file.upi.edufile.upi.edu/direktori/fpips/m_k_d_u/195801281986121... · web viewadalah satu-satunya...

24
IX KONSEP INSÂN KÂMIL Wahai nafsu muthmainnah (=jiwa yang tenang). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (=nafsu rodhiyah) lagi diridhoi-Nya (=nafsu mardhiyah). Maka masuklah ke dalam (jama'ah) hamba- hamba-Ku (=nafsu kâmilah); dan masuklah ke dalam surga-Ku.(Qs. 89/Al-Fajr: 27-30) Insan Kamil adalah manusia sempurna. Ibn `Araby Insan Kamil adalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke dalam surgaNya. Jika tidak menjadi Insan Kamil maka manusia akan menjadi monster (syetan) tapi tubuhnya manusia (Michel Chodkiewicz, 1999). Penulis menyusun disertasi dengan judul Konsep Insan Kamil dan Implikasinya dalam Pendidikan Umum di Pondok Sufi Pomosda (Program Studi Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI, 2010). Pondok Sufi saat penelitian disertasi dilakukan dipimpin oleh seorang Guru Mursyid Tarekat Syaththariah (lebih dikenal dengan Guru Wasithah), KH Muhammad Munawwar Affandi (Wasithah ke-48). Beliau meninggal dunia pada 17 Ramadhan 1433 Hijriyah (6 Agustus 2012). Guru Wasithah dilanjutkan oleh Kyai Muhammad Anwar Muttaqin (Wasithah ke-49), yang sudah ditunjuk oleh Gurunya Guru Wasithah (Wasithah ke-47) jauh hari beliau lahir ke dunia (tahun 1967, padahal beliau lahir tahun 1982). Calon Guru Wasithah ini telah di-gulawentah (dididik secara khusus dan sempurna) oleh Guru Washithah ke-48 sejak beliau berusia 14 tahun hingga berusia 30 tahun (1996-2012). Bab ini diambil dari disertasi penulis terutama pada halaman 186-208. A. MANUSIA DAN UNSUR-UNSURNYA Teori paling fundamental untuk Pendidikan Umum/Nilai sebenarnya adalah konsep kepribadian utuh, yang secara Islami lebih tepat disebut konsep insân kâmil (manusia sempurna). Apa dan siapa manusia sempurna itu, kemudian bagaimana mengembangkan kepribadian utuh,

Upload: phamnguyet

Post on 06-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

IXKONSEP INSÂN KÂMIL

Wahai nafsu muthmainnah (=jiwa yang tenang). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (=nafsu rodhiyah) lagi diridhoi-Nya

(=nafsu mardhiyah). Maka masuklah ke dalam (jama'ah) hamba-hamba-Ku (=nafsu kâmilah); dan masuklah ke dalam surga-Ku.(Qs. 89/Al-Fajr: 27-30)

Insan Kamil adalah manusia sempurna. Ibn `Araby Insan Kamil adalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke dalam surgaNya. Jika tidak menjadi Insan Kamil maka manusia akan menjadi monster (syetan) tapi tubuhnya manusia (Michel Chodkiewicz, 1999).

Penulis menyusun disertasi dengan judul Konsep Insan Kamil dan Implikasinya dalam Pendidikan Umum di Pondok Sufi Pomosda (Program Studi Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI, 2010). Pondok Sufi saat penelitian disertasi dilakukan dipimpin oleh seorang Guru Mursyid Tarekat Syaththariah (lebih dikenal dengan Guru Wasithah), KH Muhammad Munawwar Affandi (Wasithah ke-48). Beliau meninggal dunia pada 17 Ramadhan 1433 Hijriyah (6 Agustus 2012). Guru Wasithah dilanjutkan oleh Kyai Muhammad Anwar Muttaqin (Wasithah ke-49), yang sudah ditunjuk oleh Gurunya Guru Wasithah (Wasithah ke-47) jauh hari beliau lahir ke dunia (tahun 1967, padahal beliau lahir tahun 1982). Calon Guru Wasithah ini telah di-gulawentah (dididik secara khusus dan sempurna) oleh Guru Washithah ke-48 sejak beliau berusia 14 tahun hingga berusia 30 tahun (1996-2012). Bab ini diambil dari disertasi penulis terutama pada halaman 186-208.

A. MANUSIA DAN UNSUR-UNSURNYA

Teori paling fundamental untuk Pendidikan Umum/Nilai sebenarnya adalah konsep kepribadian utuh, yang secara Islami lebih tepat disebut konsep insân kâmil (manusia sempurna). Apa dan siapa manusia sempurna itu, kemudian bagaimana mengembangkan kepribadian utuh, kedua persoalan ini harus mendapatkan jawaban yang tuntas dan memuaskan.

Dalam Portofolio Program Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI (2001: 6) disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Program Pendidikan Umum adalah program pendidikan yang berupaya mengembangkan kepribadian peserta didik secara utuh, sehingga mereka dapat hidup sebagai warga negarayang sehat jasmani, nafsani, dan ruhaninya, serta memiliki kemampuan intelektual, moral, dan emosional yang prima.

Dalam Portofolio tersebut ada dua persoalan mendasar yang perlu mendapat jawaban secara teoritis, yakni: (a) apa yang dimaksud dengan ‘kepribadian utuh’, dan (b) bagaimana mengembangkan ‘kepribadian utuh’.

Definisi pendidikan umum dalam portofolio ini secara tersirat mengungkapkan adanya tiga unsur manusia, yakni: jasmani, nafsani, dan ruhani; atau raga, jiwa, dan rûh. Dengan demikian kepribadian utuh berdasarkan portofolio di atas adalah pribadi yang sehat jasmaninya, nafsaninya, dan Ruhaninya. Jika sudah diperoleh jawaban tentang unsur manusia atau kepribadian utuh, baru kemudian dapat dicari implementasinya untuk mengembangkan kepribadian yang utuh itu. Masih berdasarkan portofolio di atas, bahwa untuk mengembangkan manusia utuh adalah dengan jalan mengembangkan kemampuan intelektual, moral, dan emosional yang prima.Sufisme Syaththariah

Page 2: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

memiliki konsep khusus tentang unsur-unsur manusia. Bagaimanakah konsep insân kâmil (manusia sempurna), menurut Sufisme Syaththariah?

Telaah atas unsur-unsur manusia diperlukan untuk mengetahui hakekat atau jatidiri manusia. Rahmat (2010: 170-180) dalam disertasinya mengungkapkan, bahwa perspektif Sufisme Syaththariah manusia terdiri dari 4 unsur, yakni: raga [jasmani], hati [qolbu], ruh, dan rasa [sirr atau dzauq] (Affandi, 2002: 19-25). Adanya unsur raga tidak perlu menunjukkan bukti, karena masing-masing manusia menyadarinya. Adanya unsur hati dibuktikan dengan adanya cinta dan benci; adanya ruh dibuktikan dengan keluar-masuknya nafas sehingga ada kehidupan; dan adanya unsur rasa (sirr, dzauq) dibuktikan dengan dirasakannya segala sesuatu oleh manusia, yang ujung-ujungnya adalah rasa bahagia dan sengsara, susah dan senang.

