Download - CIC Hukum Adat (Sari Kuliah)
HUKUM ADAT
MATERI PERKULIAHAN
Meliputi:
I. Pengertian Hukum Adat,
II. Asas-asas Hukum Adat,
III. Sumber Hukum Adat,
IV. Proses Perkembangan Hukum Adat,
V. Corak dan Sifat Hukum Adat,
VI. Sistem Hukum Adat,
VII. Tata Susunan/Struktur Masyarakat Adat,
VIII. Hukum Perorangan,
IX. Hukum Keluarga,
X. Hukum Perkawinan,
XI. Hukum Waris,
XII. Hukum Tanah,
XIII. Hukum Adat Delik.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
1
PENGERTIAN HUKUM ADAT
Istilah Hukum Adat merupakan terjemahan dari Adatrecht yang pertama kali
dikemukakan oleh Prof. Christian Snouk Hugronje dalam bukunya The Atjehers
(tahun 1893) dan Het Gayo Land, untuk menunjukkan hukum yang ada di Indonesia
dengan memberi definisi adats die rechts gevolgen hebbe.
Menurut Cornelis :
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang
menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dulu.
Menurut Soepomo :
Hukum Adat adalah sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan
legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan
atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan
hukum.
Menurut Soekanto :
Hukum Adat sebagai komplek adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasi, dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi-sanksi, jadi mempunyai
akibat hukum.
Menurut J. H. P. Bellefroid :
Hukum Adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan
oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa
peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
Menurut M. N. Djodjodiguno :
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan.
Menurut van Vollenhoven:
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaaan lainnya
yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
2
Menurut Hazairin:
Adat adalah endapan dari kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah
adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat, apa yang tidak dapat dipelihara lagi hanya
oleh kaidah kesusilaan diikhtiarkan pemeliharaannya dalam kaidah hukum.
Menurut Suroyo Widnjodipuro :
Hukum Adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan
keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah
laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak
tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat
hukum.
Kesimpulan seminar di Yogyakarta tanggal 17 Januari 1975:
Hukum Adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
peraturan perundang-undangan RI yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Hukum Adat timbul dan berlaku apabila diputuskan dan ditetapkan oleh petugas
hukum seperti : kepala adat, hakim, rapat adat, dan perangkat desa lainnya (menurut
Terhaar). Hal ini didukung oleh Soepomo yang mengatakan bahwa tingkah laku
manusia pada suatu waktu mendapat sifat hukum pada saat petugas hukum yang
bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
Pendapat Terhaar tersebut ditentang oleh:
- Van Vollenhoven yang beranggapan bahwa Hukum Adat ada apabila di dalam
suatu masyarakat yang menurut keadilan rakyat harus dituruti oleh tiap orang
dalam arti lain diakui oleh masyarakat.
- Holleman (sependapat dengan van Vollenhoven), bahwa norma-norma hukum
adalah norma-norma hidup yang disertai dengan sanksi dan jika perlu dapat
dipaksakan oleh masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan supaya diturut
dan dihormati oleh para warganya.
- Logemann, bahwa norma-norma hidup adalah norma-norma pergaulan hidup
bersama, yaitu peraturan-peraturan tingkah laku yang harus diturut oleh segenap
warga pergaulan hidup bersama itu.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
3
- Menurut van Vollenhoven, tidak semua adat merupakan hukum. Ada perbedaan
antara adat istiadat biasa dan Hukum Adat, hanya adat yang bersanksi
mempunyai sifat hukum serta merupakan Hukum Adat.
Hukum Adat Sebagai Aspek Budaya
Mengapa bangsa Jepang dengan Bushido spiritnya bersedia mati dengan cara
Harakiri, kamikaze atau banzai?, Mengapa suku tertentu pola kewarisannya bersifat
individual?, dsb., menurut Clyde Kluckhohn: itu semua bukanlah karena mereka
ditakdirkan oleh nasib sehingga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, juga
bukan cuaca yang berbeda. Menurut Antropologi, hal itu terjadi karena mereka
dibesarkan dan hidup dengan cara itu.
Kluckhohn mempersoalkan kebudayaan karena masyarakat dan kebudayaan
bagaikan satu mata uang dengan dua sisi (tidak dapat dipisahkan).
Menurut Selo Soemardjan :
Kebudayaan adalah hasil karya, cipta, dan rasa manusia yang hidup bersama.
Berbagai pustaka telah menjelaskan soal keterkaitan antara nilai-nilai yang
merupakan hasil budaya (kebudayaan) dengan Hukum Adat (pola-pola perilaku).
Dari penjelasan tentang terbentuknya hukum/norma (menurut paradigma
interaksi sosial) bahwa nilai-nilai merupakan konsepsi abstrak yang membentuk
perilaku dan kemudian menjadi pola-pola perilaku.
Hukum Adat yang merupakan abstraksi dari pola-pola perilaku, juga merupakan
konkritisasi dari nilai-nilai (sosial dan budaya) yang terwujud dan terbentuk dari
budaya suatu masyarakat atau bagian dari masyarakat.
Hukum di dalam tiap masyarakat sebagai salah satu penjelmaan geestesstructur.
Hukum Adat senantiasa hidup nyata, cara hidup yang seluruhnya merupakan
kebudayaan tempat hukum itu berlaku.
Menurut Soerjono Soekanto :
Hukum Adat merupakan aspek dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang
merupakan saripati dari kebutuhan hidup, cara hidup dan pandangan hidup
masyarakat yang bersangkutan.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
4
Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan
Prof. Otje Salman; mempertegas batas-batas antara hukum kebiasaan dengan
Hukum Adat, lihat definisi hukum kebiasaan: jika suatu perbuatan yang dilakukan
secara berulang-ulang sehingga disebut sebagai kebiasaan (genwoonte) dan
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang seharusnya dilakukan, dan
bersifat sebagai hukum apabila kebiasaan dirasakan sebagai kewajiban yang harus
ditaati karena adanya pengukuhan dari pimpinan masyarakat (dalam masyarakat
modern; karena adanya pendapat umum, yurisprudensi dan doktrin).
Menurut Prof. Otje Salman: 3 syarat untuk menjadikan kebiasaan sebagai
hukum:
1. Diyakini masyarakat sebagai suatu keharusan untuk dilaksanakan (beseef van
behoren),
2. Adanya pengakuan dan keyakinan bahwa kebiasaan itu bersifat mengikat dan
wajib ditaati (opinio necessitas),
3. Adanya pengukuhan yang dapat berupa pengakuan (erkening) dan atau
penguatan (hekrachtiging), sehingga timbul harapan untuk diletakkan sanksi
atas pelanggaran terhadapnya.
