efektivitas pembinaan terhadap warga binaan...
TRANSCRIPT
i
EFEKTIVITAS PEMBINAAN
TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KLAS IIB KABUPATEN CILACAP
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh :
Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti
E1A007190
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
ii
PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN
PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP
Oleh :
Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti
E1A007190
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal.....................2012
Penguji I/ Pembimbing I Penguji II/ Pembimbing I Penguji III
Haryanto Dwiatmodjo S.H,M.Hum Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H Sunaryo S.H.,M.Hum
NIP.195404261980031004 NIP.196105271987021001 NIP.196409231989011001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr.Angkasa, S.H,M.Hum
NIP. 196409231989011001
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN
PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data
serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, November 2012
Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti.
E1A007190
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
berkah, rahmat, petunjuk, dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Efektivitas Pembinaan Terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan Masa Pidana Penjara Pendek Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIB Kabupaten Cilacap.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah guna memenuhi salah satu persyaratan
menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
Melalui skripsi ini penulis menyadari besarnya bantuan dari berbagai pihak
dan penulis selayaknya menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada :
1. Allah SWT, atas segala rahmat dan kemudahan yang telah diberikan;
2. Bapak Dr.Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
3. Bapak Haryanto Dwiatmodjo, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I
yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini;
4. Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
v
5. Bapak Sunaryo, S.H.,M.Hum., selaku dosen penguji yang telah
memberikan penilaian dan masukkan saran perbaikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;
6. Bapak Supriyanto, S.H, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan dukungan dan nasehat kepada penulis dari awal perkuliahan
hingga sekarang;
7. Kedua orang tua, yang tak ternilai pengorbanannya dan tak pernah
berhenti memberikan dukungan dan doanya, serta kakak-kakak tersayang
yang memberikan bantuan dan dukungannya bagi penulis;
8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Hanya keikhlasan doa dan untaian kata terima kasih yang penulis dapat
sampaikan, semoga kebaikan kalian semua akan dibalas dengan kebaikan yang
berlipat oleh Allah SWT. Tiada gading yang tak retak, dengan segala kerendahan hati
penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis sangat menghargai dan mengharapkan saran demi perbaikan skripsi
ini. Penulis berharap semoga hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana.
Purwokerto, November 2012
Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Thanks to......
My Beloved family :
Luvly Mom and Dad (Alm),,beribu kata maaf dan terima kasih dari ade ga
akan sanggup mengganti semua kasih sayang kalian untuk ade,,terutama Mamah
u’re my Hero, my Wonder Woman n my Inspiration. Semua pengorbanan dan
perjuangan mamah untuk ade dan kluarga ga pernah akan ada tandingannya. Sabar ,
Ikhlas , Mandiri, dan Pantang Menyerah itu yang selalu Mamah ajarkan terapkan di
hati ade, dan semua adalah salah satu yang mendorong ade dapat menyelesaikan
Skripsi ini. Maaf banget ya mah, sampai detik ini ade masih nyusahin Mamah. Sabar
ya Mah sampai nanti ade bisa ngebales semua pengorbanan dan perjuangan Mamah.
Untuk (Alm) Papah di Surga, walau singkat keberadaan Papah buat nyayangin dan
ngedidik ade,tapi semua ajaran dan didikan Papah dulu masih slalu ade inget,dan
bener2 ngebantu ade hingga saat ini. Pokoknya Luv U All dimana dan kapanpun
kalian berada.
Luvly Brothers n Sisters Mas Ari, Mba Uli, Mas Ririn, Mba Nurul, Mas
Gofur,n My Brother in law Raja Segaran yang jauh-jauh disana, makasih banyak
juga buat semua sayangnya ke ade, walau kadang saling nyebelin dan nyusahin tapi
gimanapun kalian tetep Saudara tersayang yang ade punya.
My best friends, my 2’nd Family :
Mamih icha, mba nia n kisty sahabat dari jaman SMA,,kalian semua keluarga
pertama aq di Purwokerto,sekarang giliran aq yg ingin sukses kaya kalian
semua..hehe Miss u all of you soo much..
Girls Of f14,,, Mamih Uphie Palupi S.S my sister dikosan yang paling baiiiiiiikkk
(tapi polahnya msh kaya bocah) dan dia yang paling banyaak aq repotiinn karena
semuaa kekurangankuuu selama kost d F14, makasih banget dah warisin kertas buat
ngeprint skripsi sampe skripsi aq selese, hehe.. thanks a lot for everything n anything
mih.. Mamaaahh Winiiee Widya S.E,, wlo awal pindah kosaan juteeeekk bgt ma aq
karna provokasi pihak tak bertanggung jawab akhirnya semua bisa clear,dan saat aq
mati2an ngejar nyelesein Skripsi, kamu dah banyak ngebantuu juga, makasih buat
pinjeman kendaraannya buat bolak balik kampus dan penelitian ke Cilacap ya mam,,
hehe.. Dyah Mira E, S.H (JoeMira), Mbull (Niken), MbaDetol (Dita), Lilay (Lily),
Dindong (Dini), Luthe, Nila, dan CengiLuse (Mey), kalian semua adalah pelengkap
keluarga kedua aq disini, belajar menyayangi, berbagi, sabar dan ikhlas dalam suatu
persahabatan dan bermasyarakat bisa aq dapet selama tinggal bersama kalian, dan aq
bakal kangeeeeennn bgt kalian semua saat aq pindaah dr F14 besok.
vii
Bascoommm… Bundoooh Yan Desiana S.H , Mpok Esty Setiawati S.H, Sulistya
Enenk S.H n Noviitarini Nophe S.ip,, walo aq yang paling trakhir kenal kalian,,tpi
semua seru saat-saat kita bersama..kalian kluarga Rock n Roll dah pkknya,,!!
Erlina Puspa Induun my best friend,my best sister,my best rival dan my best
Partner on Unsoed Basket Ball Team,,jadi musuh tiap Faculty Cup,,Hukum VS
Ekonomi musuh bebuyutan slalu,,haha..banyak hal yg terjadi selama kita temenan,
seneng bareng, sedih bareng, sama2 sakit hati, gila-gilaan, diem2an, kompakan
sekompak2nya, udah pernah kita lewati selama 4,5 tahun lebih ini, tapi finally tetep
aja ga bisaa benci , marah beneran, dan menjauh jdi musuh,,brasa dh sodara banget
yg sering ribut,, hahaha.. makasih buat semua dan maaf klo ada salah yg blm bisa km
maafin, hehe.. buruan lulus jugaa yaa,, kan dah janji mau foto sama bola basket di
Lap.Soemarjto pas Wisuda, bertiga sama BIGMAN Unsoed yg paling Tembem si
Dewi Wulaaanbabii,hahaha,, SUKSES buat kita semua..amiiiiinn..!!!!!!
Dwi Haryoko,Trisna Indra Saputra n’ maulana muhamad akbar
S.Psi thank you so much for all your help, care and patience while accompanying me
at the time,, learned a lot from you, about patience and sincerity..:)
All of my friends n the others:
Friends in Faculty of Law..temen2 angkatan 2007 klas B, Novira Sapii temen
pertama saat pertama kuliah di kelas baru, Linaa Lele n’ Ayu Beoo,,gr2 mrekaa aq
punya panggilan “Pandaa” dikampus smpai skrg,,,haha Ofutgas maupun anak
angkatan lain yang kenal aku, makasiii yaaaa kalian udah bantu aku selama aku
kuliah di fakultas hukum UNSOED, dari pertama kali aku masuk sampe skrg aku
lulus .
Basketball teammates in that team Unsoed Basket Ball Team n IUS Basket Ball,,
semua yang pernah mau bekerja sama dalam tim Basket yang paling aku SUKA dan
menjalankan organisasi bersama aku ucapkan banyak terima kasih dan maaf kalau
ada salah2 yaaa..especially My ExCoach Andri Kurniawan S.Ip,, who has taught
me about the discipline!!! One more, my Junior my Lil Sister, Dahlya Sekartadji
makasiih udaah bantuiin seminar kmrn yaahh,,hehe lanjutkan perjuangan IBB n UBB
UNSOED selanjutnyaaa,, (^,^)p
Friends of KKN Banteran.. Dewi, Tami, Lia, Ade, Ridho, Via, Faris n Tomi,,
makasii kalian uda jdi temen, sahabat, dan keluarga aku selama KKN, tanpa klian
mgkn KKN jadi sepi dan mgkn aku ga betah di selama KKN.
viii
And the other........yang ga bs aku sebutin satu per satu, termasuk aa’ rental, mas-mas
fotocopyan dan orang-orang yang uda bantu aku selama aku kuliah di Fakultas
Hukum Unsoed,, makasiiii,makasiiih,,n makaasiiih semuanyaaaaa........
Special thanks to: Sandy Oscar… the weirdest ever in my life, the most amusing, but often angered,
who already taught me to care about each other in between a "differences". The
sacrifice and your hard work to help me finish my college, made me very, very
precious.. and now I could only always been praying for your success of later as a
sense of gratitude for all the your sacrifices during the this time .. God Bless You..
Thanks a lot and I love you all.. God bless us whenever and wherever we’re we are,,
ix
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul "Efektivitas Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan
Masa Pidana Penjara Jangka Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Cilacap".
Skripsi ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan serta penggunaan
pidana penjara jangka pendek dalam sistem pemidanaan dan kemudian mengetengahkan alternatif pemikiran sehubungan dengan eksistensi pidana penjara jangka pendek dalam
pembaharuan hukum pidana. Hal ini didasarkan oleh pengalaman empiris yang tampaknya
untuk menunjukkan pembinaan untuk tahanan hukuman jangka pendek atau narapidana tidak efektif. pidana penjara jangka pendek adalah hukuman yang diberikan kepada seseorang atas
tindak pidana yang dia lakukan, dengan hukuman di bawah 1 (satu) tahun (kurang dan atau
sama dengan satu tahun).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dirumuskan bahwa ada 2 masalah dalam hal ini,masalah tersebut adalah: bagaimana pelaksanaan pembinaan untuk narapidana pidana
penjara jangka pendek agar dapat mencapai tujuan pemidanaan serta menganalisa faktor apa
saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan untuk narapidana masa pidana penjara jangka pendek. Analisis ini dirumuskan dari penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis-
yuridis. Data yang diambil adalah data primer yang berasal dari sumber daya petugas penjara
dan narapidana (napi) dengan pidana penjara jangka pendek. Selain data primer, terdapat data sekunder yang digunakan. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan teori hukum pidana dan
pemidanaan.
Pembinaan untuk narapidana masa pidana penjara jangka pendek yang didasarkan
pada peraturan pemerintah No 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan membimbing narapidana penjara sebagai pola pelatihan umum ternyata tidak efektif sebagai tujuan
pelatihan narapidana. Hal ini mengingat waktu hukuman singkat sehingga program
pembinaan tidak bisa mendapatkan banyak keuntungan. Di sisi lain, hal itu menyebabkan implikasi negatif bagi narapidana dalam bentuk keterasingan dan stigma.
Berdasarkan hal itu, dapat disarankan hal beberapa sebagai berikut. Pertama, untuk
mendukung keberhasilan pembinaan bagi narapidana pidana penjara jangka pendek dalam penjara membutuhkan pengaturan khusus, metode pelatihan dan proses interaksi dengan
masyarakat. Kedua, perlu menelaah kembali penggunaan hukuman penjara jangka pendek
sebagai hukuman dengan mempertimbangkan implikasi negatif terutama bagi pelaku. Jika
tidak ada kebutuhan untuk memberikan hukuman jangka pendek, penulis menyarankan penggunaan pidana denda. Ketiga, peran masyarakat dalam pembinaan pemasyarakatan
narapidana dengan hukuman pidana penjara jangka pendek, lebih ditekankan untuk
memaksimalkan proses pelatihan dalam mencapai tujuan hukuman. Keempat, membangun penjara khusus untuk narapidana hukuman penjara jangka pendek, sehingga dalam
penempatan antara narapidana hukuman jangka pendek dan narapidana dengan hukuman
lebih dari satu tahun dapat dipisahkan. Kelima, kebutuhan peraturan dan hukum yang
mengatur pola pelatihan bagi narapidana hukuman jangka pendek sehingga petugas dapat lebih efektif dalam melakukan pelatihan.
Kata kunci: efektivitas, pembinaan, narapidana, jangka pendek.
x
ABSTRACT
This thesis entitled "Development Effectiveness On Prisoner Short Periode
Of Criminal Prison in Prison District Class IIB Cilacap", this paper is intended to
gain an overview of the implementation and the use of short-term imprisonment in the
system and then presents the alternative punishment of thought with respect to the
existence of long imprisonment short in criminal law reform. This is based by the
empirical experience which seems to show the training for short term punishment
prisoner or inmate not effective. Short term punishment is a punishment which is
given to a person for a what he did, which receives judge or court sentence with
punishment under 1 (one) year (less and or equal to a year).
Based on the things mentioned above, so it is formulated that there are 2
problems in the these, they are : how do the training for short term punishment
inmate achieve the aim of punishment and what factors obstruct the training
application for short term punishment inmate. The analysis is formulated by first,
making research by using the sosiological-yuridical approach. The data taken is
primary data which comes from resources of penitentiary officers and inmate
(prisoner) with short term punishment. Beside primary data, the secondary data is
used. The data collected are analyzed by criminal law theory and criminology.
The training for short term punishment inmate which based on government
regulation No. 31 in 1999 about the training and guiding of penitentiary inmate as a
general training pattern turns out to be ineffective the aim of inmate training. This is
considering the short punishment time so that the training program can not get many
advantages. On the other side, it causes negative implications for the inmate in the
form of alienation and stigmatisasion.
Based on it, it can be suggested few thing as follows. First, to support the
success of the training for the short term punishment inmate in penitentiary needs a
special arrangement, training method and interaction process with the society.
Second, it needs to be reanalyze the use of short term jail punishment as a
punishment by considering the negative implication especially for the does. If there is
no need to give short term punishment, the writer suggests the use of conditional
punishment and social work punishment. Third, the role of society in penitentiary
inmate training with short term punishment, is more emphasized to maximize training
process in achieving punishment aim. Fourth, build a penitentiary specialized for
short term punishment penitentiary inmate, so that in the placement between the short
term punishment inmate and the inmate with punishment more than a year can be
separated. Fifth, the needs of regulation and law which organize the training pattern
for the short term punishment inmate so that the officer can be more effective in
conducting the training.
Key words : effectiveness, development, inmate, short term.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN.................................................................................... iii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... vi
ABSTRAK........................................................................................................... ix
ABSTRACT........................................................................................................... x
DAFTAR ISI........................................................................................................ xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….... 1
B. Perumusan Masalah………………………………………………... 11
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 11
D. Kegunaan Penelitian……………………………………………….. 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Efektivitas Hukum............................................................................ 13
1. Pengertian Efektivitas Hukum....................................................... 13
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum................ 15
xii
B. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan……………………... 20
1. Pengertian pembinaan……………………………………….... 20
2. Wujud pembinaan ……………………………………………. 30
C. Narapidana dan Masa Pidana Pendek…………………………….. 37
1. Pengertian Narapidana……………………………………………. 37
2. Pengertian masa pidana penjara pendek………………………….. 39
D. Pengertian pidana dan pemidanaan, Tujuan dan Kebijakan
Pemidanaan………………………………………………………….. 41
1. Pengertian Pidana……………………………………………....... 41
2. Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan………………………………. 51
BAB. III METODE PENELITIAN………………………………………. 55
A. Metode Penelitian……………………………………………………. 55
B. Spesifikasi Penelitian……………………………………………….… 55
C. Lokasi Penelitian……………………………………………………... 56
D. Jenis dan Sumber Data……………………………………………….. 56
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………........ 56
F. Metode Penyajian Data………………………………………………. 58
G. Metode Analisis Data……………………………………………........ 58
BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………...... 60
A. Hasil Penelitian………………………………………………….......... 60
1. Data Sekunder……………………………………………………….... 60
a. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap....... 60
xiii
b. Ketentuan Pelaksanaan Pembinaan……………………………….. 83
c. Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Penjara Pendek……... 89
2. Data Primer………………………………………………………….... 92
B. Pembahasan…………………………………………………………... 102
1. Efektivitas Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Masa Pidana
Penjara Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap………………………………………………………….. 103
2. Faktor – faktor Penghambat Pembinaan Terhadap Warga Binaan
Pidana Penjara Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap………………………………………………………...... 119
BAB. V PENUTUP………………………………………………………….. 129
A. Simpulan…………………………………………………………….. 129
B. Saran……………………………………………………………........ 131
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....... 134
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Hukum Pidana yang dikembangkan dewasa ini,masih lebih
banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana daripada
sanksi pidana.1Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh
norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh
isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi. Selama ini yang banyak
dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum
pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana,
yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana, yang pada dasarnya
terletak di luar bidang pidana dan sistem pemidanaan.
Pertentangan pendapat antara para ahli mengenai pentingnya pidana
inilah yang harus dicari penyelesainnya, antara lain dapat dilakukan dengan
mengadakan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
masalah pidana dan pemidanaan sebagai salah satu masalah pokok dalam ilmu
hukum pidana tidak dapat dianggap lagi sebagai “anak tiri dari ilmu hukum
pidana”. Persoalan tentang pemberian pidana serta pelaksanaan pidana serta
pelaksanaan pidana , tidak hanya berkaitan dengan hukum acara pidana saja,
1 J.E Sahetapy, 1982, Ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana, Disertasi di
Universitas Airlangga (1978), Rajawali, Jakarta, , hal.1.
2
tetapi juga hukum pelaksanaan pidana. Akibatnya, masalah pidana penjara
dan pelaksanaannya dapat menjadi ruang lingkup telaah hukum pidana.2
Mempelajari tingkah laku manusia sebagai gejala sosial secara
empiris, dipandang tidak termasuk bidang ilmu hukum, antara lain oleh
madzhab ilmu hukum analitis. Ajaran madzhab ilmu hukum sosiologis telah
membekali pandangan tentang hukum yang tidak hanya terbatas pada hukum
yang dogmatis. Hukum mempunyai aspek tingkah laku manusia, sehingga
hukum merupakan gejala sosial yang dapat diteliti secara empiris.3
Sistem Pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual
dan historis berbeda dengan yang berlaku dalam Sistem Kepenjaraan. Sistem
Pemasyarakatan menempatkan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai subjek
dan dipandang sebagai pribadi, warga biasa serta dihadapi bukan dengan latar
belakang pembalasan tetapi menganut asas pembinaan serta bimbingan.
Perbedaan sistem tersebut, memberi implikasi pada perbedaan dalam cara-
cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai.
Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara merupakan
salah satu bagian dari sistem peradilan pidana ( criminal justice system) ,
mempunyai posisi yang sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir
sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi social pelanggar
2 Sudarto, 1981, ”Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan”, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 78. 3 Moeljanto, 1983, Asas Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal . 14
3
hukum, bahkan sampai penanggulangan kejahatan, di mana penilaian terhadap
Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara ditentukan oleh hasil
pembinaan yang dilakukan oleh lembaga tersebut lebih mengarah kepada
keberhasilan atau kegagalan. Di Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan
Negara inilah proses pembinaan dan bimbingan narapidana berlangsung di
bawah pengelolaan aparat atau petugas pemasyarakatan khususnya
Departemen Kehakiman pada umumnya. Pembinaan pun dilakukan dengan
mendasarkan pada peraturan undang-undang.
Pembinaan Narapidana merupakan persiapan terhadap Narapidana
agar dapat melakukan proses berintegrasi terhadap masyarakat, hingga dapat
berperan kembali menjadi anggota masyarakat yang bebas bertanggung
jawab. Pembinaan Narapidana di Indonesia dewasa ini dikenal dengan nama
pemasyarakatan yang mana istilah penjara telah di ubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat
jahat melalui pendidikan. Seseorang yang melakukan tindak pidana akan
mendapatkan ganjaran berupa hukuman pidana, jenis dan beratnya hukuman
pidana itu sesuai dengan sifat perbuatan yang telah ditentukan oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Orang-orang yang dikenakan hukuman atas pebuatannya lazim disebut
dengan narapidana. Para narapidana akan ditempatkan pada suatu tempat
tertentu yakni di Lembaga Permasyarakatan yang dulu dikenal dengan istilah
penjara. Dunia penjara bukan merupakan dunia kehidupan para tahanan dan
4
penjahat yang baru lahir, melainkan lembah hitam ini sudah dikenal manusia
sejak berabad-abad tahun lalu, dapat terbukti dengan sistem penjara demikian
sudah ada sewaktu masa pemerintahan Romawi Kuno. Hal ini di cetuskan
oleh Saharjo, pada tahun 1963 yang menyatakan:
" ….Di bawah pohon beringin yang telah kami tetapkan untuk menjadi
penyuluh dalam petugas untuk memperlakukan narapidana agar
bertaubat juga mendidik agar supaya ia menjadi anggota masyarakat
yang pancasialis dan berguna. Jadi tujuan penjara itu adalah
pemasyarakatan.”.4
Sistem Pemasyarakatan yaitu suatu sistem pembinaan yang pada
dasarnya bertitik tolak pada pandangan bahwa sekalipun narapidana sebagai
orang hukuman yang di batasi kebebasannya, akan tetapi narapidana tetap
sebagai manusia yang pada hakekatnya memiliki harkat dan martabat
sekalipun sebagai anggota masyarakat Indonesia. Sistem Pemasyarakatan
yang berlaku dewasa ini secara konseptual dan historis sangatlah berbeda
dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Azas yang dianut dalam
Sistem Pemasyarakatan menempatkan Narapidana sebagai subjek dan
dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapkan bukan
dengan latar belakang pembalasan, tetapi dengan pembinaan dan bimbingan.
