah, mendefinisikan ushul fiqh adalah
penjelasan tentang dalil-dalil fiqh dan pengetahuan tentang tata cara penunjukannya kepada
hukum secara global dan bukan secara terperinci.6 Imam baidhawi juga ahli ushul kalangan
syafiiyah, mendenisikannya sebagai pengetahuan tentang dalil fiqh secara umum dan
menyeluruh, cara mengistinbathkan atau menarik hukum dari dalil itu,dan tentang hal ikhwal
pelaku istinbath.7 Definisi ini sedikit lebih luas dari rumusan alghazali.
3 Alquran, 11:91.
4Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) vol. 1,
5 Ibid., 19.
6 Ibn Manzhûr, Lisân al-„Arab (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), vol. 6, 108; Ahmad bin Muhammad al-Fayyûmî, al-
Mishbah al-Munîr (Beirut: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, t.t.), 295.
12
Menurut Dr, Wahbah Zuhaili, ulama hanafiah, malikiah,dan hanabilah mendefinisikan
ushul fiqh sebagai kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengambil hukum dari dalil-dalil
yang terperinci atau ilmu tentang kaidah-kaidah itu sendiri. Baqir Sadr dari kalangan syiah,
mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas unsur-unsur umum dalam prosedur
mendeduksikan hukum-hukum islam.
8 Sedangkan menurut ushul fiqh ialah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang
dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat islam mengenai perbuatan manusia,
dimana kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.9 Dengan kata lain,
ushul fiqh merupakan himpunan berbagai kaidah dan penjaabrannya yang menjadi pedoman
dalam rangka penetapan hukum mengenai perbuatan mukallaf dimana keseluruhan kaidah
tersebut bersumber dari nash. Keragaman definisi yang dirumuskan oleh para ahli seperti
tesebut di atas,pada akhirnya bertemu pada satu inti ushul fiqh. Yaitu metode atau kaidah
yang dipakai oleh para mujtahid untuk mengistinbathkan hukum dari nash Al-Qur‟an dan
sunnah.10
Dengan membandingkan uraian di atas dan uraian sebelumnya tentang fiqh terlihat
bahwa antara fiqh dan ushul fiqh mempunyai hubungan yang erat. ushul fiqh membicarakan
tentang kaidah-kaidah umum, sedangkan penerapan kaidah-kaidah 5tersebut kepada ayat-ayat
alquran dan hadis-hadis nabi merupakan obyek kajian fiqh sehingga melahirkan fiqh itu
sendiri.11
7 Sulaimân bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî „alâ al-Manhaj (Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-
Halâbî, t.t.), vol. 2, 178.
8 Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-
Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol. 25, 295.
9 Djazuli, Fiqh Siyâsah, 28.
10 David Crystal, Penguin Encyclopedia (London: Penguin Books, 2004), 1219.
11 Ibid., 28-9.
13
Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran
{ }, yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu‟aib, kami tidak
memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”.
D.Obyek Kajian Ushul Fiqh
Setiap cabang pengetahuan biasanya mempunyai pokok bahasan dasar yang menjadi
pusat seluruh kajiannya. Pembahasannya pun berkisar disekitar itu pula, dengan tujuan
menemukan karakteristik-karakteristik, kondisI-kondisi serta hukum-hukum yang berkaitan
dengan pokok bahasan tersebut, contohnya. Pokok bahasan ilmu fisika adalah alam maka
seluruh diskusi dan riset dalam ilmu fisika senantiasa berkaitan dengan alam sehingga kita
berusaha menemukan kondisi-kondisi dan hukum-hukum alam.12
Begitu juga dengan ilmu
pengetahuan yang lain seperti fiqh. Obyek pembahasan fiq6h adalah perbuatan orang
mukallaf dari segi penetapan hukum syariat padanya. Dari sana kita
mengetahui mana dalam pandangan hukum islam erbuatan yang
diwajibkan,disunnahkan,diharamkan dan sebagainya. Jadi dalam ilmu fiqh dibahas tentang
thaharah, shalat, zakat, puasa, jual beli, wakaf, pembunuhan dan lain sebagainya. Demikian
juga halnya dengan ilmu ushul fiqh ia memliki obyek bahasan tersendiri.13
Menurut Imam Alghazali ,Obyek kajian ilmu ushul fiqh berkisar pada 4 hal :
1. Tsamarah, yaitu hukum-hukum syar‟i seperti wudhuk, nadab, karhah dan lain sebagainya
2. Musmar, yaitu dalil-dalil (adillah) meliputi kitab,sunnah,dan ijma‟
3. Thuruq al istimar (metode istinbath)
4. Mustasmir yaitu mujtahid14
12
Ibid., 28.
