ditulis dalam farmakologi
DESCRIPTION
farmakologiTRANSCRIPT
DITULIS DALAM FARMAKOLOGI
Halaman
About Me
Tulisan Terkini
Gagal Jantung (Heart Failure)
Sirosis Hepatis
Eklamsia
COPD (PPOK)
Fisiologi Digesti
biokimia farmakologi biokimia fisiologi
vitamin final ujian 2009 semester
kedokteran unlam lkmm smut p2b
snmptn 2009 making money rapidshare
bantuan syukur kedokteran dr black jack
tugas biokimia
Kategori
biokimia
blok endokrin
blok neurosensoris
BLok Reproduksi
farmakologi
FK UNLAM 2008
Umum
Arsip
November 2009
Juni 2009
Mei 2009
April 2009
Maret 2009
Februari 2009
Januari 2009
Desember 2008
Blogroll
Doktercantik
Fahmi
Faizal
farmakologi fk unlam
Omen
Rizky
sugartomats blog- Imam
Unlam
Komentar Terakhir
7 m y on Hemostasis
(Pembekuan Darah)
riswa on Mekanisme Melihat
dedek on Hemostasis
(Pembekuan Darah)
RERES on Hemostasis
(Pembekuan Darah)
raihan_dari anak smp on
Hemostasis (Pembekuan Darah)
SEPTEMBER 2013
S S R K J S M
1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30
Nov
Klik tertinggi
surfcanyon.com/search?q=HMeta
Daftar
Masuk
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
Blog Stats
135,134 hits
Tulisan Teratas
Tranfusi Darah
Hemostasis (Pembekuan Darah)
Embriologi Sistem Saraf Pusat ( Otak )
Metabolisme Karbohidrat
Mekanisme Melihat
COPD (PPOK)
Gagal Jantung (Heart Failure)
isositrat dehidrogenase
View Full Site
Now Available! Download WordPress for
BlackBerry
Blog pada WordPress.com.
Januari 13, 2009 Tinggalkan sebuah balasan
Pengantar Farmakologi
Farmakologi
pengantar farmakologi
farmakokinetik dan farmakodinamik
( By : Kelompok 7 )
I.FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik merupakan ilmu yang
mempelajari kinetika absorpsi, distribusi
dan eliminasi ( yakni ekskresi dan
metabolisme ) obat pada manusia atau
hewan dan menggunakan informasi ini
untuk meramalkan efek perubahan-
perubahan dalam takaran,rejimen takaran,
rute pemberian, dan keadaan fisiologi pada
penimbunan dan disposisi obat. (1)
Absorpsi, distribusi, biotransformasi
( metabolisme ) dan eliminasi suatu
obatdari tubuh merupakan proses dinamis
yang kontinu dari saat suatu obat dimakan
sampai semua obat tersebut hilang dari
tubuh. Laju terjadinya proses-proses ini
mempengaruhi onset, intensitas, dan
lamanya kerja obat di dalam tubuh. (1)
A.Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat
dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantunng pada cara pemberiannya,
tempat pemberian obat adalah saluran
cerna ( mulut sampai dengan rectum ),
kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang
terpenting adalah cara pemberian obat per
oral, dengan cara ini tempat absopsi utama
adalah usus halus karena memiliki
permukaan absorpsi yanng sangat luas, yakni
200 m2 ( panjang 280 cm, diameter 4 cm,
disertai dengan villi dan mikrovilli ).(2)
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada
umumnya terjadi secara difusi pasif, karena
itu absorpsi mudah terjadi bila obatdalam
bentuk non-ion dan mudah larut dalam
lemak. Absorpsi secara transpor aktif terjadi
teutama di dalam usus halus untuk zat-zat
makanan : glokusa dan gula lain, asam
amino, basa purin, dan pirimidin, mineral,
dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi
untuk obat-obat yang struktur kimianya
mirip struktur zat makanan tersebut.
Misalnya levodopa, metildopa, 6-
merkaptopurin, dan 5-flourourasil.(2)
Kebanyakan obat merupakan electrolit
lemah, yakni asam lemah atau basa lemah.
