dinamika sistem pendidikan pesantren-bab 2

22
10 BAB II TINJAUN PUSTAKA Seperti disebutkan di awal Bab Pendahuluan, manusia adalah tokoh kunci dalam kehidupan. Ia bertanggung jawab akan baik-buruknya kehidupan di dunia ini, dan hal itu merupakan perwujudan pengabdiannya kepada Tuhan. Maka dalam tinjauan pustaka ini berturut-turut disajikan, konsepsi Manusia dan Kehidupan, Pendidikan, dan Pesantren (sebagai objek studi). 1. Manusia dan Kehidupan Pertanyaan “(Si) Apakah manusia itu”, telah menjadi tema sentral dan zaman ke zaman, dan tidak pernah dapat dijawab secara final. Kalau memang pertanyaan ini tidak pernah dapat dijawab secara tuntas, mengapa manusia tidak berhenti bertanya dan kemudian menyerahkan did kepada nasib saja? Inilah suatu pertanda bahwa manusia itu penuh rahasia dan sesungguhnya mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri. Ada suatu pengibaratan terkenal yang mengatakan bahwa “keledai tidak mau tersandung dua kali pada batu yang sama, tetapi manusia sering man tersandung berulang kali pada batu yang sama tersebut.” 1 Apakah dengan demikian hal mi berarti manusia lebih bodoh daripada keledai? Tidak, justru sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa manusia lebih pandai daripada keledai. Hewan hidup sebatas pada insting atau naluri menyesuaikan din dengan lingkungan fisik yang mengitarinya, ia tidak mampu mengubah atau mengolah lingkungannya, tetapi Ia mampu dengan sempurna menyesuaikan diri dengan lingkungan alamnya. Karena inilah maka Jacques Maritain mengatakan bahwa binatang adalah makhluk spesialis yang paling sempurna. 2 Daun kehidupan binatang mantap, masa hidupnya kronologis dan hanya berorientasi kekinian. Ia tidak mampu mengingat masa lalunya dan membayangkan masa depannya, karena itu ia disebut bukan makhluk sejarah. Bagi hewan sejarah tidak berperan sama sekali, meskipun ia mampu meninggalkan pengalaman negatif dan mengulang pengalaman positif, akan tetapi kemampuannya itu tidak berperan untuk menjadikannya memiliki wawasan kesejarahan, karena hewan tidak mampu belajar dan pengalaman. Sebaliknya, manusia hidup tidak sebatas insting atau nalurinya saja. Dengan akal, perasaan, kemauan, dan kemampuan-kemampuannya yang lain ia mampu mengubah dan mengolah lingkungan yang mengitarinya dan menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai cita- citanya. Jika ïa mau berulang kali tersandung pada batu yang sama, hal itu disebabkan ia ingin mengetahui dan meneliti mengapa ia sampai tersandung, dan kemudian memperbaiki dan mengembangkan kehidupannya. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa orientasi manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampau, kini, dan mendatang, sehingga ia memiliki predikat sebagai makhluk sejarah. Salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu ingin menciptakan dunia kehidupannya sendiri dan mengatasi dunia realitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh A. Vloemans, salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu berusaha melampaui din sendiri secara terus-menerus. 3 Dengan kata lain, manusia di samping sebagai makhluk sejarah, ia juga dikuasai oleh sejarah. Oleh karena itu, ia tidak hanya berada dalam dunianya tetapi ia hidup bersama dan berdialog dengan 1 Fuad Hassan, “Respondeo Ergosum-Persepsi Filsafat tentang Manusia”, dalam Islam dan Pendidikan Nasional, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 30-34. 2 Jacques Maritain, Education at the Crossroads, New Haven and London Yale University Press, 25 the printing, 1975 hlm. 19. 3 Fuad Hassan, Loc. Cit.

Upload: jamridafrizal

Post on 25-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddin, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Pesantren telah hidup sejak 300-400 tahun yang lampau, menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim, dan dewasa ini diperkirakan menampung lebih dari satu juta santri. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Terutama di zaman kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam. Tidak sedikit pemimpin bangsa terutama dari angkatan 1945 adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren. Para peneliti terdahulu mengenai pesantren sepakat bahwa pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam Indonesia yang mengembangkannya dari sistem pendidikan Agama Jawa. Agama Jawa (abad ke 8-9 M) merupakan perpaduan antara kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme. Di bawah pengaruh Islam, sistem pendidikan tersebut diambil alih dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam. Menurut Zamachsyari Dhofier, sejak akhir abad ke-15 Islam telah menggantikan Hinduisme, dan pada abad ke-16 dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam, penduduk Jawa telah dapat di-Islam-kan. Model pendidikan Agama Jawa itu disebut pawiyatan, berbentuk asmara dengan rumah guru yang disebut ki ajar di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik atau murid hidup bersama dalam satu kampus. Hubungan mereka sangat erat bagaikan keluarga dalam rumah tangga, siang malam selama 24 jam. Pengajarannya meliputi ilmu-ilmu filsafat, alam, seni, sastra, dan sebagainya, dan diberikan secara terpadu dengan pendidikan agama dan moral.

TRANSCRIPT

10

BAB II TINJAUN PUSTAKA

Seperti disebutkan di awal Bab Pendahuluan, manusia adalah tokoh kunci dalam kehidupan. Ia bertanggung jawab akan baik-buruknya kehidupan di dunia ini, dan hal itu merupakan perwujudan pengabdiannya kepada Tuhan. Maka dalam tinjauan pustaka ini berturut-turut disajikan, konsepsi Manusia dan Kehidupan, Pendidikan, dan Pesantren (sebagai objek studi). 1. Manusia dan Kehidupan Pertanyaan “(Si) Apakah manusia itu”, telah menjadi tema sentral dan zaman ke zaman, dan tidak pernah dapat dijawab secara final. Kalau memang pertanyaan ini tidak pernah dapat dijawab secara tuntas, mengapa manusia tidak berhenti bertanya dan kemudian menyerahkan did kepada nasib saja? Inilah suatu pertanda bahwa manusia itu penuh rahasia dan sesungguhnya mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri. Ada suatu pengibaratan terkenal yang mengatakan bahwa “keledai tidak mau tersandung dua kali pada batu yang sama, tetapi manusia sering man tersandung berulang kali pada batu yang sama tersebut.”1 Apakah dengan demikian hal mi berarti manusia lebih bodoh daripada keledai? Tidak, justru sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa manusia lebih pandai daripada keledai.

Hewan hidup sebatas pada insting atau naluri menyesuaikan din dengan lingkungan fisik yang mengitarinya, ia tidak mampu mengubah atau mengolah lingkungannya, tetapi Ia mampu dengan sempurna menyesuaikan diri dengan lingkungan alamnya. Karena inilah maka Jacques Maritain mengatakan bahwa binatang adalah makhluk spesialis yang paling sempurna.2 Daun kehidupan binatang mantap, masa hidupnya kronologis dan hanya berorientasi kekinian. Ia tidak mampu mengingat masa lalunya dan membayangkan masa depannya, karena itu ia disebut bukan makhluk sejarah. Bagi hewan sejarah tidak berperan sama sekali, meskipun ia mampu meninggalkan pengalaman negatif dan mengulang pengalaman positif, akan tetapi kemampuannya itu tidak berperan untuk menjadikannya memiliki wawasan kesejarahan, karena hewan tidak mampu belajar dan pengalaman.

Sebaliknya, manusia hidup tidak sebatas insting atau nalurinya saja. Dengan akal, perasaan, kemauan, dan kemampuan-kemampuannya yang lain ia mampu mengubah dan mengolah lingkungan yang mengitarinya dan menciptakan kehidupan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai cita-citanya. Jika ïa mau berulang kali tersandung pada batu yang sama, hal itu disebabkan ia ingin mengetahui dan meneliti mengapa ia sampai tersandung, dan kemudian memperbaiki dan mengembangkan kehidupannya. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa orientasi manusia menjangkau tiga dimensi waktu: lampau, kini, dan mendatang, sehingga ia memiliki predikat sebagai makhluk sejarah. Salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu ingin menciptakan dunia kehidupannya sendiri dan mengatasi dunia realitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh A. Vloemans, salah satu sifat kodrati manusia adalah selalu berusaha melampaui din sendiri secara terus-menerus.3 Dengan kata lain, manusia di samping sebagai makhluk sejarah, ia juga dikuasai oleh sejarah. Oleh karena itu, ia tidak hanya berada dalam dunianya tetapi ia hidup bersama dan berdialog dengan

1 Fuad Hassan, “Respondeo Ergosum-Persepsi Filsafat tentang Manusia”, dalam Islam dan Pendidikan

Nasional, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 30-34. 2 Jacques Maritain, Education at the Crossroads, New Haven and London Yale University Press, 25 the

printing, 1975 hlm. 19. 3 Fuad Hassan, Loc. Cit.

11

kehidupan.4 Menurut Imam al-Ghazali, salah satu sifat kodrati manusia ialah: tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari kebenaran.5 Manusia selalu ingin mengetahui rahasia alam. Makin jauh rahasia alam yang dapat diselidiki, makin banyak daerah misteri yang tidak diketahui, dan makin tinggi kekagumannya kepada Penciptanya, sebagaimana dikatakan oleh Joachim Wach dalam bukunya Sociology of Religion: Mysterium, tre-mendum et fascinosum.6 Sadar akan kodratnya yang tidak mau berhenti mencari kebenaran, sedang selalu ada tabir rahasia yang tidak terungkap, maka manusia dalam mengembangkan kehidupannya selalu berada dalam dan modalitas: kebebasan untuk mandiri dan ketergantungan dengan alam dan masyarakatnya; maka terjadilah pertentangan yang terus-menerus antara individu dan masyarakat.

Tetapi bagaimanapun individu path akhirnya barns dapat menemukan identitas kepribadiannya sendiri, yang berbeda dengan orang lain. Ia harus menyadari dan mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan, dan maksud Tuhan menciptakan makhluk atau semua yang ada ini.

Dalam konsep Islam, manusia terdiri atas 3 unsur: tubuh, hayat, dan jiwa.7 Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat artinya hidup, dan jika tubuh mad, kehidupan berakhir. Tetapi tidak demikian halnya dengan jiwa. Jiwa adalah kekal. Pada binatang dan tumbuh-tumbuhan menurut para filsuf Islam juga ada jiwa, tetapi eksistensi jiwa di sini terikat dengan tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk yang bersangkutan mati, jiwa pun ikut serta hancur.8 Sebaliknya eksistensi jiwa pada manusia tidak terikat path materi, karena itu ia tidak ikut mati bersama-sama dengan tubuh. Dalam Islam, istilah mad, berbeda dengan konsep mati dan paham materialisme atau paham kebendaan lain. Dalam paham tersebut mati berarti hilangnya eksistensi manusia secara total, sedang dalam Islam mati berarti tubuh manusia akan hancur, tetapi jiwanya akan tetap mempunyai wujud yang abadi.

Dalam Islam, orang dapat dikatakan mati, meskipun tubuhnya masih hidup, masih bergerak dan berhubungan dengan orang lain sebagaimana layaknya orang yang masih hidup, manakala dalam hidupnya itu ia tidak mau beribadah atau sujud kepada Tuhan, menolak semua perintah-Nya, dan melanggar semua larangan-Nya. Sebaliknya, orang tetap dikatakan hidup sekalipun tubuhnya mati, manakala sewaktu hidupnya ia selalu taat menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya, misalnya para Syuhada, yaitu mereka yang berjuang di jalan Allah sewaktu hidup di dunia, dan sebagainya.9

Inilah sebabnya, maka pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, tetapi dalam praktiknya banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cenderung lebih mementingkan pendidikan yang berorientasi keakhiratan daripada keduniawian, karena kehidupan ukhrawi dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedang kehidupan duniawi dipandang sebagai sementara dan bukan terakhir.

