entikong: daerah tanpa krisis ekonomi di perbatasan ... · definisi krisis di atas dikutip oleh...
TRANSCRIPT
1
Entikong: Daerah Tanpa Krisis Ekonomi di Perbatasan Kalimantan Barat--Sarawak1
Oleh Robert Siburian2 Abstrak
Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak medio 1997 lalu telah mengakibatkan berbagai dampak terhadap perekonomian Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menanggapi krisis ekonomi secara negatif akibat konsekuensi yang ditimbulkannya. Konsekuensi negatif itu tampak dari indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi yang tinggi, pengangguran yang terus meningkat, angka kemiskinan yang bertambah, tingkat pendapatan per kapita yang anjlok dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang terus melemah. Kendati demikian, tidak semua masyarakat dirugikan oleh krisis ekonomi. Sekelompok masyarakat yang berada di Entikong (daerah perbatasan antara Kalimantan Barat <Indonesia> dan Sarawak <Malaysia Timur>) justru diuntungkan dengan adanya krisis. Hal itu memberi penjelasan bahwa krisis ekonomi tidak selalu membawa "bencana" kepada seluruh lapisan masyarakat, karena penerimaan negatif secara makro ada kemungkinan berbeda jika penerimaan krisis ekonomi itu dilihat secara wilayah dan sektoral. Kalau krisis ekonomi seandainya tidak terjadi, masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan justru kurang bergairah untuk melakukan aktivitas ekonominya.Oleh karena itu, tulisan ini mengkaji tentang aktivitas ekonomi masyarakat Entikong yang tidak mengalami dampak negatif dengan adanya krisis ekonomi. 1. Pengantar
Krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
menorehkan berbagai catatan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Catatan yang tidak
mungkin dilupakan oleh seluruh lapisan masyarakat adalah runtuhnya pemerintahan Orde
Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto setelah tidak tergoyahkan selama
32 tahun berkuasa. Semasa pemerintahannya, Indonesia berhasil mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Misalnya, pada awal Soeharto memerintah (1969)
sampai tahun 1994, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat rata-rata 6,8 persen setahun
(Booth; 2001: 192). Bahkan di tahun 1995, angka pendapatan per kapita Indonesia
mendekati US$ 1.000 (Borsuk; 2001: 240). Berdasarkan prestasi itu, beliau mendapatkan
pujian dari elite pembangunan internasional, dan oleh masyarakat Indonesia, beliau
dianugrahi penghargaan sebagai "Bapak Pembangunan". Sayangnya, pertumbuhan ekonomi
1 Makalah ini disampaikan pada Simposium Jurnal Antropologi yang diselenggarakan oleh Jurusan Antropologi FISIP-UI dan Universitas Andalas di Padang, 18 - 21 Juli 2001. 2 Penulis adalah Peneliti pada Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, Jakarta.
2
tersebut ternyata dibangun melalui penimbunan hutang luar negeri yang mengakibatkan
rapuhnya pondasi bangunan ekonomi tersebut.
Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia ini telah mengakibatkan berbagai
konsekuensi, antara lain; 1) laju inflasi yang tidak terkendali mencapai 77,13 persen pada
tahun 1998; 2) banyaknya pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja secara paksa
akibat tidak beroperasinya berbagai industri dan terbengkalainya pembangunan gedung-
gedung, jalan, dll; 3) meningkatnya jumlah pengangguran3 dan angka kemiskinan; dan 4)
merosotnya nilai rupiah yang sangat signifikan terhadap dollar yang diikuti oleh turunnya
pendapatan per kapita ke tingkat 436 dollar Amerika Serikat, dan saat itu pertumbuhan
ekonomi Indonesia terkontraksi menjadi minus 13,00 persen.
Konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi tersebut merupakan
bencana bagi perekonomian nasional dan juga bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, penilaian sebagian besar masyarakat Indonesia yang menghendaki agar krisis
ekonomi cepat berakhir bertolak belakang dengan keinginan masyarakat yang tinggal di
daerah perbatasan, khususnya mereka yang tinggal di Entikong,4 Kalimantan Barat. Bagi
mereka ini, krisis ekonomi justru menjadi "berkah" yang dapat membuat tingkat
kesejahteraannya terangkat. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mengkaji tentang pengaruh
krisis ekonomi terhadap masyarakat di daerah perbatasan yang dibagi dalam empat bagian.
Pertama, sebelum masuk pada pokok tulisan, terlebih dahulu diuraikan secara sederhana
tentang pengertian krisis ekonomi dan juga akibat-akibat yang ditimbulkannya. Kedua,
penjelasan tentang kegiatan-kegiatan ekonomi yang secara nyata memperoleh "berkah" dari
krisis ekonomi. Ketiga, penjelasan tentang kegiatan ekonomi yang diuntungkan oleh
terjadinya krisis, oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya digolongkan atas tiga kegiatan
ekonomi saja. Keempat atau terkahir, penjelasan tentang makna krisis bagi masyarakat
perbatasan.
3 Menurut perkiraan International Labour Organization (ILO), sekitar 5,4 juta orang karena pemberhentian pekerja secara paksa terjadi hampir di semua sektor ekonomi kecuali sektor pertanian dan pertambangan (Tambunan 1998: 27)
3
2. Pengertian Krisis Ekonomi
"… a serious breakdown in the process of economic growth in capitalism. Crisis is a phenomenon solely connected with the capitalist economies and does not occur in other socio-economic system…"
Definisi krisis di atas dikutip oleh Hettne (1992: 12) dari Gortan Ash. Fenomena
krisis ekonomi itu tampak dari keadaan ekonomi nasional yang mengalami kemunduran
dilihat dari perolehan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Untuk kasus Indonesia,
minimal ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kemunduran PDRB. Pertama, faktor-
faktor produksi--terutama bahan baku--yang digunakan untuk menggerakkan perekonomian
Indonesia lebih banyak didatangkan dari luar (impor), yang pengadaannya membutuhkan
dollar AS dalam jumlah tertentu. Akibat persediaan dan permintaan terhadap dollar yang
tidak seimbang itu mendorong harga dollar tinggi. Ketika dollar tinggi, banyak perusahaan
yang tidak sanggup membelinya. Kenyataan itu memaksa banyak di antara usaha yang
dikelola oleh masyarakat mengurangi produksi atau bahkan menutup usahanya.
