efektivitas pembinaan terhadap warga binaan...

150
i EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun Oleh : Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti E1A007190 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012

Upload: dinhhanh

Post on 19-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

EFEKTIVITAS PEMBINAAN

TERHADAP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KLAS IIB KABUPATEN CILACAP

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh :

Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti

E1A007190

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

ii

PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI

EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN

PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP

Oleh :

Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti

E1A007190

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan

Pada Tanggal.....................2012

Penguji I/ Pembimbing I Penguji II/ Pembimbing I Penguji III

Haryanto Dwiatmodjo S.H,M.Hum Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H Sunaryo S.H.,M.Hum

NIP.195404261980031004 NIP.196105271987021001 NIP.196409231989011001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman

Dr.Angkasa, S.H,M.Hum

NIP. 196409231989011001

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN

PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN CILACAP

Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data

serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenarannya.

Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi

termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Purwokerto, November 2012

Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti.

E1A007190

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

berkah, rahmat, petunjuk, dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul Efektivitas Pembinaan Terhadap Warga Binaan

Pemasyarakatan Masa Pidana Penjara Pendek Lembaga Pemasyarakatan Klas

IIB Kabupaten Cilacap.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah guna memenuhi salah satu persyaratan

menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

Melalui skripsi ini penulis menyadari besarnya bantuan dari berbagai pihak

dan penulis selayaknya menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada :

1. Allah SWT, atas segala rahmat dan kemudahan yang telah diberikan;

2. Bapak Dr.Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman;

3. Bapak Haryanto Dwiatmodjo, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I

yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;

v

5. Bapak Sunaryo, S.H.,M.Hum., selaku dosen penguji yang telah

memberikan penilaian dan masukkan saran perbaikan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini;

6. Bapak Supriyanto, S.H, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan dukungan dan nasehat kepada penulis dari awal perkuliahan

hingga sekarang;

7. Kedua orang tua, yang tak ternilai pengorbanannya dan tak pernah

berhenti memberikan dukungan dan doanya, serta kakak-kakak tersayang

yang memberikan bantuan dan dukungannya bagi penulis;

8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Hanya keikhlasan doa dan untaian kata terima kasih yang penulis dapat

sampaikan, semoga kebaikan kalian semua akan dibalas dengan kebaikan yang

berlipat oleh Allah SWT. Tiada gading yang tak retak, dengan segala kerendahan hati

penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis sangat menghargai dan mengharapkan saran demi perbaikan skripsi

ini. Penulis berharap semoga hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua,

terutama dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana.

Purwokerto, November 2012

Ade Cahya Ningtiyas Wijayanti

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Thanks to......

My Beloved family :

Luvly Mom and Dad (Alm),,beribu kata maaf dan terima kasih dari ade ga

akan sanggup mengganti semua kasih sayang kalian untuk ade,,terutama Mamah

u’re my Hero, my Wonder Woman n my Inspiration. Semua pengorbanan dan

perjuangan mamah untuk ade dan kluarga ga pernah akan ada tandingannya. Sabar ,

Ikhlas , Mandiri, dan Pantang Menyerah itu yang selalu Mamah ajarkan terapkan di

hati ade, dan semua adalah salah satu yang mendorong ade dapat menyelesaikan

Skripsi ini. Maaf banget ya mah, sampai detik ini ade masih nyusahin Mamah. Sabar

ya Mah sampai nanti ade bisa ngebales semua pengorbanan dan perjuangan Mamah.

Untuk (Alm) Papah di Surga, walau singkat keberadaan Papah buat nyayangin dan

ngedidik ade,tapi semua ajaran dan didikan Papah dulu masih slalu ade inget,dan

bener2 ngebantu ade hingga saat ini. Pokoknya Luv U All dimana dan kapanpun

kalian berada.

Luvly Brothers n Sisters Mas Ari, Mba Uli, Mas Ririn, Mba Nurul, Mas

Gofur,n My Brother in law Raja Segaran yang jauh-jauh disana, makasih banyak

juga buat semua sayangnya ke ade, walau kadang saling nyebelin dan nyusahin tapi

gimanapun kalian tetep Saudara tersayang yang ade punya.

My best friends, my 2’nd Family :

Mamih icha, mba nia n kisty sahabat dari jaman SMA,,kalian semua keluarga

pertama aq di Purwokerto,sekarang giliran aq yg ingin sukses kaya kalian

semua..hehe Miss u all of you soo much..

Girls Of f14,,, Mamih Uphie Palupi S.S my sister dikosan yang paling baiiiiiiikkk

(tapi polahnya msh kaya bocah) dan dia yang paling banyaak aq repotiinn karena

semuaa kekurangankuuu selama kost d F14, makasih banget dah warisin kertas buat

ngeprint skripsi sampe skripsi aq selese, hehe.. thanks a lot for everything n anything

mih.. Mamaaahh Winiiee Widya S.E,, wlo awal pindah kosaan juteeeekk bgt ma aq

karna provokasi pihak tak bertanggung jawab akhirnya semua bisa clear,dan saat aq

mati2an ngejar nyelesein Skripsi, kamu dah banyak ngebantuu juga, makasih buat

pinjeman kendaraannya buat bolak balik kampus dan penelitian ke Cilacap ya mam,,

hehe.. Dyah Mira E, S.H (JoeMira), Mbull (Niken), MbaDetol (Dita), Lilay (Lily),

Dindong (Dini), Luthe, Nila, dan CengiLuse (Mey), kalian semua adalah pelengkap

keluarga kedua aq disini, belajar menyayangi, berbagi, sabar dan ikhlas dalam suatu

persahabatan dan bermasyarakat bisa aq dapet selama tinggal bersama kalian, dan aq

bakal kangeeeeennn bgt kalian semua saat aq pindaah dr F14 besok.

vii

Bascoommm… Bundoooh Yan Desiana S.H , Mpok Esty Setiawati S.H, Sulistya

Enenk S.H n Noviitarini Nophe S.ip,, walo aq yang paling trakhir kenal kalian,,tpi

semua seru saat-saat kita bersama..kalian kluarga Rock n Roll dah pkknya,,!!

Erlina Puspa Induun my best friend,my best sister,my best rival dan my best

Partner on Unsoed Basket Ball Team,,jadi musuh tiap Faculty Cup,,Hukum VS

Ekonomi musuh bebuyutan slalu,,haha..banyak hal yg terjadi selama kita temenan,

seneng bareng, sedih bareng, sama2 sakit hati, gila-gilaan, diem2an, kompakan

sekompak2nya, udah pernah kita lewati selama 4,5 tahun lebih ini, tapi finally tetep

aja ga bisaa benci , marah beneran, dan menjauh jdi musuh,,brasa dh sodara banget

yg sering ribut,, hahaha.. makasih buat semua dan maaf klo ada salah yg blm bisa km

maafin, hehe.. buruan lulus jugaa yaa,, kan dah janji mau foto sama bola basket di

Lap.Soemarjto pas Wisuda, bertiga sama BIGMAN Unsoed yg paling Tembem si

Dewi Wulaaanbabii,hahaha,, SUKSES buat kita semua..amiiiiinn..!!!!!!

Dwi Haryoko,Trisna Indra Saputra n’ maulana muhamad akbar

S.Psi thank you so much for all your help, care and patience while accompanying me

at the time,, learned a lot from you, about patience and sincerity..:)

All of my friends n the others:

Friends in Faculty of Law..temen2 angkatan 2007 klas B, Novira Sapii temen

pertama saat pertama kuliah di kelas baru, Linaa Lele n’ Ayu Beoo,,gr2 mrekaa aq

punya panggilan “Pandaa” dikampus smpai skrg,,,haha Ofutgas maupun anak

angkatan lain yang kenal aku, makasiii yaaaa kalian udah bantu aku selama aku

kuliah di fakultas hukum UNSOED, dari pertama kali aku masuk sampe skrg aku

lulus .

Basketball teammates in that team Unsoed Basket Ball Team n IUS Basket Ball,,

semua yang pernah mau bekerja sama dalam tim Basket yang paling aku SUKA dan

menjalankan organisasi bersama aku ucapkan banyak terima kasih dan maaf kalau

ada salah2 yaaa..especially My ExCoach Andri Kurniawan S.Ip,, who has taught

me about the discipline!!! One more, my Junior my Lil Sister, Dahlya Sekartadji

makasiih udaah bantuiin seminar kmrn yaahh,,hehe lanjutkan perjuangan IBB n UBB

UNSOED selanjutnyaaa,, (^,^)p

Friends of KKN Banteran.. Dewi, Tami, Lia, Ade, Ridho, Via, Faris n Tomi,,

makasii kalian uda jdi temen, sahabat, dan keluarga aku selama KKN, tanpa klian

mgkn KKN jadi sepi dan mgkn aku ga betah di selama KKN.

viii

And the other........yang ga bs aku sebutin satu per satu, termasuk aa’ rental, mas-mas

fotocopyan dan orang-orang yang uda bantu aku selama aku kuliah di Fakultas

Hukum Unsoed,, makasiiii,makasiiih,,n makaasiiih semuanyaaaaa........

Special thanks to: Sandy Oscar… the weirdest ever in my life, the most amusing, but often angered,

who already taught me to care about each other in between a "differences". The

sacrifice and your hard work to help me finish my college, made me very, very

precious.. and now I could only always been praying for your success of later as a

sense of gratitude for all the your sacrifices during the this time .. God Bless You..

Thanks a lot and I love you all.. God bless us whenever and wherever we’re we are,,

ix

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul "Efektivitas Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan

Masa Pidana Penjara Jangka Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Cilacap".

Skripsi ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan serta penggunaan

pidana penjara jangka pendek dalam sistem pemidanaan dan kemudian mengetengahkan alternatif pemikiran sehubungan dengan eksistensi pidana penjara jangka pendek dalam

pembaharuan hukum pidana. Hal ini didasarkan oleh pengalaman empiris yang tampaknya

untuk menunjukkan pembinaan untuk tahanan hukuman jangka pendek atau narapidana tidak efektif. pidana penjara jangka pendek adalah hukuman yang diberikan kepada seseorang atas

tindak pidana yang dia lakukan, dengan hukuman di bawah 1 (satu) tahun (kurang dan atau

sama dengan satu tahun).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dirumuskan bahwa ada 2 masalah dalam hal ini,masalah tersebut adalah: bagaimana pelaksanaan pembinaan untuk narapidana pidana

penjara jangka pendek agar dapat mencapai tujuan pemidanaan serta menganalisa faktor apa

saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan untuk narapidana masa pidana penjara jangka pendek. Analisis ini dirumuskan dari penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis-

yuridis. Data yang diambil adalah data primer yang berasal dari sumber daya petugas penjara

dan narapidana (napi) dengan pidana penjara jangka pendek. Selain data primer, terdapat data sekunder yang digunakan. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan teori hukum pidana dan

pemidanaan.

Pembinaan untuk narapidana masa pidana penjara jangka pendek yang didasarkan

pada peraturan pemerintah No 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan membimbing narapidana penjara sebagai pola pelatihan umum ternyata tidak efektif sebagai tujuan

pelatihan narapidana. Hal ini mengingat waktu hukuman singkat sehingga program

pembinaan tidak bisa mendapatkan banyak keuntungan. Di sisi lain, hal itu menyebabkan implikasi negatif bagi narapidana dalam bentuk keterasingan dan stigma.

Berdasarkan hal itu, dapat disarankan hal beberapa sebagai berikut. Pertama, untuk

mendukung keberhasilan pembinaan bagi narapidana pidana penjara jangka pendek dalam penjara membutuhkan pengaturan khusus, metode pelatihan dan proses interaksi dengan

masyarakat. Kedua, perlu menelaah kembali penggunaan hukuman penjara jangka pendek

sebagai hukuman dengan mempertimbangkan implikasi negatif terutama bagi pelaku. Jika

tidak ada kebutuhan untuk memberikan hukuman jangka pendek, penulis menyarankan penggunaan pidana denda. Ketiga, peran masyarakat dalam pembinaan pemasyarakatan

narapidana dengan hukuman pidana penjara jangka pendek, lebih ditekankan untuk

memaksimalkan proses pelatihan dalam mencapai tujuan hukuman. Keempat, membangun penjara khusus untuk narapidana hukuman penjara jangka pendek, sehingga dalam

penempatan antara narapidana hukuman jangka pendek dan narapidana dengan hukuman

lebih dari satu tahun dapat dipisahkan. Kelima, kebutuhan peraturan dan hukum yang

mengatur pola pelatihan bagi narapidana hukuman jangka pendek sehingga petugas dapat lebih efektif dalam melakukan pelatihan.

Kata kunci: efektivitas, pembinaan, narapidana, jangka pendek.

x

ABSTRACT

This thesis entitled "Development Effectiveness On Prisoner Short Periode

Of Criminal Prison in Prison District Class IIB Cilacap", this paper is intended to

gain an overview of the implementation and the use of short-term imprisonment in the

system and then presents the alternative punishment of thought with respect to the

existence of long imprisonment short in criminal law reform. This is based by the

empirical experience which seems to show the training for short term punishment

prisoner or inmate not effective. Short term punishment is a punishment which is

given to a person for a what he did, which receives judge or court sentence with

punishment under 1 (one) year (less and or equal to a year).

Based on the things mentioned above, so it is formulated that there are 2

problems in the these, they are : how do the training for short term punishment

inmate achieve the aim of punishment and what factors obstruct the training

application for short term punishment inmate. The analysis is formulated by first,

making research by using the sosiological-yuridical approach. The data taken is

primary data which comes from resources of penitentiary officers and inmate

(prisoner) with short term punishment. Beside primary data, the secondary data is

used. The data collected are analyzed by criminal law theory and criminology.

The training for short term punishment inmate which based on government

regulation No. 31 in 1999 about the training and guiding of penitentiary inmate as a

general training pattern turns out to be ineffective the aim of inmate training. This is

considering the short punishment time so that the training program can not get many

advantages. On the other side, it causes negative implications for the inmate in the

form of alienation and stigmatisasion.

Based on it, it can be suggested few thing as follows. First, to support the

success of the training for the short term punishment inmate in penitentiary needs a

special arrangement, training method and interaction process with the society.

Second, it needs to be reanalyze the use of short term jail punishment as a

punishment by considering the negative implication especially for the does. If there is

no need to give short term punishment, the writer suggests the use of conditional

punishment and social work punishment. Third, the role of society in penitentiary

inmate training with short term punishment, is more emphasized to maximize training

process in achieving punishment aim. Fourth, build a penitentiary specialized for

short term punishment penitentiary inmate, so that in the placement between the short

term punishment inmate and the inmate with punishment more than a year can be

separated. Fifth, the needs of regulation and law which organize the training pattern

for the short term punishment inmate so that the officer can be more effective in

conducting the training.

Key words : effectiveness, development, inmate, short term.

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii

SURAT PERNYATAAN.................................................................................... iii

KATA PENGANTAR......................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... vi

ABSTRAK........................................................................................................... ix

ABSTRACT........................................................................................................... x

DAFTAR ISI........................................................................................................ xi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………….... 1

B. Perumusan Masalah………………………………………………... 11

C. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 11

D. Kegunaan Penelitian……………………………………………….. 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Hukum............................................................................ 13

1. Pengertian Efektivitas Hukum....................................................... 13

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum................ 15

xii

B. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan……………………... 20

1. Pengertian pembinaan……………………………………….... 20

2. Wujud pembinaan ……………………………………………. 30

C. Narapidana dan Masa Pidana Pendek…………………………….. 37

1. Pengertian Narapidana……………………………………………. 37

2. Pengertian masa pidana penjara pendek………………………….. 39

D. Pengertian pidana dan pemidanaan, Tujuan dan Kebijakan

Pemidanaan………………………………………………………….. 41

1. Pengertian Pidana……………………………………………....... 41

2. Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan………………………………. 51

BAB. III METODE PENELITIAN………………………………………. 55

A. Metode Penelitian……………………………………………………. 55

B. Spesifikasi Penelitian……………………………………………….… 55

C. Lokasi Penelitian……………………………………………………... 56

D. Jenis dan Sumber Data……………………………………………….. 56

E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………........ 56

F. Metode Penyajian Data………………………………………………. 58

G. Metode Analisis Data……………………………………………........ 58

BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………...... 60

A. Hasil Penelitian………………………………………………….......... 60

1. Data Sekunder……………………………………………………….... 60

a. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap....... 60

xiii

b. Ketentuan Pelaksanaan Pembinaan……………………………….. 83

c. Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Penjara Pendek……... 89

2. Data Primer………………………………………………………….... 92

B. Pembahasan…………………………………………………………... 102

1. Efektivitas Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Masa Pidana

Penjara Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap………………………………………………………….. 103

2. Faktor – faktor Penghambat Pembinaan Terhadap Warga Binaan

Pidana Penjara Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap………………………………………………………...... 119

BAB. V PENUTUP………………………………………………………….. 129

A. Simpulan…………………………………………………………….. 129

B. Saran……………………………………………………………........ 131

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....... 134

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Hukum Pidana yang dikembangkan dewasa ini,masih lebih

banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana daripada

sanksi pidana.1Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh

norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh

isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi. Selama ini yang banyak

dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum

pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungan jawab pidana,

yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana, yang pada dasarnya

terletak di luar bidang pidana dan sistem pemidanaan.

Pertentangan pendapat antara para ahli mengenai pentingnya pidana

inilah yang harus dicari penyelesainnya, antara lain dapat dilakukan dengan

mengadakan penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka

masalah pidana dan pemidanaan sebagai salah satu masalah pokok dalam ilmu

hukum pidana tidak dapat dianggap lagi sebagai “anak tiri dari ilmu hukum

pidana”. Persoalan tentang pemberian pidana serta pelaksanaan pidana serta

pelaksanaan pidana , tidak hanya berkaitan dengan hukum acara pidana saja,

1 J.E Sahetapy, 1982, Ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana, Disertasi di

Universitas Airlangga (1978), Rajawali, Jakarta, , hal.1.

2

tetapi juga hukum pelaksanaan pidana. Akibatnya, masalah pidana penjara

dan pelaksanaannya dapat menjadi ruang lingkup telaah hukum pidana.2

Mempelajari tingkah laku manusia sebagai gejala sosial secara

empiris, dipandang tidak termasuk bidang ilmu hukum, antara lain oleh

madzhab ilmu hukum analitis. Ajaran madzhab ilmu hukum sosiologis telah

membekali pandangan tentang hukum yang tidak hanya terbatas pada hukum

yang dogmatis. Hukum mempunyai aspek tingkah laku manusia, sehingga

hukum merupakan gejala sosial yang dapat diteliti secara empiris.3

Sistem Pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual

dan historis berbeda dengan yang berlaku dalam Sistem Kepenjaraan. Sistem

Pemasyarakatan menempatkan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai subjek

dan dipandang sebagai pribadi, warga biasa serta dihadapi bukan dengan latar

belakang pembalasan tetapi menganut asas pembinaan serta bimbingan.

Perbedaan sistem tersebut, memberi implikasi pada perbedaan dalam cara-

cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang

ingin dicapai.

Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara merupakan

salah satu bagian dari sistem peradilan pidana ( criminal justice system) ,

mempunyai posisi yang sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir

sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan reintegrasi social pelanggar

2 Sudarto, 1981, ”Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan”, Kapita Selekta Hukum

Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 78. 3 Moeljanto, 1983, Asas Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal . 14

3

hukum, bahkan sampai penanggulangan kejahatan, di mana penilaian terhadap

Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara ditentukan oleh hasil

pembinaan yang dilakukan oleh lembaga tersebut lebih mengarah kepada

keberhasilan atau kegagalan. Di Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan

Negara inilah proses pembinaan dan bimbingan narapidana berlangsung di

bawah pengelolaan aparat atau petugas pemasyarakatan khususnya

Departemen Kehakiman pada umumnya. Pembinaan pun dilakukan dengan

mendasarkan pada peraturan undang-undang.

Pembinaan Narapidana merupakan persiapan terhadap Narapidana

agar dapat melakukan proses berintegrasi terhadap masyarakat, hingga dapat

berperan kembali menjadi anggota masyarakat yang bebas bertanggung

jawab. Pembinaan Narapidana di Indonesia dewasa ini dikenal dengan nama

pemasyarakatan yang mana istilah penjara telah di ubah menjadi Lembaga

Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat

jahat melalui pendidikan. Seseorang yang melakukan tindak pidana akan

mendapatkan ganjaran berupa hukuman pidana, jenis dan beratnya hukuman

pidana itu sesuai dengan sifat perbuatan yang telah ditentukan oleh Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.

Orang-orang yang dikenakan hukuman atas pebuatannya lazim disebut

dengan narapidana. Para narapidana akan ditempatkan pada suatu tempat

tertentu yakni di Lembaga Permasyarakatan yang dulu dikenal dengan istilah

penjara. Dunia penjara bukan merupakan dunia kehidupan para tahanan dan

4

penjahat yang baru lahir, melainkan lembah hitam ini sudah dikenal manusia

sejak berabad-abad tahun lalu, dapat terbukti dengan sistem penjara demikian

sudah ada sewaktu masa pemerintahan Romawi Kuno. Hal ini di cetuskan

oleh Saharjo, pada tahun 1963 yang menyatakan:

" ….Di bawah pohon beringin yang telah kami tetapkan untuk menjadi

penyuluh dalam petugas untuk memperlakukan narapidana agar

bertaubat juga mendidik agar supaya ia menjadi anggota masyarakat

yang pancasialis dan berguna. Jadi tujuan penjara itu adalah

pemasyarakatan.”.4

Sistem Pemasyarakatan yaitu suatu sistem pembinaan yang pada

dasarnya bertitik tolak pada pandangan bahwa sekalipun narapidana sebagai

orang hukuman yang di batasi kebebasannya, akan tetapi narapidana tetap

sebagai manusia yang pada hakekatnya memiliki harkat dan martabat

sekalipun sebagai anggota masyarakat Indonesia. Sistem Pemasyarakatan

yang berlaku dewasa ini secara konseptual dan historis sangatlah berbeda

dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Azas yang dianut dalam

Sistem Pemasyarakatan menempatkan Narapidana sebagai subjek dan

dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa serta dihadapkan bukan

dengan latar belakang pembalasan, tetapi dengan pembinaan dan bimbingan.

Perbedaan dua sistem tersebut memberikan implikasi pada perbedaan dalam

4 R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979 , “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan

Pemnbinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.