Berbeda dengan konsep tabularansa dari John Locke (1632-1704) yang memandang jiwa manusia dilahirkan sebagaimana kertas putih bersih yang kemudian sepenuhnya tergantung pada tulisan yang

4 Paulo Freire, Cultural Action For Freedom, Penguin Education, USA, 1971, hlm. 76-77. 5 Lihat buku mengenai Imm al-Ghazali, antara lain: Minhajul Abidin (Darul Ulum Press Jakarta,1986),

Bimbingan Mu’minin dalam mencari ridha rabbil alamin. Pustaka Nasional, Singapura, 1976, dan O Anak (Tinta Mas, Jakarta, 1983).

6 Joachim Wach, Sociology of Religion, The University of Chicago Press, USA, 1971, hlm. 14. 7 Harun Nasution, “Manusia Menurut Konsep Islam”, dalam Islam dan Pendidikan Nasional, Lembaga

Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 59-79. 8 Jiwa yang dimaksud oleh filsuf Islam di sini adalah hayat. 9 Moh. Quraish Shihab, Konsep al Qur’an tentang Hidup Manusia, disampaikan dalam saresehan ilmiah

yang diadakan oleh Yayasan Pondok Pesantren Al Kamal, Jakarta, 1987.

12

mengisinya ke mana jiwa itu akan dibentuk dan dikembangkan, atau dengan kata lain, kepribadian macam apa yang ingin dikembangkan oleh pendidik dan masyarkat. Dalam filsafat agama Islam, manusia adalah zat theomorfis dalam persaingannya, artinya merupakan kombinasi dari dua hal yang saling berlawanan. Ia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua titik ekstrem “Allah – Syaithan”.10 Tuhan menciptakan potensi atau daya-daya dalam diri manusia, perkembangan selanjutnya terserah pada manusia sendiri. Manusia mempunyai kehendak bebas, ia berpelunag untuk menjadi orang jahat bagaikan setan, dan ia juga berpeluang untuk menjadi orang saleh yang taat dekat kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam al –Qur’an, surah al-An’am: 164, yang terjemahnya:

“....Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berbuat dosa tidak akan memikul dosa orang lain, kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitahukan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Sebagai zat theomorfis, manusia mampu menyadari bahwa alam semesta adalah suatu kesatuan yang utuh, semua fenomena alam semesta bersifat kausal, utuh dan kontinum, di mana setiap sesuatu mempunyai posisi dan peran masing-masing secara otonom, tetapi ia menjadi bermakna hanya karena kaitannya dengan keseluruhan, inilah sebabnya maka agar dapat diperoleh kebenaran yang utuh kita tidak boleh melihat sesuatu secara sepotong-sepotong, terlepas dari ikatannya dengan keseluruhan. Bagi orang yang benar-benar pasrah kepad Tuhan, ia mampu menerima setiap peristiwa betapa tragis dan menyakitkan sebagia suatu hal yang tidak final, karen hal itu merupakan bagian dari keseluruhan, yang pada akhirnya kembali kepada Penciptanya, dan oleh karena itu diyakini akan berakhir pada tujuan yang baik, yang pada saat itu belum diketahui tetapi telah diyakini kebenarannya.11

Itulah sebabnya mengapa salah satu prinsip dari sistem pendidikan Islam adalah menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia meliputi dimensi jasmani dan rohani, dan sesuai dengan fitrahnya meliputi semua aspek kemanusiaan dan kehidupan, baik yang dapat dijangkau oleh akal maupun yang hanya dapat diimani melalui kalbu. Semuanya dikembangkan secara menyeluruh dan seimbang; bukan hanya akalnya, tetapi juga kalbunya; bukan hanya lahiriahnya, tetapi juga batiniahnya.12 2. Sistem Pendidikan

2.1. Aliran-aliran Pendidikan Dalam literatur ilmu pendidikan umum terdapat tiga aliran pendidikan: Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi. Dalam kesempatan ini ditambahkan uraian mengenai Pendidikan Islam, sebagai aliran keempat.

a. Empirisme Aliran ini dipelopori oleh John Locke ( 1632 – 1704), dan terkenal dengan teori tabularasa. Aliran ini berpendapat bahwa anak dilahirkan dalam keadaan putih bersih, bagaikan kertas kosong, dan

10 Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terjemahan Drs. Syaefullah Maryudin MA, Ananda, Yogyakarta,

1982, hlm. 125. 11 Ismail R. Faruki, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terjemahan Anas Mahyuddin, Pustaka Bandung, 1984, hlm.

56-64. 12 Muhamad Qutub, Sistem Pendidikan Islam, Terjemahan Drs. Salman Harun, Al Ma’arif-Bandung, 1984,

hlm. 27-28.

13

selanjutnya terserah kepada orangtua, sekolah, dan masyarakat, ke arah mana kepribadian anak tersebut dibentuk dan dikembangkan. (Lihat halaman 13) Berdasarkan aliran ini maka tugas pendidikan adalah menciptakan manusia baru atau membentuk generasi baru yang lebih baik daripada generasi lalu. Model pendidikan seperti ini banyak digunakan oleh beberapa negara di Eropa Timur, serperti: Rusia, Jerman, dan Italia pada sekitar periode 1930-an, untuk menyiapkan generasi tangguh guna memenangkan peperangan.13 b. Nativisme Aliran ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1768-1860), dan terkenal dengan teori bakat. Aliran ini berpendapat bahwa anak dilahirkan lengkap dengan pembawaan bakatnya, yang cepat atau lambat akan menjadi kenyataan di kemudian hari. Pendidikan hanya akan berperan membantu anak didik untuk menjadi apa yang akan terjadi sesuai dengan potensi pembawaan yang dikandungnya. Jadi tugas pendidikan bukan untuk menghasilkan apa yang harus dihasilkan, tetapi untuk menghasilkan apa yang akan dihasilkan.14 Aliran ini percaya bahwa anak pada dasarnya baik dan mampu belajar mengembangkan bakatnya. Anak akan belajar dengan baik dan rajin apabila mereka dalam keadaan gembira dan tertarik mempelajari sesuatu yang memang sesuai dengan bakat atau kecenderungannya. Sebaliknya, ia tidak akan mau belajar apabila dipaksa, diancam, dan harus mempelajari bidang studi yang tidak sesuai dengan bakat atau kecenderungannya. Oleh karena itu, anak didik hendaknya dimasukkan ke sekolah yang sesuai dengan keinginannya.15 Aliran ini banyak digunakan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. c. Konvergensi Aliran ini dipelopori oleh William Stern (1871-1939), dan terkenal dengan teori realisme, karena dianggap sesuai dengn kenyataan. Teori Konvergensi merupakan perpaduan antara aliran Empirisme dan Nativisme, di mana kepribadian orang dibentuk dan dikembangkan oleh faktor endogen dan eksogen atau oleh faktor dasar dan ajar. Dengan demikian, berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, di mana pada aliran Empirisme kegiatan pendidikan berpusat pada pendidik, dan pada aliran Nativisme berpusat pada anak didik, maka dalam aliran Konvergensi kegiatan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pendidik dan anak didik. Bahkan kemudian dikembangkan menjadi tanggung jawab bersama pendidik, anak didik, orangtua dan masyarakat. Bagi aliran Konvergensi, faktor dasar atau pembawaan saja tidak cukup dan tidak berarti apa-apa tanpa upaya dari luar, yaitu usaha pendidikan. Sebaliknya, faktor ajar atau pendidikan saja juga tidak cukup dan akan sia-sia tanpa faktor dasar. Bagi aliran ini masalahnya bukan terletak pada apakah tugas pendidik itu menciptakan manusia baru ataukah tidak menciptakan manusia baru, melainkan terletak pada bagaimana mewujudkan taenggung jawab bersama dalam membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan tantangan zaman. d. Pendidikan Islam Seperti disebutkan di muka, menurut ajaran Islam, anak dilahirkan sesuai dengan fitrahnya. Tetapi pengertian fitrah di sini tidak sama dengan pengertian tabularasa menurut John Locke tersebut di muka. Pengertian fitrah di sini berarti asli, bersih, dan suci, bukan kosong tetapi berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Tuhan telah menciptakan daya-daya dalam diri mansusia jauh sebelum perbuatnnya timbul. Sebagaimana dikatakan oleh al-Jubba’i manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya; manusia berbuat baik dan buruk,

13 Uril Bronfenbrenner, Two Worlds of Childhood, Penguin Education, Australia, 1974, hlm. 5-120. 14 A.S. Neill, Summerhill, Penguin Books, Australia, 1973, hlm. 19-20. 15 Joh Holt, Freedom and Beyond, Penguin Books, Australia, 1972, hlm. 11-12.

14

patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauan sendiri. Daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adannya perbuatan.16 Melengkapi pendapat pentingnya faktor pembawa dan lingkungan dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak, Islam juga mengenal sistem pendidikan prenatal, di mana selama mengandung hendaknya ibu memakan makanan yang halal, bertingkah laku sopan santun, sabar, penuh kasih sayang gembira, dan ramah serta mudah bergaul, agar anaknya kelak berkepribadian atau bertingkah laku terpuji. Dalam keluarga Islam, pada umumnya kedua orangtua calon bayi membaca surat Yusuf yang terkenal dengan cerita kebagusan Nabi yusuf, baik fisik maupun mentalnya: cerdas, sabar, ramah, jujur, dan memiliki bakat kepemimpinan yang tinggi. Hal tersebut merupakan doa dan sugesti. Melalui selfsugestion sifat-sifat ini bisa masuk ke dalam jiwa ibu dan bapak, dan hal tersebut merupakan kepercayaan dan sekaligus menunjukkan suatu pengakuan akan pentingnya faktor endogen yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menjadi positif dan negatif dan faktor eksogen yang akan membentuk dan mengembangkan kepribadian anak. Kecuali itu, meskipun tidak dipublikasikan secara luas, hasil penelitian Ny. Satari Imam Barnadib dari IKIP Yogyakarta 1982, sebagaimana dikutip oleh Rachmat Djatmika dalam makalahnya yang sama, menyatakan bahwa ada korelasi nyata antara tingkah laku ibu yang mengandung dan watak anak yang dilahirkan.

Meskipun ada kesesuaian antara filsafat pendidikan Islam dan aliran Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi, tetapi tetap terdapat perbedaan yang esensial antara filsafat pendidikan Islam dan mereka. Perbedaa itu berasal dari: Pendidikan Islam berangkat dari filsafat pendidikan theocentric sedangkan mereka berangkat dari filsafat anthropocentric.

Filsafat theocentric mengandung dua jenis nilai, yaitu nilai kebenaran absolut dan nilai kebenaran relatif. Nilai kebenaran absolut adalah wahyu Tuhan, dan nilai kebenaran relatif adalah hasil penafsiran manusia terhadap wahyu Tuhan. Oleh karena itu, kedua jenis nilai tersebut memiliki hubungan yang hierarchis, di mana nilai kebenaran absolut mempunyai supremasi terhadap kebenaran relatif, dan kebenaran relatif tidak boleh bertentangan dengan nilai absolut, atau tidak boleh bertentangan dengan akidah – syariah agama.