Perbedaan dua sistem tersebut memberikan implikasi pada perbedaan dalam
4 R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979 , “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan
Pemnbinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.
5
cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan disebabkan tujuan yang
ingin dicapai.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan
pemasyarakatan harus ditingkatkan melalui pendekatan persuasif dan
pendekatan pembinaan mental, dasar dan tujuan pokok bimbingan penyuluhan
agama adalah pemulihan harga diri Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai
pribadi dan warga negara yang meyakini dirinya masih memiliki potensi
produktif bagi pembangunan bangsa. Untuk itu, Warga Binaan
Pemasyarakatan dididik (dilatih) guna menguasai berbagai pembinaan
keterampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan berguna bagi
pembangunan.
Pembinaan bagi Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan /
Rumah Tahanan Negara bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi
Narapidana dalam menghadapi kehidupan setelah bebas dari masa hukuman.
Istilah Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara muncul sebagai
ganti dari istilah pejara. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Prayudha dkk,
sebagai berikut;
Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara tidak terlepas dari sebuah
dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi
Narapidana dalam menghadapi kehidupan setelah bebas dari masa
hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya,
perisitilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi
pemasyarakatan. Tentang istilah lahirnya Lembaga Pemasyarakatan /
Rumah Tahanan Negara dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu
untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini
6
dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H yang menjabat Menteri
Kehakiman RI pada saat itu.5
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap
para pelanggar hukum dan sebagai pengejawantahan keadilan yang bertujuan
untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara
Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Sistem Pemasyarakatan
dalam perkembangan selanjutnya mulai dilaksanakan dengan ditopang oleh
UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang – undang
Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem
pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, Hamid Awaludin
mengatakan:
Pemasyarakatan adalah suatu system yang dilakukan oleh Negara
kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang
menyadari kesalahannya.6
Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki
diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan
di dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara bukan sekedar
untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses
5 Andre Dicky Prayudha dan Anna Maria Ayu.. 2008, Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai
Wadah Pembinaan Narapidana ( Sebuah Tinjauan berdasarkan Konsep menurut Rahardjo, S.H)..
6 Diakses melalui www.depkumham.go.id
7
pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri
serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
Proses pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan akan lebih
baik lagi, karena warga binaan mendapat pengayoman dan pembinaan dalam
arti mereka dibina untuk menjadi warga masyarakat yang baik, sejalan dengan
butir pertama dari Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan, yaitu :
“Ayomi dan berikan kepada mereka bekal hidup sebagai warga yang
berguna di dalam masyarakat”.7
Tujuan pembinaan bukan pembalasan atau penjeraan tetapi suatu
proses perlakukan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam rangka
mendapatkan pembinaan agar dapat menjadi manusia seutuhnya sebagai
layaknya warga negara lain.
Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan meliputi segala upaya yang
dilakukan oleh petugas pemasyarakatan untuk mengembalikan Warga Binaan
yang sementara hidupnya tersesat agar dapat diterima kembali di tengah
masyarakat. Pembinaan terhadap Warga Binaan yang dilaksanakan dalam
berbagai bentuk kegiatan, pada hakekatnya mengandung maksud dan tujuan
membentuk sikap dan kepribadian manusia seutuhnya.
7 R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979 , “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan
Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.
8
Secara umum pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan bertujuan
agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya sebagai yang telah menjadi
arah pembangunan nasional melalui pendekatan :
1. Memantapkan iman (ketahanan mental) mereka;
2. Membina agar mereka mampu berintegrasi secara wajar di dalam
kehidupan kelompok selama dalam Lembaga Pemasyarakatan /
Rumah Tahanan Negara dan kehidupan yang lebih luas
(masyarakat) setelah selesai menjalani pidananya.8
Secara khusus pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan bertujuan
agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalani pidananya :
1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya
serta bersikap optimis akan masa depannya;
2. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk
bekal, mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam
pembangunan nasional;
3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin
dalam sikap dan perilakunya yang tertib dan disiplin serta mampu
menggalang rasa kesetiakawanan social;
8 S . Hartoyo, “Pemasyarakatan dan tanggapan masyarakat”, Majalah Bina Taruna Warga, No. 11
Nopember 1997, hal. 6.
9
4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa
dan negara. 9
Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjalani pidana dalam
Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara, berdasarkan jangka
waktu lamanya pidana penjara yang dijatuhkan dapat dibedakan menjadi
narapidana dengan masa pidana penjara jangka panjang dan narapidana
dengan masa pidana penjara jangka pendek. Masa pidana jangka panjang
adalah suatu pidana penjara yang dijatuhkan atau diberikan kepada seorang
terpidana dengan masa pidana di atas 1 (satu) tahun.
Menurut Schaftmister, masa pidana penjara jangka pendek adalah
suatu pidana yang dijatuhkan atau diberikan kepada seseorang atas
perbuatannya yang telah mendapatkan keputusan hakim atau pengadilan
dengan pidana penjara dibawah 1 (satu) tahun (kurang dan atau sama dengan
satu tahun).10
Golongan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masa pidana
dibawah 1 (satu) tahun di Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara
secara administratif digolongkan pada beberapa register, yaitu :
1. Register B.I, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana lebih
dari 1 (satu) tahun.
2. Register B.IIa, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana
lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun.
9 “Romli Atmasasmita, 1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, Hal : 19. 10
Schaftmister , 1979. Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang.
10
3. Register B.IIb, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana
lebih dari 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) bulan.
4. Register B.III, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana
kurungan termasuk pidana pengganti denda.
Penggolongan yang demikian oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah
Tahanan Negara juga dapat dijadikan acuan untuk menyusun program
pembinaan, terkait juga dengan proses dan pentahapan pembinaan Warga
Binaan, yaitu : Maximum Security, Medium Security, dan Minimum
Security.11
Memperhatikan hal tersebut untuk Warga Binaan yang mendapatkan
pidana penjara lebih dari satu tahun (B.I) dapat melewati dan menjalani
pembinaan secara bertahap dan teratur untuk mendapatkan pembinaan yang
optimal karena dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, tentu akan lebih
memudahkan untuk menentukan kapan warga binaan beralih dari suatu tahap
ke tahap berikutnya dan menentukan bentuk pembinaan apa yang tepat,
sedangkan pembinaan terhadap Warga Binaan masa pidana pendek yang
kurang dari 1 (satu) tahun atau golongan B.IIa dan B.IIb tidak sepenuhnya
dapat menjalani proses pentahapan pembinaan dan pembimbingan, sehingga
tujuan pembinaan sulit untuk diwujudkan.
11
Departemen Kehakiman RI, 1990, Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Jakarta.
11
Untuk itu penulis membahas dan meneliti secara langsung dari
beberapa Warga Binaan dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap. Berdasarkan hal
tersebut, maka penulis tertarik memaparkan dalam skripsi yang berjudul
“EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN
PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI
LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN
CILACAP”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan
masa pidana penjara pendek dalam sistem pelaksanaan pemidanaan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap?
2. Faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan pembinaan terhadap
warga binaan masa pidana penjara pendek di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Kabupaten Cilacap?
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa
pidana penjara pendek dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan
pembinaan terhadap pidana penjara pendek.
12
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi perkembangan
sistem pemidanaan dan menambah wawasan serta pengetahuan tentang
Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara bagi penulis
dan pembaca.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan penetapan
kebijakan dan strategi pemasyarakatan di lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara khususnya dalam menangani
warga binaan masa pidana penjara pendek yang berorientasi pada tujuan
pemidanaan.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Efektivitas Hukum
1. Pengertian Efektivitas Hukum
Kata efektivitas banyak dilontarkan oleh para ahli hukum khususnya
aliran sosiologi, istilah tersebut didasarkan atas suatu pemikiran para ahli
yang memang mempunyai dasar tersendiri yang tumbuh menjadi teori, yang
kemudian teori-teori ini akan digunakan sebagai pisau analisis untuk
membahas suatu permasalahan. Kata efektivitas berarti :
“ Ada efeknya (Akibat, pengaruhnya, kesannya); manjur atau
mujarab (tentang obat, obat itu ternyata cukup efektiv
mengurangi rasa sakit); dapat membawa hasil; berhasil guna
(tentang usaha, tindakan); hal mulai berlakunya (tentang
undang-undang,peraturan).”12
Efektivitas menurut Soerjono Soekanto adalah :
“ Efektivitas hukum banyak sekali menyangkut warga
masyarakat sebagai subyek atau pemegang peranan. Hukum
menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh
subyek hukum dan hukum akan semakin efektif apabila
peranan yang dijalankan oleh para subyek hukum semakin
mendekati apa yang telah ditentukan dalam hukum.”13
12 Pusat Bahasa, 2003, Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, hal 284. 13 Suprianto, 2008, Efektivitas Pelaksanaan Asimilasi Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman hal. 11.
14
Menurut A. Emerson, efektivitas adalah :
“ Pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Jelas bila sasaran atau tujuan
telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya
adalah efektif. “14
Subekti, menambahkan bahwa :
“ Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam
pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan pada rakyatnya. Ditambahkan hukum juga
melayani tujuan negara tersebut dengan
menyelenggarakan ”keadilan” dan ”ketertiban”, syarat-
syarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran
dan kebahagiaan. Keadilan berasal dari Tuhan Yang
Maha Esa, tetapi manusia diberi kecakapan dan
kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan
yang dinamakan keadilan. Dan segala kejadian di alam
dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-
dasar keadilan itu pada manusia.15
Efektivitas merupakan proses yang bertujuan agar suatu sistem berlaku
efektif. Efektivitas juga diartikan harus memenuhi syarat :
a. Hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis.
b. Penegak hukumnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku,
c. Fasilitas dan prasarana yang mendukung dalam proses penegakan
hukumnya,
d. Kesadaran hukum masyarakat dan warga masyarakatnya mendukung,
14 Astuti Ajie Probo Retno, 2006, Pengaruh Iklim Organisasi & Pembinaan Pegawai
TerhadapEfektivitas Pelayanan Umum di Kantor Kecamatan Banyumas, FISIP UNSOED,
Purwokerto, hal. 17. 15 C.S.T. Kansil. 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
hal, 40 - 41.
15
e. Budaya hukumnya perlu ada syarat yang tersirat.16
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum
Lawrence M Friedman dalam Esmi Warassih 17
, mengemukakan
bahwa setiap sistem hukum mengandung tiga unsur yang mempengaruhi
yaitu:
a. Komponen yang disebut dengan structure of the law (struktur hukum)
merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum;
b. Komponen substance of the law (materi hukum) berupa norma-norma
hukum (peraturan-peraturan, keputusan-keputusan).
c. Komponen hukum yang bersifat kultural atau legal culture (budaya
hukum) dalam sebuah masyarakat.
Untuk memperoleh efektifitas hukum mempunyai hubungan yang erat
dengan usaha-usaha yang dilakukan, agar hukum benar-benar dapat hidup di
masyarakat. Hal ini sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhinya, menurut Soerjono Soekanto18
efektivitas hukum harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis;
b. Penegak hukumnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku;
16 Suryono. 2009 Konsep-Konsep Sosiologi Hukum, Dalam Website
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/sosiologi-hukum-2/sosiologi. 17 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama.
Semarang, , hal. 104-105. 18 Soerjono Soekanto. 1983., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajagarafindo
Persada.Jakarta. hal 7
16
c. Fasilitas dan prasarana yang mendukung dalam proses Penegakan
hukumnya;
d. Kesadaran hukum masyarakat dan warga masyarakatnya mendukung;
e. Budaya hukumnya perlu ada syarat yang tersirat.
Selain itu Paul dan Dias dalam Esmi Warassih 19
mengajukan 5
syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu
pertama sudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan
dipahami, kedua luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang
mengetahui isi aturan hukum yang bersangkutan, ketiga efisien dan efektif
tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum, keempat adanya mekanisme
penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh
setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam
menyelesaikan sengketa, kelima adanya anggapan dan pengakuan yang
merata di kalangan masyarakat bahwa aturan dan pranata hukum itu memang
sesungguhnya berdaya kemampuan efektif.
Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti
membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa
masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang di maksud
berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat; yaitu berlaku
secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis.
Bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut Donald Black, dipengaruhi
19 Esmi Warassih, Op.cit. hal. 104-106.
17
oleh faktor personal (diantaranya adalah pengalaman, pengetahuan, sikap,
perilaku, persepsi, opini, kecerdasan, kepatuhan, kepemimpinan, dan lain-
lain), faktor pemegang peran, faktor pelaksana hukum dan faktor sosial.
Menurut Khairul 20
agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap
tindak atau prilaku, maka diperlukan kondisi tertentu yaitu:
a. Hukum harus dikomunikasikan, tujuannya menciptakan pengertian
bersama, supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi prilaku
warga masyarakat, maka hukum harus disebarkan seluas mungkin
sehingga melembaga dalam masyarakat.
b. Diposisi untuk berperilaku, artinya hal-hal yang menjadi pendorong
bagi manusia untuk berprilaku tertentu.
Ditambahkan oleh Khairul dalam penelitian yang sama menyebutkan
bahwa masalah pokok dari efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat
sebenarnya terletak pada faktor– faktor yang mempengaruhinya yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri.
Faktor hukumnya sendiri yang harus menjadi persyaratan
utama adalah mempunyai cukup kejelasan makna dan arti ketentuan,
tidak adanya kekosongan karena belum ada peraturan pelaksanaanya,
peraturan tersebut sinkron secara vertikal dan horizontal sehingga
mengurangi luasnya interprestasi masyarakat.
20 K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study
Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok), Tersedia pada Website Sumber
http://www.google.co.id.
18
b. Faktor penegak hukum.
Secara sosiologis, antara hukum dan pelaksana hukum
merupakan dua hal yang berbeda hukum termasuk perundang–
undangan dan berbagai azas hukum yang mendasarinya merupakan
suatu yang abstrak, sebaliknya peningkatan hukum merupakan suatu
yang konkret. Penghubung antara yang abstrak dan konkret itu dalam
penegakan hukum adalah penegak hukum..
Secara sosiologis setiap penegak hukum mempunyai
kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan posisi tertentu dalam
struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang atau rendah.
Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-
hak dan kewajiban–kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tadi merupakan peranan. Oleh karena itu maka seseorang
mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang
peranan. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat
atau tidak berbuat sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.
Suatu peranan berfungsi apabila sesorang berhubungan dengan
pihak lain atau dengan beberapa pihak. Peranan tersebut dapat berupa
peranan yang ideal, peranan yang seharusnya dan peranan yang aktual.
Peranan yang seharusnya dari penegak hukum tertentu, telah
dirumuskan dalam undang–undang.
19
c. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan
Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling
berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu
sistem normal dan nilai yang teorganisasi menjadi pegangan bagi
masyarakat tersebut. Faktor masyarakat dan kebudayaan ini
memegang peranan sangat penting, hal ini berkaitan dengan taraf
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Kesadaran
hukum merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan
hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum.
Tingkat kesadaran hukum tercapai apabila masyarakat mematuhi
hukum. Warga masyarakat mematuhi hukum karena:
1) rasa takut pada sanksi negatif sebagai akibat melanggar hukum;
2) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan
lingkungan;
3) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan
penguasa.21
Konsep budaya menurut Linton 22
adalah ” Suatu tatanan pola
perilaku yang dipelajari, diciptakan, serta ditularkan di antara suatu
anggota masyarakat tertentu.”
21
K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study
Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). Tersedia pada Website Sumber
http://www.google.co.id.. 22 Upaya Pelayanan Kesehatan Jiwa.Tersedia dalam Website http//www.depkes.go.id.
20
Hubungan budaya dengan bekerjanya hukum adalah bahwa
kemampuan untuk menempatkan pranata hukum di tengah-tengah sistem
budaya masyarakat. Hukum merupakan simbol dari sistem budaya yakni
adanya kesesuaian antara hukum dan sistem budaya yang ada dalam
masyarakat sebagai nilai-nilai dan sikap-sikap hukum. Dengan demikian
perubahan pada sistem budaya harus diikuti dengan perubahan sistem
hukumnya.
Pemahaman akan konsep budaya, membawa kita pada kesimpulan
bahwa gagasan, perasaan dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya
sangat dipengaruhi oleh budaya yang berlaku di masyarakat. Demikian pula
pergeseran ataupun perubahan pada tatanan budaya dalam suatu masyarakat
akan diiringi dengan perubahan perilaku dari individu yang hidup di
dalamnya. Budaya tercipta sebagai upaya manusia untuk beradaptasi terhadap
masalah-masalah yang timbul dari lingkungan hidupnya. Selanjutnya budaya
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian manusia dalam
kelompoknya. Interaksi keduanya membentuk suatu pola spesifik perilaku,
proses pikir, emosi dan persepsi individu atau kelompok.
B. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
1. Pengertian Pembinaan Masyarakat
Sebelum penerapan sistem pemasyarakatan, sebelumnya
dilaksanakan system kepenjaraan yang mulai berlaku di Indonesia
21
mulai tahun 1917, bertepatan dengan diberlakukannya Gestichen
Reglement ( Peraturan Penjara) Stb. 1917 No. 708 dalam sistem
kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan yang tidak lain
adalah suatu penjeraan, artinya seseorang yang dipidana dibuat jera
atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukannya dengan maksud agar
tidak mengulangi tindak pidana lagi.
Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang
dipidana (Narapidana) dengan cara yang tidak baik, tidak manusiawi
dan masih banyak lagi perlakuan lainnya yang dinilai sangat
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan
dalam sistem kepenjaraan narapidana ditempatkan hanya sebagai
objek yang harus dipekerjakan saja tanpa memperhatikan
eksistensinya sebagai manusia. Seolah-olah keberadaan narapidana di
penjara adalah semata-mata karena wujud dari pembalasan dendam.
Pada sistem kepenjaraan tujuan pembinaan adalah sebagai
penjeraan dengan maksud membuat jera agar tidak melakukan tindak
pidana lagi, sehingga peraturan yang ada di buat keras bahkan sering
tidak manusiawi. Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah:
“ Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan
atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan
kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu yang di akibatkan
oleh putusan hakim”.23
23 Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sisstem Pemasyarakatan. Liberty.
Yogyakarta. hal 125.
22
Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa
waktu yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang
berfalsafah Pancasila, jika di amati sistem kepenjaraan tersebut
terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap
harinya mereka harus ditempatkan dalam sel yang dikelilingi tembok
yang tinggi dengan sistem pengawasan yang sangat ketat. Sistem yang
demikian jelas sangat menghambat proses rehabilitas dan resosialisasi
dari warga binaan, sehingga stigma-stigma terhadap warga binaan sulit
di hilangkan setelah mereka kembali ke masyarakat.
Dalam sistem kepenjaraan dimana narapidana di tempatkan
sebagai objek, mereka di klasifikasikan menjadi beberapa golongan
menurut besar kecilnya masa pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Adapun klasifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Golongan B-I
Golongan B-I adalah narapidana yang dijatuhi pidana di
atas satu tahun.
b. Golongan B-II a
Golongan B-II a adalah narapidana yang dijatuhi pidana
antara empat sampai dua belas bulan.
23
c. Golongan B-II b
Golongan B-II b adalah narapidana yang dijatuhi pidana
antara satu hari sampai tiga bulan.
d. Golongan B-III
Golongan B-III adalah narapidana yang dipidana kurungan
atau pidana kurungan pengganti pidana denda.24
Dari klasifikasi tersebut diatas menunjukkan dengan jelas adanya
perlakuan narapidana yang semata-mata hanya sebagai objek saja, karena
dalam pendekatan yang dilakukan mengelompokkan narapidana dalam suatu
golongan hanya berdasarkan pada besar kecilnya masa pidana tanpa
memperhatikan faktor lain yang menjadi penyebab orang tersebut melakukan
tindak pidana yang pada akhirnya mereka berstatus sebagai narapidana.
Permulaan pembaharuan pidana diawali oleh kritik yang tajam
mengenai keadaan buruk di lingkungan rumah penjara, kemudian meningkat
pada tuntutan perbaikan nasib narapidana berdasar alasan kemanusiaan.
Peningkatan lebih lanjut tertuju pada konsepsi menjauhkan narapidana dari
lingkungan buruk tembok penjara dengan dasar pemikiran bahwa narapidana
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Yasid Effendi dan Kuat
Puji Prayitno, dalam hal ini berpendapat sebagai berikut:
Seiring perkembangan jaman, negara dan masyarakat mulai
memperhatikan juga cara untuk merubah mereka yang dihukum
penjara agar nantinya bisa menjadi warga negara yang baik.