Kedua, ketersediaan cadangan dollar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia relatif
sedikit untuk meng-cover seluruh permintaan dollar. Keterbatasan itu mengakibatkan
cadangan devisa (dollar) yang ada tidak mampu meng-cover seluruh permintaan, karena
dollar di samping dibutuhkan untuk impor, pada saat yang sama hutang luar negeri Indonesia
juga jatuh tempo, sehingga harus segera dikembalikan beserta bunga pinjamannya. Ketika
cadangan devisa yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia terbatas, sumber-sumber
penambahan devisa khususnya yang berasal dari kegiatan ekspor sedang tertutup atau pun
tersendat. Hal itu terjadi karena proses produksi dari berbagai industri tidak berjalan optimal
akibat produksi yang sudah berkurang atau pun terhenti sama sekali.
Krisis ekonomi yang hingga kini melanda bangsa Indonesia merupakan pengaruh
krisis yang dialami oleh negara Thailand.5 Pada tahun 1997, nilai mata uang bath Thailand
4 Jarak Entikong ke Kota Pontianak--Ibukota Propinsi Kalimantan Barat lebih kurang 300 kilometer. 5 Pada tanggal 14-15 Mei 1997 terjadi aksi "beli" dollar secara besar-besaran yang dilakukan oleh para spekulan. Mata uang yang digunakan untuk membeli dollar AS itu adalah bath Thailand. Aksi itu terjadi oleh karena lambatnya pertumbuhan ekonomi dan ketidakstabilan politik. Tekanan spekulan melalui aksi beli ini menjebol cadangan bank sentral Thailand telah melakukan beberapa kali intervensi, sehingga sebulan kemudian bank sentral mengumumkan bahwa nilai tukar bath diserahkan kepada mekanisme pasar (Tambunan 1998: 11).
4
terus menunjukkan kemerosotan terhadap mata uang dollar Amerika Serikat. Sebagai salah
satu negara yang ikut dalam permainan ekonomi global dan letak negara Thailand yang
berdekatan dengan Indonesia, maka krisis ekonomi Thailand sangat berdampak terhadap
perekonomian Indonesia.
Ternyata, apa yang dialami oleh negara Indonesia tidak berhenti pada krisis ekonomi
itu saja. Di antara negara-negara Asia yang mengalami krisis, Indonesia merupakan negara
yang terlama mengalami krisis. Sebab, krisis ekonomi itu kemudian menyeret ke krisis-krisis
lain menjadi multikrisis; krisis politik, hukum, kepemimpinan dan kepercayaan. Multikrisis
yang sedang terjadi itu merupakan penyebab jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto
setelah lebih dari tiga dekade berkuasa, dan membawa Indonesia berada di tepi kehancuran.
Krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, yang merupakan rembesan krisis
ekonomi dari Thailand, menurut Dornbusch dikutip oleh Adi (1999: 25), melalui dua
kemungkinan, yaitu transaksi modal dan transaksi pasar barang ekspor-impor. Hal itu
dimungkinkan karena Indonesia termasuk negara yang menganut paham devisa bebas, di
mana nilai kurs terhadap mata uang asing sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Dengan
adanya paham seperti itu, Indonesia sebagai bagian dari ekonomi global ditambah letak
geografis yang berdekatan dengan Thailand, maka pengaruhnya secara otomatis mengimbas
Indonesia. Sebenarnya, pengaruh krisis ekonomi yang dialami oleh Thailand juga dialami
oleh negara-negara Asia lainnya, tetapi tingkat keparahannya berbeda antara satu negara
dengan negara lain.
Ketika Thailand mengalami krisis, pemerintah Indonesia sangat yakin akan kekuatan
fundamental ekonomi yang dimilikinya. Keyakinan itu pun memperoleh dukungan dari para
pengamat ekonomi, berpijak pada tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pernah
dicapai. Pada akhir dekade sebelum terjadinya krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu
berada di atas 7 persen dan dukungan nilai ekspor yang terus meningkat. Ternyata, analisa
pemerintah dan sebagian para pengamat itu adalah keliru. Tekanan demi tekanan yang
membuat nilai rupiah semakin merosot terus berlanjut, dan mencapai titik klimaksnya ketika
hutang luar negeri Indonesia yang digunakan selama ini jatuh tempo. Akibatnya, kebutuhan
persediaan dollar lebih besar dari jumlah sebelumnya. Pada waktu itu, pemerintah Indonesia
masih mencari "kambing hitam", dan tidak berani untuk mengakui lemahnya fundamental
5
ekonomi Indonesia. Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa krisis ekonomi yang tengah
terjadi merupakan ulah pialang dunia keturunan Yahudi Amerika Serikat, George Soros.
Padahal, krisis ekonomi itu adalah ulah bangsa Indonesia sendiri yang dengan "rajinnya"
menimbun hutang luar negeri dan merajalelanya praktek korupsi di kalangan pejabat.
Mencermati faktor penyebab krisis ekonomi di atas, dampaknya akan diterima
secara berbeda oleh masyarakat antara satu wilayah dengan wilayah lain, atau pun sektor
ekonomi yang satu dengan sektor ekonomi lain. Dampak krisis ekonomi terhadap
perekonomian masyarakat ada tiga. Pertama, krisis ekonomi memperburuk kondisi ekonomi
sekelompok masyarakat. Hal itu bisa terjadi karena turunnya daya beli masyarakat akibat
harga kebutuhan hidup yang melonjak tinggi, hilangnya sumber-sumber pendapatan akibat
banyaknya usaha yang bangkrut, dll. Kedua, krisis ekonomi tidak terlalu berdampak
terhadap keberadaan perekonomian masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena sumber-sumber
pendapatan masyarakat masih dapat bertahan. Hasil dari usaha itu berupa produk-produk
vital bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiga, krisis ekonomi menjadi "berkah" terhadap
masyarakat, bahkan krisis ekonomi menjadi variabel untuk meraih kesuksesan. "Berkah" itu
diperoleh karena sumber-sumber pendapatan masyarakat tersebut diperdagangkan melalui
lintas negara.
Sesuai dengan dampak dan penerimaan masyarakat yang berbeda terhadap krisis
ekonomi, tampaknya masyarakat Entikong menerima hikmah "positif"-nya. Penerimaan
krisis ekonomi yang bernilai "positif" itu berbeda dengan penerimaan sebagian besar
masyarakat Indonesia, apalagi kalau hal itu dilihat dari kacamata pemerintah. Krisis ekonomi
bagi masyarakat Entikong dipandang sebagai "berkah" yang dapat mengangkat tingkat
kesejahteraanya agar lebih baik. Penyebabnya minimal ada dua; 1) letak geografinya
(wilayah) yang berbatasan dengan negara bagian Malaysia Timur (Sarawak) dan sektor
usaha yang dimiliki oleh masyarakat Entikong, 2) penduduk Sarawak memiliki tingkat
pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk Kalbar.