13„Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah (Beirut: Dâr al-Kutub
al-„Alamiyyah, 2006), 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 13.
14 Ibid., 13.
15 Ibid.
14
Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan ilmu ushul fiqh ialah dalil-dalil
syara‟ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali (
menurut garis besarnya). Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara‟ yang meliputi tuntutan
berbuat meninggalkan dan pilihan berbuat atau meninggalkanseta hal-hal yang berkaitan
dengan syarat, sebab, mani‟, ru‟sah, dan lain sebagainya.
Adakalnya dengan bentuk kalimat perintah (tsighat amar),terkadang penunjukannya
Sberbentk kalimat larangan (tsigat nahi),dan adakalanya melakukan kalimat yang bersifat am,
khash, mutlak, muqayyad, hakiki, majazi dan lain sebagainya.15
adalah dalil syara‟pertama yang penunjukannya kepada hukum tidak hanya menurut
satu bentuk saja.
Bahkan secara khusus persoalan ijtihad, syarat dan kriteria orang yang dapat
melakukan ijtihadpun menjadi lapangan kajian ushul fiqh. Harus diingat bahwa alquran
Terhadap segala bentuk kalimat yang terdapat di dalam alquran tersebut,para ahli
ushul,dengan bantuan penelitian terhadap gaya dan tata bahasa arab dan pemakaiannya dalam
syariat melakukan kajian dan pembahasan yang komprehensif agar memperoleh
ketentuan hukum yang ditunjuknya.hasil penelitian para ahl ushul misalnya ditemukan
bahwa tsighat(bentuk) amr itu mengandung perintah,tsighat nahyi itu mengandung petunjuk
haram dikerjakan dan kalimat yang bersifat umum itu harus mencakup pengertian
keseluruhan. Berdasarkan penelitian tersebut merka lalu menyusun kaidah-kaidah seperti
berikut :al amru lil ijab (perintah itu untuk mewajibkan), an nahyu lit tahrim (larangan itu
untuk mengahramkan). Kaidah-kaidah di atas pada giliranya menjadi acuan dalam
menkonfirmasikan penunjukan hukum terhadap suatu masalah yang terdapat di dalam
alquran.16
7
16
Djazuli, Fiqh Siyâsah, 30.
