diky avianto - apbd2011 - analisis alasan australia melakukan perjanjian kerja sama dengan malaysia...

20
Diky Avianto (0906636674) Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya 0 Makalah Akhir Mata Kuliah Australia dan Pasifik Barat Daya Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seeker Disusun oleh: Diky Avianto (0906636674) Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia © 2011

Upload: diky-avianto

Post on 29-Jul-2015

551 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

0

Makalah Akhir

Mata Kuliah Australia dan Pasifik Barat Daya

Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian

Kerja Sama dengan Malaysia Terkait

Permasalahan Asylum Seeker

Disusun oleh:

Diky Avianto (0906636674)

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

© 2011

Page 2: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

1

Lembar Orisinalitas

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama : Diky Avianto

NPM : 0906636674

Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

Menyatakan bahwa makalah yang saya buat berjudul “Analisis Alasan Australia

Melakukan Perjanjian Kerja Sama dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum

Seeker” untuk mata kuliah Australia dan Pasifik Barat Daya ini adalah benar-benar karya

saya sendiri dan belum pernah diberikan untuk mata kuliah manapun. Segala kutipan dan

acuan telah dicantumkan sebagaimana peraturan yang berlaku.

Depok, 6 Januari 2012

Diky Avianto

Page 3: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

2

BAB I

PENDAHULUAN

Pada BAB I ini, pertama akan dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan

makalah ini yang isinya mengenai mengapa kasus ini menarik untuk dibahas dan juga

permasalahan yang sebenarnya sehingga itu akan dirumuskan dalam rumusan permasalahan

yang harus dijawab dalam makalah ini. Kemudian setalah itu akan dipaparkan kerangka

konseptual yang dipakai untuk menganalisis kasus ini yaitu Two-Level Game Theory dan

konsep Asylum Seeker itu sendiri.

I.1 Latar Belakang Permasalahan

Isu mengenai para pencari suaka (asylum seekers) dan pengungi (refugees) merupakan

isu yang cukup menjadi isu yang menjadi permasalahan di Dunia. Akan tetapi isu

pengungsian mulai marak semenjak pasca Perang Dunia II dimana penduduk negara-negara

yang negaranya hancur akibat perang mulai mencari pertolongan dengan pindah ke negara

yang tidak terkena dampak perang. Karena semakin banyaknya jumlah pengungsi dan pencari

suaka, maka pada tahun 1951 dibuatlah suatu konvensi yang bernama Convention Relating to

the Status of Refugees. Konvensi tersebut berisikan mengenai definisi siapa itu pengungsi,

aturan terhadap hak-hak tiap individual yang sudah diberikan suaka, dan kewajiban dari

negara (state-party) terhadap pemberian suaka serta pengungsi.

Semenjak konvensi itu dibuat pada tahun 1951 sampai dengan tahun 2011, setidaknya

ada 144 negara yang telah menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut.1 Dalam

prinsip umum hukum internasional, perjanjian yang berlaku yang mengikat para pihak untuk

itu dan harus dilakukan dengan itikad baik. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi

Pengungsi ini berkewajiban untuk melindungi pengungsi yang ada di wilayah mereka, sesuai

dengan ketentuan-ketentuannya. Ada sejumlah ketentuan bahwa negara yang pihak dari

Konvensi Pengungsi dan Protokol 1967 harus mematuhi. Diantaranya adalah: bekerja sama

Dengan UNHCR, dan selalu memastikan negaranya mematuhi konvensi yang sudah dibuat.

Dari ke-145 negara yang menjadi state-party dalam konvensi tersebut, Australia

merupakan salah satunya. Dalam makalah ini yang menjadi fokus penelitian penulis adalah

1 UNHCR, “States Parties to the 1951 Convention relating to the Status of Refugees and the 1967 Protocol”,

diunduh dari http://www.unhcr.org/3b73b0d63.html

Page 4: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

3

Australia. Hal ini didasari oleh temuan penulis dimana Australia menganggap masalah

pencari suaka merupakan suatu permasalahan di negaranya. Padahal jumlah pencari suaka

dan pengungsi yang berada di Australia tidaklah sebanyak negara-negara lainnya. Hal ini

dibuktikan dengan data berikut:

Tabel 1. Data Refugees dan Asylum Seekers2

Dengan data jumlah pengungsi di seluruh dunia (2010) adalah 9.952.414 dan jumlah

pencari suaka (2010) adalah 837.478. Jumlah pengungsi yang ada di Australia sesuai table

diatas adalah 21.808 orang dan untuk pencari suaka 3.760, maka dengan demikian, presentase

pengungsi dan pencari suaka di Australia adalah sebesar 0,22% dan 0,45%. Presentase ini

tentunya sangat kecil jika dibandingkan negara lain seperti Italia dan Pakistan.3

Walaupun Australia telah menandatangani konvensi ini dan cukup menjalankannya

dengan baik, namun ada intense dari Pemerintah Australia untuk memindahkan dan tidak lagi

menerima para pencari suak. Hal ini dimulai pada tahun 2000 Australia mengadakan sebuah

kebijakan bernama Pasific Solution dengan Nauru dan Papua New Guinea.