Pada tahun 1999, pendapatan per kapita penduduk Sarawak adalah RM 3,692 juta atau
sekitar US$ 971,52; sedangkan pendapatan per kapita penduduk Kalbar tahun 1998 US$ 247
(Azazi; 2000). Perbedaan itu menjadi peluang bagi masyarakat perbatasan terlebih pada
situasi krisis.
6
Sebenarnya, krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang hingga kini belum pulih
merupakan yang kedua dalam sejarah perekonomian Indonesia sejak kemerdekaan 17
Agustus 1945. Krisis ekonomi pertama terjadi pada tahun 1966. Krisis ekonomi pada tahun
1966 merupakan kondisi ekonomi warisan Orde Lama yang sangat buruk. Keadaan itu
ditandai oleh menurunnya ekspor sehingga cadangan devisa menciut sampai nol,
pertumbuhan ekonomi kurang dari dua persen dan inflasi meningkat sampai hampir 600
persen setahun. Mencermati kondisi perekonomian Indonesia yang begitu parah, Higgins
menganalogkan Indonesia sebagai seorang atlit yang sudah secara kronis telah berhenti dan
keluar dari perlombaan antara negara yang mengejar pembangunan ekonomi (Tulus 1998: 3;
Both, 2001:187,191). Di antara negara-negara yang besar yang sedang berkembang, yang
baru memulai babak pembangunan setelah bersusah payah berhasil keluar dari cengkraman
penjajah, perekonomian Indonesia justru berada pada suatu tingkat kehancuran ekonomi
yang jarang dicapai negara mana pun dalam sejarah modern.
Krisis ekonomi pertama dan kedua merupakan krisis yang terparah dialami oleh
bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang kemudian diikuti oleh situasi politik dalam negeri
yang ikut memanas menjadi faktor penyebab jatuhnya pemerintahan Soekarno pada krisis
ekonomi pertama, dan Soeharto pada krisis ekonomi kedua.
3. Daerah dan Masyarakat Perbatasan
Terminologi yang digunakan oleh pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Timur
tentang daerah perbatasan adalah daerah yang terletak di sepanjang perbatasan antara negara
Republik Indonesia dan negara Malaysia (Mubyarto 1991: 106). Analog dengan itu,
pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Barat mengklasifikasikan daerah perbatasan menjadi
dua bagian. Pertama, daerah perbatasan lini I, yaitu daerah yang langsung berhadapan dan
melekat pada tapal batas dengan Sarawak (Malaysia Timur). Kedua, daerah perbatasan lini
II, yaitu daerah yang secara tidak langsung berhadapan dengan wilayah Sarawak, akan tetapi
masih terkena pengaruh langsung sebagai akibat berbatasan dengan Sarawak. Kalimantan
Barat dan Kalimantan Timur merupakan dua propinsi di Indonesia yang berbatasan dengan
negara Malaysia khususnya Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah) (Anonim, 1996).
Entikong, yang menjadi daerah kajian dalam tulisan ini termasuk daerah perbatasan
7
lini I. Daerah ini langsung berhadapan dan melekat pada tapal batas dengan Sarawak.
Bahkan, Entikong merupakan satu-satunya daerah yang dilalui jalan tembus antar negara,
yaitu Kota Kuching (Sarawak) dan Kota Pontianak (Kalimantan Barat). Tidak jauh dari garis
perbatasan Sarawak dan Kalimantan Barat, masing-masing negara telah membangun Pos
Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). PPLB Indonesia dibangun di Entikong dan PPLB
Malaysia dibangun di Tebedu. PPLB beroperasi sejak 1 Oktober 1989 dengan waktu operasi
mulai pukul 05.00 Wib sampai 17.00 Wib.
Daerah perbatasan Entikong relatif lebih maju daripada daerah perbatasan daratan
lain yang berada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Daerah Entikong sudah
dilengkapi oleh berbagai fasilitas untuk mendukung tumbuhnya sebuah kota, seperti
terminal, warung telpon, hotel, pertokoan dan tempat karaoke. Fasilitas yang mendukung
terlaksananya pemerintahan juga sudah memadai seperti kantor karantina, imigrasi, bea dan
cukai.
Masyarakat perbatasan adalah masyarakat yang berada di daerah perbatasan.
Mengikuti terminologi daerah perbatasan, masyarakat perbatasan ini secara langsung
terpengaruh dengan adanya daerah perbatasan. Oleh karena itu, masyarakat perbatasan tidak
saja terdiri dari masyarakat lokal, tetapi juga masyarakat pendatang yang sudah bertempat
tinggal di daerah tersebut atau pun mereka yang sekedar mencari nafkah di daerah
perbatasan.
Aktivitas ekonomi masyarakat perbatasan tidak homogen seperti yang terjadi di
desa-desa yang berada di Kalbar, apalagi yang terletak di pedalaman. Selain usaha di bidang
pertanian baik pertanian ladang, sawah, perkebunan, kehutanan dan peternakan, masyarakat
perbatasan di Entikong sudah banyak yang melakukan aktivitas perdagangan, jasa dan
kegiatan di sektor informal lain. Masyarakat lokal lebih banyak bekerja sebagai petani
karena mereka memiliki lahan pertanian. Pekerjaan sambilan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal adalah menjadi kuli angkat barang bawaan pelintas dan bongkar muat
barang dari / ke dalam truk.
Penduduk pendatang umumnya tidak memiliki lahan pertanian. Oleh karena itu,
mereka lebih banyak bergerak di bidang perdagangan, jasa penukaran uang, jasa pengisian
blanko bepergian ke luar negeri dan sektor informal lainnya. Untuk melakukan aktivitas
8
perdagangan, awalnya mereka ditampung atau membuka usaha di pertokoan Entikong.
Tetapi, seiring dengan terjadinya krisis ekonomi, tempat baru untuk berdagang pun muncul
yang disebut dengan "pasar kaget".6 Terjadinya krisis ekonomi dan hadirnya "pasar kaget"
semakin menggairahkan usaha ekonomi di atas. Hasil penelitian Sugesti (1999: 22) mencatat
bahwa dari 45 responden yang berdagang di "pasar kaget", sejumlah 19 orang berasal dari
Pontianak, 9 orang Jawa Barat, 7 orang Sumatera dan 10 orang tidak disebutkan secara
eksplisit tetapi juga berasal dari luar Entikong.
4. Krisis Ekonomi dan "Berkah" Tersembunyi
Ada ungkapan dari masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan yang kadang
membuat orang yang merasakan dampak negatif akibat krisis menjadi "jengkel", yaitu:
"mudah-mudahan krisis ekonomi ini terus berlanjut". Mengapa ungkapan seperti itu muncul,
apakah karena mereka tidak mempunyai nasionalisme oleh karena dibalik keprihatinan
bangsa yang mengalami krisis justru mereka menginginkan krisis ekonomi terus berlanjut.