5

cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan disebabkan tujuan yang

ingin dicapai.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan

pemasyarakatan harus ditingkatkan melalui pendekatan persuasif dan

pendekatan pembinaan mental, dasar dan tujuan pokok bimbingan penyuluhan

agama adalah pemulihan harga diri Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai

pribadi dan warga negara yang meyakini dirinya masih memiliki potensi

produktif bagi pembangunan bangsa. Untuk itu, Warga Binaan

Pemasyarakatan dididik (dilatih) guna menguasai berbagai pembinaan

keterampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan berguna bagi

pembangunan.

Pembinaan bagi Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan /

Rumah Tahanan Negara bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi

Narapidana dalam menghadapi kehidupan setelah bebas dari masa hukuman.

Istilah Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara muncul sebagai

ganti dari istilah pejara. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Prayudha dkk,

sebagai berikut;

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga

Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara tidak terlepas dari sebuah

dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi

Narapidana dalam menghadapi kehidupan setelah bebas dari masa

hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya,

perisitilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi

pemasyarakatan. Tentang istilah lahirnya Lembaga Pemasyarakatan /

Rumah Tahanan Negara dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu

untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini

6

dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H yang menjabat Menteri

Kehakiman RI pada saat itu.5

Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu system pembinaan terhadap

para pelanggar hukum dan sebagai pengejawantahan keadilan yang bertujuan

untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara

Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Sistem Pemasyarakatan

dalam perkembangan selanjutnya mulai dilaksanakan dengan ditopang oleh

UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang – undang

Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem

pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan

Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, Hamid Awaludin

mengatakan:

Pemasyarakatan adalah suatu system yang dilakukan oleh Negara

kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang

menyadari kesalahannya.6

Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki

diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan

di dalam Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara bukan sekedar

untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses

5 Andre Dicky Prayudha dan Anna Maria Ayu.. 2008, Esensi Lembaga Pemasyarakatan sebagai

Wadah Pembinaan Narapidana ( Sebuah Tinjauan berdasarkan Konsep menurut Rahardjo, S.H)..

6 Diakses melalui www.depkumham.go.id

7

pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri

serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.

Proses pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan akan lebih

baik lagi, karena warga binaan mendapat pengayoman dan pembinaan dalam

arti mereka dibina untuk menjadi warga masyarakat yang baik, sejalan dengan

butir pertama dari Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan, yaitu :

“Ayomi dan berikan kepada mereka bekal hidup sebagai warga yang

berguna di dalam masyarakat”.7

Tujuan pembinaan bukan pembalasan atau penjeraan tetapi suatu

proses perlakukan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam rangka

mendapatkan pembinaan agar dapat menjadi manusia seutuhnya sebagai

layaknya warga negara lain.

Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan meliputi segala upaya yang

dilakukan oleh petugas pemasyarakatan untuk mengembalikan Warga Binaan

yang sementara hidupnya tersesat agar dapat diterima kembali di tengah

masyarakat. Pembinaan terhadap Warga Binaan yang dilaksanakan dalam

berbagai bentuk kegiatan, pada hakekatnya mengandung maksud dan tujuan

membentuk sikap dan kepribadian manusia seutuhnya.

7 R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979 , “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan

Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.

8

Secara umum pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan bertujuan

agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya sebagai yang telah menjadi

arah pembangunan nasional melalui pendekatan :

1. Memantapkan iman (ketahanan mental) mereka;

2. Membina agar mereka mampu berintegrasi secara wajar di dalam

kehidupan kelompok selama dalam Lembaga Pemasyarakatan /

Rumah Tahanan Negara dan kehidupan yang lebih luas

(masyarakat) setelah selesai menjalani pidananya.8

Secara khusus pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan bertujuan

agar selama masa pembinaan dan sesudah selesai menjalani pidananya :

1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya

serta bersikap optimis akan masa depannya;

2. Berhasil memperoleh pengetahuan, minimal ketrampilan untuk

bekal, mampu hidup mandiri dan berpartisipasi dalam

pembangunan nasional;

3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin

dalam sikap dan perilakunya yang tertib dan disiplin serta mampu

menggalang rasa kesetiakawanan social;

8 S . Hartoyo, “Pemasyarakatan dan tanggapan masyarakat”, Majalah Bina Taruna Warga, No. 11

Nopember 1997, hal. 6.

9

4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa

dan negara. 9

Warga Binaan Pemasyarakatan yang menjalani pidana dalam

Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara, berdasarkan jangka

waktu lamanya pidana penjara yang dijatuhkan dapat dibedakan menjadi

narapidana dengan masa pidana penjara jangka panjang dan narapidana

dengan masa pidana penjara jangka pendek. Masa pidana jangka panjang

adalah suatu pidana penjara yang dijatuhkan atau diberikan kepada seorang

terpidana dengan masa pidana di atas 1 (satu) tahun.

Menurut Schaftmister, masa pidana penjara jangka pendek adalah

suatu pidana yang dijatuhkan atau diberikan kepada seseorang atas

perbuatannya yang telah mendapatkan keputusan hakim atau pengadilan

dengan pidana penjara dibawah 1 (satu) tahun (kurang dan atau sama dengan

satu tahun).10

Golongan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masa pidana

dibawah 1 (satu) tahun di Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara

secara administratif digolongkan pada beberapa register, yaitu :

1. Register B.I, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana lebih

dari 1 (satu) tahun.

2. Register B.IIa, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana

lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun.

9 “Romli Atmasasmita, 1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, Hal : 19. 10

Schaftmister , 1979. Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang.

10

3. Register B.IIb, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana

lebih dari 1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga) bulan.

4. Register B.III, dalam register ini dicatat warga binaan yang dipidana

kurungan termasuk pidana pengganti denda.

Penggolongan yang demikian oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah

Tahanan Negara juga dapat dijadikan acuan untuk menyusun program

pembinaan, terkait juga dengan proses dan pentahapan pembinaan Warga

Binaan, yaitu : Maximum Security, Medium Security, dan Minimum

Security.11

Memperhatikan hal tersebut untuk Warga Binaan yang mendapatkan

pidana penjara lebih dari satu tahun (B.I) dapat melewati dan menjalani

pembinaan secara bertahap dan teratur untuk mendapatkan pembinaan yang

optimal karena dengan jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, tentu akan lebih

memudahkan untuk menentukan kapan warga binaan beralih dari suatu tahap

ke tahap berikutnya dan menentukan bentuk pembinaan apa yang tepat,

sedangkan pembinaan terhadap Warga Binaan masa pidana pendek yang

kurang dari 1 (satu) tahun atau golongan B.IIa dan B.IIb tidak sepenuhnya

dapat menjalani proses pentahapan pembinaan dan pembimbingan, sehingga

tujuan pembinaan sulit untuk diwujudkan.

11

Departemen Kehakiman RI, 1990, Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Jakarta.

11

Untuk itu penulis membahas dan meneliti secara langsung dari

beberapa Warga Binaan dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang ada di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap. Berdasarkan hal

tersebut, maka penulis tertarik memaparkan dalam skripsi yang berjudul

“EFEKTIVITAS PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN

PEMASYARAKATAN MASA PIDANA PENJARA PENDEK DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB KABUPATEN

CILACAP”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan

masa pidana penjara pendek dalam sistem pelaksanaan pemidanaan di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap?

2. Faktor-faktor apakah yang menghambat pelaksanaan pembinaan terhadap

warga binaan masa pidana penjara pendek di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Kabupaten Cilacap?

C. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa

pidana penjara pendek dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan

pembinaan terhadap pidana penjara pendek.

12

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat

a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi perkembangan

sistem pemidanaan dan menambah wawasan serta pengetahuan tentang

Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara bagi penulis

dan pembaca.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan penetapan

kebijakan dan strategi pemasyarakatan di lingkungan Lembaga

Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara khususnya dalam menangani

warga binaan masa pidana penjara pendek yang berorientasi pada tujuan

pemidanaan.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Hukum

1. Pengertian Efektivitas Hukum

Kata efektivitas banyak dilontarkan oleh para ahli hukum khususnya

aliran sosiologi, istilah tersebut didasarkan atas suatu pemikiran para ahli

yang memang mempunyai dasar tersendiri yang tumbuh menjadi teori, yang

kemudian teori-teori ini akan digunakan sebagai pisau analisis untuk

membahas suatu permasalahan. Kata efektivitas berarti :

“ Ada efeknya (Akibat, pengaruhnya, kesannya); manjur atau

mujarab (tentang obat, obat itu ternyata cukup efektiv

mengurangi rasa sakit); dapat membawa hasil; berhasil guna

(tentang usaha, tindakan); hal mulai berlakunya (tentang

undang-undang,peraturan).”12

Efektivitas menurut Soerjono Soekanto adalah :

“ Efektivitas hukum banyak sekali menyangkut warga

masyarakat sebagai subyek atau pemegang peranan. Hukum

menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh

subyek hukum dan hukum akan semakin efektif apabila

peranan yang dijalankan oleh para subyek hukum semakin

mendekati apa yang telah ditentukan dalam hukum.”13

12 Pusat Bahasa, 2003, Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, hal 284. 13 Suprianto, 2008, Efektivitas Pelaksanaan Asimilasi Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto,

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman hal. 11.

14

Menurut A. Emerson, efektivitas adalah :

“ Pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang

telah ditentukan sebelumnya. Jelas bila sasaran atau tujuan

telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya

adalah efektif. “14

Subekti, menambahkan bahwa :

“ Hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam

pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan

kebahagiaan pada rakyatnya. Ditambahkan hukum juga

melayani tujuan negara tersebut dengan

menyelenggarakan ”keadilan” dan ”ketertiban”, syarat-

syarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran

dan kebahagiaan. Keadilan berasal dari Tuhan Yang

Maha Esa, tetapi manusia diberi kecakapan dan

kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan

yang dinamakan keadilan. Dan segala kejadian di alam

dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-

dasar keadilan itu pada manusia.15

Efektivitas merupakan proses yang bertujuan agar suatu sistem berlaku

efektif. Efektivitas juga diartikan harus memenuhi syarat :

a. Hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis.

b. Penegak hukumnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan

kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku,

c. Fasilitas dan prasarana yang mendukung dalam proses penegakan

hukumnya,

d. Kesadaran hukum masyarakat dan warga masyarakatnya mendukung,

14 Astuti Ajie Probo Retno, 2006, Pengaruh Iklim Organisasi & Pembinaan Pegawai

TerhadapEfektivitas Pelayanan Umum di Kantor Kecamatan Banyumas, FISIP UNSOED,

Purwokerto, hal. 17. 15 C.S.T. Kansil. 1986, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

hal, 40 - 41.

15

e. Budaya hukumnya perlu ada syarat yang tersirat.16

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum

Lawrence M Friedman dalam Esmi Warassih 17

, mengemukakan

bahwa setiap sistem hukum mengandung tiga unsur yang mempengaruhi

yaitu:

a. Komponen yang disebut dengan structure of the law (struktur hukum)

merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum;

b. Komponen substance of the law (materi hukum) berupa norma-norma

hukum (peraturan-peraturan, keputusan-keputusan).

c. Komponen hukum yang bersifat kultural atau legal culture (budaya

hukum) dalam sebuah masyarakat.

Untuk memperoleh efektifitas hukum mempunyai hubungan yang erat

dengan usaha-usaha yang dilakukan, agar hukum benar-benar dapat hidup di

masyarakat. Hal ini sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang

mempengaruhinya, menurut Soerjono Soekanto18

efektivitas hukum harus

memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Hukumnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, filosofis;

b. Penegak hukumnya betul-betul telah melaksanakan tugas dan

kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku;

16 Suryono. 2009 Konsep-Konsep Sosiologi Hukum, Dalam Website

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/sosiologi-hukum-2/sosiologi. 17 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama.

Semarang, , hal. 104-105. 18 Soerjono Soekanto. 1983., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajagarafindo

Persada.Jakarta. hal 7

16

c. Fasilitas dan prasarana yang mendukung dalam proses Penegakan

hukumnya;

d. Kesadaran hukum masyarakat dan warga masyarakatnya mendukung;

e. Budaya hukumnya perlu ada syarat yang tersirat.

Selain itu Paul dan Dias dalam Esmi Warassih 19

mengajukan 5

syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu

pertama sudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan

dipahami, kedua luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang

mengetahui isi aturan hukum yang bersangkutan, ketiga efisien dan efektif

tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum, keempat adanya mekanisme

penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh

setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam

menyelesaikan sengketa, kelima adanya anggapan dan pengakuan yang

merata di kalangan masyarakat bahwa aturan dan pranata hukum itu memang

sesungguhnya berdaya kemampuan efektif.

Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti

membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa

masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang di maksud

berarti mengkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat; yaitu berlaku

secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku secara filosofis.

Bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut Donald Black, dipengaruhi

19 Esmi Warassih, Op.cit. hal. 104-106.

17

oleh faktor personal (diantaranya adalah pengalaman, pengetahuan, sikap,

perilaku, persepsi, opini, kecerdasan, kepatuhan, kepemimpinan, dan lain-

lain), faktor pemegang peran, faktor pelaksana hukum dan faktor sosial.

Menurut Khairul 20

agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap

tindak atau prilaku, maka diperlukan kondisi tertentu yaitu:

a. Hukum harus dikomunikasikan, tujuannya menciptakan pengertian

bersama, supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi prilaku

warga masyarakat, maka hukum harus disebarkan seluas mungkin

sehingga melembaga dalam masyarakat.

b. Diposisi untuk berperilaku, artinya hal-hal yang menjadi pendorong

bagi manusia untuk berprilaku tertentu.

Ditambahkan oleh Khairul dalam penelitian yang sama menyebutkan

bahwa masalah pokok dari efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat

sebenarnya terletak pada faktor– faktor yang mempengaruhinya yaitu :

a. Faktor hukumnya sendiri.

Faktor hukumnya sendiri yang harus menjadi persyaratan

utama adalah mempunyai cukup kejelasan makna dan arti ketentuan,

tidak adanya kekosongan karena belum ada peraturan pelaksanaanya,

peraturan tersebut sinkron secara vertikal dan horizontal sehingga

mengurangi luasnya interprestasi masyarakat.

20 K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study

Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok), Tersedia pada Website Sumber

http://www.google.co.id.

18

b. Faktor penegak hukum.

Secara sosiologis, antara hukum dan pelaksana hukum

merupakan dua hal yang berbeda hukum termasuk perundang–

undangan dan berbagai azas hukum yang mendasarinya merupakan

suatu yang abstrak, sebaliknya peningkatan hukum merupakan suatu

yang konkret. Penghubung antara yang abstrak dan konkret itu dalam

penegakan hukum adalah penegak hukum..

Secara sosiologis setiap penegak hukum mempunyai

kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan posisi tertentu dalam

struktur kemasyarakatan yang mungkin tinggi, sedang atau rendah.

Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-

hak dan kewajiban–kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-

kewajiban tadi merupakan peranan. Oleh karena itu maka seseorang

mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang

peranan. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat

atau tidak berbuat sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.

Suatu peranan berfungsi apabila sesorang berhubungan dengan

pihak lain atau dengan beberapa pihak. Peranan tersebut dapat berupa

peranan yang ideal, peranan yang seharusnya dan peranan yang aktual.

Peranan yang seharusnya dari penegak hukum tertentu, telah

dirumuskan dalam undang–undang.

19

c. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan

Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling

berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu

sistem normal dan nilai yang teorganisasi menjadi pegangan bagi

masyarakat tersebut. Faktor masyarakat dan kebudayaan ini

memegang peranan sangat penting, hal ini berkaitan dengan taraf

kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Kesadaran

hukum merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan

hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum.

Tingkat kesadaran hukum tercapai apabila masyarakat mematuhi

hukum. Warga masyarakat mematuhi hukum karena:

1) rasa takut pada sanksi negatif sebagai akibat melanggar hukum;

2) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan

lingkungan;

3) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan

penguasa.21

Konsep budaya menurut Linton 22

adalah ” Suatu tatanan pola

perilaku yang dipelajari, diciptakan, serta ditularkan di antara suatu

anggota masyarakat tertentu.”

21

K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study

Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). Tersedia pada Website Sumber

http://www.google.co.id.. 22 Upaya Pelayanan Kesehatan Jiwa.Tersedia dalam Website http//www.depkes.go.id.

20

Hubungan budaya dengan bekerjanya hukum adalah bahwa

kemampuan untuk menempatkan pranata hukum di tengah-tengah sistem

budaya masyarakat. Hukum merupakan simbol dari sistem budaya yakni

adanya kesesuaian antara hukum dan sistem budaya yang ada dalam

masyarakat sebagai nilai-nilai dan sikap-sikap hukum. Dengan demikian

perubahan pada sistem budaya harus diikuti dengan perubahan sistem

hukumnya.

Pemahaman akan konsep budaya, membawa kita pada kesimpulan

bahwa gagasan, perasaan dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya

sangat dipengaruhi oleh budaya yang berlaku di masyarakat. Demikian pula

pergeseran ataupun perubahan pada tatanan budaya dalam suatu masyarakat

akan diiringi dengan perubahan perilaku dari individu yang hidup di

dalamnya. Budaya tercipta sebagai upaya manusia untuk beradaptasi terhadap

masalah-masalah yang timbul dari lingkungan hidupnya. Selanjutnya budaya

mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian manusia dalam

kelompoknya. Interaksi keduanya membentuk suatu pola spesifik perilaku,

proses pikir, emosi dan persepsi individu atau kelompok.

B. Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

1. Pengertian Pembinaan Masyarakat

Sebelum penerapan sistem pemasyarakatan, sebelumnya

dilaksanakan system kepenjaraan yang mulai berlaku di Indonesia

21

mulai tahun 1917, bertepatan dengan diberlakukannya Gestichen

Reglement ( Peraturan Penjara) Stb. 1917 No. 708 dalam sistem

kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan yang tidak lain

adalah suatu penjeraan, artinya seseorang yang dipidana dibuat jera

atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukannya dengan maksud agar

tidak mengulangi tindak pidana lagi.

Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang

dipidana (Narapidana) dengan cara yang tidak baik, tidak manusiawi

dan masih banyak lagi perlakuan lainnya yang dinilai sangat

bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan

dalam sistem kepenjaraan narapidana ditempatkan hanya sebagai

objek yang harus dipekerjakan saja tanpa memperhatikan

eksistensinya sebagai manusia. Seolah-olah keberadaan narapidana di

penjara adalah semata-mata karena wujud dari pembalasan dendam.

Pada sistem kepenjaraan tujuan pembinaan adalah sebagai

penjeraan dengan maksud membuat jera agar tidak melakukan tindak

pidana lagi, sehingga peraturan yang ada di buat keras bahkan sering

tidak manusiawi. Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah:

“ Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan

atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan

kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu yang di akibatkan

oleh putusan hakim”.23

23 Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sisstem Pemasyarakatan. Liberty.

Yogyakarta. hal 125.

22

Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa

waktu yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang

berfalsafah Pancasila, jika di amati sistem kepenjaraan tersebut

terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap

harinya mereka harus ditempatkan dalam sel yang dikelilingi tembok

yang tinggi dengan sistem pengawasan yang sangat ketat. Sistem yang

demikian jelas sangat menghambat proses rehabilitas dan resosialisasi

dari warga binaan, sehingga stigma-stigma terhadap warga binaan sulit

di hilangkan setelah mereka kembali ke masyarakat.

Dalam sistem kepenjaraan dimana narapidana di tempatkan

sebagai objek, mereka di klasifikasikan menjadi beberapa golongan

menurut besar kecilnya masa pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Adapun klasifikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Golongan B-I

Golongan B-I adalah narapidana yang dijatuhi pidana di

atas satu tahun.

b. Golongan B-II a

Golongan B-II a adalah narapidana yang dijatuhi pidana

antara empat sampai dua belas bulan.

23

c. Golongan B-II b

Golongan B-II b adalah narapidana yang dijatuhi pidana

antara satu hari sampai tiga bulan.

d. Golongan B-III

Golongan B-III adalah narapidana yang dipidana kurungan

atau pidana kurungan pengganti pidana denda.24

Dari klasifikasi tersebut diatas menunjukkan dengan jelas adanya

perlakuan narapidana yang semata-mata hanya sebagai objek saja, karena

dalam pendekatan yang dilakukan mengelompokkan narapidana dalam suatu

golongan hanya berdasarkan pada besar kecilnya masa pidana tanpa

memperhatikan faktor lain yang menjadi penyebab orang tersebut melakukan

tindak pidana yang pada akhirnya mereka berstatus sebagai narapidana.

Permulaan pembaharuan pidana diawali oleh kritik yang tajam

mengenai keadaan buruk di lingkungan rumah penjara, kemudian meningkat

pada tuntutan perbaikan nasib narapidana berdasar alasan kemanusiaan.

Peningkatan lebih lanjut tertuju pada konsepsi menjauhkan narapidana dari

lingkungan buruk tembok penjara dengan dasar pemikiran bahwa narapidana

tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Yasid Effendi dan Kuat

Puji Prayitno, dalam hal ini berpendapat sebagai berikut:

Seiring perkembangan jaman, negara dan masyarakat mulai

memperhatikan juga cara untuk merubah mereka yang dihukum

penjara agar nantinya bisa menjadi warga negara yang baik.