Pacific Solution adalah nama yang diberikan kepada kebijakan pemerintah Australia

(2001-2007) memindahkan pencari suaka ke pusat penahanan di negara-negara pulau kecil di

Samudra Pasifik, daripada membiarkan mereka untuk mendarat di daratan Australia. Hal itu

2 UNHCR, “Global Trend in 2011”, diakses dari http://www.unhcr.org/4dfa11499.html pada 21 Desember 2011 3 Ibid.,

Page 5: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

4

dukungan bipartisan dari kedua pemerintah Liberal-Nasional dan oposisi Buruh pada saat itu.

Kebijakan ini dikembangkan oleh pemerintahan Howard dalam menanggapi dan

dilaksanakan oleh Menteri Imigrasi Australia, Philip Ruddock. Pencari suaka dicegat di laut

saat berlayar dari Indonesia dan pindah menggunakan kapal angkatan laut Australia. Pusat

penahanan didirikan di Pulau Christmas, Pulau Manus di Papua Nugini, dan di negara pulau

kecil Nauru.

Berkaitan dengan itu, Pemerintah Australia juga membuat suatu aturan pada tahun

2002 dimana seluruh pencari suaka yang datang ke Australia tanpa ada visa dan dokumen

yang jelas akan dimasukan ke dalam detention camp. Mereka berada disana sampai dengan

mendapatkan izin dan status „pengungsi‟ dari Pemerintah Australia.

Usaha Australia tidak sampai disitu, ia pun mencoba melakukan perundingan dengan

Timor Leste dan Indonesia untuk membuat perjanjian dengannya mengenai permasalahan

pengungsi dan pencari suaka. Akan tetapi langkah tersebut tidak berhasil. Puncaknya,

Australia berhasil bernegosiasi dengan Malaysia dan akhirnya mereka menandatangani

persetujuan “Arrangement Between The Government Of Australia And The Government Of

Malaysia On Transfer And Resettlement” pada tanggal 25 Juli 2011.

Isi dari perjanjian tersebut terdapat beberapa hal penting yaitu (1) 800 irregular

maritime arrivals yang datang ke Australia akan langsung digiring ke Malaysia untuk

menunggu dan memproses status pengungsi. (2) Sebagai gantinya, dalam 4 tahun secara

bertahap, Australia akan menerima 4000 orang yang sudah diberi status pengungsi. (3)

Australia akan membiayai penuh program ini sebesar US$ 292 milyar.4

Australia yang menandatangani konvensi tentang pengungsian seharusnya tidak perlu

melakukan semua itu karena Australia harusnya menerima para pencari suaka dan pengungsi

tersebut. Hal ini menjadi menarik karena sepertinya Australia tampak mulai memproteksi diri

terhadap para pencari suaka. Dengan demikian, makalah ini akan mencoba mencari tahu

alasan Australia dibalik adanya perjanjian antara Australia dan Malaysia tersebut.

I.2 Rumusan Permasalahan

Makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan permasalahan “Mengapa Australia

mengadakan perjanjian (Arrangement Between The Government Of Australia And The

Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement) terkait dengan permasalah Asylum

Seeker?”

4 _______, “Asylum Deal” diakses dari www.abc.net.au/btn/story/s3220085.htm pada 21 Desember 2011

Page 6: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

5

I.3 Kerangka Konseptual

Dalam menganalisis dan menjawab pertanyaan permasalahan, penulis menggunakan

Two-Level Game Theory untuk menganalisis sikap dan kebijakan yang diambil oleh Australia

terkait perjanjian mengenai Asylum Seeker tersebut. Kemudian konsep Asylum Seeker dan

Refugee juga ada untuk memperjelas definisi dan mengetahui seperti apa pencari suaka dan

pengungsi itu.

I.3.1 Two-Level Game Theory

Two-Level Game Theory merupakan suatu teori yang digagas oleh Robert Putnam

yang pada dasarnya menghubungkan antara level domestik dan level internasional dalam

melihat sebuah proses menuju persetujuan atau perjanjian baik itu bilateral maupun

multilateral. Seperti yang dikatakan oleh Putnam “Domestic politics and international

relations are often somehow entangled”5

Secara khusus, Two-Level Game Theory Robert Putnam (1988) menyediakan

kerangka kerja untuk memahami interaksi determinan domestik dan internasional dari

kebijakan luar negeri. Menurut metafora nya, pihak ke negosiasi internasional yang

diwakili oleh kepala negosiator tunggal yang memainkan dua permainan secara

bersamaan. Di satu sisi, negosiator berusaha untuk mencapai kesamaan ketika

bernegosiasi dengan mitra luar negerinya. Di sisi lain, ia berusaha untuk memperoleh

persetujuan domestik dari kesepakatan dinegosiasikan. Akibatnya, dalam usahanya untuk

memuaskan tekanan internasional dan domestik, negosiator ini terjebak dalam dilema

strategis. Karena bergerak pada satu tingkat mempengaruhi bermain di sisi lain, pilihan

kebijakan yang dibingkai oleh kendala dan peluang pada kedua tingkat.

“At the national level, domestic groups pursue their interests by

pressuring the government to adopt favourable policies, and

politicians seek power by constructing coalitions among

those groups. At the international level, national governments seek to

maximize their own ability

to satisfy domestic pressures, while minimizing the adverse consequences

of foreign developments”6

5 Robert D. Putnam. "Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games", dalam International

Organization. 42 (Summer 1988) hal. 427 6 Ibid., hal.434

Page 7: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

6

Inti dari interaksi antara dua tingkat ditangkap oleh konsep kunci 'win-set', yang

didefinisikan sebagai himpunan semua kemungkinan perjanjian internasional yang akan

diterima di tingkat domestik. "win-set" didefinisikan sebagai "the set of all possible Level

I (international) agreements that would „win‟ that is, gain the necessary majority among

the constituents"7 Menurut Putnam, ukuran dari set menang-tergantung pada banyak

variabel, termasuk prosedur ratifikasi, preferensi aktor domestik dan framing isu

strategis. Perjanjian internasional hanya mungkin jika ada win-set pada semua pihak

tumpang tindih.

