makalah fiqih talak

14
ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Perkara cerai talak yang diajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali yang dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya berkeinginan rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak. Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam. B. Tujuan penulisa Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan kami dalam materi PERBANDINGAN MAZHAB dan memenuhi tugas dari dosen pengajar. C. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan dari makalah kami adalah ; 1.Pengertian talak ? 2.Pengertian talak sunni dan syarat-syarat talak sunni? 3.pengertian talak bid’I dan syarat- syarat talak bid’i? 4. perbedaan pendapat para mahzab mengenai jatuh tidaknya talak bid’i. D. metode dan tekhnik penulisan Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode KEPUSTAKAAN

Upload: septian-muna-barakati

Post on 22-Jul-2015

219 views

Category:

Education


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah fiqih talak

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Perkara cerai talak yang diajukan seorang suami terhadap isterinya, sementara suaminya

sebenarnya telah menceraikan isterinya secara liar (di bawah tangan) sebanyak tiga kali

yang dijatuhkan terpisah dalam tiga kali kejadian. Dalam persidangan, keduanya

berkeinginan rujuk kembali karena mengingat masa depan anak-anak.

Bagaimana cara Pengadilan menjatuhkan putusan ? Bila Pengadilan menganggap tidak

ada talak tiga, maka akan bertentangan dengan hati nurani karena mereka telah

menjatuhkan talak dengan tata cara syariat Islam.

B. Tujuan penulisa

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperdalam pengetahuan kami

dalam materi PERBANDINGAN MAZHAB dan memenuhi tugas dari dosen pengajar.

C. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan dari makalah kami adalah ;

1.Pengertian talak ?

2.Pengertian talak sunni dan syarat-syarat talak sunni?

3.pengertian talak bid’I dan syarat-syarat talak bid’i?

4. perbedaan pendapat para mahzab mengenai jatuh tidaknya talak bid’i.

D. metode dan tekhnik penulisan

Dalam penulisan makalah ini kami menggunakan metode KEPUSTAKAAN

Page 2: Makalah fiqih talak

ii

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Talak Dalam Prespektif Kefikian.

Talak dalam bahasa Indonesia diartikan perceraian yang artinya terputusnya tali perkawinaan

yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya adalah perceraian karena talak

adalah seorang suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata cerai atau

talak atau kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah talak

yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga dan apakah ucapan talak itu diucapkan talak dua atau

tiga sekaligus pada satu kejadian atau peristiwa, waktu dan tempat yang berbeda.Para ahli hukum

Islam (fukaha) berpendapat bahwa bila seseorang mengucapkan kata-kata talak atau semisalnya

terhadap isterinya maka talaknya dianggap sah dan haram hukumnya bagi keduanya melakukan

hubungan biologis sebelum melakukan rujuk atau ketentuan hukum lain yang membolehkan

mereka bersatu sebagai suami isteri.Para fukaha berbeda pendapat tentang kata-kata talak atau

semisalnya yang diucapkan oleh suami kepada isteri dalam kondisi sadar atau tidak misalnya

suami dalam kondisi mabuk, atau karena suami dalam kondisi tidak tenang atau ketika dalam

kondisi marah yang dipicu adanya pertengkaran yang dapat menghilangkan keseimbangan jiwa

suami atau karena dalam kondisi dipaksa.

Pengertian Talak

Menurut bahasa talak berarti melepaskan atau memutuskan, sedangkan menurut istilah

talak merupakan memutuskan ikatan pernikahan dengan suatu kalimat atau lafadz. Dalam

kehidupan sehari-hari talak lebih di kenal dengan sebutan perceraian.

Beberapa ulama berpendapat (Imam Ahmad dan Imam Malik) bahwa lafadz talak harus di

ikuti oleh niat. Tidak sah bila adanya lafadz tanpa niat dan niat tanpa lafadz dalam talak. Lafadz

talak di bagi menjadi 2, yaitu:

Talak Sharih, artinya “nyata” atau “jelas”, yaitu talak yang di ucapkan oleh suami kepada

istrinya dengan kalimah yang jelas, fasih dan terang dan tidak mempunyai makna ganda.

