f rest d gest...restorasi sampai nanti penyelamat teluk doreri belajar hutan sosial ke thailand...

88
Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,- Restorasi ekosistem menjadi cara baru mengelola hutan produksi. Sampai di mana setelah satu dekade?

Upload: others

Post on 11-Dec-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

Restorasi Sampai Nanti

Penyelamat Teluk Doreri

Belajar Hutan Sosial

ke Thailand

Menawarkan Racun Tailing

F rest D gest

12juli-september 2019

forestdigest.com

rp 45.000,-

Restorasi ekosistem menjadi cara baru mengelola hutan produksi. Sampai di mana setelah satu dekade?

Page 2: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

di kanal youtubeyang akan Anda sayangi

Nantikan

FDTV

Page 3: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

Aceh

Sumut

Riau Kepri

Jambi

Sumsel

Lampung

Babel

DKI

JabarBanten

JatengDIY Ja�m

BaliNTB NTT

Kalbar

Kalteng

Kalsel

Kal�m SulutGorontalo

Sulteng

Sulsel

Sultra

PT Restorasi Ekosistem Indonesia I

PT Restorasi Ekosistem Indonesia II

PT Sipef BiodiversityIndonesia

PT Karawang Ekawana Nugraha

PT Rimba Raya Conserva�on PT Rimba Makmur Utama II

PT Rimba Makmur Utama I

PT Alam Sukses Lestari

PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia

PT Ekosistem Khatulis�waLestari

PT Gemilang Cipta Nusantara I

PT Global Alam Nusantara

PT. Gemilang Cipta Nusantara II

PT The Best One Uni�mber

PT. Sinar Mu�ara Nusantara

PT Alam Bukit Tigapuluh

Sumbar

Bengkulu

Kaltara

Sulb

ar

16 UNIT MANAJEMEN re DI INDONESIA

0 50 100

24%

14%

2%

59%

1%

149.482 Ha

86.450 Ha

364.763 Ha

14.080 Ha

8.300 Ha

DataranRendah

DataranTinggi

Mangrove

RawaGambut

RawaAir Tawar

LUAS IZIN RE BERDASARKAN TIPE EKOSISTEM

Page 4: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest4 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

S A L A M K ET UA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5SU R AT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6K U T I PA N . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7A NG KA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7KA BA R R I M BAWA N . . . . . . . . . . . . . . . 8PIG U R A . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 0KA BA R BA RU . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 2R AG A M . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 4PE N E L I T IA N . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4 4 , 4 8KOL OM . . . . . . . . . . 5 0 , 5 2 , 5 4 , 5 6 , 5 8R E P ORTASE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6 0 , 6 4BU K U . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 0F OTO G R A F I. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 4T E K NOL O G I . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 6T E ROKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 0OASE . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 6

BI N TA NG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8 4

daftaR isi

L A P OR A N U TA M A — Hlm. 16

Insaf yang Hampir TerlambatPengelolaan hutan yang mengandalkan sepenuhnya pada komoditas kayu, setelah

Indonesia merdeka, menghasilkan deforestasi dan degradasi lahan yang akut dan membuat planet bumi kian memanas. Pertumbuhan penduduk dan tuntutan kebutuhan ekonomi menambah derita hutan tropis Indonesia. Setelah 34 juta hektare tutupan hutan hilang, setelah 49% habitat endemis hilang, kini ada upaya memulihkan hutan kembali lewat restorasi ekosistem: paradigma yang tak lagi melihat hutan semata tegakan pohon. Restorasi seperti cuci dosa masa lalu, cuci piring kotor sebelum kenyang, insaf yang hampir terlambat. Setelah satu dekade, restorasi masih merangkak dengan pelbagai problem. Aturan-aturan main belum siap, regulasi masih tumpang tindih, organ-organ birokrasi di tingkat tapak belum sepenuhnya berjalan.

PE R JA L A NA N ....................................66

Penyelamat Teluk DoreriLukas Barayap menyelamatkan Teluk

Doreri dari pengeboman ikan nelayan. Ia memanggil dan mengumpulkan ikan ke tepian tiap nelayan datang.

PE N E L I T IA N ......................................44

Membersihkan Racun Tailing dengan Jabon Merah

Dibanding tanaman lain, jabon merah paling kuat menyerap racun tailing sisa penambangan emas. Perlu penelitian lebih jauh terhadap tanaman lain.

PROF I L ..................................................72

Wayang Kardus untuk Menyelamatkan Satwa Langka

Ia berkeliling Indonesia untuk mendongeng tentang konservasi dan penyelamatan satwa langka Indonesia. Acap kesulitan biaya.

Medina Kamil

Page 5: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

salam ketua

SAYA terharu oleh antusiasme para alumni Fakultas Kehutanan IPB dalam acara syawalan di IPB International Convention Center pada 6 Juli 2019. Acara ramai dan terutama karena kami berhasil meru-muskan refleksi dan pe-mikiran rimbawan IPB

sebagai sumbang saran untuk pengelo-laan masa depan kehutanan di Indonesia. Setidaknya refleksi ini bisa menjadi bahan renungan untuk masa jangka pendek lima tahun ke depan.

Refleksi ini merupakan hasil dari serangkaian diskusi terfokus yang menghadirkan para pembicara yang mumpuni di tiga sektor yang kami soroti: perhutanan sosial, usaha kehutanan, dan politik kehutanan. Menurut kami inilah tiga hal pokok yang akan dan harus menjadi isu sektor kehutanan ke depan. Kami menyusunnya dalam kertas kerja yang mudah-mudahan bisa menjadi acuan ke depan. Kami tak menyusunnya dalam tataran ideal tapi lebih taktis dan praktis untuk diterapkan.

Ada 10 poin yang kami ulas dari tiga tema utama itu. Kami memulainya dengan menelaah masalah sektor kehutanan sekarang, juga potensi, tantang, serta peluangnya di masa mendatang. Sebagaimana kita tahu sektor kehutanan sangat potensial menjadi tulang punggung ketahanan bangsa Indonesia. Dengan wilayahnya yang luas, dengan hutan alamnya yang murni, dan masyarakatnya yang beragam dengan kultur dan ada istiadat, kehutanan bisa menjadi tumpuan harapan Republik ini.

Namun, masalah dari sektor kehutanan juga tak sedikit. Kami coba urai satu-satu untuk menemukan solusinya. Integrasi dan kolaborasi dengan sektor lain adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Sektor kehutanan mesti berintegrasi dengan sektor lain agar bertambah kuat. Paradigma pembangunan kini tak lagi bisa mengandalkan satu sektor yang

mengisolasi diri.Seperti dikatakan oleh Guru Besar

Fakultas Kehutanan IPB Profesor Dudung Darusman, sektor kehutanan harus mencari teman sebanyak mungkin untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Tanpa teman yang banyak pengelolaan akan centang-perenang dan jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, seperti di masa lalu, pengelolaan kehutanan centang-perenang karena mengabaikan pemikiran-pemikiran baik yang datang dari luar pemikiran para rimbawan.

Dengan informasi yang masif melalui Internet, kini makin banyak yang sadar dan paham bagaimana mengelola lingkungan yang lestari, bagaimana seharusnya mengelola lingkungan yang bermanfaat bagi planet ini dan penghuninya. Alih-alih menganggap sebagai halangan, kami melihat arus besar keberpihakan itu sebagai peluang dan kekuatan. Masyarakat harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembangunan kehutanan.

Refleksi dan pemikiran itu sejalan dengan tema utama edisi 12 majalah ini. Restorasi ekosistem adalah tema mutakhir dalam 10 tahun terakhir. Restorasi adalah peluang kita menata kembali pengelolaan hutan yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk alam dan manusia. Restorasi adalah jalan kita menebus dosa masa lalu kendati menengok terus ke masa yang lewat tak akan menyelesaikan problem. Masa lalu harus menjadi pijakan

dan pelajaran berharga menata strategi ke depan.

Hal ini terkait dengan paradigma baru dalam memandang hutan yang tak lagi semata kayu. Multisektor adalah jawaban dalam pengusahaan hutan. Sebagaimana sebuah penelitian bahwa hutan akan jauh lebih produktif jika tak hanya dilihat kayunya semata. Ada banyak hal yang bisa dikembangkan di dalamnya: wisata, pendidikan, pengalaman, karbon, yang bisa menumbuhkan dan merawat fungsi ekologi, sosial, serta ekonomi sebuah kawasan.

Paradigma timber based sudah saatnya kita tinggalkan karena tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Inovasi-inovasi para rimbawan mendapat tantangan yang serius di masa depan untuk lebih kreatif memaksimalkan potensi yang ada dalam kawasan hutan. Sebab, saya yakin, baik para rimbawan maupun nonrimbawan ingin hutan kita abadi, ingin pengelolaan lingkungan kita lestari.

Kembali mengutip Profesor Dudung, bangsa yang kuat di masa mendatang adalah bangsa yang mampu mengelola hutannya dengan arif, bukan negara yang kuat senjata nuklirnya. Sebab hutan adalah kita. Tak alasan kuat lain mengapa kita ditakdirkan hidup di bumi Indonesia selain sebagai generasi terpilih untuk menjaganya.

Salam lestari,Bambang Supriyanto

Peran Para Rimbawan

F rest D gest 5j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Page 6: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest6 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Penanggung JawabBambang Supriyanto

Ketua Umum Himpunan AlumniFakultas Kehutanan IPB

Pemimpin UmumGagan Gandara (non aktif)

Pemimpin RedaksiBagja Hidayat

Sekretariat Redaksi Drajad Kurniadi

Dewan RedaksiR. Eko Tjahjono

Librianna ArshantiSatrio Cahyo Nugroho

Kaka E. PrakasaFitri AndrianiMustofa Fato

M. Labib MubaarokRobi Waldi

Fairuz GhaisaniWike Andiani

Mawardah Nur HRazi Aulia Rahman

Zahra FirdausFirli DikdayatamaUbaidillah Syohih

Asep AyatYusril FuadiRifki Fauzan

Hubungan Usaha dan EksternalAtik Ratih Susanti

Aryani

DesainerDhandi Ega Ramadhan

DistribusiUnit Kesekretariatan DPP HA-E IPB

AlamatSekretariat HA-E IPB,

Kampus Fakultas Kehutanan IPB,Jalan Lingkar Akademik Darmaga Bogor 16680

Kontak (Email)[email protected]

Forest Digest adalah majalah triwulanan yang diterbitkan Himpunan Alumni Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan didistribusikan secara gratis. Redaksi

mengundang Anda menulis artikel dengan panjang 4.000-8.000 karakter dengan spasi dan format Microsoft Word disertai foto penunjang.

Sampul: Pembibitan pohon PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah.

(Foto: Dok RMU)

Tema Edisi 13 (Oktober-Desember 2019): Perhutanan Sosial Sampai di Mana. Kirim

tulisan Anda seputar tema tersebut paling lambat pekan kedua September 2019.

Pengiriman Majalah (1)

Melalui surat ini saya menyampaikan permohonan berlangganan untuk edisi cetak majalah Forest Digest untuk koleksi pada perpustakaan Pustaka Bumi, perpustakaan yang digagas oleh mahasiswa Pendidikan Geografi, Universitas Bale Bandung.,Bandung, Jawa Barat. Semoga permohonan ini dapat dikabulkan oleh pihak majalah. Adapun alamat untuk pengiriman majalah adalah: Rendy Rizky Binawanto Jl. Puradinata II.A, Rt/Rw 08/12, Kel. Baleendah, Kec. Baleendah, Kab. Bandung Jawa Barat 40375.

—Rendy Rizky Binawanto Ketua Pembina Perpustakaan

Permohonan berlangganan, untuk awal sudah dikirim sesuai alamat beberapa eksemplar setiap edisi (kecuali edisi 1 tentang Ekowisata yang sudah tidak ada arsip). Semoga kiriman majalah sudah diterima dengan baik dan bermanfaat bagi pengunjung perpustakaan Anda.

Pengiriman Majalah (2)Saya Mila Nabilah dari TBM Sukabuku

Taman Literasi, yang berlokasi di Jalan Raya Siliwangi 2 Kecamatan Parungkuda, Sukabumi, Jawa Barat. Kami, saya beserta komunitas di Sukabuku, mengirimkan surat ini dengan maksud mengajukan per-mohonan distribusi majalah cetak Forest Digest. Saya berkeinginan turut membagi informasi terkait dunia kehutanan baiknitu secara umum atau khusus kepada para pembaca di taman baca kami. Sekiranya surat ini akan menjadi pertimbangan, info selanjutnya sangat kami nantikan. Sekian dan terima kasih.

—Mila Nabilah TBM Sukabuku Taman Literasi

Terima kasih untuk surat Anda. Kami akan mengirim majalah Forest Digest mulai edisi 12. Semoga majalah ini bermanfaat untuk semua pengunjung perpustakaan Anda. Salam literasi!

Menjadi Redaksi FDTVSaya melihat tayangan FDTV di

YouTube setelah membacanya dari web Forest Digest. Apakah FD dan FDTV membuka lowongan pekerjaan? Saya berminat mendaftar karena tertarik dengan isu-isu lingkungan. Menurut saya

majalah FD maupun FDTV media yang bagus menyebarkan informasi seputar lingkungan. Selain melihat dari sisi positif, penyajiannya pun enak dibaca dan informatif.

—Lala MDepok

Terima kasih, Lala. Kami senang Anda menonton FDTV dan membaca majalah ini. Benar, kami punya misi mengenalkan pengelolaan lingkungan yang lestari. Sayangnya kami tak membuka lowongan untuk menjadi anggota redaksi. Jika Anda ingin bergabung silakan datang ke rapat-rapat Forest Digest atau menulis sesuai tema yang Anda minati. Dan satu hal penting: anggota redaksi tak mendapat honor karena majalah ini dikelola secara sukarela.

Menjadi Anggota RedaksiJika dimungkinkan, saya berminat untuk

menjadi anggota redaksi dari majalah luar biasa ini. Jika ada persyaratan-persyaratan yang perlu dipenuhi, dengan senang hati saya akan memenuhinya. Salam dari manta wartawan Gema Almamater IPB di tahun 1980-an.

—Asep Sugih Suntana, PhD.National Project Manager Forest

Investment Program 2 Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta

Terima kasih. Tulisan Kang Asep Suntana tentang “Belajar Hutan Sosial dari Thailand” bisa dinikmati dalam edisi ini.

Mengirim NaskahSaya seorang mahasiswa. Ijin

menanyakan cara dan waktu pengiriman naskah untuk Forest Digest ini. Terima kasih atas perhatiannya, untuk menjadi bahan lebih lanjut.

—Nanang [email protected]

Waktu pengiriman naskah bisa kapan saja, menyesuiakn tema yang akan diangkat setiap edisi atau tulisan tentang tema apa saja. Ketentuan penulisan: • Panjang tulisan maksimum 9.000

karakter dengan spasi; • Foto penunjang atau infografik data; • Foto penulisi; dan biografi singkat

penulis. • Naskah dikirim melalui alamat email

redaksi, yaitu: [email protected]

F rest D gest

surat

Page 7: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

kutipan

angka

“Saya yakin negara adikuasa abad 21 adalah negara yang hutan alamnya masih utuh bukan negara yang senjata nuklirnya paling kuat.”

—Dudung DarusmanGuru Besar Fakultas

Kehutanan IPB

“Tantangan rimbawan sekarang adalah meningkatkan produktivitas hutan secara inklusif. Jika tidak mampu, hutan akan diubah untuk komoditas lain yang lebih tinggi produktivitasnya.”

—Hariadi KartodihardjoGuru Besar Fakultas Kehutanan

IPB

Sampah KitaIndonesia darurat sampah. Jenna

Jambeck, seorang peneliti, menyebutkan bahwa Indonesia menjadi penghasilan sampah nomor dua terbesar di dunia setelah Cina. Belum lagi sampah impor yang masuk ke Indonesia setelah Cina berhenti menerima sampah dari luar negeri untuk didaur ulang. Tak hanya banjir akibat gunung gundul, Indonesia kebanjiran sampah akibat tak punya teknologi mendaurulangnya.

1,27 juta ton

sampah ada di laut

48% sampah berasal dari

rumah tangga

US$ 4.800.000.000 impor bahan baku plastik

3% dibuang ke sungai

0,7 kilogram per hari sampah yang

diproduksi orang Indonesia

10% sampah dikubur

7% didaur ulang

5% dibakar

15% sampah plastik yang didaur ulang

64.000.000 ton sampah Indonesia per tahun 10%

sampah kertas

69% sampah yang ditimbun di

TPA

7% tidak terkelola

24% sampah berasal

dari pasar tradisional

15% sampah plastik

50% sampah Indonesia berupa sisa

makanan

3,2 juta ton

sedotan plastik per tahun

980.000 ton per tahun kebutuhan polipropilena

490.000 ton dipasok dari dalam negeri

Sum

ber:

Wor

ld B

ank,

KLH

K, B

PS

F rest D gest 7j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Page 8: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest8 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

kabar rimbawan

Sekitar 250 rimbawan Institut Pertanian Bogor (IPB) berkumpul di IPB International Convention Center, Bogor untuk silaturahmi Syawalan pada 6 Juli 2019. Di sela-sela itu mereka menyampaikan refleksi dan pemikiran untuk masa depan

pengelolaan lingkungan dan kehutanan dalam lima tahun mendatang, atau menjadi pekerjaan rumah Menteri Kehutanan periode 2019-2024.

Para rimbawan IPB datang dari pelbagai profesi: akademisi, pelaku industri kehutanan, aparatur sipil negara, konsultan bidang kehutanan dan non kehutanan, aktivis lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan dan kehutanan, perbankan, wiraswastawan, serta dari berbagai profesi lainnya.

Selama dua seri pertemuan sebelumnya dengan bentuk FGD, mereka merumuskan 3 topik, yaitu: topik pertama membahas isu utama tentang revitalisasi industri dan pengusahaan kehutanan, serta multi usaha kehutanan,

topik kedua membahas isu utama tentang reforma agraria dan perhutanan sosial, serta topik ketiga membahas tentang Kepemimpinan Kehutanan Masa Depan.

Ketua Umum DPP HA-E IPB, Bambang Supriyanto membacakan poin-poin hasil renungan rimbawan IPB dalam pidatonya. Menurut Bambang, 10 poin refleksi tersebut merupakan hasil diskusi kelompok terfokus para rimbawan selama dua kali pertemuan pada tanggal 4 Mei 2019 dan 22 Juni 2019 di Bogor, serta masukan langsung dari beberapa alumni Fakultas Kehutanan IPB. “Semoga menjadi bahan kajian dan kebijakan pemimpin kehutanan masa mendatang,” kata Bambang.

Pada bagian awal, Bambang menyampaikan refleksi kehutanan beberapa tahun sebelumnya yang digambarkan dalam tabel Analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) Kehutanan Indonesia. Pemikiran rimbawan IPB atas masa depan kehutanan bisa dilihat di tautan ini: https://www.forestdigest.com/detail/279/multiusaha-jawaban-atas-pengelolaan-hutan-lestari.

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB

Dudung Darusman menjelaskan soal sejarah kehutanan sejak 1960, ketika sektor ini menjadi adikuasa karena menjadi sumber pendapatan negara. Hingga kini ada perdebatan soal apakah sektor kehutanan harus terpisah dan terintegrasi. Dudung memilih integrasi dengan sektor lain.

Dengan adanya isolasi diri dapat menciptakan “terget gempuran (musuh) bersama”, sedangkan sikap defensif, tidak ada non kehutanan yang menjadi teman seperjuangan. Kondisi ini menyebabkan kerugian yang harus dibayar adalah kekalahan demi kekalahan dalam mempertahankan lahan kehutanan, APBN sulit dan kecil, menjadi pelaku pinggiran dan dipinggirkan.

Risiko ke depan jika tetap business as usual, masalah bola salju eksponensial, akan menyebabkan kehancuran lahan hutan dan kehidupan bangsa. Pada bagian tengah, Prof. Dudung Darusman menyampaikan kebijakan politik integrasi dan harapan optimistik, serta bagaimana mengantisipasi integrasi jangka pendek.

Menanggapi Dudung, Iman Santoso menyoroti soal belum adanya peta jalan yang jelas pada tahun 1980 an dalam sektor manajemen kehutanan secara umum; penanganan permasalahan dasar food, feed, energy and water dari negara tetangga (Singapore sebagai contoh) jauh lebih jelas dan terintegrasi.

Jika tak segera berbenah, kata Iman, kita akan semakin tertinggal. Sebab hutan adalah multi sektor yang saling terkait sehingga harus diintegrasikan dan diperbaiki. Menurut dia, kawasan hutan itu adalah hasil dari kesepakatan berbagai pihak sehingga tidak boleh dilanggar kesepakatan tersebut dan hutan memiliki dwi fungsi dalam memberikan service.

Energi terbarukan harus sudah mulai digalakkan sebagai alternatif fosil serta akses yang lebih baik ke dalam kawasan hutan perlu diperbaiki. “Sudah saatnya berbagai sektor saling kerjasama dan terkait sehingga bisa saling bersinergi,” kata dia. —

Syawalan Ala Rimbawan

SYAWALAN.Alumni Fakultas Kehutanan IPB menggelar syawalan dengan diskusi “Masa Depan Kehutanan Indonesia” di IPB International Convention Center, 6 Juli 2019

Page 9: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 9j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

KOMISARIAT Daerah Sumatera Selatan Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB menggelar diskusi “Strategi Implementasi Pasca Izin Perhutanan Sosial” pada 28 Juni 2019. Pembicaranya Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan

Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto, Dekan Fakultas Kehutanan IPB Renekso Soekmadi, Profesor Damayanti Buchori dari Kelola Sendang, dan Candra Wijaya dari World Recources Institute Indonesia.

Diskusi diadakan di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Palembang. Bambang meminta Kesatuan Pengelolaan Hutan aktif menjadi pendamping masyarakat setelah mereka mendapatkan izin perhutanan sosial. “Karena KPH menjadi ujung tombak pengelolaan hutan di tingkat tapak,” kata Bambang. “Peran KPH sangat krusial untuk mencapai percepatan untuk mencapai target luas perhutanan sosial,” kata Bambang.

Saran Bambang muncul karena keluhan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto tentang lambatnya realisasi perhutanan sosial dan ketiadaan pendamping bagi masyarakat setelah mereka mendapatkan izin. “Padahal ini program di Sumatera Selatan menurunkan angka kemiskinan,” katanya.

Perhutanan sosial merupakan sebuah konsep yang menjadi andalan kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo menurunkan angka kemiskinan sejak 2015. Masyarakat, melalui kelompok petani, diberikan akses mengelola kawasan hutan selama 35 tahun. Jokowi punya target memberikan akses 12,7 juta hektare lahan hutan kepada masyarakat. Menurut Bambang, luas perhutanan so-sial tahun 2019 sudah bertambah menjadi 13,8 juta hektare. Sampai 1 Juni 2019, izin perhutanan sosial mencapai 3,09 juga hektare untuk 679.467 ribu keluarga.

Pemberian izin akses masyarakat

sekitar hutan melalui surat keputusan ini dilakukan melalui lima skema: hutan adat, hutan desa, kemitraan kehutanan (masyarakat dengan pemegang izin kawasan hutan), hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan.

Bambang mengakui problem utama kebijakan perhutanan sosial adalah langkanya pendamping bagi masyarakat mencapai tujuan perhutanan sosial, yakni kesejahteraan secara ekonomi melalui usaha hasil hutan, meredam konflik sosial akibat sengketa lahan di kawasan hutan negara, dan tujuan ekologi yakni tercapainya tutupan hutan di wilayah izin perhutanan sosial. “Saya berharap KPH menjadi desainer pendampingan sampai membantu petani menemukan pasar produk mereka,” kata dia.

Selama ini para pendamping datang dari lembaga-lembaga nonpemerintah yang mendapat dukungan pembiayaan dari lembaga donor menjadi pendamping masyarakat hingga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari produk hasil hutan mereka. Padahal jumlah KPH kini mencapai 309 unit di 28 provinsi.

Kepada para Kepala KPH, peneliti, dan rimbawan Sumatera Selatan yang hadir dalam diskusi, Bambang bahkan lebih jauh mendorong KPH berperan aktif dengan menjadi verifikator pengajuan izin perhutanan sosial. Menurut dia, lima balai KLHK di lima lokasi tak cukup personel memverifikasi dari banyaknya izin perhutanan sosial yang masuk ke KLHK.

Diskusi Bergizi di Komda Sumatera Selatan

Ia menganjurkan KPH bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan gubernur membentuk tim percepatan verifikasi agar izin-izin yang masuk segera diperiksa dari segi clear and clean lahan yang diajukan. Selama ini, tersendatnya realisasi pemberian izin terhambat karena verifikasi yang lama akibat personel tak seimbang dengan pengajuan.

Rinekso Soekmadi punya saran lain yang lebih jitu: memberdayakan mahasiswa Fakultas Kehutanan. Menurut dia, kini ada 68 perguruan tinggi yang memiliki jurusan kehutanan yang berpotensi menjadi pendamping dalam program ini. “Apalagi kami sedang memperbarui kurikulum pengajaran agar sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.

Generasi milenial, kata Rinekso, tak lagi cocok dengan gaya kurikulum pedagogik berupa pengajaran di kelas. IPB, kata dia, sedang merancang kurikulum yang akan memperbanyak jumlah waktu praktik di lapangan. Mereka bisa diberdayakan menjadi pendamping perhutanan sosial. “Kami bisa mengisikan 1-2 SKS tentang khusus materi perhutanan sosial,” kata dia. —

Ketua Baru.Pengukuhan pengurus Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB Sumatera Selatan 2019-2021. Ketua Komda Sumsel terpilih Salim Joendan, Kepala KPH Musi Banyuasin, 29 Juni 2019.

Page 10: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest10 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

pigura

F rest D gest10 j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 11: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest

Salto.Anak-anak Dusun Lantungan di Desa Galinggang beradu tangkas salto di sungai Katingan, Kalimantan Tengah. Sungai adalah sumber hidup orang Katingan sekaligus tempat bermain dan mereguk pengalaman. Foto: M. Zainuddin, 2011

F rest D gest 11j a n u a r i - m a r e t 2 0 1 9

Page 12: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

12 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9F rest D gest

kabar baru

PABEAN Tanjung Perak Surabaya memulangkan delapan kontainer sampah kertas impor asal Australia. Kepala Bea Cukai Tanjung Perak Basuki Suryanto mengatakan sampah kertas impor sebanyak 282 bal dengan berat 210.340 kilogram tersebut dikembalikan lantaran terkontaminasi sampah plastik, kaleng bekas, botol plastik, kemasan oil bekas, elektronik bekas, popok bayi bekas, hingga alas kaki bekas.

Indonesia kerap menerima puluhan kontainer berisi sampah yang diimpor dari beberapa negara semisal Australia, Amerika Serikat, Perancis, Jerman dan Hong Kong. Namun, sampah tersebut akhirnya dipulangkan ke negara asal masing-masing. Ditjen Bea Cukai menyampaikan, maraknya sampah impor masuk ke Indonesia terjadi sejak Cina menerapkan larangan impor sampah ke negara mereka pada 2017. 

Cina menjadi produsen pengolahan sampah daur ulang terbesar dunia yang menyerap tidak kurang 45 persen sampah dunia. Akibatnya sampah dari negara-ne-gara lain dibuang ke Indonesia, negara yang belum siap dengan teknologi daur ulang sampah. Sistem pengelolaan sampah

Para peneliti dari Universitas Georgia Amerika Serikat menggunakan data-data perdagangan dunia dan menemukan negara maju mengekspor sampah plastik sebanyak 70 persen pada 2016 ke negara berpendapatan rendah di Asia Timur dan Pasifik selama bertahun-tahun, termasuk Indonesia. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengingatkan, Indonesia harus siap-siap menjadi lokasi tujuan pembuangan sampah dunia. Ini karena pada Juli 2018 pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan telah menargetkan pelarangan impor pada 2021.

—Sumber: CNBC Indonesia, Liputan6.com, dan Republika.co.id

Banjir Sampah Impor

belum berjalan secara maksimal dengan angka daur ulang masih 10-20 persen.

Badan Pusat Statistik mencatat, Indone-sia melakukan impor scrap plastik sekitar 283 ribu ton pada 2018. Masuknya sampah impor ini menjadi beban tambahan. Menurut pemerhati hukum lingkungan internasional Universitas Gadjah Mada, Heribertus Jaka Triyana, sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang dari luar negeri masuk ke Indonesia sejak 2007.

Jaka Triyana menilai kedatangan sampah berulang karena tumpang tindih kewenangan hukum antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Vakumnya sistem hukum nasional

Banjir di Konawe Utara

Banjir di tujuh kecamatan di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, selama Juni 2019 menghanyutkan 370 rumah dan merendam 1.962 rumah dengan penduduk yang terdampak sebanyak 18.765 jiwa dengan kerugian material Rp 678 miliar—hampir sama dengan APBD Konawe Utara 2019. Banjir kali ini yang terparah dibanding 1997. Banjir dipicu meluapnya Sungai Lalindu, Sungai Walasolo, dan Sungai Wadambali. Ketiganya bermuara di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo.

Wahana Lingkungan Hidup menuding

banjir akibat pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Sejak 2001-2017, hutan yang ditebang mencapai 45.600 hektare. Pertambangan dan perkebunan juga merusak hutan primer hingga 954 hektare dan hutan alam 2.540 hektare. Walhi menyebut banjir akibat kerusakan alam lantaran obral izin tambang dan perkebunan.

Walhi Sulawesi Tenggara mencatat ada 81 izin usaha pertambangan yang beroperasi di Konawe Utara --berburu nikel, emas, kromit, dan batu kapur. Adapun Dinas Energi Sumber Daya Mineral Sultra mencatat hanya ada 57 IUP CnC (Clean and Clear) di Konawe Utara. Di sektor perkebunan sawit, paling tidak ada empat perusahaan yang beroperasi di sekitar DAS Lasolo.

Aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit itu diduga mengakibatkan perubahan area hutan di Konawe Utara. Perubahan area hutan bisa dilihat lewat data Global Forest Watch. Salah satu indikator adalah hilangnya 38.400 hektare tutupan pohon di Konawe Utara, antara 2001-2017.

Statistik olahan WALHI Sultra menyebut ada 458 hektare hutan primer di Konawe Utara yang beralih fungsi jadi area tambang dan sawit. Alih fungsi serupa juga terjadi pada 3.777 hektare hutan sekunder. Deforestasi itu terjadi sepanjang 2000-2016. Komisi Pemberantasan Korupsi menengarai banjir berkaitan dengan korupsi dan kejahatan lingkungan.

—Sumber: Liputan6.com, CNN Indonesia, Antara

Page 13: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 13j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I pada 27 Mei 2019. Menteri Lingkungan Siti Nurbaya mengatakan

peluncuran peta ini merupakan tonggak baru atas pengakuan pemerintah terhadap hutan dan masyarakat adat.

Tonggak pertama, kata Siti, adalah ketika Presiden Joko Widodo menetapkan sembilan hutan adat pada Desember 2016 dengan memberikan surat keputusan sebagai hutan adat. “Untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, pemerintah memberikan pengakuan resmi atas hutan adat sesuai amanat konstitusi,” kata Siti

Sejarah Baru Hutan Adat

Masyarakat Adat. Namun, sejak 2009, rancangan ini masih digodok antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Agar pengakuan hutan adat tetap berjalan, Menteri Lingkungan mengeluarkan beleid P.32/2015 yang mengatur soal hutan hak yang ruang lingkupnya menyangkut pengakuan hutan adat.

Untuk teknis pengakuannya, pemerintah memasukkan hutan adat sebagai salah satu skema perhutanan sosial yang memiliki tujuan ekonomi, sosial, dan ekologis. Soalnya, di beberapa hutan adat terjadi konflik tenurial karena saling klaim kawasan antara masyarakat adat dengan pihak lain. Mengutip Presiden, Siti mengatakan setelah pemerintah mengakui hutan adat,

kata Siti.Luas hutan adat dalam peta tersebut

merupakan persetujuan pemerintah atas usulan masyarakat seluas 3,6 juta hektare. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto menambahkan bahwa pengakuan atas hutan tersebut telah melalui verifikasi dan validasi dengan menimbang pelbagai aspek

dalam sambutan ketika peluncuran peta tersebut.

Pengakuan atas hutan adat dipicu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 yang menyatakan bahwa “hutan adat bukan hutan negara”. Dengan putusan itu, pemerintah harus mengeluarkan hutan adat dari kawasan—biasanya di dalam hutan—yang lahannya dikuasai negara. Dengan putusan itu pula di Indonesia terdapat tiga kawasan hutan yang dilindungi hukum: hutan negara, hutan hak, dan hutan adat.

Pengaturan hutan adat kemudian dirancang dalam Undang-Undang

masyarakat diharapkan memeliharanya, dan terlarang menjual-belikannya.

Aturan tentang hutan adat mengalami beberapa kali perubahan. Salah satunya melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21/MENLHK-Setjen/KUM.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak pada 29 April 2019. Aturan ini disertai penetapan peta kawasan indikatif hutan adat seluas 472.981 hektare. Peta fase pertama ini meliputi hutan negara 384.896 hektare, areal penggunaan lain 68.935 hektare, dan hutan adat 19.150 hektare dengan skala 1:2.000.000. “Peta ini akan diperbarui setiap tiga bulan,”

hukum, konflik, hingga keberadaan masyarakatnya. “Agar pengakuan hutan adat berjalan clear and clean,” katanya.

Untuk menopangnya, Menteri Lingkungan membentuk Kelompok Kerja Percepatan Penetapan Hutan Adat yang anggotanya pelbagai elemen untuk memudahkan proses hukum dan verifikasi. Salah satu syarat mendapat surat keputusan pengakuan adalah mendapat pengakuan pemerintah daerah setempat lewat peraturan daerah.

Pendiri Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat Yando Zakaria mengkritik pemerintah terlalu lamban memberikan pengakuan tersebut. Sebab, kata dia, Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat ada 814 wilayah adat dengan luas sekitar 10,24 juta hektare. Dari jumlah itu sebanyak 1,39 juta hektare sudah didukung peraturan daerah. Artinya, dengan peluncuran peta itu baru sekitar 30 persen hutan adat yang mendapat pengakuan.

—Sumber: Koran Tempo

Usulan hutan adat: 9,3 juta hektareSesuai peta: 6,5 juta hektare berada dalam kawasan hutan

Tidak punya produk hukum: 2,9 juta hektare Punya produk hukum: 3,6 juta hektare

6.945 hektare Perda Pengakuan Hukum Adat185.622 hektare SK Pengakuan

226.896 hektare SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat3,07 juta hektare Perda Pengaturan

274.771 hektare produk hukum lainnya

Hutan Adat.Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (tengah) saat peluncuran Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 27 Mei 2019.

Page 14: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest14 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9F rest D gest

ragam

SEBAGAI negara nomor dua dan tiga dengan jumlah penggemar hallyu—gelombang budaya Korea ke seluruh dunia—terbanyak, Indonesia dan Korea Selatan tertarik memakai para artis pop kedua negara untuk mempromosikan isu

hutan dan lingkungan. Rencana ini dibahas dalam pertemuan antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dengan Menteri Kehutanan Korea Kim Jae-Hyun di sela Asia Pasific Forest Week di Incheon, Korea Selatan.

Menurut Menteri Siti, pendekatan kultural merupakan salah satu cara yang bisa menarik perhatian generasi muda ikut serta dalam menjaga hutan dan lingkungan. “Kolaborasi ini menggunakan jalur kultural, misalnya mempertimbangkan kegandrungan generasi muda Indonesia dan Korea pada K-Pop,” kata Siti dalam rilisnya pada 19 Juni 2019.

Siti juga mengatakan kerja sama tersebut diusulkan berkaitan dengan pelibatan generasi muda dalam perlindungan hutan dan lahan yang menjadi salah satu aspek diskusi Panel Asia Pasific Forest Comission FAO. Ia mengatakan di Indonesia, sudah ada beberapa tokoh seni dan musik yang konsen dan konsisten menyuarakan isu bidang lingkungan, seperti penyanyi Opie Andaresta, Glenn Fredly, Nugie, Melanie Subono, pelakon Nicolas Saputra.

Kim Jae-Hyun menambahkan untuk mendukung rencana itu, ia segera berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Korea di Indonesia untuk membahasnya. Selain itu, ia juga akan melakukan pendekatan dengan artis-artis K-pop yang memiliki banyak fans di kedua negara.

Hore! K-Pop Akan Masuk Hutan

Bangstan Boys atau BTS menjadi band K-pop paling populer di seluruh dunia. The Korea Foundation pada Desember 2018 merilis jumlah penggemar budaya populer Korea tersebar di 113 negara dengan jumlah hampir tembus 90 juta. Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah hallyu terbanyak, setelah Filipina dan Korea. Filipina hampir 21 persen penduduknya menggemari band korea. Sementara Korea hanya 500 ribu orang.

