pendidikan pesantren

108
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi dewasa ini dan di masa yang akan datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia. Hampir semua sendi kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat dahsyat. Institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga, dan bahkan institusi keagamaan, tidak lepas dari pengaruh arus globalisasi itu (Said Aqiel Siradj, 1999: 141). Istilah institusi keagamaan ini, yang dimaksud adalah lembaga pendidikan keagamaan (Pesantren). Dalam kaitannya dengan pendidikan, modernisasi dapat dilihat dari dua segi, baik dari segi variabel modernisasi ataupun sebagai objek modernisasi (Azyumardi Azra, 2001: 2). Dalam konteks ini, pendidikan secara umum masih dianggap terbelakang dalam berbagai hal, oleh karenanya sistem pendidikan yang ada harus diperbaharui/dimodernisasi (Ismail SM, 2002: 91), termasuk pendidikan Islam. Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, yang berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam, mempengaruhi dinamika keilmuan di lingkungan pesantren. Modernisasi sistem pendidikan pesantren itu dapat mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, seperti kurikulum, teknik dan metode pengajarannya (Azyumardi Azra, 2001: 90-91). Dunia pesantren dalam gambaran keseluruhan memperlihatkan dirinya sebagai parameter, suatu faktor yang secara tebal mewarnai kehidupan kelompok masyarakat luas, tetapi dirinya sendiri tak kunjung berubah dan mengikuti

Upload: fandizul

Post on 18-Sep-2015

69 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

h

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Era globalisasi dewasa ini dan di masa yang akan datang sedang dan

    akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia.

    Hampir semua sendi kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat

    dahsyat. Institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga, dan bahkan

    institusi keagamaan, tidak lepas dari pengaruh arus globalisasi itu (Said Aqiel

    Siradj, 1999: 141). Istilah institusi keagamaan ini, yang dimaksud adalah

    lembaga pendidikan keagamaan (Pesantren).

    Dalam kaitannya dengan pendidikan, modernisasi dapat dilihat dari dua

    segi, baik dari segi variabel modernisasi ataupun sebagai objek modernisasi

    (Azyumardi Azra, 2001: 2). Dalam konteks ini, pendidikan secara umum masih

    dianggap terbelakang dalam berbagai hal, oleh karenanya sistem pendidikan yang

    ada harus diperbaharui/dimodernisasi (Ismail SM, 2002: 91), termasuk

    pendidikan Islam. Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, yang berkaitan

    erat dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam, mempengaruhi dinamika

    keilmuan di lingkungan pesantren. Modernisasi sistem pendidikan pesantren itu

    dapat mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, seperti

    kurikulum, teknik dan metode pengajarannya (Azyumardi Azra, 2001: 90-91).

    Dunia pesantren dalam gambaran keseluruhan memperlihatkan dirinya

    sebagai parameter, suatu faktor yang secara tebal mewarnai kehidupan kelompok

    masyarakat luas, tetapi dirinya sendiri tak kunjung berubah dan mengikuti

  • 2

    dinamika yang ada pada masyarakat sekelilingnya. Hal yang demikian dapat

    melahirkan sebuah gambaran bahwa pesantren merupakan suatu pribadi yang

    sulit untuk mengikuti perubahan, keadaan ini memunculkan pandangan bahwa

    dunia pesantren adalah sebagai sebuah kehidupan yang terbelakang dan

    tradisional (M. Dawam Raharjo, 1995: xiii).

    Istilah tradisional yang menjadi predikat lembaga pendidikan pesantren,

    suatu kondisi yang masih terkuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli Fiqh,

    Hadits, Tafsir, Kalam serta Tasawuf yang hidup pada abad ke-7 hingga abad ke-

    13. Meskipun demikian, bukan berarti pesantren sekarang tetap terbelenggu

    dalam bentuk-bentuk pikiran dan aspirasi yang diciptakan para ulama pada masa

    itu. Memang abad ke-13 hingga akhir abad ke-19 pesantren tradisional sedikit

    sekali mengalami perubahan, namun dalam struktur kehidupan pesantren lebih

    banyak mengalami perubahan (Zubaidi Habibullah Asari, 1995: 17-18).

    Memasuki abad ke-20 pesantren telah banyak mengalami perubahan dari predikat

    tradisional menuju modern dan tidak meninggalkan ciri dari pesantren itu sendiri,

    seperti pesantren Futuhiyah Mranggen Demak, pesantren Al-Munawir Krapyak

    Yogyakarta dan lain sebagainya telah lama membuka pintunya bagi unsur

    modernitas (Asyhuri, 1989: 28-29).

    Pondok pesantren tradisional/salafi sudah ikut atau terbukti bisa

    mencetak generasi-generasi Islam yang unggul dan cerdas. Dalam pengajaran

    masih menggunakan sistem trasisional, dengan perkembangan zaman sekarang

    pondok pesantren salafi tidak banyak peminatnya, kaena ada beberapa pondok

    yang tidak mau merubah cara pengajarannya. Bisa di lihat sekarang banyak

    pondok pesantren yang banyak ditinggalkan para santrinya, tetapi ada juga

  • 3

    pondok pesantren yang berinisiatif merubah sistem pengajarannya menjadi

    moderen ternyata banyak para santri yang berminat.

    Predikat keterbelakangan dan ketradisionalan yang identik dengan

    pesantren sebagaimana diteorikan oleh para penulis tidak selalu benar. Perubahan

    ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan

    inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan zaman. Jika

    pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka akan memperoleh kualifikasi

    sebagai lembaga pendidikan yang modern, tetapi sebaliknya, jika kurang mampu

    memberikan apresiasi dan respon terhadap kehidupan modern, maka dapat

    dikatakan sebagai pesantren yang memiliki label ketinggalan zaman seperti kolot

    dan konservatif (Nurcholish Madjid, 1997: 88).

    Proses perubahan yang terjadi di berbagai pondok pesantren pasca abad

    ke-19 pada dasarnya merupakan upaya pesantren secara perlahan-lahan dalam

    rangka membuka diri bagi masuknya modernisasi. Modernisasi dalam tubuh

    pesantren berarti sebuah proses menuju perubahan. Modernisasi dapat diartikan

    sebagai suatu proses perubahan sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat

    untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (Anton M. Moeliono, 1989:

    589).

    Tantangan zaman modern pada hakekatnya adalah tantangan ilmu

    pengetahuan dan teknologi. Pada masa awalnya implikasi dari kemodernan itu

    jelas positif, yaitu berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu

    pengetahuan dan teknologi. Dalam dunia pesantren, wawasan santri terhadap

    dunia luar kian terbuka. Pesantren bukan lagi komunitas eksklusif seperti

    dirasakan pada zaman-zaman pra kemerdekaan, namun setelah masa

  • 4

    kemerdekaan hingga dewasa ini telah banyak lulusan out put dari pesantren yang

    telah memiliki bekal untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran

    baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren (Mansur, 2004: 9-10). Seperti

    adanya ekspansi sistem pendidikan umum yang berasal dari pemerintah dengan

    memperluas cakupan pendidikan mereka. Sedikitnya ada dua cara yang

    dilakukan pesantren dalam hal ini, (1) merevisi kurikulumnya dengan

    memasukkan mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; (2)

    membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan

    pendidikan (Azyumardi Azra, 2001: 102).

    Clifford Geertz meramalkan bahwa jika pesantren tidak dapat memenuhi

    dua peranan, yakni menyediakan pendidikan agama dan sekuler sekaligus, kyai

    tidak dapat memimpin Indonesia lebih lama lagi. lebih dari itu, dia hanya punya

    sedikit harapan yang akan terwujud. Buku ini mendokumentasikan bagaimana

    dunia pesantren berhasil mengenali kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan

    terhadap tenaga kerja yang bermoral, maupun terhadap pemimpin yang agamis.

    Karena itu sistem pendidikannya berusaha mencetak keduanya (Ronald Alan

    Lukens-Bull, 2004: 250-251).

    Kurikulum pesantren tidak hanya menyangkut pendidikan, tetapi juga

    bagaimana corak masyarakat Indonesia di masa yang akan datang, bagaimana

    Indonesia termasuk pesantren modernisasi diri tanpa harus jatuh pada perangkap

    moral. Untuk mencapai tujuan tersebut, agar merekonstruksi kembali kebutuhan-

    kebutuhan masyarakat. Jika tidak berpartisipasi dalam rekonstruksi ini, maka

    pesantren akan kehilangan relevansinya. Di masa yang akan datang, pesantren

    harus mampu membuat dua kontribusi buat masyarakat yaitu tenaga kerja yang

  • 5

    memiliki moral dan etika pesantren, serta ulama yang dapat berpartisipasi dalam

    globalisasi yang masyarakatnya berorientasi teknologi.

    Sedangkan implikasi negatifnya adalah merosotnya nilai-nilai kehidupan

    rohani, tercabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang

    melanda generasi muda (Nurcholish Madjid, 1997: 89). Akibatnya, seperti

    anggapan masyarakat selama ini, terjadi kemerosotan terhadap out put produk

    sistem pesantren. Begitu juga, terjadinya kelangkaan yang berkapasitas sebagai

    Pewaris Nabi (warastsatul Anbiya) (Mansur, 2004: 11). Oleh karenanya Gus

    Zaenal dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kyai tengah berupaya

    mengembalikan dunia pesantren kepada fitrah-nya, yakni sebagai lembaga

    pendidikan yang lebih mengedepankan kualitas moral (akhlaqul karimah,

    intelektual dan spiritual) (Zainal Arifin Thoha, 2003: 7).

    Dengan demikian, perlu dicermati bahwa dalam menghadapi semua

    perubahan dan tantangan itu, para eksponen kelembagaan pesantren menjadi

    lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya. Tetapi sebailknya cenderung

    mempertahankan kebijaksanaan hati-hatiti; mereka menerima baharuan

    (modernisasi) pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas

    mampu menjamin pesantren untuk bisa tetap survive (Azyumardi Azra, 1996: 7).

    Adapun berbagai model pesantren sekarang yang dipandang sebagai

    pesantren modern adalah sebagai pesantren yang disamping tetap melestarikan

    unsur-unsur utama pesantren, juga memasukkan unsur-unsur modern, hal ini

    ditandai dengan adanya perubahan kurikulum, kelembagaan dan metode

    pengajarannya, dan masih banyak lagi unsur-unsur yang menuju kemodernan

    (Depag RI, 2003: 8).

  • 6

    Bertolak dari pernyataan di atas, maka muncul permasalahan bahwa

    adanya pesantren modern dengan segala unsur-unsurnya mampu menciptakan

    kyai dan menciptakan tenaga skil yang islami Lembaga pendidikan Islam

    moderen, misalnya di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Kecamatan

    Susukan Kabupaten Semarang mempunyai andil yang cukup besar dalam

    mencerdaskan anak bangsa. Selain biaya pendidikan rendah dan dapat terjangkau

    oleh lapisan masyarakat, lembaga pendidikan Islam Pondok Bina Insani dapat

    dijadikan sebagai pandangan dan harapan masyarakat untuk menitipkan putra-

    putrinya mengikuti proses pembelajaran yang dimulai dari tingkat SMP sampai

    SMA. Masyarakat memiliki harapan positif, karena menitipkan putra-putri di

    lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren Bina Insani selain mendapat ilmu

    pengetahuan umum juga mendapatkan ilmu keagamaan yang dapat diterima,

    dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan

    anak terbentuk menjadi anak yang sholeh.

    Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik dan

    akan mengadakan penelitian terkait dengan : Pandangan dan Harapan

    Masyarakat terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen (Study Kasus pada

    Masyarakat Sekitar Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang).

    B. Fokus Penelitian

    1. Bagaimanakah pengelolaan lembaga pendidikan Islam Moderen Pondok

    Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang ?

    2. Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap lembaga pendidkan Islam

    Moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang ?

  • 7

    3. Bagaimanakah harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam

    Moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang ?

    C. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian di Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang

    antara lain :

    1. Untuk mengetahui pengelolaan lembaga pendidikan Islami Moderen di

    Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.

    2. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam

    moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.

    3. Untuk mengetahui harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam

    moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.

    D. Kegunaan Penelitian

    Kegunaan penelitian dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kegunaan

    penelitian secara teoritis dan praktis.

    1. Teoritis

    a. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pengembangan

    salah satu teori yang dapat dipakai dalam pandangan dan harapan

    masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen di Pondok Bina

    Insani Ketapang Susukan Semarang.

    b. Penelitian ini dapat berguna sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.

  • 8

    2. Praktis

    a. Masyarakat

    Masyarakat memiliki andil yang cukup besar dalam memiliki

    pandangan dan harapan tentang lembaga pendidikan islam moderen di

    Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang. Penelitian yang

    dilakukan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi masyarakat di

    lingkungan Ketapang Kecamatan Susukan tentang keberadaan Pondok

    Bina Insani Ketapang Susukan Semarang yang secara langsung

    memberikan kemantapan dalam menitipkan putra-putri di Pondok Bina

    Insani Ketapang Susukan Semarang.

    b. Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang

    Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang merupakan

    lembaga pendidikan baik formal maupun non formal untuk membantu

    mendidik putra-putri anak masyarakat muslim di lingkungan Ketapang

    Kecamatan Susukan. Penelitian yang telah dilakukan dapat dijadikan

    sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pembelajaran secara

    maksimal.

    E. Penegasan Istilah

    1. Pandangan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen

    Pandangan berasal dari kata pandang dan akhiran an. Pandang :

    penglihatan yang tetap dan agak lama (Tri Kurnia Nurhayati, 2003: 510).

    Harapan berasal dari kata dasar harap mendapat akhiran an. Harapan : selalu

  • 9

    berharap; selalu rindu (akan); selalu menanti (Tri Kurnia Nurhayati, 2003:

    272).

    Lembaga : asal mula yang akan menjadi sesuatu, organisasi yang

    bermaksud melakukan sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan sesuatu

    usaha (Tri Kurnia Nurhayati, 2003: 424). Pendidikan : usaha sadar untuk

    menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau

    latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (SISDIKNAS, 1995 : 2-

    3). Islam merupakan agama yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW

    untuk disampaikan kepada pengikutnya (sebagai penyempurna agama

    terdahulu). Moderen yang terbaru (Tri Kurnia Nurhayati, 2003: 465).

    Pandangan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen

    merupakan salah satu pandangan, bahwa keberadaan lembaga pendidikan

    Islam akan mampu mengikuti perkembangan teknologi, yang selanjutnya

    pendidikan moderen itu pada prinsipnya akan mempelajari pelajaran umum

    dan pendidikan agama yang di kemas sedemikian rupa. Pada prinsipnya

    pendidikan Islam moderen itu mampu menerima perkembangan teknologi

    yang dikaitkan dengan dasar hukum baik dalam Al Quran maupun hadits.

    2. Harapan Masyarakat terhadap lembaga Pendidikan Islam Moderen

    Masyarakat akan memiliki harapan yang baik apabila pendidikan Islam

    itu betul-betul dapat dilaksanakan secara moderen. Artinya baik pendidikan

    agama dan pendidikan umum dalam pendidikan Islam betul-betul dipelajari

    pada akhirnya mampu menghantarkan peserta didik menjadi anak yang cerdas

    dan beriman. Harapan masyarakat jangan sampai masyarakat muslim

    tertinggal dengan pendidikan umum. Perpaduan pendidikan umum dan

  • 10

    agama merupakan salah satu pendidikan moderen, sebab didalamnya akan

    terdapat muatan kurikulum yang sama-sama dibutuhkan oleh lembaga

    pendidikan Islam.

    Masyarakat akan lebih senang apabila, anak yang dititipkan di lembaga

    pendidikan Islam itu betul-betul mendapatkan pelajaran agama dan umum,

    sehingga setelah anak belajar dalam kurun waktu tertentu diharapkan menjadi

    anak yang sholeh.

    3. Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang

    Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang merupakan salah

    satu pondok yang didirikan oleh masyarakat muslim di Desa Ketapang

    Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang yang dapat dijadikan sebagai

    tempat untuk memberikan ilmu pengetahuan umum dan agama, sehingga

    mampu membantu masyarakat untuk membina generas-generasi Islami untuk

    berkembang secara baik sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

    F. Metode Penelitian

    1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

    Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif

    deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang

    menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis

    statistik atau cara kuantitatif lainnya. Penelitian kualitatif adalah : Penelitian

    yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

    subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-

    lain (Lexy J. Moleong, 2008: 6).

  • 11

    Penelitian kualitatif dalam hal ini merupakan penelitian dengan

    mengadakan pendekatan-pendekatan pandangan dan harapan masyarakat

    terhadap lembaga pendidikan Islam moderen di Pondok Bina Insani Ketapang

    Susukan Semarang.

    2. Kehadiran Peneliti

    Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus sebagai pengumpulan

    data tentang pandangan dan harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan

    formal di Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang. Peneliti sebagai

    partisipan penuh, pengamat partisipan atau pengamat penuh terhadap

    keberadaan Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.

    3. Lokasi Penelitian

    Lokasi penelitian di laksanakan di Pondok Bina Insani Ketapang

    Susukan Semarang, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut ;

    Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang terletak di lokasi pedesaan

    dan bersahabat dengan masyarakat yang mayoritas beragama Islam.

    Kesederhanaan Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang dalam

    melaksanakan pembelajaran dapat diterima oleh lapisan masyarakat bawah,

    menengah dan atas. Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang

    merupakan satu-satunya pondok yang ada di Ketapang yang selalu

    mengedepankan kepentingan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan

    baik dalam pengetahuan umum maupun pengetahuan agama.

  • 12

    4. Sumber Data

    Sebagai sumber data dalam penelitian tentang pandangan dan harapan

    masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen di Pondok Bina

    Insani Ketapang Susukan Semarang ditujukan kepada informan yang

    meliputi : masyarakat dan pengelola Pondok Bina Insani Ketapang Susukan

    Semarang dan santri yang secara langsung telibat di dalamnya.

    5. Metode Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara,

    diantaranya:

    a. Observasi

    Observasi adalah : Pengamatan; peninjauan secara cermat (Tri

    Kurnia Nurhayati, 2004: 483). Observasi dilakukan untuk mengadakan

    pengamatan dan pencatatan secara langsung tentang lembaga pendidikan

    Islam moderen di Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang yang

    dilakukan secara langsung dan berkesinambungan sampai betul-betul

    mendapatkan data yang diharapkan.

    b. Wawancara

    Wawancara adalah : Tanya jawab peneliti dengan nara sumber

    (Tri Kurnia Nurhayati, 2004: 928). Wawancara dilakukan untuk

    memperoleh data yang secara langsung berhadap-hadapan dengan

    informan yaitu : masyarakat, tokoh masyarakat, wali santri dan pengelola

    Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang dan santri.

  • 13

    Pengumpulan data melalui wawancara dapat dijadikan sebagai

    perolehan data yang kongrit di lapangan yang nantinya dapat dijadikan

    sebagai data yang dapat diuji kebenarannya.

    c. Dokumentasi

    Dokumentasi adalah : Pemberian atau pengumpulan bukti-bukti

    dan sebagainya (Tri Kurnia Nurhayati, 2004: 200). Pengumpulan data

    melalui dikumentasi diperoleh dengan jalan mempelajari data/dokumen

    yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan

    Semarang dan gambar-gambar kegiatan yang dapat mendukung peneliti.

    6. Analisis Data

    Analisis data dilakukan setelah seluruh data di peroleh di Pondok

    Peseanteren Bina Insani Ketapang Susukan sesuai dengan tujuan yang

    diharapkan. Analisis dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

    a. Reduksi Data

    Reduksi data dapat diartikan sebagai pengumpulan berbagai nara

    sumber data dilapangan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian mulai

    dari observasi, dokumentasi maupun wawancara sehingga data yang

    diperoleh merupakan data yang kongrit dan dapat diuji kebenarannya.

    b. Penyajian Data

    Data yang telah dikumpulkan perlu disajikan semaksimal mungkin

    untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Penyajian data

    digunakan untuk menyajikan data yang akutar dari hasil reduksi data baik

    melalui observasi, dokumentasi maupun wawancara. Tujuannya agar

  • 14

    supaya penyajian data yang disusun secara sitematis dapat mudah dibaca

    atau dipahami secara keseluruhan oleh pembaca, sehingga data yang

    disajikan mudah dipahami dan dapat teruji kebenarannya.

  • 15

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Pandangan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen

    1. Pengertian Pandangan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan

    Islam Moderen

    Masyarakat adalah: pergaulan hidup manusia yang hidup bersama

    dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu (Tri Kurnia

    Nurhayati, 2003: 455). Masyarakat ialah : Setiap kumpulan manusia yang

    mengikat dan mempersatukan anggota-anggotanya dengan ikatan materi dan

    moriel (Fadhil Al Djamali, 1992: 67). Dalam konteks kemanusiaan,

    masyarakat dibentuk dan membentuk dengan sendirinya dengan tujuan untuk

    saling menguatkan, saling menolong, dan saling menyempurnakan (Nanih

    Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, 2001: 5).

    Secara sederhana masyarakat dapat diartikan : sebagai kumpulan

    individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan

    agama (Zakiah Daradjat, 2009: 44). Masyarakat merupakan ikatan-ikatan

    dari beberapa anggota keluarga di suatu tempat yang telah melakukan

    aktivitas-aktivitas kehidupan sesuai dengan keadaan sosial, sehingga dengan

    ikatan yang ada mampu menyatukan dalam suatu kelompok yang akhirnya

    mampu membentuk pengaruh timbal balik dalam masyarakat terhadap semua

    aspek kehidupan yang mencakup diantaranya :

    a. Hubungan antara pertumbuhan penduduk dan produksi, distribusi dan penyediaan kebutuhan hidup pokok manusia (pangan, sandang, dan

    papan).