24 Ibid.

24

Pembaharuan pidana tersebut dituntut untuk lebih memperhatikan nilai

humanism yang bersifat universal. Adanya pembaharuan tersebut di

harapkan agar dikemudian hari dapat mencegah dan mengurangi

kejahatan. Menurut Masters, pemidanaan tidak digunakan untuk balas

dendam tetapi untuk pembinaan, yaitu untuk menyembuhkan pelaku

kejahatan dari sakitnya.25

Pembaharuan pidana penjara yang menjunjung tinggi nilai-nilai

humanism juga dikemukakan oleh Romli Atmasasmita sebagai berikut:

Pemidanaan dengan Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu

pembaharuan pidana penjara yang dinilai mempunyai nilai humanisme

yang lebih bersifat universal. Pemasyarakatan yang berarti

memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga negara

yang baik dan berguna, pada hakekatnya adalah resosialisasi. Menurut

Brim dan Wheeler, resosialisasi digunakan untuk memperbaiki

kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam sosialisasi.26

Sistem Pemasyarakatan yang bersifat kemanusiaan menumbuhkan

pemikiran tentang metode baru untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki

penjahat melalui pembinaan sebagai upaya untuk membina narapidana

menjadi manusia yang baik. Bambang Poernomo dalam hal ini berpendapat

sebagai berikut:

Sistem pemasyarakatan merupakan salah satu pilihan pembaharuan

pelaksanaan pidana penjara yang mengandung upaya baru pelaksanaan

pidana penjara dan perlakuan cara baru terrhadap narapidana yang

berlandaskan kemanusiaan yang bersifat universal. Pembaharuan

tersebut menumbuhkan pemikiran tentang metode baru untuk

mencegah kejahatan dan memperbaiki penjahat. Sistem

pemasyarakatan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mewujudkan

upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru

25 Yasid Effendi dan Kuat Puji Prayitno. 2005. Hukum Panitensier Indonesia. Fakultas Hukum

Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. hal. 45. 26 Romli Atmasasmita. 1982 op. cit. hal. 45.

25

terhadap narapidana agar hasil pembinaan menjadi manusia yang

baik.27

Pembinaan narapidana dilakukan sejak si terpidana masuk dalam

Lembaga Pemasyarakatan dan secara bertahap dilakukan pembimbingan

lanjutan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosisworo,

yaitu:

Usaha pembinaan terpidana dimulai dari hari pertama ia masuk dalam

lembaga hingga pada saat ia keluar dari lembaga dan setelah itu di

lanjutkan dengan usaha pembimbingan lanjutan yang diselenggarakan

oleh instansi-instansi pemerintah atau swasta bila diperlukan, dengan

mengingat pribadi tiap-tiap terpidana secara progresif sesuai dengan

cepat atau lambatnya kemajuan sikap, tingkah laku terpidana.28

Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan Pasal 1 angka 1 dirumuskan definisi pemasyarakatan sebagai

berikut:

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga

binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara

pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam

tata peradilan pidana.

Pada Pasal 1 angka 2 dirumuskan mengenai pengertian sistem

pemasyarakatan sebagai berikut:

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan

Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang di

bina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan

27 Bambang Poernomo. 1993. op. cit. hal.ss 20. 28 Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico.

Bandung. hal. 200.

26

pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan

tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik

antara pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang di bina atau

warga binaan pemasyarakatan dan masyarakat mutlak diperlukan untuk

menyiapkan kembali warga binaan dapat kembali ke masyarakat dan di terima

baik oleh masyarakat.

Di Indonesia istilah pembinaan (treatment) bagi narapidana lebih

dikenal dengan istilah “Pemasyarakatan”. Hal ini disebabkan karena metode

pembinaan (treatment) yang digunakan di Indonesia adalah Sistem

Pemasyarakatan.

Konsepsi Pemasyarakatan ini, bukan semata-mata merumuskan tujuan

dari pidana penjara, melainkan merupakan suatu sistem pembinaan dengan

pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik itu ada pada

individu yang bersangkutan, maupun yang ada ditengah-tengah masyarakat

sebagai suatu keseluruhan.29

Ada dua aspek yang sangat menonjol dalam Sistem Pemasyarakatan :

a. Sebagai pembinaan dari pelaksanaan pidana ( pidana penjara );

b. Sebagai pembinaan yang dikenakan pidana.

29 Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan), Armico.

Bandung.

27

Istilah pidana penjara sesungguhnya lebih menuju pada tujuan dari

penjeraan kepada yang dikenakan pidana itu. Yang menjadi masalah sekarang

adalah manakah yang harus mengikuti, apakah lembaga pidananya yang

sudah berusia satu setengah abad ataukah pelaksanaannya yang secara de

facto menyangkut manusia-manusia yang bukan lagi manusia setengah abad

yang lalu.30

Apabila berbicara mengenai usaha-usaha apa yang telah dilaksanakan

dalam penerapan Sistem Pemasyarakatan selama ini maka tidak dapat

dilepaskan dari institusi pelaksanaannya yaitu Direktorat Jenderal Bina Tuna

Warga ( Dirjen. Pemasyarakatan ).

Menurut Keputusan Presiden No. 44 / 45 tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Organisasi Departemen dalam melaksanakan tugasnya Direktorat

Jenderal Bina Tuna Warga dibantu oleh:

a. Direktorat Pemasyarakatan yang bertugas melaksanakan tugas

pembinaan dalam lembaga;

b. Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak yang

bertugas dalam lembaga khusus untuk membina anak didik.

Berlandaskan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1985

proses pemasyarakatan dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahapan, yaitu :

30

Ibid, Hal : 70

28

a. Tahapan Pertama

Setiap narapidana yang masuk Lembaga Pemasyarakatan / Rumah

Tahanan Negara dilakukan penelitian untuk mengetahui perihal

kejahatan yang dilakukan, sebab-sebab melakukan pelanggaran, dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya .

b. Tahap Kedua

Narapidana tersebut yang berada di Lembaga Pemasyarakatan /

Rumah Tahanan Negara sudah menjalani 1/3 masa pidananya dan

menurut Dewan Pembina sudah cukup ada kemajuan, diantaranya

sudah menunjukkan keinsyafan, disiplin dan patuh.

c. Tahapan Ketiga

Proses pembinaan narapidana yang sudah menjalani 1/2 masa pidana

yang sebenarnya menurut Dewan Pembina telah cukup mencapai

kemajuan baik secara fisik maupun mental maka narapidana tersebut

mendapat asimilasi dengan masyarakat luar, antara lain : ikut

beribadah dengan masyarakat luar, olah raga bersama, ikut pendidikan

umum, bekerja diluar dengan pihak ketiga. Akan tetapi, dalam

pelaksanaanya masih tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan

petugas Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara.

29

d. Tahapan Keempat

Jika pembinaan telah menjalani 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau

sekurang-kurangnya 9 bulan maka narapidana yang bersangkutan

dapat diberikan lepas bersyarat.

Berdasarkan proses pemasyarakatan sebagaimana telah diuraikan di

atas maka dapatlah diketengahkan sebagai berikut :

a. Sistem Pemasyarakatan selain mengandung unsur rehabilitasi juga

menitikberatkan pada unsur edukatif;

b. Tujuan memasyarakatkan narapidana berarti :

1) berusaha agar narapidana tidak melanggar hukum lagi ditengah

masyarakat kelak;

2) menjadikan narapidana sebagai peserta aktif dan kreatif dalam

pembangunan;

3) membantu narapidana agar kelak berbahagia dunia akhirat.

c. Berlandaskan pada tujuan pokok di atas maka unsur yang sangat

berperan dalam unsur pemasyarakatan adalah :

1) Petugas;

2) Narapidana;

3) Masyarakat .31

Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan yang lain.

31

Ibid, Hal : 24.

30

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapatlah diambil kesimpulan

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum 32

:

Faktor hukumnya sendiri yang dibatasi oleh Undang-Undang.

a. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun yang menerapkan hukum;

b. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum;

c. Faktor masyarakat lingkungan dimana hukum itu berlaku atau

diterapkan;

d. Faktor kebudayaan hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada

karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Keempat faktor tersebut di atas saling berkaitan, oleh karena itu

memerlukan esensi penegakkan hukum serta tolak ukur dari pada efektifitas

penegakkan hukum.

2. Wujud Pembinaan

Setiap Warga Binaan Pemasyarakatan wajib mengikuti semua

program pembinaan yang diberikan kepadanya, adapun wujud tersebut

meliputi 33

:

1. Pendidikan umum, misalnya : pemberantasan 3 buta (aksara,

angka, dan bahasa) melalui pelajaran kejar paket A yang

32 Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Raja Grafindo

Hal : 5 33

Departemen Kehakiman RI, 1990., Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, Jakarta.

31

dilaksanakan oleh warga binaan dengan pengajar pegawai

Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara yang secara

teknis mendapat bimbingan dan pengawasan dari Kantor Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan;

2. Pendidikan ketrampilan, misalnya : menjahit, pertukangan, dan

pertanian;

3. Pembinaan mental spiritual, misalnya : pendidikan agama,

penyuluhan-penyuluhan dan budi pekerti;

4. Sosial budaya, misalnya : kunjungan keluarga, belajar seni musik,

seni suara, dan kesenian lainnya;

5. Kegiatan rekreasi diarahkan pada pemupukan kesehatan jasmani

dan rohani melalui : olah raga, menonton TV, membaca buku atau

surat kabar.

Dalam program pembinaan khususnya terhadap warga binaan

pemasyarakatan dibagi menjadi dua program pembinaan yaitu :

b. Pembinaan kepribadian yang meliputi :

1) Pembinaan Kesadaran Beragama.

Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama

memberi pengertian agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat menyadari

akibat–akibat perbuatan yang benar dan yang salah. Pembinaan kesadaran

beragama dapat dilaksanakan melalui ceramah keagamaan, pendidikan

agama dan memberikan kesempatan kepada narapidana untuk melakukan

32

ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Usaha ini di lakukan

dengan tujuan supaya narapidana mendapat keteguhan iman serta

memberikan pengertian bahwa perbuatan yang telah mereka lakukan

merupakan perbuatan yang harus di jauhi. Dengan mempertebal iman

dan memperbanyak ibadah itu mempunyai beraneka ragam arti bagi

narapidana, antara lain insan manusia berkewajiban menyembah kepada

pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di samping itu dengan

mendalamnya iman dan ibadahnya, narapidana dan anak didik dapat

mengendalikan hawa nafsunya, mencintai kebaikan dan membenci

kejahatan. Sehingga narapidana / anak didik menyesali perbuatanya yang

sesat dan selanjutnya akan selalu menjalankan segala perintah-Nya dan

menjauhi larangan-Nya demi kehidupan di akhirat nanti. Hal ini termasuk

menjauhi pelanggaran-pelangggaran hukum sebagai konsekwensi

kehidupan di dunia, antara lain:

a) Kegiatan penyuluhan rohani meliputi :

i. Ceramah, penyuluhan dan pendidikan agama;

ii. Ceramah, penyuluhan dan pendidikan umum.

b) Untuk keperluan ceramah, penyuluhan dan pendidikan

sebagaimana dimaksud butir (i), dapat diadakan kerjasama

dengan instansi-instansi pemerintah setempat berdasarkan

ketentuan yang berlaku.

33

2) Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara.

Usaha ini dilaksanakan melalui penyuluhan, termasuk menyadarkan

mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik sehingga dapat

berbhakti untuk bangsa dan negara.

3) Pembinaan Kemampuan Intelektual (Kecerdasan)

Setiap narapidana dan anak didik, kecuali yang sedang menjalani

hukuman disiplin oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah Tahanan

Negara, harus memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan

umum yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan / Rumah

Tahanan Negara. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan umum harus

lebih diutamakan kepada narapidana dan anak didik yang buta huruf

dengan tidak memandang usia. Pendidikan umum bagi narapidana dewasa

disamping pemberantasan buta huruf juga pendidikan Pengetahuan

Umum, Pancasila dan lain-lain untuk menambah kecerdasan /

pengetahuan umum dan kesadaran nasional, kesadaran bernegara hukum

segala sesuatunya diatur dan diselesaikan secara hukum.

Usaha pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara bertujuan supaya

narapidana dapat menjadi warga negara yang baik serta dapat berbakti

kepada bangsa dan negara. Perlu disadarkan pula bahwa berbakti kepada

bangsa dan negara merupakan sebagian iman (taqwa). Pembinaan

kesadaran berbangsa dan bernegara dapat diwujudkan melalui ceramah-

ceramah tentang bela negara dan kecintaan kepada tanah air.Usaha ini

34

diperlukan agar pengetahuan dan kemampuan berfikir Warga Binaan

Pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-

kegiatan positif yang diperlukan selama pembinaan. Pembinaan

intelektual dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan

non-formal.

4) Pembinaan Kesadaran Hukum

Pembinaan kesadaran hukum Warga Binaan Pemasyarakatan dapat

dilakukan dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk

mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota

masyarakat mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut

menegakkan hukum dan keadilan. Perlindungan terhadap harkat dan

martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan

terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada

hukum. Bentuk pembinaan kesadaran hukum ini dapat dilakukan melalui

penyuluhan hukum yang dilaksanakan secara langsung dengan

narapidana sebagai sasaran yang diberikan penyuluhan, sehingga dapat

berdialog dan berkomunikasi secara langsung. Misalnya melalui ceramah,

diskusi, sarasehan, temu wicara, peragaan dan simulasi hukum. Metode

pendekatan yang digunakan adalah dengan metode persuasif, edukatif,

dan komunikatif.

35

5) Pembinaan Olah Raga

Untuk menjaga kondisi kesehatan jasmani, kepada Warga Binaan

Pemasyarakatan diberikan kegiatan olah raga sesuai dengan fasilitas yang

tersedia. Setiap narapidana dan anak didik (kecuali yang sedang sakit atau

menjalani hukuman disiplin) diberikan kesempatan berolah raga baik

sendiri-sendiri maupun terpimpin dengan mengingat keamanan dan

ketertiban baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan /

Rumah Tahanan Negara.

6) Pembinaan Kesenian

Setiap narapidana dan anak didik tanpa terkecuali diperbolehkan

mengikuti kesenian yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan

/ Rumah Tahanan Negara. Kesenian berupa seni suara (menyanyi),

instrumen (band, angklung, gamelan, dan lain-lain), tari atau kesenian

daerah setempat. Kesenian ini diselenggarakan di Lembaga

Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara untuk membentuk budi pekerti

yang halus / tinggi / luhur bagi narapidana dan anak didik serta

mengembangkan bakat-bakat yang sudah ada pada mereka.

7) Pembinaan Mengintegrasikan Diri Pada Masyarakat.

Pembinaan di bidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan

sosial, pemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas warga binaan

mudah diterima kembali oleh masyarakat dilingkungannya. Untuk

mencapai tujuan ini kepada warga binaan selama di Lembaga

36

Pemasyarakatan / Rumah Tahanan Negara dibina untuk patuh beribadah

dan dapat melakukan usaha usaha sosial secara gotong-royong, sehingga

pada waktu mereka kembali kepada masyarakat telah memiliki sifat-sifat

positif untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat

dilingkungannya.

c. Pembinaan Kemandirian meliputi :

Pembinaan kemandirian diberikan melalui program–program :

a. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri

misalnya, kerajinan industri rumah tangga, reparasi mesin

dan alat-alat elektronik lainnya;

b. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil

misalnya : pengelolaan bahan mentah dari sektor pertanian

dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi (pembuatan

sapu, keset, dan lain-lain);

c. Ketrampilan yang dikembangkan sesuai bakat masing-

masing dalam hal ini mereka yang memiliki kemampuan

dibidang seni, diusahakan untuk disalurkan kedalam bakat

guna mengembangkan bakatnya sekaligus mendapatkan

nafkah;

37

d. Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau

kegiatan pertanian dengan menggunakan tekhnologi madya

misalnya menanam sayur-mayur didalam poliback.

C. Narapidana dan Masa Pidana Pendek

1. Pengertian Narapidana

Narapidana adalah terdakwa yang dalam suatu persidangan di

Pengadilan diputus pidana penjara / kurungan dan putusannya telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenal dengan sebutan orang hukuman.

Dalam Pasal 4 Gestichten Reglement, mereka disebut orang terpenjara, maka

dalam hal ini seorang yang dikenakan hukuman kriminal kita sebut

narapidana.34

Namun dalam hal ini petugas juga memberikan pendapatnya

mengenai narapidana, yaitu seseorang yang telah melanggar hukum dan telah

divonis oleh hakim dan ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan /

Rumah Tahanan Negara untuk menjalani pidana. Pada perkembangan

selanjutnya adalah dengan diterapkannya pemidanaan dengan sistem

pemasyarakatan terhadap narapidana. Narapidana adalah anggota masyarakat

yang dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu itu diproses dalam

lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode, dan sistem

pemasyarakatan. Pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi

manusia anggota masyarakat yang baik dan taat hukum. Tujuan dari proses

pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki diri narapidana agar dapat mematuhi

34 R. A. Koesnoen. 1961, Politik Penjara Nasional. Sumur Bandung. Hal : 10.

38

tata tertib yang berlaku tersebur sejalan dengan pendapat Romli Atmasasmita

sebagai berikut:

Orang yang paling berjasa untuk merubah pandangan orang tentang

orang-orang yang terpidana adalah John Howard, yang berpengaruh

terhadap pembaharuan pidana. Ia menggambarkan keadaan yang

paling buruk dari kehidupan orang-orang hukuman di rumah-rumah

penjara. Sejak saat itu orang menghendaki tujuan pidana bukan hanya

untuk membuat jera terdakwa saja, tapi juga memperbaiki diri

narapidana agar dapat mematuhi tata tertib yang berlaku dan kembali

ketengah-tengah masyarakat.35

Dr. Sahardjo dalam pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa

dalam Ilmu Hukum, pada tahun 1963 oleh Universitas Indonesia, telah

menggunakan istilah “nara-pidana” bagi mereka yang telah dijatuhi pidana

“kehilangan kemerdekaan”. Sebelum itu, pada tahun 1961, Mr. R.A.

Koesnoen telah menulis sebagai berikut :

“Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan. Menurut asal-

usul kata penjara berasal dari penjoro (jawa) yang berarti tobat. Dipenjara

berarti dibikin tobat. Menurut politik penjara sekarang yang bertujuan

memperbaiki nara-pidana tidak sesuai lagi, karena tidak dapat seorang

nara-pidana menjadi baik karena dibikin tobat. Menurut pengalaman pun

tidak dapat seorang betul-betul menjadi tobat”. 36

35Romli Atmasasmita. 1982. Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai. Armico. Bandung. hal. 21. 36 R.A Koesnoen, Op.cit Hal : 10.

39

2. Pengertian Masa Pidana Penjara Pendek

Masa pidana jangka pendek adalah suatu pidana penjara yang

dijatuhkan atau diberikan kepada seseorang atas perbuatannya yang telah

mendapatkan keputusan hakim atau pengadilan dengan pidana di bawah 1

(satu) tahun / kurang dan atau sama dengan satu tahun. Pidana penjara jangka

pendek pada dasarnya merupakan dasar perampasan kemerdekaan, atau

merupakan pidana pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 KUHP, hanya

saja pidana penjaranya relative singkat yakni 3 bulan atau di bawah 1 tahun.

Mengingat pidana penjara pendek adalah pidana penjara juga, maka sudah

pasti apabila pidana penjara jangka pendek memiliki seluruh kelemahan yang

ada pada pidana penjara. Tentang hal ini Schaftmister37

mengatakan:

Secara umum bilamana dinyatakan pidana penjara pendek

dibandingkan dengan penjara biasa, maka pidana penjara pendek

memiliki semua kelemahan pidana penjara, tetapi tidak memiliki

aspek positif darinya.

Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan masa pidana pendek

adalah batas waktu yang telah ditetapkan oleh keputusan hakim sebagai batas

maksimum lamanya seseorang menjalani hukuman pidana selama-lamanya 1

(satu) tahun ke bawah.

37 Schaftmister , 1979, Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang, hal.15.

40

Sebagai landasan dalam melaksanakan pembinaan terhadap Warga

Binaan Pemasyarakatan khususnya masa pidana pendek penulis berpedoman

kepada :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 13, 14, 14a s.d f, 15,

16, 17, 19, 23, 24, 25, dan Pasal 29 yang antara lain pasal-pasal tersebut

merumuskan sebagai berikut :

1) Pasal 14 : orang yang dijatuhi pidana penjara wajib menjalankan

pekerjaan yang dijalankan kepadanya menurut aturan yang diadakan

guna pelaksanaan Pasal 29.

2) Pasal 19 ayat (1) : orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib

menjalankan pekerjaan yang diserahkan kepadanya, sesuai dengan

aturan-aturan yang diadakan guna melaksanaan Pasal 29 ayat ( 2 ), ia

diserahi pekerjaan yang lebih ringan dari pada orang-orang yang dijatuhi

pidana.

b. Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdapat pada

Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan Pasal 15. Pasal 5, sistem pembinaan pemasyarakatan

dilaksanakan berdasarkan asas : pengayoman, persamaan perlakuan dan

pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat

manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan,

terjaminnya hak untuk dapat tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 7 ayat

( 1 ) pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan,

dalam ayat ( 2 ) tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 )

41

terdiri atas 3 tahap yaitu pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan,

dan pembinaan tahap akhir.

D. Pengertian Pidana dan Pemidanaan, Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana

Penelaahan tentang pidana dan pemidanaan akan penulis kemukakan

terlebih dahulu dalam bab ini sebagai langkah awal untuk membicarakan

topik selanjutnya tentang pidana penjara dan pelaksanaan pidana penjara yang

meliputi pembinaan narapidana. Hal tersebut didasarkan bahwa pembinaan

narapidana sebagai pelaksanaan pidana penjara adalah merupakan bagian dari

pidana dan pemidanaan.

Pembahasan pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana

sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-

dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan

pemidanaan. Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan

suatu pengenaan derita atau akibat lain yang tidak menyenangkan oleh yang

berwenang terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut

undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan pidana penjara adalah

suatu pidana berupa perampasan kebebasan seseorang untuk bergerak (Pasal 1

(3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

Menurut P.A.F. Lamintang mengemukakan pidana penjara adalah suatu

pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang

42

dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga

Pemasyarakatan.

Didalam membicarakan masalah pidana, khususnya dalam perkara

pidana, oleh hakim disinonimkan perkataan “penghukuman” dengan

“pemidanaan” atau “pemberian / penjatuhan pidana”. Menurut Sudarto dalam

hal ini “penghukuman” mempunyai makna yang sama dengan “sentence” atau

veroordeling” misalnya dalam pengertian “sentenced coditionally” atau

“voorwardelic veroordeeled” yang sama artinya dengan “dihukum pidana

bersyarat”. 38

Dari definisi-definisi pidana tersebut di atas dapatlah diambil

kesimpulan bahwa pidana selalu mengandung unsur-unsur berikut :

a. pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat yang lain yang tidak menyenangkan :

b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang) :

c. pidana itu diberikan kepada yang telah melakukan pidana menurut

undang-undang.39

Sebelum mengetahui tentang tujuan dari hukum pidana itu sendiri ,

akan lebih baik jika diketahui terlebih dahulu fungsi dari hukum pidana. Hal

38 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung, Hal : 7 39 Muladi & Barda Nawawi Arief , 1983, Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia Bahan Kuliah

Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang Hal : 4

43

ini dikarenakan tanpa mengetahui fungsi dari hukum pidana, maka tidak bisa

diketahui apa sebenarnya hukum pidana itu ada.

