dinamika sistem pendidikan pesantren-bab ii-jan

23
10 BAB II TINJAUN PUSTAKA Seperti disebutkan di awal Bab Pendahuluan, manusia adalah tokoh kunci dalam kehidupan. Ia bertanggung jawab akan baikburuknya kehidupan di dunia ini, dan hal itu merupakan perwujudan pengabdiannya kepada Tuhan. Maka dalam tinjauan pustaka ini berturutturut disajikan, konsepsi Manusia dan Kehidupan, Pendidikan, dan Pesantren (sebagai objek studi). 1. Manusia dan Kehidupan Pertanyaan “(Si) Apakah manusia itu”, telah menjadi tema sentral dan zaman ke zaman, dan tidak pernah dapat dijawab secara final. Kalau memang pertanyaan ini tidak pernah dapat dijawab secara tuntas, mengapa manusia tidak berhenti bertanya dan kemudian menyerahkan did kepada nasib saja? Inilah suatu pertanda bahwa manusia itu penuh rahasia dan sesungguhnya mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri. Ada suatu pengibaratan terkenal yang mengatakan bahwa “keledai tidak mau tersandung dua kali pada batu yang sama, tetapi manusia sering man tersandung berulang kali pada batu yang sama tersebut.” 1 Apakah dengan demikian hal mi berarti manusia lebih bodoh daripada keledai? Tidak, justru sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa manusia lebih pandai daripada keledai. Hewan hidup sebatas pada insting atau naluri menyesuaikan din dengan lingkungan fisik yang mengitarinya, ia tidak mampu mengubah atau mengolah lingkungannya, tetapi Ia mampu dengan sempurna menyesuaikan diri dengan lingkungan alamnya. Karena inilah maka Jacques Maritain mengatakan bahwa binatang adalah makhluk spesialis yang paling sempurna. 2 Daun kehidupan binatang mantap, masa hidupnya kronologis dan hanya berorientasi kekinian. Ia tidak mampu mengingat masa lalunya dan membayangkan masa depannya, karena itu ia disebut bukan makhluk sejarah. Bagi hewan sejarah tidak berperan sama sekali, meskipun ia mampu meninggalkan pengalaman negatif dan mengulang pengalaman positif, akan tetapi kemampuannya itu tidak berperan untuk menjadikannya memiliki wawasan kesejarahan, karena hewan tidak mampu belajar dan pengalaman. Sebaliknya, manusia hidup tidak sebatas insting atau nalurinya saja. Dengan akal, perasaan, kemauan, dan kemampuankemampuannya yang lain ia mampu mengubah dan mengolah lingkungan yang mengitarinya dan menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai citacitanya. Jika ïa mau berulang kali tersandung pada batu yang sama, hal itu disebabkan ia ingin mengetahui dan meneliti mengapa ia sampai tersandung, dan kemudian memperbaiki dan mengembangkan kehidupannya. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa orientasi manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampau, kini, dan mendatang, sehingga ia memiliki predikat sebagai makhluk sejarah. Salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu ingin menciptakan dunia kehidupannya sendiri dan mengatasi dunia realitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh A. Vloemans, salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu berusaha melampaui din sendiri secara terusmenerus. 3 Dengan kata lain, manusia di samping sebagai makhluk sejarah, ia juga dikuasai oleh sejarah. Oleh 1 Fuad Hassan, “Respondeo ErgosumPersepsi Filsafat tentang Manusia”, dalam Islam dan Pendidikan Nasional, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 3034. 2 Jacques Maritain, Education at the Crossroads, New Haven and London Yale University Press, 25 the printing, 1975 hlm. 19. 3 Fuad Hassan, Loc. Cit.

Upload: jamridafrizal

Post on 25-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddin, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Pesantren telah hidup sejak 300-400 tahun yang lampau, menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim, dan dewasa ini diperkirakan menampung lebih dari satu juta santri. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Terutama di zaman kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam. Tidak sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren. Para peneliti terdahulu mengenai pesantren sepakat bahwa pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam Indonesia yang mengembangkannya dari sistem pendidikan Agama Jawa. Agama Jawa (abad ke 8-9 M) merupakan perpaduan antara kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme. Di bawah pengaruh Islam, sistem pendidikan tersebut diambil alih dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam. Menurut Zamachsyari Dhofier, sejak akhir abad ke-15 Islam telah menggantikan Hinduisme, dan pada abad ke-16 dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam, penduduk Jawa telah dapat di-Islam-kan. Model pendidikan Agama Jawa itu disebut pawiyatan, berbentuk asmara dengan rumah guru yang disebut ki ajar di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik atau murid hidup bersama dalam satu kampus. Hubungan mereka sangat erat bagaikan keluarga dalam rumah tangga, siang malam selama 24 jam. Pengajarannya meliputi ilmu-ilmu filsafat, alam, seni, sastra, dan sebagainya, dan diberikan secara terpadu dengan pendidikan agama dan moral.

TRANSCRIPT

Page 1: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

10

BAB II TINJAUN PUSTAKA 

  Seperti  disebutkan  di  awal  Bab  Pendahuluan,  manusia  adalah  tokoh  kunci  dalam  kehidupan.  Ia bertanggung  jawab akan baik‐buruknya kehidupan di dunia  ini, dan hal  itu merupakan perwujudan pengabdiannya  kepada  Tuhan. Maka  dalam  tinjauan  pustaka  ini  berturut‐turut  disajikan,  konsepsi Manusia dan Kehidupan, Pendidikan, dan Pesantren (sebagai objek studi).  1. Manusia dan Kehidupan  Pertanyaan “(Si) Apakah manusia  itu”,  telah menjadi  tema  sentral dan  zaman ke  zaman, dan  tidak pernah dapat dijawab secara final. Kalau memang pertanyaan ini tidak pernah dapat dijawab secara tuntas, mengapa manusia  tidak  berhenti  bertanya  dan  kemudian menyerahkan  did  kepada  nasib saja?  Inilah  suatu  pertanda  bahwa  manusia  itu  penuh  rahasia  dan  sesungguhnya  mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri. Ada suatu pengibaratan terkenal yang mengatakan bahwa “keledai tidak mau tersandung dua kali pada batu yang sama, tetapi manusia sering man tersandung berulang kali pada batu yang sama tersebut.”1 Apakah dengan demikian hal mi berarti manusia lebih bodoh daripada  keledai? Tidak,  justru  sebaliknya, hal  tersebut menunjukkan bahwa manusia  lebih pandai daripada keledai. 

Hewan hidup  sebatas pada  insting  atau naluri menyesuaikan din dengan  lingkungan  fisik  yang mengitarinya,  ia  tidak mampu mengubah  atau mengolah  lingkungannya,  tetapi  Ia mampu  dengan sempurna  menyesuaikan  diri  dengan  lingkungan  alamnya.  Karena  inilah  maka  Jacques  Maritain mengatakan  bahwa  binatang  adalah  makhluk  spesialis  yang  paling  sempurna.2  Daun  kehidupan binatang  mantap,  masa  hidupnya  kronologis  dan  hanya  berorientasi  kekinian.  Ia  tidak  mampu mengingat masa  lalunya dan membayangkan masa depannya, karena  itu  ia disebut bukan makhluk sejarah.  Bagi  hewan  sejarah  tidak  berperan  sama  sekali,  meskipun  ia  mampu  meninggalkan pengalaman  negatif  dan  mengulang  pengalaman  positif,  akan  tetapi  kemampuannya  itu  tidak berperan untuk menjadikannya memiliki wawasan kesejarahan, karena hewan tidak mampu belajar dan pengalaman. 

Sebaliknya,  manusia  hidup  tidak  sebatas  insting  atau  nalurinya  saja.  Dengan  akal,  perasaan, kemauan, dan kemampuan‐kemampuannya yang lain ia mampu mengubah dan mengolah lingkungan yang mengitarinya  dan menciptakan  kehidupan  untuk memenuhi  kebutuhan  dan mencapai  cita‐citanya. Jika ïa mau berulang kali tersandung pada batu yang sama, hal itu disebabkan ia  ingin mengetahui dan meneliti mengapa  ia  sampai  tersandung, dan kemudian memperbaiki dan mengembangkan  kehidupannya.  Dalam  konteks  inilah  dikatakan  bahwa  orientasi  manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampau, kini, dan mendatang, sehingga ia memiliki predikat sebagai makhluk  sejarah.  Salah  satu  sifat  kodrati  manusia  adalah  selalu  ingin  menciptakan  dunia kehidupannya  sendiri  dan mengatasi  dunia  realitasnya.  Sebagaimana  dikatakan  oleh A. Vloemans, salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu berusaha melampaui din sendiri secara terus‐menerus.3 Dengan kata  lain, manusia di  samping  sebagai makhluk  sejarah,  ia  juga dikuasai oleh  sejarah. Oleh 

                                                            1  Fuad  Hassan,  “Respondeo  Ergosum‐Persepsi  Filsafat  tentang Manusia”,  dalam  Islam  dan  Pendidikan 

Nasional, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 30‐34. 2  Jacques Maritain,  Education  at  the  Crossroads, New Haven  and  London  Yale University  Press,  25  the 

printing, 1975 hlm. 19. 3 Fuad Hassan, Loc. Cit. 

Page 2: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

11

karena  itu,  ia  tidak  hanya  berada  dalam  dunianya  tetapi  ia  hidup  bersama  dan  berdialog  dengan kehidupan.4 Menurut  Imam al‐Ghazali, salah satu sifat kodrati manusia  ialah: tidak pernah berhenti bertanya  dalam mencari  kebenaran.5 Manusia  selalu  ingin mengetahui  rahasia  alam. Makin  jauh rahasia  alam  yang  dapat  diselidiki, makin  banyak  daerah misteri  yang  tidak  diketahui,  dan makin tinggi  kekagumannya  kepada  Penciptanya,  sebagaimana  dikatakan  oleh  Joachim  Wach  dalam bukunya Sociology of Religion: Mysterium,  tre‐mendum et  fascinosum.6 Sadar akan kodratnya yang tidak mau berhenti mencari kebenaran, sedang selalu ada tabir rahasia yang tidak terungkap, maka manusia dalam mengembangkan kehidupannya selalu berada dalam dan modalitas: kebebasan untuk mandiri dan  ketergantungan dengan  alam dan masyarakatnya; maka  terjadilah pertentangan  yang terus‐menerus antara individu dan masyarakat. 

Tetapi bagaimanapun  individu path akhirnya barns dapat menemukan  identitas kepribadiannya sendiri,  yang  berbeda  dengan  orang  lain.  Ia  harus  menyadari  dan  mengetahui  akan  tugas  dan tanggung jawabnya dalam kehidupan, dan maksud Tuhan menciptakan makhluk atau semua yang ada ini. 

Dalam konsep Islam, manusia terdiri atas 3 unsur: tubuh, hayat, dan jiwa.7 Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat artinya hidup, dan  jika  tubuh mad, kehidupan berakhir. Tetapi tidak  demikian  halnya  dengan  jiwa.  Jiwa  adalah  kekal.  Pada  binatang  dan  tumbuh‐tumbuhan menurut  para  filsuf  Islam  juga  ada  jiwa,  tetapi  eksistensi  jiwa  di  sini  terikat  dengan  tubuh  yang bersifat materi. Oleh karena  itu,  jika makhluk yang bersangkutan mati,  jiwa pun  ikut serta hancur.8 Sebaliknya  eksistensi  jiwa  pada manusia  tidak  terikat  path materi,  karena  itu  ia  tidak  ikut  mati bersama‐sama  dengan  tubuh. Dalam  Islam,  istilah mad,  berbeda  dengan  konsep mati  dan  paham materialisme atau paham kebendaan  lain. Dalam paham  tersebut mati berarti hilangnya eksistensi manusia  secara  total,  sedang dalam  Islam mati berarti  tubuh manusia akan hancur,  tetapi  jiwanya akan tetap mempunyai wujud yang abadi.  

Dalam  Islam, orang dapat dikatakan mati, meskipun tubuhnya masih hidup, masih bergerak dan berhubungan  dengan  orang  lain  sebagaimana  layaknya  orang  yang masih  hidup, manakala  dalam hidupnya  itu  ia  tidak mau beribadah atau  sujud kepada Tuhan, menolak  semua perintah‐Nya, dan melanggar  semua  larangan‐Nya. Sebaliknya, orang  tetap dikatakan hidup  sekalipun  tubuhnya mati, manakala  sewaktu  hidupnya  ia  selalu  taat  menjalankan  perintah  Tuhan  dan    menjauhi  semua larangan‐Nya, misalnya para  Syuhada, yaitu mereka  yang berjuang di  jalan Allah  sewaktu hidup di dunia, dan sebagainya.9 

Inilah sebabnya, maka pendidikan  Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, tetapi dalam praktiknya  banyak  lembaga‐lembaga  pendidikan  Islam  yang  cenderung  lebih  mementingkan pendidikan  yang  berorientasi  keakhiratan  daripada  keduniawian,  karena  kehidupan  ukhrawi dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedang kehidupan duniawi dipandang sebagai sementara dan bukan terakhir. 

                                                            4 Paulo Freire, Cultural Action For Freedom, Penguin Education, USA, 1971, hlm. 76‐77. 5  Lihat  buku  mengenai  Imm  al‐Ghazali,  antara  lain: Minhajul  Abidin  (Darul  Ulum  Press  Jakarta,1986), 

Bimbingan Mu’minin dalam mencari ridha rabbil alamin. Pustaka Nasional, Singapura, 1976, dan O Anak (Tinta Mas, Jakarta, 1983). 