Dasar Hukum
Antara lain:
1. Dasar yuridis,
2. Dasar sosiologis,
3. Dasar filosofis.
Ad 1). Dasar yuridis
Tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara positif tentang berlakunya Hukum
Adat, tetapi ada satu aturan peralihan yaitu pasal II aturan peralihan UUD 1945
yang berbunyi :
"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.
Adapun selanjutnya bahwa peraturan yang ada sebelum UUD 1945 tersebut
antara lain:
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
5
1. Peraturan dari Pemerintah Balatentara Jepang untuk Jawa dan Madura tanggal 7
Maret 1942, yaitu UU No. 1, dimana pasal 3-nya menyatakan:
"Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang
dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara wakiu asal tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintahan militer."
2. Untuk daerah di luar pulau Jawa dan Madura dan badan-badan kekuasaan lain
yang tindakan/tindakan-tindakannya tentang hal ini boleh dikatakan sama.
3. Pasal 131 Indische Staat Regeling (IS) ayat 2 sub b, sebagai dasar untuk
menyelidik dan sebagai petunjuk pada pembentukan ordonansi bahwa dalam
membentuk ordonansi yang memuat aturan-aturan perdata bagi golongan
pribumi maka Hukum Adatnya harus dihormati, tapi jika kepentingan umum
atau masyarakat menghendakinya, maka pembentuk ordonansi dapat
menyimpang. Selama ordonansi yang dimaksud ayat 2 sub b tadi belum ada,
sebagai aturan peralihan dalam ayat 6 pasal 131 IS bahwa apa yang berlaku bagi
golongan pribumi mengenai Hukum Perdata pada saal ini tetap berlaku
sepanjang dan selama tidak diganti dengan ordonansi seperti yang dimaksud
pada ayat 2 sub b. Saat yang dimaksud adalah saat mulai berlakunya pasal 131
IS, untuk itu kita melihat yang berlaku pada saat ini yaitu pasal 75 RR ialah
Hukum Adat yang tidak tertulis berlaku pada golongan pribumi, asalkan tidak
bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang diakui oleh umum.
Dalam literatur dari Suroyo dicantumkan juga dasar hukum berlakunya Hukum
Adat, yaitu UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, antara lain dalam:
1. Pasal 23 ayat 1, bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan
dan dasar-dasar putusan itu. juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
2. Pasal 27 ayat 1, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Dengan melihat pada konstitusi kita:
1. UUD 1945 (17 Agustus 1945),
Memiliki pasal II Aturan Peralihan, berarti pasal 131 ayat 2 b IS tetap berlaku.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
6
2. Konstitusi RIS 1949 ( 27 Desember 1949),
Memiliki pasal 192 (2) Peraturan Peralihan, berarti pasal 131 ayat 2 b IS tetap
berlaku.
3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950), Memiliki pasal 142 Peraturan Peralihan, berarti
pasal 131 ayat 2 b IS tetap berlaku.
4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Berlakunya kembali UUD 1945 - pasal II Aturan Peralihan, berarti pasal 131
ayat 2 b IS tetap berlaku.
Ad 2): Dasar Sosiologis
Hukum Adat dalam kenyataan berlaku dalam masyarakat dan dalam keadaan
yang sama selalu diindahkan.
Hukum atau peraturan mempunyai kekuatan mengikat secara sosiologis apabila
hukum atau peraturan itu diikuti oleh masyarakat.
Kekuatan yang diterapkan oleh pemerintah mempunyai kekuatan sosiologis jika
pada kenyataannya tidak dihiraukan oleh masyarakat.
Contoh:
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1829 memaksakan kehendaknya dalam
memberlakukan Hukum Waris Islam, ditolak karena dalam kenyataannya maka
masyarakat sudah mempunyai hukum waris sendiri.
Pasal 15 AB menentukan bahwa kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali UU
menunjuknya, tapi dalam kenyataan kebiasaan-kebiasaan ini merupakan hukum
bagi bangsa Indonesia.
Ad 3): Dasar Filosofis
Hukum Adat dapat dirasa memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Pandangan hidup masyarakat adalah Pancasila, yang diantaranya :
1. Sila 1,
Dilandasi oleh pasal 29 ayat 1 dan 2.
a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
7
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
8
2. Sila 2,
Hukum Adat juga mengandung kejiwaan yang adil dan beradab, misal dalam
hal pewarisan, yang mana kita tidak menganut prinsip legitimasi porsi.
3. Sila 3,
Manusia itu diciptakan Tuhan di tempat kediaman yang berbeda sehingga
kebudayaannya juga berbeda-beda, namun bagi Indonesia walau berbeda-beda
tetapi tetap satu. Jadi persatuan di Indonesia berkembang berdasarkan prinsip
Bhineka Tunggal Ika.
4. Sila 4,
Di dalam kehidupan masyarakat adat dijiwai oleh:
a. Asas permufakatan sebagai dasar kekuasaan umum.
b. Asas perwakilan dan permusyawaratan sebagai sistem
pemerintahan.
5. Sila 5,
Musyawarah dan mufakat mengarahkan pada keadilan sosial, mewujudkan
tujuan kehidupan yang adil dan makmur seluruh rakyat Indonesia.
Adapun dasar perundang-undangan berlakunya Hukum
Adat di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang meliputi :
1. Pasal 11 AB,
2. Pasal 75 RR,
3. Pasal 131 ayat 2 ub b IS,
4. Pasal 11 aturan peralihan UUD 1945,
5. Pasal 192 Konstitusi RIS,
6. Pasal 1142 UUDS 1950,
7. Kembali kepada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
8. UU No. 14 Tahun 1970.
Manfaat Mempelajari Hukum Adat
Antara lain:
1. Dengan menelaah terhadap Hukum Adat, berarti telah melakukan penelaahan
sebagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
9
2. Dengan menelaah Hukum Adat dari waktu ke waktu, akan mengungkap pola
perubahan yang terjadi di dalam kebudayaan bangsa, hal ini penting bagi proses
penganalisaan mengenai perkembangan pola pikir masyarakat.
3. Dengan menelaah Hukum Adat, maka kita dapat melakukan penilaian terhadap
lembaga hukum atau adat yang ada di masyarakat yang mana penting bagi
proses modernisasi.
ASAS-ASAS HUKUM ADAT
4 nilai (asas) universal dalam Hukum Adat meliputi :
1. Asas golong royong,
Kerjasama dalam membangun dan memelihara kehidupan lingkungan sekitar.
2. Asas fungsi sosial,
Mengizinkan warga desa untuk menggunakan milik pribadinya.
3. Asas persetujuan sosial sebagai dasar kekuasaan umum,
Dalam pamong desa, yang lebih diutamakan adalah kehidupan desanya.
4. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan,
Diwujudkan dengan adanya lembaga desa.
