sistematika ilmu fiqih

31
1 MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM “SISTEMATIKA ILMU FIQIH” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Dosen Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag. Di susun oleh : Eka Nurul Hidayah JURUSAN SYARIAH ( PBS ) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)JURAI SIWO METRO 2012

Upload: erik-pujianto

Post on 21-Jan-2016

664 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

STUDY ISLAM SEBAGAI ILMU

TRANSCRIPT

Page 1: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

1

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

“SISTEMATIKA ILMU FIQIH”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri

Dosen Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag.

Di susun oleh :

Eka Nurul Hidayah

JURUSAN SYARIAH ( PBS )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN)JURAI SIWO METRO

2012

Page 2: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan

Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam pada

masa kini” tepat pada waktunya.

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan, sahabat, orang tua serta dosen

pengampu yakni Dra. Siti Nurjanah, M.Ag, atas segala bantuan berupa bimbingan maupun

berupa dukungan dalam menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas mandiri

yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya dalam penyempurnaan makalah

mandiri ini. Semoga dengan adanya kritik dan saran yang diberikan, makalah ini dapat lebih

baik dari sebelunnya. Atas saran dan kritiknya penulis ucapkan terima kasih.

Metro, November 2012

Page 3: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar belakang ............................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 2

A. Pengertian Ilmu Fiqih................................................................................ 2

B. Pengertian dan Gambaran Fiqih Secara Umum........................................3

C. Pengertian Ushul Fiqih .............................................................................. 6

D.Objek Kajian Ushul Fiqih .......................................................................... 10

E. Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih dan Qawa id Kulliah......................12

F. Isi dan Ssitematika Ushul Fiqih.................................................................13

G. Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqih...................................................14

H. Ruang Lingkup Fiqih Siyasah..................................................................19

I. Kedudukan Fiqih Siyasah didalam Sistematika Hukum Islam..................21

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 27

A. Menurut Pemikiran Penulis ....................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang

laindalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam,

sehinggaterkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus

berhubungan denganorang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain

dalam memenuhi kebutuhan,harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban

keduanya berdasarkan kesepakatan.Proses untuk membuat kesepakatan dalam

kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazimdisebut dengan proses untuk berakad

atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrahyang sudah ditakdirkan oleh

Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusiam ul a i m en gena l

a r t i h ak m i l i k . I s l am s eb aga i agam a yan g k o mp r eh ens i f d an

u n i v er s a l memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan

dalam setiapmasa.

Page 5: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

5

BAB II

PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN ILMU FIQH

Hukum-hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama islam,karena

islam merupakan himpunana dari aqidah ,akhlak,dan hukum amaliyyah.Hukum amaliyyah ini

pada masa Rasullulah saw,terbentuk dari hukum-hukum yang terdapat didalam al-qur‟an ,dari

berbagai hukum yang keluar dari Rasulullah saw.Sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus

atau suatu putusan terhadap persengketaan atau merupakan suatu jawaban dari suatu

pertanyaan .Kompilasi hukum-hukum fiqh pada periode yang pertama terbentuk dari hukum-

hukum Allah dan Rasulullah,dan sumbernya adalah al-qur‟an dan as-sunnah.

Pada masa sahabat mereka dihadapkan pada berbagai kejadian dan munculnya

berbagai hal baru yang hal itu tidak pernah dihadapi kaum muslim sebelumnya dan tidak

pernah muncul pada masa Rasulullah saw.maka berijtihadlah orang yang ahli ijtidah diantara

mereka,mereka memberikan putusan hukum,berfatwa,menetapkan hukum syariat dan

menambahkan sejumlah hukum yang mereka persembahkan melalui ijtihad mereka kepada

kompilasi hukum yang pertama itu.

Maka pada periode kedua kompilasi hukum fiqh terbentuk dari hukum-hukum Allah

dan Rasulnya ,serta fatwa sahabat dan putusan mereka.Sedangkan sumbernya al-qur‟an,as-

sunnah,dan ijtihad para sahabat.

Pada kedua periode ini hukum-hukum tersebut belum terkondifikasikan dan belum da

penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif.akan tetapi penetapan hukum islam adalah

berkenaan dengan apa yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan kasus-kasus yang

terjadi saja.Hukum-hukum ini belum menjelma dalam bentuk ilmiah,akan tetapi hanya

sekedar suatu penyelesaian insidental terhadap peristiwa-peristiwa faktual.Kompilasi hukum

Page 6: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

6

ini belum pula dinamakan sebagai ilmu fiqh dan tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat belum

disebut sebagai fuqaha.

Pada masa Tabi‟in dan Tabi‟it serta para imam mujtahid yaitu sekitar dua abad hijriyah yang

kedua dan ketiga,negara islam meluas dan banyak dari orang nonarab yang memeluk agama

islam.Kaum muslim dihadapkan pada kejadian baru ,berbagai kesulitan,bermacam-macam

kajian,aneka ragam teori dan gerakan pembangunan fisik dan intelektualitas yang membawa

para mujtahid untuk memperluas dalam ijtihad dan pembentukan hukun islam terhadap

banyak kasus dan membuka pintu pengkajian dan analisis kepada mereka sehingga semakin

luas pula lapangan pembentukan hukum fiqh dan ditetapkan pula sejumlah hukum untuk

kasus-kasus yang fiktif.

