cic hukum adat (sari kuliah)

56
HUKUM ADAT MATERI PERKULIAHAN Meliputi: I. Pengertian Hukum Adat, II. Asas-asas Hukum Adat, III. Sumber Hukum Adat, IV. Proses Perkembangan Hukum Adat, V. Corak dan Sifat Hukum Adat, VI. Sistem Hukum Adat, VII. Tata Susunan/Struktur Masyarakat Adat, VIII. Hukum Perorangan, IX. Hukum Keluarga, X. Hukum Perkawinan, XI. Hukum Waris, XII. Hukum Tanah, XIII. Hukum Adat Delik. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005 Campus in Compact – Hukum Adat 1

Upload: davian-ferdianto-mandiri

Post on 25-Jul-2015

388 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

HUKUM ADAT

MATERI PERKULIAHAN

Meliputi:

I. Pengertian Hukum Adat,

II. Asas-asas Hukum Adat,

III. Sumber Hukum Adat,

IV. Proses Perkembangan Hukum Adat,

V. Corak dan Sifat Hukum Adat,

VI. Sistem Hukum Adat,

VII. Tata Susunan/Struktur Masyarakat Adat,

VIII. Hukum Perorangan,

IX. Hukum Keluarga,

X. Hukum Perkawinan,

XI. Hukum Waris,

XII. Hukum Tanah,

XIII. Hukum Adat Delik.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

1

Page 2: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

PENGERTIAN HUKUM ADAT

Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari Adatrecht yang pertama kali

dikemukakan oleh Prof. Christian Snouk Hugronje dalam bukunya The Atjehers

(tahun 1893) dan Het Gayo Land, untuk menunjukkan hukum yang ada di Indonesia

dengan memberi definisi adats die rechts gevolgen hebbe.

Menurut Cornelis :

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang

dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang

menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dulu.

Menurut Soepomo :

Hukum Adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan

legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak

ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan

atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan

hukum.

Menurut Soekanto :

Hukum Adat sebagai komplek adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak

dikodifikasi, dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi-sanksi, jadi mempunyai

akibat hukum.

Menurut J. H. P. Bellefroid :

Hukum Adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan

oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa

peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

Menurut M. N. Djodjodiguno :

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan.

Menurut van Vollenhoven:

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang

dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaaan lainnya

yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

2

Page 3: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Menurut Hazairin:

Adat adalah endapan dari kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah

adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat

pengakuan umum dalam masyarakat, apa yang tidak dapat dipelihara lagi hanya

oleh kaidah kesusilaan diikhtiarkan pemeliharaannya dalam kaidah hukum.

Menurut Suroyo Widnjodipuro :

Hukum Adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan

keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah

laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak

tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat

hukum.

Kesimpulan seminar di Yogyakarta tanggal 17 Januari 1975:

Hukum Adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk

peraturan perundang-undangan RI yang di sana-sini mengandung unsur agama.

Hukum Adat timbul dan berlaku apabila diputuskan dan ditetapkan oleh petugas

hukum seperti : kepala adat, hakim, rapat adat, dan perangkat desa lainnya (menurut

Terhaar). Hal ini didukung oleh Soepomo yang mengatakan bahwa tingkah laku

manusia pada suatu waktu mendapat sifat hukum pada saat petugas hukum yang

bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu.

Pendapat Terhaar tersebut ditentang oleh:

- Van Vollenhoven yang beranggapan bahwa Hukum Adat ada apabila di dalam

suatu masyarakat yang menurut keadilan rakyat harus dituruti oleh tiap orang

dalam arti lain diakui oleh masyarakat.

- Holleman (sependapat dengan van Vollenhoven), bahwa norma-norma hukum

adalah norma-norma hidup yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat

dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan supaya diturut

dan dihormati oleh para warganya.

- Logemann, bahwa norma-norma hidup adalah norma-norma pergaulan hidup

bersama, yaitu peraturan-peraturan tingkah laku yang harus diturut oleh segenap

warga pergaulan hidup bersama itu.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

3

Page 4: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

- Menurut van Vollenhoven, tidak semua adat merupakan hukum. Ada perbedaan

antara adat istiadat biasa dan Hukum Adat, hanya adat yang bersanksi

mempunyai sifat hukum serta merupakan Hukum Adat.

Hukum Adat Sebagai Aspek Budaya

Mengapa bangsa Jepang dengan Bushido spiritnya bersedia mati dengan cara

Harakiri, kamikaze atau banzai?, Mengapa suku tertentu pola kewarisannya bersifat

individual?, dsb., menurut Clyde Kluckhohn: itu semua bukanlah karena mereka

ditakdirkan oleh nasib sehingga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, juga

bukan cuaca yang berbeda. Menurut Antropologi, hal itu terjadi karena mereka

dibesarkan dan hidup dengan cara itu.

Kluckhohn mempersoalkan kebudayaan karena masyarakat dan kebudayaan

bagaikan satu mata uang dengan dua sisi (tidak dapat dipisahkan).

Menurut Selo Soemardjan :

Kebudayaan adalah hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang hidup bersama.

Berbagai pustaka telah menjelaskan soal keterkaitan antara nilai-nilai yang

merupakan hasil budaya (kebudayaan) dengan Hukum Adat (pola-pola perilaku).

Dari penjelasan tentang terbentuknya hukum/norma (menurut paradigma

interaksi sosial) bahwa nilai-nilai merupakan konsepsi abstrak yang membentuk

perilaku dan kemudian menjadi pola-pola perilaku.

Hukum Adat yang merupakan abstraksi dari pola-pola perilaku, juga merupakan

konkritisasi dari nilai-nilai (sosial dan budaya) yang terwujud dan terbentuk dari

budaya suatu masyarakat atau bagian dari masyarakat.

Hukum di dalam tiap masyarakat sebagai salah satu penjelmaan geestesstructur.

Hukum Adat senantiasa hidup nyata, cara hidup yang seluruhnya merupakan

kebudayaan tempat hukum itu berlaku.

Menurut Soerjono Soekanto :

Hukum Adat merupakan aspek dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang

merupakan saripati dari kebutuhan hidup, cara hidup dan pandangan hidup

masyarakat yang bersangkutan.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

4

Page 5: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan

Prof. Otje Salman; mempertegas batas-batas antara hukum kebiasaan dengan

Hukum Adat, lihat definisi hukum kebiasaan: jika suatu perbuatan yang dilakukan

secara berulang-ulang sehingga disebut sebagai kebiasaan (genwoonte) dan

dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang seharusnya dilakukan, dan

bersifat sebagai hukum apabila kebiasaan dirasakan sebagai kewajiban yang harus

ditaati karena adanya pengukuhan dari pimpinan masyarakat (dalam masyarakat

modern; karena adanya pendapat umum, yurisprudensi dan doktrin).

Menurut Prof. Otje Salman: 3 syarat untuk menjadikan kebiasaan sebagai

hukum:

1. Diyakini masyarakat sebagai suatu keharusan untuk dilaksanakan (beseef van

behoren),

2. Adanya pengakuan dan keyakinan bahwa kebiasaan itu bersifat mengikat dan

wajib ditaati (opinio necessitas),

3. Adanya pengukuhan yang dapat berupa pengakuan (erkening) dan atau

penguatan (hekrachtiging), sehingga timbul harapan untuk diletakkan sanksi

atas pelanggaran terhadapnya.