17 Iqbal, Fiqh Siyasah, 13.
15
Ilmu ushul fiqh tentu saja berbeda dengan ilmu fiqh karena fiqh membicaraan tentang
dalil dan hukum yang bersifat rinci atau juz‟i sedangkan ushul fiqh memfokuskan
pembicaraanya tentang dalil atau ketentuan yang bersifat garis besar atau kulli yang berfugsi
sebagai metodelogi dalam memahami dalil-dli yang terperinci tersebut,seperi telah dijelaskan
sebelumnya.demikian pula,kalau tujuan mempelajiri fiqh adalah mempraktekkan hukum-
hukum syriat pada segala amal perbuatan manusia,maka tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh
adalah mempraktekkan kaidha-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil rinci guna
mendapatkan hkm-hukum syariat yang terkandung dalam dalil-dalil itu. Jadi dengan kaidah
dan pembahasan ilmu ushul fiqh dapat dipahami nash-nash syariyyah dan hukum-hukum
yang dikandungnya.17
Namun demikian, ushul fiqh tidak hanya diperlukan dalam memahami teks-teks yang
terdapat dalam alqur an maupun hadits semata, tetapi ia juga di butuhkan untuk menetapkan
hukum terhadap hal-hal atau peristiwa – peristiwa yang tidak terdapat ketentuan hukumnya
didalam kedua nash tersebut. Apalagi dizaman sekarang banyak sekali tejadi peristiwa-
peristiwa hukum baru yang tidak disebut oleh nash baik secara eksplisit maupun implisit.18
E.Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh Dan Qawa id Kulliah
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar‟i yang langsung berkaitan
dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah hukumnya wajib,
sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam
menyimpulkan hukum-hukum syar‟i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik
dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah,
siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu
terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang
16
menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh
menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
a. Pengertian kaidah fiqhiyyah
Materi fiqh banyak sekali, dan materi-materi yang banyak itu ada hal-hal yang serupa,
kemudian diikat dalam satu ikatan. Ikatan inilah yang menjadi kaidah fiqh. Oleh 8karena itu
Abu Zahrah menta‟rif kan kaedan fiqh dengan,“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang
kembali kepada satu qiyas yang mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang
mengikatnya”19
b. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
a. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara‟ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh
adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
b. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu‟ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah
furu‟.
c. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai
macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.
Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
F.Isi Dan Sistematika Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan
disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita
ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
18
Ibid., 14.
19 Ibid.
17
1. Kajian tentang adillah syar‟iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-
Qur‟an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma‟, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-
lain).
2. Hukum-hukum syar‟i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban
beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut
sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz
kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur‟an atau Hadits
Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan
benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain. ( kaidah –kaidah
tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syarai dari dalil atau sumber yang
mengandungnya).
4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling
bertentangan, dan bagaimana solusinya.
5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
G.Sejarah Dan Perkembangan Ushul Fiqh
Dalam sejarah penulisan buku-buku ushul dikenal ada tiga buah metode dan gaya
penulisan para ulama, yaitu:
Metode ahli ilmu kalam (Syafi‟iyyah), Metode ahli fiqh (Hanafiyyah), Metode
gabungan.
a.Metode Syafi‟iyyah
Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i adalah kitab pertama yang menggunakan metode ini
dalam penulisannya. Di antara ciri-ciri metode ini adalah:
18
Pertama: Metode ini memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk menghasilkan
kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin tidak mendukung mazhab fiqh
penulisnya.
Kedua: Dalam mengkaji dan menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat mengandalkan
kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh
lafazh kata atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalil-dalilnya.
Ketiga: Metode ini benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh dan
fanatisme mazhab, jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai contoh penerapan saja.
Metode ini juga menggunakan gaya perdebatan ilmiah dengan ungkapan:
“Jika Anda mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”
Oleh karena itu para penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini adalah mereka
yang berasal dari mazhab yang berbeda: Syafi‟iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, Mu‟tazilah,
Asy‟ariyyah, dan lain-lain.
a) Kitab-kitab yang menggunakan Metode Syafi‟iyyah
1. Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i (150-204 H).
2. At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).
3. Al-Mu‟tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu‟taziliy Asy-
syafi‟i (wafat th 436 H).
4. Al-Burhan karya Abul-Ma‟ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Asy-
Syafi‟i/Imamul-haramain (410-478 H).
5. Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi‟i
(wafat 505 H).
b.Metode Hanafiyah
Metode ini memiliki karakter sebagai berikut:
19
Pertama: Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang Fiqh
dimana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila
ada kaidah ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi,
mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai.
Kedua: Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh
hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi dalam kaidah-kaidah ushul.
Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis. Metode ini
muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah ushul yang terkumpul
dan tertulis bagi murid-murid mereka seperti yang ditinggalkan Imam Syafi‟i untuk murid-
muridnya. Dalam buku para imam mazhab Hanafi, mereka hanya menemukan masalah-
masalah Fiqh dan beberapa kaidah yang tersebar di sela-sela pembahasan Fiqh tersebut.
Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah Fiqh yang sejenis dan mengkajinya untuk
ditelurkan darinya kaidah-kaidah ushul.
b) Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah
1. Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340
H).
2. Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).
3. Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi Al-
Hanafi (wafat th 490 H).
4. Kanz Al-Wushul Ila ma‟rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-
Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).
5. Ta‟sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-
Hanafi (wafat th 430 H).
c.Metode Gabungan
20
Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui seorang
alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhaffaruddin Ibnus
Sa‟ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi‟un-Nizham Al-Jami‟ baina Ushul Al-Bazdawi
Wal-Ihkam.
Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan antara
kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan
argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus fiqh.
Fiqh Siyâsah
Kata “fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “ ” berasal dari
dua kata yaitu kata fiqh ( ) dan yang kedua adalah al-siyâsî ( ).
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {
} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-
dalilnya secara terperinci”.
Sedangkan al-siyâsî pula, secara bahasa berasal dari “ ” yang
memiliki arti mengatur ( ), seperti di dalam hadis: “
”, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka,
yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin
pada rakyatnya”. Bisa juga seperti kata-kata “ ” yang
artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara
tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyâsah itu secara bahasa bermakna: “
” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya”.
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang juga
dikenal dengan nama siyâsah syar‟iyyah secara istilah memiliki berbagai arti:
21
1. Menurut Imam al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka
dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap
pemerintahan”.
2. Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait: “Memperbagus
kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan
mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permsalahan mereka”.
3. Menurut Imam Ibn „Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada
jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik
secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah
berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah berasal
dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh
Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2. Pihak
yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu
mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:
Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif
dan unsur masyarakat.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah berbeda dengan politik.
Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyâsah (siyâsah
syar‟iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang
sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni
hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. Ini juga dibuktikan dengan definisi
politik di dalam Penguin Encyclopedia:
22
“Political Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of
government, the state, and other political organizations, and any other factors which
influence their behaviour, such as economics. A major concern is to establish how power is
exercised, and by whom, in resolving conflict within society.”
Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang
kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.
Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik di
dalam hukum Islam haruslah terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syariat
Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî. Dengan
demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1. Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di dalam
Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid al-syarî‟ah; 3. Kaidah-kaidah
usul fiqh serta cabang-cabangnya.
Oleh karena itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang
dikenal dengan siyâsah wadl‟iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah
wadl‟iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.
H. Ruang Lingkup Fiqh Siyâsah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup
kajian fiqh siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang membagi menjadi
empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh
siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup
fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
23
1. Siyâsah Dustûriyyah;
2. Siyâsah Mâliyyah;
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
4. Siyâsah Harbiyyah;
5. Siyâsah `Idâriyyah.
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-
Siyâsah al-Syar‟iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah `Idâriyyah;
3. Siyâsah Mâliyyah;
4. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.
Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang
kajian saja, yaitu:
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah Dauliyyah;
3. Siyâsah Mâliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi
ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:
1. Siyâsah Dustûriyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);
2. Siyâsah Tasyrî‟iyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3. Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4. Siyâsah Mâliyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5. Siyâsah `Idâriyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau
internasional);
24
7. Siyâsah Tanfîdziyyah Syar‟iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8. Siyâsah Harbiyyah Syar‟iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah).
Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî‟iyyah) oleh lembaga
legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan
(`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.
Kedua (2): politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian
ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang bukan
muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan
(Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang,
pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.
Ketiga (3): politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain
membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara,
perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.
I. Kedudukan Fiqh Siyâsah di dalam Sistematika Hukum Islam
Pra pembahasan kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam, perlulah untuk
diketahui dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan diketahui sistematika hukum
Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam.