Uraian keempat unsur manusia dijelaskan oleh Affandi (2002: 19-25), juga Rahmat (2010: 170-180) sebagai berikut: a. Pertama, jasad. Keberadaannya di dunia dibatasi dengan umur. Wujud nafsu manusia tidak lain

adalah wujudnya jasad yang dijadikan Allâh, sengaja, hendak diuji. Karena wujud jasad ini sebagai ujian, maka oleh Allâh diberi hati (yakni hati sanubari, sebagai kebalikan dari hati nurani) yang wataknya persis seperti iblis, yakni abâ wastakbara(sombong, takabur) dan anâ khoerun minhu(aku lebih baik daripada khalifahNya); enggan, acuh, tidak peduli pada kebenaran Al-HaqNya. Wataknya melampaui batas karena memandang dirinya serba cukup (Innal insâna layatghô, ar-ro`âhustaghnâ). Jadi sejiwa dengan nafsu yang perbuatan-nya yajrî ilassû`i (selalu mengajak kepada keburukan, yang tidak sejalan dengan Kehendak Tuhan; sifatnya lâ ya`rifullah (tidak mengetahui Allâh); sama sekali tidak mengerti dengan KehendakNya; dzâtnya yamna`u minallâh (membantah Allâh).

b. Kedua,hatinurani. Letaknya tepat di tengah-tengah dada. Tandanya deg-deg. Disebut juga dengan hati jantung. Hati ini adalah wujud lembut yang dibangsakan gaib karena sama-sama tidak bisa dilihat oleh mata kepala, tetetapi bukan Al-Ghaib; bukan DiriNya Zat Tuhan Yang Ghaib. Qs. 33/Al Ahzab ayat 4 menerangkan bahwa Allâh tidak menjadikan dua hati dalam rongga dada seseorang: mâ ja`alallâhu li rojulin min qolbaini fî jaufihi (Dia sama sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongga dadanya). Maksudnya, dalam diri seseorang terdapat dua hati, tetapi yang berfungsi hanyalah salah satu di antara keduanya, yakni hatinurani atau hatisanubari. Hatinurani dijadikan Allâh dari cahaya, wataknya seperti para MalaikatNya yang rela patuh dan tunduk diperintah untuk sujud kepada wakilNya di bumi; memberlakukan dirinya kal mayyiti baina yadil ghosili (seperti mayat di tangan orang yang memandikannya).

Adapun hatisanubari (letaknya di bawah susu kiri kira-kira dua jari, serupa daging sak kiwir dengan bentuk daun semanggi dibelah dua), markas besarnya nafsu amarah dan nafsu lawwamah (wataknya kasar dan ingkar). Nafsu amarahwataknya senang berlebihan, royal, angah-angah, hura-hura, jor-joran, serakah, dengki, dendam, iri, membenci, tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati, senang memperturutkan syahwat, suka marah-marah, dan akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhannya; sedangkan nafsu lawwamahwataknya enggan, acuh, senang memuji diri, pamer, senang mencari `aib orang lain, senang menganiaya, dusta, dan akhirnya pura-pura tidak tahu kewajiban. Bila hatisanubari ini yang berfungsi, maka hatinurani-nya dengan sendirinya tidak akan berfungsi sama sekali. Jika ini (hati sanubari) yang berfungsi, dapat dimisalkan”Raja yang angkara murka, yang dengan kekuasaannya ia akan menjadikan akal pikirannya sebagai Perdana Menterinya yang selalu siap membela dan membantunya”.

Page 3: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

c. Ketiga roh, ada tujuh berlapis-lapis. Letaknya di dalam hatinurani. Roh adalah wujud yang lebih lembut dibandingkan dengan hatinurani, juga dibangsakan gaib karena sama-sama tidak bisa dilihat mata kepala. Tetapi bukan Al-Ghaib. Bukan Tuhan. Dia adalah Daya dan Kekuatan Tuhan yang dimasukkan ke dalam jasad manusia lalu menandai dengan keluar-masuknya nafas, menjadi hidup seperti kita di dunia sekarang ini.

d. Keempat, sirr(rasa). Letaknya di tengah-tengah roh yang paling halus. Rasa inilah yang kembali ke âkhirat. Rasa adalah dasar manusia. Rasa yang kini ketika berada di dunia telah terbiasa diperalat nafsu. Rasa yang kini untuk merasakan berbagai hal dan segala macam. Seperti untuk merasakan asin, pahit, getir, padang, gelap, enak dan tidak enak, sakit, bungah dan susah, jibeg, sakit hati, frustasi, emosi dan semua hal tentang lahir batin manusia. Semua dirasakan oleh rasa ini.

Keterangan Gambar:1 = Raga2 = Hati nurani2b = Hati sanubari2c = Akal3 = Roh4 = Rasa (sirr)

Gambar 9.1Empat Unsur Manusia

Kaum cendekiawan sering memasukkan akal sebagai salah satu unsur manusia di samping jasad, hati, dan ruh. Malah tidak pernah menyebutkan adanya unsur rasa (sirr atau dzauq). Padahal akal bukanlah unsur manusia melainkan pembantu setia hati. Jika hati yang berfungsi pada seseorang itu hati nurani, maka akal akan bekerja dengan baik memikirkan kebahagiaan, kemakmuran, dan kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya manusia dengan diniati li-ila`i kalimatillah (menjunjung tinggi kalimat Allah). Adapun jika hati yang berfungsi pada seseorang itu hati sanubari (nafsu), maka akal akan bekerja memikirkan kepentingan nafsu dan syahwatnya yang tidak pernah puas dan kenyang mengejar keuntungan-keuntungan duniawi (seperti kekayaan, jabatan, dan popularitas).

Oleh karena itu dalam Al-Quran tidak pernah ada ungkapan kata akal dalam bentuk kata benda (`aql) melainkan kata kerja (ta`qilun, ya`qilun), yang mengindikasikan bahwa akal bukanlah unsur manusia. Ungkapan yang banyak digunakan dalam Al-Quran adalah ta`qilun (=kalian berpikir) sebanyak 24 ayat dan ya`qilun (orang yang berpikir) sebanyak 22 ayat, yang kebanyakan diungkapkan dalam kalimat tanya (misal: apakah kalian berpikir?) dan ‘harapan’ (misal: mudah-mudahan kalian berpikir).

B. PROFIL INSÂN KÂMIL

Page 4: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

Insân kâmil adalah hamba Allâh yang mengamalkan Islam secara kâffah (total) dan maksimal, yakni memenuhi perintah Allâh dalam Qs. 2/Al-Baqarah ayat 208: Udkhulû fîs silmi kâffah.

Perintah “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya” ditujukan kepada orang-orang yang telah menyatakan dirinya beragama Islam. Artinya, orang yang sudah menyatakan beragama Islam haruslah masuk ke dalam Islam keseluruhannya, tidak sebagian-sebagian.