Selanjutnya filsafat pendidikan theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh-Nya, berjalan menurut hukum-Nya, dan kembali pada kebenaran-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan fitrhnya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperolehnya. Dalam hal memberikan pendidikan agama kepada anak: sejak masa dininya sampai anak mampu berpikir, ditempuh melalui kebiasaan-kebiasaan yang menyenangkan, seperti: salat bersama-sama di masjid, puasa, menghafal doa-doa, membaca ayat suci al-Qur’an yang pendek-pendek dan sebagainya, sekalipun mereka belum mengerti maksudnya. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya baru diberi penjelasan-penjelasan sesuai dengan tahap perkembangan pemikirannya, dan akhirnya pelajar sendirilah yang belajar, sedang pendidik (guru) hanya membantunya.17 Mengenai nilai yang mendasari kegiatan proses belajar-mengajar, filsafat pendidikan theocentric mendasarkan kegiatan pendidikannya pada tiga nilai kunci; ibadah, ikhlas, dan rida Tuhan,. Bagi filsafat theocentric, manuusia dipandang secara utuh dan dalam kesatuan diri dengan kosmosnya sebagai makhluk pencari kebenaran Tuhan. Setiap peristiwa dipandang selalu terkait dengan peristiwa yang lain dan merupakan bagian dari keseluruhan, yang pada akhirnya bertemu pada kebenaran Tuhan. Dengan kata lain, setiap kajadian dipandang belum final dan akan disusul dengan kejadian-kejadian lain, yang pada akhirnya bertemu pada kebenaran Tuhan. Oleh karena itu bagi yang benar-benar pasrah kepada Tuhan, ia sesungguhnya berpandangan optimistis

16 Harun Nasution, Teologi islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, 1983, hlm. 102. 17 Fathiyah Hasan Sulaiman (penerjemah), Konsep Pendidikan al-Ghazali, P3M, Jakarta, 1986, hlm. 63-91.

15

karena ia dapat menerima setiap cobaan hidup betapa tragis dan menyenangkan. Ia tidak akan putus asa karena mengalami peristiwa yang tragis (menyedihkan), dan ia tdak akan mabuk kesenangan (lupa daratan) karena mengalami sesuatu yang menguntungkan. Ia yakin bahwa segala sesuatu mengandung hikmah Ilahiah sekalipun pada waktu itu ia belum mengetahuinya. Dalam ajaran Islam, hikmah itu milik kaum muslimin yang harus dicari. Sehubungan dengan itu maka kegiatan belajar-mengajar dipandang sebagai bagian dari totalitas kehidupan, merupakan kewajiban yang tidak mengenal batas selesai dan merupakan ibadah kepada Tuhan. Sedang filsafat anthropocentric hanya ajarannya pada hasil pemikiran manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawian.

Sehubungan dengan itu, maka persamaan dan perbedaan antara Pendidikan Islam dan aliran Empirisme ialah kedua-duanya sepakat bahwa anak yang baru lahir adalah bersih dan suci, ibarat kertas putih yang siap ditulis oleh pendidik, sehingga pendidik berperan besar sekali dalam usaha membentuk dan mengembangkan kepribadian anak. Tetapi karena adanya perbedaan konsepsi mengenai Tabularasa, seperti diuraikan di muka, di mana aliran Empirisme memandangnya sebagai kertas putih yang kosong, sedangkan Islam memandangnya berisi dengan daya-daya perbuatan, maka peranan pendidik dalam konsep Pendidikan Islam lebih terbatas daripada peranan pendidik dalam aliran Empirisme dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik tersebut. Adapun persamaan dan perbedaan antara Pendidikan Islam dan aliran Nativisme ialah keduanya mengakui pentingnya factor pembawaan atau dasar dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian anak didik, sehingga anak didik berperan besar sekali dalam membentuk dan mengembakan kepribadiannya, sedang pendidik hanya membantu atau menjadi unsur fasilitator saja. Tetapi karena adanya nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak dalam Pendidikan Islam, maka pendidik dalam Pendidikan Islam bukan hanya sekadar unsur pembantu saja, tetapi ia bertanggung jawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada anak didik. Ia mersa bertanggung jawab kepada Tuhan atas kerja pendidikan yang ia lakukan. Meskipun demikian, jika anak sudah dewasa, kemudian menetapkan sendiri agama yang dipeluknya, hal itu adalah urusan dia sendiri dengan Tuhannya. Nabi Muhammad hanya menyampaikan kebenaran ayat Tuhan kepada manusia, dan selanjutnya manusia sendirilah yang memutuskan menerima tidaknya ajaran tersebut dengan seizin Tuhan. Tidak ada paksaan dalam mengikuti agama, sebagaimana disebut dalam Alquran, surah al-Kahfi: 29:

“Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman berimanlah ia, dan barang siapa yang ingin kafir biarlah ia kafir”.

Sedang persamaan dan perbedaan antara Pendidikan Islam dan aliran Konvergensi ialah keduanya mengakui pentingnya factor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik. Namun dalam Islam ke mana kepribadian itu harus dibentuk dan dikembangkan telah jelas, yaitu ma’rifatullah dan bertakwa kepada-Nya,18 memahami dan menghayati sunatullah dan kemudian berserah diri kepada-Nya; seluruh gerak kehidupannya dipandang sebagai ibadah kepada-Nya dalam rangka mencari rida-Nya. Sedang pada pendidikan yang mendasarkan dirinya pada filsafat anthropocentric pembentukan dan pengembangan kepribadian anak diarahkan untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup duniawi. Pendidikan Islam juga mempunyai persamaan dan perbedaan dengan pendapat A.S. Neill dan John Holt, seperti disitir di muka. Baik Pendidikan Islam maupun Neill dan Holt setuju bahwa anak memiliki potensi kepribadian yang baik dan postif, dan anak hanya akan mampu menyatakan kemampuan belajar dan kejujurannya secara penuh jika ia memiliki kebebasan dan kegembiraan dalam belajar

18 Muhammad Fadhil al-Jamaly, Filsafat Pendidikan Dalam al Qur’an, disadur Drs. Judi al Falasany, Bina ilmu, Surabaya, 1986, hlm. 3.

16

dan hal yang demikian ini merupakn sifat kodrati manusia. Tetapi dalam Pendidikan Islam, kecuali kebebasan, keterikatan juga merupakan sifat kodrati.19 Oleh karena itu, Pendidikan Islam bergerak di antara kebebasan dan keterikatan. Sesungguhnya pendidikan yang mendasarkan diri pada filsafat anthropocentric juga mengakui adanya keterikatan. Dalam hidup tidak ada kebebasan tanpa ikatan.

We are limited by our animal culture, by our model of reality, by our relation with other people, by our hopes and fears

Oleh karena itu, percuma menginginkan hidup tanpa hambatan. Yang penting adalah memikirkan seberapa banyak kita dapat berbuat dalam keterikatan.20 Tetapi paham keterikatan tersebut hanya dalam pengertian secular atau keduniaan, sedang dalam filsafat theoretic, pengertian tersebut meliputi keterikatan duniawi dan ukhrawi. 2.2. Unsur-unsur Sistem Pendidikan Unsur-unsur suatu sistem pendidikan terdiri atas unsur-unsur organik, yaitu para pelaku pendidikan: pimpinan, guru, murid, dan pengurus; dan unsur-unsru anorganik, yaitu: tujuan, filsafat dan tata nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar-mengajar, penerimaan murid dan tenaga kependidikan, teknologi kependidikan, dana, sarana, evaluasi, dan peraturan terkait lainnya di dalam mengelola sistem pendidikan. 3. Sistem Pendidikan Pesantren 3.1. Aliran-aliran Pendidikan Pesantren Berbeda dengan aliran-aliran pendidikan yang terdapat dalam sistem pendidikan umum sebagaimana diuraikan di atas, maka dalam sistem pendidikan pesantren tidak terdapat aliran-aliran seperti itu. Seluruh pesantren berangkat dari sumber yang sama, yaitu ajaran Islam. Namun terdapat perbedaan filosofis di antara mereka dalam memahami dan menerapkan ajaran-ajaran Islam pada bidang pendidikan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang melingkarinya. Perbedaan-perbedaan itu pada dasarnya berpeluang pada perbedaan pandangan hidup kiai yang memimpin pesantren mengenai konsep: teologi, manusia, kehidupan, tugas dan tanggung jawab manusia terhadap kehidupan dan pendidikan; sebagaimana tercermin dalam uraian mengenai unsur-unsur dan nilai-nilai sistem pendidikan pesantren di belakang (butir 3.3. dan 3.4). Dalam kenyataannya masing-masing pesantren mempunyai ciri khas sendiri-sendiri yang berbeda satu dari yang lain, sesuai dengan tekanan bidang studi yang ditekuni dan gaya kepemimpinan yang dibawakannya. Misalnya: PP Blok Agung (Di Banyuwangi), terkenal sebagai pusat pengajian tasawuf dari Imam al-Ghazali. PP Tebu Ireng (di Jombang) terkenal dengan pusat studi Hadis dan Fikih. PP Guluk-Guluk (di Madura) terkenal dengan dakwah “bil hal”, dan seterusnya. 3.2. Kehadiran Pesantren di Tengah-tengah Kehidupan Masyarakat Kapan pesantren pertama didirikan, dimana dan oleh siapa, tidak dapat diperoleh keterangana yang pasti. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 atas nama Pesantren Jan Tampes II di Pamekasan Madura.21 Tetapi hal ini diragukan, karena tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang

19 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, al Ma’arif, Bandung, 1979, hlm. 17. 20 John Holt, Op. Cit., hlm. 25. 21 Departemen Agama RI, Nama dan Data Potensi Pondok-Pondok Pesantren seluruh Indonesia, 1984/1985,

hlm. 668.

17

lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka memilki usia yang lebih tua. Kecuali itu tentunya pesantren didirkan setelah Islam msuk ke Indonesia. Diduga besar sekali kemungkinan Islam telah diperkenalkan di Kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 M oleh para musafir dan pedagang muslim, melalui jalur perdagangan dari teluk Persia dan Tiongkok yang telah dimulai sejak abad ke-5 M. Kemudian, sejak abad ke-11 M dapat dipastikan Islam telah masuk ke Kepulauan Nusantara melalui kota-kota pantai. Hal ini terbukti dengan ditemukannya: (a) Batu nisan atas nama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 474 H atau tahun 1082 M di Leran Gresik. (b) Makam Malikus Saleh di Sumatra bertarikh abad ke-13 M, (c) Makam Wanita Islam bernama Tuhar Amisuri di Barus, Pantai Barat Pulau Sumatra bertarikh 602 H. Selanjutnya, bukti-bukti sejarah telah menunjukkan bahwa penyebaran dan pendalaman Islam secara intensif terjadi pada masa abad ke-13 M sampai akhir abad ke-17 M. Dalam masa itu berdiri pusat-pusat kekuasaan dan studi Islam, seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate/Tidore, dan Gowa Tallo di Makasar. Dari pusat-pusat inilah kemudian Islam tersebar ke seluruh pelosok Nusantara, melalui para pedagang, wali, ulama, mubalig, dan sebagainya; dengan mendirikan pesantren, dayah, dan surau.22 Sejak abad ke-15, Islam praktis telah menggantikan dominasi ajaran Hindu, dan sejak abad ke-16 melalui kerajaan Islam pertama, yaitu Demak, seluruh Jawa telah dapat di-Islam-kan.23 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi Nusantara ini dalam periode abad ke-13-17 M, dan di Jawa terjadi dalam abad ke-15-16 M. Melalui data sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro tersebut sangat sulit menunjuk dengan tepat tahun berapa dan di mana pesantren pertama didirikan. Namun dapat dihitung bahwa sedikitnya pesantren telah ada sejak 300-400 tahun lampau. Dengan usianya yang panjang ini kiranya sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa ia memang telah menjadi milik budaya bangsa dalam bidang pendidikan dan telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan karenanya cukup pula alasan untuk belajar daripadanya. Dalam masa sekitar abad ke-18-an, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa sangat berbobot terutama dalam bidang penyiaran agama. Kelahiran pesantren baru selalu diawali dengan cerita “perang nilai” antara pesantren yang akan berdiri dengan masyarakat sekitarnya, dan diakhiri dengan kemenangan pihak pesantren sehingga pesantren dapat diterima untuk hidup di masyarakat dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam bidang kehidupan moral. Bahkan dengan kehadiran pesantren dengan jumlah santri yang bnyak dan datang dari berbagai masyarakat lain yang jauh maka terjadi kontak budaya antara berbagai suku, dan masyarakat sekitar. Kehidupan ekonomi masyarkat sekitar menjadi semakin ramai, banyak pedagang-pedagang kecil lahir, bahkan di beberapa tempat di Jawa Timur lahir pasar santri (di Blok Agung), desa santren (di Jombang), dan sebagainya. Nilai baru yang dibawa pesantren tersebut, untuk mudahnya disebut “Nilai Putih” yaitu nilai-nilai moral keagamaan, sedang nilai lama yang lebih dulu ada di dalam masyaraka, disebut ‘Nilai Hitam”, yaitu nilai-nilai rendah dan tidak terpuji seperti “mo limo” atau “5 nilai”, yaitu maling (mencuri), madon (melacur), minum (minum-minuman keras), madat (candu), dan main (judi); dan nilai-nilai lain yang tidak terpuji, seperti kebodohan, kedengkian, guna-guna atau santet (tergolong black magic untuk menghancurkan lawan dengan kekuatan gaib), dan sebagainya. Kebanyakan riwayat berdirinya sebuah pesantren diawali dengan kelana seorang ulama untuk menyebarkan agamanya dengan diikuti oleh satu-dua orang santrinya, yang bertindak sebagai cantrik, yaitu orang yang magang