Two-Level Game Theory yang dikembangkan oleh Putnam menekankan proses

interaktif yang terjadi ketika seorang pemimpin nasional menemukan dirinya negosiasi

perjanjian internasional bersamaan: negosiasi internasional (level 1), dimana pemimpin

mencoba untuk mencapai kesepakatan dengan para pemimpin lainnya; dan negosiasi

dalam negeri (tingkat 2), dimana pemimpin mencoba untuk mendapatkan kesepakatan

diterima oleh undang-undang dan masyarakatnya.8 Dua jenis tekanan pada dasarnya

berbeda, dan kendala yang dikenakan tidak akan ditemui di tempat pertama jika

negosiasi diadakan dalam permainan nasional atau internasional murni.

Berikut adalah dua level yang dijelaskan oleh Putnam:

I.2.1 The International Level: Pressure and Compromise

Tingkat internasional terdiri dari negara-negara berdaulat berusaha untuk

menegosiasikan sebuah perjanjian yang terbaik memaksimalkan kemampuan mereka

sendiri untuk memenuhi tekanan domestik, sambil meminimalkan konsekuensi negatif

dari perkembangan asing. Ini berpendapat bahwa logika negara bernegosiasi dan

menandatangani perjanjian di tingkat internasional yang dapat berpengaruh bagi politik

dalam negeri.

I.2.2 The Domestic Level: Actors and Influences

Tingkat domestik terdiri dari sejumlah aktor, proses dan pengaruh yang memiliki

dampak yang kuat pada perjanjian internasional. Bagian dasar pemahaman sifat bagi

politik dalam negeri berkisar mengidentifikasi jenis pelaku yang terlibat dalam

permainan politik dalam negeri. Ia membedakan empat jenis aktor yang membentuk

bagaimana permainan ini dimainkan dalam negeri: militer, publik massa, media massa

dan oposisi politik.

7 Ibid., hal. 439 8 Ibid.,

Page 8: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

7

I.3.2 Refugee dan Asylum Seeker

Pengungsi atau Refugee secara harfiah menurut Kamus Oxford adalah orang yang

berada di luar negara asal mereka atau tempat tinggal kebiasaan karena mereka telah

menderita penganiayaan terkait ras, kebangsaan agama, pendapat politik, atau karena mereka

adalah anggota dari sebuah 'kelompok sosial' yang dianiaya. Orang seperti itu dapat disebut

sebagai 'pencari suaka' (Asylum Seeker) sampai diakui oleh negara mana dia membuatnya

klaim.9 Di bawah Konvensi PBB berkaitan dengan Status Pengungsi tahun 1951 (United

Nations Convention Relating to the Status of Refugees of 1951), pengungsi yang lebih sempit

didefinisikan (dalam Pasal 1A) sebagai orang yang "karena ketakutan yang beralasan akan

dikejar-kejar atas alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu,

atau opini politik, berada di luar negara kebangsaannya, dan tidak dapat atau , karena

ketakutan tersebut, tidak mau memanfaatkan diri dari perlindungan negara itu ".10

Selain iru konsep pengungsi diperluas oleh Protokol 1967 Konvensi dan oleh konvensi-

konvensi regional di Afrika dan Amerika Latin untuk memasukkan orang-orang yang

melarikan diri perang atau lainnya kekerasan di negara asal mereka. Pengungsi perempuan

dan anak-anak suatu ayat tambahan pengungsi yang perlu perhatian khusus. Untuk sistem

pengungsi untuk bekerja dengan sukses, negara harus siap untuk memungkinkan perbatasan

Terbuka untuk orang yang melarikan diri konflik, khususnya bagi negara yang paling dekat

dengan konflik.

9 UNHCR, “Refugee”, diakses dari http://www.unhcr.org/pages/49c3646c125.html pada 22 Desember 2011 10 Ibid.,

Page 9: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

8

BAB II

PEMBAHASAN

Pada BAB II ini, penulis akan memulai analisis dari data-data yang telah didapatkan

guna menjawab pertanyaan permasalahan penelitian ini. Pertama, akan dijelaskan terlebih

dahulu bagaimana keadaan Asylum Seeker di Australia serta aturan yang berlaku di sana.

Kemudian pada bagian berikutnya akan dibagi sesuai teori yang penulis pakai yaitu Two-

Level Game Theory yang menganalisis pengaruh sektor domestik dan internasional. Dengan

demikian pada sub-bab kedua akan dijelaskan bagaimana sektor domestik Australia

berpengaruh dan pada sub-bab ketiga akan dijelaskan bagaimana sektor luar negeri

(internasional) juga ikut berpengaruh terhadap keputusan Australia mengadakan

“Arrangement Between The Government Of Australia And The Government Of Malaysia On

Transfer And Resettlement” terkait permasalahan Asylum Seeker.