Menurut sufisme Syaththariah “memasuki Islam secara kâffah (total)” adalah dengan meng-Islamkan seluruh unsur manusia, yakni menjalankan syare`at dan hakekat. Allâh SWT kemudian mewanti-wanti “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan”. Maksudnya, syetan berkehendak agar manusia memasuki Islam ‘tidak’ secara kâffah (total), yakni cukup menjalankan syare`at saja atau hakekat saja. Kemudian ditegaskan bahwa “syetan itu musuh yang nyata bagi manusia”. Artinya, syetan itu (baik syetan dari bangsa jin atau syetan bangsa manusia) benar-benar sebagai musuh yang nyata membelokkan orang-orang Islam dari kehendak Tuhan.

Menurut sufisme Syaththariah, manusia terdiri dari empat unsur, yakni: raga, hati (hati sanubari atau hati nurani), roh, dan rasa. Islamnya raga adalah dengan menjalankan syare`at, sedangkan Islamnya hati, roh, dan rasa adalah dengan menjalankan hakekat.

Menurut Guru Mursyid, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah (kulit), air (tulang), api (daging), dan udara (darah). Hati terdiri dari dua jenis, yakni hati sanubari dan hati nurani. Kedua hati letaknya dalam dada manusia. Hati sanubari, letaknya dalam ati-ampela (dua jari di bawah rusuk kiri), adalah hati yang gelap gulita (tidak kenal Tuhan, berwatak bangsa hewan, dan sejalan dengan iblis). Adapun hati nurani, letaknya dalam hati-jantung (yang berbunyi deg-deg, di tengah-tengah dada), adalah hati yang memperoleh Cahaya Ilâhi (kenal Tuhan, berwatak seperti malaikat muqorrobun yang rela sujud/taat kepada Wakil-Nya Tuhan di bumi, yakni Rasûlullâh, dan selalu ingat Tuhan). Roh, letaknya dalam hati-nurani (artinya, hati-nurani merupakan bungkus roh), adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Adapun rasa (sirr), letaknya pada kedalaman roh yang ketujuh (menurut ilmu ini, roh terdiri dari tujuh lapis, dan lapis ketujuh – tempatnya unsur rasa – merupakan roh yang paling halus). Unsur rasa inilah yang merupakan jati-diri manusia (fitrah manusia) yang Dicipta Tuhan dari Jati-DiriNya (Fitrah-Nya), sebagaimana firmanNya dalam Qs. 30/Ar-Rum ayat 30: fithrotallâhil latî fathoron nâsa alaihâ.

Pada unsur rasa ini pula adanya lubang cahaya(minhâj) yang tembus kepada Tuhan, yakni lubang cahaya yang menghubungkan jati-diri manusia dengan Jati-Diri Tuhan, sebagaimana firmanNya dalam Qs. 5/Al-Maidah ayat 48: likulli ja’alnâ minkum syir`atan wa minhâjâ.

Hakekat manusia menurut Sufisme Syaththariah adalah unsur rasa-nya itu. Insân kâmil adalah manusia yang jati-dirinya kembali kepada Jati-Diri Tuhan (melalui lubang cahaya itu).

Tetapi untuk mencapai martabat rasa, yakni untuk dapat kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia, tidak ada jalan lain kecuali menjalankan Islam secara kâffah (total), yakni menjalankan syare`at dan hakekat.

Menurut Guru Mursyid, unsur manusia yang merupakan barang pinjaman (bukan jati-dirinya) harus kembali ke asalnya masing-masing. Cara mengembalikannya dan mengokohkan jati-dirinya adalah dengan menjalankan syare`at dan hakekat itu. Makanya, raga harus bosok (kembali ke asalnya masing-masing: kulit kembali menjadi tanah, tulang kembali menjadi air, daging kembali menjadi api, dan darah kembali menjadi udara), yakni dengan menjalankan syare`at (segala peribadatan yang dijalankan oleh raga, terutama Rukun Islam dan akhlaqul karimah); hati sanubari harus ditundukkan agar dapat dijadikan tunggangannya hati nurani, roh, dan rasa, sehingga hati adam (karena hati merupakan bungkus roh), yakni dengan menjalankan tarekat (hanya mengingat-ingat DiriNya Ilâhi

Page 5: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allâh); roh sirna (roh adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Karena barang pinjaman milik Tuhan, makanya roh sirna kembali kepada Tuhan), yakni dengan ngambahhakekat (merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan hanyalahDiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allâh); dan yang kekal-abadi(yang tertinggal) hanyalah jati-dirinya, rasa-nya (sirr-nya), yakni mencapai ma`rifat (ma`rifat bi Dzâtillâh), yakni merasa-rasakan bahwa Yang Benar-benar Wujud hanyalah DiriNya Ilâhi (bukan sekedar ma`rifat dalam pengertian mengetahui Asma, Sifat, dan Af`al Tuhan, yang bisa dijangkau dengan akal-pikiran). Pandangan Sufisme Syaththariah ini didasarkan pada firmanNya dalam Qs. 55/Ar-Rahman ayat 26-27: kullu man alaihâ fânin, wa yabqô wajhu robbika dzul jalâli wal ikrôm (=Semua yang ada di bumi itu (termasuk jiwa-raga manusia) akan binasa. Dan tetap kekal Dzât Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan).

Jati-diri manusia karena berasal dari Jati-Diri Tuhan, maka akan tetap Kekal, tidak akan binasa. Hanya saja kekalnya jati-diri manusia ada dua macam: pertama, yang kembali dan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan senang dan bahagia selama-lamanya di sisi Raja Diraja Yang Berkuasa (bagi manusia yang matinya selamat); dan kedua, yang kembali ke tempat sesat yang Tuhan sediakan dalam keadaan susah dan sengsara selama-lamanya, yakni masuk neraka (bagi manusia yang matinya sesat).

Menurut Sufisme Syaththariah manusia jenis pertama ini (yang mati selamat) sangat sedikit, sedangkan jenis kedua sangat banyak, sesuai firman Allâh dalam Al-Quran: fa qolîlan mâ yu`minûn =maka sedikit sekali mereka yang beriman (Qs. 2/Al-Baqarah: 88; 69/Al-Haqqah: 41), Innâ akromakun `indallâhi atqôkum=Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allâh adalah orang yang paling bertakwa (Qs. 40/Al-Hujurat: 13), padahal untuk mencapai ketakwaan terlebih dahulu harus beriman; dan ... illâ ‘ibâdaka minhumul mukhlashîn=kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka, yang tidak akan tersentuh oleh iblis (Qs. 15/Al-Hijr: 40). Jika orang yang beriman saja sedikit, maka terlebih-lebih lagi mereka yang bertakwa, dan terlebih-lebih lagi mereka yang ikhlas, tentu akan jauh lebih sedikit lagi; demikian juga asy-Syakûr (manusia yang bersyukur) hanya sedikit, sebagaimana firmanNya qolîlan mâ tasykurûn=hanya sedikit manusia yang bersyukur (Qs. 7/Al-A`raf: 10; 23/Al-Mu`minun: 78; 32/As-Sajdah: 9; 67/al-Mulk: 23). Manusia yang bersyukur adalah manusia yang mensyukuri Tuhan karena hatinya dimaukan Tuhan untuk berguru kepada WakilNya Tuhan di bumi dan dimaukan untuk menjalankan perintah-perintahnya.