22 Majelis Ulama Indonesia, Amanah Sejarah Ummat Islam Indonesia, Keputusan Rapat Pengurus Paripurna

ke II, Sekretariat MUI, Mesjid Istiqlal Jakarta, 1986, hlm. 13-14. 23 Zamachsyari Dhofier, Loc. Cit.

18

(belajar ilmu) pada kiai. Ulama atau kiai tersebut adakalanya terminal atau berhenti menetap lebih dulu di piggiran desa atau hutan kecil sekitar desa, kemudian mengadakan pengajian kepada satu-dua orang desa, yang akhirnya diikuti oleh seluruh masyarakat desa. Untuk itu, disamping ilmu agama, hampir dapat dipastikan bahwa setiap kiai salaf (lama) memiliki kekuatan ilmu kanuragan atau kesaktian badan dan keahlian bela diri untuk mempertahankan diri atau melawan kejahatan.24 Kehadiran pesantren di tengah masyarkat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama, dan sosial keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pengembangan Islam, seperti diakui oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns, yang dikutip oleh Zamachsyari Dhofier dalam bukunya Tradisi Pesantren (1982) tersebut:

“Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke-Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam samapai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengembara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad 16. Untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini”.25

Selama masa kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling banyak berhubungan dengan rakyat, dan tidak berlebihan kiranya untuk menyatakan pesantren sebagai lembaga pendidikan Grass root people yang sangat menyatu dengan kehidupan mereka. Selama zaman kolonial, pesantren lepas dari perencanaan pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa sistem pendidikan Islam sangat jelek baik ditinjau dari segi tujuan, maupun metode dan bahasa (bahasa Arab) yang dipergunakan untuk mengajar, sehingga sangat sulit untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum pemerintah kolonial. Tujuan pendidikannya dinilai tidak meyentuh kehidupan duniawi, metode yang dipergunakan tidak jelas kedudukanya; seorang guru: apakah ia guru ataukah pemimpin agama, dan dalam hal bahasa yang dipergunakan, tulisan Arab sangat berbeda dengan tulisan latin sehingga menyulitkan untuk dimasukkan ke dalam perencanaan pendidikan mereka. Sebaliknya, mereka menerima sekolah zending untuk dimasukkan ke dalam sistem pendidikan pemerintah kolonial, karena secara filosofis dan teknik dianggap lebih mudah, yaitu baik tujuan, metode maupun bahasa yang dipergunakan sesuai dengan nilai kebiasaan pemerintah kolonial. Orientasi sekolah umum diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan dan keteranpilan dalam hidup kduniawian, sedang pesantren mengarhkan orientasinya pada pembinaan moral dalam konteks kehidupan ukhrawi.26 Kecuali itu, hal tersebut juga disebabkan pemerintah kolonial Belanda takut pada perkembangan Islam.27

24 Cerita-cerita semacam itu antara lain dapat diikuti dari: Sejarah Pondok Pesantren Tebu Ireng dari masa

ke masa, Pusat Dokumentasi Pondok Tebu Ireng, jombang, 1986, dimana digambarkan masyarakat desa Tebu Ireng sebelum kedatangan K.H. Hasyim Asy’ari sebagai masyarakat jahiliah, dan cerita legendaris-karismatik dari K.H. Hasyim Asy’ari sendiri yang memiliki tongkat kalau dilemparkan dengan seenaknya akan mengenai hanya kepada orang yang salah, dan sebgainya.

Juga cerita mengenai riwayat berdirinya PP Guluk-guluk di Madura, PP Sukorejo di Situbondo, PP Gontor di Ponorogo, dan sebagainya, yang dapat dilihat dari pusat dokumentasi pada masing-masing pesantren yang bersangkutan.

25 Zamachsyari Dhofier, Op. Cit., hlm. 17-18. 26 Karel A. Steenbrink, Op. Cit., hlm. 1-9. 27 Lihat Guru Ordonansi 1925 mengenai Sekolah Partikelir.

19

Dalam posisi ”uzlah” atau hidup berpisah dengan pemerintah kolonial tersebut, pesantren terus mengembangkan dirinya dan menjadi tumpuan pendidikan bagi umat Islam di pelosok-pelosok pedesaan. Keadaan zaman terus berubah dan berkembang samapi zaman revolusi kemerdekaan. Pada zaman revolusi fisik pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk merebut kemerdekaan. Banyak santri membentuk barisan Hisbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi Tentara Nasional Indonesia. Ciri khas angkatan darat pada masa-masa awalnya menggambarkan adanya corak kepesantrenan, sebagaimana dikatakan oleh B.J. Boland dalam bukunya Pergumulan Islam di Indonesia (1985):

”Pembentukan Hisbulah mungkin penting artinya karena banyak anggotanya yang kemudian menjadi anggota tentara nasional. Hal ini berarti bahwa dalam ketentaran Indonesia ada kehadiran santri muslim yang berarti. Kemudian juga banyak orang Kristen yang menggabung ke dalam tentara Indonesia ini (misalnya bekas anggota tentara kolonial). Ciri khas angkatan darat berbeda dengan angkaatan laut dan angkatan udara, yang para perwiara dan bawahan umumnya berasal dari latar belakang yang lebih “sekular” (misalnya berpendidikan sekolah menengah negeri yang dilengkapi dengan latihan khusus di Amerika Serikat). Mungkin sekali perbedaan suasana (dalam tentara ini) terus terasa akibatnya sampai kepada kejadian-kejadian tanggal 30 Septermber 1965 dan peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah itu.” Lahirnya Piagam jakarta 22 juni 1945 yang merupakan gentlement agreement atau “kesepakatan kehormatan” sebagaimana dikmaksudkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, juga tidak terlepas dari jasa atau ikut sertanya alumni pesantren. Dilihat dari dunia luar, dokumen tersebut memang kecil, tetapi jika kita ingin menoleh ke belakang untuk melihat sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Negara dan Islam di Indonesia sebagian besar akan ditentukan oleh beberapa perkataan dalam dokumen tersebut.28

Uraian tersebut di atas menggambarkan sebagian bukti bahwa pesantren mampu mengemban

tantangan zamannya, sehingga bobot pesantren menjadi tinggi di mata bangsa, masyarakat, keluarga, dan anak muda. Pada waktu itu pesantren merupakan tempat belajar yang sangat bergengsi, atau idola bagi generasi muda muslim sebagaimana antara lain tercermin dalam novel K.H. Syaefuddin Zuhri:

“Mendekati Tebu Ireng khayalanku memenuhi kepala. Tergambar dalam angan-anganku tentang sebuah pesantren besar dengan para pengasuhnya yang bercita-cita besar di bawah pimpinan seorang ulama besar. Aku merasa bersyukur bahwa selama hidupku kuperoleh kesempatan untuk mengunjungi Pesantren Tebu Ireng yang termasyuhur. Walaupun tidak lama, tetapi waktu dan kesempatan yang terbatas itu akan kumanfaatkan untuk belajar dari Tebu Ireng sekalipun hanya dalam sehari dua.29

Anak-anak dari keluarga muslim (bukan priayi) merasa rendah jika mereka tidak dapat memasuki

dunia pesantren, dan keluarga mereka sangat bangga jika mereka dapat mengirimkan anaknya ke pesantren. Bertambah besar kiai, dan bertambah jauh pesantren yang dikunjungi, bertambah tinggi harga sosial seseorang di mata masyarakat. Tetapi sejak sekitar dua dasawarsa terakhir ini pesantren mulai menurun harganya di mata bangsa, masyarakat, keluarga dan anak muda. Pesantren di nggap kurang mampu memenuhi aspirasi mereka dan tidak mampu memenuhi tantangan pembangunan. Secara kualitatif mereka meninggalkan pesantren tetapi secara kuantitaif mereka tetap belajar di pesantren. Sementara itu, masuk pesantren lebih murah dan mudah dibandingkan dengan masuk sekolah umum, karena memang tidak ada syarat-syarat tertentu untuk memasuki pesantren, berapa saja, dan kapan saja

28 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafik Pers, Jakarta, 1985, hlm. 14-27. 29 K.H. Syaefuddin Zuhri, Guruku orang-orang dari Pesantren, Al Ma’arif, Bandung, 1977, hlm. 92.

20

siswa dapat diterima, namun hati mereka (masyarakat muslim) sebenarnya mendua: di satu segi mereka mengharpkan dan percaya pesantren dapat memberikan bekal moral agama bagi anak-anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi di segi lain mereka takut kalau pesantren tidak dapat membekali kemampuan kerja anak mereka dalam menghadapi masa depannya. Mereka mengharpkan dan percaya bahwa pendidikan umum dapat memberikan bekal sains dan teknologi kepada anak-anak mereka dalam mengarungi kehidupan modern, tetapi takut tidak dapat memberikan bekal moral agama. Hal itu tercermin dari pernyataan beberapa tokoh, antara lain yang disebut Boland dalam bukunya yang sama seperti disitir di muka:

”Beberapa orang desa yang alim mengirimkan anak-anak mereka kepada pesantren gaya lama itu. Pimpinan pesantren ini mangirimkan anak-anaknya ke madrasah yang lebih modern. Para guru di madrasah tersebut mengirimkan anak-anaknya ke sekolah menengah negeri agar dapat melanjutkan sekolahnya ke Universitas Islam. Para Profesor di suatu Universitas Islam berusaha memperoleh tempat bagi anak-anaknya di Universitas negeri. Dan para Profesor Universitas negeri mengirimkan anak-anaknya ke luar negeri.”30