Contoh lafadz yang sharih:

1. Aku ceraikan kau dengan talak satu.

2. Aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau.

3. Hari ini aku ceraikan kau.

4. jika seorang suami melafadzkan talak dengan menggunakan lafadz yang sharih maka

talak telah berlaku, walaupun tanpa niat dan saksi.

b) Talak Kina’ah, artinya lafadz secara tidak langsung, yang dapat mengandung pengertian

ganda. Contoh lafadz kina’ah:

1. Pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka.

2. Kita berdua sudah tiada apa-apa hubungan lagi.

3. Aku tak mau kau lagi, kau boleh balik ke rumah orang tua kamu.

Page 3: Makalah fiqih talak

ii

Jika seoarang suami melafadzkan talak tersebut dengan niat untuk menceraikan istrinya maka

jatuhlah talak tersebut keatas istrinya, sebaliknya jika ia melafadzkan talak tersebuat tanpa niat,

maka talak tidak jatuh.

Abdul Aziz Dahlan et.al dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak dalam

bahasa arab artinya melepaskan dan meninggalkan suatu ikatan. Dalam istilah hukum talak

adalah perceraian ……antara suami isteri atas kehendak suami ( Abdul Aziz Dahlan et.al

1996:1776 ).

Sayyid Sabiq dalam Fiqh as Sunnah memberi definisi bahwa talak dalam terminology bahasa

adalah “ al-irsalu wa al-taraku” artinya melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut

istilah hukum talak adalah “ hillu rabithatin al zuwaj “ artinya melepaskan ( ikatan ) tali

perkawinan. ( Sayyid Sabiq 1975:241)

Ulama fikih ( fukaha) berpendapat bahwa talak dibagi kepada dua macam yaitu :

B.Dasar Hukum Talak

Pernikahan merupakan ikatan antara suami istri, dimana mereka saling bergaul dengan

baik hingga menjadi sebuah keluarga yang menghasilkan generasi baru. Jika hubungan yang

terjalin di antara mereka berada dalam kondisi yang belum di anggap baik seperti tidak ada rasa

kasih sayang antara mereka, seorang suami atau istri tidak mendapatkan apa yang ia harapkan

dari pasangannya, atau adanya permasalahan yang sudah sangat sulit untuk di benahi. Maka,

dalam islam seorang suami di perintahkan untuk melepaskan istrinya dengan sebaik-baiknya.

Talak hanya berlaku bagi seorang suami keatas istrinya.

Namun jika suatu talak terjadi akibat adanya perselisihan antara suami dan istri, maka talak

tersebut baru dapat di laksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan

kedua belah pihak agar tetap mempertahankan keutuhan keluarga mereka, dan ternyata tidak ada

jalan lain kecuali hanya dengan talak atau perceraian. Talak merpakan sesuatu yang di bolehkan,

tetapi di benci oleh agama, berdasarkan sabda Rasul:

“Hal yang halal tetapi paling dibenci menurut Allah adalah perceraian”.(HR. Abu Dawud dan

Ibn Majjah).

Adapun dasar hukum talak adalah :

Qur’an Surat An Nisa Ayat 128

Page 4: Makalah fiqih talak

ii

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,

Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan

perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika

kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak

acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Qur’an Surah An Nisa Ayat 35

Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya (suami dan Isteri),

maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang hakam dari keluarga Isteri.

Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah memberikan petunjuk kepada

keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi”.

C.Hukum-Hukum Talak

Hukum talak dapat berubah-ubah sesuai kondisi atau keadaannya, diantaranya yaitu :

Mubah, hukum talak menjadi mubah jika sang suami membutuhkan hal itu, di karenakan

buruknya akhlak sang istri dimana hal tersebut membahayakan kondisi keluarganya. Kondisi

seperti tidak akan dapat mencapai tujuan nikah yang sebenarnya, apa lagi jika pernikahan

tersebut tetap di pertahankan.

Makruh, hukum talak menjadi makruh apabila talak seharusnya tidak di butuhkan, artinya,

kondisi antara suami dan istri berada dalam keadaan yang stabil dan tidak terdapat perubahan-

perubahan yang mengkhawatirkan. Ia menjadi makruh karena talak tersebut menghilangkan

sebuah pernikahan yang didalamnya terdapat banyak sekali maslahat islam yang dia njurkan oleh

syari’at islam. Sabda Rasullah “Wanita manapun yang meminta talak dari suaminya tanpa sebab

yang jelas, maka haram baginya bau syurga”.