Dengan menggunakan 7 tangga nafsu (amarah, lawwâmah, mulhimah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, dan kâmilah), maka insân kâmil – dilihat dari tingkatan nafsunya – adalah hamba Allâh yang mukhlish dan telah mencapai nafsu kâmilah (nafsu yang sempurna). Ke-7 tangga nafsu sebagai berikut:

1) Nafsu Amarah = Sombong, iri-dengki, dendam, nuruti nafsu, serakah, jor-joran, senang marah, pembenci, tidak tahu kewajiban, akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhan

2) Nafsu Lawwâmah = Enggan, cuek, senang memuji diri, pamer, dusta, mencari `aib orang, senang menyakiti, dan pura-pura tidak tahu kewajiban

3) Nafsu Mulhimah = Suka memberi, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, taubat, sabar, tahan menghadapi kesulitan, dan siap menanggung betapa

Page 6: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

beratnya menjalankan kewajiban

4) Nafsu Muthmainnah

=

Senang beribadah, senang sodaqoh, mensyukuri nikmat dengan memperbanyak amal, tawakkal, ridho dengan ketentuan Allâh, dan takut kepada Allâh

5) Nafsu Rodhiyah = Pribadi yang mulia, zuhud, lkhlas, wira`i, riyadhah, dan menepati janji

6) Nafsu Mardhiyah = Bagusnya budi pekerti, bersih dari segala dosa makhluk, rela menghilangkan kegelapannya makhluk, dan senang mengajak serta memberi pepadang kepada roh-nya makhluk

7) Nafsu Kâmilah = `Ilmul-yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn

Hamba Allâh yang mukhlish adalah hamba Allâh yang telah melampaui tingkatan muttaqîn (bertakwa). Hamba ini selain memiliki ciri-ciri muttaqîn, juga kalau berkorban ia tidak merasa telah berkorban, kalau berinfak tidak merasa telah berinfak, kalau ber-mujâhadah tidak merasa telah melakukan mujâhadah ; diuji dengan senang biasa-biasa saja (tidak merasakan senang), diuji dengan susah biasa-biasa juga (tidak merasakan susah). Bagi mereka yang mukhlish tidak ada bedanya dikayakan atau dimiskinkan, disehatkan atau disakitkan, dan lain sebagainya. Pokoknya ia sudah benar-benar seperti malaikatul muqorrobun yang rela sujud tersungkur kal mayyiti baena yadil ghosili (seperti mayat yang rela disucikan oleh yang berhak mensucikannya), yakni tunduk patuh sepenuhnya kepada WakilNya Tuhan di bumi (Guru yang hak dan sah). Sebagaimana para malaikatNya Allâh, hamba Allâh yang mukhlish telah benar-benar membunuh nafsunya sendiri hingga tunduk dan patuh dijadikan tunggangannya hati-nurani, roh, dan rasa untuk pulang kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat.

Adapun orang yang telah mencapai nafsu kâmilah, mereka mempunyai `ilmul yaqîn, `ainul yaqîn, bahkan haqqul yaqîn. Tetapi mereka yang telah mencapai insân kâmil tidak ‘ngaku’memiliki ilmu tersebut. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa, tetapi ditahukan dan diberi ilmu oleh Yang Maha Tahu dan Yang Maha Berilmu.

Untuk mencapai martabat insân kâmil, maka nafsu kita seharusnya berada di level-7 (nafsu kâmilah), tetapi jangan ‘diaku’. Jangan ‘diaku’ punya `ilmul-yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn. Kalau ‘diaku’ tetap saja nafsu yang dalam Qs. 12/Yusuf ayat 53 disebutkan sebagai: innan nafsa la ammarôtun bissû`i (=karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan). Artinya, nafsu kâmilah sekalipun akan dinilai Tuhan sebagai nafsu yang buruk (yang bisa mengantarkannya ke neraka); illâ mâ rohima robbî (kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Nafsu yang dirahmati Tuhan adalah nafsu yang bagus-bagus (mulhimah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, dan kâmilah) sebagai proses taroqi atas perintahnya Guru Wasithah, bukannya yang di-’aku’sebagai prestasi riyalat,riyadhoh dan mujâhadah-nya.

Tetapi dengan welas asih dan pertolongan Allâh, untuk dapat kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat – asalkan me-nafi-kan daya, kekuatan, dan wujud diri dan dunianya serta hanya meng-itsbat-kan DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib dalam rasa hatinya – maka dengan nafsu muthmainnah saja (level-4) yang disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah sudah cukup mengantarkan jati-dirinya kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia. Tingkatan nafsu

Page 7: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

kâmilah dapat dicapai setelah dirinya meninggalkan dunia yang fana` ini. Dalam Qs. 89/Al-Fajr ayat 27-30 Allah SWT berfirman:

Wahai nafsu muthmainnah (=jiwa yang tenang). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (=nafsu rodhiyah) lagi diridhoi-Nya (=nafsu mardhiyah). Maka masuklah ke dalam (jama'ah) hamba-hamba-Ku (=nafsu kâmilah); dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Qs. 89/Al-Fajr: 27-30)

Misalkan keberagamaan kita berada pada kondisi senang beribadah, suka memberi, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, taubat (selalu merasakan banyak dosa dan kesalahan sehingga terus-menerus bertobat), sabar dan tahan menghadapi kesulitan, serta siap menanggung betapa beratnya menjalankan kewajiban. Artinya tingkatan nafsunya berada di level-3 (nafsu mulhimah). Jika ingin bertemu dengan Tuhan, ingin dipanggil olehNya untuk kembali kepadaNya (karena innâ lilâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn =kita berasal dari Allâh dan kembali kepadaNya), maka kita harus meningkatkan keberagamaan, serendah-rendahnya dalam kondisi: senang beribadah, senang beramal sosial, senang shodaqoh, mensyukuri nikmat dengan memperbanyak amal, tawakkal (menyerahkan segala urusan/mewakilkannya kepada Allâh, sehingga nafsu dan akal kita tidak diperankan lagi), ridho dengan ketentuan Allâh (diuji dengan yang susah ataupun senang tetap ridho), dan takut kepada Allâh. Atau harus naik ke level-4 (nafsu muthmainnah). Insân kâmil adalah pribadi yang berkembang keempat unsur manusia-nya (raga, hati, roh, dan rasa) secara sempurna sesuai dengan Kehendak Tuhan, yang disandarkan atas perintah Guru, agar jati-dirinya yang berasal dari Tuhan dapat kembali lagi kepada Tuhan. Bagaimanakah mengembangkannya?