B.Pengertian dan Gambaran Fiqh Secara Umum

Berbicara sistematika berarti kita membicarakan susunan, Urut-urutan teratur, dan berurutan

tentang sesuatu (Burhani, Hasbi Lawrens: 2003), karena kita membahas kitab fiqh maka kita

akan membahas tentang susunan atau urutan pembahasan suatu masalah di dalam kitab fiqh.

Namun sebelum kita membahas tentang urutan atau sistematika kitab fiqh, penulis ingin

mengigatkan kembali hukum-hukum yang terkandung di dalam fiqh secara umum.

Kita semua tahu bahwa hukum-hukum fiqh mengandung dan masuk kedalam semua aspek

kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Maka secara garis besar, masalah-masalah fiqh dapat

dikelompokkan kedalam dua bahagian besar (ash-shiddiqi: 2001) yaitu:

Page 7: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

7

1. Ibadah

Yaitu: segala persoalan yang menyangkut dengan urusan akhirat seperti: shalat, puasa dan

zakat. Atau dengan kata lain para fuqaha menyebutkan dengan ibadah mahzhah, yaitu ibadah

yang berhubungan dengan ALLAH secara lansung.

1. Mu‟amalat

Adalah segala persoalan atau permasalahan yanag berpautan atau berhubungan dengan

urusan-urusan dunia atau undang-undang. Atau lebih dikenal dengan ibadah ghairu mahzhah

yaitu ibadah yang berhubungan dengan manusia dengan manusia yang perlu adanya campur

tangan pemerintah dalam pelaksanaannya.

Pada bagian ini dapat dibagi lagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Bagian „ukubat

Yaitu: pembahasan yang meliputi tentang perbuatan-perbuaran pidana seperti membunuh,

mencuri dan minum minuman yang memabukkan atau khamr.

2. Bagian munakahat (ahwal syakhshiah)

Yaitu: bagian yang membahas antara lain masalah perkawinan dan perceraian.

3. Bagian mu‟amalat

Yaitu: pada bagian ini membahas tentang harta seperti sewa menyewa, jual beli dan pinjam

meminjam.

Page 8: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

8

Demikian juga dengan wahbah al-zuhaili yang membagi pembahasan fiqh kedalam 2 bidang

secara umum. (wahbah zuhaili: 1984)

Namun demikian ada juga ulama al Allamah Ibnu Abidin dalam kitabnya Raddl Muhtar yang

membagi pembagian dalam fiqh itu kedalam 3 (tiga) pembahagian besar, yaitu:

1. Ibadah

Meliput: shalat, zakat, shiyam, haji dan jihad.

2. Uqubat

Meliputi: qishas, had pencurian, had zina dan di hubungkan dengan ta‟zir.

3. Mu‟amalat

Meliputi: munakahat dan amanat

Perlu kita ingat kembali yang menyusun kitab fiqh adalah: ahli ijtihad seperti Imam Abu

Hanifah, Malik, Imam Syafi‟i, Ahmad Bin Hambal dan lain-lain. Orang yang mula-mula

mengatur dan menyusun kitabnya menurut sebagian ahli riwayat adalah Abu Hanifah An

Nu‟man Ibn Tsabit. (ash-shiddiqi: 2001) dan ini terjadi pada masa-masa awal dari Dinasti

Abbasiyah (133-766 H atau 750-1258), setelah kaum Muslimin dapat menciptakan stabilitas

keamanan di seluruh wilayah Islam.

Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang semakin baik, tidak

lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun

suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagai

kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga

bentuk, yakni (1) penyusunan buku-buku, (2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan (3)

Page 9: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

9

penerjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Ilmu pengetahuan

yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan

yang memang tak dapat dipisahkan dengan ilmu-ilmu agama, sehingga pada masa ini muncul

ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan

sebagainya.

Pada periode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari: fiqih

„ibâdât (fiqih tentang persoalan-persoalan ibadah, seperti shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih

munâkahât (fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan

hibah), fiqih mu‟âmalât (fiqih tentang hubungan perdata) dan fiqih jinâyât (fiqih tentang

tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu

kesatuan.

Berkembangnya ilmu-ilmu fiqh, maka secara tidak lansung berkembang pula sistematika

punyusunan suatu pembahasan didalam kitab-kitab fiqh. Ini yang menyebabkan berbedanya

susunan atau sistematika fiqh setiap ulama yaitu karena perbedaan waktu dan tempat.

C.Pengertian Ushl Fiqh

Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang.

Pertama, dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang

ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri. Dari sisi tarkib idhafi dan dari sisi laqab. Ushul

fiqh sebagai tarkib idhafi, terdiri dari kata ushul dan fiqh yang secara terpisah antara kedua

kata ini mempunyai makna sendiri. kata ushul merupakan jamak dari ashl yang berarti

sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain. atas dasar ini ushul fiqh di pandang sebagai

Page 10: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

10

sandaran bagi fiqh dan sebagai alat utuk melahirkan fiqh.1 Kata al aslu menurut bahasa

memiliki arti : asal, pangkal, dasar, pokok atau asas. Dapat juga di artikan sebagai fondasi

sesuatu, baik bersifat materi maupun non materi2

Adapun menurut istilah ashl memiliki beberapa adalah arti berikut ini:

1. Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqih bahwa ashl

dari wajibanya shalat lima waktu firman allah dan sunnah rasul.