Di Indonesia penggemar band Korea tak hanya datang dari usia milenial. Penggemar terbanyak memang usia 20-25 tahun, tapi penggemar yang lebih tua dari usia itu juga tak kalah banyak. Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah penggemar K-pop terbanyak di Indonesia dengan jumlah 32 persen, disusul Jawa Barat, dan DKI Jakarta.

Mendekatkan isu lingkungan kepada generasi muda ini rencananya tidak hanya terbatas pada kolaborasi artis Indonesia dan bintang K-pop. Menurut Siti, kegiatan merangkul perhatian anak muda tersebut berupa kegiatan-kegiatan festival milenial untuk hutan, pertukaran generasi muda Korea dan Indonesia terkait dengan aspek pendidikan, budaya dan ilmu pengetahuan untuk menyiapkan pemimpin kehutanan dan lingkungan hidup masa depan.

Selain membahas kerja sama untuk

generasi muda, pada pertemuan bilateral ini KLHK juga membahas tentang peningkatan kerja sama untuk kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Korea. Termasuk di antaranya kerja sama pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kerja sama antar taman nasional, pengembangan wood pellet untuk biomasa, dan pengelolaan gambut. Juga inisiatif kerja sama baru untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Asia Forest Pasific Week berlangsung pada tanggal 17-21 Juni 2019. Acara ini diselenggarakan oleh FAO bekerja sama dengan Korea Forest Service yang mengusung tema hutan untuk perdamaian dan kesejahteraan (Forests for Peace and Well-being). Dalam acara ini pemerintah Indonesia melalui KLHK menyampaikan pencapaian dan program kerjanya termasuk moratorium pemberian izin baru kebun sawit dan hutan rakyat melalui skema perhutanan sosial. —Mawardah Nur Hanifiyani

Bangstan.Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan akan menjadikan band K-Pop dan para pesohor sebagai juru kampanye pelestarian hutan.

Page 15: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 15j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

MAHASISWA Fakultas Kehutanan IPB terbiasa dengan praktik lapang. Hampir selesai pergantian tahun ajaran mereka pergi ke lapangan untuk praktik: pengenalan

vegetasi di Jawa Barat, praktik umum di Jawa, hingga praktik kerja lapang di perusahaan di luar pulau Jawa. Tradisi itu berjalan bertahun-tahun.

Tahun ini namanya Praktik Lapang Kehutanan atau PLK yang dilaksanakan dari 24 Juni hingga 17 Juli 2019. Diikuti oleh mahasiswa angkatan 54 dari 4 departemen. PLK merupakan nama baru sebagai kegiatan praktik di Fakultas Kehutanan IPB. Sebelumnya bernama Praktik Umum Kehutanan (PUK). Sebelumnya praktik ini memiliki 2 nama yaitu Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) dan Praktik Pengelolaan Hutan (P2H).

PLK 2019 dibagi ke dalam beberapa jalur: Cilacap-Baturaden, Kamojang-Sancang Barat, Papandayan-Sancang Timur, Gunung Sawal-Pangandaran, dan Hutan Pendidikan Gunung Walat

Senam Surga di Tengah RimbaSukabumi sebagai basecamp terakhir.

Ada satu kebiasaan di semua camp saat praktik setiap pagi, yakni Senam Surga. Ini sejenis senam peregangan yang harus diikuti mahasiswa, dosen, dan asisten dosen. Campur baur antara mahasiswa di tengah hutan ini membuat suasana akrab. Dosen tidak boleh memimpin senam. Pemimpin senam adalah ia yang gerakannya paling kaku.

Maka peregangan menjadi ajang tawa dan senda gurau karena geli oleh tingkah teman yang tak bisa memutar pinggang secara ritmis. Gerakan yang diulang-ulang itu malah menjadi hiburan dan meregangkan otot otak yang kaku akibat cuaca dingin pegunungan. Di Garut, di Baturaden, di Pameungpeuk. “Kehangatan bisa datang bukan dari gerakan, tapi dari kegembiraan,” kata Bayu Winata, asisten dosen.

Setelah sarapan, praktikum hari per-tama adalah menginventariasi ekosistem hutan pegunungan bawah dan hutan tanaman Ecalyptus sp., pengambilan data lapang dengan melakukan pembuatan plot jalur berpetak sebanyak 3 plot untuk setiap kelompok. Jenis pohon yang dominan pada hutan pegunungan bawah adalah Puspa (Schima wallichii) dan Saninten (Castanopsis javanica).

Hari kedua giliran naik ke hutan

pegunungan atas. Hutan pegunungan atas Garut bisa dikategorikan sebagai virgin forest dengan jenis pohon dominan adalah jamuju (Dacrycarpus imbricatus), Ki putri (Podocarpus neriifolius), cantigi gunung (Vaccinium varingifolium). Selain itu, juga selama praktikum mahasiswa menemukan elang jawa (Spizaentus bartelis), burung sriganti (Nectarinia jugularis), surili, dan berbagai jejak satwa liar seperti macan tutul (Panthera pardus melas), ajag (Cuon alpinus), babi hutan, serta sigung.

Perjalanan dilanjutkan selama enam jam ke Gunung Kendang di ketinggian 2.617 meter dari permukaan laut yang dijadikan sebagai tempat praktik pengenalan ekosistem Hutan Pegunungan Atas.

PLK tidak hanya mengenalkan ekosistem hutan pegunungan bawah, atas, hutan tanaman, namun mengenalkan juga ekosistem hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan dataran rendah. Di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), praktik ini lebih banyak ke manajemen pengelolaan hutan seperti perencanaan hutan, perlindungan hutan (hama, penyakit, kebakaran hutan), kunjungan ke industri hasil hutan.

—Robi Deslia Waldi

Mangrove.Praktik mahasiswa Fakultas Kehutanan di hutan mangrove Garut, Jawa Barat, 24 Juni 2019

Page 16: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest16 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

Insaf yang Hampir Terlambat

F rest D gest16 a p r i l- j u n i 2 0 1 9

Pengelolaan hutan yang mengandalkan sepenuhnya pada komoditas

degradasi lahan yang akut dan membuat planet bumi kian memanas.Pertumbuhan penduduk dan tuntutan kebutuhan ekonomi menambah

yang tak lagi melihat hutan semata tegakan pohon. Restorasi seperticuci dosa masa lalu, cuci piring kotor sebelum kenyang, insaf yanghampir terlambat. Setelah satu dekade, restorasi masih merangkakdengan pelbagai problem. Aturan-aturan main belum siap, regulasimasih tumpang tindih, organ-organ birokrasi di tingkat tapak belumsepenuhnya berjalan.

memulihkan hutan kembali lewat restorasi ekosistem: paradigma

derita hutan tropis Indonesia. Setelah 34 juta hektare tutupanhutan hilang, setelah 49% habitat endemis lenyap, kini ada upaya

kayu, setelah Indonesia merdeka, menghasilkan deforestasi dan

Harapan Hutan Harapan di Jambi sebelum mendapat izin restorasi ekosistem oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), pada 2006. Hutan Harapan menjadi bagian dari hutan dataran rendah Sumatera yang tersisa dari 16 juta hektare pada 1900 tinggal 500.000 hektare pada 2014.

Page 17: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 17j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9F rest D gest 17a p r i l- j u n i 2 0 1 9

Page 18: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest18 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

SETELAH lebih dari satu dekade, skema restorasi ekosistem “masih mencari bentuk” sebagai cara baru mengelola hutan secara lestari, terutama di hutan produksi. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

(PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menyebutnya sebagai masa depan pengelolaan hutan yang berbasis ekosistem.

Hutan tak akan lagi dipandang semata kayu, tapi sebagai sumber ilmu pengetahuan, bisnis non kayu, jasa lingkungan, wisata, karena ia menjadi penyangga planet ini. Paradigma kayu telah terbukti menurunkan fungsi dan kualitas hutan. Keinginan mendatangkan investasi untuk membangun Indonesia setelah merdeka pada 1968 telah melahirkan keserakahan yang berujung pada rusaknya fungsi kawasan hutan dan merembet pada kekacauan di banyak segi: pelanggaran hak asasi, konflik sosial, sengketa tenurial, hingga ketimpangan penguasaan sumber daya alam.

Menurut perhitungan Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2013), nilai ekonomi hutan hanya US$ 49 per hektare per tahun atau sekitar Rp 700 ribu. Fakultas Kehutanan IPB menghitung lebih kecil lagi. Jika hutan hanya dihitung semata kayu, nilainya cuma Rp 400 per hektare per tahun. Nilai itu akan meningkat 100 kali lipat jika hutan dijadikan kebun dan akan naik 100 kali lipat lagi jika arealnya dijadikan griya tawang (real estate).

Nilai kayu yang kecil jika dibandingkan dengan kekayaan alam tak terlihat di sekelilingnya itu membuat pengelolaan hutan berbasis kayu memaksimalkan keuntungan dengan menghabisi sebanyak mungkin tegakan pohon. Pembalakan di luar konsesi menjadi cerita klasik hutan Indonesia era 1980-1990. Setelah hutannya habis, kawasannya diubah menjadi kebun atau fungsi lain yang lebih menguntungkan.

Akibatnya adalah degradasi hutan 1,5-3,8 juta hektare per tahun. Reformasi 1998 memicu kesadaran masyarakat yang

terpinggirkan akibat penguasaan hutan oleh segelintir pengusaha, merambah kawasan hutan dan membalak pohon yang tersisa. Tutupan hutan Indonesia pada kurun 1992-2013 lenyap seluas 34 juta hektare—setara separuh pulau Kalimantan. Lahan gambut yang menyimpan panas dan karbon dibakar untuk dijadikan perkebunan sehingga menyumbang emisi dan pemanasan global.

Semua tragedi itu mendorong pemerintah memikirkan ulang cara mengelola hutan. Mendelegasikan kewenangan kepada pengusaha, melalui

hak pengusahaan hutan (HPH) lalu hutan tanaman industri (HTI), tak membuat hutan lestari. Prinsip ilmu manajemen hutan yang dipelajari di semua Fakultas Kehutanan tak dipakai di lapangan. Maka pada 19 Oktober 2004, sehari sebelum menanggalkan kursi Menteri Kehutanan, Muhammad Prakosa meneken surat keputusan nomor 159 tentang restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi.

Bambang Hendroyono ketika itu baru menjabat Kepala Bagian Administrasi Jabatan Fungsional Biro Kepegawaian, setelah menduduki Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan. “Saya tahu persis

laporan utama

Page 19: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 19j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

bagaimana penggodokannya,” kata dia pada akhir Juni 2019. “Waktu itu tak terbayang bentuknya seperti apa, tapi prinsipnya menguatkan kembali hutan alam.”

Bambang menyebut penguatan hutan alam itu sebagai inovasi pengelolaan hutan karena mengubah paradigma pemanfaatan hutan tak hanya kayu. Secara aturan sebenarnya surat keputusan

Prakosa itu sebagai diskresi pemerintah karena frasa “restorasi ekosistem” tak tercantum dalam beleid mana pun, bahkan tak dikenal dalam Undang-Undang Kehutanan 41/1999.

Payung hukumnya bahkan baru terbit tiga tahun kemudian melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6, ketika Menteri Kehutanan dijabat Malem Sambat Kaban. Di sini baru diatur kawasan mana saja yang harus direstorasi, yaitu areal bekas HPH yang telah dicabut izinnya alias haknya kembali ke negara dengan banyak sebab: kawasannya rusak atau perusahaannya tak mau memperpanjang lagi.

Karena itu, syarat utamanya restorasi ekosistem adalah kawasan hutannya tak lagi bisa dimanfaatkan hingga tutupan tajuknya kurang dari 60% dan areal tersebut habitat penting sebagai penjaga ekosistem sekelilingnya. Angka 60% tutupan tajuk adalah batas sebuah kawasan dikategorikan hutan alam.

Menurut Kepala Sub-Direktorat Penilaian Kinerja Usaha Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu Ditjen PHPL Sarifuddin, tanggung jawab restorasi itu seharusnya dipikul negara karena gagal mengawasi kerja HPH selama 32 tahun. “Tapi restorasi butuh modal banyak dan besar,” katanya. Maka diskresi itu kemudian diterjemahkan sebagai kegiatan oleh unit usaha, seperti HPH, bukan pekerjaan konservasi yang tak menguntungkan secara materi.

Untuk menyiasati ketiadaan frasa dalam aturan pun nama lain restorasi adalah “jeda tebang” HPH, agar terlihat sebagai perbaikan dari sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yang berlaku sebelumnya. Dengan kata lain, karena restorasi masih diizinkan memanen kayunya setelah ditanam selama masa pemulihan, kata “jeda” di sana merujuk sebelum dimanfaatkan menjadi sistem usaha hutan tanaman industri (HTI)—yang diakui secara hukum.

HTI adalah babak baru pengelolaan hutan pada 1990. HTI terutama menjadi penyuplai kayu dan bahan baku untuk industri pulp dan kertas yang membutuhkan lahan luas. Permintaan izin HTI melonjak pada 2004-2008 akibat banyak HPH yang tak diperpanjang masa kerjanya.

Kebakaran.Petugas memadamkan api di lahan gambut areal konsesi PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah, Juli 2019.

Karena bertujuan memulihkan kawasan hutan produksi yang rusak akibat manajemen hutan yang kacau oleh HPH, prinsip restorasi ekosistem sama dengan pengusahaan hutan produksi. Bedanya, yang satu menebang kayu, restorasi justru memulihkan, menjaga, dan memeliharanya. Pada awalnya, kata Sarifuddin, pemerintah membuka lelang untuk menjaring peminat izin restorasi.

Rupanya, lelang itu disambut positif. Ada 51 perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan izin restorasi dengan total luas 3.706.273 hektare—luas kawasan hutan produksi yang terdegradasi ketika itu. Namun, sampai 2016, hanya 16 unit usaha yang mendapat izin dengan total luas konsesi restorasi 623.075. PT Restorasi Ekosistem Indonesia yang tercatat mendapatkan izin pertama pada 28 Agustus 2007 seluas 52.170 hektare di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Nama izinnya adalah Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem, dengan masa konsesi 60 tahun yang bisa diperpanjang 35 tahun. Kata “kayu” dalam izin itu masih dicantumkan akibat restorasi merujuk pada pengertian jeda tebang HPH itu. Sebuah perusahaan yang mendapat izin restorasi kelak diizinkan memanen pohon yang ditanamnya setelah pemerintah menyatakan ekosistem yang mereka pulihkan telah kembali seperti semula.

Masalahnya, keberadaan kata “kayu” dalam penamaan izin itu menjadi problem pelik dan serius pada filosofi restorasi hingga praktiknya di lapangan. Seperti terungkap dalam diskusi “Arah Baru Restorasi Ekosistem” yang diadakan Kelompok Kerja Restorasi Ekosistem di Hotel Sahira Bogor pada 2 Juli 2019. Peserta diskusi yang berasal dari perwakilan 16 perusahaan restorasi mengeluhkan ribetnya aturan yang tak sinkron hingga pemahaman yang tak sama di birokrasi pusat hingga daerah terhadap paradigma baru pengelolaan hutan ini.

Cerita Dody Rukman, Direktur PT Alam Bukit Tigapuluh, bisa mewakili keruwetan itu. Mengajukan izin sejak 2011, izin restorasi ABT baru terbit pada 2015. Itu pun mereka tak bisa langsung beroperasi mengelola kawasan rusak daerah penyangga Taman Nasional Bukit

Page 20: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest20 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Tiga Puluh Jambi seluas 38.665 hektare. “Kami tak diterima masyarakat di sana,” kata Dody.

Selain HPH yang tak menerapkan manajemen hutan yang benar di areal ABT, kawasan penyangga rusak oleh pembalakan liar dan perambahan hutan oleh masyarakat sejak 1980-an, bahkan ada kebun sawit seluas 1.000 hektare dalam konsesi restorasi ABT. Masyarakat menolak ABT karena dianggap akan menghilangkan mata pencarian mereka. Belum lagi pemahaman pemerintah daerah terhadap pengertian restorasi.

Pemerintah daerah, kata Dody, tak paham menerjemahkan aturan restorasi ke tingkat praktis untuk pemberian izin. Saat mengajukan izin ke dua provinsi dan tiga kabupaten, kata Dody, para pejabat pemerintah masih punya pandangan usaha restorasi sama dengan usaha HPH atau HTI sehingga mereka menanyakan setoran untuk pendapatan asli daerah. Pemda, kata Dody, tak paham keuntungan mengonservasi gajah dan lebih senang melayani perusahaan sawit yang memberi pajak besar.

PT ABT dibentuk oleh konsorsium tiga lembaga swadaya masyarakat, antara lain WWF, yang mengajukan izin restorasi untuk menjaga kawasan penyangga dan memulihkan habitat hutan yang menjadi koridor satwa langka Sumatera: harimau, gajah, macan, hingga tapir. Pendanaannya berasal dari lembaga donor internasional, seperti Yayasan Rockefeller, Leonardo di Caprio Foundation, Bank Pembangunan Jerman.

Karena digolongkan sebagai unit usaha, dalam proposal pengajuan izin, pemerintah mewajibkan ABT mencantumkan perencanaan keuntungan. “Karena syarat, kami cantumkan,” kata Dody. Faktanya, uang donor habis untuk biaya operasional menyelesaikan konflik sosial—menurut Sarifuddin seharusnya tanggung jawab pemerintah menyelesaikannya. Sebanyak 35 persen anggaran PT ABT tandas untuk biaya pengamanan kawasan. Padahal kegiatan utama restorasi adalah memulihkan ekosistem rusak, bukan menyelesaikan konflik di dalamnya.

Sementara argo tagihan menyetor pendapatan kepada negara jalan begitu izin usahanya terbit. Ada iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

laporan utama

bisnis restorasi,” katanya.Sugeng Irianto dari PT Global

Alam Nusantara menyebut restorasi seperti bayi baru lahir. Masih berjalan merangkak karena aturan-aturan yang menaunginya belum sinkron dan sempurna. “Perusahaan restorasi tidak business oriented karena ada kerja sosial memulihkan kawasan hutan yang rusak,” kata Sugeng yang mendapat izin 2014 di Riau.

Karena itu dalam satu dekade ini para pelaku restorasi menyebut usaha mereka masih “bakar duit” karena terus menerus berinvestasi memulihkan kawasan rusak

Hutan Kayu, juga pajak bumi dan bangunan, yang menjadi kewajiban tiap perusahaan. Tarifnya sama dengan setoran perusahaan jasa lainnya yang sudah berorientasi keuntungan. Untuk menyiasatinya, PT ABT kini mulai menjalankan bisnis hasil hutan non-kayu seperti budidaya vanili, madu, bambu, hingga propolis. “Memang ini tantangan

Orangutan.Orangutan di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Puting, Kalimantan Tengah, yang menjadi areal konsesi PT Rimba Raya Conservations, Juni 2019.

Page 21: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 21j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

sebelum memulai bisnis non kayu seperti madu, rotan, bambu, atau ekowisata yang tak seseksi dan semudah menebang kayu. Bahkan untuk perusahaan-perusahaan yang sejak awal berorientasi bisnis dari kawasan hutan, seperti PT Rimba Makmur Utama (RMU), PT Rimba Raya Conservation (RRC), atau PT Ekosistem Khatulistiwa Lestari (EKL).

Sejak mengajukan izin pada 2008, PT Rimba Makmur mengincar bisnis jasa lingkungan karbon dari ekosistem gambut di Kabupaten Katingan dan Kota Waringin Timur, Kalimantan Tengah. Isu pemanasan global yang menghangat di

dunia membuat jual-beli karbon menjadi sarana menurunkan emisi.

Sebelum sampai pada keseimbangan hayati kawasan gambut, PT Rimba harus melindunginya dengan menjaga area konsesinya dari pembalakan liar, perambahan, hingga kebakaran lahan. Semua itu butuh dana tak sedikit. “Lima tahun ini masih investasi terus,” kata Direktur Perencanaan RMU Syamsul Budiman.

Investasi menjaga kawasan membengkak, karena selain rusak, kawasan restorasi umumnya telah dirambah masyarakat sekitar hutan ketika kawasan itu tak bertuan—setelah ditinggal perusahaan HPH dan izin restorasinya belum terbit. Mereka membangun perkebunan dan mengambil kayunya dari kawasan hutan.

Ketika perusahaan restorasi masuk ke sana, masyarakat menduga status perusahaan sama dengan HPH. Akibatnya mereka menuntut jatah setoran per kubik kayu yang dipanen HPH. “Ada juga yang menyangka perusahaan restorasi sama dengan perusahaan sawit yang punya skema plasma,” kata Syamsul. “Untuk meluruskan pemahaman itu perlu sosialisasi yang menyedot dana tak sedikit.”

Masalah lain, seperti disebut Sugeng Irianto, adalah aturan-aturan usaha restorasi yang belum punya payung hukum, seperti usaha karbon yang menjadi tujuan PT Rimba Makmur meminta izin memulihkan gambut di Kalimantan Tengah itu. Dari 16 perusahaan, setidaknya tiga perusahaan masuk dalam kategori mengincar peluang

bisnis, tak semata melakukan konservasi habitat.

Kategori dan pemilahan usaha restorasi dibuat Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan karena ada urusan pajak dan setoran pendapatan negara. Ada empat kategori: tujuan konservasi seperti PT ABT, PT REKI, dan PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia; RMU, RRC, dan EKL masuk kategori bisnis; ada juga yang memanfaatkan dana tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan seperti Adaro Group melalui PT Alam Sukses Lestari dan Sipef Group; dan kelompok “menyelamatkan aset sendiri” seperti empat perusahaan di bawah Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Asia Pulp and Paper.

Penamaan “menyelamatkan aset sendiri” ini diprotes oleh perusahaan-perusahaan dalam kategori itu. Kepala Operasional PT Karawang Ekawana Nugraha Urip Wiharjo, anak usaha APP Group, yang merestorasi 8.300 hektare hutan rawa di Ogan Kemering Ilir, Sumatera Selatan, menampik kategori ini. “Faktanya kami merestorasi kawasan bekas HPH PT Jaya Sentosa,” kata dia.

PT Jaya, kata Urip, bukan bagian dari APP Group. Sehingga, menurut dia, tidak pas jika mereka dikategorikan usaha restorasi dengan tujuan menyelamatkan aset sendiri. Menurut Urip, PT KEN mengajukan izin restorasi di rawa yang tergenang sedalam 30 sentimeter untuk menyuplai sumber air industri kertas PT Sinar Mas tak jauh dari sana. Tujuan ini gagal karena mereka tak bisa membuat bangunan di atas rawa yang becek.

Menurut Sarifuddin, penamaan “menyelamatkan aset sendiri” itu merujuk pada upaya restorasi mencegah bencana yang bisa mengganggu bisnis induk perusahaan. Restorasi Ekosistem Riau, kata Sarif, sejenis menyelamatkan aset sendiri oleh RAPP Group dari ancaman kebakaran lahan di sekitar wilayah operasi mereka. Anak-anak usaha RAPP lalu melakukan restorasi di kawasan sekitar itu agar induk bisnis mereka tak terganggu api.

Direktur Hubungan Eksternal Restorasi Ekosistem Riau Nyoman Iswanayoga mengatakan empat perusahaan di bawah RAPP tak menargetkan mendapat keuntungan

Ketika perusahaan restorasi masuk ke sana, masyarakat menduga status perusahaan sama dengan HPH. Akibatnya mereka menuntut jatah setoran per kubik kayu yang dipanen HPH. Ada juga yang menyangka perusahaan restorasi sama dengan perusahaan sawit yang punya skema plasma.

Page 22: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest22 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

dari restorasi ekosistem yang mereka lakukan. “Kami merestorasi karena kawasan itu rusak berat,” katanya. Meski tak setuju dengan istilah pemerintah atas usaha konservasinya, Nyoman memilih menerimanya.

Di luar centang-perenang soal skema restorasi, konsep mengelola hutan produksi ini telah memasuki fase ketiga. Menurut Ketua Kelompok Peneliti Silvikultur Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Inovasi Ika Heriansyah, fase pertama adalah merumuskan restorasi hanya sebagai usaha konservasi di hutan produksi. Fase kedua masa ketika pemerintah memersepsikan restorasi sebagai periode “jeda tebang”. “Kayu menjadi hasil akhir dalam restorasi,” katanya.

Menurut Ika, konsep ini tak ubahnya menganggap kayu sebagai hadiah kepada pemegang izin restorasi setelah mereka bisa memulihkan ekosistem

kawasan konsesinya. Cara pandang ini justru melanggengkan paradigma hutan produksi sebagai kawasan yang menghasilkan kayu, bukan restorasi untuk multiproduk. “Sehingga restorasi dianggap hanya cabang dari pengelolaan berbasis hutan alam,” kata dia.

Kini, paradigma itu mulai berubah. Menurut Ika, restorasi sedang menuju pada fase ketiga, di mana pemerintah mulai mengubah paradigma dengan cara pandang baru bahwa hutan menghasilkan banyak produk yang bisa digarap untuk tujuan ekonomi, sosial, dan ekologi secara paralel. Nilai ekonomi hutan tak hanya datang dari tegakan pohon.

Sarifuddin setuju. Menurut dia, konsep ideal restorasi adalah meningkatkan produktivitas hutan produksi sesuai tipe ekosistemnya semula. Produktivitas itu diukur dari keseimbangan produktivitas ekonomi, sosial, dan ekologi. Menurut dia, hingga kini belum

satu pun perusahaan restorasi mencapai keseimbangan yang ideal tersebut. “Masih mencari bentuk,” kata dia. “Belum terlihat akan mengarah ke mana.”

Kusnadi, Kepala Sub-Direktorat Restorasi Ekosistem dan Pemanfaatan Kawasan, mengatakan bahwa restorasi ekosistem sejauh ini baru ada di Kalimantan dan Sumatera. Papua, Sulawesi, dan Maluku, yang hutan dan gambutnya juga terdegradasi praktik HPH, belum ada yang merestorasinya. “Investor belum tertarik karena yang sedang berjalan belum menguntungkan,” kata dia.

—Librianna Arshanti, Dewi Rahayu Purwa Ningrum, Fairuz Ghaisani, Siti

Sadida Hafsyah

Gambut.Areal hutan gambut konsesi PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah, Juli 2019.

Page 23: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

Bukit Tiga Puluh adalah kawasan seluas lebih dari 500.000 ha yang disebut sebagai hamparan hutan dataran rendah tropis terakhir dengan

ekosistem yang utuh di tengah Pulau Sumatera sebagai habitat bagi Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, dan Orangutan Sumatera. Kawasan ini terancam oleh pembalakan liar dan perambahan besar-besaran yang mewabahi Sumatera sejak awal dekade 80-an. Untuk membantu pemerintah mengatasi kegiatan ilegal, lembaga yang bekerja di kawasan ini harus mengerahkan strategi terbaik mereka dan berpacu dengan waktu.

Tidak sulit membayangkan bahwa puluhan tahun lalu kawasan ini adalah hamparan hutan di jantung Sumatera, di mana pohon-pohon menjulang dengan kanopi memayungi segala kehidupan di bawahnya. Sementara jauh di dalam tanah, akar-akarnya mencengkeram bumi yang subur, menyimpankan air yang dialirkan sungai dengan teratur dan adil. Hidupan liar berkembang biak dalam ekosistem yang menyediakan cukup sumber pangan dan perlindungan.

Hamparan hutan Bukit Tiga Puluh berada di dalam dua wilayah administratif, yaitu: Provinsi Jambi dan Provinsi Riau. Negara menetapkan berbagai status bagi hamparan ini yang bersesuaian dengan fungsinya, mulai dari kawasan Hutan Konservasi, hingga Hutan Produksi. Penetapan Taman Nasional Bukit Tigapuluh pada tahun 1995 diharapkan dapat mengamankan habitat bagi satwa kunci Sumatera yang terancam punah di kawasan ini. Akan tetapi sebagian besar wilayah Taman Nasional seluas lebih dari 140.000 ha ini berbukit dan terjal, sehingga hidupan liar terutama mamalia besar lebih memilih untuk mengarungi area di luar kawasan konservasi. Sementara hamparan yang cenderung lebih datar dan landai ini sudah terbagi dalam petak-petak konsesi berbagai perusahaan dan atau digerogoti ilegal loging dan perambahan.

PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT)

menjadi salah satu harapan dalam mengamankan hamparan ini agar fungsi ekosistemnya kembali seimbang. Banyak yang tidak menyadari bahwa ke-seimbangan ekosistem ini penting tidak hanya bagi hidupan liar, namun utama-nya bagi masyarakat yang menggan-tungkan hidupnya pada hamparan hutan di kawasan ini. Hamparan ini menjadi hulu sungai yang mengalir jauh hingga ke pemukiman dan menjadi satu dengan Sungai Batanghari yang menjadi urat nadi bagi Provinsi Jambi.

Sejarah perusahaan ini mengakar jauh dari upaya berbagai NGO konservasi yang bekerja di kawasan ini untuk menyelamatkan bentangan hutan bukit tiga puluh. Dimulai dengan inisiatif untuk menambah luasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, agar mencakup kantong-kantong habitat spesies dilindungi di luar kawasannya. Ketika upaya ini tidak berhasil dan pemerintah menerbitkan skema konsesi restorasi ekosistem, pilihan ini kemudian diambil. Sementara itu, upaya advokasi tetap gencar dilakukan kepada pemegang izin konsesi lain dan pemangku kepentingan di bukit tiga

puluh untuk turut menjaga kawasan ini.Sejak memperoleh izin pada Juli

2015, ABT terus berjuang melindungi kawasan konsesinya dari berbagai macam kegiatan ilegal. Untuk 60 tahun berikutnya, kedua blok hutan dengan luas total 38.665 hektar ini akan menjadi tanggung jawab ABT untuk dikelola.

Berada di bawah payung skema perizinan yang sama dengan usaha konsesi kehutanan lain, perusahaan restorasi ekosistem seperti ABT terlalu familiar dengan tudingan dan kritik. Padahal, sementara pemegang konsesi lain bergerak di bidang produksi, izin ABT adalah untuk melakukan reforestasi dan mengembalikan keseimbangan ekosistem.

Misi ini tidak mudah, karena tidak semua masyarakat memahami bahwa mereka adalah penerima manfaat utama dari upaya yang dilakukan ABT. Pengembalian keseimbangan ekosistem pada hamparan ini sangat terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat. Hutan yang lestari berarti memastikan tersedianya sumber penghidupan secara berkelanjutan, mulai dari air dan udara bersih hingga hasil hutan bukan kayu seperti: madu, jernang, rotan dan bambu.

Ketidakpahaman serupa menjadi bahan bakar bagi kritik terhadap upaya perlindungan pada hamparan ini. Kritik yang mendesak penindakan kegiatan ilegal untuk disegerakan. Pada saat yang sama ABT dituntut untuk meniti benang yang halus antara upaya perlindungan kawasan dengan isu hak-hak atas lahan.

Namun dukungan juga banyak diberikan bagi upaya penyelamatan kepingan ekosistem yang rapuh ini. Berbagai lembaga penyandang dana telah berkolaborasi mendukung berbagai program sejak tahun 2010. Mulai dari yayasan yang didirikan oleh aktor Hollywood pemenang Oscar Leonardo Di Caprio Foundation, pebisnis Amerika Laurance S.Rockefeller Fund, hingga Pangeran Kerajaan Monaco Prince Albert II of Monaco Foundation menggalang dananya untuk pelestarian Bukit Tiga Puluh. Selain itu, bank pembangunan Jerman dan berbagai lembaga lain, seperti: Richard and Maureen Chilton, Marshall Field, The Moore Charitable Foundation, Eric and Rae Piesner, serta berbagai donor yang memilih untuk tetap anonim turut memberikan sumbangsih bagi upaya konservasi kawasan ini.

TUMBUH BERSAMA BUKIT TIGAPULUH

Bambu sebagai salah satu potensi di dalam kawasan bukit tiga puluh.

Salah satu sungai yang mengalir di tengah konsesi ABT.

I N F O R I A L P T A L A M B U K I T T I G A P U L U H

Page 24: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest24 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Belum Stabil Setelah Satu Dekade

BADAN Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menggolongkan unit usaha restorasi ekosistem ke dalam empat kategori: peluang bisnis, proyek hijau, konservasi, dan menyelamatkan aset sendiri. Ada 16 perusahaan yang sejak 2009 mendapat izin mengelola kawasan hutan produksi yang sudah tak diolah untuk

dipulihkan sesuai habitat semula.Ada tiga grup usaha yang tergabung dalam

kategori keempat: Riau Andalan Pulp and Paper yang mengoperasikan empat perusahaan dalam Restorasi Ekosistem Riau (PT Gemilang Cipta Nusantara, PT Global Alam Nusantara, PT The Best One Unitimber, PT Sinar Mutiara Nusantara), Asia Pulp and Paper (PT Karawang Ekawana Nugraha), dan PT Sipef Biodiversity Indonesia. PT Sipef juga tercatat masuk ke dalam kategori proyek hijau.

Mereka yang masuk kategori keempat ini sebetulnya masih menyoal penamaan “menyelamatkan aset sendiri”. Sebab, penamaan itu mengandung arti mereka hendak menguasai lahan setelah tak menebang kayu dan merusak kawasannya. “Padahal kami mendapat konsesi baru di lahan itu,” kata Nyoman Iswarayoga, Direktur Hubungan Eksternal Restorasi Ekosistem Riau. “Perusahaan kami tak punya konsesi di lahan itu sebelumnya.”

laporan utama

Restorasi burung.Burung di kawasan restorasi PT Restorasi Ekosistem Indonesia di Hutan Harapan, Jambi, 2019.

PT Sipef Biodiversity Indonesia (2013)Muko-muko, Bengkulu

12.655,82 hektare

PT Karawang Ekawana Nugraha (2014)Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan

8.300,00 hektare

PT Gemilang Cipta Nusantara (2012)Pelalawan, Riau

20.265.00 hektare

PT Gemilang Cipta Nusantara (2013)Meranti, Riau Kepulauan

20.450,00 hektare

PT Sinar Mutiara Nusantara (2014)Pelalawan, Riau

32.830,00 hektare

PT Global Alam Nusantara (2014)Pelalawan, Riau

36.850,00 hektare

The Best One Unitimber (2014)Pelalawan, Riau

39.412,00 hektare

PT Ekosistem Khatulistiwa Lestari (2011)Kubu Raya, Kalimantan Barat

14.080.00 hektare

PT Restorasi Ekosistem Indonesia (2007)Sumatera Selatan

52.170.00 hektare

PT Restorasi Ekosistem Indonesia (2007)Sumatera Selatan

52.170.00 hektare

PT Restorasi Ekosistem Indonesia (2010)Batanghari dan Sorolangun, Jambi

46.385.00

PT Alam Bukit Tiga Puluh (2015)Tebo, Jambi

38.665,00 hektare

Page 25: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 25j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

PT Alam Sukses Lestari (2016)Barito Timur, Kalimantan Tengah 19.520,00 hektare

PT Rimba Makmur Utama (2013)Katingan, Kalimantan Tengah 108.255.00 hektare

PT Rimba Makmur Utama (2016)Kotawaringin Timur dan Katingan, Kalimantan Tengah49.620,00 hektare

PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (2010)Kutai Timur, Kalimantan Timur 86.450.00 hektare

PT Rimba Raya Conservation (2013)Seruyan, Kalimantan Tengah 36.953,77 hektare

SUMBER: BKF, KLHK

l PROYEK HIJAU l BISNISl KONSERVASIl MENYELAMATKAN ASET

Page 26: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest26 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

PT Rimba Raya ConservationBerdiri pada 2007, izin restorasi ekosistem untuk perusahaan ini terbit

pada 2013 untuk memulihkan areal seluas 37.151 hektare yang berimpitan dengan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Areal bekas hak pengusahaan hutan PT Mulung Basidi ini terdegradasi karena perambahan dan pembalakan liar.

Menurut Direktur Teknik Mochamad Asari, awal mula RRC masuk ke areal ini untuk menyelamatkan orang utan yang berumah di taman nasional. Apalagi sebagian besar areal konsesi RRC adalah gambut yang rusak akibat kegagalan Orde Baru menyulapnya menjadi sawah sejuta hektare.

Ada 14 desa di sekitar konsesi RRC yang menjadi kawasan penyangga taman nasional. Agar masyarakat turut menjaga kawasan konsesi, RRC membuat banyak kegiatan di desa, seperti pembuatan bibit tanaman, kerajinan dari bahan plastik daur ulang, bank sampah, beternak ayam, pengembangbiakan ayam petelur, hingga beasiswa untuk siswa SMA.