6 Joachim Wach, Sociology of Religion, The University of Chicago Press, USA, 1971, hlm. 14. 7  Harun  Nasution,  “Manusia Menurut  Konsep  Islam”,  dalam  Islam  dan  Pendidikan  Nasional,  Lembaga 

Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 59‐79. 8 Jiwa yang dimaksud oleh filsuf Islam di sini adalah hayat. 9 Moh. Quraish Shihab, Konsep al Qur’an tentang Hidup Manusia, disampaikan dalam saresehan ilmiah 

yang diadakan oleh Yayasan Pondok Pesantren Al Kamal, Jakarta, 1987. 

Page 3: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

12

Berbeda dengan konsep tabularansa dari John Locke (1632‐1704) yang memandang jiwa manusia dilahirkan sebagaimana kertas putih bersih yang kemudian sepenuhnya tergantung pada tulisan yang mengisinya ke mana  jiwa  itu akan dibentuk dan dikembangkan, atau dengan kata  lain, kepribadian macam  apa  yang  ingin  dikembangkan  oleh  pendidik  dan masyarkat.  Dalam  filsafat  agama  Islam, manusia adalah zat theomorfis dalam persaingannya, artinya merupakan kombinasi dari dua hal yang saling berlawanan.  Ia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua  titik ekstrem “Allah – Syaithan”.10 Tuhan menciptakan potensi atau daya‐daya dalam diri manusia, perkembangan selanjutnya  terserah  pada manusia  sendiri. Manusia mempunyai  kehendak  bebas,  ia  berpelunag untuk menjadi orang  jahat bagaikan setan, dan  ia  juga berpeluang untuk menjadi orang saleh yang taat  dekat  kepada  Tuhan,  sebagaimana  disebutkan  dalam  al  –Qur’an,  surah  al‐An’am:  164,  yang terjemahnya:  

“....Dan  tidaklah  seseorang membuat dosa melainkan  kemudaratannya  kembali  kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain, kemudian kepada Tuhanmulah  kamu  kembali,  dan  akan  diberitahukan‐Nya  kepadamu  apa  yang  kamu perselisihkan.” 

 Sebagai zat theomorfis, manusia mampu menyadari bahwa alam semesta adalah suatu kesatuan 

yang  utuh,  semua  fenomena  alam  semesta  bersifat  kausal,  utuh  dan  kontinum,  di mana  setiap sesuatu mempunyai  posisi  dan  peran masing‐masing  secara  otonom,  tetapi  ia menjadi  bermakna hanya karena kaitannya dengan keseluruhan,  inilah sebabnya maka agar dapat diperoleh kebenaran yang utuh kita tidak boleh melihat sesuatu secara sepotong‐sepotong, terlepas dari ikatannya dengan keseluruhan. Bagi orang yang benar‐benar pasrah kepad Tuhan, ia mampu menerima setiap peristiwa betapa tragis dan menyakitkan sebagia suatu hal yang tidak final, karen hal itu merupakan bagian dari keseluruhan,  yang  pada  akhirnya  kembali  kepada  Penciptanya,  dan  oleh  karena  itu  diyakini  akan berakhir  pada  tujuan  yang  baik,  yang  pada  saat  itu    belum  diketahui  tetapi  telah  diyakini kebenarannya.11 

Itulah  sebabnya mengapa  salah  satu prinsip dari  sistem pendidikan  Islam adalah menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh  terhadap manusia meliputi dimensi  jasmani dan  rohani, dan sesuai  dengan  fitrahnya  meliputi  semua  aspek  kemanusiaan  dan  kehidupan,  baik  yang  dapat dijangkau  oleh  akal  maupun  yang  hanya  dapat  diimani  melalui  kalbu.  Semuanya  dikembangkan secara  menyeluruh  dan  seimbang;  bukan  hanya  akalnya,  tetapi  juga  kalbunya;  bukan  hanya lahiriahnya, tetapi juga batiniahnya.12  2. Sistem Pendidikan  2.1. Aliran‐aliran Pendidikan Dalam  literatur  ilmu pendidikan umum  terdapat  tiga aliran pendidikan: Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi. Dalam kesempatan  ini ditambahkan uraian mengenai Pendidikan  Islam, sebagai aliran keempat. 

                                                            10  Ali  Syari’ati,  Tentang  Sosiologi  Islam,  terjemahan Drs.  Syaefullah Maryudin MA,  Ananda,  Yogyakarta, 

1982, hlm. 125. 11 Ismail R. Faruki, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terjemahan Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1984, hlm. 

56‐64. 12 Muhamad Qutub, Sistem Pendidikan  Islam, Terjemahan Drs. Salman Harun, Al Ma’arif‐Bandung, 1984, 

hlm. 27‐28. 

Page 4: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

13

 a. Empirisme Aliran ini dipelopori oleh John Locke ( 1632 – 1704), dan terkenal dengan teori tabularasa. Aliran ini berpendapat  bahwa  anak  dilahirkan  dalam  keadaan  putih  bersih,  bagaikan  kertas  kosong,  dan selanjutnya  terserah  kepada  orangtua,  sekolah,  dan masyarakat,  ke  arah mana  kepribadian  anak tersebut dibentuk dan dikembangkan. (Lihat halaman 13) Berdasarkan aliran  ini maka  tugas pendidikan adalah menciptakan manusia baru atau membentuk generasi baru yang lebih baik daripada generasi lalu. Model pendidikan seperti ini banyak digunakan oleh beberapa negara di Eropa Timur, serperti: Rusia, Jerman, dan  Italia pada sekitar periode 1930‐an, untuk  menyiapkan generasi tangguh guna memenangkan peperangan.13 b. Nativisme Aliran ini dipelopori  oleh Arthur Schopenhauer (1768‐1860), dan terkenal dengan teori bakat. Aliran ini  berpendapat  bahwa  anak  dilahirkan  lengkap  dengan  pembawaan  bakatnya,  yang  cepat  atau lambat akan menjadi kenyataan di kemudian hari. Pendidikan hanya akan berperan membantu anak didik untuk menjadi apa yang akan  terjadi  sesuai dengan potensi pembawaan yang dikandungnya. Jadi  tugas  pendidikan  bukan  untuk  menghasilkan  apa  yang  harus  dihasilkan,  tetapi  untuk menghasilkan  apa  yang  akan  dihasilkan.14 Aliran  ini  percaya  bahwa  anak  pada  dasarnya  baik  dan mampu belajar mengembangkan bakatnya. Anak akan belajar dengan baik dan rajin apabila mereka dalam keadaan gembira dan  tertarik mempelajari  sesuatu yang memang  sesuai dengan bakat atau kecenderungannya.  Sebaliknya,  ia  tidak  akan  mau  belajar  apabila  dipaksa,  diancam,  dan  harus mempelajari bidang studi yang tidak sesuai dengan bakat atau kecenderungannya. Oleh karena  itu, anak didik hendaknya dimasukkan ke sekolah yang sesuai dengan keinginannya.15 Aliran  ini banyak digunakan di Amerika Serikat dan negara‐negara Eropa Barat.  c. Konvergensi Aliran  ini  dipelopori  oleh William  Stern  (1871‐1939),  dan  terkenal  dengan  teori  realisme,  karena dianggap sesuai dengn kenyataan. Teori Konvergensi merupakan perpaduan antara aliran Empirisme dan Nativisme,  di mana  kepribadian  orang  dibentuk  dan  dikembangkan  oleh  faktor  endogen  dan eksogen atau oleh faktor dasar dan ajar. Dengan demikian, berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, di mana pada aliran Empirisme kegiatan pendidikan berpusat pada pendidik, dan pada aliran Nativisme berpusat pada anak didik, maka dalam aliran Konvergensi kegiatan pendidikan menjadi  tanggung  jawab bersama pendidik dan anak didik. Bahkan  kemudian dikembangkan menjadi  tanggung  jawab bersama pendidik,  anak didik, orangtua dan masyarakat. Bagi aliran Konvergensi,  faktor dasar atau pembawaan  saja  tidak  cukup dan  tidak berarti apa‐apa tanpa upaya dari luar, yaitu usaha pendidikan. Sebaliknya, faktor ajar atau pendidikan saja  juga tidak cukup dan akan sia‐sia tanpa  faktor dasar. Bagi aliran  ini masalahnya bukan terletak pada apakah tugas pendidik itu menciptakan manusia baru ataukah tidak menciptakan manusia baru, melainkan terletak pada bagaimana mewujudkan taenggung jawab bersama dalam membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan tantangan zaman.  d. Pendidikan Islam Seperti disebutkan di muka, menurut ajaran  Islam, anak dilahirkan  sesuai dengan  fitrahnya. Tetapi pengertian  fitrah di  sini  tidak  sama dengan pengertian  tabularasa menurut  John  Locke  tersebut di 

                                                            13 Uril Bronfenbrenner, Two Worlds of Childhood, Penguin Education, Australia, 1974, hlm. 5‐120. 14 A.S. Neill, Summerhill, Penguin Books, Australia, 1973, hlm. 19‐20.  15 Joh Holt, Freedom and Beyond, Penguin Books, Australia, 1972, hlm. 11‐12. 

Page 5: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

14

muka. Pengertian fitrah di sini berarti asli, bersih, dan suci, bukan kosong tetapi berisi daya‐daya yang wujud  dan  perkembangannya  tergantung  pada  usaha manusia  sendiri.  Tuhan  telah menciptakan daya‐daya dalam diri mansusia  jauh  sebelum perbuatnnya  timbul.  Sebagaimana dikatakan oleh al‐Jubba’i manusialah  yang menciptakan  perbuatan‐perbuatannya; manusia  berbuat  baik  dan  buruk, patuh  dan  tidak  patuh  kepada  Tuhan  atas  kehendak  dan  kemauan  sendiri.  Daya‐daya  untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adannya perbuatan.16 Melengkapi  pendapat  pentingnya  faktor  pembawa  dan  lingkungan  dalam  membentuk  dan mengembangkan kepribadian anak, Islam juga mengenal sistem pendidikan prenatal, di mana selama mengandung  hendaknya  ibu memakan makanan  yang  halal,  bertingkah  laku  sopan  santun,  sabar, penuh  kasih  sayang  gembira, dan  ramah  serta mudah bergaul,  agar  anaknya  kelak berkepribadian atau  bertingkah  laku  terpuji.  Dalam  keluarga  Islam,  pada  umumnya  kedua  orangtua  calon  bayi membaca  surat  Yusuf  yang  terkenal  dengan  cerita  kebagusan  Nabi  yusuf,  baik  fisik  maupun mentalnya: cerdas, sabar, ramah,  jujur, dan memiliki bakat kepemimpinan yang tinggi. Hal tersebut merupakan doa dan  sugesti. Melalui  selfsugestion  sifat‐sifat  ini bisa masuk  ke dalam  jiwa  ibu dan bapak, dan hal tersebut merupakan kepercayaan dan sekaligus menunjukkan suatu pengakuan akan pentingnya  faktor  endogen  yang  penuh  dengan  kemungkinan‐kemungkinan  yang  dapat  menjadi positif dan negatif dan faktor eksogen yang akan membentuk dan mengembangkan kepribadian anak. Kecuali itu, meskipun tidak dipublikasikan secara luas, hasil penelitian Ny. Satari Imam Barnadib dari IKIP  Yogyakarta 1982,  sebagaimana dikutip oleh Rachmat Djatmika dalam makalahnya  yang  sama, menyatakan bahwa  ada  korelasi nyata  antara  tingkah  laku  ibu  yang mengandung dan watak  anak yang dilahirkan. 

Meskipun ada kesesuaian antara  filsafat pendidikan  Islam dan aliran Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi,  tetapi  tetap  terdapat  perbedaan  yang  esensial  antara  filsafat  pendidikan  Islam  dan mereka. Perbedaa  itu   berasal dari: Pendidikan  Islam berangkat dari  filsafat pendidikan  theocentric sedangkan mereka berangkat dari filsafat anthropocentric. 

Filsafat theocentric mengandung dua jenis nilai, yaitu nilai kebenaran absolut dan nilai kebenaran relatif.  Nilai  kebenaran  absolut  adalah  wahyu  Tuhan,  dan  nilai  kebenaran  relatif  adalah  hasil penafsiran manusia  terhadap  wahyu  Tuhan.  Oleh  karena  itu,  kedua  jenis  nilai  tersebut memiliki hubungan  yang  hierarchis,  di  mana  nilai  kebenaran  absolut  mempunyai  supremasi  terhadap kebenaran  relatif, dan  kebenaran  relatif  tidak boleh bertentangan dengan nilai absolut, atau  tidak boleh bertentangan dengan akidah – syariah agama. 

Selanjutnya filsafat pendidikan theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh‐Nya, berjalan menurut hukum‐Nya, dan kembali pada kebenaran‐Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia  dilahirkan  sesuai  dengan  fitrhnya  dan  perkembangan  selanjutnya  tergantung  pada lingkungan  dan  pendidikan  yang  diperolehnya.  Dalam  hal memberikan  pendidikan  agama  kepada anak: sejak masa dininya sampai anak mampu berpikir, ditempuh melalui kebiasaan‐kebiasaan  yang menyenangkan,  seperti:  salat  bersama‐sama  di masjid,  puasa, menghafal  doa‐doa, membaca  ayat suci al‐Qur’an yang pendek‐pendek dan sebagainya, sekalipun mereka belum mengerti maksudnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya baru diberi penjelasan‐penjelasan sesuai dengan tahap perkembangan pemikirannya, dan  akhirnya pelajar  sendirilah  yang belajar,  sedang pendidik  (guru) hanya membantunya.17 Mengenai  nilai  yang mendasari  kegiatan  proses  belajar‐mengajar,  filsafat pendidikan theocentric mendasarkan kegiatan pendidikannya pada tiga nilai kunci; ibadah, ikhlas, dan rida  Tuhan,.  Bagi  filsafat  theocentric,  manuusia  dipandang  secara  utuh  dan  dalam  kesatuan  diri dengan  kosmosnya  sebagai makhluk  pencari  kebenaran  Tuhan.  Setiap  peristiwa  dipandang  selalu 

                                                            16 Harun Nasution, Teologi islam, Aliran‐aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, 1983, hlm. 102. 17 Fathiyah Hasan Sulaiman (penerjemah), Konsep Pendidikan al‐Ghazali, P3M, Jakarta, 1986, hlm. 63‐91. 