Kalau kita perhatikan dampak pembangunan selama pemerintahan orde baru, orang-
orang yang diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi yang "katanya" relatif tinggi hanya
segelintir orang. Tidak sedikit dari mereka ini adalah orang-orang yang dekat dengan
penguasa. Sementara itu, mereka yang jauh dari pusat kekuasaan hanya sedikit saja atau
bahkan tidak pernah memperoleh manfaat dari hasil pertumbuhan ekonomi tersebut.
Kondisi sekarang adalah hal yang sebaliknya. Mereka yang dulu diuntungkan kini
harus berhadapan dengan realitas yang diakibatkan oleh krisis ekonomi, seperti hutang yang
bertumpuk sebagai dampak merosotnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, banyak
perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan tidak sedikit di antara pengusaha yang harus
berhadapan dengan pengadilan untuk dugaan tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan.
Sebaliknya, masyarakat yang dulu dipinggirkan, sebagian di antaranya justru mendapat
"berkah" yang tersembunyi (blessing in disguise) pada kondisi krisis ekonomi seperti ini. Di
bawah ini akan diuraikan tentang "berkah" yang diterima oleh masyarakat perbatasan dibalik
krisis ekonomi yang terjadi dilihat dari aktivitas ekonomi yang mereka lakukan. Secara garis
6 "Pasar kaget " adalah pasar yang hadir secara mendadak tanpa suatu perencanaan sebagai akibat krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Penjelasan tentang aktivitas di "pasar kaget" lihat pada subpoin 3.2.
9
besar, ada tiga kegiatan ekonomi yang akan disoroti berikut ini; yaitu kegiatan di sektor
pertanian, sektor perdagangan dan sektor informal lainnya.
3.1. Sektor Pertanian
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan hidup dari hasil
pertanian. Lahan pertanian yang mereka miliki relatif luas. Sistem pertanian yang mereka
lakukan di samping ada yang mempertahankan tradisi berladang berpindah, mereka juga
sudah menerapkan berladang menetap. Selain itu, sekitar tahun 1970'an, dengan penyuluhan
yang dilakukan oleh pemerintah, di antara mereka sudah ada yang mengolah lahan basah
(sawah) dengan sistem irigasi masih tradisional.
Jenis hasil pertanian dari ketiga sistem pertanian itu beraneka ragam. Akan tetapi
yang paling menonjol berasal dari tanaman keras seperti karet, kakao, rambutan dan durian.
Di samping produk tanaman keras tersebut, akhir-akhir ini tanaman lada menjadi tanaman
yang sangat menguntungkan petani. Hal itu tidak terlepas dari krisis ekonomi yang tengah
terjadi di Tanah Air. Padahal, sekitar tahun 80-an jenis tanaman ini sempat ditinggalkan.
Tentu saja, para petani memiliki pertimbangan ekonomi dalam mengelola lahan
pertaniannya. Pertanian lada yang ditinggalkan tahun 80-an itu akibat harga lada yang sangat
rendah, yaitu sekitar 500 rupiah per kilogramnya (Indrawasih, dkk., 1996). Tingkat harga itu
tidak saja dialami oleh petani di daerah perbatasan, juga daerah-daerah lain di tanah air. Ada
dugaan bahwa penurunan harga tersebut berkaitan dengan menurunnya harga lada di tingkat
internasional sebagai konsekuensi dari supply melebihi jumlah yang diminta oleh pasar.
Sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran dalam teori ekonomi, apabila jumlah
barang yang ditawarkan melebihi jumlah permintaan, hal itu mengakibatkan harga
keseimbangan akan turun.
Pada tingkat harga 500 rupiah itu, para petani sudah tidak memperoleh keuntungan.
Justru, kalau usaha menanam lada tersebut diteruskan maka petani akan mengalami
kerugian. Sebab, biaya yang dikeluarkan untuk memelihara tanaman lada lebih besar
dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil panen lada. Pada waktu harga
lada tidak berpihak kepada petani, petani di daerah perbatasan menggantinya denga jenis
tanaman karet dan kakao.
10
Seiring dengan terjadinya krisis, pola tanam petani juga ikut berubah. Kalau tahun
80-an tanaman lada disia-siakan, maka ketika krisis berlangsung, jenis tanaman lada menjadi
primadona bahkan mendominasi hasil pertanian mereka. Hal itu tampak dari banyaknya
tanaman lada yang tumbuh di sekitar tempat tinggal penduduk baik lada yang baru tumbuh
maupun yang sudah menghasilkan. Tanaman lada itu tertata rapi menghiasi pekarangan
rumah penduduk sehingga enak dipandang mata.
Kecenderungan maraknya penduduk menanam lada oleh karena harga lada yang
mendapat booming pada saat krisis ekonomi terjadi, yakni mencapai 100 ribu rupiah untuk
setiap kilogramnya. Harga yang relatif tinggi itu dapat mereka peroleh secara utuh. Para
petani tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk memasarkannya. Daerah
pemasaran lada ada di depan mata, yang jaraknya tidak lebih dari 10 kilometer sehingga
biaya angkutnya pun relatif rendah. Daerah pemasaran yang dimaksud adalah Sarawak yang
berbatasan dengan Entikong. Dalam tempo dua hari setelah lada dipetik dan dijemur hingga
kering sudah menjadi uang. Biasanya petani menggunakan sepeda motor untuk mengangkut
hasil tanaman ladanya melalui pintu perbatasan yang dibuka dari jam 05.00 WIB sampai
dengan 17.00 WIB. Menurut pengakuan informan, para cukong lada sudah menunggu di
Sarawak, sehingga lada dalam jumlah besar pun akan tetap terjual.
Para petani lebih tertarik menjual lada ke Sarawak daripada kota-kota di Kalimantan
Barat. Selain jaraknya yang relatif dekat, mata uang yang diterima oleh petani adalah ringgit
Malaysia. Akibat fluktuasi nilai dollar AS yang tidak stabil, hal itu secara otomatis
berpengaruh ke nilai mata uang asing lainnya, termasuk ringgit Malaysia. Dengan demikian,
petani masih dimungkinkan untuk memperoleh keuntungan dari selisih kurs yang berlaku.
Hasil dari pertanian lada inilah yang sangat berperan untuk mengangkat tingkat
kesejahteraan petani di daerah perbatasan.
