perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id skripsi media dan ... · critical discourse analysis was a...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SKRIPSI
MEDIA DAN WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
(Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Wacana Pendidikan Pondok Pesantren
Yang Direpresentasikan Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi)
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh : Sulis Dian Martanti D 1208619
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN
MEDIA DAN WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
(Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Wacana Pendidikan Pondok Pesantren
Yang Direpresentasikan Dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi)
Disusun Oleh :
SULIS DIAN MARTANTI
NIM : D 1208619
Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing II untuk diuji dan
dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof.Drs. H. Pawito, Ph.D. Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si
NIP. 19540805198503 1 002 NIP. 19790908 200312 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN
Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta.
Pada hari : ...............................
Tanggal : Maret 2011
Dewan Penguji:
1. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D ( )
NIP. 19600813198702 2 001
2. Drs. Hamid Arifin. M.Si ( )
NIP. 19600517198803 1 002
3. Prof.Drs. H. Pawito, Ph.D. ( ) NIP. 19540805198503 1 002
4. Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si ( ) NIP. 19790908 200312 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta
Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
Dan berperanglah kamu di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Mengetahui
-QS: Al-Baqarah ayat 244-
Success is how high you bounce when you hit bottom.
- George Smith Patton –
Seandainya aku tahu yang kita lakukan itu salah, maka itu tidak akan
disebut penelitian, bukan?
- Albert Einstein -
Sesiapa yang harinya lebih baik dari hari kemarinnya maka dia seorang
yang beruntung, dan sesiapa yang harinya seperti hari kemarinnya maka
dia seorang yang merugi. Dan barang siapa yang harinya lebih buruk dari
hari kemarinnya maka dia seorang yang tercela.
- Pondok Modern Gontor-
Cara untuk Bisa, ya Lakukanlah !
- Sulis Dian Martanti -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Untuk Mu ya Rabb... Ucap syukur atas rahmat dan karunia Mu..
Untuk Bapak dan ibu Tercinta
Terima kasih atas untaian doa, kasih sayang dan dukungan yang tak
pernah berhenti mengalir selama ini.
My Sister Family (Bowo&Susi, Dhila, Gilang)
My Brothers (Alek dan Andi)
Terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama ini ..
Kalianlah senyum dan warna di keluarga kita ...
untuk Zai
Terima kasih atas cinta, dukungan dan kesetiannya..
Zai’s Family (Tanwir&Rifatun, Mudika, Faruq)
Terima kasih atas kehangatan keluarga, cinta dan kasih sayang serta
do’a kalian semua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat,
dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulisan skripsi dengan judul Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor
(Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Teks Novel Negeri 5 Menara
karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor) ini
merupakan sebuah karya sederhana yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.
Namun demikian penulis berharap penulisan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi yang membacanya.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Drs. H. Pawito,
Ph.D. sebagai dosen pembimbing pertama dan Mahfud Anshori, S.Sos. M.Si, sebagai
pembimbing kedua atas waktu, perhatian dan diskusi-diskusi yang dicurahkan untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya penulis juga ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Drs. H. Supriyadi, SN. SU, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
3. Drs. Surisno Satrijo Utomo, M.Si, Sekretaris Non Reguler Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
4. Nora Nailul Amal, S.Sos. M.MLED, Hons. Selaku pembimbing akademik penulis.
5. Dra. Prahastiwi Utari. M.Si,Ph.D dan Drs. Hamid Arifin. M.Si selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.
6. Seluruh Dosen, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis.
7. Ahmad Fuadi, sebagai penulis dari novel Negeri 5 Menara.
8. Keluarga tercinta, Bapak dan Ibu serta saudara-saudaraku yang senantiasa
memberikan dukungan kepada penulis selama ini.Teman-teman seperjuangan
Suci, Wira, Santri, Ika, Fira, Arum, Widha, Mira, Irindra dan Sahabat-sahabat
Upik, Army, Albert, Dauf, Destri, Bella, Serly, Bowo, Lea. Dan yang tidak dapat
tersebut satu persatu, Terima kasih atas dukungan, semangat dan persahabatan
yang indah
9. Dan seluruh pihak yang membantu terselesaikannya penulisan ini.
Surakarta, Maret 2011
Penulis,
Sulis Dian Martanti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................i
PERSETUJUAN ................................................................................................ii
PENGESAHAN ..................................................................................................iii
MOTTO .............................................................................................................iv
PERSEMBAHAN ..............................................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
DAFTAR BAGAN .............................................................................................xi
ABSTRAK ..........................................................................................................xii
ABSTRCT ...........................................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1
B. Perumusan Masalah .................................................................................11
C. Tujuan Penelitian .....................................................................................11
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................12
E. Telaah Pustaka .........................................................................................12
F. Kerangka Kerja Penelitian .......................................................................45
G. Konsep..................................................................................................... 46
H. Metodologi Penelitian ..............................................................................47
1. Pendekatan Penelitian .......................................................................47
2. Paradigma Penelitian ........................................................................51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
3. Sumber Data......................................................................................55
4. Analisis Data .....................................................................................55
BAB II PONDOK PESANTREN GONTOR DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA................................................................................. 59
A. Pondok Modern Darussalam Gontor .......................................................59
B. Latar Belakang Terbentuknya ..................................................................60
C. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Gontor ...................................66
1. Pondok Tegalsari .................................................................................66
2. Pondok Gontor Lama ...........................................................................69
3. Berdirinya Pondok Gontor ...................................................................71
4. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926 ....................................................72
5. Pembukaan Sullamu-l-Muta'allimin, 1932 ..........................................73
6. Pembukaan Kulliyyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyyah,1936...................75
D. Kepemimpinan Generasi Pertama...........................................................79
1. Terciptanya "Hymne Oh Pondokku" dan Peringatan 15 Tahun......... 78
2. Masa Penjajahan Jepang...................................................................... 79
3. Perang Merebut Kemerdekaan dan Pemberontakan PKI 1948.......... 80
4. Pembentukan IKPM dan Pembentukan YPPWPM............................ 81
5. Peringatan Seperempat Abad, Peringatan Empat Windu
dan Pewakafan Pondok.................................................................... 81
6. Pembukaan Perguruan Tinggi Pesantren............................................ 82
7. Peringatan Lima Windu dan Peristiwa Sembilan Belas Maret.......... 83
8. Kesyukuran Setengah Abad dan Peresmian Masjid Jami’................. 84
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
E. Kepemimpinan Generasi Kedua............................................................. 84
1. Pembentukan PLMPM....................................................................... 85
2. Peringatan Delapan Windu dan Peringatan 70 Tahun....................... 86
3. Pendirian Pondok-Pondok Cabang.................................................... 86
F. Estefet Kepemimpinan Pada Generasi Kedua........................................ 87
1. Pendirian Gontor 6 Darul Qiyam Magelang....................................... 87
2. Kampus Gontor Putri 2....................................................................... 87
3. Gontor buka cabang di Kendari.......................................................... 88
4. Kampus Gontor Putri III di Karangbanyu.......................................... 88
BAB III PESAN PENDIDIKAN DALAM NOVEL: TEKS DAN KONTEKS
SITUASI............................................................................................................. 90
A. Analisis Model Halliday......................................................................... 93
1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor ................ 93
2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran........................... 98
3. Disiplin....................................................................................... 106
4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi................................. 112
BAB IV IDEOLOGI DALAM KATA DAN KALIMAT:
MODEL ROGER FOWLER DKK................................................................ 118
A. Kosakata.................................................................................................. 119
B. Hasil Analisis Model Roger Fowler dkk................................................ 122
1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor .........................123
2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran................................... 128
3. Disiplin................................................................................................132
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi......................................... 134
BAB V PENUTUP............................................................................................ 139
A. Kesimpulan ...............................................................................................139
B. Saran .........................................................................................................144
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................146
LAMPIRAN........................................................................................................151
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
Sulis Dian Martanti, Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Teks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor ) ABSTRAK-Atas dasar pemikiran teoritikal, metodologi, serta metode yang mendiami ranah paradigma teori-teori kritis, penelitian yang berjudul “Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor (Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Teks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor ) merupakan sebuah tipe analisis wacana. Penelitian ini mencoba memahami bagaimana praktek ideologi dilibatkan, di propagandakan dan menjadi wacana budaya baru di dalam suatu struktur sosial yang dijalankan dan direproduksi melalui teks novel. Dengan asumsi epistemologis bahwa pemahaman kepada suatu realitas selalu di jembatani oleh nilai-nilai tertentu (value mediated finding), maka tipe analisis wacana yang dipakai, yaitu Critical Discourse Analysis. Analisis ini berdiri di atas pendekatan subjektif, yang memiliki bahwa realitas dan atau pengetahuan sosial tidak memiliki sifat yang obyektif, melainkan interpretatif. Penggunaan tiap bahasa dianggap mengandung pesan tersembunyi (laten), serta cenderung membawa konsekuensi ideologis komunikatornya. Analisis wacana kritis bersifat holistik dan subyektif. Analisis wacana kritis, berupaya melihat nilai-nilai yang mendasari pernyataan seorang komunikator. Nilai-nilai itu yang menjadi moral concern analisis wacana kritis, sekaligus menjadi dasar aksiologis lewat prinsip-prinsip emansipatoris, kritik, transformasi, atau pun penguat sosial. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor dalam Teks Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Fokus pernyataannya adalah bagaimana Ahmad Fuadi mengkonstruksikan wacana tersebut dalam bangunan kata dan kalimat. Serta bagaimana bahasa dan simbol yang digunakan dalam merepresentasikan maksud dari novel. Tiap kata dan kalimat yang dipergunakan dimaknai menunjukkan sebuah praktek ideologi.
Hal ini mengacu pada analisis yang ditawarkan Roger Fowler dkk. Dalam novel ini terdapat wacana-wacana yang muncul seperti Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Metode pendidikan dalam praktek pengajaran, Disiplin, dan Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi. Setelah dianalisis dengan CDA model Fowler dkk.diperoleh hasil bahwa kata-kata dan kalimat yang di pakai oleh Ahmad Fuadi, dalam bercerita cenderung atau bahkan lebih berpihak pada pendidikan yang diajarkan di Pondok Pesantren Gontor. Fuadi menceritakan bagaimana kurikulum yang jauh berbeda dengan sekolah umum, dengan metode-metode pengajaran yang lebih intensif, disiplin tinggi dan dengan memberikan motivasi dan atau keteladanan seta dukungan penuh terhadap pendidikan dalam kata-kata dan kalimat provokatif, persuasif, propagandis, dan subyektif. Disebabkan Fuadi mempunyai latar belakang pernah belajar dan nyantri di Pesantren Gontor. Dengan hasil yang di perolehnya sekarang dan pencapaian ilmu yang terus mengalir yang sangat bermanfaat dalam berbagai kehidupannya. Disinilah, bentuk praktek ideologi pengarang telah bermain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Sulis Dian Martanti, Wacana Pendidikan Pondok Pesantren Gontor” (A Critical Discourse Analysis of the Text Novel Negeri 5 Menara of Ahmad Fuadi at Educational Discourse in Gontor Boarding Schools) ABSTRACT- Based on theoretical of thinking, methodologies, and all methods that has inhabited at realm of critical theory paradigm, a study titled "WACANA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN GONTOR” (a Critical Discourse Analysis at Novel Negeri 5 Menara’s text that has wrotten by Ahmad Fuadi at the Educational Discourse on Gontor Boarding Schools) as an analysis discourse. This research attempts to understood how the practical involved ideology, propagated to be a new cultural discourse within at social structure and be reproduced through the novel text.
With the epistemological assumption to understanding a reality that always bridged by certain values (value mediated finding), Critical Discourse Analysis type had used as the discourse analysis. This analysis has been stand upon a subjective approach, which has reality and social science without an objective nature, but interpretative. The language usage deemed contain a hidden message (latent), and tended the ideological consequences to the comunicators.
Critical discourse analysis was a holistical and subjective. Critical discourse analysis, trying to saw the values that being to be foundation statement of a communicator. These values are the morality concern of critical discourse analysis, as well as the basic axiological through emancipatory principles, critique, transformation, or even social reinforcement. This study raised issues about the Islamic Educational discourse at Novel Gontor Negeri 5 Menaras Text of Ahmad Fuadi. The focus of the statement is how Ahmad Fuadi construct discourse at words building and sentences. And how language and symbols used to representing the intention of novel. Each word and sentence that use to interpreted show an ideological practice.
This refers to the offered analysis by Roger Fowler et al. In this novel there are discourses that emerged as the educational curriculum at the Gontor boarding house, educational methods to teach, discipline, and Modeling as a motivation form. After the analyzed by Fowler et al CDA model, it showed that the words and phrases that used by Ahmad Fuadi in his story was tell or even more likely to the educational side that is taught at Gontor Boarding School. Fuadi was telling how the curriculum has much different from public schools, with teaching methods that more intensive, high discipline and to provide motivation with an exemplary with the support to the educational in words and sentences provocate, persuade, propaganded, and subjective. It’s caused that Fuadi has backgrounds education and “nyantri” at Gontor. With his obtained results with the achievement of science that continues and flew was usefully in a variety of his life. Here, the ideological form practices of the author has been played.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pendidikan di Indonesia pada kenyataannya masih
tertinggal dengan negara-negara maju dalam dunia internasional. Ini dapat
dibuktikan dengan sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih belum diakui
keunggulannya di wilayah Asia Tenggara sekalipun.1 Menurut survey Political
and Economic Risk Consultan (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada
pada urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. Data yang dilaporkan The World
Economic Forum Swedia (2000), Indonesia mempunyai daya saing yang rendah,
yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei dunia. Masih
menurut survey dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai
pengikut bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di Indonesia.2
Pendapat para pakar, mulai dari Jules Simon, Pestalozzy, Herbart
Spencer, Sully, John Dawey, Mj, Langeveld, William Chandler Bugle, Ki Hajar
Dewantoro, dan sebagainya. Dalam mendefinisikan pendidikan sangatlah beragam
mengingat berbedanya latar belakang mereka dan orientasi tujuan yang dimaksud.
Namun demikian, mereka sepakat bahwa obyek dari penelitian itu adalah
1 Satiadarma,Monty P. Pendidikan Kreativitas ataukah Pendidikan Moral? Dalam jurnal PROVITAE, Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia Vol.1, No.1 tahun 2004, hal 3 2 Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 136.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The primary Years program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dalam kategori The Diploma Program(DP). Dapat dilihat di www.khilafah1924.org
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
manusia, dilaksanakan secara sengaja dan penuh tanggung jawab, serta memiliki
tujuan jelas.3 Dalam dunia pendidikan terjadi juga pergulatan simbol-simbol sebab
menurut Kuntowijoyo, sebuah simbol tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial,
gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan, dan
seluruh perilaku sosial.4 Salah satu wilayah dunia simbolik yang tidak lepas dari
dunia pendidikan sekaligus sebagai media transformasi adalah bahasa. Bahasa
dalam dunia pendidikan yaitu sebagai pengantar komunikasi. Sepanjang yang
berkaitan dengan keefisienan komunikasi, bahasa apapun dapat dipakai dan
seperti halnya dengan penyelenggaraan pemerintahan. Tidak menjadi masalah
apakah bahasa itu berasal dari luar wilayah negara ataupun bahasa setempat.5
Di Indonesia sistem pendidikan Islam sudah berkembang sejak berabad-
abad pertama Islam datang ke Indonesia. Sejalan dengan tumbuhnya berbagai
macam kesadaran lain di kalangan umat Islam di seluruh dunia, di Indonesia
tumbuh pula kesadaran yang mendalam untuk mencari suatu sistem pendidikan
Islam baru yang dapat membantu umat untuk mencapai tujuannya sebagai hamba
Allah dan terhindar dari himbauan atau perangkap Sekularisme, kemusyikkan dan
keterbelakangan. Hal itu merupakan usaha lanjutan yang terus menerus
disempurnakan sejak beberapa abad yang lalu. Bisa dilihat perubahan dari sistem
3 Dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha secara sengaja untuk mempersiapkan anak didik dengan menumbuhkan kekuatan kepribadiannya baik jasmani maupun rohani agar kelak menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya, serta dapat hidup bahagia. Dapat dilihat dalam buku Sasono,Adi. Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, pendidikan, dan Dakwah) Jakarta: Gema Insani, cet I, 1998: 122-123) 4 Kasiyanto, Analisis Wacana dan Teoritis Penafsiran Teks, dalam Burhan Bungin (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Rajagrafindo, 2005:150) 5Purwo, Bambang Kaswanti ,Kajian serba Linguistik: Untuk Anton Moeliono pereksa bahasa,cet.I, Jakarta; Gunung Mulia, 2000 hal.53-56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pendidikan pesantren ke sistem pendidikan madrasah dan dari sistem pendidikan
sekolah Islam termasuk sistem pendidikan agama islam di sekolah-sekolah umum.
Sementara sistem pendidikan pesantren tetap berjalan yang seringkali
berdampingan baik dengan sistem pendidikan madrasah atau sistem pendidikan
sekolah Islam dalam satu kampus.6 Pengaruh masyarakat santri terhadap
masyarakat Indonesia masih kuat, baik dalam peran pesantren sebagai pusat
tarekat7 maupun pendidikan anak-anak.
Sebagaimana diuraikan Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of
Islam, sistem pendidikan di Indonesia sudah berkembang sejak abad-abad pertama
Islam datang ke Indonesia sekitar 614M. Seperti halnya di negara-negara lain,
sistem pendidikan Islam dalam perkembangannya sangat di pengaruhi oleh aliran
atau paham keislaman maupun oleh keadaan dan perkembangan sistem
pendidikan Barat. Pengaruh sistem pendidikan Barat terhadap sistem pendidikan
Islam terbukti mengakibatkan tidak hanya pendidikan Islam tidak lagi berorientasi
sepenuhnya pada tujuan Islam (yaitu membentuk manusia takwa yang
melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah) tetapi juga
tidak mencapai tujuan pendidikan Barat yang bersifat sekuler.8
Jarang yang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah
sistem yang sekuler-materialistik. Biasanya yang dijadikan argument adalah UU
Sisdiknas no.29 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “ Pendidikan nasional
bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan Yang
6 Feisal, Jusuf Amir.Reorientasi Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Gema Insani, 1995 hal.112-114 7 Lihat di Howe II, Julia Day (2001) Sufism and the Indonesia Islamic Revival, di Journal of Asian Studies. Vol.60.no.3(Aug.),hl.701-729.khususnya hl.33,50. 8 Ibid hal.115
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi
warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”. Namun diakui atau tidak, sistem pendidikan kita
adalah sistem pendidikan yang sekuler-materialistik. Hal tersebut dapat dibuktikan
antara lain pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang
dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagamaan, dan khusus.9
Sistem pendidikan pesantren ketika dinilai melalui parameter modernisasi
selalu di pandang negatif karena terlalu mempertahankan tradisi dan kurang
tanggap terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Tetapi, belakangan ini
aspek tertentu yang secara jujur diakui sebagai kelebihan pesantren. Pesantren
adalah sistem pendidikan yang tumbuh dan lahir dari kultur Indonesia yang
bersifat indigeous. Lembaga inilah yang dilirik kembali sebagai model dasar
pengembangan konsep pendidikan (baru) Indonesia. Pesantren dengan demikian
mulai diperhatikan dari multi perspektif sehingga tidak selalu dinilai negatif. Ada
9 Dari pasal tersebut tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umu. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu mejawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Perlu diingat juga sekularis itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti “iman” dan anti “taqwa”. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan public, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijelaskan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekuler, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai pelaku individu. Dapat dibaca di www.khilafah1924.org
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
segi-segi kelemahan sistem pendidikan pesantren sehingga harus dikritik, tetapi
ada juga kelebihan-kelebihan tertentu yang perlu ditiru bahkan dikembangkan.10
Pondok atau asrama, meskipun dalam batas tertentu ada perbedaannya
secara mendasar dapat memberikan alternatif dalam proses pembelajaran bila
diberdayakan secara optimal, sehingga menjadi kecenderungan sekolah-sekolah
uggulan. Kehidupan pondok atau asrama memberikan berbagai manfaat antara
lain interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara intensif, memudahkan
sesama murid yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu,
menimbulkan stimulasi belajar. Dan memberi kesempatan bagi pembiasaan
sesuatu.11
Pada manfaat pemberian kesempatan bagi pembiasaan sesuatu ini, pondok
atau asrama terbukti menjadi sasaran yang efektif bagi penerapan pembiasaan
sesuatu kegiatan seperti pembentukkan lingkungan bahasa (bi’ah lughawiyah).
Hal itu pula yang diajarkan di pesantren Gontor, Jawa timur. Kebesaran Gontor
sebagai sebuah lembaga pendidikan bukan hanya karena besarnya bangunan,
bukan pula besarnya area yang dimiliki atau karena kebesaran para pemimpinnya.
Akan tetapi, kebesaran Pondok Pesantren Modern Gontor dikarenakan kebesaran
para alumninya yang menyebar ke berbagai sudut wilayah di Indonesia, bahkan
mancanegara. 12
Kemasyurannya bahkan sampai keluar Indonesia. Namun, tidak banyak
orang yang mengetahui rahasia dibalik kebesaran pondok pesantren Modern yang
10 Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002, hal. 81-82 11Qomar, Mujami Ibid hal. 83 12 Sudirman Abbas, Ahmad. Mukjizat Doa & Air Mata Ibu, Jakarta: Qultum Media,2009, hal. 192
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
telah berusia hampir satu abad ini. Hal ini lah yang akan diceritakan oleh Ahmad
Fuadi Penulis Novel Negeri 5 Menara, Alumnus Pondok Modern Gontor dan
George Washington University. Penulis pernah tampil di KickAndy, Metro TV
bulan Mei 2010 dan Tatap Muka TVOne bulan Agustus lalu.13
Novel Negeri 5 Menara menceritakan kisah lima orang sahabat yang
mondok di sebuah pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah
beranjak dewasa. Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan
ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi.
Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka
dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini.
Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda
desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan
kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah.
Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi
orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama. seperti yang
dikatakan Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu.
“Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,”
Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tidak ingin
seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan
untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah
tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Semangatnya
13 http://negeri5menara.com
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
dicoba ditularkan kepada para pembaca dengan bukti dituliskannya kata-kata
mutiara yang dapat membuka wawasan di halaman awal novelnya, Seperti yang
dikutipkannya kata mutiara dari ulama Imam Syafii’ berikut,
Orang Berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelahlelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang Aku melihat Air mengalir menjadi rusak karena diam tertahan Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang Biji emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa Jika didalam lautan14
Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua
orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk
menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang
sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani,
Gontor, Jawa Timur. Dan disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi
kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,
Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir.
Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap
sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah
menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah
14 Fuadi , Ahmad. Negeri 5 Menara, Jakarta: Gramedia, 2009
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu
bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak
lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab
Saudi, Mesir dan Benua Eropa. Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang
tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London,
Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling
membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid
Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur.
Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi
dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno,
”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar
menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung
jawab dan berkomitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para
ustadz agar tidak gampang menyerah. Setiap hari sebelum masuk kelas selalu
didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh
akan berhasil.15 Pondok Pesantren Modern Gontor yang pada umumnya
bergantung kepada kebesaran pimpinan atau kyai, Gontor memiliki sistem khusus
dan dasar pengajaran yang disiplin, tegas, dan berdasarkan syariat islam sehingga
mampu mengkader dai yang bermanfaat bagi umat. 16
Buku-buku (baca: novel) sebagai bagian dari media massa berperan dalam
sebuah pembentukan persepsi. Bagaimana pengarang melalui buku mencoba
melakukan konstruksi peristiwa dan kejadian yang telah lampau dimana
15 Sumber Resensi Novel Negeri 5 Menara hasil publikasi di KickAndy.com 16 Sudirman Abbas, Ibid hal 194
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
pengarang berada. Pengarang melakukan penciptaan karya sastra, meski dalam
bentuk fiksi atau non fiksi dirinya juga memiliki dimensi pembentukan persepsi
yang berdampak pada pembentukan opini. Buku seperti halnya novel diciptakan
tidak hanya sekedar sebagai sebuah fiksi atau khayali yang tidak mempunyai
kaitan apa-apa dengan dunia realitas atau hanya menjadi sebuah pelarian dari
pengkhayal yang sudah muak dengan keadaan sekitar. Seolah-olah novel tidak
memberikan kontribusi apa pun dalam kehidupan ini; hanya memunculkan dunia
yang di dalamnya tak pernah bisa dianggap logis dan rasional.
Novel tidak bisa dikatakan menjadi representasi yang sempurna dari
realitas. Akan tetapi, novel hidup dalam realitas dan ikut dalam keseluruhan
realitas ini. Meski apa yang diangkat dalam realitasnya adalah sebuah realitas
khayali atau rekaan, itu pun semua bersandar pada realitas yang tak jauh darinya.
Bagaimanapun, pengarang novel tidak langsung bisa melepaskan dunia nyatanya
karena dari sanalah sebuah dunia rekaan atau sebuah karya sastra tampil.
Imajinasi menjadikan dunia nyata terkonstruksi sedemikan rupa, ditambahi atau
pun dikurangi, sehingga lahir dalam sebuah bentuk yang menarik. Validitas fiksi
atas wacana realitas sosial sering diperdebatkan, karena dirinya mengandung fakta
imajiner atau semu. Fakta setelah diramu secara kreatif menjadi tidak faktual pada
wilayah resepsi. Akan tetapi, kehadiran karya sastra dengan begini justru menarik
untuk mempengaruhi segi emosi pembaca.
Ahmad Fuadi sebagai seorang praktisi konservasi, novelis dan wartawan
adalah salah satu pihak yang berkomitmen dalam mengangkat suatu wacana
pendidikan, mencoba mensosialisikan sistem pendidikan podok pesantren kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
publik. Novel pertamanya adalah Negeri 5 Menara yang merupakan buku pertama
dari trilogi novelnya, Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk
berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam
jajaran best seller tahun 2009. Pada tahun 2010 Novel ini menerima penghargaan
Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit 2010 dari Anugerah Pembaca Indonesia,
tepatnya yaitu pada bulan desember 2010. Karyanya diterbitkan oleh PT.
Gramedia Pustaka Utama, dengan tebal 423 halaman. Ada ideologi yang diusung
oleh Ahmad Fuadi yang hendak ia propagandakan ke masyarakat terkait dengan
wacana pendidikan podok pesantren yaitu dalam hal ini yang bersinggungan
dengan pesantren Gontor.17 Pendidikan pondok pesantren dalam hal ini pesantren
Gontor fokus pada penanaman nilai-nilai beragama dan keseimbangan dengan
dunia pendidikan baik standarnya pendidikan didalam maupun diluar negri.
Bagaimana pendidikan akan menjadi bekal nantinya dalam pengabdian pada
agama dan masyarakat.
Setelah membaca keseluruhan teks novel tersebut peneliti menemukan
beberapa kategorisasi wacana seperti praktek sistem pendidikan pesantren,
disiplin waktu, metode pengajaran, peran ilmu umum dan ilmu agama dalam
kehidupan sehari-hari dan teladan pantang menyerah dalam bentuk motivasi.
` Dengan bersandar pada uraian di atas, meneliti teks novel Negeri 5
Menara tentunya penting untuk diangkat. Selain peneliti ingin mengetahui pesan
17 Dalam berbagai variannya, wacana mengandung kekuatan untuk memengaruhi kognisi, sikap, pandangan hidup, dan pola perilaku masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media indoktrinasi. Van Dijk pernah mengatakan bahwa kemampuan untuk mengontrol wacana dominan berkorelasi positif dengan kemampuan untuk mempengaruhi pemikiran dan tindakan kelompok lain. Wacana yang ada dikatakan Van Dijk sering disalahgunakan untuk menggiring pengetahuan, pikiran, dan pola tindakan suatu masyarakat berdasarkan kepentingan kelompok dominan, dipetik dari Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 2001:128-129)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
apa yang ada dibalik teks novel tersebut, peneliti juga ingin menyelidiki
bagaimana wacana-wacana tersebut dikonstruksi dalam kata-kata dan kalimat.
B. Rumusan Masalah
Peneliti tertarik pada wacana Pendidikan di pondok Pesantren Gontor yang
di ceritakan dalam Novel. Oleh karena itu, penelitian ini mempunyai rumusan
masalah:
1. Bagaimana Pendidikan di pondok Pesantren Gontor diwacanakan oleh
Ahmad Fuadi dalam novel Negeri 5 Menara?
2. Bagaimana bahasa yang digunakan oleh Ahmad Fuadi dalam wacana
Pendidikan pondok Pesantren Gontor dalam novelnya yang berjudul
Negeri 5 Menara dan apa fungsi dari bahasa tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Mengetahui bagaimana wacana realitas Pendidikan di pondok Pesantren
Gontor, yang dilakukan Ahmad Fuadi dalam novelnya Negeri 5 Menara.
Strategi representasi ini tentunya bergantung pada diri Ahmad Fuadi.
2. Mengetahui bagaimana representasi bahasa yang digunakan oleh Ahmad
Fuadi dalam mengembangkan wacana Pendidikan di pondok Pesantren
Gontor dalam novelnya yang berjudul Negeri 5 Menara dan apa fungsi
dari bahasa tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang akademik,
yaitu sebagai salah satu sumbangsih bagi perkembangan ilmu komunikasi
terutama penggunaan metode analisis wacana kritis terhadap karya novel
yang notabene adalah suatu bentuk penyampaian pesan.
2. Dalam bidang praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
sumbangan penulisan berkenaan dengan penyampaian pesan-pesan
komunikasi dalam bentuk karya novel bahwa karya novel ternyata
mengandung wacana-wacana tertentu yang ingin disampaikan oleh
penulis/pengarang.
E. Telaah Pustaka
1. Komunikasi Sebagai Proses Pertukaran Makna
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak dapat hidup sendiri.
Kehidupan manusia sudah dikodratkan untuk saling bergantung antar manusia
dalam suatu tatanan kehidupan yang disebut kehidupan sosial. Dalam menjalani
kehidupan sosialnya, manusia senantiasa harus berinteraksi satu sama lain. Untuk
itu komunikasi sangat penting untuk menunjang kehidupan sosial masyarakat.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari
kata Latin communicatio, dan berasal dari kata communis yang berarti sama.
Komunikasi akan berlangsung dengan lancar apabila terdapat kesamaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan makna yang
dimaksud.18
Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan
landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena
komunikasi. John Fiske, membagi studi Komunikasi dalam dua Mahzab Utama19.
Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Fiske tertarik
dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan
menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan
saluran dan media komunikasi.
Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang
pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek
tersebut berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan, mahzab ini
cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dengan melihat tahap-tahap
dalam proses tersebut guna mengetahui dimana kegagalan tersebut terjadi.
Selanjutnya kita akan menyebut mahzab ini sebagai “Mahzab Proses”.20
Sedangkan mahzab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan
pertukaran makna, berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi
dengan orang-orang dalam kebudayaan kita. Fiske menggunakan istilah-istilah
seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai
bukti yang penting dari kegagalan komunikasi––hal itu mungkin akibat dari
perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Bagi mahzab ini, studi
18 Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Penganta, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1999 Hlm 69-71. 19 John Fiske, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta, Jalasutra, hlm 8 20 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.21 Mahzab ini
mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota
dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.
Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu
elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk
realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks
dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka
menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa
menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah
yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis,
melainkan suatu praktik yang dinamis22. Termasuk juga bagaimana Fuadi
mencoba membangun (komunikator) penyampaian tujuan dari pesan pendidikan
lewat media teks, dalam hal ini novel.
BAGAN 1
Pesan dan Makna
Pesan
Teks
Makna
Produser referent
Pembaca
21 Ibid. hal 9 22 Ibid. hal 11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Menurut pada mazhab komunikasi produksi dan pertukaran makna di
atas23, penerima atau pembaca teks dipandang memainkan peran yang lebih aktif
dibandingkan dalam kebanyakan model mazhab komunikasi proses yang lebih
menonjolkan pada pihak pengirim pesan teks.