Hukum dibuat untuk dilaksanakan , yang berarti hukum itu bekerja di

dalam masyarakat atau Negara. Fungsi hukum pidana dapat di bedakan

menjadi 2 (dua) yaitu fungsi umum dan fungsi yang khusus. Fungsi yang

umum dan khusus hukum pidana oleh Sudarto dijelaskan sebagai berikut:

a. Fungsi umum

Fungsi umum dari hukum pidana sama dengan fungsi hukum pada

umumnya, karena hukum pidana merupakan sebagian keseluruhan

lapangan hukum, yaitu mengatur hidup atau menyelenggarakan tata

dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat terjadi hubungan

sosial diantara para anggota masyarakat itu sendiri. Setiap anggota

masyarakat mempunyai kepentingan yang seringkali berlawanan

dengan kepentingan anggota masyarakat lainnya, sehingga seringkali

menimbulkan konflik dan ketidakharmonisan dalam masyarakat,

hukum pidanalah sarana yang diterapkan dalam menyelesaikan konflik

tersebut.

b. Fungsi khusus

Fungsi yang khusus dari hokum pidana adalah melindungi

kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya

dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika

dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam cabang-cabang

44

hukum lainnya. Kepentingan – kepentingan hukum (benda-benda

hukum) ini boleh dari orang seorang daari badan atau kolektiva,

misalnya masyarakat atau Negara. Sanksi yang tajam itu dapat

mengenai harta benda , kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa

seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat

dikatakan, bahwa hukum pidana itu member aturan-aturan untuk

menanggulangi perbuatan jahat.40

Bentuk-bentuk dari adanya sanksi umum dan khusus dari hukum

pidana adalah dengan adanya penjatuhan sanksi. Mengenai penjatuhan sanksi

ini Sudarto menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan)

terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh

ini tidak hanya ada apabila sanksi hukum pidana itu benar-benar

diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada,

karena sudah tercantum dalam perturan hukum (Theorie des

psychischen Zwanges= ajaran paksaan psychis). Sebagai alat “social

control” fungsi hukum pidana adalah subsidier, artinya artinya hukum

pidana hendaknya diadakan , apabila usaha-usaha lain kurang

memadai. Selain daripada itu , karena sanksi hukum pidana adalah

tajam, sehingga berbeda dengan sanksi hukum pada cabang hukum

lainnya, maka hukum pidana harus dianggap sebagai “ultimum

remidium” (obat terakhir) apabila upaya pada cabang hukum lainnya

tidak mempan atau dianggap tidak mempan, oleh karena itu

40 Ibid., hal. 9-10.

45

penggunaannya harus dibatasi, kalau masih ada jalan lain janganlah

mengunakan hukum pidana.41

Berdasarkan apa yang ada diatas dalam perkembangannya dapat

dilihat bermunculan pendapat dari para sarjana tentang apa yang menjadi

tujuan hukum pidana tersebut. Menurut Wirjono Projodikoro tujuan dari

hukum pidana adalah memenuhi rassa keadilan.42

Menurut Tirtamidjaja

yang dikutip oleh Bambang Poernomo, maksud dari hukum pidana ialah

melindungi masyarakat.43

Pada umumnya didalam membuat suatu uraian tentang tujuan hukum

pidana, sebagian penulis hukum pidana tidak mengadakan pemisahan antara

tujuan hukum itu sendiri dengan tujuan diadakannya hukuman atau pidana.

Diantara para sarjana hukum diantarabahwa tujuan hukum pidana adalah:

1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan,

baik secara menakut-nakuti orang banyak ( generale preventive )

maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan

kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi

(speciale preventive ).

41 Ibid., hal. 10 42 Wirjono Projodikoro. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung

.hal.18 43 Bambang Poernomo. 1993, Op. Cit., hal 23.

46

2) Untuk memperbaiki atau mendidik orang-orang yang sudah

menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang-orang

yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat.44

Hukum pidana pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu hukum

pidana formil dan hukum pidana materiil. Pengertian dari kedua hukum

pidana tersebut dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut:

1. Hukum pidana materiil, yang memuat aturan-aturan yang menetapkan

dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang memuat syarat-syarat

untuk dapat menjatuhkan pidana dan mengenai pidana, seperti KUHP.

2. Hukum pidana formil, mengatur bagaimana negara dengan perantara

alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan

hukum pidana. Hukum pidana formil juga disebut hukum pidana.45

Selain pendapat tersebut diatas, beberapa ahli juga memberikan

penjelasan mengenai hukum pidana materii dan pidana formil, sebagaimana

dikutip oleh P.A.F. Lamintang. Sebagai berikut:

a. Van Hamel

Hukum pidana material itu menunjukan asas-asas dan peraturan yang

mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedangkan

44 Wirjono Projodikoro. 2002. Op. Cit., hal. 18 45 Sudarto, 2001. Op. Cit,. hal. 8.

47

pidana formal menunjukan bentuk-bentuk dan jangka waktu yang

mengikat pemberlakuan hukum pidana material.46

b. Van Hattum

Termasuk kedalam hukum pidana material yaitu semua ketentuan dan

peraturan yang menunjukan tentang tindakan-tindakan yang mana

adalah merupakan tinadakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah

orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-

tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan

terhadap orang tersebut. Hukum pidana formal memuat peraturan-

peraturan yang mengatur bagaimana hukum pidana material harus

diberlakukan, biasanya disebut juga hukum acara pidana.47

c. Simons

Hukum pidana material memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan

tindak pidana, perturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang

bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari

orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai

hukuman-hukumannya sendiri, jadi ia menentukan bilamana seseorang

itu dapat dihukum dan bilamana hukuman itu dapat dijatuhkan.

Hukum pidana formal itu mengatur bagaimana caranya Negara dengan

perantara alat-alat kekuasaanya menggunakan haknya untuk

46 P.A.F Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hal. 10 47 Ibid., hal. 11.

48

menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat

acara pidana.48

Jenis-jenis pidana pidana berdasarkan rumusan yang terdapat dalam

KUHP sebagai hukum pidana positif di Indonesia , sesuai dengan rumusan

Pasal 10 KUHP yang menentukan :

Pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok:

1. Pidana mati,

2. Pidana penjara,

3. Pidana kurungan,

4. Pidana denda,

5. Pidana tutupan.

b. Pidana tambahan:

1. Pencabutan hak-hak tertentu,

2. Perampasan barang-barang tertentu,

3. Pengumuman putusan hakim.

Selain pidana yang disebutkan di atas, dalamhukum pidana positif di

Indonesia, juga diatur atau dikenal juga sanksi pidana lainnya yaitu jenis

sanksi pidana berupa tindakan yaitu:

48 Ibid., hal. 11.

49

a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat di

pertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau

terganggu karena penyakit (Pasal 44 KUHP).

b. Bagi anak yang belum berumur 16 (enam belas) tahun yang melakukan

tindak pidana, hakim dapat mengenakan pidana berupa:

1) Pengembalian kepada orang tuanya, walinya, atau

pemeliharanya (Pasal 45 KUHP).

2) Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan pada

pemerintah.49

Dalam bab ini yang akan dibahas adalah Pidana Pemasyarakatan yang

dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan, jadi pidana ini adalah custodial

punishment atau institusional punishment.50

Pidana Pemasyarakatan ini adalah

pidana pengecualian, artinya pidana baru dapat dikenakan apabila ada syarat

yang “ agak luar biasa”. Sifat eksepsionil dari pidana disimpulkan oleh

Sudarto, dari dua hal:

1. Dari penjelasan umum yang menyertai Konsep tersebut yang antara lain

“…sebaiknya pidana pencabutan kemerdekaan, yang berasal dari

pandangan hidup individualis dan melalui weetbook van strafrech

sejak berlaku 1 Januari 1918 berlaku di Indonesia, karena selain tidak

sesuai dengan Pancasila pula karena dalam pelaksanaan menurut

wujud aslinya baik di Negara asal usulnya maupun di Indonesia

menemui kegagalan-kegagalan dalam hendak mencapai tujuannya,

49 P.A.F Lamintang . 1987. Op.Cit,. hal. 69. Pasal 45,46,47 KUHP tidak berlaku lagi sehubung adanya

UU Pengadilan Anak (UU No.3 1997). 50 Djoko Prakoso,S.H. 1984. Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan. Ghalia

Indonesia.

50

ditinggalkan dan diganti dengan pidana baru. Terpidana menurut

pandangan hidup Pancasila adalah individu dan anggota masyarakat

sekaligus, yang hidupnya yang tak dapat diasingkan dari masyarakat.

Pidana pemasyarakatan ini menurut Sudarto, tetap merupakan pidana

pencabutan pidana kemerdekaan, setidaknya pembatasan

kemerdekaan. Kemerdekaan menurut Sudarto diartikan sebagai dapat

berdiri di tempat di mana dan pergi kemana saja yang orang

kehendaki, dan orang yang dijatuhi pidana pidana pemasyarakatan itu

tidak dapat berdiri di tempat atau pergi kemana saja yang ia

kehendaki.

2. Dari ketentuan yang menetapkan syarat kapan pidana pemasyarakatan

itu dapat diajatuhkan, yang mana dalam hal ini menyangkut diri

terpidana yang berhubungan dengan keadaan dan perbuatannya akan

membahayakan masyarakat apabila dalam keadaan bebas, sehingga

untuk pembinaannya perlu diasingkan. Jadi apabila terpidana tidak

membahayakan masyarakat, maka hakim tidak boleh mengenakan

pidana pemasyarakatan.

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang

dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru,

melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari para penulis

abad yang lalu, yang telah mengeluarkan pendapat mereka tentang dasar

pembenaran atau rechtvaardigings ground dari suatu pemidanaan, baik yang

melihat pemidanaan semata-mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang

mengaitkan dengan pemidanaan dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan

yang ingin dicapai dengan pemidanaannya itu sendiri.

Dalam rangka sistem pemidanaan, apabila diartikan secara luas maka

dapat dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan

perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan

51

atau dioperasionalkan secara konkrit, sehingga seseorang dijatuhi sanksi.

Pelaksanaan pidana merupakan salah satu mata rantai untuk sampai pada

tujuan pemidanaan. Apabila dilihat dari sudut sistem peradilan pidana, maka

pelaksanaan pidana merupakan salah satu subsistem yang tidak terlepas dari

subsistem lainnya dalam keseluruhan sistem. Hal ini menunjukkan betapa

pentingnya arti pelaksanaan pidana dalam sistem hukum pidana, khususnya

pelaksanaan pidana penjara.

2. Tujuan dan Kebijakan Pemidanaan

a. Tujuan Pemidanaan

Di atas sudah dibahas tentang pengertian pidana serta teori

pemidanaan yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan

hal tersebut, maka perlu dikemukakan tentang tujuan pemidanaan di Indonesia

sebagai tahap formulatif dalam penegakkan hukum yang erat kaitannya

dengan pelaksanaan pemidanaan khususnya pidana penjara dan pembinaan

narapidana sebagai tahap eksekusi dalam penegakkan hukum.

Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan pemidanaan kita adalah

dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini

adalah KUHP.Untuk mengetahui tujuan pemidanaan dalam KUHP yang

sekarang masih berlaku tampaknya tidak mudah, mengingat dalam KUHP

tersebut tidak secara jelas mencantumkan tujuan pemidanaan.

52

Upaya yang dapat ditempuh guna mengetahui tujuan pemidanaan

tersebut adalah dengan menganalisis terhadap ketentuan-ketentuan lain

maupun dari doktrin yang berkaitan. Tujuan pemidanaan tersebut di atas

tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi di Indonesia sehingga perlu

dirumuskan kembali tujuan pemidanaan yang sesuai dengan masyarakat

Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 51

Rumusan di atas oleh Moeljatno dikatakan bahwa dasar unsur pidana

kita lain daripada yang lain. Tujuan pidana itu adalah kompleks, yang dengan

singkat dapat disimpulkan bahwa bukan saja harus dipandang untuk mendidik

terpidana ke arah jalan yang benar seperti anggota masyarakat yang lainnya

(membimbing) tetapi juga untuk melindungi dan memberi ketenangan bagi

masyarakat (mengayomi).

Definisi tersebut di atas yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan

terlihat bahwa terdapat pergeseran tujuan pemidanaan, dari tujuan pemidanaan

seperti yang terkandung dalam KUHP. Tujuan pemidanaan yang dikehendaki

tidak hanya sebagai pengimbalan semata, namun terkandung adanya tujuan

lain, misalnya kesejahteraan masyarakat atau perbaikan narapidana. Tujuan

pemidanaan selain dilakukan dengan berorientasi ke muka (prospektif) hal

lain terlihat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan

terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang

yang lebih baik dan berguna.

51 Sudarto. 1981. Op. Cit,. Hal. 70-71

53

b. Kebijakan Pemidanaan

Kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari

perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk

masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Perilaku

menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap

norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial dapat

menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial,

dan merupakan ancaman riil atau potensi bagi berlangsungnya ketertiban

sosial. Dengan demikian kejahatan disamping merupakan masalah

kemanusiaan, juga merupakan masalah sosial.

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu

upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan

penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum

itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang

rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang

mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau

dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Ada sementara pendapat

bahwa pelaku kejahatan atau para pelanggar hukum pada umumnya tidak

perlu dikenakan pidana. Menurut pendapat ini, pidana merupakan peninggalan

dari kebiadaban kita di masa lalu (a vestige of our savege past) yang

54

seharusnya dihindari. Pendapat ini tampaknya didasarkan pada pandangan

bahwa pidana merupakan tindak perlakuan atau pengenaan penderitaan yang

kejam.

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi masalah. Berkaitan

dengan hal tersebut, Sudarto berpendapat bahwa apabila hukum pidana

hendak digunakan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik

kriminal atau social defence planning, yang inipun harus merupakan bagian

integral dari rencana pembangunan nasional. 52

52 Sudarto. 1981. Op. Cit,. Hal. 104

55

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode pendekatan yuridis sosiologis, hukum dipelajari dan diteliti sebagai

suatu studi mengenai law in action. Karena mempelajari dan meneliti

hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga social yang

lain. Studi terhadap law in action merupakan studi ilmu social yang non

doctrinal dan bersifat empiris. Hukum secara empiris merupakan gejala

masyarakat yang dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab yang

menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan social. Selain itu

hukum dapat dipelajari sebagai variable segi kehidupan social. Selain itu

hukum dapat dipelajari sebagai variable akibat yang timbul sebagai hasil akhir

dari berbagai kekuatan dalam proses sosial.53

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

secara deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden dan

informan secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata yang diteliti

dan dipelajari sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak semata-mata bertujuan

53 Ronny Hanintijo Soemitro. 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia

Indonesia, hlm. 34.

56

untuk mengungkap kebenaran namun juga memahami suatu kebenaran. Hasil

penelitian yang diperoleh akan diolah sehingga memunculkan hipotesa yang

akan diperoleh akan diolah sehingga memunculkan hipotesa yang akan

berujung pada ditemukannya kebenaran sementara.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten

Cilacap.

D. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yakni data yang diperoleh langsung dari responden yang

bersumber pada petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB dan

Warga Binaan Pemasyarakatan yang terkait dengan fokus penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder bersumber pada Peraturan Perundang-undangan,

Dokumen-Dokumen Resmi, Buku-Buku, Literatur dan Arsip-Arsip

Penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan obyek atau materi

penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah Petugas Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Kabupaten Cilacap dan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Responden yang dijadikan sampel adalah :

57

Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten Cilacap

meliputi :

a. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kabupaten

Cilacap;

b. Kepala Kesatuan Pengamanan LAPAS;

c. Kasubsi. Pelayanan Tahanan.

Warga Binaan Pemasyarakatan yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah

yaitu golongan B.IIa dan B.IIb.54

2. Teknik Sampling ( purposive sampling )55

a. Purposive sampling atau penarikan sampel bertujuan dilakukan

dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan

tertentu. Teknik ini biasanya dipilih karena alasan keterbatasan

waktu, tenaga dan biaya, sehingga tidak dapat mengambil

sampel yang besar jumlahnya dan jauh letaknya.

b. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam

studi pendahuluan.

54 Romli Artasasmita, 1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta, Bandung,. 55

Komarudin, 1974, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa, Bandung,.

58

F. Metode Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan cara wawancara terarah, dalam

wawancara terarah terdapat pengarahan atau struktur tertentu, antara

lain :

a. Rencana pelaksanaan wawancara;

b. Mengatur daftar pertanyaan sesuai dengan pokok

permasalahan;

c. Memperhatikan karakteristik yang diwawancarai.;

d. Membatasi aspek-aspek dari masalah yang diperiksa.

2. Data Sekunder

Untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan cara

penelitian kepustakaan (library research) terhadap peraturan

perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, buku-buku literatur

dan arsip-arsip penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan objek

atau materi penelitian.

G. Metode Penyajian Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang

disusun secara sistematis, maksudnya bahwa seluruh bahan atau data

primer yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang

lainya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan sehingga tercipta

suatu kesatuan yang utuh tentang masalah yang diteliti.

59

H. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara normatif kualitatif,

yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data hasil penelitian

yang diperoleh secara sistematis dengan didasarkan pada norma-norma

hukum, khususnya dalam hukum pidana yang relevan dengan pokok-

pokok masalah yang diteliti.56

56

Komarudin, 1974, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa, Bandung.

60

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Data Sekunder

a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sebelum dipaparkan dan dibahas pokok permasalahan, maka akan

dipaparkan dan dibahas terlebih dahulu hal-hal yang bersifat umum, namun

berkaitan dengan pokok permasalahan. Hal-hal yang bersifat umum yang

dimaksud adalah tentang kondisi lokasi penelitian dengan segala aspeknya

yang dapat dipergunakan untuk mendukung analisis permasalahan dan

pembahasan.

Sesuai dengan judul yang ada yaitu penelitian dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, maka terlebih dahulu akan dipaparkan

kondisi secara umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. 57

1) Sejarah Ringkas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap berdiri pada tahun 1887,

dan berlokasi di jalan Kerinci Nomor : 120 Cilacap. Pada jaman penjajahan

Belanda Lembaga Pemasyarakatan ini dikenal dengan nama “Penjara

Kolonial”. Setelah Belanda pergi, digantikan oleh penjajah Jepang (yang

57

Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.

61

dikenal dengan Sistem Kerja Paksanya), hal ini berlangsung sampai dengan

Indonesia merdeka, yang kemudian dkenal dengan nama “Jawatan Penjara”.

Akhirnya, pada tanggal 5 Juli 1963, nama Jawatan Penjara tersebut, kemudian

dirubah lagi namanya menjadi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan

tempat pelaksanaan pembinaan bagi Narapidana dan Tahanan. Pada tahun

1985 dengan keputusan Menteri Kehakiman No : M.04.PR.07.03. tahun 1985

difungsikan sebagai Rutan Klas IIB Cilacap. Kemudian pada tanggal 16 April

2003 dengan keputusan Menteri Kehakiman No : 05.PR.07.03 tahun 2003

Tentang Penetapan Peningkatan Klas Lembaga Pemasyarakatan Tertentu

sebagai Rumah Tahanan Negara status Rutan diubah menjadi Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, yang berarti berubah pula fungsi dan tugas

pokoknya yaitu sebagai wadah atau tempat pembinaan narapidana. Walaupun

dalam prakteknya tetap merangkap sebagai rutan yang melaksanakan tugas

perawatan tahanan.

Perubahan nama ini tidak merubah kesan terhadap bentuk bangunan

tersebut, walaupun sudah berubah nama, tetapi bentuk bangunan yang ada

masih relatif berkesan angker dan menyeramkan. Bentuk bangunan Lembaga

Pemasyarakatan yang angker ini, pada hakikatnya tidak mendukung

pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan, karena bentuk yang

angker ini secara tidak langsung, justru akan membentuk karakter narapidana

menjadi keras, dan menjauhkan jiwanya dari rasa kemanusiaan. Untuk

menghindari kesan angker pada bangunan Lembaga Pemasyarakatan dan

62

untuk lebih mendukung pembinaan dengan sistem pemasyarakatan, pada

tahun anggaran 2003/2004 bangunan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap direnovasi. Renovasi bangunan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas

IIB Cilacap meskipun tidak merubah banyak dari arsitek lamanya yaitu

bangunan peninggalan Belanda, tetapi memberi kesan lebih representatif

untuk mendukung pembinaan dengan sistem permasyarakatan. Hal ini bisa

dilihat pada ruangan pembinaan kerja keterampilan (Bingker) yang cukup luas

dan bersih. demikian juga dengan ruang kerja petugas Lembaga

Pemasyarakatan yang direnovasi menjadi dua lantai.

2) Letak dan Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap secara keseluruhan

menempati areal tanah seluas 5.979,99 meter persegi, dan luas gedung

(bangunan) adalah 2370,26 meter persegi, dengan perincian : 5.520 meter

persegi untuk bangunan kantor, 775,33 meter persegi blok hunian depan, 152

meter persegi poliklinik, 147 meter persegi dapur, 24 meter persegi pos

pengamanan atas, 170 meter persegi bangunan aula, 77 meter persegi

Mushola, dan 90 meter persegi bengkel latihan kerja (Bingker).

Bangunan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap selain

ruang kantor untuk petugas, dibagi menjadi dua sisi. Satu sisi untuk kamar

hunian tahanan, dan satu sisi untuk kamar hunian narapidana, hal ini

63

dikarenakan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap juga berfungsi

sebagai Rumah Tahanan.