Keadaan sebaliknya justru dialami oleh harga tanaman karet. Pada saat krisis ini,
tanaman karet ditinggalkan oleh petani di daerah perbatasan. Selain harga karet rendah,
daerah pemasarannya juga sangat sulit. Karet Indonesia kurang mendapat pasaran di
Malaysia sehingga pemasarannya harus jauh ke Pontianak. Dengan jarak yang begitu jauh
(lebih kurang 300 kilometer) akan mengakibatkan tingginya biaya transportasi untuk
mengangkut karet tersebut. Hal itu akan semakin mengurangi pendapatan petani.
11
3.2. Sektor Perdagangan
Aktivitas perdagangan masyarakat Entikong dilakukan di dua tempat, yaitu “pasar
kaget” dan pusat pertokoan Entikong. Pusat pertokoan Entikong berada di antara
pemukiman penduduk. "Pasar kaget" mengambil lokasi di areal Pos Pemeriksaan Lintas
Batas (PPLB), jaraknya kurang lebih lima kilometer dari pusat pertokoan Entikong.
“Pasar kaget” dapat disebut sebagai pendatang baru akibat krisis ekonomi yang
dialami oleh bangsa Indonesia sejak tahun 1997. Padahal, merujuk pada aturan yang ada,
areal PPLB seharusnya steril dari kegiatan lain di luar kegiatan pos seperti yang tampak
pada areal PPLB Malaysia. Artinya, di areal PPLB tidak diperkenankan kegiatan-
kegiatan lain selain kegiatan pos itu sendiri. Akan tetapi dalam implementasinya, aturan
tersebut tidak dapat ditegakkan secara optimal. Sebelum "pasar kaget" diformalkan, para
pedagang justru berkeliaran menawarkan dagangannya di areal PPLB bahkan ke dalam
pos yang berakibat terganggunya kegiatan pos. Melihat aktivitas perdagangan yang tidak
teratur dan kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami krisis, hal itu menjadi dilema
bagi pengelola PPLB. Jika para pedagang yang berkeliaran itu ditertibkan, mereka tidak
mempunyai sumber penghasilan untuk membiayai hidupnya. Sebaliknya, kalau mereka
dibiarkan akan menggangu aktivitas pos. Akhirnya pengelola PPLB memformalkan
kehadiran para pedagang untuk berjualan di sekitar areal PPLB dengan membangun kios-
kios yang kemudian dikenal dengan "pasar kaget".
Jumlah pedagang yang berjualan di “pasar kaget” mencapai 200 pedagang, dan
mereka ini berasal dari berbagai daerah seperti Bandung, Tangerang, dan Pontianak.
Adapun barang-barang yang diperjualbelikan didominasi oleh alat keperluan sehari-hari,
misalnya sepatu, peralatan rumah tangga, kosmetik, ambal dan mainan anak-anak.
Barang-barang tersebut didatangkan dari Pontianak dan kota-kota besar lainnya, baik
yang di supply oleh pemasok maupun yang didatangkan oleh pedagang sendiri, misalnya,
sepatu Cibaduyut Bandung. Pembeli yang diharapkan oleh pedagang di “pasar kaget” ini
adalah warga negara Malaysia, kendati tidak menutup kemungkinan penduduk Entikong
sendiri untuk berbelanja di “pasar kaget” tersebut.
Ada dua alasan mengapa warga negara Malaysia bersedia berbelanja di “pasar
12
kaget”. Pertama, harga barang-barang yang di jual di “pasar kaget” relatif lebih murah
dibandingkan dengan harga barang yang dijual di Malaysia. Hal itu akibat krisis ekonomi
yang terjadi di negara Indonesia yang mengakibatkan merosotnya nilai rupiah terhadap
mata uang asing tidak saja dollar Amerika Serikat, juga ringgit Malaysia. Oleh karena
patokan harga yang dipergunakan di “pasar kaget” adalah rupiah, maka dengan sejumlah
ringgit tertentu warga Malasya sudah dapat membeli barang dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan bila uang tersebut dibelanjakan di negara Malaysia. Kualitas
barang yang dijual di "pasar kaget" pun sama atau tidak jauh berbeda dengan barang
yang dijual di Malaysia.
Kedua, warga negara Malaysia yang berbelanja di “pasar kaget” tidak harus
menggunakan pas lintas batas (PLB) ataupun paspor. Hal itu sesuai dengan kesepakatan
tentang lintas batas yang pernah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia
sebelumnya. Warga negara baik Indonesia maupun Malaysia bebas dari kewajiban
menggunakan pas lintas batas ataupun paspor di areal PPLB. Kebetulan, “pasar kaget”
berada di areal PPLB sehingga warga negara Malaysia bebas berbelanja di dalamnya.
Lain halnya dengan warga negara yang keluar dari areal PPLB, maka yang bersangkutan
diwajibkan menggunakan PLB bagi warga negara yang memiliki Kartu Tanda Penduduk
(KTP) daerah perbatasan ataupun paspor bagi warga negara yang bukan pemilik KTP
daerah perbatasan.
Kalau "pasar kaget" mengambil tempat di areal PPLB, pusat pertokoan Entikong
berada di antara pemukiman penduduk Entikong yang letaknya sekitar 5 kilometer dari
areal PPLB. Pertokoan Entikong bentuknya lebih permanen berupa rumah toko (ruko).
Jumlah pedagang di pertokoan Entikong relatif banyak dan umumnya adalah pendatang.
Aktivitas perdagangan di pusat pertokoan ini dimulai pada pagi hari hingga malam hari.
Jenis barang yang diperjualbelikan hampir sama dengan jenis barang yang dijual di
“pasar kaget”. Barang-barang tersebut ada yang di pasok dari Pontianak dan Pulau Jawa,
sama seperti yang di “pasar kaget”. Menurut informan, pedagang yang berjualan di
“pasar kaget” adalah juga pemilik usaha di pertokoan Entikong.
Sejak krisis ekonomi yang dibarengi dengan hadirnya “pasar kaget” di areal
PPLB membuat pengunjung di pertokoan Entikong relatif sepi. Mengapa tidak? Barang-
13
barang yang dipasarkan di pertokoan Entikong maupun di “pasar kaget” adalah sama.
Selain itu, pengunjung warga negara Malaysia yang ingin berbelanja di pertokoan
Entikong harus direpotkan dengan persoalan birokrasi. Bagi warga negara Malaysia yang
berbelanja di pertokoan Entikong harus memiliki syarat keimigrasian seperti PLB dan
paspor. Padahal, sebelum “pasar kaget” beroperasi, pasar Entikong selalu ramai dengan
pengunjung dari Malaysia baik untuk berbelanja maupun sekedar berjalan-jalan,
khususnya pada hari Sabtu dan Minggu atau hari libur lainnya. Pada saat itu, yang
berkunjung ke pertokoan Entikong tidak saja warga negara Malaysia yang beretnis
Melayu termasuk juga etnis China. Melihat fenomena ini, pedagang di pasar Entikong
sejak krisis dan sejak diformalkannya "pasar kaget" di areal PPLB turut mengembangkan
usahanya di "pasar kaget" tersebut.