Dasar Hukum

Antara lain:

1. Dasar yuridis,

2. Dasar sosiologis,

3. Dasar filosofis.

Ad 1). Dasar yuridis

Tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara positif tentang berlakunya Hukum

Adat, tetapi ada satu aturan peralihan yaitu pasal II aturan peralihan UUD 1945

yang berbunyi :

"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama

belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.

Adapun selanjutnya bahwa peraturan yang ada sebelum UUD 1945 tersebut

antara lain:

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

5

Page 6: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

1. Peraturan dari Pemerintah Balatentara Jepang untuk Jawa dan Madura tanggal 7

Maret 1942, yaitu UU No. 1, dimana pasal 3-nya menyatakan:

"Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang

dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara wakiu asal tidak

bertentangan dengan peraturan pemerintahan militer."

2. Untuk daerah di luar pulau Jawa dan Madura dan badan-badan kekuasaan lain

yang tindakan/tindakan-tindakannya tentang hal ini boleh dikatakan sama.

3. Pasal 131 Indische Staat Regeling (IS) ayat 2 sub b, sebagai dasar untuk

menyelidik dan sebagai petunjuk pada pembentukan ordonansi bahwa dalam

membentuk ordonansi yang memuat aturan-aturan perdata bagi golongan

pribumi maka Hukum Adatnya harus dihormati, tapi jika kepentingan umum

atau masyarakat menghendakinya, maka pembentuk ordonansi dapat

menyimpang. Selama ordonansi yang dimaksud ayat 2 sub b tadi belum ada,

sebagai aturan peralihan dalam ayat 6 pasal 131 IS bahwa apa yang berlaku bagi

golongan pribumi mengenai Hukum Perdata pada saal ini tetap berlaku

sepanjang dan selama tidak diganti dengan ordonansi seperti yang dimaksud

pada ayat 2 sub b. Saat yang dimaksud adalah saat mulai berlakunya pasal 131

IS, untuk itu kita melihat yang berlaku pada saat ini yaitu pasal 75 RR ialah

Hukum Adat yang tidak tertulis berlaku pada golongan pribumi, asalkan tidak

bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang diakui oleh umum.

Dalam literatur dari Suroyo dicantumkan juga dasar hukum berlakunya Hukum

Adat, yaitu UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, antara lain dalam:

1. Pasal 23 ayat 1, bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan

dan dasar-dasar putusan itu. juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari

peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan

dasar untuk mengadili.

2. Pasal 27 ayat 1, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Dengan melihat pada konstitusi kita:

1. UUD 1945 (17 Agustus 1945),

Memiliki pasal II Aturan Peralihan, berarti pasal 131 ayat 2 b IS tetap berlaku.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

6

Page 7: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

2. Konstitusi RIS 1949 ( 27 Desember 1949),

Memiliki pasal 192 (2) Peraturan Peralihan, berarti pasal 131 ayat 2 b IS tetap

berlaku.

3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950), Memiliki pasal 142 Peraturan Peralihan, berarti

pasal 131 ayat 2 b IS tetap berlaku.

4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959,

Berlakunya kembali UUD 1945 - pasal II Aturan Peralihan, berarti pasal 131

ayat 2 b IS tetap berlaku.

Ad 2): Dasar Sosiologis

Hukum Adat dalam kenyataan berlaku dalam masyarakat dan dalam keadaan

yang sama selalu diindahkan.

Hukum atau peraturan mempunyai kekuatan mengikat secara sosiologis apabila

hukum atau peraturan itu diikuti oleh masyarakat.

Kekuatan yang diterapkan oleh pemerintah mempunyai kekuatan sosiologis jika

pada kenyataannya tidak dihiraukan oleh masyarakat.

Contoh:

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1829 memaksakan kehendaknya dalam

memberlakukan Hukum Waris Islam, ditolak karena dalam kenyataannya maka

masyarakat sudah mempunyai hukum waris sendiri.

Pasal 15 AB menentukan bahwa kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali UU

menunjuknya, tapi dalam kenyataan kebiasaan-kebiasaan ini merupakan hukum

bagi bangsa Indonesia.

Ad 3): Dasar Filosofis

Hukum Adat dapat dirasa memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Pandangan hidup masyarakat adalah Pancasila, yang diantaranya :

1. Sila 1,

Dilandasi oleh pasal 29 ayat 1 dan 2.

a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa,

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

7

Page 8: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan

kepercayaannya itu.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

8

Page 9: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

2. Sila 2,

Hukum Adat juga mengandung kejiwaan yang adil dan beradab, misal dalam

hal pewarisan, yang mana kita tidak menganut prinsip legitimasi porsi.

3. Sila 3,

Manusia itu diciptakan Tuhan di tempat kediaman yang berbeda sehingga

kebudayaannya juga berbeda-beda, namun bagi Indonesia walau berbeda-beda

tetapi tetap satu. Jadi persatuan di Indonesia berkembang berdasarkan prinsip

Bhineka Tunggal Ika.

4. Sila 4,

Di dalam kehidupan masyarakat adat dijiwai oleh:

a. Asas permufakatan sebagai dasar kekuasaan umum.

b. Asas perwakilan dan permusyawaratan sebagai sistem

pemerintahan.

5. Sila 5,

Musyawarah dan mufakat mengarahkan pada keadilan sosial, mewujudkan

tujuan kehidupan yang adil dan makmur seluruh rakyat Indonesia.

Adapun dasar perundang-undangan berlakunya Hukum

Adat di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang meliputi :

1. Pasal 11 AB,

2. Pasal 75 RR,

3. Pasal 131 ayat 2 ub b IS,

4. Pasal 11 aturan peralihan UUD 1945,

5. Pasal 192 Konstitusi RIS,

6. Pasal 1142 UUDS 1950,

7. Kembali kepada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,

8. UU No. 14 Tahun 1970.

Manfaat Mempelajari Hukum Adat

Antara lain:

1. Dengan menelaah terhadap Hukum Adat, berarti telah melakukan penelaahan

sebagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

9

Page 10: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

2. Dengan menelaah Hukum Adat dari waktu ke waktu, akan mengungkap pola

perubahan yang terjadi di dalam kebudayaan bangsa, hal ini penting bagi proses

penganalisaan mengenai perkembangan pola pikir masyarakat.

3. Dengan menelaah Hukum Adat, maka kita dapat melakukan penilaian terhadap

lembaga hukum atau adat yang ada di masyarakat yang mana penting bagi

proses modernisasi.

ASAS-ASAS HUKUM ADAT

4 nilai (asas) universal dalam Hukum Adat meliputi :

1. Asas golong royong,

Kerjasama dalam membangun dan memelihara kehidupan lingkungan sekitar.

2. Asas fungsi sosial,

Mengizinkan warga desa untuk menggunakan milik pribadinya.

3. Asas persetujuan sosial sebagai dasar kekuasaan umum,

Dalam pamong desa, yang lebih diutamakan adalah kehidupan desanya.

4. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan,

Diwujudkan dengan adanya lembaga desa.

SUMBER HUKUM ADAT

Terdiri dari:

A. Sumber hukum (rechtsbron), antara lain meliputi:

1. Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat (van

Vollenhoven).

2. Kebudayaan tradisional rakyat (Terhaar).

3. Ugeran-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang

Indonesia asli (Djojodiguno).