SUMBER HUKUM ADAT
Terdiri dari:
A. Sumber hukum (rechtsbron), antara lain meliputi:
1. Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat (van
Vollenhoven).
2. Kebudayaan tradisional rakyat (Terhaar).
3. Ugeran-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang
Indonesia asli (Djojodiguno).
4. Perasaan keadilan yang hidup di dalam hati nurani rakyat (Soepomo).
B. Sumber pengenalnya (kenbron), antara lain:
1. Pepatah-pepatah adat,
2. Yurisprudensi adat,
3. Laporan-laporan dari komisi-komisi penelitian yang khusus dibentuk,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
10
4. Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup
pada waktu itu, baik berupa piagam (misal; papakem Cirebon), peraturan-
peraturan, maupun ketentuan-ketentuan/keputusan-keputusan,
5. Buku-buku undang-undang yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan-
sultan (misal; Buku Undang-undang Kerajaan Bone),
6. Buku-buku karangan para sarjana (misal; dari Christian Snouk Hugronje).
PROSES PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Peraturan adat istiadat kita pada hakikatnya sudah ada pada zaman pra Hindu,
yang menurut para ahli Hukum Adat adalah merupakan adat Melayu-Polinesia.
Lambat laun maka kultur asli itu dipengaruhi kultur Hindu, Islam dan Kristen, yang
pengaruhnya sangat besar sehingga kultur asli tersebut kini terdesak. Hukum Adat
merupakan hasil akulturasi antara peraturan adat istiadat zaman pra Hindu dengan
kultur Hindu, Islam, Kristen, dsb.
Ada 3 macam sejarah Hukum Adat, yaitu:
1. Sejarah proses pertumbuhan/perkembangan Hukum Adat itu sendiri.
2. Sejarah Hukum Adat sebagai sistem hukum dari tidak atau belum dikenal
sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
3. Sejarah kedudukan Hukum Adat sebagai masalah politik hukum di dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia.
Teori receptio in complexu (van Den Berg):
Bahwa selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini maka hukum
pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agamanya harus juga mengikuti
hukum agama itu dengan setia.
Jadi kalau suatu masyarakat memeluk suatu agama tertentu, maka Hukum Adat
masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu.
Terhadap teori itu maka van VollenHoven tidak sependapat karena gambaran itu
jauh dari kenyataan, dimana kenyataannya bahwa Hukum Adat itu terdiri dari
hukum asli dengan ditambahkan di sana sini ketentuan agama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perkembangan Hukum Adat:
1. Magi dan animisme,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
11
Magi; kepercayaan kepada kekuasaan serta kekuatan gaib yang dapat
dimohonkan bantuan.
Animisme: bahwa segala sesuatu dalam alam semesta ini bernyawa.
2. Agama,
Adanya pengaruh aturan-aturan agama. misal dalam perkawinan, wakaf, dsb.
3. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan Hukum Adat.
4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing. Pengaruhnya besar
sekali sehingga Hukum Adat tinggal meliputi bidang perdata materiil saja, juga
dipengaruhi oleh timbulnya individualisering.
CORAK DAN SIFAT HUKUM ADAT
Corak Hukum Adat merupakan refleksi cara berpikir suatu masyarakat yaitu
merupakan refleksi cara pandang suatu kehidupan bersama yang menjadi corak
kehidupan bersama itu pula.
Sifat Hukum Adat tidak statis karena Hukum Adat muncul dari masyarakat, karena
itu Hukum Adat terus berkembang agar selalu sesuai dengan keadaan masyarakat.
Wujud Hukum Adat yaitu hukum yang tidak tertulis (ius non scriptum), merupakan
bagian yang terbesar, dan hukum yang tertulis (ius scriptum) hanya sebagian kecil
saja, misalnya: peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja/
sultan-sultan dahulu seperti; pranata-pranata di Jawa, peswara/titisan di Bali,
sarakata-sarakata di Aceh, dan uraian hukum secara tertulis lazimnya uraian-uraian
ini adalah merupakan suatu hasil penelitian (research) yang dibukukan seperti buku
hasil penelitian Prof. Soepomo yaitu Hukum Perdata Adat Jawa Barat.
Menurut Soepomo: Hukum Adat memiliki corak antara lain;
1. Komunal (kebersamaan/gotong-royong),
Bahwa manusia menurut Hukum Adat merupakan makhluk dalam ikatan
kemasyarakatan yang erat, ini meliputi seluruh lapangan Hukum Adat dalam hal
lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau
golongan. Di dalam rasa kebersamaan terdapat rasa persatuan, jiwa kerakyatan,
dan rasa keadilan.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
12
2. Magis religius,
Berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia, dimana Hukum Adat
menghendaki agar setiap manusia percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
3. Serba konkrit,
Dalam Hukum Adat hubungan hukum harus dilakukan secara terang dan jelas,
Hukum Adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya
hubungan hidup yang komplit, jadi corak ini menghendaki satunya perkataan
dengan perbuatannya.
4. Serba visual,
Perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan
suatu ikatan yang dapat dilihat.
Menurut F.D. Holleman (de commune trek in hei Indonesische rechtsleven),
Hukum Adat memiliki 4 corak:
1. Magis religius,
Orang Indonesia pada dasamya berpikir dan merasa, dan bertindak didorong
oleh kepercayaan/ religi kepada tenaga-tenaga gaib/ magis yang mengisi,
menghuni seluruh alam semesta/kosmis (participerend cosmisch).
2. Komunal,
Kepentingan individu dalam Hukum Adat selalu diimbangi dengan kepentingan
umum.
3. Kontan.
Suatu perbuatan simbolis atau pengucapan, maka tindakan hukum yang
dimaksud telah selesai seketika itu juga.
4. Visual,
Dalam hal-hal tertentu senantiasa dicoba, dan diusahakan supaya hal-hal yang
dimaksud ditransformasikan dengan suatu tanda yang kelihatan.
Menurut Vandijk, Hukum Adat memiliki sifat:
1. Tradisional,
2. Dapat berubah,
3. Tidak dikodifikasi,
4. Terbuka dan sederhana,
5. Mampu menyesuaikan diri.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
13
SISTEM HUKUM ADAT
Sistem Hukum Adat adalah keseluruhan yang tersusun beberapa bagian dimana
yang satu dengan bagian yang lain saling bertautan dan mengisi.
Tiap hukum merupakan sistem, artinya peraturan-peraturan yang merupakan satu
kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran manusia yang merupakan latar
belakang dari segala macam lembaga yang tidak dengan alam pikiran barat.
Perbedaan sistem Hukum Adat dengan sistem hukum barat:
1. Hukum Barat mengenal zakelijk rechten dan persoolijk rechten, Hukum Adat
tidak.
2. Hukum Barat mengenal hukum publik dan privat, Hukum Adat tidak.
3. Hukum barat mengenal pelanggaran yang bersifat pidana dan perdata, Hukum
Adat tidak, dll.