Menurut Asari, modal untuk semua kegiatan berasal dari dana perusahaan, selain bekerja sama dengan sejumlah lembaga mitra seperti World Education, Infinite Earth, Orangutan Foundation International (OFI) Badan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kalimantan Tengah, taman nasional untuk patroli, Kyoto University untuk penanaman pohon gaharu, pemerintah New Zealand untuk pengadaan panel solar.

Pendiri RRC merupakan gabungan tiga perusahaan: PT Jaga Rimba, PT Phoenix Pembangunan Indonesia, dan PT Lestari Jaya Anugerah. Untuk menjaga kawasan, RRC tengah menanam 400 ribu pohon lokal. Menurut

Ansari, setelah enam tahun berjalan, investasi belum balik modal. “Ada usaha nonkayu tapi sangat kecil dan hanya cukup untuk masyarakat binaan saja,” katanya.

Biaya operasional bertambah besar untuk pengamanan karena ancaman musim kemarau yang bisa membakar kawasan gambut. Apalagi, pendapatan menjual karbon yang mulai

diminati dunia internasional belum berjalan karena belum ada aturan jelas soal bisnis ini dari pemerintah. “Sementara keringanan kewajiban berupa insentif pajak juga belum ada,” kata Ansari.

Menurut Ansari, pemerintah tak memberi insentif apa pun kepada usaha restorasi karena setoran sejak biaya izin hingga pajak sama dengan usaha HPH dan HTI yang sejak awal berorientasi bisnis. “Padahal usaha restorasi baru stabil setelah sepuluh tahun,” katanya.

Di lapangan, gangguan terhadap usaha restorasi tidak merongrong kegiatan utama, yakni penanaman kembali, melainkan gangguan masyarakat. Manajer Camp dan Koordinator Teknis RRC Antonius Jonathan bercerita tiap musim pemilihan umum para calon memberikan janji yang muskil kepada konstituen. “Mereka menjanjikan bagi lahan di kawasan hutan produksi,” kata dia.

Menurut Jonathan, gangguan perambahan dan kebakaran jadi problem utama RRC menjaga kawasan. Pembalakan liar juga jadi ancaman serius. Sehingga biaya operasional perusahaan lebih banyak tersedot untuk patroli dan pengamanan.

laporan utama

PT Restorasi Ekosistem Indonesia

REKI menjadi perusahaan pertama yang mendapat izin restorasi ekosistem dalam sistem lelang pada 2007. Perusahaan ini dibentuk oleh tiga organisasi konservasi besar: Burung Indonesia, Birdlife International, dan The Royal Society of Protection for the Bird. Awalnya, mereka mengajukan izin mengelola kawasan rusak di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, untuk menyelamatkan habitat asli burung di sana pada 2007 seluas 52.170 hektare.

Tiga tahun kemudian, izin kedua terbit untuk konsesi seluas 46.385 hektare di Batanghari dan Sorolangun, Jambi. Mereka menamai areal konsesinya dengan nama Hutan Harapan. Sehingga, luas total untuk dua areal konsesi PT Restorasi Ekosistem 98.555 hektare—1,5 kali luas Jakarta.

Selama 2010-2019, PT REKI telah menanam bibit pohon 1.281.306 di Jambi. Pengadaan bibit pohon bekerja sama dengan masyarakat desa sekitar hutan. Setelah survei di awal kerja, di kawasan REKI di Jambi terdapat 547 jenis satwa, 106 di antaranya jenis yang terancam punah seperti gajah, harimau Sumatera, tapir, beruang, rangkong. Menurut Direktur Utama REKI Mangarah Silalahi, pemulihan di areal konsesi butuh waktu 30 tahun.

Sumber biaya investasi REKI berasal dari donor, seperti Singapore Airlines, PT Tasco, dan sumbangan dari proyek pelestarian gajah dari Darwin Initiative dan pemerintah Jerman. Perusahaan-perusahaan besar ini berinvestasi di bank, kemudian menyalurkan pendapatan bunganya ke REKI. Mangarah mencontohkan, Singapore Airlines yang menyimpan US$ 7-15 juta mendapatkan bunga bank US$ 55.000 setahun.

Sejauh ini pendapatan REKI berasal dari hasil hutan non kayu seperti bambu dan madu. Dengan menggandeng masyarakat, mereka telah menanam bambu di areal 40 hektare, dari target 2.000 hektare. Namun, menurut Mangarah, pendapatan non kayu ini hanya 10% dari biaya operasional. “Sementara operasional kami butuh minimal Rp 13 miliar setahun,” kata dia.

Page 27: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 27j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

PT Karawang Ekawana Nugraha

Awalnya, anak usaha Asia Pulp and Paper ini mengajukan izin mengelola lahan bekas operasi PT Jaya Sentosa seluas 8.300 hektare di Simpang Heran Beyuku, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, untuk menyuplai air bagi pabrik kertas PT Sinar Mas. Kawasannya berupa rawa yang tergenang air sedalam 30 sentimeter dengan belukar tua seluas 5.614 hektare, belukar muda hampir 2.000 hektare, dan sisanya lahan terbuka.

Karena tujuan itu, pemerintah

menggolongkan PT Karawang sebagai usaha restorasi menyelamatkan aset sendiri setelah izinnya terbit pada 2014. Menurut Kepala Operasional Urip Wiharjo tujuan awal itu buyar karena hutan rawa itu tak layak dibangun gedung. “Tiang pancang sampai lima saja masih ambles,” katanya.

Karena gagal mewujudkan tujuan itu, fokus restorasi PT Karawang kini berupa konservasi gajah karena daerah itu menjadi jalur perlintasan hewan besar ini. Dari survei awal ada sekitar 3.000 ekor gajah dengan daya jelajah areal 16.000 hektare. Pendanaan untuk mengelola kawasan ini sepenuhnya ditanggung APP

Group.PT Kawarang, kata Urip, tengah

mengembangkan ekowisata gajah di areal konsesi mereka, ekowisata rawa, kanal dan sungai, serta pemanfaatan getah jelutung dan pulai. “Ada juga usaha agrosilvofishery,” kata Urip.

Jika restorasi PT Karawang berhasil mengembalikan habitat biotik seperti semula, potensi karbon yang bisa diserap kawasan ini sebanyak 9,1 juta ton karbon per tahun. Jika harga per ton US$ 5, harga karbon yang bisa dijual sekitar US$ 839.763 per tahun. Tapi, menurut Urip, usaha karbon belum berjalan karena regulasinya belum ajek. —

Page 28: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest28 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

HAMPARAN gambut membentang sejauh mata mematut. Ekosistem ini terperangkap di antara dua sungai besar di Kalimantan Tengah, sungai Mentaya di barat dan sungai Katingan di timur.

Kanal-kanal yang lurus, yang jadi akses masuk ke kawasan gambut sepanjang 120 kilometer itu, jadi ramping dan terlihat menyempit di tepi cakrawala. Hutan gambut ini seperti berada dalam mangkok raksasa yang biru, hijau, putih, dan kabut Kalimantan yang ringan dan tipis pada pagi awal Juli 2019. Di ujung sana pohon-pohon meranti bercampur terentang dan parupuk berdiri kaku dalam sunyi.

Dari total luas lahan gambut 108.225 hektare di Kabupaten Katingan dan 49.620 hektar di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, yang dikelola PT Rimba Makmur Utama, ada sekitar 15.000 hektare wilayah terdegradasi berat yang kini mulai dihuni jenis pionir, seperti galam, malam-malam, dan punak.

PT Rimba Makmur mendapat konsesi untuk merestorasi ekosistem wilayah ini pada akhir 2013 dan 2016 untuk jangka waktu 60 tahun. Mereka mengajukan izin memulihkan kawasan bekas hak pengusahaan hutan beberapa perusahaan. Perusahaan HPH sebelumnya berhenti operasi tahun 1990 yang dilanjutkan izinnya oleh perusahaan lain sampai awal 2000. Sempat kebakaran hebat pada 1997,

kawasan ini terbuka oleh penjarahan dan pembalakan liar.

PT RMU didirikan dengan cita-cita besar mewujudkan pemulihan fungsi ekologis lahan gambut tropis sebagai kawasan penyerapan dan penyimpanan karbon sekaligus melindungi ekosistem hutan di dalamnya. Mereka memanfaatkan isu karbon yang menghangat akibat pemanasan global. “Skema bisnisnya memakai kredit karbon, dengan merek Katingan-Mentaya Project,” kata Manajer Umum PT Rimba Taryono Darusman kepada Forest Digest.

Perdagangan karbon adalah bisnis baru dalam pengelolaan hutan. Para pelaku industrinya acap menyebut bisnis ini sebagai “bisnis gaib” atau “barang langit” karena tak berwujud. Pembeli membayar kegiatan perusahaan seperti PT Rimba yang memelihara hutan untuk menyerap karbon. Harganya ditentukan kemampuan jenis pohon menyerap emisi per tahun.

Dalam kategori usaha di kehutanan, bisnis ini masuk dalam kategori usaha jasa lingkungan. Direktur Perencanaan PT Rimba Syamsul Budiman menjelaskan dalam standar perhitungan karbon sukarela, bisnis karbon

akan berjalan jika perusahaan pengusul telah memiliki project Design Document (PDD) yang telah divalidasi lembaga standarisasi.

Untuk mendapat sertifikat karbon itu, proyeknya harus memenuhi kriteria MRV, yakni kegiatan mereduksi karbon itu harus bisa dimonitor, dilaporkan, dan diverifikasi lembaga yang kredibel. Selain itu proyeknya mesti punya nilai

tambah sebagai bagian dari model bisnis. Misalnya, kualitas kawasan hutan tak akan berubah kendati PT Rimba Makmur berakhir masa konsesinya.

Untuk metode perhitungan karbon, PT Rimba memakai standar verified carbon standard (VCS) dan climate, community, and biodiversity (CCB Standards). Dua metode ini diakui para ahli sebagai metode paling kredibel menghitung tangkapan karbon saat ini. “Butuh tiga tahun mendapatkan sertifikatnya,” kata Syamsul.

Masalahnya, belum ada standar harga dalam perdagangan karbon. Dalam konferensi mencegah perubahan iklim, seperti di Katowice Polandia akhir tahun lalu, lembaga perubahan iklim PBB menentukan batasan harga karbon US$ 5-11 per ton CO2. Tapi praktiknya, seperti umumnya bisnis, pembeli selalu menawar lebih rendah dari patokan itu.

Gambut adalah penyimpan karbon terbaik dibanding tanaman lain. Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian memperkirakan ada sekitar 14,9 juta hektare lahan gambut di Indonesia pada 2011. Dari jumlah itu sekitar 25% atau 3,74 juta hektare dalam kondisi telantar akibat terdegradasi karena pengelolaan yang keliru: konversi lahan, pembakaran, hingga peruntukan yang salah.

Di Kalimantan, ada sekitar 4,7 juta hektare lahan gambut atau 32% dari total gambut di Indonesia—kedua terluas setelah Sumatera—atau 0,05% dari total wilayah pulau ini. Gambut seluas ini menurut Wetland Indonesia menyimpan

Hablumminalam di KalimantanUntuk bisa menjaga gambut agar menyerap karbon banyak, pertama-tama bekerja sama dengan masyarakat. Sebab ancaman utama gambut adalah kebakaran.

Page 29: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 29j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

setidaknya 11 Giga ton karbon. Dari total luas itu lahan gambut Kalimantan yang kritis dan sangat kritis mencapai 1,7 juta hektare. Memulihkan hutan gambut adalah sebuah kesempatan mencegah bumi memanas akibat emisi gas rumah kaca.

Di Kalimantan Tengah ada tiga perusahaan yang mendapat izin restorasi ekosistem dengan total luas 214.546 hektare. Selain di Katingan, PT Rimba Makmur punya konsesi di Kotawaringin Timur. Satu konsesi lagi dijalankan PT Rimba Raya Conservation, juga berbisnis karbon seraya menjaga orangutan di perbatasan Taman Nasional Tanjung Puting di Seruyan. Sementara PT Alam Sukses Lestari menjalankan restorasi di Barito Selatan. “Izinnya terbit antara tahun 2013 sampai 2016,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah Sri Suwanto.

Sebagai pemegang izin restorasi, kewajiban perusahaan-perusahaan itu tidak berbeda dengan HPH. Pembedanya mereka tidak boleh menebang pohon sampai keseimbangan hayati kawasan konsesinya tercapai. Ukurannya akan ditentukan oleh pemerintah melalui evaluasi penilaian tiap tahun.

Kewajiban perusahaan restorasi antara lain menjaga dan melindungi kawasan, melakukan kemitraan dengan masyarakat desa di sekitar konsesi, penelitian dan pengembangan, pengembangan usaha nonkayu, serta menyetor iuran dan pajak. Ada kewajiban tambahan bagi perusahaan

yang mengelola ekosistem gambut, yakni restorasi hidrologi di seluruh kawasan. “Konsesi kami hanya 157.875 hektare tapi pengawasannya mencakup 320.000 hektare karena masih dalam satu kesatuan hidrologis gambut,” kata Syamsul.

Luas gambut PT Rimba Makmur kira-kira 96% wilayah, 3% ekosistem kerangas, dan sisanya ari tawar. Manajer Pengelolaan Hutan Produksi Lestari PT RMU Ginanjar menjelaskan lebih dari 90% areal konsesi perusahaannya zona lindung. Selain karena tebalnya lebih tiga meter, kawasan ini menjadi lalu lintas orang utan, habitat tenggiling, dan burung rangkong, serta akses nelayan. Karena itu program RMU melibatkan masyarakat di 34 desa bersama-sama menjaga kawasan ini, selain program pemberdayaan.

Menurut Manajer Pengembangan Masyarakat RMU Yusef, dari 34 desa, perusahaannya sudah menjalin kesepakatan dengan masyarakat di 26 desa menjaga konsesi mereka. Di zona penyangga, misalnya, PT Rimba mendukung pertanian masyarakat tanpa membakar dan memakai zat kimia. “Agar masyarakat punya penghasilan kami membangun budidaya vanili, bambu, kacang mete, gula aren,” Hirason, Manajer Pengembangan Bisnis, menambahkan.

Penduduk lokal juga memenuhi struktur staf RMU di Kotawaringin Timur maupun Katingan. Saat musim kemarau, semua bagian berfokus mengendalikan api karena gambut mudah terbakar oleh panas permukaan. Musuh terbesar

gambut adalah api. Jika terbakar, bukan saja kawasannya yang hangus, tapi juga mengancam keragaman hayati di dalamnya.

Dari perhitungan sementara, menurut Manajer Perlindungan RMU Meyner Nusalowo, setidaknya ada 3.000 individu orang utan di konsesi RMU. Jumlah ini kira-kira 5% populasi orangutan Kalimantan. Dengan menjaga gambut tetap asri, tegakan hutan di dalamnya juga akan terjaga sebagai rumah 23 jenis satwa di konsesi RMU, selain pohon endemis Kalimantan seperti gemor, jelutung, dan ulin.

Alih-alih menebang kayu bernilai ekonomi tinggi itu, RMU terus menanam pohon-pohon endemis kawasan gambut itu. Karena fokus usahanya karbon, justru mereka harus punya sebanyak mungkin pohon di wilayah konsesi. Syamsul menyebut usaha restorasi semacam “habluminalam”, hubungan baik manusia dengan alam, selain habluminallah dan habluminanas. “Tahap penjualan karbon sekarang memasuki pemasaran,” kata dia. “Mudah-mudahan segera ada pembeli dan bertransaksi.”

—Razi Aulia Rahman (Kalimantan Tengah)

Restorasi gambut.Kawasan gambut areal restorasi PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah, kemitraan dengan masyarakat, dan usaha memadamkan api musim kemarau, Juli 2019

Page 30: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest30 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

RESTORASI ekosistem menjadi upaya pemulihan kawasan hutan produksi yang rusak akibat pengelolaan yang berorientasi kayu hingga tercapai keseimbangan hayati. Untuk mengatur pola pengelolaan kawasan

hutan produksi melalui restorasi ekosistem, Departemen Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan Hutan Produksi yang kemudian diubah dengan P.61/Menhut-II/2008.

Terobosan baru ini memungkinkan restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Pertama kali dalam sejarah kehutanan Indonesia, ada kebijakan yang memungkinkan hutan produksi tidak ditebang dalam jangka waktu tertentu. Melalui restorasi ekosistem, hutan alam produksi diharapkan akan berfungsi kembali sebagai penyeimbang ekosistem, baik biotik maupun abiotik.

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 61/Menhut-II/2008, yang menyebutkan bahwa izin restorasi diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi

yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.

Izin restorasi merupakan bentuk pengusahaan hutan produksi yang erat kaitannya dengan aspek keanekaragaman hayati. Sejauh ini pengelolaan keanekaragaman hayati terfokus pada kawasan-kawasan konservasi pada umumnya. Pendekatan restorasi menjadikan keanekaragaman hayati sebagai prioritas. Penerapan pada tingkat lapangan kegiatan prioritas, khususnya pada penataan areal (lanscaping area) kawasan RE difokuskan pada kawasan lindung, kawasan pemanfaatan kayu dan HHBK serta kelola sosial.

Sejauh ini dalam berbagai pembahasan kebijakan usaha jasa lingkungan, keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan dalam konteks perlindungan keanekaragaman hayati. Aspek ini melekat pada seluruh tahapan restorasi, misalnya pada pada tataran teknik restorasi dan pengelolaan habitat, riset dan pengembangan, pemanfaatan sumberdaya hutan, bahkan sampai pada tataran konsep keseimbangan hayati. Meskipun demikian, arah pengelolaan restorasi ekosistem semestinya tidak diarahkan kepada model pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi yang

Keanekaragaman Hayati di Hutan RestorasiRestorasi menjadi usaha memulihkan keanekaragaman hayati kawasan hutan produksi yang rusak. Terbukti secara empirik.

Satwa Endemis.Pelbagai jenis satwa endemis di areal restorasi PT Rehabilitas Habitat Orangutan Indonesia di Kutai Timur, Kalimantan Timur

Page 31: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 31j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Rilis.Pelepasliaran orangutan di areal restorasi PT Rehabilitasi Habitat Orangutan Indonesia di Kutai Timur, Kalimantan Timur, 2018.

cenderung terbatas. Lebih spesifik pada pengelolaan

keanekaragaman satwa liar dalam pengelolaan hutan produksi khususnya pada kawasan restorasi diperlukan suatu perencanaan baik jangka pendek atau jangka panjang. Ketersediaan \ data terkait potensi kawasan menjadi baseline data yang komprehensif (populasi, genetik, distribusi dll). Baseline data tersebut harus dimonitoring dan dievaluasi secara berkala dengan tujuan mengetahui kondisi potensi yang ada.

Berdasarkan baseline data diharapkan menghasilkan sebuah rencana

pengelolaan satwa liar melalui kegiatan restorasi di dalam areal IUPHHK-RE. Pengelolan tersebut diintegrasikan dengan pengelolaan dalam lanskap yang lebih luas melalui pendekatan koridor untuk menghubungkan kawasan-kawasan yang terfragmentasi. Hal ini juga memerlukan training atau pelatihan khusus terkait pengelolaan

satwa liar serta kolaborasi dengan pihak terkait untuk mewujukan pengelolaan berkelanjutan berbasiskan ekosistem melalui skema Restorasi Ekosistem.

Kawasan restorasi pada umumnya merupakan kawasan-kawasan hutan produksi yang telah terdegradasi. Komposisi habitat yang ada termasuk struktur habitat hutan sekunder berakibat menjadi habitat yang terfragmentasi. Fragmentasi habitat akan menyebabkan kehilangan satwa spesialis (interior species) yang mencakup didalamnya burung terestrial, mamalia kecil dan herpetofauna.

Selain itu berpengaruh pada satwa yang menpunyai wilayah jelajah (home range) lebih luas termasuk mamalia besar seperti gajah asia (Elephas maximus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), orang utan (Pongo pygmaeus dan Pongo abelii) dan tapir (Tapirus indicus). Akibat fragentasi kawasan akan menimbulkan efek tepi (edge effect). Kawasan tersebut akan dihuni oleh jenis tepi yang mempunyai risiko gangguan secara ekologi ataupun gangguan dari luar.

Kawasan-kawasan yang terdegradasi dan fragmentasi akan berdampak pada dinamika dan metapopulasi. Implikasi fragmentasi tersebut menyebabkan tiga proses penting yaitu kepunahan (extinction), migrasi (migration) dan kolonisasi (colonization). Kawasan yang terfagmentasi akan menimbulkan pemecahan sub-sub populasi dan mengurangi pergerakan (migrasi) satwa antar sub populasi sehingga meningkatkan risiko kepunahan. Pemisahan antar sub-sub populasi akan menurunkan peluang kolonisasi untuk regenerasi. Dalam hal ini, data identifikasi persebaran (distribusi) satwa sangat penting dalam mengetahui dinamika dan metapopulasi.

Meskipun ekosistem hutan di areal restorasi mengalami kerusakan, dari tingkatan ringan sampai berat, namun keberadaan jenis flora dan fauna yang ada merupakan aset yang sangat penting dalam upaya pemulihan ekosistem tersebut. Bahkan, ada beberapa satwa endemis dan merupakan kunci bagi pemulihan ekosistem hutan tersebut.

Salah satu hal yang menginspirasi Burung Indonesia melakukan upaya pelestarian

Page 32: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest32 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

ekosistem hutan alam produksi adalah sebuah studi di tahun 2000 yang menyatakan bahwa hutan dataran rendah Sumatera yang kaya akan keanekaragaman hayati akan segera habis jika tidak ada tindakan penyelamatan.

Bersama kemitraan global BirdLife Internasional, Burung Indonesia melakukan inisiatif pemulihan hutan dataran rendah Sumatera di Jambi dan Sumatera Selatan yang kemudian dikenal dengan nama Hutan Harapan. Selain itu, beberapa kawasan restorasi menjadikan satwa kunci sebagai icon bagi upaya restorasi ekosistem hutan, misalnya kawasan PT RHOI dan kawasan PT ABT

dengan orang utan.Hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai

Timur, Provinsi Kalimantan Timur yang dikelola oleh PT RHOI seluas 86.450 hektare telah teridentifikasi di awal kegiatannya sebanyak 294 jenis, terdiri dari 45 jenis mamalia, 221 jenis burung, 18 jenis amfibi dan 10 jenis reptil dengan berbagai tingkatan status konservasi (IUCN) dan perdagangannya (CITES). Pada areal tersebut juga telah teridenti-fikasi 395 jenis pohon, yang terdiri dari jenis pohon asli (endemi) sebanyak 21 jenis serta berbagai jenis status (langka dan dilindungi) dan peruntukan (nilai ekonomi, ekologi, medis).

Selama kurang dari 10 tahun, telah dilepasliarkan lebih dari 100 orang utan rehabilitan di areal kerja restorasi PT. RHOI. Selain kegiatan pelepasliaran orang utan, juga monitoring secara intensif terhadap orang utan tersebut. Hasil monitoring sangat penting untuk melihat dinamika yang ada dan yang berhubungan dengan suksesi atau pertumbuhan jenis pohon.

—Aldrianto Priadjati dan Asep Ayat

Yayang dan Bayinya.Orangutan di areal restorasi PT Rehabilitas Habitat Orangutan Indonesia di Kutai Timur, Kalimantan Timur, 2019.

Page 33: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 33j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Tenggiling di Ekosistem Riau

DI Provinsi Riau, ada lima unit manajemen restorasi ekosistem, yang dikelola di bawah program Restorasi Ekosistem Riau (RER). RER merupakan program yang dicanangkan pada 2013 oleh APRIL Group—sebuah perusahaan, bubur kertas dan kertas terkemuka yang menyediakan US$ 100 juta untuk mendukung restorasi ekosistem, konservasi keanekaragaman hayati, dan pengembangan masyarakat di wilayah itu.

Bersama Fauna Flora International (FFI), RER menyurvei keanekaragaman hayati pada 2015-2018. Survei awal dan pemantauan keanekaragaman hayati seperti tumbuhan, mamalia, burung, amfibi, reptil dan ikan sudah dilakukan di tiga dari lima area konsesi RER: PT Gemilang Cipta Nusantara seluas 20.265 hektare, PT Sinar Mutiara Nusantara seluas 32.830 hektare, dan PT The Best One Unitimber seluas 39.412 hektare yang semuanya berlokasi di Semenanjung Kampar. Hingga kini, RER telah mengumpulkan data dasar keanekaragaman hayati yang terdapat dalam lebih dari 60% total area pemulihannya, sekitar 92.507 hektare.

Kondisi hutan gambut sekunder akibat perambahan hutan pada masa lalu membuat survei di area ini sangat menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Beberapa lahan terbuka membuat sinar matahari dan penguapan air gambut membuat suhu di area tersebut naik. Selain itu, gambut dengan tumpukkan serasah rapuh, membuat mobilitas menjadi lambat.

Saat kemarau, badan sungai berwarna coklat. Saat hujan, badan sungai terutama dengan area riparian terbuka, menjadi danau. Air tersebut tidak menutup kemungkinan juga

akan membanjiri hutan di sekitarnya. Sehingga terkadang perjalanan menyusuri hutan untuk menuju pada titik tertentu harus dilakukan dengan berjalan di dalam air tersebut.

Ekosistem Riau memiliki sumber daya mencengangkan. Belum banyak penelitian mengenai keanekaragaman hayati, khususnya di ekosistem hutan gambut ini. Bahkan, ekosistem gambut memiliki keanekaragaman acap diremehkan karena kondisi alamnya tidak mendukung banyak spesies untuk hidup (seperti pH air yang asam dan kurangnya mikrohabitat).

Survei pada Desember 2018 itu menemukan ada 759 spesies tumbuhan dan hewan. Ekosistem Riau menjadi habitat bagi setidaknya 55 spesies terancam, termasuk pohon spesialis hutan gambut seperti meranti bakau (Shorea platycarpa), dan resak paya (Vatica teysmanniana), serta mamalia seperti tenggiling (Manis javanica) dan harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae). Semua hewan itu sudah masuk kelompok yang rentan akan kepunahan akibat perburuan, deforestasi, degradasi, hingga perdagangan liar.

Ekosistem Riau juga menjadi rumah bagi pohon dan hewan endemis Sumatera seperti resak paya (Vatica teysmanniana) dan kongkang kecil (Chalcorana parvaccola). Ada juga burung cabak kolong (Caprimulgus concretus), burung puyuh hitam (Melanoperdix nigra), dan katak rawa (Pulchrana rawa), selain amfibi dan reptil yang menarik dikaji secara taksonomi dan ekologi.

Survei di kawasan restorasi ini penting sebagai basis penilaian keberhasilannya. Restorasi akan dianggap sukses jika spesies pada ekosistem tersebut telah mendekati kondisi asli sebelum rusak.

—Ganjar CahyadiKurator Museum Zoologi Sekolah Ilmu dan Teknologi

Hayati Institut Teknologi Bandung

Konsesi. Peta lokasi Restorasi Ekosistem Riau di Semenanjung Kampar, Provinsi Riau (dimodifikasi dari https://www.rekoforest.org/programme/about-rer/ dan https://www.google.com/maps)

Page 34: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest34 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

BA M BA NG H E N DROYONO , PEL AKSANA TUGAS DIREKTUR JENDER AL PENGELOL AAN HU TAN PRODUKSI LESTARI :

Restorasi Ekosistem adalah Masa Depan Kehutanan

Page 35: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 35j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Page 36: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest36 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

BAMBANG Hendroyono menjadi semacam saksi hidup kebijakan dan pelaksanaan restorasi ekosistem. Ia birokrat karier sejak lulus dari jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB pada 1987. Menjalani penempatan di

pelbagai pos, dari staf sertifikasi hasil hutan, protokol, kepegawaian, hingga biro umum, Bahen—demikian ia biasa disapa—sejak 2015 menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jabatan karier birokrat tertinggi di lembaga pemerintah.

Sejak 28 Juni 2019, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menunjuknya menjadi Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Maka, kini Bahen membawahkan secara langsung urusan restorasi ekosistem ini. Sebab, restorasi masih digolongkan ke dalam jenis usaha pengelolaan hutan.

Pada 2004, ketika Menteri Kehutanan dijabat Muhammad Prakosa, Departemen Kehutanan menerbitkan peraturan tentang restorasi ekosistem Nomor 159 pada 19 Oktober—sebuah frasa yang tak muncul di pelbagai aturan mana pun yang mengatur kehutanan. Bahen menyebutnya inovasi. “Ketika hutan rusak, kita perlu memulihkannya,” katanya.

Industri kehutanan tak lagi diberi kesempatan mengambil benefit ekonomi dari hutan berupa menebang kayu, melainkan justru menanam dan menjaganya—terutama di kawasan bekas hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang rusak dan terdegradasi akibat pengelolaan yang mengindahkan ilmu manajemen hutan.

Bahen mengakui jika restorasi ekosistem semacam “cuci dosa masa lalu” dalam pengelolaan hutan yang tak lestari. Merurut data Kelompok Kerja Restorasi Ekosistem, sejak 1999-2013, tutupan hutan Indonesia hilang seluas

34 juta hektare atau 500 kali luas Jakarta. Degradasi dan deforestasi mencapai angka tertinggi 3,4 juta hektare per tahun atau enam kali lapangan sepak bola per menit.

Dua tahun setelah regulasi itu keluar, PT Restorasi Ekosistem Indonesia mendapat izin pertama sebagai pemulih hutan harapan di Jambi. Setelah itu, muncul 15 unit manajemen lain. Mereka mendapat konsesi menjaga hutan konsesi mereka selama 60 tahun. Tak boleh menebang, tak boleh memanfaatkan kayu, hanya menjaga habitat di dalamnya seraya menyelesaikan konflik perambahan kawasan hutan oleh penduduk sekitar.

Mengapa mereka mau berinvestasi menjaga hutan jika tak mendapat keuntungan signifikan? Simak penuturan

Bambang Hendroyono kepada Firli Azhar Dikdayatama, Muhammad Tigan, Syamsul Budiman, Muhammad Nugroho, Bagja Hidayat, dan Ahmad Jufri dari Forest Digest pada 19 Juli 2019 malam di ruang kerjanya.

Sebagai saksi hidup restorasi ekosistem, bagaimana sejarah kebijakan ini?

Kita sepakat dulu RE ini akan menguatkan hutan alam, bukan hutan tanaman. Orang mengartikan restorasi itu sebagai pemulihan. Waktu itu tak terbayang bentuknya. Saya lama di hutan produksi. Restorasi muncul ketika kita jaga hutan alam. Sejarah pengelolaan hutan itu dari Undang-Undang 41/1999, tapi acuannya Undang-Undang 56/1967.

Dulu itu hutannya masih luar biasa, terus pemodal dalam dan luar negeri masuk tahun 1968.

Era masuknya pengusahaan hutan?Kita butuh ekonomi. Kayu jadi yang

utama. Jangan disalahkan jika hutan identik dengan kayu. Hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan belum ada yang mau. Lahirnya konsep hutan produksi. Mulai muncul konsep TPTI, tebang pilih tanaman Indonesia. Sebuah perusahaan punya konsesi 35 tahun. Dia nebang blok pertama tahun pertama, lalu menanam. Ketika tahun ke 36, pohon di blok pertama itu sudah tumbuh kembali. Pemerintah mengatur pohon mana saja yang harus ditebang. Keren.

Praktiknya kan tidak seperti itu...Betul. Kita harus saling memahami.

Tahun 1990, ada HPH yang diperpanjang ada yang tidak. HPH yang diperpanjang mendapat haknya lagi 20 tahun, berarti sampai 2010. Mereka sekarang sudah masuk daur kedua.

Bagaimana dengan yang tak diperpanjang?

Menjadi HTI dengan PP 7/1990. Puncaknya pada 1995-1996. Luasnya besar-besar karena HTI memasok ke industri pulp dan kertas yang minimal butuh 100.000-150.000 hektare. Daurnya 5-6 tahun. Konsep HTI itu tebang habis permudaan buatan, akhirnya land clearing, lalu ditanami pohon

lagi untuk jadi hutan alam. Problemnya adalah HPH yang tak menjadi HTI menjadi open access. Pembalakan liar jadi marak. Pengawasan pemerintah kan lemah. Di situlah muncul gagasan restorasi. Gagasannya adalah izin yang diberikan untuk menjaga hutan alam, mengembalikan hutan alam, untuk mencapai keseimbangan.

Apa syarat utama restorasi?Keanekaragaman hayati. Syaratnya

flora fauna telah kembali. Tak bisa lagi memakai TPTI, THPB. Maka untuk mencapai keseimbangan itu memakai prinsip menjaga keseimbangan dengan pemulihan. Pemerintah memberikan arahan pemanfaatan hutan sudah berubah. Maka di hutan produksi untuk restorasi ekosistem, ada untuk HPH, ada

Page 37: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 37j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

untuk HTI. Tapi sejak 2011, pemberian izin untuk HPH dan HTI sudah turun karena ada moratorium.

Jadi boleh diartikan restorasi ini perbaikan atas pengelolaan hutan yang tidak lestari zaman dulu?

Bisa, karena ada yang tak bisa diperpanjang lagi izinnya setelah 30 tahun. Ada perusahaan yang manajemennya tidak bener, tidak profesional, manajemen jelek. Pemerintah lalu mencabut izinnya karena mereka tak punya uang lagi. Mereka juga tidak bisa membangun industri.

Jadi areal restorasi itu di semua HPH yang tidak diperpanjang?

Ya. Nah ketika kita tidak diperpanjang, kita tidak cepat eksekusi kita untuk memberikan kepada yang lain.

Apa penyebabnya?Tidak diikuti dengan sistem

bagaimana kesiapan provinsi ketika kita menyerahkan kewenangan kepada mereka.

Karena otonomi?Nah, mulai otonomi. Setelah itu ada restorasi? Ya. Sebab, pertanyaannya bagi yang

tak diperpanjang apa solusinya? Apakah

dikasih HPH lagi? Apakah dikasih HTI? Muncul ide restorasi ekosistem. Itu tahun 2007. Saya jadi Dirjen Bina Usaha Kehutanan tahun 2012, baru dua tahun izin pertama. Kami mulai berbenah diri. Mereka yang diberi izin RE yang hutan alamnya dominan dari areal yang rusak. Yang rusak itu yang harus mereka pulihkan menjadi hutan alam. Jadi pemegang izin itu wajib menanam jenis hutan.

Apa benefit yang mereka dapatkan dari memulihkan hutan yang rusak?

RE berpeluang menjadi sistem pengelolaan hutan ke depan. Mungkin Undang-Undang 41 harus ditinjau kembali. Sebab, RE membuat pengelolaan hutan jadi berbasis ekosistem. Pemanfaatan kawasan, seperti agroforestri, pemanfaatan hasil hutan non kayu, kemudian pemungutan hasil hutan kayu (agak beda, pemungutan itu untuk konsumsi masyarakat) yang terakhir pemanfaatan jasa lingkungan. Ide jasa lingkungan ini sudah mulai digarap. Restorasi ini menjadi masa depan pengelolaan hutan yang lestari. Jangan ada lagi perambahan, jangan ada illegal logging, jangan lagi ada deforestasi.

Apa insentif buat para pemegang izin?Mereka diberi kesempatan

memanfaatkan hutan, hanya tak boleh tebang pohon. Sebaliknya dia harus menanam pohon sehingga muncul pemanfaatan non kayu, jasa lingkungan seperti ekowisata. Nanti ada penjualan karbon. Tapi soal karbon nanti dulu karena harus ada tata kelolanya dulu. Ke depan iya, karena kita punya komitmen menurunkan efek gas rumah kaca 29%.

Sudah ada berapa izin untuk RE?Sekitar 16.Itu jumlah yang banyak, sedikit,

sedang, atau kurang?Lumayan banyak. Totalnya 600.000-an

hektare. Merekalah sistem penyangga kehidupan. Hutan alam masih terjaga. Di Riau itu di puncak adalah lahan gambut. Jika kiat kelola hutan di atasnya, gambutnya tidak terbakar. Jadi RE menjadi sistem penjaga hutan.

Biomassa.Pengeboran di lahan gambut areal PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah untuk mengukur biomasa, Juli 2017.

Page 38: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest38 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

AKUMULASI masalah pengusahaan hutan selama hampir setengah abad membuat sebagian besar hutan alam produksi tidak layak secara finansial apabila diusahakan. Akibatnya terdapat perubahan pemanfaatan hutan alam produksi menjadi hutan tanaman, dipinjampakaikan menjadi pertambangan, juga dialih-fungsikan menjadi perkebunan. Saat ini pun telah terjadi lebih dari 30 juta hektare hutan produksi yang telah tidak dikelola secara

intensif dalam kondisi open access. Dalam perbincangan antara Departemen Kehutanan,

lembaga-lembaga non pemerintah serta swasta lima belas tahun lalu, situasi itu disikapi melalui diskresi dengan keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan hutan produksi. Disebut diskresi karena istilah “restorasi ekosistem” tidak ada dalam peraturan-perundangan baik Peraturan Pemerintah maupun Undang-undang yang berlaku.