2. Komunikasi dan Novel
Ketika novel lahir kita tidak akan pernah tahu, dirinya mempunyai maksud
apa. Kita tidak pernah tahu apakah pengarang ingin berkomunikasi dengan kita
atau barangkali hanya ingin mengemukakan pemikiran atau gagasan saja, agar
diketahui oleh orang lain. Novel kemudian dibaca dan dimaknai oleh pembaca. Di
sini, baru sebuah karya novel dimengerti dan dipahami akan keberadaan dan
kehadirannya. Peran pembaca yang masuk dalam karya novel cukup besar. Sikap
dan interpretasi pembacalah yang menyebabkan karya novel itu dianggap
melakukan tindak komunikasi, melakukan dialog tentang persoalan atau
pemikiran tertentu.24 Mengadopsi dari pendapat Roman Jakobson, secara
sederhana proses komunikasi yang dilakukan antara pengarang dan pembaca,
dapat digambarkan sebagai berikut:
23 Ibid. H.61. 24Dalam proses komunikasi, kata Onong Uchjana Effendi, seorang komunikator itu menyampaikan suatu pesan kepada komunikan, di mana pesan itu sendiri terdiri atas pikiran (isi pesan) dan lambang (bahasa). Walter Lippman menyebut isi pesan sebagai “picture ini our head”. Proses “mengemas” atau “membungkus” pikiran dalam bahasa yang dilakukan oleh komunikator disebut encoding, komunikan yang menerima pikiran itu kemudian melakukan decoding. Jika keduanya saling mengerti dengan apa yang disampaikan, itu berarti proses komunikasi telah terjadi, jika seorang komunikan tidak bisa memahaminya berarti komunikasi telah gagal. Prof. Drs. Onong Uchjana Effendi, M.A, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993: 31-32.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
BAGAN 2
Model komunikasi oleh Roman Jacobson25
Buku atau sebuah karya novel diasumsikan sebagai sebuah kerangka
penyampaian pesan dari seorang komunikator (pengirim atau adresser), dalam
media novel di sini yaitu pengarang buku tersebut, kepada komunikan
(penerima/adressee) yaitu diri pembaca secara individu melalui media, yaitu
karya sastra, baik cerpen, novel, maupun puisi, guna mengirim pesan (message).
Agar dapat beroperasi, pesan memerlukan konteks (context) yang diacu. Kode
(code) yang dapat ditangkap sepenuhnya, atau setidaknya sebagian, dikenal oleh
pengirim dan penerima (atau pada yang memberi kode pesan dan yang diberikan
kode pesan). Akhirnya sebuah kontak (contact) menghubungi si pengirim dan si
penerima secara fisik atau psikis yang memungkinkan keduanya melakukan
komunikasi.
Novel lahir dari sebuah proses penciptaan atau tindak kreatif. Tindakan
mencipta ini, terkait dengan keberadaan seorang pengarang sebagai “ibu
kandung”-nya. Pengarang menjadi sentral atas karya novel yang lahir, dari situ
mewujud bagaimana teks-teks novel mentransformasikan atas apa yang menjadi
25 Kurniawan, Op.Cit., hal. 19.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
arah dan tujuan pengarang. Tidaklah mungkin sesuatu karya lahir tanpa tujuan
atau tanpa ambisi tertentu. Seperti pendapat Vollsinov Pengarang dianggap
sebagai pembawa perspektif tertentu atas permasalahan dalam karyanya, sehingga
karya novel hadir tidaklah sebagai sebuah pepesan kosong, buku karyanya adalah
simbol (sign) atas dirinya dan realitas sosial tertentu.
Jika kita kaitkan dalam teori komunikasi, dalam penelitian ini, karya novel
sebagai sebuah buku juga dapat dikategorikan atau diperlakukan layaknya media
massa.26 Jika Denis McQuail dalam Mass Communication Theory: an
Introduction mengatakan bahwa media massa memiliki peran perantara
(mediating) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi.27
Penelitian terhadap isi buku karya Ahmad Fuadi ini pun atas dasar keyakinan
bahwa isi media merupakan dokumen sosial yang bisa menjadi bukti keadaan
masyarakat dan kebudayaan di mana media tersebut dibuat, para produsen dan
tujuan mereka, termasuk audiens yang dituju dan minat mereka.
Seperti yang dikatakan oleh Charles W. Wright bahwa isi pesan media
massa menarik untuk diteliti karena walau sehari-hari diterpa arus komunikasi,
kita jarang termotivasi untuk menganalisis aspek-aspek berharga dari isi pesan
secara sosiologis.28 Isi media itu sebenarnya kumpulan data yang paling berisi dan
mudah diakses yang bisa memberikan banyak petunjuk tentang masyarakat. Dan
aksesisbilitasnya melewati batas waktu dan adakalanya menyeberangi batas
26 Dalam Denis McQuails, Mass Communication Theory: an Introduction, 2nd edition, terj. Agus Dharma, S.H., M.Ed dan Drs. Aminuddin Ram, M.Ed, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga: 1987: 9, 22-23) 27 Ibid., hal. 52 28 Indah S. Pratidina, Fakta dalam Fantasi dalam komunitas ruang baca Tempo, tanggal 01-08-2005, diakses melalui search engine: www.google.com.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
negara. Isi media juga muncul dalam bentuk-bentuk yang kelihatan lebih konstan
sejalan dengan waktu dibandingkan gejala budaya lainnya. Karena alasan ini isi
media dihargai ahli sejarah, sosiolog, dan antropolog.29
Oleh karenanya, teori tersebut dapat diaplikasikan pada semua tipe isi
(content), termasuk dalam karya novel. Karya novel yang bersifat imajiner, di
dalamnya terlibat tindak pengekspresian dan komunikasi yang dilakukan dengan
baik melalui usaha meniru kejadian nyata, mengajukan kasus khusus, atau dengan
menyediakan kekontrasan dari yang dianggap normal. Dengan kata lain, karya
novel hendak berkomentar tentang kenyataan melalui representasi. Dalam hal
hubungan fantasi dan representasi ini, kiranya dapat dipetik ungkapan dari
Humphrey Carpenter, sebagai berikut:
"...Sisi lain dari menulis... adalah representasi, dan dideskripsikan secara umum sebagai “fantasi”. Walaupun tidak secara terbuka bersifat realistis dan dianggap tidak punya hubungan apa-apa dengan dunia “nyata”, dalam usaha menulis karya-karya fantasi ini ditemukan beberapa observasi mendalam tentang karakter manusia dan masyarakat masa kini dan (sering kali) tentang agama." 30
3. Novel dalam Konstruksi Realitas
Mengenai proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya
“menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda adalah
usaha mengkonstruksikan realitas. Dunia ini, tidaklah semata-mata sebagai
kenyataan diterima begitu saja. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai
kenyataan yang telah ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif
bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren. Dunia ini berasal dari pikiran-
29 Denis McQuails, Op.cit. hal. 177. 30 Indah S. Pratidina, Op.cit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pikiran dan tindakan-tindakan manusia dan dipelihara sebagai “yang nyata” oleh
pikiran dan tindakan itu.31
Bisa dikatakan bahwa konsep tentang dunia ini terwakili dalam konsep
Karl R. Popper;32 dunia ini menjadi tiga, Dunia 1 yaitu kenyataan fisis dunia,
Dunia 2 yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan Dunia
3 yaitu segala hipotesis, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama
antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik,
agama dan lainnya. Dunia 3 itu hanya ada selama dihayati, seperti sebuah karya
novel yang sedang dibuat oleh pengarang, adanya transformasi ide/gagasan dari
perpaduan antara Dunia 1 dan Dunia 2, yang pada akhirnya semua itu
‘mengendap’ dalam bentuk karya buku dan menjadi bagian dari Dunia 1.
Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia
merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa sudah menjadi
alat konseptualisasi dan alat narasi, sehingga penggunaan bahasa (simbol) tertentu,
juga akan menentukan format narasi dan makna tertentu. Keberadaan bahasa tidak
lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa
menentukan gambaran/citra (image) mengenai suatu realitas. Manakala kita
bercerita atau melakukan komunikasi dengan orang lain sesungguhnya esensi
31 Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukan objektifikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadap suatu objek. Selanjutnya, hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itu diinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilah dilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkah terakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses permenungan secara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat yang digunakan adalah kata-kata atau konsep atau bahasa. Karenanya bahasa adalah sarana penting atau utama dalam proses konstruksi realitas.Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990:28-29). 32 Dr. C. Verhaak S.J. dan Drs. R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-llmu, seri filsafat Driyarkara 1, (Jakarta: Gramedia, 1989: 162)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
yang ingin kita sampaikan adalah sebuah makna maka dari itu penggunaan bahasa
dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang
dikandungnya.
Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur
konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahasa
bukan lagi mencerminkan realitas, tapi sekaligus menciptakan realitas, seperti
bagan di bawah ini:
BAGAN 3
Hubungan Bahasa, Realitas, dan Budaya
(christian dan christian, 1996) 33
Konstruksi realitas dalam novel juga bersandar pada kehidupan sehari-
hari.34 Masalahnya, pengarang dan karyanya adalah bagian dari masyarakatnya
dan tidak lepas dari hubungan ekonomi, sosial, dan politik di masyarakat. Dasar
dari gerak dan hubungan masyarakat adalah hubungan produksi, hubungan kerja
dan kepemilikan alat-alat produksi. Fungsi novel sebagai bagian dari hubungan itu
33 Dalam Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap berita-berita politik, (Jakarta: Granit, (2004: 13) 34 Dalam ranah sastra ada dua pendapat yang menyatakan, sebenarnya sastra itu mimises (hanyalah sebuah tiruan dari alam semesta ini), sedangkan yang satu berpendapat, sastra, seperti halnya novel adalah creatio (karya seni hakekatnya adalah sesuatu yang baru, asli, ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Pandangan pertama dicetuskan oleh Plato dan dianut oleh para kaum strukturalis, yang menganggap sastra adalah dunia dalam kata (heterokosmos). Pandangan kedua, dianut oleh kaum Marxis, kadang juga para peneliti menganggap karya sastra sebagai dokumen sosial. Lihat dalam Prof. Dr.A.Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984: 219-371)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
mau tak mau – meski tidak selalu adalah sebagai penyebar nilai dan kesadaran
yang akan mewarnai pertarungan ideologi dan sosial politik antara kelas-kelas
sosial yang ada dalam hubungan produksi itu. Pengarang secara sadar atau tidak
bernafsu ingin menyajikan realitas dalam novel atau cerpennya. Realitas sosial
kemudian dikonstruksikan sedemikian rupa, dengan intervensi subjektivitas
imajinasi pengarang menjadi sebuah bentuk baru yaitu fiksi.
Maka dari itu novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosial budaya,
sebab lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta
refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Kehadiran novel
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek
individual, dimaknai oleh Tri Adi Nugroho, yaitu mencoba menghasilkan
pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya lewat
penghadapan yang intens, keras terhadap realitas. Signifikasi yang dielaborasikan
subjek individual terhadap realitas sosial di sekitarnya menunjukkan sebuah karya
berakar pada kultur dan masyarakat tertentu.35 Ia hadir sebagai dokumen sosial
budaya, yang pada tingkat kesadaran yang tinggi apa yang diajukan sastrawan
adalah hasil dari dialog antara dirinya dengan lingkungan realitas sedangkan pada
kesadaran rendah karya novel itu adalah pantulan dari lingkungan realitas.
4. Strategi Novel Melakukan Konstruksi Realitas
Elemen dasar seluruh isi karya sastra novel adalah bahasa sebagai alat vital
dalam proses komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Dengan bahasa
pengarang hendak menyampaikan maksud dan tujuannya, melalui apakah itu
35 Tri Adi Nugroho, “Ketika Ilmu Sosial Bersanding dengan Sastra”, dalam Jurnal Solid LPM Solidaritas, (Banyumas: 2004: 94-95)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
representasi sosial (hasil dari konstruksi pengarang atas realitas sosial), ada yang
menyebutnya novel sejarah, jika itu bersandar pada realitas historis, atau novel
sosial, yang mengambil peristiwa sosial saat itu sebagai konsep dasar bercerita
atau mungkin lebih bersifat imajiner, tanpa sangkut pautnya dengan realitas sosial.
Novel sosial bisa juga berisi pesan-pesan sosial seperti; kemanusiaan, pendidikan,
kesenjangan sosial.dsb.
Pengarang sebuah novel memunyai strategi atau pola-pola tersediri untuk
menyampaikan pesan ceritanya. Di sini, tentunya adanya pemilihan-pemilihan
bahasa atau gaya bahasa, yang bersifat simbolik. Jika, misalnya novel sejarah atau
novel sosial hendak berbicara, pengarang pun harus mempertimbangkan simbol-
simbol, misalnya yang berkaitan dengan peristiwa sejarah atau sosial di
masyarakat itu. Pemakaian simbol-simbol ini sebagai bentuk komunikasi, di mana
pengarang sebagai komunikator membentuk citra-citra atau makna-makna melalui
sistem simbolik. Pemilihan kata, penyusunan kalimat, gaya yang dipakai, atau
penokohan oleh pengarang dipilih secara cermat, guna maksud dan tujuannya.
Misalnya saat karakater tokoh dalam menghardik, membentak, menangis,
sombong, membantai, mengejek atau bentuk lainnya, benar-benar didasarkan pada
pertimbangan tertentu.
Simbol-simbol yang dipakai tersebut, sangat mempengaruhi makna yang
muncul. Simbol-simbol ini dapat dijelaskan melalui teori semiotika.36 Pandangan
semiotika, teks (misal, novel) dipandang penuh sebagai tanda entah dari
36 Semiotik berasal dari kata Yunani: Semeion (tanda). Semiotika adala ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda (signs) berdasarkan kode-kode tertentu. Tanda tersebut dianggap sebagai representasi dari objek Bahasa dimaknai sebagai sistem tanda. Fenomena sosial dan kebudayaan diartikan juga sebagai tanda-tanda, lihat dalam Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epsitemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Wedyatama, 2003: 64)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pemakaian kata, istilah, frase, atau gaya bahasanya pun. Teks sastra dimaknai
sebagai sarana komunikasi novel antara pengarang dan pembacanya melalui kode-
kode tertentu.
Dalam semiotik, tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan
petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu
yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh
petanda itu yaitu artinya misalnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan
bunyi yang menandai arti: “orang yang melahirkan kita”. Dalam tanda masih
dijabarkan lagi dalam tiga macam yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Hubungan antara tanda, rujukan dan pikiran sehingga menimbulkan makna
lazim diilustrasikan dalam Hubungan Segitiga Makna (Triangle Meaning).
Menurut Pierce (bagan 3) salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek
adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada
dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga
elemen itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang
sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. 37. Hubungan ketiganya dapat
digambarkan sebagai berikut:
BAGAN 4
Elemen Makna Peirce 38
37 John Friske, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2004: 63 38 Ibid., hal. 115.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Fungsi tanda adalah mencapai suatu tujuan; untuk kepentingan
komunikator, tanda berfungsi (a) untuk menyadarkan (sense) pendengar akan
sesuatu yang dinyatakannya untuk kemudian supaya memikirkannya, (b) untuk
menyatakan perasaan (feeling) atau sikap dirinya terhadap suatu objek, (c) untuk
memberitahukan (convey) sikap sang pembicara terhadap khalayaknya, dan (d)
untuk menunjuk tujuan dan hasil yang diinginkan oleh si pembicara atau penulis
baik disadari atau tidak disadari.39
Bagi komunikan, tanda berfungsi (a) menunjukkan (indicating) pusat
perhatian, (b) memberi ciri (characterizing), (c) membuat dirinya sadar akan
permasalahannya (realizing), (d) memberi nilai (value) positif atau negatif, (e)
memengaruhi (influencing) khalayak untuk menjaga atau mengubah status quo,
(f) untuk mengendalikan suatu kegiatan atau fungsi, (g) untuk mencapai suatu
tujuan (purposing) yang ingin dicapainya dengan memakai kata-kata tersebut.40
5. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Pembentukan Wacana Novel
Seperti halnya sebuah media massa, novel pun hadir dalam pertarungan
idealis pengarangnya. Dirinya hendak berbicara atau mengungkapkan persoalan
tertentu dalam perspektif subjektif seorang pengarang. Bagaimana wacana yang
dikemukakan merupakan pergulatan panjang seorang pengarang, untuk sampai
pada keputusan bahwa teks tersebut sudah menjadi final decision. Terdapat
sebuah motif amat penting dalam menulis novel. Jean Paul Sartre pernah
39 Ibnu Hamad, Ibid. hal. 19 40 Ibid., hal 19-20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
mengatakan sebagai berikut: “Mengapa saya mengarang? Untuk siapa saya
mengarang? Apa yang saya inginkan dengan karangan itu?41 Pernyataan tersebut
cukup membuat kita sadar bahwa apa yang dimunculkan pengarang, sangat
dipengaruhi berbagai faktor.
Faktor internal dan eksternal yang ada disekitar pengarang sangat
menentukan bagaimana bentuk sebuah wacana akan dipaparkan nantinya. Faktor
internal, seperti ideologi yang dipegang pengarangnya, bahan-bahan bacaan,
pengalaman dan pengetahuan hidup, latar belakang pendidikan, agama, gologan,
ras, dan sebagainya.42 Faktor yang berasal dari dalam tubuh pengarangnya tak lain
juga transformasi dari wacana yang berkembang di masyarakat umumnya, ini
yang kemudian disebut sebagai faktor eksternal. Kondisi sosial politik
pemerintahan, sejarah perkembangan negara, ideologi masyarakatnya atau negara
yang berkuasa, ikut memberi kontribusi dalam membentuk perspektif seorang
pengarang dalam menulis sebuah wacana dalam novel. Pengarang tidak akan
pernah bisa lepas dari kehidupan masyarakatnya, karena dirinya pun berasal dari
sana. Bagaimanapun apa yang dikatakan dalam sebuah novel adalah sebuah
representasi realitas dan peristiwa yang terjadi dalam batin seorang pengarang
yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan
Tuhan, alam semesta, masyarakat, manusia lainnya, dan dirinya sendiri.
41 H. Bahrum Rangkuti, Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen Langit Makin Mendung, lihat pada Dahlan, Muhidin M dan Mujib Hermani (ed.). Pledoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandjikusmin. Yogyakarta: Melibas, 2004., hal.327 42 Sastra merupakan suatu eksperimen moral yang tuangkan oleh pengarang melalui bahasa, dan kehidupan itu sendiri merupakan kenyataan social. Dirinya juga sebuah refleksi transformasi pengalaman hidup dan kehidupan manusia, baik secara nyata ada maupun hanya rekaan semata, yang dipenggal-penggal dan kemudian dirangkai kembali dengan imajinasi, persepsi, dan keahlian pengarang serta disajikan sebuah media. Diambil dari Puji Santosa, Kekuasaan, Ideologi, dan Politik dalam Dunia Kesusastraan, dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie (ed.), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press: 2000:251)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
6. Pendidikan sebagai Komunikasi
Manusia bukan hanya makhluk biologis seperti halnya hewan. Manusia
adalah makhluk sosial dan budaya. Di samping kepandaian-kepandaian yang
bersifat jasmaniah (skill, motor ability), seperti merangkak, duduk, berjalan tegak,
lari, naik sepeda, makan dengan sendok, dan sebagainya, anak (manusia) juga
membutuhkan kepandaian-kepandaian yang bersifat rohaniah. Maka jelaslah
kemudian, apabila belajar menjadi sangat penting bagi kehidupan seorang
manusia.43 Anak (manusia) membutuhkan waktu yang lama untuk belajar
sehingga menjadi manusia dewasa, kapanpun dan dimanapun berada. Manusia
dilahirkan dengan tugas, panggilan dan tanggung jawab untuk menjadi
pembelajar, pemimpin, dan guru bangsa, sebagai wujud dari tri-tugas
kemanusiaan universal.44
Sebagai landasan penguraian mengenai kebutuhan belajar, berikut ini akan
dikemukakan secara ringkas beberapa definisi belajar:45
6. Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975)
mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah
laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu.
7. Gagne, dalam buku The Conditions of Learning (1977) menyatakan
bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi
43 M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004, hal 84. 44 Andrias Harefa, Mutiara Pembelajar, Yogyakarta: Gloria Cyber Ministries, 2001, hal 19. 45 M. Ngalim Purwanto, Op.Cit, hal 84.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya
berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah
ia mengalami situasi tadi.
8. Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978) mengatakan
bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam
tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau
pengalaman.
9. Witherington, dalam buku Educational Psychology mengemukakan
bahwa belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang
menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa
kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.
Di samping berbagai pengertian dan faktor dalam belajar di atas, Paulo
Freire menegaskan bahwa belajar (studying) itu sendiri merupakan pekerjaan yang
cukup berat dan menuntut sikap kritis-sistematik (systematic critical attitude) dan
kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung,
sehingga sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan
yang bergaya bank (banking education).46 Dalam pendidikan gaya bank ini, yang
dibutuhkan pembaca bukanlah pemahaman akan isi, tetapi sekedar hafalan
(memorization). Lain halnya dengan visi pendidikan kritis, di mana seorang
pembaca merasa tertantang oleh teks yang disodorkan sehingga tujuan membaca
adalah untuk memahami (appropriate) makna yang lebih dalam.47
46 Paulo Freire , Politik Penddikan, Yogyakarta: REaD & Pustaka Pelajar, 2000,hal 28. 47 Ibid,. hal 29.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Bagi Paulo Freire kegiatan mengajar sendiri dipahami bukan sebagai
proses memindahkan pengetahuan dengan hapalan, melainkan melalui proses
mengajar suatu bidang itulah seorang guru diharapkan mampu mengajarkan
siswa-siswinya untuk sungguh-sungguh belajar dan bukan untuk menghapal.48
Sebab pada dasarnya, proses mengajar adalah tindakan kreatif dan kritis dan
bukan hanya mekanis belaka. Sedangkan belajar adalah belajar untuk belajar dan
bukan belajar untuk menghapal, di mana dituntut keaktifan siswa untuk mengolah
sendiri secara kritis bahan yang dipelajari serta memahami alasan (why) dari objek
dan isi yang dipelajari.49 Dengan demikian setelah proses pembelajaran itu selesai,
siswa sendiri akan tetap terus belajar dan mengembangkan diri hingga akhirnya
mengubah diri. Dalam praktik pembelajaran problem posing, pembelajaran
sekaligus menjadi proses konsientisasi, penyadaran akan hidup, situasi siswa, dan
dengan demikian menemukan cara memajukan atau mengubah hidup mereka.
Proses belajar bisa dengan cara dan lembaga yang bermacam-macam. Di
tambah lagi begitu banyaknya lembaga pendidikan yang dibuat untuk mendidik
lulusan yang berkompeten. Keberhasilan komunikasi tergantung dari bagaimana
proses penyampaian tujuan dari pesan pendidikan tersebut dapat diterima sebagai
proses keberhasilan dari pertukaran makna dalam proses terjadinya komunikasi.
7. Ideologi dan Wacana
Teks dapat dilihat dari berbagai sisi sebab teks dibuat dari pikiran
seseorang; diproduksi dan ada di dunia sebagai sesuatu yang dapat diuji secara
bebas. Teks ditafsirkan dengan jalan yang berbeda oleh masing-masing dari
48 Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, artikel Edisi Paulo Freire di Majalah Basis, Januari-Februari 2001, hal 25. 49 Ibid,.hal.26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
pembaca dan mengambil suatu kehidupan pada setiap pikiran pembacanya.
Sesungguhnya, teks mempunyai makna lebih dari satu komunikator memaknai
lain dan komunikan mungkin mengambil teks untuk sesuatu yang berbeda.
Pemaknaan terhadap teks terjadi karena ada suatu kerja pikiran yang
panjang, sehingga makna tidaklah muncul dari dalam teks tersebut artinya dia
datang dari luar teks. Pembaca menemukan teks, tapi dia tidak langsung
menemukan makna dalam teks tersebut, yang ia temukan adalah pesan. Makna itu
kemudian diproduksi lewat proses aktif, dinamis baik dari sisi pembuat maupun
pembaca. Pembaca dan teks secara bersama-sama mempunyai andil dalam
memproduksi permaknaan; melakukan politik pemaknaan. Hubungan ini,
kemudian, menempatkan seseorang sebagai satu bagian dari hubungannya dengan
sistem tata nilai yang lebih besar. Maka di sinilah, ideologi itu bekerja.
Ideologi selalu mewarnai produksi wacana. Seperti kata Aart van Zoest,
bahwa teks tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan
memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.50 Wacana di sini tidaklah dipahami
sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi menurut Foucault
adalah sesuatu yang memproduksi yang lain, diantaranya sebuah gagasan konsep
atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini,
konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.51
50 Sobur. Alex, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001: 60) 51 Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa di sini tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, dimana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Ideologi dapat diartikan sebagai sistem ide-ide yang diungkapkan dalam
komunikasi atau terkadang hanya dipahami sebagai sebuah pemikiran saja.
Menyitir pendapat dari Aminuddin bahwa ideologi merupakan wawasan, harapan,
maupun sistem kepercayaan yang secara ideal mewarnai sikap dan perilaku
individu, kelompok kemasyarakatan, maupun dalam menjalani aktivitas
kehidupannya.52
Teoritisi ideologi yang paling terkenal adalah Perancis Leuis Althusser,
baginya ideologi hadir dalam struktur sosial itu sendiri dan muncul dari praktek-
praktek aktual yang dilaksanakan oleh institusi-institusi di dalam masyarakat.
53Ideologi sebenarnya membentuk kesadaran individu dan menciptakan kesadaran
subyektif orang tersebut tentang pengalaman. Dengan begitu suprastruktur
(organisasi sosial) menciptakan ideologi, yang pada gilirannya mempengaruhi
pemikiran-pemikiran individu tentang realita. Teori-teori Marxis cenderung
melihat masyarakat sebagai dasar perjuangan antar kepentingan melalui dominasi
sebuah ideologi terhadap ideologi lainya. Hegemoni merupakan sebuah proses
dominasi, dimana sekumpulan pemikiran merongrong atau menekan yang lain.
Sedangkan, Raymond William memaknai ideologi dengan membaginya
dalam tiga ranah. Pertama, sebagai sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh
ruang lingkup dimana banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain. Jika kekuasaan banyak dimaknai berhubungan dengan Negara, maka Foucault seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana-mana terdapat aturan, system regulasi. Dengan kata lain dimana saja manusia berhubungan satu sama lain, disitulah kuasa sedang bekerja. Lihat Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKis, 2006 hal 65 52 Aminuddin, Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pembangunan Perubahan Ideologi dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie (ed.), Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press: 2000: 47-48) 53 di lihat, Litlejohn, 2001 dalam tesis Marhaeni. Dian, Wacana Kapitalis dalam Iklan anak-anak di media Televisi. Universitas Sebelas Maret, 2006
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kelompok tertentu. Meski di sini terlihat sebagai sikap seseorang, tapi ideologi
tidak dipahami sebagai diri individu tapi diterima oleh masyarakat, di mana ia
hidup, posisi sosialnya, pembagian kerjanya dan lain-lain. Kedua, sistem
kepercayaan yang dibuat – ide palsu/kesadaran palsu - yang dilawankan dengan
pengetahuan ilmiah. Ideologi diartikan sebagai seperangkat kategori yang dibuat
dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan
menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Di sini, ideologi disebarkan
lewat berbagai instrumen seperti pendidikan, politik juga media massa. Tanpa
sadar kita menerimanya sebagai kebenaran yang wajar, tanpa mempertanyakan
kembali. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi didefinisikan
untuk menggambarkan produksi makna.54
Ini seperti yang ditegaskan oleh Aminuddin, mengutip Terry Eagleton
dalam bukunya Ideology, An Introduction (1991) bahwa ideologi dapat dipahami
sebagai cara dan sikap anggota kelompok masyarakat dalam menyikapi diri dan
kelompoknya sendiri maupun dalam menyikapi orang/kelompok lain.55 Maka dari
itu, ditinjau dari segi kognitif, ideologi merupakan bentuk kesadaran mental yang
tersusun berdasarkan perolehan pemahaman dan pengalaman. Di sini, dapat
dimaknai bahwa ideologi yang dimiliki seseorang kurang lebih sama dengan
ideologi orang tua ataupun lingkungan keluarganya. 56
Hal ini memberikan gambaran bahwa aspek internal pembentuk ideologi
mengacu pada lingkungan, kegiatan keseharian, informasi dan pesan yang didapat
dalam komunikasi sehari-hari, maupun pada kegiatan sosial yang dilakukannya. 54 Dalam Eriyanto (b), Op.cit., hal 87-93. 55 Aminuddin, Ibid., hal. 49. 56 Ibid., hal. 48-49.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Selanjutnya, ideologi tersebut akan menentukan sikap, keputusan, bentuk relasi,
dan perilaku dalam kehidupan.
Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu,
yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan
pemahaman orang mengenai realitas sosial.57 Dengan kata lain, karena begitu
banyak pengertian, ideologi dalam pengertian paling umum dan lunak adalah
pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling
melengkapi sehingga membentuk perspektif-perspektif ide yang diungkapkan
melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antarpribadi.58
Novel sebagai sebuah teks juga mengandung sebuah ideologi dari
pengarangnya. Kata-kata, klausa, kalimat atau paragraf yang tersusun di dalamnya
dipandang oleh kaum Marxis tidaklah sebagai sesuatu yang netral, tapi penuh
motif. Teks-teks yang ada di dalamnya bisa menjadi wacana populer bahkan
kontroversial. Sebab teks-teks tersebut muncul dari pikiran dan pemahaman
seorang pengarang yang tak lepas dari berbagai terpaan ideologi sosial di
lingkungan sosialnya.
Makna kata dalam teks novel dibangun dalam kaitan dan oposisinya
dengan makna kata yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Kata-kata
dalam teks sastra dipungut dari kata umum, dicipta dan dirangkai dalam susunan
yang baru sebagai sarana mengatakan satu hal dan cara lain. Ungkapan kata dalam
novel dibedakan dengan bahasa biasa. Jika dalam bahasa biasa ungkapan langsung
bisa ditangkap maknanya (mempercepat makna), sementara dalam novel, makna
57 Alex Sobur, Drs., Op.Cit., hal 61. 58 Ibid., hal. 64.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
justru ditunda. Hal ini lantaran dalam novel berlaku kecenderungan untuk
melakukan defamiliarisasi dengan kehidupan riil sehari-hari.59 Artinya untuk
memahami karya novel perlu ada proses pembalikkan dunia rekaan ke dalam
sesuatu yang dikenal. Hal-hal yang menyimpang, yang aneh, yang mengejutkan,
yang terdapat dalam cipta sastra dinaturalisasikan, dikembalikan kepada sesuatu
yang dikenal, dipahami supaya komunikatif. Pendek kata, proses pemahaman
tersebut dari defamiliarisasi ke familiarisasi.60
Novel dapat dikatakan sebagai sebuah bangunan pengetahuan, dalam arti
dirinya menjadi sebuah bagian kepercayaan kognisi sosial dalam masyarakat
(mitos). Sebagaimana yang diutarakan Van Dijk, bahwa ciri dan sifat dari
pengetahuan adalah ciri kognitif, ciri sosial, ciri relatif, dan ciri subjektif.61
Dengan kata lain, memiliki dimensi kognitif, sosial dan diskursif. Dalam bahasa
psikologi sosial, teks novel bisa dipandang mempengaruhi atau menggerakkan
alam kognitif seseorang dalam tingkat sosialnya, sehingga perubahan sosial pun
dapat pula terjadi. Dia pun berkedudukan tidaklah mutlak tapi melalui diskursus
pengarangnya. Wacana yang ada pada novel pun tidaklah sesuatu yang jatuh dari
langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri, tapi dibentuk dalam suatu
praktik diskursus; suatu praktik wacana.