4. Perasaan keadilan yang hidup di dalam hati nurani rakyat (Soepomo).

B. Sumber pengenalnya (kenbron), antara lain:

1. Pepatah-pepatah adat,

2. Yurisprudensi adat,

3. Laporan-laporan dari komisi-komisi penelitian yang khusus dibentuk,

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

10

Page 11: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

4. Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup

pada waktu itu, baik berupa piagam (misal; papakem Cirebon), peraturan-

peraturan, maupun ketentuan-ketentuan/keputusan-keputusan,

5. Buku-buku undang-undang yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-

sultan (misal; Buku Undang-undang Kerajaan Bone),

6. Buku-buku karangan para sarjana (misal; dari Christian Snouk Hugronje).

PROSES PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Peraturan adat istiadat kita pada hakikatnya sudah ada pada zaman pra Hindu,

yang menurut para ahli Hukum Adat adalah merupakan adat Melayu-Polinesia.

Lambat laun maka kultur asli itu dipengaruhi kultur Hindu, Islam dan Kristen, yang

pengaruhnya sangat besar sehingga kultur asli tersebut kini terdesak. Hukum Adat

merupakan hasil akulturasi antara peraturan adat istiadat zaman pra Hindu dengan

kultur Hindu, Islam, Kristen, dsb.

Ada 3 macam sejarah Hukum Adat, yaitu:

1. Sejarah proses pertumbuhan/perkembangan Hukum Adat itu sendiri.

2. Sejarah Hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak atau belum dikenal

sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.

3. Sejarah kedudukan Hukum Adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem

perundang-undangan di Indonesia.

Teori receptio in complexu (van Den Berg):

Bahwa selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini maka hukum

pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agamanya harus juga mengikuti

hukum agama itu dengan setia.

Jadi kalau suatu masyarakat memeluk suatu agama tertentu, maka Hukum Adat

masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.

Terhadap teori itu maka van VollenHoven tidak sependapat karena gambaran itu

jauh dari kenyataan, dimana kenyataannya bahwa Hukum Adat itu terdiri dari

hukum asli dengan ditambahkan di sana sini ketentuan agama.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perkembangan Hukum Adat:

1. Magi dan animisme,

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

11

Page 12: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Magi; kepercayaan kepada kekuasaan serta kekuatan gaib yang dapat

dimohonkan bantuan.

Animisme: bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.

2. Agama,

Adanya pengaruh aturan-aturan agama. misal dalam perkawinan, wakaf, dsb.

3. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan Hukum Adat.

4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing. Pengaruhnya besar

sekali sehingga Hukum Adat tinggal meliputi bidang perdata materiil saja, juga

dipengaruhi oleh timbulnya individualisering.

CORAK DAN SIFAT HUKUM ADAT

Corak Hukum Adat merupakan refleksi cara berpikir suatu masyarakat yaitu

merupakan refleksi cara pandang suatu kehidupan bersama yang menjadi corak

kehidupan bersama itu pula.

Sifat Hukum Adat tidak statis karena Hukum Adat muncul dari masyarakat, karena

itu Hukum Adat terus berkembang agar selalu sesuai dengan keadaan masyarakat.

Wujud Hukum Adat yaitu hukum yang tidak tertulis (ius non scriptum), merupakan

bagian yang terbesar, dan hukum yang tertulis (ius scriptum) hanya sebagian kecil

saja, misalnya: peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja/

sultan-sultan dahulu seperti; pranata-pranata di Jawa, peswara/titisan di Bali,

sarakata-sarakata di Aceh, dan uraian hukum secara tertulis lazimnya uraian-uraian

ini adalah merupakan suatu hasil penelitian (research) yang dibukukan seperti buku

hasil penelitian Prof. Soepomo yaitu Hukum Perdata Adat Jawa Barat.

Menurut Soepomo: Hukum Adat memiliki corak antara lain;

1. Komunal (kebersamaan/gotong-royong),

Bahwa manusia menurut Hukum Adat merupakan makhluk dalam ikatan

kemasyarakatan yang erat, ini meliputi seluruh lapangan Hukum Adat dalam hal

lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau

golongan. Di dalam rasa kebersamaan terdapat rasa persatuan, jiwa kerakyatan,

dan rasa keadilan.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

12

Page 13: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

2. Magis religius,

Berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia, dimana Hukum Adat

menghendaki agar setiap manusia percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

3. Serba konkrit,

Dalam Hukum Adat hubungan hukum harus dilakukan secara terang dan jelas,

Hukum Adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya

hubungan hidup yang komplit, jadi corak ini menghendaki satunya perkataan

dengan perbuatannya.

4. Serba visual,

Perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan

suatu ikatan yang dapat dilihat.

Menurut F.D. Holleman (de commune trek in hei Indonesische rechtsleven),

Hukum Adat memiliki 4 corak:

1. Magis religius,

Orang Indonesia pada dasamya berpikir dan merasa, dan bertindak didorong

oleh kepercayaan/ religi kepada tenaga-tenaga gaib/ magis yang mengisi,

menghuni seluruh alam semesta/kosmis (participerend cosmisch).

2. Komunal,

Kepentingan individu dalam Hukum Adat selalu diimbangi dengan kepentingan

umum.

3. Kontan.

Suatu perbuatan simbolis atau pengucapan, maka tindakan hukum yang

dimaksud telah selesai seketika itu juga.

4. Visual,

Dalam hal-hal tertentu senantiasa dicoba, dan diusahakan supaya hal-hal yang

dimaksud ditransformasikan dengan suatu tanda yang kelihatan.

Menurut Vandijk, Hukum Adat memiliki sifat:

1. Tradisional,

2. Dapat berubah,

3. Tidak dikodifikasi,

4. Terbuka dan sederhana,

5. Mampu menyesuaikan diri.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

13

Page 14: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

SISTEM HUKUM ADAT

Sistem Hukum Adat adalah keseluruhan yang tersusun beberapa bagian dimana

yang satu dengan bagian yang lain saling bertautan dan mengisi.

Tiap hukum merupakan sistem, artinya peraturan-peraturan yang merupakan satu

kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran manusia yang merupakan latar

belakang dari segala macam lembaga yang tidak dengan alam pikiran barat.

Perbedaan sistem Hukum Adat dengan sistem hukum barat:

1. Hukum Barat mengenal zakelijk rechten dan persoolijk rechten, Hukum Adat

tidak.

2. Hukum Barat mengenal hukum publik dan privat, Hukum Adat tidak.

3. Hukum barat mengenal pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata, Hukum

Adat tidak, dll.

Tujuan primer Hukum Adat adalah keselarasan individu dengan masyarakat,

sedangkan tujuan primer Hukum Barat adalah menjaga kepentingan individu,

adapun kepentingan masyarakat baru diperhatikan apabila terjadi pelanggaran atas

kepentingan masyarakat.

TATA SUSUNAN/ STRUKTUR HUKUM ADAT

Menurut Soepomo; untuk mengetahui hukum, terutama perlu diselidiki buat waktu

apabila di daerah mana juga, sifat dan susunan dari badan persekutuan hukum,

dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari. Selanjutnya

penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu

dogmatik melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat

yang bersangkutan.

Pada dasarnya masyarakat merupakan bentuk kehidupan bersama yang warganya

hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan

kebudayaan.

Masyarakat merupakan sistem sosial yang menjadi wadah pola interaksi sosial atau

hubungan internasional maupun hubungan antar kelompok diseluruh kepulauan

Indonesia.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

14

Page 15: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup golongan-golongan yang

bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar. Golongan-golongan itu

mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang segolongan itu

masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal sewajarnya,

hal yang mengatur kodrat alam tidak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai

pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu, golongan manusia tersebut

mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib.