3.2. Sektor Informal Lain
Selain aktivitas perdagangan barang, jenis usaha pertukaran uang (money change)
juga bermunculan sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Jumlahnya mencapai 40
orang, padahal luas areal PPLB tidak lebih dari satu hektar. Hal itu menunjukkan bahwa
areal PPLB berpotensi untuk kegiatan yang satu ini.
Penukar uang ini berasal dari luar Entikong, seperti Batak dan Melayu-Pontianak.
Informan yang bermukim di Sanggau mengemukakan; sebelum berprofesi sebagai
penukar uang di Entikong, mereka ini bekerja di terminal Sanggau, baik sebagai
kondektur mobil angkutan maupun calo penumpang. Mereka ini beralih menjadi penukar
uang bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Fluktuasi rupiah yang
tidak stabil terhadap mata uang asing mereka lihat sebagai peluang ekonomi yang dapat
diraih. Modal yang dibutuhkan untuk ikut dalam kegiatan inipun tidak berjumlah besar
sejalan dengan volume pertukaran uang yang dilakukan.
Cara penukaran uang yang dilakukan oleh para penukar uang ini adalah dengan
"jemput bola". Artinya, para pedagang ini aktif mencari dan menawarkan uang untuk
ditukar baik ke dalam mata uang ringgit ataupun rupiah kepada hampir seluruh pelintas
di areal PPLB. Bagi calon penukar uang yang tidak ingin repot dan uang yang hendak
ditukar tidak terlalu banyak, mereka cenderung memilih penukaran uang yang tidak
14
resmi ini. Lain halnya dengan penukar uang atau money changer resmi, mereka ini
menunggu calon penukar uang yang mendatangi mereka di tempat yang sudah
disediakan. Dampak kehadiran para penukar uang di areal PPLB di samping
bermanfaat positif juga berdampak negatif. Manfaat positifnya ada dua. Pertama,
pelayanan yang diberikan oleh para penukar uang kepada masyarakat yang ingin
menukarkan uangnya relatif cepat. Masyarakat yang membutuhkan jasa penukar uang ini
dapat melakukan penukaran uang sambil berjalan. Kedua, aktivitas penukaran uang
mampu menyediakan lapangan kerja baru di saat pemerintah mengalami kesulitan
menciptakan lapangan kerja akibat dampak krisis. Sedangkan sisi negatifnya adalah
aktivitas mereka dapat mengganggu kenyamanan para pelintas batas. Sebab, dalam
melakukan aktivitasnya para penukar uang menyerbu orang-orang yang baru turun dari
bis di areal PPLB. Mereka berusaha dengan gayanya untuk mempengaruhi pelintas agar
bersedia menukar uang, padahal tidak semua pelintas ingin didekati oleh penukar uang
dengan berbagai alasan.
Kurs yang berlaku di areal PPLB sama dengan nilai kurs yang berlaku pada saat
itu. Nilai kurs diketahui dari siaran televisi. Nilai tukar yang menjadi patokan adalah
dollar AS, baru kemudian dikonversikan terhadap ringgit Malaysia. Cara menghitungnya
adalah sebagai berikut. Misalnya, kurs yang berlaku pada hari itu adalah US$ 1 = Rp
9.200. Sementara itu, kurs ringgit Malaysia terhadap dollar AS adalah tetap 3,8 untuk
setiap satu dollar. Nilai tersebut adalah tetap karena Malaysia menganut sistem nilai kurs
tetap bukan seperti Indonesia yang menganut sistem nilai kurs mengambang. Maka, nilai
satu ringgit Malaysia adalah Rp 9.200/RM 3,8 = Rp 2.421.
Keuntungan yang diperoleh para penukar uang ini adalah selisih kurs jual dengan
beli. Oleh karena itu, para penukar uang akan berusaha untuk mendapatkan ringgit
sebanyak-banyaknya. Ringgit tersebut diperoleh dari mereka yang keluar Malaysia.
Ringgit itu tidak untuk dipegang dalam waktu yang lama. Pada hari itu pun mereka akan
berusaha menjual ringgit tersebut untuk mendapatkan rupiah. Kalau tidak, dengan nilai
rupiah yang belum stabil, maka ringgit yang tidak terjual pada hari itu nilainya dapat
turun atau naik pada esok harinya. Kalau nilai tukar ringgit naik maka hal itu tidak
menjadi masalah bagi penukar uang, justru mereka akan memperoleh keuntungan.
15
Sebaliknya, jika nilai ringgit turun, para penukar uang yang tidak cepat menukar
ringgitnya akan mengalami kerugian, sebab harga jual ringgit lebih rendah daripada
harga belinya.
Banyaknya penukar uang jalanan yang beroperasi di areal PPLB membuat bank
tidak mampu bersaing. Kurs yang berlaku di bank sudah ditetapkan dari pusat, artinya
nilai kurs tidak dapat diubah oleh pihak bank setempat. Sementara itu, para penukar uang
jalanan ini dapat membeli ringgit pada harga yang lebih tinggi (ada tawar menawar) bila
uang yang hendak ditukar dalam jumlah besar. Misalnya, kurs yang berlaku pada hari itu
adalah Rp 2.200 / RM.1. Penukar uang jalanan ini membelinya dengan harga Rp 2.250,-.
Kesanggupan penukar uang jalanan ini membeli ringgit di atas kurs yang berlaku
membuat kantor bank hengkang dari areal PPLB. Seorang informan menyebutkan bahwa
dibalik kesanggupan menukar uang di atas kurs yang berlaku, ternyata dibalik itu
terdapat "permainan" yang merugikan pihak lain. Kalau tidak demikian, menukar uang
ringgit di atas kurs yang berlaku dan kembali menukarnya di bawah kurs yang berlaku,
secara logika, penukar uang tersebut akan mengalami kerugian. Tetapi dengan trik di luar
sepengetahuan orang yang ingin menukar uang, kalkulator yang digunakan untuk
menghitung sudah "dikerjain" sebelumnya. Akibatnya, jumlah perhitungan antara
banyaknya uang yang ditukar dengan kurs yang berlaku pada saat itu akan lebih kecil
dari jumlah yang seharusnya. Oleh karena angka yang ditekan dalam kalkulator adalah
benar, tentu saja orang yang menukarkan uangnya tidak curiga. Kelengahan itulah yang
dimanfaatkan oleh para penukar uang tradisional ini sehingga masuk akal apabila mereka
mampu menawarkan kurs di atas kurs yang berlaku.