Tujuan primer Hukum Adat adalah keselarasan individu dengan masyarakat,
sedangkan tujuan primer Hukum Barat adalah menjaga kepentingan individu,
adapun kepentingan masyarakat baru diperhatikan apabila terjadi pelanggaran atas
kepentingan masyarakat.
TATA SUSUNAN/ STRUKTUR HUKUM ADAT
Menurut Soepomo; untuk mengetahui hukum, terutama perlu diselidiki buat waktu
apabila di daerah mana juga, sifat dan susunan dari badan persekutuan hukum,
dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari. Selanjutnya
penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu
dogmatik melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat
yang bersangkutan.
Pada dasarnya masyarakat merupakan bentuk kehidupan bersama yang warganya
hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan
kebudayaan.
Masyarakat merupakan sistem sosial yang menjadi wadah pola interaksi sosial atau
hubungan internasional maupun hubungan antar kelompok diseluruh kepulauan
Indonesia.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
14
Pada tingkatan rakyat jelata terdapat pergaulan hidup golongan-golongan yang
bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar. Golongan-golongan itu
mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang segolongan itu
masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal sewajarnya,
hal yang mengatur kodrat alam tidak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai
pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu, golongan manusia tersebut
mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib.
Menurut Ter Haar bahwa persekutuan yang bersifat persekutuan hukum adalah
kesatuan manusia yang mempunyai:
1. Tata susunan yang teratur dan kekal,
2. Pengurus,
3. Kekayaan sendiri baik materiil maupun immateriil,
4. Menetap di suatu daerah tertentu,
5. Keanggotaannya menurut kodrat alam, dimana tidak seorang pun mempunyai
kecenderungan untuk membubarkan diri.
Macam-macam masyarakat hukum (menurut Hilman Hadikusuma):
1. Masyarakat hukum teritorial,
2. Masyarakat hukum geneologis,
3. Masyarakat hukum teritorial geneologis,
4. Masyarakat adat keagamaan,
5. Masyarakat adat di perantauan,
6. Masyarakat adat lainnya.
HUKUM PERORANGAN
Dalam Hukum Perorangan perlu diketahui apakah status orang tersebut, dan
adakah tokoh lain yang dapat berstatus orang.
Orang merupakan subjek hukum maka orang merupakan penanggung hak
(fakultatif) dan kewajiban (imperatif) dalam hukum, dan juga penanggung berbagai
kekuatan hukum yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban tersebut.
Sifat subjek hukum :
1. Mandiri, karena mampu untuk bersikap tindak.
2. Terlindung, karena dianggap tidak mampu bersikap tindak.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
15
3. Perantara (walaupun berkemampuan penuh), karena sikap tindaknya terbatas
sebatas kepentingan pihak yang diwakilkan.
Hakikat subjek hukum dibedakan antara:
1. Pribadi kodrati (natuurlijk persoon), Semua manusia tanpa kecuali.
2. Pribadi hukum (recht persoon), terdiri dari :
a. Suatu keutuhan harta
kekayaan, misal; wakaf kekayaan, dsb.
b. Suatu bentuk susunan relasi, misal; koperasi, PT, dsb.
c. Status/tokoh, misal; jabatan.
Pada sistem hukum kita seperti tercantum dalam pasal 7 UUDS ayat 1, bahwa setiap
orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap UU, maksudnya mewajibkan agar
masing-masing manusia dianggap sebagai orang terhadap semua hukum atau
perhubungan pamrih yang dikuasai hukum tersebut.
Dalam Hukum Adat juga dikenal badan hukum sebagai subjek hukum:
1. Desa, suku, nagari, famili, dsb.
2. Perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan
tegas dan rapi seperti mapalus di Minahasa Makasar, jula-jula di Minangkabau,
dsb.
3. Badan Hukum Adat seperti sekahan, subak di Bali, dsb.
Prinsipnya bahwa semua orang dalam Hukum Adat diakui mempunyai wewenang
hukum.
Kapan seorang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menurut
Hukum Adat: cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah seorang pria/wanita
yang sudah dewasa, kriteria dewasa dilihat dari sudut biologis.
Menurut Soepomo:
1. Kuat gawe (dapat atau mampu bekerja sendiri),
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan
serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu.
2. Dapat mengurus harta benda, serta lain kepentingan sendiri.
Menurut Hukum adat, ciri-ciri orang dewasa bukan umur; yaitu ciri-ciri tertentu/
biologis, juga tidak menjadi tanggungan orang tua atau tidak serumah. Jadi bukan
asal kawin saja tetapi hakim bisa menilainya dari kenyataan sosial.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
16
Menurut Djojodiguno: bahwa dalam Hukum Adat tidak mengenal perbedaan yang
tajam antara orang yang sama sekali tak cakap melakukan perbuatan hukum dan
yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari tak cakap menjadi cakap
dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.
Contoh :
Di Jawa, apabila sudah mandiri dan berkeluarga (mentas/mencar), tetapi
tidak bisa dikatakan bila belum sampai dalam keadaaan demikian belum
cakap melakukan perbuatan menurut penilaian masyarakat.
Putusan Pengadilan Tinggi tanggal 16 Oktober 1908: wanita dianggap cakap untuk
menyatakan pendapat sendiri;
1. berusia 15 tahun,
2. siap untuk hidup sebagai istri,
3. cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.
Menurut Hukum Adat di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk membiayai
penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa; tidak semata-mata
dibebankan hanya kepada ayah anak tersebut tetapi juga kewajiban itu juga
dibebankan kepada ibunya.
HUKUM KELUARGA
Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke keluarga
sendiri, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu
timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama dengan yang ada antara orang tua
dengan anak kandung mereka sendiri (menurut Suroyo).
Pada hakikatnya, tujuan pengangkatan anak adalah membentuk keluarga bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu keluarga mempunyai peranan penting sebagai makhluk sosial dan kelompok
masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, tetapi tidak semua
mempunyai anak, maka banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh anak,
salah satunya dengan mengangkat anak.
Pengangkaan anak dapat dilakukan tidak hanya bagi mereka yang tidak mempunyai
anak tetapi juga bagi mereka yang telah mempunyai anak.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
17
Pengangkatan anak dalam Hukum Adat mempunyai tujuan yang berbeda-beda di
masing-masing daerah, yang dalam hal ini didasarkan pada sistem kekeluargaan
yang dikenal dalam sistem masyarakat Indonesia.
Pengangkatan anak dilakukan baik terhadap anak-anak dari kalangan keluarga
maupun dari anak-anak di luar keluarga.