Page 6: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

15

terkait  dengan  peristiwa  yang  lain  dan merupakan  bagian  dari  keseluruhan,  yang  pada  akhirnya bertemu pada kebenaran Tuhan. Dengan kata  lain, setiap kajadian dipandang belum  final dan akan disusul  dengan  kejadian‐kejadian  lain,  yang  pada  akhirnya  bertemu  pada  kebenaran  Tuhan. Oleh karena  itu bagi yang benar‐benar pasrah kepada Tuhan,  ia  sesungguhnya berpandangan optimistis karena ia dapat menerima setiap cobaan hidup betapa tragis dan menyenangkan. Ia tidak akan putus asa  karena mengalami  peristiwa  yang  tragis  (menyedihkan),  dan  ia  tdak  akan mabuk  kesenangan (lupa  daratan)  karena  mengalami  sesuatu  yang  menguntungkan.  Ia  yakin  bahwa  segala  sesuatu mengandung hikmah Ilahiah sekalipun pada waktu itu ia belum mengetahuinya. Dalam ajaran Islam, hikmah  itu milik  kaum muslimin yang harus dicari. Sehubungan dengan  itu maka kegiatan belajar‐mengajar  dipandang  sebagai  bagian  dari  totalitas  kehidupan,  merupakan  kewajiban  yang  tidak mengenal batas selesai dan merupakan ibadah kepada Tuhan. Sedang filsafat anthropocentric hanya ajarannya pada hasil pemikiran manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawian. 

Sehubungan  dengan  itu, maka  persamaan  dan  perbedaan  antara  Pendidikan  Islam  dan  aliran Empirisme  ialah  kedua‐duanya  sepakat bahwa  anak  yang baru  lahir  adalah  bersih dan  suci,  ibarat kertas putih  yang  siap ditulis oleh pendidik,  sehingga pendidik berperan besar  sekali dalam usaha membentuk  dan  mengembangkan  kepribadian  anak.  Tetapi  karena  adanya  perbedaan  konsepsi mengenai Tabularasa, seperti diuraikan di muka, di mana aliran Empirisme memandangnya sebagai kertas  putih  yang  kosong,  sedangkan  Islam  memandangnya  berisi  dengan  daya‐daya  perbuatan, maka  peranan  pendidik  dalam  konsep  Pendidikan  Islam  lebih  terbatas  daripada  peranan  pendidik dalam aliran Empirisme  dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik tersebut. Adapun  persamaan  dan  perbedaan  antara  Pendidikan  Islam  dan  aliran  Nativisme  ialah  keduanya mengakui  pentingnya  factor  pembawaan  atau  dasar  dalam  pembentukan  dan  pengembangan kepribadian  anak  didik,  sehingga  anak  didik  berperan  besar  sekali  dalam  membentuk  dan mengembakan kepribadiannya, sedang pendidik hanya membantu atau menjadi unsur fasilitator saja. Tetapi  karena  adanya nilai  agama  yang memiliki  kebenaran mutlak dalam  Pendidikan  Islam, maka pendidik dalam Pendidikan  Islam bukan hanya sekadar unsur pembantu saja, tetapi  ia bertanggung jawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada anak didik.  Ia mersa bertanggung  jawab kepada Tuhan atas kerja pendidikan yang ia lakukan. Meskipun demikian, jika anak sudah dewasa, kemudian menetapkan sendiri agama yang dipeluknya, hal itu adalah urusan dia sendiri dengan Tuhannya. Nabi Muhammad hanya menyampaikan kebenaran ayat Tuhan kepada manusia, dan selanjutnya manusia sendirilah  yang memutuskan menerima  tidaknya  ajaran  tersebut  dengan  seizin  Tuhan.  Tidak  ada paksaan dalam mengikuti agama, sebagaimana disebut dalam Alquran, surah al‐Kahfi: 29: 

 

“Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman  berimanlah ia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”. 

 

Sedang persamaan dan perbedaan antara Pendidikan  Islam dan aliran Konvergensi  ialah  keduanya mengakui  pentingnya  factor  endogen  dan  eksogen  dalam  membentuk  dan  mengembangkan kepribadian  anak  didik.  Namun  dalam  Islam  ke  mana  kepribadian  itu  harus  dibentuk  dan dikembangkan  telah  jelas,  yaitu  ma’rifatullah  dan  bertakwa  kepada‐Nya,18  memahami  dan menghayati  sunatullah  dan  kemudian  berserah  diri  kepada‐Nya;  seluruh  gerak  kehidupannya dipandang sebagai ibadah kepada‐Nya dalam rangka mencari rida‐Nya. Sedang pada pendidikan yang mendasarkan  dirinya  pada  filsafat  anthropocentric  pembentukan  dan  pengembangan  kepribadian anak diarahkan untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup duniawi. 

                                                            18 Muhammad  Fadhil  al‐Jamaly,  Filsafat Pendidikan Dalam al Qur’an, disadur Drs.  Judi  al  Falasany, Bina 

ilmu, Surabaya, 1986, hlm. 3. 

Page 7: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

16

Pendidikan  Islam  juga mempunyai persamaan dan perbedaan dengan pendapat A.S. Neill dan  John Holt, seperti disitir di muka. Baik Pendidikan Islam maupun Neill dan Holt setuju bahwa anak memiliki potensi  kepribadian  yang  baik  dan  postif,  dan  anak  hanya  akan mampu menyatakan  kemampuan belajar dan  kejujurannya  secara penuh  jika  ia memiliki  kebebasan dan  kegembiraan dalam belajar dan hal yang demikian  ini merupakn  sifat kodrati manusia. Tetapi dalam Pendidikan  Islam, kecuali kebebasan, keterikatan juga merupakan sifat kodrati.19 Oleh karena itu, Pendidikan Islam bergerak di antara  kebebasan  dan  keterikatan.  Sesungguhnya  pendidikan  yang mendasarkan  diri  pada  filsafat anthropocentric juga mengakui adanya keterikatan. Dalam hidup tidak ada kebebasan tanpa ikatan.  

We are  limited by our animal culture, by our model of reality, by our  relation with other people, by our hopes and fears 

 

Oleh  karena  itu,  percuma menginginkan  hidup  tanpa  hambatan.  Yang  penting  adalah memikirkan seberapa banyak kita dapat berbuat dalam keterikatan.20 Tetapi paham keterikatan  tersebut hanya dalam  pengertian  secular  atau  keduniaan,  sedang  dalam  filsafat  theoretic,  pengertian  tersebut meliputi keterikatan duniawi dan ukhrawi.   2.2. Unsur‐unsur Sistem Pendidikan Unsur‐unsur suatu sistem pendidikan terdiri atas unsur‐unsur organik, yaitu para pelaku pendidikan: pimpinan, guru, murid, dan pengurus; dan unsur‐unsru anorganik, yaitu: tujuan, filsafat dan tata nilai, kurikulum  dan  sumber  belajar,  proses  kegiatan  belajar‐mengajar,  penerimaan murid  dan  tenaga kependidikan, teknologi kependidikan, dana, sarana, evaluasi, dan peraturan terkait lainnya di dalam mengelola sistem pendidikan.  3. Sistem Pendidikan Pesantren 3.1. Aliran‐aliran Pendidikan Pesantren Berbeda dengan aliran‐aliran pendidikan yang terdapat dalam sistem pendidikan umum sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam  sistem pendidikan pesantren  tidak  terdapat aliran‐aliran  seperti  itu. Seluruh pesantren berangkat dari sumber yang sama, yaitu ajaran Islam. Namun terdapat perbedaan filosofis  di  antara  mereka  dalam  memahami  dan  menerapkan  ajaran‐ajaran  Islam  pada  bidang pendidikan  sesuai  dengan  kondisi  sosial  budaya  masyarakat  yang  melingkarinya.  Perbedaan‐perbedaan  itu  pada  dasarnya  berpeluang  pada  perbedaan  pandangan  hidup  kiai  yang memimpin pesantren  mengenai  konsep:  teologi,  manusia,  kehidupan,  tugas  dan  tanggung  jawab  manusia terhadap  kehidupan  dan  pendidikan;  sebagaimana  tercermin  dalam  uraian mengenai  unsur‐unsur dan  nilai‐nilai  sistem  pendidikan  pesantren  di  belakang  (butir  3.3.  dan  3.4).  Dalam  kenyataannya masing‐masing  pesantren  mempunyai  ciri  khas  sendiri‐sendiri  yang  berbeda  satu  dari  yang  lain, sesuai  dengan  tekanan  bidang  studi  yang  ditekuni  dan  gaya  kepemimpinan  yang  dibawakannya. Misalnya: PP Blok Agung  (Di Banyuwangi),  terkenal  sebagai pusat pengajian  tasawuf dari  Imam al‐Ghazali. PP Tebu Ireng (di Jombang) terkenal dengan pusat studi Hadis dan Fikih. PP Guluk‐Guluk (di Madura) terkenal dengan dakwah “bil hal”, dan seterusnya.  3.2. Kehadiran Pesantren di Tengah‐tengah Kehidupan Masyarakat Kapan pesantren pertama didirikan, dimana dan oleh siapa, tidak dapat diperoleh keterangana yang pasti. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1984‐1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 atas nama Pesantren Jan Tampes II di 

                                                            19 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, al Ma’arif, Bandung, 1979, hlm. 17. 20 John Holt, Op. Cit., hlm. 25. 

Page 8: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

17

Pamekasan Madura.21 Tetapi hal  ini diragukan,  karena  tentunya ada Pesantren  Jan Tampes  I  yang lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka memilki usia yang lebih tua.   Kecuali  itu  tentunya  pesantren  didirkan  setelah  Islam msuk  ke  Indonesia.  Diduga  besar  sekali kemungkinan Islam telah diperkenalkan di Kepulauan Nusantara sejak abad ke‐7 M oleh para musafir dan pedagang muslim, melalui  jalur perdagangan dari teluk Persia dan Tiongkok yang telah dimulai sejak abad ke‐5 M. Kemudian, sejak abad ke‐11 M dapat dipastikan Islam telah masuk ke Kepulauan Nusantara melalui kota‐kota pantai. Hal ini terbukti dengan ditemukannya: (a) Batu nisan atas nama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 474 H atau tahun 1082 M di Leran Gresik. (b) Makam Malikus Saleh di Sumatra bertarikh abad ke‐13 M, (c) Makam Wanita Islam bernama Tuhar Amisuri di Barus, Pantai Barat Pulau Sumatra bertarikh 602 H.   Selanjutnya,  bukti‐bukti  sejarah  telah menunjukkan  bahwa  penyebaran  dan  pendalaman  Islam secara  intensif terjadi pada masa abad ke‐13 M sampai akhir abad ke‐17 M. Dalam masa  itu berdiri pusat‐pusat kekuasaan dan studi Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate/Tidore, dan Gowa Tallo di Makasar. Dari pusat‐pusat  inilah kemudian  Islam  tersebar ke seluruh pelosok Nusantara, melalui para  pedagang, wali,  ulama, mubalig,  dan  sebagainya;  dengan mendirikan  pesantren,  dayah,  dan surau.22 Sejak abad ke‐15,  Islam praktis telah menggantikan dominasi ajaran Hindu, dan sejak abad ke‐16 melalui kerajaan Islam pertama, yaitu Demak, seluruh Jawa telah dapat di‐Islam‐kan.23   Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi Nusantara ini dalam periode abad ke‐13‐17 M, dan di  Jawa  terjadi dalam abad ke‐15‐16 M. Melalui data sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro tersebut sangat sulit menunjuk dengan tepat tahun berapa dan di mana pesantren pertama didirikan. Namun dapat dihitung bahwa sedikitnya pesantren telah ada sejak 300‐400 tahun lampau. Dengan usianya yang panjang ini kiranya sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa  ia memang telah menjadi milik budaya bangsa dalam bidang pendidikan dan telah  ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan karenanya cukup pula alasan untuk belajar daripadanya.   Dalam masa  sekitar abad ke‐18‐an, nama pesantren  sebagai  lembaga pendidikan  rakyat  terasa sangat berbobot  terutama dalam bidang penyiaran agama. Kelahiran pesantren baru selalu diawali dengan cerita “perang nilai” antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri  dengan  kemenangan  pihak  pesantren  sehingga  pesantren  dapat  diterima  untuk  hidup  di masyarakat  dan  kemudian menjadi  panutan  bagi masyarakat  sekitarnya  dalam  bidang  kehidupan moral.  Bahkan  dengan  kehadiran  pesantren  dengan  jumlah  santri  yang  bnyak  dan  datang  dari berbagai  masyarakat  lain  yang  jauh  maka  terjadi  kontak  budaya  antara  berbagai  suku,  dan masyarakat sekitar. Kehidupan ekonomi masyarkat sekitar menjadi semakin ramai, banyak pedagang‐pedagang  kecil  lahir, bahkan di beberapa  tempat di  Jawa Timur  lahir pasar  santri  (di Blok Agung), desa santren (di Jombang), dan sebagainya.   Nilai baru yang dibawa pesantren tersebut, untuk mudahnya disebut “Nilai Putih” yaitu nilai‐nilai moral keagamaan, sedang nilai  lama yang  lebih dulu ada di dalam masyaraka, disebut ‘Nilai Hitam”, yaitu  nilai‐nilai  rendah  dan  tidak  terpuji  seperti  “mo  limo”  atau  “5  nilai”,  yaitu maling  (mencuri), madon (melacur), minum (minum‐minuman keras), madat (candu), dan main (judi); dan nilai‐nilai lain yang  tidak  terpuji,  seperti  kebodohan,  kedengkian,  guna‐guna  atau  santet  (tergolong  black magic 

                                                            21 Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok‐Pondok Pesantren seluruh Indonesia, 1984/1985, 

hlm. 668. 22 Majelis Ulama Indonesia, Amanah Sejarah Ummat Islam Indonesia, Keputusan Rapat Pengurus Paripurna 

ke II, Sekretariat MUI, Mesjid Istiqlal Jakarta, 1986, hlm. 13‐14. 23 Zamachsyari Dhofier, Loc. Cit. 