2. Qa’idah, yaitu suatu dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda nabi Muhammad

saw:”Buniyal islam ‟ala khamsi ushulin” artinya:”Islam itu didirikan atas lima ushul

(fondasi atau dasar)”

3. Rajih, yaitu yang terkuat seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:”Al-Ashlu fil

kalaam al-haqiqah”. Artinya:”Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti

hakikatnya”. Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna

hakikat dari perkataan tersebut.

4. Mustashhab, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama

tidak ada dalil yang mengubahnya.misalnya seseoarang yang hilang, apakah ia tetap

mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinan? Orang tersebut harus

dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara

haknya seperti tetap mendapat waris, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap

tetap.

5. Far’u, seperti perkataan ulama ushul:”Al-waladu far‟un lilabi” artinya:”Anak adalah

cabang dari ayah” Al-Ghazali,1:5

Dari yang kelima pengertian ashl diatas, yang biasa dipakai digunakan adalah makna

yang pertama ”Dalil”, yakni dalil-dalil fiqh.

1 Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), 160.

2 Lihat keterangan panjang lebarnya di bab pembahasan, bagian C.

Page 11: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

11

Kata fiqh menurut bahasa pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu, dalam

pengertian ini kata fiqh dan fahm adalah sinonim. kata fiqh pada mulanya di gunakan orang-

orang arab bagi seseorang yang ahli dalam mengawinkan unta. dimasa Rasulullah pengertian

fiqh menckup semua aspek dalam islam, baik teologis, politis, ekonomis maupun hukum.3

Pengertian fiqh secara bertahap berubah dari masa ke masa , dan akhirnya terbatas pada

masalah hukum .

Menurut istilah fiqh adalah:

ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan

para mukallaf, yang di instinbathkan dari dalil-dalil yang jelas ( tafsili ). Gabungan dari kata

ushul dan fiqh tersebut. oleh para pakar dijadikan nama bagi suatu disiplin ilmu, yang dikenal

dengan sebutan ilmu ushul fiqh.4

Secara definitif, yang disebut ilmu ushul fiqh dalam istilah syara ialah: ilmu

pengetahuan dari hal qaidah –qaidah dan pembahasan –pembahasan yang dapat membawa

kepada pengambilan hukum – hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang

terperinci.5

Imam al-ghazali, seorang ulama syafiiyah, mendefinisikan ushul fiqh adalah

penjelasan tentang dalil-dalil fiqh dan pengetahuan tentang tata cara penunjukannya kepada

hukum secara global dan bukan secara terperinci.6 Imam baidhawi juga ahli ushul kalangan

syafiiyah, mendenisikannya sebagai pengetahuan tentang dalil fiqh secara umum dan

menyeluruh, cara mengistinbathkan atau menarik hukum dari dalil itu,dan tentang hal ikhwal

pelaku istinbath.7 Definisi ini sedikit lebih luas dari rumusan alghazali.

3 Alquran, 11:91.

4Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-`Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001) vol. 1,

5 Ibid., 19.

6 Ibn Manzhûr, Lisân al-„Arab (Beirut: Dâr Shâdir, t.t.), vol. 6, 108; Ahmad bin Muhammad al-Fayyûmî, al-

Mishbah al-Munîr (Beirut: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, t.t.), 295.

Page 12: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

12

Menurut Dr, Wahbah Zuhaili, ulama hanafiah, malikiah,dan hanabilah mendefinisikan

ushul fiqh sebagai kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengambil hukum dari dalil-dalil

yang terperinci atau ilmu tentang kaidah-kaidah itu sendiri. Baqir Sadr dari kalangan syiah,

mendefinisikan ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas unsur-unsur umum dalam prosedur

mendeduksikan hukum-hukum islam.

8 Sedangkan menurut ushul fiqh ialah pengetahuan tentang kaidah dan penjabarannya yang

dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat islam mengenai perbuatan manusia,

dimana kaidah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.9 Dengan kata lain,

ushul fiqh merupakan himpunan berbagai kaidah dan penjaabrannya yang menjadi pedoman

dalam rangka penetapan hukum mengenai perbuatan mukallaf dimana keseluruhan kaidah

tersebut bersumber dari nash. Keragaman definisi yang dirumuskan oleh para ahli seperti

tesebut di atas,pada akhirnya bertemu pada satu inti ushul fiqh. Yaitu metode atau kaidah

yang dipakai oleh para mujtahid untuk mengistinbathkan hukum dari nash Al-Qur‟an dan

sunnah.10

Dengan membandingkan uraian di atas dan uraian sebelumnya tentang fiqh terlihat

bahwa antara fiqh dan ushul fiqh mempunyai hubungan yang erat. ushul fiqh membicarakan

tentang kaidah-kaidah umum, sedangkan penerapan kaidah-kaidah 5tersebut kepada ayat-ayat

alquran dan hadis-hadis nabi merupakan obyek kajian fiqh sehingga melahirkan fiqh itu

sendiri.11

7 Sulaimân bin Muhammad al-Bujairimî, Hâsyiah al-Bujairimî „alâ al-Manhaj (Bulaq: Mushthafâ al-Babî al-

Halâbî, t.t.), vol. 2, 178.

8 Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait, Al-Mausû'ât al-Fiqhiyyah (Kuwait: Wuzârat al-

Awqâf al-Kuwaitiyyah, t.t.) vol. 25, 295.