Selain kegiatan penukaran uang, mereka yang bekerja sebagai kuli angkut barang
pelintas juga ketiban rezeki dengan terjadinya krisis ekonomi. Areal PPLB selalu ramai
oleh pelintas yang berjalan kaki baik yang sengaja berbelanja di areal PPLB ataupun
pelintas yang tidak menggunakan kenderaan pribadi dan bis penumpang. Barang-barang
bawaan para pelintas pejalan kaki inilah yang diangkut oleh para kuli dari satu PPLB ke
PPLB yang lain yang jaraknya tidak lebih dari 300 meter. Mereka yang bekerja sebagai
kuli angkut barang ini adalah warga negara Indonesia mulai dari anak-anak yang masih
sekolah dan orang dewasa. Upah yang mereka terima untuk mengangkut barang dari satu
16
pos ke pos lain antara 5 s.d. 10 ringgit, atau sekitar 20 ribu s.d. 40 ribu rupiah. Biasanya
mata uang yang menjadi patokan adalah ringgit Malaysia, baru kemudian dikonversikan
ke dalam rupiah Indonesia.
4. Makna Krisis bagi Masyarakat Perbatasan
Masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan pada zaman krisis ekonomi sudah
lumrah untuk menggunakan mata uang ganda dalam bertransaksi, bahkan tidak sedikit di
antara pedagang yang menentukan harga barang dagangannya dalam bentuk mata uang
ringgit, Malaysia. Fenomena itu baru terjadi sejak krisis ekonomi melanda Bangsa
Indonesia pada medio tahun 1997, walaupun jauh sebelumnya penduduk di daerah
perbatasan tersebut sudah mengenal ringgit dalam bertransaksi. Hal itu mengingat bahwa
antara kedua warga negara yang berbeda tersebut sudah sering terjadi kontak dagang, di
samping letak kedua wilayah yang berdekatan. Oleh karena itu, alat pembayaran terhadap
barang yang dibeli dapat menggunakan mata uang rupiah ataupun ringgit, tergantung
kesepakatan antara pembeli dengan penjual. Kalau pembayaran dilakukan dengan
menggunakan ringgit, maka rupiah tersebut harus terlebih dahulu dikonversikan terhadap
mata uang ringgit sesuai kurs yang berlaku pada saat itu. Transaksi yang menggunakan
ringgit sebagai patokan tidak saja dalam jual beli barang tetapi juga transaksi di bidang
lain. Misalnya, upah kuli untuk mengangkat barang bawaan pelintas dari PPLB yang satu
ke PPLB yang lain dengan jarak kurang lebih 300 meter antara 5 s.d. 10 ringgit .
Bergesernya mata uang yang digunakan untuk menentukan tingkat harga
komoditi dan jasa dari mata uang rupiah ke mata uang ringgit karena dua hal. Pertama,
krisis ekonomi yang melanda Indonesia membuat nilai mata uang rupiah tidak stabil
terhadap seluruh mata uang asing, termasuk dengan ringgit Malaysia. Kedua, masyarakat
perbatasan menganggap bahwa bertransaksi dengan menggunakan mata uang ringgit
lebih menguntungkan. Letak keuntungannya dibalik gonjang-ganjing rupiah maka mata
uang ringgit yang dipegang oleh seseorang apabila dikonversikan terhadap rupiah akan
memperoleh keuntungan. Sebab penurunan nilai rupiah terhadap dollar AS, juga diikuti
penurunan rupiah terhadap mata uang ringgit. Sebaliknya, naiknya nilai rupiah terhadap
dollar AS akan diikuti oleh naiknya nilai rupiah terhadap mata uang ringgit.
17
Kecenderungan melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing itu
dimanfaatkan oleh para pedagang di daerah perbatasan dalam menetukan jenis mata uang
yang digunakan untuk bertransaksi.
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang disayangkan oleh sebagian besar
rakyat Indonesia akibat implikasi negatif yang ditimbulkannya terhadap tatanan
perekonomian nasional, sangat ironis dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat di
daerah perbatasan. Kalau masyarakat Indonesia banyak yang "menjerit" akibat
lumpuhnya perekonomian nasional, maka krisis ekonomi adalah "berkah" bagi sebagian
masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Sebab, dengan adanya krisis ekonomi
mereka dapat memperoleh keuntungan dari bencana nasional itu. Keuntungan yang
diperoleh oleh pelaku ekonomi di daerah perbatasan adalah akibat dari nilai kurs rupiah
yang cenderung melemah. Oleh karena krisis ekonomi membawa "berkah" bagi mereka,
maka secara individu masyarakat di daerah perbatasan menginginkan agar krisis tersebut
terus berlangsung.
Sebagai perbandingan bagaimana masyarakat diuntungkan oleh adanya krisis
ekonomi di daerah perbatasan tidak di Entikong saja. Ongkos ojek dari Desa Jagoi ke
kampung Sarikin7 yang jaraknya tidak lebih dari empat kilometer adalah sepuluh ringgit,
atau jika dikonversikan ke dalam rupiah lebih kurang dua puluh ribu rupiah. Jumlah uang
dalam rupiah itu akan semakin meningkat jika nilai uang rupiah terus merosot terhadap
mata uang dollar AS. Sementara itu, ongkos ojek dari pemukiman transmigran yang
berlokasi di Desa Kumba--masuk dalam Kecamatan Jagoi Babang--ke Desa Jagoi yang
berjarak kurang lebih 30 kilometer hanya sepuluh ribu rupiah. Artinya, ongkos ojek yang
jarak tempuhnya 30 kilometer hanya setengah dari ongkos ojek antara Desa Jagoi dan
Kampung Sarikin.
Penduduk yang tinggal di daerah perbatasan tidak melewatkan "berkah" dari
krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia. Di antara mereka banyak yang
tampil sebagai pedagang musiman atau pedagang yang ada hanya pada saat krisis saja,
seperti yang dilakukan oleh salah seorang ibu rumah tangga yang bersuamikan kepala
7 Desa Jagoi dan Serikin adalah suatu desa dan kampung di daerah perbatasan Kalimantan Barat (Kabupaten Bengkayang) dengan Malaysia Timur (Sarawak).