24 Ibid.
24
Pembaharuan pidana tersebut dituntut untuk lebih memperhatikan nilai
humanism yang bersifat universal. Adanya pembaharuan tersebut di
harapkan agar dikemudian hari dapat mencegah dan mengurangi
kejahatan. Menurut Masters, pemidanaan tidak digunakan untuk balas
dendam tetapi untuk pembinaan, yaitu untuk menyembuhkan pelaku
kejahatan dari sakitnya.25
Pembaharuan pidana penjara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
humanism juga dikemukakan oleh Romli Atmasasmita sebagai berikut:
Pemidanaan dengan Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu
pembaharuan pidana penjara yang dinilai mempunyai nilai humanisme
yang lebih bersifat universal. Pemasyarakatan yang berarti
memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga negara
yang baik dan berguna, pada hakekatnya adalah resosialisasi. Menurut
Brim dan Wheeler, resosialisasi digunakan untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam sosialisasi.26
Sistem Pemasyarakatan yang bersifat kemanusiaan menumbuhkan
pemikiran tentang metode baru untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki
penjahat melalui pembinaan sebagai upaya untuk membina narapidana
menjadi manusia yang baik. Bambang Poernomo dalam hal ini berpendapat
sebagai berikut:
Sistem pemasyarakatan merupakan salah satu pilihan pembaharuan
pelaksanaan pidana penjara yang mengandung upaya baru pelaksanaan
pidana penjara dan perlakuan cara baru terrhadap narapidana yang
berlandaskan kemanusiaan yang bersifat universal. Pembaharuan
tersebut menumbuhkan pemikiran tentang metode baru untuk
mencegah kejahatan dan memperbaiki penjahat. Sistem
pemasyarakatan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mewujudkan
upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru
25 Yasid Effendi dan Kuat Puji Prayitno. 2005. Hukum Panitensier Indonesia. Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. hal. 45. 26 Romli Atmasasmita. 1982 op. cit. hal. 45.
25
terhadap narapidana agar hasil pembinaan menjadi manusia yang
baik.27
Pembinaan narapidana dilakukan sejak si terpidana masuk dalam
Lembaga Pemasyarakatan dan secara bertahap dilakukan pembimbingan
lanjutan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosisworo,
yaitu:
Usaha pembinaan terpidana dimulai dari hari pertama ia masuk dalam
lembaga hingga pada saat ia keluar dari lembaga dan setelah itu di
lanjutkan dengan usaha pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan
oleh instansi-instansi pemerintah atau swasta bila diperlukan, dengan
mengingat pribadi tiap-tiap terpidana secara progresif sesuai dengan
cepat atau lambatnya kemajuan sikap, tingkah laku terpidana.28
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan Pasal 1 angka 1 dirumuskan definisi pemasyarakatan sebagai
berikut:
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam
tata peradilan pidana.
Pada Pasal 1 angka 2 dirumuskan mengenai pengertian sistem
pemasyarakatan sebagai berikut:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang di
bina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
27 Bambang Poernomo. 1993. op. cit. hal.ss 20. 28 Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico.
Bandung. hal. 200.
26
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik
antara pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang di bina atau
warga binaan pemasyarakatan dan masyarakat mutlak diperlukan untuk
menyiapkan kembali warga binaan dapat kembali ke masyarakat dan di terima
baik oleh masyarakat.
Di Indonesia istilah pembinaan (treatment) bagi narapidana lebih
dikenal dengan istilah “Pemasyarakatan”. Hal ini disebabkan karena metode
pembinaan (treatment) yang digunakan di Indonesia adalah Sistem
Pemasyarakatan.
Konsepsi Pemasyarakatan ini, bukan semata-mata merumuskan tujuan
dari pidana penjara, melainkan merupakan suatu sistem pembinaan dengan
pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik itu ada pada
individu yang bersangkutan, maupun yang ada ditengah-tengah masyarakat
sebagai suatu keseluruhan.29
Ada dua aspek yang sangat menonjol dalam Sistem Pemasyarakatan :
a. Sebagai pembinaan dari pelaksanaan pidana ( pidana penjara );
b. Sebagai pembinaan yang dikenakan pidana.
29 Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico.
Bandung.
27
Istilah pidana penjara sesungguhnya lebih menuju pada tujuan dari
penjeraan kepada yang dikenakan pidana itu. Yang menjadi masalah sekarang
adalah manakah yang harus mengikuti, apakah lembaga pidananya yang
sudah berusia satu setengah abad ataukah pelaksanaannya yang secara de
facto menyangkut manusia-manusia yang bukan lagi manusia setengah abad
yang lalu.30
Apabila berbicara mengenai usaha-usaha apa yang telah dilaksanakan
dalam penerapan Sistem Pemasyarakatan selama ini maka tidak dapat
dilepaskan dari institusi pelaksanaannya yaitu Direktorat Jenderal Bina Tuna
Warga ( Dirjen. Pemasyarakatan ).
Menurut Keputusan Presiden No. 44 / 45 tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Organisasi Departemen dalam melaksanakan tugasnya Direktorat
Jenderal Bina Tuna Warga dibantu oleh:
a. Direktorat Pemasyarakatan yang bertugas melaksanakan tugas
pembinaan dalam lembaga;
b. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak yang
bertugas dalam lembaga khusus untuk membina anak didik.
Berlandaskan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1985
proses pemasyarakatan dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu :
30
Ibid, Hal : 70
28
a. Tahapan Pertama
Setiap narapidana yang masuk Lembaga Pemasyarakatan / Rumah
Tahanan Negara dilakukan penelitian untuk mengetahui perihal
kejahatan yang dilakukan, sebab-sebab melakukan pelanggaran, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya .
b. Tahap Kedua
Narapidana tersebut yang berada di Lembaga Pemasyarakatan /
Rumah Tahanan Negara sudah menjalani 1/3 masa pidananya dan
menurut Dewan Pembina sudah cukup ada kemajuan, diantaranya
sudah menunjukkan keinsyafan, disiplin dan patuh.
c. Tahapan Ketiga
Proses pembinaan narapidana yang sudah menjalani 1/2 masa pidana
yang sebenarnya menurut Dewan Pembina telah cukup mencapai
kemajuan baik secara fisik maupun mental maka narapidana tersebut
mendapat asimilasi dengan masyarakat luar, antara lain : ikut
beribadah dengan masyarakat luar, olah raga bersama, ikut pendidikan
umum, bekerja diluar dengan pihak ketiga. Akan tetapi, dalam
pelaksanaanya masih tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan
petugas Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara.
29
d. Tahapan Keempat
Jika pembinaan telah menjalani 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau
sekurang-kurangnya 9 bulan maka narapidana yang bersangkutan
dapat diberikan lepas bersyarat.
Berdasarkan proses pemasyarakatan sebagaimana telah diuraikan di
atas maka dapatlah diketengahkan sebagai berikut :
a. Sistem Pemasyarakatan selain mengandung unsur rehabilitasi juga
menitikberatkan pada unsur edukatif;
b. Tujuan memasyarakatkan narapidana berarti :
1) berusaha agar narapidana tidak melanggar hukum lagi ditengah
masyarakat kelak;
2) menjadikan narapidana sebagai peserta aktif dan kreatif dalam
pembangunan;
3) membantu narapidana agar kelak berbahagia dunia akhirat.
c. Berlandaskan pada tujuan pokok di atas maka unsur yang sangat
berperan dalam unsur pemasyarakatan adalah :
1) Petugas;
2) Narapidana;
3) Masyarakat .31
Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan yang lain.
31
Ibid, Hal : 24.
30
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum 32
:
Faktor hukumnya sendiri yang dibatasi oleh Undang-Undang.
a. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun yang menerapkan hukum;
b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum;
c. Faktor masyarakat lingkungan dimana hukum itu berlaku atau
diterapkan;
d. Faktor kebudayaan hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Keempat faktor tersebut di atas saling berkaitan, oleh karena itu
memerlukan esensi penegakkan hukum serta tolak ukur dari pada efektifitas
penegakkan hukum.
2. Wujud Pembinaan
Setiap Warga Binaan Pemasyarakatan wajib mengikuti semua
program pembinaan yang diberikan kepadanya, adapun wujud tersebut
meliputi 33
:
1. Pendidikan umum, misalnya : pemberantasan 3 buta (aksara,
angka, dan bahasa) melalui pelajaran kejar paket A yang
32 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Raja Grafindo
Hal : 5 33
Departemen Kehakiman RI, 1990., Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Jakarta.
31
dilaksanakan oleh warga binaan dengan pengajar pegawai
Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara yang secara
teknis mendapat bimbingan dan pengawasan dari Kantor Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan;
2. Pendidikan ketrampilan, misalnya : menjahit, pertukangan, dan
pertanian;
3. Pembinaan mental spiritual, misalnya : pendidikan agama,
penyuluhan-penyuluhan dan budi pekerti;
4. Sosial budaya, misalnya : kunjungan keluarga, belajar seni musik,
seni suara, dan kesenian lainnya;
5. Kegiatan rekreasi diarahkan pada pemupukan kesehatan jasmani
dan rohani melalui : olah raga, menonton TV, membaca buku atau
surat kabar.
Dalam program pembinaan khususnya terhadap warga binaan
pemasyarakatan dibagi menjadi dua program pembinaan yaitu :
b. Pembinaan kepribadian yang meliputi :
1) Pembinaan Kesadaran Beragama.
Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama
memberi pengertian agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat menyadari
akibat–akibat perbuatan yang benar dan yang salah. Pembinaan kesadaran
beragama dapat dilaksanakan melalui ceramah keagamaan, pendidikan
agama dan memberikan kesempatan kepada narapidana untuk melakukan
32
ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Usaha ini di lakukan
dengan tujuan supaya narapidana mendapat keteguhan iman serta
memberikan pengertian bahwa perbuatan yang telah mereka lakukan
merupakan perbuatan yang harus di jauhi. Dengan mempertebal iman
dan memperbanyak ibadah itu mempunyai beraneka ragam arti bagi
narapidana, antara lain insan manusia berkewajiban menyembah kepada
pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu dengan
mendalamnya iman dan ibadahnya, narapidana dan anak didik dapat
mengendalikan hawa nafsunya, mencintai kebaikan dan membenci
kejahatan. Sehingga narapidana / anak didik menyesali perbuatanya yang
sesat dan selanjutnya akan selalu menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya demi kehidupan di akhirat nanti. Hal ini termasuk
menjauhi pelanggaran-pelangggaran hukum sebagai konsekwensi
kehidupan di dunia, antara lain:
a) Kegiatan penyuluhan rohani meliputi :
i. Ceramah, penyuluhan dan pendidikan agama;
ii. Ceramah, penyuluhan dan pendidikan umum.
b) Untuk keperluan ceramah, penyuluhan dan pendidikan
sebagaimana dimaksud butir (i), dapat diadakan kerjasama
dengan instansi-instansi pemerintah setempat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
33
2) Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara.
Usaha ini dilaksanakan melalui penyuluhan, termasuk menyadarkan
mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik sehingga dapat
berbhakti untuk bangsa dan negara.
3) Pembinaan Kemampuan Intelektual (Kecerdasan)
Setiap narapidana dan anak didik, kecuali yang sedang menjalani
hukuman disiplin oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan
Negara, harus memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan
umum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah
Tahanan Negara. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan umum harus
lebih diutamakan kepada narapidana dan anak didik yang buta huruf
dengan tidak memandang usia. Pendidikan umum bagi narapidana dewasa
disamping pemberantasan buta huruf juga pendidikan Pengetahuan
Umum, Pancasila dan lain-lain untuk menambah kecerdasan /
pengetahuan umum dan kesadaran nasional, kesadaran bernegara hukum
segala sesuatunya diatur dan diselesaikan secara hukum.
Usaha pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara bertujuan supaya
narapidana dapat menjadi warga negara yang baik serta dapat berbakti
kepada bangsa dan negara. Perlu disadarkan pula bahwa berbakti kepada
bangsa dan negara merupakan sebagian iman (taqwa). Pembinaan
kesadaran berbangsa dan bernegara dapat diwujudkan melalui ceramah-
ceramah tentang bela negara dan kecintaan kepada tanah air.Usaha ini
34
diperlukan agar pengetahuan dan kemampuan berfikir Warga Binaan
Pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-
kegiatan positif yang diperlukan selama pembinaan. Pembinaan
intelektual dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan
non-formal.
4) Pembinaan Kesadaran Hukum
Pembinaan kesadaran hukum Warga Binaan Pemasyarakatan dapat
dilakukan dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk
mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota
masyarakat mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut
menegakkan hukum dan keadilan. Perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan
terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada
hukum. Bentuk pembinaan kesadaran hukum ini dapat dilakukan melalui
penyuluhan hukum yang dilaksanakan secara langsung dengan
narapidana sebagai sasaran yang diberikan penyuluhan, sehingga dapat
berdialog dan berkomunikasi secara langsung. Misalnya melalui ceramah,
diskusi, sarasehan, temu wicara, peragaan dan simulasi hukum. Metode
pendekatan yang digunakan adalah dengan metode persuasif, edukatif,
dan komunikatif.
35
5) Pembinaan Olah Raga
Untuk menjaga kondisi kesehatan jasmani, kepada Warga Binaan
Pemasyarakatan diberikan kegiatan olah raga sesuai dengan fasilitas yang
tersedia. Setiap narapidana dan anak didik (kecuali yang sedang sakit atau
menjalani hukuman disiplin) diberikan kesempatan berolah raga baik
sendiri-sendiri maupun terpimpin dengan mengingat keamanan dan
ketertiban baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan /
Rumah Tahanan Negara.
6) Pembinaan Kesenian
Setiap narapidana dan anak didik tanpa terkecuali diperbolehkan
mengikuti kesenian yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan
/ Rumah Tahanan Negara. Kesenian berupa seni suara (menyanyi),
instrumen (band, angklung, gamelan, dan lain-lain), tari atau kesenian
daerah setempat. Kesenian ini diselenggarakan di Lembaga
Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara untuk membentuk budi pekerti
yang halus / tinggi / luhur bagi narapidana dan anak didik serta
mengembangkan bakat-bakat yang sudah ada pada mereka.
7) Pembinaan Mengintegrasikan Diri Pada Masyarakat.
Pembinaan di bidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan
sosial, pemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas warga binaan
mudah diterima kembali oleh masyarakat dilingkungannya. Untuk
mencapai tujuan ini kepada warga binaan selama di Lembaga
36
Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara dibina untuk patuh beribadah
dan dapat melakukan usaha usaha sosial secara gotong-royong, sehingga
pada waktu mereka kembali kepada masyarakat telah memiliki sifat-sifat
positif untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat
dilingkungannya.
c. Pembinaan Kemandirian meliputi :
Pembinaan kemandirian diberikan melalui program–program :
a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri
misalnya, kerajinan industri rumah tangga, reparasi mesin
dan alat-alat elektronik lainnya;
b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil
misalnya : pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian
dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi (pembuatan
sapu, keset, dan lain-lain);
c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai bakat masing-
masing dalam hal ini mereka yang memiliki kemampuan
dibidang seni, diusahakan untuk disalurkan kedalam bakat
guna mengembangkan bakatnya sekaligus mendapatkan
nafkah;
37
d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau
kegiatan pertanian dengan menggunakan tekhnologi madya
misalnya menanam sayur-mayur didalam poliback.
C. Narapidana dan Masa Pidana Pendek
1. Pengertian Narapidana
Narapidana adalah terdakwa yang dalam suatu persidangan di
Pengadilan diputus pidana penjara / kurungan dan putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenal dengan sebutan orang hukuman.
Dalam Pasal 4 Gestichten Reglement, mereka disebut orang terpenjara, maka
dalam hal ini seorang yang dikenakan hukuman kriminal kita sebut
narapidana.34
Namun dalam hal ini petugas juga memberikan pendapatnya
mengenai narapidana, yaitu seseorang yang telah melanggar hukum dan telah
divonis oleh hakim dan ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan /
Rumah Tahanan Negara untuk menjalani pidana. Pada perkembangan
selanjutnya adalah dengan diterapkannya pemidanaan dengan sistem
pemasyarakatan terhadap narapidana. Narapidana adalah anggota masyarakat
yang dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu itu diproses dalam
lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode, dan sistem
pemasyarakatan. Pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi
manusia anggota masyarakat yang baik dan taat hukum. Tujuan dari proses
pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki diri narapidana agar dapat mematuhi
34 R. A. Koesnoen. 1961, Politik Penjara Nasional. Sumur Bandung. Hal : 10.
38
tata tertib yang berlaku tersebur sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita
sebagai berikut:
Orang yang paling berjasa untuk merubah pandangan orang tentang
orang-orang yang terpidana adalah John Howard, yang berpengaruh
terhadap pembaharuan pidana. Ia menggambarkan keadaan yang
paling buruk dari kehidupan orang-orang hukuman di rumah-rumah
penjara. Sejak saat itu orang menghendaki tujuan pidana bukan hanya
untuk membuat jera terdakwa saja, tapi juga memperbaiki diri
narapidana agar dapat mematuhi tata tertib yang berlaku dan kembali
ketengah-tengah masyarakat.35
Dr. Sahardjo dalam pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa
dalam Ilmu Hukum, pada tahun 1963 oleh Universitas Indonesia, telah
menggunakan istilah “nara-pidana” bagi mereka yang telah dijatuhi pidana
“kehilangan kemerdekaan”. Sebelum itu, pada tahun 1961, Mr. R.A.
Koesnoen telah menulis sebagai berikut :
“Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan. Menurut asal-
usul kata penjara berasal dari penjoro (jawa) yang berarti tobat. Dipenjara
berarti dibikin tobat. Menurut politik penjara sekarang yang bertujuan
memperbaiki nara-pidana tidak sesuai lagi, karena tidak dapat seorang
nara-pidana menjadi baik karena dibikin tobat. Menurut pengalaman pun
tidak dapat seorang betul-betul menjadi tobat”. 36
35Romli Atmasasmita. 1982. Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai. Armico. Bandung. hal. 21. 36 R.A Koesnoen, Op.cit Hal : 10.
39
2. Pengertian Masa Pidana Penjara Pendek
Masa pidana jangka pendek adalah suatu pidana penjara yang
dijatuhkan atau diberikan kepada seseorang atas perbuatannya yang telah
mendapatkan keputusan hakim atau pengadilan dengan pidana di bawah 1
(satu) tahun / kurang dan atau sama dengan satu tahun. Pidana penjara jangka
pendek pada dasarnya merupakan dasar perampasan kemerdekaan, atau
merupakan pidana pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 KUHP, hanya
saja pidana penjaranya relative singkat yakni 3 bulan atau di bawah 1 tahun.
Mengingat pidana penjara pendek adalah pidana penjara juga, maka sudah
pasti apabila pidana penjara jangka pendek memiliki seluruh kelemahan yang
ada pada pidana penjara. Tentang hal ini Schaftmister37
mengatakan:
Secara umum bilamana dinyatakan pidana penjara pendek
dibandingkan dengan penjara biasa, maka pidana penjara pendek
memiliki semua kelemahan pidana penjara, tetapi tidak memiliki
aspek positif darinya.
Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan masa pidana pendek
adalah batas waktu yang telah ditetapkan oleh keputusan hakim sebagai batas
maksimum lamanya seseorang menjalani hukuman pidana selama-lamanya 1
(satu) tahun ke bawah.
37 Schaftmister , 1979, Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang, hal.15.
40
Sebagai landasan dalam melaksanakan pembinaan terhadap Warga
Binaan Pemasyarakatan khususnya masa pidana pendek penulis berpedoman
kepada :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 13, 14, 14a s.d f, 15,
16, 17, 19, 23, 24, 25, dan Pasal 29 yang antara lain pasal-pasal tersebut
merumuskan sebagai berikut :
1) Pasal 14 : orang yang dijatuhi pidana penjara wajib menjalankan
pekerjaan yang dijalankan kepadanya menurut aturan yang diadakan
guna pelaksanaan Pasal 29.
2) Pasal 19 ayat (1) : orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib
menjalankan pekerjaan yang diserahkan kepadanya, sesuai dengan
aturan-aturan yang diadakan guna melaksanaan Pasal 29 ayat ( 2 ), ia
diserahi pekerjaan yang lebih ringan dari pada orang-orang yang dijatuhi
pidana.
b. Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdapat pada
Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan Pasal 15. Pasal 5, sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan asas : pengayoman, persamaan perlakuan dan
pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat
manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan,
terjaminnya hak untuk dapat tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 7 ayat
( 1 ) pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan,
dalam ayat ( 2 ) tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 )
41
terdiri atas 3 tahap yaitu pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan,
dan pembinaan tahap akhir.
D. Pengertian Pidana dan Pemidanaan, Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan
1. Pengertian Pidana
Penelaahan tentang pidana dan pemidanaan akan penulis kemukakan
terlebih dahulu dalam bab ini sebagai langkah awal untuk membicarakan
topik selanjutnya tentang pidana penjara dan pelaksanaan pidana penjara yang
meliputi pembinaan narapidana. Hal tersebut didasarkan bahwa pembinaan
narapidana sebagai pelaksanaan pidana penjara adalah merupakan bagian dari
pidana dan pemidanaan.
Pembahasan pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana
sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-
dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan
pemidanaan. Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan
suatu pengenaan derita atau akibat lain yang tidak menyenangkan oleh yang
berwenang terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut
undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan pidana penjara adalah
suatu pidana berupa perampasan kebebasan seseorang untuk bergerak (Pasal 1
(3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
Menurut P.A.F. Lamintang mengemukakan pidana penjara adalah suatu
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang
42
dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga
Pemasyarakatan.