9 Djazuli, Fiqh Siyâsah, 28.

10 David Crystal, Penguin Encyclopedia (London: Penguin Books, 2004), 1219.

11 Ibid., 28-9.

Page 13: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

13

Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini seperti yang diambil dari ayat Alquran

{ }, yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu‟aib, kami tidak

memahami banyak dari apa yang kamu bicarakan”.

D.Obyek Kajian Ushul Fiqh

Setiap cabang pengetahuan biasanya mempunyai pokok bahasan dasar yang menjadi

pusat seluruh kajiannya. Pembahasannya pun berkisar disekitar itu pula, dengan tujuan

menemukan karakteristik-karakteristik, kondisI-kondisi serta hukum-hukum yang berkaitan

dengan pokok bahasan tersebut, contohnya. Pokok bahasan ilmu fisika adalah alam maka

seluruh diskusi dan riset dalam ilmu fisika senantiasa berkaitan dengan alam sehingga kita

berusaha menemukan kondisi-kondisi dan hukum-hukum alam.12

Begitu juga dengan ilmu

pengetahuan yang lain seperti fiqh. Obyek pembahasan fiq6h adalah perbuatan orang

mukallaf dari segi penetapan hukum syariat padanya. Dari sana kita

mengetahui mana dalam pandangan hukum islam erbuatan yang

diwajibkan,disunnahkan,diharamkan dan sebagainya. Jadi dalam ilmu fiqh dibahas tentang

thaharah, shalat, zakat, puasa, jual beli, wakaf, pembunuhan dan lain sebagainya. Demikian

juga halnya dengan ilmu ushul fiqh ia memliki obyek bahasan tersendiri.13

Menurut Imam Alghazali ,Obyek kajian ilmu ushul fiqh berkisar pada 4 hal :

1. Tsamarah, yaitu hukum-hukum syar‟i seperti wudhuk, nadab, karhah dan lain sebagainya

2. Musmar, yaitu dalil-dalil (adillah) meliputi kitab,sunnah,dan ijma‟

3. Thuruq al istimar (metode istinbath)

4. Mustasmir yaitu mujtahid14

12

Ibid., 28.

13„Alî bin Muhammad al-Mâwardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah (Beirut: Dâr al-Kutub

al-„Alamiyyah, 2006), 4; Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 13.

14 Ibid., 13.

15 Ibid.

Page 14: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

14

Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan ilmu ushul fiqh ialah dalil-dalil

syara‟ itu sendiri dari segi bagaimana penunjukannya kepada suatu hukum secara ijmali (

menurut garis besarnya). Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara‟ yang meliputi tuntutan

berbuat meninggalkan dan pilihan berbuat atau meninggalkanseta hal-hal yang berkaitan

dengan syarat, sebab, mani‟, ru‟sah, dan lain sebagainya.

Adakalnya dengan bentuk kalimat perintah (tsighat amar),terkadang penunjukannya

Sberbentk kalimat larangan (tsigat nahi),dan adakalanya melakukan kalimat yang bersifat am,

khash, mutlak, muqayyad, hakiki, majazi dan lain sebagainya.15

adalah dalil syara‟pertama yang penunjukannya kepada hukum tidak hanya menurut

satu bentuk saja.

Bahkan secara khusus persoalan ijtihad, syarat dan kriteria orang yang dapat

melakukan ijtihadpun menjadi lapangan kajian ushul fiqh. Harus diingat bahwa alquran

Terhadap segala bentuk kalimat yang terdapat di dalam alquran tersebut,para ahli

ushul,dengan bantuan penelitian terhadap gaya dan tata bahasa arab dan pemakaiannya dalam

syariat melakukan kajian dan pembahasan yang komprehensif agar memperoleh

ketentuan hukum yang ditunjuknya.hasil penelitian para ahl ushul misalnya ditemukan

bahwa tsighat(bentuk) amr itu mengandung perintah,tsighat nahyi itu mengandung petunjuk

haram dikerjakan dan kalimat yang bersifat umum itu harus mencakup pengertian

keseluruhan. Berdasarkan penelitian tersebut merka lalu menyusun kaidah-kaidah seperti

berikut :al amru lil ijab (perintah itu untuk mewajibkan), an nahyu lit tahrim (larangan itu

untuk mengahramkan). Kaidah-kaidah di atas pada giliranya menjadi acuan dalam

menkonfirmasikan penunjukan hukum terhadap suatu masalah yang terdapat di dalam

alquran.16

7

16

Djazuli, Fiqh Siyâsah, 30.

17 Iqbal, Fiqh Siyasah, 13.

Page 15: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

15

Ilmu ushul fiqh tentu saja berbeda dengan ilmu fiqh karena fiqh membicaraan tentang

dalil dan hukum yang bersifat rinci atau juz‟i sedangkan ushul fiqh memfokuskan

pembicaraanya tentang dalil atau ketentuan yang bersifat garis besar atau kulli yang berfugsi

sebagai metodelogi dalam memahami dalil-dli yang terperinci tersebut,seperi telah dijelaskan

sebelumnya.demikian pula,kalau tujuan mempelajiri fiqh adalah mempraktekkan hukum-

hukum syriat pada segala amal perbuatan manusia,maka tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh

adalah mempraktekkan kaidha-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil rinci guna

mendapatkan hkm-hukum syariat yang terkandung dalam dalil-dalil itu. Jadi dengan kaidah

dan pembahasan ilmu ushul fiqh dapat dipahami nash-nash syariyyah dan hukum-hukum

yang dikandungnya.17

Namun demikian, ushul fiqh tidak hanya diperlukan dalam memahami teks-teks yang

terdapat dalam alqur an maupun hadits semata, tetapi ia juga di butuhkan untuk menetapkan

hukum terhadap hal-hal atau peristiwa – peristiwa yang tidak terdapat ketentuan hukumnya

didalam kedua nash tersebut. Apalagi dizaman sekarang banyak sekali tejadi peristiwa-

peristiwa hukum baru yang tidak disebut oleh nash baik secara eksplisit maupun implisit.18