Sunnah, hukum talak menjadi sunnah jika sangat di butuhkan, dimana jika hubungan

tersebut di pertahankan akan semakin membahayakan hubungan antara keduanya.Seperti

terjadinya perselisihan dan perpecahan antara suami dan istri, dan sang istri/suami memendam

Page 5: Makalah fiqih talak

ii

rasa benci yang sangat dalam kepada pasangannya, jika hubungan tersebut dipertahankan maka

akan membahayakan pasangannya.

Wajib, hukum talak menjadi wajib apabila seorang suami/istri tidak lagi istiqomah

(komitmen) dalam melaksanakan perintah agama. Misal seorang suami wajib menceraikan

istrinya apabila sang istri melakukan zina dan tidak menjaga kehormaan suami, atau ia

mengabaikan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri.

Haram, hukum talak menjadi haram ketika seorang istri berada dalam keadaan haid atau

nifas, atau ketika istri tersebut berada dalam keadan suci tetapi belum pasti kalau dia tidak hamil,

ketika seorang suami menceraikan istrinya dengan lafadz tiga kali cerai, atau suami menceraikan

istrinya untuk mendapat barang tebusan (terjadi dalam khulu’).

D. Pengertian Talak sunni Dan talak Bid’i

1. Talak Sunni dan Talak Bid’i

Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua

bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam dalam menstandari batasan-

batasan talak sunni dan bid’i.

Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak hasan dan

c. Talak bid’i.

Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada

masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak lagi)

pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan adalah talak yang

dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali suci dan disetiap masa

suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada

istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga

dalam satu masa suci.

Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi

syarat-syarat tertentu.

Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni:

a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,

b. Suami tidak menjima’nya pada waktu,

c. Suami mentalak satu,

d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.

Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya.

Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa

haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut

mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk

kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim

boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh

Page 6: Makalah fiqih talak

ii

dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa

untuk merujuknya.

Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit

berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :

a. Talak sunni, b. Talak bid’i, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak qhairu bid’I wa la-

sunni).

Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan

tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan

bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.

Berkenaan dengan talak bid’i terbagi menjadi dua macam:

a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’

memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri

dengan lamanya menjalani masa iddah.

b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.

Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih

kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan

hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul.

Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami

menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia

tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i adalah talak yang

suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah

mendukhulnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas

Ulama’ selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.

Pasal 121: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri

yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pasal 122: Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri

dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci

tersebut.

1. Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan suami sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan

Islam,yaitu :

a. Menalak isteri harus secara bertahap ( dimulai dengan talak satu, dua dan tiga ) dan diselingi

rujuk.

b. Isteri yang ditalak itu dalam keadaan suci dan belum digauli dan Isteri tersebut telah nyata-

nyata dalam keadaan hamil.

Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah

dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci dari

Page 7: Makalah fiqih talak

ii

haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami menjatuhkan talak ketika

istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum pernah dicampuri sejak masa haidh terakhir

istrinya berakhir.

Allah Ta”ala berfirman, “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)

menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229).

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka

pada waktu mereka dapat (menghadapi) “iddahnya (yang wajar)…” (Qs. Ath-Thalaq: 1)

Nabi shallallahu “alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu “Umar

radhiyallahu “anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian “Umar bin Al-

Khaththab radhiyallahu “anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu

“alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Perintahkan agar ia kembali kepada

(istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi.

Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia

menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa

“iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” [Hadits shahih. Riwayat

Bukhari (no. 5332), Muslim (no. 1471), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/227 no.

2165) dan An-Nasa"i (VI/138)].

2. Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami melalui cara-cara yang tidak diakui

syariat islam yaitu:

a. Menalak isteri dengan tiga kali talak sekaligus,

b. Menalak isteri dalam keadaan haidh,

c. Menalak isteri dalam keadaan nifas, dan Menjatuhkan talak isteri dalam keadaan suci

tetapi telah digauli sebelumnya, padahal kehamilannya belum jelas.