59 Agus Wibowo, “Esai: Makna di Balik Teks (Sastra)”, Seputar Indonesia, 30 September 2007. 60 Dilihat dari laporan skripsi Andi Sapto Nugroho.Konstruksi Wacana Tragedi 1965: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Teks Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma,2008.Zainuddin Fananie, Perspektif dalam Sastra Indonesia Kontemporer, dalam Dr. Soediro Satoto dan Drs. Zainuddin Fananie (ed.), Op.cit. hal. 19 61 M.E. Purnomo, Anilisis Wacana Kritis dan Penerapannya, dalam LINGUA, Jurnal Bahasa dan Sastra, Volume 5 No. 1 Desember 2005, hal. 72.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
8. Bahasa, Representasi dan Interpretasi
Merupakan tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dalam mendiskusikan
makna. Representasi menurut Baker merupakan cara bagaimana kita
mengkonstruksikan realitas sosial, dimana dalam hal ini dibutuhkan untuk
mengeksplorasi makna-makna tesktual yang melekat pada suara, prasasti, obyek,
image, buku, majalah, program televisi dsb. Yang diproduksi, diberlakukan,
digunakan dan dipahami dalam konteks sosial yang spesifik.62
Secara semantik, representasi bisa diartikan to depict, to be a picture of,
atau to act or speak for (in the place of, in the name of) somebody. ( untuk
menggambarkan, untuk menjadi gambar, atau untuk bertindak atau berbicara
untuk (di tempat, dalam nama) seseorang) Berdasarkan kedua makna tersebut, to
represent bisa didefinisikan sebagai to stand for. Ia menjadi sebuah tanda (a sign)
untuk sesuatu atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang
direpresentasikan tapi dihubungkan dengan, dan mendasarkan diri pada realitas
tersebut. Jadi representasi mendasarkan diri pada realitas yang menjadi
referensinya. 63
Representasi adalah hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang
memungkinkan pembaca menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu
obyek, realitas, atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau
peristiwa. Eriyanto menyebutkan bahwa ada dua hal berkait dengan representasi
yakni, pertama: apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan
sebagaimana mestinya, apa adanya ataukah diburukkan. Penggambaran yang
62 Barker. Chris, Cultural Studies : Theory and Practice,London: Sage Publications, 2000, hal.8 63 Noviani, Ratna, Jalan Tengah Memahami Iklan, Yogyakarta, Pustaka Pelahar, 2002, hal 61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
tampil biasanya adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan
seseorang atau kelompok tertentu. Hanya citra buruk saja yang ditampilkan
sementara citra atau sisi yang baik luput dari penampilan. Kedua: bagaimana
representasi tersebut ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi dan bantuan
foto macam apa seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan
dalam program. 64
Peter L. Berger & Thomas Luckman, di dalam The Social Construction of
Reality, berbicara mengenai sebuah konsep sosialogi tentang realitas. Apa yang
diterima sebagai realitas, sebagai pengetahuan, semuanya dikonstruksi secara
sosial, artinya dibentuk oleh masyarakat dimana realitas itu mengambil tempat.
Salah satu sarana representasi adalah bahasa yang merupakan sarana komunikasi
yang utama untuk menyampaikan ide-ide. Pemikiran-pemikiran dan reotrika-
reotrikan. Cohen menjelaskan bahwa bahasa adalah sarana representasi siapa diri
kita dan apa yang kita ketahui yang mencakup kepercayaan, sikap, nilai dan
ideologi. Dengan kata lain, pandangan tentang representasi tersebut menjelaskan
ide-ide yang dibuat oleh seseorang, biasanya disebut ‘subyek’, tentang obyek
didunia bahasa sebagai representasi dapat dibentuk dengan style, semiotic, dan
metaphora.65Masalah mendasar dalam penggunaan bahasa adalah masalah makna
simbol/tanda. Bahasa dan makna yang dirujuk sangat syarat dengan “intepretasi”,
bersifat arbitrary. Makna bahasa dapat tersurat secara lugas, namun dapat juga
hanya tersirat yang maknanya harus dikaji menurut kontak ruang dan waktu.
64Dalam Eriyanto Ibid hal 113 65 di lihat, dalam tesis Marhaeni. Dian, Wacana Kapitalis dalam Iklan anak-anak di media Televisi. Universitas Sebelas Maret, 2006 (Cohen, Jodi R. Communication critiscim. London: Sage publication.1998)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Norman Fairclough menjelaskan fungsi representasi berkaitan dengan
cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk
teks. 66Yang melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan
sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Menurut Fairclough
analisis wacana kritis adalah, bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial
yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing, melihat
pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam
analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara
peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari sebuah realitas, dan struktur sosial.
Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari
konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan
penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya
yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas
akan kepentingan yang bersifat subjektif. Untuk menemukan ”realitas” di balik
teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan
aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.
Dikemukakan oleh Fowler, Representasi baik dalam pers atau bentuk
media dan discourse lainnya adalah sebuah praktek yang membangun
(constructive practice), peristiwa atau ide dikomunikasikan secara netral dalam
struktur alamiah sebagaimana dengan struktur aslinya. Hal ini disebabkan
peristiwa atau ide tersebut harus ditransmisikan melalui medium dengan struktur
66Norman Fairclough diakseshttp://www.ling.lancs.ac.uk//staff/norman/critical discours analysis.doc
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
nilai-nilai sosial yang membuat perspektif secara potensial dalam peristiwa atau
ide.67
Fowler dkk menjelaskan bahwa ideologi dan kekuasaan tercermin dan
terekspresikan dari teks, sementara dalam model Fairclough antara teks di satu sisi
dengan masyarakat atau kekuasaan disisi lain, tidak bekerja secara langsung tetapi
melalui mediasi. Fowler berpandangan ideologi tercermin dari pemakaian kata,
kalimat dan pemakaian bahasa yang dipakai. Pemakaian kata, kalimat atau bahasa
tertentu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain yang secara
langsung menggambarkan pertarungan sosial diantara pihak-pihak yang terlibat
didalam masyarakat. Atau dalam bahasa yang sering dipakai Fowler, bahasa
adalah ideologi itu sendiri.68 Seperti dalam penelitian ini, Model ini
menghubungan antara analisis linguistik dengan analisis sosial yang melihat
bagaimana realitas tergambar, dimengerti, dan dimaknai lewat bahasa yang
tercermin pada pemakaian kata dan kalimat.
9. Pendidikan Pondok Pesantren
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan
sistematis yang bertujuan membentuk manusia yang berkarakter, yang pertama
berkepribadian Islam dimana merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim.
Yang intinya seorang muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu
67 dalam tesis Tripambudi. Sigit, Representasi Akuntabilitas Presiden Megawati di dalam Media Cetak, tesis Universitas Negeri Surakarta, 2004. lihat Flowler. Roger, Language in the press. London: Routledge,1998, hal 25 68 Lihat John B. Thompsom, Studies in the Theories of Ideology, berkeley; University of California Press, hal.125 dalam Eriyanto, Analisis Teks Media. Yogyakarta; Lkis.hal.347
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
pola pikir (aqiliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Kedua, menguasai tsaqafah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk
menuntut ilmu berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali ilmu di
bagi dalam dua kategori, yaitu ilmu yang termasuk fardu ’ain (kewajiban individual)
yang terdiri dari konsep diri, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi Saw,
Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, Ulumul hadis, ushul fikih,dll. Yang kedua ilmu yang
dalam kategori fadhu kifayah (kewajiban kolektif) biasanya ilmu-ilmu yang mencakup
sains dan teknologi serta ilmu terapan-ketrampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran,
pertanian, teknik, dll. 69
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat
makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan
istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian
asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang
dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri70.
Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut
Wahid71, “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory,
convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi
totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak
diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di
69 Lihat di Al-jawi, M.Shiddiq, Pendidikan di Indonesia:Masalah dan Solusinya, di Journal The house of Khilafah. Bulan september, 2006 hal.7-9. 70 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985 .hl.18 71Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta :LkiS.2001, hl.171
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa72. Pondok pesantren di Jawa itu
membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren
di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola
kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-
unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. Unsur-unsur
pokok pesantren, yaitu kya, masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau
kitab kuning). Adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan
pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
a.Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.
Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak
bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta
ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia
adalah tokoh sentral dalam pesantren 73.
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa74.
Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda,
yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat;
contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada
di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya;
3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang
72 Azra, Prof.Dr.Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Penerbit . Jakarta :Kalimah. 2001hl. 70 73 Hasbullah, Ibid hl.144 74 Ziemek, Manfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: 1986.hal.130
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik
kepada para santrinya 75.
b.Masjid:
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam
tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan
masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan
Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani, sosial dan politik, dan pendidikan Islam,
masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi
masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima
waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam
klasik.”76. Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin
mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di
belakang rumah kyai.
c. Santri:
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah
pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren
adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau
murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa
disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok
75 Dhofier,Ibid.hl. 55 76 Dhofier,Ibid.hl. 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran
di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren
jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera
atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari
daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh dengan cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi
sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren77.
d. Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat
tinggal kyai bersama para santrinya78. Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada
jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang
dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri
lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri
wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama
santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan
olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-
kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh
penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat
asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk
77 Dhofier,Ibid.hl. 52 78 Hasbullah, Ibid hl.142
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri
dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri,
mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan
sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem
pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang
digunakan di Afghanistan79 .
e. Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk
pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa
Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab
kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier80 “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik
merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran
pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan
pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan
tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana,
kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan
suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.81 .
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab
Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 79 Dhofier,Ibid.hal. 45 80 Dhofier,Ibid.hl. 50 81 Hasbullah, Ibid hl.144
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti
tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok
menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab
yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama82.
Setiap Pesantren memiliki aturan yang berbeda-beda, kebanyakan
pesantren berkembang di jawa. Mereka memiliki cara sendiri-sendiri dalam
mendidik para santri nya dengan pandangan dan tujuan yang jadi pedoman
didalam Pesantren. Yang pada intinya setiap pesantren dan lembaga pendidikan
mempunyai tujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa serta berilmu
dan berakal.
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem
sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau
wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap
murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau
pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-
murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian
yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini
sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren 83.
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem
bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan
seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam 82 Dhofier,Ibid.hl. 51 83 Dhofier,Ibid.hal. 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah
yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.
Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk
santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu
pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren
tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok
pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan
secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk
menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini
pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka
renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan
yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi
program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat
berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat84.
84 Hasbullah, Ibid hl.155
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
F. Kerangka Kerja Penelitian
Dalam penelitian ini mempunyai kerangka kerja penelitian (research
framework), sebagai berikut:
BAGAN 5 Kerangka Kerja Penelitian
(research framework)
Teks-teks Novel Negeri 5
Menara oleh Ahmad Fuadi
CDA Critical Lingiustics model Halliday dan Roger Fowler yang menitikberatkan pada struktur dan fungsi bahasa
yaitu kata dan kalimat, sebagai upaya untuk mengetahui
praktek ideologi
Hasil: Bagaimana Wacana wacana
pendidikan di pondok Pesantren Gontor,
menunjukkan praktek ideologi Ahmad Fuadi
Faktor Internal: ideologi, ltr. blkg.
pendidikan, pengalaman pribadi, buku-buku referensi,
dll
Faktor Eksternal: Ideologi kolektif yang berkembang, sistem sosial, historis, dll.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
G. Konsep
1. Pendidikan
Pendidikan adalah Suatu cara untuk mengembangkan ketrampilan,
kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi
lebih baik dan tahu banyak hal melalui lembaga dengan bimbingan tenaga ahli
dan orang yang berkompeten di dalam bidangnya.
2. Pondok pesantren
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan sebagai tempat
pendidikan Islam baik formal ataupun non-formal, sebagaimana tempat untuk
beribadah dan mencari ilmu kepada guru atau kyai yang dijadikan sebagai figur
dan moral force bagi seluruh penghuni pondok dan juga kepada masyarakat di
sekelilingnya.
3. Novel
Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan
mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik meliputi; tema,
setting, sudut pandang, alur, penokohan, gaya bahasa. Unsur ini meliputi latar
belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain-lain, di luar unsur
intrinsik. Unsur-unsur yang ada di luar tubuh karya sastra. Sebuah novel
menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan
dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin
untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan
melalui cerita yang ada dalam novel tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
4. Critical Discourse Analysis
Analisis wacana yang dimaksudkan dalam penelitian ini, adalah sebagai
upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek (penulis) yang
mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan
diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis
sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana
dapat di ketahui. Wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam
pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi. Pemahaman dasar CDA
adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai obyek studi bahasa. Bahasa
tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam
pengertian linguistik. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga
pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu
termasuk praktik ideologi.
H. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Pada pendekatan ini
peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, dan melakukan
studi pada situasi yang alami. Metodologi kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun
lisan dari data situasi dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif memiliki karakteristik tersendiri, sebagai ciri pembeda
dengan jenis penelitian lainnya. Ini beberapa karakteristik dari penelitian kualitatif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
dari perpaduan temuan Bogdan dan Biklen 85dan Lincoln dan Guba pertama,
Human instrument. Artinya peneliti menjadi instrumen utamanya. Ini meliputi
dalam pengumpulan data dan juga analisis datanya. Walaupun kadang diakui
bersifat subjektif, tetapi manusia dapat menghasilkan data yang reliabilitasnya
hampir sama dengan data yang dihasilkan oleh instrumen yang dibuat secara lebih
objektif. Kedua, bersifat deskriptif. Data dianalisis dan hasil analisis berbentuk
deskripsi fenomena, bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan
variabel. Tulisan hasil penelitian dalam penelitian kualitatif berisi kutipan-kutipan
dari kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan mengisi materi laporan.
Dalam hal ini, narasi tertulis menjadi sangat penting, baik dalam perekaman data
maupun saat penulisan hasil penelitian.
Ketiga, teori yang digunakan tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Penelitian tidak bertujuan menguji teori atau membuktikan suatu kebenaran teori.
Teori itu bahkan dikembangkan berdasarkan data yang dikumpulkan. Keempat,
tidak ada pengertian populasi dalam penelitian ini. Sampling berbeda tafsirnya.
Sampling adalah pikiran peneliti. Kelima, lebih mementingkan proses daripada
hasil. Keenam, analisa data bersifat terbuka, open ended, induktif. Dikatakan
terbuka karena terbuka untuk perubahan, perbaikan, atau penyempurnaan
berdasarkan data baru yang masuk86.
Mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Madison, dikutip Kasiyanto,
bahwa metode penelitian ini termasuk metode normatif, di mana individu dan
subjektivitas dianjurkan atau dihalalkan, tidak seperti metode abstrak formal. 85 Bogdan dan Biklen (dalam Lexy J. Moleong, 1989). hal. 27-30 86Marhaeni. Dian dalam Lincoln, Yvonna S & Egon G. Guba.. Naturalistic Inquiry. California:
Sage. hal. 39-44 . 1985
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Dikarenakan metode ini bersifat (1) keputusan-keputusan atau pertimbangan-
pertimbangannya bersifat rasional, (2) norma yang dipakai sebagai dasar metode
juga norma etika. (3) tidak bisa diterapkan dalam situasi konkret tapi hanya
sebagai petunjuk dalam memberi pilihan, (4) hasilnya (interpretasi) tidak dapat
diuji secara empiris tapi dievaluasi sebab metode ini memunyai logika sendiri
(logika argumentasi bukan logika validitas).87 Oleh karena itu, hasil dari
interpretasi teks ditegaskan Triyuwono, memiliki kepentingan sejajar yaitu tidak
ada superioritas antara satu dengan lainnya. Artinya bukan benar dan tidaknya
tafsiran yang diberikan, tapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam
memberikan penafsiran serta kedekatannya dengan fenomena yang terjadi dan
berkaitan dengan teks tersebut yang menjadi titik perhatian interpretasi.88
Dalam penelitian Critical Discourse Analysis (CDA) terdapat beberapa
pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan yang dipakai Roger Fowler
dkk. yaitu Analisis Bahasa Kritis (Critical Lingusitics). Pendekatan ini banyak
dipengaruhi oleh teori sistematik tentang bahasa yang diperkenalkan Halliday.
Critical Linguistics memusatkan analisis wacana pada bahasa dan
menghubungkannya dengan ideologi. Intinya di sini adalah Critical Linguistics
melihat bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi
tertentu. Aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur
tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur gramatika
87 Kasiyanto, Op.cit.,hal.148-149 88 Kasiyanto, Op.cit., hal. 149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang diungkapkan
membawa makna ideologi tertentu.89
Menurut Halliday, setiap bahasa yang muncul sebagai sebuah teks (teks
adalah sebutan yang sering digunakan Halliday sebagai pengganti istilah tanda
dalam kajian semiotik) harus diinterpretasi dalam konteks ruang dan waktu.
Fungsi konteks situasi dan konteks budaya menurut Halliday selain dapat
mengungkap representasi pengalaman, hubungan peran (role relationships), juga
dapat berperan sebagai alat simbol (symbolic channels) dalam pengungkapan
makna teks. Aspek konteks situasi diamati dengan melihat pilihan bahasa dan
struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur
gramatika dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang
diungkapkan membawa makna ideologi tertentu.90 Sebagai realitas semiotik,
bahasa merupakan simbol yang merealisasikan realitas dan realitas sosial di atas
di dalam konteks situasi dan konteks kultural tertentu pula. 91
Penelitian ini menganalisis wacana-wacana mengenai pendidikan yang
dikemas ke dalam novel Negeri 5 Menara yang ditulis Ahmad Fuadi, yang
mengandung signifikasi dengan wacana pendidikan di pesantren Gontor, serta
bagaimana wacana-wacana itu disuguhkan. Data pada penelitian ini terutama
adalah data kualitatif, yaitu data yang kurang bersifat kuantum (bilangan)
melainkan lebih bersifat kategori substantif yang kemudian diintepretasikan
dengan rujukan, acuan atau referensi secara ilmiah. Hal tersebut dilakukan sebab
89 Eriyanto (b), Op. cit., hal. 14-15 90 Eriyanto (b), Op. cit., hal. 14-15 91 Santosa, Riyadi, Semiotika Sosial;Pandangan Terhadap Bahasa, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003,hal. 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
tujuan penelitian kualitatif adalah berupaya memahami situasi tertentu, dan bukan
untuk mencari sebab akibat sesuatu. 92
2. Paradigma Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma Critical Discourse Analysis
(CDA), pendekatan ini bertolak dari teori-teori kritis yang di populerkan oleh
Madzhab Frankfurt di Institute for Social Science Frankfurt mulai sekitar tahun
1930. Critical Discourse Analysis (CDA) atau Paradigma kritis mencoba mencari
makna dibalik empirik dan menolak value free. Dengan kata lain, menaruh
perhatiannya terhadap pembongkaran aspek-aspek yang tersembunyi (latent)
dibalik sebuah kenyataan yang tampak (virtual reality) guna dilakukannya kritik
dan perubahan (critique and transformation) terhadap struktur sosial, dalam hal
ini berkenaan dengan apa yang telah dilakukan Ahmad Fuadi dalam
merepresentasikan wacana pendidikan pondok pesantren Gontor dalam novelnya.
Sebelumnya, terlebih dulu memahami apa itu wacana. Wacana, kata Anton
M. Moeliono, merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menguhubungkan
proposisi yang satu dengan yang lainnya dalam kesatuan makna. Wacana juga
berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar (mencakup fonem, morfem, kata, frasa,
klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh).93 Menurut Kamus Webster’s
New Twentieth Century Dictionary, istilah discourse berasal dari bahasa latin
discursus yang berarti “lari kian kemari” (yang diturunkan dari dis (dari, dalam
92 Dr. Lexy J. Moleong, MA, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosdakarya 1989: 4-8) 93 Lihat dalam Mulyanto, M.Hum, Kajian Wacana Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005: 5-10) dan Eriyanto (b), Op.cit, hal. 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
arah yang berbeda) dan currere (lari), selanjutnya wacana dapat dimengerti
sebagai berikut:
a) komunikasi pikiran dengan kata-kata; ekspresi ide-ide atau gagasan-
gagasan; konversasi atau percakapan.
b) Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok
telaah.
c) Risalat tulis; disertasi formal: kuliah: ceramah; khotbah.94
Sedangkan Roger Fowler mendefinisikan wacana sebagai komunikasi
lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori
yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah
organisasi atau representasi dari pengalaman.95Wacana, kata Barthes, merupakan
ungkapan sebuah subjektivitas diri kita. Melalui sebuah wacana seseorang
menciptakan makna yang pada gilirannya untuk berkomunikasi.96
Selain itu, analisis wacana juga dapat dibedakan dengan melihat perspektif
kritis, yaitu ada empat pembedaan97, (a) wacana representasi (discourse of
representation), (b) wacana pemahaman/interpretatif (discourse of
understanding), (c) wacana keragu-raguan (discourse of suspicion), dan (d)
wacana posmodernisme (discourse of postmodernisme). Penelitian ini termasuk
dalam perspektif kritis, tepatnya pada wacana posmodernisme.
CDA sebagai suatu jenis riset wacana analitis terutama mempelajari
penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominasi, dan ketidaksamaan dipermainkan,
94 Drs. Alex Sobur, M.Si, Op.cit., hal. 10. 95 Eriyanto (b), Op.cit., hal. 2. 96 St. Sunardi, Op.cit., hal 209. 97 Ibid., hal. 173.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
direproduksi, dan ditentang oleh teks dan dibincangkan dalam konteks sosial dan
politis.98
Dalam pandangan kaum kritis, CDA mempunyai karakteristik sebagai
berikut:99
1. Tindakan; wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Maka dari itu
wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Di sini seorang pengarang
menulis novel tidaklah diartikan untuk dirinya sendiri, tapi mencoba untuk
berinteraksi dengan pembaca atau orang lain. Oleh karena itu, wacana
dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan yang dieskpresikan secara
sadar, terkontrol.
2. Konteks; CDA mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar,
situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana dipandang diproduksi, dimengerti,
dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.
3. Historis; menempatkan wacana dalam konteks tertentu berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dimengerti tanpa menyertakan
konteks yang menyertainya. Salah satu aspek yang penting untuk bisa
dimengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks
historis tertentu.
4. Kekuasaan; CDA mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam
analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan,
atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah, wajar dan
netral, tapi merupakan bentuk pertarungan wacana. 98 Van Dijk, Teun A, Critical Discourse Analysis, hal. 352 diakses melalui internet http://www.hum.uva.nl/teun 99 Dalam Eriyanto (b), Op.cit, hal. 8-14.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
5. Ideologi; merupakan konsep sentral dalam CDA, karena seperti yang telah
dikatakan sebelumnya bahwa ideologi selalu mewarnai produksi wacana.
teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktek ideologi atau
pencerminan dari ideologi tertentu.
CDA menawarkan suatu yang berbeda dalam "gaya" atau "perspektif"
dalam berteori dan analisa. Analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam
teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis dalam CDA sedikit berbeda
dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik. Di sini bahasa dianalisis bukan
dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tapi juga menghubungkan
dengan konteks. Konteks diartikan bahwa bahasa dipakai untuk tujuan dan
praktek tertentu, termasuk praktek kekuasannya. Hal-hal yang sering ditelaah
dalam CDA adalah negara, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras,
diskriminasi, minat, reproduksi, institusi, struktur sosial, ketentraman sosial.
Fokus penelitian ini, dititikberatkan pada wacana Pendidikan di pondok
Pesantren Gontor oleh Ahmad Fuadi dalam buku novel Negeri 5 Menara di mana
hanya teks-teks yang berkaitan erat dengan wacana tersebut saja yang diambil
sebagai representasi karena terdapat wacana lain yang dianggap tidak sesuai
dengan tujuan penelitian ini. Teks-teks novel tersebut diperlakukan sebagai
sebuah wacana, di sini mengacu sebagaimana pendapat Harimurti Kridalaksana
yang dikutip oleh Mulyanto bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap,
yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi dan
terbesar (mencakup fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap.100 Amatlah menarik jika
novel dengan tebal 423 halaman, terbitan PT. Gramedia Pustaka Utama, bulan
Juli 2009 tersebut, hendak diteliti dengan metode wacana. Novel yang peneliti
teliti adalah novel Negeri 5 Menara cetakan ke delapan.
3. Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain. Juga terbagi ke dalam sumber data tertulis, foto, dan
statistik.101
Sumber data di sini terbagi menjadi dua yaitu :
1. Data primernya yaitu buku Novel Neger 5 Menara karya Ahmad Fuadi.
2. Data Sekundernya yaitu literatur-literatur lain yang masih berkaitan
dengan novel tersebut untuk mendukung penelitian ini.
Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan Metode Simak dan Baca
Penggunaan metode ini seringkali digunakan pada penelitian sastra, di mana untuk
memperoleh data peneliti terlebih dulu membaca keseluruhan teks atau literatur
yang menjadi subjek penelitian lalu mencatat data yang ditemukan. Metode ini
untuk mendapatkan kutipan-kutipan atau hal-hal penting yang ada dalam Novel
Neger 5 Menara; terkait dengan wacana pendidikan pesantren Gontor.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif dikembangkan
dengan maksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data, 100 Lihat dalam Mulyanto, M.Hum, Kajian Wacana Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005: 5-10) 101 Dr. Lexy J. Moleong, MA, Op.cit,hal. 122-127.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
menafsirkan (interpreting), atau mentranformasikan (transforming) data ke dalam
bentuk-bentuk narasi yang kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan
proposisi-proposisi ilmiah (thesis) yang akhirnya sampai pada kesimpulan-
kesimpulan final102
Tahap analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan CDA
model Roger Fowler dkk yaitu critical linguistics, yang memandang bahasa
sebagai praktik sosial, melalui mana suatu kelompok memantapkan dan
menyebarkan ideologinya. Critical linguistics ini merupakan perkembangan dari
teori linguistik, tapi berkenaan dengan paradigma kritis, kemudian melihat
bagaimana tata bahasa/grammar tertentu dan pilihan kosakata tertentu membawa
implikasi ideologi tertentu.
Model analisis yang dikembangkan Roger Fowler dkk, mendasarkan pada
penjelasan Halliday mengenai struktur bahasa dan fungsi bahasa (tata bahasa), di
mana Fowler dkk. hendak meletakkan tata bahasa dan praktek pemakaiannya
tersebut untuk mengetahui pratik ideologi.
Tahap analisis di sini terbagi dalam dua tahap:
a) Secara keseluruhan teks novel bentuknya adalah naratif, baiknya model
analisis wacana Halliday103 dipergunakan di sini untuk memudahkan
dalam penyajian sebelum ke tahap kedua yaitu menggunakan analisis
wacana kritis model Roger Fowler. Model Halliday hanya untuk melihat
keseluruhan wacana yang muncul, di sini tatarannya bukan kritis, tapi
102 Pawito, Ibid.hal.101 103 Analisis Model Halliday ini, pernah juga dipakai oleh Agus Sudibyo dalam meneliti wacana terkait pemberitaan isu PKI/Komunisme, TAP MPRS/XXV/1966 dan pernyataan Gus Dur tentang permintaan maafnya kepada keluarga korban G30S. Lihat dalam Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 2001:123-153).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
lebih memahami pada makna teks dan konteks situasi. Halliday
menyebutkan ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian penafsiran
teks secara kontekstual,104 yaitu (a) Medan wacana (field of discourse):
menunjuk pada hal yang terjadi: apa yang dijadikan wacana oleh pelaku
(Ahmad Fuadi) mengenai sesuatu yang sedang terjadi di lapangan
peristiwa, (b) pelibat wacana (tenor of discourse) menunjuk pada orang-
orang yang dicantumkan dalam teks (novel); sifat orang-orang itu,
kedudukan, dan peran mereka: jenis-jenis hubungan peranan apa yang
terdapat di antara pelibat, termasuk hubugan sementara, baik jenis
peranan tuturan yang mereka lakukan dalam percakapan maupun
rangkaian keseluruhan hubungan-hubungan yang secara kelompok
mempunyai arti penting melibatkan mereka; siapa saja yang dikutip dan
bagaimana sumber digambarkan sifatnya. (c) Sarana wacana (mode of
discourse) menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang
diharapkan oleh pelibat yang diperankan bahasa dalam situasi itu;
organisasi simbolik teks, kedudukan yang dimilikinya, dan fungsinya
dalam konteks, termasuk salurannya (apakah yang dituturkan atau
dituliskan atau semacam gabungan keduanya?) dan juga mode
retoriknya, yaitu apa yang akan dicapai teks berkenaan dengan pokok
pengertian seperti membujuk, menjelaskan, mendidik, dan semacamnya.
Atau kata lainnya, bagaimana komunikator (Ahmad Fuadi)
104 M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan, Language, Context, and Text: Aspects of Language in a social-semiotics perspective, Australia: Deakin University, 1985, terjemahan Drs. Asruddin Barori Tou, MA., Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1994:16)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan
pelibat (orang-orang yang dikutip; apakah menggunakan bahasa yang
diperhalus atau hiperbolik, eufimistik atau vulgar.
b) Setelah melihat wacana secara keseluruhan, baru kemudian dianalisis
dengan model Roger Fowler yaitu, pertama, pada level kata. Pilihan
kosakata yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa, bagaimana
aktor-aktor yang terlibat dibahasakan. Kata-kata di sini bukan hanya
penanda atau identitas, tetapi dihubungkan dengan ideologi tertentu,
makna apa yang ingin dikomunikasikan kepada khalayak. Pihak atau
kelompok mana yang diuntungkan dengan pemakaian kata-kata tersebut
dan pihak atau kelompok mana yang dirugikan dan posisinya
termarjinalkan.
Kedua, pada level susunan kata atau kalimat. Bagaimana kata-kata
disusun ke dalam bentuk kalimat tertentu dimengerti dan dipahami bukan semata
persoalan teknis kebahasaan, tetapi praktek bahasa. Yang dititikberatkan di sini
adalah bagaimana pola pengaturan, penggabungan, penyusunan tersebut
menimbulkan efek tertentu: membuat posisi satu pihak lebih menguntungkan atau
mempunyai citra positif dibandingkan dengan pihak lain atau peristiwa tertentu
dipahami dalam kategori tertentu yang lebih menguntungkan dengan kategori
pemahaman lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
PONDOK PESANTREN GONTOR DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA
A. Pondok Modern Darussalam Gontor
Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) adalah sebuah pondok
pesantren di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Pondok ini mengkombinasikan
pesantren dan metode pengajaran klasik berkurikulum seperti sekolah. Pondok
Pesantren, selama berabad-abad, telah menjadi sebuah institusi pendidikan yang
memiliki peran cukup signifikan di Indonesia. Sebagai wadah penggemblengen
generasi muslim, Pondok Pesantren tanpa henti menanamkan akhlaq dan adab,
dan menjadi media transformasi ilmu pengetahuan.28
Pondok Modern Darussalam Gontor adalah salah satu Pondok Pesantren
yang turut mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Terletak di sebuah desa di Jawa
Timur yang bernama Gontor, Pondok Modern Darussalam Gontor mengerahkan
segenap konsentrasi dan potensinya untuk dunia pendidikan Islam. Hal ini
semakin dipertegas dengan tidak terlibatnya Pondok Modern Darussalam Gontor
dalam politik praktis. Karena Pondok ini tidak berafiliasi kepada partai politik
ataupun organisasi kemasyarakatan apapun, ia dapat secara independen
menentukan langkahnya, sehingga memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam
pendidikan dan pengajaran.
28 Lihat di Komunika Majalah Ilmiah Komuikasi dalam disertasi Dwi Purwoko. Hubungan Akses Media Konteks Membaca dengan Kemandirian Santridi Pondok Pesantren. vol 10, no. 1, 2007. LIPI hal. 48-50
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
"Pondok Modern di atas dan untuk semua golongan." Demikian prinsip
yang dipegang Pondok Modern Darussalam Gontor sejak pertama kali didirikan.
Dengan terbebasnya institusi ini dari muatan politis, pondok ini dapat lebih
memfokuskan diri dalam menunaikan amanat pendidikan dan pengajaran yang
berada di pundaknya. Iklim pendidikan yang lebih tenang dan kondusif pun
tercipta, dengan didasari jiwa keikhlasan dan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan
apapun.