Pernyataan Boalnd tersebut memang berlebihan, tetapi ada unsur benarnya. Gejala yang berkembang sekarang adalah, justru pertumbuhan pesantren baru lebih cepat atau lebih banyak pada masa-masa sesudah kemerdekaan daripada sebelumnya. Dari data pesantren yang dihimpun oleh Departemen Agama, 1984/1985, ternyata bahwa jumlah pesantren yang didirikan sebelum tahun 1900-an ada sekitar 7%, antara tahun 1900-1945-an ada sekitar 25%, dan sesudah tahun 1945 ada sekitar 62%. Jumlah seluruh pesantren menurut data tahun 1984/1985 tersebut ada : 6.239 buah, dengan jumlah santri 1.084.801 orang. Pertumbuhan mereka tidak hanya di desa-desa, tetapi justru lebih banyak di kota-kota. Suatu gejala yang menarik untuk disampaikan di sini ialah bahwa pesantren-pesantren tua yang didirikan sebelum tahun 1900-1930-an pada umumnya memiliki jumlah santri yang besar; rata-rata mereka mengasuh sekitar 1.500-2.000 santri ke atas, sedang pesantren muda rata-rata mengasuh 500 orang santri. Tetapi mereka itu tidak hanya belajar agama di pesantren, mereka juga memasuki madrasah dan sekolah-sekolah umum bahkan perguruan tinggi yang diasuh oleh pesantren yang bersangkutan. Hampir seluruh santri yang belajar di madrasah dan sekolah umum juga belajar agama di pesantren, sedang mereka yang belajar agama di pesantren tidak selalu belajar di madrasah atau sekolah umum. Mereka yang hanya belajar agama, dalam arti mempelajari kitab-kiab Islam klasik abad ke-7 – 13 M, sedikit sekali, sekitar 1-2% dari seluruh santri dari masing-masing pesantren. Predikat “siswa” diberikan pada waktu mereka belajar di madrasah atau sekolah umum, dan predikat “santri” pada waktu belajar agama. Demikian pula dengan sebutan “guru” untuk madrasah dan sekolah umum, “ustaz” untuk pesantren. “Kitab” untuk buku-buku pelajaran agama dan ditulis dengan huruf Arab, “buku” untuk pelajaran ilmu umum dan ditulis dengan huruf latin. Melengkapi gambaran tersebut, Abd. Rahman Wahid dalam bukunya Bunga Rampai Pesantren (1399 H) menyatakan bahwa salah satu penghambat utama pelajaran nonagama di sementara pondok pesantren ini adalah ketakutan akan semakin hilangnya fungsi pengembangan ilmu agama.31 Sementara itu, Fuad Hassan dalam tulisannya yang berjudul Selayang Pandang tentang Pendidikan Islam (1985), menyatakan perlunya pendidikan Islam pada umumnya dan pesantren pada khususnya menyesuaikan diri dengan tantangan zamannya. Pesantren sebagai suatu institusi pendidikan dalam Islam harus mampu membuka pintunya untuk sains. Hal ini tidak berarti pesantren perlu

30 B.J. Boland, Op. Cit., hlm. 128. 31 Abdurrachman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Kumpulan Karya Tulis, CV Dharma Bhakti, Jakarta, 1399

H., hlm 148.

21

mengembangkan secara khusus ilmu-ilmu umum dan “men-double” apa yang sudah ada, akan tetapi cukup dengan mengenalkan bagian-bagian ajaran yang sudah ada, akan tetapi cukup dengan mengenalkan bagian-bagian ajaran Islam yang mampu menumbuhkan kesadaran dan minat santri bahwa mempelajari sains itu wajib.32 Dari uraian tersebut jelas kelihatan bahwa bobot pesantren di mata bangsa, masyarakat, keluarga dan anak muda menurun. Pesantren kurang mampu menghadapi tantangan pembangunan dan kurang mampu merespons kebutuhan kaum muda. Meraka dalam keadaan bingung; mereka lebih tertarik masuk ke pendidikan umum yang dapat menjanjikan lapangan kerja, tetapi mereka masih tetap menaruh harapan kepada pesantren yang dapat menjanjikan moral yang sangat diperlukan dalam mengarungi kehidupan modern. Dengan demikian, pesantren tampaknya berada dalam dua pilihan dilematis: apakah pesantren akan tetap mempertahankan tradisinya, yang mungkin dapat menjaga nilai-nilai agamanya seperti keadaan sekarang, ataukah mengikuti perkembangan dengan risiko akan kehilangan asetnya. Sebetulnya ada jalan ketiga tetapi menuntut kreativitas dan kemampuan rekayasa pendidikan yang tiggi melalui pengeanalan aset-asetnya atau identitasnya lebih dulu, kemudian melakukan pengembangan secara modern.33 Jalan strategis ke arah itu ialah memantapkan kehadirannya sebagai subsistem pendidikan nasional sehingga jelas porsinya dalam pembangunan nasional, dengan tetap berpegang pada identitasnya. Identitas pesantren sebagai subsistem Pendidikan Nasional akan mantap jika pesantren mampu mengenakan corak pemikiaran rasional dengan memandang ilmu sebagai bagian dari sunatullah dan bukan sebagai bagian dari hukum alam yang terlepas kaitannya dengan ciptaan Tuhan. Misalnya teori evolusi Darwin yang hanya mendasarkan diri pada hukum alam semesta dapat menimbulkan pandangan yang ateis. 3.3. Unsur-unsur Sistem Pendidikan Pesantren Dari berbagai hasil studi terdahulu mengenai pesantren, unsur-unsur sistem pendidikan pesantren dapat dikelompokkan sebagai berikut:34

a. Aktor atau pelaku, Kiai, Ustaz, Santri, dan Pengurus. b. Sarana perangkat keras35: Mesjid, rumah kiai, rumah dan asrama ustaz, pondok atau asrama

santri, gedung sekolah atau madrasah, tanah untuk: olah raga pertanian atau peternakan, empang, makam, dan sebagainya.

c. Sarana perangakat lunak36 : Tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, perpustakaan, pusat dokumentasi dan penerangan, cara pengajaran (sorogan, bandongan, dan halaqoh), keterampilan, pusat pengembangan masyarakat, dan alat-alat pendidikan lainnya.

32 Fuad Hassan, “Selayang Pandang tentang Pendidikan Islam”, dalam pesantren, No. I/Vol. II/1985, P3M,

Jakarta, 1985, hlm. 36. 33 Nurcholis Majid, “Keilmuan Pesantren, antara Materi dan Metodologi, Pesantren, No. Perdana,

Oktober/Desember, 1984, hlm. 18. 34 Antara lain: (1) Soedjoko Prasodjo dkk, Profil Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1973; (2) Abdurrachman Wahid, Bunga Rampai

Pesantren, Dharma Bhakti, Jakarta, 1399 H.; (3) Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1982; (4) Fakultas Tarbiyah, IAIN Jember, Tipologi Pondok Pesantren di Kabupaten Jember, Laporan Penelitian, 1985; (5) M. Dawam Rahardjo, Pergumulan Dunia Pesantren, P3M, Jakarta, 1985.

35 Sarana perangkat keras mengacu ke pengertian alat-alat yang bersifat fisik. 36 Sarana perangkat lunak mengacu ke pengertian alat-alat yang bersifat nonfisik atau abstrak, misalnya:

norma, nilai, isi peraturan, ajaran dan sebagainya.

22

Kelengkapan unsur-unsur tersebut berbeda-beda di antara pesantren yang satu dan pesantren yang lain. Ada pesantren yang secara lengkap dan jumlah besar memiliki unsur-unsur tersebut, dan ada pesantren yang hanya memiliki unsur-unsur tersebut dalam jumlah kecil dan tidak lengkap. 3.4. Nilai-nilai Sistem Pendidikan Pesantren Mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam sistem pendidikan pesantren diperoleh gambaran sebagai berikut: seperti telah disebut di muka bahwa antara unsur dan nilai dalam suatu sistem pendidikan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari yang lain, ibarat “gula dan manisnya”. Manis adalah nilai dari gula. Ia merupakan sesuatu yang secara esensial harus ada pada gula. Tidak ada gula yang tidak manis; jika manis itu tidak ada, maka gula pun tidak ada. Sebaliknya unsur adalah wujud luar dari gula. Bentuk gula dapat berwujud; pasir, tepung, kubus, bola, dan sebagainya. Warna gula dapat berupa: putih, coklat, merah, dan sebagainya. Jadi, wujud lahiriah boleh berbeda-beda, namun sifat esensialnya harus sama, yaitu manis. Dalam pengertian seperti inilah tinjauan pustaka mengenai nilai dan unsur dari sistem pendidikan pesantren akan diuraikan. Sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar Islam. Ajaran dasar ini berkelindan dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam hidup keseharian. Hasil perpaduan dari keduanya inilah yang membentuk pandangan hidup, dan pandangan hidup inilah yang menetapkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai dan pilihan cara yang akan ditempuh. Oleh karena itu, pandangan hidup seseorang selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan dan perkembangan realitas sosial yang dihadapi. Dengan demikian, maka sistem pendidikan pesantren didasarkan atas dialog yang terus-menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar agama yang diyakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relatif. Sebagaimana diterangkan dalam filsafat theocentric (halaman 16), nilai agama dengan kebenaran mutlak mempunyai supremasi atas nilai agama dengan kebenaran relatif, dan kebenaran nilai agama relatif ini tidak boleh bertentangan dengan nilai kebenaran mutlak. Dalam Islam, pemahaman terhadap ajaran dasar agama itu berpusat pada maslah tauhid atau ke-Esa-an Tuhan. Dalam sejarah teologi Islam terdapat dua aliran eksterm yang berdiri berhadap-hadapan dan bertentangan satu terhadap yang lain, yaitu paham Qadariyah dan Jabariyah. Paham Qadariyah mengagumkan kemampuan akal dan menganggap manusia memiliki kewenangan besar sekali dalam mengatur kehidupannya. Paham ini berpegang pada prinsip kebebasan manusia untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya. Sebaliknya, paham Jabariyah mengagumkan wahyu dan menganggap manusia tidak memiliki kewenangan dalam mengatur kehidupan. Paham ini berpegang pada prinsip bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dan menentukan jalan hidupnya. Ia memandang apa pun yang diperbuat oleh manusia merupakan keterpaksaan dalam menghadapi ketentuan Tuhan.37 Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, muncul aliran As’ariyah yang menampilkan diri sebagai paham tengah antara Qadariyah dan Jabariyah tersebut. Paham Qadariyah dan Jabariyah oleh dunia pesantren dianggap sesat. Paham As’ariyah keluar dengan teori kasbnya untuk menengahi pertentangan antara Qadariyah dan Jabariyah dengan menyatakan bahwa manusia wajib berusaha, namun disadarkan pula bahwa

37 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 31-38. Nurcholis Majid, Pembahasan tentang Beberapa Segi Asketisme

dalam Beberapa Kitab Jawa dan Melayu, dalam hasil penelitian LIPI, Pandangan Hidup Ulama, 1987/1988.

23

usahanya itu tidak berpengaruh terhapad jalan kehidupan manusia yang telah ditentukan Tuhan. Paham As’ariyah inilah yang masuk dan mendominasi kehidupan pesantren, bahkan hampir seluruh umat Islam Indonesia mengikuti teologi As’ariyah. Gambaran lebih lanjut mengenai ketiga aliran teologi (As’ariyah yang juga menamakan dirinya sebagai Ahli Sunnah Wal Jamaah, Qadariyah dan Jabariyah) menurut versi beberapa kitab kuning, sebagaimana dituturkan kembali oleh Nurcholis Majid dalam hasil penelitian tahun 1987/1988 mengenai pandangan hidup ulama Indonesia, adalah sebagai berikut:

…”Bagi kita kaum Ahl al-Sunnah Wa al-Jamaah semua makhluk dibebani kewajiban melakukan kasab (usaha), yaitu pekerjaan yang telah ditentukan oleh Allah swt, akan tetapi usahanya itu tidak memeberi pengaruh (efek) sedikitpun juga, sama sekali tidak. Maka ketahuilah olehmu akan hal yang demikian itu”…

Yakni dalam masalah ini ada tiga aliran pendapat atau mazhab. Salah satunya ialah (yang pertama) mazhab Ahl al-Sunnah Wa al-Jamaah yang berpandangan bahwa sesuatu apapun kecuali usaha dengan ikhtiarnya, bukannya terpaksa sama sekali. Namun sementara itu usahanya tersebut tidak akan dapat memberi bekas atau pengaruh.

