daftar isi - steveagustapoems.files.wordpress.com · cerpen -6 di sini (diana d. timoria) kereta...
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
RUANG REDAKSI -1
In Paradisum
ESAI -2
Gelombang Korea Menghantam Kota Karang
(Mario F Lawi)
CERPEN -6
Di Sini
(Diana D. Timoria)
Kereta
(Erlin Lasar)
Belis
(Silviana Yanti Mesakh)
PUISI -25
Sr. Wilda, CIJ
Prim Nakfatu
Donis Dalli
Rian Dji Bai
Steve Agusta
KUSU-KUSU -34
Ume Kbubu
(Amanche Franck Oe Ninu, Pr.)
RESENSI__ -38
Suara yang Terluka
(Januario Gonzaga)
PROFIL_____ -44
Januario Gonzaga
Filsafat dan Pewartaan di Ujung Pena
KARIKATUR -52
ISSN: 2252-7931
In Paradisum
Dari Betlehem ke Golgota, kami mencarimu, Tuan, setelah kerlip
bintang menunjukkan kami arah kedatangan. Palungan dan lampinmu
masih lembab dan memperdengarkan suara tangismu. Suaramulah
yang menuntun para Majus, murid-muridmu dan Maria yang
senantiasa berjaga. Dari Yudea hingga Samaria, kami mencium aroma
kakimu; wangi anggur yang ditumpahkan ke dalam cawan perjamuan
terakhir. Seperti ikan-ikan yang kaukumpulkan dalam jala, kami
akhirnya menemukan perhentian. Seperti kawanan domba yang
tenang di padang ketika mendengarkan gembala memainkan kecapi.
Ke dalam engkau yang memandang kami dari atas salib, kami
menghilang untuk menggenapi sebagian diri kami yang telah
kautemukan. Sebab piala paling agung telah engkau unjukkan
sebelum roti terakhir engkau pecahkan sambil berseru, ―Mengapa
engkau meninggalkan aku?‖
(Fatuba’a, Agustus 2013)
RUANG REDAKSI
SANTARANG
Jurnal Sastra
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora
Pelindung/ Penasehat:
Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marcel Robot
Penanggungjawab:
Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.
Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:
Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|
Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|
Lay-out: Abdul M. Djou|Karikatur: Etho Kadji |Ilustrasi Isi: Mando & Etho|
Email redaksi: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esai, resensi, cerpen dan
puisi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan yang dikirim.
Edisi Oktober 2013 1
Gelombang Korea
Menghantam Kota Karang Mario F Lawi
/1/
Banyak orang menyebut serbuan K-Pop sebagai hallyu atau
gelombang Korea (Korean Wave). Gelombang ini awalnya dipicu
keranjingan orang terhadap drama romantis Asia, termasuk drama
Korea. Dari sini, anak muda Asia kemudian mengenal K-Pop dan
menggilainya. Di Indonesia sendiri, subur bertumbuh sejumlah band-
band Indonesia yang beraroma Korea seperti Princess, Cerrybelle,
hingga 7icons.
Selain fenomena band Korea di atas, ada pula lagu yang berasal
dari Negeri Ginseng tersebut yang menarik perhatian dunia seperti
Gangnam Style. Di situs youtube, video ini menjadi salah satu video
klip asal Korea Selatan yang paling banyak ditonton. Selain sukses
memuncaki daftar lagu di Korea Selatan, lagu dan video klip ini pun
sukses mencuri perhatian pecinta musik di berbagai belahan dunia
termasuk mencuri perhatian artis-artis papan atas dunia serta media-
media besar dunia untuk mengulasnya.
Berkembangnya berbagai varian teknologi komunikasi saat ini
memungkinkan invasi budaya Korea tersebut ke berbagai negara di
dunia, termasuk Indonesia. Mimetisme media, pengemasannya yang
dibuat semenarik mungkin, lemahnya resistensi budaya setempat dan
minimnya kesadaran filtrasi memungkinkan budaya Korea ini
berkembang ke pelosok dunia. Di Kota Kupang sendiri, invasi budaya
Korea ini mulai terasa. Dari peniruan lagu-lagu berbahasa Korea atau
yang dinyanyikan oleh band-band Indonesia beraroma Korea hingga
tarian Gangnam Style yang populer di kalangan kaum muda Kota
Kupang mengindikasikan kuatnya invasi tersebut masuk ke jantung
ESAI
KREATIF DAN INSPIRATIF 2
pertahanan budaya Kota Kupang.
/2/
Sebagaimana dipercaya Adorno dan Horkheimer bahwa kritik
bertujuan untuk melindungi manusia dari kehilangan jati dirinya
dalam pemikiran dan aktivitasnya, dan individu tetap merasa menjadi
bagian dari organisasi masyarakat yang ada (Dialectic of Enlightment,
1972), demikian pun kesadaran dan filtrasi terhadap budaya asing
diperlukan agar manusia mampu mempertahankan identitasnya tanpa
kehilangan jati dirinya yang asali.
Sejauh Hallyu dibaca sebagai komodifikasi, maka dalam modus
yang berbeda, fenomena ini sama dengan fenomena McDonald
ataupun Coca-Cola. Namun, hal ini belum memperhitungkan
kemunculan resistensi budaya setempat yang coba untuk dipengaruhi
olehnya. Keberadaan McDonald maupun Coca-Cola telah teruji
selama bertahun-tahun, sedangkan invasi Hallyu baru terasa pada satu
dekade terakhir. Faktor kedekatan benua menjadi salah satu faktor K-
Pop dan varian budaya Korea dengan mudah diterima di Indonesia
hingga ke pelosok-pelosok negeri termasuk Kota Kupang. Kekuatan
reproduksi media dan berkembangnya teknologi komunikasi semakin
memungkinkan kaum muda Kota Kupang mengakses berbagai macam
perkembangan yang berkaitan dengan K-Pop dan variannya. Di Kota
Kupang, Korea dan industri hiburannya berusaha menyaingi Jepang,
yang juga menancapkan pengaruhnya dalam berbagai bidang (mulai
dari kendaraan bermotor hingga manga dan anime).
Mengontraskan fenomena budaya modern seperti yang
dikemukakan Adorno, berarti juga memperhitungkan peran media
sekaligus menata kembali potensi-potensi kekuatan budaya tradisi
yang dapat dipakai sebagai filter masuknya budaya-budaya asing.
Kota Kupang sebagai daerah urban menyimpan potensi terhadap
pengabaian nilai-nilai tradisi yang datang dari berbagai daerah.
Esai
Edisi Oktober 2013 3
Namun, dalam hal yang lebih parsial, dapat ditemukan identitas-
identitas asali yang masih dipegang teguh oleh sejumlah individu dan
kelompok yang tinggal di Kota Kupang. Dengan demikian,
kesempatan untuk menggali potensi kekuatan budaya tradisi yang ada
masih terbuka lebar.
Di ruang publik, homogenisasi tentu saja tidak akan berlangsung
secara mutlak, karena bagaimanapun resistensi adalah juga bagian
integral dari sebuah proses perkembangan kebudayaan. Keberadaan
budaya asing dengan segala variannya harus juga dipahami sebagai
daya uji terhadap kekuatan resistensi masyarakat Kota Kupang
dengan berakar pada budaya tradisi nenek-moyang. Hal ini harus
dilandasi atas pemahaman yang mendasar masyarakat Kota Kupang
terhadap keberadaan budaya tradisi sebagai faktor ciri sekaligus
penentu dalam proses ini.
Dalam konteks interaksi antar-budaya, serbuan K-Pop dapat
dilihat sebagai sarana integrasi yang hanya dimungkinkan dengan
adanya daya refleksi masyarakat Kota Kupang terhadap interaksi
tersebut. Daya refleksi ini tidak dipahami secara ekstrim sebagai
pembangunan sekat-sekat kultural terhadap invasi budaya asing,
tetapi lebih kepada dengan jeli menimbang dan memilih budaya yang
akan diakrabi sambil tetap mempertahankan identitas individual yang
juga mengandaikan integrasi terhadap identitas kultural-tradisional.
Dengan demikian, ‗ruang publik‘ tidak hanya dipahami sebagai ruang
intervensi sebuah budaya asing terhadap budaya lokal, melainkan
lebih kepada interaksi atau mungkin pembastaran dua budaya yang
berbeda, dengan tetap menjunjung dan menomorsatukan keunikan
budaya tradisi sebagai ciri pembeda dan pembentuk masyarakat lokal.
Keberadaan internet juga tak bisa dipungkiri sebagai faktor
terbesar yang memungkinkan invasi K-Pop ini ke berbagai penjuru
dunia bahkan hingga ke daerah-daerah terpencil (remote areas).
Namun, tentu saja, memahami internet sebagai ‗ruang publik‘ yang
memungkinkan sebuah budaya diperkenalkan dan diterima harus juga
Esai
KREATIF DAN INSPIRATIF 4
menyentuh ranah pemahaman terhadap realitas anonimitas yang
berkembang dengan pesat di tengah dunia yang serba maya.
Penguatan budaya lokal melalui pewarisan yang lebih inovatif
tentunya diperlukan. Penanaman nilai-nilai yang berasal dari budaya
tradisi sejak dini patut dilakukan. Pengenalan budaya ini tentu saja
tidak untuk mengelakkan mereka dari potensi kehadiran budaya luar
dalam interaksi mereka selanjutnya, tetapi lebih kepada usaha
meminimalisasi potensi kelunturan nilai-nilai yang disebabkan oleh
benturan interaksi antar-budaya tersebut.
*) Mario F. Lawi dilahirkan di Kupang, 18 Februari 1991. Mahasiswa Komunikasi
Antarbudaya Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana. Bergiat di
Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Sedang mempersiapkan kumpulan
puisinya yang berjudul Ekaristi.
Esai
Edisi Oktober 2013 5
Di Sini Diana D. Timoria
Kau menyebut namaku, dia dan mereka dengan aliran pekat dalam
matamu yang beraroma gosong kata di hadapan beliau yang kita
segani, seolah dengan begitu dendammu terlunaskan. Walau
sejujurnya aku tak mengerti apa yang sudah kau keramatkan, tentang
sebuah dosa yang membuatku terlihat begitu menjijikkan di matamu.
Kau bakar habis namaku dengan rincian-rincian dosa yang hingga
kini aku tak tahu, dosa siapa yang kau katakan itu, hanya saja selalu
kudengar namaku kau sebutkan dengan irama detak jantung yang tak
lagi tenang.
Sepertinya menyebarkan kebohongan adalah salah satu bakat yang
kau punya, sayangnya kau terlalu bodoh hingga tidak sadar bahwa
kau lakukan kebohongan itu di dunia nyata yang bukan sekedar
sandiwara televisi murahan. Kau lupa bahwa yang kau korbankan
adalah kami, orang-orang yang selama ini menghirup udara di bawah
atap yang sama denganmu di asrama ini. Kau merusak segalanya,
ketenangan, kedamaian dan persaudaraan. Hari-hari kita yang selalu
berlalu menyenangkan kini tak lagi kami rasakan. Semuanya menjadi
saling curiga, menduga bahwa ada manusia sejenis kau yang hidup di
asrama. Semuanya diam tanpa keceriaan lagi; bagaimana bisa kami
tertawa dalam diam? Kita jadi enggan untuk saling menyapa.
Membuat sunyi ini menjadi terasa ganjil untuk kami yang telah
bertahun-tahun di tempat ini dan aku tak bisa memaklumi ini semua.
Sungguh, hingga saat ini aku masih selalu bertanya-tanya; mengapa
kau lakukan itu?
