difteri, tetanus, pertusis dan poliomyelitis
DESCRIPTION
difteri tatnus dan polioTRANSCRIPT
Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi:
Difteri, Tetanus, Pertusis, dan Poliomyelitis
Disusun Oleh:
Kelompok VII
Syukron 131121063
Nizar Juliza 131121064
Sri Kam Ulina 131121065
Yulia Warni 131121066
Ali Imran Harahap 131121067
Anggia Jhon 131121068
Isra 131121069
Riska Suryani 131121070
Desi Maya Sari 131121071
Erviani R. Saragih 131121072
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN EKSTENSI
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
T.A. 2013/2014
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi: Difteri, Tetanus, Pertusis, dan Poliomyelitis“ dapat diselesaikan tepat waktu.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing yaituNur Asnah
Sitohang M. Kep. yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami, sehingga makalah ini dapat kami susun dengan baik.
Untuk penyempurnaan isi makalah ini, kami mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca, terutama dosen pembimbing yang sifatnya membantu
mahasiswa keperawatan dalam pemahaman tentang Ilmu Kesehatan Anak
terutama tentang pencegahan imunisasi pada anak di dunia Keperawatan.
Demikian pembuatan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih.
Medan, 21 Maret 2014
Kelompok VII
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………… i
Daftar Isi………………………………………………………………………. ii
BAB I. Pendahuluan…………………………………………………………... 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………………. 1
1.2. Tujuan…………………………………………………………………….. 2
BAB II. Tinjauan Teoritis……………………………………………………... 3
2.1. Pengertian Imunisasi…….………………………………………………... 3
2.2. Jenis-jenis Imunisasi………………………………………………………. 3
2.3. Jadwal imunisasi………………………………………………………....... 4
2.4. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi…………….…………….. 6
2.4.1. Difteri………………………………………………………………….. 6
2.4.2. Pertusis………………………………………………………………… 7
2.4.3. Tetanus………………………………………………………………… 10
2.4.4. Poliomyelitis…………………………………………………………… 12
2.5. Rekomendasi Untuk Imunisasi Rutin……………………………………..…. 20
2.6. Reaksi (Efek Samping)……………………………………………………. 21
2.7. Kontraindikasi…………………………………………………………….. 22
BAB III. Kesimpulan Dan Saran…………………………………….….…….. 25
3.1. Kesimpulan…………………………………………………………..……. 25
3.2. Saran …………………………………………………………………..….. 25
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dalam bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin) disebut
sebagai antigen. Secara khusus antigen tersebut merupakan bagian protein kuman
atau protein racunnya. Bila antigen untuk pertama kali masuk ke dalam tubuh
manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila antigen itu
kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebut antibodi. Zat anti terhadap racun kuman
disebut anti oksidan. Berhasil tidaknya tubuh memusnahkan antigen atau kuman
itu bergantung kepada jumlah zat anti yang dibentuk.
Pada umumnya tubuh ana tidak akan mampu melawan antigen yang kuat.
Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas.Virulen yang baru untuk pertama kali
dikenal oleh tubuh. Karena itu anak anda akan menjadi sakit bila terjangkit kuman
ganas. Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk membentuk
antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum
mempunyai “pengalaman” untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-
3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat anti yang cukup tinggi.
Dengan cara reaksi antigen-anibody, tubuh anak dengan kekuatan zat antinya
dapat menghancurkan antigen atau kuman; berarti bahwa anak telah menjadi
kebal (imun) terhadap penyakit tersebut.
Dari uraian ini, yang terpenting ialah bahwa dengan imunisasi, anak anda
terhindar dari ancaman penyakit yang ganas tanpa bantuan pengobatan. Dengan
dasar reaksi antigen antibody ini tubuh anak memberikan reaksi perlawanan
terhadap benda-benda asing dari luar (kuman, virus, racun, bahan kimia) yang
mungkin akan merusak tubuh. Dengan demikian anak terhindar dari ancaman
luar. Akan tetapi, setelah beberapa bulan / tahun, jumlah zat anti dalam tubuh
akan berkurang, sehingga imunitas tubuh pun menurun. Agar tubuh tetap kebal
diperlukan perangsangan kembali oleh antigen, artinya anak tersebut harus
mendapat suntikan / imunisasi ulangan. Berdasarkan uraian diatas, kelompok
tertarik untuk membahas “Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi :
Difteri, Pertusis dan Tetanus, Poliomyelitis.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa S1
Keperawatan dapat memahami dan mengerti tentang Penyakit Yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Tetanus,
Poliomyelitis.
1.2.1. Tujuan khusus
1) Mengetahui pengertian imunisasi
2) Mengetahui pengertian jenis-jenis imunisasi
3) Memahami penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
4) Memahami jadwal imunisasi
5) Memahami rekomendasi untuk imunisasi rutin
6) Memahami reaksi (efek samping) yang ditimbulkan dari pemberian
imunisasi
7) Memahami kontraindikasi dalam pemberian imunisasi.
BAB II.
Tinjauan Teoritis
2.1. Pengertian imunisasi
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit
yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata
imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi suatu penyakit hanya akan
memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk
terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya (Umar, 2006).
2.2. Jenis-Jenis Imunisasi
Ada banyak jenis imunisasi yang direkomendasikan, namun yang akan
dibahas di makalah ini adalah:
1) Polio
Imunisasi ada dua macam, yaitu oral polio vaccine atau yang sering
dilihat dimana-mana yaitu vaksin tetes mulut, dan inactivated polio vaccine
yang disuntukkan. Kalo yang tetes mudah diberikan, murah dan mendekati
rute penyakit aslinya, sehingga banyak digunakan. Kalau yang injeksi efek
proteksi lebih baik tapi mahal dan tidak punya efek epidemiologis.
2) DPT
Deskripsi vaksin Jerap DPT adalah vaksin yang terdiri dari toksoid
difteri dan tetanus yang dimurnikan, serta bakteri pertusis yang telah
diinaktivasi yang terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml Aluminium fosfat.
Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Potensi vaksin per
dosis tunggal sedikitnya 4 IU pertusis, 30 IU difteri dan 60 IU tetanus.
Indikasinya terhadap difteri, tetanus, dan batuk rejan.
Dosis dan cara pemberian vaksin harus dikocok harus dikocok dulu
untuk menghomogenkan suspense. Vaksin harus disuntikkan secara
intramuscular atau secarasubkutan yang dalam.bagian interolateral paha
atas merupakan bagian yang direkomendasikan untuk tempat penyuntikan.
Penyuntikan di bagian bokong tidak direkomendasikan karena apat
mencederai saraf pinggul. Tidak boleh disuntikkan pada kulit karena dapat
menimbulkan reaksi lokal.
2.3. Jadwal Imunisasi
Di Amerika Serikat ada dua organisasi yaitu Advisory Committee on
Immunization Practice (ACIP) dari Centers for Disease Control and Prevention
(CDK) dan Committee on Infectious Disease dari American Academy of
Pedriatics (AAP) yang direkomendasikan pemerintah untuk menetapkan
kebijakan dan prodesur imunisasi. Di Kanada, rekomendasi diberikan oleh
National Advisory Committee on Immunization di bawah otoritas Ministry of
National Health and Welfare. Kebijakan masing-masing komite adalah
rekomendasi, bukan peraturan dan berubah sesuai kemajuan dalam bidang
imunologi perawat harus harus selalu mengikuti kemajuan dan perubahan
kebijakan terbaru.
Di Amerika Serikat usia yang direkomendasi untuk memulai imunisasi primer pada bayi
adalah saat lahir. Anak lahir premature harus mendapat dosis penuh dari setiap vaksin
sesuai kronologis usia yang sesuai. Jadwal yang direkomendasi untuk anak-anak yang
belum diimunisasi selama masa bayi tertera dalam tabel berikut.
No
.
Waktu/usia yang
direkomendasi
Imunisasi Keterangan
Lebih muda dari 7
tahun
a) Kunjungan pertama
DTaP, Hib,
HBV, MMR
Apabila diindikasikan, uji
tuberculin dapat dilakukan pada
saat kunjungan yang sama.
Apabila anak berusia 5 tahun atau
lebih, Hib tidak diindikasikan
pada sebagian besar situasi.
b) Interval setelah
kunjungan pertama:
1 bulan (4 minggu)
DTaP, IPV,
HBV, Vard
Dosis kedua IPV dapat diberikan
jika imunisasi poliomyelitis
dipercepat sesuai kebutuhan,
seperti pada pelancong ke daerah
tempat endemic poliomyelitis.
2 bulan DTaP, Hib,
IPV
Dosis kedua Hib hanya
diindikasikan jika dosis pertama
didapat ketika bayi lebih muda
dari 15 bulan.
≥8 bulan DTaP, HBV,
IPV
IPV dan HBV tidak diberikan jika
dosis ketiga telah diberikan
sebelumnya.
c) Usia 4-6 tahun
(pada atau sebelum
masuk sekolah)
DTaP, IPV,
MMRe
DTaP tidak perlu jika dosis
keempat telah diberikan setelah
ulang tahun keempat:IPV tidak
perlu jika dosis ketiga telah
diberikan stelah uang tahun
keempat.
d) Usia 11-12 tahun
7-12 tahun
a) Kunjungan pertama
HBV, MMR,
Td, IPV
b) Interval setelah
kunjungan pertama:
2 bulan (8 minggu)
HBV, MMRe,
Vard, Td, IPV
IPV juga dapat diberikan 1 bulan
setelah kunjungan pertama jika
diperlukan imunisasi
poliomyelitis yang dipercepat.
8-14 bulan HBVf, Td,
ipv,
IPV tidak diberikan jika dosis
ketiga telah diberikan
sebelumnya.
c) Usia 11-12 tahun
Anak yang mulai mendapat imunisasi primer pada usia yang
direkomendasi namun tidak mendapatkan semua dosis tidak perlu mulai dari awal
lagi, melainkan hanya memerlukan dosis yang belum diterimanya. Jika terdapat
keraguan bahwa si anak tidak akan kembali lagi untuk imunisasi dapat diberikan
secara bersamaan.vaksin parenteral diberikan melalui spuit yang berbeda
(American Academy of Pediatric, 2000a).
2.4. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
Adapun penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di Indonesia
adalah:
2.4.1. Difteri
1) Pengertian
Difteri/ Diphteria adalah penyakit infeksi bakteri yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae, yang umumnya menyerang membran mukosa
yang melapisi hidung dan tenggorokan serta tonsil. Akibatnya tenggorokan
menjadi terinflamasi dan inflamasi ini dapat menyebar ke kotak suara ( larynx)
sehingga mempersempit saluran pernafasan.
2) Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala umumnya muncul 2-5 hari setelah terinfeksi, namun
mungkin juga baru muncul 10 hari kemudian. Adapun tanda dan gejala
penyakit difteri adalah sebagai berikut:
a) Ada membran tebal warna abu-abu yang melapisi tenggorokan dan
tonsil ( ciri khas )
b) Sakit tenggorokan dan suara serak
c) Sakit ketika menelan
d) Kelenjar getah bening di leher membengkak
e) Kesulitan bernafas dan nafas cepat
f) Keluar cairan dari hidung
g) Demam dan menggigil
h) Malaise
Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan
oleh penderita ketika batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi melalui
tissue/ sapu tangan atau gelas bekas minum penderita atau menyentuh luka
penderita.
Anak-anak usia kurang dari 5 tahun dan orang tua usia diatas 60 tahun
sangat beresiko tertular penyakit difteri, demikian pula mereka yang tinggal di
lingkungan padat penduduk atau lingkungan yang kurang bersih dan juga
mereka yang kurang gizi dan tidak diimunisasi DTP.