Didalam membicarakan masalah pidana, khususnya dalam perkara
pidana, oleh hakim disinonimkan perkataan “penghukuman” dengan
“pemidanaan” atau “pemberian / penjatuhan pidana”. Menurut Sudarto dalam
hal ini “penghukuman” mempunyai makna yang sama dengan “sentence” atau
veroordeling” misalnya dalam pengertian “sentenced coditionally” atau
“voorwardelic veroordeeled” yang sama artinya dengan “dihukum pidana
bersyarat”. 38
Dari definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil
kesimpulan bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut :
a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tidak menyenangkan :
b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) :
c. pidana itu diberikan kepada yang telah melakukan pidana menurut
undang-undang.39
Sebelum mengetahui tentang tujuan dari hukum pidana itu sendiri ,
akan lebih baik jika diketahui terlebih dahulu fungsi dari hukum pidana. Hal
38 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung, Hal : 7 39 Muladi & Barda Nawawi Arief , 1983, Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia Bahan Kuliah
Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang Hal : 4
43
ini dikarenakan tanpa mengetahui fungsi dari hukum pidana, maka tidak bisa
diketahui apa sebenarnya hukum pidana itu ada.
Hukum dibuat untuk dilaksanakan , yang berarti hukum itu bekerja di
dalam masyarakat atau Negara. Fungsi hukum pidana dapat di bedakan
menjadi 2 (dua) yaitu fungsi umum dan fungsi yang khusus. Fungsi yang
umum dan khusus hukum pidana oleh Sudarto dijelaskan sebagai berikut:
a. Fungsi umum
Fungsi umum dari hukum pidana sama dengan fungsi hukum pada
umumnya, karena hukum pidana merupakan sebagian keseluruhan
lapangan hukum, yaitu mengatur hidup atau menyelenggarakan tata
dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat terjadi hubungan
sosial diantara para anggota masyarakat itu sendiri. Setiap anggota
masyarakat mempunyai kepentingan yang seringkali berlawanan
dengan kepentingan anggota masyarakat lainnya, sehingga seringkali
menimbulkan konflik dan ketidakharmonisan dalam masyarakat,
hukum pidanalah sarana yang diterapkan dalam menyelesaikan konflik
tersebut.
b. Fungsi khusus
Fungsi yang khusus dari hokum pidana adalah melindungi
kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya
dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika
dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam cabang-cabang
44
hukum lainnya. Kepentingan – kepentingan hukum (benda-benda
hukum) ini boleh dari orang seorang daari badan atau kolektiva,
misalnya masyarakat atau Negara. Sanksi yang tajam itu dapat
mengenai harta benda , kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa
seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat
dikatakan, bahwa hukum pidana itu member aturan-aturan untuk
menanggulangi perbuatan jahat.40
Bentuk-bentuk dari adanya sanksi umum dan khusus dari hukum
pidana adalah dengan adanya penjatuhan sanksi. Mengenai penjatuhan sanksi
ini Sudarto menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan)
terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh
ini tidak hanya ada apabila sanksi hukum pidana itu benar-benar
diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada,
karena sudah tercantum dalam perturan hukum (Theorie des
psychischen Zwanges= ajaran paksaan psychis). Sebagai alat “social
control” fungsi hukum pidana adalah subsidier, artinya artinya hukum
pidana hendaknya diadakan , apabila usaha-usaha lain kurang
memadai. Selain daripada itu , karena sanksi hukum pidana adalah
tajam, sehingga berbeda dengan sanksi hukum pada cabang hukum
lainnya, maka hukum pidana harus dianggap sebagai “ultimum
remidium” (obat terakhir) apabila upaya pada cabang hukum lainnya
tidak mempan atau dianggap tidak mempan, oleh karena itu
40 Ibid., hal. 9-10.
45
penggunaannya harus dibatasi, kalau masih ada jalan lain janganlah
mengunakan hukum pidana.41
Berdasarkan apa yang ada diatas dalam perkembangannya dapat
dilihat bermunculan pendapat dari para sarjana tentang apa yang menjadi
tujuan hukum pidana tersebut. Menurut Wirjono Projodikoro tujuan dari
hukum pidana adalah memenuhi rassa keadilan.42
Menurut Tirtamidjaja
yang dikutip oleh Bambang Poernomo, maksud dari hukum pidana ialah
melindungi masyarakat.43
Pada umumnya didalam membuat suatu uraian tentang tujuan hukum
pidana, sebagian penulis hukum pidana tidak mengadakan pemisahan antara
tujuan hukum itu sendiri dengan tujuan diadakannya hukuman atau pidana.
Diantara para sarjana hukum diantarabahwa tujuan hukum pidana adalah:
1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan,
baik secara menakut-nakuti orang banyak ( generale preventive )
maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan
kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi
(speciale preventive ).
41 Ibid., hal. 10 42 Wirjono Projodikoro. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung
.hal.18 43 Bambang Poernomo. 1993, Op. Cit., hal 23.
46
2) Untuk memperbaiki atau mendidik orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang-orang
yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.44
Hukum pidana pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu hukum
pidana formil dan hukum pidana materiil. Pengertian dari kedua hukum
pidana tersebut dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut:
1. Hukum pidana materiil, yang memuat aturan-aturan yang menetapkan
dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang memuat syarat-syarat
untuk dapat menjatuhkan pidana dan mengenai pidana, seperti KUHP.
2. Hukum pidana formil, mengatur bagaimana negara dengan perantara
alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan
hukum pidana. Hukum pidana formil juga disebut hukum pidana.45
Selain pendapat tersebut diatas, beberapa ahli juga memberikan
penjelasan mengenai hukum pidana materii dan pidana formil, sebagaimana
dikutip oleh P.A.F. Lamintang. Sebagai berikut:
a. Van Hamel
Hukum pidana material itu menunjukan asas-asas dan peraturan yang
mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedangkan
44 Wirjono Projodikoro. 2002. Op. Cit., hal. 18 45 Sudarto, 2001. Op. Cit,. hal. 8.
47
pidana formal menunjukan bentuk-bentuk dan jangka waktu yang
mengikat pemberlakuan hukum pidana material.46
b. Van Hattum
Termasuk kedalam hukum pidana material yaitu semua ketentuan dan
peraturan yang menunjukan tentang tindakan-tindakan yang mana
adalah merupakan tinadakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah
orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-
tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
terhadap orang tersebut. Hukum pidana formal memuat peraturan-
peraturan yang mengatur bagaimana hukum pidana material harus
diberlakukan, biasanya disebut juga hukum acara pidana.47
c. Simons
Hukum pidana material memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan
tindak pidana, perturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang
bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari
orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai
hukuman-hukumannya sendiri, jadi ia menentukan bilamana seseorang
itu dapat dihukum dan bilamana hukuman itu dapat dijatuhkan.
Hukum pidana formal itu mengatur bagaimana caranya Negara dengan
perantara alat-alat kekuasaanya menggunakan haknya untuk
46 P.A.F Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hal. 10 47 Ibid., hal. 11.
48
menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat
acara pidana.48
Jenis-jenis pidana pidana berdasarkan rumusan yang terdapat dalam
KUHP sebagai hukum pidana positif di Indonesia , sesuai dengan rumusan
Pasal 10 KUHP yang menentukan :
Pidana terdiri atas:
a. Pidana pokok:
1. Pidana mati,
2. Pidana penjara,
3. Pidana kurungan,
4. Pidana denda,
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan:
1. Pencabutan hak-hak tertentu,
2. Perampasan barang-barang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.
Selain pidana yang disebutkan di atas, dalamhukum pidana positif di
Indonesia, juga diatur atau dikenal juga sanksi pidana lainnya yaitu jenis
sanksi pidana berupa tindakan yaitu:
48 Ibid., hal. 11.
49
a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat di
pertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau
terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP).
b. Bagi anak yang belum berumur 16 (enam belas) tahun yang melakukan
tindak pidana, hakim dapat mengenakan pidana berupa:
1) Pengembalian kepada orang tuanya, walinya, atau
pemeliharanya (Pasal 45 KUHP).
2) Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan pada
pemerintah.49
Dalam bab ini yang akan dibahas adalah Pidana Pemasyarakatan yang
dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan, jadi pidana ini adalah custodial
punishment atau institusional punishment.50
Pidana Pemasyarakatan ini adalah
pidana pengecualian, artinya pidana baru dapat dikenakan apabila ada syarat
yang “ agak luar biasa”. Sifat eksepsionil dari pidana disimpulkan oleh
Sudarto, dari dua hal:
1. Dari penjelasan umum yang menyertai Konsep tersebut yang antara lain
“…sebaiknya pidana pencabutan kemerdekaan, yang berasal dari
pandangan hidup individualis dan melalui weetbook van strafrech
sejak berlaku 1 Januari 1918 berlaku di Indonesia, karena selain tidak
sesuai dengan Pancasila pula karena dalam pelaksanaan menurut
wujud aslinya baik di Negara asal usulnya maupun di Indonesia
menemui kegagalan-kegagalan dalam hendak mencapai tujuannya,
49 P.A.F Lamintang . 1987. Op.Cit,. hal. 69. Pasal 45,46,47 KUHP tidak berlaku lagi sehubung adanya
UU Pengadilan Anak (UU No.3 1997). 50 Djoko Prakoso,S.H. 1984. Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan. Ghalia
Indonesia.
50
ditinggalkan dan diganti dengan pidana baru. Terpidana menurut
pandangan hidup Pancasila adalah individu dan anggota masyarakat
sekaligus, yang hidupnya yang tak dapat diasingkan dari masyarakat.
Pidana pemasyarakatan ini menurut Sudarto, tetap merupakan pidana
pencabutan pidana kemerdekaan, setidaknya pembatasan
kemerdekaan. Kemerdekaan menurut Sudarto diartikan sebagai dapat
berdiri di tempat di mana dan pergi kemana saja yang orang
kehendaki, dan orang yang dijatuhi pidana pidana pemasyarakatan itu
tidak dapat berdiri di tempat atau pergi kemana saja yang ia
kehendaki.
2. Dari ketentuan yang menetapkan syarat kapan pidana pemasyarakatan
itu dapat diajatuhkan, yang mana dalam hal ini menyangkut diri
terpidana yang berhubungan dengan keadaan dan perbuatannya akan
membahayakan masyarakat apabila dalam keadaan bebas, sehingga
untuk pembinaannya perlu diasingkan. Jadi apabila terpidana tidak
membahayakan masyarakat, maka hakim tidak boleh mengenakan
pidana pemasyarakatan.
Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang
dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru,
melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis
abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar
pembenaran atau rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang
melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang
mengaitkan dengan pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan
yang ingin dicapai dengan pemidanaannya itu sendiri.
Dalam rangka sistem pemidanaan, apabila diartikan secara luas maka
dapat dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan
perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan
51
atau dioperasionalkan secara konkrit, sehingga seseorang dijatuhi sanksi.
Pelaksanaan pidana merupakan salah satu mata rantai untuk sampai pada
tujuan pemidanaan. Apabila dilihat dari sudut sistem peradilan pidana, maka
pelaksanaan pidana merupakan salah satu subsistem yang tidak terlepas dari
subsistem lainnya dalam keseluruhan sistem. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya arti pelaksanaan pidana dalam sistem hukum pidana, khususnya
pelaksanaan pidana penjara.
2. Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan
a. Tujuan Pemidanaan
Di atas sudah dibahas tentang pengertian pidana serta teori
pemidanaan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka perlu dikemukakan tentang tujuan pemidanaan di Indonesia
sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum yang erat kaitannya
dengan pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan pembinaan
narapidana sebagai tahap eksekusi dalam penegakkan hukum.
Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah
dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini
adalah KUHP.Untuk mengetahui tujuan pemidanaan dalam KUHP yang
sekarang masih berlaku tampaknya tidak mudah, mengingat dalam KUHP
tersebut tidak secara jelas mencantumkan tujuan pemidanaan.
52
Upaya yang dapat ditempuh guna mengetahui tujuan pemidanaan
tersebut adalah dengan menganalisis terhadap ketentuan-ketentuan lain
maupun dari doktrin yang berkaitan. Tujuan pemidanaan tersebut di atas
tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi di Indonesia sehingga perlu
dirumuskan kembali tujuan pemidanaan yang sesuai dengan masyarakat
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 51
Rumusan di atas oleh Moeljatno dikatakan bahwa dasar unsur pidana
kita lain daripada yang lain. Tujuan pidana itu adalah kompleks, yang dengan
singkat dapat disimpulkan bahwa bukan saja harus dipandang untuk mendidik
terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat yang lainnya
(membimbing) tetapi juga untuk melindungi dan memberi ketenangan bagi
masyarakat (mengayomi).
Definisi tersebut di atas yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan
terlihat bahwa terdapat pergeseran tujuan pemidanaan, dari tujuan pemidanaan
seperti yang terkandung dalam KUHP. Tujuan pemidanaan yang dikehendaki
tidak hanya sebagai pengimbalan semata, namun terkandung adanya tujuan
lain, misalnya kesejahteraan masyarakat atau perbaikan narapidana. Tujuan
pemidanaan selain dilakukan dengan berorientasi ke muka (prospektif) hal
lain terlihat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang
yang lebih baik dan berguna.
51 Sudarto. 1981. Op. Cit,. Hal. 70-71
53
b. Kebijakan Pemidanaan
Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari
perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk
masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Perilaku
menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap
norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial dapat
menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial,
dan merupakan ancaman riil atau potensi bagi berlangsungnya ketertiban
sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah
kemanusiaan, juga merupakan masalah sosial.
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan
penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum
itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau
dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat
bahwa pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak
perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini, pidana merupakan peninggalan
dari kebiadaban kita di masa lalu (a vestige of our savege past) yang
54
seharusnya dihindari. Pendapat ini tampaknya didasarkan pada pandangan
bahwa pidana merupakan tindak perlakuan atau pengenaan penderitaan yang
kejam.
Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi masalah. Berkaitan
dengan hal tersebut, Sudarto berpendapat bahwa apabila hukum pidana
hendak digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik
kriminal atau social defence planning, yang inipun harus merupakan bagian
integral dari rencana pembangunan nasional. 52
52 Sudarto. 1981. Op. Cit,. Hal. 104
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis sosiologis, hukum dipelajari dan diteliti sebagai
suatu studi mengenai law in action. Karena mempelajari dan meneliti
hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga social yang
lain. Studi terhadap law in action merupakan studi ilmu social yang non
doctrinal dan bersifat empiris. Hukum secara empiris merupakan gejala
masyarakat yang dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab yang
menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan social. Selain itu
hukum dapat dipelajari sebagai variable segi kehidupan social. Selain itu
hukum dapat dipelajari sebagai variable akibat yang timbul sebagai hasil akhir
dari berbagai kekuatan dalam proses sosial.53
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
secara deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden dan
informan secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti
dan dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak semata-mata bertujuan
53 Ronny Hanintijo Soemitro. 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 34.
56
untuk mengungkap kebenaran namun juga memahami suatu kebenaran. Hasil
penelitian yang diperoleh akan diolah sehingga memunculkan hipotesa yang
akan diperoleh akan diolah sehingga memunculkan hipotesa yang akan
berujung pada ditemukannya kebenaran sementara.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten
Cilacap.
D. Jenis dan Sumber Data
1. Data Primer
Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari responden yang
bersumber pada petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB dan
Warga Binaan Pemasyarakatan yang terkait dengan fokus penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder bersumber pada Peraturan Perundang-undangan,
Dokumen-Dokumen Resmi, Buku-Buku, Literatur dan Arsip-Arsip
Penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau materi
penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah Petugas Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Kabupaten Cilacap dan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Responden yang dijadikan sampel adalah :
57
Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap
meliputi :
a. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten
Cilacap;
b. Kepala Kesatuan Pengamanan LAPAS;
c. Kasubsi. Pelayanan Tahanan.
Warga Binaan Pemasyarakatan yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah
yaitu golongan B.IIa dan B.IIb.54
2. Teknik Sampling ( purposive sampling )55
a. Purposive sampling atau penarikan sampel bertujuan dilakukan
dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan
tertentu. Teknik ini biasanya dipilih karena alasan keterbatasan
waktu, tenaga dan biaya, sehingga tidak dapat mengambil
sampel yang besar jumlahnya dan jauh letaknya.
b. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam
studi pendahuluan.
54 Romli Artasasmita, 1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung,. 55
Komarudin, 1974, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa, Bandung,.
58
F. Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara terarah, dalam
wawancara terarah terdapat pengarahan atau struktur tertentu, antara
lain :
a. Rencana pelaksanaan wawancara;
b. Mengatur daftar pertanyaan sesuai dengan pokok
permasalahan;
c. Memperhatikan karakteristik yang diwawancarai.;
d. Membatasi aspek-aspek dari masalah yang diperiksa.
2. Data Sekunder
Untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research) terhadap peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku literatur
dan arsip-arsip penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan objek
atau materi penelitian.
G. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis, maksudnya bahwa seluruh bahan atau data
primer yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang
lainya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga tercipta
suatu kesatuan yang utuh tentang masalah yang diteliti.
59
H. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif,
yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data hasil penelitian
yang diperoleh secara sistematis dengan didasarkan pada norma-norma
hukum, khususnya dalam hukum pidana yang relevan dengan pokok-
pokok masalah yang diteliti.56
56
Komarudin, 1974, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa, Bandung.
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Sekunder
a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Sebelum dipaparkan dan dibahas pokok permasalahan, maka akan
dipaparkan dan dibahas terlebih dahulu hal-hal yang bersifat umum, namun
berkaitan dengan pokok permasalahan. Hal-hal yang bersifat umum yang
dimaksud adalah tentang kondisi lokasi penelitian dengan segala aspeknya
yang dapat dipergunakan untuk mendukung analisis permasalahan dan
pembahasan.
Sesuai dengan judul yang ada yaitu penelitian dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, maka terlebih dahulu akan dipaparkan
kondisi secara umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. 57
1) Sejarah Ringkas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap berdiri pada tahun 1887,
dan berlokasi di jalan Kerinci Nomor : 120 Cilacap. Pada jaman penjajahan
Belanda Lembaga Pemasyarakatan ini dikenal dengan nama “Penjara
Kolonial”. Setelah Belanda pergi, digantikan oleh penjajah Jepang (yang
57
Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
61
dikenal dengan Sistem Kerja Paksanya), hal ini berlangsung sampai dengan
Indonesia merdeka, yang kemudian dkenal dengan nama “Jawatan Penjara”.
Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1963, nama Jawatan Penjara tersebut, kemudian
dirubah lagi namanya menjadi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan
tempat pelaksanaan pembinaan bagi Narapidana dan Tahanan. Pada tahun
1985 dengan keputusan Menteri Kehakiman No : M.04.PR.07.03. tahun 1985
difungsikan sebagai Rutan Klas IIB Cilacap. Kemudian pada tanggal 16 April
2003 dengan keputusan Menteri Kehakiman No : 05.PR.07.03 tahun 2003
Tentang Penetapan Peningkatan Klas Lembaga Pemasyarakatan Tertentu
sebagai Rumah Tahanan Negara status Rutan diubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, yang berarti berubah pula fungsi dan tugas
pokoknya yaitu sebagai wadah atau tempat pembinaan narapidana. Walaupun
dalam prakteknya tetap merangkap sebagai rutan yang melaksanakan tugas
perawatan tahanan.
Perubahan nama ini tidak merubah kesan terhadap bentuk bangunan
tersebut, walaupun sudah berubah nama, tetapi bentuk bangunan yang ada
masih relatif berkesan angker dan menyeramkan. Bentuk bangunan Lembaga
Pemasyarakatan yang angker ini, pada hakikatnya tidak mendukung
pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan, karena bentuk yang
angker ini secara tidak langsung, justru akan membentuk karakter narapidana
menjadi keras, dan menjauhkan jiwanya dari rasa kemanusiaan. Untuk
menghindari kesan angker pada bangunan Lembaga Pemasyarakatan dan
62
untuk lebih mendukung pembinaan dengan sistem pemasyarakatan, pada
tahun anggaran 2003/2004 bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap direnovasi. Renovasi bangunan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIB Cilacap meskipun tidak merubah banyak dari arsitek lamanya yaitu
bangunan peninggalan Belanda, tetapi memberi kesan lebih representatif
untuk mendukung pembinaan dengan sistem permasyarakatan. Hal ini bisa
dilihat pada ruangan pembinaan kerja keterampilan (Bingker) yang cukup luas
dan bersih. demikian juga dengan ruang kerja petugas Lembaga
Pemasyarakatan yang direnovasi menjadi dua lantai.
2) Letak dan Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap secara keseluruhan
menempati areal tanah seluas 5.979,99 meter persegi, dan luas gedung
(bangunan) adalah 2370,26 meter persegi, dengan perincian : 5.520 meter
persegi untuk bangunan kantor, 775,33 meter persegi blok hunian depan, 152
meter persegi poliklinik, 147 meter persegi dapur, 24 meter persegi pos
pengamanan atas, 170 meter persegi bangunan aula, 77 meter persegi
Mushola, dan 90 meter persegi bengkel latihan kerja (Bingker).
Bangunan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap selain
ruang kantor untuk petugas, dibagi menjadi dua sisi. Satu sisi untuk kamar
hunian tahanan, dan satu sisi untuk kamar hunian narapidana, hal ini
63
dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap juga berfungsi
sebagai Rumah Tahanan.