Maksud dan alasan dari pengangkatan anak adalah: (menurut Hilman Hadikusuma)
1. Oleh keluarga yang belum mempunyai anak dengan tujuan mendapatkan
keturunan dengan suatu kepercayaan bahwa dengan pengangkatan anak
merupakan suatu usaha memancing lahirnya anak kandung dari keluarga
tersebut.
2. Bisa membantu orang tua anak yang bersangkutan dalam melaksanakan
tugasnya sehari-hari dan menjadi pelindung dikemudian hari, serta untuk
meneruskan garis keturunan dan mendapatkan ahli waris yang akan memelihara
harta warisan keluarga.
3. Bila orang tua angkatnya telah mempunyai anak, karena semuanya laki-laki atau
semuanya perempuan.
4. Karena rasa sosial, yaitu kasihan terhadap orang tua yang mempunyai anak
banyak, di sini orang tua angkatnya bisa menjamin pendidikan, pemeliharaan
dan memperoleh masa depan yang lebih baik.
Menurut Suroyo, disamping untuk melanjutkan keturunan, dalam masyarakat
Indonesia dikenal beberapa perbuatan pengangkatan anak yang dimaksudkan untuk
alasan-alasan tertentu:
1. Mengangkat kedudukan atau derajat seorang anak kepada kedudukan yang lebih
tinggi, misal ;
o Mengangkat anak laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-laki
dari istrinya, perbuatan ini selain menguntungkan bagi si anak juga
menguntungkan kedudukan ayahnya (di Lampung dan Bali).
o Mengangkat anak tiri dari istrinya menjadi anak sendiri karena tidak
mempunyai anak sendiri.
2. Untuk mencegah punahnya suatu kerabat dengan cara mengangkat anak
perempuan (di Minangkabau).
3. Untuk memungkinkan dilangsungkannya suatu perkawinan.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
18
Alasan orang tua kandung menyerahkan anaknya kepada orang lain:
1. Merasa tidak mampu untuk membesarkan anaknya,
2. Meringankan beban,
3. Adanya imbalan pada persetujuan pengangkatan anak,
4. Nasehat atau pandangan dari orang di sekelilingnya,
5. Ingin anaknya tertolong secara materiil,
6. Masih mempunyai anak lainnya,
7. Tidak mempunyai tanggung jawab mengasuh anaknya sendiri,
8. Merasa bertanggung jawab atas masa depan anaknya,
9. Tidak menghendaki anak yang dikandungnya karena hubungan yang tidak sah,
Tata cara pengangkatan anak di dalam Hukum Adat di berbagai daerah di Indonesia
berbeda-beda, antara lain:
1. Menurut Soepomo: pengangkatan anak dapat dilakukan dengan cara penyerahan
anak oleh orang tua kandungnya kepada orang tua angkatnya tanpa disaksikan
oleh orang-orang yang khusus dipanggil atau tanpa adanya upacara-upacara.
2. Dengan adanya persetujuan dari kedua belah pihak, mereka pergi ke balai desa
untuk memberitahukan maksud mereka. Kepala Desa akan membuat surat
pernyataan penyerahan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, saksi,
selanjutnya mengadakan selamatan dengan mengundang para tetangga.
3. Di daerah tertentu, misal di bali, pengangkatan anak dilakukan secara terang
dan tunai, di sini terang berarti bahwa perbuatan pengangkatan anak itu
dilakukan di depan umum dan diumumkan, tunai karena setelah dilakukan
upacara pemberian benda magis/uang maka seketika itu juga anak tersebut
dilepaskan dari lingkungan keluarga yang lama untuk selanjutnya dimasukkan
ke dalam keluarga orang tua angkatnya.
Jadi meskipun pengangkatan anak tidak mempunyai surat bukti dari pengadilan,
anak itu adalah tetap sah sebagai anak angkat dari orang tua angkatnya yang
diperlakukan sebagai keturunan sendiri, dipelihara, disekolahkan, dikhitankan,
dinikahkan, memanggil dengan sebutan bapak dan ibu kepada orang tua angkatnya
seperti seorang anak kandung memanggil bapak dan ibu kepada orang tua
kandungnya.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
19
Akibat pengangkatan anak:
1. Pengangkatan anak tanpa upacara khusus dan surat-surat, maka pengangkatan
anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dan orang
tua kandungnya.
Hubungan sanak saudara dari orang tua angkatnya seperti sanak keluarga
sendiri, bagi anak perempuan kelak wali nikahnya tetap orang tua kandungnya.
Dalam hal ini dikenal 2 asas:
a. Menurut Djojodiguno dan Tirtawinata: Anak angkat mendapat air dari dua
sumber, karena tali kekeluargaan dengan asalnya tidak terputus, meskipun
anak itu dijadikan anak angkat oleh orang lain ia akan tetap mendapat
warisan dari orang tua asal dan orang tua angkatnya.
b. Asas harta kembali ke asal: di sini anak angkat hanya mewarisi harta gono-
gini/guna karya orang tua asal dan tidak mewarisi harta asal.
2. Pengangkatan anak dengan upacara-upacara, maka pengangkatan anak
memutuskan pertalian keluarga antara anak angkat dengan orang tua
kandungnya.
Selain dijadikan penerus keturunan dari orang tua angkatnya, sebagai pewaris
harta pusaka dan untuk meneruskan gelar kerabat, juga dalam perwalian akan
segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih juga kepada orang tua
angkat.
HUKUM PERKAWINAN.
Hukum Adat Perkawinan (HAP) adalah aturan-aturan Hukum Adat yang
mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara lamaran, upacara
perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.
Aturan HAP di berbagai daerah berbeda-beda, dikarenakan selain sifat
kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-
beda, juga karena kemajuan zaman telah menimbulkan banyak pergeseran nilai,
sehingga banyak terjadi perkawinan campuran, antar suku, adat istiadat dan agama.
Sistem Perkawinan
Yaitu:
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
20
1. Pada masyarakat unilateral:
a. Eksogami; seorang harus kawin dengan orang di luar suku
keluarga. Misal; Gayo, Alas, Minangkabau, Seram.
b. Endogami, seorang hanya boleh kawin dengan klannya
(sukunya). Misal; Toraja, dengan tujuan persaudaraan makin erat dan harta
tidak kemana-mana.
2. Pada masyarakat parental:
Eleutherogami: sistem perkembangan yang tidak mengandung unsur-unsur
larangan/keharusan seperti pada endogami dan eksogami.
a. Hubungan darah yang terlalu dekat (nasab),
b. Karena hubungan perkawinan (mushaharoh).
Bentuk Perkawinan
Bentuk perkawinan (menurut Hilman Hadikusuma), ada
4:
1. Jujur,
2. Semendo,
3. Bebas,
4. Perkawinan campuran (beda kewarganegaraan).
Secara umum terdiri dari:
a. Perkawinan jujur,
b. Perkawinan semenda/semendo,
c. Perkawinan bebas/mandiri,
d. Perkawinan campuran,
e. Perkawinan lari.