Dalam air, elektrolit lemah ini akan
terionisasi menjadi bentuk ionnya. Untuk
asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa )
akan meningkatkan ionisasinya dan
mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya
untuk basa lemah, pH yang rendah (suasana
asam ) yang akan meningkatkan ionisasinya
dan mengurangi nonionnya. Hanya bentuk
nonion yang mempunyai kelarutan lemak,
sehingga hanya bentuk nonion dan bentuk
ion berada dalam kesetimbangan, maka
setelah bentuk nonion diabsopsi,
kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk
nonion sehingga absorpsi akan berjalan
terus sampai habis.Zat-zat makanan dan
oabt0obat yanng strukturnya mirip makanan,
yang tidak dapat / sukar berdifusi pasif
memerlikan membran agar dapat dapat
diabsorpsi dari saluran cerna maupun
direabsopsi dari lumen tubulus ginjal.(2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi:
-Derajat ionisasi
-Dosis dan waktu pemberian obat
-pH dan pK
-pelarut obat dan bentuk obat
-luas permukaan absorpsi
-aliran darah
-kondisi usus dan kecepatan pengosongan
lambung
-interaksi dengan obat lain
B.Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan
ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Selain tergantung dari aliran darah,
distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Obat yang mudah larut
dalam lemak akan melintasi membran sel
dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan
obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit
menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairan
ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh
ikatan obat pada protein plasma, hanya obat
bebas yang dapat berdifusi dan mencapai
keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan
protein plasma ditentukan oleh afinitas obat
terhadap protein, kadar obat, dan kadar
proteinnya sendiri. (2)
Untuk mencapai sel target, suatu obat harus
dapat menembus sawar biologic, dapat
berupa membrane yang terdiri atas satu
atau beberapa sel. Pada sawar darah otak,
obat-obatan yang larut dalam air sulit
melewatinya dan pada sawar plasenta hanya
obat-obatan dengan BM besar (seperti
heparin, plasma sekunder) sukar masuk
fetus (3).
Oleh karena molekul protein plasma cukup
besar, maka hanya fraksi obat bebas saja
yang mempunyai arti klinis, karena bagian
tersebut yang dapat mencapai reseptor pada
organ sasaran (termasuk bakteri). Protein
plasma yang berikatan dengan molekul obat
terutama adalah albumin(A), disamping itu
protein lain juga berperan, misalnya alfa
amino globulin (AAG) dan lipoprotein (LP)
pada keadaan tertentu.(1)
C.Eliminasi
Proses eliminasi bertanggung jawab atas
durasi atau lamanya obat berefek dengan
cara mengusahakan agar obat dapat segera
dikeluarkan dari tubuh, temasuk ke dalam
alat eksresi seperti ginjal, hati dan paru.
Agar obat mudah dieksresi, kadang-kadang
obat harus diubah lebih dahulu menjadi
senyawa lain yang bersifat tidak mudah
larut dalam lemak baru dieksresi. Proses
metabolisme dan eksresi secara merupakan
proses eliminasi. [3]
D.Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat
adalah proses perubahan struktur perubahan
kimia yang tejadi dalam tubuh dan
dikatalisis oleh enzim. Pada poses ini
molekul obat diubah menjadi lebih polar
(lebih mudah larut dalam air) dan kurang
larut dalam lemak sehingga mudah dieksresi
melalui ginjal [2].
Kebanyakan obat diubah di hati dalam hati,
kadang-kadang dalam ginjal dan lain-lain.
Kalau fungsi hati tidak baik maka obat yang
biasanya diubah dalam hati tidak mengalami
peubahan atau hanya sebagian yang diubah.
Hal tesebut menyebabkan efek obat
berlangsung lebih lama dan obat menjadi
lebih toxic [4].
Metabolisme obat di hepar terganggu oleh
adanya zat hepatotoksik atau pada sirosis
hepatis kaena pada keadaan-keadaan
tesebut terjadi kerusakan sel parenim hati
serta enzim-enzim metabolismenya. Dalam
hal ini dosis obat yang eliminasinya
terutama melalui metabolism di hati harus
disesuaikan atau dikurangi. Demikian juga
penurunan alir darah hepar, baik oleh obat
maupun gangguan kardiovaskular, akan
mengurangi metabolisme obat di hati [2].
E.Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui
berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam
bentuk asalnya. Obat atau metabolit yang
polar diekskresi lebih cepat daripada obat
yang larut baik dalam lemak, kecuali pada
eksresi melaui paru-paru.[2]
Ginjal merupakan organ eksresi yang
terpenting [2]. Metabolit yang larut dalam
air sukar direabsorpsi oleh tubuli ginjal,
sehingga akan dikeluarkan bersama-sama
urine. Sebaliknya, obat yang mudah laut
dalam lemak jika sudah berada dalam tubuli
ginjal sebagian besar direabsorpsi oleh
tubuli ginjal. Obat yang tidak dapat difiltasi
oleh glomerulus bisa disekresi oleh ginjal
melalui sekresi tubulus. Jadi proses
eliminasi oleh ginjal (ekskresi) meupakan
hasil dari proses-proses filtrasi glomerulus,
reabsorbsi, dan sekresi tubulus [4]. Bila
fungsi ginjal rusak sedangkan obat harus
dikeluarkan melalui ginjal maka eksresinya
tidak sempurna dan memudahkan terjadinya
keracunan [1]. Hasil ekskresi dapat berupa
urine, air ludah, air susu, air mata, keringat
dan lain-lain [1].