Kami semua bertanya-tanya satu dengan yang lain. Aku bertanya
pada dia, dia bertanya pada dia dan semuanya hanya diam saja, tak ada
yang berani bertanya padamu. Dan seiring waktu berjalan, tak ada
lagi yang bicara denganmu, bahkan menyapamu serasa seperti sebuah
CERPEN
KREATIF DAN INSPIRATIF 6
kesalahan tanpa penghakiman dan tak terampuni. Kau kami biarkan
menyudut bersama kalimat-kalimat kebohongan yang membentuk
pagar untukmu sendiri. Kuharap kau segera sadar sebelum tubuhmu
membusuk bersama kata- kata kotor yang kau ucapkan melalui celah
bibirmu. kami enggan untuk berbagi lagi denganmu. Apapun itu.
Senyuman, kisah, makan, minum, atau apapun. Kami dan semua
kebersaman yang kami coba untuk lahirkan kembali dan kau bersama
semua kemunafikanmu.
Bukan salah kami jika pada akhirnya kami mengabaikan
kehadiranmu. Kau membuat beberapa dari kami termasuk aku harus
rela menerima hukuman terhadap apa yang kau ucapkan di hadapan
pimpinan asrama. Malam minggu itu, kau katakan bahwa aku sedang
pergi ke tempat pacarku. Astaga! Pacar saja aku tak punya, bagaimana
bisa tiba-tiba saja aku yang sedang mengikuti kegiatan organisasi
sedang bersama pacar? Kau membuat hatiku terluka dengan
kebohonganmu dan lebih terluka lagi kau membuatku menyadari
fakta yang menyedihkan tentang kesendirianku.
Sungguh, kau begitu kubenci, kau mengantarkanku pada seminggu
di malam antah-berantah. Semoga kau sadar bahwa jauh dalam hatiku,
aku pun mulai memelihara dendam untukmu. Semoga kau pun tetap
tegar agar suatu saat nanti ketika aku membalasmu—aku memang
berniat membalasmu—kau tidak langsung terjatuh dan terpuruk.
Aku selalu menantikan saat-saat di mana kau lengah. Di saat itu,
aku akan menabrak dan menghancurkanmu hingga menjadi puing-
puing tak berarti yang berserakan di jalanan. Seperti itulah dendamku
padamu. Karena kata yang keluar dari mulut sang pimpinan cukup
untuk membuatku mampu memelihara dendam itu dengan segala
kebencian yang kupunya. Seminggu masa skors yang kau berikan
padaku adalah hadiah termanis untuk kebersamaan kita, yang dulu
sempat kusebut persahabatan. Mungkin aku yang salah menyebutnya.
Dan tiba-tiba saja, di suatu malam kau mengetuk pintu kamarku.
Saat itu aku sendirian di kamar bernomor 4 itu, ketiga adik kamarku
Cerpen
Edisi Oktober 2013 7
sedang di kamar sebelah. Tanpa menoleh aku menyuruhmu masuk,
dan ketika kau duduk di sampingku. Aku baru saja sadar bahwa itu
kau. Aku terkejut, tapi tidak kutunjukkan. Aku malah
mengabaikanmu. Aku terus menekuni tugas yang sedang kukerjakan.
Tanganku terus menari di atas laptopku, tidak ada sedikit pun niatku
untuk bertanya tentang maksud kedatanganmu. Melihat
kedatanganmu saja aku sudah cukup marah. Apalagi jika harus
membuka percakapan denganmu, sungguh, aku tak ada niat.
― Aku bisa jelaskan semuanya,‖ kau bersuara nyaris berbisik.
Aku mengatup mulutku, rahangku mengeras. Tatapanku tajam ke
arah laptop. Aku ingin tidak pedulikan kau, persetan dengan
kehadiranmu, apapun tujuanmu. Yang pasti aku tidak ingin lagi
bercerita denganmu tentang apapun karena kau pasti akan
mengarangnya di hadapan beliau lagi, cukup sekali saja kau membuat
aku terusir selama seminggu dari asrama ini. Kau tau bagaimana
rasanya bingung mencari tumpangan di tanah rantau ini? Kau tega.
―Gina.‖
Aku terus mengetik, namun yang terketik bukanlah kata-kata yang
seharusnya tapi malah menjadi barisan huruf yang tak berarti.
―Gina, maaf...‖
Aku berhenti mengetik dan masih menahan amarahku. Bisa
kurasakan kerutan-kerutan di wajahku.
―Gina,‖ panggilmu lagi. Berharap aku menoleh dan tak
mengabaikanmu. Aku mengabulkannya.
―Kenapa?‖ tatapanku menghujammu, seolah kau adalah penjahat.
Kau malah menunduk.
―Aku minta maaf.‖
Aku kembali tak peduli. Bagiku kau masih saja seperti sosok
makhluk yang perlu kujauhi.
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 8
―Aku tidak butuh kau minta maaf.‖
―Tapi aku butuh maafmu.‖
―Terlambat.‖
Kau terisak, aku terkejut melihat air matamu. Tiba–tiba saja hatiku
melunak. Wajahku tidak mengeras lagi, namun aku tetap enggan
untuk menunjukkannya padamu, maka aku pun berpaling dan tidak
menatapmu lagi.
―Gina, maaf, aku tahu aku salah padamu.‖
―Bukan hanya aku.‖
―Ya, pada semua anak asrama lainnya.‖
Aku terdiam. Ada apa dengan pengakuanmu?
―Gina, aku hanya tidak tau harus berbuat apa. Semuanya terjadi
bagitu saja yang terpikirkan olehku hanya bahwa aku harus tetap
tinggal di asrama ini‖
―Maksudmu?‖
―Kakakku tidak mau lagi membiayai kuliahku. Aku ketahuan
pacaran. Padahal aku sudah janji bahwa di awal kuliahku aku tidak
pacaran. Bapak sudah meninggal, dan mama tinggal di kampung,
susah untuk kuhubungi. Jarang sekali mama mengirimkanku uang.
Jika pun dikirimkan, jumlahnya sangat kecil. Satu-satunya harapanku
hanyalah kakakku.‖
―Lalu?‖ aku masih belum bisa menemukan penghubung antara apa
yang kau katakan dengan semua rangkaian kebohonganmu selama ini.
Mungkin saja saat ini kau sedang berbohong untuk mendapatkan rasa
kasihanku. Makanya aku harus hati-hati untuk mengambil
kesimpulan.
―Aku harus tetap berada di asrama ini. Asrama ini satu-satunya
tempat yang kutahu murah, dengan fasilas yang ada, air dan listrik
yang cukup. Aku harus tetap di sini jika ingin berhemat.‖
Cerpen
Edisi Oktober 2013 9
―Lalu kenapa kau berbohong?‖
―Agar aku tetap di sini.‖
―Bukankah memang kau di asrama ini?‖
―Tapi kata suster pimpinan, beberapa dari kita harus dikeluarkan
saat tahun ajaran baru nanti. Dan aku tak mau dikeluarkan.‖
―Kau kan tidak dikeluarkan,‖ suaraku meninggi. Aku marah
padamu.
―Tidak menutup kemungkinan aku yang akan dikeluarkan,‖
suaramu tak kalah meninggi.
―Kau pesimis.‖
―Tidak, aku hanya memikirkan kemungkinan terbesar.‖
―Mengapa itu jadi kemungkinan terbesar?‖
―Sudah 5 bulan aku tak bayar uang asrama. Rasanya akulah yang
paling pantas dikeluarkan. Dan jika aku keluar maka aku tak kuliah
lagi. Jangankan untuk membayar tempat tinggal, untuk makan saja
aku melakukan penghematan ekstra.‖
Aku terkejut mendengar pengakuanmu.
Lalu kau melanjutkan, ―Makanya aku usahakan agar bukan aku
yang dikeluarkan.‖
‖Jadi kau mengarang semua cerita itu? Bahwa aku keluar malam
minggu untuk pacaran padahal kau tahu bahwa aku mengikuti
kegiatan organisasi dan bahkan kau juga tahu tidak punya pacar?‖
Kau mengangguk. Rasa-rassanya ingin kutampar saja wajahmu.
Bukan karena kebohongan itu tapi karena pemikiranmu yang
terdengar konyol di telingaku.
―Tapi kau tidak perlu berbohong seperti itu, ‗kan?‖
―Tentu saja aku perlu, Gin. Kalau aku tidak membuat orang lain
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 10
terlihat buruk di mata suster, maka keburukankulah yang nampak.‖
Kali ini aku benar-benar marah padamu. Emosiku memuncak. Aku
menatap tajam ke arahmu. Namun melihat betapa kau ketakutan dan
terlihat letih, aku jadi kasihan padamu.
―Pasti ada cara lain. Cara yang lebih baik.‖
―Misalnya?‖
―Misalnya dengan mengurus beasiswa di kampusmu.‖
Kau tersenyum sinis. Sejenak emosiku bangkit lagi.
―Siapa bapakku, Gina? Di sini tak ada yang mengenalnya.‖
―Tapi yang perlu beasiswa itu kau, bukan bapakmu, ‗kan?‖
Kau terkekeh sendiri. Kau bahkan berani menantang tatapanku.
―Di kampusku, untuk mengurus beasiswa, tidak menanyakan siapa
aku, tapi siapa bapakkku. Meski pun pintar dan aktif organisasi tapi
selama tidak ada yang mengenal bapakku, maka aku tak akan
mendapatkan beasiswa itu.‖
Aku terkejut, ―Kok bisa?‖
―Bisa saja, bukankah itu hal yang biasa? Kita kan sudah harus
terbiasa dengan sistem menjunjung tinggi silsilah keluarga seperti
itu. Kita yang berasal dari daerah-daerah tidak usah mengharapkan
bantuan seperti itu. Itu milik mereka yang punya kenalan di sini.‖
―Kau aneh Via.‖
―Apanya?‖
―Kau pintar, tapi kenapa kau melakukan hal yang memalukan
seperti itu?‖
―Entahlah, mungkin aku marah karena tak bisa diterima untuk
sesuatu yang baik.‖
Aku menatapmu,. Rasanya aku bisa mengerti perasaanmu. Aku tak
Cerpen
Edisi Oktober 2013 11
lagi marah padamu. Ah, semua ini tentang uang.
―Gina, kau mau memaafkanku?‖
―Berjanjilah kau tidak mengulangnya.‖
―Ya.‖
―Tapi kau juga harus meminta maaf pada semua anak asrama.‖
―Ya, tapi untuk itu aku minta bantuanmu.‖
―Untuk?‖
―Mengumpulkan anak asrama setelah doa nanti.‖
―Kenapa harus aku? Karena aku ketua asrama?‖
―Tidak, karena kau sahabatku.‖
Aku tersenyum dan mengangguk. Seperti itulah seharusnya
kebersamaan kita. Tidak perlu kau hidup sendiri bersama teori
bodohmu yang membuat kau tega berbohong tentang kami, bahkan
aku, sahabatmu, sempat kau korbankan.
Sahabat, jika kau tak bisa menolong dirimu sendiri bukan berarti
tak ada orang lain yang bisa menolongmu. Jangan terlalu angkuh
untuk meminta pertolongan. Maka, marilah kita saling menolong,
bukan karena siapa orangtua kita, tapi karena siapa kita. Kau dan aku.
Asrama Puteri Stella Maris, 2013
*) Diana D. Timoria adalah Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Nusa Cendana. Anggota KMK St. Thomas Aquinas FKM Undana.
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 12
Kereta Erlin Lasar
Mungkin aku saja yang datang terlalu pagi. Belum lepas sepuluh
menit sejak penumpang pukul 05:00 pagi tadi tiba. Kereta yang
datang dari arah Jakarta itu rupanya tak membawa banyak
penumpang. Hari-hari ini bukan hari libur. Tak heran stasiun sepi.
Apalagi masih sepagi ini. Aku merogoh kantong belakang ranselku
yang berat, menelisik torehan waktu yang dicantumkan di lembar
tiketku, pkl. 09:00 WIB. Masih lama. Sekejap aku melongo. Bertanya
lebih pada diri sendiri. Lalu untuk apa aku di sini sekarang?