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaylî, salah satu dari keistimewaan hukum Islam
dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukum Islam ini selalu
diperkaitkan/dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia. 1. Hubungan manusia
dengan Tuhannya; 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; 3. Hubungan manusia
dengan masyarakat sosialnya.20
25
Ini dikarenakan hukum Islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama dan
negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada
kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk Islam, semuanya
berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu yang
wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada Allah; juga
untuk menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup
berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya.21
Agar dapat memenuhi peruntukan tersebut, maka hukum Islam atau yang juga
disebut fiqh yang mana dalam hal ini berhubungan dengan apa yang keluar dari seorang
mukalaf, dari segi ucapan, pekerjaan, itu meliputi dua perkara pokok:22
1. Fiqh „Ibâdah (Hukum Ibadat): hukum-hukum yang mengatur segala persoalan yang
berpautan dengan urusan akhirat.23
Bagian dari Fiqh „Ibâdah adalah bersuci, solat, puasa,
haji, zakat, nazar, sumpah, dan sebagainya dari perkara-perkara yang bertujuan mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Malah Alquran membicarakan masalah ini
melebihi 140 ayat.
2. Fiqh Mu‟âmalât (Hukum Muamalah): hukum-hukum yang mengatur hubungan antara
sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum.24
Bagian dari ini adalah
segala jenis akad, akibat, jinayah, ganti-rugi, dan lain-lain yang berhubungan antara manusia
dengan manusia yang lain, sama ada secara privat maupun publik.
a. Hukum yang berhubungan dengan keadaan manusia: seperti pernikahan, nafkah, warisan,
dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dan keluarganya secara privat.
9
20
Ibn „Âbidîn, Radd al-Muhtâr „alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-„Arabî, 1987), vol. 3,
147.
21 H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah (Jakarta: Kencana, 2007), 28.
22 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik (Bandung: Eresco, 1971), 6
23 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 1, 33.
26
Dari pembagian ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum muamalah
kepada beberapa hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh mu‟âmalât ini sangat
luas. Pembagian tersebut adalah:25
b. Hukum kebendaan: seperti segala jenis akad jual-beli, persewaan, perikatan, dan lain-lain
yang berhubungan dengan kepentingan hak kebendaan seseorang.
c. Hukum jinayah (pidana): seperti kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain yang
bertujuan menjaga kedamaian manusia serta harta mereka.
d. Hukum acara perdata atau pidana: hukum yang bertujuan mengatur proses peradilan
dalam meletakkan sabit kesalahan yang sifatnya pidana maupun perdata dengan tujuan
menegakkan keadilan di kalangan manusia.
e. Hukum dustûriyyah: segala hukum yang mengatur konsep penetapan hukum dan dasar-
dasarnya. Dalam hukum ini, fiqh membahas bagaimana membatasi sebuah hukum dengan
subyek hukum.
f. Hukum pemerintahan (dauliyyah): hukum yang mengatur hubungan antara pemerintahan
Islam dengan lainnya di dalam kebijakan perdamaian, peperangan, international affairs, dan
lain-lain yang mengatur kebijakan pemerintah Islam dalam pemerintahannya.
g. Hukum perekonomian dan keungan: hukum yang mengatur hak-hak warganegara dan
pemerintah dalam hal kebendaan, seperti pengaturan pajak negara, harta rampasan perang,
mata uang, pengaturan dana sosial perzakatan, sedekah, dan lain-lain yang berkaitan dengan
kebendaan antara warganegara dan pemerintah.
h. Akhlak dan adab: sebuah konsep dalam fiqh yang mengajarkan konsep tata pergaulan
yang baik. Ini dikarenakan fiqh adalah produk wahyu Tuhan, sehingga nilai-nilai moral
sangat diutamakan.
27
Secara kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu‟âmalât. Ini apabila fiqh
mu‟âmalât diartikan dengan arti luas.