E.Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh Dan Qawa id Kulliah

Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar‟i yang langsung berkaitan

dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya, apakah hukumnya wajib,

sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.

Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam

menyimpulkan hukum-hukum syar‟i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik

dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah,

siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.

Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu

terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang

Page 16: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

16

menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh

menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.

a. Pengertian kaidah fiqhiyyah

Materi fiqh banyak sekali, dan materi-materi yang banyak itu ada hal-hal yang serupa,

kemudian diikat dalam satu ikatan. Ikatan inilah yang menjadi kaidah fiqh. Oleh 8karena itu

Abu Zahrah menta‟rif kan kaedan fiqh dengan,“kumpulan hukum-hukum yang serupa yang

kembali kepada satu qiyas yang mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang

mengikatnya”19

b. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh

a. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara‟ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh

adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.

b. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu‟ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah

furu‟.

c. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai

macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut.

Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.

F.Isi Dan Sistematika Ushul Fiqh

Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan

disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita

ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:

18

Ibid., 14.

19 Ibid.

Page 17: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

17

1. Kajian tentang adillah syar‟iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-

Qur‟an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma‟, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-

lain).

2. Hukum-hukum syar‟i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban

beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut

sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.

3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz

kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur‟an atau Hadits

Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan

benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain. ( kaidah –kaidah

tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syarai dari dalil atau sumber yang

mengandungnya).

4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling

bertentangan, dan bagaimana solusinya.

5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.

G.Sejarah Dan Perkembangan Ushul Fiqh

Dalam sejarah penulisan buku-buku ushul dikenal ada tiga buah metode dan gaya

penulisan para ulama, yaitu:

Metode ahli ilmu kalam (Syafi‟iyyah), Metode ahli fiqh (Hanafiyyah), Metode

gabungan.

a.Metode Syafi‟iyyah

Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i adalah kitab pertama yang menggunakan metode ini

dalam penulisannya. Di antara ciri-ciri metode ini adalah:

Page 18: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

18

Pertama: Metode ini memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk menghasilkan

kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin tidak mendukung mazhab fiqh

penulisnya.

Kedua: Dalam mengkaji dan menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat mengandalkan

kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh

lafazh kata atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalil-dalilnya.

Ketiga: Metode ini benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh dan

fanatisme mazhab, jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai contoh penerapan saja.

Metode ini juga menggunakan gaya perdebatan ilmiah dengan ungkapan:

“Jika Anda mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”

Oleh karena itu para penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini adalah mereka

yang berasal dari mazhab yang berbeda: Syafi‟iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, Mu‟tazilah,

Asy‟ariyyah, dan lain-lain.

a) Kitab-kitab yang menggunakan Metode Syafi‟iyyah

1. Ar-Risalah karya Imam Syafi‟i (150-204 H).

2. At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).

3. Al-Mu‟tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu‟taziliy Asy-

syafi‟i (wafat th 436 H).

4. Al-Burhan karya Abul-Ma‟ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Asy-

Syafi‟i/Imamul-haramain (410-478 H).

5. Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi‟i

(wafat 505 H).

b.Metode Hanafiyah

Metode ini memiliki karakter sebagai berikut:

Page 19: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

19

Pertama: Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang Fiqh

dimana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila

ada kaidah ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi,

mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai.

Kedua: Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh

hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi dalam kaidah-kaidah ushul.

Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis. Metode ini

muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak meninggalkan kaidah ushul yang terkumpul

dan tertulis bagi murid-murid mereka seperti yang ditinggalkan Imam Syafi‟i untuk murid-

muridnya. Dalam buku para imam mazhab Hanafi, mereka hanya menemukan masalah-

masalah Fiqh dan beberapa kaidah yang tersebar di sela-sela pembahasan Fiqh tersebut.

Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah Fiqh yang sejenis dan mengkajinya untuk

ditelurkan darinya kaidah-kaidah ushul.

b) Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah

1. Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340

H).

2. Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).

3. Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi Al-

Hanafi (wafat th 490 H).

4. Kanz Al-Wushul Ila ma‟rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-

Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).

5. Ta‟sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-

Hanafi (wafat th 430 H).

c.Metode Gabungan

Page 20: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

20

Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui seorang

alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhaffaruddin Ibnus

Sa‟ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi‟un-Nizham Al-Jami‟ baina Ushul Al-Bazdawi

Wal-Ihkam.

Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan antara

kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan

argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus fiqh.

Fiqh Siyâsah

Kata “fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya adalah “ ” berasal dari

dua kata yaitu kata fiqh ( ) dan yang kedua adalah al-siyâsî ( ).

Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh berarti: {

} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang digali dari dalil-

dalilnya secara terperinci”.

Sedangkan al-siyâsî pula, secara bahasa berasal dari “ ” yang

memiliki arti mengatur ( ), seperti di dalam hadis: “

”, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu diatur oleh nabi-nabi mereka,

yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka seperti apa yang dilakukan pemimpin

pada rakyatnya”. Bisa juga seperti kata-kata “ ” yang

artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid mengatur dan mengurusi perkara

tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu siyâsah itu secara bahasa bermakna: “

” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut untuknya”.

Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang juga

dikenal dengan nama siyâsah syar‟iyyah secara istilah memiliki berbagai arti:

Page 21: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

21

1. Menurut Imam al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka

dengan cara memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap

pemerintahan”.

2. Menurut Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu‟ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait: “Memperbagus

kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat menyelamatkan

mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur permsalahan mereka”.

3. Menurut Imam Ibn „Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada

jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi, baik

secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi lahir, siyâsah

berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan secara batin, siyâsah berasal

dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan”.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh

Siyâsah yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2. Pihak

yang diatur. Melihat kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu

mirip dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:

Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu negara yang perintahnya bersifat eksklusif

dan unsur masyarakat.

Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya, fiqh siyâsah berbeda dengan politik.

Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyâsah (siyâsah

syar‟iyyah) tidak hanya menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang

sama menjalankan fungsi pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang murni

hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. Ini juga dibuktikan dengan definisi

politik di dalam Penguin Encyclopedia:

Page 22: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

22

“Political Science: The academic discipline which describes and analyses the operations of

government, the state, and other political organizations, and any other factors which

influence their behaviour, such as economics. A major concern is to establish how power is

exercised, and by whom, in resolving conflict within society.”

Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik di sini, tidak disinggung sama sekali tentang

kemaslahatan untuk rakyat atau masyarakat secara umum.

Perbedaan tersebut tampak apabila disadari bahwa dalam menjalani politik di

dalam hukum Islam haruslah terkait oleh kemestian untuk senantiasa sesuai dengan syariat

Islam, atau sekurang-kurangnya sesuai dengan pokok-pokok syariah yang kullî. Dengan

demikian, rambu-rambu fiqh siyâsah adalah: 1. Dalil-dalil kullî, baik yang tertuang di dalam

Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW; 2. Maqâshid al-syarî‟ah; 3. Kaidah-kaidah

usul fiqh serta cabang-cabangnya.

Oleh karena itu, politik yang didasari adat istiadat atau doktrin selain Islam, yang

dikenal dengan siyâsah wadl‟iyyah itu bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah

wadl‟iyyah itu tidak bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.

H. Ruang Lingkup Fiqh Siyâsah

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup

kajian fiqh siyâsah. Ada yang membagi menjadi lima bidang. Ada yang membagi menjadi

empat bidang, dan lain-lain. Namun, perbedaan ini tidaklah terlalu prinsipil.

Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang dituangkan di dalam karangan fiqh

siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup

fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:

Page 23: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

23

1. Siyâsah Dustûriyyah;

2. Siyâsah Mâliyyah;

3. Siyâsah Qadlâ`iyyah;

4. Siyâsah Harbiyyah;

5. Siyâsah `Idâriyyah.

Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam kitabnya yang berjudul al-

Siyâsah al-Syar‟iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai berikut:

1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;

2. Siyâsah `Idâriyyah;

3. Siyâsah Mâliyyah;

4. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.

Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih mempersempitnya menjadi tiga bidang

kajian saja, yaitu:

1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;

2. Siyâsah Dauliyyah;

3. Siyâsah Mâliyyah;

Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia, T. M. Hasbi, malah membagi

ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang berserta penerangannya, yaitu:

1. Siyâsah Dustûriyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);

2. Siyâsah Tasyrî‟iyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);

3. Siyâsah Qadlâ`iyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan peradilan);

4. Siyâsah Mâliyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);

5. Siyâsah `Idâriyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);

6. Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar‟iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri atau

internasional);

Page 24: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

24

7. Siyâsah Tanfîdziyyah Syar‟iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);

8. Siyâsah Harbiyyah Syar‟iyyah (politik peperangan).

Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh siyâsah dapat dikelompokkan

menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah).

Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyrî‟iyyah) oleh lembaga

legislatif, peradilan (Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan

(`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.

Kedua (2): politik luar negeri (Siyâsah Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian

ini mencakup hubungan keperdataan antara warganegara yang muslim dengan yang bukan

muslim yang bukan warga negara. Di bagian ini juga ada politik masalah peperangan

(Siyâsah Harbiyyah), yang mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang,

pengumuman perang, tawanan perang, dan genjatan senjata.

Ketiga (3): politik keuangan dan moneter (Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain

membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara,

perdagangan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.

I. Kedudukan Fiqh Siyâsah di dalam Sistematika Hukum Islam

Pra pembahasan kedudukan fiqh siyâsah di dalam hukum Islam, perlulah untuk

diketahui dulu sistematika hukum Islam secara umum. Dengan diketahui sistematika hukum

Islam, maka dapatlah difahami kedudukan fiqh siyâsah di dalam sistematika hukum Islam.

Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaylî, salah satu dari keistimewaan hukum Islam

dibandingkan dengan hukum-hukum lainnya, adalah bahwa hukum Islam ini selalu

diperkaitkan/dihubungkan dengan tiga perkara penting bagi manusia. 1. Hubungan manusia

dengan Tuhannya; 2. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri; 3. Hubungan manusia

dengan masyarakat sosialnya.20

Page 25: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

25

Ini dikarenakan hukum Islam diperuntukkan untuk dunia dan akhirat, agama dan

negara. Ia juga berkaitan kepada seluruh manusia secara keseluruhan, dan tidak ada

kadarluarsa sampai hari kiamat. Maka dari itu, hukum-hukum produk Islam, semuanya

berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, agar dapat melaksanakan sesuatu yang

wajib/harus dilakukan, serta tidak melupakan kewajiban mendekatkan diri kepada Allah; juga

untuk menghormati hak-hak insani untuk memiliki, merasa aman, bahagia, hidup

berkelanjutan bagi seluruh jagat alam raya.21

Agar dapat memenuhi peruntukan tersebut, maka hukum Islam atau yang juga

disebut fiqh yang mana dalam hal ini berhubungan dengan apa yang keluar dari seorang

mukalaf, dari segi ucapan, pekerjaan, itu meliputi dua perkara pokok:22

1. Fiqh „Ibâdah (Hukum Ibadat): hukum-hukum yang mengatur segala persoalan yang

berpautan dengan urusan akhirat.23

Bagian dari Fiqh „Ibâdah adalah bersuci, solat, puasa,

haji, zakat, nazar, sumpah, dan sebagainya dari perkara-perkara yang bertujuan mengatur

hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Malah Alquran membicarakan masalah ini

melebihi 140 ayat.

2. Fiqh Mu‟âmalât (Hukum Muamalah): hukum-hukum yang mengatur hubungan antara

sesama manusia dalam masalah-masalah keduniaan secara umum.24

Bagian dari ini adalah

segala jenis akad, akibat, jinayah, ganti-rugi, dan lain-lain yang berhubungan antara manusia

dengan manusia yang lain, sama ada secara privat maupun publik.

a. Hukum yang berhubungan dengan keadaan manusia: seperti pernikahan, nafkah, warisan,

dan lain-lain yang berhubungan antara manusia dan keluarganya secara privat.

9

20

Ibn „Âbidîn, Radd al-Muhtâr „alâ al-Durr al-Mukhtâr (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-„Arabî, 1987), vol. 3,

147.

21 H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah (Jakarta: Kencana, 2007), 28.

22 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik (Bandung: Eresco, 1971), 6

23 Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004), vol. 1, 33.

Page 26: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

26

Dari pembagian ini, maka Dr. Wahbah al-Zuhaylî pula membagi hukum muamalah

kepada beberapa hukum yang sifatnya berbeda. Ini dikarenakan fiqh mu‟âmalât ini sangat

luas. Pembagian tersebut adalah:25

b. Hukum kebendaan: seperti segala jenis akad jual-beli, persewaan, perikatan, dan lain-lain

yang berhubungan dengan kepentingan hak kebendaan seseorang.

c. Hukum jinayah (pidana): seperti kriminal serta akibat darinya, dan lain-lain yang

bertujuan menjaga kedamaian manusia serta harta mereka.

d. Hukum acara perdata atau pidana: hukum yang bertujuan mengatur proses peradilan

dalam meletakkan sabit kesalahan yang sifatnya pidana maupun perdata dengan tujuan

menegakkan keadilan di kalangan manusia.

e. Hukum dustûriyyah: segala hukum yang mengatur konsep penetapan hukum dan dasar-

dasarnya. Dalam hukum ini, fiqh membahas bagaimana membatasi sebuah hukum dengan

subyek hukum.

f. Hukum pemerintahan (dauliyyah): hukum yang mengatur hubungan antara pemerintahan

Islam dengan lainnya di dalam kebijakan perdamaian, peperangan, international affairs, dan

lain-lain yang mengatur kebijakan pemerintah Islam dalam pemerintahannya.

g. Hukum perekonomian dan keungan: hukum yang mengatur hak-hak warganegara dan

pemerintah dalam hal kebendaan, seperti pengaturan pajak negara, harta rampasan perang,

mata uang, pengaturan dana sosial perzakatan, sedekah, dan lain-lain yang berkaitan dengan

kebendaan antara warganegara dan pemerintah.

h. Akhlak dan adab: sebuah konsep dalam fiqh yang mengajarkan konsep tata pergaulan

yang baik. Ini dikarenakan fiqh adalah produk wahyu Tuhan, sehingga nilai-nilai moral

sangat diutamakan.

Page 27: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

27

Secara kedudukan, fiqh siyâsah berada di dalam fiqh mu‟âmalât. Ini apabila fiqh

mu‟âmalât diartikan dengan arti luas.

Akan tetapi, apabila fiqh mu‟âmalât diartikan secara sempit; maka fiqh siyâsah bukanlah fiqh

mu‟âmalât. Ini dikarenakan fiqh mu‟âmalât adalah fiqh yang mengatur hubungan manusia

dengan kebendaan yang sifatnya privat, bukan publik, walaupun kemungkinan ada campur

tangan pemerintah. Hanya saja pencampuran tersebut bukanlah secara esensial. Ini seperti

apa yang diartikan secara sempit, menurut Khudlarî Beik:10

“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”24

Maka dari itu, kalau dibandingkan antara definisi yang dimiliki fiqh siyâsah

seperti yang dijelaskan di bab sebelum ini, maka dapatlah dimasukkan fiqh siyâsah di dalam

Sfiqh mu‟âmalât secara arti luas, bukan sempit.