Pada kondisi kapasitas pemerintah pusat dan daerah belum cukup memiliki kapasitas menjalankan pengelolaan hutan secara nasional, pelaku restorasi ekosistem hutan diharapkan bisa mengisi lemahnya kapasitas pengelolaan tersebut. Di samping itu, dengan fokus pada ekosistem hutan produksi, bisa juga digali berbagai manfaat hutan produksi selain kayu untuk dikembangkan.

Perkembangan dan PermasalahanDengan skema izin usaha restorasi ekosistem sampai akhir

Oktober 2018 telah terdapat 16 unit izin usaha seluas 623.075 hektare. Areal kerja mereka pada awalnya mempunyai tipe ekosistem hutan lahan kering berupa dataran rendah 149.482 hektare (24 %) dan dataran tinggi 36.450 hektare (6 %), dan berkembang ke arah tipe ekosistem gambut 419.763 hektare (67 %), tipe ekosistem mangrove 14.080 hektare (2,26 %), dan tipe ekosistem rawa 3.300 hektare (0,53 %). Penyebarannya di Sumatera dan Kalimantan.

Klasifikasi tujuan investasi dan modal usaha yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan (2017), mengalami pergeseran dari tujuan pengelolaan hutan sebagai produksi kayu, menjadi empat kategori.

Pertama, usaha restorasi berbasis konservasi dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat seperti PT REKI dengan

tujuan penyelamatan hutan dataran rendah Sumatera yang tersisa, PT ABT dengan tujuan mengembalikan ekosistem hutan landscap alam hutan dataran tinggi Bukit Tigapuluh, PT. RHOI bertujuan pelepas-liaran kembali orang utan ke habitat alaminya.

Kedua, usaha restorasi berbasis peluang bisnis oleh LSM dengan tujuan perdagangan karbon (jasa lingkungan) dan hasil hutan bukan kayu, seperti: PT RMU dan PT RRC yang mengusahakan karbon sebagai bisnis utamanya serta upaya konservasi dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat, serta PT EKL yang mengusahakan ekowisata dan silvofishery pada hutan mangrove.

Ketiga, usaha restorasi berbasis green project perusahaan melalui dana tanggung jawab sosial (CSR), seperti: PT ASL grup PT Adaro dari korporasi yang bergerak di bidang pertambangan melalui dana reklamasinya melakukan kegiatan restorasi pada hutan produksi dan PT SIPEF dalam grup perusahaan perkebunan yang memanfaatkan biodiversity asset.

Keempat, usaha restorasi berbasis penyelamatan asetnya sendiri, seperti: PT GCN, PT GAN, PT SMN, PT TBOUT sebagai satu grup usaha hutan tanaman RAPP melakukan kegiatan restorasi yang dikenal dengan Restorasi Ekosistem Riau (RER) serta PT KEN satu grup usaha hutan tanaman APP melakukan kegiatan restorasi.

Paradigma restorasi hutan yang pada awalnya hanya pada jeda tebang dalam pengusahaan hutan alam, dengan pengelolaan usaha restorasi berakibat menjadi kegiatan pembiayaan penuh (cost center). Nilai investasi untuk 16 perusahaan selama 6 tahun pertama diperkirakan sekitar US$ 14 juta hingga US$ 18 juta. Alternatif sumber pembiayaan tersebut diharapkan dapat diperoleh melalui pemanfaatan HHBK, jasa lingkungan maupun memanfaatkan kawasan.

Dalam praktik di lapangan, pengelolaan restorasi ekosistem ini serupa dengan pengelolaan hutan lainnya, masih diliputi oleh persoalan konflik dan klaim penggunaan hutan/lahan, kebijakan pemerintah yang terlalu teknis dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan, perubahan tata ruang, pembalakan liar maupun rendahnya dukungan pemerintah daerah. Direktorat Jenderal PHPL, KLHK dalam menyusun peta jalan RPJMN periode 2015 s/d 2019 menetapkan target penambahan seluas 500.000 hektare, namun kenyataan realisasi perizinan usaha restorasi sampai Oktober 2018 baru sampai 107.806 hektare (21, 56 %).

INOVASI DAN PENGUATAN KEBIJAKAN RESTORASI EKOSISTEM

Page 39: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 39j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Posisi dan Kebutuhan InovasiUsaha RE dalam praktiknya sejauh ini diposisikan

sebagai pemegang izin komersial seperti usaha hutan alam dan tanaman. Itu artinya diskresi yang dilakukan pada 2004 masih terbatas mewadahi mekanisme izin, dan belum sampai menentukan posisi restorasi yang khas. Dengan diklasifikasikan sebagai izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK-RE), huruf “K/kayu” menyebabkan seluruh diskursus pengelolaan hutan dilaksanakan seperti harus membuat blok, petak, maupun sistem silvikultur yang berbasis kayu. Selain itu, substansi kebijakan memberi beban administratif dengan sedikit ruang improvisasi pada kondisi lapangan yang berbeda-beda.

Hal itu antara lain disebabkan kebijakan payung untuk Permenhut No 159/2004 baru dikeluarkan pada 2007 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam Pasal 34 disebut adanya “IUPHHK-RE”.

Skema izin tersebut membelenggu dukungan pendanaan oleh pemerintah kepada pemegang izin dalam menangani permasalahannya, walaupun upaya restorasi ekosistem mempunyai bobot domain publik cukup tinggi. Usaha ini secara empiris bisa disebut sebagai upaya mengisi kekosongan pengelolaan hutan untuk menghindari terjadinya open access, serupa dengan KPH dengan basis non-komersial, setidaknya pada fase restorasi sampai fungsi-fungsi produksi kembali berjalan.

Kondisi itu menyebabkan perubahan paradigma pengelolaan hutan produksi dari berbasis produk tunggal kayu menjadi berbasis ekosistem direduksi kembali ke dalam pedoman-pedoman perencanaan dan pengelolaan hutan yang mempersempit ruang inovasi. Dalam praktiknya, masuk juga ke dalam perangkap pengaturan administrasi layaknya usaha komersial yang mengandung biaya transaksi tinggi.

RekomendasiDari pembahasan dengan para pemegang konsesi restorasi

ekosistem, kebijakan, tata kelola dan sistem birokrasi termasuk hubungan antar kelembagaan belum secara efektif mendukung pelaksanaan implementasi restorasi di lapangan. Ditambah pula sistem transparansi dan partisipasi publik yang lemah yang berdampak besar terhadap permasalahan dan tantangan pengelolaan hutan alam produksi melalui restorasi. Untuk itu sangat diperlukan usulan fundamental.

Pertama, secara konseptual IUPHHK RE sebaiknya diarahkan menjadi Pengelolaan Usaha Pemanfaatan Hutan Restorasi Ekosistem yang terpisah dari pengelolaan usaha hutan alam. Untuk itu perubahan PP 6/2007 dan turunannya, khususnya yang menyangkut tata cara perizinan, perlu dipastikan urgensi kepentingannya.

Kedua, telaah dan penyempurnaan peraturan perizinan turunannya diharapkan cukup memberi ruang improvisasi dan mampu menjawab persoalan nyata di lapangan. Untuk meningkatkan daya tarik restorasi ekosistem ini—serta mengisi pengelolaan hutan produksi yang semakin bersifat open access, berbagai skema insentif dan reward perlu diberikan kepada pihak-pihak yang mengelola usaha pemanfaatan hutan RE.

Ketiga, sinergi sistem tata kelola dan birokrasi perizinan kehutanan pusat-daerah perlu ditingkatkan agar dapat meretas transaksi biaya tinggi, melalui proses transparansi dan partisipasi publik. Peningkatan sistem perizinan dan pengendaliannya secara terbuka sangat diperlukan terutama di daerah, antara lain melalui sistem online dan membangun mekanisme pelaporan internal apabila terdapat suap/peras dalam pengurusan izin dan/atau pelaksanaan pengendalian perizinan.

Keempat, perlu transformasi kinerja pengendalian izin dan birokrasinya dengan ukuran outcome based bukan adminstration based. Dalam hal ini perlu peran lintas sektoral untuk mempercepat penyelesaian konflik tenurial dengan menerapkan berbagai inovasi, sejalan dengan karakteristik klaim dan konflik di lapangan dan mentransformasikannya menjadi kemitraan pengelolaan hutan dan usahanya.

Kelima, perlu insentif pembiayaan keuangan pemerintah dengan skema green investment bank berbunga rendah yang bisa dipakai mengembangkan usaha restorasi ekosistem khususnya sebelum dicapai keseimbangan ekosistem.

Keenam, usaha pemanfaatan usaha restorasi perlu terus dikembangkan secara inovatif dan strategis karena bisa menjawab persoalan publik, investasi hijau, mempertahankan aset negara dan meningkatkan aset sumber daya alam, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat

—Artikel ini diringkas dari laporan “Pengelolaan Usaha Pemanfaatan Hutan Restorasi Ekosistem: Kondisi terkini,

tantangan, kesempatan dan arah kebijakan. Refleksi 10 Tahun Pelaksanaan Restorasi Ekosistem di Indonesia” oleh Hariadi

Kartodihardjo, Bismark, Ika Heriansyah, Mangarah Silalahi, Agus Budi Utomo, Andriansyah.

Hariadi KartodihardjoGuru Besar Fakultas Kehutanan IPB

Page 40: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest40 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

PENGUSAHAAN hutan produksi cenderung memfokuskan kegiatan ekstraksi kayu yang melibatkan penebangan dan perusakan hutan, karena ada aspek keuntungan. Sementara konsekuensi-konsekuensi lingkungan akibat ekstraksi kayu yang tidak berbasis pada pengelolaan hutan lestari sering kali dikesampingkan. Padahal Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti rotan, getah, madu, dan jasa lingkungan yang penting bagi masyarakat sekitar hutan dan sangat relevan dengan

pengelolaan hutan lestari yang luput dari perhatian.Eksploitasi hutan secara berlebihan menyebabkan kawasan

hutan produksi kehilangan tutupan hutan alamnya. Padahal banyak kehidupan yang bersandar pada hutan dan seisinya, tidak hanya flora dan fauna, tetapi juga manusia yang masih sangat menggantungkan hidupnya pada keberadaan hutan yang kondisinya tentu sangat mengkhawatirkan. Apalagi sebagian besar hutan alam di Indonesia tanpa perlindungan memadai karena tidak termasuk dalam jaringan kawasan konservasi.

Dengan berkurangnya tutupan hutan alam sebagai penyedia jasa lingkungan dan hasil hutan non kayu, sudah saatnya kita mengubah paradigma pengusahaan hutan produksi. Sebaiknya memandang nilai hutan bukan hanya pada tegakan yang dapat ditebang, tetapi dari nilai ekosistem hutan secara keseluruhan.

Pengereman laju deforestasi tidak hanya difokuskan pada kawasan konservasi, tetapi juga perlu dilakukan pada kawasan hutan alam produksi. Kebijakan pengelolaan hutan produksi melalui restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi bisa menjadi pilihan untuk memulihkan kerusakan hutan. Melalui restorasi ekosistem hutan-hutan terdegradasi bisa berfungsi kembali sebagai penyeimbang ekosistem dan penyedia jasa lingkungan serta produk-produk penting.

Sejak 2004, Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi yang selanjutnya dinamakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Restorasi ekosistem di hutan produksi adalah sebuah upaya untuk mengembalikan kecenderungan degradasi dan deforestasi agar hutan alam dengan ekosistem penting tetap terjaga baik fungsi dan keberadaannya.

Melalui kebijakan ini, hutan produksi dapat dikelola untuk dimanfaaatkan hasilnya mulai dari hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, serta pemanfaatan kawasan dan hasil hutan kayu setelah keseimbangan hayati dan ekosistemnya tercapai. IUPHHK-RE ini pula membuka peluang investasi baru di sektor

kehutanan mengingat akan potensi ekonominya bagi pelaku usaha maupun masyarakat sekitar.

Kebijakan pemanfaatan hutan produksi melalui restorasi ekosistem telah mendorong perubahan cara pandang terhadap hutan dan pengelolaannya. Hutan yang semula dianggap sebagai pepohonan dan penghasil kayu kini diperhitungkan sebagai satu kesatuan ekosistem dengan hasil hutan beragam sesuai tipe ekosistem dan karakteristiknya. Pengelolaan hutan produksi

Restorasi: Sampai di Mana?

Hasil monitor keberhasilan RE pada 16 IUPHHK-RE saat iniSumber: UJLHHBKHP, 2018

Alokasi restorasi ekosistem

25%Buruk

29%izin restorasi

19%Baik

56%Sedang

71%alokasi restorasi

Page 41: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 41j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

melalui restorasi diyakini bisa memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan produktivitas hutan dan pendapatan.

Hal lain yang tercapai adalah adanya upaya mitigasi perubahan iklim dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan, maupun penyelamatan keragaman hayati guna memperkuat ketahanan pangan dan sumber energi. Tujuan ini akan terwujud bila pengelolaan restorasi terintegrasi dalam pengelolaan bentang alam produktif yang berkelanjutan sehingga memberikan manfaat yang tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga nasional dan internasional.

Perkembangan jumlah permohonan IUPHHK-RE di Indonesia cukup progresif dari tahun ke tahun. Sejak diterbitkan SK IUPHHK-RE pertama kepada PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (Hutan Harapan) pada tahun 2007, KLHK telah menerbitkan 16 IUPHHK-RE dengan total luasan 622.861.59 hektare atau 29% dari target capaian dari alokasi arahan pemanfaatan RE saat ini (1.557.750 hektare). Hampir 60% dari 16 IUPHHK-RE adalah bertipe ekosistem gambut, 24% dataran rendah dan sisanya dataran tinggi, mangrove dan rawa.

Dalam sepuluh tahun implementasi IUPHHK-RE, terjadi stagnasi pemberian IUPHHK-RE, karena adanya anggapan mengenai kebijakan restorasi yang dinilai kurang strategis atau masih ada perbedaan-perbedaan pemahaman tentang restorasi ekosistem dan tantangan implementasi kebijakannya.

Kebijakan restorasi saat ini sudah mendekati filosofis dan menjadi pedoman pemerintah dan pemegang izin dalam implementasi di lapangan. Namun demikian, persepsi pemerintah pusat dan daerah tampaknya belum sama, sehingga kadangkala menjadi hambatan administrasi yang mempengaruhi kelancaran teknis pemulihan ekosistem di lapangan. Bukan hanya terkait rencana kerja tahunan yang terhambat dan berimplikasi pada penumpukan bahkan menjadi tambahan pekerjaan pada tahun berikutnya, lebih jauh menambah biaya, energi dan waktu dalam pencapaian target.

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi keberhasilan IUPHHK-RE dari tim Penilaian Kinerja Usaha Direktorat UJLHHBK-HP Ditjen PHPL menunjukan tiga Unit Manjemen (19%) bernilai baik, 9 Unit Manjemen (56%) dan sisanya bernilai buruk (25%). Ini artinya implementasi RE belum maksimal dan masih menghadapi tantangan ke depan.

Namun demikian, usaha RE selama 10 tahun terakhir belum memperlihatkan progres yang prospektif, sebagian besar masih cost center, mengandalkan donor, dan menunggu dukungan kebijakan yang sesuai dengan bisnis yang dikembangkan, dan sebagian kecilnya masih merangkak menginisiasi usaha HHBK dan ekowisata. Kesempatan besar RE yang dimungkinkan untuk melakukan multi usaha, masih terkendala dukungan kebijakan

dan permasalahan konflik lahan-sosial. Apabila kawasan RE benar-benar clean and clear, dukungan

pemerintah daerah dan masyarakat optimal dan dan kebijakan terkait usaha terjamin, maka iklim investasi akan meningkat bukan hanya usaha RE akan berkembang dengan fungsi ekonomi, ekologi dan sosial yang seimbang, tetapi juga akan berdampak positif pada penigkatan minat untuk mengelola kawasan hutan produksi yang open access.

Tabel 1. Kondisi keberhasilan implementasi IUPHHK-RE saat ini berdasarkan aspek permasalahan yang dihadapi sekarang dan isu-isu yang berkembang

Aspek Kondisi Saat iniPemenuhan kewajiban

Sebagian besar kewajiban belum dipenuhi oleh setiap pemegang izin antara lain: Tata Batas Areal Kerja, Pemenuhan GANISPHPL, Pelaporan dan pembangunan sarana dan prasarana (PWH)

Konflik sosial Konflik sosial sebagian telah diselesaikan dengan penandatanganan kerja sama (MoU), tidak lanjut dari MoU belum terealisasi

Aset pengusahaan IUPHHK – RE

Aset pengusahaan IUPHHK-RE yang dimiliki oleh grup, sebagian besar masih tergabung dengan induk perusahaan, seperti: Organisasi, SDM, sarana dan prasaran serta aset pendukung lainnya

Usaha restorasi Pengembangan usaha jasa lingkungan, HHBK dan Pemanfaatan Kawasan masih dalam tahap inventarisasi dan studi kelayakan

Peluang usaha restorasi ekosistem cukup menjanjikan, terutama dari aneka produk hutan seperti jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. Usaha untuk memperluas inisiasi restorasi ekosistem tidak dapat berhasil tanpa diiringi dengan pengembangan instrumen kebijakan dan upaya promosi RE.

Selain itu, dukungan pemerintah daerah dan masyarakat luas perlu terus ditingkatkan. Diperlukan juga peningkatan dan pengembangan kapasitas para pihak, mengingat usaha ini masih termasuk baru dan belum banyak percontohan. Harapannya restorasi ekosistem akan terus dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia dengan dukungan para pihak untuk kepentingan lintas generasi. Hutan Indonesia tidak dapat menunggu lebih lama lagi dan saatnya untuk restore more.

Asep Ayat Burung Indonesia

Page 42: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest42 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

laporan utama

MANUSIA adalah makhluk ekologis yang butuh ekosistem. Proses ekologis yang kompleks dalam ekosistem menciptakan beragam jasa ekosistem (ecosystem services). Satu ekosistem (alami) bisa menyediakan beberapa jasa ekosistem, misalnya air, udara bersih, biodiversitas, keindahan alam dan sebagainya. Manfaat dan nilai berbagai jasa ekosistem tersebut sangat penting sebagai bagian dari penyangga

kehidupan. Bahkan tiga hal strategis ketahanan suatu bangsa, yaitu pangan, air dan energi ( food, water, and energy) terkait juga dengan keutuhan ekosistem sebagai penyedia jasa ekosistemnya (ecosystem services provider).

Air menjadi salah satu contoh begitu pentingnya jasa ekosi-stem bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Jasa ekosistem hutan seperti halnya air berperan sangat vital dalam proses kehidupan makhluk hidup yang tidak mungkin bisa disubstitusi oleh komoditas lain. Selain tidak bisa disubstitusi oleh komoditas lain, air sejauh ini tidak bisa dibuat manusia se-hingga tidak ada air buatan atau air sintetis. Kuantitas, kualitas dan kontinuitas air hanya akan diperoleh dari siklus hidrologis melalui ruang ekologis yang masih baik struktur dan fungsi ekologisnya. Selain air, tentunya banyak sekali jasa ekosistem (hutan) lainnya yang mempengaruhi kehidupan manusia.

Studi saya (2018-2019) tentang healing forest di hutan pegunungan Jawa Barat telah menyingkap fakta ilmiah begitu pentingnya ekosistem hutan dalam mempertahankan, meningkatkan dan memulihkan kesehatan manusia. Sehingga tidaklah mengherankan orang-orang yang lebih lama berinteraksi di dalam ekosistem hutan yang masih baik, memiliki kualitas kesehatan yang lebih baik.

Relasi ekosistem dan jasa ekosistem adalah keniscayaan. Tidak akan ada jasa ekosistem kalau ekosistemnya rusak atau mengalami degradasi. Hanya kondisi ekosistem yang masih baik yang mampu menyediakan jasa ekosistem. Sebaliknya, jika ekosistem rusak atau terkena degradasi maka jasa ekosistemnya pun akan rusak, berkurang bahkan bisa hilang (punah). Kerusakan atau degradasi ekosistem inilah yang berdampak buruk terhadap kuantitas, kualitas dan kontinuitas jasa ekosistem.

Urutan sistem penyediaan jasa ekosistem dimulai dari struktur ekosistem yang akan mempengaruhi fungsi ekologis yang dihasilkan, selanjutnya dari fungsi-fungsi ekologis inilah akan menentukan jasa (services) dan manfaat (benefits) yang disediakan ekosistem. Jika struktur ekosistem berubah, maka fungsi ekologisnya pun berubah sehingga jasa (services) dan manfaat (benefits) yang disediakan ekosistem pun

berubah. Makin buruk ekosistem, maka fungsi ekologis, jasa dan manfaat ekosistem makin berkurang. Oleh karena itu perubahan struktur ekosistem menjadi pangkal perubahan proses ekologis yang berujung pada perubahan jasa (services) dan manfaat (benefits) dari ekosistem tersebut.

Berubahnya struktur ekosistem selain oleh proses alami, juga banyak disebabkan oleh kegiatan intervensi manusia terhadap ekosistem. Berbagai sistem produksi yang dikembangkan dan berbasis lahan di berbagai bidang (misalnya kehutanan, pertanian, industri, infrastruktur fisik dan sebagainya) berkontribusi terhadap perubahan lanskap ekosistem.

Perubahan ekosistem secara langsung akan mengubah jasa ekosistem di dalamnya. Bahkan dalam kondisi yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan (principle of sustainability), kerusakan atau degradasi ekosistem telah menghilangkan jasa ekosistem yang sebelumnya ada. Kerusakan, degradasi atau kehilangan jasa ekosistem akibat rusaknya ekosistem bisa menjadi gerbang kehancuran kehidupan masyarakat berikut lingkungan hidupnya. Oleh karena itu memulihkan ekosistem (ecosystem recovery) agar fungsi ekologisnya berjalan kembali harus dilakukan.

Dalam banyak kasus pemulihan ekosistem secara struktural ke bentuk sediakala sangat sulit, tetapi secara fungsional jasa ekosistem yang hilang bisa dipulihkan melalui rekayasa lingkungan. Misalkan lanskap ekosistem hutan yang salah satu fungsinya adalah penyedia jasa ekosistem air akan berubah kondisinya jika lanskapnya digunakan untuk galian tambang. Fungsi hidrologis yang rusak harus dipulihkan dengan intervensi teknologi/rekayasa lingkungan yang memungkinkan jasa ekosistem airnya berfungsi kembali. Selain teknik revegetasi, juga dirancang rekayasa lanskap yang memungkinkan curahan air tersimpan baik misalnya dibangunnya danau buatan. Oleh karenanya kegiatan RE setidaknya harus mampu mengembalikan jasa ekosistem yang pernah terganggu, rusak atau hilang.

Upaya restorasi terkait pemulihan jasa ekosistem harus dimulai dengan menginventarisasi dan mengidentifikasi jenis-jenis jasa ekosistem yang pernah ada sebelumnya. Walaupun RE tidak akan mampu memulihkan semua jenis ekosistem yang pernah ada sebelumnya, tetapi jenis jasa ekosistem terpenting dari jasa-jasa ekosistem yang pernah ada harus diprioritaskan pemulihannya.

Dengan teridentifikasinya jasa ekosistem yang akan dipulihkan, maka ruang ekologis bisa ditentukan batas wilayahnya serta pemilihan teknologi restorasi yang tepat. Juga rekayasa sosial (social engineering) bagi masyarakat yang terkena dampak kegiatan restorasi. Restorasi tanpa rekayasa sosial terhadap masyarakatnya berpotensi gagal.

—Bogor, 7 Juli 2019

Pemulihan Jasa Ekosistem

Hikmat RamdanDosen Program Studi Rekayasa Kehutanan dan Program

Studi Biomanajemen Institut Teknologi Bandung

Page 43: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 43j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Page 44: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest44 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

penelitian

Penambangan mineral salah satu penyebab degradasi ekosistem hutan dan lingkungan di Indonesia karena menghasilkan limbah berupa tailing yang berpotensi mencemari dan menurunkan kualitas ekosistem hutan dan lingkungan sekitarnya.

Tailing umumnya mengandung logam berat, seperti timbal (Pb) yang bisa mencemari lingkungan (Winata et al. 2016).

Pada 1970-an, seorang geo-botanist di Caledonia menemukan tumbuhan Sebertia acuminate yang mampu mengakumulasi logam Ni hingga 20% pada tajuknya (Brown 1995). Pemakaian tumbuhan menetralkan racun limbah disebut “fitoremediasi”.

Fitoremediasi menjadi solusi atas remediasi yang memakai metode konvensional (removal) secara kimiawi,

pengerukan, pemindahan, dan penimbunan yang memerlukan biaya mahal, sekitar US$ 8-24 juta per hektare dengan kedalaman sekitar 1 meter saja (Lie et al. 2000 dalam Hidayati 2005). Padahal menurut Wasis dan Sandrasari (2011), jumlah tailing yang dihasilkan dari kegiatan penambangan suatu perusahaan berskala besar bisa mencapai 2.500 ton/hari.

Berikut ini alasan berkaitan dengan potensi tumbuhan sebagai fitoremedian:1. Memiliki kemampuan fotosintesis,

sehingga memungkinkan “menghasilkan energi sendiri” yang bisa digunakan untuk berbagai proses metabolismenya, baik pertumbuhan maupun adaptasi lingkungan seperti detoksifikasi toxic substance.

2. Akar mampu tumbuh dan berkembang (luas dan dalam) dalam meningkatkan cakupan remediasi dari logam berbahaya.

3. Relatif mudah dikontrol di dalam suatu lingkungan, dibandingkan

dengan agen remediasi lainnya, seperti bakteri.

4. Mampu berasosiasi dengan mikroba bermanfaat pada perakarannya, berpotensi meningkatkan keberhasilan proses remediasi.

5. Menambah nilai estetika.6. Lebih murah.

Timbal sering ditemukan dalam aktivitas industri, seperti pembuatan lapisan pipa anti karat, pembuatan cat, pembuatan baterai, bahkan dalam campuran bahan bakar kendaraan bermotor. Setyaningsih (2012) dalam studinya melaporkan bahwa kandungan Pb pada tailing emas mencapai 114 ppm. Bahkan dalam Hidayati et al. (2006) kandungan Pb pada limbah tailing tambang emas dapat mencapai 20 kali lebih besar dibandingkan tanah non-limbah.

Pb berbahaya bagi lingkungan karena:Pertama, menurunkan kualitas tanah,

sehingga menyebabkan tanah menjadi marginal (tidak subur) dan dapat meracuni tanaman atau makhluk hidup di sekitarnya. Apabila terbawa aliran air dan menyebar ke dalam ekosistem perairan, berpotensi mengganggu bahkan mematikan biota.

Kedua, merusak unsur tidak esensial dan tidak dibutuhkan oleh tanaman. Bahkan dalam kondisi cemaran yang parah, keberadaan Pb justru dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, meracuni, hingga mematikan.

Ketiga, sangat berbahaya bagi manusia apabila berada di atas ambang batas yang ditentukan. Pb unsur paling berbahaya kedua setelah arsenik (ATSDR 2016), bahkan lebih berbahaya dibanding merkuri (Hg) sekalipun.

Herman (2006) menyatakan Pb dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, bahkan kematian pada manusia. Unsur Pb yang berada di atas ambang batas dapat menyebabkan hipertensi, penyakit / kelainan pada hati, hemoglobin, enzim, RNA dan DNA, hingga kerusakan otak. Lalu, apakah Tuhan Yang Maha Esa memiliki alat pencegahan atau pengontrolnya ? Jawabnnya, tentu saja iya.

Beberapa riset berhasil menguji beberapa jenis pohon yang adaptif terhadap kontaminan berbahaya seperti logam berat. Tabel 2 menyajikan beberapa

Membersihkan Racun Tailing dengan Jabon MerahDibanding tanaman lain, jabon merah paling kuat menyerap racun tailing sisa penambangan emas. Perlu penelitian lebih jauh terhadap tanaman lain.

Gambar 1 Mekanisme fitoremediasi oleh tanaman dalam membersihkan kontaminan berbahaya dari dalam tanah (Cluis 2004)

Page 45: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 45j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Tabel 1 Beberapa jenis tumbuhan hias yang adaptif dan mampu mengakumulasi Pb

Jenis SumberSanseviera trifasciata prain, Condiaeum variegatum, Aglaonema sp.,A. commutatum, Syzigiu oleina,Cordyline fruicosa, Donna Carmen,Excoecaria cochinensis, dan Cordyline fruticosa

Haryanti et al. (2013)

Centrocema pubescens, Calopogonium muconoides, Mikania cordata Hidayati et al. (2016)

Euphorbia milii Aprilia dan Purwani (2013)

Tabel 2 Beberapa jenis pohon yang adaptif dan mampu mengakumulasi logam Pb

Jenis Keterangan Sumber

Acacia farnesiana Toleran terhadap Pb hingga konsentrasi 500 mg/l Magaña et al. (2011)

Anthocephalus cadamba dan Paraserianthes falcataria

Toleran terhadap Pb hingga konsentrasi 450 ppm Setyaningsih (2012)

Anthocephalus macrophyllus

Toleran dalam tailing dengan level 900 mg Pb/kg tailing Winata et al. (2016)

Penyerap racunPohon A. macropyllus (Setyaji et al. 2014)

TaksonomiKingdom : PlantaeDivisi : Magnoliophyta (tumbuhan

berbunga)Kelas : Magnoliopsida (berkeping

dua)Ordo : RubialesFamili : RubiaceaeGenus : AnthocephalusJenis : Anthocephalus

macrophyllus (Roxb.) HavilSinonim : Neolamarckia macrophylla,

Nuclea macrophylla Roxb., N. elegans Teijsm. & Binn. Ex. Hassk.

Nama lokal : samama, jabon merah, orawa, atau samama merah

Page 46: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest46 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

penelitian

jenis pohon yang adaptif dan mampu mengakumulasi logam Pb.

Dalam studi yang dilakukan oleh Winata et al. (2016), A. macrophyllus atau jabon merah memiliki pertumbuhan dan adaptabilitas yang relatif baik terhadap media tumbuh yang sangat marginal seperti tailing, serta memiliki kandungan logam berat Pb. Sekilas informasi A. marophyllus.

Pada dasarnya A. macrophyllus merupakan jenis pionir, intoleran, dan fast growing species serta toleran terhadap tanah yang relatif kurang subur atau marginal. Jenis ini mampu tumbuh pada daerah terbuka di wilayah tropis. Secara alami, jenis ini tumbuh dan tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia, di antaranya Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, hingga Papua. Tanaman ini tumbuh baik pada dataran rendah sampai dengan pegunungan dengan ketinggian sekitar 0 – 1000 mdpl (BPTH Sulawesi 2011 dalam Setyaji et al. 2014).

Dari Tabel 3 tergambar bahwa keberadaan logam berat Pb pada tailing memiliki pengaruh signifikan terhadap beberapa parameter pertumbuhan A. macrophyllus seperti tinggi, diameter, dan biomassa berupa berat kering (BKT). Semakin tinggi konsentrasi Pb di dalam lingkungan, maka akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pertambahan tinggi dan diameter semakin menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi Pb. Mengapa demikian ?

Kemungkinan karena keberadaan Pb ini pada level tertentu, misalnya 450-900 Pb/kg tailing sudah mampu memberikan pengaruh terhadap A. macrophyllus. Bisa jadi, energi dari hasil fotosintesis digunakan oleh tanaman ini untuk metabolisme yang berkaitan dengan adaptasi terhadap Pb di dalam media tumbuh atau jaringannya. Lalu, pada bagian biomassa (BKT) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Pb justru biomassa (BKT) A. macrophyllus semakin besar. Hal tersebut mengindikasikan jika Pb dari media tumbuh (lingkungan) telah mulai berpindah tempat dan terserap ke dalam jaringan tanaman. Apakah benar demikian ? Mari kita perhatikan Tabel 4.

Berdasarkan studi Winata et al. (2016) diketahui bahwa Pb dari lingkungan berupa media tailing sebagai tempat

Tabel 3 Respon pertumbuhan A. macrophyllus pada tailing dengan berbagai level Pb (Winata et al. 2016)

Perlakuan Tinggi (cm) Diameter (mm) BKT (g)PO (0mg Pb/kg tailing) 6,3 ab 2,46 a 15,15 cdP1 (150 mg Pb/kg tailing)

7,0 a 2,42 a 14,45 d

P2 (300 mg Pb/kg tailing)

6,1 b 2,17 a 18,07 bc

P3 (450 mg Pb/kg tailing)

6,2 b 1,74 b 23,03 a

P4 (900 mg Pb/kg tailing)

5,0 c 1,77 b 20,65 ab

Nilai signifikan 0,0033 * 0,0017 * 0,0011 *

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama dalam satu kolom dan satu kelompok perlakuan menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.

tumbuh terserap dan dipindahkan ke dalam jaringan tanaman A. macrophyllus, baik di zona perakaran maupun pucuknya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui juga bahwa semakin tinggi konsentrasi Pb pada lingkungan media tumbuh, akumulasi Pb oleh jaringan tanaman juga

semakin tinggi.Hal ini disebabkan oleh daya

adaptabilitas tanaman yang toleran terhadap kehadiran kontaminan logam berat semakin terstimulasi tatkala kehadiran kontaminan tersebut juga semakin tinggi. Tapi, adaptabilitas

Tabel 4 Akumulasi Pb oleh A. macrophyllus pada media tailing (Winata et al. 2016)

Perlakuan Akumulasi (mg/kg

Pucuk Akar TotalP0 (0mg/kg tailing) 9,26 34,48 43,74P1 (150mg/kg tailing) 11,78 42,88 54,66P2 (300mg/kg tailing) 36,16 45,40 81,56P3 (450mg/kg tailing) 49,62 71,48 121,10P4 (900mg/kg tailing) 17,66 342,22 359,88

Gambar 2 Indeks Toleransi A. macrophyllus terhadap Pb (Winata et al. 2016)

P0 (0mg/kg tailing)

P1 (150mg/kg tailing)

P2 (300mg/kg tailing)

P3 (450mg/kg tailing)

P4 (900mg/kg tailing)

10068

103

252

170

Page 47: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 47j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

tanaman untuk menyerap Pb ini berbeda-beda, tergantung batas toleransi dari setiap jenisnya masing-masing. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan bahwa A. macrophyllus memiliki kemampuan untuk memindahkan Pb dari jaringan akar ke jaringan pucuknya, walaupun dalam konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan akar. Hal ini dapat dilihat dari data di Tabel 4.

Berdasarkan hasil analisis di atas, A. macrophyllus memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi tanaman fitoremediasi untuk membersihkan kontaminan logam berat Pb. Gambar 2 menyajikan hasil analisis terhadap daya toleransi A. macrophyllus yang ditanam pada media tailing dengan beberapa konsentrasi logam berat Pb.

Jenis A. macrophyllus memiliki daya toleransi yang relatif sangat baik terhadap keberadaan Pb. Bahkan pada level 900 mg Pb/kg tailing mampu mencapai nilai indeks toleransi sebesar 170%. Dalam studi Winata et al. (2016) tersebut usia semai pohon A.macrophyllus yang dipakai berumur tiga bulan. Jadi, bisa dibayangkan potensi semai tersebut jika tumbuh kembang dalam waktu yang relatif lama, sehingga mampu membantu membersihkan kontaminan logam berbahaya seperti Pb dari lingkungan.

Fitoremediasi menjadi sebuah alternatif green technology yang tentu relatif lebih ramah lingkungan dan hemat biaya bagi rehabilitasi atau restorasi ekosistem

hutan di masa mendatang. Meski begitu, fitoremediasi masih menyisakan tantangan, di antaranya riset jenis tumbuhan atau yang adaptif terhadap kontaminan berbahaya, bagaimana alternatif meningkatkan kemampuan akumulasi zat kontaminan oleh tanaman atau tumbuhan, serta bagaimana siklus kontaminan berbahaya antara lingkungan dan tanaman atau tumbuhan. Tak kalah penting kebijakan pemerintah untuk mendorong pengembangan atau penerapan teknologi ini dalam upaya restorasi atau rehabilitasi ekosistem hutan dan lahan terdegradasi, khususnya ekosistem yang terkontaminasi oleh zat beracun dan berbahaya.

—Bayu Winata, dosen di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.

Referensi Aprilia DD, Purwani KI. 2013. Pengaruh

penambahan mikoriza Glomus fasciculatum terhadap akumulasi logam timbal (Pb) pada tanaman Euphorbia milii. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 2(1): 2337-3520.