Akan tetapi, apabila fiqh mu‟âmalât diartikan secara sempit; maka fiqh siyâsah bukanlah fiqh
mu‟âmalât. Ini dikarenakan fiqh mu‟âmalât adalah fiqh yang mengatur hubungan manusia
dengan kebendaan yang sifatnya privat, bukan publik, walaupun kemungkinan ada campur
tangan pemerintah. Hanya saja pencampuran tersebut bukanlah secara esensial. Ini seperti
apa yang diartikan secara sempit, menurut Khudlarî Beik:10
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”24
Maka dari itu, kalau dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh siyâsah
seperti yang dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah dimasukkan fiqh siyâsah di dalam
Sfiqh mu‟âmalât secara arti luas, bukan sempit.
Dari sistematika hukum Islam seluruhnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
fiqh siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan, fiqh
siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam menjalankan hukum
Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal
ini pemerintah yang menjalankan konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin
keberlakuan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.Imam al-Ghazâlî juga
secara tegas menjelaskan ini di dalam kitabnya yang berjudul al-`Iqtishâd fî al-`I‟tiqâd.1125
24
Ibid.
25
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),
30.
26 Iqbal, Fiqh Siyasah, 9.
27 al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1, 33.
28 Iqbal, Fiqh Siyasah, 11.
28
Buktinya, tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah, tidak
mungkin akan mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk
rakyatnya yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah berhasil melahirkan
undang-undang No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa semua
penduduk asli Indonesia yang beragama Islam untuk mematuhi peraturan pernikahan tersebut
yang terbentuk dari dasar-dasar Islami. Tanpa ini, tentu konsep fiqh munâkahah tidak dapat
diaplikasikan secara positif di Indonesia.26
Contoh lain sebagai bukti pentingnya fiqh siyâsah di dalam pemerintahan, adalah
adanya fiqh siyâsah itu lebih mementingkan kemaslahatan untuk rakyat umum, serta berusaha
menolak segala jenis kerusakan.27
Ini juga didasari oleh salah satu akar fiqh siyâsah, yaitu
kaidah fiqhiyyah. Kaidah yang terkenal adalah “ ”. Selanjutnya, batasan
kemaslahatan tentunya dibatasi dengan kaidah “ ”, yang dapat
membatasi pemerintah daripada hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau
bagaimanapun, kebijakan pemerintah yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus
ditaati. Maka dari itu terdapat kaedah “ ”. Secara aplikasinya,
kalau pengadilan tidak dapat menemukan wali bagi orang yang dibunuh ( ), maka
pemerintah (jaksa) dapat menjadi wakil bagi mangsa sebagai penuntut. Malah bagi jaksa
boleh menuntut untuk diqishâsh kalau perlu, atau mengambil diyyat kalau dianggap lebih
maslahat. Akan tetapi, jaksa tidak boleh memberi ampunan dari pemberlakuan qishâsh
seperti yang dimiliki wali yang asli.28
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai kedudukan
penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan, merumuskan,
dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan
masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh
siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit
29
mengembangkan potensi yang mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam
dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar sebuah
pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang
dapat dinikmati umat Islam
30
BAB III
PENUTUP
A. MENURUT PEMIKIRAN PENULIS
Setelah kita melihat bagaimana seharusnya memandang fiqh,sekarang kita lihat
bagaimana dalam kenyataan, masyarakat memandang fiqh. Gambaran ini diperlukan,
sebelum kita mencoba memberi analisa lebih jauh tentang mekanisme kerja fiqh,
danmsaran-saran pemecahan masalahnya, dalam rangka reaktualisasi ajaran Islam.
Pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia, memandang
fiqh identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan
Tuhan. Sebagai akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri.
Dengan cara pandang itu, maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum
Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah
maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan, tapi sebagai
buku agama itu sendiri. Akibatnya,selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat
terpandangsebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran
keagamaan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Ash shiddiqy, Teungkue Muhammad. 2001. Pengantar Hukum Fiqh Islam. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
Muhammad, Ahsin.1993. Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-fiqh al-islami wa adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr.
Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqih, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Group.
Ms, Burhani dan Hasbi Lawrens. 2003. Kamus ilmiah populer. Jombang: Lintas Media
www.utlumaprivat.wordpress.com
www.wikipidia.com