Yang dimaksud dengan kasab itu ialah ketergantungan qudrati-iradat (kemampuan dan kemauan) seorang hamba (manusia) kepada suatu hal tertentu bebarengan dengan qudrat-iradat abadi dari Tuhan. Manusia hanya menjadi wadah lahiriyah qudrat-iradat abadi itu saja, tanpa usaha manusia itu sendiri mampu mempengaruhinya ….

Yang kedua ialah mazhab Jabariyah, yaitu mazhab yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai usaha sama sekali, melainkan semata-mata terpaksa, tanpa ikhtiar sedikitpun juga, bagaikan bulan yang diterbangkan angin. Semuanya telah dibuat oleh Tuhan dan manusia tidak ikut menentukan……

Ketiga ialah mazhab Qadariyah, yaitu aliran yang memandang bahwa sesungguhnya makhluk mempunyai kegiatan yang bersifat pilihan (ikhtiar), dengan kemampuannya sendiri yang kemampuan itu telah diciptakan Allah untuk manusia. Kedua aliran Qadariyah dan Jabariyah itu sesat”…..

Dari kutipan tersebut di atas, dapat dimaklumi kalau para pengritik As’ariyah mengatakan bahwa para pengikut paham As’ariyah sangat mudah tergelincir mengikuti paham Jabariyah. Tetapi dengan pernyataannya bahwa “manusia wajib berusaha”, hal itu dapat ditafsirkan adanya pengakuan terhadap kemampuan dan kemauan untuk menentukan jalna hdiupnya sendiri; dan dengan pernyataannnya bahwa “usaha manusia itu tidak dapat berpengaruh terhadap jalan kehidupannya yang telah ditentukan Tuhan”, tidak selalu harus ditafsirkan sebagai suatu tanda fatalistis, tetapi mungkin saja yang dimaksudkan oleh pernyataan tersebut ialah bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia tidak akan melampaui ketentuan Sunatullah, yaitu hukum alam ciptaan Tuhan, yang tidak mengenal perubahan dan tidak dapat diubah oleh siapa pun kecuali oleh Allah yang menciptaknnya. Hal ini hanya tepat untuk analisis tingkat Tuhan tetapi tidak tepat untuk analisis tingkat manusia. Di kalangan manusia paham yang demikian itu dapat berarti bahwa konsep As’ariyah tidak percaya pada hukum alam dan kausalitas. Sementara itu, di kalangan Ahli Sunnah Wal Jamaah juga dikenalkan rukun iman yang ke-6 yaitu percaya pada Kada dan Kadar Tuhan, sehingga hal ini melengkapi pendapat para pengritik As’ariyah bahwa paham As’ariyah adalah fatalistik. Teori kasab As’ariyah tersebut sering dipandang sebagai salah satu medan pembahasan ilmu kalam yang rumit karena tekanannya untuk mencari jalan tengah atau jalan keluar dari pertentangan paham Jabariyah (fatalistis) dan paham Qadariyah (vitalistis). Sebagian pendapat mengatakan bahwa teologi As’ariyah masuk ke dalam golongan Jabariyah,38 dan sebagian yang lain, yaitu kelompok Ahli

38 Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 106-107.

24

Sunnah Wal Jamaah tetap mengatakan sebagai jalan tengah antara Qadariyah dan Jabariyah tersebut. Dikaitkan dengan konteks pembangunan masyarakat modern, masalahnya bukan terletak pada apakah paham As’ariyah masuk ke kubu Jabariyah atau Qadariyah ataukah benar-benar merupakan jalan tengah dari keduanya, tetapi seberapa jauh kemampuan pengikutnya mengolah dan mengembangkan teori kasab dari As’ariyah tersebut sehingga mampu melayani tantangan pembangunan masyarakat modern. Hal ini sangat tergantung pada pendalaman terhadap ajaran agama dan realitas sosial yang digumuli dalam hidup keseharian. Dalam sejarah keilmuan Islam, dunia Islam pernah mencapai zaman keemasannya, yaitu pada abad ke-8-13 M. dalam kurun itu Islam mencapai puncak kebudayaan yang amat tinggi. Pada waktu itu tidak ada perbedaan antara ilmuwan dan agamawan. Pengertian ulama identik dengan ilmuwan. Ulama di samping alim dalam arti agama, juga ahli dalam berbagai bidang ilmu menurut bidangnya masing-masing, jadi tidak ada pemisahan dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal itu tercermin antara lain dari model sosiologinya Ibnu Khaldun, kedokterannya Ibnu Sina, dan sebagainya. Dominasi keilmuan Islam dalam masa tersebut menjangkau hampir seluruh negara. Dalam bidang hukum Islam (fikih), muncul 4 ahli yang kemudian menimbulkan 4 mazhab yang sampai sekarang menjadi pegangan bagi sebagian besar umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ke-4 mazhab itu adalah: Maliki (714-795 M) yang berpegang pada Hadis Nabi dan pendapat–pendapat para sahabat Nabi, Hanafi (700-767 M) yang berpegang kuat pada kemampuan akal, Syafi’I (767-812 M) yang terkenal sebagai aliran tengah antara Maliki dan Hanafi, jadi merupakan perpaduan antara Sunnah Nabi dan kemampuan akal, dan Hanbali (750-855 M) yang berpegang kuat pada konsensus kaum ulama salaf, jadi seperti mazhab Maliki. Dari ke-4 mazhab tersebut, mazhab Syafi’I mempunyai pengaruh dan pengikut paling besar di Indonesia. Hampir seluruh pesantren di Jawa, terutama di Jawa Timur, mengikuti mazhab Syafi’I. Ciri dari mazhab ini antara lain ialah keterikatannya pada hadis yang sangat tinggi dalam menentukan ijtihad, sehingga dapat mengambil ijtihad yang paling selamat dalam arti paling jauh dari kemungkinan salah. Seiring dengan ini, implikasinya dalam proses belajar-mengajar di pesantren ialah mengandalkan kemampuan mengingat dan menghafal. Meskipun demikian, seperti disebutkan di muka, sebagai ciri yang lain dari mazhab Syafi’I ialah penghargaannya yang tinggi terhadap kemampuan akal dalam menentukan hukum agama. Misalnya dalam menentukan arah kiblat bagi mereka yang hendak salat yang jauh dari Masjidil Haram, dapat dipakai perhitungan akal dengan bukti-bukti yang ada, meskipun ada kemungkinan berbeda dengan orang lain. Jika terdapat kesalahan, dan kesalahan itu tidak dapat dielakkan atau tidak disengaja, dan upaya akal itu tidak dipergunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh agama, maka kesalahan seperti itu dapat dimaafkan. Dalam hal memahami ayat-ayat Alquran yang mempunyai banyak arti, maka orang harus mencari penjelasannya dari Sunnah Nabi; jika hal ini tidak dapat ditemukan, maka orang dapat mencarinya dari ijmak kaum muslimin, dan apabila ijmak juga tidak memungkinkan, maka mereka dapat melakukan qiyas atau analogi. Qiyas harus dilakukan berdasarkan ilmu dan bukti-bukti yang meyakinkan yang dapat diterima oleh akal sehat.39 Kecuali itu, mazhab Syafi’I juga sangat memperhitungkan situasi dan kondisi dalam upaya menetapkan ketentuan hukum agama. Ketetapan-ketetapan hukum agama yang dibuat ketika ia berada di Bagdad, qaul qadim (pendapat lama), berbeda dengan ketetapan yang diambil ketika ia berada di Mesir, yang disebut qaul jadid (pendapat baru).

39 Ahmadi Thoha (penerjemah), ar Risalah Imam Syafi’I, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hlm. 125-233.

25

Seperti disebutkan di muka, mazhab Syafi’I dipeluk oleh hampir seluruh umat Islam Indonesia. Bagi mereka, mazhab Syafi’I telah menyatu dalam kehidupan, baik secara pribadi maupun masyarakat. Begitu lengkap dan telitinya fikih Syafi’I, sehingga mazhab ini benar-benar telah melekat dalam kehidupan pemeluknya. Para pengikut mazhab Syafi’I merasa kurang perlu mengenal atau mencari hukum agama dari sumber lain; hubungan mereka dengan mazhab Syafi’I bukan lagi hubungan intelektual-rasional. Tetapi sudah menjadi hubungan kultural emosional.40 Dengan kata lain, ajaran Imam Syafi’i telah membudaya atau menjadi nilai dalam kehidupan mereka. “Keengganan” untuk mencari sumber-sumber hukum baru tampaknya merupakan gejala umum dari tiadanya keberanian dan kemampuan mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam Islam atau ber-ijtihad melampaui zaman keemasan abad ke-8-13 M tersebut, sehingga muncul anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Anggapan ini muncul ketika Imam al-Ghazali sekitar tahun 1100 menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara beberapa cabang ilmu filsafat dan agama. Tetapi sesungguhnya Imam al-Ghazali tidak bermaksud menyatakan bahwa dalam agama tidak ada akal. Sebagai ilmuwan dan agamawan besar tentu pernyataan-pernyataan tersebut berdasarkan alasan yang mantap,41 tetapi sebagaimana biasa, pengikut seorang tokoh biasanya mengadakan amplifikasi pada ajaran tokoh tersebut sehingga makin lama makin jauh dari aslinya. Dalam perjalanan selanjutnya timbul dikotomi "ilmu agama" yang seakan-akan tidak ada akal dan "ilmu pengetahuan" yang seakan-akan hanya ada akal' Keadaan ini menjadi semakin berlarut dengan terbitnya buku Ibnu Khaldun Muqaddimah pada sekitar tahun 1400-an, di mana digambarkan bahwa pada waktu itu terjadi saling mengejek antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. IImu pengetahuan dianggap menjerumuskan orang ke kekufuran, sedangkan ilmu agama dianggap kolot dan anti kemajuan. Gejala yang demikian ini masih terasa sampai hari ini.42

Namun, sejak awal abad ke-19 telah muncul zaman kebangkitan Islam kembali dengan tokoh-tokoh pembarunya antara lain Jamaluddin aI-Afghani dan Muhammad Abduh. Jamaluddin aI-Afghani (1839-1897 M) bergerak di bidang politik dan melahirkan gerakan Pan Islamisme untuk membangkitkan kembali umat Islam dari dominasi bangsa-bangsa non-Islam dengan jalan kembali kepada Islam yang sebenarnya (Alquran dan Hadis), sedang Muhammad Abduh (1848-1905 M) bergerak di bidang pendidikan. Ia sangat membenci cara belajar dengan menghafal dan mekanis. Menurutnya, kemunduran Islam disebabkan adanya kejumudan atau kebekuan dalam pemikiran Islam. Ia menganjurkan untuk kembali mempelajari Alquran dan Hadis dan tidak perlu selalu terikat dengan pendapat-pendapat ulama. Ia juga menganjurkan perlunya mengaitkan diri dengan kemajuan ilmu dan teknologi dalam zaman modern ini di dalam mempelajari ajaran-ajaran Islam tersebut. Menurutnya, wahyu dan akal, keduanya berasal dari Tuhan, oleh karena itu tidak mungkin bertentangan dan harus bertemu dalam satu kebenaran.43

Dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia, anggapan yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad tersebut dapat dilacak dari dua kejadian.

40 Ibid. 41 Menurut Ibnu Taimiyah, letak kedudukan intelektual al Ghazali berada di antara ulama dan filosof.

(Nurcholis Majid, Islam Kemoderenan dan Ke Indonesiaan, Mizan, Bandung, 1987, hlm. 282. 42 A. Baiquni, “Islam dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”, dalam Islam dan Pendidikan

Nasional, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983, hlm. 29-41. 43 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,

1975, hlm. 51-57.