3) Sarana dan Prasarana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap

Adapun komponen-komponen bangunan Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Cilacap adalah sebagai berikut:

a) Ruang kamar (sel) narapidana: 10 unit barak;

b) Ruang kamar (sel) tahanan: 8 unit;

c) Ruang portir (pintu) gerbang: 1 buah, yang dibatasi dengan pintu

gerbang 1 dan 2;

d) Pos-pos penjagaan terdiri atas: Komandan Jaga, Wakil Komandan

Jaga; Portir (pintu I); pintu II; pintu III; 4 Pos atas I; Pos atas II;

Pos atas III; Pos atas IV;

e) Ruang penyimpanan senjata: 1 buah yang disebut dengan ruang

khusus gudang senjata. Dimana tempat penyimpanan senjata, hanya

berupa lemari khusus. Keadaan umum lemari: kuat, aman, dan

masih layak, untuk menyimpan senjata pengaman tersebut. Pos

yang dipersenjatai terbagi atas: Portir, Pos Atas (I, II, III, dan IV),

dan Pos I. Penanggung jawab penyimpanan senjata, adalah Kepala

Seksi Administratif, dan Keamanan dan Ketertiban. Senjata yang

dipakai : dalam kondisi seperti sekarang ini cukup bagus walaupun

masih kurang. Senjata yang dipakai oleh Petugas Lembaga

64

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap adalah jenis senjata laras panjang

(Shot Gun) dan senjata laras pendek. Dengan demikian secara

umum, kondisi senjata yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas

IIB Cilacap, sebagian besar masih layak pakai. Untuk penggantian

senjata, sejak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap ini berdiri

sampai saat ini, baru dilakukan terhadap senjata laras panjang (Shot

Gun), dimana Shot Gun ini, merupakan pengganti senjata laras

panjang Gerund yang merupakan pinjaman dari KODIM 0703

Cilacap kepada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Selain

senjata-senjata di atas tadi, untuk menjaga keamanan Lembaga

Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap juga

memiliki pos-pos pengamanan, baik yang ada di bawah tiap-tiap

blok hukuman untuk lingkungan blok, maupun yang ada di atas

tembok keliling, yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang

cukup tinggi, sehingga walaupun dalam keadaan duduk, petugas

tetap dapat mengawasi daerah tugasnya, termasuk juga ruang

kunjungan.

f) Ruang pertemuan (Aula):

Kondisi aula secara umum cukup memenuhi syarat. Sarana dan

prasarana yang tersedia di aula tersebut, yaitu sejumlah kursi, meja

dan juga papan tulis. Semua sarana tersebut terawat dan tertata rapi.

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap hanya memiliki 1 (satu)

65

buah aula, dengan ukuran yang cukup luas, dan cukup memadai,

untuk menampung jumlah penghuni yang ada di Lembaga

Pemasyarakatan. Kegunaan aula tersebut, selain untuk acara

pertemuan, juga sebagai tempat pembinaan rohani agama Kristen,

pendidikan dan acara hiburan.

g) Dapur

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, hanya memiliki 1

(satu) buah dapur saja, walaupun begitu, dapur tersebut berukuran

cukup luas, bersih, dan terawat meskipun dinding dapur berwarna

hitam terkena asap. Semua peralatan masaknya tertata dengan rapi.

Letak dapur berada di belakang bersebelahan dengan blok wanita.

Narapidana yang bertugas di dapur adalah narapidana (sebagai

tamping) berjumlah 8 narapidana setiap harinya. Serta kompor yang

digunakan adalah kompor kompresor.

h) Pos pengamanan

Letaknya, di atas tembok keliling, ada 4 buah. Petugasnya 1 (satu)

orang, pada setiap blok. Petugas-petugas tersebut, melakukan

pergantian jaga setiap 2 (dua) jam sekali. 31 petugas pengamanan

yang terdiri dari 1 orang kepala keamanan, 3 orang staff

pengamanan, 4 regu pengamanan yang masing-masing regu

berjumlah 6 orang dan 3 orang petugas wanita mengamankan blok

wanita. Dalam 1 (satu) hari, yang bertugas ada 3 (tiga) regu petugas

66

KPLP, yang tanggung jawabnya meliputi keamanan dan

pengamanan seluruh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.

Utuk regu jaga atas dan bawah, terbagi dalam dinas pagi, dinas

siang, dinas malam, dan istirahat.

i) Bangsal sakit :

Bangsal sakit di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap ini

berkapasitas 5 (lima) tempat tidur dengan ukuran standart, dan

diberi kasur, bantal, serta selimut yang berada di bekas ruangan

registrasi. Di dalam bangsal sakit tersebut, juga terdapat tempat

untuk mandi, yang dilengkapi dengan satu bak mandi, dan WC.

Dimana Bangsal sakit ini, hanya untuk merawat penghuni Lembaga

Pemasyarakatan yang menderita sakit ringan saja.

j) Mushola

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap mempunyai sebuah

Mushola, yang bernama “Nurul Iman ” yang terletak di halaman

belakang. Untuk mendukung kegiatan islami bagi penghuni, maka

Mushola “Nurul Iman” ini, kemudian dilengkapi dengan sarana-

sarana sebagai berikut: Bedug dan Kenthongan kayu, Sound system

dan Mic, Kitab Suci Al-Qur’an, Mimbar, Sajadah, Papan tulis,

kapur tulis, dan penghapus, Kalender, dan Karpet hijau. Dimana

kondisi umum Musholla adalah sebagai berikut, letak Musholla di

halaman belakang, ukuran Mushola ini cukup luas, cukup untuk

67

menampung penghuni dan petugas Lembaga Pemasyarakatan, (jika

diadakan sholat berjamaah) bersih, dan terawat. Kondisi sekeliling

Mushola bersih, di kelilingi taman kecil yang bersih. Beberapa

petak kecil tanah ditanami sayur-sayuran. Karena petugas Lembaga

Pemasyarakatan ada yang perempuan, maka ruang dalam Mushola,

dipisahkan menjadi dua dengan menggunakan kain hijau, supaya

petugas yang perempuan dapat ikut juga dalam sholat berjamaah.

k) Ruang tempat mandi, Water closet (WC), dan tempat cuci:

Tempat mandi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terdiri

atas 2 (dua) bagian, yaitu kamar mandi yang berada di dalam dan

kamar mandi yang berada di luar. Untuk yang di dalam kamar

setiap kamar tahanan disediakan kamar mandi. Khusus untuk

kamar narapidana yang letaknya di masing-masing kamar dengan

kapasitas penghuni sampai 30 orang narapidana dilengkapi dengan

1 (satu) kamar mandi disetiap kamar, berupa bak untuk mandi dan

beberapa ember. Narapidana yang bertugas mengisi ember tersebut,

adalah penghuni yang piket, dalam kamar masing-masing. Secara

umum, kondisi tempat mandi dalam kamar cukup bersih, dan

terpelihara. Kamar mandi di luar kamar terletak disamping sel

selatan berjumlah 1 (satu) dan disamping sel utara berjumlah

1(satu). WC untuk buang air besar juga tersedia di sel tahanan

tersedia 6 (enam) WC dan di sel narapidana tersedia 6 (enam) WC.

68

Dan untuk tempat mencuci, apabila ingin mencuci pakaian, maka

kegiatan ini harus dilakukan di tempat-tempat mandi, yang berada

di luar kamar, penjemuran pakaian juga di luar kamar.

l) Kamar (Sel) Pengasingan:

Kamar (sel) pengasingan ini diperuntukan bagi penghuni yang

melakukan pelanggaran dan masuk atau tercatat di dalam buku

daftar pelanggaran, milik Staf KPLP. Hal ini disebut hukuman

tutupan sunyi. Narapidana yang menjalani hukuman tutupan sunyi

tidak diperbolehkan memakai baju lengkap.

m) Ruang pembinaan kerja keterampilan:

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, mempunyai 2 (dua)

buah ruang pembinaan kerja keterampilan, namun hanya 1 (satu)

yang difungsikan terletak di samping mushola. Secara umum

kondisi ruang pembinaan kerja cukup luas, bersih dan terpelihara.

n) Ruang poliklinik:

Lembaga Pemasyarakatan IIB Cilacap juga mempunyai sebuah

ruang poliklinik. Ruang poliklinik terletak bersebelahan dengan

ruang besukan. Di dalamnya tersedia obat-obatan untuk melayani

narapidana yang sakit. Apabila ada narapidana yang sakit serius

akan dikirim obat-obatan ke Rumah Sakit Umum Cilacap.

Poliklinik dijaga oleh seorang perawat dan dua Staf Lembaga

Pemasyarakatan yang bertugas untuk membantu. Untuk saat ini

69

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap belum mempunyai

dokter tetap.

o) Ruang kunjungan:

Ruang kunjungan disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas

IIB Cilacap, untuk keluarga narapidana atau tahanan yang datang

untuk menjenguk. Ruang kunjungan tersebut tidak diberi penyekat

ruangan antara pengunjung dengan narapidana atau tahanan,

sehingga sanak keluarga dapat mengunjungi penghuni

(keluarganya) dalam kondisi tidak terhalang, walaupun tetap

diawasi oleh petugas yang bersangkutan.

4) Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Keadaan Petugas

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Susunan organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cilacap

terdiri atas:

a) Sub Bagian Tata Usaha

Sub bagian tata usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata

usaha dan rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan. Untuk

menyelenggarakan tugas tersebut, sub bagian tata usaha mempunyai

fungsi melakukan urusan kepegawaian dan melakukan urusan surat

menyurat, perlengkapan, dan rumah tangga. Sub bagian tata usaha

terdiri atas :

70

(1) Urusan kepegawaian dan keuangan.

Urusan kepegawaian dan keuangan mempunyai tugas

melakukan urusan kepegawaian dan keuangan.

(2) Urusan umum

Urusan umum mempunyai tugas melakukan urusan surat

menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.

b) Seksi Bimbingan Narapidana atau Anak Didik dan

Kegiatan Kerja

Seksi bimbingan narapidana atau anak didik mempunyai tugas

memberikan bimbingan pemasyarakatan narapidana atau anak didik.

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, seksi bimbingan narapidana

atau anak didik dan kegiatan kerja mempunyai fungsi sebagai berikut :

(1) Melakukan registrasi dan membuat statistik serta

dokumen sidik narapidana atau anak didik;

(2) Mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi

narapidana atau anak didik;

(3) Memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas

sarana kerja dan mengelola hasil kerja.

Seksi bimbingan narapidana atau anak didik dan kegiatan kerja terdiri

atas :

71

(1) Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan

Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan

mempunyai tugas melakukan pencatatan, membuat statistik,

dekumenasi sidik jari serta memberikan bimbingan dan

penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga,

peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan penglepasan

narapidana atau anak didik.

(2) Sub Seksi Perawatan Narapidana atau Anak Didik

Sub seksi perawatan narapidana atau anak didik mempunyai

tugas mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi

narapidana atau anak didik.

(3) Sub Seksi Kegiatan Kerja

Sub seksi kegiatan kerja mempunyai tugas memberikan

bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan

mengelola hasil kerja.

(4) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib

Seksi administrasi keamana dan tata tertib mempunyai tugas

mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan

pembagian tugas pengamanan, menerima laporan harian dan

berita acara dari satuan pengaman yang bertugas serta

menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan

penegakkan tata tertib. Untuk menyelenggarakan tugas

72

tersebut seksi administrasi keamanan dan tata tertib

mempunyai fungsi untuk mengatur jadwal tugas,

penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas

pengamanan dan menerima laporan harian dan berita acara

dari satuan pengamanan yang menegakkan tata tertib.

Dimana seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib

terdiri atas :

I. Sub Seksi Keamanan, yang mempunyai tugas mengatur

jadwal tugas, penggunaan perlengkapan, dan pembagian

tugas pengamanan.

II. Sub Seksi Pelaporan dan Tata Tertib, yang mempunyai

tugas menerima laporan harian dan berita acara dari

satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan

laporan berkala di bidang keamanan dan penegakkan

tata tertib.

c) Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP)

Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai

tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam Lembaga

Pemasyarakatan. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kesatuan

Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi sebagai

berikut :

73

(1) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap

narapidana atau anak didik;

(2) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban;

(3) Melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan, dan

pengeluaran narapidana atau anak didik;

(4) Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran

keamanan;

(5) Membuat laporan harian dan berita acara pelaksanaan

pengamanan.

Kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dipimpin

oleh seorang Kepala dan membawahkan petugas pengamanan

Lembaga Pemasyarakatan. Kepala Kesatuan pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan berada di bawah dan bertanggung jawab langsung

kepada Kepala Lembaga Pemasyarakat.

d) Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap

Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap sebagai berikut:

74

Sumber : Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI

No. M.05.PR.07.03 Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003.

Sub. Bag Tata Usaha

Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Cilacap

Urusan Kepegawaian

& Keuangan

Urusan Umum

Seksi Binadik & Giatja

Sub Seksi Pelaporan

& Tata Tertib

K P L P Seksi Adm. Keamanan &

Tata Tertib

Sub Seksi Kegiatan

Kerja

Sub Seksi Perawatan

Napi / Anak Didik

Sub Seksi Registrasi

& Bim.Kemas

Petugas

Pengamanan

Sub Seksi

Keamanan

75

e) Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Lembaga Pemasyarakatan Cilacap dengan klasifikasi Klas IIB

mempunyai tata kerja sebagai berikut :

(1) Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Lembaga

Pemasyarakatan, Kepala Kesatuan Pengamanan, Kepala Seksi,

dan kepala Sub Seksi baik dalam lingkungan masing-masing

maupun antar LAPAS sesuai dengan tugas pokok masing-

masing.

(2) Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengawasi

bawahannya masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan

agar mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setiap pimpinan satuan organisasi bertanggung jawab

memimpin dan mengkoordinasi bawahannya masing-masing

dan memberikan bimbingan serta petunjuk-petunjuk bagi

pelaksanaan tugas bawahan.

(4) Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan

mematuhi petunjuk-petunjuk dan bertanggung jawab kepada

atasan masing-masing dan menyampaikan laporan berkala

tepat pada waktunya.

76

(5) Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan satuan organisasi

dari bawahan wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan

untuk penyusunan lebih lanjut dan untuk memberikan

petunjuk-petunjuk kepada bawahan.

(6) Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan laporan

kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.

(7) Dalam menyampaikan laporan masing-masing kepala atasan,

tembusan laporan wajib disampaikan pula kepada satuan

organisasi lain yang secara fungsional mempunyai hubungan

kerja.

(8) Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan satuan

organisasi dibantu oleh Kepala Satuan Organisasi di bawahnya

dan dalam rangka pembinaan bimbingan kepada bawahan

masing-masing wajib mengadakan rapat berkala.

(9) Bimbingan Teknis Pemasyarakatan kepada LAPAS secara

fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan

melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang

bersangkutan (Keputusan Menteri Kehakiman Republik

Indonesia Nomor M.01-PR.07.03 Tahun 1985).

77

f) Keadaan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap

Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di dalam

Lembaga Pemasyarakatan, tidak hanya cukup dengan fasilitas-fasilitas

fisik yang tersedia, namun ada faktor lain yang juga sangat berperan

yaitu kualitas dan kuantitas pegawai. Diharapkan pegawai dapat selalu

menjawab tantangan-tantangan dan masalah-masalah yang selalu

muncul dan ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

Pada saat ini, isi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap per tanggal 14 Februari 2011 bejumlah 370 orang yang terdiri

dari 183 orang tahanan dan 206 narapidana. Sementara jumlah petugas

57 orang yang terdiri atas 31 petugas pengamanan yang terdiri dari 1

orang kepala keamanan, 3 orang staff pengamanan, 4 regu

pengamanan yang masing-masing regu berjumlah 6 orang dan 3 orang

petugas wanita mengamankan blok wanita. Selanjutnya 26 orang

petugas lainya bertugas di bagian administrasi ketata usahaan dan

pembinaan. Sedangkan petugas yang menangani pembinaan

kepribadian sejumlah 4 orang dan yang menangani pembinaan

kemandirian sejumlah 1 orang petugas.

Tabel-tabel di bawah ini akan menggambarkan secara jelas

kondisi pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.

78

Tabel 1. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap Berdasarkan Jenis Kelamin.

No. Jenis Kelamin Jumlah (orang) Persentase

1. Laki-laki 36 63,2 %

2. Perempuan 21 36,8 %

Jumlah 57 100 %

Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16

Februari 2011.

Dari hasil penelitian pada Tabel 1, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap memiliki jumlah pegawai sebanyak 57 orang, dengan perincian

berdasarkan jenis kelamin, yaitu 36 orang (63,2%) berjenis kelamin laki-laki

dan 21 orang (36,8%) berjenis kelamin perempuan.

Tabel 2. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Berdasarkan Jenjang Pendidikan Terakhir

No. Jenjang Pendidikan Jumlah (orang) Persentase

1. Strata 2 (S2) 4 7,0 %

2. Strata 1 (S1) 24 42,1 %

3. Sarjana Muda (D III) - -

4. SLTA 28 49,1 %

5. SLTP 1 1,8 %

6. SD - -

Jumlah 57 100 %

Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per

16 Februari 2011.

79

Tabel 2 di atas menunjukkan tingkat pendidikan pegawai yang ada di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Dari 57 pegawai yang

mempunyai pendidikan S2 sebanyak 4 orang (7%), S1 sebanyak 24 orang

(42,1%) , sedangkan pegawai berpendidikan SLTA yaitu sejumlah 28 orang

(49,1%) dan 1 orang (1,8%) yang berpendidikan SLTP.

Tabel 3. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Berdasarkan Golongan

NO Golongan Jumlah (orang) Persentase

1.

Golongan I

- -

2. Golongan II

10 17,5 %

3. Golongan III

46 80,7 %

4. Golongan IV

1 1,8 %

Jumlah 57 100 %

Sumber: Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16

Februari 2011.

Tingkat pendidikan pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan

Cilacap otomatis menentukan golongan dan kepangkatan pegawai. Dari tabel di

atas bisa diketahui bahwa golongan tertinggi adalah golongan IV berjumlah 1

orang pegawai (1,8%), pegawai yang memiliki golongan III terdiri dari 46

orang pegawai (80,7%) dan golongan terendah adalah golongan II yang terdiri

dari 10 orang pegawai (17,5%).

80

Tabel 4. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Usia

No. Usia Jumlah (orang) Persentase

1. 18-30 tahun 7 12,2%

2. 31-40 tahun 20 35,1%

3. 41-45 tahun 10 17,5%

4. 46-50 tahun 12 21,1%

5. 51-55 tahun 8 14,1%

Jumlah 57 100%

Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16

Februari 2011.

Dari tabel di atas bisa diketahui bahwa sebagian besar usia pegawai di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap berusia antara 31 tahun sampai 40

tahun dengan jumlah 20 orang pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai

di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap sebagian besar berusia

produktif.

Tabel 5. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Berdasarkan Masa Kerja

No. Masa Kerja Jumlah (orang) Persentase

1. 0-10 tahun 16 28,1%

2. 11-20 tahun 24 42,1%

3. 21-30 tahun 17 29,8%

Jumlah 57 100%

Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16

Februari 2011.

81

Dari data yang diperoleh mengenai lamanya masa kerja pegawai

Lembaga Pemasyarakatan Cilacap menunjukkan bahwa masa kerja pegawai

yang masih baru sampai 10 tahun, hanya sebanyak 16 orang (28,1%), lebih

sedikit jumlahnya di bandingkan dengan pegawai telah mempunyai masa

kerja sekitar 11 sampai 20 tahun, sejumlah 24 orang (42,1%). Sedangkan yang

paling lama masa kerjanya adalah 21 sampai 30 tahun, sejumlah 17 orang

(28,9%).

5) Keadaan Warga Binaan Pidana Pendek Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Dari sejumlah warga binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Cilacap, berikut adalah contoh data warga binaan yang menjalani

masa pidana penjara pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap:

Tabel 6. Daftar Warga Binaan Pidana Penjara Pendek B-IIa

Bagian Ke I :Laki-laki

No Nama Tindak Pidana Lama

Pidana

Potongan

Tahanan

Masa Menjalani

Pidana penjara

1. MuhamadAbdu

l Rozak bin

Alm.Soekirman

Ps. 363 KUHP

“Pencurian”

3 Bulan 2 Bulan

22 Hari

8 Hari

2. Akhir Kuat

Darmawan bin

Sanwikarto

Ps. 363 KUHP

“Pencurian”

3 Bulan 2 Bulan

15 Hari

15 Hari

3.

Gunandi bin

Samrin

Supriyadi

Ps. 335 KUHP

“Perbuatan Tidak

Menyenangkan”

3 Bulan 1 Bulan

6 Hari

1 Bulan 24 Hari

82

4. Kuat Rahayu

bin

Sarkum

Ps. 303 KUHP

“Perjudian”

3 Bulan 2 Bulan

21 Hari

9 Hari

5. Sasi Marsudi

bin Wiryamsya

Ps. 303 KUHP

“Perjudian”

3 Bulan 2 Bulan

21 Hari

9 Hari

6. Barkah bin

Moh. Soderi

Ps. 303 KUHP

“Perjudian”

3 Bulan 2 Bulan

21 Hari

9 Hari

7. Firman

Harsiono Budhy

bin Yahuda

Budir

Ps. 363 KUHP

“Persaingan

curang”

2 Bulan

29 Hari

- 2 Bulan

29 Hari

Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16

Februari 2011.

Bagian Ke II : Perempuan

No Nama Tindak Pidana Lama

Pidana

Potongan

Tahanan

Masa Menjalani

Pidana penjara

1. Muslimah binti

Khaerudin

Ps. 372 KUHP

“Penggelapan”

3 Bulan 15

hari

3 Bulan

15 Hari

2. Tia Novianti

binti Kosim

Ps. 303 KUHP

“Perjudian”

4 Bulan 2 Bulan

15 Hari

1 Bulan 15 Hari

3.

Kristina Setyo

Astuti binti

Alm.Jarot

Ps. 303 KUHP

“Perjudian”

4 Bulan 2 Bulan

15 Hari

1 Bulan 15 Hari

4. Pujiati binti

Alm.Simun

Ps. 378 KUHP

“Penipuan”

1 Tahun 2 Bulan

5 Hari

9 Bulan 25 Hari

5. Endang

Yulianti binti

Kashim

Ps. 365 KUHP

“Pencurian”

4 Bulan 1 Bulan

27 Hari

2 Bulan 3 Hari

Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap per 16

Februari 2011.

Berdasarkan Tabel 6 tersebut dapat diketahui daftar responden warga

binaan masa pidana pendek berjumlah 12 orang yang terdiri dari warga binaan

laki-laki dan perempuan, dan pada saat penelitian dilakukan yang

83

bersangkutan masih berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.