[ATSDR] Agency for Toxic Substances and Disease Registry. 2016. Priority list of hazardous substances [Internet]. [diunduh 2016 Juni 6]. Tersedia pada: https://www.atsdr.cdc.gov/spl/.

Brown KS. 1995. The green clean: the

emerging field of phytoremediation takes root. Biosciense 9: 579-582.

Cluis C. 2004. Junk-greedy greens: phytoremediation as new option for soil decontamination. BioTeach Journal 2(2004): 61-67.

Haryanti D, Budianta D, Salni. 2013. Potensi beberapa jenis tanaman hias sebagai fitoremediasi logam timbal (Pb) dalam tanah. Jurnal Penelitian Sains. 16(2D): 52-58.

Herman DZ. 2006. Tinjauan terhadap tailing mengandung unsur pencemar arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) dari sisa pengelolaan bijih logam. Jurnal Geologi Indonesia 1(1): 31-36.

Hidayati N, Syarif F, Juhaeti T. 2006. Potensi Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, dan Micania cordata dalam membersihkan logam kontaminan pada limbah penambangan emas. Biodiversitas. 7(1): 4-6. doi: 10.13057/biodiv/d07012.

Hidayati N. 2005. Fitoremediasi dan potensi tumbuhan hiperakumulator. Hayati. 12(1): 35-40.

Magaña AM, Torres EF, Cabrera FR, Sepulveda TLV. 2011. Lead bioaccumulation in Acacia farnesiana and its effect on lipid peroxidation and glutathione production. Plant Soil 2011(339): 377-389. doi: 10.1007/s11104-010-0589-6.

Setyaji T et al. 2014. Budidaya Intensif Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus) “Si Jati Kebon dari Timur. Na’iem M, Mahfudz, Prabawa SB, editor. Bogor (ID): IPB Pr.

Setyaningsih L. 2012. Adaptabilitas semai tanaman hutan terhadap timbal pada media tailing dengan aplikasi kompos aktif dan fungi mikoriza arbuskula [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Wasis B, Sandrasari A. 2011. Pengaruh penambahan pupuk kompos terhadap pertumbuhan semai mahoni (Swietenia macrophylla King.) pada media tanah bekas tambang emas (tailing). Jurnal Silvikultur Tropika 3(1): 109-112.

Winata B, Wasis B, Setiadi Y. 2016. Studi adaptasi samama (Anthocephalus macrophyllus) pada berbagai konsentrasi timbal (Pb). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 6(2): 211-216. Nagajyoti PC, Lee KD, Sreekanth TVM. 2010. Heavymetals, occurrence, and toxicity for plants: a review. Environ Chem Lett. 8(3): 199-216.

Page 48: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest48 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

penelitian

pugunungan bukit, lereng dan pinggiran aliran air, serta pada substrat tanah bukit kapur di Nusakambangan bagian barat. Famili Dipterocarpaceae dikenal memiliki potensi ekonomi yang tinggi dan menempati urutan kedua setelah meranti dalam mendominasi hutan hujan tropis Indonesia. Dahulu, jenis Dipterocarpus littoralis jumlahnya melimpah di Nusakambangan dan sering dimanfaatkan nelayan sekitar Cilacap sebagai bahan baku bangunan dan pembuatan perahu karena kayunya yang lurus silindris dan kuat.

Pemanfaatan yang berlebihan menyebabkan keberadaannya kini diambang kepunahan. Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Konservasi

Pelahlar Menjelang kelarPohon endemik pulau Nusakambangan ini terancam punah. Perlu konservasi in dan ex-situ.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan terluas nomor tiga di dunia dan dilintasi garis khatulistiwa. Sebagai wilayah tropis, Indonesia memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang tersebar di seluruh Nusantara.

Meski begitu, menurut Haryanto, dosen Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian

Bogor dalam unjuk-bincang “Selamatkan Pohon Langka Menuju Indonesia Hijau, kekayaan jenis spesies yang dimiliki Indonesia tidak diiringi dengan kekayaan jumlah per jenisnya. Data International Union for Conservation of Nature and Natural Resources menunjukkan setidaknya terdapat 397 jenis pohon Indonesia terancam punah dan masuk dalam daftar merah.

Para pakar dan pemerhati pohon langka Indonesia yang tergabung dalam Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI) telah menetapkan 12 jenis pohon langka didasarkan pada keterbatasan sebaran dan populasinya, nilai manfaat, tingkat keterancaman, dan potensi budidayanya. Keduabelas jenis pohon tersebut yaitu: Pelahlar (Dipterocarpus littoralis), Lagan Bras (Dipterocarpus cinereus), Resak Banten (Vatica bantamensis), resak brebes (Vatica javanica var javanica), kapur (Dryobalanops aromatica), damar mata kucing (Shorea javanica), tengkawang pinang (Shorea pinanga), durian burung (Durio graveolens), durian daun (Durio oxleyanus), ulin (Eusideroxylon zwageri), Mersawa (Anisoptera costata), dan saninten (Castanopsis argentea).

Kekayaan dan jumlah jenis flora dan fauna Indonesia terus berkurang dari waktu ke waktu, terutama di sektor flora khususnya jenis-jenis pohon endemik Indonesia. Masalah klasik di Indonesia sendiri terus bergulir tanpa ada perhatian khusus dan penanganan serius. Pembalakan liar dan eksploitasi

pohon telah mengurangi luas hutan yang berujung pada punahnya pohon-pohon endemik Indonesia.

Pelahlar adalah satu jenis yang hampir punah. Nama Latinnya Dipterocarpus littoralis Blume, keluarga keruing dengan nama lokal pelahlar, dan nama perdagangan meranti Jawa. Pohon besar asli Indonesia yang hanya dapat ditemui tumbuh secara alami di pulau Nusakambangan ini termasuk dalam daftar merah IUCN dengan status critically endangered atau kritis.

Tidak banyak yang tahu bahwa pelahlar merupakan pohon terlangka nomor satu di Indonesia, bahkan mungkin sudah banyak orang yang tidak mengetahui rupa dan bentuknya. Selain di Nusakambang, pohon ini ada di Kebun Raya Bogor.

Ciri umum dari famili Dipterocarpaceae antara lain pohonnya memiliki ukuran yang besar, berdamar dan selalu hijau. Pada umumnya batangnya berbanir dan kulit luarnya bersisik atau beralur dan mengelupas, berdaun tunggal dengan kedudukan berselang-seling, bertepi rata atau beringgit, bertulang sirip, sering kali berdaging, dan mudah rontok. Pohon pelahlar berbatang lurus dengan diameter mencapai 150 sentimeter dan tinggi mencapai 50 meter. Batangnya berwarna coklat muda terang sampai coklat muda, berdaun oval dengan beludru merah, dan memiliki buah dengan dua sayap.

Nusakambangan yang lebih dikenal sebagai pulau penjara sering juga disebut sebagai the last rain forest in Java.Terdapat dua cagar alam di pulau seluas 121 kilometer persegi tersebut, yaitu Cagar Alam Nusakambangan Timur dan Cagar Alam Nusakambangan Barat yang merupakan habitat bagi flora dan fauna khas hutan pegunungan bawah Indonesia.

Dipterocarpus littoralis hidup di hutan campuran dataran rendah,

terancam punah.Pelahlar di Nusakambangan.

Page 49: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 49j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Sumber Daya Alam (KSDA) setempat dan Fauna Flora Internasional – Program Indonesia (FFI-IP) pada 2014 hanya menemukan 34 individu dewasa pelahlar di habitat alaminya. Jumlah yang sangat sedikit itu akan terus berkurang jika tidak ada penanganan khusus untuk memperbanyak jumlah individunya.

Terhitung sejak tahun 2015, hanya ada 676 pohon pelahlar yang ditemukan di habitat alaminya. Sebanyak 63% individu didominasi oleh pohon muda yang memiliki kerentanan terhadap gangguan dari luar lingkungannya. Pemegang otoritas dan akademisi tidak pernah mengeluarkan data yang menyebutkan jenis pohon pelahlar terlibat dalam perdagangan secara ilegal. Berarti, eksploitasi lokal besar-besaran terhadap pohon ini plus ketiadaan upaya konservasi menjadi penyebab utama kelangkaan Dipterocarpus littoralis.

Usaha konservasi pada pohon pelahlar masih terhambat karena kurangnya informasi ekologi dan biologi tumbuhan ini. Pohon pelahlar bersifat endemik, berukuran populasi kecil, memiliki habitat pilihan tertentu, serta terdapat ancaman yang serius dari aktivitas manusia dan jenis invasif di habitat alaminya.

Selain gangguan yang tinggi, penyebab semakin terancamnya pelahlar adalah kemampuan regenerasi alaminya yang rendah. Pohon-pohon dari famili Dipterocarpaceae pada umumnya hanya berbenih sekali dalam kurun waktu 4 tahun sampai 13 tahun. Pelahlar juga memiliki benih dengan tipe rekalsitran yang berarti cepat rusak (daya hidupnya menurun) apabila diturunkan kadar airnya, sehingga hanya menyimpannya untuk beberapa minggu saja sebelum daya hidup benihnya turun menjadi 0%.

Hal ini yang menjadi kendala budidaya Dipterocarpus littoralis karena benihnya hanya bisa disimpan beberapa minggu sebelum rusak. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui teknik-teknik penyimpanan benih pelahlar yang tepat sehingga benih dapat disimpan dalam waktu lebih lama dengan laju penurunan kadar air lebih lambat.

Di habitat alami pelahlar di Pulau Nusakambangan perlu pemantauan secara rutin untuk melihat perkembangan pohon serta mengetahui kondisi dan perubahan lingkungan sekitarnya.

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada telah menciptakan alat pemantau nutrisi pohon langka yang diberi nama Litto-Sens (Littoralis Essential Soil Nutrient Sensor) yang bisa memantau memantau hara tanah pelahlar mengukur faktor-faktor lingkungan, seperti tingkat intensitas cahaya dan pH tanah dengan dasar pengukuran jarak jauh.

Adanya alat tersebut diharapkan mampu mengoptimalkan pemantauan dan pengelolaan dalam rangka konservasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mendukung pelestarian jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dengan mengeluarkan peraturan P.92/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2018. Salah satu jenis tumbuhan yang dilindungi adalah Dipterocarpus littoralis atau pelahlar Nusakambangan.

Kebijakan dan perlindungan hukum saja tidak cukup jika tidak sejalan dengan peran serta masyarakat seluruh Indonesia dan pihak-pihak multi sektoral. Masyarakat harus dilibatkan dengan memberikan pemahaman dan informasi manfaat pohon ini.

Penelitian Abdul Azis pada 2015 pada keruing gunung (Dipterocarpus retusus) telah menemukan manfaat hasil hutan bukan kayu pada daun keruing gunung. Bagian daun dan kulit batang keruing gunung memiliki potensi bioprospeksi sebagai antibakteri S. Aureus yang merupakan bakteri penyebab infeksi kulit atau luka. Perlu ada penelitian sejenis pada Dipterocarpus littoralis dan jenis-jenis tumbuhan yang dilindungi lainnya serta penyebaran informasi hasil penelitian kepada masyarakat. Salah satunya sebagai habitat lebah madu.

—Elyna Widiani dan Razi Aulia Rahman

Page 50: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest50 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Kolom

Bencana banjir dan tanah longsor yang marak terjadi pada awal hingga pertengahan tahun 2019 ini mengingatkan kembali kepada kita bagaimana seharusnya sumber daya alam dan lingkungan hidup kita lindungi. Kerusakan hutan dan lahan selalu menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kerentanan bencana.

Pada sisi yang lain, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional juga sedang menghadapi berbagai kritik atas

persoalan pengelolaan hutan dan lahan. Berbagai usaha atau kegiatan yang selama ini disinyalir melanggar tata aturan, pada satu sisi dianggap menjadi faktor pemicu kerusakan, di sisi lain dianggap memiliki kontribusi bagi pembangunan, pertumbuhan ekonomi, pendapatan negara berupa pajak maupun non pajak.

Di tengah kebijakan-kebijakan pembenahan tata kelola hutan dan lahan, muncul wacana forest amnesty sebagaimana terinspirasi atas keberhasilan kebijakan Indonesia atas pelaksanaan tax amnesty, seperti gagasan Pungky Widiaryanto di Forest Digest edisi 11 lalu, untuk pertambangan, perkebunan dan fasilitas umum/fasilitas sosial yang selama ini telah telanjur masuk ke dalam kawasan hutan.

Gagasan forest amnesty ditujukan untuk usaha atau kegiatan di sektor pertambangan, perkebunan dan fasum/fasos yang selama ini telah terlanjur masuk ke dalam kawasan hutan. Seiring dengan gagasan ini, rasionalisasi atau pembaruan kawasan hutan juga turut menjadi diskursus publik di tengah pembahasan rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Penting bagi publik untuk terus mencermati gagasan yang berkembang tersebut di tengah situasi nasional dan global yang terjadi.

Risiko forest amnestyGagasan yang menganalogkan forest amnesty dengan tax

amnesty berpotensi menyederhanakan persoalan ketelanjuran pemanfaatan kawasan hutan sekadar sebagai komoditas daripada sistem penyangga kehidupan. Berbagai ketelanjuran pemanfaatan kawasan hutan yang terjadi sesungguhnya tidak hanya berhubungan dengan isu kepastian hukum dan pertumbuhan ekonomi melalui penerimaan negara semata.

Berbeda dengan tax, pada ketelanjuran pemanfaatan hutan eksternalitas lingkungan hidup serta dampak ekologis, baik terhadap ekosistem hutan dan keselamatan masyarakat, termasuk para pelaku sendiri harus menjadi pertimbangan. Berbagai bencana ekologis yang terjadi selama

ini sesungguhnya akan menjadi beban nagara ke depan dalam melindungi keselamatan warganya.

Risiko ini bukan hanya dihadapi oleh pelaku sendiri tetapi juga warga yang berada jauh dari lokasi akibat dampak lingkungan. Dalam situasi seperti ini, penerapan sistem deklarasi dari para pelaku secara sukarela sebagaimana dalam kebijakan tax amnesty tentu tidak bisa diterapkan begitu saja. Negara harus melakukan identifikasi dan verifikasi kepemilikan, usaha atau kegiatan serta risiko atas dampaknya. Terlebih lagi jika pertimbangan dampak tersebut tidak dilakukan, keadilan bagi warga terdampak berpotensi terabaikan.

Jika kita cermati lagi, berbagai ketelanjuran pemanfaatan kawasan hutan memiliki tipologi yang berbeda-beda dan membutuhkan penanganan yang berbeda. Setidaknya ada tiga tipologi, antara lain: (1) ketelanjuran yang diakibatkan oleh konflik kebijakan; (2) keterlanjuran yang diakibatkan oleh kesengajaan para pelakunya yang secara sadar melakukan pelanggaran; dan (3) ketelanjuran karena perilaku korupsi dan manipulasi dalam proses perizinan. Ketiga tipe tersebut tentu tidak bisa memakai pendekatan yang sama, belum lagi faktor risiko terhadap ekosistem dan keselamatan warga yang seharusnya dipertimbangkan.

Secara aktor, ketelanjuran pemanfaatan kawasan hutan tidak bisa hanya didekati dengan identifikasi kepemilikan

QUO VADIS GAGASAN FOREST AMNESTY

Page 51: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 51j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

lahan mengingat banyak aktor pemodal atau cukong yang sesungguhnya menggerakkan proses kepemilikan secara informal di masyarakat. Menerapkan mekanisme yang ada dalam tax amnesty dengan sistem deklarasi akan menjebak negara dalam permainan cukong yang selama ini menggerakkan kepemilikan secara informal demi keuntungan, terlebih jika kemudian dilegalkan melalui kebijakan forest amnesty.

Berkaca dari pengalaman Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo yang diterapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama ini, pendekatan terhadap aktor-aktor yang ada di lapangan juga perlu dilakukan secara cermat dan tepat. Oleh karenanya, gagasan forest amnesty pada satu sisi seolah memberikan terobosan kemudahan bagi negara, di sisi lain akan cukup berisiko bagi negara untuk masuk dalam permainan para cukong, alih-alih menyelesaikan soal ketelanjuran pemakaian lahan hutan.

Percepatan tata kelola hutan dan lahan Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah dalam

pembenahan tata kelola hutan dan lahan tentu harus dilakukan secara sinergi. Beberapa kebijakan yang perlu disinergikan, antara lain: tata batas kawasan hutan dan perubahannya; tukar menukar kawasan hutan; perhutanan sosial; moratorium izin di hutan alam dan gambut, moratorium izin sawit; reforma

agraria; penyelesaian konflik dan penataan ruang. Pemerintah seyogianya mulai mengevaluasi secara

menyeluruh dalam mengidentifikasi hambatan-hambatannya. Kelemahan-kelemahan yang ada dan patut dipikirkan antara lain soal gugus tugas birokrasi yang berbeda-beda di antara kebijakan tersebut dan inklusivitas dalam proses pengambilan keputusannya. Momentum perubahan organisasi tata laksana kementerian/lembaga saat ini harus bisa digunakan untuk memperkuat model kelembagaan dalam mengemban misi tersebut, lengkap dengan dukungan sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, upaya pelibatan kelompok masyarakat sipil perlu diwadahi dalam mekanisme dan kelembagaan agar kebijakan-kebijakan tersebut berjalan lebih inklusif.

Dari seluruh kebijakan tersebut, seharusnya proses pengakuan hutan adat perlu menjadi prioritas untuk dituntaskan terlebih dahulu. Negara sudah seharusnya meletakkan pengakuan masyarakat adat dan wilayah kelolanya sebagai prioritas, sebab masyarakat adat selaku pemegang hak dan pemangku kepentingan adalah kelompok paling terdampak dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam selama ini. Pembenahan birokrasi, koordinasi, dukungan sumber daya, mekanisme pengambilan keputusan yang inklusif serta target yang terukur perlu untuk mempercepat kebijakan-kebijakan tersebut.

Di tengah berbagai program pembenahan tata kelola hutan dan lahan, gagasan rasionalisasi atau pembaruan kawasan hutan mesti ditinjau kembali. Hal ini untuk memastikan agar langkah tersebut diambil melalui proses dan kelembagaan yang kompeten. Gagasan ini perlu diawali dari analisis dan perencanaan hutan secara menyeluruh melalui proses peninjauan dan penetapan Rencana Kehutanan Nasional dengan mempertimbangkan berbagai kebijakan tata kelola hutan dan lahan yang ada, kondisi lapangan, serta kebutuhan pembangunan tanpa mengorbankan perlindungan daya dukung dan daya tampung lingkungan, terlebih untuk aspek keselamatan dan kerentanan bencana, sebelum kemudian berbicara soal kegiatan rencana pembangunan.

Tantangan terbesarnya ada pada kemampuan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah percepatan atas kebijakan-kebijakan tersebut. Kebijakan untuk melakukan moratorium izin secara permanen di hutan alam dan lahan gambut yang akan diambil pemerintah dalam waktu dekat seharusnya juga bisa digunakan sebagai momentum memperkuat birokrasi dan kelembagaan pemerintah dalam mengemban berbagai misi dari kebijakan tersebut. —

Henri SubagiyoDirektur Eksekutif Indonesian Center for

Environmental Law

Page 52: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest52 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Kolom

CORPORATE Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan punya pengertian berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang. Di Indonesia, begitu orang mendengar ‘CSR’, yang terbayang adalah donasi perusahaan untuk beragam kegiatan.

Sejak Howard Bowen menerbitkan Social Responsibilities of the Businessman pada 1953, pengertiannya CSR tak jauh beringsut dari tanggung jawab perusahaan atas dampak

operasi mereka. Dampak, tentu saja, bisa positif dan negatif. Dampak positif harus dikenali potensinya lalu diwujudkan secara optimal. Sementara dampak negatif, setelah dikenali potensinya, lalu dihindari agar tidak terjadi, namun bila harus terjadi maka perlu diminimalkan, kemudian direstorasi agar kembali ke kondisi semula, atau kompensasi.

Ketika pada 1992 konsep pembangunan berkelanjutan menjadi kesepakatan politik global, CSR menemukan kaitan yang lebih erat. CSR menjadi kontribusi perusahaan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan melalui tanggung jawab pengelolaan atas dampak positif dan negatifnya.

Konsisten dengan hal itu, di tahun 2010 ISO 26000 Guidance on Social Responsibility, yang merupakan salah satu rujukan CSR paling penting, mendefinisikan tanggung jawab sosial sebagai berikut: “…the responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that: Contributes to sustainable development, including the health and welfare of society; Takes into account the expectations of stakeholders; Is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; Is integrated throughout the organization and practised in all its relationships.”

Jika pembangunan berkelanjutan adalah tujuan CSR, sangat penting bagi perusahaan melihat bisnis inti mereka apakah kompatibel dengan definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu “…development that meets the needs of the present, without compromising the ability of future generations to meet their own needs.” Di hadapan definisi ini, ada bisnis-bisnis yang benar-benar tidak kompatibel, sehingga sama sekali tak bisa dianggap bertanggung jawab sosial; ada bisnis-bisnis yang perlu dimodifikasi agar bisa memenuhi definisi tersebut; dan ada bisnis-bisnis yang sudah sesuai dengan definisi tersebut.

Industri rokok, misalnya, masuk ke dalam kategori pertama. Dia memiliki produk yang membuat sakit atau bahkan mematikan konsumennya. Alih-alih memenuhi kebutuhan

generasi mendatang, ia malah mencuri generasi mendatang, menjadikan mereka sakit dan meninggal sebelum waktunya, sehingga kebutuhan generasi sekarang dan mendatang yang menjadi keluarga mereka menjadi sulit dipenuhi. Industri batubara juga sama. Emisinya menjadi salah satu sumber terbesar emisi gas rumah kaca. Sementara, tantangan terbesar yang pernah dihadapi oleh umat manusia adalah krisis iklim. Jadilah industri batubara, dan sumber energi fosil lainnya, menjadi industri yang kerap dinyatakan mustahil bertanggung jawab sosial.

Apa yang bisa dilakukan oleh bisnis pada industri yang demikian dari sudut pandang CSR itu sangat jelas: mereka harus menghilangkan dirinya. Mereka bisa memanfaatkan kekayaan finansial yang mereka miliki untuk membangun bisnis lainnya. Oleh karena itu, sebagaimana yang banyak dicontohkan di level global, banyak perusahaan migas—walau emisi mereka tak setinggi batubara—melakukan transformasi menjadi perusahaan energi. Dengan transformasi itu, mereka memiliki portofolio energi terbarukan. Kalau mereka benar-benar serius dengan transformasi itu, di masa mendatang seharusnya tidak ada lagi perusahaan energi fosil, karena itu memang tidak kompatibel dengan pembangunan berkelanjutan.

Nexus Ekonomi-Sosial-LingkunganKini kita juga menyaksikan bahwa ada perusahaan-

perusahaan yang sejak awal berdiri sudah benar-benar sesuai dengan pembangunan berkelanjutan, seperti perusahaan energi terbarukan. Juga, perusahaan-perusahaan yang bekerja meningkatkan kesehatan masyarakat, atau perusahaan yang melakukan rehabilitasi atau bahkan restorasi ekosistem. Hanya saja, tetap perlu dilihat apakah kinerja mereka benar-benar berkelanjutan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Jadi, walaupun bisnis inti dari perusahaan itu sesuai dengan tujuan dan definisi pembangunan berkelanjutan sekalipun, tetap saja perusahaan harus menunjukkan bahwa pengelolaan seluruh aspek bisnisnya harus konsisten. Tidak bisa perusahaan energi terbarukan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan ekonomi dan sosial masyarakat di mana dia beroperasi, atau melakukan pelanggaran etika. Perusahaan yang mengupayakan peningkatan status kesehatan masyarakat, misalnya rumah sakit, juga tidak diperkenankan untuk melakukan pencemaran lingkungan dengan membuang limbah medisnya sembarangan.

Kembali mengikuti ISO 26000, sebuah perusahaan yang bertanggung jawab sosial seharusnya memegang teguh prinsip akuntabilitas, transparensi, perilaku etis, penghormatan terhadap seluruh pemangku kepentingan, kepatuhan terhadap hukum, penghormatan terhadap norma perilaku internasional, dan

Greenwashing Bukan CSR

Page 53: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 53j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

penegakan HAM. Keseluruhan prinsip itu harus ditegakkan tanpa kecuali. Ada juga subjek inti, atau aspek-aspek yang harus dikelola oleh perusahaan, yaitu: tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu-isu konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat.

Aspek lingkungan sangat penting untuk diperhatikan oleh siapapun yang ingin melihat sebuah perusahaan bersungguh-sungguh dengan CSR-nya. ISO 26000 menyatakan perusahaan yang hendak mengelola lingkungan dengan bertanggung jawab harus menegakkan empat prinsip: tanggung jawab atas dampak lingkungan (environmental responsibility), pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), manajemen risiko lingkungan (environmental risk management), serta pencemar membayar biaya lingkungan (polluter pays). Isu yang harus dikelolanya adalah pencegahan polusi, penggunaan sumberdaya yang berkelanjutan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta prioteksi lingkungan, keanekaragaman hayati, dan restorasi habitat.

Dengan prinsip dan isu di atas, tanggung jawab perusahaan atas aspek lingkungan sesungguhnya sangat serius. Ada banyak perusahaan—terutama yang berada di sektor-sektor kontroversial dan yang enggan menanggung biaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan ekspektasi prinsip dan subjek inti CSR— ‘memotong kompas’ dengan cara melakukan pengelolaan lingkungan yang seadanya, tetapi melakukan komunikasi yang jauh lebih gencar sehingga menimbulkan kesan bahwa perusahaan memiliki kinerja lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan kenyataannya. Hal ini disebut sebagai greenwashing.

Perwujudan greenwashing sangat beragam. Perusahaan yang sadar tengah menghadapi masyarakat luas, termasuk dan terutama konsumennya, yang tidak memiliki literasi lingkungan yang baik, tetapi mulai menghargai kepedulian terhadap lingkungan, akan memanfaatkan greenwashing untuk mendongkrak penjualan. Karenanya, banyak perusahaan yang kini memanfaatkan beragam bentuk komunikasi—iklan, promosi, dan sponsorship—yang memakai isu-isu lingkungan. Semakin kontroversial sebuah industri, atau semakin besar dampak lingkungan yang tidak dikelola dengan benar, akan semakin gencar pula bentuk-bentuk komunikasi bertemakan isu lingkungan itu.

Dari sudut pandang CSR, perusahaan perlu mengelola seluruh emisinya dengan cara melakukan efisiensi energi, menghilangkan dampak deforestasi dari seluruh rantai pasokannya, berinvestasi di teknologi rendah emisi, serta melakukan transisi hingga sepenuhnya memanfaatkan energi terbarukan. Selama emisi

nol belum tercapai, perusahaan harus melakukan carbon offset atas emisi yang masih mereka hasilkan. Tetapi, kita melihat banyak sekali perusahaan yang menanam sekian ribu pohon, mengiklankannya besar-besaran, tanpa pernah bicara soal berapa sesungguhnya emisi yang mereka hasilkan, dan berapa besar dampak deforestasi bisnis mereka.

Penanaman pohon juga banyak dikaitkan dengan konservasi air. Banyak perusahaan mengumumkan sekian juta liter air yang bakal mereka ikat lantaran pohon-pohon yang mereka tanam, namun mereka tak bicara sama sekali soal berapa air yang mereka ambil untuk proses produksinya. Dalam sudut pandang CSR, pengelolaan air seharusnya minimal mencapai water balance, di mana volume air yang dipergunakan tidaklah melampaui volume air (bersih, tidak tercemar) yang dikembalikan ke dalam tanah.

Studi Testa, dkk (2018) Does It Pay to be a Greenwasher or a Brownwasher? adalah studi terbesar tentang greenwashing. Mereka melihat praktik di 3.490 perusahaan, dalam 19 industri yang berbeda, di 58 negara. Hasilnya greenwashing itu tidak menguntungkan, walau tidak juga merugikan perusahaan. Pasar secara umum ternyata tidak percaya pada klaim kinerja lingkungan lebay yang ditunjukkan perusahaan, namun juga tidak menghukum mereka yang melakukanya. Tetapi, perusahaan yang sesungguhnya memiliki kinerja lingkungan baik, tetapi kurang mempromosikannya—ini disebut brownwashing—gagal mendapatkan insentif dari pasar. Padahal, pasar global kini sudah merespons dengan baik perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik. Tentu, komunikasi yang setara dengan kinerja itu sajalah yang bisa membuat masyarakat mengetahuinya.

Kini, di seluruh dunia kesadaran tentang isu-isu lingkungan semakin meningkat. Jika disinformasi greenwashing terbukti sudah tidak bisa menarik perhatian pembeli—atau masih sedikit berhasil pada masyarakat dengan literasi lingkungan yang minim—tampaknya dalam waktu dekat kita akan melihat konsumen bertindak lebih keras dengan menghukum perilaku tidak jujur itu.

Greenwashing jelas musuh besar CSR—ia bertentangan dengan prinsip akuntabilitas dan transparensi, sekaligus mencederai pengelolaan subjek inti lingkungan. Sementara, yang benar-benar sesuai dengan CSR adalah pengelolaan lingkungan yang komprehensif, yang menekan dan merestorasi seluruh dampak negatif yang ada, serta yang mengoptimalkan dampak positif yang mungkin dikedepankan. —

Jalal Aktivis Pemantau CSR

Page 54: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest54 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Kolom

MEMPERTAHANKAN hutan negara acap lebih mudah ketimbang hutan adat atau hutan hak. Hutan adat atau hutan rakyat adalah hutan milik masyarakat. Mereka bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan: menjadi sawah karena lebih menguntungkan atau dibabat untuk permukiman akibat populasi yang meningkat.

Cara mempertahankan hutan rakayt bisa melalui hutan wakaf, seperti

praktik di Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, di kaki Gunung Salak. Pada akhir November 2015 daerah ini longsor. Tiga rumah ambruk dan 53 rumah rusak sehingga 192 penduduk diungsikan ke lokasi yang lebih aman. Selain itu, musibah ini juga membuat ratusan ton ikan mas milik 18 peternak mati mendadak. Longsoran juga menyebabkan jalan kampung terputus. Sepanjang 500 meter badan jalan rusak karena amblas.

Kecamatan tempat desa ini memang tergolong rawan longsor. Penelitian Rahayu (2016) menyebutkan bahwa kecamatan ini memiliki 17 titik longsor sepanjang tahun 2011-2015 dan tingkat kerawanan longsor dengan kategori rawan sebesar 81,5% atau seluas 10.215,28 hektar. Longsor yang terjadi di Kecamatan Pamijahan, termasuk Desa Cibunian, terjadi akibat banyaknya perumahan yang dibangun di tebing yang curam.

Hutan di Desa Cibunian yang berada di perbatasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ini harus dipertahankan, khususnya pada tanah dengan kemiringan tajam. Penduduk mengembangkan hutan wakaf untuk menjaga hutan mereka sekaligus menjaga taman nasional.

Hutan wakaf adalah hutan yang dibangun di atas tanah wakaf. Hutan hak dibeli dengan dana wakaf untuk kemudian diwakafkan, sehingga kepemilikannya berpindah dari milik pribadi menjadi milik Allah SWT dan digunakan untuk kepentingan umum.

Dalam ajaran agama Islam, wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Selain itu, wakaf yang telah ditentukan peruntukannya tidak diperkenankan untuk diubah fungsinya. Sekali sebuah tanah ditetapkan sebagai hutan wakaf, selamanya harus dikelola sebagai hutan.

Utsman bin Affan RA 14 abad yang lalu pernah berwakaf sumur di Kota Madinah, dan sampai sekarang sumur tersebut tetap eksis. Airnya dimanfaatkan untuk mengairi kebun kurma. Kurmanya dijual, hasil penjualannya dimanfaatkan untuk pengembangan wakaf. Konsep inilah yang membuat hutan wakaf lebih terjamin kelestariannya hingga hari kiamat.

Hutan wakaf selain dilindungi oleh hukum negara,

juga dibentengi oleh hukum agama. Bila ada orang yang menyalahgunakan peruntukan hutan wakaf, urusannya tidak hanya di mahkamah dunia, tapi juga mahkamah akhirat. Berdasarkan Undang-Undang No 41 tentang Wakaf, setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Rasulullah memerintahkan agar wakaf dipertahankan dan tidak diubah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, beliau bersabda kepada ‘Umar bin Khattab saat beliau hendak mewakafkan kebunnya yang merupakan hartanya yang paling berharga di Khaibar, “Tahan pokoknya, dan sedekahkan hasilnya”. “Tahan pokoknya” artinya menjaga asetnya agar tetap eksis, adapun “sedekahkan hasilnya” maksudnya adalah agar aset yang ada dikelola secara produktif agar terus bermanfaat bagi kepentingan manusia ataupun makhluk hidup lainnya.

Oleh sebab itu, bila ada orang yang mengubah fungsi wakaf yang tidak sesuai dengan yang diamanahkan oleh pewakaf (wakif), dia telah menyelisihi perintah Rasulullah SAW. Misalnya, jika terdapat seseorang yang menjual tanah wakaf untuk kepentingan yang menyelisihi amanah wakif, maka dia diancam dengan siksa yang pedih di akhirat. Rasulullah bersabda, “kezaliman itu kegelapan di akhirat” (HR Al Bukhari dan Muslim). Siapa yang zalim, yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, termasuk menyalahgunakan peruntukan wakaf, maka itu menjadi sumber malapetaka

Hutan Wakaf: Solusi Melestarikan Rimba

Page 55: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 55j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

baginya di hari pembalasan.Hutan wakaf di Desa Cibunian dikembangkan pada 2018,

sebagai salah satu solusi mencegah longsor yang kerap terjadi. Bermula dari seorang wakif yang mewakafkan tanah miliknya seluas 1500 meter persegi yang berlokasi di Kampung Muara Satu Desa Cibunian kepada sebuah yayasan wakaf (nadzir) untuk dikelola sebagai hutan wakaf. Tanah tersebut merupakan tanah sawah yang dulunya adalah hutan.

Nadzir berupaya untuk menghutankan kembali lahan tersebut. Di antara usaha yang dilakukan adalah menjamin kerjasama dengan berbagai pihak. Sebagai contoh, nadzir akan menjalin kerjasama dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk kegiatan penanaman dan perawatannya selama tiga tahun ke depan.

Kegiatan penanaman tidak dilakukan secara sembarang, tapi dengan perencanaan yang matang. Seorang arsitek lansekap dan sarjana kehutanan telah mewakafkan ilmunya untuk membuat site plan secara cuma-cuma. Pemilihan jenis tanaman dilakukan dengan penuh pertimbangan, agar dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial yang maksimal sesuai dengan prinsip sustainable forest management (SFM).

Misalnya, karena di lahan tersebut terdapat mata air yang dimanfaatkan warga untuk keperluan sehari-hari, perlu ditanam beberapa pohon beringin. Akarnya yang kuat dapat mencengkram batu dan tanah, sehingga dapat berfungsi sebagai pondasi mata air alami. Selain itu, biji pohon beringin dapat menjadi pakan bagi burung-burung. Ini kata Rasulullah juga termasuk sedekah, beliau bersabda, “Tidaklah seorang muslim

yang menanam tanaman atau bertani, lalu burung atau manusia atau hewan memakan hasilnya, kecuali semua itu dianggap sedekah baginya” (HR Al Bukhari)

Sistem tanam tumpang sari (agroforestri) juga bisa diterapkan. Agroforestri adalah sistem tanam yang memadukan tanaman pertanian dengan kehutanan sebagai optimalisasi ruang vertikal. Sistem ini juga dapat menghasilkan pendapatan jangka pendek dari tanaman pertanian. Tanaman pertanian yang dipilih adalah edamame yang memiliki banyak manfaat seperti meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah hipertensi, dan mengurangi risiko kanker.

Adapun tanaman kehutanan di atas tanaman edamame yang dipilih adalah pohon pinus (Pinus merkusii), sebab selain indah, harum, dan menyejukkan, pohon ini identik dengan tropical forest dan dapat menjadi habitat satwa seperti tupai.

Nadzir juga menerima wakaf berupa bibit pohon unggul dari masyarakat untuk ditanam di hutan wakaf. Saat ini ada donatur yang berwakaf bibit durian terbaik untuk ditanam di hutan wakaf. Harapannya, bibit tersebut dapat tumbuh dan berbuah dengan baik. Hasil panen durian dapat dijual secara komersial, namun keuntungannya harus dimanfaatkan untuk pengelolaan dan pengembangan wakaf.