II.FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang
mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi
obat serta mekanisme kerjanya. (2) Sifat
kerja obat tersebut menentukan kelompok
tempat obat tersebut digolongkan dan
sering kali mempunyai peran penting untuk
memutuskan apakah kelompok tersebut
adalah terapi yang tepat untuk gejala atau
penyakit tertentu, (1)
Mekanisme Kerja Obat
Efek obat umumnya timbul karena interaksi
obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Interaksi obat dengan
reseptornya ini mencetuskan perubahan
biokimiawi dan fisiologi yang merupakan
respons khas untuk obat tersebut. Reseptor
obat merupakan komponen makromolekul
fungsional yang kencakup dua fungsi
penting. Pertama, bahwa obat dapat
mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh.
Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan
suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi
fungsi yang sudah ada. Setiap komponen
makromolekul fungsional dapat berperan
sebagai reseptor obat tertentu, juga
berperan sebagai reseptor untuk ligand
endogen (hormon, neurotransmitor).
Substansi yang efeknya menyerupai senyawa
endogen disebut agonis. Sebaliknya,
senyawa yang tidak mempunyai aktivitas
intrinsic tetapi menghambat secara
kompetitif efek suatu agonis di tempat
ikatan agonis (agonit binding site ) disebut
antagonis.(2)
Teori Reseptor
Efek terapeutik obat dan efek toksik obat
adalah hasil dari interaksi obat tersebut
dengan molekul di dalam tubuh pasien.
Sebagian besar obat bekerja melalui
penggabungan dengan makromolekul khusus
dengan cara mengubah aktivitas biokimia
dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal
dengan istilah reseptor. (1)
Sebagian besar reseptor adalah protein
karena struktur polipeptida memberikan
perbedaan corak dan kekhususan yang
diperlukan dari bentuk dan muatan listrik.
Reseptor obat yang paling baik adalah
protein regulator, yang menjembatani kerja
dan sinyal-sinyal bahan kimia endogen,
seperti: neurotransmitter, autacoids, dan
hormone. Kelompok reseptor ini
menjembatani efek dari sebagian besar
agen terapeutik yang paling bermanfaat.
Struktur molekuler dan mekanisme biokimia
reseptor regular ini menggunakan lima
mekanisme dasar sinyalisasi transmembran
yang masing-masing menggunakan strategi/
pendekatan yang berbeda untuk
menghindari halangan yang disebabkan oleh
dua lapisan lemak (bilayer lipid) membran
plasma. Strategi pendekatan ini
menggunakan:
1.Ligan larut lemak yang melintasi
membrane dan bekerja pada reseptor
intraseluler.
Sinyal kimia larut lemak melintasi membran
plasma dan bekerja pada reseptor
intraseluler (yang mungkin adalah enzim
atau pengatur transkripsi gen)
2.Protein reseptor transmembran yang
aktivitas enzimatik intraselulernya diatur
secara allosterical oleh ligan yang terikat
pada tempat di domain ekstraseluler
protein.
Sinyal tersebut terikat pada domain
ekstraseluler protein transmembran,
sehingga mengaktifkan aktivitas enzimatis
domain sitoplasmiknya.
3.Reseptor transmembran yang mengikat
dan menstimulasi protein tyrosine kinase.
Sinyal tersebut terikat pada domain
ekstraseluler reseptor transmembran yang
terikat pada protein kinase tyrosine, yang
diaktifkannya.
4.Kanal ion transmembran yang ligand-
gated, yaitu kanal ion yang pembukaan/
penutupannya dapat diinduksi oleh ligan
yang terikat pada reseptor kanal ion
tersebut.
Sinyal tersebut terikat dan langsung
mengatur pembukaan saluran ion.
5.Protein reseptor transmembran yang
menstimulasi transduktor yang memberi
sinyal setelah berikatan dengan GTP
(protein G) yang kemudian menimbulkan
pembawa pesan kedua.
Sinyal tersebut terikat pada reseptor
permukaan sel yang dihubungkan pada
enzim efektor oleh protein G.