3) Pencegahan
Pencegahan penyakit difteri adalah dengan memberikan imunisasi
DTP saat anak berumur 2, 4, 6, 18 bulan dan 5 tahun. Sedangkan pada usia 10
tahun dan 18 tahun diberikan imunisasi TD ( Toxoid Difteri ) saja. Imunisasi
DTP tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah dan anak yang
menderita penyakit kejang demam kompleks. Juga tidak boleh diberikan pada
anak dengan batuk yang diduga mungkin sedang menderita batuk rejan. Bila
pada suntikan DTP pertama terjadi reaksi yang berat maka sebaiknya suntikan
berikut jangan diberikan DTP lagi melainkan DT saja (tanpa P). (Prof.
DR.A.H. Markum, 2000).
4) Pengobatan
Pengobatan penyakit difteri biasanya dokter akan memberikan
antibiotik dan antitoksin, yaitu :
a) Eritromisin (oral atau dengan suntikan) selama 14 hari (40 mg / kg per
hari dengan maksimum 2 g / d), atau
b) Prokain penisilin G diberikan intramuskuler selama 14 hari (300.000 U
/ hari untuk pasien dengan berat <10 kg dan 600.000 U / hari untuk
orang dengan berat> 10 kg). Pasien dengan alergi terhadap penisilin G
atau eritromisin dapat menggunakan rifampisin atau klindamisin.
5) Komplikasi
Pada tahap lanjut penyakit difteri dapat menyebabkan :
a) Nafas berhenti
b) Radang pada otot jantung dengan gagal jantung atau aritmia
c) Kelumpuhan syaraf
d) Sehingga hampir setiap satu dari sepuluh orang yang menderita
penyakit difteri akan meninggal.
2.4.2. Pertusis
1) Pengertian
Pertusis adalah c(Nelson, 2000 : 960). Pertusis adalah penyakit
saluran nafas yang disebabkan oleh berdetella pertusisa, nama lain penyakit
ini adalah Tussisi Quinta, whooping cough, batuk rejan. (Arif Mansjoer, 2000
: 428). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah
infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis,
nama lain penyakit ini adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.
Bordetella pertusis adalah satu-satunya penyebab pertusis yaitu
bakteri gram negatif, tidak bergerak, dan ditemukan dengan melakukan
swab pada daerah nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-
Gengou. (Arif Mansjoer, 2000)
2) Tanda dan Gejala
Gejala awal, mirip dengan batuk biasa, biasanya berkembang sekitar
satu mingu setelah terpapar bakteri. Episode yang parah dari batuk mulai
sekitar 10 sampai 12 hari kemudian. Pada anak-anak, batuk sering berakhir
dengan suara teriakan. Suara diproduksi ketika pasien mencoba untuk
mengambil nafas. Suara teriakan jarang terjadi pada pasien di bawah usia 6
bulan dan pada orang dewasa.
Batuk dapat menyebabkan muntah atau kehilangan kesadaran yang
singkat. Pertusis harus selalu dipertimbangkan ketika muntah terjadi dengan
batuk. Pada bayi, tersedak adalah kejadian yang paling sering. Gejala pertusis
lainnya yaitu hidung ingusan (meler), sedikit demam, dan diare.
Setelah sekitar 1 sampai 2 minggu batuk. Batuk bisa berlangsung
selama lebih dari satu menit, anak dapat berubah menjadi merah atau ungu.
Pada akhirnya, anak dapat membuat suara rejan karakteristik saat bernafas
dalam atau mungkin muntah.
3) Cara Penularan
Cara penularan pertusis, melalui:
a) Droplet infection
b) Kontak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui
percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula
melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-
kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita
pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu
setelah batuk dimulai.
4) Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secara pasif:
a. Secara aktif, yaitu:
1. Dengan pemberian imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak
umur 2 bulan(DTP tidak boleh dibrikan sebelum umur 6
minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DTP-1 deberikan pada umur 2
bulan,DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTp-3 pada umur 6 bulan.
Ulangan DTP selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu
pada umur 18-24 bulan,DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5
tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DTP.
Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DTP
diberika pada awal sekolah dasar dalam program bulan imunisasi
anak sekolah(BIAS). Beberapa penelitian menyatakan bahwa
vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan
hasil yang baik sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih
awal lagi pada umur 2-4 minggu.
2. Perawat sebagai edukator
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kepada
orang tua yang mempunyai bayi tentang bahaya pertusis dan
manfaat imunisasi bagi bayi.
b. Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
kemopropilaksis. Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis
untuk sementara waktu.
5) Pengobatan
a) Antibiotik
1. Eritromisin dengan dosis 50 mg / kg BB / hari dibagi dalam 4 dosis.
Obat ini menghilangkan B. Pertussis dari nasofaring dalam 2-7 hari
(rata-rata 3-6 hari) dan dengan demikian memperpendek
kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisin juga menggugurkan
atau menyembuhkan pertussis bila diberikan dalam stadium kataral,
mecegah dan menyembuhkan pneumonia dan oleh karena itu sangat
penting dalam pengobatan pertusis khususnya pada bayi muda.
2. Ampisilin dengan dosis 100 mg / kg BB / hari, dibagi dalam 4 dosis.
3. Lain-lain : Rovamisin, kotrimoksazol, klorampenikol dan tetrasiklin.
b) Ekspektoran dan mukolitik.
c) Kodein diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali.
d) Luminal sebagai sedative
6) Komplikasi
a) Alat Pernafasan: bronchitis, atelektasis yang disebabkan sumbatan
mucus, emfissema, bronkiektasis dan bronkopneumonia yang
disebabkan infeksi sekunder, misalnya karena streptokokkus hemolitik,
pneumukokkus, stafilokokkus, dll.
b) Saluran Pencernaan: muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan
emasiasi, prolaps rectum atau hernia, ulkus pada ujung lidah dan
stomatitis.
c) Sistem Saraf Pusat: kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan
elektrolit akibat muntah-muntah. Kejang berat bisa terjadi karena
penyebab anoksia. Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak,
serta dapat pula terjadi perdarahan otak
2.4.3. Tetanus
1) Pengertian
Tetanus, atau diketahui sebagai ayan, adalah penyakit serius yang
dapat dihindari yang mempengaruhi otot-otot dan syaraf tubuh. Penyakit ini
muncul dari luka pada kulit yang terkontaminasi bakteri bernama Clostridium
tetani, yang sering didapat di tanah.