Dari sistematika hukum Islam seluruhnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

fiqh siyâsah memainkan peranan penting di dalam hukum Islam. Ini dikarenakan, fiqh

siyâsah-lah sebuah disiplin ilmu yang akan mengatur pemerintah dalam menjalankan hukum

Islam itu sendiri bagi masyarakatnya. Tanpa keberadaan pemerintah yang Islami (dalam hal

ini pemerintah yang menjalankan konsep fiqh siyâsah), maka sangat sulit terjamin

keberlakuan hukum Islam itu sendiri bagi masyarakat muslimnya.Imam al-Ghazâlî juga

secara tegas menjelaskan ini di dalam kitabnya yang berjudul al-`Iqtishâd fî al-`I‟tiqâd.1125

24

Ibid.

25

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),

30.

26 Iqbal, Fiqh Siyasah, 9.

27 al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, vol. 1, 33.

28 Iqbal, Fiqh Siyasah, 11.

Page 28: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

28

Buktinya, tanpa pemerintah yang minimal peduli dengan fiqh siyâsah, tidak

mungkin akan mengeluarkan salah satu produk hukum Islam sebagai hukum positif untuk

rakyatnya yang muslim. Indonesia misalnya, pada tahun 1974 telah berhasil melahirkan

undang-undang No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur bahwa semua

penduduk asli Indonesia yang beragama Islam untuk mematuhi peraturan pernikahan tersebut

yang terbentuk dari dasar-dasar Islami. Tanpa ini, tentu konsep fiqh munâkahah tidak dapat

diaplikasikan secara positif di Indonesia.26

Contoh lain sebagai bukti pentingnya fiqh siyâsah di dalam pemerintahan, adalah

adanya fiqh siyâsah itu lebih mementingkan kemaslahatan untuk rakyat umum, serta berusaha

menolak segala jenis kerusakan.27

Ini juga didasari oleh salah satu akar fiqh siyâsah, yaitu

kaidah fiqhiyyah. Kaidah yang terkenal adalah “ ”. Selanjutnya, batasan

kemaslahatan tentunya dibatasi dengan kaidah “ ”, yang dapat

membatasi pemerintah daripada hanya mementingkan kursi kekuasaan. Walau

bagaimanapun, kebijakan pemerintah yang jelas-jelas untuk kemaslahatan rakyat, harus

ditaati. Maka dari itu terdapat kaedah “ ”. Secara aplikasinya,

kalau pengadilan tidak dapat menemukan wali bagi orang yang dibunuh ( ), maka

pemerintah (jaksa) dapat menjadi wakil bagi mangsa sebagai penuntut. Malah bagi jaksa

boleh menuntut untuk diqishâsh kalau perlu, atau mengambil diyyat kalau dianggap lebih

maslahat. Akan tetapi, jaksa tidak boleh memberi ampunan dari pemberlakuan qishâsh

seperti yang dimiliki wali yang asli.28

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa fiqh siyâsah mempunyai kedudukan

penting dan posisi yang strategis dalam masyarakat Islam. Dalam memikirkan, merumuskan,

dan menetapkan kebijakan-kebijakan politik praktis yang berguna bagi kemaslahatan

masyarakat muslim khususnya, dan warga lain umumnya, pemerintah jelas memerlukan fiqh

siyâsah. Tanpa kebijakan politik pemerintah, sangat boleh jadi umat Islam akan sulit

Page 29: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

29

mengembangkan potensi yang mereka miliki. Fiqh siyâsah juga dapat menjamin umat Islam

dari hal-hal yang bisa merugikan dirinya. Fiqh siyâsah dapat diibaratkan sebagai akar sebuah

pohon yang menopang batang, ranting, dahan, dan daun, sehingga menghasilkan buah yang

dapat dinikmati umat Islam

Page 30: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

30

BAB III

PENUTUP

A. MENURUT PEMIKIRAN PENULIS

Setelah kita melihat bagaimana seharusnya memandang fiqh,sekarang kita lihat

bagaimana dalam kenyataan, masyarakat memandang fiqh. Gambaran ini diperlukan,

sebelum kita mencoba memberi analisa lebih jauh tentang mekanisme kerja fiqh,

danmsaran-saran pemecahan masalahnya, dalam rangka reaktualisasi ajaran Islam.

Pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia, memandang

fiqh identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan

Tuhan. Sebagai akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri.

Dengan cara pandang itu, maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum

Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah

maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan, tapi sebagai

buku agama itu sendiri. Akibatnya,selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat

terpandangsebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran

keagamaan.

Page 31: SISTEMATIKA ILMU FIQIH

31

DAFTAR PUSTAKA

Ash shiddiqy, Teungkue Muhammad. 2001. Pengantar Hukum Fiqh Islam. Semarang:

Pustaka Rizki Putra.

Muhammad, Ahsin.1993. Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-fiqh al-islami wa adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr.

Djazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqih, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam

Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Ms, Burhani dan Hasbi Lawrens. 2003. Kamus ilmiah populer. Jombang: Lintas Media

www.utlumaprivat.wordpress.com

www.wikipidia.com