Syarat utama insân kâmil adalahraja dalam dirinya adalah hati nurani, bukan hati sanubari. Jika rajanya hati nurani maka raga akan mengamalkan syareat, seperti membaca dua kalimat syahâdat, mengerjakan shalat lima waktu, shalat malam dan shalat-shalat yang menyertai shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan dan puasa-puasa sunat, membayar kifarat, shodaqoh jariyyah, zakat, infak, dan ibadah harta lainnya, hidup guyub rukun dengan sesama, hingga peduli terhadap lingkungan, yang pada pokoknya adalah semua peribadatan yang dilakukan oleh raga sebagaimana Dawuh Guru. Kemudian hati menjalankan tarekat, yakni hanya mengingat-ingat DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya Hû, yang dibisikkan oleh Guru Wasithah saat inisiasi, pemberkatan).

Lalu roh ngambah (mencapai) hakekat, yakni merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan hanyalah DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya Hû). Terakhir, rasa (sirr)mencapai ma`rifat, yakni merasa-rasakan bahwa yang benar-benar Wujud hanyalah DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib Yang Wajib WujudNya, Allâh AsmaNya (Isi-Nya Hû ). Orang yang telah mencapai martabat rasa ini akan mengalami fana` fillâh (leburnya aku kepada Sang Maha Aku). Prosesnya, mula-mula fana` af`al (perbuatan), kemudian fana` sifat, dan terakhir fana` zat. Yang terakhir ini hanya dialami oleh para Rasûl/Nabi/Guru Wasithah dan para Wali. Orang-orang mu`min akan mengalami fana` zat saat kematian.

Di dunia ini orang-orang mu`min hanya mencapai fana` af`al dan fana` sifat. Mereka tidak akan kuat mencapai fana` Zat karena pasti tidak mau kembali lagi ke dunia. Tetapi di akhirat, semua orang yang mati selamat akan mencapai fana` zat (mencapai martabat insân kâmil). Jika

Page 8: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

dihubungkan dengan 7 tangga nafsu, maka start awal untuk menuju insân kâmil haruslah menjadi hamba Allâh yang bertakwa dan telah mencapai tangga nafsu muthmainnah.

Keadaan keempat unsur manusia (raga, hati, roh, dan rasa) pada Insân Kâmil dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan Gambar:

1 = Raga 2c = Akal2 = Hati nurani 3 = Roh2b

= Hati sanubari

4 = Rasa (sirr)

Ke-4 unsur manusia (raga, hati nurani, roh, dan rasa) berfungsi menjalankan Kehendak Ilâhi. Hati nurani bercahaya (menjadi rajanya), sehingga raga menjalankan syareat, hati menjalankan tarekat, roh ngambah hakekat, dan rasa mencapai ma`rifat; hati sanubari ditundukkan sehingga tidak berfungsi.

Bagaikan malaikat muqorrobun yang rela sujud (taat) kepada Guru Wasithah). Akalnya digunakan untuk mengelola garapan dunia yang bermanfaat bagi lingkungannya, demi subhânaka. Nafsunya mencapai nafsu kâmilah, karena kesungguhannya dalam ber-jihâdun-nafsi, atas perintahnya Guru.

Gambar 9.2Sosok Insân Kâmil

C. PROFIL MANUSIA SESAT DAN IN BETWEEN1. Sosok Manusia SesatJika hati sanubari yang berkuasa, maka ia akan memiliki kepribadian yang pecah. Ia bagaikan

raja yang angkara murka. Ia jadikan akal pikirannya sebagai perdana menterinya yang siap memikirkan terpenuhinya kebutuhan nafsu dan syahwatnya. Ia senang ‘ngaku’ (ngaku pintarnya, `alim-nya, kuatnya, kayanya, bijaknya, prestasinya, dan sebagainya). Hidupnya digunakan untuk memperkaya diri, bermegah-megahan, jor-joran, pamer, bangga diri, senang pujian, menyukai popularitas, gila hormat, merasa diri lebih baik, dan mengikuti watak bangsa hewan. Hidupnya sejalan dengan iblis yang abâ was takbaro (=sombong dan takabur) dan anâ khoirun minhu (=aku lebih baik daripadanya; yakni merasakan dirinya lebih baik), sebagai antitesa malaikat yang rela sujud (kal mayyiti baena yadil ghôsili =bagaikan mayat yang manut [taat, patuh] dîmandikan oleh yang berhak mensucikannya), serta menyimpang dari jalan lurusNya Tuhan. Hati nurani-nya benar-benar padam, sehingga roh dan rasa (sirr)-nya sama sekali tidak berfungsi.

Walaupun seseorang menyatakan beragama Islam dan menjalankan peribadatan, tetapi jika rajanya hati sanubari, maka segala peribadatannya tidak berdampak sama sekali. Mungkin saja ia menjalankan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, tetapi ia tetap melakukan ma`siat dan kemunkaran. Masalah halal-haram perolehan harta tidak dîndahkannya. Jika diuji dengan hal-hal yang menyenangkan nafsu dan syahwatnya, ia berpaling; jika dikayakan amat kikir. Hak-hak Allâh, hak-hak RasûlNya, hak-hak kerabat Rasûl, dan hak-hak manusia (kifarat, shodaqoh jariyah, zakat, khumus, infak, dan ibadah harta lainnya) tidak

Page 9: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

dibayarkannya; atau dibayarkan secara asal-asalan, atau dengan niat pamer. Korupsi pun kalau ada kesempatan dilakukannya. Tetapi jika diuji dengan hal-hal yang menyusahkan, ia banyak mengeluh, putus asa, dan banyak berdo`a (memohon dihilangkan kesusahannya).

Keterangan Gambar:

1 = Raga 2c = Akal2 = Hati nurani 3 = Roh2b = Hati

sanubari4 = Rasa

(sirr)

Ke-4 unsur manusia (raga, hati nurani, roh, dan rasa) tidak berfungsi. Hati sanubari menyala (menjadi rajanya). Hati nurani gelap gulita dan dikuasai hati sanubari. Akibatnya, raga hanya menjalankan kehendak nafsu dan syahwat (yang sejalan dengan kehendak iblis). Karena hati nuraninya tertutupi, maka roh dan rasa tidak berfungsi.

Ibarat raja yang angkara murka, akal pikiran dijadikan perdana menterinya yang selalu memikirkan kepentingan nafsu dan syahwatnya: takabur, merasa lebih baik, senang ngaku, memperkaya diri, bermegah-megahan, jor-joran, pamer, mengikuti watak bangsa hewan.

Gambar 9.3Sosok Manusia sesat

Jika dihubungkan dengan 7 tangga nafsu, manusia sesat berada pada tangga nafsu pertama dan kedua, nafsu amarah (senang berlebihan, royal, angah-angah, hura-hura, jor-joran, serakah, dengki, dendam, iri, membenci, bodoh tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati, senang nuruti syahwat, suka marah-marah, dan akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhannya) dan nafsu lawwâmah (enggan, cuek, senang memuji diri, pamer, senang mencari aibnya orang lain, senang menganiaya, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban). Bisa juga berada pada nafsu pada level 3 ke atas tapi diakunya, diaku sebagai prestasi ibadahnya, diaku sebagai prestasi riyalat, riyadhoh dan mujâhadah-nya.