Di sekelilingku sudah benar-benar sepi kembali. Satu dua petugas
dengan wajah penuh kantuk sibuk dengan sapu ijuk. Beberapa
gumpalan koran kumal, bekas alas duduk pedagang kaki lima
kemarin, atau bisa juga penumpang yang lelah menunggu lama,
berserakan di sekitar kakiku. Kusepak beberapa sekenanya sambil
terus menyusuri peron tempat penumpang biasanya duduk menunggu
kereta mereka. Kudengar perutku sendiri ribut berkeroncong. Sepagi
ini aku sudah lapar lagi. Kulirik warung yang biasanya ramai saat ada
banyak calon penumpang di sini tak peduli dini hari atau tengah
malam. Untungnya tampak baru saja dibuka meski ditunggui
makhluk malang yang terlihat sekali masih mengantuk. Aku
menyeret langkahku ke sana.
― Mbak, nasi bungkusnya satu.‖
Perempuan paruh baya itu berhenti pada mataku dan terpaku.
Awalnya kupikir ia tersinggung hanya kusapa ‗Mbak‘. Tetapi ternyata
tatapannya itu justru tampak seolah berteriak di depan mukaku;
„Siapa yang sudah jual nasi bungkus sepagi ini. Tunggu tiga jam lagi!!!‟.
Maka aku terdiam dan memilih duduk di salah satu kursi kecil di
depan warungnya. Belum lama aku berdiam di situ, wanita itu kembali
mendelik. Dua kali lebih galak. Sinar matanya yang entah nampak
Cerpen
Edisi Oktober 2013 13
penasaran atau gusar, seolah mengumpat di depan hidungku, „Untuk
apa anak perempuan macam kau berkeliaran tak jelas di stasiun sepagi ini?
Duduk di warungku, lagi!‟. Kuberitahu, Kawan, umpatan yang tak
terkatakan, apalagi dari sepasang mata yang terlihat belum tidur
semalam suntuk terasa jauh lebih menyeramkan.
Aku mengangkat bahu tak peduli. Tatapan yang bertanya itu
seharusnya dari aku. Sebab aku pun bingung kenapa aku di sini. Ya,
tentunya karena aku akan pulang. Tapi sepagi ini, untuk apa?
Ranselku yang tampak besar ini pun sesungguhnya membuatku
heran. Barang-barang macam apa yang tepatnya telah kujejalkan ke
dalamnya. Aku tahu perjalananku bakal jauh menempuh waktu, tetapi
tak perlu juga seberat ini, ‗kan? Tetapi biarlah, yang penting kertas
berharga itu; tiket pulangku. Ah, aku teringat tiketku, masih lebih
dari 3 jam lagi.
Jam dinding reyot yang tergantung di warung wanita itu berdetak
ragu. Aku menghitung satu sampai dua puluh, lalu mengulangnya
lagi dari satu. Kenapa begitu? Entahlah. Sejak kecil aku suka
melakukannya. Entah pada detak jam atau rintik hujan. Sayangnya,
untuk yang kedua selalu berujung pada sakit di kepalaku. Aku ingin
terus menghitung, tetapi syarafku berdenyut, pening. Hhh, padahal
itu ‗kan kegiatan menyenangkan. Seperti tak akan kehilang waktu.
Selalu bisa diulang lagi dari awal dengan begitu mudahnya.
Sejenak berselang, kepala wanita tadi mucul dari balik pintu. Masih
tanpa suara, ia memandang sekali lagi ke arahku. Aku berjengit lega,
siapa tahu ia berubah pikiran. Menyediakan segelas teh atau sepotong
roti setidaknya. Tetapi lihatlah, ia malah terus mendelik ke arahku.
Aku bertanya dalam hati, seingatku, sedari tadi belum ada sesuatu pun
yang kulakukan selain duduk dan diam. Kenapa ia merasa seolah
sangat terganggu alih-alih menyediakan makan atau minum yang bisa
kubeli. Meski begitu aku mencoba untuk tetap tidak peduli.
Diam-diam aku menatap juga pada pakaian yang kukenakan.
Jangan sampai ada yang aneh. Ah, tidak. Jaketku memang terlihat
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 14
tebal seperti milik preman atau pendaki Mount Everest. Tetapi ini „kan
memang untuk perjalanan jauh. Aku tak mungkin hanya mengenakan
kardigan. Lalu aku lirik sepatuku. Aku tidak mengenakan sepatu
cantik. Ya, iyalah. Ini bukan perjalanan singkat naik bus atau feri. Aku
tak bisa sembarang memakai alas kaki yang tidak nyaman untuk jalan
jauh. Aku terus berdebat sendiri sembari keributan mulai semakin
gaduh berdengung di perutku.
―Bu, nasi bungkus satu, ya!‖ Aku mencoba mengulangnya. Siapa
tahu tadi ia salah dengar. Namun kalimatku hilang ditelan deru kereta
yang lewat. Aku terkejut dan melihat jarum jam reyot itu. Setengah 6.
Wanita itu semakin mendelik dan akhirnya mengayunkan tangannya.
Menyuruhku pergi? Yah, mungkin. Dan benar, kali ini meyakinkan.
Sampai-sampai ia bangkit dan bertingkah seolah sedang menghalau
udara dengan tergesa di depan hidungnya. Maka aku pun pergi.
Dengan perut yang terasa lapar, udara pagi yang belum benar-
benar terang itu malah terasa dingin menusuk. Tas bawaanku juga,
semakin berat saja rasanya. Aku melongok ke sana-ke mari, mungkin
ada coffee shop atau semacamnya yang juga sudah buka. Tetapi
sesungguhnya pertanyaan tadi masih berseliweran di kepalaku.
Bagaimana bisa aku di sini sepagi ini. Aku bahkan lupa dengan apa
aku menumpang sampai di sini tadi.
Seorang petugas berseragam biru lewat di depanku sambil
menggotong sekantong besar sampah. Sebenarnya ia nyaris saja
menabrakku. Ah, tetapi aku sedang tak bertenaga angkat suara. Bapak
itu berlalu dan aku celingukan mencari warung lagi. Dalam hati aku
heran, mestinya semakin terangnya hari, semakin banyak orang yang
datang. Begitu juga dengan pedagang-pedagang. Harusnya mereka
sudah mulai berseliweran di sini dan warung-warung itu juga
harusnya sudah dibuka sejak tadi. Tetapi apa yang kulihat di sini?
Rasanya seperti semakin sunyi saja stasiun ini. Kuketukkan telapakku
pada lantai putih berdebu yang dingin itu sambil terus mengarahkan
mataku ke segala sudut. Nampak peron benar-benar kosong sekarang.
Cerpen
Edisi Oktober 2013 15
Dan itu sungguh membuatku semakin bingung.
Seorang bapak yang tadi, yang berseragam dan memang terlihat
sebagai seorang petugas stasiun itu, lewat lagi. Kali ini ia membawa
tiga kantong yang sama besar sekaligus. Untung saja ia tak nyaris
menanbrakku seperti sebelumnya. Aku mengejarnya dengan langkah
kecil-kecil yang lebih cepat untuk bisa menyamai irama kakinya.
Maksudku ingin bertanya. Tetapi orang itu sudah lebih dulu mendelik
padaku seolah berkata, „Jangan tanya padaku!!!‟. Aku terkejut juga
tetapi jelas belum ingin menyerah. Sebab aku belum sempat berkata
apa pun. Lalu mulutku baru setengah terbuka lagi ketika bapak itu
berhenti tiba-tiba dan menjatuhkan salah satu kantong yang
dibawanya. Sungguh tepat menimpa jemari kaki kananku. Aku
meringis. Bapak itu malah terus mendelik. Aku geram lalu berbalik.
Setengah mati aku menahan diri untuk mulai menggerutu
marah. Keributan tercipta lagi di tengah kesunyian itu ketika sebuah
lokomotif tua lewat. Aku semakin terpaku dan tak mengerti. Dengan
mulai putus asa aku lemparkan begitu saja ransel bawaanku di kaki
salah satu kursi tunggu penumpang di peron. Dengan tetap
menggenggam lembaran tiketku, aku berlari ke arah warung si
wanita galak yang pertama tadi. Biarlah kuabaikan perutku yang
kelaparan minta sarapan demi memastikan sudah jam berapa ini. Siapa
tahu sudah tinggal sebentar lagi sebelum jam sembilan. Derap
sepatuku terdengar keras memantul. Dengan setengah berlari aku
terus mencari lagi warung itu. Namun lama kelaman, meski yakin aku
telah menuju arah yang benar, warung itu tak tampak lagi. Aku
menoleh ke arah tempat kugeletakan ranselku tadi dan mengira-ngira
arah yang telah kuambil. Tidak ada yang salah. Hanya saja... peron ini
kok tampak memanjang ya?!
Aku semakin sulit menentukan arah yang benar. Aku seperti
tersesat. Aku semakin frustasi tetapi ingin tetap mencari tahu. Aku
takut keretaku lewat tanpa kusadari. Jangan-jangan tinggal setengah
jam lagi atau bahkan tinggal lima menit lagi sebelum jam sembilan.
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 16
Waktu bisa saja telah cepat berlari, bukan? Dan tidak ada penumpang
lain yang terlihat di sekelilingku. Sebuah lokomotif lagi lewat dan
keributan itu setidaknya menenangkanku bahwa aku masih di tempat
yang sama. Tetapi warung itu tidak kutemukan di sekitar situ. Maka
kupikir aku salah arah.
Tanpa kuduga ternyata Bapak si petugas tadi kembali lewat
beberapa langkah di depanku. Ekspresinya sama tak peduli seperti
sebelumnya. Demi menjawab semua kebingunganku, aku nekat saja
berteriak menanyakan jam berapa ini padanya. Kukira ia berbalik dan
menatapku penuh amarah sebagai jawaban. Tetapi ternyata ia hanya
menoleh sedikit sembari sumringah,
― Jam 5 sore, Mbak.‖
Aku terkejut bukan kepalang. Dengan santainya ia menenteng
lima kantong sampah lagi menyeberangi peron sambil melanjutkan,
―Pulang saja, Mbak. Setelah ini tidak ada lagi kereta yang singgah
sampai besok pagi. Paling hanya lewat saja‖.
Aku menatapnya luar biasa tak percaya. Bukankah tadi baru jam
lima pagi ketika aku datang? Bapak itu menjauh dengan santai. Saat di
warung wanita itu tadi saja, baru jam setengah enam, ‗kan?! Dan aku
jatuh terduduk, meringis. Sakit. Air mata langsung meleleh deras di
kedua belah pipiku. Aku tahu aku masih di ranjang kamar kosku dan
sambil terbaring aku merintih ingin pulang.
lantaitiga_28sept2012
*) Erlin Lasar adalah mahasiswi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Anggota Komunitas Sastra Sandal Jepit Maumere. Pada tahun 2011
meluncurkan kumpulan cerpen Sabtu Kelabu, (penerbit Mosalaki Librica,
Jakarta). Menaruh minat pada sastra dan musik klasik serta musik tradisional.
Cerpen
Edisi Oktober 2013 17
Belis Silviana Yanti Mesakh
―Halo sayang…‖ terdengar sebuah suara menyapaku lewat
handphone. Aku tahu siapa pemilik suara itu karena aku telah membaca
namanya yang tertera di layar handphone-ku. Dia adalah Albert,
pacarku yang beberapa tahun belakangan mengisi hatiku. Rasa
bahagia mekar seketika dalam hatiku saat mendengar suaranya.
Telingaku mendadak hangat sama seperti hatiku saat mendengar
suaranya. Hangatnya mengingatkanku pada hangatnya matahari pagi
yang menyentuh kulitku saat aku berjemur di pagi hari.