Dari 12 orang responden, 6 orang warga binaan yang dipidana selama 3 (tiga)

bulan setelah dipotong selama dalam tahanan sehingga sisa pidana yang harus

dijalani selama 2 bulan, sedangkan sisanya 4 orang yang dipidana kurang dari

1 tahun apabila dipotong selama dalam tahanan maka sisa pidana yang harus

dijalani antara 3 bulan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan dari 12 orang

responden, 7 diantaranya adalah laki-laki dan 5 lainnya adalah wanita. Contoh

tindak pidana yang dilakukan oleh warga binaan pidana pendek tersebut

adalah tindak pidana ringan, antara lain : pencurian, penggelapan, perjudian

dan persaingan curang. Dari seluruh responden masa lamanya menjalani

pidana mempunyai tenggang waktu antar 3 sampai dengan 4 bulan,

merupakan waktu yang amat pendek dalam rangka pembinaan, sedangkan

waktu yang diperlukan dalam tahap pembinaan minimal dengan sisa pidana

selama 1 tahun, sehingga tahapan pembinaan tidak dapat terpenuhi

keseluruhan.

b. Ketentuan Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana

Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 menegaskan

bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan

terhadap narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan

sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan. Ketentuan tersebut menentukan

sebagai berikut:

84

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga

Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara

pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata

peradilan pidana.

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 lebih lanjut

memberikan pengaturan mengenai sistem pemasyarakatan, bahwa:

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang

dibina ,dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri , dan

tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab.

Tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi narapidana disebut

dengan Lembaga Pemasyarakatan, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagai berikut:

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah

tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan.

Sistem pembinaan didasarkan pada asas-asas sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan yang menentukan sebagai berikut:

Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Pengayoman;

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan;

c. Pendidikan;

d. Pembimbingan;

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;dan

85

g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

orang-orang tertentu.

Pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan

diselenggarakan oleh Menteri dan dalam implementasinya dilaksanakan oleh

petugas pemasyarakatan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menentukan sebagai berikut:

(1) Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas

pemasyarakatan.

(2) Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah.

Petugas pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional yang

melaksanakan tugas di bidang melaksanakan tugas di bidang pembinaan

warga binaan pemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menegaskan sebagai berikut:

(1) Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (1) merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang

melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan

pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

(2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di

angkat dan diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 selanjutnya

menegaskan sebagai berikut:

(1) Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan

Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan

kerjasama dengan instansi pemerintahan terkait, badan-badan

86

kemasyarakatan lainnya, atau perorangan yang kegiatannya

seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

(2) Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Sebagai landasan dalam melaksanakan pembinaan terhadap Warga

Binaan Pemasyarakatan khususnya masa pidana pendek berpedoman kepada :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 13, 14, 14a

s.d f, 15, 16, 17, 19, 23, 24, 25, dan Pasal 29 yang antara lain pasal-

pasal tersebut merumuskan sebagai berikut :

a) Pasal 14 : orang yang dijatuhi pidana penjara wajib

menjalankan pekerjaan yang dijalankan kepadanya menurut

aturan yang diadakan guna pelaksanaan Pasal 29.

b) Pasal 19 ayat (1) : orang yang dijatuhi pidana kurungan

wajib menjalankan pekerjaan yang diserahkan kepadanya,

sesuai dengan aturan-aturan yang diadakan guna

melaksanaan Pasal 29 ayat ( 2 ), ia diserahi pekerjaan yang

lebih ringan dari pada orang-orang yang dijatuhi pidana.

2) Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

terdapat pada Pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan Pasal 15.

3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999

tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan. Pasal 7 ayat ( 1 ) pembinaan narapidana

dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan, dalam ayat ( 2 )

tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) terdiri

atas 3 tahap yaitu pembinaan tahap awal, pembinaan tahap lanjutan,

dan pembinaan tahap akhir.

87

Konsideran Menimbang huruf a Undang-undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan tentang hakikat warga binaan

sebagai berikut:

Bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan

dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan

manusia dalam satu sistem pembinaan yang terpadu.

Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 1999 tentang

Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan Pasal 3 menyatakan :

(1) Hubungan kerja sama pembinaan dilaksanakan berdasarkan

program pembinaan untuk meningkatkan kemampuan dan

kualitas Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

(2) Program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

meliputi: a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; b.

kesadaran berbangsa dan bernegara; c. intelektual; d. sikap dan

perilaku; e. kesehatan jasmani dan rohani; f. kesadaran hukum;

g. reintegrasi sehat dengan masyarakat; h. keterampilan kerja;

dan i. latihan kerja dan produksi.

Dalam Simposium Pembaharuan Hukum pidana Nasional tahun 1980,

dalam salah satu laporannya menyatakan:

Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus

diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta

keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan

memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat negara, korban,

dan pelaku. Atas dasar tujuan pemidanaan tersebut maka pemidanaan

harus mengandung unsur-unsur yang bersifat :

88

a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut

menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang;

b. Edukatif di sini dalam arti bahwa pemidanaan yang diberikan

mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatannya

yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa

yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan

kejahatan;

c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil

baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh

masyarakat.58

Kemudian dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Nasional59

tujuan pemidanaan dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1)

Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Mensyaratkan warga binaan dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terbina;

e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

merendahkan martabat manusia.

58 Barda Nawawi Arief, 1994. Op.cit. hal. 82 59 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen

Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

89

Pembinaan dapat dilakukan selama narapidana di dalam lembaga

ataupun di luar lembaga, sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden No.

183 tahun 1968 dan Surat Edaran Dirjen. B. T. W. No. DDP. 2.2/10/5

tanggal 5 April 1970 jo. Surat Edaran Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.

KP. 10.13./3/1 tanggal 8 Februari 1965. Keputusan Presiden No. 183 tahun

1968 itu menentukan susunan Direktorat Pemasyarakatan dan Direktorat

Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, dengan tugas

menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan.

c. Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pidana Pendek di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.

Lembaga Pemasyarakatan memiliki fungsi strategis sekaligus tempat

paling potensial dalam mewujudkan tujuan pemidanaan dengan pembinaan,

tetapi tanpa kesadaran akan tujuan pidana yang dijalankan oleh warga binaan

itu sendiri, hal ini tidak akan terwujud. Pembinaan terhadap warga binaan

masa pidana pendek yang telah dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Cilacap antara lain meliputi :

1) Pembinaan kemandirian dan ketrampilan :

Pertukangan kayu/mebelair, menjahit, merajut, peternakan

ayam, budidaya ikan lele, pembuatan paving blok,

perbengkelan, dan pembuatan keset.

90

2) Pembinaan Rohani:

Wajib melaksanakan sholat 5 (lima) waktu, pengajian,

tadarusan dan tahlilan bersama bagi warga binaan yang

Muslim, dan kebaktian bagi yang Nasrani. Serta program

tambahan nonton bareng film religi 2 (dua) kali dalam sebulan.

3) Pembinaan Pendidikan:

Pelatihan pendidikan Bahasa Inggris setiap minggu dan baca

tulis bagi yang buta aksara.

4) Pembinaan Olah raga:

Senam pagi yang rutin dilaksanakan setiap pagi, ada pula olah

raga futsal, bola voli, dan bulutangkis.

Adapun contoh jadwal kegiatan pembinaan bagi warga binaan Lembaga

Pemasyarakatan Klas II B Cilacap adalah sebagai berikut :

91

Sumber : Kaur Kepegawaian dan Keuangan Lapas Klas IIB Cilacap Juli 2012

Kegiatan-kegiatan pembinaan tersebut di maksudkan untuk pemberian

bekal setelah bebas, terutama bekal untuk memperdalam iman dan takwa para

warga binaan agar lebih religius dan selalu mengingat Tuhan, sehingga di

harapkan tidak mengulangi pebuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma

yang ada dalam masyarakat pada umumnya. Selain itu walaupun kegiatan

sifatnya hanya sangat sederhana, namun diharapkan warga binaan tersebut

memperoleh ketrampilan yang sebelumnya tidak didapat di luar Lembaga

Pemasyarakatan.

No. Waktu Jenis Kegiatan Pengawas

1.

2.

3.

4.

5.

Pukul 07.00 s/d 08.00

Pukul 08.00 s/d 08.30

Pukul 09.00 s/d 11.30

Pukul 11.30 s/d 12.30

Pukul 12.30 -

- Senam Pagi & Olah raga

(Bola Voli dan Futsal).

- Mandi & Makan Pagi

- Pengajian / Penyuluhan

Agama Islam

- Kebaktian bagi umat

Nasrani

- Pelatihan Ketrampilan

- Pelatihan Bengkel Kerja

- Pelatihan B.Inggris

- Sholat Berjamaah

- Makan Siang & Istirahat

- Kasubsi.

Registrasi &

Bim. Kemas.

- Kasubsi.

Perawatan

- Kasubsi.

Registrasi &

Bim. Kemas

- Kasubsi.

Kegiatan Kerja

- Kasubsi.

Registrasi &

Bim. Kemas.

- Kasubsi.

Perawatan

92

2. Data Primer

a. Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Pidana Pendek

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan melalui

wawancara dengan Kadiyono, Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan warga binaan mengenai pelaksanaan

pembinaan warga binaan pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap di dapatkan hasil penelitian yang antara lain menunjukkan bahwa

petugas telah memberikan program kegiatan yang diharapkan sudah sesuai

dengan undang-undang yang berlaku. Yaitu untuk membina warga binaan

agar menjadi manusia yang lebih baik lagi bagi Tuhannya dan masyarakat.

Kadiyono, Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Cilacap yang antara lain menyatakan sebagai berikut:

“ Saya melihat pembinaan bagi mereka yang tujuannya baik

sebagaimana di amanatkan oleh peraturan perundang-undangan

yang ada, tidaklah terlalu efektif mengingat terbatasnya waktu

sehigga rasa-rasanya tujuan pembinaan itu terkesan untuk

sekedar pengisi waktu agar mereka tidak menganggur. Karena

kalau menganggur memang rawan terjadi masalah, terutama

menimbulkan keributan. Yah…kalau mau jujur saya boleh

mengatakan bahwa pembinaan terhadap warga binaan pidana

penjara pendek membawa manfaat baik atau tidaknya semua itu

kembali pada individu warga binaan itu sendiri…mereka tidak

akan dapat berubah sikap mentalnya hanya dengan pembinaan

sebentar dan seringan itu. Artinya kita tidak boleh berharap

banyak atas hasil pembinaan itu. Di samping itu ada sisi

negatifnya juga yang mungkin dapat terjadi yakni tertularnya

mereka dengan kebiasaan-kebiasaan buruk para warga binaan

dengan pidana penjara panjang. Kita sebagai petugas Lembaga

Pemasyarakatan hanya berusaha semaksimal mungkin

memberikan pembinaan yang diharapkan membawa efek baik

terhadap semua warga binaan tanpa terkecuali. Yang saya amati

93

selama masa pembinaan sebenarnya para warga binaan tersebut

dapat mengikuti semua kegiatan pembinaan yang diberikan

dengan baik. Itu semua terlihat dari teraturnya para warga binaan

dalam menjalankan ibadah mereka masing-masing tanpa harus

selalu diperintah oleh para petugas Lapas. Mungkin itu salah satu

efek positif yang kecil dalam pembinaan,memang kita tidak

dapat menjamin saat warga binaan tersebut telah habis masa

pidananya dan keluar dari Lapas tidak akan melakukan kejahatan

kembali’’.60

Hal senada juga dinyatakan oleh Tia Novianti, salah satu warga

binaan wanita yang menjalani pidana pendek, menyatakan :

“ Kegiatan pembinaan yang telah diberikan oleh pihak lembaga

memang positif,dapat merubah sikap para napi yang tadinya

terlihat jahat bisa menjadi lebih baik. Seperti contohnya saya

jadi semakin rajin menjalankan sholat 5 waktu dan bisa

merajut sejak disini. Saat di ajarkan merajut saya senang

melakukanya,tapi sayangnya biasanya ada napi yang belum

bisa merajut,sebelum pelajaran merajut selesai di ajarkan

napinya sudah keburu keluar penjara. Jadi menurut saya

belajarnya cuma setengah-setengah,kan sayang tuh. Selain itu

yang bisa terlihat perubahannya karena binaan di Lapas hanya

napi yang memang sudah lama di penjara. Memang buat saya

yang menganggap masa pidana saya yang sebentar ini cuma

sebagai teguran dari Tuhan agar saya beristirahat dari semua

urusan duniawi di luar sana. Jadi saya cukup menikmati semua

kegiatan pembinaan yang di berikan di Lapas ini,saya jadi

lebih merasa dekat dengan Tuhan dan sedikit belajar

disiplin.”61

Dikemukakan pula oleh Akhir Kuat Darmawan salah satu warga

binaan pidana pendek, menyatakan sebagai berikut :

“ Pemberian pembinaan kepada kami yang sebenarnya hanya

sebentar di penjara cukup bagus, karena saya saat belum di

penjara belum pernah melakukan beberapa kegiatan yang

60 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan 11 Juli 2012. 61 Wawancara dengan warga binaan Tia Novianti binti Kosim, tanggal 12 Juli 2012.

94

dijarkan kaya di Lapas ini. Contoh kegiatan yang ada antara

lain: membuat sangkar burung, belajar ngaji dan bahasa

Inggris,membuat keset, dan sebagai kuli / pembantu

pembuatan paving blok.’’62

Selain itu juga dikemukakan oleh Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo

selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha sebagai berikut :

‘’ Kami telah memberikan pembinaan kepada Warga binaan

masa pidana pendek semaksimal mungkin,seperti memberikan

pendalaman iman dengan kegiatan-kegiatan religi, seperi

menonton film religi 2 (dua) kali dalam sebulan, manganjurkan

para warga binaan mengikuti Tadarusan dan Tahlilan selama

40 malam penuh yang telah dilakukan beberapa bulan terakhir.

Dimana seluruh kegiatan tersebut telah menghabiskan uang

negara dikarenakan tidak dapat menghasilkan pendapatan yang

disetorkan kepada negara kaitannya dengan kegiatan kerja

selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, namun kami tetap

berharap kegiatan tersebut membawa dampak yang lebih baik

lagi bagi keadaan psikis warga binaan’’.63

Sedangkan kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap, berdasarkan hasil wawancara dengan Basuki Raharjo A.Md.IP,

selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik di dapat data

sebagai berikut:64

1. Pembinaan Akhlak dan Mental Warga Binaan

Pemasyarakatan (WBP)

Pembinaan yang dilakukan sendiri oleh WBP yaitu

pesantren khusus model Lapas. Yang menjadi

penceramah/guru ngaji berasal dari WBP yang mempunyai

kemampuan Agama lebih, dan tetap diawasi

pelaksanaannya oleh Petugas Lapas. Dimana hal tersebut

terbukti dari adanya kegiatan Tadarusan dan Tahlilan

selama 40 malam oleh para warga binaan yang muslim.

62 Wawancara dengan warga binaan Akhir Kuat Darmawan 12 Juli 2012. 63 Wawancara dengan Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo Kasubag. Tata Usaha tanggal 11 Juli 2012. 64 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 11 Juli 2012.

95

Ceramah dari luar Lapas, seperti dari Depag Kab.Cilacap,

dan lain sebagainya dilaksanakan 2 x dalam seminggu.

Untuk warga binaan yang beragama Nasrani juga diadakan

kebaktian di dalam Lapas 2 x dalam seminggu.

2. Bengkel Kerja

WBP dibina dan di beri ketrampilan di dalam Lapas

sebagai bekal agar pada saat bebas nanti sudah dapat

mandiri, seperti kegiatan pertukangan kayu, pembuatan

paving blok, pembuatan sangkar burung , budidaya ikan

lele, penjahitan dan pembuatan kerajinan merajut bagi

warga binaan perempuan. Selain itu adanya program

terbaru yang yang di berikan adalah adanya pelatihan

bahasa asing, yaitu bahasa Inggris 2(dua) kali dalam 1

minggu.

3. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan didalam Lapas sudah cukup baik, ini

dibuktikan dengan tingkat kematian WBP di Lapas yang

sangat rendah, yaitu mencapai 0%. Untuk pelayanan

kesehatan belum ada komplain dari masyarakat luar

maupun WBP sendiri.

b. Faktor-faktor Penghambat Pembinaan Warga Binaan Pidana

Pendek

Pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di

Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap memang sudah berdasarkan peraturan undang-undang yang ada,

namun ternyata beberapa kegiatan tersebut di atas cenderung kurang efektif

bagi warga binaan pidana pendek, karena terdapat beberapa faktor-faktor yang

menghambat kegiatan pembinaan. Salah satu hambatan utamanya yaitu,

sempitnya atau singkatnya waktu yang tersedia, di mana para warga binaan

tidak dapat mengikut tahapan pembinaan sesuai dengan peraturan undang-

96

undang yang berlaku tentang pembinaan narapidana di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap. Di samping itu ada faktor-faktor lainnya

yang mengakibatkan tidak dapat mencapai efektifnya tujuan pidana. Hal

tersebut dapat terlihat dalam pendapat responden sebagai berikut ini:

Berdasarkan pendapat Basuki Raharjo A.Md.IP, selaku Kepala Seksi

Bimbingan Narapidana / Anak Didik menyatakan sebagai berikut :

“ Pembinaan terhadap warga binaan masa pidana pendek sulit

untuk dilaksanakan sesuai dengan program pembinaan yang

ada khusus terhadap warga binaan masa pidana pendek karena

mereka hanya mengikuti beberapa tahapan saja, misalnya :

Admisi Orientasi, Maksimum Sekuriti, Medium Sekuriti dan

Minimum Sekuriti tidak melewati tahap Asimilasi.65

Hal senada dikemukakan oleh Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi selaku

Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang menganggap

terbatasnya waktu pidana penjara juga salah satu faktor yang menghambat

pembinaan, yang dinyatakan sebagai berikut :

“ Untuk penempatan warga binaan masa pidana pendek kurang

efektif, mereka hanya menempati kamar / blok tahanan dan

blok admisi orientasi dan sebagian kecil ditempatkan di blok

warga binaan karena pendeknya pidana atau singkatnya waktu

pidana penjara yang dijatuhkan terhadap mereka, sehingga

singkat pula waktu pembinaan yang mereka terima.66

Selain kedua faktor tersebut adapun faktor dari diri warga binaan itu

sendiri juga sangat berpengaruh bagi tercapainya efektivitas pembinaan.

65 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 11 Juli 2012. 66 Wawancara dengan Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan tanggal 12Juli 2012.

97

Pendapat tersebut dikemukakan oleh warga binaan Muhamad Abdul Rozak

adalah sebagai berikut:

“ Pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap dirasakan kurang ada manfaatnya karena pidana yang

saya terima hanya 3 bulan, dan setelah dipotong masa tahanan

sisa masa pidana penjara saya hanya 8 hari,jadi ya agak malas

mengikuti kegiatan yang ada pada awalnya, namun saat sudah

mulai terbiasa dengan semua kegiatan pembinaan,ternyata

masa pidana saya sudah selesai,jadi saya hanya bisa dapat

manfaatnya sedikit saja”.67

Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa responden menganggap masa

pidana pendek itu tidak begitu membawa pengaruh bagi dirinya, hanya sedikit

saja mendapatkan manfaatnya selama masa pembinaan di dalam Lembaga

Pemasyarakatan.

Pendapat lebih lanjut dinyatakan oleh Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi

sebagai adalah sebagai berikut :

“Warga binaan masa pidana pendek biasanya ada yang malas-

malasan menerima pengarahan dari petugas karena mereka

tahu hukuman bagi mereka hanya paling lama 4 Bulan selain

itu struktur bangunan lembaga pemasyarakatan tidak memadai

jika akan mengikuti prosedur pembinaan yang benar-benar

memenuhi mutu standar,berbeda dengan narapidana yang telah

lama menjalani pidana penjara”.68

Begitu juga pendapat yang dikemukakan oleh warga binaan Kristina

Setyo Astuti sebagai berikut :

67 Wawancara dengan Muhamad Abdul Rozak warga binaan Lapas Cilacap tanggal 11 Juli 2012. 68 Wawancara dengan Tutut Jemi S,Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012.

98

“ Pidana yang dijalankan oleh saya hanya 4 bulan, bagaimana

saya dapat melaksanakan pembinaan karena setelah putusan

hakim saya hanya menjalani sisa pidana beberapa hari saja,

ibaratnya begitu tidur bangun langsung bebas. Padahal

sebenarnya kegiatan yang diajarkan cukup bagus bagi warga

binaan dan bermanfaat untuk kedepannya,namun karena

singkatnya waktu pembinaan jadi belum maksimal

efeknya,jadi menurut saya dampak dari pembinaan pidana

penjara pendek itu baik buruknya tergantung dari orangnya

masing-masing dalam menerima hasil pembinaan selama di

Lapas. 69

Selain faktor warga binaan, tampaknya faktor petugas juga turut andil

sebagai faktor penghambat pembinaan dengan pidana pendek sebagaimana

dipaparkan oleh Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i selaku Kepala Lembaga

Pemasyarakatan berikut ini :

“Petugas merupakan tenaga yang mengkoordinir kegiatan

pembinaan, jika petugasnya kurang memiliki pendidikan

tekhnis dan pendidikan khusus maka program kegiatan

pembinaan tidak akan berjalan dengan baik. Disamping itu

profesionalisme (kualitas ketrampilan / keahlian) petugas yang

kurang juga dapat menghambat proses pembinan, karena

petugas tidak dapat membina dan teladan kepada warga binaan

tentang program pembinaan yang dijalankan, khususnya di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap petugasnya sangat

kurang sehingga menyebabkan program pembinaan tidak

berjalan dengan lancar’’.70

Responden lain Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja

menyatakan sebagai berikut :

“Kurangnya peran serta Pemerintah Daerah terhadap

perkembangan pembinaan warga binaan di Lapas, serta belum

69 Wawancara dengan Kristina Setyo Astuti wargabinaan Lapas Cilacap tanggal 12 Juli 2012. 70 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11Juli

2012.

99

adanya landasan hukum yang pasti sehingga menimbulkan

tidak adanya pedoman tugas yang pasti dalam melaksanakan

program pembinaan dalam program pembinaan itu sendiri.