Perspektif Sufisme Syaththariah, orang yang telah mencapai nafsu yang baik-baik (nafsu: mulhimmah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, bahkan kâmilah) jika ‘diaku’, bukannya dirasakan sebagai fadhl (karunia) dan rahmat dari Allâh, dan tidak disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah, maka tetap saja nafsu yang dikategorikan “buruk” sebagaimana disabdakan Nabi Yusuf As dalam Qs. 12/Yusuf ayat 53. Dalam Qs. 15/Al Hijr ayat 43-44 ditegaskan:

Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu (sesuai adanya 7-macam nafsu). Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.

Guru Mursyid menegaskan, bahwa 7 pintu jahannam itu tidak lain adalah 7 macam nafsu manusia itu sendiri (amarah, lawwâmah, mulhimah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, dan

Page 10: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

kâmilah) yang wataknya memang ada kerja sama dengan syetan. Di sinilah letak pentingnya kehati-hatian, jangan sampai ada ’penyakit hati’, yakni berkuasanya hati-sanubari, karena nafsu yang tampak di hadapan manusia baik-baik pun di sisi Allâh menjadi buruk. Di sini pula kelihaian iblis menciptakan pandangan yang ’baik’ pada manusia (Qs. 15/Al-Hijr: 39), padahal tidak sejalan dengan Kehendak Tuhan.

2. Sosok Manusia in betweenTipe manusia in between menghendaki hati nuraninya sebagai raja, tetapi tidak mampu

berzikir (karena tidak kenal Tuhan). Akibatnya, hati sanubari-nya membayang-bayanginya. Ia berusaha mengenali DiriNya Yang Al-Ghaib tetapi tidak kesampaian (tidak mengenali ZatTuhan). Yang ia temukan hanyalah Sifat, Asma dan Af`al Tuhan. Makanya hati sanubarinya selalu membayang-bayanginya yang setiap saat selalu siap melakukan kudeta terhadap hati-nurani.

Orang yang memiliki tipe kepribadian ini berusaha memerangi nafsu dan syahwatnya (melakukan jihâd akbar), memerangi hati sanubarinya, serta berusaha keras membebaskan diri dari nafsu amarah dan lawwâmah. Raganya menjalankan syareat (sebagaimana yang ia pahami dari gurunya atau dari kitâb-kitâb), bersungguh-sungguh dalam beribadah, serta berakhlak mulia dan mengikis akhlak-akhlak tercela. Kualitas nafsunya telah mencapai nafsu yang baik-baik (level III-VII: mulhimmah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, bahkan nafsu kâmilah). Tipe manusia ini mirip dengan apa yang difirmankan Allâh sebagai orang yang menduga-duga tentang Zat Tuhan Yang Al-Ghaib dari tempat yang jauh. Qs. 34/Saba` ayat 51-53 menjelaskan tentang perilaku wadyabala iblis yang kerjanya menangkap manusia yang tidak mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib saat kematiannya untuk disiksa di tempat yang sesat.

Keempat ayat ini menjelaskan tentang terperanjatnya orang-orang yang ”merasa beriman” saat kematiannya, karena dibawa oleh wadyabala iblis untuk disiksa di tempat sesat. Mengapa mereka terperanjat, kaget, dan tidak menyangka sama sekali kalau mereka malah dibawa oleh wadyabala iblis untuk disiksa di tempat sesat; padahal ketika di dunia mereka merasa telah beriman (dan tentunya merasa telah menjalankan perintah-perintah agama)?! Kalaulah di dunianya tukang ma`siat dan pelaku kemunkaran, tentu mereka tidak akan terperanjat! Mereka protes, karena mereka merasa telah beriman. Protes mereka ditolak oleh Tuhan Zat Yang Al-Ghaib. Allâh menyanggah pengakuan keimanan mereka, karena îmannya tidak bi ma`rifatin wa shidqin = tidak ma`rifat dan tidak membenarkannya; yakni ketika masih hidup di dunia mereka tidak weruh (tidak syahâdat, tidak pernah menyaksikan) DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib. Mereka hanya tahu Sifat, Asma, dan Af`al Tuhan, tetapi sama sekali tidak tahu Zat-Nya. Karena gengsi bertanya kepada Ahli Zikir, maka bagaimana mungkin mereka bisa membenarkannya bahwa Ahli Zikir itu sebagai gegantinya Nabi Muhammad Saw!

Tetapi mungkin juga di antara mereka ada orang-orang yang benar-benar ingin mengenali DiriNya Zat Yang Al-Ghaib itu. Mereka pun berusaha memenuhi perintah Allâh: fas`alû ahladz dzikri in kuntum lâ ta`lamûn =maka bertanya-lah kepada ahli zikir jika kamu tidak tahu. Tetapi mereka tidak berjumpa dengan ahladz dzikri yang dicarinya itu.

Mereka pun selama hidupnya di dunia, selain berusaha mencari untuk mengenali DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib dan ahladz dzikri, juga memerangi nafsu dan watak akunya, meninggalkan dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus, selalu bertaubat, menjalankan peribadatan dengan sungguh-sungguh, selalu menjalankan ibadah harta, berakhlak mulia, dan peduli lingkungannya (masyarakatnya, bangsanya, negaranya) sesuai kemampuannya masing-masing. Orang

Page 11: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

seperti ini ada harapan mendapat pertolongan Allâh, yang dalam perspektif Sufisme Syaththariah akan dikeluarkan dari tempat sesat oleh RasûlNya/Guru Wasithah saat disiksa oleh wadyabala iblis, atau di-talqin zikir beberapa saat menjelang kematiannya.

Manusia in between dapat dîbaratkan seorang buta yang ingin menuju sebuah taman, tetapi malah berjalan di tepi jurang curam dan berbahaya. Orang buta itu bisa jatuh terperosok dan tinggal selama-lamanya di kedalaman jurang yang curam dan berbahaya itu; dan bisa juga dikeluarkan oleh sang penolong ke tempat lainnya yang tidak berbahaya. Tetapi mungkin juga sang penolong menyelamatkan-nya ketika sang buta itu berada di tepi atau beberapa cm dari tepi jurang yang curam dan berbahaya itu; bahkan bisa saja sang penolong itu mengantarkannya hingga sampai ke sebuah taman yang memang dikehendakinya.

Manusia in between dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan Gambar:

1 = Raga 2c = Akal2 = Hati nurani 3 = Roh2b = Hati sanubari 4 = Rasa (sirr)

Hati nurani diusahakan menjadi raja, tetapi karena tidak mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib maka hati sanubari selalu membayang-bayangi-nya, yang setiap saat selalu siap melakukan kudeta.

Raga ditundukkan untuk menjalankan syareat, dan hati nurani berusaha mengenali Zat Tuhan Yang Al-Ghaib dengan berusaha mencari ahladz dzikri, tetapi tidak ketemu. Akibatnya, roh dan rasa sama sekali tidak berfungsi. Karena itu akalnya kadang-kadang dikendalikan oleh hati nurani dan kadang-kadang oleh hati sanubari.