    15

  • 16

    b. Hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi, sosial/budaya dan politik, ketahanan nasional dan keamanan.

    c. Hambatan-hambatan terhadap diterimanya norma keluarga kecil oleh keluarga Indonesia, dengan latar belakang kehidupan ekonomi, sosial-

    budaya dan agama yang berbeda-beda. (Maftuchah Yusuf, 1985 : ix).

    Pandangan masyarakat berdampak pada kegiatan sosial, ini akan terjadi

    keberadaan lingkungan sosial. Lingkungan sosial yaitu merupakan

    lingkungan masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi individu dengan

    individu yang lain, (Bimo Walgito, 2003 : 27). Kehidupan masyarakat di

    lingkungan pada umumnya akan terjadi hubungan timbal balik (interaksi) di

    antara masyarakat. Dalam hal ini akan terjadi sikap individu terhadap

    keberadaan lingkungan di antaranya :

    a. Individu menolak lingkungan, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya.

    b. Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu.

    c. Invididu bersikap netral atau statuskup, yaitu bila individu tidak cocok dengan keadaan lingkungan, tetapi individu tidak mengambil langkah-

    langkah bagaimana sebaiknya. (Bimo Walgito, 2003 : 27-28).

    Keberadaan masyarakat akan tercipta kegiatan belajar. Kehidupan

    masyarakat selalu diikuti oleh kegiatan belajar baik yang menyangkut urusan

    dunia maupun urusan akhirat. Kegiatan masyarakat belajar berlangsung

    seumur hidup. Ketika anak yang baru lahir secara langsung sudah melakukan

    belajar, bahkan sampai mau meninggal dunia masih dituntun untuk

    mengucapkan kalimat-kalimat yang baik supaya kehidupan selanjutnya

    mendapatkan tempat yang layak. Pandangan masyarakat terhadap lembaga

    pendidikan Islam moderen secara umum sangat Baik masyarakat menengah

    maupun bawah akan memiliki penilaian yang tidak sama.

  • 17

    Masyarakat menengah merupakan salah satu keberadaan masyarakat

    yang memiliki kemampuan yang ada di tengah-tengah. Artinya tingkat

    ekonomi dan pendidikan ada di posisi tengah. Jika di lihat dari segi ekonomi

    tidak kaya dan tidak miskin, tetapi dalam kehidupan masyarakat dapat

    berjalan namun pada kebutuhan yang pas-pasan. Dalam hal belajar

    masyarakat menengah memiliki kesempatan untuk menikmati, sehingga

    mampu menghantarkan pada kecerdasan masyarakat. Laju kehidupan yang

    berlangsung saat ini sangat cepat, dinamis dan diwarnai dengan kompetisi

    yang sangat tajam, sehingga mau tidak mau menuntut setiap orang untuk

    senantiasa belajar agar dia memiliki kemamuan antisipatif dan adaptif untuk

    mencegah dan mengatasi berbagai masalah kehidupan yang serba kompleks

    (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/16/menuju-masyarakat-

    belajar: 1).

    Masyarakat memiliki peran dalam proses pendidikan karena anak

    ternyata lebih sering berada di luar rumah daripada di dalam rumah maupun di

    sekolah (Moh. Roqib, 2009: 128). Karena itu, masyarakat berperan

    membentuk dan mengembangkan nilai setiap anak yang hidup dan bergaul di

    dalamnya.

    Masyarakat atas merupakan masyarakat yang kehidupannya berada

    pada posisi kecukupan segala-galanya, baik sandang, papan dan pangan.

    Kehidupan masyarakat atas dalam segala hal sudah dapat dinikmati dan tidak

    kekurangan apapun. Sehingga keberadaan masyarakat atas yang serba

    tercukupi akan memberikan dampak pada kehidupan tingkat masyarakat lain.

  • 18

    Dilihat dari keadaan masyaraka atas yang serta ada yang ditunjang

    oleh berbagai macam fasilitas-fasilitas memberikan leluasa bagi masyarakat

    untuk melakukan kegiatan dalam segala bidang. Sehingga di tuntut

    kedewasaan yang dilandasi oleh iman dan taqwa yang dapat dijadikan sebagai

    bentuk kepedulian memberikan contoh bagi masyarakat bawah. Segala bentuk

    aktivitas masyarakat atas akan di jadikan sebagai tauladan bagi masyarakat

    lain. Artinya tolok ukur masyarakat atas di tengah-tengah masyarakat

    memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan bermasyarakat.

    Tingkatan pandangan dan harapan masyarakat dapat diartikan

    sebagai salah satu tingkatan masyarakat dalam memberikan pandangan

    terhadap sesuatu, yang mana di dalam pandangan masyarakat terdapat

    tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda yang disebabkan adanya perbedaan

    masyarakat.

    Masyarakat memadang lembaga pendidikan (sekolah) sebagai cara

    yang menyakinkan dalam membina perkembangan para siswa (dan

    mahasiswa), karena itu masyarakat berpartisipasi dan setia kepadanya (Made

    Pidarta, 2004: 185). Namun hal ini tidak otomatis terjadi terutama di Negara-

    negara berkembang termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan karena banyak

    warga masyarakat yang belum paham akan makna lembaga pendidikan, lebih-

    lebih bila kondisi social ekonomi mereka rendah, mereka hamper tidak hirau

    akan lembaga pendidikan. Pusat perhatian adalah pada kebutuhan dasar

    kehidupan sehari-hari.

  • 19

    Komunikasi tentang pendidikan kepada masyarakat tidak cukup

    hanya dengan informasi verbal saja. Informasi ini perlu dilengkapi dengan

    pengalaman nyata yang ditunjukkan kepada masyarakat, agar timbul cinta

    positif tentang pendidikan di kalangan mereka. Masyarakat umum pada

    umumnya memang ingin bukti nyata sebelum mereka memberi dukungan

    terhadap sesuatu. Begitu pula hanya dengan pendidikan, mereka juga ingin

    minta bukti. Hal ini perlu diusahakan oleh para manajer pendidikan, misalnya

    lewat pameran setahun sekali.

    Dilihat dari segi pendidikan, masyarakat memiliki peranan yang

    penting. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Sistim Pendidikan Bab XIII

    pasal 47 ayat 1 dan 2 (Sisdiknas, 1994: 18): 1). Masyarakat sebagai mitra

    pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam

    penyelenggaraan pendidikan nasional, 2). Ciri khas satuan pendidikan yang

    diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. Masyarakat memiliki

    peranan penting dalam menyelenggarakan pendidikan nasional, yang

    selanjutnya masyarakat memiliki kemampuan berusaha secara maksimal

    menyelenggarakan lembaga pendidikan mulai dari dasar sampai perguruan

    tinggi dengan harapan membantu pemerintah dalam mencerdaskan

    masyarakat.

    Walaupun masyarakat mempunyai kewajiban mendirikan lembaga

    pendidikan, pada prinsipnya masyarakat juga menempatkan guru pada tempat

    yang lebih terhormat di lingkungannya kaena dari seorang guru diharapkan

    masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan (Moh. Uzer Usman, 1992:

    4). Hal ini berarti bahwa guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju

  • 20

    kepada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan

    Pancasilan.

    Masyarakat dapat diartikan sebagai bentuk kehidupan sosial dan

    merupakan perluasan dari keluarga (Suparlan Suhartono, 2007: 158-159).

    Karena itu, suatu kehidupan masyarakat mempunyai bentuk dan struktur

    berdasarkan tata nilai dan tata budaya sendiri. Tujuan pandangan dan

    harapan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan adalah: iuran

    sebagai sumber daya manusia (SDM) yang cerdas intelektual dan dapat

    difungsikan jika masyarakat menindaklanjuti pembelajaran tersebut dalam

    setiap kegiatan bidang hidup masyarakat. Setiap manusia memiliki

    kesamaan, bahwa tujuan dan pandangan hidup pada akhirnya untuk mencapai

    suatu kebahagiaan baik kebahagiaan yang dialami di dunia maupun

    kebahagiaan nanti di akhirat.

    Karena kebahagiaan selalu diutamakan, tentunya dalam kehidupan ini

    masyarakat selalu berlomba-lomba untuk menjadi masyarakat yang baik, taat

    dan patuh baik dalam melaksanakan ajaran agama maupun peraturan

    pemerintah yang berlaku.

    Kemampuan masyarakat di antara yang satu dengan lainnya memiliki

    perbedaan-perbedaan, yang disebakan tingkat IQ dan kemampuan lain tidak

    sama. Akibatnya dalam memperoleh tujuan di antara masyarakat yang satu

    dengan lainnya memiliki perbedaan-perbedaan yang disesuaikan dengan

    tingkat kemampuan dan usaha yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

    Bekerja dengan keras dan berdoa salah satu factor yang mampu

  • 21

    menghantarkan pada pencapaian tujuan yang diharapkan masyarakat pada

    umumnya.

    2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pandangan Masyarakat terhadap

    Lembaga Pendidikan Islam Moderen

    Faktor-faktor yang mempenaruhi pandangan masyarakat terhadap

    lembaga pendidikan Islam moderen secara umum dipengaruhi oleh faktor

    yang berasal dari dalam diri sendiri dan dari luar diri sendiri. Karena itu dalam

    pembentukan kepribadian faktor individu sendiri akan ikut serta menentukan

    terbentuknya kepribadian masyarakat (Bimo Walgito, 2003 : 135)

    i. Faktor individu itu sendiri atau faktor dalam

    Bagaimana individu menanggapi dunia luarnya bersifat selektif, ini

    berarti bahwa apa yang datang dari luar tidak semuanya begitu saja

    diterima, tetapi individu mengadakan seleksi mana yang akan diterima,

    dan mana yang akan ditolaknya. Hal ini berkaitan erat dengan apa yang

    telah ada dalam diri individu dalam menanggapi pengaruh dari luar

    tersebut. Hal ini akan menentukan apakah sesuatu dari luar itu dapat

    diterima atau tidak, karena itu faktor individu justru merupakan faktor

    penentu.

    ii. Faktor luar atau faktor ekstern

    Yang dimaksud dengan faktor luar adalah hal-hal atau keadaan

    yang ada di luar diri individu yang merupakan stimulus untuk membentuk

    atau mengubah sikap. Dalam hal ini dapat terjadi dengan langsung, dalam

    arti adanya hubungan secara langsung antara individu dengan individu

  • 22

    yang lain, antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan

    kelompok. Di samping itu dapat secara tidak langsung, yaitu dengan

    perantaraan alat-alat komunikasi, misal media massa baik yang elektronik

    maupun yang non-elektronik.

    Hubungan yang secara langsung ini dapat dengan sengaja

    diberikan, misal adanya komunikator yang dengan sengaja memberikan

    sesuatu dengan tujuan untuk membentuk atau mengubah sesuatu

    kepribadian tertentu, dan ada yang secara tidak langsung atau tidak

    sengaja diberikan, yaitu menciptakan situasi yang memungkinkan dapat

    menimbulkan perubahan atau pembentukan sesuatu kepribadian yang

    dikehendaki oleh masyarakat yang berkenaan dengan harapan pendidikan

    islam yang moderen.