Ad l): Perkawinan jujur
Yaitu bentuk perkawinan pada masyarakat
patrilineal yaitu pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak wanita berupa barang-
barang berbentuk magis, misalnya: Batak dengan kain ulos, perempuan tersebut
lepas dari ikatan kekeluargaannya dan masuk ke dalam klan suaminya dan
selanjutnya ia berhak dan berkewajiban atas tugas dari klan suaminya (jujur ini
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
21
adalah diberikan untuk kerabat, mas kawin untuk perempuan seharusnya berbentuk
logam). Contoh lainnya adalah di Nias, Lampung, Timor, dan Bali.
Fungsi jujur:
1. Yuridis; merubah status perempuan
masuk klan suami.
2. Ekonomis, pergeseran kekayaan suami
kepada keluarga isteri.
3. Sosiologis, penghormatan keluarga
suami kepada keluarga isteri.
Ad2): Perkawinan semenda/ semendo
Yaitu bentuk perkembangan pada
masyarakat matrilineal dimana mempelai suami dijemput dan sesudah perkawinan
masing-masing tetap memegang klannya masing-masing.
Tempat kediaman:
- Matriloka; istri tetap tinggal di keluarga sebelumnya dengan harta
pusaka
- Patrilokal; suami tetap tinggal di keluarga sebelumnya dcngan harta
pusaka.
- Semi lokal; sesuai dengan perjanjian.
Umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang
mempertahankan garis keturunan ibu/perempuan (matrilineal).
Dalam perkawinan semenda, calon pengantin laki-laki/
kerabatnya tidak memberikan uang jujur kepada calon pengantin perempuan, malah
sebaliknya berlaku adat pelamaran oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki
(misal di Minangkabau).
Setelah perkawinan terjadi, suami berada di bawah
kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung kepada bentuk
perkawinan semenda yang berlaku, yaitu apakah:
- Perkawinan raja-raja (suami isteri berkedudukan sama),
- Semenda lepas (suami mengikuti tempat kediaman isteri/matrilokal),
- Semenda bebas (suami tetap pada kerabat orang tuanya),
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
22
- Semenda nunggu (suami isteri berkediaman di pihak keluarga isteri menunggu
adik isteri sampai dapat mandiri),
- Semenda ngangkit (suami mcngambil isteri untuk dijadikan penerus keturunan
pihak ibu suami dikarenakan ibu suami tidak mempunyai keturunan anak
perempuan),
- Semenda anak dagang (suami tidak menetap di tempat isteri, datang dan pergi
sewaktu-waktu, misal; negikeun di Lampung, nyentane di Bali).
Ad 3): Perkawinan bebas/ mandiri
Tidak ada keharusan-keharusan untuk menikah dengan siapa pun,
kecuali larangan: nasab dan mushaharah.
Umumnya berlaku di masyarakat yang bersifat parental (misal;
Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, Sulawesi), dimana kaum kerabat tidak banyak
campur tangan dalam rumah tangga, kedudukan dan hak suami isteri berimbang,
dan biasanya perkawinan setelah perkawinan maka suami isteri tersebut pisah dari
orang tua masing-masing (mencar/mentas).
Ad 4): Perkawinan campuran
Adalah perkawinan yang terjadi antara suami isteri yang berbeda
suku, bangsa, adat, budaya dan agama yang dianutnya.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UUP),
tidak mengatur hal demikian, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran
menurut UUP tersebut adalah perkawinan suami isteri yang berbeda
kewarganegaraan (pasal 57).
Ad5): Perkawinan lari
Terdiri dari:
Perkawinan lari bersama (ulucht huwelijk/ weglood
huwelijk),
Perkawinan lari paksaan (schaak huwelijk).
Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan,
melainkan sistem pelamaran oleh karena dari kejadian perkawinan itu dapat berlaku
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
23
bentuk perkawinan jujur atau semenda atau juga bebas, yang tergantung pada
keadaan dan perundingan kedua belah pihak.
Penyebab dari perkawinan ini adalah karena tidak disetujui atau
tidak mau mengikuti upacara adat.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
24
HUKUM WARIS
Pengertian
Antara lain:
1. Ter Haar:
Hukum Waris Adat meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan
dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang
penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan immateriil dari suatu generasi
ke generasi berikutnya.
2. Soepomo:
Dalam bukunya Bab-bab tentang Huknm Adat, Hukum Waris Adat memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses kewarisan (pengoperan dan
penerusan) barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud,
benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya.
Sifat Hukum Waris Adat
Menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran
tradisional Indonesia, bersumber atas prinsip yang timbul dari pikiran komunal serta
konkrit, misal; jika terjadi perselisihan dalam pembagian warisan diantara para ahli
waris maka selalu diusahakan penyelesaiannya secara rukun agar perjalanan arwah
dari pewaris tenang.
Perbedaan Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Barat
- Hukum Waris Adat tidak mengenal legitimatie porsi (aturan-aturan yang sudah
ditetapkan oleh hukum, terhadap jumlah atau besarnya harta yang diwariskan)
akan tetapi menetapkan dasar persamaan hak yaitu hak untuk diperlakukan sama
oleh orang tua di dalam kewarisan, juga meletakkan dasar kerukunan pada
proses pelaksanaan pembagian dengan memperhatikan keadaan istimewa dari
tiap ahli waris. Kalau Hukum waris Barat mengenal hak-hak tiap ahli waris/
bagian-bagian tertentu. Menurut ketentuan UU/ legitimatie porsi, Pasal 913-
929 KUH Perdata.
- Hukum Waris Adat, harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antar
para ahli waris. Dalam Hukum Waris Barat menunjukkan/ menentukan adanya
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
25
hak mutlak dari ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut
adanya pembagian, pasal 1066 KUH Perdata.
- Dalam Hukum Waris Adat, digunakan asas kekeluargaan, yaitu hak perorangan
diakui tapi dalam kenyataan tidak terlepas dari keluarga di sekitamya. Dalam
Hukum Waris Barat dikenal asas individualisme; dimana hak individu diakui
benar-benar tanpa dilihat bagaimana keadaan keluarga di sekitarnya (Plaats
vervuling = pergantian tempat), misalnya: seorang anak yang meninggal maka
cucunya akan mendapatkan warisan kakeknya, dengan alasan bahwa harta
kekayaan merupakan basis materiil dari keluarga.
- Pewarisan Hukum Waris Adat merupakan suatu proses saat kematian tidak
memerlukan pembagian harta kekayaan, karena sebelum pewaris meninggal
kekayaan sudah diwariskan. Dalam Hukum Waris Barat, pewarisan bukan
proses saat kematian menentukan pembagian harta kekayaan. Pasal 833:
"Bahwa para ahli waris sejak wafatnya si pewaris dianggap memiliki segala
barang-barang, hak-hak dan piutang". Jadi seolah-olah ahli waris melanjutkan
kedudukan si pewaris dalam masyarakat terhadap harta kekayaan.