Sekali bakteri itu memasuki tubuh, mereka akan memproduksi
neurotoksin (sebuah protein yang berlaku sebagai racun pada system saraf
tubuh) yang dikenal sebagai tetanispasmin yang menyebabkan kejang pada
otot. Racun tersebut dapat menjalar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan
getah bening. Saat toksin tersebut bersikulasi lebih luas, toksin tersebut
mengganggu aktivitas normal saraf di seluruh tubuh yang mengarah pada
kekejangan otot secara umum. Tanpa pengobatan, tetanus dapat menjadi fatal.
Bentuk lain dari tetanus adalah neonatal tetanus, terjadi pada bayi baru
lahir yang dilahirkan pada kondisi yang tidak bersih, terutama jika tali
pusarnya terkontaminasi. Saat ini, imunisasi rutin untuk tetanus menghasilkan
antiboidi yang dapat diturunkan ibu pada janinnnya. Antibodi ibu dan teknik
kebersihan tali pusar telah membuat tetanus pada bayi yang baru lahir menjadi
sangat jarang terjadi di negara-negara berkembang.
2) Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala penyakit tetanus pada anak adalah sering dimulai
dengan kejang-kejang otot rahang (dikenal sebagai trismus), dan juga
ditambah oleh kesulitan menelan dan kaku atau sakit pada otot leher, pundak
atau punggung. Kejang-kejang ini dapat menyebar pada otot abdomen, lengan
atas dan paha. Gejala ini dapat terjadi dimana saja dari hari ke bulan-bulan
setelah terjangkit bakteri tersebut.
3) Pencegahan
Ada dua cara penting untuk mencegah tetanus, yaitu
a) Mendapatkan vaksin terhadap tetanus. Setelah mendapatkan luka yang
dapat menyebabkan tetanus, segeralah berobat. Imunisasi tetanus,
termasuk dalam vaksinasi DTaP (diphtheria, tetanus and acellular
pertussis). Anak-anak biasanya mendapatkan rangkaian dari empat
dosis vaksin DTaP sebelum usia 2 tahun, diikuti dengan dosis
tambahan pada umur 4-6 tahun. Setelah itu sebuah tambahan (Tdap)
lagi direkomendasikan pada umur 11-12 tahun, atau nanti jika terlewat,
dan juga vaksin tetanus dan difteri tambahan di setiap 10 tahun saat
dewasa. Wanita hamil juga haru smendapatkan vaksin Tdap dis etiap
kehamilan, biarpun dia telah divaksinasi sebelumnya.
b) Neonatal tetanus dapat dicegah dengan cara meyakinkan setiap wanita
hamil bahwa mereka telah mendapatkan vaksin tetanus, melahirkan
ditempat yang bersih, dan dengan perawatan tali pusar yang layak. Jika
anda hamil, diskusikan catatan imunisasi dengan dokter kandungan
anda sebelum anada melahirkan. Dan yakinkan bahwa anak-anak anda
tidak melewatkan imunisasinya.
4) Pengobatan
Para dokter mempunyai peran yang penting dalam pencegahan tetanus
dengan meyakinkan bahwa imunisasi yang diterima anak itu up to date dan
menyediakan profilaksis paska pejangkitan jika si anak mempunyai luka
dengan resiko tetanus.
Anak yang terkena tetanus akan dirawat di rumah sakit, biasanya di
ICU. Disana, sang anak akan mendapatkan antibiotic untuk membunuh bakteri
dan TIG untuk menetralisasi toksin yang telah dikeluarkan oleh bakteri
tersebut. Anak tersebut juga akan mendapatkan obat untuk mengontrol kejang
otot dan diberi pengobatan untuk mendukung fungsi vital dari tubuh.
5) Komplikasi
Adapun komplikasi yang mungkin terjadi pada penyakit tetanus adalah:
a) Pada saluran nafas, yaitu broncopneumonia, otitis media sering pada
bayi dan infeksi skunder (pneumoni), bronchitis, atelektasis, empisema
pulmonum, bronkiektasis, aktivase tubercolusa.
b) Pada sistem saraf pusat, yaitu kejang, kongesti, edema otak,
perdarahan otak.
c) Pada sistem pencernaan, yaitu muntah berat, prolaps rectum ( hernia
umbilikus serta inguinalis ), ulkus pada frenulum lidah, stomatitis.
d) Komplikasi yang lain, yaitu epistaksis, hemaptisis, perdarahan sub
konjungtiva
2.4.4. Poliomyelitis
1) Pengertian
Polio, kependekan dari poliomyelitis, adalah penyakit yang dapat
merusak sistem saraf dan menyebabkan paralysis. Penyakit ini paling sering
terjadi pada anak-anak di bawah umur 2 tahun. Infeksi virus ini mulai timbul
seperti demam yang disertai panas, muntah dan sakit otot. Kadang-kadang
hanya satu atau beberapa tanda tersebut, namun sering kali sebagian tubuh
menjadi lemah danlumpuh (paralisis). Kelumpuhan ini paling sering terjadi
pada salah satu atau kedua kaki. Lambat laun, anggota gerak yang lumpuh ini
menjadi kecil dan tidak tumbuh secepat anggota gerak yang lain.
Poliomielitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus
dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan
intimotorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut
akanterjadi kelumpuhan serta autropi otot. Poliomielitis atau polio, adalah
penyakit paralysis atau lumpuh yangdisebabkan oleh virus. Agen pembawa
penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ketubuh
melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran
darah dan mengalir kesistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan
kadang kelumpuhan (paralysis).
2) Klasifikasi
Ada dua jenis penyakit polio, yaitu;
a) Polio non-paralisis.
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu,
dansensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung. Otot terasa
lembek jika disentuh.
b) Polio Paralisis.