Salah satu nikmat yang dianugerahkan oleh Allah Swt. Bahwa instusi ini,
dalam usianya yang ke-84, dapat terus meningkatkan peran dan eksistensinya
dalam mendidik generasi muda muslim yang berkualitas. Para alumninya kini
bergerak dalam berbagai bidang; agama, sosial, kemasyarakatan, dan
pemerintahan. Beberapa di antaranya meneruskan studi di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia, maupun di perguruan tinggi di negara-negara Timur Tengah
dan Barat. Peran serta prestasi para alumni inilah yang mengharumkan nama
Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang
disegani di Asia Tenggara. Dan dengan dukungan mereka pula, pondok ini
menjadi kokoh dan teguh dalam menghadapi pelbagai tantangan dan cobaan. 29
B. Latar Belakang Terbentuknya
Gagasan untuk membangun Gontor Baru dan gambaran tentang bentuk
pendidikan dan lulusannya diilhami oleh peristiwa dalam Konggres Ummat Islam
Indonesia di Surabaya pada pertengahan tahun 1926. Kongres itu dihadiri oleh
29 Dapat dilihat di “Selayang Pandang” tepatnya Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor yang diakses di http://gontor.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
tokoh-tokoh ummat Islam Indonesia, misalnya H.O.S.Cokroaminoto, Kyai Mas
Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dan lain-lain.
Dalam kongres tersebut diputuskan bahwa ummat Islam Indonesia akan
mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan di
Makkah. Tetapi timbul masalah tentang siapa yang akan menjadi utusan. Padahal
utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut harus mahir sekurang-kurangnnya
dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres tersebut tak seorang pun
yang menguasai dua bahasa tersebut dengan baik. Akhirnya dipilih dua orang
utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan K.H. Mas
Mansur yang menguasai bahasa Arab. Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang
hadir sebagai peserta konggres tersebut akan perlunya mencetak tokoh-tokoh yang
memiliki kriteria di atas .
Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari kongres itu menjadi topik
pembicaraan dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi
bentuk dan ciri lembaga yang akan dibina di kemudian hari .Selain itu, situasi
masyarakat dan lembaga pendidikan di tanah air saat itu juga mengilhami
timbulnya ide-ide mereka. Banyak sekolah yang dibina oleh zending-zending
Kristen yang berasal dari Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat; guru-
guru yang pandai dan cakap dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran
serta penguasaan ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan. Sementara itu, lembaga
pendidikan Islam belum mampu menyamai kemajuan mereka. Diantara sebab
ketidakmampuan itu adalah kurangnya pendidikan Islam yang dapat mencetak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
guru-guru Muslim yang cakap, berilmu luas dan ikhlas dalam bekerja serta
memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakat30
Dari sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada saat itu sangat
timpang, satu lembaga pendidikan memberikan pelajaran umum saja dan
mengabaikan pelajaran-pelajaran agama, lembaga-lembaga pendidikan lain hanya
mengajarkan ilmu agama dan mengesampingkan pelajaran umum. Padahal
keduanya adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh ummat Islam. Maka
pondok pesantren yang akan dikembangkan itu harus memperhatikan hal ini .
Situasi sosial dan politik bangsa Indonesia berpengaruh pula pada
pendidikan; banyak lembaga pendidikan yang didirikan oleh partai-partai dan
golongan-golongan politik. Dalam lembaga pendidikan itu ditanamkan pelajaran
tentang partai atau golongan. Sehingga timbul fanatisme golongan. Sedangkan
para pemimpinnya terpecah karena masuknya benih-benih perpecahan yang
disebarkan oleh penjajah. Maka lembaga pendidikan itu harus dibebaskan dari
kepentingan golongan atau partai politik tertentu, dan “berdiri di atas dan untuk
semua golongan.
Tidak dapat disangkal bahwa ummat Islam Indonesia, juga ummat Islam
di seluruh dunia, terbagi ke dalam berbagai suku, bangsa, negara, dan bahasa;
mereka juga terbagi ke dalam aliran-aliran paham agama; mereka juga terbagi-
bagi ke dalam kelompok-kelompok organisasi dan gerakan baik dalam bidang
politik, sosial, dakwah, ekonomi, maupun yang lain. Kenyataan ini menunjukkan
adanya faktor pengkategori yang beragam. Tetapi, harus tetap disadari bahwa
30 dapat di lihat di http://gontor.ac.id/gontor/gagasan-dan-cita-cita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
kategori-kategori tersebut tidak bersifat mutlak. Karena itu, semua dasar
klasifikasi tersebut tidak boleh dijadikan dasar pengkotak-kotakan ummat yang
menjurus kepada timbulnya pertentangan dan perpecahan di antara mereka. Maka
lembaga pendidikan harus berusaha menanamkan kesadaran mengenai hal ini,
serta mengajarkan bahwa faktor pengkategori yang sebenarnya adalah Islam itu
sendiri; ummat Islam seluruhnya adalah bersaudara dalam satu ukhuwwah
diniyyah.
Bangsa ini terus berkembang dan semua itu menjadi perhatian,
pengamatan, dan pemikiran para pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor.
Secara bertahap sistem pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor
berjalan dengan berbagai percobaan pengembangan dari waktu ke waktu. Ketiga
pendiri yang memiliki latarbelakang pendidikan yang berbeda itu saling mengisi
dan melengkapi, sehingga Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor
menjadi seperti sekarang ini.
Namun semua yang ada saat ini belum mencerminkan seluruh gagasan dan
cita-cita para pendiri Gontor. Karena itu adalah tugas generasi penerus untuk
memelihara, mengembangkan dan memajukan lembaga pendidikan ini demi
tercapainya cita-cita para pendirinya.
Perjalanan panjang Pondok Modern Darussalam Gontor bermula pada
abad ke-18. Pondok Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Modern Darussalam
Gontor didirikan oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Ribuan santri berduyun-duyun
menuntut ilmu di pondok ini. Saat pondok tersebut dipimpin oleh Kyai Khalifah,
terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja,
Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang
padanya. Maka setelah santri Sultan Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu
yang cukup, ia dinikahkan dengan putri Kyai dan diberi kepercayaan untuk
mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
Gontor adalah sebuah tempat yang terletak lebih kurang 3 km sebelah
timur Tegalsari dan 11 km ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu,
Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang.
Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat,
penyamun bahkan pemabuk.
Dengan bekal awal 40 santri, Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai
Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika
dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Anom Besari. Ketika Kyai Anom
Besari wafat, Pondok diteruskan oleh generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama
dengan pimpinan Kyai Santoso Anom Besari.
Setelah perjalanan panjang tersebut, tibalah masa bagi generasi keempat.
Tiga dari tujuh putra-putri Kyai Santoso Anom Besari menuntut ilmu ke berbagai
lembaga pendidikan dan pesantren, dan kemudian kembali ke Gontor untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Gontor. Mereka adalah;
a) KH. Ahmad Sahal (1901-1977)
b) KH.Zainuddin Fanani (1908-1967)
c) KH. Imam Zarkasyi (1910-1985)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Mereka memperbaharui sistem pendidikan di Gontor dan mendirikan
Pondok Modern Darussalam Gontor pada tanggal 20 September 1926 bertepatan
dengan 12 Rabiul Awwal 1345, dalam peringatan Maulid Nabi. Pada saat itu,
jenjang pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul Athfal. Kemudian,
pada 19 Desember 1936 yang bertepatan dengan 5 Syawwal 1355, didirikanlah
Kulliyatu-l-Muallimin al-Islamiyah, yang program pendidikannya
diselenggarakan selama enam tahun, setingkat dengan jenjang pendidikan
menengah.
Dalam perjalanannya, sebuah perguruan tinggi bernama Perguruan Tinggi
Darussalam (PTD) didirikan pada 17 November 1963 yang bertepatan dengan 1
Rajab 1383. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan
Darussalam (IPD), yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam
Darussalam (ISID). Saat ini ISID memiliki tiga Fakultas: Fakultas Tarbiyah
dengan jurusan Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab,
FakultasUshuluddin dengan jurusan Perbandingan Agama, dan Akidah dan
Filsafat, dan Fakultas Syariah dengan jurusan Perbandingan Madzhab dan
Hukum, dan jurusan Manajemen Lembaga Keuangan Islam. Sejak tahun 1996
ISID telah memiliki kampus sendiri di Demangan, Siman, Ponorogo. Pondok
Modern Darussalam Gontor Ponorogo saat ini dipimpin oleh: KH. Dr. Abdullah
Syukri Zarkasyi, KH. Hasan Abdullah Sahal, dan KH. Syamsul Hadi Abdan.31
31 diakses di http://gontor.ac.id/gontor/latar-belakang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
C. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Gontor32
Pondok pesantren dengan nama lengkap Pondok Modern Darussalam
Gontor ini memiliki sejarah yang lama membentang, dari sejak zaman Gontor
Lama hingga sekarang. Dimulai dari mundurnya Pondok Gontor Lama, Pondok
Modern Darussalam Gontor perlahan berkembang. Yaitu dimulai dari; Pondok
Tegalsari, lalu Pondok Gontor Lama, Berdirinya Pondok Gontor, Pembukaan
Tarbiyatul Athfal 1926, Pembukaan Sullamu-l-Muta'allimin 1932, Pembukaan
Kulliyyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyyah 1936. Kepemimpinan Generasi Pertama
dan Kepemimpinan Generasi Kedua.
1. Pondok Tegalsari
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama
Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa
terpencil lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah
sungai, sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah
Kyai Besari mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan
Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan
berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan
santri berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir
seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa
menjadi pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar,
misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
32 Dapat dilihat di “Sejarah” tepatnya diakses di http://gontor.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan
berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini.
Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa
Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat,
pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh
adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden
Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan
tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku
Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni
1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh
Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa.
Serbuan yang dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat
sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama
pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke
timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di
tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah
kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari.
Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa
dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa
dari segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta
berkat keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali
menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai
Hasan Besari menjadi menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal
dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula
desa Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang
bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra
ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya
digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh
Kyai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari
generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada
pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari,
Pesantren Tegalsari mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri
yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin,
putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan
Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka
setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia
diambil menantu oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya
menggantikan Kyai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan
sang Kyai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini
untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
2. Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah desa yang terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur
Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor
masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan
hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat,
penyamun, pemabuk, dan sebagainya.
Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh
mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri
yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan
tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.
Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus
berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang
bernama Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai
daerah di Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa
Barat. Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau
bernama Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri
Gontor Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut;
kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab
kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid
kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok
Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai
Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di
desa Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso
dipanggil Allah SWT. Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok
Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi
yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok.
Yang tinggal hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya
dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek
moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus
dan lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat
meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor
yang telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya
ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama.
Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam),
dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak
pernah menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu.
Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar.
Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya
kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang
sebelumnya taat beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah
menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama.
Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
(menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok.
3. Berdirinya Pondok Gontor
Ketiga putera Ibu Nyai Santoso yang dikirimkan ke beberapa lembaga
pendidikan terus memperdalam ilmu. Ibu Nyai Santoso tidak pernah berhenti
berdoa kepada Allah SWT agar ketiga puteranya itu kelak dapat menghidupkan
kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu. Berkat pendidikan,
pengarahan, dan do’a yang tulus dan ikhlas dari sang Ibu serta kesungguhan
ketiga puteranya itu, akhirnya Allah SWT membuka hati ketiga putera itu untuk
menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu.
Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal
1345, di dalam peringatan Maulid Nabi, di hadapan masyarakat yang hadir pada
kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor.
Dengan tekad untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan berkualitas,
Pondok Modern Darussalam Gontor bercermin pada lembaga-lembaga pendidikan
internasional terkemuka. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa Pondok
Modern Gontor adalah:
1. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas
sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan
memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk
belajar di Universitas tersebut.
2. Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar
terhadap perbaikan sistem pendidikan dan pengajaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
3. Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para
pengasuhnya.
4. Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan
kedamaiannya.
4. Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah
dengan membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.); suatu program pendidikan anak-anak
untuk masyarakat Gontor. Materi, prasarana, dan sarana pendidikannya sangat
sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Tetapi dengan
kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan pengasuh Gontor Baru, usaha
ini telah dapat membangkitkan kembali semangat belajar masyarakat desa Gontor.
Program inipun pada berikutnya tidak hanya diikuti oleh anak-anak, orang dewasa
juga ikut belajar di tempat ini. Peserta didiknya juga tidak terbatas pada
masyarakat desa Gontor, tetapi juga masyarakat desa sekitar.
Para santri T.A. itu dididik langsung oleh Pak Sahal (panggilan populer
untuk K.H. Ahmad Sahal). Dengan beralaskan tikar dan daun kelapa, pendidikan
dilangsungkan pada siang dan malam. Pada siang hari mereka belajar di bawah
pepohonan di alam terbuka, sedangkan pada malam hari mereka belajar diterangi
oleh lampu batok (tempurung kelapa).
Berkat kegigihan dan keuletan beliau, pada tiga tahun pertama para santri
yang belajar di Pondok Gontor telah mencapai jumlah 300. Mereka belajar tanpa
dipungut biaya apapun. Bahkan tidak jarang pengasuh Pondok yang memenuhi
keperluan sehari-hari mereka. Pada prinsipnya, tujuan utama pembelajaran di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran siswa terhadap pemahaman dan pelaksanaan
ajaran agama.
Pada usia tujuh tahun, siswa T.A. telah mencapai 500 orang putra dan
putri. Fasilitas belajar-mengajar belum mencukupi sehingga mereka belajar di
rumah-rumah penduduk dan sebagian masih di alam terbuka di bawah pepohonan.
Tekad membuat bangunan untuk ruang kelas semakin menguat, tetapi dana tidak
ada, karena selama sepuluh tahun pertama siswa tidak dipungut bayaran apapun.
Untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan dibentuklah "Anshar Gontor",
yaitu orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh wilayah Jawa. Selain itu
para santri di dalam Pondok juga dilibatkan dalam pembuatan batu merah.
Tarbiyatul Athfal terus berkembang seiring dengan meningkatnya minat
masyarakat untuk belajar. Karena itu, setelah berjalan beberapa tahun,
didirikanlah cabang-cabang Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor.
Madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor itu ditangani
oleh para kader yang telah disiapkan secara khusus melalui kursus pengkaderan.
Di samping membantu pendirian madrasah-madrasah TA tersebut, mutu TA di
Gontor juga ditingkatkan agar para lulusannya memiliki kemampuan yang
memadai untuk ikut berkiprah membina beberapa TA cabang yang ada. Untuk itu
dibukalah jenjang pendidikan di atas TA yang diberi nama Sullamul
Muta’allimin.
5. Pembukaan Sullamu-l-Muta'allimin, 1932
Dengan semakin banyaknya siswa yang menyelesaikan pendidikan di TA
dan adanya minat yang tinggi dari masyarakat untuk memperoleh pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
lebih lanjut, pada tahun 1932 Pengasuh Pondok Gontor membuka program
lanjutan dari Tarbiyatul Athfal yang diberi nama "Sullamul Muta’allimin".
Pada tingkatan ini para santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran
fikih, hadis, tafsir, terjemah al-Qur’an, cara berpidato, cara membahas suatu
persoalan, juga diberi sedikit bekal untuk menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu
pendidikan. Di samping itu mereka juga diajari ketrampilan, kesenian, olahraga,
gerakan kepanduan, dan lain-lain. Kegiatan ekstra kurikuler mendapat perhatian
luar biasa dari pengasuh Pondok, sehingga setelah tiga tahun berdirinya Sullamul
Muta’allimin telah berdiri pula berbagai gerakan dan barisan pemuda, antara lain:
a. Tarbiyatul Ikhwan (Organisasi Pemuda)
b. Tarbiyatul Mar’ah (Organisasi Pemudi)
c. Muballighin (Organisasi Juru Dakwah)
d. Bintang Islam (Gerakan Kepanduan)
e. Ri-Ba-Ta, yaitu Riyadlatul Badaniyah Tarbiyatul Athfal (Organisasi Olahraga)
f. Miftahussa’adah dengan "Mardi Kasampurnaan".
g. Klub Seni Suara, dan
h. Klub Teater.
Usaha Pengasuh Pondok untuk membangkitkan gairah masyarakat Gontor
dan sekitarnya sudah tampak membuahkan hasil. Madrasah-madrasah yang
menjadi cabang TA sudah banyak berdiri di desa-desa sekitar Gontor. Para murid
dan alumni TA dan Sullamul Muta’allimin Gontor menjadi tulang punggung dari
berlangsungnya proses belajar mengajar di madrasah-madrasah itu. Mengingat
banyak madrasah Tarbiyatul Athfal yang telah dibuka, maka dibentuklah sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
wadah yang menggabungkan seluruh TA itu, yaitu Taman Perguruan Islam (TPI)
yang dipimpin langsung oleh Pak Sahal. Menjelang usia 10 tahun pembukaan
kembali Gontor, TPI telah mempunyai murid lebih dari 1000.
6. Pembukaan Kulliyyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyyah, 1936
Pondok Gontor yang telah dibuka kembali terus berkembang. Kehadiran
TA telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar masyarakat.
Program pendidikan di TA pun berkembang. Jika pada awalnya TA hanya
bermula dengan mengumpulkan anak-anak desa dan mengajari mereka mandi dan
membersihkan diri serta cara berpakaian untuk menutupi aurat mereka, maka
dalam satu dasawarsa kemudian lembaga ini telah berhasil mencetak para kader
Islam dan muballigh di tingkat desa yang tersebar di sekitar Gontor. Melalui
mereka nama Gontor menjadi lebih dikenal masyarakat.
Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren
yang baru dibuka kembali ini. Banyak sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi
setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan
lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1935. Beliau mulai ikut
membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru ini. Kesyukuran tersebut ditandai
dengan Peringatan atau "Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor". Acara
kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya
pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah
atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah
Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Program pendidikan baru ini
ditangani oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya pernah memimpin sekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
serupa tetapi untuk perempuan, yaitu Mu’allimat Muhammadiyah di Padang
Sidempuan, Sumatra Utara.
Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok
Gontor yang dihidupkan kembali ini, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor.
Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok
Gontor yang nama aslinya Darussalam, artinya Kampung Damai.
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan
Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di
Padang Panjang; di mana Pak Zar menempuh jenjang pendidikan menengahnya.
Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren.
Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya,
diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam
asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Proses
pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan
secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian,
olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan
santri di Pondok.
Pada tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat belum
memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada
program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem pendidikan semacam yang
diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat asing. Sistem belajar
secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang tidak umum dipakai di
pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri memakai celana panjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
dan dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan bahkan
juga Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab Bahasa Arab adalah
bahasa Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda adalah bahasa orang
kafir.
Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya
jumlah santri Gontor saat itu. Santri Gontor yang sebelumnya berjumlah ratusan
kini hanya tinggal 16 orang. Keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Sahal
dan Pak Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar bertekad dan berucap: "Biarpun
tinggal satu saja dari yang 16 orang ini, program akan tetap akan kami jalankan
sampai selesai, namun yang satu itulah nantinya yang akan mewujudkan 10…100
hingga 1000 orang." Bahkan suatu saat Pak Zar pernah berujar: "Seandainya saya
tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena." Pak
Sahal juga tanpa ragu-ragu berdoa: "Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat
bangkai Pondok saya ini, panggillah saya lebih dahulu kehadirat-Mu untuk
mempertanggung jawabkan urusan ini."
Allah rupanya mendengar doa dan tekad kakak-beradik itu. Pada tahun
kedua, mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai
pelosok tanah Jawa. Gontor mulai ramai oleh kehadiran para santri yang semakin
banyak. Akhirnya, setelah tiga tahun berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para
santri dari berbagai kota dan pulau dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-
beda. Ada yang sudah baik pengetahuan agamanya tetapi lemah dalam
pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya. Untuk mengatasi persoalan ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, yaitu Voorklas atau Kelas
Pendahuluan.
Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka
dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Jumlah santri yang
semakin banyak dan pembukaan kelas baru ini menimbulkan persoalan baru, yaitu
terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi demikian ini tidak jarang Pak Zar
mengajar 2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun pada tahun kelima datanglah
seorang guru muda bernama R. Muin yang cakap berbahasa Belanda. R. Muin ini
kemudian diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk murid-murid kelas I tingkat
atas, atau kelas IV.
Setelah berjalan 5 tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI
menjadi sebagai berikut :
a. Program Onderbow, lama belajar 3 tahun.
b. Program Bovenbow, lama belajar 2 tahun.
D. Kepemimpinan Generasi Pertama33
1. Terciptanya "Hymne Oh Pondokku" dan Peringatan 15 Tahun
Tahun ke-5 berdirinya KMI merupakan tahun bersejarah bagi Pondok
Modern Darussalam Gontor dengan terciptanya "Hymne Oh Pondokku." Lagu
hymne ini diciptakan R. Mu’in dan liriknya diciptakan Husnul Haq, keduanya
guru KMI.
Pada tanggal 1-10 Januari 1942, Pondok Modern Darussalam Gontor
mengadakan Peringatan 15 Tahun Berdirinya Pondok yang disebut Fijftien Jarige
33 http://gontor.ac.id/sejarah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Jubelium. Tujuan peringatan ini adalah mensyukuri segala kemajuan yang telah
dicapai. Semula Peringatan ini akan diadakan tahun 1941, tetapi karena situasi
tidak aman dengan pecahnya Perang Dunia II, Peringatan tersebut diundur hingga
tahun 1942.
2. Masa Penjajahan Jepang
Dengan berkecamuknya perang Belanda-Jepang untuk memperebutkan
Indonesia, terputuslah jalur komunikasi luar Jawa dengan Jawa. Akibatnya santri
Gontor yang berasal dari luar Jawa tidak mendapatkan kiriman dari orang tua
mereka. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, Pengasuh dan Direktur
menjual kekayaan pribadi mereka. Usaha inipun masih belum bisa mencukupi
kebutuhan makan sehari-hari santri, maka didirikanlah Dapur Umum dan dibentuk
pengurusnya yang disebut UPPIPOM (Usaha Penolong Pelajar Islam Pondok
Modern) yang bertugas mencari dana bagi kepentingan para santri.
Tahun 1943/1944 dengan propaganda perang suci "Perang Asia Timur
Raya", Jepang mewajibkan pemuda ikut perang, maka sekolah-sekolah harus
ditutup, termasuk KMI Pondok Modern Darussalam Gontor. Namun lembaga
pendidikan yang bernama pondok pesantren dibiarkan tetap hidup. Karena itu
pembelajaran di KMI dilaksanakan di dalam kamar para santri secara sembunyi-
sembunyi. Dengan cara demikian Pondok Modern Darussalam Gontor tidak
dikategorikan sebagai sekolah, sehingga tidak wajib ditutup.
3. Perang Merebut Kemerdekaan dan Pemberontakan PKI 1948
Pada saat perang merebut kemerdekaan negeri ini, santri Gontor banyak
yang terlibat. Mereka masuk dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
perang agak reda, 1946, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno,
berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat itu jumlah santri Gontor
tinggal belasan saja.
Setelah kacau akibat peperangan, program KMI mulai ditata kembali. Pada
1947 organisasi pelajar Roudlatul Muta’llimin dilebur dan diganti dengan PII
(Pelajar Islam Indonesia) yang saat itu baru berusia 3 bulan. PII dipilih karena ia
tidak berafiliasi kepada satu parpol atau golongan tertentu, sesuai dengan prinsip
Gontor Berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Tahun 1948 Pondok Modern Darussalam Gontor diguncang oleh
pemberontakan PKI pimpinan Muso yang dikenal dengan sebutan “Madiun
Affair”. Pada saat itu Pondok terpaksa dikosongkan. Sejumlah 200 santri secara
bergelombang meninggalkan Pondok untuk menyusun taktik perlawanan dan
gelombang terakhir diikuti oleh pengasuh dan direktur mereka. PKI telah
menguasai daerah Karesidenan Madiun (Madiun, Ponorogo, Magetan, Pacitan dan
Ngawi) dan membunuhi banyak tokoh agama, dimana pada saat itu TNI sudah
dilumpuhkan oleh PKI, Pesantren Gontor diliburkan dan santri serta ustadnya
hijrah guna menghindar dari kejaran pasukan Muso. KH Ahmad Sahal(alm)
selamat dalam persembunyian di sebuah Gua di pegunungan daerah Mlarak. Gua
tersebut kini disebut dengan Gua Ahmad Sahal. Kegiatan Pendidikan Pesantren
dilanjutkan kembali setelah kondisi normal.34
34 di akses di http://id.wikipedia.org
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali menyerang Indonesia. Pondok
lagi-lagi terpaksa ditinggalkan para santrinya untuk ikut bergerilya mengangkat
senjata bergabung dengan Corp Pelajar.
4. Pembentukan IKPM dan Pembentukan YPPWPM
Jumlah alumni KMI Pondok Modern Darussalam Gontor mulai banyak,
mereka tersebar di masyarakat dan bergerak dalam berbagai bidang kegiatan. Para
alumni itu kemudian dihimpun dalam suatu wadah persaudaraan yang disebut
Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM). Organisasi alumni Gontor ini lahir
tanggal 17 Desember 1949 di tengah berlangsungnya Kongres Muslimin
Indonesia di Yogyakarta. Pengikraran secara resmi IKPM dilakukan pada
Peringatan Seperempat Abad Pondok Modern, 29 Oktober 1951.
Untuk memelihara dan mengembangkan kekayaan yang diwakafkan ini
dan untuk menangani berbagai persoalan berkaitan dengan pendanaan Pondok
Modern, didirikanlah Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok
Modern (YPPWPM), tanggal 18 Maret 1959.
5. Peringatan Seperempat Abad, Peringatan Empat Windu dan Pewakafan
Pondok
Peringatan Seperembat Abad Pondok (27 Oktober – 4 November 1951)
dilaksanakan secara meriah dengan rentetan acara bermacam-macam. Pada
pembukaan acara tersebut Pak Sahal menyampaikan sambutan di antaranya berisi
ikrar bahwa Pondok Modern Darussalam Gontor adalah Milik Ummat Islam
Seluruh Dunia, karena itu maju mundurnya Pondok diserahkan kepada ummat
Islam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Momen bersejarah bagi terwujudnya niat mewakafkan Pondok kepada
Ummat Islam terjadi pada Peringatan Empat Windu Pondok Modern Darussalam
Gontor, 11-17 Oktober 1958. Pada saat itu, 12 Oktober 1958, Trimurti (K.H.
Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkarsyi) sebagai
pendiri Pondok mewakafkan Pondok Modern Darussalam Gontor kepada IKPM
yang diwakili oleh 15 orang. Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor ketika
itu terdiri dari tanah kering seluas 1,740 ha (Kampus Pondok), tanah basah seluas
16,851 ha, dan gedung sebanyak 12 buah; Masjid, Madrasah, Indonesia I,
Indonesia II, Indonesia III, Tunis, Gedung Baru, Abadi, Asia Baru, PSA, BPPM,
dan Darul Kutub.
6. Pembukaan Perguruan Tinggi Pesantren
Setelah seperempat abad KMI berdiri dibukalah Perguruan Tinggi di
Gontor dengan nama Perguruan Tinggi Darussalam (PTD), tanggal 17 Nopember
1963. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam
(IPD) yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Saat ISID memiliki tiga Fakultas: Fakultas Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan
Agama Islam dan Pengajaran Bahasa Arab, Fakultas Ushuluddin dengan jurusan
Perbandingan Agama dan Akidah dan Pemikiran Islam (Filsafat), dan Fakultas
Syariah dengan jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum dan jurusan Ekonomi
Islam. Sejak tahun 1996 ISID telah memiliki kampus tersendiri di Demangan,
Siman, Ponorogo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
7. Peringatan Lima Windu dan Peristiwa Sembilan Belas Maret
Pada Tahun 1967 diadakan Peringatan Lima Windu Pondok Modern
Darussalam Gontor. Di antara acara penting dalam peringatan ini adalah wisuda
perdana sarjana PerguruanTinggi Darussalam. Pada tahun ini juga terjadi tragedi
yang disebut Persemar (Peristiwa Sembilan belas Maret). Sekelompok guru dan
santri yang terprovokasi berusaha mengubah haluan Pondok dengan ide yang
mereka sebut sendiri sebagai ide gila. Mereka berniat membunuh dan
menyingkirkan pendiri dan sekaligus Pimpinan Pondok, kemudian memilih
pimpinan yang mereka kehendaki dari para tokoh pembuat makar itu. Rupanya
Allah tidak meridhoi usaha mereka dan mereka pun gagal.
Persemar tampaknya menjadi pupuk bagi perjalanan sejarah Pondok
kemudian. Setelah peristiwa itu Pondok berkembang dengan pesat dan minat
masyarakat untuk belajar di Gontor semakin tinggi.
8. Kesyukuran Setengah Abad dan Peresmian Masjid Jami’
Pesatnya perkembangan Pondok ini kemudian disyukuri dengan Perayaan
Kesyukuran Setangah Abad, berlangsung tanggal 2-4 Maret 1978. Acara ini
dihadiri oleh Presiden R.I. Soeharto yang sekaligus meresmikan Masji Jami’
Pondok.
Trimurti Wafat, Tahun 1967 K.H. Zainuddin Fanani, salah seorang dari
Trimurti Pendiri Pondok wafat. Kemudian disusul oleh K.H. Ahmad Sahal yang
wafat tahun 1977. Delapan tahun berikutnya, 1985, K.H. Imam Zarkasyi pun
pergi menghadap Ilahi menyusul kedua kakaknya. Sepeninggal Trimurti tongkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
estafet kepemimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor diserahkan kepada
generasi kedua.35
E. Kepemimpinan Generasi Kedua
Dalam sidang pertamanya, sepeninggal Trimurti, Badan Wakaf Pondok
Modern Darussalam Gontor menetapkan tiga Pimpinan Pondok untuk memimpin
Gontor paska Trimurti. Ketiga Pimpinan itu adalah K.H. Shoiman Luqmanul
Hakim, K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA., dan K.H. Hasan Abdullah Sahal.
Untuk menangani KMI, Badan Wakaf menetapkan K.H. Imam Badri sebagai
Direktur KMI. Awal kepemimpinan Generasi Kedua diliputi oleh kekhawatiran
dan keraguan akan nasib Pondok Modern Darussalam Gontor sepeninggal
Generasi Pertama.
Tetapi berkat tekad yang bulat, niat yang mantap, dan perjuangan yang tak
kenal menyerah; dengan semboyan "Labuh bondo, bahu, pikir, lek perlu sak
nyawane" serta tawakkal kepada Allah SWT; Generasi Kedua berhasil melalui
segala ujian dan rintangan untuk mempertahankan, mengembangkan, dan
memajukan Pondok Modern Darussalam Gontor. Banyak kemajuan yang telah
dicapai oleh Pimpinan Pondok dari Generasi Kedua ini; baik fisik maupun non
fisik.
35 di akses di http://id.wikipedia.org; Trimurti menerapkan format baru dan mendirikan Pondok Gontor dengan mempertahankan sebagian tradisi pesantren salaf dan mengubah metode pengajaran pesantren yang menggunakan sistem watonan (massal) dan sorogan (individu) diganti dengan sistem klasik seperti sekolah umum. Pada awalnya Pondok Gontor hanya memiliki Tarbiyatul Atfhfal (setingkat taman kanak-kanak) lalu meningkat dengan didirikannya Kulliyatul Mu'alimin Al-Islamiah (KMI) yang setara dengan lulusan sekolah menengah. Pada tahun 1963 Pondok Gontor mendirikan Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
1. Pembentukan PLMPM
Salah satu orientasi pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor
adalah kemasyarakatan. Para santri dicetak untuk menjadi pejuang Islam yang
mandiri di masyarakat. Kenyataannya, perkembangan iptek dan meluasnya
informasi di segala sektor kehidupan menimbulkan perubahan sosial yang cepat di
masyarakat, sehingga menimbulkan jarak antara kesiapan individu santri dengan
tuntutan lingkungannya. Perkembangan dan perubahan zaman ini telah
diantisipasi oleh Pondok melalui berbagai cara dan program. Di antaranya adalah
dengan mendirikan Pusat Latihan Menejemen dan Pengembangan Masyarakat
(PLMPM), tahun 1988, yang dirancang khusus bagi alumni KMI dan ISID yang
memang betul-betul akan terjun langsung ke masyarakat. Di lembaga ini para
alumni itu diberi bekal tambahan untuk menyempurnakan dan mempercepat karya
mereka di masyarakat. 2. Pembukaan Pesantren Putri.