    Menurut Hibana S Rahman (2002 : 37) banyak hal yang dapat

    mempengaruhi kondisi anak usia dini, secara garis besar dapat

    dikelompokkan menjadi dua, yaitu : kondisi bawaan dan kondisi

    lingkungan.

    Lingkungan dalam kandungan sangat penting bagi perkembangan

    masyarakat dalam pemahaman pendidikan agama Islam. Karena

    perkembangan janin dalam kandungan mengalami kecepatan luar biasa,

    lebih cepat 200.000 kali dibanding perkembangan sesudah lahir.

    Kemudian di luar kandungan, juga besar pengaruhnya terhadap

    perkembangan anak usia dini. Sebab anak belajar dari apa yang dilihat,

    didengar dan dirasakan, akan menjadi bagaimana seorang anak sangat

    dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan memperlakukan dia.

  • 23

    Perlu diketahui bahwa sebaik-baiknya kalbu seseorang adalah

    ketika dia mampu mengendalikan jasadnya agar selalu melakukan banyak

    kebaikan, menjalankan segala bentuk syariat agama dengan penuh

    kesadaran dan penghayatan (Muhammad Nur Abdul Hafizh, 1999 : 161).

    Untuk memberikan pengetahuan keagaman kepada anak sejak dini perlu

    diberikan pembinaan, sebab pribadi yang telah dihiasi dengan pembinaan

    dan pendidikan, memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam

    kehidupan pribadi seseorang khususnya dan bagi masyarakat pada

    umumnya. Pribadi anak seperti ini tidak akan didapatkan kecuali apabila

    dia telah dididik serta dibina dari segala aspek kehidupan yang dia

    butuhkan. Dan tidak cukup pembinaan ini didapatkan bersandarkan aspek

    lahir dalam diri anak saja, tetapi aspek batin juga merupakan kebutuhan

    anak yang harus terpenuhi.

    Menurut Muh. S. Darwis (2006 : 206) lingkungan merupakan

    tempat dimana manusia melaksanakan aktifitas-aktifitasnya terutama

    dalam pendalaman agama Islam.

    1) Lingkungan Keluarga

    Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak

    mengenali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga merupakan

    madrasah bagi anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan pondasi

    baginya dalam pembentukan watak, kepribadian dan karakternya.

    Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna

    keislaman maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna

    keislaman tersebut. Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam

  • 24

    suasana yang jauh dari nilai-nilai keislaman, maka jelas kelak dia

    akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.

    Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat

    awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara

    menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan kepada diennya. Cinta

    terhadap ajaran Allah dan Rasul Nya, sehingga ketika anak tersebut

    berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut mempunyai daya

    resestensi yang dapat menagkal setiap saat pengaruh negative yang

    akan merusak dirinya.

    Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan

    kepribadian anak yang shalih, maka teladan orang tua merupakan

    faktor yang sangat menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua

    yang bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti memperlihatkan

    sikap yang sesuai dengan kepribadian yang shahih sehingga anak

    dapat dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat orang

    tuanya.

    2) Lingkungan Sekolah

    Sekolah merupakan lingkungan dimana anak-anak

    berkumpul bersama teman-temannya yang sebaya dengannya.

    Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin mereka

    disekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam

    membentuk watak dan karakter anak. Disekolah anak-anak akan

    saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang

    diperolehnya dalam keluarga mereka masing-masing. Anak yang

  • 25

    terdidik secara baik dalam rumah tentu akan memberikan pengaruh

    positif terhadap teman-temannya. Sebaliknya anak yang di rumah

    kurang mendapatkan pendidikan yang baik tentu akan memberikan

    pengaruh yang negatif menurut karakter dan watak-watak sang anak.

    Sekolah yang ditata dengan manajemen yang baik tentu

    akan lebih mampu memberikan hasil memuaskan dibanding sekolah

    yang tidak memperhatikan sistem manajemen. Sekolah yang sekedar

    dibangun untuk kepetingan bisnis semata pasti tidak mampu

    menghasilkan murid-murid yang berkualitas secara maksimal,

    kualitas dalam pengertian intelektual dan moral keagamaan. Oleh

    sebab itu orang tua seharusnya harus mampu melihat secara cermat

    dan jeli. Sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua

    tidak harus memasukkan anak mereka disekolah-sekoalh favorit

    semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan

    akhlak bagi sang anak, karena sekolah memberikan warna baru bagi

    setiap anak didiknya.

    Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah

    akan lebih baik menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya.

    Karena itu sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara

    pelajaran umum dan agama lebih mampu memberikan jaminan bagi

    seorang anak didik.

    3) Lingkungan Masyarakat.

    Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan

    dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya. Karena itu

  • 26

    pengaruh yang ditimbulkan dalam membentuk kepribadian anak jauh

    lebih besar.masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam

    kemaksiatan sangat mempengaruhi perubahan watak anak kearah

    negative. Dalam masyarakat seperti ini tumbuh berbagai masalah

    yang merusak ketenangan, kedamaian, dan ketentraman.

    Anak yang telah terdidik secara baik oleh orang tuanya

    untuk selalu taat dan patuh pada perintah Allh SWT. Dan Rasulnya

    dapat terpengaruh oleh lembah kemaksiatan yang merajalela di

    sekitarnya. Oleh kerena itu orang tua harus mancari lingkungan

    masyarakat yang baik bagi anaknya. Apalagi menemukan lingkungan

    yang baik maka kemungkinan besar anak akan terbentuk sebagai

    insane yang baik, dan sebaliknya jika mendapatkan lingkungan yang

    jelek maka kemungkinan besar akan jelek.

    Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan

    anak. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segal

    sesuatu yang ada di sekitar anak didik baik berupa benda-benda,

    peristiwa yang terjadi maupun kondisi masyarakat terutama yang

    dapat memberikan pengaruh kuat kepada anak, dan lingkungan di

    man anak-anak bergaul sehari-hari (Asnelly Ilyas, 1995 : 64)

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selain faktor

    pembawaan, lingkungan juga sangat berpengaruh pada anak. Jika

    ketiga lingkungan tersebut di atas semuanya itu baik maka

    dimungkinkan tercipta generasi yang baik mudah kita dapatkan.

    Namun sebaliknya jika dari ketiga lingkungan ini semuanya atau

  • 27

    salah satu dari itu mengalami polusi atau kerusakan maka untuk

    menciptakan generasi yang benar dan baik sungguh sulit untuk

    dilakukan.

    Pada akhirnya dapat di ambil suatu kesimpulan, bahwa pandangan

    masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen dapat di lihat dari

    beberapa sudut pandangan baik di lihat dari diri sendiri maupun luar diri

    sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan

    pendidikan yang berdampak pada peningkatan kontribusi keimanan yang lebih

    baik.

    B. Harapan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen

    (Pondok Pesantren Moderen)

    1. Pengertian Harapan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam

    Moderen

    Sebelum disampaikan pengertian harapan masyarakat terhadap

    lembaga pendidikan Islam moderen, terlebih dahulu disampaikan tentang

    pendidikan, pendidikan Islam dan pendidikan Islam moderen.

    Menurut Poerbakawatja dan Harahap dalam M. Dalyono (2007: 6)

    pendidikan adalah :

    Usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya

    meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu

    menimbulkan tanggung jawab moral dari segala perbuatannya.

    Orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang yagn atas dasar

    tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik,

    misalnya: guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan

    keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya.

  • 28

    Menurut Tim Dosen FIP-IKIP Malang (1988: 7) pendidikan adalah

    Aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan

    jalan membina potensi-poensi pribadinya, yaitu rokhani (piker, karsa, rasa,

    cipta dan budinurani) dan jasmani (pancaindera serta ketrampilan-

    ketrampilan). Definisi yang lain tentang pendidikan ialah : Suatu usaha

    yang sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang

    diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan

    tabit sesuai dengan cita-cita pendidikan (Amir Daien Indrakusuma, 1973:

    27).

    Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai

    dengan 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor dalam Nur Uhbiyati (198: 11)

    menyatakan pendidikan Islam adalah: Bimbingan terhadap pertumbuhan

    rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan,

    mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakuknya semua ajaran

    Islam. Definisi lain tentang pendidikan Islam adalah upaya normatif yang

    berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus

    didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun

    praktik pendidikan (Achmadi, 2005: 83).

    Pada masa moderen ini, Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah :

    Proses perubahan menuju kearah yang positif (Moh. Roqib, 2009: 18).

    Pendidikan Islam dalam konteks perubahan ke arah yang positif ini identik

    dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk

    menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Pendidikan Islam ialah :

    Usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah

  • 29

    keberagaman (religiousitas) subyek didik agar lebih mampu memahami,

    menghayati dan mengalamkan ajaran-ajaran Islam (Achmadi, 2005: 29).

    Berdasarkan pengertian pendidikan di atas, maka yang dimaksud

    lembaga pendidikan Islam moderen adalah pondok pesantren yang

    mengajarkan pelajaran umum dan agama yang dikemas dalam pembelajaran

    yang dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, sehingga para santri terbekali

    dengan disiplin ilmu. Sebelum disampaikan permasalahan yang ada kaitannya

    dengan pesantren moderen terlebih dahulu akan disampaikan pesantren

    tradisional. Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk

    menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia mengenai

    pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya dikenal istilah

    pesantren atau pondok (Zamakhsyari Dhofier, 1990 : 18) atau pondok

    pesantren (H.A. Mukti Ali, 1987) istilah Dayah atau Rangkang atau

    Meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut Surau (M. Dawam Raharjo,

    1995 : 5).

    Adapun istilah pesantren sendiri berasal dari kata santri dengan

    awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal sendiri. Kadang-kadang

    didefinisikan melalui ikatan kata Sant (manusia baik) dihubungkan dengan

    suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat

    pendidikan manusia baik-baik (A. Hamid, 1976: 2). Pesantren berasal dari

    kata santri yang berarti seorang yang belajar agama Islam (tempat orang

    berkumpul untuk belajar agama Islam) (Soegarda Poerbakawatja, 1976 : 16).

    Secara terminologi pengertian pesantren memiliki makna yang berbeda antara

    tokoh yang satu dengan yang lain seperti Abdurrahman Wahid (1988: 77)

  • 30

    memaknai pesantren secara tehnis yaitu a place where santri (student) live.

    Abdurrahman Masud menguatkan definisi pesantren melalui tulisannya : the

    word pesantren stems from santri which means one who seeks Islamic

    knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri

    devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge

    (Abdurrahman Masud, 1998: 34).