Kurang dari 1% orang yang terinfeksi virus polio berkembang menjadi
polio paralisis atau menderita kelumpuhan. Polio paralisis dimulai
dengan demam. Lima sampai tujuh hari berikutnya akan muncul gejala
dan tanda- tanda lain, seperti: sakit kepala, kram otot leher dan
punggung, sembelit/konstipasi, sensitif terhadap rasa raba. Polio
paralisis dikelompokkan sesuai dengan lokasi terinfeksinya,yaitu:
1) Polio Spinal Strain
Polio Spinal Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang,
menghancurkan sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan
padabatang tubuh dan otot tungkai. Meskipun strain ini dapat
menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita
dari 200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan
paling sering ditemukan terjadipada kaki. Setelah poliovirus
menyerang usus, virus ini akan diserap olehkapiler darah pada
dinding usus dan diangkut ke seluruh tubuh. Poliovirus menyerang
saraf tulang belakang dan motorneuron yang mengontrol
gerak fisik. Pada periode inilah muncul gejala seperti flu. Namun,
pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum
divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian
batang saraf tulang belakang dan batangotak. Infeksi ini akan
mempengaruhi sistem saraf pusat dan menyebar sepanjang serabut
saraf. Seiring dengan berkembangbiaknya virus dalamsistem saraf
pusat, virus akan menghancurkan motorneuron. Motorneuron tidak
memiliki kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan
dengannya tidak akan bereaksi terhadap perintah dari sistem saraf
pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai menjadi
lemas. Kondisi inidisebut acute flaccid paralysis (AFP). Infeksi
parah pada sistem saraf pusatdapat menyebabkan kelumpuhan pada
batang tubuh dan otot pada dada dan perut, disebut quadriplegia.
Anak-anak dibawah umur 5 tahun biasanya akan menderita
kelumpuhan 1 tungkai, sedangkan jika terkenaorang dewasa, lebih
sering kelumpuhan terjadi pada kedua lengan dan tungkai.
2) Bulbar Polio
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami
sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung
motorneuron yang mengatur pernapasan dan saraf otak, yang
mengirim sinyal ke berbagai otot yang mengontrol pergerakan bola
mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan
pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang
mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu
proses menelan dan berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan
lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus,
paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan
kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita yang menderita
polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan mereka tidak
dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan
pada saraf otak yang bertugas mengirim ‘perintah bernapas’ ke
paru-paru. Penderita juga dapat meninggal karena kerusakan pada
fungsi penelanan; korban dapat ‘tenggelam’ dalam sekresinya
sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan
trakeostomi untuk menyedot cairan yang disekresikan sebelum
masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga sulit
dilakukan apabila penderita telah menggunakan ‘paru-paru besi’
(iron lung). Alat ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara
menambah dan mengurangi tekanan udara di dalam tabung. Kalau
tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis, kalau tekanan
udara dikurangi, paru-paru akan mengembang. Dengan demikian
udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh lebih
parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian.
3) Tanda dan Gejala
Berdasarkan gejalanya, poliomyelitis terbagi menjadi empat bagian
yaitu:
a) Poliomyelitis asimtomatis: setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak
terdapat gejala karena daya tahan tubuh cukup baik,maka tidak
terdapat gejala klinik sama sekali.
b) Poliomyelitis abortif: panas dan jarang melibihi 39,5 derajat C, sakit
tenggorokkan, sakit kepala, mual, muntah, malaise, dan faring terlihat
hiperemi.Dan gejala ini berlangsung beberapa hari.
c) Poliomyelitis non paralitik: hampir sama dengan poliomyelitis abortif,
gejala ini timbul beberapa hari kadang-kadang diikuti masa
penyembuhan sementara untuk kemudian masuk dalam fase kedua
dengan demam, nyeri otot. Khas dari bentuk ini adalah adanya nyeri
dan kaku otot belakang leher, tulang tubuh dan anggota gerak. Dan
gejala ini berlangsung dari 2-10 hari. Gejala lain dari poliomielitis
non-paralitik (gejala berlangsung selama 1-2 minggu) adalah demam
sedang, sakit kepala, kaku kuduk, muntah, diare, kelelahan yang luar
biasa, rewel, nyeri atau kaku punggung, lengan, tungkai, perut, kejang
dan nyeri otot, nyeri leher, nyeri leher bagian depan, kaku kuduk, nyeri
punggung, nyeri tungkai (otot betis), ruam kulit atau luka di kulit yang
terasa nyeri, dan kekakuan otot.
d) Poliomyelitis paralitik: sama seperti poliomyelitis non paralitik.
Awalnya berupa gejala abortif diikuti dengan membaiknya keadaan
selama 1-7 hari. Kemudian disusun dengan timbulnya gejala lebih
berat disertai dengan tanda-tanda gangguan saraf yang terjadi pada
ekstremitas inferior yang terdapat pada femoris, tibialis anterior,
peronius. Sedangkan pada ekstermitas atas biasanya pada biseps dan
triseps. Pada poliomielitis paralitik, demam timbul 5-7 hari sebelum
gejala lainnya, yaitu sakit kepala, kaku kuduk dan punggung,
kelemahan otot asimetrik, onsetnya cepat, segera berkembang menjadi
kelumpuhan, lokasinya tergantung kepada bagian korda spinalis yang
terkena, perasaan ganjil/aneh di daerah yang terkena (seperti tertusuk
jarum), peka terhadap sentuhan (sentuhan ringan bisa menimbulkan
nyeri), sulit untuk memulai proses berkemih, sembelit, perut kembung,
gangguan menelan, nyeri otot, kejang otot, terutama otot betis, leher
atau punggung, ngiler, gangguan pernafasan, dan rewel atau tidak
dapat mengendalikan emosi.
4) Penularan
Virus masuk melalui mulut dan hidung lalu berkembang biak di dalam
tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus. Selanjutnya, diserap dan
disebarkan melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah bening.