- Hibah; dihibahkan kepada ahli waris.
- Hibah wasiat ahli waris; hukumnya nasab (haram).
- Harta warisan tidak berwujud, misalnya ilmu-ilmu ghaib, dsb.
Sistem Pewarisan
Antara lain :
1. Individual: Parental; masing-masing hubungan kerabat tidak dekat.
2. Mayorat: Barat: tertua, lampung: laki-laki tertua, Sumsel: perempuan tertua,
dibantu oleh laki-laki tertua.
3. Kolektif: Harta waris yang dipakai secara berkelompok, hanya memiliki hak
pakai tidak mempunyai hak milik- tidak boleh dimiliki oleh ahli waris.
Dalam Hukum Adat terdapat golongan-golongan ahli waris yang dalam harta
peninggalan seorang pewaris golongan yang satu lebih diutamakan daripada
golongan yang lain. Golongan itu berturut-turut:
1. Keturunan pewaris,
2. Orang tua pewaris,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
26
3. Saudara-saudara pewaris keturunan mereka,
4. Orang tua terhadap orang tua pewaris,
5. Keturunan daripada orang tuanya, orang tua pewaris dan seterusnya.
HUKUM TANAH
Penggolongan
Tanah dibagi menjadi 2:
1. Statis: Tanah sebagai subjek hukum,
a. Hak ulayat atas tanah,
b. Hak perseorangan atas tanah.
1) Hak membuka tanah (onginning recht):
- Hak perorangan,
- Hak bersama
2) Hak utama menggarap (vorkeursrecht),
3) Hak menikmati hasil (gennot recht),
4) Hak pakai (gebruiks recht),
5) Hak utama untuk membeli (naaslings recht),
6) Hak imbalan jabatan (amblelijk profij recht).
2. Dinamis: Tanah sebagai objek hukum,
A. Transaksi langsung atas tanah,
1. Primer: Perjanjian tanah bersegi satu/bersifat sepihak;
a. Pendidikan desa,
b. Pembukaan tanah perseorangan
2. Sekunder: Perjanjian tanah bersegi dua/bersifat dua pihak
a. Jual lepas, jual gadai, jual tahunan,
b. Tukar menukar,
c. Pemberian/hadiah;
d. Waris,
e. Hibah,
f. Wakaf.
B. Transaksi tidak langsung atas tanah
1. Bagi hasil,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
27
2. Sewa tanah,
3. Gabungan bagi hasil dan sewa dengan gadai dan jual tanah,
4. Pinjam uang dengan tanggungan tanah,
5. Numpang,
6. Perjanjian pura-pura/semu.
Dasar Hukum Pertanahan di Indonesia
Meliputi:
1. Konstitusi tidak tertulis, bahwa suatu negara terdiri dari rakyat, wilayah,
pemerintahan/kedaulatan.
2. Landasan konstitusional : Pasal 33 avat 3 UUD 1945 : "Bumi. air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat."
3. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), dll.
Kedudukan Tanah
Dalam Hukum Adat kedudukan tanah (hubungan antara tanah dengan
manusia) sangat penting karena menyangkut :
1. Karena sifatnya :
Yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun toh masih bersifat tetap dalam keadaannya
(permanen), bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan.
2. Karena fakta :
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu;
- merupakan tempat tinggal persekutuan,
- memberikan penghidupan kepada persekutuan,
- merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang
meninggal dunia dikebumikan,
- merupakan pula tempat tinggal dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Hubungan masyarakat adat dengan tanah :
1. Magis religius,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
28
2. Dasar kemasyarakatan,
Tanggung jawab persekutuan hukum atas terjadinya kejahatan di lingkungan
wilayahnya.
3. Dasar perekonomian,
Persekutuan hukum dan anggota persekutuan hukum/warga persekutuan hukum
dapat menggunakan tanah milik bersama dengan bebas.
Statis (Tanah Sebagai Subjek Hukum)
Yaitu bila memandang tanah sebagai subjek hukum untuk mengetahui
macam-macam hak yang ada dalam masyarakat dan isi daripada tanah itu.
Hak Ulayat
Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan milik persekutuan
yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini
adalah tidak diperbolehkan, dimana dalam kenyataannya terdapat pengecualian-
pengecualian.
Hak ulayat atas tanah terdiri dari:
1. Yang berlapis satu (tunggal),
Yaitu suatu hak bersama atas tanah yang terdapat pada persekutuan desa.
2. Yang berlapis dua (rangkap),
Yaitu suatu hak bersama atas tanah yang terdapat pada persekutuan daerah.
Menurut van Vollenhoven: Hak wilayah yaitu hak persekutuan hukum untuk
menggunakan secara bebas tanah yang masih hutan belukar dalam lingkungan
wilayahnya guna persekutuan hukum itu sendiri dan anggota juga orang asing
dengan ijin dan membayar recognisi (pembayaran sebelum mengolah tanah) dan
retribusi (pembayaran setelah mengolah tanah).
Jadi hak ulayat yaitu hak persekutuan atas tanah.
Ciri-ciri hak ulayat:
1. Persekutuan hukum dan anggota dapat menggunakan hutan belukarnya secara
bebas.
2. Anggota persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dengan pembatasan
hanya untuk keperluan sendiri.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
29
3. Mempunyai daya berlaku keluar dan ke dalam,
Keluar:
Keluar yaitu membatasi orang asing/bukan anggota mempergunakan tanah
persekutuan hukum. Karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak
diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seijin persekutuan
serta setelah membayar pancang (uang pemasukan) dan kemudian memberikan
ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan
untuk turut serta mcnggunakan tanah wilayah.
Ke dalam:
Kedalam yaitu memberikan jaminan kepada warga/anggota sesuai kebutuhan
hidupnya. Karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua
warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat
dimaksud dengan memetik hasil daripada tanah beserta segala tumbuh-
tumbuhan dan binatang liar yang hidup di atasnya.
4. Yang melakukan hak ulayat ialah penguasa adat baik keluar maupun ke dalam.
Keluar sebagai wakil masyarakat adat. Ke dalam sebagai pengatur warga
masyarakat adat.
5. Anggota persekutuan hukum tidak boleh memindahtangankan haknya untuk
selama-lamanya pada siapapun juga.
6. Persekutuan hukum mempunyai hak atas tanah yang telah digarap untuk
kepentingan umum.
Menurut Terhaar (teori bola): bila hak persekutuan menguat maka hak perseorangan
akan melemah, sebaliknya apabila hak perseorangan menguat maka hak persekutuan
akan melemah.