3) Sarana dan Prasarana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap
Adapun komponen-komponen bangunan Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Cilacap adalah sebagai berikut:
a) Ruang kamar (sel) narapidana: 10 unit barak;
b) Ruang kamar (sel) tahanan: 8 unit;
c) Ruang portir (pintu) gerbang: 1 buah, yang dibatasi dengan pintu
gerbang 1 dan 2;
d) Pos-pos penjagaan terdiri atas: Komandan Jaga, Wakil Komandan
Jaga; Portir (pintu I); pintu II; pintu III; 4 Pos atas I; Pos atas II;
Pos atas III; Pos atas IV;
e) Ruang penyimpanan senjata: 1 buah yang disebut dengan ruang
khusus gudang senjata. Dimana tempat penyimpanan senjata, hanya
berupa lemari khusus. Keadaan umum lemari: kuat, aman, dan
masih layak, untuk menyimpan senjata pengaman tersebut. Pos
yang dipersenjatai terbagi atas: Portir, Pos Atas (I, II, III, dan IV),
dan Pos I. Penanggung jawab penyimpanan senjata, adalah Kepala
Seksi Administratif, dan Keamanan dan Ketertiban. Senjata yang
dipakai : dalam kondisi seperti sekarang ini cukup bagus walaupun
masih kurang. Senjata yang dipakai oleh Petugas Lembaga
64
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap adalah jenis senjata laras panjang
(Shot Gun) dan senjata laras pendek. Dengan demikian secara
umum, kondisi senjata yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIB Cilacap, sebagian besar masih layak pakai. Untuk penggantian
senjata, sejak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap ini berdiri
sampai saat ini, baru dilakukan terhadap senjata laras panjang (Shot
Gun), dimana Shot Gun ini, merupakan pengganti senjata laras
panjang Gerund yang merupakan pinjaman dari KODIM 0703
Cilacap kepada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Selain
senjata-senjata di atas tadi, untuk menjaga keamanan Lembaga
Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap juga
memiliki pos-pos pengamanan, baik yang ada di bawah tiap-tiap
blok hukuman untuk lingkungan blok, maupun yang ada di atas
tembok keliling, yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang
cukup tinggi, sehingga walaupun dalam keadaan duduk, petugas
tetap dapat mengawasi daerah tugasnya, termasuk juga ruang
kunjungan.
f) Ruang pertemuan (Aula):
Kondisi aula secara umum cukup memenuhi syarat. Sarana dan
prasarana yang tersedia di aula tersebut, yaitu sejumlah kursi, meja
dan juga papan tulis. Semua sarana tersebut terawat dan tertata rapi.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap hanya memiliki 1 (satu)
65
buah aula, dengan ukuran yang cukup luas, dan cukup memadai,
untuk menampung jumlah penghuni yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan. Kegunaan aula tersebut, selain untuk acara
pertemuan, juga sebagai tempat pembinaan rohani agama Kristen,
pendidikan dan acara hiburan.
g) Dapur
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, hanya memiliki 1
(satu) buah dapur saja, walaupun begitu, dapur tersebut berukuran
cukup luas, bersih, dan terawat meskipun dinding dapur berwarna
hitam terkena asap. Semua peralatan masaknya tertata dengan rapi.
Letak dapur berada di belakang bersebelahan dengan blok wanita.
Narapidana yang bertugas di dapur adalah narapidana (sebagai
tamping) berjumlah 8 narapidana setiap harinya. Serta kompor yang
digunakan adalah kompor kompresor.
h) Pos pengamanan
Letaknya, di atas tembok keliling, ada 4 buah. Petugasnya 1 (satu)
orang, pada setiap blok. Petugas-petugas tersebut, melakukan
pergantian jaga setiap 2 (dua) jam sekali. 31 petugas pengamanan
yang terdiri dari 1 orang kepala keamanan, 3 orang staff
pengamanan, 4 regu pengamanan yang masing-masing regu
berjumlah 6 orang dan 3 orang petugas wanita mengamankan blok
wanita. Dalam 1 (satu) hari, yang bertugas ada 3 (tiga) regu petugas
66
KPLP, yang tanggung jawabnya meliputi keamanan dan
pengamanan seluruh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
Utuk regu jaga atas dan bawah, terbagi dalam dinas pagi, dinas
siang, dinas malam, dan istirahat.
i) Bangsal sakit :
Bangsal sakit di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap ini
berkapasitas 5 (lima) tempat tidur dengan ukuran standart, dan
diberi kasur, bantal, serta selimut yang berada di bekas ruangan
registrasi. Di dalam bangsal sakit tersebut, juga terdapat tempat
untuk mandi, yang dilengkapi dengan satu bak mandi, dan WC.
Dimana Bangsal sakit ini, hanya untuk merawat penghuni Lembaga
Pemasyarakatan yang menderita sakit ringan saja.
j) Mushola
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap mempunyai sebuah
Mushola, yang bernama “Nurul Iman ” yang terletak di halaman
belakang. Untuk mendukung kegiatan islami bagi penghuni, maka
Mushola “Nurul Iman” ini, kemudian dilengkapi dengan sarana-
sarana sebagai berikut: Bedug dan Kenthongan kayu, Sound system
dan Mic, Kitab Suci Al-Qur’an, Mimbar, Sajadah, Papan tulis,
kapur tulis, dan penghapus, Kalender, dan Karpet hijau. Dimana
kondisi umum Musholla adalah sebagai berikut, letak Musholla di
halaman belakang, ukuran Mushola ini cukup luas, cukup untuk
67
menampung penghuni dan petugas Lembaga Pemasyarakatan, (jika
diadakan sholat berjamaah) bersih, dan terawat. Kondisi sekeliling
Mushola bersih, di kelilingi taman kecil yang bersih. Beberapa
petak kecil tanah ditanami sayur-sayuran. Karena petugas Lembaga
Pemasyarakatan ada yang perempuan, maka ruang dalam Mushola,
dipisahkan menjadi dua dengan menggunakan kain hijau, supaya
petugas yang perempuan dapat ikut juga dalam sholat berjamaah.
k) Ruang tempat mandi, Water closet (WC), dan tempat cuci:
Tempat mandi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terdiri
atas 2 (dua) bagian, yaitu kamar mandi yang berada di dalam dan
kamar mandi yang berada di luar. Untuk yang di dalam kamar
setiap kamar tahanan disediakan kamar mandi. Khusus untuk
kamar narapidana yang letaknya di masing-masing kamar dengan
kapasitas penghuni sampai 30 orang narapidana dilengkapi dengan
1 (satu) kamar mandi disetiap kamar, berupa bak untuk mandi dan
beberapa ember. Narapidana yang bertugas mengisi ember tersebut,
adalah penghuni yang piket, dalam kamar masing-masing. Secara
umum, kondisi tempat mandi dalam kamar cukup bersih, dan
terpelihara. Kamar mandi di luar kamar terletak disamping sel
selatan berjumlah 1 (satu) dan disamping sel utara berjumlah
1(satu). WC untuk buang air besar juga tersedia di sel tahanan
tersedia 6 (enam) WC dan di sel narapidana tersedia 6 (enam) WC.
68
Dan untuk tempat mencuci, apabila ingin mencuci pakaian, maka
kegiatan ini harus dilakukan di tempat-tempat mandi, yang berada
di luar kamar, penjemuran pakaian juga di luar kamar.
l) Kamar (Sel) Pengasingan:
Kamar (sel) pengasingan ini diperuntukan bagi penghuni yang
melakukan pelanggaran dan masuk atau tercatat di dalam buku
daftar pelanggaran, milik Staf KPLP. Hal ini disebut hukuman
tutupan sunyi. Narapidana yang menjalani hukuman tutupan sunyi
tidak diperbolehkan memakai baju lengkap.
m) Ruang pembinaan kerja keterampilan:
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, mempunyai 2 (dua)
buah ruang pembinaan kerja keterampilan, namun hanya 1 (satu)
yang difungsikan terletak di samping mushola. Secara umum
kondisi ruang pembinaan kerja cukup luas, bersih dan terpelihara.
n) Ruang poliklinik:
Lembaga Pemasyarakatan IIB Cilacap juga mempunyai sebuah
ruang poliklinik. Ruang poliklinik terletak bersebelahan dengan
ruang besukan. Di dalamnya tersedia obat-obatan untuk melayani
narapidana yang sakit. Apabila ada narapidana yang sakit serius
akan dikirim obat-obatan ke Rumah Sakit Umum Cilacap.
Poliklinik dijaga oleh seorang perawat dan dua Staf Lembaga
Pemasyarakatan yang bertugas untuk membantu. Untuk saat ini
69
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap belum mempunyai
dokter tetap.
o) Ruang kunjungan:
Ruang kunjungan disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIB Cilacap, untuk keluarga narapidana atau tahanan yang datang
untuk menjenguk. Ruang kunjungan tersebut tidak diberi penyekat
ruangan antara pengunjung dengan narapidana atau tahanan,
sehingga sanak keluarga dapat mengunjungi penghuni
(keluarganya) dalam kondisi tidak terhalang, walaupun tetap
diawasi oleh petugas yang bersangkutan.
4) Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Keadaan Petugas
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Susunan organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cilacap
terdiri atas:
a) Sub Bagian Tata Usaha
Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata
usaha dan rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan. Untuk
menyelenggarakan tugas tersebut, sub bagian tata usaha mempunyai
fungsi melakukan urusan kepegawaian dan melakukan urusan surat
menyurat, perlengkapan, dan rumah tangga. Sub bagian tata usaha
terdiri atas :
70
(1) Urusan kepegawaian dan keuangan.
Urusan kepegawaian dan keuangan mempunyai tugas
melakukan urusan kepegawaian dan keuangan.
(2) Urusan umum
Urusan umum mempunyai tugas melakukan urusan surat
menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.
b) Seksi Bimbingan Narapidana atau Anak Didik dan
Kegiatan Kerja
Seksi bimbingan narapidana atau anak didik mempunyai tugas
memberikan bimbingan pemasyarakatan narapidana atau anak didik.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, seksi bimbingan narapidana
atau anak didik dan kegiatan kerja mempunyai fungsi sebagai berikut :
(1) Melakukan registrasi dan membuat statistik serta
dokumen sidik narapidana atau anak didik;
(2) Mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi
narapidana atau anak didik;
(3) Memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas
sarana kerja dan mengelola hasil kerja.
Seksi bimbingan narapidana atau anak didik dan kegiatan kerja terdiri
atas :
71
(1) Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan
Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan
mempunyai tugas melakukan pencatatan, membuat statistik,
dekumenasi sidik jari serta memberikan bimbingan dan
penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga,
peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan penglepasan
narapidana atau anak didik.
(2) Sub Seksi Perawatan Narapidana atau Anak Didik
Sub seksi perawatan narapidana atau anak didik mempunyai
tugas mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi
narapidana atau anak didik.
(3) Sub Seksi Kegiatan Kerja
Sub seksi kegiatan kerja mempunyai tugas memberikan
bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan
mengelola hasil kerja.
(4) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib
Seksi administrasi keamana dan tata tertib mempunyai tugas
mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan
pembagian tugas pengamanan, menerima laporan harian dan
berita acara dari satuan pengaman yang bertugas serta
menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan
penegakkan tata tertib. Untuk menyelenggarakan tugas
72
tersebut seksi administrasi keamanan dan tata tertib
mempunyai fungsi untuk mengatur jadwal tugas,
penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas
pengamanan dan menerima laporan harian dan berita acara
dari satuan pengamanan yang menegakkan tata tertib.
Dimana seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib
terdiri atas :
I. Sub Seksi Keamanan, yang mempunyai tugas mengatur
jadwal tugas, penggunaan perlengkapan, dan pembagian
tugas pengamanan.
II. Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, yang mempunyai
tugas menerima laporan harian dan berita acara dari
satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan
laporan berkala di bidang keamanan dan penegakkan
tata tertib.
c) Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP)
Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai
tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kesatuan
Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi sebagai
berikut :
73
(1) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap
narapidana atau anak didik;
(2) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban;
(3) Melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan, dan
pengeluaran narapidana atau anak didik;
(4) Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran
keamanan;
(5) Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan
pengamanan.
Kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dipimpin
oleh seorang Kepala dan membawahkan petugas pengamanan
Lembaga Pemasyarakatan. Kepala Kesatuan pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Kepala Lembaga Pemasyarakat.
d) Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap
Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap sebagai berikut:
74
Sumber : Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI
No. M.05.PR.07.03 Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003.
Sub. Bag Tata Usaha
Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Cilacap
Urusan Kepegawaian
& Keuangan
Urusan Umum
Seksi Binadik & Giatja
Sub Seksi Pelaporan
& Tata Tertib
K P L P Seksi Adm. Keamanan &
Tata Tertib
Sub Seksi Kegiatan
Kerja
Sub Seksi Perawatan
Napi / Anak Didik
Sub Seksi Registrasi
& Bim.Kemas
Petugas
Pengamanan
Sub Seksi
Keamanan
75
e) Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Lembaga Pemasyarakatan Cilacap dengan klasifikasi Klas IIB
mempunyai tata kerja sebagai berikut :
(1) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Lembaga
Pemasyarakatan, Kepala Kesatuan Pengamanan, Kepala Seksi,
dan kepala Sub Seksi baik dalam lingkungan masing-masing
maupun antar LAPAS sesuai dengan tugas pokok masing-
masing.
(2) Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengawasi
bawahannya masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan
agar mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap pimpinan satuan organisasi bertanggung jawab
memimpin dan mengkoordinasi bawahannya masing-masing
dan memberikan bimbingan serta petunjuk-petunjuk bagi
pelaksanaan tugas bawahan.
(4) Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan
mematuhi petunjuk-petunjuk dan bertanggung jawab kepada
atasan masing-masing dan menyampaikan laporan berkala
tepat pada waktunya.
76
(5) Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi
dari bawahan wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan
untuk penyusunan lebih lanjut dan untuk memberikan
petunjuk-petunjuk kepada bawahan.
(6) Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan laporan
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.
(7) Dalam menyampaikan laporan masing-masing kepala atasan,
tembusan laporan wajib disampaikan pula kepada satuan
organisasi lain yang secara fungsional mempunyai hubungan
kerja.
(8) Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan satuan
organisasi dibantu oleh Kepala Satuan Organisasi di bawahnya
dan dalam rangka pembinaan bimbingan kepada bawahan
masing-masing wajib mengadakan rapat berkala.
(9) Bimbingan Teknis Pemasyarakatan kepada LAPAS secara
fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan
melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang
bersangkutan (Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.01-PR.07.03 Tahun 1985).
77
f) Keadaan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap
Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, tidak hanya cukup dengan fasilitas-fasilitas
fisik yang tersedia, namun ada faktor lain yang juga sangat berperan
yaitu kualitas dan kuantitas pegawai. Diharapkan pegawai dapat selalu
menjawab tantangan-tantangan dan masalah-masalah yang selalu
muncul dan ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
Pada saat ini, isi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap per tanggal 14 Februari 2011 bejumlah 370 orang yang terdiri
dari 183 orang tahanan dan 206 narapidana. Sementara jumlah petugas
57 orang yang terdiri atas 31 petugas pengamanan yang terdiri dari 1
orang kepala keamanan, 3 orang staff pengamanan, 4 regu
pengamanan yang masing-masing regu berjumlah 6 orang dan 3 orang
petugas wanita mengamankan blok wanita. Selanjutnya 26 orang
petugas lainya bertugas di bagian administrasi ketata usahaan dan
pembinaan. Sedangkan petugas yang menangani pembinaan
kepribadian sejumlah 4 orang dan yang menangani pembinaan
kemandirian sejumlah 1 orang petugas.
Tabel-tabel di bawah ini akan menggambarkan secara jelas
kondisi pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
78
Tabel 1. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap Berdasarkan Jenis Kelamin.
No. Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase
1. Laki-laki 36 63,2 %
2. Perempuan 21 36,8 %
Jumlah 57 100 %
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16
Februari 2011.
Dari hasil penelitian pada Tabel 1, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap memiliki jumlah pegawai sebanyak 57 orang, dengan perincian
berdasarkan jenis kelamin, yaitu 36 orang (63,2%) berjenis kelamin laki-laki
dan 21 orang (36,8%) berjenis kelamin perempuan.
Tabel 2. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Berdasarkan Jenjang Pendidikan Terakhir
No. Jenjang Pendidikan Jumlah (orang) Persentase
1. Strata 2 (S2) 4 7,0 %
2. Strata 1 (S1) 24 42,1 %
3. Sarjana Muda (D III) - -
4. SLTA 28 49,1 %
5. SLTP 1 1,8 %
6. SD - -
Jumlah 57 100 %
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per
16 Februari 2011.
79
Tabel 2 di atas menunjukkan tingkat pendidikan pegawai yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Dari 57 pegawai yang
mempunyai pendidikan S2 sebanyak 4 orang (7%), S1 sebanyak 24 orang
(42,1%) , sedangkan pegawai berpendidikan SLTA yaitu sejumlah 28 orang
(49,1%) dan 1 orang (1,8%) yang berpendidikan SLTP.
Tabel 3. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Berdasarkan Golongan
NO Golongan Jumlah (orang) Persentase
1.
Golongan I
- -
2. Golongan II
10 17,5 %
3. Golongan III
46 80,7 %
4. Golongan IV
1 1,8 %
Jumlah 57 100 %
Sumber: Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16
Februari 2011.
Tingkat pendidikan pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan
Cilacap otomatis menentukan golongan dan kepangkatan pegawai. Dari tabel di
atas bisa diketahui bahwa golongan tertinggi adalah golongan IV berjumlah 1
orang pegawai (1,8%), pegawai yang memiliki golongan III terdiri dari 46
orang pegawai (80,7%) dan golongan terendah adalah golongan II yang terdiri
dari 10 orang pegawai (17,5%).
80
Tabel 4. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Usia
No. Usia Jumlah (orang) Persentase
1. 18-30 tahun 7 12,2%
2. 31-40 tahun 20 35,1%
3. 41-45 tahun 10 17,5%
4. 46-50 tahun 12 21,1%
5. 51-55 tahun 8 14,1%
Jumlah 57 100%
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16
Februari 2011.
Dari tabel di atas bisa diketahui bahwa sebagian besar usia pegawai di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap berusia antara 31 tahun sampai 40
tahun dengan jumlah 20 orang pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai
di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap sebagian besar berusia
produktif.
Tabel 5. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Berdasarkan Masa Kerja
No. Masa Kerja Jumlah (orang) Persentase
1. 0-10 tahun 16 28,1%
2. 11-20 tahun 24 42,1%
3. 21-30 tahun 17 29,8%
Jumlah 57 100%
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16
Februari 2011.
81
Dari data yang diperoleh mengenai lamanya masa kerja pegawai
Lembaga Pemasyarakatan Cilacap menunjukkan bahwa masa kerja pegawai
yang masih baru sampai 10 tahun, hanya sebanyak 16 orang (28,1%), lebih
sedikit jumlahnya di bandingkan dengan pegawai telah mempunyai masa
kerja sekitar 11 sampai 20 tahun, sejumlah 24 orang (42,1%). Sedangkan yang
paling lama masa kerjanya adalah 21 sampai 30 tahun, sejumlah 17 orang
(28,9%).
5) Keadaan Warga Binaan Pidana Pendek Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Dari sejumlah warga binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Cilacap, berikut adalah contoh data warga binaan yang menjalani
masa pidana penjara pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap:
Tabel 6. Daftar Warga Binaan Pidana Penjara Pendek B-IIa
Bagian Ke I :Laki-laki
No Nama Tindak Pidana Lama
Pidana
Potongan
Tahanan
Masa Menjalani
Pidana penjara
1. MuhamadAbdu
l Rozak bin
Alm.Soekirman
Ps. 363 KUHP
“Pencurian”
3 Bulan 2 Bulan
22 Hari
8 Hari
2. Akhir Kuat
Darmawan bin
Sanwikarto
Ps. 363 KUHP
“Pencurian”
3 Bulan 2 Bulan
15 Hari
15 Hari
3.
Gunandi bin
Samrin
Supriyadi
Ps. 335 KUHP
“Perbuatan Tidak
Menyenangkan”
3 Bulan 1 Bulan
6 Hari
1 Bulan 24 Hari
82
4. Kuat Rahayu
bin
Sarkum
Ps. 303 KUHP
“Perjudian”
3 Bulan 2 Bulan
21 Hari
9 Hari
5. Sasi Marsudi
bin Wiryamsya
Ps. 303 KUHP
“Perjudian”
3 Bulan 2 Bulan
21 Hari
9 Hari
6. Barkah bin
Moh. Soderi
Ps. 303 KUHP
“Perjudian”
3 Bulan 2 Bulan
21 Hari
9 Hari
7. Firman
Harsiono Budhy
bin Yahuda
Budir
Ps. 363 KUHP
“Persaingan
curang”
2 Bulan
29 Hari
- 2 Bulan
29 Hari
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16
Februari 2011.
Bagian Ke II : Perempuan
No Nama Tindak Pidana Lama
Pidana
Potongan
Tahanan
Masa Menjalani
Pidana penjara
1. Muslimah binti
Khaerudin
Ps. 372 KUHP
“Penggelapan”
3 Bulan 15
hari
3 Bulan
15 Hari
2. Tia Novianti
binti Kosim
Ps. 303 KUHP
“Perjudian”
4 Bulan 2 Bulan
15 Hari
1 Bulan 15 Hari
3.