    Demikianlah pesantren didefinisikan oleh para pengamatnya, variasi

    definisi yang dihasilkan merupakan apresiasi dari para ilmuwan yang tidak

    bisa dihindari dan ditolak. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan

    persepsi, pendapat, latar belakang, pendekatan mereka dalam membidik

    pesantren sebagai objek perhatian, penelitian dan kajian. Untuk itulah variasi

    dan perbedaan yang muncul, justru semakin menambah khasanah dan wacana

    yang sangat diharapkan secara intelektual dan akademik. Pesantren yang

    diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini

    masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat (Moh.

    Roqib, 2009: 149). Meskipun demikian, peran pesantren saat ini boleh

    dikatakan sangat terbatas karena pengelolaannya kurang kredibel dan fasilitas

    yang dimiliki juga apa adanya.

    Lembaga Islam moderen atau pondok pesantren pada akhirnya

    memiliki prinsip untuk membentuk kader-kader islami yang taat. Ketaatan

    beragama membawa dampak positif terhadap pembangunan, karena

    pengalaman, membuktikan bahwa semakin taat seseorang dalam beragama

    semakin positif sikapnya terhadap peningkatan kesejahteraan umat. Karena

  • 31

    agama mengandung ajararn yang berhubungan dengan kepentingan

    masyarakat (Jalaluddin dan Ramayulis, 1992: 129).

    Menurut HA. Timur Jaelani dalam Nur Uhbiyati (1997: 240)

    mengatakan bahwa dalam kenyataan penyelenggaraan pendidikan dan

    pengajaran di pondok pesantren dapat digolongkan menjadi tiga bentuk yaitu:

    a. Yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah

    lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam pada umumnya

    pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal

    (system bandungan dan sorongan). Dimana seorang kyai mengajar santri-

    santri berdasarkan kibat-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama-

    ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal

    dalam pondok/asrama dalam pesantren tersebut.

    b. Yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah

    lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya

    sama dengan pondok pesantren tersebut di atas tetapi para santrinya tidak

    disediakan pemondokan di komplek pesantren, namun tinggal tersebar di

    seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong), di mana

    cara dan metode pendidikan dan pengajaran Islam diberikan dengan

    system waton yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu

    tertentu (umpama tiap hari Jumat, Minggu, dan sebagainya).

    c. Pondok pesantren dewasa ini adalah merupakan

    lembaga gabungan antara system pondok dan pesantren yang memberikan

    pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan system bandongan,

    sorongan, ataupun watonan. Para santri disediakan pondokan atau

  • 32

    merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok moderen

    memenuhi criteria pendidikan nonformal serta menyelenggarakan juga

    pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam

    berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan

    masyarakat masing-masing.

    Pesantren memiliki unsur minimal tiga hal, yaitu : (1) adanya Kyai

    yang mengasuh/mendidik, (2) santri yang belajar, dan (3) masjid (Marwan

    Saridjo, 1982: 9). Tiga unsur ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya

    atau bagi pesantren-pesantren kecil yang belum mampu mengembangkan

    fasilitasnya. Unsur pesantren dalam bentuk tersebut mendeskripsikan

    kegiatan belajar-mengajar ke-Islaman yang sederhana (Mujamil Qomar: 19).

    Seiring dengan perkembangan zaman pesantren terus mengalami

    perkembangan unsur-unsurnya, seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier

    dalam bukunya Tradisi Pesantren bahwa ada lima elemen dasar dalam sebuah

    pesantren, yaitu : (1) pondok, (2) masjid, (3) santri, (4) pengajaran kitab-kitab

    klasik, dan (5) kyai. Sementara Abdurrahman Wahid, membagi lingkungan

    pesantren menjadi tiga komponen dasar. Pertama, pesantren sebagai institusi

    pendidikan Islam dan sebagai institusi praktek mistis. Kurikulum yang

    dipakai bervariasi, mencakup keterampilan membaca dan menulis Arab,

    membaca Al Quran, mempelajari hukum-hukum Islam dan ibadah ritual.

    Kedua, kyai, mereka adalah para ahli agama yang telah menjadi guru dan

    pemimpin yang disebabkan oleh kelulusan pengetahuan keagamaan mereka

    yang disertai kepemilikan kekuatan mistik. Ketiga, pelajaran atau santri, yang

  • 33

    sering menyerahkan ketaatan seluruh hidupnya kepada kyainya (Abdurrahman

    Masud, 2004: 11-12).

    Kurikulum pada pondok pesantren tradisional hingga sekarang masih

    diterapkan dan kurikulum modern dikembangkan secara penuh. Pesantren

    yang menggunakan sistem tradisional dan modern, seperti sekolah/madrasah

    tidak semuanya mengacu pada kurikulum pemerintah. Manfred Zimek dalam

    Sujoko Prasodjo (1982 : 83) membagi jenis-jenis pesantren dalam beberapa

    kategori : Pertama, pesantren yang paling sederhana yaitu masjid digunakan

    sekaligus sebagai tempat pengajaran agama. Biasanya digunakan oleh para

    santri yang ikut kegiatan tarikat dan santri tidak tinggal di pesantren. Hal

    inilah sebagai awal dari berdirinya sebuah pesantren. Kedua, pesantren

    disamping ada rumah kyai dan masjid, ada asrama yang dapat dijadikan

    sebagai tempat belajar sekaligus tempat tinggal, inilah yang sering disebut

    sebagai pondok pesantren klasik. Ketiga, pesantren terdiri dari beberapa

    komponen, disamping danya komponen-komponen di atas, diperluas lagi

    dengan adanya madrasah. Hal ini menunjukkan dorongan modernisasi dari

    Islam pembaharuan.

    Pesantren disamping mempelajari pengetahuan agama juga

    mempelajari tentang pengetahuan umum, kurikulum yang digunakan

    berorientasi pada sekolah yang berada di bawah organisasi pemerintah.

    Keempat, pesantren paling modern yang sekarang sedang berkembang dan

    terus bergema di seluruh Indonesia, hampir semua pondok pesantren

    mengembangkan tipe ini. Pesantren model ini disamping adanya fasilitas

    yang lengkap juga program-program tambahan yang bisa dijadikan sebagai

  • 34

    alat untuk mengembangkan ilmunya setelah selesai mengenyam pendidikan di

    pesantren.

    Berbeda dengan Manfred Ziemek, Zamakhsyari Dhofier (1999: 134)

    mengelompokkan pesantren menjadi dua, Pertama, pesantren Salaf, yaitu

    pesantren yang pengajarannya terfokus pada kitab-kitab klasik dalam bentuk

    hafalan, sorogan, bandongan, wetonan dan lain-lain. Santri pada pesantren ini

    biasanya tunduk pada kyai, penghormatan pada kyai begitu besar. Dalam hal

    pemikiran, santri salaf kurang menerima adanya pengaruh-pengaruh dari luar

    baik melalui media cetak maupun media elektronik. Pesantren salaf biasanya

    pola pikirnya cenderung tekstual, kurang mau mengapresiasi apa yang

    berkembang di luar, karena wacana berpikirnya terbatas pada teks-teks klasik

    yang cenderung menonton dan tidak pernah dilatih untuk mengupas

    teori/realita sosial yang berkembang dalam masyarakat.

    Kedua, pesantren modern cenderung menggunakan logika dalam

    berpikir, biasanya lebih menguasai dari pada bahasa Arab dan Inggris. Model

    pendidikan hampir sama dengan pendidikan sekuler (barat). Pendidikan

    agamanya tidak terlalu kuat, lebih mengedepankan pada pendidikan

    umumnya. Buku-buku yang dijadikan bahan rujukan adalah buku ambilan

    dan tidak belajar kitab kuning Manfred Ziemek, Zamakhsyari Dhofier (1999:

    199-200). Abdullah Syukri Zarkasyi memberi tambahan satu yaitu perpaduan

    antara tradisional dan modern yang hingga sekarang sering kita temui

    termasuk dalam kajian penulis yaitu pondok pesantren yang setengah

    tradisional dan setengah modern (Muhammad Yunus, 1983: 226-227).

  • 35

    Dalam era globalisasi, hampir semua sendi kehidupan umat manusia

    mengalami perubahan yang amat dahsyat. Institusi sosial, kemasyarakatan,

    kenegaraan, keluarga, dan bahkan tidak terkecuali institusi keagamaan, tidak

    luput dari pengaruh globalisasi, bagaimana reaksi pesantren menghadapi

    perubahan zaman sudah tentu bermacam-macam, ada yang membuka, ada

    yang menutup diri karena tantangan kontemporer adalah persoalan

    modernitas, maka tantangan kaum santri adalah merespons perubahan

    sosial yang diakibatkan oleh munculnya ide-ide atau gagasan modernitas

    itu sendiri.

    Kaum santri mengukur modernitas berdasarkan tahapan kemajuan

    yang tampak pada realitas kehidupan manusia dalam suatu masa tertentu. Tak

    ada kepastian titik awal sejarah yang dapat digunakan sebagai tanda

    dimulainya suatu era modern. Bahkan pendefinisian kata modern sendiri

    terkadang tidak bisa menegaskan keberadaannya sebagai konsep pemaknaan

    terhadap suatu fenomena empirik secara utuh dan menyeluruh. Di bidang

    keagamaan dapat diungkapkan bahwa modernitas yang dipahami secara

    relatif, pada hakekatnya bukanlah hal yang asing dalam tradisi Islam. Sejarah

    abad pertengahan menampilkan bukti empirik bagaimana modernitas malah

    memberi warna dominan pada wacana keislaman.

    Pada dasarnya modernitas mengandalkan adanya proses modernisasi,

    sehingga ia tidak mungkin dipahami sebagai bentuk. Jadi modernitas adalah

    capaian yang diproduksi oleh perubahan dari hal-hal yang berbau tradisional

    menuju situasi/kondisi modern. Bila dikelompokkan secara garis besar,

    perubahan yang terjadi dalam proses modernisasi tersebut dapat dilihat dalam

  • 36

    2 segi yaitu : (1) perubahan yang berkaitan dengan tata nilai atau norma-

    norma ideal, dan (2) perubahan yang lebih bersifat materi atau menyangkut

    sesuatu yang kasat mata Manfred Ziemek, Zamakhsyari Dhofier (1999: 144).

    Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, yang berkaitan erat

    dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam di kawasan ini,

    mempengaruhi dinamika keilmuan di lingkungan pesantren. Gagasan

    modernisasi Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20, pada

    lapangan pendidikan direalisasikan dengan membentuk lembaga-lembaga

    pendidikan modern. Pemrakarsa pertama adalah organisasi-organisasi modern

    Islam seperti Jamiat Al-Khoir, Al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain

    (Azyumardi Azra, 1998: 90).