Penularan virus terjadi secara langsung melalui beberapa cara, yaitu:
a) fekal-oral (dari tinja ke mulut)
Maksudnya, melalui minuman atau makanan yang tercemar virus polio
yang berasal dari tinja penderita lalu masuk ke mulut orang yang sehat.
b) oral-oral (dari mulut ke mulut)
Yaitu melalui percikan ludah atau air liur penderita yang masuk ke
mulut orang sehat lainnya.
Sebenarnya, kondisi suhu yang tinggi dapat cepat mematikan virus.
Sebaliknya, pada keadaan beku atau suhu yang rendah justru virus dapat
bertahan hidup bertahun-tahun. Ketahanan virus ini di dalam tanah dan air
sangat bergantung pada kelembapan suhu dan adanya mikroba lain. Virus ini
dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai
berkilo-kilometer dari sumber penularan.
Meskipun cara penularan utama adalah akibat tercemarnya lingkungan
oleh virus polio dari penderita yang terinfeksi, namun virus ini sebenarnya
hidup di lingkungan yang terbatas..
5) Pencegahan
Cara pencegahan dapat dilalui dengan imunisasi. Tempatkan anak
yang sakit di kamar terpisah, jauh dari anak-anak lainnya. Ibu harus mencuci
tangan setiap kali menyentuhnya. Perlindungan terbaik terhadap polio ialah
dengan memberikan vaksin polio/pemberian kekebalan.
Seorang anak yang cacat akibat polio harrus makan makanan bergizi
dan melakukan gerak badan untuk memperkuat otot-ototnya. Selama tahun
pertama, sebagian kekuatan dapat pulih kembali.
Bantulah anak agar belajar berjalan sebaik-baiknya, pasanglah 2 buah
tiang, sebagai penyangga dan kemudian buatkan tongkat penopang. Cegah
Virus Polio dengan Vaksinasi
6) Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang spesifik. Diberikan obat simtomatis dan
suportif. Istirahat total jangan dilakukan terlalu lama, apabila keadaan berat
sudah reda. Istirahat sangat penting di fase akut, karena terdapat hubungan
antara banyaknya keaktifan tubuh dengan beratnya penyakit.
Pada penyakit poliomielitis abortif, pengobatan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut:
a) Cukup diberikan analgetika dan sedatifa, untuk mengurangi mialgia
atau nyeri kepala.
b) Diet yang adekuat dan
c) Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari, sebaiknya aktivitas
yang berlebihan dicegah selama 2 bulan, dan 2 bulan kemudian
diperiksa sistem neuroskeletal secara teliti untuk mengetahui adanya
kelainan.
Pada penyakit poliomielitis nonparalitik, pengobatan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Sama seperti tipe abortif, Pemberian analgetik sangat efektif.
b) Selain diberi analgetika, dan sedative sangat efektif. Bila diberikan
bersamaan dengan kompres hangat selama 15 – 30 menit, setiap 2 – 4
jam, dan kadang – kadang mandi air panas juga membantu
Pada penyakit poliomielitis paralitik, pengobatan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
a) Membutuhkan perawatan di rumah sakit.
b) Istirahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai fase akut
dilampaui.
c) Selama fase akut kebersihan mulut dijaga.
d) Perubahan posisi penderita dilakukan dengan penyangga persendian
tanpa menyentuh otot dan hindari gerakan menekuk punggung..
e) Fisioterapi, dilakukan sedini mungkin sesudah fase akut, mulai
dengan latihan pasif dengan maksud untuk mencegah terjadinya
deformitas.
f) Akupunktur dilakukan sedini mungkin.
g) Interferon diberikan sedinini mungkin, untuk mencegah terjadinya
paralitik progresif.
Pada penyakit poliomielitis bentuk bulbar, pengobatan yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut:
a) Perawatan khusus terhadap paralisis palatum, seperti pemberian
makanan dalam bentuk padat atau semisolid.
b) Selama fase akut dan berat, dilakukan drainase postural dengan posisi
kaki lebih tinggi (20°- 25°), Muka pada satu posisi untuk mencegah
terjadinya aspirasi, pengisapan lendir dilakukan secara teratur dan
hati-hati, kalau perlu trakeostomi.
7) Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita poliomielitis antara lain :
a) Melena cukup berat sehingga memerlukan transfusi, yang mungkin
diakibatkan erosi usus superfisia.
b) Dilatasi lambung akut dapat terjadi mendadak selama stadium akut
atau konvalesen (dalam keadaan pemulihan kesehatan/ stadium
menuju kesembuhan setelah serangan penyakit/ masa
penyembuhan), menyebabkan gangguan respirasi lebih lanjut.
c) Hipertensi ringan yang lamanya beberapa hari atau beberapa
minggu , biasanya pada stdium akut, mungkin akibat lesi pusat
vasoregulator dalam medula.
d) Ulkus dekubitus dan emboli paru, dapat terjadi akibat berbaring
yang lama di tempat tidur, sehingga terjadi pembususkan pada
daerah yang tidak ada pergerakan (atrofi otot) sehingga terjadi
kematian sel dan jaringan).
e) Hiperkalsuria, yaitu terjadinya dekalsifikasi ( kehilangan zat kapur
dari tulang/ gigi) akibat penderita tidak dapat bergerak.
f) Kontraktur sendi,yang sering terkena kontraktur antara lain sendi
paha, lutut, dan pergelangan kaki.
g) Pemendekan anggota gerak bawah,biasanya akan tampak salah
satu tungkai lebih pendek dibandingkan tungkai yang lainnya,
disebabkan karena tungkai yang pendek mengalami antropi otot.
h) Skoliosis,tulang belakang melengkung ke salah satu sisi,
disebabkan kelumpuhan sebagian otot punggung dan juga
kebiasaan duduk atau berdiri yang salah.
i) Kelainan telapak kaki, dapat berupa kaki membengkok ke luar atau
ke dalam.