Di antara wujud kemajuan yang dicapai Generasi Kedua adalah
keberhasilannya merealisasikan amanat Trimurti dan melaksanakan Keputusan
Badan Wakaf untuk mendirikan Pesantren Putri. Pesantren yang didirikan di
Sambirejo, Mantingan, Ngawi, Jawa Timur ini dibuka secara resmi tanggal 31
Mei 1990 oleh Menteri Agama R.I. Munawwir Syadzali dengan didampingi oleh
Duta Besar Mesir untuk Indonesia.
2. Peringatan Delapan Windu dan Peringatan 70 Tahun
Perkembangan dan kemajuan ini kemudian disyukuri dengan mengadakan
Peringatan Delapan Windu yang berlangsung tanggal 3 Juni-20 Juli 1991. Acara
ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
masyarakat, tokoh-tokoh agama, para cendekiawan dan akademisi, para kyai
pimpinan pondok pesantren, para pejabat tinggi pemerintah baik sipil maupun
militer, dan para duta besar perwakilan negara-negara sahabat. Hampir seluruh
pimpinan Ormas Islam ikut hadir dalam acara ini, dan pada acara puncak
Peringatan ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI Sudharmono, S.H. beserta
rombongan.
Enam tahun kemudian, 1997, Pondok menyelenggarakan Peringatan 70
Tahun. Acara ini berlangsung sukses meskipun tidak semeriah Peringatan
Delapan Windu. Puncak acara ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno
beserta beberapa pejabat tinggi negara lainnya.
3. Pendirian Pondok-Pondok Cabang
Mengingat tingginya animo masyarakat untuk memasukkan anaknya di
Gontor dan keterbatasan fasilitas yang tersedia di Kampus Pondok Modern
Darussalam Gontor serta untuk memberikan bekal yang lebih baik kepada para
calon santri yang ingin masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, dibukalah
cabang-cabang Gontor di beberapa tempat: Pondok Modern Gontor 2, di
Madusari, Siman, Ponorogo, tahun 1996; Pondok Modern Gontor 3 "Darul
Ma'rifat" di Sumbercangkring, Gurah, Kediri, tahun 1993; Pondok Modern
Gontor 4, yaitu Pesantren Putri Gontor di Sambirejo, Mantingan, Ngawi, tahun
1990; Pondok Modern Gontor 5 "Darul Muttaqin" di Kaligung, Rogojampi,
Banyuwangi, tahun 1990; Pondok Modern Gontor 6 "Darul Qiyam" di
Gadingsari, Mangunsari, Sawangan, Magelang, tahun 1999; dan Pondok Modern
Gontor 7 “Riyadlatul Mujahidin”, di Podahua, Landono, Sulawesi Tenggara,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
tahun 2002; Pondok Modern Gontor 8 dan Pondok Modern Darussalam Gontor 9
di Lampung; serta Pondok Modern Gontor 10 "Darul Amin"di Aceh Di samping
itu juga dibu Pondok Modern Gontor Putri 2 pada tahun 1997 dan Pondok
Modern Gontor Putri 3 pada tahun 2002, menyusul berikutnya Pondok Modern
Gontor Putri 4 di Kendari dan Pondok Modern Gontor Putri 5 di Kandangan,
Kediri.
F. Estefet Kepemimpinan Pada Generasi Kedua
Pada awal tahun 1999, suasana duka menyelimuti Pondok Modern
Darussalam Gontor; K.H. Shoiman Luqmanul Hakim, salah seorang Pimpinan
Pondok, pulang ke rahmatullah. Untuk menggantikan posisi beliau sebagai
Pimpinan Pondok, Badan Wakaf menunjuk K.H. Imam Badri(1999-2006).
1. Pendirian Gontor 6 Darul Qiyam Magelang
Pondok Modern Darussalam Gontor mendapat wakaf tanah 2,3 hektar
beserta 1 masjid dan 1 Unit rumah dari Hj. Qayyumi, istri dari bapak KH. Kafrawi
Ridwan, MA, di dusun Gadingsari desa Mangunsari kecamatan Sawangan
kabupaten Magelang. Berdasarkan keputusan Badan Wakaf yang ke-46,
didirikanlah Gontor VI di atas lokasi tanah wakaf tersebut. Pada tanggal 22
Februari 2000, dibuka secara resmi Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah "Darul
Qiyam" Magelang oleh DIRJEN BIMBAGA ISLAM DEPAG RI, Dr. H. Marwan
Saridjo.
2. Kampus Gontor Putri 2
Pada tanggal 5 Muharram 1422/ 1 April 2001 mulai dibangun kampus
Gontor Putri II. Sejak tahun1997 Gontor Putri 2 masih menjadi satu dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Kampus Gontor Putri I. Kampus Gontor Putri II berlokasi di sebelah barat kampus
Gontor putri I, di atas tanah seluas 10 hektar. Secara simbolis penggunaan kampus
Gontor Putri 2 diresmikan oleh presiden RI Megawati Soekarno Putri pada
tanggal 14 Februari 2002, ketika berkunjung ke Pondok Modern Darussalam
Gontor di Ponorogo.
3. Gontor Buka Cabang di Kendari
Pada tanggal 24 Rabiul Tsani 1423 / 5 Juli 2002 di Kendari diadakan
kesepakatan bersama antara pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai
pihak I yang diwakili oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Drs. H. La Ode
Kamaimoedin dengan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur
sebagai pihak ke II yang diwakili oleh KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA,
tentang; pendirian dan pengelolaan Pondok Modern Darussalam Gontor VII
"Riyadatul Mujahidin" Pudahoa, Landono, Kendari, di atas tanah seluas 1000
hektar milik pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara. Untuk selanjutnya
pengelolaan dan tanggungjawab serta peningkatan mutu Pondok Modern
Darussalam Gontor VII Riyadatul Mujahidin sepenuhnya menjadi tanggungjawab
Pondok Modern Darussalam Gontor
4. Kampus Gontor Putri III di Karangbanyu
Setiap tahun jumlah calon pelajar yang hendak belajar di Pondok Gontor
Putri kian bertambah, sehingga 2 kampus yang telah disediakan itu dianggap tidak
lagi dapat menampung mereka. Maka pada awal bulan Oktober 2002, telah
dimulai pembangunan kampus Gontor Putri III di Desa Karangbanyu Kec.
Widodaren, di atas tanah seluas 10 hektar. Pada tahun ajaran 1423/2003 ini,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Pondok Gontor Putri III telah melahirkan alumni perdananya. Tidak seperti
pesantren pada umumnya, para pengajarnya pun berdasi dan bercelana panjang
pantalon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
PESAN PENDIDIKAN DALAM NOVEL: TEKS DAN KONTEKS SITUASI
Sebelum dikemukakan secara lebih detail hasil analisis wacana kritis
(CDA) terhadap teks novel Negeri 5 Menara ini, ada baiknya perlu disampaikan
kembali bagaimana peta atau arah berpikir dalam kajian ini. Fokus penelitian dari
skripsi ini adalah “Pengkonstruksian wacana Pendidikan di Pondok Pesantren
Gontor oleh Ahmad Fuadi dalam novelnya Negeri 5 Menara.” Dalam penelitian
ini, cara berpikir yang dikembangkan adalah secara kritikal (metode CDA,
Critical Discourse Analysis) artinya melihat permasalahan secara holistik dan
kontekstual. Selanjutnya dalam mengkaji teks-teks tersebut, tidak seperti
pandangan kaum strukturalisme yang menekankan pada struktur dan fungsi
bahasa (tata bahasa), tapi selain struktur bahasanya juga pada konteks situasinya.
Maka dari itu model analisis semiotik sosial Halliday di sini peneliti terapkan.
Dalam kajian ini, peneliti mempunyai asumsi bahwa suatu
pengkonstruksian atas realitas tertentu baik itu melalui media fiksi atau non-fiksi,
selalu menggunakan faktor kesejarahan dan faktor sosial, budaya, politik
masyarakat, juga kekuatan ideologi, pengalaman, pengamatan, pendidikan,
pergaulan, penafsiran atas sejarah, serta referensi-referensi yang dipergunakan
oleh pengarangnya, sehingga teks-teks yang terbentuk di dalamnya sangat
mencirikan pandangan atau ideologi dari pengarangnya, apakah ada wacana
keberpihakan atau malah memberikan sikap netral, berada di tengah-tengah suatu
persoalan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Pada tahap pertama, dipakai analisis wacana atau semiotika sosialnya
Halliday untuk menganalisisnya. Dengan menggunakan model Halliday untuk
mengkaji teks-teks yang ada dalam novel Negeri 5 Menara, penelitian ini bisa
lebih komprehensif. Selain itu, dengan model Halliday bisa melihat konteks
situasi yang terjadi. Konteks situasi di sini mengandung pengertian bahwa di
dalam teks terkandung teks yang mengikutinya, ada kejadian atau peristiwa nir-
kata (non-verbal) yang menunjukkan atau menjelaskan kejadian teks tersebut.
Sebelumnya, perlu dikemukakan terlebih dahulu ikhtisar dari novel Negeri
5 Menara agar nantinya dalam memahami penelitian ini lebih mudah. Novel
Ahmad Fuadi ini adalah terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan pertama
juli 2009 dengan tebal buku tebal 423 halaman. Ikhtisar dari cerita novel tersebut
sebagai berikut:
Menceritakan kisah lima orang sahabat yang mondok di pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa. Setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi. Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi setelah lulus nanti. Begitu pula dengan yang lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa. Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur. Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu menjadi pemuda desa yang diharapkan menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi sebagai “amak” atau Ibu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti menjadi guru agama. Dan berjuang di jalan Agama, menjadi penuntun surga bagi ke dua orang tuanya. Tetapi ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tidak ingin seumur hidupnya tinggal di kampung. Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Keinginan terbesarnya saat itu adalah menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
insinyur seperti tokoh idola nya Habibie. Yang dia bangun dan bersaing dengan sahabat di desanya. Keinginan Alif tidak mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru agama. Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani, Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said alias Abdul Qodir. Dan setelah disinilah keinginannya berubah. Pendidikan di Pondok Pesantren membentuk mental dan mendidik para santri nya untuk mandiri, pantang menyerah dan mandiri. Dengan metode dan kurikulum yang di buat, pesantren ini mampu mendidik santri nya dengan disiplin tinggi. Setelah dia mempelajari banyak ilmu di pesantren keinginannya pun berubah ingin menjadi wartawan Tempo, atau VOA. Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya. Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjunjung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah dengan sikap kemandirian. Rasa kebersamaan yang tinggi mewujudkan kekeluargaan dan menghilangan kesenjangan walaupun etika dan sopan santun tetap di tegakkan. Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil. Serta dengan metode dan kurikulum yang sangat berbeda dengan pendidikan umum yang lain, memaksaimalkan ilmu pendidikan dan kebebasan mengembangkan keahlian masing-masing santri nya.
Setelah membaca secara keseluruhan dari novel tersebut, wacana pesan
pendidikan di Pesantren yang termaktub dalam teks novel, kemudian dimasukkan
dalam beberapa kategorisasi wacana-wacana, yaitu sebagai berikut:
a) Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren
b) Metode pendidikan dalam praktek pengajaran
c) Disiplin
d) Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi
Dalam mengkategorisasikan wacana-wacana tersebut, peneliti mempunyai
alasan bahwa beberapa teks sangat jelas menunjukkan praktik kurikulum yang
berbeda dengan sekolah umum, di mana makna kurikulum ini lebih pada
pengajaran bahasa dan praktek bahasa Arab dan Inggris, tambahan kelas sore
untuk mendalami mata pelajaran pokok, kegiatan Pramuka, dan libur di hari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
jumat. Serta kegitan ekstra lainnya, hampir semua seni ada tempatnya disini,
mulai musik sampai fotografi. Kemudian, wacana metode pendidikan merujuk
cara yang dilakukan untuk mempraktekkan kurikulum yang sudah ada. Cara yang
dilakukan terlihat berbeda dari sekolah umum yang sudah ada namun dirasakan
tepat. Dalam wacana seperti Disiplin, dan Keteladanan sebagai bentuk dari
motivasi lebih diekspos dari kegiatan sehari-hari yang dilakukan dalam pondok
pesantren. Diibaratkan seperti Oksigen, nafas dari pondok pesantren.
A. Analisis Model Halliday
Secara kerangka konseptual yang sederhana terdiri dari tiga pokok bahasan
yang ditawarkan Halliday untuk membedah interaksi antara teks dan situasi
(konteks) yaitu medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of
discourse), dan mode wacana (mode of discourse).
Berikut ini adalah analisis terhadap teks novel Negeri 5 Menara tentang
wacana Pesan pendidikan dalam Pondok Pesantren Gontor dengan mengacu pada
wacana-wacana yang telah dikemukakan sebelumnya.
1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor
a. Medan wacana (field of discourse)
Medan wacana yang dimaksud disini adalah situasi tempat terjadinya
praktik kurikulum yang di gambarkan oleh Ahmad Fuadi berlangsung. Kurikulum
disini dimaknai tidak hanya sebatas pada situasi namun juga pada fungsi asrama
dan kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan selain di kelas, misalnya di
lingkungan masjid dan lapangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Kurikulum yang dimaksud adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Pada
kutipan di bawah ini, menunjukkan adanya penggambaran suasana lingkungan
dimana proses terjadinya kurikulum yang telah di tetapkan di pesantren.
“Walau asrama penting, tapi kamar disini lebih berfungsi untuk tempat tidur dan istirahat, kebanyakan kegiatan belajar diadakan dikelas,lapangan, masjid, dan tempat lainnya, seperti yang akan kita lihat nanti,…” (hal.31) (Kutipan I) Kemudian diperjelas dihalaman berikutnya yang lebih menjelaskan fungsi
dari bangunan dan apa saja yang bisa dilakukan dari para santri di dalam
bangunan tersebut. Selain digunakan untuk shalat berjamaah dan mendalami Al-
Quran, juga sebagai tempat ratusan guru mendiskusikan proses belajar mengajar.
Begitu juga dengan Aula serba guna nya digunakan untuk pagelaran teater, musik,
diskusi ilmiah, upacara selamat datang bagi siswa baru dan penyambutan tamu
penting.
“Gedung utama dipondok ini dua. Pertama adalah Masjid Jami’ dua tingkat berkapasitas empat ribu orang. Disini semua murid shalat berjamaah dan mendalami Al-Quran. Disini pula setiap kamis, empat ratusan guru bertemu mendiskusikan proses belajar mengajar.,” jelas Burhan sambil menunjukan ke masjid. Kubah dan menara raksasanya berkilau disapu sinar matahari pagi. Masjid ini dikelilingi pohon-pohon rimbun dan kelapa yang rindang. Beberapa kawanan burung berceciutan sambil hinggap dan terbang disekitar masjid. “Yang kedua adalah aula serba guna. Disini semua kegiatan penting berlangsung. Pagelaran teater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat datang buat siswa baru, dan penyambutan tamu penting,” kata Burhan sambil memimpin kami melewati aula. Gedung ini seukuran hampir setengah lapangan sepak bola dan diujungnya ada panggung serta tirai pertunjukan. Tampak mukanya minimalis dengan gaya art-deco, bergaris-garis lurus sederhana tapi megah. Diatas gerbangnya yang menghadap keluar, tergantung jam antik dan tulisan dari besi berlapis krom: Pondok Madani (hal. 31-32) (Kutipan II) Di ceritakan bagaimana suasana keadaan dari gedung utama beserta Aula
dari pesantren ini. Meski tampak sederhana namun, berperan penting dalam
menjalankan proses kurikulum dari pondok pesantren. Fasilitas dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
penggambaran lingkungan yang diceritakan dalam novel disini lebih dimaknai
bagaimana perannya dalam mendukung keberhasilan kurikulum yang sudah
ditentukan.
b. Pelibat Wacana (tenor of discourse)
Dalam wacana ini, pelibat yang dominan adalah interaksi antara para Kiai,
peran para kakak kelas dan seluruh anggota pesanten sangat berpengaruh dalam
proses menjalankan ketentuan kurikulum dari pesantren.
1. Kiai
Pada kutipan di bawah ini, terlihat jelas bagaimana peran Kiai dalam
menjalankan kurikulum, pengaruh dari Kiai yaitu sekaligus sebagai pimpinan
pondok yang memegang peran penting dalam menentukan kurikulum dalam
pendidikan. Dimana pesan-pesan yang dibawakan berupa pidato yang di
sampaikan kepada seluruh santri.
“ Pondok Madani sistem pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusia mandiri yang tangguh. Kiai kami bilang, agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu umum dan ilmu negara.... “ (hal.31) “ Kalau PM adalah seorang ibu, maka PM sekarang sedang hamil tua. Mari kita rawat kehamilan bersama sampai melahirkan,” buka Kiai Rais dengan air muka berbinar. Anak-anakku, kalianlah jabang bayi yang sedang dikandung PM. Kalau lulus, kalian lahir dari rahim PM untuk berjuang dan membawa kebaikan untuk masyarakat. Dan proses persalinan yang menentukan adalah imtihan nihai-ujian pamungkas. Ini lah ujian yang paling berat yang anak-anak temui di PM, dan bahkan mungkin sepanjang hidup kalian.” (hal. 378) (Kutipan III)
Diceritakan sistem pendidikan yang berlaku adalah selama 24 jam dengan
tujuan membentuk para santri yang mandiri dan tangguh. Dalam aturan ujian yang
harus ditempuh para santri juga mengalami masa ujian yang berat. Diistilahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
sebagai persalinan jabang bayi yaitu imtihan nihai ujian pamungkas ujian yang
paling berat bahkan mungkin selama hidup.
2. Kakak kelas
Sudah menjadi peran bersama bagi warga Pondok Pesantren untuk
mengikuti kurikulum yang sudah di tentukan, termasuk kakak kelas, terlihat dari
kutipan di bawah ini.
“Ayyuhal ikhwan”. Saudara-saudara semua. Selamat datang dalam pertandingan penting ini. Saya akan perkenalkan para pemain dari kedua tim, yaitu....” Dia menyampaikan semua komentar dalam bahasa Arab, karena minggu ini minggu wajib berbahasa Arab. (hal 167)
Peran kakak kelas disini dimaknai sebagai contoh dan pengingat bahwa
pelaksanaan kurikulum berbahasa Arab sudah diatur seperti penggalan kalimat
“Dia menyampaikan semua komentar dalam bahasa Arab, karena minggu ini
minggu wajib berbahasa Arab”
3. Seluruh anggota pesantren
Tetapi dalam pelaksanaan kurikulum sendiri, semua warga Pondok ikut
andil bagian sebagai pelibat yang utama dalam menjalankan kurikulum, seperti
dalam kutipan berikut.
Rasanya tidak ada yang melebihi cara PM mengistimewakan waktu ujiannya. Ujian maraton sepanjang 15 hari di sambut bagai pesta akbar, riuh dan semarak. You can feel the exam in the air. Itulah the moment of truth sorang pencari ilmu untuk membuktikan bahwa jerih payah belajar selam ini mendatangkan hasil setimpal, yaitu meresapnya ilmu tadi sampai ke sum-sum nya.(hal. 189) Dikamar aku bertemu mereka, di kelas aku bertemu mereka lagi, di lapangan bola juga, bahkan di depan kaca, aku pun ketemu makluk yang sama: laki-laki. Sekolah kami adalah kerajaan kaum lelaki. Tidak ada perempuan di areal belasan hektar ini kecuali mbok-mbok di dapur umum dan kantin, keluarga para guru senior yang kebetulan tinggal di dalam kampus, dan para tamu yang datang dan pergi. (hal.230) (Kutipan IV) Keterlibatan seluruh anggota pesantren disini dimaknai bahwa peranan
dari masing-masing merupakan penjelasan dari kurikulum dalam hubungannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
dengan interaksi yang berlangsung dari masing-masing penghuni pesantren, baik
mulai dari kyai, pengajar dan teman-teman asrama yang lainnya.
c. Sarana Wacana (mode of discourse)
Dalam menceritakan kurikulum, Fuadi mencoba membahasakan
bagaimana latar suasana yang terjadi diantara pelibat wacana dengan gaya
bercerita sesuai dengan gaya bahasa pondok pesantren yang khas, seperti kutipan
berikut:
Tur berlanjut ke bagian selatan pondok, melewati barisan pohon asam jawa yang berbuah lebat bergelantungan. “sebagai tempat yang mementingkan ilmu, kami punya perpustakaan yang lengkap. Koleksi ribuan buku berbahasa Inggris dan Arab kami pusatkan di perpustakaan yang kami sebut maktabah atau library,” kata Burhan sambil menunjukkan ke bangunan antik berbentuk rumah Jawa. “Tolong dijaga suara ya”. (hal. 32) (Kutipan V)
Dalam praktek kurikulumnya, Fuadi mencoba mengenalkan pesantren
identik dengan istilah-istilah pondok pesantren. Dijelaskan dalam kutipan diatas
bahwa mereka menyebut perpustakaan dengan maktabah atau library. Sesuai
dengan konteks yang ada di pesantren Gontor, bahwa kurikulum yang mereka
gunakan yaitu dengan bahasa Arab dan Inggris. Dua bahasa tersebut menjadi
kurikulum wajib di pesantren Gontor yang menjadikannya di kenal masyarakat
dengan Pondok Modern Gontor. Istilah modern menjelaskan bahwa pesantern
tidak hanya mengajari ilmu agama tetapi juga berorientasi pada kurikulum
sekolah umum.
Selain itu di pertegas dengan penggunaan istilah-istilah dalam bahasa
inggris, diceritakan pembatasan akan media dari dalam negri ketat dan tidak bisa
diganggu gugat, tetapi untuk media luar negri justru sangan bebas dan didukung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
penuh oleh kurikulum yang di ajarkan. Kembali lagi pada misi dari pendidikan di
Pesantren Gontor yang lebih berorientasi ke barat, seperti dalam teks berikut;
Walau media lokal di sensor ketat, PM membebaskan kami menerima majalah dari luar negri, karena ini bagian dari proyek mendalami bahasa Arab dan Inggris. Makanya berbondong-bondonglah kami melayangkan surat ke seluruh dunia, mulai Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Inggris, Pakistan, Belgia, sampai Arab Saudi. Tidak perlu susah mengarang suratnya, para senior kami sudah punya template surat dengan kalimat penuh puja-puji yang manjur untuk membujuk siapa pun mengirimi kami majalah dan buku gratis.( Hal.173) Di PM, tidak seorang pun murid boleh menonton TV. Menurut guru kami, kualitas siaran TV tidak cocok dengan pendidikan PM dan bisa melenakan murid dari tugas utama menuntut ilmu. Sementara radio hanya bisa didengar kalau disiarkan Bagian Penerangan melalui jaringan pengeras suara yang ada di setiap asrama dan tempat umum.( Hal. 176) (Kutipan VI)
2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran
Metode lebih merujuk pada cara, cara yang dimaksud disini adalah cara
yang digunakan pesantren untuk melaksanakan kurikulum yang sudah ditentukan
dan menjadi kesepakan bersama dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis dengan
cara yang sistematis.
a. Medan Wacana (field of discourse)
Teks-teks tersebut memperlihatkan bagaimana cara Pondok pesantren atau
Pondok Madani terhadap hal-hal yang memajukan pendidikan. Digambarkan
dengan suasana ketika pengulangan dan teriakan di dalam proses pembelajaran
menjadi cara mengingat ucapan dalam pelajaran bahasa Arab, kemudian
disimpulkan bahwa cara tersebut adalah bagian dari metode. Seperti yang
dijelaskan dalam teks di bawah ini:
Begitulah selanjutnya. Bahasa Arab diajarkan dengan cara sederhana, menggunakan metode “ dengar, ikuti, teriakan dan ulangi lagi”. Tidak ada terjemahan bahasa Indonesia sama sekali. Belakangan aku tahu bahwa pengulangan dan teriakan tadi adalah metode ampuh untuk menginternalisasi bahasa baru ke dalam sel otak dan membangun refleks bahasa yang bertahan lama. Inilah sistem bahasa yang membuat PM terkenal dengan kemampuan muridnya berbicara aktif. Mereka menyebut “direct method” (hal. 111) (Kutipan VII)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Pembangunan suasana terjadi dengan menggungkap metode menjadi cara
dalam membantu proses penyampaian ilmu pendidikan. Banyak cara bisa
dilakukan untuk menyampaikan ilmu pelajaran tetapi di sini Pondok Pesantren
Madani memilih cara dengar, ikuti, teriakan dan ulangi lagi. Dan metode tersebut
diakui dalam tulisan Fuadi merupakan metode ampuh untuk menginternalisasi
bahasa baru ke dalam sel otak dan membangun refleks bahasa yang bisa bertahan
lama untuk diingat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Metode
mempunyai arti cara sistematis dan berfikir secara baik untuk mencapai tujuan;
prinsip dan praktek-praktek pengajaran bahasa156
Pembelajaran terjadi dimana-mana, tidak melihat tempat lagi, yang
penting ada waktu untuk belajar, tempat dimana pun tidak masalah, di munculkan
oleh Fuadi ditangga masjid, di kantin, di lapangan hijau, di kamar mandi, di kelas,
di pinggir sungai, sampai di kamar mandi, yang terdengar hanya dengungan suara
murid yang sedang menghapal dan berdiskusi, seperti dalam kutipan berikut;
Alhasil, conditioning ini menghasilkan exam frenzy . semua orang tiba-tiba menjadi super rajin dan mabuk belajar. Rasanya ada energi kuat yang membuat kami ingin mengerahkan segala kemampuan dan tenaga untuk mendalami buku-buku. Diskusi dan belajar bersama terjadi dimana-mana. Ditangga masjid, di kantin, di lapangan hijau, di kamar mandi, di kelas, di pinggir sungai, di kamar mandi, yang terdengar hanya dengungan suara murid yang sedang menghapal dan berdiskusi. Sungguh indah dan elektrik. Semuanya brgerak mengikuti pesta ini dengan antusias. Bahkan yang kurang antusias pun menjadi minoritas yang kemudian pelan-pelan terimbas energi kolosal menyambut ujian ini. Said yang lebih suka kegiatan non kelas pun ikut berubah. Dia sekarang puasa olahraga dan seperti orang lain, selalu membawa buku keman-mana.( hal.191) (Kutipan VIII) Banyak tempat yang dimunculkan dalam novel menjadi medan dimana
situasi belajar bisa dimana aja, setiap saat dan kapan aja. Saat ujian diceritakan
pula bagaimana suasana yang diciptakan sehingga membangun suasana khidmat.
156 Marhiyanto, Bambang. Kamus Lengkap bahasa Indonesia,Surabaya: Media Centre
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Pembaca pun di bawa untuk ikut merasakan ketegangan yang dimunculkan Fuadi.
Di ceritakan saat ujian berlangsung kondisi ruangan ujian sangat khidmat dengan
meja panjang didalam ruangan, dan tiga orang Ustad penguji dengan busaha yang
resmi dan menunjukkan wibawa. Yang terdapat dalam kutipan berikut ini;
Tiba-tiba pintu ruangan ujuan lisan terbuka. Seorang murid keluar dengan muka kusut. Mungkin dia gagal menjawab soal ujian. Sejurus kemudian, sebuah kepala muncul dari balik pintu dan membacakan giliran siapa yang harus masuk. “ Alif Fikri...tafadhal”. jantungku berdebur. Aku merapikan baju dan masuk ke dalam kelas yang lengang ini dengan mengucap salam. Di dalam ruangan ada meja panjang. Tiga orang Ustad penguji duduk di belakang meja itu. Mereka berkopiah, berbaju putih, dan berdasi. Penuh wibawa. Salah satunya adalah yang memanggil aku masuk tadi. Satu meter didepan mereka, ada sebuah meja kecil dan kursi kayu. Mereka mempersilahkan aku menempati kursi yang berderit ketika diduduki itu.( hal. 200) Minggu pertama ujian tulis aku lewati dengan cukup baik. Paruh keduanya mulai terseok-seok karena stamina sudah terkuras dan bosan sudah datang. Benar-benar adanya istilah “ ujian di atas ujian”. Imtihan nihai bukan hanya sekedar membuktikan seberapa banyak ilmu yang telah diserap otak, tapi seberapa kuat seorang siswa melawan tekanan waktu, kebosanan, psikologis dan fisik. Siapa yang bisa mengatasi semua faktor itu, maka dia adalah pemenang.( hal. 387-388) (Kutipan IX) Metode yang digunakan saat Ujian juga dimunculkan dari pengacakan
tempat duduk peserta ujian seperti dalam kutipan berikut;
Akhirnya setelah seminggu, ujian lisan selesai juga. Selang beberapa hari, datang ujian tulisan. Ujian hari pertama lagi-lagi Muthalla’ah atau bacaan bahasa Arab. Aku duduk terasing dari teman sekelas karena selama ujian posisi duduk diacak dengan teman kelas lain. Dalam satu ruangan ini hanya ada aku dab Baso dari kelas satu. Dan soalpun di bagikan. Bentuknya berupa kertas buram setengah halaman yang membuat mataku keriting. Semuanya tulisan Arab dan semuanya huruf gundul. Dan semuanya soal esai, tidak ada pilihan ganda. ........ (hal. 202) Ruangan menjadi tempat penting bagi terlaksananya metode pengajaran,
saat ujian akan berlangsung, para santri pindah ruangan di Aula, agar mudah
mengontrol dan belajar bersama akan menumbuhkan semangat yang bagus,
seperti dalam kutipan dibawah ini:
Sejak malam itu, kami bolak-balik membawa berbagai barang mulai buku sampai kasur ke rumah baru kami yang luas: aula. Gedung ini telah memainkan peran penting dalam kehidupan kami. Mulai dari menjadi tempat acara pekan perkenalan PM tiga tahun lalu, panggung lomba pidato, saksi kekalahan Icuk Sugiarto, tempat kami menerima tamu-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
tamu penting sampai menjadi saksi sejarah kehebatan aksi panggung kami di Class Six Show. Kali ini, aula mendapat julukan baru: kamp konsentrasi(hal. 379) Terciptanya situasi yang sangat mendukung di setiap sudut Pondok
Pesantren, menimbulkan akibat sulit menjadi pemalas. Sehingga dari yang tidak
suka belajar pun akan menjadi belajar dengan sendirinya. Justru yang tidak belajar
menjadi orang aneh
Pondok Madani diberkati oleh energi yang membuat kami sangat menikmati belajar dan selalu ingin belajar berbagai macam ilmu. Lingkungannya membuat orang yang tidak belajar menjadi orang aneh. Belajar keras adalah gaya hidup yang fun, hebat dan selalu dikagumi. Karena itu, cukup sulit unutk menjadi pemalas di PM.( hal. 264) (Kutipan X) Setiap kalimat yang di cerikatan dalam kutipan-kutipan mencoba
membagun pemikiran pembaca bagaimana penggamabaran situasi tentang metode
yang digunakan dalam proses pengajaran di pondok pesantren.
b. Pelibat Wacana (tenor of discourse)
Pelibat dalam wacana metode pendidikan disini di bagi menjadi dua
golongan; dari dalam lingkungan pesantren dan dari luar pesantren. Dari dalam
pesantren di mulai dari Ustad, sebagai pendidik utama. Lalu peranan kakak kelas
sebagai pembimbing, Kiai sebagai motivator utama. Selain dari lingkungan
pondok pesantren contoh tauladan yang berperan dalam berlangsungnya proses
pendidikan adalah belajar dari orang besar dan orang tua.
1. Ustad
Pelibat dalam wacana ini berperan penting dalam setiap metode yang di
jalankan, perannya dalam membantu memahami serta menghapal materi,
ditujukkan pengajar dalam kutipan dialog dan diskripsi berikut;
Dia bercerita negeri-negeri yang jauh. Mendaras berbagai topik mulai Tashkent. Bani Safavid, Turki ustmaniah, Cordoba, Thariq bin Ziyad, Aljabar, Al Khuraizimi, sampai Palestina. Ustad Surur suka dengan alat peraga. Ketika berbicara tentang Mesir dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
piramida, dia membawa beberapa potong kerikil yang dipungutnya sendiri didekat piramida besar di Kairo. Kerikil kesat berwarna kuning ini diedarkan ke setiap tangan kami untuk merasakan kedekatan dengan kisah Mesir yang sedang kami diskusikan.( hal. 111)
...............................................................................................................................................