    Keberhasilan tersebut menggugah para ahli dalam merespons

    perubahan zaman melalui strategi perjuangan yang harus dimiliki para elit dan

    santri seperti, Nur Cholis Madjid menekankan rekonstruksi pemikiran dengan

    strategi modernisasi yang diartikan sebagai rasionalisme atau sekularisasi

    (Nur Cholis Madjid, 1981: 9). Sementara Amin Rais memberi tekanan pada

    integralisasi berbagai aspek kehidupan dalam konteks tauhid (Amin Rais,

    1987 : 102), sedangkan Dawam Raharjo lebih menekankan pengelolaan SDM

    (Dawam Raharjo, 1981: 22 & 34). Selanjutnya, pemikiran Abdurrahman

    Wahid yang merupakan bingkai intelektual golongan ulama memberikan

    tekanan pada legitimasi religi berdasarkan hukum fiqih dalam berbagai

    masalah kehidupan pragmatis, baik aspek budaya, sosial ekonomi maupun

    politik (Abdurrahman Wahid, 1984: 31-38). Namun, mereka sepakat dalam

    menempatkan politik sebagai alt mencapai tujuan dan realisasi cita-cita politik

  • 37

    Islam, sehingga sikap dan pandangan politik santri itu berkembang dan

    berubah sejalan dengan perubahan kondisi objektif kehidupan sosial, ekonomi

    dan politik (Said Aqiel Siradj: 123).

    Mengenai sikap kaum santri dalam merespons tantangan

    modernisasi, dewasa ini ada dua kecenderungan. Pertama, jebolan pesantren

    an sich adalah memiliki rasa ketaatan dan kepatuhan yang lebih terhadap

    kyai-ulama sehingga apa saja yang diperintahkan oleh seorang kyai akan

    selalu dilakukan tanpa ada bantahan. Kedua, sikap seperti itu mulai mencair

    terutama di kalangan kaum santri jebolan pesantren dan berpendidikan umum,

    sebab bagi mereka sikap tunduk dan patuh tanpa resurve adalah sikap feodal

    yang bertentangan dengan inti ajaran Islam sebagaimana firman Allah surat

    An-Nahl ayat 43 :

    Artinya : Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang

    lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah

    kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

    mengetahui. (Departemen Agama RI, 2002: 535-536).

    Dari kedua fenomena itu, agaknya terkesan ada dua komunitas yang

    kontradiktif sehingga muncul pertanyaan apakah perubahan itu diakibatkan

    oleh kaum santri terpelajar yang makin menjauhi tradisi pesantren, ataukah

    pihak para pengasuh podok pesantren sendiri yang tidak mau membuka diri

    dengan perubahan orientasi atau wawasan masyarakat yang mudah menerima

    informasi dari berbagi penjuru (Said Aqiel Sirodj : 136-137).

  • 38

    Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosiokultural sering

    kali membentur pada aneka kemapnan, dan berakibat pada keharusan untuk

    mengadakan usaha konstektualisasi bangunan sosio-cultural dengan dinamika

    modernisasi, tak terkecuali pendidikan pesantren. Karena itu, sistem

    pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman

    tentang ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive. Keharusan untuk

    mengadakan rekonstruksi ini sesungguhnya sudah dimaklumi. Bukankah

    dunia pesantren telah memperkenalkan sebuah kaidah yang sangat jitu yaitu

    Al-Mukhafadhah ala al-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.

    Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi.

    Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan

    tidak terlepas dari bingkai al-ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia

    pesantren, diharuskan mengadkan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari

    kemajuan dunia modern, maka aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang

    harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap

    terhadap perubahan dan tuntutan zaman berwawasan masa depan, selalu

    mengutamakan prinsip efektifitas dan efisiensi (Said Aqiel Sirodj : 216-217).

    Sementara itu modernisasi terhadap pesantren selama dasawarsa

    terakhir ini sangat gencar dilakukan munculnya pendidikan formal baik dalam

    sistem madrasah maupun sekolah-sekolah umum yang mengadopsi

    Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah

    pesantren mampu bertahan, terutama dalam kedudukannya sebagai sumber

    kekayaan spiritual seperti pesantren pada masa tradisional itu, sebab proses

    modernisasi dengan inti liberalisasi dan rasionalisasi adalah sangat mungkin

  • 39

    memudahkan watak pesantren (Said Aqiel Sirodj: 101). Karena itu

    Nurcholish Madjid menilai bahwa ada beberapa faktor mendasar yang perlu

    diperhatikan. Pertama, kurikulum, karena arah dan tujuan pesantren serta

    sepak terjangnya dalam kehidupan bermasyarakat akan sangat bergantung

    pada faktor ini. pesantren pada umumnya tidak memiliki target-target

    tertentu, dalam capaian pembelajaran. Kedua, materi pelajaran, pesantren

    terfokus pada disiplin ilmu-ilmu agama tertentu terutama pada fiqh, nahwu

    sharaf, dan balaghah. Sedangkan ilmu-ilmu lain kurang mendapat perhatian,

    apalagi keilmuan yang tidak berakar pada konsep agama, tidak mendapat

    posisi sewajarnya terkecuali sebagian kecil pesantren (Nurcholis Madjid : 93).

    Pesantren memiliki akar sosio historis yang cukup kuat, sehingga

    mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan

    masyarakatnya, sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.

    Jika terdapat perubahan dan inovasi pun, hal itu merupakan bagian penting

    terhadap kelangsungan hidup manusia. Akibatnya muncul perubahan seperti

    budaya, pendidikan dan lain-lain. Pendidikan bukan hanya menjadi salah satu

    faktor penting terjadinya perubahan, tetapi secara luas dipandang sebagai alat

    kekuasaan yang memungkinkan pencapaian sosial dan pribadi. Seperti di

    dunia ketiga terdapat semboyan : Pendidikan adalah kunci modernisasi

    (Achmad Djaenuri, 2001: 87-88).

    Pendidikan merupakan kekuatan inovatif yang dapat digunakan untuk

    proses perubahan lebih lanjut dalam masyarakat, suatu ide yang (meskipun

    kembali ke Plato) telah mendapat perhatian serius dari tenaga pendidik dan

    para pembuat keputusan pada kurun waktu terakhir ini.

  • 40

    Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang

    pesat menuntut semua pihak memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan

    kompetitif, termasuk para santri di pesantren. Mereka harus memenuhi

    standar profesionalisme dan spesialisasi pada bidangnya masing-masing, agar

    dapat bersaing mengikuti kebutuhan zaman. Kenyataan inilah yang

    mengharuskan pondok pesantren mencari bentuk dan rumusan pendidikan

    baru sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan iptek. Tantangan

    yang dihadapi pondok pesantren makin hari makin berat, makin kompleks dan

    mendesak. Tantangan ini menyebabkan terjadinya perubahan nilai di

    pesantren, bak tentang sumber belajar, pengelolaan pendidikan yang

    profesional, nilai religius, tata moral kepribadian, dan bahkan muatan

    kurikulum serta kelembagaannya. (Sahal Mahfudh, 1999 : 47-48).

    Perubahan itu muncul tidak jelas, kapan waktunya, namun dapat

    diprediksi + abad 20 pesantren telah mengadakan beberapa perubahan,

    Pondok Pesantren Mambaul Ulum Surakarta mengambil tempat paling depan

    dalam merombah bentuk respons terhadap ekspansi Belanda dan pendidikan

    modern Islam (Azzumardi Azra, 1999 : 100). Selanjutnya pada tahun 1916

    dengan seizin KH. Hasyim Asyari, Kyai Maskum telah memperkenalkan

    sistem madrasah di pesantren (Lathiful Khuluq, 2000 : 35-36). Namun

    pembaharuan tersebut tidak menghilangkan metode pengajaran tradisional

    semacam halaqoh dan sorogan. Perubahan tersebut bisa dilihat dari model

    pengajarannya satu tahun kelas persiapan dan lima tahun program madrasah.

    Kelas persiapan diberi pengajaran bahasa Arab. Kurikulum madrasah hingga

  • 41

    tahun 1919 hanya mengajarkan pelajaran agama, Matematika dan Geografi

    yang diberikan.

    Secara global, perubahan tata nilai pesantren dapat diidentifikasi

    melalui beberapa indikator. Pertama, kyai bukan lagi merupakan satu-satunya

    sumber belajar, karena para santri bisa mendapatkan pelajaran dari sumber-

    sumber baru dari luar. Fenomena ini merupakan efek langsung dari tingginya

    dinamika komunikasi dan informasi yang masuk ke dunia pesantren.

    Akibatnya banyak santri yang sudah berani melanggar koridor larangan dan

    perintah kyai. Keberanian bukan berarti melanggar norma agama, tetapi

    keberanian membantah dan mendebat akibat dari tumbuhnya daya kritis

    pikirannya. Dengan daya kritis tersebut maka kharisma dan posisi sakral kyai

    mulai luntur di mata sebagian para santri.

    Kedua, banyaknya pesantren yang menyelenggarakan jenis

    pendidikan formal, seperti madrasah, sekolah umum hingga perguruan tinggi.

    Kecenderungan ini sedikit banyak akan mempengaruhi ciri khas dan identitas

    pondok pesantren, sehingga perilaku dan budaya para santri berubah. Hal ini

    diakibatkan dari terasimilasinya kultur baru yang dibawa oleh murid yang

    berstatus sebagai santri kalong (tidak menetap, pulang pergi) ke dalam kultur

    pesantren. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ini juga memiliki

    dampak positif. Misalnya, tumbuh suburnya sekolah umum di pondok

    pesantren akan membawa perubahan baru terhadap orientasi dan performa

    pondok pesantren itu sendiri, pesantren menjadi lebih terbuka, dinamis, cepat

    belajar, dan harus senantiasa mengevaluasi perkembangan dirinya.

  • 42

    Ketiga, seiring dengan perubahan tersebut, ada tuntutan baru,

    terutama dari lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah

    yang mensyaratkan setiap santri memiliki surat tanda lulus belajar melalui

    STTB. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut mendapatkan informasi awal

    yang cukup untuk mengetahui kemampuan para santri dan latar belakang

    keilmuannya. STTB tersebut dapat difungsikan untuk melanjutkan ke tingkat

    pendidkan yang lebih tinggi sesuai bidangnya. Di era modern ini, pesantren

    tidak cukup hanya mengandalkan moral para santri saja. Para santri perlu

    dilengkapi dengan keahlian, keterampilan yang relevan enggan kebutuhan

    lapangan kerja, walaupun bursa kerja bukan merupakan satu-satunya tujuan

    para santri.

    Keempat, sehubungan dengan hal tersebut maka di kalangan santri

    terdapat kecenderungan yang makin kuat untuk mempelajari sains dan

    teknologi pada lembaga-lembaga pendidikan formal, baik di madrasah

    maupun sekolah umum. Di sana mereka dapat belajar untuk memperoleh

    keahlian/ketrampilan yang diinginkan, tetapi mereka juga ingin tetap belajar

    di pesantren untuk mendalami agama dalam rangka memperoleh moral agama

    (Abdurrahman Wahid, 1984 : 47-48).

    Pada tahun 1920-an pondok pesantren mulai ada tanda-tanda

    perubahan yang diawali adanya eskperimen dengan mendirikan sekolah-

    sekolah di kalangan pondok pesantren sendiri. pada tahun 1930-an pesantren

    sudah memperlihatkan percampuran kurikulum dan mencapai puncaknya pada

    tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, yaitu adanya sekolah non agama yang

    berdiri di sekitar pondok pesantren, dengan disiplin agama yang diberikan

  • 43

    sebagai pelajaran ekstrakurikuler selama beberapa jam, yang akhirnya

    menghasilkan jaringan luas dengan sekolah-sekolah di berbagai daerah di

    Jawa (Said Aqiel Siradj : 19-20).