Selanjutnya, nadzir yang mengumpulkan wakaf uang dari masyarakat dapat membeli tanah di sekitar hutan wakaf yang telah ada untuk perluasan. Pada bulan Juni 2019, nadzir telah membeli lahan seluas 1200 meter persegi untuk pelebaran hutan wakaf, sehingga luasnya sekarang telah mencapai 2700 meter persegi.

Jadi, donasi untuk membangun hutan wakaf dapat dilakukan dengan berbagai cara: dalam bentuk donasi lahan, donasi uang, donasi bibit, dan bahkan dalam bentuk wakaf ilmu seperti memberikan konsultasi secara cuma-cuma. Semua itu bila dilakukan dengan ikhlas, akan dibalas oleh Allah dengan pahala yang terus mengalir meski yang berwakaf sudah meninggal dunia. Rasulullah bersabda, “Bila seseorang meninggal dunia, terputuslah semua amalnya kecuali tiga amalan: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR Muslim).

Sampai saat ini, masyarakat Indonesia secara umum masih memahami wakaf secara terbatas. Wakaf identik dengan masjid/musholla, lembaga pendidikan, dan kuburan. Padahal, wakaf bisa juga dikembangkan dalam program-program pelestarian lingkungan seperti wakaf hutan.

Selain di Bogor, hutan wakaf telah dikembangkan di Aceh dan Bandung. Saya optimistis, potensi wakaf yang mencapai Rp 180 trilun/tahun (BWI, 2018) dapat menjadi bagian dari solusi atas penggundulan hutan yang semakin memprihatinkan.

Khalifah Muhamad Ali Pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Syariah

Fakultas Ekonomi dan Masyarakat IPB

Page 56: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest56 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Kolom

ISU perubahan iklim memberi arah baru bagi pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia, tidak lagi hanya tentang keberlanjutan pasokan kayu, fungsi ekologi (air dan udara), keanekaragaman hayati, dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Salah satu yang potensial adalah perhutanan sosial.

Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat oleh masyarakat setempat untuk peningkatan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan pemenuhan aspek sosial budaya. Dalam Peraturan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 83/2016 tentang Perhutanan Sosial, ada lima skema PS, yaitu: (1) Hutan Desa (HD); (2) Hutan Kemasyarakatan (HKm); (3) Hutan Tanaman Rakyat (HTR); (4) Hutan Adat (HA); dan (5) Kemitraan Kehutanan (KK).

Pemerintah telah berkomitmen mengalokasikan lahan hutan seluas 12.7 juta hektare untuk perhutanan sosial ini. Sampai 1 Juni 2019, izin perhutanan sosial mencapai 3,09 juta hektare untuk 679.467 ribu keluarga. Dengan potensi luas kawasan hutan Indonesia saat ini tercatat sekitar 125,9 juta hektare atau seluas 63,7% dari luas daratan Indonesia, wajar jika separuh dari target penurunan emisi (12,42%) bisa disumbang oleh sektor kehutanan.

Perhutanan sosial memiliki potensi besar dalam praktik karbon nasional dan global. Sebagai bagian dari hutan negara, wilayah PS bisa menjadi target lokasi kegiatan REDD+, baik secara mandiri mendapatkan pengakuan sebagai wilayah REDD+, atau bermitra dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan mendaftarkan dalam sistem registri nasional REDD+. Kesiapan provinsi dan KPH dalam hal kelembagaan, kelengkapan instrumen ekonomi, dan pengaman (sosial dan lingkungan) akan menentukan bagaimana mekanisme kerja sama dan pembagian manfaat bagi lembaga perhutanan sosial yang terlibat dalam kegiatan REDD+.

Dalam proyek FIP-1 (Forest Investment Program-1) yang merupakan proyek hibah dari Asian Development Bank (ADB) dengan tema investasi berbasis masyarakat untuk mengatasi deforestasi dan kerusakan hutan di Kalimantan Barat, target pengurangan emisi sebesar 3,7 juta ton CO2e selama 10 tahun. Ada 17 desa di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu yang terlibat dalam proyek tersebut. Kelompok masyarakat membangun perjanjian dengan KPH dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan REDD+ (wanatani, restorasi ekosistem, penanggulangan kebakaran hutan, pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur desa). Pada saat yang sama

masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi untuk peningkatan kesejahteraannya. Proyek FIP-1 juga akan membangun model pelaksanaan kegiatan REDD+, termasuk model pembagian manfaat antar pihak, jika ke depan, Kalimantan Barat masuk pada mekanisme pembayaran REDD+ berbasis hasil.

Mekanisme REDD+ secara sukarela, antara lain Plan Vivo, juga sangat mungkin diterapkan di wilayah perhutanan sosial. Plan Vivo adalah sistem sertifikasi hutan lestari berbasis jasa lingkungan dan karbon hutan dengan prinsip mencegah deforestasi dan program reforestasi/aforestasi. Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Menteri Kehutanan P.30/2009, mengakui Plan Vivo sebagai sistem sertifikasi hutan lestari konteks karbon. Plan Vivo bisa diterapkan pada hutan yang dikelola masyarakat lokal (misal: tembawang, huma, simpuan, dll.) yang umum disebut Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Sebagian besar SHK ini mendapatkan izin melalui skema PS. Menurut situs Direktorat Jenderal PPI yang diunduh pada Juli 2019, dari skema Plan Vivo di Unit SHK di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi terdapat 15 situs dengan potensi karbon sekitar 70-200 ton C/hektare.

Pada awal 2019, di desa Nanga Lauk, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Lembaga Swadaya Masyarakat PRCF memfasilitasi kesepakatan pengelolaan hutan lestari menggunakan skema Plan Vivo antara Hutan Desa Nanga Lauk dan pihak investor. Setelah memperhitungkan efektivitas

Pasar Karbon Perhutanan Sosial

Page 57: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 57j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

kegiatan proyek, potensi kebocoran dan menambahkan risiko, dalam jangka lima tahun pertama, produksi karbon yang bisa dijual melalui sertifikat Plan Vivo mencapai 4.731 ton CO2 per tahun. Masyarakat desa Nanga Lauk juga akan mendapatkan dukungan pengelolaan hutan selama 35 tahun ke depan (Project Design Document, 2017).

Di Jambi, KKI Warsi dengan dukungan ICRAF, mengukur potensi cadangan karbon di Hutan Adat Desa Guguk, Kabupaten Merangin, dengan metodologi RaCSA (Rapid Carbon Stock Assessment). Hasilnya, cadangan karbonnya mencapai 261,25 ton/hektare. Jika dijual dengan asumsi per ton karbon US$ 10 dengan luas hutan adat 690 hektare, per tahun bisa menghasilkan US$ 1,8 juta atau Rp 25,2 miliar (nilai tukar 1 USD=Rp 14.000). Hutan Adat Guguk juga memiliki kekayaan hayati berupa 89 jenis burung, 22 jenis mamalia, serta 84 jenis kayu seperti Meranti, Balam dan Marsawa (KKI WARSI, 2019).

Pasar Karbon DomestikMemetakan pasar karbon domestik bisa didekati dengan

mengidentifikasi off-taker dari produk-produk yang bisa dihasilkan dari program perhutanan sosial. Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, dalam berita ekonomi.bisnis.com, menyebutkan off-taker hasil produksi perhutanan sosial bisa dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta. Dari BUMN di antaranya Perhutani, Bulog, Perindo dan RNI. Sedangkan dari swasta ada Kacang Garuda, Carrefour, Nestle dan IDH Sustainable Trade Initiative.

BUMN dan swasta bisa diarahkan untuk mendukung capaian penurunan emisi nasional melalui Skema Karbon Nusantara (SKN). SKN merupakan alternatif untuk memberi peluang pihak swasta dalam penurunan emisi GRK. Kredit karbon dari SKN dapat digunakan untuk meng-offset/kompensasi emisi GRK pembeli/pengguna. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia diharapkan dapat memberikan insentif kepada pihak swasta yang terlibat dalam SKN, baik kepada pihak penyedia karbon (dalam hal ini perhutanan sosial) ataupun pembeli karbon. Pemerintah juga perlu mendorong pihak swasta untuk meningkatkan kerja sama dengan pengelola PS, baik secara langsung maupun melalui pelibatan KPH (Ditjen PPI, 2019).

PR PemerintahBerdasarkan pada data yang diunduh dari situs KLHK (ppid.

menlhk.go.id, diunduh pada Juli 2019), dari hasil inventarisasi GRK, Indonesia berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 8,7% pada 2016. Untuk meningkatkan capaian pengurangan emisinya,

Indonesia masih memerlukan dana pendampingan dari swasta serta partisipasi aktif aktor non-pemerintah, khususnya dalam memobilisasi pendanaan dan meningkatkan investasi pembangunan rendah emisi. Pelibatan perhutanan sosial juga perlu ditingkatkan dengan memberikan aturan main yang jelas, dan terlebih lagi pembagian manfaat yang seimbang dengan upaya yang dilakukan di tingkat tapak.

Opsi secondary carbon market dan sistem verifikasinya bisa menciptakan permintaan karbon dengan membuka peluang kepada pihak lain, termasuk pemerintah, untuk membeli karbon dari pihak yang telah melakukan penurunan emisi gas rumah kaca (misal: dari pasar voluntary carbon market). Dalam hal pemerintah Indonesia mampu membeli karbon dari pihak tersebut, maka dapat dihitung sebagai kontribusi dalam komitmen pemerintah dalam penurunan emisi gas rumah kaca 29%. Untuk mendorong pasar karbon domestik, pemerintah Indonesia perlu membuat instrumen harga karbon yang menggabungkan sistem cap and trade dan carbon tax.

Menjadi jelas bahwa perhutanan sosial memiliki peran strategis bagi keberlanjutan penghidupan masyarakat, pengelolaan hutan lestari, dan pencapaian target pengurangan emisi nasional. Target pencadangan perhutanan sosial 12,7 juta hektare bukan saja bisa mengurangi emisi nasional, namun juga berpeluang meningkatkan penghidupan masyarakat di sekitar 40 ribu desa di sekitar kawasan hutan.

Program PS akan berhasil jika kelembagaan PS bisa memberi keadilan dalam mengatur dan membagi manfaat hutan. Tanpa prinsip keadilan ini, program PS menjadi sia-sia. Slogan “hutan hijau, rakyat sejahtera” masih sangat pantas untuk terus digaungkan di seluruh negeri. —

Referensi:Rahmina. 2012. Pilihan Skema Pengelolaan Hutan Berbasis

Masyarakat Dalam Mitigasi Perubahan Iklim. GIZ dan FORCLIME, dan KLHK.

Yonky Indrajaya, Aris Sudomo. 2016. Karbon Tersimpan Dalam Biomassa Hutan Rakyat Jamblang di Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul, Yogyakarta. Prosiding SNPPM: Sains dan Teknologi.

http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/2682-press-release-perdagangan-karbon.html STRANAS REDD+ Indonesia (2012)

Sustainable Forest and Biodiversity Management in Nanga Lauk Village, Kapuas Hulu, West Kalimantan, Indonesia. Project Design Document. Submitted to the Plan Vivo Foundation by PRCF Indonesia. 29 Nov 2017

Bambang Tri Sasongko Adi Konsultan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan yang sejak enam tahun ini mencermati isu perubahan iklim dan praktik karbon di Indonesia

Page 58: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest58 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Kolom

PEGUNUNGAN Cycloop di Papua sangat penting bagi masyarakat di kota dan Kabupaten Jayapura. Menurut surat keputusan Menteri Kehutanan 365/1987, luas pegunungan Cycloop 31.479,89 hektare. Sebanyak 80 persen luasnya berada di Kabupaten Jayapura.

Cycloop menjadi penyedia sumber air bersih, penyimpan flora dan fauna endemik, lumbung makanan dan rekreasi bagi masyarakat lokal di kawasan penyangga. Namun, status cagar alam tak membuat

Cycloop terlindungi. Perladangan berpindah, pertanian, dan naiknya jumlah penduduk membuat Cycloop menjadi rusak dalam sepuluh tahun terakhir.

Selain kerusakan oleh pembukaan lahan, tingginya pengambilan batu di sungai juga turut berpengaruh. Batu dari sungai gunung Cycloop diambil masyarakat untuk membangun kota Jayapura dan Sentani, Ibu Kota Kabupaten Jayapura.

Kkerusakan hutan dan lahan didorong lebih besar oleh faktor ekonomi. Tingginya pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian (buka-buka kebun = istilah Papua) menjadi pemicu utama perladangan berpindah. Kegiatan ini dominan dilakukan oleh kelompok etnik migran lokal, bukan orang asli (indigenous people). Pengawasan dan pelarangan kepada masyarakat di kawasan cagar alam Cycloop amat sangat tidak efektif.

Akibatnya, kawasan penyangga Cycloop menjadi rusak dan naiknya jumlah lahan kritis. Lahan banyak ditumbuhi alang-alang bahkan tanah terbuka. Akibatnya, banjir bandang. Curah hujan yang cukup tinggi tak bisa diserap tanah yang miring dan terbuka. Tak hanya kerugian ekonomi, banjir Sentani bahkan merenggut korban jiwa.

Secara alami, lahan bisa pulih melalui proses suksesi, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Cycloop perlu restorasi. Usaha saat ini adalah re-vegatasi jenis tanaman bernilai ekonomi di kawasan penyangga. Selain pemilihan jenis, restorasi mesti

melibatkan masyarakat melalui diskusi dan dialog yang panjang serta melibatkan mereka melalui kegiatan pembinaan petani perladangan berpindah, konseling budaya dan pemahaman “jejaring politik” di Papua.

Aspek penting lainnya dalam studi antropologi yang dikembangkan salah satunya untuk merelokasi pemukiman masyarakat di kawasan penyangga. Relokasi masyarakat mesti mempertimbangkan aspek sosial budaya yang mengikat serta mempertimbangkan karakter ekologi yang membentuk mereka secara turun-temurun sebelumnya dari daerah asal mereka.

Hal lain adalah transaksi antara pemilik tempat (pemegang hak ulayat) dengan masyarakat migran lokal dalam hal penggunaan dan pemanfaatan lahan di kawasan penyangga. Pemilik lahan (para Ondoafi) memiliki hubungan dalam hal memberikan kewenangan kepada masyarakat migran lokal untuk memanfaatkan lahan di kawasan penyangga bagi kegiatan berusaha tani.

Restorasi kawasan penyangga Cycloop bisa dilakukan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek dengan menanami kawasan penyangga dengan tanaman lokal bernilai ekonomi sebagai alternatif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Pelibatan masyarakat melalui mitra polisi hutan dan kegiatan-kegiatan sosialisasi perlindungan kawasan dapat dilakukan melalui lembaga keagamaan (gereja). Sosialisasi melalui lembaga keagamaan untuk membangun presepsi dan menyatukan pandangan masyarakat

bagaimana semestinya mereka memperlakukan alam melalui pendekatan eco-sophy.

Untuk jangka panjang, kajian-kajian budaya, ekologi, dan kajian ekonomi secara terencana untuk menemukan solusi bagi penanganan masyarakat yang telah telanjur bermukim di kawasan penyangga Cycloop. Ketika terjadi transformasi nilai budaya melalui pendekatan partisipatif maka proses perubahan pola pikir bisa terjadi untuk menyelamatkan cagar alam Cycloop.

Pegunungan Cycloop Menunggu Restorasi

Alfred AntohDosen Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP

Universitas Cenderawasih

Page 59: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 59j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Page 60: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest60 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

reportase

BANDAR udara Suvarnabhumi di Bangkok kini seperti galeri seni. Siapa pun yang baru turun atau hendak terbang melalui bandara terbesar di Thailand ini akan melihat pelbagai foto seni dengan teknik tinggi. Alam dan

manusia seperti dilukiskan lebih indah dari aslinya. Beberapa lukisan bahkan menampilkan tubuh telanjang, yang tak akan lolos banda sensor jika dipamerkan di Jakarta.

Setelah menikmati lorong seni, pemandangan biasa di bandara terhampar: antrean panjang di meja imigrasi. Beberapa petugas menyisir dokumen para pelancong secara acak. Mereka tidak segan mencoret informasi yang kurang atau kurang relevan formulir kedatangan. “You have to mention your hotel’s name,” kata seorang petugas. Cantik, langsing, efisien.

Keluar dari bandara segera saja saya menemukan hawa Thailand yang khas: panas, lembap, berat, dan rempah Asia yang tajam. Bersama delegasi dari program Forest Investment Program II, program kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Bank Dunia, saya menjadi salah satu peserta kunjungan sepekan pada awal Juni 2019 itu, di antara para delapan kepala dinas kehutanan provinsi, dan 10 kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan.

Dalam ucapan selamat datangnya, Direktur Pelaksana The Center of People and Forest (RECOFTC) Chandra Silori mengenalkan kajian hutan sosial dalam

sudut pandangan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Menurut dia, pembangunan berjalan dengan cepat membuat negara-negara Asia menjadi lebih kaya. Namun, kendati pembangunan coba diintegrasikan, nasib hutan dan masyarakat di sekitar hutan tetap berisiko. Hutan terdegradasi,

masyarakat di sekitarnya tetap miskin, tertinggal, dan pilihan hidup yang terbatas.

Chandra punya beberapa resep yang ia pelajari di Thailand, yang agaknya bisa diterapkan di mana saja: a) Pengelolaan lanskap bersama-sama dan saling berkoordinasi dalam pengelolaannya; b) Tata pemerintahan, pembenahan institusi,

Belajar Hutan Sosial ke ThailandSelain rapi dalam mengelola manajemen komunitas, Thailand punya struktur yang lengkap dalam memproduksi hasil hutan sosial secara tradisional. Pasar malamnya gemerlap.

Konservasi. Diskusi di hutan konservasi Baan Samakke Dham di Kecamatan Lhoom Shoom, Khancanaburi.

Page 61: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 61j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

dan transformasi konflik atas lahan; c) menginisiasi usaha komersial bersama masyarakat; d) Peningkatan pengetahuan dan kapabilitas anggota komunitas lokal, dan; e) inklusi sosial, kesetaraan gender, dan aksi bersama. Chandra cukup rinci memaparkan rencana kerja untuk tiap poin dalam lima tahun hingga 2022.

Di Thailand hutan sosialnya mirip dengan Indonesia, kendati sudah berjalan lebih awal. Di sini hutan didefinisikan sebagai lahan apa pun yang bukan lahan milik, baik berupa lahan dengan tutupan vegetasi atau lahan kosong. Secara umum, hutan alam di Thailand terbagi atas evergreen forest (yang menghijau sepanjang tahun) dan deciduous forest (yang pohonnya menggugurkan daun pada musim tertentu).

Dalam perspektif yang berbeda, hutan dibagi menjadi hutan dengan tujuan-tujuan ekonomi sebagai prioritas (economic forests) dan hutan dengan tujuan konservasi (conservation forests). Empat puluh persen Thailand masih berupa kawasan hutan (25% hutan konservasi, dan 15% hutan dengan tujuan ekonomi). Dalam mengelola hutan, pemerintah Thailand punya ukuran jelas: to gain healthy forests for SDGs.

Thailand mulai mengelola hutan pada 1941. Waktu itu pemerintah mempromosikan penanaman pohon di lahan milik negara pada saat perayaan agama Budha. Pada 1970, hutan dengan tujuan beragam dan multi-guna dibangun di areal hutan yang dekat dengan permukiman penduduk. Tahun 1987, pengelolaan hutan masyarakat dimulai operasionalisasinya, termasuk di antaranya, membentuk kelompok petani hutan, pelaksanaan berbagai pelatihan, dan pembangunan sarana pembuatan bibit. Sepuluh tahun kemudian, UNDP/FAO/SIDA datang dengan dukungan dana untuk 47 provinsi.

Pertanyaannya, apakah praktik di lapangan berjalan mulus? Untuk menjawab itu, kami dibawa naik bus sejauh 250 kilometer, ke kampung yang dihuni suku Karen di Baan Huai Hin Dum, provinsi Suphanburi. Jarak Jakarta-Pekalongan itu terasa pendek karena jalanan mulus dan tempat istirahat dikelola dengan baik.

Sepanjang jalan terlihat gundukan pepohonan yang tertata rapi berselang-seling dengan rumput gajah teratur. Di beberapa sudut, bahkan perjalanan terasa seperti di negeri Belanda, saat musim panas: dengan hijau rumput dan peternakan sapi.

Provinci Suphanburi disebut juga sebagai City of Gold. Di provinsi ini tinggal komunitas Baan Huai Hin Dum yang merupakan bagian dari suku Karen

Jika menyimak paparan Chnadra, hutan sosial Indonesia tergoleong sedang berkembang, seperti Cina. Sementara di Vietnam dan Nepal masih berada dalam awal perkembangan. Hutan sosial yang sudah berkembang pesat antara lain di Meksiko yang menghasilkan

produk dan jasa secara signifikan.

Page 62: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest62 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Thailand, suku yang telah mendiami kawasan berhutan ini selama lebih dari 200 tahun. Mereka melarikan diri dari Myanmar karena peperangan di era Rattanakosin (1782-1932). Saat ini, anggota komunitas perhutanan sosial masih mempraktikkan sistem pertanian yang menghasilkan padi dan sayuran untuk keperluan sehari-hari.

Kelompok pertama hutan sosial terbentuk pada 1994. Menurut para tetua, pada awal pendiriannya mereka banyak berkonsultasi dan negosiasi dengan berbagai pihak untuk menghutankan kembali areal yang rusak. Dalam tiap negosiasi itu mereka selalu menyampaikan tujuan membentuk kelompok: mengelola hutan secara lestari. Model pengelolaan hutan berbasis budaya (cultural-based forest management) menjadi basis kerja Komite Komuniti Forestri (KKF). Modelnya menggabungkan tradisi, agama,

dan pengetahuan tradisional.Dari Baan Huai, kami dibawa ke hutan

kemasyarakatan Baan Samakkee Dham di kecamatan Lhoom Shoom, Provinsi Kanchanaburi. Di sini masyarakat mengelola areal hutan seluas 1.884 hektare di hutan lindung yang dikelola oleh Royal Forest Department (RFD). Di sini komitenya sudah mendapat sertifikat hutan sosial untuk 153 hektare pada 2006.

Penduduk Baan Samakkee Dham yang berjumlah 150 keluarga mengandalkan penghasilan dari ketela pohon, buah tangan dari bambu, dan buruh tani. Mereka membuat anyaman bambu untuk tikar yang membutuhkan 5.600 batang per bulan lalu dijual ke pasar. Rebung juga mereka jual kepada pembeli yang rutin datang ke sana setiap musim bertunas.

Masalahnya, daerah ini kekurangan air. Maka anggota komite membangun 600 dam kecil yang terbuat dari bambu dan

batu untuk mencukupi air untuk bambu. Pemerintah daerah memberikan alokasi dana yang memadai untuk membangun dam berukuran lebih besar yang terbuat dari semen dan batu.

Desa ketiga adalah Baan Huai Sapan Samakkee di Provinsi Kanchanaburi. Penduduk di sini mengelola hutan 360,48 hektare yang dulu rusak karena perambahan. Pendudukan Jepang yang membangun rel kereta, menuntut kayu untuk bantalan rel. Hutan di sini ludes karena ditebangi. Ditambah degradasi lahan pada 1970-an akibat industrialisasi gula dan tepung tapioka.

Tahun 1974, penduduk mulai mengatur batas kawasan hutan mereka. Masyarakat di empat kampung sepakat membangun kembali hutan mereka.

Berbeda dengan kampung lain, di Samakkee kelompok tani punya dewan penasihat yang terdiri atas (1) komunitas

reportase

Page 63: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 63j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

candi keagamaan, (2) sekolah, (3) pemerintah setingkat kecamatan, (4) perguruan tinggi, (5) kantor Dinas Kehutanan, dan (6) perusahaan. Penggerak komunitas adalah anak muda sekitar 50 orang yang belajar hutan sosial di sekolah dan menerapkannya dengan menggabungkan cara tradisional.

Komite membuat aturan yang ketat soal hutan sosial:1. Dilarang merambah areal hutan sosial2. Dilarang menebang semua jenis

pohon. Pelanggar didenda 500 baht per pohon

3. Mereka yang menyebabkan kebakaran hutan didenda 5.000 baht atau dituntut ke pengadilan.

4. Terlarang membuang sampah atau denda 500 baht.

5. Anggota kelompok tani hanya boleh mengumpulkan rebung selama 20 hari per tahun. Bukan anggota didenda

2000 baht untuk sekali pelanggaran.6. Yang merusak bangunan dan

infrastruktur di areal hutan sosial akan dituntut.

7. Sanga dianjurkan menanam pohon pada upacara sesuai agama Budha setiap tahun

8. Terlarang membeli kayu dari areal hutan sosial.

9. Terlarang menggali, menebang, dan kegiatan lainnya yang mengganggu regenerasi produk bukan kayu.

10. Inventarisasi hutan dilakukan selama 12 kali dalam setahun.

Larangan dan etika merupakan ciri menonjol dalam komunitas hutan sosial di Thailand. Mereka serius mengembangkan hutan sosial dan hidup serasi dengan alam karena merasa mendapat dukungan penuh dari Raja dan Ratu. Ratu Thailand terus memberikan dukungan finansial, bahkan

bagi kelompok tani yang siap mandiri.Ciri lain dari hutan sosial Thailand

adalah pasar. Pasar-pasar Thailand sangat pro produk lokal dari petani sekitar hutan yang bercampur baur dengan produk impor, meski pun agaknya ditempatkan di sudut yang kurang menarik. Rambutan, durian, sayuran, sampai hewan ternak dan hewan piaraan ada di pasar, bahkan di Bangkok. Keberadaan pasar ini yang membuat petani hutan sosial di Thailand berdaya karena produk hasil mereka punya penampung yang jelas.

—Asep Sugih Suntana, PhD (Bangkok)

Mata Rantai Hutan Sosial. Kiri-kanan. 1. Dam kecil dari bambu dan batu untuk mengatur air. 2. Pasar malam hutan sosial. 3. Produk hutan sosial Thailand. 4. Diskusi bersama masyarakat pengelola hutan sosial

Page 64: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest64 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

reportase

JIKA ingin melihat bekantan dari jendela mal, datanglah ke Tarakan. Di Ibu Kota Kalimantan Utara ini, kita bisa melihat bekantan seusai berbelanja. Monyet berhidung panjang dengan nama Latin Nasalis larvatus itu adalah penghuni hutan mangrove di sebelah pusat belanja di pusat Tarakan. Benar- benar

di pusat kota! Tak hanya bersebelahan dengan mal, hutan mangrove itu berada di antara bangunan sekolah, pelabuhan, pabrik pengolahan ikan, dan laut.

Pemerintah kota Tarakan membangun hutan mangrove itu menjadi habitat bekantan yang kini menjadi objek wisata di tengah kota. Sebagai sebuah pulau seluas 657 kilometer persegi, Tarakan dikelilingi laut dan menjadi pintu gerbang Indonesia ke Malaysia. Dengan pelabuhan dan bandara, wisatawan singgah di sini sebelum melanjutkan ke Kepulauan Derawan yang lebih dulu terkenal.

Syahdan, pada 2001, Tarakan mengalami pembangunan besar, salah satunya pusat perbelanjaan yang ada di samping hutan mangrove milik Perum

Perikanan. Melihat hal tersebut Jusuf Serang Kasim, seorang dokter yang menjadi Wali Kota Tarakan pertama sejak 1999, meminta bantuan pusat perbelanjaan tersebut untuk membangun jembatan kecil guna akses masuk ke dalam hutan mangrove yang bersebelahan dengannya. Jusuf sangat penasaran dengan apa yang ada di dalam hutan tersebut. Jusuf berniat mengembangkannya menjadi “paru-paru kota”.

Jembatan yang dibangun itu berbahan kayu bekas dan panjangnya 50 meter. Tampaknya memang jembatan itu tak akan bertahan lama mengingat hutan

mangrove bersuhu lembap yang bisa dengan mudah merusak

jembatan kayu tersebut. Saat pertama kali

masuk ke hutan itu, Jusuf sangat terke-san melihat keinda-han cahaya mata-hari yang masuk menembus cel-ah-celah pepohonan,

nyanyian burung saling sahut-menyahut

menambah  asri hutan ini. Saat itu ia heran bagaima-

na bisa ada area di tengah kota memiliki suasana seindah itu. Ia pulang dengan menyimpan kekagumannya. Seb-ulan setelahnya ia berniat kembali masuk ke hutan mangrove tersebut, namun jembatan kayu itu telah roboh, tak mampu menahan suhu lembap hutan mangrove.

Meski tak bisa masuk hutan mangrove kedua kali, Jusuf mengambil langkah konkret dengan menerbitkan Surat Keputusan Walikota Tarakan Nomor 591/HK-V/257/2001 tentang pemanfaatan hutan mangrove Kota Tarakan. Aturan tersebut menetapkan perlindungan hutan mangrove yang memiliki luas 9 hektare ini. 

Beberapa waktu setelah itu beredar kabar bahwa terdapat dua ekor bekantan dan beberapa monyet ekor panjang di hutan mangrove tersebut. Kabar itu cukup mengejutkan karena area ini jauh dari kawasan hutan lindung yang letaknya di utara Tarakan.

Bekantan adalah monyet endemis Kalimantan, artinya ia hanya bisa hidup di pulau ini. Sayangnya kondisi bekantan hingga kini semakin memprihatinkan, populasinya menurun drastis akibat perburuan liar dan habitatnya semakin menyempit.

Menurut penelitian, jumlahnya saat ini tinggal 2.500 individu di seluruh Kalimantan. Pada 1995 habitatnya hanya tersisa 39 persen, dan yang berada di kawasan konservasi hanya 15 persen. Bekantan bisa dipastikan segera punah jika tidak segera diselamatkan. Beruntung Wali Kota Jusuf paham mengenai hal ini.

Jusuf berinisiatif melakukan upaya perlindungan sebisa mungkin terhadap bekantan tersebut. Pada 2002, meskipun tanpa pendampingan khusus, enam ekor bekantan didatangkan dari Kabupaten Berau untuk meningkatkan populasinya di hutan mangrove Tarakan. Sebelum

Bekantan di Pusat TarakanPemerintah Kota Tarakan mengembangkan hutan mangrove sebagai habitat bekantan di pusat kota, yang bersebelahan dengan mal. Pernah ditegur pemerintah pusat karena awalnya membuat stres monyet itu.

Page 65: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 65j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

dilepas-liarkan, bekantan-bekantan ini terlebih dahulu dikarantina di rumah kediaman Camat Tarakan Barat yang pada saat itu menjadi koordinator perlindungan hutan mangrove tersebut. Sejak saat itulah hutan mangrove ini mulai dikenal dengan nama Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB).

Bekantan sebenarnya merupakan satwa yang sangat sensitif dan mudah stres. Karena mendatangkan bekantan tanpa pendampingan, Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Kalimantan Timur menegur pemerintah Kota Tarakan. Namun pemerintah kota tidak menyerah. Di bawah kendali Jusuf Kasim, pemerintah berupaya terus melindungi bekantan, salah satunya dengan membangun pagar pembatas berbahan seng untuk melindungi KKMB.

Pemerintah Tarakan kemudian memberi penjelasan kepada BKSDA bahwa bekantan yang di reintroduksi ke KKMB adalah bekantan yang diselamatkan dari daerah pedalaman. Di daerah pedalaman Kabupaten Berau satwa dilindungi ini sering kali diburu masyarakat untuk dijadikan umpan menangkap buaya.

Melihat keseriusan Pemerintah Tarakan, BKSDA Kaltim akhirnya luluh,

Jembatan-jembatan ini dibuat tanpa menebang satu pun pohon mangrove, sehingga bentuknya meliuk-liuk di antara pepohonan. Jembatan yang memutari KKMB ini memiliki lebar 2 meter dengan panjang total 2.400 meter.

Tiga tahun kemudian, karena kesuksesan KKMB dalam perlindungan bekantan serta wisata alam, pemerintah meluaskan arealnya menjadi 22 hektare. Penambahan area seluas 13 hektare ini dilakukan dengan mengalihfungsikan tambak-tambak yang berada di sekitar kawasan untuk ditanami mangrove. Upaya perluasan kawasan ini awalnya hampir tidak mungkin terjadi karena area di sekitar KKMB tersebut sudah dialokasikan untuk menjadi lahan pembangunan. Berkat Wali Kota Jusuf, alih fungsi menjadi hutan itu terwujud.

Selain jembatan ambruk, hutan mangrove itu pernah diterjang angin ribut yang membuat bekantan kabur dari sana akibat pohon-pohonnya tumbang dan patah. Banyak bekantan yang ditemukan berada di luar kawasan mangrove. Dari semula 45 ekor pada 2010, setelah angin ribut jumlah bekantan tinggal 25 individu, menurut survei 2012. Kini jumlah bekantan diperkirakan sebanyak 40 ekor.

Ada 14 petugas yang berjaga di sekitar hutan mangrove. Mereka menyebarkan ikan kepok untuk jadi makanan hewan ini. Mereka juga bertugas menjadi pemandu wisata bagi para turis yang masuk ke hutan ini, menyeberangi jembatan tajuk, atau sekadar memotret bekantan yang bergelantungan di dahan pohon yang rimbun.

Hutan mangrove yang semula hanya akan dijadikan paru-paru kota kini telah berkembang untuk berbagai kepentingan, terutama konservasi, wisata, pendidikan, serta penelitian. Sampai saat ini kegiatan wisata di KKMB masih terus berjalan dan terus menyumbang pendapatan daerah bagi Kota Tarakan. KKMB pula yang mengantarkan Wali Kota Jusuf menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 2006 kategori pembina lingkungan hidup dan Wali Kota Terbaik versi majalah Tempo 2007.

Tarakan menjadi bukti konservasi bisa serasi dengan tata kota yang asri.

—Reherlangga, pegiat konservasi bekantan Tarakan. Pernah menempuh

pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB.

mereka menyetujui dan bahkan mendukung upaya konservasi bekantan di KKMB. Setahun kemudian mulai terlihat tanda-tanda keberhasilan penangkaran bekantan secara insitu. Sama sekali tidak ada kematian bekantan, bahkan satu induk melahirkan anak yang pertama. Kabar gembira tersebut tentu saja menjadi pemacu semangat pemerintah Tarakan untuk terus melestarikan bekantan. Sejak saat itu KKMB mulai dikenal sebagai satu-satunya kawasan yang berhasil menangkarkan bekantan secara insitu di pusat sebuah kota.

Tahun 2003 geliat kegiatan wisata mulai terlihat di KKMB bersamaan dengan dibangunnya sarana prasarana seperti jembatan kayu ulin (boardwalk), menara pengamat, gazebo, rumah karantina bekantan, hingga taman bacaan yang letaknya berada di tengah hutan mangrove. Uniknya, pembangunan boardwalk di KKMB sangat memperhatikan kelestarian ekosistemnya.

Mangrove. Jalan masuk hutan mangrove di pusat Kota Tarakan, Kalimantan Utara

Page 66: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest66 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

perjalanan

PESAN dari Direktur Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jo Kumala mengabarkan bahwa ia sedang berada di kantor saya bersama Lukas Awiman Barayap, awal Juni 2019. Dia pendeta dan guru jemaat di

Manokwari yang pernah saya temui pada akhir 2010, sepulang meliput banjir di Wasior—1 jam penerbangan dengan pesawat capung dari Manokwari, ibu kota Papua Barat.

Sayang saya tak ada di kantor ketika mereka ke sana. Saya sedang cuti. Lukas rupanya terpilih mendapat Kalpataru 2019 kategori Perintis Lingkungan. Usahnya menyelamatkan Teluk Doreri lalu mengubahnya dari pantai Bakaro yang sepi dan tak terjamah listrik menjadi daerah wisata yang terkenal hingga ke Prancis. Setidaknya, dua wartawan televisi mengontak saya untuk mewawancarai Lukas setelah tulisan saya tentang dia tayang di Tempo edisi 10 Januari 2011 dengan judul “Lukas Pemanggil Ikan”.

Jo lalu mengirim foto Lukas yang memakai batik dan topi bulu burung khas Papua. Menurut Jo, kepada anggota redaksi, Lukas menceritakan apa yang ia lakukan di Manokwari sejak berpuluh tahun lalu. Ia praktis mengulang apa yang sudah ia sampaikan kepada saya sembilan tahun lalu, dengan tambahan informasi soal makin banyaknya wisatawan berkunjung ke pantai Doreri yang permai.

Syahdan, pada 1995, pantai Bakaro masih terisolasi. Terselip di antara lekuk pulau-pulau kecil di sekitarnya, pantai yang bersambung langsung ke Samudra Pasifik itu tak dikenal banyak orang.