II.1 Keadaan Asylum Seekeer dan Detention Policy di Australia

Pada dasarnya, pengungsi mulai banyak datang ke Australia setelah Perang Dunia

Kedua. Kebanyakan berasal dari negara-negara seperti Jerman, Polandia dan Ukraina. Pada

tahun 1950 kami melihat pengungsi yang berasal dari Hungaria dan di tahun 1960 banyak

yang datang dari Cekoslowakia. Pada 1970-an pengungsi mulai datang dari Indochina

(Vietnam) dan Amerika Latin (Chile dan El Salvador), dan kelompok-kelompok ini terus

datang sampai tahun 1980an.11

Tahun 1990-an didominasi oleh Perang Balkan, dengan

jumlah besar datang dari Bosnia dan Kroasia. Ada juga sejumlah besar pengungsi yang

datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan selama dekade ini. Banyak dari orang-orang ini

minoritas etnis dan agama atau penentang rezim Taliban di Afghanistan atau rezim Saddam

Hussein di Irak. Pada tahun 2000-an mayoritas pendatang datang di bawah Pengungsi dan

Program Kemanusiaan Khusus datang dari Afrika, khususnya di Sudan. Pengungsi juga terus

datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam 60 tahun terakhir, Australia telah

menawarkan tempat tinggal permanen menjadi sekitar 700.000 pengungsi dan orang lain

yang membutuhkan perlindungan kemanusiaan.12

11 _______, “Background and Information about Refugees and Asylum Seekers” diunduh dari

http://www.refugeecouncil.org.au/docs/news&events/RW_Background_Information.pdf 12 Ibid.,

Page 10: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

9

Akan tetapi, pada perkembangannya, Pemerintah Australia mulai melakukan

pembatasan-pembatasan dalam menerima pendatang melalui laut yang ingin mencari suaka.

Hal ini diklaim untuk meningkatkan kawasan keamanan perbatasan dan juga keimigrasian

untuk mencegak penyelundupan manusia secara illegal. Mandatory detention legislation

pertama kali diperkenalkan di Australia pada Mei 1992. Undang-undang ini memastikan

bahwa pencari suaka tiba di Australia tanpa izin sebelumnya bisa ditahan untuk waktu yang

tidak ditentukan. Sebelum 1992, orang-orang perahu ditahan di bawah Undang-Undang

Migrasi 1958. Penahanan wajib bagi pendatang gelap diperkenalkan di bawah Undang-

undang Amandemen Migrasi tahun 1992, sebagai bagian dari kodifikasi kebijakan migrasi.

Pada tanggal 18 Oktober 2010, Julia Gillard mengumumkan bahwa perubahan akan

dilakukan untuk kebijakan penahanan wajib Australia, dan bahwa lebih banyak anak dan

keluarga akan dipindahkan keluar dari pusat penahanan imigrasi ke akomodasi berbasis

masyarakat, seperti pusat dijalankan oleh gereja dan yayasan sosial.13

Menurut statistik yang didapatkan, per tanggal 31 Juli 2011, ada 5.780 orang di

penahanan imigrasi di Australia - 5015 di Australia daratan dan 765 di Pulau Christmas. Dari

5780 orang, 4782 ditahan di fasilitas penahanan imigrasi dan 998 berada dalam penahanan

masyarakat.14

Sebagian besar dari mereka adalah pendatang asing dari laut yang ingin

mencari suaka. Mereka didominasi dari Timur Tengah seperti Iran dan Afghanistan. Pusat

penahanan imigrasi (IDCs) per September 2011 ada IDCs di lokasi berikut:

1. Maribyrnong IDC di Melbourne

2. Villawood IDC di Sydney

3. Perth IDC

4. Northern IDC di Darwin

5. Curtin IDC di Western Australia

6. Scherger IDC di Queensland

7. Christmas Island IDC and Phosphate Hill IDC di Christmas Island

8. Pontville IDC di Tasmania

Akan tetapi pada kenyataannya, banyak kerusuhan yang terjadi pada tempat-tempat

tersebut. Hal ini diakibatkan ketidakjelasan kapan mereka bisa keluardan diproses sehingga

membuat mereka frustasi. Ini menjadi perhatian publik dan juga permasalahan bagi

Pemerintah. Seperti kejadian sekitar 100 orang pencari suaka membakar sembilan buah

13 Departmen of Imigration and Citizenship Australia, “Fact Sheet 82 - Immigration Detention”, diakses dari

http://www.immi.gov.au/media/fact-sheets/82detention.htm pada 22 Desember 2011 14Ibid.,

Page 11: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

10

bangunan dalam sebuah kerusuhan di pusat penampungan pengungsi Villawood, Sydney.15

Ini akibat jumlah pencari suaka yang terus bertambah maka sebagian dari mereka terpaksa

ditampung di daratan Australia, seperti penampungan Villawood di Sydney yang dihuni 400

orang. Kerusuhan juga terjadi di pusat penampungan Pulau Christmas. Saat ini, Australia

menampung para pencari suaka di Pulau Christmas yang sudah melebihi kapasitas. Selain itu,

para pencari suaka sudah ditampung selama berbulan-bulan tanpa kepastian.16

Kelebihan kapasitas ini akibat dari kenaikan jumlah kapal illegal yang masuk ke

Australia yang berisi orang-orang untuk mencari suaka. Sebenarnya pada tahun 2000 terjadi

juga lonjakan yang sangat tinggi, akan tetapi program Pacific Solution yang dilakukan oleh

pemerintahan Howard pada saat itu efektif mengurangi jumlah pencari suaka yang masuk

karena mereka langsung dikirim ke pusat penahanan di Nauru. Selama tahun 2001-2008,

jumlah pencari suaka illegal yang masuk ke Australia sangat sedikit. Baru pada akhir 2008

mulai melonjak lagi seiring berakhirnya Pacific Solution. Hal tersebut dapat tergambarkan

dengan jelas pada grafik dibawah ini:

Grafik 1. Jumlah Kedatangan dengan Kapal ke Australia17

Dengan demikian, ini juga menjadi suatu konsiderasi bagi Pemerintahan Gillard untuk

mencari tempat lain menampung Asylum Seeker tersebut. Selain itu, akibat dari banyaknya

15 _______, “Pencari suaka di Australia kembali rusuh” diakses dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/04/110420_australianriot.shtml pada 22 Desember 2011 16 _______, ” Australia kirim pencari suaka ke Malaysia”, diakses dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/07/110721_aussieasylum.shtml pada 22 Desember 2011 17 Parllament of Australia, “Boat arrivals in Australia since 1976”, dalam Parliamentary Library, diaunduh dari

http://www.aph.gov.au/library/pubs/bn/sp/BoatArrivals.pdf

Page 12: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

11

kerusuhan serta kenaikan jumlah kapal yang datang, tekanan domestik membuat

Pemerintahannya harus mencari suatu solusi baru. Hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada

sub-bab selanjutnya. Usaha untuk bernegosiasi dengan negara tetangga untuk melakukan

kerjasama seperti Indonesia dan Timor Leste mengalami kegagalan. Akan tetapi Seperti yang

sudah dijelaskan pada latar belakang dan juga menjadi fokus penelitian ini, Malaysia setuju

melakukan kerjasama dengan Australia dengan menukar 800 orang pencari suaka.

II.2 Pengaruh Faktor Domestik Australia

Setelah dijelaskan mengenai keadaan pencari suaka (Asylum Seeker) di Australia pada

sub-bab sebelumnya. Pembahasan akan masuk kedalam analisis pengaruh domestik Australia

terhadap adanya kerja sama persetujuan “Arrangement Between The Government Of

Australia And The Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement” terkait

permasalahan Asylum Seeker. Pengaruh domestik merupakan level 2 dalam Two-Level Game

Theory yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian atau kerja sama internasional pasti memilki

keterkaitan dengan keputusan domestik. Jadi sebenarnya sebelum perjanjian itu ada, harus

ada negosiasi dengan aktor-aktor domestik. Bagian dasar pemahaman sifat bagi politik dalam

negeri berkisar mengidentifikasi jenis pelaku yang terlibat dalam permainan politik dalam

negeri. Terdapat empat jenis aktor yang membentuk bagaimana ini dimainkan dalam negeri:

militer, publik massa, media massa dan oposisi politik. Pada pembahasan makalah ini penulis

hanya akan mengambil 2 aktor yaitu oposisi politik dan masyarakat.

II.2.1 Oposisi Politik

Aktor oposisi politik tentunya berpengaruh dalam sebuah negosiasi pembentukan

suatu kebijakan termasuk juga ketika membuat suatu persetujuan kerja sama dengan

negara lain. Secara umum terdapat beberapa partai politik di Australia, akan tetapi terdapat

dua partai besar yaitu partai buruh dan partai liberal. Secara ideologi, kedua partai ini

berbeda. Partai buruh lebih ke sosial demokrat dimana dudukung oleh kalangan pekerja

dan menengah. Sedangkan partai liberal mengutamakan kepentingan bisnis para

pengusaha.

Jika dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan mengenai aturan imigrasi para

pencari suaka. Maka pada pemerintahan John Howard dari Partai Liberal-lah yang

memiliki intensi untuk membuat aturan lebih ketat dan mulai mengirimkan pencari suaka

ke negara lain. Hal ini dibuktikan dengan semakin ketatnya aturan imigrasi yang mana

Page 13: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

12

semua pencari suaka diwajibkan menjalani detention camp pada awal 2000-an serta

adanya program Pacific Solution pada tahun 2001-2008.

Kemudian Howard digantikan oleh Kevin Rudd pada tahun 2007 yang mana ia

merupakan seorang dari partai buruh. Partai Buruh merupakan oposisi dari partai liberal

dimana mereka banyak menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap adanya Pacific

Solution. Pada masa pemerintahan Rudd, ia setidaknya telah sedikit memberikan

keringanan bagi para pencari suaka khususnya wanita dan anak-anak yang tidak harus

dikirim ke detention center. Program Pacific Solution pun selesai pada masa

pemerintahannya.

Pada masa pemerintahan Gillard yang dimulai pada tahun 2010, lonjakan

kedatangan para pencari suaka dengan kapal melonjak tajam. Australia terpaksa harus

menerima mereka dan tentunya diproses di detention center sesuai dengan aturan yang

berlaku. Lonjakan ini membuat sebagian besar tempat tersebut kelebihan kapasitas yang

telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya dan menimbulkan berbagai kerusuhan. Tekanan

oposisi yang tergabung dari partai koalisi yaitu partai liberal dan partai nasional pun mulai

meningkat. Mereka menakan pemerintahan Gillard untuk melakukan suatu tindakan

mengatasi lonjakan kedatangan pencari suaka ke Australia.