Ulama fikih juga sepakat menyatakan bahwa menjatuhkan talak bid’i hukumnya haram

dan pelakunya mendapat dosa. Akan tetapi apabila terjadi juga seperti tersebut di atas,

maka jumhur mengatakan talaknya tetap jatuh. Alasan mereka adalah talak bid’i itupun

termasuk dalam keumuman ayat-ayat yang berbicara tentang talak, seperti

surah al- Baqarah ayat 229-230, at-Talak ayat 1-2, dan hadits Nabi SAW dalam kasus

Abdullah bin Umar yang menjatuhkan talak terhadap isterinya yang sedang haid.

Rasulullah bersabda “Suruh dia kembali pada isterinya sampai ia suci, kemudian suci,

lalu suci lagi setelah itu jika ia ingin menceraikan isterinya itu, dan jika ingin menalak

juga lakukanlah ketika itu (ketika suci belum digauli ( H.R. Muslim, Abu Dawud , Ibnu

Majash dan an Nasa’i ) ( Abdul Azizi Dahlam et.al 1996:1783)Pengertian Talak Dalam

Hukum Positif.

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No.1/1974) dan

Page 8: Makalah fiqih talak

ii

Peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975( PP.No 9/1975 ) tentang Pelaksanaan UU

No.1/1975 dalam pengertian umum tidak terdapat definisi talak, kecuali definisi talak

dapat dilihat pada pasal 117 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi sebagai

berikut :

“Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu

sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130

dan 131”

Bunyi pasal 129 KHI berbunyi sebagai berikut :

“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan

baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal

isteri dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu “

Pasal 130 KHI berbunyi sebagai berikut :

“Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut dan terhadap

(ke) putusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi “.

Sedangkan bunyi pasal 131 KHI berbunyi :

“Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129

dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya

untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud

menjatuhkan talak”.

Pasal 39 ayat (1) UU. No.1/1974 menyatakan bahwa :

“ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.

Pasal 66 UU. No.1/1974 berbunyi sebagai berikut :

Ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya

mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna

menyaksikan ikrar talak.

Ayat (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat, kecuali apabila termohon dengan

sengaja meninggalkan tempat kediaman yang digunakan bersama tanpa izin pemohon.

Menurut pasal 14 PP Nomor 9/1975 dinayatakan bahwa :

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan

menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang

berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya dengan alasanalasannya

serta meminta kepada Pengadilan agar dilaksanakan untuk keperluan itu.

Pasal tersebut di atas secara lex spesialis ditujukan kepada suami yang akan menceraikan

isterinya

Kesaksian Talak Menurut Ahli Fikih dan Menurut Hukum Positif.

Kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i (kecuali pada qaul qadimnya Imam Syafi’i

Page 9: Makalah fiqih talak

ii

berpendapat bahwa pengucapan talak seorang suami terhadap isterinya memerlukan dua orang

saksi ) dan Hanbali berpendapat bahwa pengucapaan talak seorang suami terhadap isterinya tidak

perlu adanya saksi, alasan mereka berpendapat demikian karena talak merupakan hak mutlak

seorang suami terhadap isterinya, sedangkan suami yang akan menjatuhkan talak terhadap

isterinya itu tidak dituntut untuk menghadirkan saksi, selain itu mereka berpendapat tidak ada

satu dalilpun yang menunjukkan bahwa seorang suami dalam menjatuhkan talak terhadap

isterinya memerlukan saksi.

Berbeda halnya dengan ulama Syi’ah Imamiyah mereka berpendapat bahwa seorang suami yang

akan menjatuhkan talak terhadap isterinya perlu disaksikan oleh dua orang saksi dengan

mengambil argumerntasi pengertian secara umum surah at Talak (65) ayat 2 (Abdul Aziz Dahlan

et.al 1996:1783) yang berbunyi sebagai berikut :

“….. wa asyhiduu dzawai adlin minkum wa aqiimuu asy syahadata lillahi “ artinya :…. Dan

persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan

kesaksian itu karena Allah…..(Q.S. at-Talak ayat 2).

Imam Abu Dawud menceritakan bahwa Imran bin Husain pernah ditanya tentang seseorang yang

menjatuhkan talak isterinya tanpa saksi, kemudian ia rujuk dengan isterinya itu tanpa saksi pula.