Menurut Ter Haar bahwa persekutuan yang bersifat persekutuan hukum adalah

kesatuan manusia yang mempunyai:

1. Tata susunan yang teratur dan kekal,

2. Pengurus,

3. Kekayaan sendiri baik materiil maupun immateriil,

4. Menetap di suatu daerah tertentu,

5. Keanggotaannya menurut kodrat alam, dimana tidak seorang pun mempunyai

kecenderungan untuk membubarkan diri.

Macam-macam masyarakat hukum (menurut Hilman Hadikusuma):

1. Masyarakat hukum teritorial,

2. Masyarakat hukum geneologis,

3. Masyarakat hukum teritorial geneologis,

4. Masyarakat adat keagamaan,

5. Masyarakat adat di perantauan,

6. Masyarakat adat lainnya.

HUKUM PERORANGAN

Dalam Hukum Perorangan perlu diketahui apakah status orang tersebut, dan

adakah tokoh lain yang dapat berstatus orang.

Orang merupakan subjek hukum maka orang merupakan penanggung hak

(fakultatif) dan kewajiban (imperatif) dalam hukum, dan juga penanggung berbagai

kekuatan hukum yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban tersebut.

Sifat subjek hukum :

1. Mandiri, karena mampu untuk bersikap tindak.

2. Terlindung, karena dianggap tidak mampu bersikap tindak.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

15

Page 16: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

3. Perantara (walaupun berkemampuan penuh), karena sikap tindaknya terbatas

sebatas kepentingan pihak yang diwakilkan.

Hakikat subjek hukum dibedakan antara:

1. Pribadi kodrati (natuurlijk persoon), Semua manusia tanpa kecuali.

2. Pribadi hukum (recht persoon), terdiri dari :

a. Suatu keutuhan harta

kekayaan, misal; wakaf kekayaan, dsb.

b. Suatu bentuk susunan relasi, misal; koperasi, PT, dsb.

c. Status/tokoh, misal; jabatan.

Pada sistem hukum kita seperti tercantum dalam pasal 7 UUDS ayat 1, bahwa setiap

orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap UU, maksudnya mewajibkan agar

masing-masing manusia dianggap sebagai orang terhadap semua hukum atau

perhubungan pamrih yang dikuasai hukum tersebut.

Dalam Hukum Adat juga dikenal badan hukum sebagai subjek hukum:

1. Desa, suku, nagari, famili, dsb.

2. Perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan

tegas dan rapi seperti mapalus di Minahasa Makasar, jula-jula di Minangkabau,

dsb.

3. Badan Hukum Adat seperti sekahan, subak di Bali, dsb.

Prinsipnya bahwa semua orang dalam Hukum Adat diakui mempunyai wewenang

hukum.

Kapan seorang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menurut

Hukum Adat: cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah seorang pria/wanita

yang sudah dewasa, kriteria dewasa dilihat dari sudut biologis.

Menurut Soepomo:

1. Kuat gawe (dapat atau mampu bekerja sendiri),

Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan

serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu.

2. Dapat mengurus harta benda, serta lain kepentingan sendiri.

Menurut Hukum adat, ciri-ciri orang dewasa bukan umur; yaitu ciri-ciri tertentu/

biologis, juga tidak menjadi tanggungan orang tua atau tidak serumah. Jadi bukan

asal kawin saja tetapi hakim bisa menilainya dari kenyataan sosial.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

16

Page 17: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Menurut Djojodiguno: bahwa dalam Hukum Adat tidak mengenal perbedaan yang

tajam antara orang yang sama sekali tak cakap melakukan perbuatan hukum dan

yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari tak cakap menjadi cakap

dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.

Contoh :

Di Jawa, apabila sudah mandiri dan berkeluarga (mentas/mencar), tetapi

tidak bisa dikatakan bila belum sampai dalam keadaaan demikian belum

cakap melakukan perbuatan menurut penilaian masyarakat.

Putusan Pengadilan Tinggi tanggal 16 Oktober 1908: wanita dianggap cakap untuk

menyatakan pendapat sendiri;

1. berusia 15 tahun,

2. siap untuk hidup sebagai istri,

3. cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.

Menurut Hukum Adat di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk membiayai

penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa; tidak semata-mata

dibebankan hanya kepada ayah anak tersebut tetapi juga kewajiban itu juga

dibebankan kepada ibunya.

HUKUM KELUARGA

Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke keluarga

sendiri, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu

timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama dengan yang ada antara orang tua

dengan anak kandung mereka sendiri (menurut Suroyo).

Pada hakikatnya, tujuan pengangkatan anak adalah membentuk keluarga bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Suatu keluarga mempunyai peranan penting sebagai makhluk sosial dan kelompok

masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, tetapi tidak semua

mempunyai anak, maka banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh anak,

salah satunya dengan mengangkat anak.

Pengangkaan anak dapat dilakukan tidak hanya bagi mereka yang tidak mempunyai

anak tetapi juga bagi mereka yang telah mempunyai anak.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

17

Page 18: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Pengangkatan anak dalam Hukum Adat mempunyai tujuan yang berbeda-beda di

masing-masing daerah, yang dalam hal ini didasarkan pada sistem kekeluargaan

yang dikenal dalam sistem masyarakat Indonesia.

Pengangkatan anak dilakukan baik terhadap anak-anak dari kalangan keluarga

maupun dari anak-anak di luar keluarga.

Maksud dan alasan dari pengangkatan anak adalah: (menurut Hilman Hadikusuma)

1. Oleh keluarga yang belum mempunyai anak dengan tujuan mendapatkan

keturunan dengan suatu kepercayaan bahwa dengan pengangkatan anak

merupakan suatu usaha memancing lahirnya anak kandung dari keluarga

tersebut.

2. Bisa membantu orang tua anak yang bersangkutan dalam melaksanakan

tugasnya sehari-hari dan menjadi pelindung dikemudian hari, serta untuk

meneruskan garis keturunan dan mendapatkan ahli waris yang akan memelihara

harta warisan keluarga.

3. Bila orang tua angkatnya telah mempunyai anak, karena semuanya laki-laki atau

semuanya perempuan.

4. Karena rasa sosial, yaitu kasihan terhadap orang tua yang mempunyai anak

banyak, di sini orang tua angkatnya bisa menjamin pendidikan, pemeliharaan

dan memperoleh masa depan yang lebih baik.

Menurut Suroyo, disamping untuk melanjutkan keturunan, dalam masyarakat

Indonesia dikenal beberapa perbuatan pengangkatan anak yang dimaksudkan untuk

alasan-alasan tertentu:

1. Mengangkat kedudukan atau derajat seorang anak kepada kedudukan yang lebih

tinggi, misal ;

o Mengangkat anak laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-laki

dari istrinya, perbuatan ini selain menguntungkan bagi si anak juga

menguntungkan kedudukan ayahnya (di Lampung dan Bali).

o Mengangkat anak tiri dari istrinya menjadi anak sendiri karena tidak

mempunyai anak sendiri.

2. Untuk mencegah punahnya suatu kerabat dengan cara mengangkat anak

perempuan (di Minangkabau).