Page 9: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

18

untuk menghancurkan lawan dengan kekuatan gaib), dan sebagainya. Kebanyakan riwayat berdirinya sebuah  pesantren  diawali  dengan  kelana  seorang  ulama  untuk  menyebarkan  agamanya  dengan diikuti  oleh  satu‐dua  orang  santrinya,  yang  bertindak  sebagai  cantrik,  yaitu  orang  yang  magang (belajar  ilmu) pada kiai. Ulama atau kiai  tersebut adakalanya  terminal atau berhenti menetap  lebih dulu di piggiran desa atau hutan kecil sekitar desa, kemudian mengadakan pengajian kepada satu‐dua orang desa, yang akhirnya diikuti oleh  seluruh masyarakat desa. Untuk  itu, disamping  ilmu agama, hampir  dapat  dipastikan  bahwa  setiap  kiai  salaf  (lama)  memiliki  kekuatan  ilmu  kanuragan  atau kesaktian badan dan keahlian bela diri untuk mempertahankan diri atau melawan kejahatan.24   Kehadiran pesantren di  tengah masyarkat  tidak hanya  sebagai  lembaga pendidikan,  tetapi  juga sebagai  lembaga  penyiaran  agama,  dan  sosial  keagamaan.  Pesantren  berhasil menjadikan  dirinya sebagai pusat gerakan pengembangan  Islam, seperti diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof.  Johns, yang dikutip oleh Zamachsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren (1982) tersebut:  

“Lembaga‐lembaga  pesantren  itulah  yang  paling menentukan  watak  ke‐Islaman  dari  kerajaan‐kerajaan Islam, dan  yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran  Islam  samapai  ke pelosok‐pelosok. Dari  lembaga‐lembaga  pesantren  itulah  asal  usul  sejumlah manuskrip  tentang  pengajaran  Islam  di  Asia Tenggara  yang  tersedia  secara  terbatas,  yang  dikumpulkan  oleh  pengembara‐pengembara  pertama  dari perusahaan‐perusahaan  dagang  Belanda  dan  Inggris  sejak  akhir  abad  16.  Untuk  dapat  betul‐betul memahami  sejarah  Islamisasi  di wilayah  ini,  kita  harus mulai mempelajari  lembaga‐lembaga  pesantren tersebut karena lembaga‐lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini”.25 

   Selama  masa  kolonial,  pesantren  merupakan  lembaga  pendidikan  yang  paling  banyak berhubungan  dengan  rakyat,  dan  tidak  berlebihan  kiranya  untuk menyatakan  pesantren  sebagai lembaga pendidikan Grass root people yang sangat menyatu dengan kehidupan mereka.   Selama  zaman  kolonial,  pesantren  lepas  dari  perencanaan  pendidikan  pemerintah  kolonial Belanda. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa sistem pendidikan Islam sangat jelek baik ditinjau dari  segi  tujuan, maupun metode  dan  bahasa  (bahasa  Arab)  yang  dipergunakan  untuk mengajar, sehingga sangat sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Tujuan pendidikannya dinilai  tidak meyentuh kehidupan duniawi, metode yang dipergunakan  tidak jelas kedudukanya; seorang guru: apakah  ia guru ataukah pemimpin agama, dan dalam hal bahasa yang  dipergunakan,  tulisan Arab  sangat  berbeda  dengan  tulisan  latin  sehingga menyulitkan  untuk dimasukkan  ke  dalam  perencanaan  pendidikan  mereka.  Sebaliknya,  mereka  menerima  sekolah zending untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah kolonial, karena secara  filosofis dan  teknik  dianggap  lebih mudah,  yaitu  baik  tujuan, metode maupun  bahasa  yang  dipergunakan sesuai  dengan  nilai  kebiasaan  pemerintah  kolonial.  Orientasi  sekolah  umum  diarahkan  untuk meningkatkan kecerdasan dan keteranpilan dalam hidup kduniawian, sedang pesantren mengarhkan 

                                                            24 Cerita‐cerita semacam itu antara lain dapat diikuti dari: Sejarah Pondok Pesantren Tebu Ireng dari masa 

ke masa, Pusat Dokumentasi Pondok Tebu Ireng,  jombang, 1986, dimana digambarkan masyarakat desa Tebu Ireng sebelum kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai masyarakat jahiliah, dan cerita legendaris‐karismatik dari K.H. Hasyim Asy’ari sendiri yang memiliki tongkat kalau dilemparkan dengan seenaknya akan mengenai hanya kepada orang yang salah, dan sebgainya. 

Juga cerita mengenai riwayat berdirinya PP Guluk‐guluk di Madura, PP Sukorejo di Situbondo, PP Gontor di Ponorogo,  dan  sebagainya,  yang  dapat  dilihat  dari  pusat  dokumentasi  pada masing‐masing  pesantren  yang bersangkutan. 

25 Zamachsyari Dhofier, Op. Cit., hlm. 17‐18. 

Page 10: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

19

orientasinya pada pembinaan moral dalam  konteks  kehidupan ukhrawi.26  Kecuali  itu, hal  tersebut juga disebabkan pemerintah kolonial Belanda takut pada perkembangan Islam.27   Dalam posisi ”uzlah” atau hidup berpisah dengan pemerintah kolonial tersebut, pesantren terus mengembangkan  dirinya  dan  menjadi  tumpuan  pendidikan  bagi  umat  Islam  di  pelosok‐pelosok pedesaan. Keadaan zaman terus berubah dan berkembang samapi zaman revolusi kemerdekaan.   Pada  zaman  revolusi  fisik  pesantren  merupakan  salah  satu  pusat  gerilya  dalam  peperangan melawan Belanda untuk merebut  kemerdekaan. Banyak  santri membentuk barisan Hisbullah  yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas angkatan darat pada masa‐masa awalnya menggambarkan adanya corak kepesantrenan, sebagaimana dikatakan oleh B.J. Boland dalam bukunya Pergumulan Islam di Indonesia (1985):  

”Pembentukan  Hisbulah  mungkin  penting  artinya  karena  banyak  anggotanya  yang  kemudian  menjadi anggota  tentara nasional. Hal  ini berarti bahwa dalam ketentaran  Indonesia ada kehadiran santri muslim yang  berarti.  Kemudian  juga  banyak  orang  Kristen  yang  menggabung  ke  dalam  tentara  Indonesia  ini (misalnya bekas anggota  tentara kolonial). Ciri khas angkatan darat berbeda dengan angkaatan  laut dan angkatan  udara,  yang  para  perwiara  dan  bawahan  umumnya  berasal  dari  latar  belakang  yang  lebih “sekular”  (misalnya  berpendidikan  sekolah menengah  negeri  yang  dilengkapi  dengan  latihan  khusus  di Amerika  Serikat). Mungkin  sekali  perbedaan  suasana  (dalam  tentara  ini)  terus  terasa  akibatnya  sampai kepada  kejadian‐kejadian  tanggal 30  Septermber 1965 dan peristiwa‐peristiwa  yang  terjadi  setelah  itu.” Lahirnya  Piagam  jakarta  22  juni  1945  yang  merupakan  gentlement  agreement  atau  “kesepakatan kehormatan”  sebagaimana  dikmaksudkan  dalam  Pembukaan  Undang‐Undang  Dasar  1945,  juga  tidak terlepas dari jasa atau ikut sertanya alumni pesantren. Dilihat dari dunia luar, dokumen tersebut memang kecil, tetapi jika kita ingin menoleh ke belakang untuk melihat sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Negara dan Islam di Indonesia sebagian besar akan ditentukan oleh beberapa perkataan dalam dokumen tersebut.28 

   Uraian  tersebut di atas menggambarkan  sebagian bukti bahwa pesantren mampu mengemban 

tantangan  zamannya,  sehingga  bobot  pesantren  menjadi  tinggi  di  mata  bangsa,  masyarakat, keluarga,  dan  anak  muda.  Pada  waktu  itu  pesantren  merupakan  tempat  belajar  yang  sangat bergengsi, atau idola bagi generasi muda muslim sebagaimana antara lain tercermin dalam novel K.H. Syaefuddin Zuhri:  

“Mendekati Tebu  Ireng  khayalanku memenuhi  kepala. Tergambar dalam angan‐anganku  tentang  sebuah pesantren  besar  dengan  para  pengasuhnya  yang  bercita‐cita  besar  di  bawah  pimpinan  seorang  ulama besar. Aku merasa bersyukur bahwa selama hidupku kuperoleh kesempatan untuk mengunjungi Pesantren Tebu Ireng yang termasyuhur. Walaupun tidak lama, tetapi waktu dan kesempatan yang terbatas itu akan kumanfaatkan untuk belajar dari Tebu Ireng sekalipun hanya dalam sehari dua.29 

   Anak‐anak dari keluarga muslim (bukan priayi) merasa rendah jika mereka tidak dapat memasuki 

dunia pesantren, dan  keluarga mereka  sangat bangga  jika mereka dapat mengirimkan  anaknya  ke pesantren. Bertambah besar kiai, dan bertambah  jauh pesantren yang dikunjungi, bertambah tinggi harga sosial seseorang di mata masyarakat.   Tetapi  sejak  sekitar  dua  dasawarsa  terakhir  ini  pesantren  mulai  menurun  harganya  di  mata bangsa, masyarakat, keluarga dan anak muda. Pesantren di nggap kurang mampu memenuhi aspirasi 

                                                            26 Karel A. Steenbrink, Op. Cit., hlm. 1‐9. 27 Lihat Guru Ordonansi 1925 mengenai Sekolah Partikelir. 28 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafik Pers, Jakarta, 1985, hlm. 14‐27. 29 K.H. Syaefuddin Zuhri, Guruku orang‐orang dari Pesantren, Al Ma’arif, Bandung, 1977, hlm. 92. 

Page 11: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

20

mereka  dan  tidak  mampu  memenuhi  tantangan  pembangunan.  Secara  kualitatif  mereka meninggalkan pesantren  tetapi secara kuantitaif mereka  tetap belajar di pesantren. Sementara  itu, masuk  pesantren  lebih  murah  dan  mudah  dibandingkan  dengan  masuk  sekolah  umum,  karena memang  tidak  ada  syarat‐syarat  tertentu untuk memasuki pesantren, berapa  saja, dan  kapan  saja siswa  dapat  diterima,  namun  hati mereka  (masyarakat muslim)  sebenarnya mendua:  di  satu  segi mereka mengharpkan dan percaya pesantren dapat memberikan bekal moral agama bagi anak‐anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi di segi lain mereka takut kalau pesantren tidak dapat membekali kemampuan kerja anak mereka dalam menghadapi masa depannya.   Mereka mengharpkan dan percaya bahwa pendidikan umum dapat memberikan bekal sains dan teknologi kepada anak‐anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi takut tidak dapat memberikan bekal moral agama. Hal itu tercermin dari pernyataan beberapa tokoh, antara lain yang disebut Boland dalam bukunya yang sama seperti disitir di muka:  

”Beberapa  orang  desa  yang  alim  mengirimkan  anak‐anak  mereka  kepada  pesantren  gaya  lama  itu. Pimpinan pesantren ini mangirimkan anak‐anaknya ke madrasah yang lebih modern. Para guru di madrasah tersebut mengirimkan anak‐anaknya ke sekolah menengah negeri agar dapat melanjutkan sekolahnya ke Universitas  Islam.  Para  Profesor  di  suatu  Universitas  Islam  berusaha  memperoleh  tempat  bagi  anak‐anaknya  di Universitas  negeri. Dan  para  Profesor Universitas  negeri mengirimkan  anak‐anaknya  ke  luar negeri.”30 