Kristina Setyo
Astuti binti
Alm.Jarot
Ps. 303 KUHP
“Perjudian”
4 Bulan 2 Bulan
15 Hari
1 Bulan 15 Hari
4. Pujiati binti
Alm.Simun
Ps. 378 KUHP
“Penipuan”
1 Tahun 2 Bulan
5 Hari
9 Bulan 25 Hari
5. Endang
Yulianti binti
Kashim
Ps. 365 KUHP
“Pencurian”
4 Bulan 1 Bulan
27 Hari
2 Bulan 3 Hari
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16
Februari 2011.
Berdasarkan Tabel 6 tersebut dapat diketahui daftar responden warga
binaan masa pidana pendek berjumlah 12 orang yang terdiri dari warga binaan
laki-laki dan perempuan, dan pada saat penelitian dilakukan yang
83
bersangkutan masih berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
Dari 12 orang responden, 6 orang warga binaan yang dipidana selama 3 (tiga)
bulan setelah dipotong selama dalam tahanan sehingga sisa pidana yang harus
dijalani selama 2 bulan, sedangkan sisanya 4 orang yang dipidana kurang dari
1 tahun apabila dipotong selama dalam tahanan maka sisa pidana yang harus
dijalani antara 3 bulan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan dari 12 orang
responden, 7 diantaranya adalah laki-laki dan 5 lainnya adalah wanita. Contoh
tindak pidana yang dilakukan oleh warga binaan pidana pendek tersebut
adalah tindak pidana ringan, antara lain : pencurian, penggelapan, perjudian
dan persaingan curang. Dari seluruh responden masa lamanya menjalani
pidana mempunyai tenggang waktu antar 3 sampai dengan 4 bulan,
merupakan waktu yang amat pendek dalam rangka pembinaan, sedangkan
waktu yang diperlukan dalam tahap pembinaan minimal dengan sisa pidana
selama 1 tahun, sehingga tahapan pembinaan tidak dapat terpenuhi
keseluruhan.
b. Ketentuan Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana
Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 menegaskan
bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan
terhadap narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan
sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan. Ketentuan tersebut menentukan
sebagai berikut:
84
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 lebih lanjut
memberikan pengaturan mengenai sistem pemasyarakatan, bahwa:
Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang
dibina ,dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri , dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.
Tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi narapidana disebut
dengan Lembaga Pemasyarakatan, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagai berikut:
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.
Sistem pembinaan didasarkan pada asas-asas sebagaimana diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yang menentukan sebagai berikut:
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Pengayoman;
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. Pendidikan;
d. Pembimbingan;
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;dan
85
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.
Pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan
diselenggarakan oleh Menteri dan dalam implementasinya dilaksanakan oleh
petugas pemasyarakatan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menentukan sebagai berikut:
(1) Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas
pemasyarakatan.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Petugas pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional yang
melaksanakan tugas di bidang melaksanakan tugas di bidang pembinaan
warga binaan pemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menegaskan sebagai berikut:
(1) Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang
melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
(2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di
angkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 selanjutnya
menegaskan sebagai berikut:
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan
kerjasama dengan instansi pemerintahan terkait, badan-badan
86
kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya
seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
(2) Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai landasan dalam melaksanakan pembinaan terhadap Warga
Binaan Pemasyarakatan khususnya masa pidana pendek berpedoman kepada :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 13, 14, 14a
s.d f, 15, 16, 17, 19, 23, 24, 25, dan Pasal 29 yang antara lain pasal-
pasal tersebut merumuskan sebagai berikut :
a) Pasal 14 : orang yang dijatuhi pidana penjara wajib
menjalankan pekerjaan yang dijalankan kepadanya menurut
aturan yang diadakan guna pelaksanaan Pasal 29.
b) Pasal 19 ayat (1) : orang yang dijatuhi pidana kurungan
wajib menjalankan pekerjaan yang diserahkan kepadanya,
sesuai dengan aturan-aturan yang diadakan guna
melaksanaan Pasal 29 ayat ( 2 ), ia diserahi pekerjaan yang
lebih ringan dari pada orang-orang yang dijatuhi pidana.
2) Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
terdapat pada Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan Pasal 15.
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Pasal 7 ayat ( 1 ) pembinaan narapidana
dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan, dalam ayat ( 2 )
tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) terdiri
atas 3 tahap yaitu pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan,
dan pembinaan tahap akhir.
87
Konsideran Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan tentang hakikat warga binaan
sebagai berikut:
Bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan
dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan
manusia dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1999 tentang
Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan Pasal 3 menyatakan :
(1) Hubungan kerja sama pembinaan dilaksanakan berdasarkan
program pembinaan untuk meningkatkan kemampuan dan
kualitas Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
(2) Program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi: a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b.
kesadaran berbangsa dan bernegara; c. intelektual; d. sikap dan
perilaku; e. kesehatan jasmani dan rohani; f. kesadaran hukum;
g. reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. keterampilan kerja;
dan i. latihan kerja dan produksi.
Dalam Simposium Pembaharuan Hukum pidana Nasional tahun 1980,
dalam salah satu laporannya menyatakan:
Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus
diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta
keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat negara, korban,
dan pelaku. Atas dasar tujuan pemidanaan tersebut maka pemidanaan
harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :
88
a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut
menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang;
b. Edukatif di sini dalam arti bahwa pemidanaan yang diberikan
mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatannya
yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa
yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan
kejahatan;
c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil
baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh
masyarakat.58
Kemudian dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional59
tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1)
Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Mensyaratkan warga binaan dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terbina;
e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
58 Barda Nawawi Arief, 1994. Op.cit. hal. 82 59 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
89
Pembinaan dapat dilakukan selama narapidana di dalam lembaga
ataupun di luar lembaga, sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden No.
183 tahun 1968 dan Surat Edaran Dirjen. B. T. W. No. DDP. 2.2/10/5
tanggal 5 April 1970 jo. Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.
KP. 10.13./3/1 tanggal 8 Februari 1965. Keputusan Presiden No. 183 tahun
1968 itu menentukan susunan Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat
Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, dengan tugas
menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan.
c. Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Pendek di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
Lembaga Pemasyarakatan memiliki fungsi strategis sekaligus tempat
paling potensial dalam mewujudkan tujuan pemidanaan dengan pembinaan,
tetapi tanpa kesadaran akan tujuan pidana yang dijalankan oleh warga binaan
itu sendiri, hal ini tidak akan terwujud. Pembinaan terhadap warga binaan
masa pidana pendek yang telah dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Cilacap antara lain meliputi :
1) Pembinaan kemandirian dan ketrampilan :
Pertukangan kayu/mebelair, menjahit, merajut, peternakan
ayam, budidaya ikan lele, pembuatan paving blok,
perbengkelan, dan pembuatan keset.
90
2) Pembinaan Rohani:
Wajib melaksanakan sholat 5 (lima) waktu, pengajian,
tadarusan dan tahlilan bersama bagi warga binaan yang
Muslim, dan kebaktian bagi yang Nasrani. Serta program
tambahan nonton bareng film religi 2 (dua) kali dalam sebulan.
3) Pembinaan Pendidikan:
Pelatihan pendidikan Bahasa Inggris setiap minggu dan baca
tulis bagi yang buta aksara.
4) Pembinaan Olah raga:
Senam pagi yang rutin dilaksanakan setiap pagi, ada pula olah
raga futsal, bola voli, dan bulutangkis.
Adapun contoh jadwal kegiatan pembinaan bagi warga binaan Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Cilacap adalah sebagai berikut :
91
Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap Juli 2012
Kegiatan-kegiatan pembinaan tersebut di maksudkan untuk pemberian
bekal setelah bebas, terutama bekal untuk memperdalam iman dan takwa para
warga binaan agar lebih religius dan selalu mengingat Tuhan, sehingga di
harapkan tidak mengulangi pebuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma
yang ada dalam masyarakat pada umumnya. Selain itu walaupun kegiatan
sifatnya hanya sangat sederhana, namun diharapkan warga binaan tersebut
memperoleh ketrampilan yang sebelumnya tidak didapat di luar Lembaga
Pemasyarakatan.
No. Waktu Jenis Kegiatan Pengawas
1.
2.
3.
4.
5.
Pukul 07.00 s/d 08.00
Pukul 08.00 s/d 08.30
Pukul 09.00 s/d 11.30
Pukul 11.30 s/d 12.30
Pukul 12.30 -
- Senam Pagi & Olah raga
(Bola Voli dan Futsal).
- Mandi & Makan Pagi
- Pengajian / Penyuluhan
Agama Islam
- Kebaktian bagi umat
Nasrani
- Pelatihan Ketrampilan
- Pelatihan Bengkel Kerja
- Pelatihan B.Inggris
- Sholat Berjamaah
- Makan Siang & Istirahat
- Kasubsi.
Registrasi &
Bim. Kemas.
- Kasubsi.
Perawatan
- Kasubsi.
Registrasi &
Bim. Kemas
- Kasubsi.
Kegiatan Kerja
- Kasubsi.
Registrasi &
Bim. Kemas.
- Kasubsi.
Perawatan
92
2. Data Primer
a. Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Pidana Pendek
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan melalui
wawancara dengan Kadiyono, Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan warga binaan mengenai pelaksanaan
pembinaan warga binaan pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap di dapatkan hasil penelitian yang antara lain menunjukkan bahwa
petugas telah memberikan program kegiatan yang diharapkan sudah sesuai
dengan undang-undang yang berlaku. Yaitu untuk membina warga binaan
agar menjadi manusia yang lebih baik lagi bagi Tuhannya dan masyarakat.
Kadiyono, Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Cilacap yang antara lain menyatakan sebagai berikut:
“ Saya melihat pembinaan bagi mereka yang tujuannya baik
sebagaimana di amanatkan oleh peraturan perundang-undangan
yang ada, tidaklah terlalu efektif mengingat terbatasnya waktu
sehigga rasa-rasanya tujuan pembinaan itu terkesan untuk
sekedar pengisi waktu agar mereka tidak menganggur. Karena
kalau menganggur memang rawan terjadi masalah, terutama
menimbulkan keributan. Yah…kalau mau jujur saya boleh
mengatakan bahwa pembinaan terhadap warga binaan pidana
penjara pendek membawa manfaat baik atau tidaknya semua itu
kembali pada individu warga binaan itu sendiri…mereka tidak
akan dapat berubah sikap mentalnya hanya dengan pembinaan
sebentar dan seringan itu. Artinya kita tidak boleh berharap
banyak atas hasil pembinaan itu. Di samping itu ada sisi
negatifnya juga yang mungkin dapat terjadi yakni tertularnya
mereka dengan kebiasaan-kebiasaan buruk para warga binaan
dengan pidana penjara panjang. Kita sebagai petugas Lembaga
Pemasyarakatan hanya berusaha semaksimal mungkin
memberikan pembinaan yang diharapkan membawa efek baik
terhadap semua warga binaan tanpa terkecuali. Yang saya amati
93
selama masa pembinaan sebenarnya para warga binaan tersebut
dapat mengikuti semua kegiatan pembinaan yang diberikan
dengan baik. Itu semua terlihat dari teraturnya para warga binaan
dalam menjalankan ibadah mereka masing-masing tanpa harus
selalu diperintah oleh para petugas Lapas. Mungkin itu salah satu
efek positif yang kecil dalam pembinaan,memang kita tidak
dapat menjamin saat warga binaan tersebut telah habis masa
pidananya dan keluar dari Lapas tidak akan melakukan kejahatan
kembali’’.60
Hal senada juga dinyatakan oleh Tia Novianti, salah satu warga
binaan wanita yang menjalani pidana pendek, menyatakan :
“ Kegiatan pembinaan yang telah diberikan oleh pihak lembaga
memang positif,dapat merubah sikap para napi yang tadinya
terlihat jahat bisa menjadi lebih baik. Seperti contohnya saya
jadi semakin rajin menjalankan sholat 5 waktu dan bisa
merajut sejak disini. Saat di ajarkan merajut saya senang
melakukanya,tapi sayangnya biasanya ada napi yang belum
bisa merajut,sebelum pelajaran merajut selesai di ajarkan
napinya sudah keburu keluar penjara. Jadi menurut saya
belajarnya cuma setengah-setengah,kan sayang tuh. Selain itu
yang bisa terlihat perubahannya karena binaan di Lapas hanya
napi yang memang sudah lama di penjara. Memang buat saya
yang menganggap masa pidana saya yang sebentar ini cuma
sebagai teguran dari Tuhan agar saya beristirahat dari semua
urusan duniawi di luar sana. Jadi saya cukup menikmati semua
kegiatan pembinaan yang di berikan di Lapas ini,saya jadi
lebih merasa dekat dengan Tuhan dan sedikit belajar
disiplin.”61
Dikemukakan pula oleh Akhir Kuat Darmawan salah satu warga
binaan pidana pendek, menyatakan sebagai berikut :
“ Pemberian pembinaan kepada kami yang sebenarnya hanya
sebentar di penjara cukup bagus, karena saya saat belum di
penjara belum pernah melakukan beberapa kegiatan yang
60 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan 11 Juli 2012. 61 Wawancara dengan warga binaan Tia Novianti binti Kosim, tanggal 12 Juli 2012.
94
dijarkan kaya di Lapas ini. Contoh kegiatan yang ada antara
lain: membuat sangkar burung, belajar ngaji dan bahasa
Inggris,membuat keset, dan sebagai kuli / pembantu
pembuatan paving blok.’’62
Selain itu juga dikemukakan oleh Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo
selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha sebagai berikut :
‘’ Kami telah memberikan pembinaan kepada Warga binaan
masa pidana pendek semaksimal mungkin,seperti memberikan
pendalaman iman dengan kegiatan-kegiatan religi, seperi
menonton film religi 2 (dua) kali dalam sebulan, manganjurkan
para warga binaan mengikuti Tadarusan dan Tahlilan selama
40 malam penuh yang telah dilakukan beberapa bulan terakhir.
Dimana seluruh kegiatan tersebut telah menghabiskan uang
negara dikarenakan tidak dapat menghasilkan pendapatan yang
disetorkan kepada negara kaitannya dengan kegiatan kerja
selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun kami tetap
berharap kegiatan tersebut membawa dampak yang lebih baik
lagi bagi keadaan psikis warga binaan’’.63
Sedangkan kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap, berdasarkan hasil wawancara dengan Basuki Raharjo A.Md.IP,
selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik di dapat data
sebagai berikut:64
1. Pembinaan Akhlak dan Mental Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP)
Pembinaan yang dilakukan sendiri oleh WBP yaitu
pesantren khusus model Lapas. Yang menjadi
penceramah/guru ngaji berasal dari WBP yang mempunyai
kemampuan Agama lebih, dan tetap diawasi
pelaksanaannya oleh Petugas Lapas. Dimana hal tersebut
terbukti dari adanya kegiatan Tadarusan dan Tahlilan
selama 40 malam oleh para warga binaan yang muslim.
62 Wawancara dengan warga binaan Akhir Kuat Darmawan 12 Juli 2012. 63 Wawancara dengan Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo Kasubag. Tata Usaha tanggal 11 Juli 2012. 64 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 11 Juli 2012.
95
Ceramah dari luar Lapas, seperti dari Depag Kab.Cilacap,
dan lain sebagainya dilaksanakan 2 x dalam seminggu.
Untuk warga binaan yang beragama Nasrani juga diadakan
kebaktian di dalam Lapas 2 x dalam seminggu.
2. Bengkel Kerja
WBP dibina dan di beri ketrampilan di dalam Lapas
sebagai bekal agar pada saat bebas nanti sudah dapat
mandiri, seperti kegiatan pertukangan kayu, pembuatan
paving blok, pembuatan sangkar burung , budidaya ikan
lele, penjahitan dan pembuatan kerajinan merajut bagi
warga binaan perempuan. Selain itu adanya program
terbaru yang yang di berikan adalah adanya pelatihan
bahasa asing, yaitu bahasa Inggris 2(dua) kali dalam 1
minggu.
3. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan didalam Lapas sudah cukup baik, ini
dibuktikan dengan tingkat kematian WBP di Lapas yang
sangat rendah, yaitu mencapai 0%. Untuk pelayanan
kesehatan belum ada komplain dari masyarakat luar
maupun WBP sendiri.
b. Faktor-faktor Penghambat Pembinaan Warga Binaan Pidana
Pendek
Pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di
Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap memang sudah berdasarkan peraturan undang-undang yang ada,
namun ternyata beberapa kegiatan tersebut di atas cenderung kurang efektif
bagi warga binaan pidana pendek, karena terdapat beberapa faktor-faktor yang
menghambat kegiatan pembinaan. Salah satu hambatan utamanya yaitu,
sempitnya atau singkatnya waktu yang tersedia, di mana para warga binaan
tidak dapat mengikut tahapan pembinaan sesuai dengan peraturan undang-
96
undang yang berlaku tentang pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Di samping itu ada faktor-faktor lainnya
yang mengakibatkan tidak dapat mencapai efektifnya tujuan pidana. Hal
tersebut dapat terlihat dalam pendapat responden sebagai berikut ini:
Berdasarkan pendapat Basuki Raharjo A.Md.IP, selaku Kepala Seksi
Bimbingan Narapidana / Anak Didik menyatakan sebagai berikut :
“ Pembinaan terhadap warga binaan masa pidana pendek sulit
untuk dilaksanakan sesuai dengan program pembinaan yang
ada khusus terhadap warga binaan masa pidana pendek karena
mereka hanya mengikuti beberapa tahapan saja, misalnya :
Admisi Orientasi, Maksimum Sekuriti, Medium Sekuriti dan
Minimum Sekuriti tidak melewati tahap Asimilasi.65
Hal senada dikemukakan oleh Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi selaku
Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang menganggap
terbatasnya waktu pidana penjara juga salah satu faktor yang menghambat
pembinaan, yang dinyatakan sebagai berikut :
“ Untuk penempatan warga binaan masa pidana pendek kurang
efektif, mereka hanya menempati kamar / blok tahanan dan
blok admisi orientasi dan sebagian kecil ditempatkan di blok
warga binaan karena pendeknya pidana atau singkatnya waktu
pidana penjara yang dijatuhkan terhadap mereka, sehingga
singkat pula waktu pembinaan yang mereka terima.66
Selain kedua faktor tersebut adapun faktor dari diri warga binaan itu
sendiri juga sangat berpengaruh bagi tercapainya efektivitas pembinaan.
65 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 11 Juli 2012. 66 Wawancara dengan Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan tanggal 12Juli 2012.
97
Pendapat tersebut dikemukakan oleh warga binaan Muhamad Abdul Rozak
adalah sebagai berikut:
“ Pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap dirasakan kurang ada manfaatnya karena pidana yang
saya terima hanya 3 bulan, dan setelah dipotong masa tahanan
sisa masa pidana penjara saya hanya 8 hari,jadi ya agak malas
mengikuti kegiatan yang ada pada awalnya, namun saat sudah
mulai terbiasa dengan semua kegiatan pembinaan,ternyata
masa pidana saya sudah selesai,jadi saya hanya bisa dapat
manfaatnya sedikit saja”.67
Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa responden menganggap masa
pidana pendek itu tidak begitu membawa pengaruh bagi dirinya, hanya sedikit
saja mendapatkan manfaatnya selama masa pembinaan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.
Pendapat lebih lanjut dinyatakan oleh Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi
sebagai adalah sebagai berikut :
“Warga binaan masa pidana pendek biasanya ada yang malas-
malasan menerima pengarahan dari petugas karena mereka
tahu hukuman bagi mereka hanya paling lama 4 Bulan selain
itu struktur bangunan lembaga pemasyarakatan tidak memadai
jika akan mengikuti prosedur pembinaan yang benar-benar
memenuhi mutu standar,berbeda dengan narapidana yang telah
lama menjalani pidana penjara”.68
Begitu juga pendapat yang dikemukakan oleh warga binaan Kristina
Setyo Astuti sebagai berikut :
67 Wawancara dengan Muhamad Abdul Rozak warga binaan Lapas Cilacap tanggal 11 Juli 2012. 68 Wawancara dengan Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012.
98
“ Pidana yang dijalankan oleh saya hanya 4 bulan, bagaimana
saya dapat melaksanakan pembinaan karena setelah putusan
hakim saya hanya menjalani sisa pidana beberapa hari saja,
ibaratnya begitu tidur bangun langsung bebas. Padahal
sebenarnya kegiatan yang diajarkan cukup bagus bagi warga
binaan dan bermanfaat untuk kedepannya,namun karena
singkatnya waktu pembinaan jadi belum maksimal
efeknya,jadi menurut saya dampak dari pembinaan pidana
penjara pendek itu baik buruknya tergantung dari orangnya
masing-masing dalam menerima hasil pembinaan selama di
Lapas. 69
Selain faktor warga binaan, tampaknya faktor petugas juga turut andil
sebagai faktor penghambat pembinaan dengan pidana pendek sebagaimana
dipaparkan oleh Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga
Pemasyarakatan berikut ini :
“Petugas merupakan tenaga yang mengkoordinir kegiatan
pembinaan, jika petugasnya kurang memiliki pendidikan
tekhnis dan pendidikan khusus maka program kegiatan
pembinaan tidak akan berjalan dengan baik. Disamping itu
profesionalisme (kualitas ketrampilan / keahlian) petugas yang
kurang juga dapat menghambat proses pembinan, karena
petugas tidak dapat membina dan teladan kepada warga binaan
tentang program pembinaan yang dijalankan, khususnya di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap petugasnya sangat
kurang sehingga menyebabkan program pembinaan tidak
berjalan dengan lancar’’.70
Responden lain Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja
menyatakan sebagai berikut :
“Kurangnya peran serta Pemerintah Daerah terhadap
perkembangan pembinaan warga binaan di Lapas, serta belum
69 Wawancara dengan Kristina Setyo Astuti wargabinaan Lapas Cilacap tanggal 12 Juli 2012. 70 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11Juli
2012.