Di PM ada beberapa ustad yang ahli memotivasi dan mampu membuat semangat murid yang sedang loyo mencelat-celat. Para ahli motivasi ini punya ‘jam praktek”, biasanya sebelum makan malam atau setelah subuh. Durasi acara pembakaran semangat ini mulai dari 15 menit sampai 1 jam. Kami menyebut ustad ini sebagai “ ahli setrum.” (hal. 377)
................................................................................................................................................
Aku mendapat kelompok belajar dengan lima orang teman dari kelas lain. Kami diberi kavling tempat di sudut baat aula. Di kavling inilah kami akan menghabiskan waktu sebulan ke depan. Buku-buku sampai kasur lipat kami boyong ke kavling yang di tandai dengan meja-meja belajar yang disusun membentuk segi empat. Lantai kosong di tengah segi empat itu menjadi ruang tidur kami. Setiap kelompok didampingi oleh seorang ustad pembimbing yang selalu menyediakan waktu jika kami bertanya tentang pelajaran apa saja yang belum kami mengeri. Dan ustad ini juga memastikan kami hadir di kamp ini dan memberikan motivasi kalau diperlukan. Pembimbing kelompok ku ternyata Ustad Nawawi, sang tukang setrum.( hal. 379-380) (Kutipan XI)
2. Seluruh anggota pesantren
Keterlibatan seluruh anggota pesantren menjadi peran penting dalam
membangun cerita. Metode pendidikan yang melibatkan keikutsertaan kakak
senior dimunculkan Fuadi dalam diskripsi sebagai berikut;
Sementara 2 kali seminggu, setiap selesai subuh, dalam suasana temaram, terang-terang tanah, kami membuat dua barisan panjang di lapangan, dan diharuskan melakukan percakapan dengan teman di depan kami menggunakan suara sekeras-kerasnya sampai serak. Kembali para kakak penggerak bahasa in action. Mereka mondar-mandir, mendengarkan, mengoreksi, memberi kalimat yang baik.( hal.133) Kasur segera kami gelar dan lampu kamar dipudarkan. Sebagai bulis lail, kami dapat keringanan untuk tidur lebih awal jam tujuh malam. Ketika semua orang masih belajar dan tidak boleh masuk kamar, kami malah diwajibkan tidur untuk pesiapan begadang. Setelah tidur 3 jam, Kak Is membangunkan kami untuk memulai tugas mulia ini.( hal. 238) ............................................................................................................................................... Dengan gaya otoritatif dan suara tegas seperti perwira brimob, Tyson mengingatkan bahwa malam ini keamanan PM ada di bahu kita, karena itu tidak seorang pun boleh tidur sepicing pun. Bagi yang tidur akan dipastikan masuk mahkamah keamanan pusat.(hal. 239)(Kutipan XII)
3. Kiai
Peran Kiai sebagai tokoh utama pencetus metode yang ikut turun
langsung, walaupun perannya lebih pada pemberi arahan dan motivasi, namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Kiai turut ambil bagian dalam menjalankan metode pendidikan. Tanpa perintah
dari Kiai metode yang di gunakan tidak akan berjalan, dapat dilihat dalam kutipan
berikut;
Begitu ujian makin mendekat, Kiai Rais mengeluarkan instruksi khusus. Para guru- yang hampir semua tinggal di PM- setiap malam harus melakukan “penyerbuan”, berkeliling ke kamar asrama, kelas, aula, lapangan dan masjid untuk misi pertama, menjawab pertanyaan apa saja tentang mata pelajaran saja. Kedua, membangunkan yang tertidur di jam belajar.( hal. 192)
........................................................................................................................
Lalu dipimpin Kiai Rais dan para guru menjabat tangan dan memeluk kami satu persatu sambil megucap selamat jalan dan berjuang. Tiba giliranku, Kiai Rais memberikan pelukan erat, seakan-akan akulah anak kandung satu-satunya dan akan berlaga di medan perang. “ Anakku, selamat berjuang. Hidup sekali hiduplah yang berarti,” bisiknya ke kupingku. Aku hanya bisa mengucapkan, “ Mohon restu Pak Kiai, terima kasih atas semua keiklasan antum”. Aku menggigit bibirku yang mulai bergetar-getar, tersentuh oleh pelukan guru yang sangat aku hormati ini.( hal.397) (Kutipan XIII)
4. Belajar dari orang besar
Belajar dari orang besar pun menjadi pemicu dalam metode pembelajaran.
Orang besar yang dimaksud dalam novel nya Fuadi adalah belajar dari Sayidina
Ali, yang menunjukkan metode pembelajaran. Disebutkan dalam novel ”Ikatlah
ilmu dengan mencatatnya. Proses mencatat itulah yang mematri kosa-kata baru di
kepala kita” dan metode inilah yang di terapkan di dalam pesantren. Metode
tersebut diakui sebagai metode yang ampuh, dalam kutipan berikut;
“ Jangan dipaksanakan untuk menghapal. Kalau sudah tamat sekali, ulangi dari awal samapi akhir. Lalu ulangi lagi, kali ini sambil mencontreng setiap kosa kata yang sering dipakai. Lalu tulisakan juga di buku catatan. Niscaya, kosa kata yang dicontreng di kamus tadi dan yang sudah dituliskan ke buku tadi tidak lupa. Sayidina Ali pernah bilang, ikatlah ilmu dengan mencatatnya. Proses mencatat itulah yang mematri kosa-kata baru di kepala kita.( hal.265)
5. Orang tua
Keikutsertaan Orang tua, lingkungan dan orang-orang di sekitar pun
mengambil bagian penting dari cerita yang sedang dibangun. Peran orang tua,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
lingkungan dan orang-orang sekitar menjadi pelibat penting dalam keberhasilan
metode yang diterapkan oleh Pondok madani.
“ Dengan ini kami sempurnakan amanah orang tua kalian untuk mendidik kalian dengan sebaik-baiknya. Berkaryalah di masyarakat dengan sebaik-baiknya. Ingat, di kening kalian sekarang ada stempel PM. Junjunglah stempel ini. Jadilah rahmat bagi alam semesta. Carilah jalan ilmu dan jalan amal ke setiap sudut dunia. Ingatlah nasehat Imam syafii: Orang yang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimi dan merantaulah ke negeri orang. Selamat jalan anak-anakku,” ucap Kiai Rais dalam nasehat terakhir. Sepasang matanya berpendar menatap kami. Juga berkaca-kaca. Suasana beitu hening dan syahdu.( hal. 396) (Kutipan XIV) Dalam kutipan di atas amanah Orang tua, menjadi tanggung jawab
pesantren untuk mendidik santri-santrinya, dan masyarakat menjadi tempat
mengamalkan ilmu dari pesantren. Dimana pun berada, dan kalimat ingatlah
nasehat Imam Syafii untuk merantau, merupakan salah satu cara mengamalkan
ilmu dari pesantren.
c. Sarana Wacana (moder of discourse)
Dimunculkan Fuadi dalam kalimat “aku cukup sering tampil berdiri di
depan kelas gara-gara hapalanku yang melantur” dimunculkan dari penokohan
tokoh aku (Alif) dengan kata “Aku” sebagai bentuk kata aktif dari pelaku utama
dengan penggalan kalimat khas kata-kata di pondok pesantren yang sering terjadi.
Metode yang di gunakan dapat dilihat dalam kutipan berikut;
Di pertemuan selanjutnya, secara acak kami dipilih untuk membacakan hapalan minggu lalu. Kalau ternyata belum hapal, apa boleh buat kami harus berdiri didepan kelas sambil memegang buku untuk menghapal. Sungguh memalukan, aku cukup sering tampil berdiri di depan kelas gara-gara hapalanku yang melantur.( hal.116) (Kutipan XV) Pelajar di pesantren dalam menimba ilmu pengetahuan di arahkan oleh
pesantren bahwa Tuhan menjadi alasan dalam mencari ilmu pengetahuan, nampak
dalam kalimat “ menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar
bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata”, bahkan di pertegas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
dengan kalimat dikutiban berikutnya “Daftarkan diri kalau ingin dibagunkan
shalat Tahajud malam ini “. Seperti juga kutipan berikutnya di jelaskan “Niatnya
hanya demi memberi kebaikan kepada alam raya, seperti yang diamanatkan Tuhan
“.jelas sekali, bagaimana pendidikan agama menjadi dasar dari pendidikan ilmu
lainya;
Aku akan menerapkan praktik berprasangka baik bahwa do’aku akan dikabulkan. Tapi berdo’a saja rasanya kurang cukup. Aku mencanangkan untuk menambah ibadah dengan shalat sunat Tahajjud setiap jam 2 pagi. Di depan pengumuman asrama telah tertulis, “Daftarkan diri kalau ingin dibagunkan shalat Tahajud malam ini”. Aku langsung mendaftar ntuk dua minggu ke depan.( hal.195) ........................................................................................................................
Keiklasan bagai kabel listrik yang menghubungkan guru dan murid. Dengan kabel ini, aliran ilmu lancar mengucur. Sementara aliran pahala yang deras terus melingkupi para guru yang budiman dan murid yang khidmat. Niatnya hanya demi memberi kebaikan kepada alam raya, seperti yang diamanatkan Tuhan. Hubungan tanpa motivasi imbal jasa, karena yakin Tuhan Sang Maha Pembalas terhadap pengkhidmatan ini. Keiklasan adalah sebuah pakta suci. (hal. 295) (Kutipan XVI) Bahasa menjadi penumbuhan makna terutama tentang Pesantren, Fuadi
mempertegas kurikulum dengan penggunaan metode yang mendukungnya.
Karena misi utama dari pesantren atau yang menjadi kurikulum adalah bisa
berbahasa Arab dan Inggris selain pelajaran pokok, dijelaskan dari kalimat berikut
“Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia “ lainnya,
dalam metode pendidikan;
“Dan yang tidak kalah penting, bagi anak baru, kalian hanya punya waktu empat bulan untuk boleh berbicara bahasa Indonesia. Setelah empat bulan, semua wajib berbahasa Inggris dan Arab, 2 jam. Percaya kalian bisa kalau berusaha. Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia.”(hal.51)
Dengan gaya penceritaan dalam penggalan kalimat ”dengan mata
berbinar-binar” yang mencoba menggambarkan ketertarikkan oleh pesantren
sebagai bentuk dari metode pendidikan, penggunaan cara pembelajaran yang
cocok dan sangat disenangi santrinya dalam kutipan berikut di jelaskan jika ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
menjadi wartawan pun, disediakan wadahnya, dan didukung dengan belajar lebih
banyak dari Mesir, Amerika, Australia, sampai Jepang;
Dengan mata berbinar-binar aku selalu larut dengan berbagai laporan seru wartawan Tempo langsung dari Mesir, Amerika, Australia, sampai Jepang. Semua dikemas dengan bahasa yang enak dibaca dan istilah-istilah yang canggih, yang terus terang aku hanya berpura-pura mengerti saja. Walau sekarang ada di PM, belajar nya adalah agama, aku tidak malu bermimpi suatu saat nanti bisa menjadi wartawan tempo yang melaporkan beria-berita penting dan terhormat dari berbagai belahan dunia. Diam-diam aku mulai mempertimbangkan mengganti cita-citaku dari Habibie menjadi wartawan Tempo. (hal 172) (Kutipan XVII) Selain didalam ruangan, kelas, dan lingkungan pondok, metode
pembelajaran menggunakan banggunan kata-kata lain yang diceritakan Fuadi
dalam menyampaikannya kepada pembaca, untuk membuka wawasan secara
langsung para santri diajak untuk belajar langsung dilokasi, kunjungan ke pabrik
di tujukan untuk membuka pandangan bahwa dunia wirausaha sangat luas dan
bisa menjadi tujuan di masa depan. Seperti dalam kutipa berikut;
Salah satu kegiatan yang paling menarik di minggu terakhir kami adalah rihlah iqtishadiyah. Dengan bus carteran, selama lima hari, segenap murid kelas enam berkeliling jawa Timur. Kami mengunjungi pabrik kerupuk di Treggalek, budi daya ikan laut di Pacitan, toko bahan bangunan di Tulung Agung, koperasi simpan pinjam Islami di Jombang, dealer mobil dan pabrik semen di Gresik, industri batik di Sidorejo, sampai pusat perawatan kapal bear di Surabaya. Selama kunjungan ini kami berdialog dengan wiraswastawan dan pemilik bisnis dan bertanya bagaimana mereka meulai usahanya. Tujuan perjalanan ini memang untuk membuka mata bahwa dunia wirausaha sangat luas dan bisa menjadi tujuan kami di masa depan. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat kami puas. Sepanjang jalan kembali ke PM aku dan Sahibul menara sibuk berandai-andai, akan punya usaha apa kami nanti. Petuah Kiai Rais selalu mengiang-ngiang, “jangan puas jadi pegawai, tapi jadilah orang yang punya pegawai.”( hal 394-395) (Kutipan XVIII)
3. Disiplin
a. Medan Wacana (field of discourse)
Disiplin waktu menjadi yang sangat kaku dan tidak bisa di tawar-tawar,
terlambat sedikit saja akan terkena hukuman. Dari hal sekecil itu kedisiplinan
menjadi hal yang sangat menonjol, pengambaran suasanya medannya dapat dilihat
dalam kutipan berikut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
”Ya akhi, bla bla bla, “ kata seorang senior mengetok-ngetok jam tangannya. Aku bengong tidak mengerti, yang aku tahu jamnya menunjukkan 16.50 siang. Melihat anak baru terbengong- bengong, dia baru ingat kalau dia masih berbicara bahasa Arab. “ ya Akhi, silahkan pilih sebelum kehabisan waktu. Sebentar lagi lonceng ke masjid!” teriak senior itu melihat aku masih berlama-lama memilih.( hal. 62) (Kutipan XIX)
Kedisiplinan ini terlihat sekali dari gambaran medan berikut, dimana
suasana menunjukkan gambaran saat-saat lonceng sudah berdentang, asrama
benar-benar menjadi sepi. Semua santri telah tertib di masjid.
Jangankan duduk manis bersarung di masjid. Kami masih menggotong lemari di tengah lapangan. Artinya kami telah melawan perintah lonceng, alias terlambat. Dari kejauhan, aku lihat asrama kami seperti rumah hantu, kosong, sepi, tak satu jiwa pun.( hal.64)
Kantor keamanan digambarkan dalam suasana seperti Mabes Polri, bagi
pembaca kemungkinan besar banyak yang sudah masuk di ruangan Mabes Polri,
bisa dibayangkan betapa kaku nya ruangan kantor keamanan di Pesantren ini,
dalam kutipan sebagai berikut;
Kantor keamanan pusat bila dianggap seperti Mabes Polri, sekaligus ruang pengadilan versi PM. Dari sini berhimpun segala macam telik sandi dan penegakan hukum. Selama 24 jam setap hari, merka inilah yang menjaga kedisiplinan dan menegakkan aturan di PM.( hal.73)
Disiplin ini juga ditegakkan dimana-mana, bukan hanya di kelas, masjid,
kantor keamanan saja, namun selama masih didalam areal pondok, seluruh
ruangan adalah tempat disiplin, bahkan dalam hal jatah makanan seperti di ruang
dapur berikut, tidak ada alasan apapun yang bisa membela.
b. Pelibat Wacana (tenor of discourse)
Pelibat utama dari disiplin ini adalah semua penghuni pondok,
kedisiplinan mutlak diciptakan. Tidak pandang bulu, siapapun yang melanggar
pasti terkena hukuman, seperti dalam kutipan berikut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Dua kali seminggu aku mengikuti lari pagi bersama yang mirip karnaval kepagian. Tepat setelah subuh, ribuan murid dengan seragam olah raga asrama masing-masing berbaris rapi, dikomandoi seorang petugas olah raga yang memakai peluit. Lari pagi hukumannya adalah kunjungan ke mahkamah.( hal. 164) .......................................................................................................................
Kembali ke aula, kami disambut tepuk tangan oleh teman-teman kelas enam. Sedangkan kami bertiga mengelus-elus kepala botak kami, memelas. Bagaimana pun kami salah, kami dianggap pahlawan yang membela kepentingan bersama show kami. Seharusnya aku bersyukur kehilangan rambut saja. Said selain kehilangan rambut, juga kehilangan jabatan. Kasus ini membuat dia menjadi orang bebas lebih cepat sebulan dari pada semestinya.( hal. 354) (Kutipan XX)
Setiap orang didalam penghuni pondok, wajib menjaga disiplin dirinya
sendiri-sendiri, pelanggarannya pun bermacam-macam. Mulai dari yang
sederhana sampai yang berat. Dalam hal berhubungan akrab dengan perempuan.
Hukumannya sama tidak pernah pandang bulu;
Tapi aturannya amat jelas: Mamnu’ terlarang. Selama. Di PM, kami tidak diijinkan untuk berpacaran dan berhubungan akrab dengan perempuan. Jangankan saling bertemu, bersurat-suratan saja dilarang. Hukumannya tidak main-main, paling rendah dibotak, dan bisa naik kategori menjadi dipulangkan.( hal. 231)
Pelibat penegak disiplin digambarkan dengan detail bagaimana kostum
dan perangkat yang khas dari dirinya, hinggga muncul keseganan bagi yang
melihatnya, apalagi yang sudah pernah merasakan pelanggaran. Mulai dari ciri
khas sepeda, jas hitam, berkopiah dan pin perak bundar berkilat bertuliskan
“Kismul Amni” – Bagian Keamanan. Wajah pun harus dibuat lebih serius dan
tidak boleh senyum-senyum sembarangan, seperti dalam kutipan berikut ini;
Duduk tegap di sadel sepedanya, kami melihat laki-laki muda, berjas hitam, berkopiah, sebuah sajadah merah tersampir di bahu kirinya. Di dadanya tersemat pin perak bundar berkilat bertuliskan “Kismul Amni” – Bagian Keamanan. Kalau ini film koboi, dia adalah sherif berwajah keras yang siap mengokang pistolnya. Dengan enteng dia meloncat dari sael. Sepedanya diberi kaki. Langkahnya cepat menuju kami. Sret...sret...sret, sarungnya tidak mempengaruhi keligatan gerakannya.( hal.65) ........................................................................................................................ Selain mirip Roger Moore, jasus juga mirip drakula. Bayangkan, kerja jasus adalah bergentayangan mencari buruan siang malam. Korban yang digigit drakula akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
menjelma menjadi drakula juga. Pelanggaran yang dilaporkan oleh jasus besoknya diadili dan dihukum menjadi jasus juga. Seperti yang digariskan qunun, potensi pelanggaran di pondok itu banyak. Mulai dari yang kecil-kecil seperti buang sampah sembarangan. Makan dan minum sambil berdiri, tidak memakai ikat pinggang, tidur di waktu jam jaga malam atau jaga siang, pakai celana pendek, tidak pakai kopiah ke masjid, tidak pakai kemeja ke kelas, memakai sarung ke kelas, atau memakai celana panjang ke masjid, mulai remeh temeh sampai yang kelas berat seperti mencuri dan berkelahi.( hal.76) ................................................................................................................................................ Ini juga posisi yang kurang nikmat. Keamanan yang tugasnya menjaga disiplin ironisnya selalu dianggap mengganggu ketenangan, rigid dan tidak kompromi. Wajah pun harus dibuat lebih serius dan tidak boleh senyum-senyum sembarangan. Bayangkan setahun bertugas tanpa senyum! Tapi aku yakin Said tidak keberatan menjadi musuh bersama. Dia siap bertugas hanya demi ridho Ilahi. Aku tahu di balik tampang Arnoldnya, dia punya jiwa Tyson yang ikhlas.( hal. 300) (Kutipan XXI) Para pekerja bagian dapur juga ikut ambil bagian sebagi pelibat dalam
menegakkan kedisiplinan di pondok pesentren ini, disini dimaknai bahwa seluruh
anggota pesantren ikut berperan dalam kedisiplinan, di munculkan Fuadi dalam
dialog;
” Maaf Kak, kupon saya hilang.” “ Akhi, sudah tahu aturannya kan? Tidak ada kupon tidak ada rendang.” “ Baru sekali ini hilang, Kak.” Dian menggeleng dengan muka datar seperti tembok. “Ayolah Kak, tolong dibantu...sudah seminggu saya terbayang bayang rendang...” aku mencoba melancarkan bujuk rayu. Dengan muka kesal, akhirnya tangannya bergerak ke panci rendang. Mungkin dia iba melihat mukaku yang memelas, aku bersorak dalam hati. “Kuahnya saja cukup ya!” Memang nasibku tidak baik hari ini.... (hal.121)
c. Sarana Wacana (mode of discourse)
Dalam pelaksanaan disiplin di dalam Pondok, peraturan menjadi pedoman
dalam menjalankan setiap peraturan dan demi menciptakan ketertiban sesuai
dengan tujuan dari pendidikan. Ahmad Fuadi membahasakan peraturan di pondok
ini disebut dengan qanun. Yang dibacakan sekali dan harus dihapal di luar kepala.
Tujuannya untuk mengurangi pelanggaran, karena dengan dihapal berarti seperti
teringat terus setiap saat.
“Selain itu, ingat juga bahwa aturan disini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan, mungkin kalian tidak cocok disini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Malam ini akan dibacakan qanun, setiap orang tidak punya alasan tidak tahu bahwa ini aturan.( hal.51) (Kutipan XXII)
Disiplin lain yang berfungsi untuk membantu mengingatkan peraturan
setiap saat disebutkan dalam novelnya dengan istilah; lonceng, bunyi lonceng juga
bebeda-beda menurut dari aturannya dalam kutipan berikut di sebutkan “lonceng
4 kali di jam 5 artinya tanda semua aktivitas harus berhenti dan semua murid
sudah harus ada di masjid dengan pakaian rapi dan bersarung” ;
Teng..teng..teng...teng....suara lonceng besar di depan gedung pertemuan bergema sampai jauh. Belum lagi gaungnya padam, semua penjuru sepi senyap, tidak ada orang satu pun. Kami berpandang-pandangan dengan kalut. Kalau mengikuti qanun yang dibacakan tadi malam, lonceng 4 kali di jam 5 artinya tanda semua aktivitas harus berhenti dan semua murid sudah harus ada di masjid dengan pakaian rapi dan bersarung.( hal. 64)
Petugas penegak disiplin diceritakan dalam bangunan kata yang provokatif
dan empati. Digambarkan dalam kutipan berikut “dibutuhkan bantuan pasukan
jasus bahasa untuk beredar di setiap sudut PM, “mengupingi” setiap percakapan
yang tidak sesuai aturan.” Menguping berarti diam-diam mendengar tanpa di
ketahui. Pasukan keamanan bahasa ini benar-benar terselubung diantara para
santri, bahkan mereka sulit untuk menyadarinya. Terkecuali mereka haru selalu
berusaha tertib berbahasa, selain bahasa terlambat shalat jiga menjadi sasaran
empuk bagi bagian keamanan;
Dan yang kedua adalah jasus bahasa. Gunanya memastikan tidak ada satu pun dari 3000 orang murid mengeluarkan kata-kata dari mulutnya selain bahasa Arab dan Inggris. Bahasa Indonesia dan daerah haram hukumnya. Karena itu dibutuhkan bantuan pasukan jasus bahasa untuk beredar di setiap sudut PM, “mengupingi” setiap percakapan yang tidak sesuai aturan.( hal.77) ........................................................................................................................
Bagi yang menolak ikut ke dalam suasana belajar yang spatan ini, mereka akan melawan arus deras. Bagi yang tidak berusaha dan seenaknya masih berbahasa Indonesia setelah beberapa bulan, maka artinya mereka telah melamar jadi jasus bahasa. Konsep jasus yang bergentayangan dimana-mana sangat efektif untuk menjaga kesadaran setiap orang untuk selalu berbahasa resmi.( hal.134)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
........................................................................................................................
Dul menyerahkan memo panggilan kepadaku. Semua panggilan ke KP selalu menggoyang jantung. Lebih sering dari pada tidak, urusannya adalah masalah disiplin dan hukuman. Akhirnya lebih sering adalah vonis bersalah, hukuman botak, bahkan pemulangan tidak hormat. Dengan agak gugup aku mencoba mengingant-ngingat apa kesalahan fatal yang aku lakukan dalam beberapa hari ini. Terlambat shalat pernah, tapi hanya beberpa menit, berbahasa Indonesia sudah lama tidak, tidak ghosab, tidak juga keluar tanpa izin. Sejauh ingatanku, aku telah menjadi orang yang baik. Aku benar-benar tidak tahu apa kesalahanku.( hal.314) (Kutipan XXIII)
Dalam menegakkan disiplin sebagai banggunan kata untuk
menggambarkan ketegasan dari hukuman yang harus ditaati, disebutkan kata
gunting menjadi hukuman pelanggaran berat sebelum di keluarkan dari asrama.
Yaitu pemotongan rambut, yang tidak mempunyai gaya dengan pembotakkan;
Dan, tiba-tiba benda sedingin es segera menyentuh kudukku, membuat aku merinding di kuduk dan tangan. Dan crik..crik..crik.... dengan lapar sebuah gunting memangkas rambutku. Mulai dari kuduk, naik terus keubun-ubun dan setelah itu bergerak ke kiri dan kekanan tidak beraturan. Potongan rambutku yang lurus0lurus berguguran menjatuhi lantai, bercampur dengan potongan rambut keriting Satid yang berdiri di sebelahku. Dalam beberapa menit kami telah menjelma bagai urid shaolin yang punya kepala berbinar-binar.( hal.353-354)
Hal-hal kecil dan suka disepelekan saja juga harus disiplin, yang termasuk
dalam istilah-istilah pelanggaran disiplin yaitu Papan nama, menjaga dan
merapikan kamar masing-masing, dan disiplin pakaian, dimana kesemuanya di
munculkan Fuadi dalam kutipan berikut ini;
Mungkin di balik begitu pentingnya kedudukan papan nama ini untuk memastikan ribuan orang yang ada di PM saling tahu nama masing-masing. Sedangkan keuntungan buat jasus, supaya tidak perlu bertanya nama korbannya. Tinggal lirik sekejab dan catat di karcis jasus. Tidak heran, baju kami di dada kiri pasti berlubang-lubang kehitaman.( hal. 86) ........................................................................................................................
“Mulai besok, silahkan membeli kasur lipat kecil dan lemari kecil untuk menyimpan barang kalian. Kasur lipat harus ditumpuk jadi satu di sudut kamar setiap bangun pagi, dan baru boleh diambil ketika jam tidur datang. Bagian tengah kamar harus tetap kosong untuk kita gunakan tempat shalat berjamah setiap kamar” kata Kak Is (hal. 56) ........................................................................................................................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Menurut aturan, kami punya 4 seragam, sarung dan kopiah untuk waktu shalat, baju pramuka untuk hari pramuka, baju olahraga untuk lari pagi hari dan acara bebas, serta kemeja dan celana panjang rapi untuk sekolah. Kami sudah membelinya semua.( hal. 61) (Kutipan XIV)
Terlihat dalam kutipan bahwa Fuadi mencoba menggambarkan dengan
hal-hal kecil yang disebut dengan istilah-istilah yang dianggap tidak ada
hubungannya dengan pelajaran kurikulum, tetapi berupa kebiasaan-kebiasaan
sehari-hari. Disini di jelaskan bahwa kedisiplinan menjadi hal yang mendasar dari
pendidikan di pondok pesanten
4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi
a. Medan Wacana (field of discourse)
Di pesantern Gontor untuk menumbuhkan semangat sebagai dorongan
atau wujud dari motivasi, terlihat dari cara pemberian nama bangunan gedung
yang digunakan, nama Al-Barq yang dalam bahasa Indonesia berarti “petir”
memberikan sugesti tersendiri untuk menumbuhkan semangat baru yang meledak-
ledak dengan penuh semangat optimisme ;
“Gedung ini salah satu asrama murid dan dikenal baik oleh semua alumni, karena setiap anak tahun pertama akan tinggal diasrama yang bernama Al-Barq, yang berarti petir. Kami ingin anak baru bisa menggelegar sekuat petir dan bersinar seterang petir,” terang pemandu kami. Mata Raja yang berdiri disebelah ku berbinar-binar.( hal.32) Waktu, kejadian dan peristiwa ingin diungkapkan penulis bahwa faktor-
faktor tersebut memberikan peranan penting saat motivasi diberikan, dengan
tujuan dapat dimengerti dengan benar dan memberikan efek seperti yang di
harapkan. Kapan waktu memberi motivasi, di munculkan dalam kutipan berikut
ini;
Setiap awal musim ujian, dia kembali tampil di podium aula dengan gaya motivator yang membakar semangat kami. Kali ini tanpa sorban dia memakai kemeja putih, berdasi, bercelana hitam, sepatu mengkilat dan memakai kopiah hitam. Penampilannya pas sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
sebagai seorang administrator pendidikan yang terpandang. Matanya mendelik-delik lincah, mengingatkan aku pada salah satu cita-cita profesiku dulu, menjadi Habibie. Setelah mendengar dia bicara, rasanya apa saja bisa kami terjang dan pelajari.( hal.165)
Tapi tidak ada pilihan lain, selain berjalan ke podium. Suasana hening sehingga aku bisa mendengarkan pletak-pletok sepatuku melantun-lantun di lantai. Kiai, Duta Besar, dan hadirin memanjangkan leher, mencoba menangkap wajahku. Ini semua menambah kegugupan. Pundakku rasanya seperti menumpu gajah. Tapi segera ku genggam lagi kepercayaan diriku. Jangan pernag takut kepada siapa pun dan dalam situasi apa pun. Takut mu hanya pada Tuhan. Hatiku bertakbir, Allahu Akbar suara Takbir di dalam dadaku membuatku berani. Aku telah berusaha keras dan aku berhak untuk berhasil. Langkah aku percepat ke podium (hal.318) Lain lagi dengan pesan menyebarkan ilmu dan mempraktekannya,
pesantren melalui Kyai Rais sebagai pimpinan podok pesantren berpesan, tidak
memandang waktu saat masa liburan pun menjadi waktu dalam melaksanakan
amanah. Yang dimaksud ilmu itu bisa dibagikan kapan dan dimana saja. ;
“Silakan gunakan liburan untuk berjalan, melihat alam dan masyarakat di sekitar kalian. Dimana pun dan kapanpun, kalian adalah murid PM. Sampaikanlah kebaikan dan nasehat walau satu ayat”, begitu pesan Kiai Rais di acara melepas libur minggu lalu. Kesempatan kami untuk mempraktekan apa yang telah kami pelajari di luar PM, menjalankan amanah Kiai Rais dan melaksanakan ajaran nabi Muhammad, Ballighul anni walau aaysh. Sampaikanlah sesuatu dari ku walaupun hanya sepotong ayat.( hal. 219) Penggambaran suasana diceritakan Fuadi dalam kutipan “Jiwa keiklasan di
pertontonkan setiap hari di podok pesantren, suasana mendukung terciptanya
pembelajaran yang baik. Dimana lingkungan pondok dari hal sekecil apapun itu
dinilai sebagai proses pembelajaran yang diharapkan para santri mampu
memaknainya sebagai pembelajaran dari keteladanan;
b. Pelibat Wacana (tenor of discourse)
Dalam praktek pengajarannya, hampir semua penguni pesantren dituntut
untuk memberikan contoh keteladanan yang membangun bagi setiap santri-
santrinya. Pelibat disini dapat diwacanakan menjadi beberapa pihak antara lain
para pengajar; Ustad dan Kiai, tidak luput pula peran diri sendiri adalah yang amat
besar. Dapat dilihat dalam kutipan berikut bagaimana peranan masing-masing;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
1. Ustad
Peran dari pengajar dapat dilihat dalam kutipan berikut, dimana
penggambaran yang dilakukakan lebih ilustratif;
“Resep lainnya adalah tidak pernah mengijinkan diri kalian dipengaruhi oleh unsur diluar diri kalian. Oleh siapapun, apa pun, dan suasana bagaimana pun. Artinya, jangan mau bersedih, marah, kecewa dan takut karena ada faktor luar. Kalianlah yang berkuasa terhadap diri kalian sendiri, jangan serahkan kekuasaan kepada orang lain. Orang boleh menodong senapan, tapi kalian punya pilihan, untuk takut atau tetap tegar. Kalian punya pilihan diri kalian paling dalam, dan itu tidak ada hubungannya dengan pengaruh luar,” katanya lebih bersemangat lagi. (hal.107) ................................................................................................................................................ “Jadi pilihlah suasana hati kalian, dalam situasi paling kacau sekalipun, kerena kalianlah master dan penguasa hati kalian. Dan hati yang selalu bisa dikuasai pemiliknya, adalah hati orang sukses,” tandasnya dengan mata berkilat-kilat(hal.108) (Kutipan XXVI) Keteladanan yang di munculkan Fuadi yang lain nampak dari Nasehat
jangan mudah terbawa dengan suasana dan lingkungan, lingkungan dalam hal
spikologis dapat memberi pengaruh yang besar, namun disini penulis bermaksud
mengatakan bahwa di Pesantren para santri di tuntun untuk percaya diri dan
berprinsip kuat dan jangan terbawa arus.;
2. Kiai
Peran dari Kiai yang sebagai orang yang dijunjung tinggi di dalam
pesantren juga memegang peranan sangat penting, diantarannya dalam kutipan
berikut;
“ Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di depan. Karena yang kita tuju bukan sekarang, tapi ada yang lebih besar dan prinsipil, yaitu menjadi manusia yang telah menemukan misinya dalam hidup.” Pidatonya dengan semangat berapi-api.( hal.106) ................................................................................................................................................ Suara Kiai Rais yang yang penuh semangat tergiang-ngiang di telingaku:”Pasang niat kuat, berusaha keras dan berdo’a khusyuk, lambat laun, apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Ini sunnatullah-hukum Tuhan. (hal.136) ...............................................................................................................................................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
“ Felicitation, kalian telah memperlihatkan apa yang disebut i’malu fauqa ma’amilu.