Jalan masih tanah, listrik belum menyala.Pantai yang belum terjamah pariwisata

itu menyimpan pesona dan daya tarik bagi nelayan. Ikan dan terumbu karang bisa dilihat dari atas perahu saking jernih dan bersihnya air laut di sana. Lalu periode memangsa penghuni laut pun dimulai pada 1990. Nelayan yang tak sabar mulai memakai racun potasium untuk menjala dan menangkap ikan. ”Kalau pagi di sini seperti perang dunia saja, bom meletus dari ujung ke ujung,” kata Lukas.

Maka, ketika siang, ikan-ikan mengambang, terumbu karang rusak, laut jadi kotor. Lukas, yang sudah tinggal di sana sejak 1979, geregetan dengan keadaan itu. Orang Merauke ini tahu, perusak laut di depan rumahnya itu bukan orang-orang Bakaro. Nelayan Bakaro menangkap ikan hanya dengan kail dari atas perahu. Hasilnya pun untuk makan sehari-hari. Dijual ke pasar jika ada lebih saja. Sebagai guru jemaat, Lukas kerap mewanti-wanti dalam khotbahnya agar penduduk di sana menjaga kelestarian pantai Bakaro.

Kedatangan nelayan luar yang merusak keindahan pantai itu membuat Lukas terpikir mencegahnya. Tapi ia hanya seorang diri, tak akan mampu melawan puluhan nelayan yang membawa bom. Tak mungkin juga ia mendatangi mereka lalu berceramah tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Ide nyeleneh pun muncul pada 15 Desember 1995 malam. Lukas akan mengumpulkan ikan-ikan itu di dekatnya ketika para nelayan memasang potasium.

Lukas percaya, manusia bisa berbicara dengan binatang, seperti firman Tuhan dalam Injil Kitab Kejadian Pasal 1 ayat 26-28: Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, ternak, atas seluruh

Penyelamat Teluk DoreriLukas Barayap menyelamatkan Teluk Doreri dari pengeboman ikan nelayan. Ia memanggil dan mengumpulkan ikan ke tepian tiap nelayan datang.

bumi, dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi. “Hal yang sama juga ada dalam Al-Quran amsal Nabi Sulaiman, yang bisa berbicara kepada semua binatang,” katanya.

Maka esoknya Lukas berjalan ke tepi laut. Rumahnya hanya 200 meter dari pantai. Di salah satu tebing karang ia duduk menghadap laut. Matanya

Page 67: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 67j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

terpejam dan berdoa: ”Tunjukkanlah apa yang tersurat dalam suara Bapa melalui nabi dan rasul, tunjukkanlah, tunjukkanlah....” Hening. Hanya debur ombak yang terdengar pada pagi buta itu.

Dengan konsentrasi penuh, Lukas terus merapal doa itu. Tiba-tiba ia mendengar seseorang berteriak dari belakangnya, jauh dari arah gunung. ”Coba pakai

rayap....” Jelas, itu suara laki-laki. Lukas membuka mata dan menoleh ke belakang. Tak ada sesiapa. Pagi masih hening. Belum ada satu pun orang Bakaro yang keluar rumah. Ia kembali menghadap laut dan memejamkan mata.

Dalam hati Lukas kembali berdoa agar ditunjukkan cara memanggil ikan untuk niat baik menyelamatkan mereka.

pemanggil ikan.Lukas Barayap bersiap memanggil ikan di Pantai Bakaro, Manokwari, Papua Barat, 2012.

Page 68: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest68 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

”Lalu saya mendengar suara roh agar saya memakai apa-apa yang ada di sekeliling saya,” katanya. Ia mengambil batu dan mengetuk-ngetukkannya ke batu karang. Keajaiban pun muncul. Ombak perlahan-lahan membesar membawa ikan-ikan ke dekatnya. Ikan-ikan bertambah banyak seiring dengan ketukan batu. Lukas takjub akan apa yang dilihatnya.

Tapi ikan-ikan itu hanya sebentar berkumpul. Mereka kembali ke tengah laut ketika Lukas hanya diam terpaku. Ia pun bergegas kembali ke rumah. ”Mungkin mereka kecewa karena saya tak memberi makanan,” katanya. Ia pun mencari-cari rayap seperti saran suara yang ia dengar tadi. ”Siapa tahu mungkin memang itu petunjuk,” katanya.

Lukas kembali dengan segenggam rayap pohon. Ia mengetuk-ngetukkan batu sambil melempar rayap-rayap itu. Kini ikan-ikan yang mendekat berebutan memangsa rayap yang dilemparnya.

Hari ke hari ia kian takjub dengan kemampuannya sendiri memanggil

ikan di laut. Esok dan seterusnya Lukas tak lagi merapal doa seperti pada pemanggilan pertama. Ia langsung mengetukkan batu dan melempar rayap. Ikan-ikan tak sungkan menghampiri.

Ia masih penasaran apakah rayap satu-satunya makanan yang disukai ribuan jenis ikan di sana. Lukas pun menyelam sambil menyebarkan makanan: nasi, singkong rebus, dan rayap. ”Ternyata memang hanya rayap yang mereka makan,” katanya. Setiap pagi Lukas memberi makan ikan-ikan itu ketika puluhan nelayan melautkan perahu dengan jaring dan bom.

Sembari memberi makan itulah, Lukas kerap berbicara kepada ikan. ”Beri tahu teman-temanmu, ada makanan dan berkumpullah di sini setiap pagi.” Selain dengan batu, ia pernah mencobanya dengan peluit. Dan mereka tetap datang. Sejak itu, peluit dan rayap ia pakai untuk memanggil ikan di Teluk Doreri.

Bunyi peluit yang melengking pagi-pagi tentu saja membuat orang-orang di

Bakaro penasaran. Mereka berkerumun dan takjub melihat Lukas bisa memanggil dan bercengkerama dengan ikan. Cerita pun menyebar dari mulut ke mulut. Kemampuan Lukas menjadi tontonan orang sekampungnya dan tersiar kabar bahwa ia punya ilmu khusus memanggil ikan.

Lukas selalu menolak jika kemampuannya disebut sebuah ilmu. ”Ini karunia. Saya hanya percaya kepada Allah,” katanya. Karena itu, ia yakin setiap orang bisa melakukan apa yang dilakukannya asal percaya pada karunia dan kekuatan itu. Dalam setiap doa ia menyelipkan agar karunia itu diberikan pula kepada istri dan dua anaknya. ”Asal hati kita bersih, tak curiga bahwa ini ilmu

perjalanan

Teluk Doreri.Pintu gerbang Pulau Mansinam di Teluk Doreri, Papua Barat.

Lukas Awiman Barayap ketika menerima Kalpataru 2019 di Jakarta, 11 Juli 2019. (kanan).

Page 69: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 69j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

hitam,” katanya.Dan doa itu manjur. Marta Barayap,

istri Lukas, bisa meniru apa yang dilakukan suaminya. Perempuan 48 tahun itu pun bergiliran dengan Lukas memberi makan ikan di Teluk Doreri, juga dengan peluit dan rayap, setiap pagi. Belakangan, Musa dan Helena Barayap bisa melakukan hal serupa. Anak 10 dan 8 tahun itu bisa mengumpulkan ikan ke dekatnya.

Namun doa itu manjur hanya bagi keluarga Barayap. Sebab, tetangga dan pengunjung pantai banyak yang mencoba meniru tapi tak berhasil. Tempo pun mencoba meniup peluit itu berkali-kali, tapi ombak tak membesar, ikan tak satu pun yang muncul. Pengunjung biasanya juga menjajal peluit itu, seperti Jhonal Thio.

Pemuda 25 tahun yang tinggal di Manokwari ini pernah menguji keampuhan tuah peluit. Ia berdiri di pantai dan meniupnya seraya melemparkan rayap, persis apa yang dilakukan Lukas. Dan orang tua ini membiarkan kesombongan Jhonal seraya tersenyum. ”Sampai jengking-jengking, trada datang ikan-ikan itu,” katanya.

***LUKAS Barayap segera terkenal ke luar

Bakaro. Orang-orang mulai datang untuk melihat kemampuan Lukas memanggil ikan. Tak hanya dari sekitar Manokwari, tapi juga dari luar pulau, bahkan turis dari

lain negara. Sebab, setelah 1995, jawaban orang Manokwari kepada orang asing yang bertanya tentang keunikan ibu kota provinsi yang baru dimekarkan itu adalah, ”Lihat pemanggil ikan di pasir putih.”

Seperti tertuang dalam dua buku tamu tebal yang tersimpan di rumah Lukas, para pengunjung takjub melihat kemampuan guru jemaat yang ramah dan rendah hati ini. Ratusan testimoni dimulai dengan kalimat, ”Puji Tuhan, ini keajaiban....”

Keajaiban itu membawa berkah bagi Bakaro. Pantai yang rimbun dengan pohon kelapa dan bakau ini kembali bersih seperti semula. Lukas melarang siapa pun menangkap ikan di sana, terutama ketika ikan sedang ia kumpulkan untuk diberi makan. Nelayan pun kini menjala ikan hanya dengan kail. Tak ada lagi yang berani melaut dengan bom. Selain tak dapat ikan, mereka segan dengan kemampuan Lukas.

Anak-anak riuh adu tangkas berselancar. Di sini anak umur satu tahun telah dikenalkan pada teknik berenang dan menyelam. Maka, sepulang sekolah, anak-anak menghambur ke pantai dan menjajal ombak yang mendebur tak henti. Atau menyongsong ayah dan ibu mereka yang pulang melaut. Air laut begitu jernih hijau dan biru, menunjukkan pelbagai jenis ganggang dengan ikan berseliweran.

Pada 1996, Gubernur Papua Jacob Pattipi mengunjungi Lukas untuk menyaksikan langsung kemampuannya

memanggil ikan. Kedatangan Gubernur diikuti dengan perbaikan infrastruktur. Jalan sambung dari Manokwari segera diaspal karena pejabat lain ikut penasaran. Dua tahun kemudian 112 keluarga di Bakaro untuk pertama kalinya menikmati listrik. Guru juga bisa didatangkan ke sekolah untuk mengajari anak-anak membaca dan menulis.

Pengunjung kian banyak dari waktu ke waktu karena akses ke sana jadi mudah. Hanya 20 menit naik mobil dari pusat Kota Manokwari ke selatan. Apalagi di teluk ini juga ada Pulau Mansinam, tempat Injil pertama dikabarkan di Papua, yang ramai diziarahi setiap 5 Februari. Pemerintah kabupaten dan provinsi membangun gazebo-gazebo untuk persinggahan turis. ”Ini benar-benar berkah untuk kami di sini,” kata Lukas, yang juga menjabat sekretaris desa.

Ia tak pernah menolak jika ada pengunjung memintanya memanggil ikan. Alumnus Sekolah Pendidikan Guru Jemaat di Manokwari ini juga selalu bersemangat mengulang cerita pengalaman spiritualnya pada 1995 itu. ”Sekali lagi ini bukan ilmu, Anda juga bisa melakukannya,” katanya. ”Saya selalu berdoa agar setiap orang bisa melakukan ini, demi keselamatan dan lingkungan yang baik.”

Lukas percaya, jika kita bisa berkomunikasi dengan binatang, kita akan menyayangi dan melindunginya. Manusia, kata dia, menjadi jahat kepada alam dan binatang karena tak mengerti apa yang sudah mereka berikan kepada kita. Ia tak meminta bayaran jika ada yang memintanya meniup peluit dan mengumpulkan ikan. Kalaupun ada turis yang memberinya uang, ia akan menyumbangkannya untuk kegiatan gereja.

Namun, karena sehari-hari bekerja di gereja dan kantor desa, tak setiap hari Lukas siap memanggil ikan. Saya, yang datang pada Jumat, mesti mengontaknya lebih dulu. Melalui Silas Inuri, seorang intel di Kepolisian Resor Manokwari, Lukas diminta menyiapkan rayap. Sebab, memanggil ikan paling baik pagi-pagi. ”Ombak sedang bagus,” katanya.

Cerita itu terkenang kembali ketika Jo Kumala mengabarkan Lukas mampir ke kantor saya pagi itu...

—Bagja Hidayat

Kumparan

Page 70: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest70 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Ekosida dalam Hukum Positif KitaPenghancuran ekosistem mulai ditimbang sebagai bagian dari pelanggaran hak asasi. Kerja berat yang masih panjang.

MESKI sudah dimunculkan sejak 1968, di sekitar perang Vietnam, kata ecocide belum diserap dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jika mengikuti pembentukan

“genocide” menjadi “genosida”—perpaduaan kata Yunani dan Latin (genos = ras, cide = pemusnahan)—mestinya ecocide sepadan dengan “ekosida”: pemusnahan sumber daya alam secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Ekosida dikenalkan Arthur W. Galston, seorang biologis dan botanis Amerika, dalam Konferensi Pertanggungjawaban terhadap Perang di Washington, D.C. Seminar itu menyoal cara tentara Amerika menggempur tentara Vietkong dengan menyebarkan 19.000 ton bahan kimia di hutan-hutan persembunyian Vietkong. Penyebaran kimia itu tak hanya membuat kehancuran tanaman, flora, dan fauna, tapi diperkirakan mengubah gen manusia.

Sejak itu, ekosida menjadi istilah populer di kalangan aktivis lingkungan untuk menyebut penghancuran lingkungan besar-besaran. Banyak konvensi dan seminar yang melahirkan statuta dan konvenan sejak 1970 yang mewajibkan pemakaian hukum positif untuk ekosida setara dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang bagi individu maupun lembaga yang

merusak alam secara masif.Sejarah tentang ekosida dan aturan-

aturan yang menaunginya dibahas secara panjang lebar dalam buku yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup pada Mei 2019 ini: Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi. Hampir setengah buku membahas sejarah secara kronologis usulan-usulan dan upaya-upaya warga negara menuntut tanggung jawab ekosida.

Judulnya amat menjanjikan tentang strategi “memutus impunitas korporasi”. Selama ini kita tahu belaka korporasi yang secara kasat mata merusak lingkungan lolos dari hukuman, alih-alih disamaratakan kedudukannya dengan para pelanggar hak asasi atau penjahat perang yang terpotret berjalan dengan tangan diborgol di pengadilan internasional The Hague.

Ada yang menjanjikan ketika pengadilan memutus bersalah dan mendenda perusahaan yang menjadi penyebab kebakaran hebat di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan pada 2015. Tapi itu pun masih sebatas hukum

pidana dan denda. Pengadilan Jawa Barat bahkan membebaskan penanggung jawab perusahaan yang jelas-jelas terbukti membuang limbah pabrik secara langsung ke sungai Citarum yang membuat sungai ini dijuluki sebagai “sungai terkotor di kolong langit”.

Penyetaraan kejahatan kemanusiaan coba diusahakan dalam penanganan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hendak memasukkan tragedi luapan sumur dari pengeboran minyak PT Lapindo Brantas itu ke dalam pelanggaran HAM. Usaha ini gagal karena hukum positif Indonesia belum memasukkan kejahatan lingkungan dalam ruang lingkup hukum pidana. Kejahatan pelanggaran hak asasi hanya diakui dua macam: kejahatan perang dan genosida.

Walhi memasukkan lumpur Lapindo sebagai studi kasus ekosida, selain kebakaran hutan dan lahan 2015 dan pembangunan pembangkit listrik tenaga air Koto Panjang di Riau pada 1990. Kebakaran hutan diduga bersumber dari api yang sengaja disulut untuk pembersihan lahan yang menghanguskan jutaan hektare hutan, merenggut mata pencarian, hingga menimbulkan penyakit saluran pernapasan. Begitu juga dengan PLTA Koto Panjang, yang menggusur puluhan ribu permukiman penduduk, membunuh habitat harimau dan gajah.

Walhi memasukkan tiga kasus itu punya bukti komplet dan jelas sebagai ekosida. Setelah itu, seharusnya, buku ini membahas soal strategi-strategi mewujudkannya. Ini perjuangan yang berat. Di Indonesia, proses legislasi selalu sebagai jalan panjang yang penuh onak dan duri. Walhi dan pembela lingkungan harus berhadapan dengan belantara DPR setelah meyakinkan mereka dan pemerintah bahwa ekosida layak masuk konstitusi kita.

Terbitnya buku ini sebagai langkah awal kejahatan lingkungan menjadi problem serius yang harus ditangani segera. Ekosida bisa mulai pelan-pelan dikenalkan kepada khalayak sehingga menjadi seakrab genosida. Memutus impunitas korporasi yang jahat dan mengabaikan kelestarian alam adalah kerja besar untuk menyelamatkan planet ini. —

buku

Ecocide: Memutus Impunitas KorporasiPenulis: M. Ridha Saleh, dkkPenerbit: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Mei 2019Tebal: 144 halaman

Page 71: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 71j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Solusi Sengketa Lahan di Kawasan HutanSebuah tawaran solusi menyelesaikan konflik lahan di kawasan hutan, terutama areal hutan yang ditanami sawit. Perlu kajian mendalam.

SENGKETA lahan di kawasan hutan menjadi momok serius dalam pengelolaan lingkungan yang lestari, terutama penyerobotan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan. Dari 16,6 juta hektare kebun sawit yang ada sekarang, 3,4 juta hektare berada di

kawasan hutan. Perambahan terjadi akibat pelbagai kebijakan yang tak sinkron dalam memberikan izin sejak mula, hingga penyerobotan oleh masyarakat akibat euforia reformasi 1998.

Sawit pun menjadi tertuduh utama dalam deforestasi dan degradasi lahan. Buku ini, Hutan Kita Bersawit: Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan yang baru saja diterbitkan Yayasan Kehati, menawarkan satu solusi menangani konflik lahan dengan berpijak pada sawit adalah komoditas yang, bagaimana pun, menyumbang penghidupan ekonomi penduduk Indonesia.

Mematikan sawit, kata para penulis buku ini, tak akan menyelesaikan problem tata ruang dan konflik lahan. Apalagi, sawit tak hanya dibudidayakan perusahaan, melainkan juga oleh masyarakat. Mereka bahkan telah menanam sawit jauh sebelum perusahaan diberi izin mengembangbiakannya.

Solusi menyelesaikan konflik lahan sawit milik perusahaan di kawasan hutan yang ditawarkan buku ini adalah menata kembali perizinannya yang morat-marit akibat compang-campingnya aturan dan praktik kacau tata ruang. Moratorium izin baru sejak 2018 bisa menjadi kesempatan emas melakukan itu. Penegakan hukum adalah jalan terakhir dari solusi sawit di

dalam hutan. Sementara lahan sawit yang telantar dan ditinggalkan pemiliknya, buku ini menganjurkan pemerintah memakai redistribusi lahan dalam skema reforma agraria dengan memberi kepercayaan kepada desa dalam mengelolanya.

Solusi yang menarik dan agak panjang dibahas adalah menyelesaikan konflik lahan di kawasan hutan antara negara dengan masyarakat. Berbeda dengan perusahaan yang mencari untung besar, masyarakat merambah kawasan hutan untuk mencari penghidupan yang lebih baik, setelah 1998.

Perhutanan sosial menjadi solusi yang menguntungkan kedua belah pihak: masyarakat bisa meneruskan mengelola lahannya dengan kewajiban menjaga tutupan hutan, menjaga mata air, mencegah kebakaran; negara tetap memiliki aset kawasannya. Sebab, tujuan perhutanan sosial ada tiga: meningkatkan ekonomi masyarakat, menghentikan konflik sosial, dan menjaga ekologi kawasan hutan.

Masalahnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83/2016 yang mengatur perhutanan sosial melarang masyarakat menanam sawit. Beleid ini mengatur jika penduduk telanjur menanam sawit ketika mengajukan izin hutan sosial, mereka harus menggantinya dengan agroforestri jika sawitnya berusia di bawah tiga tahun. Jika lebih tiga tahun mereka diizinkan memelihara sawit hingga setengah daur atau 12 tahun. Setelah itu wajib mengganti dengan sistem tumpang sari: menanam pohon hutan dan memberdayakan ruang di bawahnya dengan komoditas lain.

Menurut para penulis buku ini, skema hutan sosial itu kurang adil bagi penduduk yang telanjur menanam sawit. Sebab, sawit di atas 12 tahun sedang matang dan harganya tinggi. Ada aspek ekonomi masyarakat yang tereduksi akibat larangan dalam P83/2016 itu, terutama pasal 56 ayat 5. Seperti dinyatakan petani di Tebo, Jambi, yang mendapatkan izin perhutanan sosial skema Hutan Rakyat yang mustahil membongkar sawit mereka yang berusia 15 tahun.

Buku ini menawarkan satu solusi untuk kasus seperti di Tebo, yakni agroforestri sawit yang mereka sebut Strategi Jangka Benah. SJB adalah strategi menjadikan hutan kembali dengan tindakan silvikultur yang menggabungkan tanaman sekunder dan primer. Dasar empirisnya adalah praktik SJB di sejumlah desa di Sumatera dan Kalimantan. Para petani sudah lama menggabungkan sawit dengan pohon-pohon hutan semacam jelutung, bahkan dengan karet.

Meski menganjurkan sistem ini, para penulis buku mewanti-wanti agar kebijakan ini didukung oleh seperangkat aturan untuk memastikan hutan campur sawit tak justru merusak hutan yang menjadi tujuan utama perhutanan sosial.

_

Hutan Kita Bersawit: Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan HutanPenyunting: Irfan Bakhtiar, Diah Suradiredja, Hery Santoso, Wiko SaputraPenerbit: Yayasan Kehati, 2019Tebal: 126 halaman

Page 72: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest72 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

profil

Wayang Kardus untuk Menyelamatkan Satwa LangkaIa berkeliling Indonesia untuk mendongeng tentang konservasi dan penyelamatan satwa langka Indonesia. Acap kesulitan biaya.

BAGI Samsudin, kardus punya banyak makna dan simbol untuk menggambarkan Indonesia, lingkungan, dan keanekaragaman-hayatinya. Kardus jadi simbol untuk melawan kerusakan alam akibat sampah plastik yang sulit didaur ulang.

“Bangsa Indonesia jangan seperti kardus yang hanya pandai jadi pembungkus saja,” kata laki-laki 47 tahun ini. “Kita harus menciptakan isinya yang bermanfaat.”

Maka ia pun mendongeng memakai wayang kardus. Dongengnya seputar satwa langka untuk menumbuhkan kesadaran orang banyak tentang pentingnya menjaga lingkungan dan mencintai hewan di dalamnya. Bapak satu anak perempuan yang tinggal di Indramayu, Jawa Barat, ini telah berkeliling Indonesia membawakan dongeng dengan wayang kardus di banyak tempat. Ia memakai sepeda untuk menjangkau daerah-daerah terpencil di pelosok Nusantara dengan cerita lokal tiap wilayah.

Ide mendongeng keliling dengan wayang kardus tentang kampanye lingkungan dimulainya pada 2013. Waktu itu ia mengikuti sebuah acara yang dihela sebuah lembaga konservasi badak di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Waktu itu sedang ramai konflik badak dan manusia. Selesai mengikuti acara terbit di pikirannya untuk berkampanye menumbuhkan kecintaan kepada satwa langka, terutama kepada anak-anak.

Menurut Samsudin, konflik manusia dan hewan acap terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang arti penting satwa bagi ekosistem planet ini. Sepulang dari

Banten, Sarjana Ekonomi Manajemen Universitas Wisnu Wardhana Malang ini membentuk komunitas Rumah Baca Bumi Pertiwi di tempat tinggalnya, Desa Krasak, Jatibarang. Di sela mengajar sebagai guru honorer di sekolah dasar, Samsudin mengajari anak-anak mendongeng dan berbicara di depan khalayak.

Ia membuat sendiri pelbagai karakter wayang berbahan kardus. Jiwa mengajar Samsudin memudahkannya memahami kondisi anak-anak yang tergabung dalam komunitas. Sedangkan jiwa seni memudahkan ia membuat wayang satwa yang bagus. “Karakter satwa dan dongeng memudahkan anak-anak menangkap cerita dan pesan di dalamnya,” kata dia pada awal Juli 2019.

Wawancara dengan Forest Digest dilakukan di Kebun Raya Bogor, setelah ia mendongeng di sana. Samsudin makin terkenal dan diundang ke banyak tempat terutama setelah rutin tampil di TVRI Jambi pada 2016 lewat acara Mari Bercerita.

Tawaran itu datang pada awal 2016. Tapi ia tak punya uang untuk ongkos ke Jambi. Setelah mengadu kepada teman-temannya di lembaga konservasi, ia diizinkan menumpang mobil lembaga itu yang kebetulan punya program di provinsi itu. Selama perjalanan, teman-temannya di lembaga itu setuju dengan ide Samsudin untuk berkeliling mendongeng memakai sepeda. Teman-temannya siap mencarikan sponsor untuk biaya.

Pada Maret 2016 Samsudin bersiap kembali ke Jambi dengan sepeda. Ada enam relawan yang akan membantunya. Sebulan kemudian ia berangkat. Titik awal perjalanan Samsudin dimulai dari Gedung Manggala Wanabakti, kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta. “Saya ingin KLHK mendukung dan ada liputan

Page 73: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 73j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

media nasional,” katanya. “Tanpa publikasi pesan saya tak akan sampai ke masyarakat.”

Di kota-kota yang ia lewati, Samsudin mendongeng di sekolah-sekolah dasar sampai menengah maupun di tingkat prasekolah. Ia juga mendongeng untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Sebelum mendongeng Samsudin melakukan riset kecil tentang daerah dan cerita lokalnya sehingga pendengar lebih mudah mencerna ceritanya.

Dalam perjalanan ke Jambi, ada beberapa relawan yang tidak bisa ikut terus. Bahkan sebelum sampai Jambi, yang menemaninya tinggal dua orang. “Selain kesibukan, dana untuk kegiatan ini sangat minim,” katanya.

Kembali ke Jawa, teman-temannya menyarankan agar ia meneruskan mendongeng sampai Aceh. Juga dengan naik sepeda. Kali ini tak ada relawan yang menemani. Ia berangkat seorang diri dan singgah di lembaga-lembaga konservasi tiap kota: Bengkulu, Pekanbaru, Medan, sampai Aceh. Jika tak menginap di kantor LSM, Samsudin pernah menginap di rumah penduduk transmigrasi di Pekanbaru. “Dia ternyata satu kampung di Indramayu,” katanya.

Tidak hanya di Sumatera, Samsudin juga mendongeng hingga Kalimantan Timur. Di tengah jalan uang bekalnya habis. Ia harus kembali ke Indramayu dan mengumpulkan sumbangan lewat kitabisa.com. Dari sana terkumpul Rp 5 juta. Setelah cukup untuk ongkos, sisanya ia tinggal di rumah untuk keperluan anak dan istrinya, seorang guru di kampung mereka.

Di Kalimantan Timur, Samsudin tak lagi bersepeda. Sepeda kumbang yang menemaninya ke Sumatera tak lagi ia pakai dan disimpan di Malang. Ada tiga kota yang ia datangi di Kalimantan: Samarinda, Balikpapan, dan Tenggarong. Sewaktu di kota terakhir ia hendak melanjutkan perjalanannya ke desa-desa terpencil, tapi uangnya tak cukup sampai sana.

Pada 2017, Universitas Cornell dari Amerika Serikat punya program di Kalimantan. Berkat teman-temannya, orang dari Cornell mengajak Samsudin turut serta. Keinginannya masuk hutan Kalimantan dan menyambangi desa-desanya terpenuhi. “Saya sangat terbantu oleh program itu,” katanya.

Selain dongeng keliling, Samsudin juga mendatangi lokasi bencana. Pada 2018, ia ke Lombok seusai gempa. Di sana ia mendongeng di depan anak-anak yang trauma di tenda pengungsian. “Saya terharu ketika ada ibu yang menangis karena melihat anaknya kembali bisa tertawa setelah mendengar dongeng saya,” kata Samsudin.

Dongeng Samsudin bukan monolog. Sebisa mungkin ia berinteraksi dengan penonton. Teknik itu efektif, terutama bagi anak-anak yang terpantik imajinasinya oleh cerita Samsudin. Di tengah dongeng, Samsudin acap mengajak mereka untuk meneruskan cerita dan berbicara di depan penonton lain. “Itu untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka,” kata dia.

Karakter wayang Samsudin juga berkembang sesuai dengan satwa endemis tiap daerah. Di Jambi ia memakai karakter harimau. Di Pekanbaru memakai gajah dan di Medan ia membuat orang utan. Sementara Kalimantan memakai karakter beruang madu, bekantan, dan pesut.

Dalam perjalanan-perjalanannya ke daerah tak urung banyak cerita sedih. Di luar soal kekurangan uang, ia pernah diusir petugas keamanan sebuah sekolah di Jambi. Para petugas menduga Samsudin hendak jualan wayang di halaman sekolah. “Di Banten saya malah dikira saya penculik anak,” katanya, terbahak.

Selama Juni 2019, Samsudin banyak mendongeng di Jakarta. Seragamnya kini pakaian serba hitam dengan ikat kepala. Ia menggembol kotak mika berisi wayang yang bertuliskan Dongeng Keliling Selamatkan Satwa Langka Indonesia. Ia mendatangi sekolah dan kampus di sekitar Jabodetabek. “Saya berharap semakin banyak agent of change, banyak yang terlibat dalam pelestarian alam tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia” ucap Samsudin.

—Mustofa Fato

Wayang KardusSamsudin memperagakan wayang kardus di Kebun Raya Bogor, Juli 2019.

Mendongeng di depan anak sekolah di Cirebon, 2017 (bawah).

Page 74: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest74 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

fotografi

Foto Potret

FOTO potret cukup populer di kalangan para fotografer. Pada masanya sejumlah media besar dunia memakai teknik ini untuk menampilkan wajah tokoh di sampul majalah atau koran. Sampai-sampai Presiden Amerika Donald Trump bertanya kepada fotografer Time apakah jika dipotret pori-pori wajahnya akan terlihat di sampul majalah. Pada dasarnya memotret portrait yang perlu diperhatikan aperture, shutter speed, komposisi, fokus objek, pencahayaan, dan persiapan peralatan.

TRIK MEMOTRET POTRET (skala foto profil):Kamera; semua jenis kamera.Lensa; gunakan lensa yang memiliki focal length panjang agar

depth of field lebih tercipta.Lokasi; disarankan nyaman, bisa dengan latar belakang polos

(tidak bertekstur) atau alam.Lighting; gunakan lighting/flash tambahan dengan

pencahayaan dari sudut pandang berbeda agar memberikan kesan dimensi. Misalnya, pencahayaan arah samping akan menonjolkan sisi detail pada objek.

Exposure Compensation; agar wajah dari objek akan lebih terang (overexposure).

Diafragma; disarankan diafragma lebar untuk mendapatkan depth of field yang dangkal (sekitar f2.8 – f/5.6) dikombinasikan dengan zoom in di daerah bulu mata guna melihat ketajaman foto.

Shutter speed; apabila menggunakan handheld, gunakan shutter speed sekitar 1/100-1/250 detik.

ISO; penggunaan iso disarankan 100- 400), bila dalam kondisi low light (baik indoor atau outdoor) bisa menaikkan ISO ke 800, 1600 atau bahkan 3200.

Headroom; jangan terlalu banyak headroom di bagian atas kepala objek.

Eye level; posisikan kamera berada pada eye level dari objek. Perhatikan mata dari objek karena kebanyakan orang akan lebih fokus melihat mata objek pada foto potret.

Dressing; usahakan objek menggunakan pakaian yang berhubungan dengan karakter atau profesinya.

Interaksi; buat objek senyaman mungkin agar ekspresi dan momen objek mudah untuk dipotret.

Candid; jika objek terkesan terintimidasi, fotolah objek dengan aktivitas atau kegiatan yang menggambarkan profesi atau karakteristik dari objek.

Framing; teknik framing juga dinilai cukup bermanfaat untuk mendapatkan komposisi foto potret yang pas.

—Asep Ayat

Foto-foto: Firli Azhar

Page 75: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 75j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Page 76: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest76 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

teknologi

KELEMAHAN sifat pada kayu bisa diatasi dengan aplikasi teknologi modifikasi. Tujuan modifikasi untuk menghasilkan peningkatan keawetan atau stabilitas dimensi serta untuk mengurangi penyerapan air karena

problem utama pada kayu adalah timbul saat adanya interaksi dengan air atau kelembaban. Istilah ‘modifikasi kayu’ berlaku untuk proses yang mengubah sifat-sifat material kayu sehingga selama masa pakai produk, tidak ada penurunan sifat kayu8.

Menurut Hill9, penggunaan secara komersial kayu modifikasi baru-baru ini saja meningkat secara signifikan meskipun modifikasi kayu adalah teknologi yang telah dipelajari selama lebih dari enam puluh tahun. Dalam dekade terakhir, dapat dilihat bahwa banyak produk yang terbuat dari kayu modifikasi memasuki pasar dan banyak klaim positif mengemuka mengenai keefektifannya.

Umumnya metode modifikasi memakai perlakuan kimia, termal, permukaan, dan impregnasi yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok proses modifikasi kayu dan akhir-akhir ini diterapkan oleh industri kayu dan diperkenalkan ke pasar. Ketiganya adalah: (i) pemrosesan kimia (asetilasi, furfurylation, impregnasi resin, dll.); (ii) pemrosesan termo-hidro (perlakuan termal); dan (iii) pemrosesan termo-hidro-mekanis (densifikasi permukaan)10.

Beberapa metode dapat diterapkan secara bersamaan. Pada metode perlakuan Thermo-Hydro-Mechanical (THM), misalnya, perlakuan densifikasi,

pengelasan, pembengkokan dan pembuatan kayu komposit berlangsung dalam satu proses. Tujuan dari keseluruhan perlakuan tersebut adalah untuk mengurangi sifat anisotropis, untuk mengatasi masalah stabilitas dimensi, dan untuk meningkatkan daya tahan kayu terhadap serangan organisme perusak kayu (OPK)11.

TEKNIK ALTERNATIF: IMPREGNASI Impregnasi didefinisikan sebagai

perlakuan terhadap kayu dengan mengisi bahan kayu tersebut dengan bahan lain (impregnan) misalnya resin termosetting yang dapat dimasukkan ke dalam kayu sehingga menembus serat dan kayu menjadi padat tanpa pengempaan untuk menghasilkan perubahan karakteristik yang diinginkan8,12.

Modifikasi kayu dengan teknik impregnasi bertujuan mengisi dinding sel kayu dengan bahan kimia, atau kombinasi bahan kimia, yang kemudian bereaksi sehingga membentuk bahan yang terdeposit dan berikatan di dalam dinding sel8. Sifat-sifat kayu yang diimpregnasi biasanya berbeda dengan kayu aslinya12. Misalnya, metode ini menghasilkan stabilitas dimensi yang sangat tinggi dari kayu yang dimodifikasi.

Efek dari penstabil dimensi dengan teknik impregnasi menggunakan beberapa senyawa fenolik alami sederhana pada kayu Sitka spruce (Picea sitchensis Carr.) dapat meningkatkan Anti Swelling Efficiency (ASE) hingga sekitar 40% dengan penambahan berat 10%13. Terjadi peningkatan stabilitas dimensi kayu pinus kuning (Pinus spp.) yang diimpregnasi dengan menggunakan sejenis minyak nabati dengan konsentrasi penetrasi setidaknya 10%.

Perlakuan ini menunjukkan

pengurangan yang signifikan dalam penyerapan air dan pengembangan tangensial ketika terkena kelembaban relatif 90% dan suhu lingkungan 21° C14. Impregnasi juga dapat meningkatkan karakteristik mekanis kayu olahan. Impregnasi kayu pinus berdiameter kecil menggunakan hexanediol dimethacrylate (HDDMA) meningkatkan MOR sebesar 39% dan MOE sebesar 27%15.

Impregnasi juga bisa meningkatkan resistensi terhadap serangan biologis. Modifikasi kayu poplar yang tumbuh cepat dengan teknik impregnasi menggunakan styrene (ST) dan glycidyl methacrylate (GMA) yang diikuti oleh polimerisasi in situ dengan menggunakan perlakuan termal, ketahanan terhadap rayap 5,4 kali lebih besar dari kayu dengan perlakuan ST dibanding dengan tanpa perlakuan, dan 9,3 kali untuk yang diimpregnasi dengan GMA-ST. Terjadi peningkatan ketahanan yang lebih besar terhadap serangan jamur yaitu 2,1 kali lebih besar dari kayu yang diimpregnasi dengan ST dan 3,8 kali lebih tahan serangan jamur dengan perlakuan GMA-ST16.

Meskipun perkembangan teknologi yang menggunakan bahan-bahan lain yang dapat dimasukkan ke dalam kayu sudah sangat maju, modifikasi kayu dengan teknik impregnasi adalah bidang penelitian yang relatif belum banyak dieksplorasi dibandingkan dengan metode modifikasi kayu lainnya.