   Pernyataan  Boalnd  tersebut  memang  berlebihan,  tetapi  ada  unsur  benarnya.  Gejala  yang berkembang  sekarang  adalah,  justru  pertumbuhan  pesantren  baru  lebih  cepat  atau  lebih  banyak pada masa‐masa  sesudah  kemerdekaan daripada  sebelumnya. Dari data pesantren  yang dihimpun oleh  Departemen  Agama,  1984/1985,  ternyata  bahwa  jumlah  pesantren  yang  didirikan  sebelum tahun 1900‐an ada sekitar 7%, antara tahun 1900‐1945‐an ada sekitar 25%, dan sesudah tahun 1945 ada  sekitar  62%.  Jumlah  seluruh  pesantren menurut  data  tahun  1984/1985  tersebut  ada  :  6.239 buah, dengan  jumlah santri 1.084.801 orang. Pertumbuhan mereka tidak hanya di desa‐desa, tetapi justru  lebih banyak di kota‐kota. Suatu gejala yang menarik untuk disampaikan di  sini  ialah bahwa pesantren‐pesantren  tua  yang  didirikan  sebelum  tahun  1900‐1930‐an  pada  umumnya  memiliki jumlah  santri  yang  besar;  rata‐rata mereka mengasuh  sekitar  1.500‐2.000  santri  ke  atas,  sedang pesantren muda rata‐rata mengasuh 500 orang santri.   Tetapi mereka itu tidak hanya belajar agama di pesantren, mereka juga memasuki madrasah dan sekolah‐sekolah  umum  bahkan  perguruan  tinggi  yang  diasuh  oleh  pesantren  yang  bersangkutan. Hampir seluruh santri yang belajar di madrasah dan sekolah umum juga belajar agama di pesantren, sedang mereka yang belajar agama di pesantren tidak selalu belajar di madrasah atau sekolah umum.   Mereka yang hanya belajar agama, dalam arti mempelajari kitab‐kiab Islam klasik abad ke‐7 – 13 M,  sedikit  sekali,  sekitar  1‐2%  dari  seluruh  santri  dari masing‐masing  pesantren.  Predikat  “siswa” diberikan pada waktu mereka belajar di madrasah atau  sekolah umum, dan predikat “santri” pada waktu belajar  agama. Demikian pula  dengan  sebutan  “guru” untuk madrasah dan  sekolah umum, “ustaz” untuk pesantren. “Kitab” untuk buku‐buku pelajaran agama dan ditulis dengan huruf Arab, “buku” untuk pelajaran ilmu umum dan ditulis dengan huruf latin.   Melengkapi gambaran  tersebut, Abd. Rahman Wahid dalam bukunya Bunga Rampai Pesantren (1399  H)  menyatakan  bahwa  salah  satu  penghambat  utama  pelajaran  nonagama  di  sementara pondok pesantren ini adalah ketakutan akan semakin hilangnya fungsi pengembangan ilmu agama.31 

                                                            30 B.J. Boland, Op. Cit., hlm. 128. 31 Abdurrachman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Kumpulan Karya Tulis, CV Dharma Bhakti, Jakarta, 1399 

H., hlm 148. 

Page 12: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

21

Sementara  itu, Fuad Hassan dalam  tulisannya yang berjudul Selayang Pandang  tentang Pendidikan Islam (1985), menyatakan perlunya pendidikan Islam pada umumnya dan pesantren pada khususnya menyesuaikan diri dengan tantangan zamannya. Pesantren sebagai suatu  institusi pendidikan dalam Islam  harus  mampu  membuka  pintunya  untuk  sains.  Hal  ini  tidak  berarti  pesantren  perlu mengembangkan secara khusus ilmu‐ilmu umum dan “men‐double” apa yang sudah ada, akan tetapi cukup  dengan  mengenalkan  bagian‐bagian  ajaran  yang  sudah  ada,  akan  tetapi  cukup  dengan mengenalkan bagian‐bagian  ajaran  Islam  yang mampu menumbuhkan  kesadaran dan minat  santri bahwa mempelajari sains itu wajib.32   Dari uraian tersebut jelas kelihatan bahwa bobot pesantren di mata bangsa, masyarakat, keluarga dan  anak  muda  menurun.  Pesantren  kurang  mampu  menghadapi  tantangan  pembangunan  dan kurang mampu merespons  kebutuhan  kaum muda. Meraka dalam  keadaan bingung; mereka  lebih tertarik masuk  ke pendidikan umum  yang dapat menjanjikan  lapangan  kerja,  tetapi mereka masih tetap menaruh  harapan  kepada  pesantren  yang  dapat menjanjikan moral  yang  sangat  diperlukan dalam mengarungi kehidupan modern.   Dengan demikian, pesantren  tampaknya berada dalam dua pilihan dilematis: apakah pesantren akan  tetap mempertahankan  tradisinya,  yang mungkin dapat menjaga nilai‐nilai  agamanya  seperti keadaan  sekarang,  ataukah  mengikuti  perkembangan  dengan  risiko  akan  kehilangan  asetnya. Sebetulnya ada  jalan ketiga  tetapi menuntut kreativitas dan kemampuan rekayasa pendidikan yang tiggi  melalui  pengeanalan  aset‐asetnya  atau  identitasnya  lebih  dulu,  kemudian  melakukan pengembangan  secara  modern.33  Jalan  strategis  ke  arah  itu  ialah  memantapkan  kehadirannya sebagai subsistem pendidikan nasional sehingga jelas porsinya dalam pembangunan nasional, dengan tetap berpegang pada identitasnya. Identitas pesantren sebagai subsistem Pendidikan Nasional akan mantap  jika  pesantren mampu mengenakan  corak  pemikiaran  rasional  dengan memandang  ilmu sebagai bagian dari sunatullah dan bukan sebagai bagian dari hukum alam yang  terlepas kaitannya dengan ciptaan Tuhan. Misalnya teori evolusi Darwin yang hanya mendasarkan diri pada hukum alam semesta dapat menimbulkan pandangan yang ateis.  3.3. Unsur‐unsur Sistem Pendidikan Pesantren Dari berbagai hasil  studi  terdahulu mengenai pesantren, unsur‐unsur  sistem pendidikan pesantren dapat dikelompokkan sebagai berikut:34 

a. Aktor atau pelaku, Kiai, Ustaz, Santri, dan Pengurus. b. Sarana perangkat keras35: Mesjid, rumah kiai, rumah dan asrama ustaz, pondok atau asrama 

santri,  gedung  sekolah  atau madrasah,  tanah untuk: olah  raga pertanian  atau peternakan, empang, makam, dan sebagainya. 

                                                            32 Fuad Hassan, “Selayang Pandang tentang Pendidikan  Islam”, dalam pesantren, No.  I/Vol.  II/1985, P3M, 

Jakarta, 1985, hlm. 36. 33  Nurcholis  Majid,  “Keilmuan  Pesantren,  antara  Materi  dan  Metodologi,  Pesantren,  No.  Perdana, 

Oktober/Desember, 1984, hlm. 18. 34 Antara lain:  (1) Soedjoko Prasodjo dkk, Profil Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1973; (2) Abdurrachman Wahid, Bunga Rampai 

Pesantren, Dharma Bhakti,  Jakarta, 1399 H.;  (3) Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES,  Jakarta, 1982; (4) Fakultas Tarbiyah, IAIN Jember, Tipologi Pondok Pesantren di Kabupaten Jember, Laporan Penelitian, 1985; (5) M. Dawam  Rahardjo, Pergumulan Dunia Pesantren, P3M, Jakarta, 1985. 

 35 Sarana perangkat keras mengacu ke pengertian alat‐alat yang bersifat fisik. 

Page 13: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

22

c. Sarana  perangakat  lunak36  :  Tujuan,  kurikulum,  kitab,  penilaian,  tata  tertib,  perpustakaan, pusat  dokumentasi  dan  penerangan,  cara  pengajaran  (sorogan,  bandongan,  dan  halaqoh), keterampilan, pusat pengembangan masyarakat, dan alat‐alat pendidikan lainnya. 

Kelengkapan unsur‐unsur  tersebut berbeda‐beda di antara pesantren  yang  satu dan pesantren yang  lain. Ada pesantren yang secara  lengkap dan  jumlah besar memiliki unsur‐unsur tersebut, dan ada pesantren yang hanya memiliki unsur‐unsur tersebut dalam jumlah kecil dan tidak lengkap.  3.4. Nilai‐nilai Sistem Pendidikan Pesantren Mengenai nilai‐nilai yang  terdapat dalam sistem pendidikan pesantren diperoleh gambaran sebagai berikut: seperti telah disebut di muka bahwa antara unsur dan nilai dalam suatu sistem pendidikan merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  dapat  dipisah‐pisahkan  satu  dari  yang  lain,  ibarat  “gula  dan manisnya”. Manis adalah nilai dari gula.  Ia merupakan sesuatu yang secara esensial harus ada pada gula. Tidak ada gula yang tidak manis;  jika manis  itu tidak ada, maka gula pun tidak ada. Sebaliknya unsur  adalah wujud  luar  dari  gula.  Bentuk  gula  dapat  berwujud;  pasir,  tepung,  kubus,  bola,  dan sebagainya. Warna gula dapat berupa: putih, coklat, merah, dan sebagainya.   Jadi, wujud lahiriah boleh berbeda‐beda, namun sifat esensialnya harus sama, yaitu manis. Dalam pengertian seperti inilah tinjauan pustaka mengenai nilai dan unsur dari sistem pendidikan pesantren akan diuraikan.   Sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai‐nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar  Islam. Ajaran dasar  ini berkelindan dengan  struktur kontekstual atau realitas  sosial  yang  digumuli  dalam  hidup  keseharian.  Hasil  perpaduan  dari  keduanya  inilah  yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan pendidikan yang ingin  dicapai  dan  pilihan  cara  yang  akan  ditempuh. Oleh  karena  itu,  pandangan  hidup  seseorang selalu berubah dan berkembang  sesuai dengan perubahan dan perkembangan  realitas  sosial  yang dihadapi.   Dengan demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus‐menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas  sosial  yang  memiliki  nilai  kebenaran  relatif.  Sebagaimana  diterangkan  dalam  filsafat theocentric  (halaman  16),  nilai  agama  dengan  kebenaran mutlak mempunyai  supremasi  atas  nilai agama  dengan  kebenaran  relatif,  dan  kebenaran  nilai  agama  relatif  ini  tidak  boleh  bertentangan dengan nilai kebenaran mutlak. Dalam Islam, pemahaman terhadap ajaran dasar agama itu berpusat pada maslah tauhid atau ke‐Esa‐an Tuhan. Dalam sejarah teologi  Islam terdapat dua aliran eksterm yang berdiri berhadap‐hadapan dan bertentangan  satu  terhadap yang  lain, yaitu paham Qadariyah dan Jabariyah.   Paham  Qadariyah  mengagumkan  kemampuan  akal  dan  menganggap  manusia  memiliki kewenangan  besar  sekali  dalam  mengatur  kehidupannya.  Paham  ini  berpegang  pada  prinsip kebebasan manusia  untuk memilih  dan menentukan  jalan  hidupnya.  Sebaliknya,  paham  Jabariyah mengagumkan  wahyu  dan  menganggap  manusia  tidak  memiliki  kewenangan  dalam  mengatur kehidupan. Paham  ini berpegang pada prinsip bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dan menentukan  jalan hidupnya.  Ia memandang apa pun yang diperbuat oleh manusia merupakan keterpaksaan dalam menghadapi  ketentuan Tuhan.37 Kemudian dalam perkembangan  selanjutnya, 

                                                            36 Sarana perangkat  lunak mengacu ke pengertian alat‐alat yang bersifat nonfisik atau abstrak, misalnya: 

norma, nilai, isi peraturan, ajaran dan sebagainya. 37 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 31‐38. Nurcholis Majid, Pembahasan  tentang Beberapa  Segi Asketisme 

dalam Beberapa Kitab Jawa dan Melayu, dalam hasil penelitian LIPI, Pandangan Hidup Ulama, 1987/1988.  

Page 14: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

23

muncul  aliran  As’ariyah  yang  menampilkan  diri  sebagai  paham  tengah  antara  Qadariyah  dan Jabariyah tersebut. Paham Qadariyah dan Jabariyah oleh dunia pesantren dianggap sesat.   Paham As’ariyah keluar dengan teori kasbnya untuk menengahi pertentangan antara Qadariyah dan  Jabariyah dengan menyatakan bahwa manusia wajib berusaha, namun disadarkan pula bahwa usahanya  itu  tidak  berpengaruh  terhapad  jalan  kehidupan manusia  yang  telah  ditentukan  Tuhan. Paham As’ariyah  inilah yang masuk dan mendominasi kehidupan pesantren, bahkan hampir seluruh umat Islam Indonesia mengikuti teologi As’ariyah.   Gambaran  lebih  lanjut mengenai  ketiga  aliran  teologi  (As’ariyah  yang  juga menamakan dirinya sebagai Ahli  Sunnah Wal  Jamaah, Qadariyah dan  Jabariyah) menurut  versi beberapa  kitab  kuning, sebagaimana  dituturkan  kembali  oleh  Nurcholis  Majid  dalam  hasil  penelitian  tahun  1987/1988 mengenai pandangan hidup ulama Indonesia, adalah sebagai berikut:   

…”Bagi  kita  kaum  Ahl  al‐Sunnah Wa  al‐Jamaah  semua  makhluk  dibebani  kewajiban  melakukan  kasab (usaha), yaitu pekerjaan yang  telah ditentukan oleh Allah  swt, akan  tetapi usahanya  itu  tidak memeberi pengaruh (efek) sedikitpun juga, sama sekali tidak. Maka ketahuilah olehmu akan hal yang demikian itu”…  

Yakni dalam masalah ini ada tiga aliran pendapat atau mazhab. Salah satunya ialah (yang pertama) mazhab Ahl al‐Sunnah Wa al‐Jamaah yang berpandangan bahwa sesuatu apapun kecuali usaha dengan ikhtiarnya, bukannya terpaksa sama sekali. Namun sementara itu usahanya tersebut tidak akan dapat memberi bekas atau pengaruh.  

Yang dimaksud dengan kasab itu ialah ketergantungan qudrati‐iradat (kemampuan dan kemauan) seorang hamba (manusia) kepada suatu hal tertentu bebarengan dengan qudrat‐iradat abadi dari Tuhan. Manusia hanya  menjadi  wadah  lahiriyah  qudrat‐iradat  abadi  itu  saja,  tanpa  usaha  manusia  itu  sendiri  mampu mempengaruhinya ….  