99
adanya landasan hukum yang pasti sehingga menimbulkan
tidak adanya pedoman tugas yang pasti dalam melaksanakan
program pembinaan dalam program pembinaan itu sendiri.
Pada saat ini dasar hukum pembinaan jangka pendek mengacu
pada ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun
1999 yang peraturan tersebut pada dasarnya ditujukan untuk
pelaksanaan pembinaan secara umum, sedangkan untuk warga
binaan masa pidana pendek seharusnya dibuatkan dasar dan
pola khusus sehingga dapat dipenuhinya tahap-tahap
pembinaan’’.71
Kemudian faktor hambatan yang lain adalah kurangnya prasarana
berupa bangunan yang khusus diperuntukkan bagi narapidana masa pidana
pendek. Hal ini tampak dari pernyataan responden Tutut Jemi S,
Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan
sebagai berikut :
“Belum adanya bangunan Lembaga Pemasyarakatan khusus
bagi warga binaan masa pidana pendek menurut saya termasuk
sebagai faktor kendala, karena program pembinaan tersebut
memerlukan bangunan khusus agar dapat berjalan dengan baik
dan terpusat. Di samping itu penempatan penghuni yang masih
campur antara warga binaan yang menjalani program yang satu
dengan yang lainnya akan mengakibatkan pelaksanaan
program pembinaan tidak berjalan dengan optimal.72
Pernyataan tersebut menyatakan bahwa seharusnya kamar atau blok
narapida pendek memang seharusnya di pisahkan agar dapat dilakukan
kegiatan pembinaan yang lebih fokus lagi kepada para narapida masa pidana
pendek.
71 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 12 Juli 2012. 72 Wawancara dengan Tutut Jemi S, Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012.
100
Faktor lain juga ditemukan yakni sikap keluarga warga binaan yang
kurang mendukung upaya program pembinaan yang dilakukan oleh pihak
lembaga. Hal ini tampak dari penuturan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala
Lembaga Pemasyarakatan berikut ini :
“Banyak keluarga warga binaan yang bersikap acuh terhadap
anggota keluarganya yang telah menjadi warga binaan karena
mereka telah dianggap berbuat jahat dan memalukan nama
baik keluarga serta biasanya keluarga dari warga binaan tidak
mau menerima kembali karena sudah dianggap sampah
masyarakat, karena itulah narapidana masa pidana pendek yang
sensitive akan dapat berdampak pada psikisnya dengan
perlakuan orang sekitarnya,namun bagi narapidana yang tidak
sensitive menganggap pidana penjara pendek hanya sebagai
hukuman singkat dan koreksi atas pelanggaran yang mereka
lakukan”.73
Masih di luar faktor lembaga sebagai kendala, tampaknya instansi di
luar lembaga yang seharusnya dapat bekerja sama ternyata tidak serius dalam
bekerja sama. Hal ini tampak dalam paparan berikut yang berasal dari
Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan :
“Masih banyak instansi-instansi pemerintah dan swasta
(Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Kesehatan, dan
Pemerintah Daerah itu sendiri) masih kurang memberikan
perhatian atau belum menunjukan keseriusan dalam membantu
proses pembinaan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Cilacap dikarenakan mereka lebih menginginkan
suatu keuntungan atau mendapat timbal balik dari mereka.74
73 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli
2012. 74 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli
2012.
101
B. Pembahasan
Sistem Pemasyarakatan yang dikenal sekarang ini merupakan suatu
proses pembinaan warga binaan yang didasarkan Asas Pancasila sebagai
falsafah bangsa Indonesia dan memandang warga binaan sebagai makhluk
Tuhan, sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Bertolak
dari upaya membela dan mempertahankan “Hak Asasi Manusia” pada suatu
negara hukum (si pelanggar hukum juga harus mendapat perlindungan
hukum), maka oleh Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 telah dikemukakan
suatu gagasan “Sistem Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara.
Tujuan pembinaan yaitu pemasyarakatan, untuk memperbaiki perlakuan
terhadap warga binaan yang dikenal dengan sebutan Standart Minimum Rules
for Treathment of Prisoners (SMR) yang dipergunakan sebagai pedoman
perlakuan terhadap warga binaan.
Konkritnya, Sistem Peradilan Pidana dapat dikaji melalui perdekatan
dimensi hukum, sosiologi , ekonomi dan manajemen sebgaimana asumsi dan
deskripsi Satjipto Raharjo bahwasanya:
Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti
sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu dengan
pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas , seperti
sosiologi , ekonomi dan manajemen. Dari segi professional ,SPP lazim
dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Dari
sini kita memberikan perhatian terhadap asas , doktrin dan perundang-
102
undangan yang mengatur Sistem Peradilan Pidana tersebut. Dalam
ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis.75
Tujuan aliran pemidanaan yang memperhatikan aspek perbuatan dan
aspek manusia dapat digolongkan pada teori utilitarian reform yang meliputi
aspek-aspek perlindungan terhadap masyarakat (protection of the public),
pencegahan kejahatan (prevention of crime), dan sekaligus usaha
memperbaiki manusia pelanggaran hukum (reform of the offender).
Sedangkan untuk mengukur efektivitasnya harus dilihat seberapa jauh sistem
hukum itu dapat mewujudkan atau mencapai tujuan-tujuannya.76
1. Efektivitas Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Masa Pidana
Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
Pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap sudah berjalan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Seperti di atur dalam Undang-undang No.
12 Tahun 1995 dalam Pasal 5, sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan asas : pengayoman, persamaan perlakuan dan
pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat
manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan,
terjaminnya hak untuk dapat tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.
75 Satjipto Raharjo. 1998. Sistem Peradilan Dalam Wacana Kontrol Sosial. Jurnal Hukum Pidana dan
Kriminologi. Vol.I/Nomor I/1998. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.97. 76 Muladi & Barda Nawawi Arief , Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia Bahan Kuliah Bahan
Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang, 1983.
103
Hanya saja dampak dari pembinaan yang telah di jalankan oleh para
petugas tampaknya belum mencapai efektifitasnya atau tujuan-tujuan dari
pembinaan warga binaan pidana pendek. Apalagi untuk mencapai tujuan dari
pemidanaan bagi warga binaan pidana pendek, yaitu salah satunya dampak
memberikan efek jera atau tidak akan mengulangi perbuatan yang telah di
lakukannya, sehingga pelaku pelanggaran tindak pidana atau narapidana akan
memperbaiki diri dengan sendirinya. Pelaksanaan pembinaan warga binaan
masa pidana pendek tidak dapat terlaksana secara efektif tanpa melalui proses
pembinaan dilihat dari 4 (empat) pentahapan yang telah ditentukan sebagai
berikut 77
:
Tahap pertama, Terhadap setiap warga binaan yang masuk lembaga
pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala ikhwal perihal
dirinya, termasuk: sebab-sebabnya ia melakukan pelanggaran dan segala
keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas
majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari
petugas instansi lain yang menangani perkaranya.
Tahap kedua, Jika proses pembinaan terhadap warga binaan yang
bersangkutan telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya
dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup
kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh
77 Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Pebruari 1965 tentang "Pemasyarakatan sebagai Proses"
dinyatakan bahwa pembinaan warga binaan dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap, yang merupakan
suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu.
104
pada peraturan tata-tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada warga
binaan yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan
pada Lapas yang medium security.
Tahap ketiga, Jika proses pembinaan terhadap warga binaan telah
dijalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat
Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik
ataupun mental dan juga segi ketrampilan, maka wadah proses
pembinaannnya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan assimilasi
dengan masyarakat luar, antara lain: ikut beribadah dengan masyarakat luar;
mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum, bekerja di luar, akan tetapi
dalam pelaksanaanya tetap masih berada di bawah pengawasan dan
bimbingan petugas lembaga.
Tahap keempat, Jika proses pembinaannya telah dijalani 2/3 dari
masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka kepada
warga binaan yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat dan
pengusulan lepas bersyarat ini ditetapkan oleh Tim Pembina Pemasyarakatan.
Efektivitas pidana penjara itu sendiri dapat ditinjau dari dua aspek
pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek
perbaikan pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat
meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana,
dan memulihkan keseimbangan masyarakat, antara lain menyelesaikan
konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan,
105
menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup
didalam masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan pelaku meliputi
berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan
kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenangan di
luar hukum.78
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,
professional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.79
Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan
dimulai sejak yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (Rutan)
sebagai tersangka atau terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan akhirnya hingga di bina dalam
Lembaga Pemasyarakatan.
Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses
pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan
rohani maupun jasmani. Untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, yang kemudian disebut narapidana,
penempatannya di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Terhadap narapidana,
diberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
78 Priyatno Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: PT.
Refika Aditama. Hal. 82-83. 79 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
106
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional,
kesehatan jasmani dan rohani Warga Binaan Pemasyarakatan yang
dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu: kegiatan masa pengamatan,
penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan
pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Waktunya
dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai
dengan 1/3 dari masa pidananya.
Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam lapas dan
pengawasannya maksimum (maximum security). Kegiatan lanjutan dari
program pembinaan kepribadian dan kemandirian sampai dengan penentuan
perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang pelaksanaannya terdiri
atas dua bagian. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program
integrasi yang dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang
bersangkutan. Menyadari bahwa pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara
komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat
merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta
masyarakat dalam pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya
reintegrasi Warga Binaan Pemasyarakatan tidak akan tercapai bagaimanapun
baiknya kualitas program-program pembinaan yang diterapkan.
Dalam rangka memperkaya pola pembinaan, sepatutnya petugas
Lembaga Pemasyarakatan harus dibekali pengetahuan yang berhubungan
107
dengan instrumen-instrumen hukum yang memiliki keterkaitan dengan
kebutuhan pola pembinaan dan sifat jenis tindak pidana yang dilakukan oleh
warga binaan pemasyarakatan, sehingga semua program kegiatan pembinaan
yang diberikan kepada para narapidana yang menjalani masa pidana penjara
pendek atau singkat akan mencapai tujuan pemidanaannya.
Dewan Pembinaan Pemasyarakatan (D.P.P) memegang peranan utama
untuk diserahi tugas melakukan pembinaan. Pembinaan dapat dilakukan
selama narapidana di dalam lembaga ataupun di luar lembaga, sesuai dengan
ketentuan Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 dan Surat Edaran Dirjen.
B. T. W. No. DDP. 2.2/10/5 tanggal 5 April 1970 jo. Surat Edaran Kepala
Direktorat Pemasyarakatan No. KP. 10.13./3/1 tanggal 8 Februari 1965.
Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 itu menentukan susunan Direktorat
Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan
Anak, dengan tugas menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan.
Sejak berlakunya Keputusan Presiden tersebut, mulailah
pemasyarakatan bertugas ganda yang tidak dapat dibatasi dan dibedakan
secara terpisah antara tugas pembinaan dan tugas bimbingan. Pembinaan
didalam lembaga adalah sebagian tugas sistem pemasyarakatan sesudah
dikurangi oleh pembinaan diluar lembaga, namun dalam praktek
108
pelaksanaanya pembagian tugas yang demikian itu masih dijalankan bersama
karena pertimbangan tenaga dan fasilitas kurang.80
Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari wawancara dengan
beberapa responden yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
dapat diperoleh keterangan bahwa dengan tidak terimplementasinya 10
prinsip pemasyarakatan dan juga tidak tuntasnya pentahapan pembinaan yang
ada maka tujuan pemidanaan dari pembinaan warga binaan dengan masa
pidana pendek cenderung tidak tercapai dengan kata lain pembinaan yang
dilakukan menjadi tidak efektif.81
Hal itu terlihat dari beberapa pendapat responden, salah satunya
responden dari Petugas Lapas yang bernama Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i
Kepala Lembaga Pemasyarakatan bahwa para petugas Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, telah melaksanakan program pembinaan
yang diberikan terhadap warga binaan pidana pendek sudah sesuai dengan
peraturan undang-undang yang ada, hanya saja efektivitas pembinaan tersebut
belum tercapai sesuai tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera kepada
warga binaan setelah menyelesaikan masa pidananya.82
Beberapa warga
80 Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta: Liberty. Hal. 188-190. 81 Efektivitas pidana sering dikaitkan dengan tujuan atau hasil yang ingin dicapai. Jadi sama halnya
dengan menetapkan efektivitas sistem hukum pada umumnya.(Barda Nawawi Arief, 1994,
Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Semarang, hal.96. ) 82 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli
2012.
109
binaan pidana pendek seperti Tia Novianti 83
dan Akhir Kuat Darmawan84
juga berpendapat bahwa kegiatan yang mereka terima selama masa
pembinaan pidana mereka yang singkat cukup bagus, karena mereka
mendapat beberapa ketrampilan yang sebelumnya belum pernah mereka
dapatkan sebelum di pidana,walaupun sebelum mereka benar-benar
merasakan manfaat sepenuhnya dari semua kegiatan yang telah diberikan oleh
petugas. Beberapa contoh kegiatan tersebut yaitu seperti diajarkan berbagai
macam ketrampilan seperti pembuatan paving blok, budidaya ikan lele,
peternakan ayam, menjahit, dan merajut bagi warga binaan wanita. Pendapat
tersebut juga didukung oleh pendapat Drs.Tavipiadi Sukmo Wibowo85
selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan bahwa para
petugas telah memberikan pembinaan secara maksimal, terutama dalam
pembinaan rohani seperti program kegiatan mengaji,tadarusan dan tahlilan,
bagi warga binaan yang beragama muslim dan kebaktian bagi warga binaan
yang beragama nasrani, serta menonton bersama film religi. Semua kegiatan
tersebut diharapkan agar para warga binaan terutama warga binaan pidana
pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dapat menjadi manusia
yang lebih baik lagi dan tidak mengulangi kesalahannya setelah mendapatkan
pembinaan serta dapat diterima kembali dalam masyarakat sebagai pribadi
yang lebih baik lagi.
83 Wawancara dengan warga binaan Tia Novianti binti Kosim, tanggal 12 Juli 2012. 84 Wawancara dengan warga binaan Akhir Kuat Darmawan 12 Juli 2012. 85 Wawancara dengan Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo Kasubag. Tata Usaha tanggal 11 Juli 2012
110
Adapun 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan merumuskan sebagai
berikut :
1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya
bekal hidup sebagai warga yang baik, berguna dalam masyarakat,
yakni masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Bekal hidup tidak hanya finansiil dan materiil tetapi
yang penting adalah mental, fisik, keahlian, ketrampilan, hingga
diri orang mempunyai kemampuan dan kemauan yang potensiil
dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar
hukum lagi, dan berguna bagi pembangunan negara.
2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.
Terhadap warga binaan tidak boleh ada penyiksaan, baik berupa
ucapan, tindakan, cara perawatan maupun penempatan. Satu-
satunya derita hanya dihilangkan kemerdekaannya.
3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan
bimbingan. Kepada warga binaan harus ditanamkan pengertian
mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, diberi kesempatan
untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Warga binaan
dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk
menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.
111
4. Negara tidak berhak membuat seseorang menjadi lebih buruk
atau lebih jahat dari sebelumnya. Karena itu harus diadakan
pemisahan antara :
a) Yang residivis dan yang bukan;
b) Yang telah melakukan tindak pidana berat dan
ringan;
c) Macam tindak pidana yang diperbuat.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, warga binaan harus
dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
padanya. Menurut paham lama, pada waktu mereka
menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan
pengasingan dari masyarakat. Kini menurut sistem
pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari
masyarakat dalam arti kultural. Secara bertahap mereka akan
dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan
kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Sistem
Pemasyarakatan ini didasarkan pada pembinaan yang
community centered dan berdasarkan aktivitas dan
interdisiplinair approach antara unsur-unsur pegawai,
masyarakat dan warga binaan.
112
6. Pekerjaan yang diberikan kepada warga binaan tidak boleh
bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan
jawatan atau negara sewaktu saja. Pekerjaan harus sesuai
dengan pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada
pembangunan nasional, karenanya harus ada integrasi
pekerjaan warga binaan dengan pembangunan nasional.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Dalam
pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas-asas yang
tercantum dalam Pancasila. Kepada warga binaan harus
diberikan pendidikan agama, serta diberi kesempatan dan
bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa
kegotong royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa
persatuan, rasa kebangsawanan Indonesia, jiwa bermusyawarah
untuk bermufakat yang positif. Warga binaan harus diikut
sertakan dalam kegiatan demi kepentingan-kepentingan
bersama dan umum.
8. Tiap manusia harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun
telah tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukkan pada warga
binaan bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalu merasa
bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.
Sehubungan dengan itu, petugas pemasyarakatan tidak boleh
113
bersikap maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung
perasaan.
9. Warga binaan tidak hanya dijatuhi pidana namun mendapat
mata pencaharian untuk keluarganya dengan jalan
menyediakan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda dan anak-
anak disediakan lembaga-lembaga pendidikan yang diperlukan,
ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan
pendidikan di luar lembaga.
10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru
yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program
pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada
di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang sesuai dengan
kebutuhan proses pemasyarakatan. Sebaiknya juga ada
bangunan khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara
warga binaan-warga binaan.86
Sepuluh prinsip bimbingan dan pembinaan tersebut apabila ditinjauan
dari kerangka teoritis akan menjadi tiga pokok pikiran pemasyarakatan , yaitu
sebagai suatu tujuan, sistem proses, dan metode untuk pelaksanaan pidana
penjara di Indonesia. Konsepsi pemasyarakatan pada tingkat permulaan
merupakan tujuan dari pidana penjara. Pemasyarakatan sebagai tujuan
86 R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979, “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan
Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.
114
menurut teori pembinaan dalam hal menjatuhkan pidana hilang kemerdekaan
tidak terlepas dari prinsip pengimbalan atas perbuatan melanggar hukum
pidana, namun tetap diperlakukan sebagai manusia sekalipun ia telah tersesat,
sehingga sesuai dengan prinsip ajaran hukum pidana aliran klasik dan aliran
modern.
Selain tidak efektif, berdasarkan data tersebut di atas tampak pula
bahwa pidana penjara pendek menimbulkan implikasi negatif bagi si warga
binaan. Sisi negatifnya antara lain tampak bahwa para eks warga binaan
dengan masa pidana pendek juga tetap mendapat penilaian yang buruk di mata
masyarakat setelah lepas atau selesai menjalani masa pidananya. Di sisi lain
berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa sisi negatif yang muncul adalah
penularan perilaku buruk dari para warga binaan (antar warga binaan)
termasuk mereka warga binaan yang menjalani masa pidana pendek. Selama
masa pembinaan di dalam lembaga dan pembinaan di masyarakat kepada
setiap narapidana yang mengalami pidana lebih dari 3 (tiga) bulan dapat
diberikan dorongan berupa upaya remisi untuk memperpendek masa pidana ,
apabila telah menunjukan prestasi dengan berbuat dan berkelakuan yang baik
atau turut mengambil bagian berbakti terhadap negara.
Tujuan pemidanaan walau saat ini tidak dirumuskan dalam ketentuan
normatif, namun terdapat tolak ukur dan dasar pembenaran dalam membahas
pidana penjara yang bersifat teoritis, khususnya dilihat dari sudut politik
kriminal. Tujuan politik kriminal selama ini adalah “perlindungan masyarakat
115
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Hal ini juga tampak pada
konsepsi hasil Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dalam kesimpulannya
menyatakan :
Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sasaran
untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap
kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali
(rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan
kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.87
Demikian dalam Simposium Pembaharuan Hukum pidana Nasional
tahun 1980, dalam salah satu laporannya menyatakan:
1) Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan
harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan
serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat
dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat
negara, korban, dan pelaku.
2) Atas dasar tujuan pemidanaan tersebut maka pemidanaan harus
mengandung unsur-unsur yang bersifat :
a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut
menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang;
b. Edukatif di sini dalam arti bahwa pemidanaan yang
diberikan mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas
perbuatannya yang dilakukan dan menyebabkan ia
mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi
usaha penanggulangan kejahatan;
c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan
adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh
masyarakat.88
87 Keputusan Seminar Kriminologi ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hal. 4. 88 Barda Nawawi Arief, 1994. Op.cit. hal. 82
116
Kemudian dalam RUU KUHP Nasional89
tujuan pemidanaan
dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1) Pemidanaan
bertujuan:
a. Mencegah dilakuannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Mensyaratkan warga binaan dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terbina;
e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
merendahkan martabat manusia.
Berdasarkan paparan tersebut maka tampak bahwa salah satu tujuan
pemidanaan, adalah untuk memperbaiki si pelaku. Berbagai istilah sering
digunakan untuk menyatakan tujuan ini, antara lain : rehabilitasi, reformasi,
treament of offenders, re-edukasi, re-adaptasi sosial, re-sosialisasi,
pemasyarakat, pembebasan.90
Sedangkan penjara saat ini tidak lagi hanya
dimaksudkan sebagai bentuk hukuman badan, tetapi metode yang digunakan
untuk bekerja pada pikiran seseorang serta tubuhnya, melalui 3 area yang
berbeda yang meliputi: Hukuman, Pencegahan, dan Rehabilitasi. Ketika 3
bidang ini saling terkait ke dalam suatu proses tunggal dimaksudkan untuk
memungkinkan masyarakat untuk menghapus penjahat dari posisi di mana
mereka dapat terus melakukan perilaku kriminal mereka. Menempatkan
89 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 90 Ibid. hal. 86
117
mereka ke dalam lembaga yang memenuhi massa yang menginginkan
beberapa bentuk retribusi, memberikan pengaruh kepada penjahat bahwa
kegiatan tersebut tidak menguntungkan, dan dalam waktu yang singkat untuk
membentuk mereka menjadi warga negara yang taat hukum dan produktif
melalui pengkondisian psikologis positif yang kemudian mungkin reintegrasi
ke dalam masyarakat.