Pada saat ini dasar hukum pembinaan jangka pendek mengacu

pada ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun

1999 yang peraturan tersebut pada dasarnya ditujukan untuk

pelaksanaan pembinaan secara umum, sedangkan untuk warga

binaan masa pidana pendek seharusnya dibuatkan dasar dan

pola khusus sehingga dapat dipenuhinya tahap-tahap

pembinaan’’.71

Kemudian faktor hambatan yang lain adalah kurangnya prasarana

berupa bangunan yang khusus diperuntukkan bagi narapidana masa pidana

pendek. Hal ini tampak dari pernyataan responden Tutut Jemi S,

Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan

sebagai berikut :

“Belum adanya bangunan Lembaga Pemasyarakatan khusus

bagi warga binaan masa pidana pendek menurut saya termasuk

sebagai faktor kendala, karena program pembinaan tersebut

memerlukan bangunan khusus agar dapat berjalan dengan baik

dan terpusat. Di samping itu penempatan penghuni yang masih

campur antara warga binaan yang menjalani program yang satu

dengan yang lainnya akan mengakibatkan pelaksanaan

program pembinaan tidak berjalan dengan optimal.72

Pernyataan tersebut menyatakan bahwa seharusnya kamar atau blok

narapida pendek memang seharusnya di pisahkan agar dapat dilakukan

kegiatan pembinaan yang lebih fokus lagi kepada para narapida masa pidana

pendek.

71 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 12 Juli 2012. 72 Wawancara dengan Tutut Jemi S, Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012.

100

Faktor lain juga ditemukan yakni sikap keluarga warga binaan yang

kurang mendukung upaya program pembinaan yang dilakukan oleh pihak

lembaga. Hal ini tampak dari penuturan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala

Lembaga Pemasyarakatan berikut ini :

“Banyak keluarga warga binaan yang bersikap acuh terhadap

anggota keluarganya yang telah menjadi warga binaan karena

mereka telah dianggap berbuat jahat dan memalukan nama

baik keluarga serta biasanya keluarga dari warga binaan tidak

mau menerima kembali karena sudah dianggap sampah

masyarakat, karena itulah narapidana masa pidana pendek yang

sensitive akan dapat berdampak pada psikisnya dengan

perlakuan orang sekitarnya,namun bagi narapidana yang tidak

sensitive menganggap pidana penjara pendek hanya sebagai

hukuman singkat dan koreksi atas pelanggaran yang mereka

lakukan”.73

Masih di luar faktor lembaga sebagai kendala, tampaknya instansi di

luar lembaga yang seharusnya dapat bekerja sama ternyata tidak serius dalam

bekerja sama. Hal ini tampak dalam paparan berikut yang berasal dari

Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan :

“Masih banyak instansi-instansi pemerintah dan swasta

(Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Kesehatan, dan

Pemerintah Daerah itu sendiri) masih kurang memberikan

perhatian atau belum menunjukan keseriusan dalam membantu

proses pembinaan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan

Klas IIB Cilacap dikarenakan mereka lebih menginginkan

suatu keuntungan atau mendapat timbal balik dari mereka.74

73 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli

2012. 74 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli

2012.

101

B. Pembahasan

Sistem Pemasyarakatan yang dikenal sekarang ini merupakan suatu

proses pembinaan warga binaan yang didasarkan Asas Pancasila sebagai

falsafah bangsa Indonesia dan memandang warga binaan sebagai makhluk

Tuhan, sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Bertolak

dari upaya membela dan mempertahankan “Hak Asasi Manusia” pada suatu

negara hukum (si pelanggar hukum juga harus mendapat perlindungan

hukum), maka oleh Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 telah dikemukakan

suatu gagasan “Sistem Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara.

Tujuan pembinaan yaitu pemasyarakatan, untuk memperbaiki perlakuan

terhadap warga binaan yang dikenal dengan sebutan Standart Minimum Rules

for Treathment of Prisoners (SMR) yang dipergunakan sebagai pedoman

perlakuan terhadap warga binaan.

Konkritnya, Sistem Peradilan Pidana dapat dikaji melalui perdekatan

dimensi hukum, sosiologi , ekonomi dan manajemen sebgaimana asumsi dan

deskripsi Satjipto Raharjo bahwasanya:

Ada beberapa pilihan untuk mengkaji suatu lembaga hukum seperti

sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu dengan

pendekatan hukum dan dengan pendekatan yang lebih luas , seperti

sosiologi , ekonomi dan manajemen. Dari segi professional ,SPP lazim

dibicarakan sebagai suatu lembaga hukum yang berdiri sendiri. Dari

sini kita memberikan perhatian terhadap asas , doktrin dan perundang-

102

undangan yang mengatur Sistem Peradilan Pidana tersebut. Dalam

ilmu hukum, pendekatan seperti itu disebut positivis-analitis.75

Tujuan aliran pemidanaan yang memperhatikan aspek perbuatan dan

aspek manusia dapat digolongkan pada teori utilitarian reform yang meliputi

aspek-aspek perlindungan terhadap masyarakat (protection of the public),

pencegahan kejahatan (prevention of crime), dan sekaligus usaha

memperbaiki manusia pelanggaran hukum (reform of the offender).

Sedangkan untuk mengukur efektivitasnya harus dilihat seberapa jauh sistem

hukum itu dapat mewujudkan atau mencapai tujuan-tujuannya.76

1. Efektivitas Pelaksanaan Pembinaan Warga Binaan Masa Pidana

Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

Pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di

Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap sudah berjalan sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Seperti di atur dalam Undang-undang No.

12 Tahun 1995 dalam Pasal 5, sistem pembinaan pemasyarakatan

dilaksanakan berdasarkan asas : pengayoman, persamaan perlakuan dan

pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat

manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan,

terjaminnya hak untuk dapat tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu.

75 Satjipto Raharjo. 1998. Sistem Peradilan Dalam Wacana Kontrol Sosial. Jurnal Hukum Pidana dan

Kriminologi. Vol.I/Nomor I/1998. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.97. 76 Muladi & Barda Nawawi Arief , Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia Bahan Kuliah Bahan

Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang, 1983.

103

Hanya saja dampak dari pembinaan yang telah di jalankan oleh para

petugas tampaknya belum mencapai efektifitasnya atau tujuan-tujuan dari

pembinaan warga binaan pidana pendek. Apalagi untuk mencapai tujuan dari

pemidanaan bagi warga binaan pidana pendek, yaitu salah satunya dampak

memberikan efek jera atau tidak akan mengulangi perbuatan yang telah di

lakukannya, sehingga pelaku pelanggaran tindak pidana atau narapidana akan

memperbaiki diri dengan sendirinya. Pelaksanaan pembinaan warga binaan

masa pidana pendek tidak dapat terlaksana secara efektif tanpa melalui proses

pembinaan dilihat dari 4 (empat) pentahapan yang telah ditentukan sebagai

berikut 77

:

Tahap pertama, Terhadap setiap warga binaan yang masuk lembaga

pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala ikhwal perihal

dirinya, termasuk: sebab-sebabnya ia melakukan pelanggaran dan segala

keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, bekas

majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari perbuatannya, serta dari

petugas instansi lain yang menangani perkaranya.

Tahap kedua, Jika proses pembinaan terhadap warga binaan yang

bersangkutan telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya

dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah dicapai cukup

kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh

77 Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Pebruari 1965 tentang "Pemasyarakatan sebagai Proses"

dinyatakan bahwa pembinaan warga binaan dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap, yang merupakan

suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu.

104

pada peraturan tata-tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada warga

binaan yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan

pada Lapas yang medium security.

Tahap ketiga, Jika proses pembinaan terhadap warga binaan telah

dijalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pengamat

Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan, baik secara fisik

ataupun mental dan juga segi ketrampilan, maka wadah proses

pembinaannnya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan assimilasi

dengan masyarakat luar, antara lain: ikut beribadah dengan masyarakat luar;

mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah umum, bekerja di luar, akan tetapi

dalam pelaksanaanya tetap masih berada di bawah pengawasan dan

bimbingan petugas lembaga.

Tahap keempat, Jika proses pembinaannya telah dijalani 2/3 dari

masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka kepada

warga binaan yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat dan

pengusulan lepas bersyarat ini ditetapkan oleh Tim Pembina Pemasyarakatan.

Efektivitas pidana penjara itu sendiri dapat ditinjau dari dua aspek

pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek

perbaikan pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat

meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana,

dan memulihkan keseimbangan masyarakat, antara lain menyelesaikan

konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan,

105

menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup

didalam masyarakat.

Sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan pelaku meliputi

berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan

kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenangan di

luar hukum.78

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas

ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,

professional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan.79

Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan

dimulai sejak yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (Rutan)

sebagai tersangka atau terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan

dan pemeriksaan di sidang pengadilan dan akhirnya hingga di bina dalam

Lembaga Pemasyarakatan.

Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses

pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan

rohani maupun jasmani. Untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, yang kemudian disebut narapidana,

penempatannya di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Terhadap narapidana,

diberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan

78 Priyatno Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: PT.

Refika Aditama. Hal. 82-83. 79 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

106

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional,

kesehatan jasmani dan rohani Warga Binaan Pemasyarakatan yang

dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu: kegiatan masa pengamatan,

penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perancanaan

pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian. Waktunya

dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai

dengan 1/3 dari masa pidananya.

Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam lapas dan

pengawasannya maksimum (maximum security). Kegiatan lanjutan dari

program pembinaan kepribadian dan kemandirian sampai dengan penentuan

perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang pelaksanaannya terdiri

atas dua bagian. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program

integrasi yang dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang

bersangkutan. Menyadari bahwa pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara

komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat

merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta

masyarakat dalam pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya

reintegrasi Warga Binaan Pemasyarakatan tidak akan tercapai bagaimanapun

baiknya kualitas program-program pembinaan yang diterapkan.

Dalam rangka memperkaya pola pembinaan, sepatutnya petugas

Lembaga Pemasyarakatan harus dibekali pengetahuan yang berhubungan

107

dengan instrumen-instrumen hukum yang memiliki keterkaitan dengan

kebutuhan pola pembinaan dan sifat jenis tindak pidana yang dilakukan oleh

warga binaan pemasyarakatan, sehingga semua program kegiatan pembinaan

yang diberikan kepada para narapidana yang menjalani masa pidana penjara

pendek atau singkat akan mencapai tujuan pemidanaannya.

Dewan Pembinaan Pemasyarakatan (D.P.P) memegang peranan utama

untuk diserahi tugas melakukan pembinaan. Pembinaan dapat dilakukan

selama narapidana di dalam lembaga ataupun di luar lembaga, sesuai dengan

ketentuan Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 dan Surat Edaran Dirjen.

B. T. W. No. DDP. 2.2/10/5 tanggal 5 April 1970 jo. Surat Edaran Kepala

Direktorat Pemasyarakatan No. KP. 10.13./3/1 tanggal 8 Februari 1965.

Keputusan Presiden No. 183 tahun 1968 itu menentukan susunan Direktorat

Pemasyarakatan dan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan

Anak, dengan tugas menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan.

Sejak berlakunya Keputusan Presiden tersebut, mulailah

pemasyarakatan bertugas ganda yang tidak dapat dibatasi dan dibedakan

secara terpisah antara tugas pembinaan dan tugas bimbingan. Pembinaan

didalam lembaga adalah sebagian tugas sistem pemasyarakatan sesudah

dikurangi oleh pembinaan diluar lembaga, namun dalam praktek

108

pelaksanaanya pembagian tugas yang demikian itu masih dijalankan bersama

karena pertimbangan tenaga dan fasilitas kurang.80

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari wawancara dengan

beberapa responden yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

dapat diperoleh keterangan bahwa dengan tidak terimplementasinya 10

prinsip pemasyarakatan dan juga tidak tuntasnya pentahapan pembinaan yang

ada maka tujuan pemidanaan dari pembinaan warga binaan dengan masa

pidana pendek cenderung tidak tercapai dengan kata lain pembinaan yang

dilakukan menjadi tidak efektif.81

Hal itu terlihat dari beberapa pendapat responden, salah satunya

responden dari Petugas Lapas yang bernama Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i

Kepala Lembaga Pemasyarakatan bahwa para petugas Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, telah melaksanakan program pembinaan

yang diberikan terhadap warga binaan pidana pendek sudah sesuai dengan

peraturan undang-undang yang ada, hanya saja efektivitas pembinaan tersebut

belum tercapai sesuai tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera kepada

warga binaan setelah menyelesaikan masa pidananya.82

Beberapa warga

80 Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,

Yogyakarta: Liberty. Hal. 188-190. 81 Efektivitas pidana sering dikaitkan dengan tujuan atau hasil yang ingin dicapai. Jadi sama halnya

dengan menetapkan efektivitas sistem hukum pada umumnya.(Barda Nawawi Arief, 1994,

Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Semarang, hal.96. ) 82 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11 Juli

2012.

109

binaan pidana pendek seperti Tia Novianti 83

dan Akhir Kuat Darmawan84

juga berpendapat bahwa kegiatan yang mereka terima selama masa

pembinaan pidana mereka yang singkat cukup bagus, karena mereka

mendapat beberapa ketrampilan yang sebelumnya belum pernah mereka

dapatkan sebelum di pidana,walaupun sebelum mereka benar-benar

merasakan manfaat sepenuhnya dari semua kegiatan yang telah diberikan oleh

petugas. Beberapa contoh kegiatan tersebut yaitu seperti diajarkan berbagai

macam ketrampilan seperti pembuatan paving blok, budidaya ikan lele,

peternakan ayam, menjahit, dan merajut bagi warga binaan wanita. Pendapat

tersebut juga didukung oleh pendapat Drs.Tavipiadi Sukmo Wibowo85

selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan bahwa para

petugas telah memberikan pembinaan secara maksimal, terutama dalam

pembinaan rohani seperti program kegiatan mengaji,tadarusan dan tahlilan,

bagi warga binaan yang beragama muslim dan kebaktian bagi warga binaan

yang beragama nasrani, serta menonton bersama film religi. Semua kegiatan

tersebut diharapkan agar para warga binaan terutama warga binaan pidana

pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dapat menjadi manusia

yang lebih baik lagi dan tidak mengulangi kesalahannya setelah mendapatkan

pembinaan serta dapat diterima kembali dalam masyarakat sebagai pribadi

yang lebih baik lagi.

83 Wawancara dengan warga binaan Tia Novianti binti Kosim, tanggal 12 Juli 2012. 84 Wawancara dengan warga binaan Akhir Kuat Darmawan 12 Juli 2012. 85 Wawancara dengan Drs. Tavipiadi Sukmo Wibowo Kasubag. Tata Usaha tanggal 11 Juli 2012

110

Adapun 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan merumuskan sebagai

berikut :

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepadanya

bekal hidup sebagai warga yang baik, berguna dalam masyarakat,

yakni masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila. Bekal hidup tidak hanya finansiil dan materiil tetapi

yang penting adalah mental, fisik, keahlian, ketrampilan, hingga

diri orang mempunyai kemampuan dan kemauan yang potensiil

dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar

hukum lagi, dan berguna bagi pembangunan negara.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara.

Terhadap warga binaan tidak boleh ada penyiksaan, baik berupa

ucapan, tindakan, cara perawatan maupun penempatan. Satu-

satunya derita hanya dihilangkan kemerdekaannya.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan

bimbingan. Kepada warga binaan harus ditanamkan pengertian

mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, diberi kesempatan

untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Warga binaan

dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk

menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.

111

4. Negara tidak berhak membuat seseorang menjadi lebih buruk

atau lebih jahat dari sebelumnya. Karena itu harus diadakan

pemisahan antara :

a) Yang residivis dan yang bukan;

b) Yang telah melakukan tindak pidana berat dan

ringan;

c) Macam tindak pidana yang diperbuat.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, warga binaan harus

dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari

padanya. Menurut paham lama, pada waktu mereka

menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan

pengasingan dari masyarakat. Kini menurut sistem

pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari

masyarakat dalam arti kultural. Secara bertahap mereka akan

dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan

kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Sistem

Pemasyarakatan ini didasarkan pada pembinaan yang

community centered dan berdasarkan aktivitas dan

interdisiplinair approach antara unsur-unsur pegawai,

masyarakat dan warga binaan.

112

6. Pekerjaan yang diberikan kepada warga binaan tidak boleh

bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan

jawatan atau negara sewaktu saja. Pekerjaan harus sesuai

dengan pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada

pembangunan nasional, karenanya harus ada integrasi

pekerjaan warga binaan dengan pembangunan nasional.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Dalam

pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas-asas yang

tercantum dalam Pancasila. Kepada warga binaan harus

diberikan pendidikan agama, serta diberi kesempatan dan

bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa

kegotong royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa

persatuan, rasa kebangsawanan Indonesia, jiwa bermusyawarah

untuk bermufakat yang positif. Warga binaan harus diikut

sertakan dalam kegiatan demi kepentingan-kepentingan

bersama dan umum.

8. Tiap manusia harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun

telah tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukkan pada warga

binaan bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalu merasa

bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.

Sehubungan dengan itu, petugas pemasyarakatan tidak boleh

113

bersikap maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung

perasaan.

9. Warga binaan tidak hanya dijatuhi pidana namun mendapat

mata pencaharian untuk keluarganya dengan jalan

menyediakan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda dan anak-

anak disediakan lembaga-lembaga pendidikan yang diperlukan,

ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan

pendidikan di luar lembaga.

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru

yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program

pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada

di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang sesuai dengan

kebutuhan proses pemasyarakatan. Sebaiknya juga ada

bangunan khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara

warga binaan-warga binaan.86

Sepuluh prinsip bimbingan dan pembinaan tersebut apabila ditinjauan

dari kerangka teoritis akan menjadi tiga pokok pikiran pemasyarakatan , yaitu

sebagai suatu tujuan, sistem proses, dan metode untuk pelaksanaan pidana

penjara di Indonesia. Konsepsi pemasyarakatan pada tingkat permulaan

merupakan tujuan dari pidana penjara. Pemasyarakatan sebagai tujuan

86 R. Achmad S Soemadi Pradja, et. Al., 1979, “Sistem Pemasyarakat an di Indonesia “, Badan

Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta, Jakarta, hal. 19.

114

menurut teori pembinaan dalam hal menjatuhkan pidana hilang kemerdekaan

tidak terlepas dari prinsip pengimbalan atas perbuatan melanggar hukum

pidana, namun tetap diperlakukan sebagai manusia sekalipun ia telah tersesat,

sehingga sesuai dengan prinsip ajaran hukum pidana aliran klasik dan aliran

modern.

Selain tidak efektif, berdasarkan data tersebut di atas tampak pula

bahwa pidana penjara pendek menimbulkan implikasi negatif bagi si warga

binaan. Sisi negatifnya antara lain tampak bahwa para eks warga binaan

dengan masa pidana pendek juga tetap mendapat penilaian yang buruk di mata

masyarakat setelah lepas atau selesai menjalani masa pidananya. Di sisi lain

berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa sisi negatif yang muncul adalah

penularan perilaku buruk dari para warga binaan (antar warga binaan)

termasuk mereka warga binaan yang menjalani masa pidana pendek. Selama

masa pembinaan di dalam lembaga dan pembinaan di masyarakat kepada

setiap narapidana yang mengalami pidana lebih dari 3 (tiga) bulan dapat

diberikan dorongan berupa upaya remisi untuk memperpendek masa pidana ,

apabila telah menunjukan prestasi dengan berbuat dan berkelakuan yang baik

atau turut mengambil bagian berbakti terhadap negara.

Tujuan pemidanaan walau saat ini tidak dirumuskan dalam ketentuan

normatif, namun terdapat tolak ukur dan dasar pembenaran dalam membahas

pidana penjara yang bersifat teoritis, khususnya dilihat dari sudut politik

kriminal. Tujuan politik kriminal selama ini adalah “perlindungan masyarakat

115

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Hal ini juga tampak pada

konsepsi hasil Seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 dalam kesimpulannya

menyatakan :

Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sasaran

untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap

kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali

(rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan

kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat.87

Demikian dalam Simposium Pembaharuan Hukum pidana Nasional

tahun 1980, dalam salah satu laporannya menyatakan:

1) Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan

harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan

serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat

dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat

negara, korban, dan pelaku.

2) Atas dasar tujuan pemidanaan tersebut maka pemidanaan harus

mengandung unsur-unsur yang bersifat :

a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut

menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang;

b. Edukatif di sini dalam arti bahwa pemidanaan yang

diberikan mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas

perbuatannya yang dilakukan dan menyebabkan ia

mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi

usaha penanggulangan kejahatan;

c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan

adil baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh

masyarakat.88

87 Keputusan Seminar Kriminologi ketiga, 26 dan 27 Oktober 1976, hal. 4. 88 Barda Nawawi Arief, 1994. Op.cit. hal. 82

116

Kemudian dalam RUU KUHP Nasional89

tujuan pemidanaan

dirumuskan dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1) Pemidanaan

bertujuan:

a. Mencegah dilakuannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Mensyaratkan warga binaan dengan mengadakan

pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa

damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terbina;

e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

merendahkan martabat manusia.

Berdasarkan paparan tersebut maka tampak bahwa salah satu tujuan

pemidanaan, adalah untuk memperbaiki si pelaku. Berbagai istilah sering

digunakan untuk menyatakan tujuan ini, antara lain : rehabilitasi, reformasi,

treament of offenders, re-edukasi, re-adaptasi sosial, re-sosialisasi,

pemasyarakat, pembebasan.90

Sedangkan penjara saat ini tidak lagi hanya

dimaksudkan sebagai bentuk hukuman badan, tetapi metode yang digunakan

untuk bekerja pada pikiran seseorang serta tubuhnya, melalui 3 area yang

berbeda yang meliputi: Hukuman, Pencegahan, dan Rehabilitasi. Ketika 3

bidang ini saling terkait ke dalam suatu proses tunggal dimaksudkan untuk

memungkinkan masyarakat untuk menghapus penjahat dari posisi di mana

mereka dapat terus melakukan perilaku kriminal mereka. Menempatkan

89 Direktorat Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen

Hukum dan Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia

Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 90 Ibid. hal. 86

117

mereka ke dalam lembaga yang memenuhi massa yang menginginkan

beberapa bentuk retribusi, memberikan pengaruh kepada penjahat bahwa

kegiatan tersebut tidak menguntungkan, dan dalam waktu yang singkat untuk

membentuk mereka menjadi warga negara yang taat hukum dan produktif

melalui pengkondisian psikologis positif yang kemudian mungkin reintegrasi

ke dalam masyarakat.