Yang  kedua  ialah mazhab  Jabariyah,  yaitu mazhab  yang berpendapat bahwa manusia  tidak mempunyai usaha  sama  sekali, melainkan  semata‐mata  terpaksa,  tanpa  ikhtiar  sedikitpun  juga, bagaikan bulan  yang diterbangkan angin. Semuanya telah dibuat oleh Tuhan dan manusia tidak ikut menentukan……  

Ketiga  ialah mazhab Qadariyah, yaitu aliran yang memandang bahwa sesungguhnya makhluk mempunyai kegiatan  yang  bersifat  pilihan  (ikhtiar),  dengan  kemampuannya  sendiri  yang  kemampuan  itu  telah diciptakan Allah untuk manusia. Kedua aliran Qadariyah dan Jabariyah itu sesat”….. 

   Dari kutipan tersebut di atas, dapat dimaklumi kalau para pengritik As’ariyah mengatakan bahwa para pengikut paham As’ariyah sangat mudah tergelincir mengikuti paham Jabariyah. Tetapi dengan pernyataannya  bahwa  “manusia  wajib  berusaha”,  hal  itu  dapat  ditafsirkan  adanya  pengakuan terhadap  kemampuan  dan  kemauan  untuk  menentukan  jalna  hdiupnya  sendiri;  dan  dengan pernyataannnya bahwa  “usaha manusia  itu  tidak dapat berpengaruh  terhadap  jalan  kehidupannya yang  telah  ditentukan  Tuhan”,  tidak  selalu  harus  ditafsirkan  sebagai  suatu  tanda  fatalistis,  tetapi mungkin saja yang dimaksudkan oleh pernyataan tersebut  ialah bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia  tidak akan melampaui ketentuan Sunatullah, yaitu hukum alam ciptaan Tuhan, yang  tidak mengenal perubahan dan tidak dapat diubah oleh siapa pun kecuali oleh Allah yang menciptaknnya. Hal ini hanya tepat untuk analisis tingkat Tuhan tetapi tidak tepat untuk analisis tingkat manusia. Di kalangan manusia paham yang demikian itu dapat berarti bahwa konsep As’ariyah tidak percaya pada hukum  alam  dan  kausalitas.  Sementara  itu,  di  kalangan Ahli  Sunnah Wal  Jamaah  juga  dikenalkan rukun  iman  yang  ke‐6  yaitu  percaya  pada  Kada  dan  Kadar  Tuhan,  sehingga  hal  ini  melengkapi pendapat para pengritik As’ariyah bahwa paham As’ariyah adalah fatalistik. 

                                                                                                                                                                                           

Page 15: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

24

  Teori  kasab  As’ariyah  tersebut  sering  dipandang  sebagai  salah  satu medan  pembahasan  ilmu kalam yang rumit karena tekanannya untuk mencari  jalan tengah atau jalan keluar dari pertentangan paham Jabariyah (fatalistis) dan paham Qadariyah (vitalistis). Sebagian pendapat mengatakan bahwa teologi As’ariyah masuk ke dalam golongan Jabariyah,38 dan sebagian yang lain, yaitu kelompok Ahli Sunnah  Wal  Jamaah  tetap  mengatakan  sebagai  jalan  tengah  antara  Qadariyah  dan  Jabariyah tersebut.   Dikaitkan dengan konteks pembangunan masyarakat modern, masalahnya bukan  terletak pada apakah paham As’ariyah masuk ke kubu Jabariyah atau Qadariyah ataukah benar‐benar merupakan jalan  tengah  dari  keduanya,  tetapi  seberapa  jauh  kemampuan  pengikutnya  mengolah  dan mengembangkan  teori  kasab  dari  As’ariyah  tersebut  sehingga  mampu  melayani  tantangan pembangunan masyarakat modern.  Hal  ini  sangat  tergantung  pada  pendalaman  terhadap  ajaran agama dan realitas sosial yang digumuli dalam hidup keseharian.   Dalam  sejarah  keilmuan  Islam,  dunia  Islam  pernah mencapai  zaman  keemasannya,  yaitu  pada abad ke‐8‐13 M. dalam kurun itu Islam mencapai puncak kebudayaan yang amat  tinggi. Pada waktu itu tidak ada perbedaan antara ilmuwan dan agamawan. Pengertian ulama identik dengan ilmuwan. Ulama di samping alim dalam arti agama,  juga ahli dalam berbagai bidang  ilmu menurut bidangnya masing‐masing,  jadi  tidak  ada  pemisahan  dikotomis  antara  ilmu  agama  dan  ilmu  umum.  Hal  itu tercermin  antara  lain  dari  model  sosiologinya  Ibnu  Khaldun,  kedokterannya  Ibnu  Sina,  dan sebagainya. Dominasi keilmuan Islam dalam masa tersebut menjangkau hampir seluruh negara.   Dalam bidang hukum  Islam  (fikih), muncul 4 ahli yang kemudian menimbulkan 4 mazhab yang sampai  sekarang menjadi  pegangan  bagi  sebagian  besar  umat  Islam  di  seluruh  dunia,  termasuk Indonesia.  Ke‐4  mazhab  itu  adalah:  Maliki  (714‐795  M)  yang  berpegang  pada  Hadis  Nabi  dan pendapat–pendapat para sahabat Nabi, Hanafi (700‐767 M) yang berpegang kuat pada kemampuan akal,  Syafi’I  (767‐812  M)  yang  terkenal  sebagai  aliran  tengah  antara  Maliki  dan  Hanafi,  jadi merupakan  perpaduan  antara  Sunnah Nabi  dan  kemampuan  akal,  dan Hanbali  (750‐855 M)  yang berpegang kuat pada konsensus kaum ulama  salaf, jadi seperti mazhab Maliki.   Dari  ke‐4 mazhab  tersebut, mazhab  Syafi’I mempunyai pengaruh dan pengikut paling besar di Indonesia. Hampir seluruh pesantren di Jawa, terutama di Jawa Timur, mengikuti mazhab Syafi’I. Ciri dari mazhab  ini antara  lain  ialah  keterikatannya pada hadis  yang  sangat  tinggi dalam menentukan ijtihad,  sehingga  dapat  mengambil  ijtihad  yang  paling  selamat  dalam  arti  paling  jauh  dari kemungkinan salah. Seiring dengan ini, implikasinya dalam proses belajar‐mengajar di pesantren ialah mengandalkan kemampuan mengingat dan menghafal.   Meskipun demikian, seperti disebutkan di muka, sebagai ciri yang  lain dari mazhab Syafi’I  ialah penghargaannya yang tinggi terhadap kemampuan akal dalam menentukan hukum agama. Misalnya dalam menentukan arah kiblat bagi mereka yang hendak salat yang  jauh dari Masjidil Haram, dapat dipakai perhitungan akal dengan bukti‐bukti yang ada, meskipun ada kemungkinan berbeda dengan orang lain. Jika terdapat kesalahan, dan kesalahan itu tidak dapat dielakkan atau tidak disengaja, dan upaya akal itu tidak dipergunakan untuk hal‐hal yang dilarang oleh agama, maka kesalahan seperti itu dapat dimaafkan. Dalam hal memahami ayat‐ayat Alquran yang mempunyai banyak arti, maka orang harus mencari penjelasannya dari Sunnah Nabi; jika hal ini tidak dapat ditemukan, maka orang dapat mencarinya dari  ijmak kaum muslimin, dan apabila  ijmak  juga  tidak memungkinkan, maka mereka dapat melakukan qiyas atau analogi. Qiyas harus dilakukan berdasarkan  ilmu dan bukti‐bukti yang meyakinkan  yang  dapat  diterima  oleh  akal  sehat.39  Kecuali  itu,  mazhab  Syafi’I  juga  sangat 

                                                            38 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 106‐107.  39 Ahmadi Thoha (penerjemah), ar Risalah Imam Syafi’I, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hlm. 125‐233. 

Page 16: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

25

memperhitungkan situasi dan kondisi dalam upaya menetapkan ketentuan hukum agama. Ketetapan‐ketetapan  hukum  agama  yang  dibuat  ketika  ia  berada  di  Bagdad,  qaul  qadim  (pendapat  lama), berbeda dengan ketetapan yang diambil ketika ia berada di Mesir, yang disebut qaul jadid (pendapat baru).   Seperti disebutkan di muka, mazhab Syafi’I dipeluk oleh hampir  seluruh umat  Islam  Indonesia. Bagi  mereka,  mazhab  Syafi’I  telah  menyatu  dalam  kehidupan,  baik  secara  pribadi  maupun masyarakat. Begitu lengkap dan telitinya fikih Syafi’I, sehingga mazhab ini benar‐benar telah melekat dalam  kehidupan  pemeluknya.  Para  pengikut mazhab  Syafi’I merasa  kurang  perlu mengenal  atau mencari  hukum  agama  dari  sumber  lain;  hubungan  mereka  dengan  mazhab  Syafi’I  bukan  lagi hubungan  intelektual‐rasional.  Tetapi  sudah menjadi  hubungan  kultural  emosional.40 Dengan  kata lain, ajaran Imam Syafi’i telah membudaya atau menjadi nilai dalam kehidupan mereka.   “Keengganan” untuk mencari sumber‐sumber hukum baru  tampaknya merupakan gejala umum dari  tiadanya keberanian dan kemampuan mengembangkan pemikiran‐pemikiran dalam  Islam atau ber‐ijtihad melampaui zaman keemasan abad ke‐8‐13 M tersebut, sehingga muncul anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.   Anggapan  ini muncul  ketika  Imam  al‐Ghazali  sekitar  tahun  1100 menyatakan bahwa  tidak  ada hubungan  antara beberapa  cabang  ilmu  filsafat dan  agama.  Tetapi  sesungguhnya  Imam  al‐Ghazali tidak bermaksud menyatakan bahwa dalam agama tidak ada akal. Sebagai  ilmuwan dan agamawan besar tentu pernyataan‐pernyataan tersebut berdasarkan alasan yang mantap,41 tetapi sebagaimana biasa,  pengikut  seorang  tokoh  biasanya  mengadakan  amplifikasi  pada  ajaran  tokoh  tersebut sehingga makin  lama makin  jauh dari aslinya. Dalam perjalanan selanjutnya  timbul dikotomi "ilmu  agama"  yang  seakan‐akan  tidak  ada  akal  dan  "ilmu  pengetahuan"  yang  seakan‐akan hanya ada akal' Keadaan  ini menjadi  semakin berlarut dengan  terbitnya buku  Ibnu Khaldun Muqaddimah pada sekitar tahun 1400‐an, di mana digambarkan bahwa pada waktu itu terjadi saling  mengejek  antara  ilmu  agama  dan  ilmu  pengetahuan.  IImu  pengetahuan  dianggap menjerumuskan  orang  ke  kekufuran,  sedangkan  ilmu  agama  dianggap  kolot  dan  anti kemajuan. Gejala yang demikian ini masih terasa sampai hari ini.42 

Namun,  sejak  awal  abad  ke‐19  telah muncul  zaman  kebangkitan  Islam  kembali  dengan tokoh‐tokoh  pembarunya  antara  lain  Jamaluddin  aI‐Afghani  dan  Muhammad  Abduh. Jamaluddin aI‐Afghani (1839‐1897 M) bergerak di bidang politik dan melahirkan gerakan Pan Islamisme untuk membangkitkan kembali umat Islam dari dominasi bangsa‐bangsa non‐Islam dengan jalan kembali kepada Islam yang sebenarnya (Alquran dan Hadis), sedang Muhammad Abduh  (1848‐1905  M)  bergerak  di  bidang  pendidikan.  Ia  sangat  membenci  cara  belajar dengan  menghafal  dan  mekanis.  Menurutnya,  kemunduran  Islam  disebabkan  adanya kejumudan  atau  kebekuan  dalam  pemikiran  Islam.  Ia  menganjurkan  untuk  kembali mempelajari  Alquran  dan  Hadis  dan  tidak  perlu  selalu  terikat  dengan  pendapat‐pendapat ulama.  Ia  juga menganjurkan perlunya mengaitkan diri dengan kemajuan  ilmu dan teknologi dalam  zaman modern  ini  di  dalam mempelajari  ajaran‐ajaran  Islam  tersebut. Menurutnya, 

                                                            40 Ibid. 41 Menurut  Ibnu  Taimiyah,  letak  kedudukan  intelektual  al  Ghazali  berada  di  antara  ulama  dan  filosof. 

(Nurcholis Majid, Islam Kemoderenan dan Ke Indonesiaan, Mizan, Bandung, 1987, hlm. 282. 42 A. Baiquni, “Islam dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”, dalam Islam dan Pendidikan 

Nasional, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 29‐41. 