    Di masa yang akan datang pesantren harus mampu memberikan

    kontribusi buat masyarakat, tenaga kerja yang memiliki moral dan etika

    pesantren, serta ulama yang dapat berpartisipasi dalam globalisasi yang

    masyarakatnya berorientasi teknologi, serta merekonstruksi diri dalam

    beberapa aspek/bidang dalam rangka eksistensinya dan kontribusinya bagi

    masyarakat dan bangsa yang terus berkembang.

    2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harapan dalam Pendidikan Agama

    Islam Moderen

    Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan masyarakat terhadap

    lembaga pendidikan Islam moderen salah satunya dilihat dari adanya

    perubahan-perubahan yang positif. Pesantren mulai mengadakan perubahan

    pada aspek-aspek tertentu, sehingga telah mengalami perubahan dalam suatu

    pesantren (Abdurrahman Masud: 250-251). Adapun aspek-aspek tersebut

    adalah sebagai berikut :

    i. Kurikulum

    Pendidikan yang dianggap sebagai kekuatan inovatif dapat

    difungsikan untuk mengadakan proses perubahan lebih dalam terhadap

    masyarakat. Pada masa lalu, proses belajar mengajar hanya menekankan

    tentang masa lalu, tidak menekankan masa kini ataupun masa yang akan

    datang. Fungsi dasar sistem pendidkan biasanya dipandang sebagai

  • 44

    pemeliharaan atau transmisi budaya tradisional, namun sekarang lembaga

    pendidikan dipandang sebagai alat perubahan, dan investasi besar dalam

    lembaga ini dan dilakukan oleh seluruh dunia (Achmad Djaenuri : 3).

    Keyakinan terhadap pendidikan modern juga dimiliki oleh masyarakat

    dunia, di mana-mana pendidikan dianggap sebagai saluran mobilitas

    pribadi, dan tuntutan akan peluang pendidikan yang lebih tinggi telah

    menimbulkan tekanan besar bagi pemerintah. Dengan demikian

    pemerintah segera mendesain kurikulum yang sesuai dengan perkembangan

    dunia modern termasuk kurikulum dalam pesantren.

    Pembahasan mengenai kurikulum sebenarnya belum banyak dikenal

    pesantren, bahkan di Indonesia term kurikulum belum pernah populer pada

    saat proklamasi kemerdekaan, apalagi sebelumnya. Berbeda dengan

    kurikulum, istilah materi pelajaran justru mudah dikenal dan mudah

    dipahami di kalangan pesantren. Namun dalam hal kegiatan baik yang

    berorientasi pada pengembangan intelektual, ketrampilan, pengabdian

    maupun kepribadian agaknya lebih tepat digunakan istilah kurikulum

    (Mujamil Qomar : 108).

    Dengan demikian rekonstruksi terhadap kurikulum di pesantren pun

    sudah saatnya berubah. Pesantren tidak dijejali kurikulum-kurikulum yang

    mengacu pada aspek kognitif seperti pengetahuan (ilmu-ilmu) fiqh, nahwu

    sharaf dan tasawuf, teapi juga perlu adanya aspek afektif dan psikomotorik.

    Keadaan kurikulum pendidikan pesantren yang demikian terutama

    dalam kurikulum fiqh, theologi dan tasawuf memberikan sebuah

    konsekuensi pada eksklusivisme pondok pesantren dan pemikiran-

  • 45

    pemikiran lain, kecuali pemikiran yang dikembangkan oleh madzhab

    Syafii, Asyari, dan al Ghazali. Bahkan hampir-hampir ajaran Islam hanya

    dipahami sebagai ajaran yang menyangkut fiqh, dan tasawuf yang

    dikembangkan oleh ketiga tokoh pemikir masa lampau itu saja.

    Implikasi dari eksklusivisme ini terwujud dalam tidaknya budaya

    kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisi pendidikan pesantren. Kebebasan

    akademik hampir tidak diakui lagi dan sistem munadzarah pun hilang dari

    tradisi pesantren (Said Aqiel Sirodj : 212-214). Sehubungan dengan hal itu,

    dapat dipahami bahwa pendidikan pesantren pada masa awal diorientasikan

    pada taabbud kepada Allah dan serangkaian amalan-amalan yang

    menghiasinya.

    Pesantren kontemporer sering menawarkan pengetahuan agama

    secara lengkap dengan memiliki beberapa guru yang mengajar berbagai

    pelajaran. Pada pesantren yang telah mengadopsi kurikulum dari

    pemerintah, para santri mendapat pengetahuan lebih luas. Karena para

    santri ini juga belajar pendidikan umum, waktu untuk mengkaji pelajaran

    agama berkurang. Oleh karenanya, permasalahan yang muncul adalah

    dimanakah sekarang memperoleh pendidikan agama yang mendalam untuk

    bisa menjadi seorang ulama (Abdurrahman Masud : 250-251).

    Dibalik orientasi yang menuju pada tatanan modernisasi pada dunia

    pesantren seperti sekarang ini, pesantren justru malah mendapat kesan

    negatif dari masyarakat, karena telah membiarkan pendidikan moral dengan

    agamanya terjatuh. Beberapa ulama salaf memandang modernisasi

    pesantren yang dijalankan dengan cara mengurangi pendidikan agama

  • 46

    kurang dari 50% maka kekuatan pada pesantren tradisonal akan runtuh,

    karena nilai-nilai moralitas akan menurun. Hal ini diakibatkan adanya

    santri yang tidak lagi berorientasi pada aspek moral tapi berorientasi pada

    aspek intelektual. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang

    menginginkan adanya pesantren yang bersifat tradisional dan ingin putera-

    puterinya dididik dengan cara itu dari pada dididik dengan materi yang

    bersifat sekunder (kebarat-baratan). Seperti pada Pondok Pesantren

    Lirboyo Kediri, Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang, hingga saat ini

    tetap eksis di tengah derasanya arus globalisasi.

    ii. Kelembagaan

    Barangkali satu-satunya faktor terpenting penyebab terjadinya

    kerusakan dan stagnasi pendidikan dan pemikiran adalah batasan Islam

    tentang ilmu pengetahuan yang diterima. Meskipun ilmu pengetahuan

    sangat dihargai dan pencarian ilmu itu selalu dianggap penting (kedua

    faktor yang memungkinkan Islam memberikan sumbangan khusus bagi

    peradaban dunia) (Achmad Djaenuri : 89), batasan yang benar dan

    pandangan yang mendasarinya tidak sesuai dengan permasalahan.

    Kebebasan berfikir tidak pernah menjadi nilai sentral kebudayaan dan

    masyarakat muslim, asal dan karakter sistem pendidikan terefleksikan

    memperoleh sebanyak mungkin kebijaksanaan yang bisa dipercaya,

    sehingga proses pendidikan akan mampu mengikuti perkembangan

    teknologi.

  • 47

    Sebagai suatu proses, pendidikan membutuhkan lembaga (institusi),

    yang salah satu artinya adalah (organisasi) yang bertujuan melakukan

    penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Tim Penyusun Kamus

    Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991 : 580). Karena itu

    lembaga pendidikan merupakan organisasi yang bertugas

    menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar.

    Seperti bentuk pendidikan lainnya, pendidikan santri juga

    membutuhkan lembaga yang terkenal dengan sebutan pesantren. Pesantren

    juga telah mengalami perubahan dan pengembangan format yang

    bermacam-macam mulai dari surau (langgar) atau masjid hingga pesantren

    yang makin lengkap.

    Pada awal pertumbuhan Islam di Indonesia, masjid atau surau

    (langgar) memiliki dwi fungsi yaitu sebagai tempat ibadah sekaligus

    sebagai pusat pendidikan (M. Ali Haidar, 1994 : 84). Institusi pendidikan

    pada masa ini meskipun masih sangat sederhana namun mampu mendidik

    para santri secara militan dalam berdakwah atau mengembangkan Islam di

    lingkungannya masing-masing. Setidaknya proses pendidikan tetap

    berjalan karena adanya kyai, santri, tempat berlangsungnya pendidikan,

    tujuan, materi dan metode pendidikan.

    Dalam perkembangan berikutnya, terutama pada abad ke-19

    pesantren mengalami kemajuan dan banyak santri yang berdatangan dari

    berbagai daerah, oleh karenanya, kyai perlu membuat tempat yang dapat

    dijadikan asrama bagi santri, istilah ini yang disebut pondok, dan akhirnya

    lemaga ini terkenal dengan sebutan pondok pesantren. Hal ini

  • 48

    melambangkan suatu pengembangan dari pengajian di langgar (surau) atau

    masjid, baik dilihat dari perspektif jumlah santri, sarana, materi pelajaran,

    metode pendidikan maupun pengorganisasiannya.

    Selanjutnya paska abad ke-19 pondok pesantren mengalami

    pembaharuan. Pembaharuan ini berawal dari penampilan lahiriyah, dengan

    cara mendirikan pesantren jenis baru yang dikenal dengan sebutan

    madrasah. Madrasah yang lahir pada abad ke-20 ini dipelopori oleh

    Madrasah Mambaul Ulum Surakarta pada tahun 1905 dan sekolah

    Adabiyah yang didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat

    pada tahun 1909 (A. Malik Fajar, 1998 : 1). Dalam perkembangannya,

    secara kelembagaan, madrasah mengalami penyempurnaan secara

    berangsur-angsur. Eksistensi madrasah di dalam pesantren makin

    mempertegas keterlibatan lembaga pendidikan Islam tertua ini dalam

    memperbaiki sistem pendidikannya, sekaligus sebagai lembaga pendidikan

    yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajarannya.

    Walaupun pesantren sudah mengalami kemajuan dalam

    pembelajaran, tetapi masih ada pesantren tradisional yang mengeluh

    tentang kurangnya efek sosial pesantren, tetapi juga madrasah yang tanpa

    asrama yang mengikuti program Departemen Agama sering mengeluh

    mengenai efek sosial : suatu hal yang tragis yang dewasa ini diderita oleh

    anak-anak didik kalangan Islam Indonesia, adalah belum dapat

    diperolehnya lapangan kehidupan di luar keagamaan setelah mereka

    berhasil menyelesaikan pendidikannya dari sekolah-sekolah agama seperti

  • 49

    madrasah, pesantren maupun perguruan tingginya (Karel A

    Steenbrink,1986: 215)

    Pada tahun 1970-an madrasah mengalami perkembangan yang

    cukup progresif. Keberadaan madrasah di pesantren diharapkan mampu

    menunjukkan gambaran baru tentang bentuk lembaga pendidikan yang

    lebih modern. Selanjutnya lembaga ini dapat diadaptasi oleh pesantren

    dalam memajukan lembaga yang dikendalikan kyai ini. pada tahun ini pula

    dirintislah lembaga pendidikan umum. Kurang lebih sepuluh tahun

    kemudian baru memperoleh bentuk standar meskipun kualitas lembaga

    pendidikan itu kurang memuaskan. Sebagian lembaga pendidikan tersebut

    baru tumbuh pada taraf pengembangan fisik, namun isi dan kualitasnya

    belum memadai.