26

Kejadian Pertama : Kembalinya para ulama dari Mekah. Seperti disebutkan dalam halaman 20 di muka, masa abad ke-13-17 M adalah masa berdirinya pusat-pusat kekuasaan dan studi keislaman. Dengan demikian, masa kembalinya para ulama dari belajar di Mekah itu, adalah bersamaan dengan masa suburnya kegiatan menyebarnya agama Islam di bumi Nusantara ini. Sementara itu, perjalanan Islam ke Indonesia melalui Persia dan anak benua India yang ketika itu sangat kuat berorientasi pada tasawuf. Karena inilah maka buku-buku tasawuf yang menggabungkan fikih dengan amalan-amalan akhlak merupakan pelajaran utama di pesantren-pesantren, di antaranya tasawuf Imam al-Ghazali dalam kitab-kitabnya: Ihya' 'Ulumuddin, Bidayatul Hidayah, Minhajul A.bidin, dan sebagainya, yang merupakan karya fikih-sufistik yang sangat mendominasi pelajaran pesantren. Dalam masa yang amat panjang, sekitar 7 abad (abad ke-13-19 M) fikih-sufistik tersebut berkelindan dengan mistik Jawa dan budaya-budaya lain di Indonesia, sehingga ia tidak hanya memasuki dunia pesantren, tetapi juga seluruh kehidupan umat Islam Indonesia. Sifat utama dari fikih-sufistik ini ialah mementingkan pendalaman akhlak yang diamalkan dalam hidup keseharian.

Sejak abad ke-I3-19 M (bahkan sampai sekarang sesungguhnya masih terlihat gejala-gejalanya), terdapat anggapan bahwa tarekat terlepas dari induknya sehingga menimbulkan ekses-ekses negatif atau penyimpangan agama, sebagaimana diketahui oleh K.H. Ahmad siddiq ketika ia menyebutkan bahwa tarekat itu sesungguhnya harus bersumber pada tasawuf, tasawuf bersumber pada syariah, dan syariah bersumber pada akidah; jadi terdapat satu kesatuan mata rantai yang tidak boleh dipisah-pisahkan satu dari yang lain. Hampir dapat dipastikan bahwa semua kiai salaf mengikuti tarekat sesuai dengan pilihannya masing-masing; dan karena tarekat merupakan bagian integral dari mata rantai tersebut, maka sesungguhnya praktik tarekat tidak boleh dipamer-pamerkan kepada orang lain, apalagi diwujudkan dalam suatu gerakan masal. Inilah sebabnya (antara lain) mengapa K.H.R. As'ad Syamsoel Arifin dan K.H. Ahmad Siddiq sendiri tidak membuat gerakan tarekat; pelaksanaan tarekatnya dilakukan secara individual-langsung berhubungan dengan Tuhan.44

Selain kitab-kitab karya Imam al-Ghazali sampai saat ini di hampir seluruh pesantren masih sangat kuat pengaruh kitab Ta'limul Muta 'allim karangan Syekh az-Zarnujiy. Kitab ini merupakam pedoman bagi santri dalam menuntut ilmu di pesantren. Di antara isinya dikatakan bahwa kunci keberhasilan menuntut ilmu adalah: murid wajib menghormati guru dan kitab-kitab yang diajarkannya .

.... "termasuk menghormati guru: jangan berjalan di depannya, duduk di tempatnya, mulai mengajak bicara kecuali atas perkenan darinya, berbicara macam-macam di depannya, dan menanyakan hal-hal yang membosankan. Tetapi hendaklah menghemat waktu, jangan sampai mengetuk pintunya, cukuplah dengan sabar menanti di luar sehingga ia sendiri yang keluar dari rumah. Pokoknya, adalah melakukan hal-hal yang membuatnya rela, menjauhkan amarahnya dan menjunjung tinggi perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama" ....

.... "termasuk memuliakan kitab: Syaikhul Imam Syamsul Aimmah As-Syarkhasiy pada satu malam mengulang kembali pelajaran-pelajarannya yang terdahulu, kebelulan terkena sakit perut, jadi sering kentut. Untuk itu ia terpaksa melakukan 17 kali berwuduk dalam satu malam tersebut karena mempertahankan supaya belajar selalu dalam keadaan suci" ....

44 Mastuhu, “Tiga Ulama Termasyhur di Jawa Timur”, dalam Nadhar, Buletin tak berkala penelitian Agama,

LIPI, seri 10, Desember, 1987, hlm. 17-36.

27

.... "(murid) hendaknya jangan membentangkan kaki ke arah kitab. Kitab Tafsir letaknya di atas kitab-kitab lain, dan jangan menaruh sesuatu di atas kitab" ....45

Kutipan tersebut ternyata sejiwa dengan pengalaman Djamil Suherman dan Sepuluh

Tata Tertib Pesantren Meranggeng-Semarang dan gaya kepemimpinan para pengasuh pesantren, sebagaimana disebutkan dalam halaman 35-36, dan dilaporkan dalam halaman 79-96 pada disertasi ini.

Sehubungan dengan itu, maka dalam hal pemberian ilmu di pesantren, hal-hal yang bersifat panalaran akal agak tersingkir, dan sebaliknya hal-hal yang bersifat dogmatis lebih mendalam.46

Dalam proses belajar - mengajar di pesantren lebih banyak ditekankan penguasaan dan pengayaan materi pengajaran daripada metodologi berpikir keilmuan. Meskipun di pesantren juga diajarkan ilmu mantiq atau silogisme, tetapi sifatnya mekanis dan tidak mendorong berkembangnya pemikiran rasional, karena dalam ilmu mantik itu disusun suatu konsep universal. Misalnya: "Semua orang akan mati, Aristoteles adalah orang, maka ia akan mati."

Universalisme itu terlalu sewenang-wenang sehingga tidak memberi tempat sedikit pun bagi partikular, yaitu sesuatu yang dapat diobservasi dalam kehidupan empiris, dan sesuatu yang dapat diobservasi itu memiliki nilai ilmiah. Sesungguhnya rumusan usul fikih oleh Imam Syafi'i lebih rasional dan realistik. Misalnya: hukum itu berputar menurut ada dan tidak ada, "sesuatu yang tidak terpenuhi semua, tidak boleh ditinggalkan semua.47

Dalam perumusan-perumusan itu jelas masih terdapat tempat bagi partikular untuk diobservasi. Dengan demikian ada dualisme pengajaran logika di pesantren.

Dalam prospektif pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu mantik tersebut makin lama makin turun pamornya karena sudah kurang relevan lagi dengan kenyataan dan kemajuan logika modern yang dikembangkan oleh John Stuart Mill dan David Hume, yang banyak dipergunakan di perguruan umum. Meskipun demikian, tampaknya sulit bagi pesantren untuk begitu saja meninggalkan ilmu mantik tersebut karena dalam agama banyak hal-hal yang tidak dapat dan tidak perlu diuji kebenarannya secara empiris, yang dapat diuji hanyalah dimensi pengalaman lahiriahnya, bukan dogmanya, oleh karena itu ilmu mantik tetap diperlukan, sebagaimana hal ini dibela oleh Imam al-Ghazali dan Ibnu Khaldun yang tetap menghargai ilmu mantik dengan membuat pernyataan bahwa orang yang tidak tahu mantik hujjah-nya tidak dapat diterima.48 Kejadian kedua: Para ulama atau kiai yang sekarang memimpin pesantren mengalami model pendidikan bercorak fikih-sufstik dengan orientasi nilai yang sangat menekankan pentingnya kehidupan ukhrawi di atas duniawi, agama di atas ilmu, dan moral di atas akal. Model pendidikan yang seperti itu berjalan dalam kurun waktu yang amat panjang, sepanjang pemerintah kolonial. Seperti disebutkan di muka, pemerintah kolonial menolak memasukkan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan pemerintah atau sistem pendidikan umum, karena dianggap telalu jelek.

45 Drs. Ally As’ad (Penerjemah kitab Ta’limul Muta’alim), Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan,

Menara Kudus, 1978, hlm. 26-27. 46 Nurcholis Majid, “Keilmuan Pesantren, Antara Materi dan Metodologi”, Loc. Cit. 47 Ibid. 48 Ibid.

28

Selama itu pendidikan Islam dijauhkan dari urusan keduniawian kecuali mengenai fara’id, yaitu hukum waris. Meskipun demikian, model pendidikan tersebut tidak seluruhnya buruk, karena ternyata ia menghasilkan pertahanan mental spiritual yang kuat, dan telah mampu memberikan pembinaan moral sehingga mendapat tempat di hati masyarakat dan kaum muda Islam. Secara tidak disadari pesantren merupakan lembaga pendidikan yang menumbuhkan fanatisme keagamaan yang mendalam dan emosional, dan telah ikut menambah rasa anti penjajah sebagai kaum kafir. Pada waktu perang kemerdekaan, semboyan mengusir kaum kafir yang dibawakan oleh para ulama terasa lebih membakar semangat perjuangan dari pada semboyan yang dibawakan oleh kelompok nasionalis, yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial harus diusir dari muka bumi karena tidak sesuai dengan keadilan, dan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Kobaran semangat anti penjajah tersebut lebih dimantapkan lagi dengan salah satu doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman, Hubbul watan minal iman. Tetapi seperti tersebut di muka dalam saat-saat terakhir ini, sekitar sejak dua atau tiga dasawarsa yang lalu lembaga pendidikan pesantren terasa mulai menurun di mata masyarakat dan kaum muda Islam, karena dianggap tidak mampu memberi jaminan kerja, sebagaimana sekolah-sekolah umum, tetapi mereka tetap percaya bahwa pesantren masih mampu menjamin pembinaan moral. Oleh karena itu, merka tetap hormat kepada pendidikan pesantren dan pendidikan-pendidikan agama Islam lainnya, tetapi mereka sadar bahwa dalam mengarungi kehidupan masyarakat modern mereka memerlukan keduanya: pembinaan moral dan jaminan kerja sekaligus, tidak cukup hanya salah satu saja. Meskipun demikian, bersamaan dengan itu telah pula tumbuh gejala baru di kalangan pendidikan Islam, termasuk pesantren, yaitu praktis sudah pudarnya dewasa ini pandangan anti agama Kristen sebagai agama penjajah berkat pembinaan yang intensif dari pemerintah melalui program-program pembangunan nasional, yaitu kerukunan antar umat beragama. Misalnya dari berbagai pernyataan tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1987 menyatakan bahwa konsep ukhuwah dalam Islam meliputi persaudaraan sesama agama (ukhuwah Islamiyah), sesama bangsa (ukhuwah wataniyah), dan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Sealin itu secara ressmi sistem pendidikan Islam Indonesia telah masuk menjadi subsistem pendidikan nasional, yaitu dengan adanya surat keputusan bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri, disingkat dengan SKB 3 Menteri, 24 Maret 1975, dimana porsi mata pelajaran umum bagi madrasah mencapai 70 % dan agama 30 %. Dengan posisi seperti itu, madrasah ibtidaiyah kini memililki kedudukan setaraf dan karenanya memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan SD.49

Sebelumn itu, pada tahun 1973-an telah dikenalkan berbagai keterampilan ke pesantren, seperti: pertukangan, menjahit, perbengkelan, peternakan, pertanian, koperasi, dan sebagainya. Meskipun jenis-jenis keterampilan seperti itu bukan merupakan hal baru bagi santri, karena mereka memang sudah akrab dengannya, tetapi yang dimaksud dengan pemberian keterampilan tersebut ialah untuk membuka wawasan berpikir keduniawian; wawasan berpikir selama ini dinilai terlalu berat pada keakhiratan. Belum pernah dilakukan evaluasi yang rinci mengenai keberhasilan program keterampilan tersebut, tetapi yang jelas lembaga-lembaga: studi, perguruan tinggi, departemen--departemen dan sosial telah ikut serta aktif mengambil bagian dalam kegiatan tersebut, dan banyak pesantren-pesantren yang mengirimkan santri-santrinya ikut serta dalam training-training keterampilan yang diselenggarakan oleh lembaga-Iembaga dimaksud. Lembaga-lembaga itu antara

49 Departemen Agama, Pondok Pesantren dan Sistem Pendidikan Nasional, Seri monografi, 1984/1985, hlm.

58.