Page 17: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

26

wahyu dan akal, keduanya berasal dari Tuhan, oleh karena  itu  tidak mungkin bertentangan dan harus bertemu dalam satu kebenaran.43 

Dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia, anggapan yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad tersebut dapat dilacak dari dua kejadian.   Kejadian Pertama :  Kembalinya  para  ulama  dari Mekah.  Seperti  disebutkan  dalam  halaman  20  di muka, masa abad ke‐13‐17 M adalah masa berdirinya pusat‐pusat kekuasaan dan studi keislaman. Dengan demikian, masa kembalinya para ulama dari belajar di Mekah  itu, adalah bersamaan dengan masa  suburnya  kegiatan menyebarnya  agama  Islam  di  bumi Nusantara  ini.  Sementara  itu, perjalanan Islam ke Indonesia melalui Persia dan anak benua India yang ketika itu sangat kuat berorientasi pada tasawuf. Karena inilah maka buku‐buku tasawuf yang menggabungkan fikih dengan  amalan‐amalan  akhlak  merupakan  pelajaran  utama  di  pesantren‐pesantren,  di antaranya  tasawuf  Imam  al‐Ghazali  dalam  kitab‐kitabnya:  Ihya'  'Ulumuddin,  Bidayatul Hidayah, Minhajul A.bidin, dan  sebagainya, yang merupakan karya  fikih‐sufistik yang  sangat mendominasi pelajaran pesantren. Dalam masa yang amat panjang, sekitar 7 abad (abad ke‐13‐19 M)  fikih‐sufistik  tersebut  berkelindan  dengan mistik  Jawa  dan  budaya‐budaya  lain  di Indonesia, sehingga ia tidak hanya memasuki dunia pesantren, tetapi juga seluruh kehidupan umat  Islam  Indonesia.  Sifat  utama  dari  fikih‐sufistik  ini  ialah  mementingkan  pendalaman akhlak yang diamalkan dalam hidup keseharian.  

Sejak  abad  ke‐I3‐19  M  (bahkan  sampai  sekarang  sesungguhnya  masih  terlihat  gejala‐gejalanya),  terdapat anggapan bahwa  tarekat  terlepas dari  induknya sehingga menimbulkan ekses‐ekses  negatif  atau  penyimpangan  agama,  sebagaimana  diketahui  oleh  K.H.  Ahmad siddiq  ketika  ia  menyebutkan  bahwa  tarekat  itu  sesungguhnya  harus  bersumber  pada tasawuf, tasawuf bersumber pada syariah, dan syariah bersumber pada akidah; jadi terdapat satu kesatuan mata rantai yang tidak boleh dipisah‐pisahkan satu dari yang lain. Hampir dapat dipastikan bahwa semua kiai salaf mengikuti tarekat sesuai dengan pilihannya masing‐masing; dan karena tarekat merupakan bagian integral dari mata rantai tersebut, maka sesungguhnya praktik  tarekat  tidak boleh dipamer‐pamerkan kepada orang  lain, apalagi diwujudkan dalam suatu gerakan masal. Inilah sebabnya (antara lain) mengapa K.H.R. As'ad Syamsoel Arifin dan K.H. Ahmad Siddiq sendiri tidak membuat gerakan tarekat; pelaksanaan tarekatnya dilakukan secara individual‐langsung berhubungan dengan Tuhan.44  

Selain kitab‐kitab karya Imam al‐Ghazali sampai saat ini di hampir seluruh pesantren masih sangat  kuat  pengaruh  kitab  Ta'limul  Muta  'allim  karangan  Syekh  az‐Zarnujiy.  Kitab  ini merupakam  pedoman  bagi  santri  dalam  menuntut  ilmu  di  pesantren.  Di  antara  isinya dikatakan bahwa kunci keberhasilan menuntut  ilmu adalah: murid wajib menghormati guru dan kitab‐kitab yang diajarkannya .   

.... "termasuk menghormati guru: jangan berjalan di depannya, duduk di tempatnya, mulai mengajak bicara kecuali atas perkenan darinya, berbicara macam‐macam di depannya, dan menanyakan hal‐hal yang membosankan. Tetapi hendaklah menghemat waktu,  jangan  sampai mengetuk pintunya, cukuplah dengan sabar menanti di luar  

                                                            43 Harun Nasution,  Pembaharuan  dalam  Islam,  Sejarah,  Pemikiran  dan Gerakan, Bulan Bintang,  Jakarta, 

1975, hlm. 51‐57. 44 Mastuhu, “Tiga Ulama Termasyhur di Jawa Timur”, dalam Nadhar, Buletin tak berkala penelitian Agama, 

LIPI, seri 10, Desember, 1987, hlm. 17‐36. 

Page 18: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

27

sehingga ia sendiri yang keluar dari rumah. Pokoknya, adalah melakukan hal‐hal yang membuatnya rela, menjauhkan amarahnya dan menjunjung  tinggi perintahnya yang  tidak bertentangan dengan agama" ....   

....  "termasuk memuliakan kitab: Syaikhul  Imam Syamsul Aimmah As‐Syarkhasiy pada  satu malam mengulang kembali pelajaran‐pelajarannya yang terdahulu, kebelulan terkena sakit perut, jadi sering kentut.  Untuk  itu  ia  terpaksa melakukan  17  kali  berwuduk  dalam  satu malam  tersebut  karena mempertahankan supaya belajar selalu dalam keadaan suci" ....   

.... "(murid) hendaknya jangan membentangkan kaki ke arah kitab. Kitab Tafsir letaknya di atas kitab‐kitab lain, dan jangan menaruh sesuatu di atas kitab" ....45 

 Kutipan  tersebut  ternyata  sejiwa  dengan  pengalaman  Djamil  Suherman  dan  Sepuluh 

Tata  Tertib  Pesantren  Meranggeng‐Semarang  dan  gaya  kepemimpinan  para  pengasuh pesantren, sebagaimana disebutkan dalam halaman 35‐36, dan dilaporkan dalam halaman 79‐96 pada disertasi ini.  

Sehubungan  dengan  itu, maka  dalam  hal  pemberian  ilmu  di  pesantren,  hal‐hal  yang bersifat panalaran akal agak tersingkir, dan sebaliknya hal‐hal yang bersifat dogmatis  lebih mendalam.46  

Dalam proses belajar ‐ mengajar di pesantren  lebih banyak ditekankan penguasaan dan pengayaan  materi  pengajaran  daripada  metodologi  berpikir  keilmuan.  Meskipun  di pesantren  juga  diajarkan  ilmu mantiq  atau  silogisme,  tetapi  sifatnya mekanis  dan  tidak mendorong berkembangnya pemikiran rasional, karena dalam ilmu mantik itu disusun suatu konsep universal. Misalnya: "Semua orang akan mati, Aristoteles adalah orang, maka ia akan mati."  

Universalisme  itu terlalu sewenang‐wenang sehingga tidak memberi tempat sedikit pun bagi partikular, yaitu sesuatu yang dapat diobservasi dalam kehidupan empiris, dan sesuatu yang dapat diobservasi itu memiliki nilai ilmiah. Sesungguhnya rumusan usul fikih oleh Imam Syafi'i lebih rasional dan realistik. Misalnya: hukum itu berputar menurut ada dan tidak ada, "sesuatu yang tidak terpenuhi semua, tidak boleh ditinggalkan semua.47 

Dalam  perumusan‐perumusan  itu  jelas  masih  terdapat  tempat  bagi  partikular  untuk diobservasi. Dengan demikian ada dualisme pengajaran logika di pesantren.  

Dalam prospektif pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu mantik  tersebut  makin  lama  makin  turun  pamornya  karena  sudah  kurang  relevan  lagi dengan kenyataan dan kemajuan  logika modern yang dikembangkan oleh  John Stuart Mill dan  David  Hume,  yang  banyak  dipergunakan  di  perguruan  umum.  Meskipun  demikian, tampaknya sulit bagi pesantren untuk begitu saja meninggalkan ilmu mantik tersebut karena dalam  agama  banyak  hal‐hal  yang  tidak  dapat  dan  tidak  perlu  diuji  kebenarannya  secara empiris, yang dapat diuji hanyalah dimensi pengalaman lahiriahnya, bukan dogmanya, oleh karena  itu  ilmu mantik  tetap diperlukan,  sebagaimana hal  ini dibela oleh  Imam al‐Ghazali dan Ibnu Khaldun yang tetap menghargai ilmu mantik dengan membuat pernyataan bahwa orang yang tidak tahu mantik hujjah‐nya tidak dapat diterima.48   

                                                            45 Drs. Ally As’ad (Penerjemah kitab Ta’limul Muta’alim), Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, 

Menara Kudus,  1978, hlm. 26‐27. 46 Nurcholis Majid, “Keilmuan Pesantren, Antara Materi dan Metodologi”, Loc. Cit. 47 Ibid. 48 Ibid. 

Page 19: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

28

Kejadian kedua:  Para  ulama  atau  kiai  yang  sekarang memimpin  pesantren mengalami model  pendidikan bercorak fikih‐sufstik dengan orientasi nilai yang sangat menekankan pentingnya kehidupan ukhrawi di atas duniawi, agama di atas ilmu, dan moral di atas akal. Model pendidikan yang seperti itu berjalan dalam kurun waktu yang amat panjang, sepanjang pemerintah kolonial. Seperti disebutkan di muka, pemerintah kolonial menolak memasukkan pendidikan Islam ke dalam  sistem pendidikan pemerintah  atau  sistem pendidikan umum,  karena dianggap  telalu  jelek. Selama  itu  pendidikan  Islam  dijauhkan  dari  urusan  keduniawian  kecuali  mengenai  fara’id,  yaitu hukum waris.   Meskipun  demikian,  model  pendidikan  tersebut  tidak  seluruhnya  buruk,  karena  ternyata  ia menghasilkan  pertahanan mental  spiritual  yang  kuat,  dan  telah mampu memberikan  pembinaan moral  sehingga mendapat  tempat di hati masyarakat dan  kaum muda  Islam.  Secara  tidak disadari pesantren  merupakan  lembaga  pendidikan  yang  menumbuhkan  fanatisme  keagamaan  yang mendalam dan emosional, dan telah ikut menambah rasa anti penjajah sebagai kaum kafir.   Pada waktu  perang  kemerdekaan,  semboyan mengusir  kaum  kafir  yang  dibawakan  oleh  para ulama  terasa  lebih  membakar  semangat  perjuangan  dari  pada  semboyan  yang  dibawakan  oleh kelompok  nasionalis,  yang menyatakan  bahwa  pemerintah  kolonial  harus  diusir  dari muka  bumi karena tidak sesuai dengan keadilan, dan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Kobaran semangat anti penjajah tersebut  lebih dimantapkan  lagi dengan salah satu doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa mencintai  tanah air merupakan sebagian dari  iman, Hubbul watan minal  iman. Tetapi  seperti  tersebut di muka dalam  saat‐saat  terakhir  ini,  sekitar  sejak dua atau  tiga dasawarsa  yang lalu lembaga pendidikan pesantren terasa mulai menurun di mata masyarakat dan kaum muda Islam, karena dianggap  tidak mampu memberi  jaminan kerja, sebagaimana sekolah‐sekolah umum, tetapi mereka  tetap  percaya  bahwa  pesantren masih mampu menjamin  pembinaan moral.  Oleh karena  itu, merka  tetap  hormat  kepada  pendidikan  pesantren  dan  pendidikan‐pendidikan  agama Islam lainnya, tetapi mereka sadar bahwa dalam mengarungi kehidupan masyarakat modern mereka memerlukan keduanya: pembinaan moral dan jaminan kerja sekaligus, tidak cukup hanya salah satu saja.   Meskipun demikian, bersamaan dengan itu telah pula tumbuh gejala baru di kalangan pendidikan Islam,  termasuk pesantren, yaitu praktis sudah pudarnya dewasa  ini pandangan anti agama Kristen sebagai agama penjajah berkat pembinaan yang  intensif dari pemerintah melalui program‐program pembangunan nasional, yaitu kerukunan antar umat beragama. Misalnya dari berbagai pernyataan tokoh‐tokoh  agama  yang  tergabung dalam Majelis Ulama  Indonesia pada  tahun 1987 menyatakan bahwa  konsep ukhuwah dalam  Islam meliputi   persaudaraan  sesama  agama  (ukhuwah  Islamiyah), sesama bangsa (ukhuwah wataniyah), dan sesama manusia (ukhuwah basyariyah).   Sealin  itu  secara  ressmi  sistem  pendidikan  Islam  Indonesia  telah  masuk  menjadi  subsistem pendidikan nasional, yaitu dengan adanya surat keputusan bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, disingkat dengan SKB 3 Menteri, 24 Maret 1975, dimana porsi mata pelajaran umum bagi madrasah mencapai 70 % dan agama 30 %. Dengan posisi seperti  itu, madrasah  ibtidaiyah kini memililki kedudukan setaraf dan karenanya memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan SD.49 

Sebelumn itu, pada tahun 1973‐an telah dikenalkan berbagai keterampilan ke pesantren, seperti: pertukangan, menjahit,  perbengkelan,  peternakan,  pertanian,  koperasi,  dan  sebagainya. Meskipun jenis‐jenis keterampilan seperti  itu bukan merupakan hal baru bagi santri, karena mereka memang 

                                                            49 Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Sistem Pendidikan Nasional, Seri monografi, 1984/1985, hlm. 

58. 

Page 20: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

29

sudah akrab dengannya, tetapi yang dimaksud dengan pemberian keterampilan tersebut ialah untuk membuka wawasan  berpikir  keduniawian; wawasan  berpikir  selama  ini  dinilai  terlalu  berat  pada keakhiratan.  Belum  pernah  dilakukan  evaluasi  yang  rinci  mengenai  keberhasilan  program keterampilan  tersebut,  tetapi  yang  jelas  lembaga‐lembaga:  studi,  perguruan  tinggi,  departemen‐‐departemen dan sosial telah ikut serta aktif mengambil bagian dalam kegiatan tersebut, dan banyak pesantren‐pesantren  yang  mengirimkan  santri‐santrinya  ikut  serta  dalam  training‐training keterampilan  yang diselenggarakan oleh  lembaga‐Iembaga dimaksud.  Lembaga‐lembaga  itu  antara lain  adalah:  LP3ES  (Lembaga  Penelitian,  Pendidikan,  dan  Penerangan  Ekonomi  dan  Sosial),  LSP  . (Lembaga  Studi  Pembangunan),  Departemen  Penerangan  yang  mensponsori  berdirinya  Pusat Informasi Pesantren, ITB (Institut Teknologi Bandung), dan sebagainya dalam masa 1977‐an.  