Berbuat lebih dari apa yang diperbuat orang lain. Semoga kalian sukses,” kata beliau setelah melihat spanduk kami. Hati kami meloncat-loncat bangga. Ustad Salman menggenggam tangan Kiai Rais.( hal. 267)(Kutipan XXVII) Kiai mencoba menggambarkannya dengan kutipan“ Man shabara zhafira.
Siapa yang bersabar akan beruntung”. Sebuah keteladanan yang wajib dipahami
oleh para santri selain kutipan yang membangun lainnya.
3. Diri sendiri
Motivasi terbesar untuk sebuah kesuksesan selain dari peran pendidik
yang utama dan lingkungan yang mendukung faktor pendukung lain adalah dari
diri sendiri, yang didalam novel di gambarkan sebagai berikut;
”Maksudku, kalau kita berusaha sedikiiiiiiiiiiit saja lebih baik dari orang kebanyakan, maka kita jadi juara. Ingat, filosofinya: sedikit saja lebih dari orang lain. Itu artinya perbedaan sepersekian detik, satu ruas jari tadi. Kita bisa dan kita mampu jadi juara kalau mau!” kata Said menggebu-gebu. Dia sekarang bahkan sudah berdiri sambil mengayun-ayun tangannya. Kepalanya yang belum kembali berambut sampai berkerigat. (hal.384)
...............................................................................................................................................
Pikiranku tidak menentu. Sedih berpisah dengan kawan, guru dan sekolahku. Tapi aku senang dan bangga menjadi alumni pondok ini. Seuah rumah yang sesak dengan semangat pendidikan dan keiklasan yang dibagikan para Kiai dan guru kami. Dalam hati, aku berkali-kali mengucapkan berterima kasih kepada Amak yang telah mengirim dan memaksaku ke PM. Aku akan sampaikan terima kasih ini langsung kepada Amak nanti. Aku yakin Amak akan tersenyum bahagia.( hal. 399) (Kutipan XXVIII)
c. Sarana Wacana (mode of discourse)
Bahasa yang digunakan Fuadi dalam keteladananan sebagai bentuk
motivasi diwacanakan bisa bermacam-macam. Motivasi yang membangun sangat
dibutuhkan, di dalam pesantren jiwa dan raga benar-benar dibimbing dan di arah
kan dengan baik. Bahasa penyampaiannya bisa dengan kata mutiara dari pengajar
dan teman, buku pedoman, bisa juga memenuhi kepuasan jiwa. Untuk mencapai
ketenangan yang sebenarnya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
Yang diantaranya berupa kata-kata mutiara, yang di gambarkan dalam
kutipan berikut;
Man jadda wajadda: sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan nafas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami, tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau kalah kencang.( hal.40) Inilah energi yang terus memutar mesin sekolah kami, aura tebal yang menyelimuti segala penjuru, dan ruh yang menguasai kami semua. Apa pun kegiatan, baik senang maupun tidak. Selalu dilipur dan dihibur dengan potongan kalimat: “ iklas kan ya akhi....” dan begitu potongan itu disebut, rasanya hati menjadi plong dan badan menjadi segar, seperti habis menengak STMJ. Sebuah prinsip yang sakti dan manjur. ( hal. 295) (Kutipan XXIX) Selain itu juga diceritakan dengan kutipannya, dengan gaya penceritaan
khas pondok pesantren dalam kutipan peran buku-buku sebagai pedoman, dengan
istilah dalam kutipan bahasa inggris “going the extra miles “ atau penyebutan
tokoh Malcom X, The Nasional of Islam. Menumbuhkan makna santri diharapkan
dapat belajar dari orang besar. Dalam kutipan berikut ini;
Menurut buku yang saya baca. Ada dua hal yang paling penting dalam mempersiapkan diri untuk sukses, yaitu going the extra miles. Tidak menyerah dengan rata-rata. Kalau orang belajar 1 jam, dia akan belajar 5 jam, kalau orang berlari 2 kilo, dia akan berlari 3 kilo. Kalau orang menyerah di detik ke 10, dia tidak akan menyerah sampai detik 20. selalu berusaha menigkatkan diri lebih dari orang biasa. Karena itu mari kita budayakan going the extra miles, lebihkan usaha, waktu, upaya, tekad dan sebagainya dari orang lain. Maka kalian akan sukses,” katanya sambil menjentikkan jari.( hal.107) “Dengan membaca, sayabaca buku kiah hidup. Malcom X, tokoh The Nation of Islam
yang kemudian menjadi muslim sejati. Dia waktu itu masuk penjara. Dalam penjara dia banyak merenung dan ingin menulis. Tapi begitu akan menuliskan pemikirannya, isinya sangat dangkal. Dia frustasi karena dia tak punya kemampuan untuk menggambarkan apa yang ada di kepalanya. Akhirnya dia bertekad untuk membaca kamus, halaman demi halaman. Hasilnya, tulisannya kuat, dalam dan memuaskan.”( hal. 265) (Kutipan XXX) Di jelaskan juga sebagai bentuk wawasan pandangan bahwa Ilmu, menjadi
penuntun surga. Dengan penceritaan mendapat kehormatan sebagai mujahid
pejuang Allah, di ganjar dengan gelar syahid dan Uthlub ilmu minal mahdi ila
lahdi. Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat. Menumbuhkan makna
tentang orientasi dan makna apa yang ingin dan akan dicapai ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
“Anak-anak ku, ilmu bagai nur, sinar. Dan sinar tidak bisa datang, menyentuh dan menerangi kalbu kalian semua,” Kiai Rais memulai wejangannya dengan lemah lembut. Beliau menegaskan kautamanan menuntut ilmu, bahkan sampai disebutkan siapa yang menuntut ilmu dengan iklas, dia mendapat kehormatan sebagai mujahid, pejuang Allah. Bahkan kalau mati dalam proses mencari ilmu, dia akan diganjar dengan gelar syahid, dan berhak mendapat derajad premium di akhirat nanti. Tidak main-main, Rasulullah sendiri yang mengatakan agar kita menuntun ilmu dari orok samapi menjelang jatah umur kita expired. Uthlub ilmu minal mahdi ila lahdi. Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat.( hal.190) Dan wawasan yang lain bahwa menuntut ilmu sebagai pengabdian, dalam
kutipan berikut ini;
“ Maaf Tad, boleh diperjelas lagi, mewakafkan diri?” “ Iya, sederhananya, kalau kita mewakafkan tanah kesekolah, maka tanah itu berpindah ke tangan sekolah itu selamanya, untuk kepentingan sekolah dan umat. Dan saya, karena tidak punya tanah, yang saya wakafkan adalah diri saya sendiri saja.” “ Artinya?” “Semuanya, Semua waktu, pikiran, dan tenaga saya, saya serahkan hanya untk PM. Tidak ada kepentingan pribadi, tidak ad harapan untuk mendapat imbalan dunia, tidak di gaji, tidak rumah, tidak segala-galanya. Semuanya ikhlas hnaya ibadah dan pengabdian pad Allah...Bukankah di Al-Quran di sebutkan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi?”( hal.253) (Kutipan XXXI) Banyak hal keteladanan yang dibangun untuk mengembangkan motivasi,
karena pendidikan yang sesungguhnya adalah membangun jiwa dan pikiran secara
utuh. Hal tersebutlah yang coba digambarkan Ahmad Fuadi dalam novelnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
IDEOLOGI DALAM KATA DAN KALIMAT:
MODEL ROGER FOWLER DKK.
Bab ini lebih membahas bagaimana bangunan kata dan kalimat yang
disusun oleh Ahmad Fuadi dalam novelnya Negeri 5 Menara merefleksikan
ideologinya. Analisis yang dipakai, mendasarkan pada model yang ditawarkan
oleh Roger Fowler dkk. Pendekatan yang mereka lakukan dikenal sebagai Critical
Linguistics, yang memandang bahasa sebagai praktek sosial melalui mana suatu
kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologi. Apa yang dilakukan Roger
Fowler dkk. adalah meletakkan tata bahasa dan praktek pemakaiannya tersebut
untuk mengetahui praktek ideologi.
Pada satu titik ideologi didefinisikan sebagai “tubuh ide yang sistematis,
diatur dari titik pandang tertentu”; di manapun ideologi dikatakan sebagai
“sekumpulan ide-ide yang di dalamnya termasuk penataan pengalaman, membuat
pemahaman tentang dunia.162 Konsepsi ideologi ini didefinisikan pada penekanan
para pengarang tentang proses klasifikasi (uraian di bawah ini). Konsepsi ini
memang terlalu longgar dan bias makna sebab kelompok mana yang dianggap
relevan, mewakili penafsiran bahasa tertentu. Dikarenakan setiap kelompok
berbeda-beda dalam pemakaian kata-kata dengan yang lainnya berdasar ideologi
masing-masing kelompok.
162 John B. Thompson, Studies in Theory of the Ideology, Berkeley: University of California Press, 1984, terj. Haqqul Yaqin, Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, (Yogyakarta: IRCisod, 2003: 196)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
A. Kosakata163
Roger Fowler dkk. memandang bahasa sebagai sistem klasifikasi. Bahasa
mendeskripsikan bagaimana realitas dunia dilihat, memberi kemungkinan
seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman realitas sosial. Klasifikasi
ini berbeda-beda antara orang atau kelompok satu dengan lainnya, sebab mengacu
pada pengalaman budaya, sosial, dan politik yang berbeda pula. Pengalaman dan
politik yang berbeda dapat dilihat dalam bahasa yang dipakai yang
menggambarkan bagaimana pertarungan sosial terjadi. Di sini, peristiwa yang
sama dibahasakan dengan bahasa yang berbeda. Kata-kata yang berbeda itu
semata-mata tidak saja masalah sintaksis tapi praktek ideologi tertentu. Pembaca
juga akan menerima dengan pandangan yang berbeda pula terhadap penggunaan
bahasa yang berbeda-beda.
Kosakata menurut Eriyanto yaitu; mampu (a) mengklasifikasi realitas
tertentu dalam kategorisasi dan akhirnya dibedakan dengan realitas yang lain.
Klasifikasi ini terjadi karena kompleksitas realitas, sehingga orang, menyusun
dalam tingkat yang lebih sederhana dari realitas itu. Klasifikasi menyediakan
untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Selain itu, kosakata mampu (b)
memberi batasan pandangan. Seperti dikatakan Roger Fowler, bahasa pada
dasarnya bersifat membatasi – kita diajak berpikir untuk memahami seperti itu,
bukan yang lain.
Dikarenakan pembaca/khalayak tidak mengalami atau mengikuti suatu
peristiwa secara langsung maka ketika membaca kosakata tertentu akan
163 Eriyanto (b), Op.cit., hal.134-152
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
dihubungkan dengan realitas tertentu. Ambil contoh: kata “qanun” yang dalam
bahasa indonesia berarti “aturan” disandingkan dengan “disiplin, “tegas”, atau
“kepatuhan”, kata-kata tersebut akan menimbulkan pemaknaan tertentu ketika
berada ditangan pembaca/khalayak. “qanun” lebih disugestikan taat, tanpa
melihat alasan tertentu, tegas, serta lebih menonjolkan karakter dan metode
pendidikan di pondok pesantren dan keterlibatan santrinya. Berbeda bila
dibandingkan dengan “tata tertib”, yang tidak ada ketegasan dan keharusan,
pondok pesantren dengan santri, yang terjadi adalah gambaran tentang selembar
aturan yang di baca untuk diketahui tanpa kesadaran untuk paham dan
menghindari untuk melanggarnya.
Kosakata pun menjadi ranah dalam (c) pertarungan wacana. Setiap pihak
mempunyai versi tersendiri atas suatu masalah. Klaim atas kebenaran, dasar
pembenar dan penjelas mengenai suatu masalah, berusaha agar versi
kelompoknya dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam mempengaruhi
opini publik.
Kosakata pun bisa menjadi (d) alat marjinalisasi. Kata, tulis Roger Fowler
dkk., adalah pilihan linguistik tertentu – kata, kalimat, proposisi – membawa nilai
ideologis tertentu. Kata dipandang bukan suatu yang netral, tapi ada implikasi
ideologis tertentu. Pemakaian kata, kalimat, proposisi, bentuk kalimat, gaya, tidak
semata-mata persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tapi ekspresi suatu
ideologi: upaya pembentukan opini publik, meneguhkan, dan membenarkan pihak
sendiri dan mengucilkan pihak lain. Teks memproduksi “posisi pembacaan” untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
khalayak, menyediakan perspektif bagaimana suatu teks harus dilibatkan juga
hubungan transaksional dengan pembaca.
Titik perhatian dari Roger Fowler dkk. adalah pada representasi,
bagaimana kelompok, seseorang, kegiatan, atau peristiwa tertentu ditampilkan
dalam wacana publik. Proses representasi ini selalu melalui medium (bahasa).
Bukan bias atau distrosi dari pemakaian bahasa yang menjadi fokus utama, tapi
bagaimana pemakaian bahasa tertentu tidak objektif dan membawa nilai ideologis
tertentu. Karena itu model Fowler dkk., dipusatkan pada salah representasi
(misrepresentation) dan diskriminasi seseorang/kelompok dalam wacana publik.
Di sini, bagaimana pemakaian bahasa tertentu dapat secara sengaja atau tidak
memarjinalkan dan mendiskriminasikan seseorang/kelompok dari pembicaraan
publik.164
Selanjutnya, dengan pemahaman di atas di bawah ini akan dipaparkan
bagaimana kerangka analisis Roger Fowler dkk., digunakan dalam membedah
kata-kata dan kalimat-kalimat yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara
karangan Ahmad Fuadi. Dengan kerangka analisis yang ditawarkan penelitian ini
mencoba melihat nilai-nilai ideologis yang terkandung dalam pembentukan kata-
kata dan kalimat-kalimat.
164 Eriyanto (b), Ibid., hal. 165-164
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Bagan 5 Kerangka Analisis
Model Roger Fowler dkk.
TINGKAT
YANG INGIN DILIHAT
Kata
· Pilihan kosakata yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa · Pilihan kosakata yang dipakai untuk menggambarkan aktor (agen)
yang terlibat dalam peristiwa
Kalimat
Bagaimana peristiwa digambarkan lewat rangkaian kata atau kalimat
B. Hasil Analisis Model Roger Fowler dkk.
Dalam kerja analisisnya, di sini lebih difokuskan pada penggunaan kata
dan kalimat secara detail. Di mana, kata dan kalimat yang dipakai mencerminkan
ideologi dari pengarangnya.
Wacana yang dominan dari novel Negeri 5 Menara ini adalah gambaran
Pendidikan di Pondok pesantren Gontor yang identik dengan kedisiplinan,
orientasi pendidikan dan metode pembelajaran. Dengan metode pengajaran yang
di terapkan di pesantren terbukti telah mencetak lulusan yang membawa nama
harum pondok pesantren. Dengan disiplin yang ketat namun tetap dapat
menciptakan suasana kebersamaan yang tinggi antara satu sama lain. Metode
pengajaran yang mendidik para santrinya untuk mampu mandiri, dapat menjadi
tauladan dan islami menjadi tujuan dari pondok pesantren dan menjadi nafas di
setiap sudut lingkungan Gontor.
Di awal-awal novel ini pembaca diajak untuk menikmati suasana di
Washington DC yang merupakan ibu kota Amerika Serikat, Ahmad Fuadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
mencoba menggambarkan keadaannya sekarang lalu melihat ke masa lalu awal
dari pertentangan memilih sekolah yang diinginkannya dengan keinginan mulia
kedua orang tuanya yang mengingginkan mendidik Alif (Ahmad Fuadi) menjadi
tokoh agama. Ahmad Fuadi memulai ceritanya dengan penggambaran bagaimana
bangunan di Pondok pesantren, gedung-gedung sekolah yang luas dan megah dan
mendukung sarana kegiatan pendidikan, segala kegiatan ekstra seperti; kompetisi
olah raga, pagelaran teater, musik, melukis, grafis, fotografi. Setiap santri di
berikan kesempatan mengembangkan kemampuannya. Disebut dalam sebuah
hadits dalam novel tersebut Innallaha jamiil wahuwa yuhibbul jamal;
sesungguhnya Tuhan itu indah dan mencintai keindahan.
Wacana Pendidikan di Pondok Pesantren Gontor dalam novel,
dikategorisasikan dalam beberapa wacana, yaitu
1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor
Praktek kurikulum pendidikan di sini dimaknai sebagai praktek
pengaturan, rencana, isi ataupun bahan pengajaran. Gambaran yang diberikan
dalam novel ini lebih pada bahan pengajarannya, yaitu bagaimana pesantren
mengatur rencana pendidikan dan bahan pengajaran untuk para santrinya.
Kurikulum digambarkan pada posisi tegas, jelas, mengatur, dan berorientasi.
Dapat dilihat kata-kata yang digunakan dalam kutipan berikut:
Selain kelas dari pagi sampai siang 6 hari seminggu, kami juga megikuti tambahan kelas sore untuk mendalami mata pelajaran pokok, khususnya untuk bahasa Arab dan Inggris. Belum lagi sesi belajar malam yang diadakan di kelas oleh Ustad Salman. Sementara kamis sore tidak ada pelajaran, tetapi diisi dengan latihan Pramuka. Tapi dari semua hari, hari yang paling mulia bagi kami adalah hari Jumat. (hal.118)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Menurutku, bila ingin mendapatkan pelatihan hebat untuk menjadi orator tangguh dan singa podium, maka PM adalah tempat yang tepat. Bagaimana tidak, tiga kali seminggu, selama 2 jam kami diwajibkan mengikuti muhadharah, atau latihan berpidato berisi sekitar 40 anak-anak dari kelas lain. Setiap orang dapat giliran untuk berbicara 5 menit di depan umum. Tidak hanya harus berpidato tanpa teks, bahkan tingkat kesulitannya ditingkatkan dengan kewajiaban harus berpidato dalam 3 bahasa. Indonesia, Iggris dan Arab.(hal.149)
“ Pondok Madani sistem pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusia mandiri yang tangguh. Kiai kami bilang, agar menjadi rahmat bagi dunia dengan bekal ilmu umum dan ilmu negara.... “ (hal.31”) Dalam kutipan di atas, keadaannya digambarkan dengan menggunakan
kosakata-kosakata seperti “tambahan kelas”, “pelajaran pokok”, “bahasa Arab
dan Inggris”, “belajar malam”, “latihan Pramuka”, “berpidato”, “dalam 3
bahasa”, dan “ilmu umum dan ilmu negara”. Sedangkan kosakata yang
digunakan untuk menggambarkan aktor (agen) yang terlibat adalah “orator
tangguh”, “singa podium”, “mandiri”. Dalam rangkaian kalimat; Menurutku, bila
ingin mendapatkan pelatihan hebat untuk menjadi orator tangguh dan singa
podium, maka PM adalah tempat yang tepat.
Kosakata-kosakata yang digunakan di atas, jika dilihat secara seksama
akan mengandung kesan yang lain, misalnya “tambahan kelas”, di sini santri
“orator tangguh”, dianggap harus bekerja keras dan sungguh-sungguh. Apalagi
dengan menyebut santrinya dengan “singa podium” yang lebih mengesankan akan
kebanggaan dari keberhasilan bagai seorang pengguasa yang mampu
menaklukkan podium disini artinya panggung, apalagi dengan penggalan kalimat
“dalam 3 bahasa”, yang dalam kalimat selanjutnya malah diperlihatkan dengan
jelas, kesan seperti keseriusan dan kegigihan itu; tiga kali seminggu, selama 2 jam
kami diwajibkan mengikuti muhadharah, atau latihan berpidato berisi sekitar 40
anak-anak dari kelas lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Kemudian “mandiri” itu digambarkan dengan penuh tanggung jawab
menjadikan para santrinya menjadi seorang yang mampu mandiri dengan
menggunakan kata-kata dalam kalimat; Pondok Madani sistem pendidikan 24
jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusia mandiri yang tangguh.
Melihat kutipan teks di atas, Fuadi memang hendak menggambarkan
bagaimana para pendidik dan kyai begitu berusaha keras mendidik para santrinya.
Segala kegiatan belajar dan mengajar digambarkan tegas, disiplin, dan serius. Itu
sangat terlihat dalam kata-kata yang dipakai. Akan tetapi, jika menuruti model
Fowler dkk., pada kalimat ini, “Karena aku masuk setelah tamat SLTP, PM
mewajibkan tambahan 1 tahun untuk kelas persiapan, sehingga untuk lulus, aku
perlu 4 tahun. Artinya : Randai kelas 3 SMA. Aku baru kelas 5 di PM. Randai
masuk kuliah, aku masih kelas 6”, Fuadi jelas menunjukkan bahwa sekolah di PM
lebih serius dan perlu kesungguhan di bandingkan dengan sekolah umum karena
memang banyak perbedaannya. Kalimat yang digunakan adalah kalimat aktif,
subjek sebagai pelaku utama dengan kata “aku”. Pembaca diarahkan pada
penggambaran tokoh “aku” (Alif/Fuadi), Pelaku diperjelas dengan pembandingan
dari tokoh teman sebaya yang duduk di sekolah umum.
Dalam penelitian ini tidak secara mentah-mentah menganalisis mana itu
kalimat pasif dan mana yang aktif. Jika dalam analisis berita Roger Fowler dkk.,
mengatakan bahwa dengan bentuk kalimat Aktif pelaku utama (Alif/Fuadi) akan
lebih ditonjolkan dan menjelaskan lebih bagaimana pondok pesantren mempunyai
kurikulum yang berbeda dengan sekolah umum. Hal tersebut dijelaskan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
lebih spesifik dari angka-angka yang tersebut yaitu “1”, “4”.”3”. “5” dan “6”. Hal
yang nyata disebutkan dalam kurikulum sekolah.
Jika hal tersebut diterapkan dalam kajian novel bisa begitu pas, karena
pelaku ataupun pelibatnya di sini memang nyata. Sebagai informasi buat kita
bahwa pesantren Gontor mempunyai kurikulum dengan disiplin tinggi dan materi
yang sangat padat. Fuadi mencoba menggambarkan pengalaman yang
diperolehnya selama di pesantren Gontor, membagi dengan para pembacanya dan
membuka wawasan kita . Dengan begitu dalam penelitian ini arah perspektifnya
dirubah, artinya melihat bagaimana penggunaan kata dan kalimatnya apakah
memihak atau mencoba bersikap netral terhadap Pendidikan di Pesantren Gontor.
Meski yang ditonjolkan adalah tokoh “aku” (Alif/Fuadi), bukan berarti ini hanya
mengeskploitasi tokoh “aku”, justru dianalisis sebaliknya, bahwa jika melihat
Pendidikan di Pesantren tersebut dari sudut pandang pelibat, dapat dikatakan
pendidikan di pesantren Gontor sangat disiplin dan tegas.
Sesuai dengan pendapat di atas, jika diterapkan akan muncul dalam
kutipan di bawah ini, yang menunjukkan Fuadi lebih serius dalam mencerminkan
ideologinya. Penggambaran pada tokoh “aku” justru digunakan Fuadi untuk
membuat emosi pembaca untuk ikut merasakan bagaimana pendidikan di
pesantren Gontor. Artinya teks memproduksi “posisi pembacaan” untuk khalayak,
dalam arti menyediakan perspektif bagaimana suatu teks harus dibaca dan
dipahami, meski pemaknaan suatu teks melibatkan juga hubungan transaksional
dengan pembaca.165, kutipannya sebagai berikut:
165 Eriyanto, ibid., hal. 149
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
“ Kalau PM adalah seorang ibu, maka PM sekarang sedang hamil tua. Mari kita rawat kehamilan bersama sampai melahirkan,” buka Kiai Rais dengan air muka berbinar. Anak-anakku, kalianlah jabang bayi yang sedang dikandung PM. Kalau lulus, kalian lahir dari rahim PM untuk berjuang dan membawa kebaikan untuk masyarakat. Dan proses persalinan yang menentukan adalah imtihan nihai-ujian pamungkas. Ini lah ujian yang paling berat yang anak-anak temui di PM, dan bahkan mungkin sepanjang hidup kalian.” (hal. 378)
Di sini, jelas sekali para pembaca diarahkan untuk menikmati bagaimana
para santri di pondok pesantren Gontor, diangap sebagai satu keluarga dari satu
kandungan yang diibaratkan sebagai seorang ibu yang sedang hamil tua; “Kalau
PM adalah seorang ibu, maka PM sekarang sedang hamil tua”, dan pelibat diikut
sertakan untuk turut menjaga bersama-sama, “Mari kita rawat kehamilan bersama
sampai melahirkan,” buka Kiai Rais dengan air muka berbinar. Diselipkan kata
“anak-anakku” menunjukkan sesuatu keikutsertaan dalam satu keluarga besar,
seperti seorang ayah merangkul anak-anaknya, makin mempertegas kekeluargaan
dalam konteks tersebut, dimana penggunaan kata-kata aktif tersebut ditujukan
kepada orang kedua secara langsung, begitu Fuadi hendak mengatakan kepada
pembacanya.
Dalam teks-teks lainnya ada yang lebih tajam dan eksplisit, bagaimana
para santri diceritakan dengan berbagai kegiatan dalam praktek kurikulum
pendidikan. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang dipilih Fuadi, untuk menjelaskan
keadaan seorang santri dalam mempraktekkan kurikulum yang sudah menjadi
ketentuan. Dalam rangkaian kalimat, praktek kurikulum itu digambarkan sebagai
berikut:
“Walau asrama penting, tapi kamar disini lebih berfungsi untuk tempat tidur dan istirahat, kebanyakan kegiatan belajar diadakan dikelas,lapangan, masjid, dan tempat lainnya, seperti yang akan kita lihat nanti,…” (hal.31)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
“Ayyuhal ikhwan”. Saudara-saudara semua. Selamat datang dalam pertandingan penting ini. Saya akan perkenalkan para pemain dari kedua tim, yaitu....” Dia menyampaikan semua komentar dalam bahasa Arab, karena minggu ini minggu wajib berbahasa Arab. (hal 167)
Dapat dilihat dalam kata-kata atau kalimat-kalimat yang diberi cetak
miring, menunjukkan bagaimana pelajaran dan materi pendidikan dapat diajarkan
kapan pun dan dimana saja, kata-kata yang digunakan sangat dekat dan familiar
dilingkungan pembaca. Cara bercerita Fuadi dengan sudut pandang pada diri
tokohnya, semakin memberikan situasi yang benar-benar nyata dan terjadi di
dalam pengalaman hidupnya. Suasanya dalam praktek kurikulum digambarkan
seakan semua sarana sekecil apapun bisa menjadi sarana pendukung kegiatan
belar-mengajar.
2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran
Muncul wacana yang menjelaskan cara yang di gunakan pesantren untuk
melaksanakan kurikulum yang sudah ditentukan dan menjadi kesepakan bersama
dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis dengan cara yang sistematis. Hal
tersebutlah yang disebut dengan metode pendidikan dalam praktek pengajaran di
pesantren Gontor. Di sini dikatakan dengan kata-kata seperti “dibombardir”,
“selesai shalat subuh”, “melafalkan”, “tanpa pertolongan” dan lain-lain seperti
muncul dalam kutipan di bawah ini. Bagaimana tokoh “Aku” sebagai santri harus
mampu menghafal bahasa Arab dan bahasa Inggris tanpa perantara bahasa
Indonesia. Dimana di setiap subuh selalu dilatih dan diajar untuk mampu melafal
dan menguasai kedua bahasa tersebut. Kata “dibombardir” adalah kata yang
menunjukkan paksaan yang dilakukan terus menerus. Jelas sekali digambarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
bagaimana para santri pesantren termasuk tokoh “Aku” juga berusaha sekuat
tenaga melewati setiap materi dan hafalan yang diajarkan didalam pesantren yang
menjadi metode pengajarannya.
Untuk membantu menumbuhkan refleks bahasa itu, kami dibombardir dengan kosakata baru. Setiap selesai shalat Subuh, seorang kakak penggerak bahasa masuk kesetiap kamar dan berdiri didepan, tepat di sebelah imam ke setiap kamar dan berdiri didepan, tepat di sebelah imam shalat kami tadi. Di tangannya ada papan tulis kecil. Tapi kami tidak tahu apa yang tertulis di sana, karena dihadapkan ke arah dia. Lalu dia akan meneriakkan sebuah kata baru beberapa kali dengan lantang dan jelas. Kami diminta mengulangi bersama-sama, dan satu persatu, juga dengan lantang. Setelah semua orang merasakan bagaimana melafalkan kata baru ini dengan baik, dia memberikan contoh kata ini di dalam kalimat sempurna. Tanpa pertolongan bahasa Indonesia, dia menerangkan apa arti kata ini. Lalu giliran kami untuk membuat kalimat lain dengan menggunakan kosakata ini......................................................... bayangkan, ini benar-benar proses belajar yang menggunakan semua indera. Meneriakkan kosa kata baru di subuh buta, memaksakan diri untuk memahami dan memasukkan ke kalimat, lalu melihat tulisannya dan terakhir mengikatkannya. Ini kami lakukan setiap hari, 7 kali seminggu. Sebab metode sederhana yang sangat kuat dan mampu melekatkan bahasa baru ke dalam alam bawah sadar untuk tidak lepas lagi selamanya.( hal.132)
Kemudian jika diteliti lagi ada kata “meneriakkan”, “memahami”, dan
“mengikatkannya” yang terkesan sangat memerlukan konsentrasi dan kerja keras,
dimana para santri disamakan dengan sebatang pohon yang mampu “mengikat”
setelah “meneriakkan” dan “memahami” para santri yang tidak boleh sedikitpun
lengah untuk melamun bahkan mengantuk. Fuadi dengan bergaya cerita seperti di
atas dan penggunaan kata serta kalimatnya, memang terkesan hanya ingin
bercerita layaknya tukang foto yang hanya membingkainya saja. Tapi justru di
sini keberpihakan Fuadi terlihat. Fuadi bermaksud mengatakan bahwa sebegitu
kerja keras dan seriusnya belajar di Pesantren Gontor dengan hanya menghafal
dan mampu berbahasa asing harus “dibombardir” setiap “selesai sholat subuh”
dan diajarkan dengan metode “meneriakkan,”memahami”, dan “mengikatnya”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
hingga tak akan bisa lepas selamanya, selama usianya si tokoh “Aku” dan para
santri di Pesantren Gontor ini.