―Iya, Sayang. Apa kabar?‖ sahutku antusias. Senyumku merekah.
Aku merasakan ada taman bunga dalam hatiku dengan bunga
berwarna-warni yang wanginya semerbak. Setelah berbasa-basi
sejenak, ia mulai menanyakan hal lain di luar hubungan kami. Iya, ia
menanyakan perihal kenaikan bahan bakar minyak. Apa? Apa aku
tidak salah dengar? Apa peduliku kalau BBM sampai naik? Aku tidak
peduli sedikit pun kalau BBM akan naik atau jangan-jangan memang
sudah naik. Yang penting aku masih bisa membeli apa pun yang
kumau dengan bekerja keras.
Tapi jangan bilang-bilang, kemarin aku baru saja memprotes
tukang gorengan yang menaikkan harga gorengannya padahal BBM
belum naik. Aku juga bertengkar dengan tukang ojek yang meminta
bayaran tiga ribu rupiah padahal jaraknya tidak terlalu jauh.
―Ayang, BBM bukan ‗akan naik‘ tetapi memang ‗sudah naik‘. Tadi
malam pengumuman kenaikannya,‖ katanya memberikan tekanan
suara pada kata akan naik dan sudah naik. Ia memanggilku dengan
panggilan ‗ayang‘, katanya ia mendapat inspirasi dari lagunya Dewi
Dewi, Ayang-ayangku.
―Terus apa hubungannya dengan kita?‖ tanyaku sambil menahan
sakit yang tiba-tiba menyerang gigiku.
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 18
―Ayang, BBM naik. BELISMU AKAN NAIK ‗KAN?‖ katanya
menambah volume suaranya. Oh... jadi ini masalahnya? Aku tidak
tahu harus menjawab apa. Aku tidak pernah berpikir ia akan
menanyakan soal ini. Aku tidak pernah memikirkan hal ini
sebelumnya. Tiba-tiba sakit di gigiku berpindah ke kepalaku saat
memikirkan hal ini. Hening sejenak di antara kami.
―Saya tidak tahu,‖ ucapku terbata.
―Sayang, kamu harusnya menanyakan ke orangtuamu berapa
belismu. Biar saya bisa mengukur kekuatan saya,‖ sarannya.
Bukan baru kali ini ia menyarankan hal ini. Sudah berulang kali ia
mengatakan hal ini. Telingaku rasanya langsung sakit ketika
mendengar sarannya. Di kampung kami tidak ada seorang pun anak
gadis yang berani menanyakan belisnya pada orangtuanya. Bisa
dibilang anak yang kurang ajar kalau ia sampai menanyakan pada
orangtuanya.
Belis atau mahar seseorang ditentukan pada saat Tama Husu1
dalam sebuah acara adat dalam adat suku Tetun. Bukan sembarang di
tanyakan pada orangtua. Pada saat Tama Husu, semua anggota suku
dari si gadis dan calon suaminya pun hadir. Biasanya di laksanakan di
Uma Bot2.
―Saya tidak berani menanyakannya. Bulan lalu ada acara lamaran di
kampung, Belis Linda teman saya tiga puluh juta ditambah lima ekor
sapi,‖ kataku lamat-lamat nyaris terdengar seperti bisikan.
―APA?!‖ teriak Albert di telingaku yang membuat gendang
telingaku pecah. Aku memindahkan handphone ke telinga kiriku.
“Saya tidak punya uang sebanyak itu. Dari mana saya
mendapatkan uang sebanyak itu? Tidak bisakah kamu meminta
keringanan dari orangtuamu? Kamu bilang ke orangtuamu kita saling
mencintai tapi saya tidak mampu membayar belismu,‖ katanya pelan.
Suaranya terdengar seperti permohonan.
―Tapi saya tidak akan berani menanyakannya karena tak ada
Cerpen
Edisi Oktober 2013 19
seorang pun anak gadis di kampung yang berani bertanya soal Belis,‖
tolakku.
―Tapi, Sayang, ini demi masa depan kita. Kamu mencintai saya,
‗kan? Kalau memang cinta, tolong tanyakan ke orangtuamu,‖
bujuknya. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak akan pernah
menanyakan berapa belisku pada orangtuaku. Aku tahu orangtuaku
tidak berhak menjawabnya. Biasanya pada saat Tama Husu, yang
punya hak untuk membicarakan dan mematok belis seorang gadis
adalah Baba3 dan ketua suku. Itu yang kuketahui selama ini. Dan
berapa pun belis seorang gadis akan dibagi ke seluruh anggota suku si
gadis. Tentu saja, orangtua dan Baba si gadis mendapat lebih banyak
menurut ketentuan adat yang berlaku.
“Iya, saya memang mencintaimu. Tapi saya takut orangtua saya
memarahi saya. Tahu sendiri kan watak orangtua yang memegang
teguh adat. Kami hidup dan terikat pada adat,‖ Aku menolak
bujukannya. Demi Tuhan, aku memang mencintai Albert tapi aku
tidak mau dikata anak kurang ajar oleh orangtuaku.
―Adat model apa yang membiarkan anak gadisnya tidak tahu
belisnya sendiri? Dan orangtua yang membesarkan anaknya tidak
bisa mematok belis anak gadisnya,‖ sambungku dengan perlahan.
―Itu, kamu sendiri mengatakan seperti itu. Kamu harus
memberontak dan melawan adat. Ini semua demi masa depan kita.
Mungkin saja saat lamaran nanti belismu mencapai lima puluh juta
dan mungkin satu kandang sapi. Apalagi BBM sudah naik,‖ kata
Albert berapi-api.
Aku hanya mengangkat bahu dan senyum-senyum sendiri saat
menyadari ini pembicaraan lewat handphone.
―Entahlah. Saya pusing sekali dan saya mau beristirahat sebentar.
Saya janji nanti saya coba membicarakannya dengan bapak dan
mama,‖ ucapku mengakhiri pembicaraan yang kutahu tidak akan
berahkir baik-baik saja.
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 20
Ia hendak melanjutkan pembicaraan yang telah memakan waktu
hampir sejam ini, tapi dengan tegas kutolak. Untung ia mau mengerti.
Setelah itu, semata kesunyian yang menemaniku. Aku berjalan
mondar-mandir di dalam kamarku dengan gelisah. Apa yang harus
kulakukan? Apa aku harus menanyakan berapa belisku pada
orangtuaku? Tapi aku takut. Seumur hidup, aku tidak pernah
mendengar ada seorang gadis di kampungku yang berani menanyakan
berapa belisnya pada orangtuanya. Aku maklum Albert menanyakan
hal ini padaku. Walaupun ia lahir di kampung ini, ia dibesarkan di
kota. Dan ia jarang diajak orangtuanya mengikuti acara-acara adat di
kampung.
***
Semalam aku sudah memutuskan untuk menanyakan kepada
orangtuaku. Aku sudah mempersiapkan batinku untuk hal-hal buruk
yang mungkin saja terjadi. Seperti, orangtuaku akan memarahiku
habis-habisan karena lancang bertanya soal belisku, atau mungkin
ikut-ikutan mencaci Albert yang belum pernah menampakkan batang
hidungnya tapi hanya berani bertanya lewat perantaraan diriku. Ini
hal yang paling kutakutkan. Dan aku juga tidak tahu apakah aku
harus membela Albert habis-habisan dengan menerima resiko paling
buruk yakni diusir. Kalau diusir, aku harus ke mana? Semoga semua
rencana berjalan baik adanya dan sesuai dengan rencanaku.
Sore ini aku sedang membantu Ina4 memasak nasi kuning di dapur.
Kadang Ama5 ingin makan nasi kuning. Aku juga suka makan nasi
kuning dengan ikan asin yang dibakar ataupun yang digoreng.
―Ina, hau atu katak buat ida lai,”6 kataku dengan menggunakan
bahasa Tetun. Kami di rumah selalu berbicara bahasa Tetun.
Aku sedang memarut kelapa yang akan diambil santannya untuk
memasak nasi kuning. Sebenarnya aku paling malas memarut kelapa
apalagi di dalam dapur yang penuh dengan asap seperti ini. Tapi
karena aku sedang menjalankan ―misi‖ Albert, maka dengan setengah
Cerpen
Edisi Oktober 2013 21
hati, kujalani juga.
―Katak sa ida? Katak ona to,”7 sahut Ina yang sedang sibuk
mengipasi api di tungku dengan kipas yang di anyamnya sendiri.
―Albert, pacar saya menanyakan berapa Belis saya. Dia memintaku
untuk menanyakan pada Ina dan Ama. Dan saya hanya berani
menanyakannya pada Ina. Saya takut Ama memarahi saya,‖ tuturku
panjang lebar. Aku menghentikan acara memarut kelapa dan
menunggu jawaban Ina. Tapi Ina malah bertanya sudah berapa lama
kami berpacaran, Albert orang mana, pekerjaannya apa, orangtuanya
siapa dan sederet pertanyaan lain yang membuat kepalaku sakit.
Setelah aku menjawab pertanyaan Ina satu per satu hingga mulut
berbusa baru aku melanjutkan acara memarut kelapa.
Ina hanya terdiam dan ia keluar dari dapur. Dan saat masuk ia
membawa beberapa potong kunyit yang telah ia potong kulitnya.
―Nanti Ina akan memberitahu Ama. Kita dengar saja dari Ama,‖
katanya sambil menatapku.
Aku belum sepenuhnya tenang mendengar kata-kata Ina. Aku
tidak bisa menerka apa yang akan Ama katakan nanti. Semoga semua
berjalan baik-baik saja.
―O atu kawen ona kah?”8 tanya Ina tiba-tiba.
Aku kaget mendengar pertanyaan Ina. Suaranya mengandung
kekhawatiran, ketakutan dan juga kesedihan. Mungkin Ina merasa
aku belum mampu berumah tangga. Dan mungkin juga Ina takut
kehilangan diriku. Aku hanya terdiam dan menatap wajah Ina.
Rasanya begitu berat untuk meninggalkan Ina, Ama juga rumah ini.
Ah, semoga Albert mau tinggal di kampung ini dan tetap hidup
bersama Ina dan Ama.
―Ami uluk atu kawen ne‟e, hatene soru tais, hatene homan kakehe, hatene
homan biti, hatene homan koba no hatene halo to‟os no te‟in etu mos hatene.
La hos nu emi oras ne‟e, te‟in etu la hatene mos atu kawen ona. Ami at
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 22
kawen mos la hatene ho mane se ita atu kawen. Tan ema matas sia mak
hasoru malu dei. Too loron atu Tama Husu foin ita hatene ho mane se ita
kawen,”9 cerita Ina panjang lebar.
Aku tertegun dan menatap Ina dengan tatapan tidak percaya. Apa
mungkin dulu cerita Siti Nurbaya benar-benar ada dan hidup di
kampung ini? Apa mungkin Ina dan Ama pun sama halnya dengan
cerita Ina di atas? Tidak pernah berpacaran tapi langsung menikah?
Aku benar-benar bingung. Eits... tunggu. Apa ini ada hubungannya
dengan belis? Aku pernah mendengar cerita dari orang-orang di
kampung bahwa tempo dulu, orangtua si gadis hanya mau menerima
laki-laki yang bisa membayar belis, punya kebun yang banyak dan
yang punya ternak sapi berkandang-kandang. Terus bagaimana
dengan cinta? Apa mungkin orang-orangtua dulu tidak pernah tahu
bahwa orang menikah itu atas dasar cinta? Aku pantas bersyukur bisa
hidup di zaman sekarang yang sudah maju.
Dan orangtuaku pun tidak memaksaku untuk menikah dengan
lelaki pilihan mereka. Jangan coba-coba menjodohkanku dengan
siapapun, aku pasti akan melakukan angkat senjata terhadap mereka.