Semua itu bersama‐sama dengan dampak global dari pembangunan nasional dan kemajuan ilmu dan teknologi, mau tidak mau mempengaruhi wawasan berpikir santri. Seperti disebutkan di muka, saat  ini  hampir  di  seluruh  pesantren  diselenggarakan  madrasah,  sekolah  umum,  dan  bahkan perguruan  tinggi agama baik dalam bentuk sekolah  tinggi,  institut, maupun universitas agama yang biasanya terdiri atas: fakultas‐fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah.  

Akibat masa  uzlah  yang  panjang,  corak  pendidikan  fikih‐Sufistik  seperti  digambarkan  di muka masih  berjalan  sampai  saat  ini.  Namun,  terdapat  beberapa  dampak  positif  antara  lain  ialah:  (a) Timbulnya nilai kependidikan yang positif yaitu sikap yang memandang semua kegiatan pendidikan sebagai  ibadah  kepada  Tuhan.  Tugas menyelenggarakan  pesantren  oleh  kiai,  tugas mengajar  oleh ustaz, tugas∙ belajar oleh santri, tugas mengirimkan anak ke pesantren oleh orangtua, dan belajar di pesantren dinilai sebagai  ibadah kepada Tuhan. Nilai  ibadah  ini ternyala merupakan nilai kunci yang mendasari  nilai‐nilai  lain  dengan  keikhlasan  atau  kelulusan  dalam  menyelenggarakan  dan melaksanakan  tugas‐tugas  kependidikan,  yang  selanjutnya  melahirkan  nilai‐nilai  lain  seperti penerimaan yang terbuka kepada siapa saja yang mau menjadi santri tanpa dikenakan persyaratan‐persyaratan tertentu seperti: waktu pendaftaran, inteligensi, umur, biaya alau uang, dan sebagainya, (b)  Tumbuhnya  pembagian  tugas  dalam menjaga  nilai‐nilai  yang mendasari  pesantren.  Penjagaan nilai‐nilai agama dengan kebenaran mutlak ada di tangan kiai, dan nilai‐nilai agama itu super di atas nilai  agama  dengan  kebenaran  relatif,  menentukan  gerak  kehidupan  pesantren  pada  semua aspeknya,  sedang  nilai  agama  kebenaran  relatif  berada  di  tangan  santri  dan  karenanya  sangat tergantung pada  restu  kiai. Hal  ini  kemudian menyebabkan berkembangnya nilai‐nilai  lain  seperti: ketundukan  dan  ketaatan  serta  kepercayaan  santri  kepada  kiai  alau  ustaznya,  pada  orangtua, saudara,  dan  orang‐orang  lain  terutama  yang  lebih  tua,  dan  (c)  Tumbuhnya  nilai‐nilai  dalam pesantren yang berbeda dengan nilai yang hidup di tangan masyarakat luas, seperti konsep terhadap kebersihan dan waktu di mana nilai dalam pesantren didasarkan atas ajaran  fikih,  sedangkan nilai‐nilai  dalam  masyarakat  didasarkan  atas  realitas  sosial.  Di  kalangan  pesantren  terkenal  prinsip pergaulan  bahwa:  dalam  hal  hak  "orang  harus  mendahulukan  kepentingan  orang  lain  di  atas kepentingan  diri  sendiri,  tetapi  dalam  hal  kewajiban,  orang  harus  mendahulukan  kewajiban  diri sendiri  sebelum orang  lain". Sedangkan dalam hal memilih  sesuatu: "memelihara hal‐hal baik yang telah ada, sarnbil mengembangkan hal‐hal baru yang  lebih baik" al‐muhafazatu,  'ala al‐qadimissalih  ma’al akhizi bil jadidil aslah.50  

Dengan diserahkannya pelaksanaan nilai  agama dengan  kebenaran  relatif  kepada  santri,  rnaka santri  bebas  dan  aktif  ikut  serta menyelenggarakan  kegiatan  pendidikan.  Dengan  demikian  santri tidak  segan melakukan perdebatan dengan  siapa  saja  rnengenai  soal‐soal  yang nonagama;  kecuali kepada  kiai,  bagaimanapun  rnereka  tetap  segan  karena  gaya  kepemimpinan  karismatik  kiai  yang sangat mencekam. Di bawah ini dikutipkan contoh‐contoh perbedaan konsepsi antara pesantren dan 

                                                            50 Abdurrachman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, 1399 H., hlm. 169. 

Page 21: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

30

masyarakat luas mengenai: solidaritas kawan, kebersihan, horrnat kepada guru, dan uraian mengenai pengertian  waktu;  yang  sampai  sekarang  pada  umumnya  masih  hidup  dalam  dunia  pesantren, setidak‐tidaknya di pesantren‐pesantren tertentu, dan secara kultural hal  itu masih dapat dirasakan sebagai suatu nilai yang masih hidup dalam kehidupan pondok pesantren.   Konsepsi solidaritas kawan:  "Sebagai  santri, yang paling menyayangi aku  tidak bisa pisah dari kawan‐kawanku yang  lain dalam segala hal. Hidup kami rukun dan desa Kedungring sebagai pesantren merupakan keluarga besar yang tidak  bisa  dipisah‐pisahkan  satu  sarna  lain. Hubungan  batin  antara  kami  dan  antara  kami  dengan keluarga  kiai  sangat  eratnya.  Keluarga  besar  yang  dilindungi  oleh  bapak  junjungan  dunia  akhirat. Hidup begini kami rasa tenteram di bawah lindungan surau dan kiai yang alim. Kami percaya di sinilah letak dunia kami. Hidup damai dan diridai Allah".51  Konsepsi kebersihan: "Di  pesantren  kami,  air  kolam  yang  bertahun‐tahun  tidak  pernah  dikuras  bukanlah  soal  yang  jadi perhatian istimewa, karena menurut anggapan mereka, air kolam yang tiap hari dipergunakan orang Islam mengambil  air wudlu  itu  tetap  berkah,  artinya  ada  khasiatnya.  Besar  kolam  itu  cukup  bisa menampung air sebanyak 20 kullah, karena itu syah menurut syarat yang ditetapkan oleh kitab fikih. Kolam  itu dipergunakan oleh  siapa  saja  yang datang hendak melakukan  salat di  surau. Mula‐mula mereka  membasuh  dua  tangan  yang  dicelupkan  berganti‐gantian,  lalu  air  itu  dicawiknya  untuk kumur‐kumur,  kemudian membasuh muka  rata‐rata  tiga  kali,  kedua  Iengan  sampai  di  atas  siku, kuncung  rambut,  kedua  telinga  dan  akhirnya mencelupkan  sarna  sekali  kedua  kaki  berganti‐ganti kedalam kolam.52  Konsepsi hormat kepada guru (kiai): Sepuluh tata tertib dari Pondok Pesantren Meranggeng Semarang, Tengah:  1. Seorang murid harus mempunyai keyakinan penuh bahwa tujuannya tidak tercapai tanpa 

adanya guru. 2. Murid harus sepenuhnya pasrah dan menurut kepada kepemimpinan guru.  3. Jika  kebetulan  murid  berbeda  pandangan  dengan  guru,  maka  ia  harus  melepaskan 

pandangannya sendiri itu dan menganut pandangan guru.  4. Harus senang bersama senangnya guru, dan harus benci bersama dengan bencinya guru.  5. Tidak  baleh  sama  sekali mendahului  guru  dalam membuat  tafsiran  tentang  gejala  atau 

pertanda.  6. Harus merendahkan suara di hadapan dan dalam pertemuan dengan guru, baleh banyak 

bertanya ataupun banyak bicara.  7. Bila hendak sowan atau berkunjung kepada guru, murid wajib memberi  lebih dulu, dan‐ 

menanti waktu yang cocok bagi guru.  8. Harus  sedia membuka  rahasia  apa  saja  yang  ada  pada murid  itu  di  hadapannya,  dan 

dilarang  menyembunyikan  rahasianya  itu,  khususnya  dengan  suatu  pengalaman keagamaan.  

9. Murid  dilarang  mewartakan  ucapan‐ucapan  guru  kecuali  setingkat  dengan  daya  akal murid, dan hanya dalam hal‐hal yang diizinkan.  

                                                            51 Djamil Suherman, Umi Kalsum, kisah‐kisah pesantren, Mizan, Bandung, 1984, hlm. 30. 52 Ibid., 26‐27. Menurut fikih, air untuk wudu cukup dua kulah. 

Page 22: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

31

10. Sama sekali dilarang membicarakan guru secara tidak baik (mengumpat) masuk menyindir, menyinggung perasaan atau mengritik.53  Dari  urain  tersebut  jelas  bahwa  nilai  yang  mendasari  sistem  pendidikan  pesantren 

bersumber dari ajaran  Islam yang bersifat  fikih‐sufistik. Hal  ini sangat berbeda dengan nilai‐nilai yang mendasari sistem kehidupan masyarakat luas.   Pengertian waktu Konsep waktu menurut pesantren berbeda dengan konsep waktu menurut masyarakat  luas. Dalam  pesantren,  konsep waktu  diukur  dari  segi  salat,  khususnya  salat wajib  lima waktu; sedang dalam masyarakat  luas diukur  kegiatan  kehidupan  atau program  kerja  keduniawian dalam  lebih  kurang  24  jam. Oleh  karena  itu,  kalau melakukan  perjanjian  kegiatan  apa  saja dengan  santri  sering menggunakan  patokan waktu  seperti:  sesudah  asar,  sesudah magrib, sesudah  isya,  sesudah  subuh,  dan  sebagainya.  Atau  sebelum  Ramadan,  sesudah Hari  Raya Haji, dan seterusnya. Pendeknya yang dijadikan ukuran adalah waktu  ibadah kepada Tuhan; bukan waktu dalam arti 24 kehidupan sebagaimana kebiasaan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena  itu, maka dapat dimaklumi, kalau pada saat menjelang magrib masih ada santri yang mencuci pakaian, pagi‐pagi buta mereka sudah mulai bekerja, dan sebagainya.54 Apalagi bulan  Puasa,  adalah  saat  yang  sangat  baik  untuk menghubungi  teman  sebelum  salat  subuh sambil  sekalian membangunkan  untuk makan  sahur.  Hal  ini  tentunya  tidak  lazim  dilakukan terhadap teman yang tidak dalam satu kultur agama.  

Kunci  pemahaman  sistem  pendidikan  pesantren  dari  segi  unsur,  terletak  pada  sistem pembagian  kerja  di mana  pemeliharaan  nilai  agama  dengan  nilai  kebenaran mutlak  ada  di tangan kiai, dan pemeliharaan nilai agama dengan kebenaran relatif ada di  tangan ustaz dan santri.  Sedang dari  segi nilai,  terletak pada pandangan bahwa  semua  kegiatan  kependidikan dipandang  sebagai  ibadah  kepada  Tuhan.  Nilai  agama  dengan  kebenaran  mutlak  tersebut memiliki  sepremasi  di  atas  nilai  agama  dengan  kebenaran  relatif.  Nilai  agama  dengan kebenaran mutlak merupakan sumber  informasi dan konfirmasi bagi nilai agama dengan nilai kebenaran  relatif.  Sehubungan  dengan  itu  maka  sistem  pendidikan  pesantren  dikatakan sebagai  sistem  tertutup,  apabila  menyangkut  nilai  agama  dengan  kebenaran  mutlak,  dan disebut  sebagai  sistem  terbuka,  apabila menyangkut nilai  agama dengan  kebenaran  relatif.  Ini berarti  bahwa  pesantren memiliki  potensi  terbuka  dan  lentur  untuk menerima  hal‐hal  yang datang  dari  luar,  sepanjang  hal  itu  tidak  bertentangan  dengan  akidah  dan  syariah.  Akidah, artinya keyakinan, dan  syariah artinya  semua kegiatan manusia yang diatur menurut hukum Islam.  

Kecuali  itu, dengan diberikannya kesempatan yang  luas bagi  santri untuk aktif di bidang‐bidang  nonagama  dalam  proses  pendidikan,  maka  hal  itu  berarti  bahwa  dalam  sistem pendidikan pesantren berlaku prinsip pendidikan  self government,  atau open  school. Prinsip pendidikan yang demikian akan mampu mengantar anak didik bersikap mandiri dalam arti siap mental  untuk  menghadapi  pekerjaan  atau  lapangan  kehidupan  apa  saja,  setelah  ia menamatkan pendidikannya. Tetapi jika model pendidikan seperti itu tidak dilanjutkan dengan pendidikan profesional yang akan mengantar anak didik menjadi orang yang memiliki profesi 

                                                            53  Nurcholis Majid,  dalam  Seminar  Pendalaman  Agama,  Lembaga  Penelitian  IAIN  Jakarta,  2‐3 Oktober, 

1985. 54 Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai subkultural” dalam Bunga Rampai Pesantren, Dharma Bhakti, 

Jakarta, 1399 H., hlm. 7‐42.  

Page 23: DINAMIKA SISTEM PENDIDIKAN  PESANTREN-BAB II-JAN

  

32

atau  keahlian  tertentu, maka  ia  akan menjadi  generalis  yang minimalis  dalam  arti  sanggup menerima  jenis  pekerjaan  apa  saja  dengan  keahlian  minimal  yang  diperoleh  dari  latihan magang dan bukan dari pendidikan profesional.