Dengan model gaya cerita semacam itu, dapat juga ditafsirkan bahwa
Fuadi sendiri malah akan memperkuat citra-citra Pondok pesantren. Pondok
Pesantren itu dengan metode pengajaran yang tegas, serius, tetapi bertujuan agar
ilmu-ilmu yang diajarkan mampu mengikat sekamanya. ini terlihat dalam kutipan
di bawah ini, kalimat yang digunakan juga menggambarkan bagaimana pesantren
Gontor menggunakan metode mendidik untuk para santrinya;.
“ Maa haaza?” tanpa ba-bi-bu, di hari pertama Ustad Salman langsung berteriak nyaring di depam kelas. Intonasinya bertanya, tangan kirinya memegang buku, jari kanannya menunjuk ketangan kirinya memegang buku, jari kanannya menunjuk ketangan kiri. Sedangkan kami Cuma terbengong-bengong kaget. “hazaa kitaabun”. Telunjuk kanannya menunjuk buku yang dipegang tangan kiri. Kami celingukan dan diam. Ustad Salman terus mengulang monolog singkatnya beberapa kali dengan terus memamerkan senyum sepuluh sentinya. Lalu dengan gerakan tangannya, dia mengisyaratkan untuk bersama-sama mengulang apa yang disebutkanya tadi dengan keras “Quuluu jamaaatan........maa haaza? Haaza kitaabun.”( hal. 110.) ....................................................................................................................................................................................
. Metode pengajarannya: Ustad Badil membacakan sebait kata mutiara dalam bahasa Arab lalu dia menerangkan maknanya dalam bahasa Arab dan Indonesia. Setelah kami cukup paham, dia akan menuliskan bait ini di papan tulis untuk kami salin. Setelah disalin, dia akan menghapus beberapa bagian tulisan. Sambil terus menyuruh kami membacanya dengan keras. Semakin sering kami membaca, semakin banyak yang dihapusnya, sehingga, lama-lama papan tulis bersih, dan bait itu telah pindah keingatan kami masing-masing. Di pertemuan selanjutnya, secara acak kami dipilih untuk membacakan hapalan minggu lalu. Kalau ternyata belum hapal, apa boleh buat kami harus berdiri didepan kelas sambil memegan buku untuk menghapal. Sungguh memalukan, aku cukup sering tampil berdiri di depan kelas gara-gara hapalanku yang melantur.( hal.116)
................................................................................................................................................
Barangkali akan lebih terlihat lagi dalam kutipan kalimat yang ceritakan
oleh Fuadi, dalam bentuk percakapan di depan kelas tersebut. Dari kutipan
kalimat tersebut disebutkan bahwa pengajar dalam hal ini disebut Ustad langsung
akan meneriakkan kata dalam bahasa Arab langsung dengan intonasinya dan
menunjuk benda yang di bawa di tangannya dan meneriakkannya bersama-sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Hal tersebut menjadi metode untuk mempraktekkan bahasa asing agar para santri
mampu memahami dan mengerti dengan harapan mampu menghafal dengan cepat
pula.
Dalam kutipan berikutnya tersebut sangat jelas menonjolkan pada metode
menghafal, para santri di haruskan mengucapkan bait per bait kata mutiara yang
diharuskan bait kata mutiara tersebut telah pindah dalam ingatan. Dalam
pertemuan berikutnya secara acak akan dipilih santri untuk menghafal hafalan
minggu sebelumnya, dan bagi yang hafalannya “melantur” akan dapat hukuman
berdiri di depan kelas sambil menghafal. Begitu tegasnya aturan dalam metode
pengajaran ini sehingga membuat santrinya merasa wajib bisa dan terkesan harus
mampu menjalani metode yang di buat pesantren dan pendidiknya.
Kutipan lainnya yang menunjukkan kesan bahwa metode pendidikan di
pesantren Gontor itu sangat serius dan membutuhkan kerja keras diperlihatkan
dalam pandangan Fuadi sebagai berikut:
“Cak kau lihat ini bos, judulnya Advancd Learner’s Oxford Dictionary, kamus bahasa Inggris yang hebat. Cocok buat kita yang belajar bahasa Inggris. Kalau inggin seperti Habibie, macam buku inilah yang harus kau baca,” ujarnya serius sambil mangangkat kitap tebal ini pas dimukaku (hal.44) ............................................................................................................................................... “Eh, kalian tahu nggak, inilah buku yang melihat hukum Islam dengan sangat luas. Buku Bidayatul Mujtahid yang ditulis ilmuwan terkenal Ibnu Rusyd atau Averrous, endekiawan berasal dari Spanyol. Isinya adalah fiqh Islam dilihat dari berbagai mazhab, tanpa ada paksaan untuk ikut salah satu mazhab. Saya tahu PM membebaskan kita memilih. Sayang, baru 2 tahun lagi kita boleh mempelajarinya.” Wajah raja tampak kecewa sangat serius.” Nah kalau yang itu aku sudah punya, kemarin aku bawa kekelas. Kau ingat, kan?yang aku angkat dimuka kau itu, dengan logat Medan yang kental. Melihat Oxford Advenced learners Dictionary . padahal menurut daftar buku wajib, kamus ini baru akan kami pakai tahun depan.( hal. 60) ............................................................................................................................................... Tantangan ku, selain hapalan yang banyak, juga bagaimana mengerti dengan baik buku pelajaran yang kenyakan berbahasa Arab dan Inggris. Kami memang tidak diperolehkan membaca buku terjemahan, karena intinya adalah mempelajari sebuah konsep dalam bahasa aslinya. Karena itu, selama di aula, kami wajib didampingi dua benda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Yang pertama kamus al-Munjid karangan Louis Ma’luf dan Bernard Tottel yang terbit di Mesir. Buku ini setebal bantal ensiklopedia dan kamus bahasa Arab yang menguraikan arti kosa kata bahasa Arab dalam kamus bahasa Arab juga. Untuk melengkapi keterangan, kamus ini dilengkapi banyak ilustrasi warna-warni. Karena sangat komprehensif, kamus inilah salah satu referensi utama para penerjemah dari bahasa Arab ke berbagai bahasa dunia. Beberapa kali aku melihat kamus ini benar-benar menjadi bantal teman-teman yang begadang belajar dan tidak kuat menahan kantuk. (hal. 385)
Jika kita perhatikan lagi, dalam kutipan di atas keberpihakkan Fuadi
terhadap pesantren sangat menonjol. Fuadi hendak berpendapat bahwa apa yang
menjadi metode pembelajaran di pesantren Gontor ini adalah bertujuan agar para
santrinya belajar banyak hal dari orang-orang besar dengan ilmu yang besar pula
dimana diharapkan nantinya akan mengikuti jejak menjadi orang besar,
setidaknya berpengetahuan yang cukup dan mampu menularkan ilmu yang
dimiliki kepada semua orang.
3. Disiplin
Wacana ini ditemukan dalam beberapa kutipan gambaran situasi dan
dialog di dalam novel nya Fuadi. Disiplin menjadi modal dasar dalam memulai
untuk belajar di pesantren ini. Dari hal sekecil ini lah proses pembelajaran dimulai
di pesantren ini. Aturan disiplin dalam pesantren ini sangat tegas, tidak melihat
pengecualian sekecil apapun, tidak ada tawar-menawar. Didalam pesantren
hukuman menjadi cara menegakkan disiplin, dalam prakteknya pun sangat tegas.
Tidak ada satupun alasan untuk tidak menerima hukuman walaupun beralasan
sakit. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan berikut:
...........Bagi yang dipanggil ke Mahkamah, tidak ada pilihan lain kecuali hadir, tidak bisa sembunyi, lari, mangkir, atau beralasan sakit.....( hal. 72)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
Disiplin ini juga di tegakkan dimana-mana, bukan hanya di kelas, masjid,
kantor keamanan saja, namun selama masih didalam areal pondok, seluruh
ruangan adalah tempat disiplin, bahkan dalam hal jatah makanan seperti di ruang
dapur berikut, tidak ada alasan apapun yang bisa membela;
“Ma fisy. Tidak ada. Ya nasib hari ini kurang baik,” gumanku berlalu tanpa kupon penting ini. Aku pasrah, tidak ada kupon, tidak ada rendang, sambil menenteng piring dan gelas masing-masing, kami berlari kecil ke dapur umum. Kalau kami terlambat sedikit saja. Antrian bisa mengular sampai ke halaman dapur.( hal. 121) ........................................................................................................................
Cepat.....cepat, kita tidak bisa terlambat!” paksa Atang sambil berjalan seperti berlari menuju dapur umum. Dengan baju putih-putih bersih kami-Sahibul Menara-berbaris tertib. Masing-masing membawa piring dan gelas plastik dan kupon makanan. Di ujung antrian, petugas dapur bersiaga bagai menanti tamu penting, dari balik pembatas seperti loket tiket.( hal. 289)
Fuadi memasukkan hal-hal sekecil dan kelihatan tidak penting didalam
novelnya dimana hal-hal tersebut adalah kebiasaan sehari-hari. Seakan segala
sesuatunya harus sesuai dengan ketepatan yang berlaku tanpa memberi tendensi
apapun hal itu. Dimaknai bahwa Fuadi bermaksud menunjukkna pola kebiasaan
dengan disiplin ketat di dalam lingkungan pesantren Gontor. Pola kebiasaan itu
lebih cenderung memaksa para santrinya mau tidak mau untuk menaatinya sebab
jika tidak, sedikit pelanggaran saja akan ada hukuman yang menanti. Ternyata,
apa yang mungkin Fuadi inggin tunjukkan dari sudut pandangnya mengenai
pesantren Gontor yang diceritakannya dengan tokoh “Aku” atau “Alif” adalah
disiplin yang tinggi tanpa pandang bulu, kepentingan, jabatan dan segala alasan
apapun. Yang dipertegas dala kutipan percakapan berikut ini;
“ Kami minta izin ke Ponorogo, tapi barangnya hanya ada di Surabaya. Untuk kelancaran acara, waktu sudah tidak mungkin kembali ke PM. Jadi kami terus ke Surabaya.....” “ Jawab pertanyaan saya ; siapa yang otosrisasi?” “ inisiatif kami, Tad.” “ Sejak kapan kalian melebihi KP?” “Maaf Tad, suasana mendesak sekali. Kami harus bertindak cepat.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
“ Kalian bisa pulang ke sini minta izin dulu.” “Takut terlambat Tad, waktunya sempit sekali........” Dengan nada dan tatapan dinginnya, Ustad Torik memotong. “Itu bukan alasan. Menunggu sampai pagi pun masih bisa. Kalian sudah tahu aturan adalah aturan. Semua yang ikut ke Surabaya saya tunggu di kantor: SEKARANG JUGA.” (hal. 351)
Kata-kata dan kalimat yang dipakai cenderung bersifat otoritas dan
memojokkan seperti digunakannya kalimat “Jawab pertanyaan saya” sebagai
pertanyaan yang tidak boleh dilawan dengan alasan apapun. Kata “ SEKARANG
JUGA” yang ditulis dengan huruf besar merupakan simbol kemarahan dan
keharusan yang tanpa bisa bantahan apapun. Kutipan di atas, terlihat sekali bahwa
aturan adalah aturan tidak bisa dilanggar.
Apa yang Fuadi tunjukan ini, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa Fuadi sengaja menyisipkan kutipan-kutipan ini sebagai sebuah
penumpukan fakta yang mendukung (card stacking). Ini sejenis penguat jalan
cerita, sehingga pesan atau hakikat dari novel tersebut menjadi semakin kuat. Kata
lain, berita tersebut memiliki kekuatan dalam mengukuhkan sebuah mitos. Mitos
yang dibangun dalam sebuah pesantren yang selalu dengan identik dan kesan
disiplin yang ketat.
4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi
Wacana yang mengusung tema keteladanan, yang berupa motivasi untuk
pantang menyerah dalam kondisi apapun dalam novel Negeri 5 menara dimulai
dengan kutipan;
“ Man jadda wajada”, teriakku pada diri sendiri, sepotong syair Arab yang di ajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Dan sore ini, dalam 3 jam ini, aku bertekad akan bersungguh-sungguh. Bismillah (hal.82)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
Wacana yang mengusung tema semangat pantang menyerah, semuanya
diceritakan dimulai dari saat tokoh “Alif” mulai diserahi tugas dan tanggung
jawab dalam kegiatan di dalam pesantren. Didalam asrama setiap santri
mempunyai banyak kegiatan dan kewajiban yang segera dan harus dikerjakan
terkadang dalam waktu yang hampir bersamaan. Seperti saat tokoh utama Alif
mendapat kesempatan untuk berpidato tetapi waktu nya sangat mendesak,
sementara masih banyak kegiatan yang lainnya. Kata “Empat puluh delapan jam”
menunjukkan waktu yang sudah sangat mendesak dan harus segera dikerjakan.
Yang di ceritakan dalam kutipan berikut ini;
Untuk menjadi speaker ada prosedurnya. Pertama aku harus menulis skrip pidato dengan lengkap di sebuah buku khusus. Empat puluh delapan jam sebelum pidato, naskah sudah harus di setor ke kakak pembimbing dari kelas 5 atau 6. hanya setelah naskahku diperiksa dan ditandatangani maka aku bisa naik mimbar. Inilah repotnya, jadwal dan kewajibanku padat sekali. Ada hapalan mahfuzhat, lalu tugas membuat kalimat lengkap, tugas pramuka, belum lagi baju bersihku telah habis dan harus segera dicuci. Kapan aku punya waktu untuk menulis naskah pidato yang harus melalui riset pustaka? Dalam bahasa inggris lagi.( hal. 150)
Jelas digambarkan bagaimana tokoh “Alif” sangat kepayahan mengerjakan
tugas pidatonya, tetapi dengan semangat kegigihan yang di desak dan di pelajari
dari teman-teman dan lingkungannya membuatnya merasa harus bisa dan pantang
menyerah. Disamping bayak halangan yang mengikutinya yang dgambarka
dengan “baju bersih yang sudah habis” , “lalu riset pustaka” serta “penulisan
dalam bahasa Inggris”. Yang berarti bahwa banyak sekali kewajiban yang harus
dilakukan dalam waktu yang sangat singkat.
Raja dan Baso mengucek-ngucek mata sambil menguap lebar. Mereka segera mengundurkan diri masuk kamar. Said sudah sulit di tolong dari cengkeraman kantuk, tapi dia tidak mau menyerah. Setiap buku yang dipegangnya jatuh ke lantai karena tertidur, dia kembali memungutnya dan melanjutkan membaca. Sementara Atang dan Dulmajid tampak masih cukup kuat melawan kantuk. Aku juga tidak mau kalah. Walau mata berat, aku ingin menjalankan tekad yang sudah aku tulis di buku. Aku akan bekerja keras habis-habisan dulu.( hal. 199) ...............................................................................................................................................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Tapi mereka maju terus. Ya, itu yang mereka lakukan dengan cara yang paling manual. Masing-masing membagi tugas. Raja menuliskan entry Inggris dan Baso untuk Arab. Selama setahun, siang malam mereka mengerjakan pemilihan kata yang benar-benar cocok untuk para pelajar. Aku ingat beberapa kali bangun tengah malam untuk shalat Tahajud. Setiap bangun, aku menyaksikan di tengah kesunyian dan gelapnya malam, Baso dan Raja duduk bersila ditemani sebuah lampu teplok yang apinya melenggak lenggok karena sudah hampir kehabisan minyak. Di depan masing-masing, sebuah buku tulis tebal telah penuh tulisan Arab dan Inggris. Mereka terus menulis dan menulis tidak kenal lelah. Pagi-pagi aku melihat jepol, telunjuk dan jari tengah mereka bengkak-bengkak dan membiru karena dipakai memegang pulpen tiada henti. Tapi hasilnya berbicara. Dua tahun setelah memproklamirkan proyek ambisius ini, akmus mereka dicetak di percetakan PM. Kini “Kamus Praktis Pelajar Arab-Ingris-Indonesia” karya Baso Salahudin dan Raja Lubis ini tersedia di toko buku kami (hal.307) Penulis dalam hal ini Fuadi, mencoba memberi tahu bahwa semangat
belajar bisa dimana saja, tempat bukanlah halangan untuk belajar.” Kami sanggup
membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri kamar mandi,
sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk” menunjukkan
semangat belajar yang tidak lagi memikirkan kenyamanan tempat, mereka
bekejar-kejaran dengan waktu. Kata “Selama 3 hari 3 malam”menunjukan waktu
yang terus menerus dan tidak kenal lelah untuk belajar ;
Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setipa sudut dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambl bersepeda, sambil antri kamar mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar inisemakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang jauh lebih tinggi.( hal. 200) ……………………………………………………………………………… Selama 3 hari 3 malam, ditemani Sahibul Menara dan Raja sebagai konsultan, aku berlatih dan berlatih, di sebelah Sungai Bambu. Aku berteriak tanpa lelah kepada air, bamboo, semak belukar, melatih lidahku supaya fleksibel untuk membawakan pidato ku yang berjudul, “ When East Greets West”. Ketika aku peragakan lagi pidato 5 menitku di sepan Ustad Torik, dia mengangguk-ngangguk setuju. Aku lega tapi juga tegang. Dua hari lagi adalah hari H aku tampil di depan mata ribuan murid, para guru, kiai dan tamu agung dari Inggris itu. Bagaimana kalau di hari H suaraku hilang, atau sakit gigi, atau grogi, atau lupa hapalan pidatoku, atau….tidurku jadi tidak nyenyak.( hal.317) Air wudhu digunakan sebagai sarana yang ampuh untuk membangkitkan
semangat setelah nya diikuti berserah ke pada Nya setelah berusaha semaksimal
mungkin. Kata “membasahi” berarti menggunakan sesuatu agar menjadi “basah”,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
di sebut dalam kutipan berikut,untuk menghilangkan kantuk di gunakan air
wudhu. Namun semangat untuk mengusir kantuk nampak juga dari “ ayo satu
halaman lagi, satu baris lagi, satu kata lagi...” jelas sekali dengan bahasa yang
simple tetapi bermakna membangun terutama untuk diri sendiri dalam tokoh
tersebut;
Aku berdiri mengulet untuk mengusir kantuk. Setelah membasahi muka dan mengambil wudhu, kantukku lumayan reda. Setiap aku merasa harus menyerah dan tidur, aku melecutkan diriku, “ ayo satu halaman lagi, satu baris lagi, satu kata lagi...” Akhirnya dengan perjuangan, aku bisa menamatkan bacaanku. Dengan lega aku angkat buku itu dan benamkan di wajahku sambil berdo’a, “Ya Allah telah aku sempurnakan semua usahaku dan do’aku kepada Mu. Sekarang semuanya aku serahkan kepadamu. Aku tawakal dan iklas. Mudahkanlah ujianku besok. Amin.” Dengan doa itu aku mersa tenang dan tentram. Aku kembali tidur dengan senyum puas. Tidak lama setelah itu aku kembali dibangunkan Kak Is, kali ini untuk shalat Subuh. (hal. 199)
Cara yang Fuadi gunakan dalam bertutur secara sengaja telah memasukkan
naluri alamiah dalam dirinya dalam berpandangan terhadap sistem pendidikan di
pesantren Gontor. Fuadi dengan gaya bercerita seperti itu, dirinya sangat
menghormati dan mengagumi para pengajar di pesantren, hingga kesan yang dia
dapat semasa menimba ilmu di pesantren Gontor membekas di hati nya dan
bermaksud membagi dengan para pembaca. Bahkan Fuadi mengatakannya seperti
ini,
Belajar disini tidak akan bersantai-santai. Jadi, niatkanlah berjalan sampai batas dan erlayar sampai pulau. Usahakan memberi percobaan sampai batas dan berlayar sampai pulau. Usahakan memberi percobaan yang lengkap. Ada yang tahu percobaan yang lengkap?’ tanya Kiai Rais seakan bertanya kepada kami satu-satu.
Kami semua diam dan menggeleng-gelengkan kepala. “ seorang wali murid pernah memberi nasehat kepada anak-anaknya yang sekolah di PM. Anakku, kalau tidak kerasan tinggal di PM selama sebulan, cobalah tiga bulan, dan cobalah satu tahun. Kalau tidak kerasan satu tahun, cobalah tiga atau empat tahun. Kalau sampai enam tahun tidak juga kerasan dan sudah tamat, bolehlah pulang untuk berjuang di masyarakat. Ini namanya percobaan yang lengkap.”( hal. 52)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Dengan wacana keteladanan sebagai bentuk dari motivasi tersebut juga
dapat dimaknai bahwa sebagai santri, pendidikan adalah perjuangan tanpa
mengenal putus asa dan menghargai proses. Keadaan seperti itu dirasakan oleh
Fuadi hingga merubah hidupnya dimana Fuadi di dalam pesantren dituntun untuk
menemukan minat dan bakat dari masing-masing santri. Maka dari itu keteladanan
sebagai bentuk dari motivasi menceritakan bagaimana pendidikan di pesantren
selain dengan tekanan yang tinggi namun juga diimbangi dengan motivasi yang
didengungkan di setiap lingkungan pesantren. Sistem pendidikan yang islami
namun tetap modern di coba diceriakan disini. Fuadi menjadikan hal tersebut
tidak mudah untuk dimengerti. Membuka pandangan bagaiman kehidupan
seorang santri di pesantren Gontor. Dimana masyarakat umum terlanjur menilai
pesantren identik dengan pendidikan yang kejawen dan tertutup. Di sini, Fuadi
bisa dianggap wakil bagi para santri yang menempuh pendidikan di pesantren
Gontor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai
bagaimana Ahmad Fuadi mengkonstruksi wacana Pendidikan Pondok Pesantren
Gontor dalam bangunan sebuah teks novel Negeri 5 Menara. Kata-kata dan
kalimat-kalimat yang digunakan dalam mewacanakan Pendidikan Pondok
Pesantren Gontor, tidak sekedar sebuah narasi fiksi, tapi pergulatan dan
pertarungan historis dari pengarangnya. Ahmad Fuadi dengan segala pengalaman,
pengetahuan, referesensi-referensinya mempunyai sisi-sisi tertentu dalam
memandang Pendidikan di Pondok Pesantren Gontor tersebut dan dengan
pengalamannya yang pernah nyantri di Pesantren tersebut, berpengaruh dalam
bangunan kata dan kalimat yang digunakan Ahmad Fuadi dalam membangun
ideologi pengarang.
Penelitian ini berkesimpulan bahwa wacana yang dikembangkan oleh
Ahmad Fuadi mencakup:
1. Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, hal ini nampak
misalnya dalam narasi besarnya (lampiran Kutipan I-VI), semua
memperlihatkan bagaiman para santri menjalani kurikulum di Pondok
Pesantren yang berbeda dari sekolah umum yang di gambarkan dari
penokohan tokoh utama dari Alif (Ahmad Fuadi). Ini tampak saat Alif dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
beberapa teman santri sebayanya mulai memasuki proses pendafataran,
seleksi siswa baru, pengenalan lingkungan pesantren dan pada awal masa
sekolah di mulai. Teks lainnya juga tampak bagaimana sistem pendidikan
yang berlaku selama 24 jam di pesantren, proses ujian akhir semester yang
berat yang diumpamakan seperti ujian terberat yang bahkan di temui
seumur hidup, serta pada narasi yang membandingkan antara tokoh utama
dengan teman sebaya nya, jika teman sebaya nya kelas 3 SMA. Maka
tokoh utama (Alif) baru kelas 5 di PM, saat teman sebaya nya masuk
kuliah, tokoh utama (Alif) masih kelas 6.
2. Metode pendidikan dalam praktek pengajaran . Wacana ini tampak pada
bagian saat tokoh Alif belajar bahasa Arab, yang diajarkan dengan cara
sederhana yaitu dengan menggunakan metode dengar, ikuti, teriakan dan
ulangi lagi, tidak ada terjemahan bahasa Indonesia sama sekali. Sistem
bahasa yang membuat Pesantren terkenal dengan kemampuan muridnya
berbicara aktif. Selain itu, tampak juga pada teks saat ujian berlangsung,
energi dan suasana positif yang diciptakan menggarahkan pada kegiatan
belajar ekstra dimana-mana, misalnya ditangga masjid, di kantin, di
lapangan, di kamar mandi, di kelas, di pinggir sungai, di kamar mandi,
dapat terdengar suara santri yang sedang menghapal dan berdiskusi.
3. Disiplin. Wacana ini dapat ditemukan pada cerita bagaimana kedisiplinan
di tegakkan tanpa pandang bulu dan melihat apapun alasan yang
mendasarinya, melanggar adalah hukuman bagi peraturan Pesantren.
Siapapun bisa menerima hukuman bahkan kehilangan jabatan. Kemudian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
terkait dengan peraturan ini, diceritakan peraturan tersebut tidak di tempel,
tetapi sekali di bacakan para santri wajib hafal sehingga tidak ada alasan
apapun untuk melanggar ataupun tidak tahu.
4. Keteladanan sebagai bentuk dari motivasi. Wacana ini, hampir di setiap
sub tema di ceritakan. Semuanya terlihat dan di gambarkan oleh hampir
setiap tokoh di dalam novel ini mempunyai sisi keteladanan dan motivasi
yang membangun. Mulai dari Kyai Rais sebagai pimpinan Pondok
Pesantren, para pengajar, teman-teman asrama, orang tua bahkan tokoh
utama sendiri (Alif) di ceritakan memiliki motivasi yang membangun
dalam meniti kehidupan, menghadapi masalah dan hambatan dalam
keseharianya. Banyak motivasi yang dapat di petik sebagai renungan
dalam novel ini. Contoh saja satu yang menjadi novel ini cukup terkenal
yaitu “Man jadda wajadda; Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses”
Konstruksi wacana yang dikembangkan oleh Ahmad Fuadi juga ditandai
oleh beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Ahmad Fuadi menempatkan diri nya berada pada posisi pembelaan
terhadap pendidikan yang dilakukan di pesantren. Teks yang ada lebih
dominan bercerita tentang bagaimana pesantren mampu membangun,
mendidik, dan membentuk santrinya menjadi manusia seutuhnya yang
berguna bagi agama dan masyarakat. Semuanya, begitu jelas dalam
rangkaian narasi dan bahasa yang digunakannya. Ini dapat dilihat dalam
wacana kurikulum pendidikan, wacana metode pengajaran, dan wacana
keteladanan sebagai bentuk dari motivasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
2. Apa yang Ahmad Fuadi lakukan dalam mengkonstruksi teks novel tampak
sekali bentuk orientasi dan batasan pandangan pada persoalan wacana
pendidikan yang berlangsung di pesantren Gontor. Ahmad Fuadi dalam
novelnya bermain dengan tuturan bahasa yang berupa; kata dan kalimat
yang lebih menonjolkan bagaimana sistem pendidikan berlangsung, serta
pembaca di bawa seolah-olah ikut terlibat didalamnya dengan penggunaan
bahasa yang ringan namun tetap santun tetapi dapat mewakili maksud
pandangan dari Ahmad Fuadi. Dalam seluruh teks sangat jelas sekali
bagaimana manfaat pendidikan di pesantren ini dapat dinilai, dan
tampaknya Ahmad Fuadi lebih cenderung menyenangi penonjolan sistem
pendidikan nya, dimana tokoh yang diceritakan sebagai lima menara
mampu mencapai keberhasilannya. Ini terlihat dari beberapa pernyataan
dalam teks novel setelah dilakukan analisis, yang menunjukkan implied
author dari Ahmad Fuadi.
3. Dalam novel ini pun terdapat sisipan-sisipan cerita Alif (Fuadi) dan teman-
temannya masa usai dari pesantren Gontor seperti, kutipan saat berada di
Washington DC dan bertemu teman lama di negara yang diimpikan. Dan
sisipan cerita ini, dianggap sebagai sebuah bentuk pembenar atau penguat
dalam fungsi propaganda yaitu sebagai sebuah penumpukan fakta yang
mendukung (card stacking). Jika dalam fungsi mitos, dirinya dapat
dianggap sebagai myth concern (pengukuhan mitos). Fungsi sisipan-
sisipan cerita tersebut dianggap bahwa Ahmad Fuadi mencoba me-recall
memori kolektif pembaca, sehingga pembaca diarahkan dalam sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
frame inti dari cerita lima menara tersebut dan ini membuat Ahmad Fuadi
sendiri tampak lebih “berpihak” pada Pesantren Gontor.
4. Ditegaskan bahwa teks yang diteliti adalah novel bersifat nonfiksi, jadi
berkenaan dengan realitas sesungguhnya hanya ada sedikit perubahan
nama-nama pelaku dan lokasi serta alur yang dibuat dapat menyesuaikan
konstruksi atas suatu realitas dari Ahmad Fuadi. Ahmad Fuadi
membangun pembaca dengan untuk berempati melalui kata dan kalimat
yang provokatif yang di ceritakan secara detail dalam keseharian di
Pesantren. Bagaimana dilema yang dialami, pengorbanan dan perjuangan
yang di rasakan dalam penokohannya. Hal tersebut bagi peneliti wajar
terjadi, dengan maksud membangun alur cerita yang hidup sehingga
pembaca dapat memahami maksud yang hendak di bangun Ahmad Fuadi.
5. CDA adalah metode yang dapat dipakai untuk membedah dan memahami
sebuah teks, tidak hanya dalam tataran struktur gramatikal tapi sampai
tingkat ideologi. Sebab susunan atau konstruksi sebuah teks berawal mula
dari pergulatan pikiran dan ideologi juga bermain di sini. Pendekatan
Roger Fowler dkk. dikenal sebagai Critical Linguistics, yang memandang
bahasa sebagai praktek sosial, melalui mana suatu kelompok
memantapkan dan menyebarkan ideologi. Apa yang dilakukan Roger
Fowler dkk. adalah meletakkan tata bahasa dan praktek pemakaiannya
tersebut untuk mengetahui praktek ideologi.
6. Temuan dari analisis Halliday bukan dalam tataran CDA. Dalam
penelitian ini dipakai untuk lebih melihat secara teks dan konteksnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Ternyata, ditemukan pemahaman lebih detil tentang siapa yang
dibicarakan, apa yang dibicarakan dan bagaimana hal itu dibahasakan.
A. SARAN
1. Model analisis dalam CDA banyak ragamnya dan ketika penelitian ini
menggunakan model Roger Fowler dkk. dan mendapatkan hasilnya,
ternyata tidak mencapai suatu kepuasan. Ketidakpuasan ini adalah tidak
mencantumkan perspektif dari penulisnya langsung tentang pembuatan
novelnya. Memang dalam model Fowler dkk. persoalan indept-interview
kurang mendapat perhatian. Meski begitu, itu semua mempunyai dasar
tersendiri dan karakter masing-masing peneliti pun beragam. Jadi, ketika
ada peneliti yang cenderung tidak puas dalam meneliti wacana pada
tataran teks, lebih disarankan menggunakan model CDA lainnya yang
mempunyai tahapan wawancara, misalnya Model Teun van Dijk atau
Norman Fairclough. Jika tetap dengan model Fowler dkk. terus
memaksakan dengan wawancara, hasil wawancara pun tidak begitu
dilibatkan dalam analisis mungkin hanya sebagai deskripsi saja.
2. Menggunakan CDA dalam membaca sebuah teks memberikan keuntungan
tersendiri, dibanding metode-metode lainnya. Dengan CDA, pembacaan
terhadap suatu teks lebih kritikal dan holistik. Metode CDA tidak sekedar
pada teks novel saja, tapi bisa juga pada berita atau laporan jurnalistik.
Oleh karena itu, kiranya diharapkan para mahasiswa, dosen, dan pihak
lainnya yang menaruh perhatian pada pembacaan atau pembedahan sebuah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
teks, bisa menggunakan metode ini. Disebabkan, dalam penelitiannya,
tidak sekedar untuk melihat pada tataran teks, tapi juga sifat historisnya,
ideologi pembuat teks, serta konteks yang ada.