Dengan perbaikan pada diri si pelaku, maka diharapkan orang tersebut
tidak mengulangi lagi perbuatan jahatnya. Bertolak dari hal ini maka sering
pula dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk mencegah terjadinya
pengulangan (recidive). Menjaga aman umumnya terdiri dari menjaga
narapidana terkunci, dihitung, dan dikontrol sementara memungkinkan untuk
saat terisolasi dari kegiatan kesejahteraan untuk memenuhi kebutuhan melalui
rekreasi, pendidikan dan konseling. Sayangnya, kesejahteraan dan kebebasan
psikologis dari tahanan individu tidak tergantung pada berapa banyak
pendidikan, rekreasi, dan konseling yang ia terima melainkan, bagaimana dia
bisa hidup dan berhubungan dengan narapidana lain yang merupakan penting
dan hanya dunia yang berarti. Karena pada akhirnya tidak ada efek jera pada
para narapidana dengan adanya pidana penjara pendek, walaupun memang
ada narapidana yang merasa jera melakukan tindak pidana, yang lebih
tepatnya mereka hanya merasa “malu” mempunyai cap atau stigma bahwa
mereka adalah mantan narapidana. Dimana ada beberapa narapidana yang
masih beranggapan bahwa tindak pidana yang mereka lakukan lebih baik
118
dibandingkan para narapidana jangka panjang karena memang dilihat dari segi
jenis tindak pidananya, narapidana yang di jatuhi masa pidana penjara jangka
pendek adalah mereka yang melanggar tindak pidana ringan, seperti pencurian
dan perjudian, lain halnya dengan narapidana jangka panjang yang biasanya
melanggar perbuatan pidana yang dianggap jauh lebih memalukan dan
merugikan korbannya, seperti tindak pidana pembunuhan dan pemerkosaan.
Bagi narapidana yang tidak terlalu sensitive menganggap bahwa
pembinaan selama masa pidana penjara pendek hanya sebagai pengisi waktu
luang atau masa istirahat setelah banyak melakukan banyak pekerjaan saat di
luar penjara. Jadi ada kemungkinan mereka dapat melakukan perbuatan
pidana lagi setelah keluar penjara dan telah selesai masa pidananya.
Sedangkan bagi narapidana yang sensitif, pidana penjara pendek tetap
membawa efek jera, terutama bagi keadaan psikisnya, karena pasti ada
penilaian yang buruk di mata masyarakat setelah lepas atau selesai menjalani
masa pidananya disebut juga sebagai stigmatisasi.
Sekalipun pidana penjara tersebut berjangka pendek, maka justru akan
sangat merugikan, sebab di samping kemungkinan terjadi hubungan-
hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas
tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi warga binaan
di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma
atau cap jahat. Stigmatisasi ini pada dasarnya akan menghasilkan segala
bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut menimbulkan stigma lagi. Suatu
119
kejahatan seseorang secara resmi dipidana, sehingga ia kehilangan
pekerjaannya di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi
menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang benar. Stigma
meningkatkan sanksi negatif dan sanksi negatif tersebut memperkuat stigma.
2. Faktor-Faktor Penghambat Pembinaan Terhadap Warga
Binaan Pidana Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap
Adapun pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di
Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap terdapat beberapa hambatan atau faktor-faktor lainnya yang
mengakibatkan tidak efektifnya tujuan pemidanaan. Hal ini dapat terlihat
dalam beberapa pendapat para petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap serta warga binaan pidana pendek sebagai responden tentang hal-hal
apa saja yang dapat menghambat pelaksanaan pembinaan warga binaan masa
pidana pendek selama masa pidana berlangsung. Hal itu terlihat dari pendapat
Basuki Raharjo A.Md.IP,selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana /
Anak Didik menyatakan bahwa adanya pembinaan terhadap warga binaan
masa pidana pendek sulit untuk dilaksanakan sesuai dengan program
pembinaan yang ada khusus terhadap warga binaan masa pidana pendek.
Dengan singkatnya waktu pembinaan, mereka hanya mengikuti beberapa
tahapan saja, misalnya : Admisi Orientasi, Maksimum Sekuriti, Medium
Sekuriti dan Minimum Sekuriti, dan tidak melewati tahap Asimilasi, sesuai
120
peraturan yang telah ada dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan, di mana tahap Asimilasi merupakan salah satu tahap yang
harus dijalani untuk mengembalikan narapidana kedalam lingkungan
masyarakat sebagai warga yang baik. Selain itu kurangnya peran serta
Pemerintah Daerah terhadap perkembangan pembinaan warga binaan di
Lapas, serta belum adanya landasan hukum yang khusus tentang pembinaan
warga binaan pidana pendek dapat menimbulkan tidak adanya program yang
pasti bagi petugas dalam melaksanakan pembinaan terhadap warga binaan
pidana pendek.91
Pendapat tersebut juga di dukung dengan pendapat
Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M. Selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Cilacap, bahwa petugas merupakan tenaga yang harus mengkoordinir kegiatan
pembinaan, namun jika petugas tidak professional untuk memberikan
program kegiatan yang telah terprogram dengan pasti kepada warga binaan
pidana pendek, pastilah pelaksanaan pembinaan tersebut juga akan terhambat.
Selain itu dari luar petugas, kurangnya peran serta masyarakat dan keluarga
warga binaan untuk mendukung program pembinaan agar warga binaan serius
mengikuti semua kegiatan pembinaan yang telah diberikan juga menjadi salah
91 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 12 Juli 2012.
121
satu faktor terhambatnya pembinaan warga binaan, terutama warga binaan
pidana pendek. 92
Selain itu ada pula pendapat dari warga binaan pidana pendek yang
bernama Muhamad Abdul Rozak93
dan Kristina Setyo Astuti94
dimana
keduanya berpendapat bahwa singkatnya waktu pidana mereka menjadi alasan
mereka sedikit merasa malas untuk mengikuti semua kegiatan dengan lebih
serius yang di berikan petugas, walaupun sebenarnya mereka mengerti bahwa
semua kegiatan yang diberikan adalah kegiatan positif yang dimaksudkan
sebagai bekal mereka agar mereka menjadi orang yang lebih baik lagi dan
dapat diterima oleh masyarakat saat masa pidananya telah selesai. Pendapat
senada dengan warga binaan tersebut dinyatakan pula oleh Tutut Jemi
S,Amd.IP.SH.Msi selaku Kepala Kesatuan Pengaman Lembaga
Pemasyarakatan, bahwa ada warga binaan yang malas mendengarkan
pengarahan dari petugas karena mereka tahu hukuman mereka hanya singkat,
disamping itu ada hambatan lainnya, yaitu struktur bangunan Lembaga
Pemasyarakatan tidak memadai untuk mengikuti prosedur pembinaan yang
benar-benar memenuhi mutu standar yang efektif bagi warga binaan pidana
pendek.95
92 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11Juli
2012. 93 Wawancara dengan warga binaan pidana pendek Muhamad Abdul Rozak tanggal 12 Juli 2012 94 Wawancara dengan warga binaan pidana pendek Kristina Setyo Astuti tanggal 12 Juli 2012 95 Wawancara dengan Tutut Jemi S, Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012.
122
Berdasarkan pendapat responden yang terdapat dalam data primer di
atas, maka dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor penghambat pembinaan
terhadap pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
dapatlah dikelompokan menjadi dua, pertama yakni faktor internal dan kedua
faktor eksternal.
a. Faktor internal, meliputi waktu pembinaan yang sempit
atau singkat, petugas yang masih kurang dalam kuantitas
serta kualitas untuk membedakan pembinaan terhadap
warga binaan pidana penjara pendek, belum adanya
peraturan perundang-undangan yang khusus untuk
pengaturan program pembinaan pidana pendek, serta
bangunan yang kurang memadai untuk memisahkan warga
binaan pidana pendek dengan warga binaan yang menjalani
pidana penjara lebih lama. 96
b. Faktor eksternal yakni kurangnya kesadaran pada diri
warga binaan untuk memanfaatkan pembinaan yang
diberikan selama masa pidana dengan lebih serius, serta
kurangnya dukungan dari pihak keluarga warga binaan
96 Wawancara dengan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan Warga Binaan Pidana
Pendek.
123
serta instansi terkait yang seharusnya turut berpartisipasi
dalam pembinaan warga binaan pidana pendek.97
Masalah pokok dari efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat
sebenarnya terletak pada faktor– faktor yang mempengaruhinya yaitu : 98
a. Faktor hukumnya sendiri.
Faktor hukumnya sendiri yang harus menjadi persyaratan utama
adalah mempunyai cukup kejelasan makna dan arti ketentuan, tidak
adanya kekosongan karena belum ada peraturan pelaksanaanya,
peraturan tersebut sinkron secara vertikal dan horizontal sehingga
mengurangi luasnya interprestasi masyarakat. Seperti dalam
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai pola
pembinaan yang bersifat umum ternyata tidak dapat efektif untuk
mencapai tujuan pembinaan narapidana.
b. Faktor pembina Lembaga Pemasyrakatan Klas IIB Cilacap
Secara sosiologis, antara hukum dan pelaksana hukum merupakan
dua hal yang berbeda hukum termasuk perundang–undangan dan
berbagai azas hukum yang mendasarinya merupakan suatu yang
abstrak, sebaliknya peningkatan hukum merupakan suatu yang
97 Wawancara dengan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan Warga Binaan Pidana
Pendek. 98
Soerjono Soekanto. 1983., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajagarafindo
Persada. Jakarta. hal 7
124
konkret. Penghubung antara yang abstrak dan konkret itu dalam
penegakan hukum adalah penegak hukum.. Suatu peranan berfungsi
apabila sesorang berhubungan dengan pihak lain atau dengan
beberapa pihak. Peranan tersebut dapat berupa peranan yang ideal,
peranan yang seharusnya dan peranan yang aktual. Peranan yang
seharusnya dari penegak hukum tertentu, telah dirumuskan dalam
undang–undang. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
kurangnya pedoman pembinaan yang terpogram dan kurangnya
inisiatif para pembina untuk membuat dan melaksanakan program
kegiatan pembinaan yang lebih khusus kepada waraga binaan
pidana pendek, sehingga kegiatan tidak efektif untuk mencapai
tujuan pemidanaan.
c. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan
Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling
berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu
sistem normal dan nilai yang teorganisasi menjadi pegangan bagi
masyarakat tersebut. Faktor masyarakat dan kebudayaan ini
memegang peranan sangat penting, hal ini berkaitan dengan taraf
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Kesadaran
hukum merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan
hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum.
Tingkat kesadaran hukum tercapai apabila masyarakat mematuhi
125
hukum. Warga masyarakat mematuhi hukum karena:
1) rasa takut pada sanksi negatif sebagai akibat melanggar
hukum;
2) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik
dengan lingkungan;
3) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik
dengan penguasa.99
Seperti yang di nyatakan oleh Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala
Lembaga Pemasyarakatan bahwa kurangnya peran serta masyarakat dan
keluarga warga binaan untuk mendukung agar warga binaan serius mengikuti
semua program kegiatan pembinaan yang telah diberikan juga menjadi salah
satu faktor terhambatnya pembinaan warga binaan, terutama warga binaan
pidana pendek yang sangat singkat masa pembinaannya.100
Dari hal-hal tersebut di atas maka harus dipikirkan kembali tentang
penggunaan sanksi pidana berupa pidana penjara pendek dengan mengingat
impliasi negatif terutama bagi pelaku. Harus terdapat alternatif sanksi pidana
penjara pendek yang dapat lebih efektif dalam pencapaian tujuan pidana dan
pemidanaan serta menghindari efek negatif atas pemenjaraan. Alternatif
sanksi yang tepat adalah berupa pidana bersyarat dan pidana denda. Selain itu
99
K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study
Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). 100 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.
Tanggal 11 Juli 2012.
126
adanya Psikologis Penjara101
mungkin memainkan peran penting dalam
koreksi kelembagaan, dalam mengurangi efek psikologis yang dialami oleh
narapidana.
Dimana Psikolog dapat merekomendasikan program-program yang
terbaik akan cocok pelanggar dengan kebutuhan mereka. Ini mungkin
termasuk program pengobatan penyalahgunaan zat-zat terlarang,
pengembangan keterampilan membaca dan menulis, pengambilan keputusan,
kontrol kemarahan, pelatihan kerja yang berarti, kontak dengan keluarga, atau
pengobatan seks pelaku. Tujuan minimal mereka mungkin untuk membantu
narapidana mengatasi realitas kehidupan penjara. Namun, program tersebut
hanya akan bermanfaat jika narapidana memasukkan mereka secara sukarela
dan dengan serius serta lamanya waktu untuk rehabititasi atau perbaikan.
Alternatif solusi sebagai upaya untuk mengindari efek negatif pidana
penjara pendek yakni dengan Pidana bersyarat. Pidana bersyarat dalam KUHP
diatur dalam ketentuan Pasal 14 a sampai Pasal 14 f dengan segala bentuk
aturan pelaksanaannya.
Dalam Pasal 14a KUHP dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya
dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
101 Bartol, CR, & Bartol, AM (1994) Psikologi dan Hukum: Penelitian dan Aplikasi (2 nd ed.). Pacific
Grove, CA: Brooks / Cole.
127
a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya
tidak lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat
dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara,
dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana penjara
yang diancamkan atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi
yang akan dijatuhkan pada si terdakwa;
b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana
kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan
pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan
pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah
satu tahun.
c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat
dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin
bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh
si terdakwa.
Menurut Muladi lembaga pidana bersyarat memang mempunyai
tujuan pemidanaan berupa penyelamatan warga binaan dari penderitaan
pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan
segala aspeknya.102
Alasan ini sangat penting apabila benar-benar tidak perlu
dikhawatirkan bahwa yang bersalah akan mengulangi suatu tindak pidana
yang agak berat. Dengan menghindarkan warga binaan dari pengaruh buruk
pidana pencabutan kemerdekaan maka masyarakat akan terlindungi dari
kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat, yang sebenarnya tidak
perlu terjadi.
Pemenjaraan itu sendiri tampaknya bekerja dengan baik pada dua
populasi. Pada beberapa, jangka pendek dari penjara meyakinkan mereka
bahwa mereka harus memperbaiki perbuatan-perbuatan jahat mereka. Penjara
bertindak untuk meyakinkan pelaku bahwa tindakan melawan hukum
102 Muladi, 1985. Op.cit, hal. 89.
128
memiliki konsekuensi serius. Selanjutnya dengan memberikan kesempatan
bagi warga binaan untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, yang secara
fakultatif dapat dibantu oleh lembaga yang disebut Balai Pemasyarakatan
(Bapas), hal ini merupakan pencerminan dari aliran “defence sociale
nouvelle” yang mengutamakan pengakuan, penggunaan, dan pengembangan
atas rasa tanggung-jawab yang merupakan bagian yang penting dari setiap
manusia, termasuk pelaku tindak pidana.
129
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
dalam bab di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa pidana
pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap yang
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999
Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan sudah sesuai, sebagai pola pembinaan yang
bersifat umum. Namun ternyata hal tersebut tidak dapat efektif
untuk mencapai tujuan pembinaan narapidana. Hal ini mengingat
pendekmya waktu pidana sehingga program pembinaan tidak
dapat memperoleh banyak manfaat. Di sisi lain justru
menimbulkan implikasi negatif bagi si terpidana berupa
“stigmatisasi”.
2. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan pembinaan Warga Binaan
masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
dapatlah dikelompokan menjadi dua pertama yakni faktor internal
dan kedua faktor eksternal. Yaitu:
130
a. Faktor internal:
Meliputi waktu pembinaan yang pendek dan singkat,
karakter warga binaan yang cenderung malas dan
menganggap pidana penjara pendek adalah hukuman
yang ringan dan singkat , petugas yang masih kurang
dalam kuantitas serta kualitas, belum adanya peraturan
perundang-undangan yang khusus untuk pengaturan
program pembinaan pidana pendek, serta bangunan
yang kurang memadai untuk menjalankan semua
program dan kegiatan pembinaan bagi warga binaan
pidana pendek.
b. Faktor eksternal:
Kurangnya dukungan dari pihak keluarga warga
binaan, masyarakat untuk mendukung program
pembinaan yang diberikan oleh petugas terhadap warga
binaan pidana pendek agar, dengan memberi
support/dukungan warga binaan untuk lebih serius
mengikuti semua kegiatan pembinaan walaupun
simgkat waktu pembinaannya. Serta peran instansi
terkait yang seharusnya turut berpartisipasi dalam
pembinaan warga binaan pidana pendek.
131
B. Saran
1. Untuk menunjang keberhasilan pembinaan terhadap Warga Binaan
masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap
perlu pengaturan khusus, baik mengenai tahap pembinaan, metode
pembinaan, dan proses interaksi dengan masyarakat. Peran
masyarakat dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan masa
pidana pendek, harus lebih ditekankan untuk tidak memberikan
stigma kepada warga binaan pidana pendek yang telah
menyelesaikan masa pidananya, agar dapat memaksimalkan proses
pembinaan dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan. Selain itu
harus dibuat atau dibangun ruangan khusus di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, khusus bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan masa pidana pendek, agar dalam penempatannya
antara warga binaan masa pidana penjara pendek dengan warga
binaan masa pidana penjara lebih dari satu tahun dapat dipisahkan,
sehingga pembinaan yang dilakukan oleh petugas dapat lebih
fokus dan terprogram dan diharapkan tercapainya efektifitas
pembinaan dan pemidanaannya.
2. Harus dipikirkan kembali tentang penggunaan sanksi pidana
berupa pidana penjara pendek dengan mengingat implikasi negatif
terutama bagi pelaku. Apabila tidak terdapat hal-hal yang sangat
132
perlu untuk menjatuhkan pidana penjara pendek, maka alangkah
baiknya cukup dengan memberikan pidana bersyarat atau pidana
denda.
133
DAFTAR PUSTAKA
Buku Literatur
Achmad S Soemadi Pradja, R, et. Al., “Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
“, Badan Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta,
Jakarta, 1979.
Angkasa, Prisonisasi dan Permasalahannya terhadap Pembinaan Warga
binaan ( Suatu studi di Lembaga Pemasyarakatan Semarang dan
Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto), Tesis, Universitas
Diponegoro, Semarang. 1993.
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1994.
Atmasasmita, Romli, Kepenjaraan dalam Suatu Bunga Rampai. Armico,
Bandung, 1983..
-----------------------, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta,
Bandung, 1979.
-----------------------, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks
Penegakkan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni. 1982.
Bartol, CR, & Bartol , AM (1994) Psikologi dan Hukum: Penelitian dan
Aplikasi . Pacific Grove, CA: Brooks / Cole.
Dirdjosisworo, Soedjono. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan),
Armico. Bandung. 1984.
134
Hanintijo Soemitro, Ronny. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Kansil ,C.S.T,. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1986.
Kant, Philosopy Of Law, Bahan Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.
Koesnoen, Politik Penjara Nasional, Sumur Bandung, Bandung, 1961.
Komarudin, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa,
Bandung, 1974.
Khairul. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation
(Case Study Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). Tersedia
pada Website Sumber http://www.google.co.id. 2005.
Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Amiko, Bandung, 1984.
---------------------,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung. 1997.
--------------------------, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung.
1985.
---------------------, Pembinaan Warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan
Nusakambangan, Makalah Seminar di Universitas Indonesia tanggal
21-22 Oktober 1992.
135
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang. 2002.
Muladi & Barda Nawawi Arief , Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia
Bahan Kuliah Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang, 1983.
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Liberty, Jakarta, 1986.
Prakoso, Djoko, S.H. Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek
Peradilan. Ghalia Indonesia. 1984.
Projodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika
Aditama. Bandung . 2002.
Raharjo, Satjipto. Sistem Peradilan Dalam Wacana Kontrol Sosial. Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi. Vol.I/Nomor I/1998. PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Sahetapy, J.E, Ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana,
Disertasi di Universitas Airlangga (1978), Rajawali, Jakarta, 1982.
Sudarto, Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita
Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981.
Suprianto, Efektivitas Pelaksanaan Asimilasi Di Lembaga Pemasyarakatan
Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2008.
136
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,
Raja Grafindo, Jakarta, 1983.
Schaftmister , Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang, 1979.
Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama. Semarang, 2005.
Yasid Effendi dan Kuat Puji Prayitno. Hukum Panitensier Indonesia.
Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. 2005.
Peraturan Perundang-undangan
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan
Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Dari Sangkar ke Sanggar, Jakarta,
1975.
Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan,
Jakarta, 1990.
Keputusan Menteri Kehakiman No. Y.S 4/3/7 tahun 1975, yang mengatur
kegiatan bimbingan di Lembaga Pemasyarakatan dan Bispa.