    Melalui lembaga pendidikan umum kyai bisa menempuh kebijakan

    dari dua jalur yaitu jalur pertama para santri dilibatkan dalam pendidikan

    umum agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, dan jalur

    kedua adalah para siswa sekolah umum tersebut diwajibkan mengikuti

    kegiatan pesantren.

    iii. Metode Pembelajaran

    Sistem pembelajaran penggunaan metode merupakan alat yang

    sangat penting untuk menyampaikan materi pelajaran (kurikulum),

    penyampaian materi tidak akan berhasil tanpa melibatkan metode. Metode

    selalu mengikuti materi, dalam arti menyesuaikan bentuk dan coraknya,

    sehingga metode mengalami transformasi bila materi yang disampaikan

  • 50

    berubah. Akan tetapi, materi yang sama bisa menggunakan metode yang

    berbeda.

    Jika kyai maupun ustadz mampu memilih metode dengan tepat dan

    mampu menggunakannya dengan baik, maka mereka memiliki harapan

    besar terhadap hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan. Mereka

    tidak sekedar sanggup mengajar santri, melainkan secara profesional

    berpotensi memilih model pengajaran yang paling baik diukur dari

    perspektif didaktik metodik. Maka proses belajar mengajar bisa

    berlangsung secara efektif dan efisien, yang menjadi pusat perhatian

    pendidikan modern sekarang ini (Mujamil Qomar : 141).

    Pertumbuhan pesantren sejak awal hingga sekarang lebih

    melahirkan kategori tradisional dan modern. Istilah tradisional dan modern

    dipengaruhi waktu, sistem pendidikan, juga dipengaruhi ciri khasnya.

    Kategori pesantren tradisional dan modern ternyata mengakibatkan

    perubahan sistem masyarakat modern, hal ini bisa dilihat dari sisi

    ketidakampuannya untuk menghadapi transformasi sistematik yang terus

    menerus (Achmad Djaenuri : 6). Masyarakat tradisional tidak senantiasa

    dihadapkan pada tuntutan mentransformasi sistem, biasanya baru muncul

    setelah berabad-abad, sehingga mampu merespons sebagian pengetahuan

    yang dimiliki. Disisi lain, sistem modern memiliki keluwesan dan

    kemampuan adaptasi untuk mengatasi perubahan yang demikian cepat dan

    mendasar di semua sektor masyarakat.

    Jika kita melacak perubahan sistem dan metode pendidikan di

    pesantren akan menemukan metode yang bersifat tradisional dan modern.

  • 51

    Departemen Agama RI melaporkan bahwa metode penyampaian di

    pesantren ada yang bersifat tradisional seperti halaqah, wetonan dan

    sorogan. Ada pula yang menggunakan non tradisional (metode yang baru

    diintrodusir ke dalam institusi tersebut berdasarkan pendekatan ilmiah).

    Pada mulanya semua pesantren menggunakan metode yang bersifat

    tradisional. Bahkan beberapa pesantren tradisional hingga saat ini masih

    menggunakan metode-metode tradisional. Metode-metode tersebut terdiri

    atas metode wetonan, metode sorogan, metode muhawarah, metode

    mudzakarah dan metode majlis talim (Imron Arifin, 1993: 37).

    Biasanya metode yang digunakan pada pesantren tradisional adalah

    metode deduktif yang pesantren mengembangkan kajian-kajian partikular

    terlebih dahulu seperti fiqh dan berbagai tradisi praktis lainnya yang

    dianggap sebagai ilm al-hal, setelah menguasai baru merambah pada

    wilayah kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar. Jika

    metode ini berbalik, yaitu dengan menggunakan metode induktif, maka

    hasilnya akan berbeda bahkan kajian yang utama adalah alat-alat bantu

    yang dapat digunakan sebagai pengembang ajaran Islam baru pada materi

    yang bersifat partikular yaitu ilmu-ilmu fiqh, nahwu, sorof bahkan tasawuf

    (Said Aqiel Siradj: 210).

    Metode tradisional saat ini telah mengalami perubahan yaitu dari

    metode sorogan dan wetonan menjadi ceramah meskipun belum merupakan

    konsensus para pengajar di pesantren. Said dan Affan melaporkan bahwa

    metode wetonan dan sorogan yang menjadi ciri khas beberapa pesantren

    telah diganti dengan metode ceramah sebagai metode mengajar yang pokok

  • 52

    dengan sistem klasikal. Tetapi beberapa pesantren lainnya masih

    menggunakannya, kendati terkadang hanya untuk pelajaran agama, sedang

    ilmu umum tetap diberikan melalui metode ceramah (Moh. Said dan

    Junimar Affan, 1987: 91), bahkan akhir-akhir ini metode diskusi, praktik,

    permainan dan lain-lain banyak bermunculan di pesantren-pesantren.

    iv. Manajemen

    Pola manajemen pendidikan pesantren cenderung dilakukan secara

    tradisional dan kurang memperhatikan tujuan-tujuannya yang telah

    disistematisasikan secara hierarki. Sistem pendidikan pesantren biasanya

    dilakukan secara alami dengan pola manajerial yang tetap (sama) tiap

    tahunnya. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren

    agaknya belum terlihat. Penerimaan santri baru, misalnya belum ada sistem

    seleksi. Semua dilakukan sama dan semua diterima walaupun dengan latar

    belakang yang berbeda-beda tanpa adanya kategori-kategori khusus (Said

    Aqiel Sirodj: 214-215).

    Dewasa ini, sudah saatnya pola manajemen yang cenderung

    ketinggalan itu sedikit demi sedikit berubah. Hal ini bisa dilakukan dengan

    adanya pola kerjasama, baik kerja sama dengan lembaga (pesantren-

    pesantren) lain maupun institusi-institusi yang bersifat formal agar dapat

    memperdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang

    semakin kompleks. Asumsi-asumsi negatif yang dilekatkan pada

    pesantren: terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif dan cenderung

    mempertahankan Status Quo.

  • 53

    Pengasuh pesantren, dalam hal ini kyai maupun ustadz, perlu

    berendah hati untuk menjadi teladan pecinta ilmu. Karena itu pengkaderan

    pendidik maupun pengelolaan manajemen (pendidikan) pesantren, harus

    dilakukan sedemikian rupa, sehingga kyai maupun ustadz memiliki

    kesempatan untuk melanjutkan pendidikan atau meningkatkan keilmuannya

    lagi (secara terus-menerus, sesuai dengan etos keilmuan tersebut) demi

    peningkatan kualitas keilmuan pesantren.

    Akibat (dampak) negatif ketika ideologi modernisasi dikembangkan

    penguasa Orde Baru telah berlangsung demikian massif, pesantren juga

    terkena imbasnya, ternyata dunia pesantren tidak cukup memiliki filter dan

    ketangguhan untuk menyaring dan melakukan kemandirian, maka yang

    madharat dan mana yang betul-betul membawa manfaat, barokah dan

    maslahah. Modernisasi itu telah mengubah wajah pesantren menjadi

    mentereng tetapi melompong dari ketangguhan intelektual dan spiritual.

    Jadinya alim tidak, zuhud pun tidak. Karena itu, baru akhir-akhir ini ada

    semacam kecenderungan di kalangan pesantren untuk menjadikan Yayasan

    lembaganya, sebagai upaya pembinaan dan pengembangan dirinya.

    Kecenderungan muncul pada pesantren-pesantren besar yang memiliki

    lembaga-lembaga pendidikan formal.

    Kecenderungan membentuk Yayasan ternyata hanya diminati

    pesantren yang tergolong modern, dan belum berhasil memikat pesantren

    tradisional, namun telah ada kecenderungan sebagian pesantren menjadikan

    Yayasan lembaganya sebagai bentuk pembaharuan. Memang kenyataannya

    sekarang secara kelembagaan ada pesantren hanya dimiliki oleh seorang

  • 54

    kyai dan ada pula yang milik Yayasan dengan manajemen kolektif (Ismail

    SM, 2002: 58). Tampaknya status pesantren milik institusi akan semakin

    kuat dan merupakan kebutuhan mendesak dibandingkan dengan status

    milik pribadi. Penguatan ini menunjukkan mulai timbulnya kesadaran dari

    umat Islam khususnya kalangan pesantren untuk berfikir strategis dan

    berwawasan masa depan (Mujamil Qomar : 45-46).

    Untuk itu, pesantren mesti bereaksi baik sebagai sikap adaptif

    maupun responsif. Konsekuensinya pesantren cenderung berupaya

    menambahkan orientasinya pada pemenuhan kebutuhan duniawi.

    Perubahan nilai pesantren menuju ke orientasi pemikiran yang lebih

    mendunia, induktif, empiris dan rasional, mengimbangi corak pemikiran

    yang deduktif-dogmatis sebagaimana selama ini mendominasi pola

    pemikiran pesantren. Tanda-tanda tersebut antara lain tampak bahwa santri

    memerlukan ijazah untuk ke sekolah formal yang lebih tinggi (Mastuhu,

    1994: 71).

    Dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya perubahan kepemimpinan

    pesantren dari kepemimpinan kyai menuju kepemimpinan Yayasan

    cenderung mengakibatkan terjadinya perubahan otoritas yakni dari otoritas

    mutlak di tangan kyai berubah menjadi otoritas kolektif di tangan Yayasan.

    Namun perubahan otoritas itu belum mampu mewujudkan demokrasi di

    pesantren terutama menyangkut perubahan kepemimpinan. Hal tersebut

    cenderung menimbulkan pengembangan orientasi ke hal yang lebih baik

    dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi.

  • 55

    BAB III

    HASIL PENELITIAN

    Setelah melakukan penelitian secara langsung ke pondok pesantren bina

    insani Desa Ketapang Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, selanjutnya

    disampaikan hasilnya sebagai berikut.

    A. Masyarakat Desa Ketapang Kecamatan Susukan

    a. Gambaran Umum Masyarakat Ketapang Kecamatan Susukan

    Ketapang merupakan nama sebuah kelurahan yang berada dalam

    wilayah administrasi Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Jawa

    Tengah (Dokumentasi, dikutip tanggal 15 Pebruari 2011) yang terdiri dari 31

    RT dan 6 RW. Masyarakat Desa Ketapang laki-laki : 2.958 orang,

    perempuan : 2.965, dari jumlah masyarakat itu yang beragama Islam ada

    5.923 orang dan selebihnya beragama nasrani. Masyarakat Ketapan

    Kecamatan Susukan merupakan masyarakat yang mayoritas beragama Islam

    dengan tingkat ekonomi sedang dan bawah. P