18
sekolah di salah satu Sekolah Dasar (SD) yang berada di Kecamatan Seluas (Jarak Seluas
dengan garis batas Indonesia-Sarawak adalah 18 kilometer). Ibu ini aktivitas
kesehariannya adalah petani. Namum, pada saat krisis ekonomi terjadi (1999), ketika itu
RM1 = Rp 3.000 - Rp 4.000 ibu ini menjadi salah seorang pedagang musiman tersebut.
Ibu ini membeli barang keperluan sehari-hari dari pasar Seluas dalam harga rupiah.
Barang-barang tersebut kemudian dibawa ke Serikin untuk dijual kembali ke warga
negara Malaysia. Keuntungan yang diperoleh dalam bentuk uang rupiah menjadi berkali
lipat. Contohnya, harga sebuah t-shirt yang dibelinya di pasar Seluas adalah Rp 20.000.
T-Shirt tersebut dijual oleh ibu ini di pasar Serikin seharga RM 20. Harga tersebut oleh
warga Malaysia dengan tingkat pendapatan yang relatif tinggi masih tergolong murah,
padahal kalau dikonversikan terhadap rupiah dengan nilai kurs di atas, keuntungan yang
dapat diperolehnya berkisar Rp 40.000 s.d. Rp 60.000 per potong.
Anggapan bahwa barang-barang yang didatangkan dari Indonesia tergolong
murah walaupun harga tersebut sudah dinaikkan sampai tiga kali lipat menjadi peluang
usaha bagi penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan. Hal itulah yang
mengakibatkan banyak masyarakat perbatasan menjadi pedagang musiman sehingga
pasar Serikin penuh dengan manusia baik dari Indonesia yang bertindak sebagai penjual
maupun warga negara Malaysia sebagai pembeli. Pada saat itu, hal yang wajar apabila
para pedagang musiman ini mampu memperoleh keuntungan hingga Rp 500.000 per hari.
5. Penutup
Bencana bagi masyarakat yang berada dalam satu wilayah tertentu ataupun yang
melakukan aktivitas ekonomi di sektor tertentu belum tentu bencana bagi masyarakat yang
berada di wilayah lain atau pun yang melakukan aktivitas ekonomi di sektor lain. Hal itu
barangkali ungkapan yang tepat untuk menggambarkan pengaruh dan respon masyarakat
Indonesia terhadap krisis ekonomi yang tengah terjadi, walaupun secara nasional krisis
ekonomi itu membawa keterpurukan kepada perekonomian nasional. Ungkapan itu lahir
dari penerimaan yang berbeda terhadap krisis ekonomi antara satu wilayah dengan wilayah
lain dan antara satu sektor ekonomi yang satu dengan sektor ekonomi yang lain dalam
negara kesatuan Republik Indonesia.
19
Entikong, sebagai salah satu daerah yang berbatasan dengan negara Malaysia
merupakan daerah yang merespon krisis ekonomi yang berbeda dengan sebagian besar
daerah di tempat lain. Kalau sebagian besar wilayah negara Indonesia mengalami
"kebangkrutan" akibat krisis ekonomi yang tampak dari daya beli masyarakat yang turun
drastis, masyarakat di daerah perbatasan ini justru meraup keuntungan. Krisis ekonomi yang
seharusnya diinginkan agar segera berakhir, masyarakat Entikong justru menginginkan yang
sebaliknya. Krisis ekonomi telah membuat hidup semakin bergairah. Komoditi pertanian,
perkebunan, kehutanan dan keperluan barang sehari-hari yang dijual oleh masyarakat
Entikong ke warganegara Malaysia melalui lintas batas antar negara harganya relatif tinggi.
Hal itu terjadi karena adanya selisih kurs yang sangat tinggi. Komoditi yang dijual oleh
masyarakat di daerah perbatasan apabila dikonversikan terhadap rupiah harganya relatif
tinggi, tetapi jika harga itu dilihat berdasarkan nilai ringgit Malaysia harganya relatif murah.
Bahkan, perbandingan harga antara Indonesia dengan Malaysia terhadap barang yang sama,
tingkat harga di Indonesia jauh lebih murah. Faktor itulah yang mengakibatkan masyarakat
Malaysia bersedia membeli barang-barang Indonesia.
Yang menyebabkan sebagian masyarakat Entikong diuntungkan dengan terjadinya
krisis ekonomi, salah satunya adalah letak Entikong yang berada di daerah perbatasan
dengan fasilitas sarana dan prasarana yang relatif memadai. Artinya, warga Indonesia
ataupun warga Malaysia tidak terlalu sulit untuk mencapai garis perbatasan sebagai titik
pertemuan warga dari kedua bangsa untuk melakukan interaksi. Selain itu, faktor lain dan
yang terpenting adalah tingkat ekonomi warga Malaysia relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat ekonomi warga Indonesia. Di sisi lain, warga negara Indonesia mampu
memberikan komoditi dengan kualitas yang tidak terlalu rendah dan harga yang bersaing
dengan barang-barang yang diperjualbelikan di Malaysia. Tingkat harga barang yang
ditawarkan oleh penduduk perbatasan Entikong itu dilihat dari kaca mata ekonomi Malaysia
jauh lebih murah lagi jika dikaitkan dengan kondisi krisis yang dialami oleh bangsa
Indonesia.
Daftar Pustaka
Adi, Wijaya
20
1999 Krisis Ekonomi dalam Konteks Nasional dan Regional, dalam Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Jilid XXV, No. 1, Jakarta: LIPI.
Anonim 1996 Lokasi Pos Lintas Batas Kalimantan Barat-Sarawak. Azazi, Anwar 2000 Foreign Direct Investment in West Kalimantan Problems, Prospect and
Policy Implication, dalam Michael Leigh (ed.), Borneo 2000: Language, Management and Tourism. Kuching, Sarawak: Universiti Malaysia-Sarawak.
Booth, Anne 2001 Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan, dalam Donald K. Emmerson
(editor), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Gramedia: Jakarta.
Borsuk, Richard 2001 Pasar: Batas-Batas Reformasi, dalam Donald K. Emmerson (editor),
Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: Gramedia.
Hette, Bjorn 1992 Development Theory and the Three Worlds, New York: Longman
Scientific & Technical. Indrawasih, Ratna; dkk 1996 Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Perbatasan Indonesia-
Malaysia: Studi Kasus Desa Entikong-Kalimantan Barat dan Pulau Nunukan-Kalimantan Timur. Jakarta: Seri Penelitian PMB-LIPI.
Mubyarto, dkk. 1991 Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan di Kalimantan Timur.
Yogyakarta: Aditya Media. Sugesti, Nadimin 1999 Profil Pedagang Lintas Batas Entikong (Pasar Kaget). Skripsi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Tanjung Pura, Pontianak. Tambunan, Tulus 1997 Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
21