3. Untuk memungkinkan dilangsungkannya suatu perkawinan.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

18

Page 19: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Alasan orang tua kandung menyerahkan anaknya kepada orang lain:

1. Merasa tidak mampu untuk membesarkan anaknya,

2. Meringankan beban,

3. Adanya imbalan pada persetujuan pengangkatan anak,

4. Nasehat atau pandangan dari orang di sekelilingnya,

5. Ingin anaknya tertolong secara materiil,

6. Masih mempunyai anak lainnya,

7. Tidak mempunyai tanggung jawab mengasuh anaknya sendiri,

8. Merasa bertanggung jawab atas masa depan anaknya,

9. Tidak menghendaki anak yang dikandungnya karena hubungan yang tidak sah,

Tata cara pengangkatan anak di dalam Hukum Adat di berbagai daerah di Indonesia

berbeda-beda, antara lain:

1. Menurut Soepomo: pengangkatan anak dapat dilakukan dengan cara penyerahan

anak oleh orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya tanpa disaksikan

oleh orang-orang yang khusus dipanggil atau tanpa adanya upacara-upacara.

2. Dengan adanya persetujuan dari kedua belah pihak, mereka pergi ke balai desa

untuk memberitahukan maksud mereka. Kepala Desa akan membuat surat

pernyataan penyerahan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, saksi,

selanjutnya mengadakan selamatan dengan mengundang para tetangga.

3. Di daerah tertentu, misal di bali, pengangkatan anak dilakukan secara terang

dan tunai, di sini terang berarti bahwa perbuatan pengangkatan anak itu

dilakukan di depan umum dan diumumkan, tunai karena setelah dilakukan

upacara pemberian benda magis/uang maka seketika itu juga anak tersebut

dilepaskan dari lingkungan keluarga yang lama untuk selanjutnya dimasukkan

ke dalam keluarga orang tua angkatnya.

Jadi meskipun pengangkatan anak tidak mempunyai surat bukti dari pengadilan,

anak itu adalah tetap sah sebagai anak angkat dari orang tua angkatnya yang

diperlakukan sebagai keturunan sendiri, dipelihara, disekolahkan, dikhitankan,

dinikahkan, memanggil dengan sebutan bapak dan ibu kepada orang tua angkatnya

seperti seorang anak kandung memanggil bapak dan ibu kepada orang tua

kandungnya.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

19

Page 20: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Akibat pengangkatan anak:

1. Pengangkatan anak tanpa upacara khusus dan surat-surat, maka pengangkatan

anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dan orang

tua kandungnya.

Hubungan sanak saudara dari orang tua angkatnya seperti sanak keluarga

sendiri, bagi anak perempuan kelak wali nikahnya tetap orang tua kandungnya.

Dalam hal ini dikenal 2 asas:

a. Menurut Djojodiguno dan Tirtawinata: Anak angkat mendapat air dari dua

sumber, karena tali kekeluargaan dengan asalnya tidak terputus, meskipun

anak itu dijadikan anak angkat oleh orang lain ia akan tetap mendapat

warisan dari orang tua asal dan orang tua angkatnya.

b. Asas harta kembali ke asal: di sini anak angkat hanya mewarisi harta gono-

gini/guna karya orang tua asal dan tidak mewarisi harta asal.

2. Pengangkatan anak dengan upacara-upacara, maka pengangkatan anak

memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat dengan orang tua

kandungnya.

Selain dijadikan penerus keturunan dari orang tua angkatnya, sebagai pewaris

harta pusaka dan untuk meneruskan gelar kerabat, juga dalam perwalian akan

segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih juga kepada orang tua

angkat.

HUKUM PERKAWINAN.

Hukum Adat Perkawinan (HAP) adalah aturan-aturan Hukum Adat yang

mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara lamaran, upacara

perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.

Aturan HAP di berbagai daerah berbeda-beda, dikarenakan selain sifat

kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-

beda, juga karena kemajuan zaman telah menimbulkan banyak pergeseran nilai,

sehingga banyak terjadi perkawinan campuran, antar suku, adat istiadat dan agama.

Sistem Perkawinan

Yaitu:

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

20

Page 21: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

1. Pada masyarakat unilateral:

a. Eksogami; seorang harus kawin dengan orang di luar suku

keluarga. Misal; Gayo, Alas, Minangkabau, Seram.

b. Endogami, seorang hanya boleh kawin dengan klannya

(sukunya). Misal; Toraja, dengan tujuan persaudaraan makin erat dan harta

tidak kemana-mana.

2. Pada masyarakat parental:

Eleutherogami: sistem perkembangan yang tidak mengandung unsur-unsur

larangan/keharusan seperti pada endogami dan eksogami.

a. Hubungan darah yang terlalu dekat (nasab),

b. Karena hubungan perkawinan (mushaharoh).

Bentuk Perkawinan

Bentuk perkawinan (menurut Hilman Hadikusuma), ada

4:

1. Jujur,

2. Semendo,

3. Bebas,

4. Perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).

Secara umum terdiri dari:

a. Perkawinan jujur,

b. Perkawinan semenda/semendo,

c. Perkawinan bebas/mandiri,

d. Perkawinan campuran,

e. Perkawinan lari.

Ad l): Perkawinan jujur

Yaitu bentuk perkawinan pada masyarakat

patrilineal yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita berupa barang-

barang berbentuk magis, misalnya: Batak dengan kain ulos, perempuan tersebut

lepas dari ikatan kekeluargaannya dan masuk ke dalam klan suaminya dan

selanjutnya ia berhak dan berkewajiban atas tugas dari klan suaminya (jujur ini

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

21

Page 22: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

adalah diberikan untuk kerabat, mas kawin untuk perempuan seharusnya berbentuk

logam). Contoh lainnya adalah di Nias, Lampung, Timor, dan Bali.

Fungsi jujur:

1. Yuridis; merubah status perempuan

masuk klan suami.

2. Ekonomis, pergeseran kekayaan suami

kepada keluarga isteri.

3. Sosiologis, penghormatan keluarga

suami kepada keluarga isteri.

Ad2): Perkawinan semenda/ semendo

Yaitu bentuk perkembangan pada

masyarakat matrilineal dimana mempelai suami dijemput dan sesudah perkawinan

masing-masing tetap memegang klannya masing-masing.

Tempat kediaman:

- Matriloka; istri tetap tinggal di keluarga sebelumnya dengan harta

pusaka

- Patrilokal; suami tetap tinggal di keluarga sebelumnya dcngan harta

pusaka.

- Semi lokal; sesuai dengan perjanjian.

Umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang

mempertahankan garis keturunan ibu/perempuan (matrilineal).

Dalam perkawinan semenda, calon pengantin laki-laki/

kerabatnya tidak memberikan uang jujur kepada calon pengantin perempuan, malah

sebaliknya berlaku adat pelamaran oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki

(misal di Minangkabau).

Setelah perkawinan terjadi, suami berada di bawah

kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung kepada bentuk

perkawinan semenda yang berlaku, yaitu apakah:

- Perkawinan raja-raja (suami isteri berkedudukan sama),

- Semenda lepas (suami mengikuti tempat kediaman isteri/matrilokal),

- Semenda bebas (suami tetap pada kerabat orang tuanya),

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

22

Page 23: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

- Semenda nunggu (suami isteri berkediaman di pihak keluarga isteri menunggu

adik isteri sampai dapat mandiri),

- Semenda ngangkit (suami mcngambil isteri untuk dijadikan penerus keturunan

pihak ibu suami dikarenakan ibu suami tidak mempunyai keturunan anak

perempuan),

- Semenda anak dagang (suami tidak menetap di tempat isteri, datang dan pergi

sewaktu-waktu, misal; negikeun di Lampung, nyentane di Bali).

Ad 3): Perkawinan bebas/ mandiri

Tidak ada keharusan-keharusan untuk menikah dengan siapa pun,

kecuali larangan: nasab dan mushaharah.