Ingin aku bertanya banyak hal tapi rasanya tidak tega juga. Apakah
aku harus bertanya; apa Ina dan Ama menikah bukan karena saling
mencintai? Mungkin aku akan diusir dari rumah hanya karena
pertanyaaan bodoh itu.
***
Malam ini aku menunggu telepon dari Albert dengan dada
bergetar hebat. Rasanya jantungku hendak menerobos keluar dari
dadaku. Setelah aku mengirim pesan bahwa aku mau memberitahu
apa kata orangtuaku tentang belisku. Tanpa basa-basi, seperti
biasanya, ia langsung menanyakan apa kata orangtuaku.
―Albert, orangtuaku bilang kamu harus ke rumah dulu. Setelah
mereka tahu kamu serius baru melangkah ke tahap selanjutnya yakni
mempertemukan kedua orangtua kita. Setelah itu kita akan
Cerpen
Edisi Oktober 2013 23
menentukan kapan acara lamarannya. Dan saat lamaran barulah kamu
tahu berapa belisku,‖ jelasku panjang lebar.
Semoga Albert bisa mengerti dengan penjelasanku yang ke dapat
dari Ama dan Ina semalam.
―Terus apa kenaikan BBM akan berpengaruh pada berapa
belismu?‖ tanya Albert. Lagi-lagi soal BBM. Aku jadi malas untuk
menjawabnya.
―Saya tidak tahu,‖ jawabku dengan rasa malas yang menguasai
diriku.
―Ya sudah kalau begitu. Yang penting kita tetap saling mencintai
dan menikah nanti. Tidak peduli berapa belismu dan tidak peduli juga
BBM yang naik akan berpengaruh pada belismu,‖ katanya sambil
mengahkiri pembicaraan.
Ahkirnya aku bisa menarik napas dengan lega. Aku tidak peduli
berapa belisku, yang penting aku dan Albert saling mencintai. Tak
peduli juga BBM yang naik akan berpengaruh pada berapa jumlah
belisku. Yang paling penting kami saling cinta. Dan malam semakin
panjang. Aku tidak bisa tidur karena rasa bahagia yang melilit hatiku.
Weluli, 23 Juli 2013
Keterangan (dalam bahasa Tetun):
1. Lamaran; 2. Rumah adat; 3. Om; 4. Ibu; 5. Bapak; 6. “Ina, saya mau katakan sesuatu.” 7. “Mau bilang apa? Katakan saja.” 8. “Kamu sudah mau menikah?” 9. “Kami dulu mau menikah itu harus tahu menenun, menganyam kipas, menganyam tikar, menganyam tempat sirih pinang dan harus bisa bertani dan juga harus bisa memasak. Bukan seperti sekarang, tidak tahu masak nasi juga sudah mau menikah. Dulu kami mau menikah, kami tidak tahu dengan siapa kami akan menikah karena hanya orangtua kedua belah pihak yang bertemu saja. Saat lamaran baru kita tahu dengan siapa kita akan menikah.”
*) Silviana Yanti Mesakh dilahirkan di Weluli, Timor, pada 10 September 1986.
Dapat dihubungi lewat surat elektroniknya: [email protected]
Cerpen
KREATIF DAN INSPIRATIF 24
Sr. Wilda, CIJ
Sejauh Fatuleu
Subuh yang sembab mengalung sembahyang membayang-bayang
fajar yang panjang terbit di ufuk sunyi yang tak lagi membunyi
mengusik-usik tidur yang pulas berbunga-bunga mimpi yang unik
sudah kugadai suratan nasib mencakar jemari yang cantik gampang
terbaca di menara katedral tua. Tak usah kau cerita jalan menukik
susah sehari derita berhari-hari lantaran karang yang tangguh tegar,
lontar yang setia melelehkan nira, sabana yang senang bercumbu,
cendana yang suka mewangi, katemak yang nikmat matang setengah,
likurai yang molek berelok, sasando yang merdu meliuk genit semua
bakal berderit-derit menjerit didentaman musik yang usil, mendesah
dihentakan jejak yang berlari, menghimpit dijejalan batu bersusun,
membenam dibalik bayangan yang angkuh beranjak pergi diam-diam
dalam kata yang menyayat tak berdaya
sejauh Fatuleu jejak yang keramat kecantikan yang kaku
di ufuk tak ada lagi sembahyang, fajar dan mimpi.
Kupang, akhir Sept. 2013
sebuah perjalanan kesekian
PUISI
Edisi Oktober 2013 25
Bunga di Karang Siapa berkawan di jalan panjang banyak ancaman tak ada rasa percaya pada kawan juga pada lawan. Terlalu miskin mengungkap peduli tinggal primitif di zaman praktis. Garang kawan garang lawan. Berteduh di lampu merah tanpa senyuman. Sikut-sikutan di sudut Naikoten siapa dahulu siapa kemudian tak ada yang memulai tak ada yang mengakhiri tak ada yang mengalah. Semua menggarang di bawah panas yang ganas mati kutu di ujung karang-karang yang nakal. Bunga tak tumbuh di karang kota ini tak lagi ramah.
Kupang, akhir Sept.2013. Pertigaan Naikoten
*) Sr. Wilda, CIJ, penikmat Santarang.
Puisi
KREATIF DAN INSPIRATIF 26
Prim Nakfatu
Jalan Setapak
Jalan setapak
Menato punggung gemunung Amarasi
Sketsa pelukan tradisi dan generasi
Wajah dan pikiran bertelut rikuh
Berpapasan dengan kisah-kisah selingkuh
Seruwet lika-liku setapak menembus sabana
Lelaki di pohon lontar
Perempuan di atas tikar
Menjalin kisah resah di pelupuk malam
―Ina e, ini malam ketong makan apa?‖
―Ama e, ini malam ketong puasa lai e…‖
Jalan setapak
Memutar arah ke titik nol
2013
Puisi
Edisi Oktober 2013 27
Nona Kelapalima
Di atas bemo lampu 5
Wajah nona Kelapalima
Bersemu merah di kaca spion
Seorang nenek marah-marah pada sopir
―Musik pung keras lai, be pung talinga su tuli ni!‖
Nona Kelapalima
Melihat arloji pink: jam lima
Saatnya turun di kota lama
Menanti sunset dengan segelas viQuam dan kue solo
Uh, cerita tua di pintu bemo
Membekas di telinga warna ungu
―Lu sonde kas mati itu tep, be kas mati lu...‖
Antara bemo dan laut
Tercecer harapan dua hati yang berpaut
Di ufuk barat: bulatan merah mencumbu laut
Tubuhnya geletar: ada pisau di ujung maut
2013
*) Prim Nakfatu adalah nama pena Rm. Sipri Senda, Pr. Tulisan-tulisannya tersebar di sejumlah media. Buku-bukunya yang telah terbit, antara lain: Fatamorgana Langit Sabana (kumpulan puisi) dan Katuas Gaspar (kumpulan cerpen).
Puisi
KREATIF DAN INSPIRATIF 28
Donis Dalli
KEHIDUPAN
Dari tanah abu-Nya aku dibentuk
Disirami dengan terang cahaya
Jadi tunas pada lahan kering
Terangi alam, malam, gelap hati sang empunya titah
Remang bulan terselip antara gedung-gedung bertingkat
Cahayanya kutuang dalam dua cangkir
Satu untukku satu untukmu
Simponi jangkrik dalam balutan lampu taman makin memabukkan kita
Rengek bayi minta susu pecah dalam sunyi malam
Bayang-bayang hari esok menjadi siluet dalam cangkir
Kita tuang dan terus kita tuang
Hingga hilang naluri
Hingga lelahlah saraf-saraf dalam darah yang makin membeku
Seorang pemulung meminta pakaian kita
Katanya untuk busana jelang kiamat
Dan kita pulang bergandeng tangan
Berbalutkan cahaya rembulan
Kupang, 23 maret 2012
Puisi
Edisi Oktober 2013 29
KHILAF
Sujud sembah padaMu
Sebab aku bukan hanya aku dalam diriku
Ada dia yang adalah iblis
Ada Dia yang adalah Roh Kudus
Tuhan aku khilaf
Oepura, 7 september 2012
*) Donis Dalli lahir di Sabu, 29 Mei. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa
Komunikasi Antarbudaya Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana.
Tergabung di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
Puisi
KREATIF DAN INSPIRATIF 30
Rian Dji Bai telah pergi menatap rindu di ruang sepi mencari kasih entah ke mana menebar kata entah siapa yang menyahuti uluran tangan ingin menyentuh apalah daya lenyaplah sudah ditelan duka... andai... kisah dapat terulang melantukan kasih seribu kisah yang... menjejaki tapak hidup ini mendulang harta apalah guna menetesnya air mata apakah artinya kini tinggal kenangan dibawa pergi kekasih hati menapaki tangga nirwana... *) Rian Dji Bai Bergiat di Komunitas Sastra Sendal Jepit SMA Seminari St Maria Bunda Segala Bangsa Maumere
Puisi
Edisi Oktober 2013 31
Steve Agusta
perpisahan (I)
di perarian sungai yang keruh itu kami berpisah
daundaun kata yang jatuh ke airnya
tak hendak kami pungut
biarkan ia tandai kesudahan ini
bukan soal waktu yang pupus
tapi fajar yang tak dapat dimengerti
atau malam yang tak sanggup dicintai
oleh gelisah yang siasia
ricik muara sungai itu desahkan pesan
yang menggoresgores dinding waktu
dalam pisah yang membawa jejakjejak kelabu
sembari menggedong butiran tanya
: kapan?
tiada kesal yang mengantar senja ke pangkuan malam
kecuali dingin yang tak lagi berkunjung malam ini
sehingga rembulan kehilangan perayunya
kebon jeruk, 2 september 2013
Puisi
KREATIF DAN INSPIRATIF 32
menanam hujan
hari ini ia diam di pondok kenangan
merayu waktu yang hendak pergi
bukan soal mati yang ia risaukan
tapi soal bidang tanah yang mencintai kering
saat senja bergetar
buruburu ia rengkuh hujan di pangkuan waktu
lalu ditanamnya di dalam perigi
sebab makan dan minum jalan masuknya sama
baginya, lapar hanya soal kebiasaan makan
ngantuk hanya soal kebiasaan tidur
pagi hanya soal kebiasaan malam
muara karang, 26 juli 2013
*) Steve Agusta, lahir di Oepoli-Kupang, 30 September 1985. Alumnus Sekolah
Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Sejak 2011, aktif menulis puisi dan
cerpen, dan bergiat di berbagai grup kepenulisan sastra di Facebook. Pada Mei
2013, terpilih menjadi Ketua Wilayah DKI Jakarta Komunitas Cinta BAKMI (Baca
Apresiasi Kreativitas Menulis Inspirasi). Bebeberapa puisi dan cerpennya sudah
diterbitkan dalam berbagai antologi bersama.
Puisi
Edisi Oktober 2013 33
Ume Kbubu Amanche Franck Oe Ninu, Pr
Kamarin siang, pas matahari toki katong pung ubun-ubun, beta
lihat Naef Ambros deng Ba‘i Meon ada bacarita ko katawa kikikaka di
sablah sufmuti. Beta dengar dong ada sabut Sus Minche pung nama.
Na kasian, bulan lalu Sus Minche pung suami ada papoko mamtua
sampe muka dong babangka. Jadi, jang-jangan baptua dua ni ada
bagosip apalai tentang Sus Minche. Beta muku ko bakuping dong
pung carita ma sonde bisa, ko mo dengar karmana, anjing kampong
dua ekor muku bagonggong di beta pung pohon talinga, tamba lai
Nenek Sarlota pung babi Timor batarea lapar lai, jadi beta son jadi
dengar Naef Ambros deng Ba‘i Meon pung bagosip.