2.5. Rekomendasi Untuk Imunisasi Rutin
1. Difteri
Vaksin difteri sering diberikan:
a) Dalam kombinasi dengan vaksin tetanus dan pertusis (DPTa) atau
vaksin DPTa dan Hib untuk anak yang umurnya kurang dari 7
tahun,
b) Dalam kombinasi dengan vaksin konjugasi H. Influenza tipe B,
c) Dalam kombinasi dengan vaksin tetanus (DT) untuk anak usia
kurang dari 7 tahun yang memiliki kontraindikasi dalam
mendapatkan vaksin pertusis.
d) Dalam dosis lebih kecil (15-20% dari DPTa atau DT) dengan
vaksin tetanus (Td) untuk digunakan pada anak berusia 7 tahun
atau lebih, atau
e) Sebagai antigen tunggal jika preparat antigen kombinasi tidak
diindikasikan. Meskipun vaksin difteri tidak menghasilkan
imunitas absolut, antitoksin protektifnya menetap sampai 10 tahun
atau lebih jika vaksin diberikan sesuai dengan jadwal yang
direkomendasi, dan booster diberikan setiap 10 tahun selama
hidup.
2. Pertusis
Vaksin pertusis direkomendasikan bagi semua anak berusia 6
minggu sampai 6 tahun (sampai ulang tahun ke tujuh) yang
penggunaannya tidak memiliki kontraindikasi neurologis. Vaksin pertusis
tidak diberikan pada usia 7 tahun atau lebih karena resiko menerima
vaksin ini meningkat sedangkan insidensi, keparahan, dan fatalitas
penyakit menurun.
Saat ini tersedia dua bentuk vaksin pertusis di Amerika Serikat.
Vaksin pertusissel-lengkap lebih disukai dari sek inaktivasi Bordetella
pertusis dan mengandung antigen multiple. Sebaliknya, vaksin pertusis
aseluler mengandung satu atau lebih imunogens yang diturunkan dari
organism B. Pertusis. Vaksin aseluler yang sangat murni berhubungan
dengan lebih sedikit reaksi local dan sistemik dibandingkan dengan reaksi
yang muncul pada pemberian vaksin sel lengkap pada anak yang berusia
sama. Vaksin pertusis aseluler direkomendasi oleh American Academy of
Pediatrics (2000a, b) untuk tiga imunisasi pertama dan biasanya diberikan
pada usia 2, 4, dan 6 bulan disertai dengan difteri dan tetanus (DTaP).
Empat bentuk vaksin pertusis aseluler sekarang dilisensi untuk digunakan
pada bayi adalah Acel-Immune, Tripedia, Certiva, dan Infanrix (difteri,
toksoid tetanus, dan konjugasi pertusis aseluler).
3. Tetanus
Tersedia tiga bentuk vaksin tetanus yaitu toksoid, immunoglobulin
tetanus (TIG) dari manusia, dan anti toksin tetanus yang biasanya serum
kuda. Toksoid tetanus digunakan untuk imunisasi primer rutin, biasanya
dalam salah satu kombinasi yang disusun untuk difteri, dan memberikan
kadar antitoksin protektif selama 10 tahun atau lebih.
Untuk penatalaksanaan luka, tersedia imunisasi pasif dengan TIG. Pada
orang dengan riwayat dua dosis toksoid tetanus sebelumnya, dapat
diberikan dosis booster toksoid. Spuit yang berbeda dan tempat injeksi
yang berbeda digunakan jika toksoid tetanus dan TIG diberikan
bersamaan.
Berikut tabel yang menyajikan ringkasan prosedur yang
direkomendasikan untuk profilaksis tetanus pada penatalaksanaan luka.
Riwayat toksoid tetanus
yang diabsorbsi (dosis)
Luka bersih, minor Semua jenis luka
lain
TDt TIG TDt TIG
Tidak diketahui atau < tiga Ya Tidak Ya Tidak
≥ Tiga ± Tidak Tidak Tidak Tidak
4. Poliomyelitis
Pada Juli 1999 ACIP merekomendasi jadwal semua IPV untuk vaksinasi
polio rutin di masa kanak-kanak. Seperti pada januari 2000, semua anak
harus mendapat empat dosis IPV pada usia 2, 4, 6, tahun sampai 18 bulan,
dan 4 sampai 6 tahun (MMWR, 1999a: American Academy of Pediatrics,
1999a).
Perubahan penggunaan eksklusif OPV menjadi penggunaan eksklusif IPV
berhubungan dengan jarangnya resiko paralisis polio terkait kasus vaksin
dari penggunaan OPV. Penggunaan eksklusif IPV menghasilkan resiko
VAPP (vaccine-associated polio paralysis), namun berhubungan dengan
peningkatan jumlah injeksi dan pertambahan biaya.
2.6. Reaksi (Efek Samping)
Vaksin untuk imunisasi rutin adalah obat yang paling aman dan paling
dapat dipercaya. Akan tetapi efek samping minor dapat terjadi setelah sejumlah
imunisasi dan, walau jarang, dapat terjadi reaksi serius akibat vaksin.
Pada antigen inaktivasi, seperti DTaP, efek samping kemungkinan besar
terjadi dalam beberapa jam atau hari setelah pemberian dan biasanya hanya
terbatas sebagai nyeri tekan lokal, erithema, dan pembengkakan pada tempat
injeksi; demam derajat rendah; dan perubahan perilaku (mengantuk, mudah
marah, tidak suka makan, menangis berkepanjangan atau tidak biasa). Reaksi
lokal cenderung tidak berat jika otot yang digunakan adalah otot deltoideus
dibandingkan vastus lateralis dan jika jarum yang digunakan untuk mendeposit
vaksin di dalam otot cukup panjang. Meskipunjarang, dapat terjadi reaksi yang
lebih berat jika reaksi terjadi bersamaan dengan reaksi terhadap imunisasi
sebelumnya.
2.7. Kontraindikasi
Perawat perlu mengetahui alasan tidak memberikan imunisasi, baik demi
keamanan anak guna menghindari reaksi maupun untuk manfaat maksimal anak dengan
menerima vaksin. Ketakutan yang tidak beralasan dan kurangnya pengetahuan
mengenai kontraindikasi dapat menyebabkan anak kehilangan perlindungan dari
penyakit yang membahayakan hidup yang sebenarnya tidak perlu. Kontraindikasi yang
biasanya diberikan di masa kanak-kanakdisajikan dalam table berikut ini.