Imran bin Husain ketika itu menyatakan “ dia talak isterinya tidak sesuai dengan sunah

(Rasulullah) dan dia kembali kepada isterinya tidak sesuai dengan sunnah. Persaksikanlah

talaknya itu dan persaksikan pula rujuknya.

Menurut pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 sebagaimana yang penulis kutip di atas maka talak

yang akan diucapkan oleh suami terhadap isterinya selain setelah mengikuti sidang-sidang dan

mendapat izin dari Pengadilan, maka Pengadilan membuka sidang guna penyaksian terhadap

suami yang akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.

Tampaknya pembuat Undang-undang pencantuman pasal 66 ayat (1) UU No.1/1974 diilhami

pendapat ulama Syi’ah dan (qaul qadimnya Imam Syafi’i) yang mensyaratkan adanya dua orang

saksi bila seseorang akan menceraikan/mentalak isterinya.

Dari uraian tersebut di atas maka menurut fikih dan hukum positif ada perbedaan dan kesamaan

tentang seseorang yang akan menceraikan isterinya yaitu :

a. Persamaannya, menurut ulama Syi’ah Imamiyah (termasuk qaul qadimnya Imam

Syafii) dan hukum positif bahwa seseorang dalam mengucapkan/mentalak isterinya

perlu adanya saksi.

b. Perbedaannya, bahwa jumhur ulama mengatakan, pengucapan talak seorang suami

terhadap isterinya tidak perlu adanya saksi, sedangkan dalam hukum positif

menyatakan bahwa dalam menjatuhkan talak seorang suami terhadap isterinya

diperlukan saksi

Page 10: Makalah fiqih talak

ii

Tindakan Pengadilan Terhadap Perkara Cerai Talak di Bawah Tangan Sementara

Pihak Berperkara Akan Rujuk

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari tulisan tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan(konklusi ) bahwa:

1. Talak adalah perceraian yang dilakukan dan diucapkan oleh suami terhadap isterinya di

depan persidangan Pengadilan setelah Pengadilan memberi izin kepada suami

(Pemohon).

2. Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah

dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci

dari haidh dan pada masa itu dia belum mencampurinya.

3. Talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak tepat. Talak

bid’I merupakan talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk syariah, baik mengenai

waktunya maupun cara-cara menjatuhkannya.

B. SARAN

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,maka dari itu

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun.semoga makalah ini

bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis.

Page 11: Makalah fiqih talak

ii

DAFTAR PUSTAKA

Al Quranul Karim

Abd Aziz et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,Kompilasi Hukum Islam,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

MARI, Himpunan Tanya Jawab Permasalahan Dan Paparan Pada rapat

KerjaNasional MARI Dengan Jajaran Pengadilan pada 4 (empat) Lingkungan

Peradilan

Seluruh Indonesia tahun 2007 dan tahun 2008,

Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah,

W.J.S. Poerwadaminta, Kamus bahasa Indonesia.

Rafiq, Hukum Islam di Indonesia

Page 12: Makalah fiqih talak

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahjkan

rhmat-NYA, sehingga kami penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Tidak lupa

Shalawat serta salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW

yang telah membimbing umatnya di jalan yang benar.

Kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang sudah membantu dalam penyusunan

makalah ini.Makalah ini kami susun berdasarkan tugas Fiqih. “TALAK BID’I DAN TALAK

SUNNI” merupakan judul yang kami berikan untuk Makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kaum khalayak. Penyusun juga

meminta maaf apabila banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Wassalamu’alaikum.

Wr. Wb.

Raha, Juni 2013

Penyusun

Page 13: Makalah fiqih talak

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................i

DAFTAR ISI .................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................1

B. Tujuan ...............................................................................................1

C. Rumusan Masalah .............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Talak Dalam Prespektif Kefikian.................................... 2

B. Dasar Hukum Talak........................................................................... 3

C. Hukum-Hukum Talak.................................................................... 4

D. Pengertian Talak sunni Dan talak Bid’i............................................. 5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................10

B. Saran ..................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................11

Page 14: Makalah fiqih talak

ii

TUGAS KELOMPOK

FIQIH

TALAK BID’I DAN TALAK SUNNI

OLEH :

KELOMPOK 7

1. SARIFATI

2. SITTI ENI

3. SITTI HARFIDA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

SYARIF MUHAMMAD RAHA

2013 / 2014