Kelompok protein lainnya yang telah
dikenal jelas sebagai reseptor obat juga
termaasuk enzim, yang mungkin dihambat
(atau, yang kurang umum, diaktifkan)
dengan mengikat obat (misalnya
dihydrofolate reductase, reseptor untuk
obat antikanker methotrexate), protein
pembawa (transport protein) (misalnya, Na
+/ K+ ATPase, reseptor membran untuk
digitalis, glycoside yang aktif pada jantung)
dan protein structural (misalnya, tubulin,
reseptor untuk colchicine, agen
antiinflamasi).(3)
Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan
ion, hydrogen hidrofobik, van der walls,
atau kovalen , tetapi umumnya merupakan
campuran dari berbagai ikatan di atas.(2)
Konsep reseptor ini mempunyai
konsekuensi-konsekuensi yang penting
untuk perkembangan obat dan pengambilan
keputusan terapeutik dalam praktek klinik.
1.Pada dasarnya reseptor menentukan
hubungan kuantitatif antara dosis atau
konsentrasi obat dan efek farmakologi:
afinitas reseptor untuk mengikat obat
menentukan konsentrasi obat yang
diperlukan untuk membentuk kompleks
obat- reseptor (drug-receptor complexes)
dalam jumlah yang berarti, dan jumlah
reseptor secara keseluruhan dapat
membatasi efek maksimal yang ditimbulkan
oleh obat.
2.Reseptor bertanggung jawab pada
selektivitas tindakan obat : ukuran, bentuk
dan muatan ion elektrik molekul obat
menentukan apakh-dan dengan kecocokan/
kesesuaian yang bagaimana- molekul itu
akan terikat pada reseptor tertentu diantara
bermacam-macam tempat ikatan yang
secara berbeda. Oleh karena itu, perubahan
struktur kimia obat secara dramatis/
mencolok dapatmenaikan atau menurunkan
afinitas obat-obat baru terhadap gollongan-
golongan reseptor yang berbeda, yang
mengakibatkan perubahan-perubahan dalam
efek terapi dan toksiknya.
3. Reseptor- reseptor menjembatani kerja
antagonis farmakologi: efek antagonis di
dalam tubuh pasien bergantung pada
pencegahan pengikatan molekul agonis dan
penghambatan kerja biologisnya. Beberapa
obat bermanfaat sebagai antagonis
farmakologis dalam pengibatan klinik.(1)
Spesifisitas dan Selektivitas
Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjabya
terbatas pada satu jenis reseptor, dan
dikatakan selektif bila menghasilkan satu
efek pada dosis rendah dan efek lain baru
timbul pada dosis yang lebih besar. Obat
yang spesifik belum tentu selektif tetapi
obat yang tidak spesifik dangan sendirinya
tidak selektif.(2)
KERJA OBAT YANG TIDAK DIPERANTARAI
RESEPTOR
-Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada
Membran
-Perubahan sifat osmotik
-Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya,
meningkatkan osmolaritas filtrate
glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi
air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi
efek diuretic.
-Perubahan sifat asam/basa
Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid
dalam menetralkan asam lambung.
-Kerusakan nonspesifik
Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai
antiseptik dan disinfektan, dan
kontrasepsi.contohnya, detergen merusak
intregitas membrane lipoprotein.
-Gangguan fungsi membrane
Anestetik umum yang mudah menguap
misalnya eter,, halotan, enfluran, dan
metoksifluran bekerja dengan melarut
dalam lemak membrane sel di SSP sehingga
eksitabilitasnya menurun.
-Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion
Kerja ini diperlihatkan oleh kelator
(chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA
yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat
yang inaktif pada keracunan Pb.
-Masuk ke dalam komponen sel
Obat yang merupakan analog puri atau
pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam
asam nukleat sehingga mengganggu
fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini
disebut antimetabolit misalnya 6-
merkaptopurin atau anti mikroba lain. (2)
KONSENTRASI DAN RESPON OBAT
Hubungan antara konsentrasi obat dan
respon obat
Respons terhadap dosis obat yang rendah
biasanya meningkat sebanding langsung
dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya
dosis penigkatan respon menurun. Pada
akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat
meningkatkan respon lagi. Pada system
ideal atau system in vitro hubungan antara
konsentrasi obat dan efek oabat
digambarkan dengan kurva hiperbolik
menurut persamaan sebagi berikut:
E=
di mana E adalah efek yang diamati pada
konsentrasi C, Emaks adalah respons
maksimal yang dapat dihasilkan oleh obat.
EC50 adalah konsentrasi obat yang
menghasilkan 50% efek maksimal.