Perubahan pun terjadi pada Partai Buruh. Gillard yang tadinya termasuk salah satu

penentang adanya Pacific Solution dimana harus mengirimkan para pencari suaka itu ke

luar Australia, sekarang ia mencari negara lain untuk bernegosiasi mengenai kerja sama

penanganan asylum seeker. Model yang dicari Gillard hampir mirip dengan Pacifik

Solution yaitu mengirimkan kapal-kapal para pencari suaka ke negara lain. Ia pun

memulainya dengan bernegosiasi dengan Timor Leste akan tetapi ditolak. Indonesia pun

menjadi target Australia dalam mencari kerja sama tersebut yang pada akhirnya juga

ditolak oleh Indonesia. Pada akhirnya pada Juli 2011, Australia berhasil bekerja sama

dengan Malaysia. Perubahan kebijakan Partai Buruh yang harusnya cukup bisa menerima

para pengungsi dan pencari suaka tersebut tentunya akibat dari tekanan. Tekanan tersebut

datang dari pihak oposisi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan juga masyarakat.

Masyarakat Australia tampaknya senang dan setuju dengan kebijakan ketat yang

diterapkan oleh Howard (Partai Liberal) Dalam penelitian yang saya dapatkan, dijelaskan

bahwa pada bulan September 2001, 77 persen warga Australia mendukung keputusan

Pemerintah Howard untuk menolak masuk para pencari suaka dari insiden kapal Tampa

dan 71 persen percaya kedatangan kapal harus ditahan selama pemrosesan permohonan

Page 14: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

13

suaka mereka.18

Maka ketika pada tahun 2010 terjadi lonjakan kedatangan kapal, kembali

terjadi perdebatan dimana Pemerintahan saat itu yaitu Partai Buruh kurang tegas

mengelola perbatasan dan kedatangan para pencari suaka.

Grafik 2. Presentasi Opini Publik Australia Mengenai Partai Buruh dalam

Menangani Masalah Asylum Seeker19

Dari data diatas bisa terlihat bahwa 78% masyarakat Australia memandang bahwa

penanganan masalah asylum seeker oleh Partai Buruh itu buruk. Angka ini bahkan naik

25% dari tahun 2009. Ini mengindikasikan semakin kuatnya tekanan publik kepada

Pemerintahan Gillard untuk membenahi permasalahan lonjakan kedatangan asylum

seeker.

Kemudian jika Partai Buruh dan Partai Koalisi (Partai Liberal + Partai Nasional)

dibandingkan dalam siapa yang paling bagus menangani masalah asylum seeker, maka

Partai Koalisi dimana terdapat Partai Liberal didalamnya lah yang masih unggul. Ini

mengindikasikan bahwa masyarakat setuju dengan kebijakan ketat yang pernah diterapkan

pada pemerintahan Howard.

18 Paul Maley, “Tony Abbott refloats offshore solution as Newspoll slams home public opinion” diakses dari

http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/tony-abbott-refloats-offshore-solution-as-newspoll-slams-

home-public-opinion/story-fn59niix-1226129321089 pada 4 Januari 2012 19 Ibid.,

Page 15: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

14

Dengan demikian, maka faktor tekanan dari oposisi politik merupakan salah satu

alasan mengapa Australia mengadakan persetujuan kerja sama dengan Malaysia terkait

permasalahan asylum seeker ini.

II.2.2 Aktor Masyarakat

Masyarakat juga memiliki peranan penting dalam komponen pertimbangan dalam

proses negosiasi pembuatan kebijakan termasuk juga perjanjian internasional yang akan

dibuat. Dalam hubungannya dengan permasalahan alasan Australia bekerja sama dengan

Malaysia tersebut, ada baiknya kita melihat dulu bagaimana masyarakat Australia

memandang permasalahan asylum seeker.

Grafik 3. Perhatian Masyarakat Australia terhadap Permasalahan Asylum Seeker20

Dari grafik diatas, terlihat bahwa sebenarnya masyarakat Australia itu perhatian

mengenai masalah kedatangan asylum seeker ke Australia. Lebih dari setengahnya bahkan

sangat perhatian terhadap masalah tersebut. Dengan demikian, setiap ada kebijakan

mengenai permasalahan tersebut, masyarakat Australia pasti langsung menyorotinya

termasuk ketika ada masalah baru yang timbul juga. Selain itu ini mengindikasikan bahwa

sebenarnya ada permasalahan dalam masyarakat Australia menyangkut para pencari suaka

tersebut yang menyebabkan mereka sangat perhatian terhadap kasus ini.

20 Fergus Hanson, “Australia and The World: Public Opinion and Foreign Policy”, dalam Lowi Institue For

International Policy, diunduh dari http://www.lowyinstitute.org/PublicationGet.asp

Page 16: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

15

Grafik 4. Detail Opini Publik Terhadap Permasalahan Asylum Seeker di Australia21

Dari grafik yang merinci opini publik masyarakat Australia mengenai permasalahan

asylum seeker tersebut, sangat jelas bahwa sebagian besar masyarakat menaganggap

masalah asylum seeker ini akan membawa dampak kepada keamanan nasional. Dengan

demikian tidak mengherankan bahwa sebagian besar dari mereka juga setuju dengan

adanya detention camp bagi setiap asylum seeker yang datang ke Australia. Kemudian

lebih dari setengah masyarakat Australia bahkan menolak pernyataan bahwa Australia

seharusnya mempunyai kewajiban atas penanganan asylum seeker yang baik karena telah

menandatangani konvensi tentang pengungsi. Bisa disimpulkan bahwa kesemua itu

menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat Australia menolak kehadiran asylum seeker

dinegaranya.