Umumnya berlaku di masyarakat yang bersifat parental (misal;

Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, Sulawesi), dimana kaum kerabat tidak banyak

campur tangan dalam rumah tangga, kedudukan dan hak suami isteri berimbang,

dan biasanya perkawinan setelah perkawinan maka suami isteri tersebut pisah dari

orang tua masing-masing (mencar/mentas).

Ad 4): Perkawinan campuran

Adalah perkawinan yang terjadi antara suami isteri yang berbeda

suku, bangsa, adat, budaya dan agama yang dianutnya.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP),

tidak mengatur hal demikian, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran

menurut UUP tersebut adalah perkawinan suami isteri yang berbeda

kewarganegaraan (pasal 57).

Ad5): Perkawinan lari

Terdiri dari:

Perkawinan lari bersama (ulucht huwelijk/ weglood

huwelijk),

Perkawinan lari paksaan (schaak huwelijk).

Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan,

melainkan sistem pelamaran oleh karena dari kejadian perkawinan itu dapat berlaku

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

23

Page 24: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

bentuk perkawinan jujur atau semenda atau juga bebas, yang tergantung pada

keadaan dan perundingan kedua belah pihak.

Penyebab dari perkawinan ini adalah karena tidak disetujui atau

tidak mau mengikuti upacara adat.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

24

Page 25: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

HUKUM WARIS

Pengertian

Antara lain:

1. Ter Haar:

Hukum Waris Adat meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan

dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang

penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immateriil dari suatu generasi

ke generasi berikutnya.

2. Soepomo:

Dalam bukunya Bab-bab tentang Huknm Adat, Hukum Waris Adat memuat

peraturan-peraturan yang mengatur proses kewarisan (pengoperan dan

penerusan) barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud,

benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.

Sifat Hukum Waris Adat

Menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran

tradisional Indonesia, bersumber atas prinsip yang timbul dari pikiran komunal serta

konkrit, misal; jika terjadi perselisihan dalam pembagian warisan diantara para ahli

waris maka selalu diusahakan penyelesaiannya secara rukun agar perjalanan arwah

dari pewaris tenang.

Perbedaan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Barat

- Hukum Waris Adat tidak mengenal legitimatie porsi (aturan-aturan yang sudah

ditetapkan oleh hukum, terhadap jumlah atau besarnya harta yang diwariskan)

akan tetapi menetapkan dasar persamaan hak yaitu hak untuk diperlakukan sama

oleh orang tua di dalam kewarisan, juga meletakkan dasar kerukunan pada

proses pelaksanaan pembagian dengan memperhatikan keadaan istimewa dari

tiap ahli waris. Kalau Hukum waris Barat mengenal hak-hak tiap ahli waris/

bagian-bagian tertentu. Menurut ketentuan UU/ legitimatie porsi, Pasal 913-

929 KUH Perdata.

- Hukum Waris Adat, harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antar

para ahli waris. Dalam Hukum Waris Barat menunjukkan/ menentukan adanya

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

25

Page 26: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

hak mutlak dari ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut

adanya pembagian, pasal 1066 KUH Perdata.

- Dalam Hukum Waris Adat, digunakan asas kekeluargaan, yaitu hak perorangan

diakui tapi dalam kenyataan tidak terlepas dari keluarga di sekitamya. Dalam

Hukum Waris Barat dikenal asas individualisme; dimana hak individu diakui

benar-benar tanpa dilihat bagaimana keadaan keluarga di sekitarnya (Plaats

vervuling = pergantian tempat), misalnya: seorang anak yang meninggal maka

cucunya akan mendapatkan warisan kakeknya, dengan alasan bahwa harta

kekayaan merupakan basis materiil dari keluarga.

- Pewarisan Hukum Waris Adat merupakan suatu proses saat kematian tidak

memerlukan pembagian harta kekayaan, karena sebelum pewaris meninggal

kekayaan sudah diwariskan. Dalam Hukum Waris Barat, pewarisan bukan

proses saat kematian menentukan pembagian harta kekayaan. Pasal 833:

"Bahwa para ahli waris sejak wafatnya si pewaris dianggap memiliki segala

barang-barang, hak-hak dan piutang". Jadi seolah-olah ahli waris melanjutkan

kedudukan si pewaris dalam masyarakat terhadap harta kekayaan.

- Hibah; dihibahkan kepada ahli waris.

- Hibah wasiat ahli waris; hukumnya nasab (haram).

- Harta warisan tidak berwujud, misalnya ilmu-ilmu ghaib, dsb.

Sistem Pewarisan

Antara lain :

1. Individual: Parental; masing-masing hubungan kerabat tidak dekat.

2. Mayorat: Barat: tertua, lampung: laki-laki tertua, Sumsel: perempuan tertua,

dibantu oleh laki-laki tertua.

3. Kolektif: Harta waris yang dipakai secara berkelompok, hanya memiliki hak

pakai tidak mempunyai hak milik- tidak boleh dimiliki oleh ahli waris.

Dalam Hukum Adat terdapat golongan-golongan ahli waris yang dalam harta

peninggalan seorang pewaris golongan yang satu lebih diutamakan daripada

golongan yang lain. Golongan itu berturut-turut:

1. Keturunan pewaris,

2. Orang tua pewaris,

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

26

Page 27: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

3. Saudara-saudara pewaris keturunan mereka,

4. Orang tua terhadap orang tua pewaris,

5. Keturunan daripada orang tuanya, orang tua pewaris dan seterusnya.

HUKUM TANAH

Penggolongan

Tanah dibagi menjadi 2:

1. Statis: Tanah sebagai subjek hukum,

a. Hak ulayat atas tanah,

b. Hak perseorangan atas tanah.

1) Hak membuka tanah (onginning recht):

- Hak perorangan,

- Hak bersama

2) Hak utama menggarap (vorkeursrecht),

3) Hak menikmati hasil (gennot recht),

4) Hak pakai (gebruiks recht),

5) Hak utama untuk membeli (naaslings recht),

6) Hak imbalan jabatan (amblelijk profij recht).

2. Dinamis: Tanah sebagai objek hukum,

A. Transaksi langsung atas tanah,

1. Primer: Perjanjian tanah bersegi satu/bersifat sepihak;

a. Pendidikan desa,

b. Pembukaan tanah perseorangan

2. Sekunder: Perjanjian tanah bersegi dua/bersifat dua pihak

a. Jual lepas, jual gadai, jual tahunan,

b. Tukar menukar,

c. Pemberian/hadiah;

d. Waris,

e. Hibah,

f. Wakaf.

B. Transaksi tidak langsung atas tanah

1. Bagi hasil,

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

27

Page 28: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

2. Sewa tanah,

3. Gabungan bagi hasil dan sewa dengan gadai dan jual tanah,

4. Pinjam uang dengan tanggungan tanah,

5. Numpang,

6. Perjanjian pura-pura/semu.

Dasar Hukum Pertanahan di Indonesia

Meliputi:

1. Konstitusi tidak tertulis, bahwa suatu negara terdiri dari rakyat, wilayah,

pemerintahan/kedaulatan.

2. Landasan konstitusional : Pasal 33 avat 3 UUD 1945 : "Bumi. air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat."

3. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), dll.

Kedudukan Tanah

Dalam Hukum Adat kedudukan tanah (hubungan antara tanah dengan

manusia) sangat penting karena menyangkut :

1. Karena sifatnya :

Yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami

keadaan yang bagaimanapun toh masih bersifat tetap dalam keadaannya

(permanen), bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan.