Dengan perbaikan pada diri si pelaku, maka diharapkan orang tersebut

tidak mengulangi lagi perbuatan jahatnya. Bertolak dari hal ini maka sering

pula dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk mencegah terjadinya

pengulangan (recidive). Menjaga aman umumnya terdiri dari menjaga

narapidana terkunci, dihitung, dan dikontrol sementara memungkinkan untuk

saat terisolasi dari kegiatan kesejahteraan untuk memenuhi kebutuhan melalui

rekreasi, pendidikan dan konseling. Sayangnya, kesejahteraan dan kebebasan

psikologis dari tahanan individu tidak tergantung pada berapa banyak

pendidikan, rekreasi, dan konseling yang ia terima melainkan, bagaimana dia

bisa hidup dan berhubungan dengan narapidana lain yang merupakan penting

dan hanya dunia yang berarti. Karena pada akhirnya tidak ada efek jera pada

para narapidana dengan adanya pidana penjara pendek, walaupun memang

ada narapidana yang merasa jera melakukan tindak pidana, yang lebih

tepatnya mereka hanya merasa “malu” mempunyai cap atau stigma bahwa

mereka adalah mantan narapidana. Dimana ada beberapa narapidana yang

masih beranggapan bahwa tindak pidana yang mereka lakukan lebih baik

118

dibandingkan para narapidana jangka panjang karena memang dilihat dari segi

jenis tindak pidananya, narapidana yang di jatuhi masa pidana penjara jangka

pendek adalah mereka yang melanggar tindak pidana ringan, seperti pencurian

dan perjudian, lain halnya dengan narapidana jangka panjang yang biasanya

melanggar perbuatan pidana yang dianggap jauh lebih memalukan dan

merugikan korbannya, seperti tindak pidana pembunuhan dan pemerkosaan.

Bagi narapidana yang tidak terlalu sensitive menganggap bahwa

pembinaan selama masa pidana penjara pendek hanya sebagai pengisi waktu

luang atau masa istirahat setelah banyak melakukan banyak pekerjaan saat di

luar penjara. Jadi ada kemungkinan mereka dapat melakukan perbuatan

pidana lagi setelah keluar penjara dan telah selesai masa pidananya.

Sedangkan bagi narapidana yang sensitif, pidana penjara pendek tetap

membawa efek jera, terutama bagi keadaan psikisnya, karena pasti ada

penilaian yang buruk di mata masyarakat setelah lepas atau selesai menjalani

masa pidananya disebut juga sebagai stigmatisasi.

Sekalipun pidana penjara tersebut berjangka pendek, maka justru akan

sangat merugikan, sebab di samping kemungkinan terjadi hubungan-

hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek jelas

tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi warga binaan

di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma

atau cap jahat. Stigmatisasi ini pada dasarnya akan menghasilkan segala

bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut menimbulkan stigma lagi. Suatu

119

kejahatan seseorang secara resmi dipidana, sehingga ia kehilangan

pekerjaannya di luar lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi

menyingkirkannya dari lingkungan orang-orang yang benar. Stigma

meningkatkan sanksi negatif dan sanksi negatif tersebut memperkuat stigma.

2. Faktor-Faktor Penghambat Pembinaan Terhadap Warga

Binaan Pidana Pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap

Adapun pelaksanaan pembinaan warga binaan masa pidana pendek di

Lembaga Pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap terdapat beberapa hambatan atau faktor-faktor lainnya yang

mengakibatkan tidak efektifnya tujuan pemidanaan. Hal ini dapat terlihat

dalam beberapa pendapat para petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap serta warga binaan pidana pendek sebagai responden tentang hal-hal

apa saja yang dapat menghambat pelaksanaan pembinaan warga binaan masa

pidana pendek selama masa pidana berlangsung. Hal itu terlihat dari pendapat

Basuki Raharjo A.Md.IP,selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana /

Anak Didik menyatakan bahwa adanya pembinaan terhadap warga binaan

masa pidana pendek sulit untuk dilaksanakan sesuai dengan program

pembinaan yang ada khusus terhadap warga binaan masa pidana pendek.

Dengan singkatnya waktu pembinaan, mereka hanya mengikuti beberapa

tahapan saja, misalnya : Admisi Orientasi, Maksimum Sekuriti, Medium

Sekuriti dan Minimum Sekuriti, dan tidak melewati tahap Asimilasi, sesuai

120

peraturan yang telah ada dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor

31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan, di mana tahap Asimilasi merupakan salah satu tahap yang

harus dijalani untuk mengembalikan narapidana kedalam lingkungan

masyarakat sebagai warga yang baik. Selain itu kurangnya peran serta

Pemerintah Daerah terhadap perkembangan pembinaan warga binaan di

Lapas, serta belum adanya landasan hukum yang khusus tentang pembinaan

warga binaan pidana pendek dapat menimbulkan tidak adanya program yang

pasti bagi petugas dalam melaksanakan pembinaan terhadap warga binaan

pidana pendek.91

Pendapat tersebut juga di dukung dengan pendapat

Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M. Selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB

Cilacap, bahwa petugas merupakan tenaga yang harus mengkoordinir kegiatan

pembinaan, namun jika petugas tidak professional untuk memberikan

program kegiatan yang telah terprogram dengan pasti kepada warga binaan

pidana pendek, pastilah pelaksanaan pembinaan tersebut juga akan terhambat.

Selain itu dari luar petugas, kurangnya peran serta masyarakat dan keluarga

warga binaan untuk mendukung program pembinaan agar warga binaan serius

mengikuti semua kegiatan pembinaan yang telah diberikan juga menjadi salah

91 Wawancara dengan Basuki Raharjo,A.Md.IP, Kasie. Binadik dan Giatja tanggal 12 Juli 2012.

121

satu faktor terhambatnya pembinaan warga binaan, terutama warga binaan

pidana pendek. 92

Selain itu ada pula pendapat dari warga binaan pidana pendek yang

bernama Muhamad Abdul Rozak93

dan Kristina Setyo Astuti94

dimana

keduanya berpendapat bahwa singkatnya waktu pidana mereka menjadi alasan

mereka sedikit merasa malas untuk mengikuti semua kegiatan dengan lebih

serius yang di berikan petugas, walaupun sebenarnya mereka mengerti bahwa

semua kegiatan yang diberikan adalah kegiatan positif yang dimaksudkan

sebagai bekal mereka agar mereka menjadi orang yang lebih baik lagi dan

dapat diterima oleh masyarakat saat masa pidananya telah selesai. Pendapat

senada dengan warga binaan tersebut dinyatakan pula oleh Tutut Jemi

S,Amd.IP.SH.Msi selaku Kepala Kesatuan Pengaman Lembaga

Pemasyarakatan, bahwa ada warga binaan yang malas mendengarkan

pengarahan dari petugas karena mereka tahu hukuman mereka hanya singkat,

disamping itu ada hambatan lainnya, yaitu struktur bangunan Lembaga

Pemasyarakatan tidak memadai untuk mengikuti prosedur pembinaan yang

benar-benar memenuhi mutu standar yang efektif bagi warga binaan pidana

pendek.95

92 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan tanggal 11Juli

2012. 93 Wawancara dengan warga binaan pidana pendek Muhamad Abdul Rozak tanggal 12 Juli 2012 94 Wawancara dengan warga binaan pidana pendek Kristina Setyo Astuti tanggal 12 Juli 2012 95 Wawancara dengan Tutut Jemi S, Amd.IP.SH.Msi Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga

Pemasyarakatan tanggal 12 Juli 2012.

122

Berdasarkan pendapat responden yang terdapat dalam data primer di

atas, maka dapat dinyatakan bahwa faktor-faktor penghambat pembinaan

terhadap pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

dapatlah dikelompokan menjadi dua, pertama yakni faktor internal dan kedua

faktor eksternal.

a. Faktor internal, meliputi waktu pembinaan yang sempit

atau singkat, petugas yang masih kurang dalam kuantitas

serta kualitas untuk membedakan pembinaan terhadap

warga binaan pidana penjara pendek, belum adanya

peraturan perundang-undangan yang khusus untuk

pengaturan program pembinaan pidana pendek, serta

bangunan yang kurang memadai untuk memisahkan warga

binaan pidana pendek dengan warga binaan yang menjalani

pidana penjara lebih lama. 96

b. Faktor eksternal yakni kurangnya kesadaran pada diri

warga binaan untuk memanfaatkan pembinaan yang

diberikan selama masa pidana dengan lebih serius, serta

kurangnya dukungan dari pihak keluarga warga binaan

96 Wawancara dengan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan Warga Binaan Pidana

Pendek.

123

serta instansi terkait yang seharusnya turut berpartisipasi

dalam pembinaan warga binaan pidana pendek.97

Masalah pokok dari efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat

sebenarnya terletak pada faktor– faktor yang mempengaruhinya yaitu : 98

a. Faktor hukumnya sendiri.

Faktor hukumnya sendiri yang harus menjadi persyaratan utama

adalah mempunyai cukup kejelasan makna dan arti ketentuan, tidak

adanya kekosongan karena belum ada peraturan pelaksanaanya,

peraturan tersebut sinkron secara vertikal dan horizontal sehingga

mengurangi luasnya interprestasi masyarakat. Seperti dalam

Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai pola

pembinaan yang bersifat umum ternyata tidak dapat efektif untuk

mencapai tujuan pembinaan narapidana.

b. Faktor pembina Lembaga Pemasyrakatan Klas IIB Cilacap

Secara sosiologis, antara hukum dan pelaksana hukum merupakan

dua hal yang berbeda hukum termasuk perundang–undangan dan

berbagai azas hukum yang mendasarinya merupakan suatu yang

abstrak, sebaliknya peningkatan hukum merupakan suatu yang

97 Wawancara dengan Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap dan Warga Binaan Pidana

Pendek. 98

Soerjono Soekanto. 1983., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajagarafindo

Persada. Jakarta. hal 7

124

konkret. Penghubung antara yang abstrak dan konkret itu dalam

penegakan hukum adalah penegak hukum.. Suatu peranan berfungsi

apabila sesorang berhubungan dengan pihak lain atau dengan

beberapa pihak. Peranan tersebut dapat berupa peranan yang ideal,

peranan yang seharusnya dan peranan yang aktual. Peranan yang

seharusnya dari penegak hukum tertentu, telah dirumuskan dalam

undang–undang. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

kurangnya pedoman pembinaan yang terpogram dan kurangnya

inisiatif para pembina untuk membuat dan melaksanakan program

kegiatan pembinaan yang lebih khusus kepada waraga binaan

pidana pendek, sehingga kegiatan tidak efektif untuk mencapai

tujuan pemidanaan.

c. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan

Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling

berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu

sistem normal dan nilai yang teorganisasi menjadi pegangan bagi

masyarakat tersebut. Faktor masyarakat dan kebudayaan ini

memegang peranan sangat penting, hal ini berkaitan dengan taraf

kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Kesadaran

hukum merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan

hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan perilaku hukum.

Tingkat kesadaran hukum tercapai apabila masyarakat mematuhi

125

hukum. Warga masyarakat mematuhi hukum karena:

1) rasa takut pada sanksi negatif sebagai akibat melanggar

hukum;

2) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik

dengan lingkungan;

3) ada keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik

dengan penguasa.99

Seperti yang di nyatakan oleh Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala

Lembaga Pemasyarakatan bahwa kurangnya peran serta masyarakat dan

keluarga warga binaan untuk mendukung agar warga binaan serius mengikuti

semua program kegiatan pembinaan yang telah diberikan juga menjadi salah

satu faktor terhambatnya pembinaan warga binaan, terutama warga binaan

pidana pendek yang sangat singkat masa pembinaannya.100

Dari hal-hal tersebut di atas maka harus dipikirkan kembali tentang

penggunaan sanksi pidana berupa pidana penjara pendek dengan mengingat

impliasi negatif terutama bagi pelaku. Harus terdapat alternatif sanksi pidana

penjara pendek yang dapat lebih efektif dalam pencapaian tujuan pidana dan

pemidanaan serta menghindari efek negatif atas pemenjaraan. Alternatif

sanksi yang tepat adalah berupa pidana bersyarat dan pidana denda. Selain itu

99

K. Khairul. 2005. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study

Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). 100 Wawancara dengan Kadiyono,Bc.IP,S.IP,M.S.i Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap.

Tanggal 11 Juli 2012.

126

adanya Psikologis Penjara101

mungkin memainkan peran penting dalam

koreksi kelembagaan, dalam mengurangi efek psikologis yang dialami oleh

narapidana.

Dimana Psikolog dapat merekomendasikan program-program yang

terbaik akan cocok pelanggar dengan kebutuhan mereka. Ini mungkin

termasuk program pengobatan penyalahgunaan zat-zat terlarang,

pengembangan keterampilan membaca dan menulis, pengambilan keputusan,

kontrol kemarahan, pelatihan kerja yang berarti, kontak dengan keluarga, atau

pengobatan seks pelaku. Tujuan minimal mereka mungkin untuk membantu

narapidana mengatasi realitas kehidupan penjara. Namun, program tersebut

hanya akan bermanfaat jika narapidana memasukkan mereka secara sukarela

dan dengan serius serta lamanya waktu untuk rehabititasi atau perbaikan.

Alternatif solusi sebagai upaya untuk mengindari efek negatif pidana

penjara pendek yakni dengan Pidana bersyarat. Pidana bersyarat dalam KUHP

diatur dalam ketentuan Pasal 14 a sampai Pasal 14 f dengan segala bentuk

aturan pelaksanaannya.

Dalam Pasal 14a KUHP dinyatakan bahwa pidana bersyarat hanya

dapat dijatuhkan bilamana memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

101 Bartol, CR, & Bartol, AM (1994) Psikologi dan Hukum: Penelitian dan Aplikasi (2 nd ed.). Pacific

Grove, CA: Brooks / Cole.

127

a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya

tidak lebih dari satu tahun. Jadi dalam hal ini pidana bersyarat

dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara,

dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana penjara

yang diancamkan atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi

yang akan dijatuhkan pada si terdakwa;

b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubungan dengan pidana

kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan

pengganti denda. Mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan

pembatasan, sebab maksimum dari pidana kurungan adalah

satu tahun.

c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat

dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin

bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh

si terdakwa.

Menurut Muladi lembaga pidana bersyarat memang mempunyai

tujuan pemidanaan berupa penyelamatan warga binaan dari penderitaan

pidana pencabutan kemerdekaan khususnya yang berjangka pendek dengan

segala aspeknya.102

Alasan ini sangat penting apabila benar-benar tidak perlu

dikhawatirkan bahwa yang bersalah akan mengulangi suatu tindak pidana

yang agak berat. Dengan menghindarkan warga binaan dari pengaruh buruk

pidana pencabutan kemerdekaan maka masyarakat akan terlindungi dari

kemungkinan timbulnya penjahat yang lebih berat, yang sebenarnya tidak

perlu terjadi.

Pemenjaraan itu sendiri tampaknya bekerja dengan baik pada dua

populasi. Pada beberapa, jangka pendek dari penjara meyakinkan mereka

bahwa mereka harus memperbaiki perbuatan-perbuatan jahat mereka. Penjara

bertindak untuk meyakinkan pelaku bahwa tindakan melawan hukum

102 Muladi, 1985. Op.cit, hal. 89.

128

memiliki konsekuensi serius. Selanjutnya dengan memberikan kesempatan

bagi warga binaan untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, yang secara

fakultatif dapat dibantu oleh lembaga yang disebut Balai Pemasyarakatan

(Bapas), hal ini merupakan pencerminan dari aliran “defence sociale

nouvelle” yang mengutamakan pengakuan, penggunaan, dan pengembangan

atas rasa tanggung-jawab yang merupakan bagian yang penting dari setiap

manusia, termasuk pelaku tindak pidana.

129

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan

dalam bab di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan masa pidana

pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap yang

didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999

Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan sudah sesuai, sebagai pola pembinaan yang

bersifat umum. Namun ternyata hal tersebut tidak dapat efektif

untuk mencapai tujuan pembinaan narapidana. Hal ini mengingat

pendekmya waktu pidana sehingga program pembinaan tidak

dapat memperoleh banyak manfaat. Di sisi lain justru

menimbulkan implikasi negatif bagi si terpidana berupa

“stigmatisasi”.

2. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan pembinaan Warga Binaan

masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

dapatlah dikelompokan menjadi dua pertama yakni faktor internal

dan kedua faktor eksternal. Yaitu:

130

a. Faktor internal:

Meliputi waktu pembinaan yang pendek dan singkat,

karakter warga binaan yang cenderung malas dan

menganggap pidana penjara pendek adalah hukuman

yang ringan dan singkat , petugas yang masih kurang

dalam kuantitas serta kualitas, belum adanya peraturan

perundang-undangan yang khusus untuk pengaturan

program pembinaan pidana pendek, serta bangunan

yang kurang memadai untuk menjalankan semua

program dan kegiatan pembinaan bagi warga binaan

pidana pendek.

b. Faktor eksternal:

Kurangnya dukungan dari pihak keluarga warga

binaan, masyarakat untuk mendukung program

pembinaan yang diberikan oleh petugas terhadap warga

binaan pidana pendek agar, dengan memberi

support/dukungan warga binaan untuk lebih serius

mengikuti semua kegiatan pembinaan walaupun

simgkat waktu pembinaannya. Serta peran instansi

terkait yang seharusnya turut berpartisipasi dalam

pembinaan warga binaan pidana pendek.

131

B. Saran

1. Untuk menunjang keberhasilan pembinaan terhadap Warga Binaan

masa pidana pendek di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap

perlu pengaturan khusus, baik mengenai tahap pembinaan, metode

pembinaan, dan proses interaksi dengan masyarakat. Peran

masyarakat dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan masa

pidana pendek, harus lebih ditekankan untuk tidak memberikan

stigma kepada warga binaan pidana pendek yang telah

menyelesaikan masa pidananya, agar dapat memaksimalkan proses

pembinaan dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan. Selain itu

harus dibuat atau dibangun ruangan khusus di Lembaga

Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap, khusus bagi Warga Binaan

Pemasyarakatan masa pidana pendek, agar dalam penempatannya

antara warga binaan masa pidana penjara pendek dengan warga

binaan masa pidana penjara lebih dari satu tahun dapat dipisahkan,

sehingga pembinaan yang dilakukan oleh petugas dapat lebih

fokus dan terprogram dan diharapkan tercapainya efektifitas

pembinaan dan pemidanaannya.

2. Harus dipikirkan kembali tentang penggunaan sanksi pidana

berupa pidana penjara pendek dengan mengingat implikasi negatif

terutama bagi pelaku. Apabila tidak terdapat hal-hal yang sangat

132

perlu untuk menjatuhkan pidana penjara pendek, maka alangkah

baiknya cukup dengan memberikan pidana bersyarat atau pidana

denda.

133

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur

Achmad S Soemadi Pradja, R, et. Al., “Sistem Pemasyarakatan di Indonesia

“, Badan Pembinaan Hukum Nasional”, Dep. Keh ., Binacipta,

Jakarta, 1979.

Angkasa, Prisonisasi dan Permasalahannya terhadap Pembinaan Warga

binaan ( Suatu studi di Lembaga Pemasyarakatan Semarang dan

Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto), Tesis, Universitas

Diponegoro, Semarang. 1993.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan

Kejahatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 1994.

Atmasasmita, Romli, Kepenjaraan dalam Suatu Bunga Rampai. Armico,

Bandung, 1983..

-----------------------, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bina Cipta,

Bandung, 1979.

-----------------------, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks

Penegakkan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni. 1982.

Bartol, CR, & Bartol , AM (1994) Psikologi dan Hukum: Penelitian dan

Aplikasi . Pacific Grove, CA: Brooks / Cole.

Dirdjosisworo, Soedjono. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan),

Armico. Bandung. 1984.

134

Hanintijo Soemitro, Ronny. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Kansil ,C.S.T,. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, 1986.

Kant, Philosopy Of Law, Bahan Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang.

Koesnoen, Politik Penjara Nasional, Sumur Bandung, Bandung, 1961.

Komarudin, Metodelogi Penelitian Skripsi dan Tesis, Penerbit Angkasa,

Bandung, 1974.

Khairul. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation

(Case Study Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). Tersedia

pada Website Sumber http://www.google.co.id. 2005.

Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Amiko, Bandung, 1984.

---------------------,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya

Bakti. Bandung. 1997.

--------------------------, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung.

1985.

---------------------, Pembinaan Warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan

Nusakambangan, Makalah Seminar di Universitas Indonesia tanggal

21-22 Oktober 1992.

135

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro Semarang. 2002.

Muladi & Barda Nawawi Arief , Pidana dan Pemidanaan, Badan Penyedia

Bahan Kuliah Bahan Kuliah Fakultas Hukum Undip Semarang, 1983.

Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem

Pemasyarakatan, Liberty, Jakarta, 1986.

Prakoso, Djoko, S.H. Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek

Peradilan. Ghalia Indonesia. 1984.

Projodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika

Aditama. Bandung . 2002.

Raharjo, Satjipto. Sistem Peradilan Dalam Wacana Kontrol Sosial. Jurnal

Hukum Pidana dan Kriminologi. Vol.I/Nomor I/1998. PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1998.

Sahetapy, J.E, Ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana,

Disertasi di Universitas Airlangga (1978), Rajawali, Jakarta, 1982.

Sudarto, Masalah Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan, Kapita

Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1981.

Suprianto, Efektivitas Pelaksanaan Asimilasi Di Lembaga Pemasyarakatan

Purwokerto, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2008.

136

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum,

Raja Grafindo, Jakarta, 1983.

Schaftmister , Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana di Waktu Luang, 1979.

Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru

Utama. Semarang, 2005.

Yasid Effendi dan Kuat Puji Prayitno. Hukum Panitensier Indonesia.

Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. 2005.

Peraturan Perundang-undangan

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan

Perundang-undangan, 1999-2000, Rancangan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor… Tahun… Tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Dari Sangkar ke Sanggar, Jakarta,

1975.

Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan,

Jakarta, 1990.

Keputusan Menteri Kehakiman No. Y.S 4/3/7 tahun 1975, yang mengatur

kegiatan bimbingan di Lembaga Pemasyarakatan dan Bispa.

137

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan

Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan.

Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Pebruari 1965 tentang

"Pemasyarakatan sebagai Proses".