Kontraindikasi dan kewaspadaan nyata Bukan kontraindikasi (vaksin
boleh diberikan)
Umum Untuk Semua Vaksin (DTaP, IPV,
MMR, HIB, HEPATITIS B, VAR).
Kontraindikasi:
Reaksi anafilaksis terhadap vaksin
merupakan kontraindikasi terhadap
peberian kembali dosis vaksin tersebut.
Reaksi anafilaksis terhadap pengencer
vaksin merupakan kontraindikasi tehadap
vaksin yang mengandung zat tersebut.
Penyakit sedang atau berat dengan atau
tanpa demam.
Reaksi lokal ringan sampai
sedang (nyeri, keerahan,
pembengkakan) setelah satu
dosis antigen yang diinjeksikan.
Penyakit akut ringan dan atau
tanpa demam berderajat rendah.
Terapi antimikroba terbaru.
Fase penyembuhan suatu
penyakit.
Prematuritas (dosis dan indikasi
yang sama dengan bayi normal,
cukup bulan).
Pajajan terbaru terhadap
penyakit infeksi.
Riwayat alergi penisilin atau
alergi nonspesifik lainnya atau
riwayat keluarga terhadap alergi
tersebut.
DIFTERI, TETANUS, PERTUSIS atau
PERTUSIS ASELULER (DTaP)
Kontraindikasi:
Ensefalopatimdalam 7 hari setelah
pemberian dosis DTaP sebelumnya.
Kewaspadaan:
Demam ≥40,50 C dalam 48 jam setelah
vaksinasi dengan dosis DTaP
sebelumnya.
Kolaps atau keadaan seperti syok
(episode hipotonik-hiporesponsif( dalam
48 jam setelah menerima dosis DTaP
Suhu <40,50 C setelah dosis
DTaP sebelumnya.
Riwayat keluarga kejang
Riwayat keluarga sindrom
kematian bayi mendadak
Riwayat keluarga
mengenaikejadian buruk setelah
pemberian DTaP
sebelumnya.
Kejang dalam 3 hari setelah menerima
dosis DTaP sebelumnya.
Menangis lama, terus menerus, dan tidak
bisa dihibur ≥3 jam dalam 48 jam setelah
menerima dosis DTaP sebelumnya.
POLIO ORAL (OPV)
Kontraindikasi:
Infeksi HIV atau kontak di rumah tangga
dengan HIV.
Diketahui mengalami gangguan
imunodefisiensi (tumor hematologis dan
tumor solid; imunodefisiensi kongenital;
dan terapi imunosuoresi jangka panjang)
Kontak rumah tangga dengan penderita
imunodefisiensi.
Kewaspadaan:
Kehamilan.
Pemberian ASI.
Terapi antimikroba terbaru.
Diare.
POLIO INAKTIVASI (IPV)
Kontraindikasi:
Reaksi anafilaksis terhadap neomisin dan
streptomisin.
Kewaspadaan:
Kehamilan
-
BAB III.
Kesimpulan Dan Saran
3.1 Kesimpulan
Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit
dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit
yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang.
Ada banyak jenis imunisasi yang direkomendasikan, namun yang dibahas
di makalah ini adalah imunisasi polio dan DPT. Dan penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi di Indonesia adalah Difteri, Tetanus, Pertusis, dan Poliomyelitis.
Vaksin untuk imunisasi rutin adalah obat yang paling aman dan paling
dapat dipercaya. Akan tetapi efek samping minor dapat terjadi setelah sejumlah
imunisasi dan, walau jarang, dapat terjadi reaksi serius akibat vaksin.
Untuk kontraindikasi, Perawat perlu mengetahui alasan tidak memberikan
imunisasi, baik demi keamanan anak guna menghindari reaksi maupun untuk
manfaat maksimal anak dengan menerima vaksin. Ketakutan yang tidak beralasan
dan kurangnya pengetahuan mengenai kontraindikasi dapat menyebabkan anak
kehilangan perlindungan dari penyakit yang membahayakan hidup yang
sebenarnya tidak perlu.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan kepada pembaca adalah:
1. Tingkat pendidikan ibu tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
2. Jarak rumah ke Puskesamas tidak mempunyai pengaruh terhadap
kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
3. Pengetahuan ibu mempunyai pengaruh positip terhadap kelengkapan
imunisasi dasar, yang berarti bahwa semakin baik pengetahuan ibu tentang
manfaat imunisasi akan berpengaruh meningkatkan kelengkapan imunisasi
dasar pada bayi.
4. Motivasi ibu mempunyai pengaruh positip terhadap kelengkapan
imunisasi dasar. Yang berarti bahwa semakin baik motivasi ibu akan
berpengaruh meningkatkan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.
5. Tenaga Kesehatan Berupaya untuk meningkatan pengetahuan ibu tentang
manfaa timunisasi dasar bagi bayi sehingga ibu yang mempunyai bayi
berusaha meningkatkan kelengkapan imunisasi bayi melalui penyuluhan-
penyuluhan di masyarakat.
6. Berupaya untuk meningkatkan motivasi ibu dengan memberikan informasi
tentangi munisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan bayi dan
meningkatkan kelengkapan imunisasi bayi.
7. Ibu yang mempunyai bayi Agar lebih meningkatkan pengetahuan tentang
manfaat imunisasi bagi anaknya. Agar mempunyai motivasi yang besar
dalam meningkatkan kesehatan bayi dan keluarganya.
8. Dapat menjadi informasi dan data sekunder dalam pengembangan
penelitian selanjutnya.
Daftar Pustaka
Dona L. Wong. dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. EGC:
Jakarta.
http://puskesmasmedang.blogspot.com/2010/07/jenis-penyakit-yang-dapat-
dicegah.html?m=1
http://rianjulianto11.blogspot.com/2013/04/makalah-imunisasi.html?m=1