Hal ini tentunya mendorong opini publik dan menekan pemerintahan untuk

melakukan suatu tindakan tegas termasuk menolak dan memindahkan asylum seeker ke

negara lain. Tekanan publik ini juga telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

21 Ibid.,

Page 17: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

16

Dengan demikian pemerintah juga memasukan opini public ini sebagai salah satu input

dalam proses pembuatan kebijakannya.

Penolakan sebagian besar masyarakat Australia terhadap asylum seeker ini tentunya

memiliki alasan terutama dalam permasalahan sosial. Asylum seeker yang jika diterima

permohonannya maka akan menjadi status pengungsi dimana mereka boleh bergabung

dengan masyarakat Australia dan beraktivitas layaknya warga negara. Banyaknya

pengungsi yang ada di Australia ini tentunya menimbulkan permasalahan sosial yang

melekat pada masyarakat. Beberapa permasalahan sosial tersebut akan dipaparkan disini.

Pertama permasalahan Bahasa - Ini adalah masalah besar dengan implikasi yang

signifikan untuk komunikasi migran 'tertulis dan lisan, terutama ketika para migran dan

pengungsi berasal dari negara yang bahasa ibunya tidak sama dengan bahasa Inggris

seperti bahasa-bahasa Eropa Timur Asia, Afrika.

Kedua adalah hambatan budaya - Menjadi seorang migran usia dewasa atau

pengungsi, hambatan budaya menjadi ancaman sangat serius terhadap kemungkinan

mencari pekerjaan. Yang berbeda keyakinan agama, cara berpikir yang berbeda dan

berperilaku dan memiliki sikap yang berbeda membuat hidup mereka, pada waktu, sangat

traumatis. Prosedur seleksi pekerjaan untuk mencari pekerjaan dan birokrasi yang terlibat

dalam memulai bisnis baru dalam masyarakat ini pengalaman baru bagi para pendatang

baru ini usia matang. Banyak yang akan mengalami kesulitan membiasakan diri dengan

aturan-aturan hukum, akuntansi dan industri dan peraturan.

Ketiga adalah kurangnya pengalaman kerja - Masyarakat Australia biasanya

mencari staf baru dengan beberapa pengalaman kerja dalam masyarakat ini. Dengan cara

ini, pendatang baru, meskipun mereka mungkin memiliki pengalaman yang relevan di luar

negeri, akan dirugikan dalam hal ini langkah penting untuk menemukan pekerjaan. Tidak

memiliki pengalaman kerja berarti thatthese baru, pekerja berusia matang akan kehilangan

pekerjaan potensi dan kesempatan pelatihan.

Keempat adalah rasisme - Ini adalah satu lagi hambatan utama yang dihadapi oleh

migran dalam mencari pekerjaan atau memulai bisnis baru. Dalam banyak kasus rasisme

menghilangkan migran kesempatan pelatihan dan pendidikan. Diskriminasi dalam

mengakses pekerjaan tentu ada atas dasar etnis, agama dan budaya

Hal-hal tersebut pada akhirnya menyebabkan para pengungsi yang statusnya

menjadi migrant tersebut tidak daapat bekerja atau banyak yang menjadi pengangguran.

Page 18: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

17

Tentunya ini menyebabkan permasalahan sosial di kalangan masyarakat Australia yang

tampaknya terganggu dengan kehadiran oaring-orang itu.

Dengan demikian, Pemerintah Australia sepertinya juga mempertimbangkan faktor

opini publik masyarakat Australia yang terbentuk akibat adanya permasalahan sosial

dalam mengambil kebijakan membuat perjanjian kerjasama dengan Malaysia terkait

asylum seeker.

II. 3 Pengaruh Faktor Luar Negeri (Internasional) Australia

Setelah dijelaskan mengenai pengaruh faktor domestik pencari suaka (Asylum Seeker)

di Australia pada sub-bab sebelumnya. Pembahasan akan masuk kedalam analisis pengaruh

luar negeri Australia terhadap adanya kerja sama persetujuan “Arrangement Between The

Government Of Australia And The Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement”

terkait permasalahan Asylum Seeker. Pengaruh luar negeri atau internasional merupakan level

2 dalam Two-Level Game Theory yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian atau kerja sama

internasional pasti memilki keterkaitan dengan faktor ini.

Australia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi United Nations

Convention and Protocol relating to the Status of Refugee pada tahun 1954. Dengan

demikian Australia yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi ini berkewajiban untuk

melindungi pengungsi yang ada di wilayah mereka, sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.

Ada sejumlah ketentuan bahwa negara yang pihak dari Konvensi Pengungsi dan Protokol

1967 harus mematuhi. Diantaranya adalah: bekerja sama Dengan UNHCR, dan selalu

memastikan negaranya mematuhi konvensi yang sudah dibuat. Ini menjadi landasan utama

segala kebijakan Australia terkait dengan masalah pengungsian dan pencari suaka

Selain itu terdapat juga suatu forum ad-hoc regional tingkat menteri antar Australia dan

ASEAN dalam membahas mengenai illegal migration. Pertemuan itu dinamakan Bali Process

on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime yang terakhir

dilaksanakan pada Maret 2011. Pada kesempatan itu, dihasilkan suatu framework untuk

melakukan kerja sama antar Negara-negara anggota terkait permasalahan migrasi yang

illegal. Kevin Rudd, Menteri Luar Negeri Australia, memuji hasil tersebut sebagai "tonggak

sejarah" dan " signifikan bagi diplomasi Australia".22

Hal ini dikarenakan itu merupakan

momentum Australia untuk mengajak negara-negara tersebut bekerja sama dengannya dalam

permasalahan asylum seeker.