29

lain adalah: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), LSP . (Lembaga Studi Pembangunan), Departemen Penerangan yang mensponsori berdirinya Pusat Informasi Pesantren, ITB (Institut Teknologi Bandung), dan sebagainya dalam masa 1977-an.

Semua itu bersama-sama dengan dampak global dari pembangunan nasional dan kemajuan ilmu dan teknologi, mau tidak mau mempengaruhi wawasan berpikir santri. Seperti disebutkan di muka, saat ini hampir di seluruh pesantren diselenggarakan madrasah, sekolah umum, dan bahkan perguruan tinggi agama baik dalam bentuk sekolah tinggi, institut, maupun universitas agama yang biasanya terdiri atas: fakultas-fakultas Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah.

Akibat masa uzlah yang panjang, corak pendidikan fikih-Sufistik seperti digambarkan di muka masih berjalan sampai saat ini. Namun, terdapat beberapa dampak positif antara lain ialah: (a) Timbulnya nilai kependidikan yang positif yaitu sikap yang memandang semua kegiatan pendidikan sebagai ibadah kepada Tuhan. Tugas menyelenggarakan pesantren oleh kiai, tugas mengajar oleh ustaz, tugas· belajar oleh santri, tugas mengirimkan anak ke pesantren oleh orangtua, dan belajar di pesantren dinilai sebagai ibadah kepada Tuhan. Nilai ibadah ini ternyala merupakan nilai kunci yang mendasari nilai-nilai lain dengan keikhlasan atau kelulusan dalam menyelenggarakan dan melaksanakan tugas-tugas kependidikan, yang selanjutnya melahirkan nilai-nilai lain seperti penerimaan yang terbuka kepada siapa saja yang mau menjadi santri tanpa dikenakan persyaratan-persyaratan tertentu seperti: waktu pendaftaran, inteligensi, umur, biaya alau uang, dan sebagainya, (b) Tumbuhnya pembagian tugas dalam menjaga nilai-nilai yang mendasari pesantren. Penjagaan nilai-nilai agama dengan kebenaran mutlak ada di tangan kiai, dan nilai-nilai agama itu super di atas nilai agama dengan kebenaran relatif, menentukan gerak kehidupan pesantren pada semua aspeknya, sedang nilai agama kebenaran relatif berada di tangan santri dan karenanya sangat tergantung pada restu kiai. Hal ini kemudian menyebabkan berkembangnya nilai-nilai lain seperti: ketundukan dan ketaatan serta kepercayaan santri kepada kiai alau ustaznya, pada orangtua, saudara, dan orang-orang lain terutama yang lebih tua, dan (c) Tumbuhnya nilai-nilai dalam pesantren yang berbeda dengan nilai yang hidup di tangan masyarakat luas, seperti konsep terhadap kebersihan dan waktu di mana nilai dalam pesantren didasarkan atas ajaran fikih, sedangkan nilai-nilai dalam masyarakat didasarkan atas realitas sosial. Di kalangan pesantren terkenal prinsip pergaulan bahwa: dalam hal hak "orang harus mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri, tetapi dalam hal kewajiban, orang harus mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain". Sedangkan dalam hal memilih sesuatu: "memelihara hal-hal baik yang telah ada, sarnbil mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik" al-muhafazatu, 'ala al-qadimissalih ma’al akhizi bil jadidil aslah.50

Dengan diserahkannya pelaksanaan nilai agama dengan kebenaran relatif kepada santri, rnaka santri bebas dan aktif ikut serta menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Dengan demikian santri tidak segan melakukan perdebatan dengan siapa saja rnengenai soal-soal yang nonagama; kecuali kepada kiai, bagaimanapun rnereka tetap segan karena gaya kepemimpinan karismatik kiai yang sangat mencekam. Di bawah ini dikutipkan contoh-contoh perbedaan konsepsi antara pesantren dan masyarakat luas mengenai: solidaritas kawan, kebersihan, horrnat kepada guru, dan uraian mengenai pengertian waktu; yang sampai sekarang pada umumnya masih hidup dalam dunia pesantren, setidak-tidaknya di pesantren-pesantren tertentu, dan secara kultural hal itu masih dapat dirasakan sebagai suatu nilai yang masih hidup dalam kehidupan pondok pesantren. Konsepsi solidaritas kawan:

50 Abdurrachman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, 1399 H., hlm. 169.

30

"Sebagai santri, yang paling menyayangi aku tidak bisa pisah dari kawan-kawanku yang lain dalam segala hal. Hidup kami rukun dan desa Kedungring sebagai pesantren merupakan keluarga besar yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu sarna lain. Hubungan batin antara kami dan antara kami dengan keluarga kiai sangat eratnya. Keluarga besar yang dilindungi oleh bapak junjungan dunia akhirat. Hidup begini kami rasa tenteram di bawah lindungan surau dan kiai yang alim. Kami percaya di sinilah letak dunia kami. Hidup damai dan diridai Allah".51 Konsepsi kebersihan: "Di pesantren kami, air kolam yang bertahun-tahun tidak pernah dikuras bukanlah soal yang jadi perhatian istimewa, karena menurut anggapan mereka, air kolam yang tiap hari dipergunakan orang Islam mengambil air wudlu itu tetap berkah, artinya ada khasiatnya. Besar kolam itu cukup bisa menampung air sebanyak 20 kullah, karena itu syah menurut syarat yang ditetapkan oleh kitab fikih. Kolam itu dipergunakan oleh siapa saja yang datang hendak melakukan salat di surau. Mula-mula mereka membasuh dua tangan yang dicelupkan berganti-gantian, lalu air itu dicawiknya untuk kumur-kumur, kemudian membasuh muka rata-rata tiga kali, kedua Iengan sampai di atas siku, kuncung rambut, kedua telinga dan akhirnya mencelupkan sarna sekali kedua kaki berganti-ganti kedalam kolam.52 Konsepsi hormat kepada guru (kiai): Sepuluh tata tertib dari Pondok Pesantren Meranggeng Semarang, Tengah: 1. Seorang murid harus mempunyai keyakinan penuh bahwa tujuannya tidak tercapai tanpa

adanya guru. 2. Murid harus sepenuhnya pasrah dan menurut kepada kepemimpinan guru. 3. Jika kebetulan murid berbeda pandangan dengan guru, maka ia harus melepaskan

pandangannya sendiri itu dan menganut pandangan guru. 4. Harus senang bersama senangnya guru, dan harus benci bersama dengan bencinya guru. 5. Tidak baleh sama sekali mendahului guru dalam membuat tafsiran tentang gejala atau

pertanda. 6. Harus merendahkan suara di hadapan dan dalam pertemuan dengan guru, baleh banyak

bertanya ataupun banyak bicara. 7. Bila hendak sowan atau berkunjung kepada guru, murid wajib memberi lebih dulu, dan-

menanti waktu yang cocok bagi guru. 8. Harus sedia membuka rahasia apa saja yang ada pada murid itu di hadapannya, dan

dilarang menyembunyikan rahasianya itu, khususnya dengan suatu pengalaman keagamaan.

9. Murid dilarang mewartakan ucapan-ucapan guru kecuali setingkat dengan daya akal murid, dan hanya dalam hal-hal yang diizinkan.

10. Sama sekali dilarang membicarakan guru secara tidak baik (mengumpat) masuk menyindir, menyinggung perasaan atau mengritik.53

51 Djamil Suherman, Umi Kalsum, kisah-kisah pesantren, Mizan, Bandung, 1984, hlm. 30. 52 Ibid., 26-27. Menurut fikih, air untuk wudu cukup dua kulah. 53 Nurcholis Majid, dalam Seminar Pendalaman Agama, Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 2-3 Oktober,

1985.

31

Dari urain tersebut jelas bahwa nilai yang mendasari sistem pendidikan pesantren bersumber dari ajaran Islam yang bersifat fikih-sufistik. Hal ini sangat berbeda dengan nilai-nilai yang mendasari sistem kehidupan masyarakat luas. Pengertian waktu Konsep waktu menurut pesantren berbeda dengan konsep waktu menurut masyarakat luas. Dalam pesantren, konsep waktu diukur dari segi salat, khususnya salat wajib lima waktu; sedang dalam masyarakat luas diukur kegiatan kehidupan atau program kerja keduniawian dalam lebih kurang 24 jam. Oleh karena itu, kalau melakukan perjanjian kegiatan apa saja dengan santri sering menggunakan patokan waktu seperti: sesudah asar, sesudah magrib, sesudah isya, sesudah subuh, dan sebagainya. Atau sebelum Ramadan, sesudah Hari Raya Haji, dan seterusnya. Pendeknya yang dijadikan ukuran adalah waktu ibadah kepada Tuhan; bukan waktu dalam arti 24 kehidupan sebagaimana kebiasaan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, maka dapat dimaklumi, kalau pada saat menjelang magrib masih ada santri yang mencuci pakaian, pagi-pagi buta mereka sudah mulai bekerja, dan sebagainya.54 Apalagi bulan Puasa, adalah saat yang sangat baik untuk menghubungi teman sebelum salat subuh sambil sekalian membangunkan untuk makan sahur. Hal ini tentunya tidak lazim dilakukan terhadap teman yang tidak dalam satu kultur agama.

Kunci pemahaman sistem pendidikan pesantren dari segi unsur, terletak pada sistem pembagian kerja di mana pemeliharaan nilai agama dengan nilai kebenaran mutlak ada di tangan kiai, dan pemeliharaan nilai agama dengan kebenaran relatif ada di tangan ustaz dan santri. Sedang dari segi nilai, terletak pada pandangan bahwa semua kegiatan kependidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan. Nilai agama dengan kebenaran mutlak tersebut memiliki sepremasi di atas nilai agama dengan kebenaran relatif. Nilai agama dengan kebenaran mutlak merupakan sumber informasi dan konfirmasi bagi nilai agama dengan nilai kebenaran relatif. Sehubungan dengan itu maka sistem pendidikan pesantren dikatakan sebagai sistem tertutup, apabila menyangkut nilai agama dengan kebenaran mutlak, dan disebut sebagai sistem terbuka, apabila menyangkut nilai agama dengan kebenaran relatif. Ini berarti bahwa pesantren memiliki potensi terbuka dan lentur untuk menerima hal-hal yang datang dari luar, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan akidah dan syariah. Akidah, artinya keyakinan, dan syariah artinya semua kegiatan manusia yang diatur menurut hukum Islam.

Kecuali itu, dengan diberikannya kesempatan yang luas bagi santri untuk aktif di bidang-bidang nonagama dalam proses pendidikan, maka hal itu berarti bahwa dalam sistem pendidikan pesantren berlaku prinsip pendidikan self government, atau open school. Prinsip pendidikan yang demikian akan mampu mengantar anak didik bersikap mandiri dalam arti siap mental untuk menghadapi pekerjaan atau lapangan kehidupan apa saja, setelah ia menamatkan pendidikannya. Tetapi jika model pendidikan seperti itu tidak dilanjutkan dengan pendidikan profesional yang akan mengantar anak didik menjadi orang yang memiliki profesi atau keahlian tertentu, maka ia akan menjadi generalis yang minimalis dalam arti sanggup menerima jenis pekerjaan apa saja dengan keahlian minimal yang diperoleh dari latihan magang dan bukan dari pendidikan profesional.

54 Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai subkultural” dalam Bunga Rampai Pesantren, Dharma Bhakti,

Jakarta, 1399 H., hlm. 7-42.