Sor-sore pas matahari di peraduan barat, angin sore tiup datang
sepoi-sepoi karing karontang, beta deng ana-ana dalam kampong,
katong pi iko acara di Bapa Nadus, Ketua RT nol satu pung rumah.
Papa Nadus pung ana baru abis pembaptisan, jadi katong pi ko iko
syukuran. Na maklum sa, su kawen 15 tahun, sampe rambut laen su
mofak deng lumut, baru Papa Nadus dapa ana satu ekor, eh sori satu
orang maksudnya. Itu ju sampe Papa Nadus deng dia pung bini Mama
Rina napas satu-satu. Jadi Papa Nadus bunuh sapi satu ekor, babi satu
ekor, ko undang basodara dong ko syukuran.
Jadi pas katong pi ni, mansia su satu kampung di dia pung rumah.
Beta tamba heran lai, sampe sana Naef Ambros deng Ba‘i Meon su
dudu di muka pake kain beti Timor deng batik. Parsis di dong pung
sablah, Sus Minche su dudu deng gincu merah, kabaya kuning deng
konde ta‘i sapi. Katong maso ko basalamat deng Papa Nadus deng
Mama Rina, abis beta deng ana-ana kampong dong dudu di balakang.
Setelah doa syukuran, katong makan resepsi rame-rame. Itu malam di
Papa Nadus pung rumah talalu rame. Abis acara mungkin su mo jam
KUSU-KUSU
KREATIF DAN INSPIRATIF 34
11 malam, jadi Papa Nadus omong di maik bilang tarima kasih, trus
minta katong ko bubar babae, soalnya besok ada Gareja. Ais itu Papa
Nadus selaku Katua RT nol satu kasi info bilang besok katong musti
batakumpu di balai desa, karna ada partemuan deng bapa kapala desa.
Itu malam katong pulang deng sorak sorai karna su makan enak
malah tamba lai. Hahaha…
Dia pung besok, abis Gareja katong rame-rame babondong-
bondong, laen tabirit-birit manuju balai desa. Beta inga tadi pesan
Injil; ―Walaupun lu pung iman hanya kici ke biji sesawi, lu bisa kasi
pindah gunung (Mutis deng Lakaan ju jadi).‖
Sampe di kantor desa, beta liat Bapa Desa deng dong pung aparat
dong su dudu ko mo mulai partemuan. Bapa Desa angka bicara,
katong yang laen jang cari gara-gara. Bapatua baomong tentang
kesejahteraan, trus bilang persatuan dan kesatuan, trus basambung
deng otonomi desa, trus ujung-ujung ju bapatua singgung tentang
ketahanan pangan di katong pung desa. Jadi bapatua ada usul supaya
katong gotong-royong meroyong-royong ko bangun Ume Kbubu.
Awi, apalai tu? Beta rasa ke baru a? Beta pikir Ume Kbubu ni
bagian dari sistem ekonomi global. Padahal Ume Kbubu ni bahasa
Dawan Timor. Untung beta dudu di sablah Mias, itu ana Timor
kariting pesek. Jadi dia yang translate kasi beta. Dari bahasa Dawan pi
Bahasa Indonesia, bagitu lai masi singgah di Inggris. Aike. Ume
Kbubu itu dari dua kata dalam bahasa Dawan Timor, Ume artinya
rumah dan Kbubu artinya bulat. Ume Kbubu itu rumah yang
berbentuk bulat yang dia pung atap alang-alang ni sonto sampe
tanah. Selain jadi tempat tinggal, Ume Kbubu ju bisa jadi tempat taro
stok makanan. Jadi Bapa Desa pung maksud, katong beking rumah
bersama yang mirip Ume Kbubu untuk jadi tempat menampung
katong pung hasil bumi di deka balai desa. Samua hasil alam dan
pertanian dari ini kampong-kampong akan ditampung di Ume Kbubu
Kusu-kusu
Edisi Oktober 2013 35
desa. Setelah ditampung, masing-masing hasil bumi atau pertanian
model ke jagong, baras mol, kacang, bawang, kentang, wortel, papaya,
dan mamalemun (maksudnya lemun/jeruk dari mama-mama) akan
ditetapkan harganya oleh masyarakat berdasarkan harga pasar yang
pas. Itu supaya para tengkulak ato rentenir yang barmaen harga
sonde datang lai ko ―ceke‖ para petani di katong pung kampong.
Dari konsep dan filosofi Ume Kbubu bersama ini, Bapa Desa
berencana membangun Koperasi Desa untuk menampung dan
menyalurkan serta memberdayakan hasil dari masyarakat. Bagitu.
Tapi beta dengar itu Ume Kbubu tu yang bakal jadi Koperasi ni, akan
Kusu-kusu
KREATIF DAN INSPIRATIF 36
dibangun deng batu bata dan genteng deng arsitektur modern. Jadi
dia pung model deng makna sa yang ame dari Ume Kbubu. Memang
e, kalo beking dari alang-alang pasti mudah tabakar. Jadi sakarang
beta su mangarti bapa desa pung jalan pikiran. Bagus ju e. Ternyata
katong pung Papa Desa ju cerdas dan visioner e. Hehehelabae….
Setelah pertemuan minggu itu, langsung ditetapkan pangurus
UME KBUBU yang nanti lanjut jadi Pengurus Koperasi. Yang jadi
dia pung Katua adalah Sodara Fransiscus Xaverius Haufomeni
Sarjana Ekonomi, jebolan salah satu perguruan tinggi swasta di
Kupang. Tarus dia pung wakil adalah Nona Maria Antonetta
Laokhau, Sarjana Komputer. Ais itu ada banya yang jadi pangurus.
Naef Ambros, Ba‘i Meon, juga Sus Minche ju jadi pangurus. Beta jadi
inga kambali. Mungkin yang Naef Ambros deng Ba‘i Meon carita di
sablah sufmuti ni yang ini ni. Hahaha…hehehelabae….Itu su, mau
apa lai. Ok. Salam, Palate, Aue, lo...
*) Amanche Franck Oe Ninu, Pr. adalah penggagas sejumlah komunitas sastra di
Kupang, seperti Komunitas Sastra SMA Katolik Giovanni, Komunitas Sastra St.
Rafael dan Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Dua bukunya, Humor Anak
Timor (Kumpulan Humor, Pantun dan Plesetan) dan Pesona Flobamora
(Kumpulan Pantun dan Cerpen) diterbitkan oleh Penerbit Lima Bintang, Kupang
(2011). Selain dipublikasikan di harian lokal Pos Kupang dan Jurnal Sastra
Santarang, cerpen-cerpen yang ditulisnya berhasil meloloskannya ke even Ubud
Writers and Readers Festival 2012 serta Makassar International Writers
Festival 2013. bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Ia juga tercatat
sebagai salah satu pembicara dalam Temu I Sastrawan NTT 2013 di Kupang.
Karyanya tergabung dalam antologi Voices of the Archipelago (UWRF, 2012),
Kematian Sasando (Temu I Sastrawan NTT, 2013) dan tersiar di sejumlah media
di NTT. Kini dipercaya oleh kerabat sekomunitasnya sebagai koordinator
Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
Kusu-kusu
Edisi Oktober 2013 37
Suara yang Terluka
Judul: Katuas Gaspar (Kumpulan Cerpen)
Penulis: Prim Nakfatu (Sipri Soleman Senda)
Tebal: 112 halaman
Cetakan I: Mei 2012
Penerbit: Indie Book Corner
Membaca Kumpulan Cerpen ―Katua Gaspar‖
karya Prim Nakfatu (nama pena dari Pastor Sipri Soleman Senda)
membuat saya terhenyak-henyak. Ke-16 Cerpen ini memuat beragam
konflik cerita yang saya ibaratkan cermin. Ketika membacanya benar-
benar saya merasai jarak yang berjauhan dengan diri saya sendiri dan
saya terkejut berkali-kali. Dengan melafalkan percakapan dalam
tubuh cerita cukup beralasan membuat isi cerita ini penuh dengan
dialog. Dalam Luka, saya mengalami diri saya seperti ditemui saya
sendiri sedang terbaring di lapangan kota, lalu tengkurap di pasar kota.
Aku tergeletak di lantai gereja…” (hlm. 7). Lalu dalam Cerpen Si
Pencari ‗Aku bangun dan berjalan lagi. Dengan lilin kecil yang hampir
padam di tangan‟ (hlm. 69).
Kisah penceritaan dengan sudut pandang orang pertama
memungkin beberapa eksplorasi seperti tampak dalam kutipan di atas.
Bahwa saya sebagai pembaca sangat dipaksa untuk menjadi saya yang
lain dalam isi peristiwa demi peristiwa penulis. Di samping itu ada
sudut penceritaan dengan menggunakan orang ketiga tunggal dan
orang ketiga jamak. Seperti mereka dalam Cerpen Terminal, Ama Dope
dalam cerpen provokator Kampung, Pak Tua dalam Cerpen Pak Tua,
gadis 17 tahun dalam Cerpen Anak Seorang Pejabat, Katua Gaspar
dalam Cerpen katus Gaspar, Paman Hengky dan Lima Kemenakannya
dalam cerpen Paman Hengky dan Lima Kemenakannya, Signor Rossi,
RESENSI
KREATIF DAN INSPIRATIF 38
dalam Cerpen Signor Rossi.
Dari sebagian cerpen dengan pengisahan orang ketiga (tunggal
dan jamak) tersebut dapat dilihat bagaiamana penulis tidak cukup
tertarik pada manuver-manuver puitik di sekitar tubuh cerita. Tokoh
dalam cerita seringkali sekaligus menjadi judul cerita adalah satu
isyarat yang kemungkinan besar mau menyatakan hal itu.
Cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini ditulis dengan latar
tempat dan tahun yang berbeda: Luka ditulis di Roma, 2007; Di
Terminal ditulis Kupang, 1992; Provokator Kampung, Atambua
2001; Pak Tua ditulis di Atambua, 2001; Anak Pejabat ditulis di
Atambua 2001; Kata Sambutan, ditulis di Kupang, 1994; Katuas
Gaspar ditulis di Kupang, 1995; Gincu dan Bedak, ditulis di Kupang,
1992; Paman Hengky dan 5 Kemenakan (tanpa tempat dan tahun
penulisan); Si Pencari, ditulis di Roma, 2007; Aku Teman Diabolos,
ditulis di Roma, 2007; Suatu Hari di Lapangan Santo Petrus, ditulis
di Roma, 2007; Menunggu, ditulis di Roma, 2009; Signor Rossi,
ditulis di Roma, 2007; Orang Gila, ditulis di Roma 2009; Suara
ditulis di Roma, 2009.
Melihat pengacakan tahun pun tempat pada pembuatan ke-16
cerita pendek ini bisa jadi penulis ingin mengajukan suatu tema cerita
yang lain. Ataupun penulis tidak hendak terikat pada klasifikasi
tertentu yang kemungkinan besar mengalpakan maksud dari raut
wajah cerita. Saya membaca cerpen ini dimulai dari cerpen Suara pada
bagian akhir. Kemudian saya beranjak seterusnya ke depan cerita
hingga mencapai cerpen Luka. Ada banyak hal yang saya simpulkan
dari buku kumpulan ini, tetapi berantakan di kepala saya. Untuk itu
sebelum menyalahi hakekat sebuah resensi (seperti yang dahulu saya
pelajari di bangku SMP), saya lebih dahulu meminta perkenaan Jurnal
Sastra Santarang untuk hanya membuat beberapa komentar atas
pengaruh eksternal dan internal pada kumpulan cerpen ini.