22 Banyan, “Dead in the water”, diakses dari

http://www.economist.com/banyan/2011/04/australias_processing_centre pada 5 Januari 2012

Page 19: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

18

Dengan adanya framework regional tersebut, Australia dan Malaysia bisa melakukan

kerja sama melakukan pengiriman asylum seeker dan refugee dengan memakai alasan bahwa

mereka ingin meningkatkan kerja sama bilateral dalam mencegah migrasi illegal yang bisa

menimbulkan permasalahan baik di negara mereka maupun di kawasan.

BAB III

KESIMPULAN

Pada akhirnya, makalah ini menjawab pertanyaan permasalahan“Mengapa Australia

mengadakan perjanjian (Arrangement Between The Government Of Australia And The

Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement) terkait dengan permasalah Asylum

Seeker?” yaitu disebabkan oleh 2 faktor seperti yang dijelaskan dalam Two-Level Game

Theory. Faktor-faktor tersebut adalah faktor domestik dan faktor internasional. Kedua faktor

tersebut mendasari pemerintah Australia mengadakan perjanjian dengan Malaysia Tersebut.

Faktor domestik dipengaruhi oleh tekanan oposisi politik yaitu Partai Liberal yang menekan

pemerintahan Gillard (Partai Buruh) untuk lebih tegas dan ketat dalam menangani

permasalahan lonjakan kedatangan asylum seeker ke Australia yang menggunakan kapal.

Selain itu tekanan opini publik juga turut memberikan input. Opini public masyarakat

Australia yang sebagian besar menolak kedatangan para pencari suaka tersebut didasari oleh

adanya permasalahan sosial yang melekat pada masyarakat Australia terkait dengan para

migrant yang ada di Australia. Kemudian Faktor Internasional dipengaruhi oleh adanya

Framework Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related

Transnational Crime dimana menjadi momentum bagi Australia untuk mencari negara yang

bias diajak kerja sama dalam menangani masalah asylum seeker.

Dengan adanya Arrangement Between The Government Of Australia And The

Government Of Malaysia On Transfer And Resettlement serta kebijakan imigrasi lainnya, ini

menandakan bahwa Pemerintah Australia secara tidak langsung memperingatkan kepada para

pencari suaka bahwa mencari suaka di Australia tidaklah mudah. Ini dilakukan untuk

memperkecil jumlah kapal-kapal migrant yang datang ke Australia. Selain itu dengan adanya

perjanjian tersebut, sepertinya Australia memperkecil jumlah asylum seeker yang menjejakan

kakinya ke tanah Australia agar Australia tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan

resettlement.

Page 20: Diky Avianto - APBD2011 - Analisis Alasan Australia Melakukan Perjanjian Kerja Sama Dengan Malaysia Terkait Permasalahan Asylum Seekers

Diky Avianto (0906636674) – Ilmu Hubungan Internasional – FISIP – Universitas Indonesia Makalah Akhir Mata Kuliah: Australia dan Pasifik Barat Daya

19

Daftar Pustaka

Artikel dari Jurnal Publikasi

Putnam, Robert D. 1988. "Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games", dalam

International Organization. 42

Hanson, Fergus,2011. “Australia and The World: Public Opinion and Foreign Policy”, dalam Lowi

Institue For International Policy

Website Paul Maley, “Tony Abbott refloats offshore solution as Newspoll slams home public opinion” diakses

dari http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/tony-abbott-refloats-offshore-solution-as-

newspoll-slams-home-public-opinion/story-fn59niix-1226129321089 pada 4 Januari 2012

UNHCR, “States Parties to the 1951 Convention relating to the Status of Refugees and the 1967 Protocol”, diunduh dari http://www.unhcr.org/3b73b0d63.html

UNHCR, “Global Trend in 2011”, diakses dari http://www.unhcr.org/4dfa11499.html pada 21

Desember 2011 _______, “Asylum Deal” diakses dari www.abc.net.au/btn/story/s3220085.htm pada 21 Desember

2011

UNHCR, “Refugee”, diakses dari http://www.unhcr.org/pages/49c3646c125.html pada 22 Desember

2011 _______, “Background and Information about Refugees and Asylum Seekers” diunduh dari

http://www.refugeecouncil.org.au/docs/news&events/RW_Background_Information.pdf

Departmen of Imigration and Citizenship Australia, “Fact Sheet 82 - Immigration Detention”, diakses dari http://www.immi.gov.au/media/fact-sheets/82detention.htm pada 22 Desember 2011

“Pencari suaka di Australia kembali rusuh” diakses dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/04/110420_australianriot.shtml pada 22 Desember 2011

” Australia kirim pencari suaka ke Malaysia”, diakses dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/07/110721_aussieasylum.shtml pada 22 Desember 2011

Parllament of Australia, “Boat arrivals in Australia since 1976”, dalam Parliamentary Library, diaunduh dari http://www.aph.gov.au/library/pubs/bn/sp/BoatArrivals.pdf

Banyan, “Dead in the water”, diakses dari

http://www.economist.com/banyan/2011/04/australias_processing_centre pada 5 Januari 2012