Gambar 9.4Sosok Manusia in between

D. TUJUHTANGGA NAFSU MENUJU INSÂN KÂMILAda dua macam tahapan yang perlu dikenali murid untuk mencapai martabat insân kâmil,

pertama, tingkat-tingkat murid Syaththariah untuk mencapai martabat insân kâmil atau asy-syaththôr; dan kedua, 7 tangga nafsu menuju nafsu kâmilah, juga untuk mencapai martabat insân kâmil.

1. Tingkat-tingkat murid Jalan pemrosesan diri untuk mencapai martabat asy-syaththôr atau insân kâmil melalui tiga

tingkatan, yakni:

Tingkat pertama,mubtadi.Padatingkat ini murid senang melakukan amal perbutan yang mudah dikerjakan oleh tingkah lakunya jasad, yakni: memperbanyak shalat (shalat wajib, shalat qodho, dan shalat sunat serta shalat yang tidak disebutkan wajib atau sunatnya yang menyertai shalat wajib dan shalat malam, termasuk shalat-shalat sunat lainnya), memperbanyak puasa, memperbanyak membaca Al-Quran, dan amal-amal perbuatan lain sebagaimana yang banyak disabdakan oleh hadits Nabi Muhammad SAW hingga memindahkan sesuatu yang membahayakan orang lain dari jalan (misalnya, memindahkan duri dari jalan).

Tingkat kedua, mutawasith. Pada tingkat ini murid senang bersama-sama saudara setujuan untuk senantiasa mujâhadah (memerangi nafsunya sendiri-sendiri) yang harus disertai dengan: tahsinil akhlaq, tazkiyatun nafs, tashfiyatul qolb, dan ahli bagus.

Page 12: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

Tahsinil akhlaq adalah bagusnya budi pekerti, yakni seseorang yang hidupnya tidak mementingkan diri sendiri, kelompoknya dan golongannya; senang meringankan beban orang lain; menolong sesama yang membutuhkan pertolongan; mempunyai tingkat akhlak yang layak diteladani; serta mengetahui bala tentaranya nafsu amarah dan lawwâmah untuk tidak dibiarkan hidup subur menguasai diri pribadi, dan sebagainya.

Tazkiyatun-nafs adalah sucinya jiwa raga, yakni manakala apa saja yang dimakan adalah makanan yang halal, juga yang disandang dan ditempati dari harta yang halal. Oleh karena itu sejak dari zaman para Nabi dan Wali kekasih Allâh, para shalihin dan para ‘arifin, mereka adalah pekerja-pekerja keras, manusia-manusia ukril, banyak inisiatif, kreatif, ulet, tahan uji, tidak kenal putus asa dan tidak kecil hati; hidup penuh harap dan bersemangat dalam mengelola garapan dunia supaya dapat dijadikan pancatan yang kokoh bagi cita-cita mendekat kepada-Nya hingga sampai dengan selamat dan bahagia bertemu lagi denganNya.

Tashfiyatul-qolb adalah beningnya hati, yakni hati yang tidak pernah digunakan untuk mengingat-ingat segala hal yang tidak diridhoi Allâh SWT. Keadaan demikian bisa terjadi karena ditarik oleh fadhl-Nya Allâh atas kesungguhannya dalam mendidik dan melatih diri pribadi untuk itu.

Kemudian, menjadi ahli bagus, yakni senang melakukan kegiatan bersama dalam kebersamaan dengan sesama saudara setujuan guna meramaikan syiarnya agama Allâh, dengan membangun semua hal yang besar guna dan faedahnya bagi kehidupan ummat manusia yang sejalan dengan kehendak Allâh dan Rasûl-Nya (seperti mendirikan dan meramaikan majelis ta`lim dan lembaga pendidikan).

Tingkat ketiga, asy-syaththôr atau insân kâmil. Inilah tingkat tertinggi, tingkatnya orang-orang yang muhibbah ilallâh (=orang-orang yang mencintai Allâh). Merekalah asy-syaththôr atau insân kâmil. Meski pada lahirnya tetap sebagaimana layaknya manusia hidup di dunia, namun semua hal tentang dunia telah keluar dari dalam hatinya. Mereka adalah orang-orang yang maqom-nya tetap berada dalam sabda Nabi Muhammad SAW Mûtu qobla an tamûtu, yakni senantiasa mendidik diri merasakan betapa nikmatnya mati sebelum mati; dan karena mati yang selamat adalah kembali kepada Tuhan, maka dalam rasa hatinya yang dirasakan lezat dan nikmat adalah mengingat-ingat dan menghayati Isi-Nya Hû itu.

2. Tujuh Tangga Nafsu Untuk mencapai martabat insân kâmil, maka tangga-tangga nafsu itu (perhatikan kembali 7-

tangga nafsu) harus didaki sebagai berikut:Dua tangga nafsu paling bawah (amarah dan lawamah) wataknya buruk-buruk. Watak ini

semuanya harus dibuang karena akan menjadi penghalang terbesar dalam perjalanan hati nurani, roh, dan rasa menuju kepadaNya. Tentu saja untuk menghilangkan watak-watak ini amat-sangat berat. Orang yang dipandang taat beragama pun kadang-kadang masih memelihara watak-watak ini: senang memuji diri, mencari `aib orang, senang menyakiti orang, cuek, pura-pura tidak tahu kewajiban, dusta, senang marah, membenci, dengki, nuruti nafsu, serakah, dan sombong. Karena itulah diperlukan jihâd akbar.

Tangga nafsu ketiga (mulhimmah) wataknya sudah mulai bagus. Nafsu tangga pertama dan kedua sudah terkikis. Tetapi untuk berjalan menuju Tuhan belumlah cukup; masih harus ditingkatkan ke tangga nafsu keempat (muthmainnah). Orang yang berada pada tangga nafsu ketiga ini harus sudah mulai belajar mûtû qobla an tamûtû (belajar mati sebelum datang kematian), yakni harus dengan rela itba` kepada wakil-Nya Tuhan di bumi (Guru Wasithah). Pada tahap ini harus belajar memaksa jiwa-raga untuk dikendalikan oleh hati nurani, roh, dan rasa; memaksa menjalankan shalat sebanyak-banyaknya, memperbanyak puasa, memperbanyak ibadah harta (pada setiap bulan membayar kifarat dan shodaqoh jariyah, pada setiap tahun membayar zakat harta dan zakat fithrah, malah juga membayar infaq dan ibadah-ibadah harta lainnya), memperbanyak membaca Al-Quran, berkiprah di masyarakat bagi kemajuan lingkungan demi Subhânaka (Memaha-sucikan Allâh), yang dilandasi oleh

Page 13: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

10 dasar agama (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal `alallâh, mulazimatu dzikr, tawajjuh ilallâhi bilkulliyâti, muroqobah, dan ridho), menghindari 4 bencana amal (takabbur, ujub, riya, dan sum`ah), serta selalu memohon untuk dihindarkan dari fitnahnya bangsa jin, bangsa manusia, dan bangsa syetan seluruhnya; juga yang tidak kalah pentingnya harus disandarkan atas ketaatan kepada Guru Wasithah. Oleh karena itulah jihâd akbar harus lebih diperkuat. Tahap ini sama dengan tingkat mubtadi pada tingkatan murid di atas.