Hubungan antara konsentrasi dan efek obat
(panel A) atau obat yang terikat reseptor
(panel B). Konsentrasi obat yang efeknya
separuh maksimum disebut EC50 dan
konsentrasi obat yang okupansi reseptornya
separuh maksimum disebut KD.(2)
Hubungan dosis dan respons bertingkat
1.Efikasi (efficacy). Efikasi adalah respon
maksimal yang dihasilkan suatu obat. Efikasi
tergantung pada jumlah kompleks obat-
reseptor yang terbentuk dan efisiensi
reseptor yang diaktifkan dalam
menghasilkan suatu kerja seluler
2.Potensi.Potensi yang disebut juga
kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran
berapa bannyak obat dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu respon tertentu. Makin
rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu
respon yang diberikan, makin poten obat
tersebut.Potensi paling sering dinyatakan
sebagai dosis obat yang memberikan 50%
dari respon maksimal (ED50). Obat dengan
ED50 yang rendah lebih poten daripada obat
dengan ED50 yang lebih besar.
3.Slope kurva dosis-respons. Slope kurva
dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke
obat lainnya. Suatu slope yang curam
menunjukkan bahwa suatu peningkatan
dosis yang kecil menghasilkan suatu
perubahan yang besar (1)
Pada gambar diatas diperlihatkan suatu
kurva dari tiga obat yang berbeda yang
menunjukkan potensi farmakologis yang
berbeda dan efikasi maksimal yang berbeda:
(1)
Obat A lebih poten disbanding obat B,
tetapi keduanya memiliki efikasi yang yang
sama, sedangkan obat C memperlihatkan
potensi dan efikasi yang lebih rendah
daripada obat A dan B(1)
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada
50% individu (ED50) disebut juga dosis
terapi median. Dosis letal median adalah
dosis yang emnimbulkan kematian pada 50%
individu , sedangkan TD50 adalah dosis
toksik 50%.(2)
Indeks terapeutik
Indeks terapeutik suatu obat adalah rasio
dari dosis yang menghasilkan toksisitas
dengan dosis yang menghasilkan suatu
respon yang efektif dan diinginkan secara
klinik dalam suatu populasi individu(1)
Indeks terapeutik = dosis toksik/dosis efektif
(1)
Indeks terapeutik bisa juga dituliskan
sebagai berikut:
Indeks terapeutik = atau (2)
Jadi indeks terapeutik merupakan suatu
ukuran keamanan obat, karena nilai yang
besar menunjukkan bahwa terdapat suatu
batas yang luas/lebar diantara dosis-dosis
yang efektif dan dosis-dosis yang toksik(1)
Indeks terapeutik ditentukan dengan
mengukur frekuensi respons yang diinginkan
dan respons toksik pada berbagai dosis
obat.Pada gambar berikut diperlihatkan
indeks terapeutik yang berbeda dari dua
jenis obat (1)
Warafarin, suatu obat dengan indeks
terapeutik yang kecil. Pada saat dosis
warfarin ditingkatkan , terjadi suatu respon
toksik, yaitu kadar anti koagulan yang tinggi
yang menyebabkan perdarahan. Variasi
respon penderita mudah terjadi dengan
obat yang mempunyai indeks terapeutik
yang sempit, karena konsentrasi efektif
hamper sama dengan konsentrasi toksik(1)
Suatu obat dengan indeks terapeutik yang
besar. Penisilin aman diberikan dalam dosis
tinggi jauh melebihi dosis minimal yang
dibutuhkan untuk mendapatkan respon yang
diinginkan(1)
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada
semua pasien tanpa menimbulkan efek
toksik pada seorang pasienpun, oleh karena
itu, (2)
Indeks terapi = adalah lebih tepat
Dan untuk obat ideal : 1(2)
ASPIRIN
Aspirin/asam asetilsalisilat (asetosal adalah
suatu jenis obat dari keluarga salisilat yang
sering digunakan sebagai analgesik
(terhadap rasa sakit/nyeri minor),
antipiretik (terhadap demam), dan anti
inflamasi. Aspirin juga memiliki efek
antikoagulan dan digunakan dalam dosis
rendah dalam tempo lama untuk mencegah
serangan jantung. Asperin obat pertama
yang dipasarkan dalam bentuk tablet.
Struktur kimia:
Struktur kimia aspirin
Molekol asam 2-hidroksibenzoat(juga
disebut sebagai asam 2-
hidroksibenzenkarboksilat
AMOKSISILLIN
Struktur kimia:C16H19N3O5S atau (2S, 5R,
6R)-6-[(R)-2-amino-2-(4-hydroxyphenyl)
acetamido]-3,3-dimethyl-7-oxo-4-thia-1-
azabicyclo[3,2,0] heptane-2-carboxylic
acid.