2. Karena fakta :

Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu;

- merupakan tempat tinggal persekutuan,

- memberikan penghidupan kepada persekutuan,

- merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang

meninggal dunia dikebumikan,

- merupakan pula tempat tinggal dayang-dayang pelindung

persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.

Hubungan masyarakat adat dengan tanah :

1. Magis religius,

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

28

Page 29: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

2. Dasar kemasyarakatan,

Tanggung jawab persekutuan hukum atas terjadinya kejahatan di lingkungan

wilayahnya.

3. Dasar perekonomian,

Persekutuan hukum dan anggota persekutuan hukum/warga persekutuan hukum

dapat menggunakan tanah milik bersama dengan bebas.

Statis (Tanah Sebagai Subjek Hukum)

Yaitu bila memandang tanah sebagai subjek hukum untuk mengetahui

macam-macam hak yang ada dalam masyarakat dan isi daripada tanah itu.

Hak Ulayat

Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik persekutuan

yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini

adalah tidak diperbolehkan, dimana dalam kenyataannya terdapat pengecualian-

pengecualian.

Hak ulayat atas tanah terdiri dari:

1. Yang berlapis satu (tunggal),

Yaitu suatu hak bersama atas tanah yang terdapat pada persekutuan desa.

2. Yang berlapis dua (rangkap),

Yaitu suatu hak bersama atas tanah yang terdapat pada persekutuan daerah.

Menurut van Vollenhoven: Hak wilayah yaitu hak persekutuan hukum untuk

menggunakan secara bebas tanah yang masih hutan belukar dalam lingkungan

wilayahnya guna persekutuan hukum itu sendiri dan anggota juga orang asing

dengan ijin dan membayar recognisi (pembayaran sebelum mengolah tanah) dan

retribusi (pembayaran setelah mengolah tanah).

Jadi hak ulayat yaitu hak persekutuan atas tanah.

Ciri-ciri hak ulayat:

1. Persekutuan hukum dan anggota dapat menggunakan hutan belukarnya secara

bebas.

2. Anggota persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dengan pembatasan

hanya untuk keperluan sendiri.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

29

Page 30: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

3. Mempunyai daya berlaku keluar dan ke dalam,

Keluar:

Keluar yaitu membatasi orang asing/bukan anggota mempergunakan tanah

persekutuan hukum. Karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak

diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah

kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seijin persekutuan

serta setelah membayar pancang (uang pemasukan) dan kemudian memberikan

ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan

untuk turut serta mcnggunakan tanah wilayah.

Ke dalam:

Kedalam yaitu memberikan jaminan kepada warga/anggota sesuai kebutuhan

hidupnya. Karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua

warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat

dimaksud dengan memetik hasil daripada tanah beserta segala tumbuh-

tumbuhan dan binatang liar yang hidup di atasnya.

4. Yang melakukan hak ulayat ialah penguasa adat baik keluar maupun ke dalam.

Keluar sebagai wakil masyarakat adat. Ke dalam sebagai pengatur warga

masyarakat adat.

5. Anggota persekutuan hukum tidak boleh memindahtangankan haknya untuk

selama-lamanya pada siapapun juga.

6. Persekutuan hukum mempunyai hak atas tanah yang telah digarap untuk

kepentingan umum.

Menurut Terhaar (teori bola): bila hak persekutuan menguat maka hak perseorangan

akan melemah, sebaliknya apabila hak perseorangan menguat maka hak persekutuan

akan melemah.

Objek hak ulayat:

1. Tanah/daratan

2. Air kali, danau, pantai, serta perairan lainnya

3. Tumbuhan

4. Binatang yang hidup liar.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

30

Page 31: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Pada masyarakat yang masih mengakui hak ulayat apabila terhadap tanah tersebut

diperlukan oleh negara, maka negara harus memberikan ganti rugi atas tanah

tersebut.

Cara persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayat yaitu dengan cara :

1. Persekutuan berusaha meletakkan batas-batas di sekeliling wilayah kekuasaan

itu.

2. Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah

kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.

3. Mengadakan patroli-patroli perbatasan.

Tiga (3) wujud pengaruh negatif pada persekutuan hukum :

1. Perkosaan,

Contoh: Dalam kerajaan-kerajaan dahulu, khususnya pada persekutuan-

persekutuan hukum yang berada di sekeliling ibu kota kerajaan mengalami

tindakan-tindakan raja yang sama sekali tidak mengindahkan hak-hak pertuanan

persekutuan, seperti mengambil tanah wilayah persekutuan. dsb.

2. Perlunakan,

Contoh: Dalam kerajaan-kerajaan, dengan adanya sistem apanage, yaitu sistem

pemberian tanah oleh raja-raja kepada pejabat-pejabat kerajaan tertentu sebagai

tanah jabatan yang dapat menjamin penghasilan para pejabat yang bersangkutan

(merupakan perlunakan terhadap hak pertuanan).

3. Pembatasan

Contoh; tindakan-tindakan raja dan pemerintah kolonial yang mewajibkan

persekutuan untuk menggunakan tanah wilayahnya seintensif mungkin dengan

pengerahan warganya sebanyak-banyaknya, juga keharusan menanami tanah-

tanah dengan tumbuhan-tumbuhan yang diperlukan oleh raja, juga pemerintah

kolonial.

Sekarang hak ulayat mengalami erosi (pengurangan) karena :

1. Pertumbuhan penduduk

2. Tanah diolah secara intensif, sehingga menjadi hak milik

3. Meningkatnya teknologi

Kedudukan hak ulayat diakui keberadaannya dalam pasal 3 UUPA, kesimpulannya

bahwa hak ulayat itu ada apabila tidak bertentangan dengan UUPA.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

31

Page 32: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Pelaksanaan hak ulayat diatur dalam pasal 5 UUPA, yang kesimpulannya adalah

bahwa UUPA bersumber pada Hukum Adat.

Hak Perseorangan atas Tanah

Meliputi :

1. Mengumpulkan hasil-hasil hutan. seperti rotan, dll,

2. Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan.

3. Mengambil hasil-hasil dari pohon-pohon yang tumbuh secara liar.

4. Membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus.

5. Mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan.

Hubungan antara hak perseorangan tersebut dengan UUPA, antara lain :

Terhadap hak milik demikian itu, wewenang si pemilik hanya dibatasi oleh

ketentuan-ketentuan tersebut. Hak milik ini disebut hak yasan dan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan konversi pasal 11 (I) UUPA menjadi hak milik ex. pasal 28

(1) UUPA.

Terhadap hak pertuanan desa yang masih sangat kuat, maka hampir tidak

mungkin hak milik di atas ini dipindahkan ke tangan orang lain, bahkan ada

daerah yang hak milik itu hanya dimiliki untuk waktu yang tertentu dan pada

akhirnya waktu itu tanahnya harus diserahkan kepada lain anggota persekutuan

desa. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi pasal VII UUPA, hak itu

menjadi hak pakai ex. pasal 41 (1) UUPA.

Terhadap hak pertuanan desa yang sudah sangat lemah, maka hak milik atas

tanah setelah wafatnya si pemilik dengan sendirinya jatuh ke tangan ahli

warisnya, dan itu hanya dapat dicabut dalam beberapa hal, misalnya jika si

pemilik dengan segenap keluarganya meninggalkan desa tersebut untuk selama-

lamanya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi pasal VII menjelma

menjadi hak milik ex. pasal 20 (1) UUPA.