Pertama dari unsur eksternal. Hal-hal teknis yang menampilkan
kelebihan dalam cerita ini adalah keterkaitan erat penulis dengan
unsur kerygma (pewartaan) yang kerap muncul dengan spontan dalam
Resensi
Edisi Oktober 2013 39
kumpulan cerpen ini. Penulis adalah seorang Pastor Katolik. Sejak
tahun 2006 pada pembuka semester genap, Beliau hijrah ke Roma
untuk melanjutkan studi lisensiat bidang Teologi Kitab Suci pada
Universitas Kepausan Urbaniana Roma hingga tahun 2009. Penulis,
terlepas dari wacana tekstual kumpulan cerpen ini, saya kenal cukup
baik terutama sebagai seorang guru matakuliah Teori Menulis Dasar
di bangku Seminari Menengah dulu (2002-2003). Menilik latar
pendidikan penulis, dapat pula diandaikan adanya bahan
pertimbangan meyakinkan mengenai alur berpikir dalam
mengungkap problem sosial di bangsa Indonesia. Hanya di sana-sini
beberapa kasus keseharian tidak disulap dengan metafor-metafor,
diksi, tetapi diungkapkan setelanjang mungkin seperti sebuah
‗kampanye‘.
Jika membaca cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini memang
ada beberapa lompatan yang ‗umum‘, antara tahun-tahun sebelum
keberangkatan Beliau ke Roma dan sesudah beliau menetap sebagai
student di Roma. Beberapa cerpen yang ditulis semasa menjadi Socius
(Pembina para Frater) di Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR)
Atambua, menggambarkan pengalaman-pengalaman penulis
berhadapan dengan konteks di daera-daerah pedalaman Nusa
Tenggara Timur. Cerpen Katua Gaspar, misalnya menggambarkan
seorang tua yang akrab dengan Sopi (Tuak), bermain dadu dan rokok.
Cerpen Kata Sambutan pun menggambarkan kehidupan sebuah kota
dengan pimpinannya Bapak Walikota dan sesepuh di kota itu.
Membaca teks dan konteks setelah penulis berada di Roma, kita
terkagum-kagum dengan beberapa setting yang bagi saya hanya bisa
saya bayangkan. Lapangan Santo Petrus, Taman Kota, Memimpin Misa
dalam Bahasa Italia‟ „Nel nome del Padre e del Figlio e dello Spirito Santo,
Tre Fontane, Signor Rossi dan masih banyak istilah tentang tempat
dalam konteks budaya Italia yang memukau.
Dari dua pembedaan ini saya terus terang tidak menemukan
cukup banyak perbedaan. Meskipun di awal saya mengatakan, adanya
lompatan. Lompatan itu lebih kepada manusia dan konteks yang
Resensi
KREATIF DAN INSPIRATIF 40
diambil oleh penulis. Untuk itu saya akan menguraikan eksternal dari
kumpulan cerpen ini dari satu sisi.
Kedua, dari unsur internal. Cerita-cerita dalam kumpulan ini tidak
berbeda meskipun ada dua situasi berbeda dalam landscape penulis.
Satu hal yang menjadi kekuatan dari kumpulan cerpen ini ialah pesan
yang ingin disampaikan oleh penulis. Jika dalam The Roler of the
Reader, Umberto Eco menguraikan adanya lapangan penafsiran yang
memungkinkan lahirnya teks baru atas teks yang dibaca, saya
keberatan untuk kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini. Ada satu
petanda umum yang dapat ditarik sebagai benang merah yakni
Spirituality of Writer. Petanda ini ada dan tidak dapat dilepaspisahkan
dari tubuh cerita.
Jika membaca konteks cerita ini sebagai sebuah bahasa sastra yang
independen maka pernyataan Ricoeur tentang kecenderungan sebuah
teks mengambang bebas juga dapat dipertanyakan. Saya lebih jauh
membaca cerita-cerita ini bukan sebagai sebuah bacaan tekstual tetapi
lebih kepada pembacaan diri seorang penulis yang saya kenal dan saya
akrabi sebagai Pastor saya. Alhasil, saya hanya menemukan
keunggulan dalam tema-tema spektakuler yang mendorong saya
untuk merenung dan memasuki sebuah rumah yang lain (the other)
yang memang inheren dalam cerita-cerita ini.
Kehebatan penulis ada pada penghadiran tokoh the other yang
menempati lingkup imajinasi sang Aku (yang bukan penulis). Saya
melihat kehebatan Penulis ada dalam jahitan ide yang sesuai warna
antara sang imajinya Aku dan Sang Akunya penulis. Aku yang diberi
identitas oleh penulis tidak terjebak ke dalam dialog yang asal-asalan,
tetapi tetap mempertahankan dunia dirinya. Misalnya dalam
percakapan ini;
“Apa yang sedang Kau pikirkan?” Tiba-tiba saja Diabolos telah
muncul di hadapanku.
―Tidak ada,” jawabku sekenanya.
―Aha, jangan begitu, Kawan. Kutahu, kau pasti sedang memikirkan
Resensi
Edisi Oktober 2013 41
sesuatu yang menarik untuk dikerjakan, bukan? Aku lihat ada peluang emas
untukmu. Kali ini datang dari...”
―Dari mana? Memangnya betul ada peluang?‖ tanyaku penuh rasa
ingin tahu. (hlm. 73 dalam cerpen Aku teman Diabolos)
Jika lanjutan cerita ini dibaca habis dan teliti membedah kategori
bahasa percakapan, tampak adanya satu kosmos yang inheren dari aku
dan tokoh imajinernya sang Aku.
“Kucoba menenangkan diri dan pasang telinga.‖ (hlm. 105 dalam
Cerpen Suara).
Keungulan ini menurut saya lahir dari sebuah latihan spiritual
yang kuat untuk tidak terjerembab ke dalam dunia hayalan semu.
Sang Aku sebagai yang rela tetap mempertahankan dimensi
kemanusiaannya.
Sekilas Tafsir
Kumpulan cerpen ini ibarat sebuah mur dan baut yang memulai
kisah dengan cerita tentang luka dan berakhir dengan suara. Dalam
cerpen Luka, penulis menghamparkan sebuah ruang kosong bagi
suara dari seorang gadis. Demikian halnya dalam cerpen terakhir
dalam kumpulan cerpen ini yang berjudul Suara. Penulis tetap
memberikan ruang hampa bagi suara itu untuk berujar. Dan menurut
saya, suara itulah yang menguatkan identitas dari nilai spiritual dalam
seluruh cerita ini. Penulis mau menyampaikan tentang sebuah suara
yang tak kelihatan yang ingin menguak sebuah rahasia bagi manusia
tentang arti penting perjalanan hidup ini.
Suara dan luka adalah dua hal yang saling berkaitan untuk
menggambarkan maksud penulis. Penulis, seyogianya ingin
menyempatkan para pembaca menerima betapa hidup ini adalah karya
ajaib dari Tuhan yang tengah terluka oleh setiap desakan
kecenderungan jahat, semisal: korupsi, iri hati, dengki, benci, dendam,
Resensi
KREATIF DAN INSPIRATIF 42
perampasan hak, topeng kemunafikan yang disebutkan dalam hampir
semua cerpen. Tuhan adalah Manusia Tersalib (hlm. 80) yang
menderita namun tetap memanggil dengan suara-Nya agar kita
kembali. Suara itu terkadang sayup dan redup di antara tumpukan
aktivitas dan berbagai kemewahan dan keramaian dunia. Lewat karya-
karya sastra bernuansa religius ini pembaca, dituntut untuk melihat
dirinya sendiri (ibarat cermin, tadi).
*) Januario Gonzaga, lahir 21 Januari 1988. Menetap di Komunitas Seminari
Tinggi Sto. Mikhael Penfui Kupang. Anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora
dan Sastra Seminari Tinggi Sto. Mikhael. Menulis di Jurnal Sastra Santarang dan
Jurnal Sastra Filokalia.
Resensi
Edisi Oktober 2013 43
Januario Gonzaga
Filsafat dan Pewartaan di Ujung Pena
Setelah dua tahun menjalani
masa tahun orientasi pastoral di
Paroki Sta. Maria Assumpta,
Frater Januario Gonzaga
akhirnya kembali bergabung
dengan Komunitas Sastra St.
Mikael sebagai frater teologan
tingkat V. Kedatangannya
kembali membangkitkan
semangat para frater anggota
komunitas yang sempat pudar.
Jurnal Sastra Filokalia yang
diterbitkan komunitas inipun
dapat tampil dengan wajah baru.
Frater kelahiran Natarbora, 21
Januari 1988 ini bahkan dengan
berani melakukan suatu
gebrakan baru, yakni
mengadakan kegiatan Sastra
Masuk Sekolah (SMS). Bersama frater-frater sekomunitas dan penulis
-penulis lain, mereka mengunjungi sekolah-sekolah untuk
membagikan semangat menulis. Lalu menyeleksi tulisan-tulisan dari
para siswa atai mahasiswa untuk diapresiasi dan diterbitkan di
Filokalia.
Kecintaannya pada dunia tulis-menulis tumbuh di bangku kelas dua
SMP. Awalnya ia hanya menulis puisi untuk mading dan buku harian.
Tapi semangat yang terus berkembang, membuatnya berpikir bahwa
menulis juga adalah untuk menuangkan imajinasi, mengeritik
PROFIL
KREATIF DAN INSPIRATIF 44
kehidupan, dan juga mewartakan nilai universal kristiani. Selain
menulis puisi, cerpen dan drama, ia juga menulis karya ilmiah sejak
seminari menengah yang mengantarkan karyanya termasuk dalam
Kumpulan Karangan Ilmiah Terbaik Siswa Seminari Menengah Se-
Indonesia dan mendapat juara dalam Sayembara Menulis
Menyongsong Pancawindu STFK Ledalero. Dalam beberapa waktu
dekat ini, ia berencana menerbitkan antologi puisi bersama Fr. Hiro
Nitsae dan Abner Raya Midara. Bahkan, ia juga berencana untuk
menerbitkan novel.
Santarang menjumpainya di Unit Deo Gratias Seminari Tinggi St.
Mikael ketika ia sedang menyunting tulisan para frater untuk dimuat
jurnal sastra Filokalia edisi Oktober 2013. Berikut petikan
wawancaranya:
Dalam bukunya Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT, Frater
juga disebut sastrawan oleh Yan Sehandi. Bagaimana tanggapan
Frater?
Sampai sekarang saya belum mengerti tentang sastrawan. Saya rasa
saya belum memiliki sumbangan yang besar untuk menjadi seperti
seorang sastrawan. Untuk sebutan itu, saya senang untuk
menerimanya. Paling kurang untuk memotivasi supaya lebih sering
menulis, tekun, supaya bisa menjadi sastrawan betul. Dari segi
sumbangan tulisan keterlibatan dalam sastra, saya belum bisa disebut
sastrawan. Dan juga sastrawan bukan terletak pada sejauh mana kita
mempublikasikan karya di media atau buku, tapi sejauh mana kita
menghayati karya kita itu.
Frater pernah menyebut tentang sastra seminari. Apa itu?
Perkembangan sastra di luar (bukan lingkungan seminari) banyak
mengandung tema-tema umum. Tapi ada juga yang menulis dari segi
ajaran agama. Saya rasa objek kita (para seminaris dan frater) yang
baik untuk menulis sastra bisa dari segi ajaran-ajaran gereja dan hal-
Profil
Edisi Oktober 2013 45
hal baik yang bisa diambil. Dan ciri khas sastra seminari adalah kita
menulis tentang hal itu, tentang apa yang kita pelajari dari filsafat
Kristiani dan teologi. Memang sekarang belum banyak yang
mengeksplorasi puisi dengan tema-tema yang sudah dipelajari di
bangku seminari.
Lalu pendapat Frater tentang puisi-puisi Mario F. Lawi?
Puisi-puisi Mario bernuansa religius. Memang kita butuh waktu
untuk membedah dari segi teologi. Artinya kita tetap menulis,
mengapresiasi tulisan, hanya dari segi teologi kita tidak bisa
mereduksi nilai-nilai kristiani yang sudah baku ke dalam puisi yang
bisa multitafsir oleh pembaca. Maka kita harus berhati-hati. Tapi
bagus juga, dengan mengambil obyek dari segi agama, kitab suci.