Jika Tuhan selalu dirasakan hadir (karena banyak berzikir), ibadah-ibadah yang banyak sudah dirasakan ringan, ibadah-ibadah harta dan ibadah sosial sebesar apa pun sudah tidak dirasakan telah berkorban, 10 dasar agama sudah mempribadi, dan 4 bencana amal sudah sangat disadari dan selalu dihindarinya, dengan selalu pasrah bongkokan kepada perintahnya Guru Wasithah, berarti orang ini sudah berada pada tangga nafsu keempat (muthmainnah). Tahap ini sama dengan tingkat mutawasith pada tingkatan di atas.

Jika kondisi sebagaimana pada nafsu muthmainnah bertahan secara istiqomah, kemudian menjalankan berbagai peribadatan dan berkorban sudah sama sekali tidak dirasakan lagi telah beribadah dan berkorban, benar-benar ridho dengan taqdir Allâh (tidak ada bedanya dikayakan atau dimiskinkan, disehatkan atau disakitkan, dan ridho dengan musibah yang menimpanya), sudah seperti malaikatul muqorrobinkal mayyiti baena yadil ghôsili (bagai mayat yang rela dîmandikan oleh orang yang berhak mensucikan), yakni rela sujud tersungkur (pasrah bongkokan) kepada Guru Wasithah, berarti mereka telah mencapai nafsu rodhiyah, mardhiyah, bahkan kâmilah. Mereka inilah yang dalam tingkatan murid di atas disebut asy-syaththôr atau insân kâmil.

E. RENUNGANKisah Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS, terdapat dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat

35-47 dan Surat Maryam ayat 16-34. Keluarga Imran dikisahkan dan dijadikan nama salah satu surat dalam Al-Quran karena keteladanannya dalam beragama. Ibunya Maryam bersuamikan Imran adalah saudara ipar Nabi Zakariya AS. Ia seorang perempuan yang mandul, tapi ia tidak jemu-jemunya berikhtiar dan berdoa memohon dikarunia anak. Dengan merendahkan diri dia beribadah, berzikir, berdoa, dan bernadzar kepada Allah bila permohonannya dikalbulkan, dia akan menghibahkan anaknya sebagai pelayan, penjaga, dan pemelihara Baitul Maqdis; dan sesekali tidak akan mengambil manfaat dari anaknya untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Di saat usianya sudah tidak muda lagi doanya terkabul. Istri Imran mengandung. Ia bersama suami mulai merancang apa yang akan diberikan kepada bayi yang akan datang itu. Jika mereka sedang duduk berduaan tidak ada yang diperbincangkan selain soal bayi yang akan dilahirkan. Suasana suram sedih yang selalu meliputi rumah tangga Imran berbalik menjadi riang gembira, wajah sepasang suami isteri Imran menjadi berseri-seri tanda suka cita dan bahagia dan rasa putus asa yang mencekam hati mereka berdua berbalik menjadi rasa penuh harapan akan hari kemudian yang baik dan cemerlang. Akan tetapi manusia hanya merencanakan sedangkan Tuhanlah yang menentukan. Imran meninggal dunia sebelum bayi dilahirkan. Setelah penungguan yang panjang tiba pula saatnya janda istri Imran untuk melahirkan. Semula tentu ada rasa kecewa karena bayi yang lahir itu seorang perempuan, padahal ia bernadzar untuk dihibahkan kepada Baitul Maqdis (pelayan Rumah Suci biasanya laki-laki). Ia pun bernadah kepada Tuhannya,

Page 14: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

"Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan seorang puteri, sedangkan aku bernadzar akan menyerahkan seorang putera yang lebih layak menjadi pelayan dan pengurus Baitul Maqdis.” Tuhan tentu punya rencana lain. Melalui Kuasa Tuhan janda istri Imran itu menyerahkan pemeliharaan dan pendidikan bagi puterinya itu kepada iparnya Nabi Zakariya AS.

Tindakan pertama yang dilakukan Zakariya untuk menjaga keselamatan Maryam ialah menjauhkannya dari keramaian. Maryam ditempatkan di sebuah kamar di atas loteng Baitul Maqdis yang cukup tinggi yang dapat dicapai dengan menggunakan sebuah tangga. Nabi Zakaria pun mencurahkan rasa cinta dan kasih sayangnya, karena istri Nabi Zakariya pun belum pernah mengandung. Tiap hari beliau datang menjenguknya, melihat keadaannya, mengurus keperluannya, dan menyediakan segala sesuatu yang membawa ketenangan dan kegembiraan baginya.

Rasa cinta dan kasih sayang Nabi Zakariya terhadap Maryam meningkat menjadi rasa hormat dan takzim karena Maryam menunjukkan kesalehan yang luar biasa. Maryam ternyata bukanlah gadis biasa sebagaimana gadis-gadis yang lain, tetapi ia adalah wanita pilihan Tuhan. Pada suatu hari Nabi Zakariya mendapati Maryam lagi berada di mihrabnya tenggelam dalam ibadah, berzikir dan bersujud kepada Allah. Beliau terperanjat ketika pandangan matanya menangkap hidangan makanan berupa buah-buahan musim panas terletak di depan Maryam yang lagi bersujud. Beliau bertanya dalam hatinya, dari manakah gerangan buah-buahan itu datang, padahal sekarang musim dingin. Ketika ditanyakan kepadanya, Maryam menjawab: "Inilah peberian Allah kepadaku tanpa aku berusaha atau minta; dan mengapa engkau merasa heran dan takjub? Bukankah Allah Maha Kuasa?" Demikianlah Allah telah memberikan tanda pertamanya sebagai mukjizat bagi Maryam, gadis suci, manusia sempurna (insan kamil) yang dipersiapkan oleh-Nya untuk melahirkan seorang Nabi Besar, Isa Al-Masih ibn Maryam. Pada peristiwa ini pun lagi-lagi Maryam dijadikan fenomena kebesaran Tuhan. Maryam melahirkan Isa Al-Masih tanpa suami dan tanpa sentuhan laki-laki. (disadur dari Media-Islam.or.id, 2012 & Wikipedia.or.id, 2015).

Coba baca dan renungkan Qs. 3/Ali Imran ayat 35-37:

(Ingatlah) ketika isteri 'Imran berdoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (35) Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun berdoa: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan

Page 15: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewadalah satu-satunya alternatif bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke

untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syetan yang terkutuk." (36) Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya bertanya: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (37)

F. KESIMPULANInsân Kâmil merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh Islam. Insân Kâmil

bukanlah salah satu pilihan hidup, melainkan satu-satunya pilihan hidup bagi orang yang ingin kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat (masuk surga-Nya). Selain Insân Kâmil hanyalah ‘manusia sesat’ (masuk neraka-Nya) atau ‘manusia in between’ (yang keputusannya tergantung Kehendak Allâh). Artinya, jika ingin masuk surga-Nya haruslah mencapai martabat Insân Kâmil.