Dinamis (Tanah Sebagai Subjek Hukum)

Primer : Perjanjian tanah bersegi satu/bersifat sepihak, contoh :

- Pendirian desa;

- Pembukaan tanah

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

32

Page 33: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Sekunder : Perjanjian tanah bersegi dua/bersifat 2 pihak, yaitu yang menimbulkan

perolehan hak atas tanah dan bersifat terang dan tunai. Antara lain meliputi :

- jual gadai;

- jual lepas;

- jual tahunan;

Menurut Terhaar: terang berarti bahwa pemindahan hak tersebut dilakukan

dihadapan kepala adat yang berperan sebagai kepala adat yang menanggung

keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak itu, sehingga perbuatan tersebut

diketahui oleh umum, dan apabila hal tersebut tidak dilakukan maka perbuatan itu

tidak menjadi bagian ketertiban hukum, tidak berlaku terhadap pihak ketiga dan ke

luar si pembeli tidak diakui sebagai pemegang hak atas tanah.

Tunai berarti pembayaran harus kontan.

Jual lepas yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat. Jadi

untuk seterusnya atau selamanya.

Jual tahunan yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian

bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan lain sesudah atau beberapa kali panen,

maka tanah kembali pada pemilik tanah semula.

Jual Gadai yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan

bahwa yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk mengambil kembali tanah

itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.

Meneruskan gadai atau mengalihkan gadai yaitu dengan seijin penjual gadai, si

pembeli gadai mengoperkan pada pihak ketiga yaitu dengan ijin si penjual gadai.

Dalam pasal 161 (h) dan pasal 53 (1) UUPA disebutkan bahwa hak gadai bersifat

sementara karena dalam waktu yang akan datang hak gadai ini akan dihapuskan.

Ketentuan pasal 7 Perpu No. 65 Tahun 1960:

1. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mula

berlakunya peraturan ini (yaitu pada tanggal 1 Januari 1961) sudah berlangsung

7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam

waktu sebulan sesudah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak

untuk menuntut pembayaran uang tebusan.

2. Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum

berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

33

Page 34: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan membayar uang

tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus ((7 + ½) - waktu

berlangsungnya hak gadai X uang gadai) : 7). Pelaksanaan pengembaliannya

adalah dalam waktu sebulan setelah penanaman yang bersangkutan.

3. Ketentuan dalam ayat (2) ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan

sesudah mulai berlakunya peraturan ini.

Tukar menukar yaitu sebidang tanah ditukar dengan barang yang senilai dengan

harga tanah tersebut.

Pemberian atau hadiah, yaitu peralihan tanah secara kontan, di luar lingkungan ahli

waris, bersifat mutlak, contoh; upeti.

Waris yaitu proses penerusan serta pengoperan barang-barang yang berwujud/ tidak

berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya (kekayaan

adalah basis materil dalam kehidupan keluarga).

Hibah yaitu peralihan tanah secara kontan pada seseorang dalam hubungan ahli

waris, bersifat tidak mutlak (bisa dicabut kembali) juga bisa bertambah bila bukan

waris.

Wakaf yaitu peralihan tanah dari seseorang dengan tujuan untuk kebutuhan umat

(peribadatan), bersifat mutlak untuk selamanya, ada ijab kabulnya. Ikrar wakaf

dicatat oleh pejabat pembuat akta wakaf, yaitu kepala kantor urusan agama.

Transaksi-transaksi yang ada hubungan dengan tanah :

1. Memperduai (Minangkabau), moro (Jawa), toyo (Minahasa), terang (Sulawesi

Selatan), nengah (Priangan), mertelu (Jawa), atau jejuron (Priangan).

Transaksi ini terjadi apabila pemilik tanah memberikan ijin kepada orang lain

untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat ijin itu

harus memberikan sebagian hasil tanahnya kepada pemilik tanah. Dengan

dasarnya adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya, tetapi ia

tidak ingin atau tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya itu.

2. Sewa,

Adalah suatu transaksi yang mengijinkan orang lain untuk mengerjakan

tanahnya dengan tinggal di tanahnya dengan membayar sesudah tiap panen atau

sesudah tiap bulan atau tiap tahun uang sewa yang tetap.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

34

Page 35: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

3. Tanggungan atau jonggolan di Jawa, makantah (Bali), tahan (Tapanuli),

Transaksi ini terjadi apabila seorang yang hutang kepada orang lain berjanji

kepada yang memberi pinjaman tadi bahwa ia sebelum melunasi hutangnya ia

akan mengadakan transaksi tentang tanahnya, kecuali dengan pemberi hutang.

4. Numpang atau magersari (Jawa) atau lindung (Priangan),

Transaksi ini terjadi apabila seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal di

tanah itu memberi ijin kepada orang lain untuk membuat rumah yang kemudian

ditempati olehnya di atas tanah itu juga.

5. Memperduai atau sewa bersama-sama dengan gadai,

Merupakan transaksi gabungan antara transaksi tanah dengan transaksi yang

berhubungan dengan tanah, dapat terjadi apabila yang menerima tanah yang

digadaikan memberi ijin kepada pemilik tanah atau yang menggadaikan tanah

untuk mengerjakan tanah itu dengan perjanjian memperduai atau sewa.

HUKUM ADAT DELIK

Menurut Ter Haar: Suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan kegoncangan dalam

neraca keseimbangan dalam masyarakat, kegoncangan itu tidak hanya peraturan-

peraturan hukum dalam masyarakat dilanggar, juga apabila norma-norma

kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.

Menurut Soepomo: Segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan Hukum

Adat merupakan perbuatan ilegal dan Hukum Adat mengenal pula ikhtiar untuk

memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa.

Sifat pelanggaran Hukum Adat :

1. Sistem Hukum Adat tidak mengadakan pemisahan penuntutan antara pelanggar

hukum pidana dan hukum perdata. Hanya mengenal satu prosedur penuntutan

oleh satu pejabat saja yaitu kepala adat, hakim perdamaian desa atau hakim

pengadilan negeri untuk semua macam pelanggaran adat.

2. Pembetulan hukum yang dilanggar untuk memulihkan keseimbangan dapat

berupa suatu/beberapa tindakan.

Lapangan berlakunya Hukum Adat Delik:

1. Delik adat,

2. Delik pidana.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

35

Page 36: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

Hukum Adat tidak mengenal sistem pelanggaran yang ditetapkan lebih dahulu

(sistem prae exitence regels), tidak ada peraturan semacam pasal 1 KUH Pidana,

dan tidak berlaku ne bis in idem.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

36

Page 37: CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)

REFERENSI

Asas-asas Hukum Adat-Suatu Pengantar, oleh Prof. Bushar Muhammad, S.H.,

Hukum Adat Indonesia, oleh Dr. Soerjono Soekanto, S.H. MH.,

Hukum Ketatanegaraan Adat, oleh Hilman Hadikusuma, S.H.,

Hukum Perkawinan Adat Jawa Barat, oleh Soepomo,

Meninjau Hukum Adat Indonesia – Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum

Adat, oleh Prof. Mr. Dr. Soekanto,

Penemuan Hukum Adat, oleh C. van Vollenhoven,

Pengantar Hukum Adat, oleh Dr. Soerjono Soeckanto, S.H., MH.,

Pengantar Hukum Adat, oleh Suroyo Adipuro,

Pengantar Hukum Adat Indonesia, oleh Hilman Hadikusuma, S.H.,

Pokok-pokok Hukum Adat, oleh Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Dr. Soerjono

Soekanto,S.H. MH.,

Dll.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat

37