Yang seperti itu disebut sastra seminari?
Ya, yang ada kekhasan. Tapi sastra seminari tidak perlu takut pada
eksplorasi-eksplorasi yang agak ekstrem. Sebab, justru semua itu ada
dalam filsafat. Misalnya, tentang tubuh, juga ajaran-ajaran yang perlu
dikritik. Seperti yang biasa dibuat oleh Ayu Utami. Kalau sastra Islam
banyak yang tidak menerima Ayu Utami karena terlalu vulgar dalam
menulis. Memang kita tidak langsung menulis tentang yang vulgar
tapi membungkusnya dengan bahasa-bahasa yang puitis. Meskipun
begitu, tentu Ayu Utami tidak masuk dalam sastra seminari.
Di Jurnal Sastra Filokalia, Frater membuat satu rubrik baru
yaitu Sastra Masuk Sekolah (SMS). Apa yang Frater harapkan?
Pertama, belajar dari Jurnal Sastra Horison. Kita juga bisa masuk ke
sekolah-sekolah untuk mengambil tulisan, bisa mengajarkan sastra.
Karena itu saya terapkan di Filokalia. Supaya membangkitkan minat
anak-anak SMP, SMA dan PT, khususnya anak-anak Timor supaya
menulis tentang diri mereka. Menulis tentang kampung, tentang
sastra lokal. Karena mereka yang paling tahu tentang kondisi diri
Profil
KREATIF DAN INSPIRATIF 46
sendiri. Hal inilah yang harus dimulai dari sekarang dan pelan-pelan
harus dicapai.
Apakah Frater optimis terhadap upaya ini?
Ya, bisa sukses kalau dilakukan dengan tekun. Sebab, sastra adalah
suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi-kondisi yang melupakan
masa lalu, penderitaan, perkembangan yang semakin ‗menelantarkan
sejarah,‘ misalnya tentang sejarah Timor khususnya sejarah
penderitaan, kemiskinan. Dan dibalik itu juga, bila anak-anak
diajarkan untuk menulis mereka bisa lebih kuat dalam berbahasa. Itu
harapan yang semoga bisa tercapai, yakni menulis tentang diri sendiri
dan masa lalu. Supaya dalam perkembangan selalu ada bahan untuk
refleksi.
Posisi sastra di mata Frater sebagai calon imam?
Sambil belajar di seminari, kita menulis sastra. Tema-tema filsafat
dituangkan dalam sastra. Sastra juga penting bagi pewartaan, karena
dengannya kita bisa merangkum umat dari berbagai kalangan. Sastra
bila sungguh-sungguh tekun bisa menjadi suatu bentuk katekese
untuk umat. Para frater bisa menyederhanakan teologi tanpa
mengurangi isi, membuat teologi dalam bentuk yang lebih menjawabi
selera dari umat. Seperti yang saya lakukan ketika praktek di paroki
Assumpta. Saat mengajar di Akademi Kebidanan, saya membentuk
komunitas sastra. Lalu di SD-SMP Assumpta saya minta mereka
untuk tulis dan muat di mading. Bersama anak-anak Assumpta, kami
pernah membuat film Syukur Itu Luka. Saya ingin menunjukkan bahwa
selalu ada cara untuk kreatif.
Peran filsafat bagi sastra?
Menurut saya, sastra menjadikan kita bebas, tidak boleh terkungkung.
Terutama melalui tulisan-tulisan. Sastra dan filsafat memiliki
hubungan khususnya dalam mengekspresikan ide-ide yang rumit di
Profil
Edisi Oktober 2013 47
filsafat bisa disederhanakan. Karena kita lihat, banyak sastrawan yag
filsuf, dan filsuf yang sastrawan, misalnya Albert Camus, Jean Paul
Sartre. Sastra dan filsafat saling melengkapi. Sastra membantu filsafat
untuk menyederhanakan persoalan, untuk ungkapkan tema-tema
yang besar tentang kebebasan, bisa dituangkan dalam puisi, cerpen
atau novel. Seperti dalam Alkemis, Coelho menuangkan satu tema
filsafat yang besar, yakni kebebasan ke dalam tulisan-tulisannya yang
sangat hidup. Sedangkan, filsafat memberikan simpulan tentang
nomenon dari fakta keseharian yang diangkat oleh sastra. Misalnya,
di Bilangan Fu, Ayu Utami omong tentang filsafat postmodern;
manusia yang bebas seringkali mengakui eksistensinya sebagai yang
berada.
Siapakah sastrawan yang Frater idolakan?
Dalam menulis cerpen saya lebih banyak terinspirasi oleh penulis
asing. Misalnya, Anton Chekhov. Menurut saya, cerpen-cerpennya
amat hidup dalam menggambarkan situasi, deskripsinya luar biasa. Isi
cerpen-cerpennya menggambarkan secara mendetail tentang sebuah
kejadian, khususnya tentang situasi-situasi penindasan di Rusia. Saya
menyukai penulis novel-novel sastra, kalau novel pop kurang
berminat. Novelis yang saya sukai itu adalah Ayu Utami. Sejak awal,
saya sudah suka novelnya Saman. Bahkan, saya koleksi semua novel
Ayu Utami. Kalau novelis asing, saya suka Albert Camus dan Sartre.
Khususnya karya Camus yang berjudul Sampar yang diterjemahkan
NH. Dini. Sedangkan, karya Sartre yang saya sukai berjudul Muak.
Karena ini adalah novel eksistensial yang menggambarkan tentang
persoalan hidup yang terlalu biasa tapi justru di situ kita berada,
seperti suatu rutinitas yang tiap hari selalu sama di seminari. Manusia
terlalu terikat pada apa yang sudah secara umum disepakati, tanpa
refleksi untuk jadi bebas. Ini memang tidak cocok untuk diajarkan di
seminari, karena ada asas ketaatan, tapi nilai positifnya adalah kita
harus bisa berintrospeksi. Untuk penyair, saya suka Joko Pinurbo.
Profil
KREATIF DAN INSPIRATIF 48
Karena, puisi-puisinya memiliki unsur keterkejutan. Tidak disangka ia
mengangkat hal-hal sederhana yang tiap hari kita temui tapi bisa
membuat kita merasa terkejut.
Karya-karya apa yang terinspirasi dari para penulis itu?
Selain Wanita Sepotong Kepala, ada satu cerpen lagi yang berjudul
Serunya Mencintai Pria Penulis. Lewat cerpen ini, saya ingin
menggambarkan tentang kebebasan-kebebasan yang dimiliki oleh
seorang penulis yang tidak terikat pada situasi dunia tapi memiliki
kebebasannya sendiri. Mereka yang mencintai orang-orang yang
menjadi penulis harus rela dan siap untuk menerima itu. Ini
sebenarnya terinspirasi dari satu novel Voltairre berjudul Si Lugu.
Kisah yang menarik, bagaimana tokohnya bisa hidup sesuai dengan
orang-orang zamannya tapi punya kemungkinan-kemungkinan lain
untuk menjalani hidup. Misalnya, kalau ada pohon yang menghalangi
jalan, ia tidak serong ke kiri atau ke kanan tapi memanjat pohon itu
untuk melewati jalan itu. Ini adalah contoh orang-orang yang tidak
terikat pada apa yang telah disahkan tapi selalu punya kemungkinan
lain.
Frater menyukai Sartre, Camus, Voltaire, tapi justru menulis
skripsi tentang Paulo Coelho?
Sebenarnya lebih berhubungan pada religiositas. Sekalipun punya
kecenderungan untuk membaca karya-karya yang sedikit miring, tapi
hidup sebagai seorang calon imam punya penilaian-penilaian
menyangkut sebuah tulisan oleh para pastor, apalagi Sartre yang
adalah ateis bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pembinaan di
seminari. Kita ingin berbicara tentang kebebasan secara mutlak, tapi
kita toh hidup dalam ketaatan. Makanya saya ambil Coelho yang lebih
spiritual, tapi tetap di dalamnya ada kebebasan untuk bisa keluar dari
apa yang menjadi kesepakatan umum. Sebenarnya saya tidak terlalu
mengidolakan Coelho. Awalnya skripsi saya tentang Dante Alighieri
Profil
Edisi Oktober 2013 49
dalam La Divina Comedia yang menulis tentang drama-drama. Tapi,
bahan-bahan tidak mencukupi. Yang paling saya suka adalah drama
tentang neraka, pertempuran antara setan dan makhluk di dunia.
Mungkin itu diambil dari Kitab Wahyu yang sebenarnya mau
menunjukkan hubungan antara hidup sesudah mati dan hidup di
dalam dunia.
Dalam antologi bersama Komunitas Sastra St. Mikael, cerpen
Frater Wanita Sepotong Kepala dipilih sebagai judul antologi.
Bagaimana tanggapan Frater?
Cerpen itu mengandung nilai-nilai eksistensialis yang lebih
dipengaruhi Albert Camus, semacam nihilisme. Waktu itu saya mau
menulis sebagai cara untuk menulis satu kisah yang memiliki suatu
eksplorasi dengan suatu alur cerita yang terbalik, mundur lalu maju.
Saya senang bisa dijadikan judul antologi.
Frater lebih suka menulis cerpen atau puisi?
Saya lebih cenderung menyukai cerpen. Ciri khas saya dalam bercerita
nampak dalam permainan bahasa/kata-kata. Untuk pola bercerita, ada
terlalu banyak pola yang bagus sehingga saya harus mencoba-coba
pola yang tepat seperti flashback, alur cerita, cerita di atas cerita. Saya
suka cerpen juga, karena saya ingin menghidupkan konflik dalam
suatu cerita. Pernah suatu ketika saya menonton sebuah film dengan
alurnya berjalan mundur (flashback). Saya heran, „Kok bisa begitu
ceritanya?‘ Tak terduga. Lalu, saya terinspirasi untuk menulis cerita
yang seperti itu.
Banyak cerpen-cerpen Frater tentang Timor Leste. Kenapa?
Karena, saya orang Dili. Saya merasakan langsung konflik ‘99. Ada
banyak cerita yang menyedihkan; orang hilang, keluarga yang tak
pernah pulang. Saya ingin tunjukkan fakta sejarah dan untuk
mengangkat kisah orang-orang tertindas. Dalam tema-tema tentang
Profil
KREATIF DAN INSPIRATIF 50
Timor Leste saya mengangkat kisah ibu-ibu yang punya trauma
kehilangan anak, misalnya cerpen Surat Datang Tanpa Ibu adalah
kejadian nyata seorang anak yang kehilangan ibunya. Saya juga
dibantu oleh orangtua saya. Mereka bukan penulis, mereka penutur.
Mereka yang bercerita tentang hidup dan sejarah Dili.
Dengan kehadiran Frater di Komunitas Sastra St. Mikael, apa
yang bisa frater sumbangkan?
Memotivasi teman-teman, adik-adik, kakak-kakak, untuk melihat
bahwa ada konsep dalam filsafat yang harus diturunkan ke bumi.
Dengan cara, menulis puisi, membedah dan lebih rajin menulis.
Karena, menurut saya, Jurnal Sastra Filokalia belum bisa dijadikan
sebagai sastra seminari. Kita belum melihat kelebihan kualitas yang
ada di seminari untuk bisa dijadikan bahan untuk menulis sastra. Kita
masih terpola dengan yang umum. Semoga kita bisa menulis dari apa
yang kita dapat, yakni nilai-nilai universal kristiani yang bisa
bermanfaat bagi banyak orang. Tapi harusnya juga dilandasi dengan
tema-tema filsafat. (saddam)
Profil
Edisi Oktober 2013 51
KARIKATUR
KREATIF DAN INSPIRATIF 52