Metode impregnasi tidak hanya digunakan dalam teknologi kayu, tetapi juga dalam bahan pemrosesan lainnya seperti logam atau polimer. Impregnasi berulang dapat diusulkan untuk diterapkan pada modifikasi kayu. Metode ini biasanya digunakan dalam teknologi pengolahan tekstil, kertas dan logam ketika bahan-bahan impregnan perlu diterapkan dengan jumlah yang lebih banyak17,18.

Ada banyak bahan impregnan, yaitu bahan yang akan diimpregnasikan ke dalam kayu, tersedia dan sudah diaplikasikan. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah aspek keamanan terhadap pengguna dan keramahan terhadap lingkungan. Sehingga sangat penting bahwa impregnan harus tidak beracun saat berada di dinding sel dan dalam keadaan apa pun saat lepas dari

Impregnasi: Teknologi Menguatkan KayuKayu cepat tumbuh biasanya tak sekuat kayu dari hutan alam. Teknologi kayu memungkinkan untuk menaikkan kualitasnya.

Page 77: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 77j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

dinding sel, seperti saat pembuangan dengan pembakaran atau pengomposan, atau pada proses daur ulang8.

Untuk pertimbangan faktor lingkungan inilah akhir-akhir ini riset dan aplikasi impregnan ramah lingkungan makin menjadi perhatian dan pencarian dan rekayasa bahan alami termasuk bahan dari kayu itu sendiri makin banyak dilakukan. Salah satu komponen kimia kayu yang digunakan pada modifikasi dengan teknik impregnasi adalah zat ekstraktif.

Ekstraktif kayu dapat didefinisikan sebagai sejumlah besar senyawa kimia yang dapat diekstraksi dari kayu dengan

berbagai pelarut netral atau polar dan non-polar20,21. Beberapa jenis ekstraktif sangat mudah larut dalam air. Ekstraktif secara morfologis berada dalam struktur kayu. Misalnya, asam resin dapat ditemukan dalam saluran resin sedangkan lemak dan lilin ditemukan dalam sel parenkim. Fenol terdapat pada kayu terutama pada batang dan kulit kayu22.

Ekstraktif memiliki fungsi spesifik pada kayu. Ekstraktif di kayu empulur dan kayu dapat memberikan beberapa bentuk perlindungan pohon hidup terhadap agen perusak. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa secara alami dalam kayu, polifenol yang secara fakultatif mewarnai inti kayu dan berada pada dinding sel kayu, dapat mengurangi kembang-susut kayu serta meningkatkan daya tahan terhadap serangan organisme23. Namun, keberadaan ekstraktif dapat menyebabkan kerugian pemrosesan kayu. Mereka dapat mempengaruhi proses pembuatan pulp, pengeringan, adhesi, higroskopisitas dan sifat akustik kayu21,24.

Pada saat larut, zat ekstraktif pada umumnya berwarna coklat kemerahan. Jika pelarut menguap, maka zat ekstraktif yang berwarna tersebut tertinggal pada permukaan kayu sehingga menimbulkan perubahan warna pada kayu (discoloration)25. Pada waktu permukaan kayu akan dicat, maka perubahan warna tersebut menjadi masalah. Peristiwa munculnya zat ekstraktif ke permukaan kayu sehingga timbul bercak-bercak pada kayu saat kayu telah kering diakibatkan oleh peristiwa yang disebut pendarahan pada kayu (bleeding)26.

Jika kayu digunakan dalam ruangan, peristiwa tersebut biasanya akan terjadi manakala kayu berada pada ruang dengan kelembaban di atas 50%. Diskolorasi ekstraktif akan lebih hebat lagi terjadi ketika kayu digunakan sebagai komponen atau perlengkapan outdoor dan terkena air seperti hujan, embun, kabut atau banjir27.

Selama kayu digunakan di luar ruangan, keluarnya zat ekstraktif perlu terus diwaspadai. Dari para pembuat bangunan dan pemilik rumah kayu diperoleh pengalaman bahwa penelitian untuk menahan keluarnya zat ekstraktif disarankan untuk terus dilakukan28. Di samping itu, kehadiran ekstraktif dapat mengganggu dalam pembuatan produk kayu terutama produk rekatan.

Di antara jenis kayu yang mengandung ekstraktif tinggi dan bermasalah terutama ketika akan digunakan di luar ruangan atau lingkungan lembap karena terjadinya bleeding dan diskolorasi ekstraktif adalah kayu merbau (Intsia sp.). Zat ekstraktif pada kayu merbau dengan

jabonPohon Jabon berusia 5 tahun di Kawasan Ujung Genteng, Sukabumi Foto: Jamaludin Malik (2014)

Page 78: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest78 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

mudah keluar pada saat kayu terkena air atau lembap. Ekstraktif kayu merbau dapat dengan mudah dilihat pada saat kayu direndam dalam air, beberapa saat setelah kayu direndam maka air akan berwarna coklat kemerahan. Ekstrak kayu merbau dengan mudah diperoleh dari limbah pengolahan kayu tersebut di industri.

Alih-alih terus menganggap ekstraktif Merbau sebagai permasalahan, beberapa peneliti telah melakukan studi tentang pemanfaatan bahan larut air ini dan menunjukkan hasil penting dalam meningkatkan beberapa karakteristik kayu. Namun, penelitian tentang penggunaan ekstraktif untuk meningkatkan sifat kayu tetap menantang.

Tantangannya tidak hanya terkait dengan jenis metode yang harus digunakan dan mana ekstraktif yang harus dipilih untuk perlakuan, tetapi juga mekanisme perlakuan ekstraktif dan efeknya pada kayu yang diberi perlakuan. Secara umum, mekanisme yang tepat tentang bagaimana ekstraktif dapat meningkatkan karakteristik kayu dapat digunakan dengan modifikasi kimia melalui penonaktifan gugus OH melalui asetilasi (penggantian -OH oleh kelompok CH3COO), atau formaldehydation (pengikatan H2CO antara dua hidroksil untuk mendapatkan ikatan kimia yang kuat)11.

Beberapa peneliti menganggap ekstraktif kayu merbau sebagai masalah potensial dalam pengolahan kayu yang perlu diatasi. Mengingat adanya aspek positif dari zat ekstraktif yaitu yang secara umum memiliki fungsi perlindungan terhadap mikroorganisme dan menjaga stabilitas dimensi kayu, maka penulis telah melakukan serangkaian penelitian yang dimulai sejak tahu 2009 dan berasumsi bahwa di balik permasalahannya, ekstraktif merbau merupakan bahan yang bisa memberikan manfaat. Dari hasil penelitian tersebut, beberapa di antaranya telah dipublikasikan dalam beberapa jurnal internasional. Beberapa hasil utamanya dirangkum dalam tulisan ini.

Analisis fito-kimia terhadap ekstrak kayu merbau membuktikan bahwa senyawa flavonoid dan fenolik ditemukan sebagai senyawa utama dari ekstrak

kayu tersebut. Analisis menggunakan spektroskopi UV-vis menunjukkan bahwa ekstrak merbau memiliki panjang gelombang (λ) = 279 nm, terdiri dari sistem terkonjugasi atau aromatik, mirip dengan resorsinol standar yang digunakan sebagai referensi, yang memiliki λ = 274 nm.

Pirolisis GCMS menunjukkan bahwa senyawa utama ekstrak merbau adalah resorsinol (C6H6O2, BM 110), yang terdeteksi pada menit ke-15,533, dengan konsentrasi 78,99%. Selanjutnya, analisis dengan spektroskopi FTIR menunjukkan bahwa pita absorpsi mengandung ikatan gugus fungsional OH (3,361 cm-1) dan cincin aromatik (1,619 dan 1510 cm-

1). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa ekstrak kayu merbau dapat menjadi bahan yang digunakan untuk aplikasi impregnasi kayu dalam bentuk resin fenolik atau resorsinoilik melalui proses polimerisasi karena sifat fisiko-kimianya yang sangat baik29.

Ekstraktif merbau dapat dipolimerisasi dalam kondisi basa dengan penambahan sejumlah kecil aditif sebagai kopolimer untuk menghasilkan ekstrak merbau terpolimerisasi (PME) yang dapat berlangsung pada suhu kamar. Hasil uji fisika-kimia dan analisis melalui spektroskopi FTIR, sifat termal, dan kristalinitas mengkonfirmasi bahwa senyawa polimer merupakan bahan impregnasi yang menjanjikan untuk peningkatan sifat kayu30.

Hasil positif dalam peningkatan sifat mekanik diperoleh untuk kayu jabon yang diimpregnasi dengan merbau ekstraktif terpolimerisasi (PME) baik Tipe-1 maupun Tipe-2, setelah

peningkatan kerapatan. Kekerasan ujung dan kekerasan sisi permukaan kayu Jabon yang dimodifikasi dengan teknik impregnasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi masing-masing sebesar 20,04 dan 30,54% dengan impregnan Tipe-1 dan 32,73 dan 39,89 % dengan impregnan Tipe-1. Kekuatan geser meningkat sebesar 41,87 dan 49,58 % pada Tipe-1 dan 74,02 dan 79,10 % pada Tipe-2 untuk masing-masing sisi radial (R) dan tangensial (T). MOE meningkat juga meningkat sebesar 23,52% untuk kayu jabon yang diimpregnasi Tipe-1 dan sebesar 40,12% untuk Tipe-2. Nilai MOR meningkat sebesar 28,50 dan 41,19 % setelah impregnasi dengan impregnan Tipe-1 dan Tipe-2.

Peningkatan sifat mekanik pada kayu Jabon yang diolah setelah perlakuan impregnasi menggunakan ekstraktif merbau terpolimerisasi (PME) dikonfirmasi oleh analisis spektrum FTIR dan kristalinitas (XRD). Peningkatan terjadi karena penetrasi PME ke dalam dinding sel dengan reaksi silang antara kelompok fungsional PME dan bahan dinding sel dan pembentukan kuasi-kristal yang ditunjukkan oleh peningkatan kristalinitas kayu Jabon setelah perlakuan31.

Perubahan pada kayu jabon tidak hanya pada sifat mekanik, akan tetapi juga pada warna kayu. Jabon setelah diimpregnasi dengan ekstrak merbau terpolimerisasi (PME) berubah, bahkan terlihat seperti “kayu baru” karena bahan impregnan diserap dan direkatkan dalam struktur kayu jabon (lihat foto).

Perubahan warna tersebut terjadi secara permanen. Hasil SEM dari

teknologi

Page 79: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 79j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

kayu jabon yang diberi perlakuan dan tidak diberi perlakuan menunjukkan perbedaan nyata karena terjadi deposit PME dalam jaringan pembuluh kayu. Jelas, sejumlah tertentu PME terdeposit pada permukaan pembuluh dan mengisi dinding sel. Dengan analisis FTIR, dapat dibuktikan bahwa perlakuan impregnasi dengan menggunakan ekstrak merbau terpolimerisasi tidak hanya mengubah kayu secara visual menjadi warna baru, tetapi juga secara kimia terjadi ikatan oleh gugus fungsi baru.

—Jamaludin MalikPeneliti Modifikasi dan Peningkatan

Kualitas Kayu pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor

PUSTAKA1. Hill, C. A. S. (2006). Wood

Modification: Chemical, Thermal and Other Processes, West Sussex, John Wiley and Sons, Ltd.

2. Hill, C. A. S. (2009). “The potential for the use of modified wood products in the built environment”. In Proceedings of the 11th International Conference on Non-conventional Materials and Technologies (NOCMAT 2009) 6-9 September 2009, Bath, UK

3. Sandberg D, Kutnar A, and Mantanis G (2017). Wood modification technologies - a review. iForest 10: 895-908. – doi:

10.3832/ifor2380-010 [online 2017-12-01]

4. Navi, P. and Sandberg, D. (2011). Thermo-Hydro-Mechanical Processing Of Wood. EPFL Press.

5. Rowell, R. M. (1999). Specialty Treatments. In: Wood Handbook—Wood As An Engineering Material. Gen. Tech. Rep. FPL–GTR–113. Madison, WI: U.S. Department Of Agriculture, Forest Service, Forest Products Laboratory. 463 P.

6. Sakai, K.; Matsunaga, M.; Minato, K. and Nakatsubo, F. (1999). “Effects of impregnation of simple phenolic and natural polycyclic compounds on physical properties of wood”. Journal of Wood Science, 45, 227-232.

7. Robinson, T. J.; Via, B. K.; Fasina, O.; Adhikari, S. and Carter, E. (2011). “Impregnation of bio-oil from small diameter pine into wood for moisture resistance”. Bioresources, 6, 4747-4761.

8. Bergman, R.; Ibach, R. E.; Lapasha, C. and Denig, J. (2009). “Evaluating physical property changes for small-diameter, plantation-grown southern pine after in situ polymerization of an acrylic monomer”. Forest Products Journal, 59(10), 64-71.

9. He, W.; Nakao, T.; Yoshihara, H. and Xue, J. S. (2011). “Treatment of fast-growing poplar with monomers using in situ polymerization. Part II: Static and dynamic mechanical properties; Thermal stability”. Forest Products Journal., 61, 121-129.

10. Scherzer, J and Gruia, A. J. (1996). Hydrocracking Science and Technology, CRC Press.

11. Murzin. D. (2013). Engineering Catalysis, Walter De Gruyter.

12. Sandberg, D., A. Kutnar, and G. Mantanis, (2017). “Wood modification technologies - a review”. Article in iForest - Biogeosciences and Forestry · December 2017. DOI: 10.3832/ifor2380-010

13. Fengel, D. and Wegener, G. (1983). Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Walter De Gruyter.

14. Umezawa, T. (2001). Chemistry Of Extractives In Hon, D.N.-S And Shiraishi, N. (Eds): Wood And Cellulosic Chemistry, 2nd Ed., Rev. And Expanded. Marcel Dekker, Inc.

15. Sjöström, E. (1993). Wood Chemistry:

Fundamentals And Applications, Access Online Via Elsevier.

16. Hillis, W. E. (1987). Heartwood And Tree Exudates. Springer-Verlag, Berlin

17. Hillis, W. E. and Yazaki, Y. (1973). “Polyphenols of intsia heartwoods”. Phytochemistry, 12, 2491-2495.

18. Anonymous (1997). “Staining of finishes from water-soluble wood extractives”. Technical Note. APA The Enginered Wood Association. Website: www.gp.com/build/DocumentViewer.aspx?repository=bp&elementid=3222,

19. Donegan, V., J. Fantozzi, C. Jourdain, K. Kersell, A. Migdal, R. Springate and J. Tooley, 2007. “Understanding Extractive Bleeding”. Website http://www.calredwood.org/ref/pdf/extract.pdf.

20. Anonymous (2006). “Extractive Bleeding: Not a Stain or Paint Failure”. Technical Bulletin#2#71-0002. Website: www.cabotstain.com.

21. Fantozzi, J., V. Donegan, K. Kersell, C. Jourdain, A. Migdal, R. Springate and J. Tooley, (1994). “Prevention of Extractive Discoloration”. Website http://www.historichomeworks.com/hhw/library/coatings/preventionofextract.html

22. Malik, J., A. Santoso, Y. Mulyana and B. Ozarska (2016). Characterization of Merbau Extractives as a Potential Wood-Impregnating Material. BioResources, 11(3), 7737-7753. DOI:10.15376/biores.11.3.7737-7753.

23. Malik, J., B. Ozarska and A. Santoso. Preparation and Characterisation of Polymerised Merbau Extractives as an Impregnating Material for Wood Properties Enhancement. BioResources (manuscript under review, submitted on 9 April 2018. ID: BioRes 13948).

24. Malik, J., B. Ozarska and A. Santoso. Mechanical Characteristics of Impregnated Jabon Wood (Anthocephalus cadamba) Using Selected Polymerised Merbau Extractives. Maderas-Ciencia Tecnologia 21(4):2019

25. Malik, J., B. Ozarska and A. Santoso (2018). Colour Changes and Morphological Performance of Impregnated Jabon Wood Using Polymerised Merbau Extractives. Maderas-Ciencia Tecnologia 20(1), DOI:10.4067/S0718-221X2018005000008.

impregnasiTampak visual dari kayu jabon tanpa perlakuan impregnasi (UT), dengan perlakuan impregnasi ekstrak merbau tipe-1 (T1) dan dengan perlakuan impregnasi ekstrak merbau tipe-2 (T2).

Page 80: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest80 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

teroka

MENJADI korban polusi udara akibat pembakaran sampah membuat Adi Asmawan bertekad menghentikan sampah sejak dari hulu: mengurangi kemasan barang kebutuhan sehari-hari. Lima tahun mempelajari alur sampah, Adi menyimpulkan bahwa untuk mencegahnya harus ada penanganan serentak dari produsen, distributor, dan konsumen. “Sejauh ini penanganan di sisi distributor belum menjadi perhatian,” kata laki-laki 45 tahun ini pada akhir Juni 2019.

Maka pada 16 November 2018, Adi mengajak Ridha Zaki mendirikan Saruga Package Free Shopping Store di Bintaro Jaya, Jakarta Selatan. Toko kelontong yang menyediakan kebutuhan sehari-hari ini menerapkan konsep nol sampah. Cara ini, menurut dia, bisa memotong jalur produksi dan distribusi sampah kemasan. “Sebab sampah rumah tangga itu lebih besar dibanding sampah industri,” katanya.

Di Saruga, konsumen didorong untuk

membeli kebutuhan hidup sehari-hari secukupnya. Karena itu barang-barang kebutuhan bisa dibeli sesuai keinginan, bukan kemasan dengan berat dan jumlah yang tetap seperti umumnya di supermarket. Setiap produk menyediakan takaran dalam gram atau mililiter yang wadahnya dibawa sendiri oleh konsumen.

Adi menyebut cara belanja ini sebagai “manajemen kebutuhan diri”. Ada macam ragam kebutuhan sehari-hari di Saruga. Selain kebutuhan dapur, makanan, juga alat-alat mandi dan kebutuhan rumah lainnya. Menurut Adi, kebutuhan personal dan rumah paling banyak diminati konsumen.

Tantang terberat di Saruga, kata Adi, bukan karena minimnya konsumen, justru dari produsen. Saruga menerima barang hasil olahan rumahan karena barang pabrik masih memakai kemasan. Menurut Adi, belum banyak produsen yang menyediakan produk sesuai dengan

Toko-TokoRamah LingkunganKian banyak toko ramah lingkungan yang menjual produk tanpa kemasan. Baru di Jakarta.

MAKIN masifnya informasi tentang kerusakan lingkungan membuat kian banyak orang yang sadar aktivitasnya membuat alam merana, terutama aktivitas yang menghasilkan sampah. Lima tahun lalu kampanye ramah lingkungan adalah memilah sampah sesuai dan membuang ke tempatnya. Kini kampanyenya adalah tidak membuat sampah sejak dalam pikiran.

Karena perubahan gaya hidup dan paradigma itu melahirkan kebutuhan bahan pokok sehari-hari yang juga ramah lingkungan. Beberapa anak muda yang cemas akan nasib planet ini coba memenuhi kebutuhan itu dengan membuka toko-toko ramah lingkungan. Ciri toko ini adalah tak memakai kemasan dan mendorong konsumen berbelanja sesuai kebutuhannya saja.

SARUGA PACKAGE FREE SHOPPING STORE

Cara Cepat Memotong Jalur Sampahvisi dan misi Saruga sehingga toko ini masih menerima barang dari pabrikan yang memakai kemasan. Adi menyalurkan plastiknya ke sekolah di sekitar Bintaro untuk diolah kembali menjadi barang berguna.

Saruga sudah menjalin kolaborasi dengan berapa produsen rumahan untuk menjadi pemasok barang. Adi berharap visi dan misinya ditangkap produsen lain yang bersedia menyediakan produk tanpa kemasan. “Ke depan kami berencana produksi sendiri, terutama makanan,” katanya.

Sejauh ini, Saruga masih belum beriklan secara masif. Adi dan Zaki masih mengandalkan informasi dari mulut-ke-mulut dan melalui media sosial. “Bila ada industri yang mau bekerja sama dengan produsen rumahan dan mendukung konsep ini saya yakin produksi sampah akan turun,” kata Adi.

Lokasi:Jalan Taman Bintaro 1, Sektor 1, RT.7/RW.11, Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Kota Jakarta Selatan

Page 81: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 81j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Pagesangan.Diah Widuretno di Desa

Girimulya, Gunung Kidul, Yogyakarta.

Page 82: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest82 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

teroka

BERAWAL dari kunjungannya ke Kalimantan pada 2018, Kiana Lee tersadar bahwa sampah memang jadi ancaman serius planet bumi. Selama ini ia hanya melihat berita soal sampah, sampah di perut paus, atau kura-kura yang mati terjerat tali plastik hanya dari televisi atau media sosial. Di Kalimantan ia melihat sendiri sampah merusak lingkungan. “Di hutan saja banyak sampah apalagi di kota?” kata perempuan 32 tahun ini. “Kita harus do something.”

Do something yang ada di benak Kiana adalah menghentikan produksi sampah, terutama kemasan plastik makanan dan kebutuhan sehari-hari. Penyebabnya adalah di toko makanan sudah dibungkus sesuai takaran pabrik, bukan takaran kebutuhan tiap orang. Akibatnya tak hanya menghasilkan sampah kemasan tapi juga sampah bahan makanan.

Maka muncul ide membuat toko tanpa kemasan. Tapi lulusan Western Sydney University ini tak punya pengalaman

jualan. Tak ada juga anggota keluarganya yang pernah buka toko. Tapi ide itu terus menggodanya. “Idenya tiap orang bisa belanja sesuai kebutuhan mereka dan tanpa pembungkus,” kata dia.

Setelah survei tempat ke sana-sini, lahirlah Naked.Inc di Kemang, Jakarta Selatan, pada awal Maret 2019. Dengan lima karyawan, Kiana menyediakan pelbagai kebutuhan pokok masyarakat. Ia mencari pemasok hingga ke Bali, terutama untuk alat-alat pendukung seperti sendok dan garpu. Bumbu dapur dari Yogya dan Bandung, sementara makanan dan minuman jadi dari Jakarta. “Ada juga impor dalam jumlah yang banyak,” katanya.

Selain menyediakan makanan, Naked.Inc juga punya program adopsi botol yang bisa ditukar dengan tas belanja. Hasil penjualan botol kaca itu sepenuhnya disumbangkan untuk pegiat perlindungan satwa.

Tas belanja di Naked lumayan mahal.

NAKED INC

Tak Memikirkan UntungKiana sengaja memasang harga itu untuk memaksa konsumen membawa rantang sendiri dari rumah. Menurut dia, konsumen yang datang ke Naked umumnya sudah paham mengapa mereka belanja di sini. Jika libur, pembeli datang dari segala penjuru Jakarta, bahkan dari Bogor. Hari kerja umumnya pekerja kantoran di sekitar Kemang.

Para pembeli juga umumnya paham dengan harga yang sedikit lebih mahal dibanding di pasar tradisional. “Tapi pasti lebih murah dibanding supermarket,” kata Kiana. Harga lebih mahal karena Kiana mesti mengatur biaya dan ongkos, terutama untuk barang yang masa kadaluwarsanya cepat sehingga harus segera diganti.

Untung atau rugi jualan produk ramah lingkungan? “Saya sudah tak memikirkan untung atau rugi karena saya happy menjalani ini,” katanya. “I’m happy doing something untuk lingkungan, walaupun tidak banyak.”

Lokasi:Jalan Kemang Timur Nomor 998, Jakarta Selatan

Page 83: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 83j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

SELAIN menjual bahan kebutuhan pokok sehari-hari, di The Bulkstore & Co juga ada informasi tentang gaya hidup yang selaras dengan alam. Salah satunya adalah mengurangi konsumsi makanan yang mengandung kimia dan berbahan protein hewani. “Industri peternakan hewan salah satu penyebab terbesar pemanasan global,” kata Putri Arif Febrila, CEO The Bulkstore & Co.

Bulkstore didirikan oleh lima sekawan pada Mei 2019 yang umumnya sudah punya produk lain semacam Burgreens, Herbilogy, dan Project Semesta. Buka setiap hari, kata Putri, semua bahan pangan curah di tokonya 95 persen berbasi nabati. Seperti di dua toko ramah lingkungan lain, Buklstore tak menyediakan kemasan plastik. Kantong belanja terbuat dari kertas. Itu pun dijual

dengan mahal. Kantong belanja terbuat dari kertas atau wadah yang bisa dipakai berulang. Tapi Putri menganjurkan pembeli membawa kantong belanja sendiri.

Putri dan empat pendiri lain memang bercita-cita mengurangi sampah plastik sekali pakai, sampah makanan rumah tangga, dan mengubah kebiasaan hidup orang kota agar lebih selaras alam. Di Bulkstore, kata Putri, produk yang paling diminati jenis makan super seperti biji chia, kacang almon, bubuk vegan protein, hingga gula kelapa. Ada juga produk unik yang laris terjual seperti wine buah lokal, komposter organik, kantong berbahan dasar singkong atau sedotan baja.

Pemasok di Bulkstore berasal dari industri rumahan dan pengusaha kecil dari luar Jakarta. Ketika Contohnya

THE BULKSTORE & CO

Usaha Kecil Mencegah Pemanasan Globalsuplemen jamu dari Rahsa Nusantara, Bandung, atau produk-produk Mata Cinta yang disalurkan dari pengrajin Gorontalo. Dengan belanja di sini, kata Putri, konsumen juga diajak berkontribusi untuk kegiatan sosial yang dicanangkan oleh merek-merek produk yang yang bekerja sama dengan The Bulkstore & Co.

“Ada beberapa brand dari teman kami yang sebagian dari penjualannya didonasikan ke komunitas yang membutuhkan. Seperti misalnya Owellness untuk pundi perempuan, Liberty Society untuk edukasi anak, serta Live Mana,” kata Putri. “Kami sangat terbuka untuk kerja sama dengan sesama pelaku usaha sosial, termasuk UKM serta komunitas peduli lingkungan lainnya.”

Tantang utama membuka toko ramah lingkungan, kata Putri, justru mengedukasi kurir pengiriman barang dari luar kota. Perusahaan ekspedisi belum terbiasa tak memakai kemasan plastik dalam pengiriman barang. Putri dan teman-temannya menggunakan kurir sendiri karena jika tidak mereka harus meyakinkan ekstra keras agar kurir tak membungkus barang yang dipasok ke The Bulkstore & Co.

Lokasi:Jalan Wahid Hasyim nomor 47, Menteng, Jakarta Pusat.

Page 84: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest84 j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

bintang

MEDINA KAMILHutan Sebagai Supermarket

MENJADI pembawa acara petualangan di televisi membuat Medina Kamil kian paham arti hutan buat kehidupan manusia. Ia menyimpulkan hutan seperti

supermarket yang menyediakan segala kebutuhan mahluk hidup. “Hutan itu akar kehidupan,” kata perempuan 37 tahun ini. “Jika hutan rusak kehidupan juga rusak.”

Karena itu ia bersedih tiap kali pulang kampung ke tanah kelahirannya di Sumatera Barat. Sepanjang perjalanan ia lihat hutan yang diakrabinya sewaktu kecil itu telah berubah menjadi kebun yang monokultur. “Hutan yang dulu rimbun dan menyenangkan itu sekarang makin tergerus,” kata Sarjana Hukum dari Universitas Pancasila ini. Simak penuturannya kepada Dewi Rahayu Purwa Ningrum dari Forest Digest di sela acara

Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 13 Juli 2019.

Kapan pertama kali mengakrabi hutan?

Sebagai orang Sumatera Barat, bagiku hutan sudah menjadi keseharian. Aku pertama kali menginjakkan kaki di hutan tahun 1990-an. Saat itu, anggapanku tentang hutan adalah seram dan menakutkan. Pandanganku berubah saat aku ke Badui sewaktu kuliah. Di sana aku lihat hutan itu indah dan anugerah Tuhan.

Bagaimana pandanganmu sekarang?

Sangat memprihatinkan. Tahun 2010 aku menjelajah ke Sumatera. Kami naik mobil menuju lokasi yang sama saat aku masih sekolah dulu. Di sana hutan yang lebat dan rimbun itu berubah menjadi perkebunan. Sedih. Hutan yang rimbun dan menyenangkan itu semakin tergerus.

So, apa arti hutan buatmu?Buat aku hutan seperti

supermarket: semua yang manusia butuhkan ada di hutan. Bagiku hutan seperti akar kehidupan. Jika hutan rusak kehidupan rusak.

Apa yang kamu lakukan untuk menjaganya?

Mengubah gaya hidup yang merugikan lingkungan dan alam, minimal mengurangi sampah. Kita harus malu dengan sampah sendiri. Sampah itu aib kita. Lalu mengajak orang lain dengan memberi contoh dan menyebarkan hal positif buat lingkungan.

Apa pesanmu untuk pembaca Forest Digest?

Untuk teman-teman pendaki gunung dan pengunjung pantai, kita harus menjaga keindahan alam dengan tidak membuang sampah. Ketika aku mendaki kemarin, sampah madu dan sampah

permen itu bikin kesel banget. Susah diambilnya karena terlalu kecil

jumlahnya juga banyak.Untuk pemerintah, sekolah-

sekolah, dan semua pembaca kita sebaiknya memperbanyak

lagi edukasi atau penyuluhan tentang lingkungan. Lalu tegakkan

hukum lingkungan. Kalau orang buang sampah sembarangan bisa dihukum.

Page 85: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest 85j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

DUL JAELANIInspirasi Hujan

POHON, rintik hujan, sampai suara angin adalah inspirasi Dul Jaelani ketika menulis lirik lagu. Sayangnya, hujan kini sulit diprediksi. Jakarta bisa panas seharian tapi tetiba hujan pada sore hari. Padahal Juni adalah musim kemarau.

“Perubahan iklim sangat terasa,” kata pemain musik 18 tahun bernama lengkap Abdul Qodir Jaelani ini.

Dari ayahnya, musisi Ahmad Dhani—pemain piano band Dewa 19—maupun ibunya, penyanyi Maia Estianty, serta dari kakek dan neneknya, Dul mendengar cerita bahwa tahun 1990-an hujan dan kemarau masih sesuai dan teratur sesuai musim. Indonesia mengalami dua: kemarau pada April-Agustus, dan hujan sepanjang September-Maret. Kini Juni atau Juli masih hujan lebat bahkan Jakarta banjir pada bulan-bulan itu.

Karena itu Dul mengimbau agar remaja seusianya mulai peduli lingkungan. Salah satunya dengan tidak membuang sampah sembarangan, alih-alih mempraktikkan gaya hidup tak merusak lingkungan. “Saya tak pernah buang puntung rokok sembarangan ketika tak ada tempat sampah,” katanya.

Menurut Dul, kampanye serasi dengan alam dan lingkungan bisa dimulai melalui media sosial atau media massa yang punya pengaruh signifikan. YouTube, Instagram, dan Facebook kini menjadi media sosial yang digandrungi anak muda. Dul bersaran agar pemerintah memakai semua kanal itu untuk sosialisasi hidup ramah lingkungan. “Saya akan menuliskan lagu bertema alam sebagai rasa syukur,” kata pelantun Mama Tolonglah dan Taklukkan Dunia ini. —

Page 86: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest86

BAHASA dan cara kita mengolah kata adalah sebermula sebuah konsep bekerja. Maka pada 17 Mei 2019, Pemimpin Redaksi The Guardian Katharine Sophie Viner mengirim memo internal kepada seluruh reporter di koran Inggris yang terkenal itu: ada beberapa perubahan istilah jika menulis tema perubahan iklim.

Alih-alih memakai “perubahan iklim (climate change)”, pakailah “darurat iklim (climate emergency) atau “krisis iklim (climate

crisis)”. Alih-alih memakai “penghangatan global (global warming)”, lebih tepat istilah “pemanasan global (global heating). Jangan pakai “keanekaragaman hayati (biodiversity), karena yang pas “kehidupan liar (wildlife)”. Tak boleh lagi memakai “peragu ilmu iklim (climate skeptic)” tapi “penolak ilmu iklim (climate science denier)”.

Bahasa adalah pembentuk persepsi. Kita akan mengikuti logika tiap kata ketika memakainya, sesuai dengan makna yang disepakati oleh mayoritas penuturnya atau makna yang kita pahami dalam percakapan sehari-hari. Bagi redaksi Guardian, “perubahan iklim” tak lagi mewakili fakta ketika makin banyak data ilmiah yang menunjukkan planet bumi tengah menuju kehancuran akibat suhu yang naik karena emisi gas rumah kaca. “Global warming” bukan lagi istilah yang tepat karena kenyataannya bumi tengah terpanggang akibat panas matahari terperangkap di atmosfer karena naiknya konsentrasi karbon dioksida akibat polusi dan segala aktivitas manusia.

“Darurat iklim”, “krisis iklim”, dan “pemanasan global”, bagi Guardian, adalah istilah-istilah yang lebih tepat mewakili fakta dan kenyataan sekarang. Guardian agaknya meniru, jika tidak terinspirasi, oleh Greta Thunberg—gadis Swedia berusia 16 tahun yang berhasil memprovokasi dunia agar mogok sekolah dan turun ke jalan menuntut para pembuat kebijakan melakukan sesuatu mencegah krisis iklim ini.

Sejak awal, dan dalam pidato-pidatonya yang dibukukan dan terbit Juni ini dengan judul No One is Too Small to Make a Difference, Greta mengajak tiap-tiap orang untuk panik, kepanikan yang muncul seperti ketika kita melihat atau terjebak dalam rumah yang terbakar. Panik memang tidak bagus. Karena dengan panik kita biasanya berpikir pendek. Dalam kepanikan kita tidak bisa tenang. Tapi dengan “merasa” panik kita akan terdorong untuk merasa terdesak dan melakukan satu-satunya cara tersisa untuk mencegah api kian membesar—seperti teori manajemen

perubahan yang dimulai dengan rasa keterdesakan (sense of urgency).

Barangkali karena tak ada kepanikan terhadap bumi yang terpanggang itulah, negosiasi-negosiasi dalam konferensi perubahan iklim tiap tahun selalu mentok. Negara kaya dan miskin selalu terbelah tiap kali membuat kesepakatan cara-cara mencegah pemanasan bumi. Meski penelitian tentang iklim dimulai pada 1834 dan dipublikasikan sejak 1951, suhu bumi malah naik 0,8 derajat dalam 100 tahun terakhir. Kita tak merasa terdesak dan panik oleh istilah “iklim yang berubah”.

Walaupun anggapan itu tak terlalu akurat jika kita melihat apa yang terjadi di Indonesia. Sejak awal, istilah populer sejak 1990 di Indonesia adalah “pemanasan global”, bukan “penghangatan global” yang terdengar aneh. Apa yang terjadi setelah itu? Toh, laju deforestasi Indonesia sebesar 1,5 juta hektare per tahun atau hampir tiga kali luas lapangan sepak bola per menit.

Indonesia menikmati bonanza kayu dengan menebang pohon dan menggunduli hutan tanpa pikir panjang. Istilah “pemanasan global” tak menakuti para pembuat kebijakan dengan memikirkan ulang, misalnya, menyetop kebijakan memberikan izin jor-joran hak pengusahaan hutan (HPH). Istilah ini tak membentuk perspektif di masyarakat Indonesia yang sedang pesta pora mengeruk kekayaan bumi yang gemah ripah loh jinawi. Kita lebih terbuai oleh satu kata lain yang mewarnai hari-hari kita di masa Orde Baru: pembangunan.

Alhasil, kritik-kritik dengan perspektif lingkungan menjadi mental karena akan dianggap mengganggu Indonesia yang sedang “mengejar ketertinggalan” dan berharap segera “tinggal landas” dari lembah keterbelakangan. Frase-frase itu menjadi bagian dari politik bahasa Soeharto hingga anak-anak seluruh Indonesia tak lagi kritis bahkan pada pemakaian-pemakaian kata yang keliru.

Indonesia mungkin jalan di tempat karena dalam pikiran kita

ditanamkan untuk terus “mengejar ketertinggalan”

bukan “mengejar kemajuan” bangsa lain. Kita bertahan

di runway karena tujuan kita memang “tinggal landas”

seperti makna pada frase “tinggal di rumah”, bukan

“melesat dari landasan” pacu ketika mesin pesawat sudah panas. Bahasa memang menunjukkan

bangsa. Apa yang dilakukan Guardian adalah alat pertama membuat sebuah

gerakan global mencegah planet kian terpanggang, dengan cara menanamkan

persepsi hidup manusia sedang terancam dalam kegawatan, melalui bahasa.

—Bagja Hidayat

Bahasa Iklim

oase

j u l i - s e p t e m b e r 2 0 1 9

Page 87: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi

F rest D gest com

lebih interaktifklik

Page 88: F rest D gest...Restorasi Sampai Nanti Penyelamat Teluk Doreri Belajar Hutan Sosial ke Thailand Menawarkan Racun Tailing F rest D gest 12 juli-september 2019 forestdigest.com rp 45.000,-Restorasi