Objek hak ulayat:
1. Tanah/daratan
2. Air kali, danau, pantai, serta perairan lainnya
3. Tumbuhan
4. Binatang yang hidup liar.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
30
Pada masyarakat yang masih mengakui hak ulayat apabila terhadap tanah tersebut
diperlukan oleh negara, maka negara harus memberikan ganti rugi atas tanah
tersebut.
Cara persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayat yaitu dengan cara :
1. Persekutuan berusaha meletakkan batas-batas di sekeliling wilayah kekuasaan
itu.
2. Menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.
3. Mengadakan patroli-patroli perbatasan.
Tiga (3) wujud pengaruh negatif pada persekutuan hukum :
1. Perkosaan,
Contoh: Dalam kerajaan-kerajaan dahulu, khususnya pada persekutuan-
persekutuan hukum yang berada di sekeliling ibu kota kerajaan mengalami
tindakan-tindakan raja yang sama sekali tidak mengindahkan hak-hak pertuanan
persekutuan, seperti mengambil tanah wilayah persekutuan. dsb.
2. Perlunakan,
Contoh: Dalam kerajaan-kerajaan, dengan adanya sistem apanage, yaitu sistem
pemberian tanah oleh raja-raja kepada pejabat-pejabat kerajaan tertentu sebagai
tanah jabatan yang dapat menjamin penghasilan para pejabat yang bersangkutan
(merupakan perlunakan terhadap hak pertuanan).
3. Pembatasan
Contoh; tindakan-tindakan raja dan pemerintah kolonial yang mewajibkan
persekutuan untuk menggunakan tanah wilayahnya seintensif mungkin dengan
pengerahan warganya sebanyak-banyaknya, juga keharusan menanami tanah-
tanah dengan tumbuhan-tumbuhan yang diperlukan oleh raja, juga pemerintah
kolonial.
Sekarang hak ulayat mengalami erosi (pengurangan) karena :
1. Pertumbuhan penduduk
2. Tanah diolah secara intensif, sehingga menjadi hak milik
3. Meningkatnya teknologi
Kedudukan hak ulayat diakui keberadaannya dalam pasal 3 UUPA, kesimpulannya
bahwa hak ulayat itu ada apabila tidak bertentangan dengan UUPA.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
31
Pelaksanaan hak ulayat diatur dalam pasal 5 UUPA, yang kesimpulannya adalah
bahwa UUPA bersumber pada Hukum Adat.
Hak Perseorangan atas Tanah
Meliputi :
1. Mengumpulkan hasil-hasil hutan. seperti rotan, dll,
2. Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan.
3. Mengambil hasil-hasil dari pohon-pohon yang tumbuh secara liar.
4. Membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus.
5. Mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan.
Hubungan antara hak perseorangan tersebut dengan UUPA, antara lain :
Terhadap hak milik demikian itu, wewenang si pemilik hanya dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan tersebut. Hak milik ini disebut hak yasan dan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan konversi pasal 11 (I) UUPA menjadi hak milik ex. pasal 28
(1) UUPA.
Terhadap hak pertuanan desa yang masih sangat kuat, maka hampir tidak
mungkin hak milik di atas ini dipindahkan ke tangan orang lain, bahkan ada
daerah yang hak milik itu hanya dimiliki untuk waktu yang tertentu dan pada
akhirnya waktu itu tanahnya harus diserahkan kepada lain anggota persekutuan
desa. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan konversi pasal VII UUPA, hak itu
menjadi hak pakai ex. pasal 41 (1) UUPA.
Terhadap hak pertuanan desa yang sudah sangat lemah, maka hak milik atas
tanah setelah wafatnya si pemilik dengan sendirinya jatuh ke tangan ahli
warisnya, dan itu hanya dapat dicabut dalam beberapa hal, misalnya jika si
pemilik dengan segenap keluarganya meninggalkan desa tersebut untuk selama-
lamanya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi pasal VII menjelma
menjadi hak milik ex. pasal 20 (1) UUPA.
Dinamis (Tanah Sebagai Subjek Hukum)
Primer : Perjanjian tanah bersegi satu/bersifat sepihak, contoh :
- Pendirian desa;
- Pembukaan tanah
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
32
Sekunder : Perjanjian tanah bersegi dua/bersifat 2 pihak, yaitu yang menimbulkan
perolehan hak atas tanah dan bersifat terang dan tunai. Antara lain meliputi :
- jual gadai;
- jual lepas;
- jual tahunan;
Menurut Terhaar: terang berarti bahwa pemindahan hak tersebut dilakukan
dihadapan kepala adat yang berperan sebagai kepala adat yang menanggung
keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak itu, sehingga perbuatan tersebut
diketahui oleh umum, dan apabila hal tersebut tidak dilakukan maka perbuatan itu
tidak menjadi bagian ketertiban hukum, tidak berlaku terhadap pihak ketiga dan ke
luar si pembeli tidak diakui sebagai pemegang hak atas tanah.
Tunai berarti pembayaran harus kontan.
Jual lepas yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat. Jadi
untuk seterusnya atau selamanya.
Jual tahunan yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian
bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan lain sesudah atau beberapa kali panen,
maka tanah kembali pada pemilik tanah semula.
Jual Gadai yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan
bahwa yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk mengambil kembali tanah
itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.
Meneruskan gadai atau mengalihkan gadai yaitu dengan seijin penjual gadai, si
pembeli gadai mengoperkan pada pihak ketiga yaitu dengan ijin si penjual gadai.
Dalam pasal 161 (h) dan pasal 53 (1) UUPA disebutkan bahwa hak gadai bersifat
sementara karena dalam waktu yang akan datang hak gadai ini akan dihapuskan.
Ketentuan pasal 7 Perpu No. 65 Tahun 1960:
1. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mula
berlakunya peraturan ini (yaitu pada tanggal 1 Januari 1961) sudah berlangsung
7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam
waktu sebulan sesudah tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak
untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
2. Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum
berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
33
setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen dengan membayar uang
tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus ((7 + ½) - waktu
berlangsungnya hak gadai X uang gadai) : 7). Pelaksanaan pengembaliannya
adalah dalam waktu sebulan setelah penanaman yang bersangkutan.
3. Ketentuan dalam ayat (2) ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan
sesudah mulai berlakunya peraturan ini.
Tukar menukar yaitu sebidang tanah ditukar dengan barang yang senilai dengan
harga tanah tersebut.
Pemberian atau hadiah, yaitu peralihan tanah secara kontan, di luar lingkungan ahli
waris, bersifat mutlak, contoh; upeti.
Waris yaitu proses penerusan serta pengoperan barang-barang yang berwujud/ tidak
berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya (kekayaan
adalah basis materil dalam kehidupan keluarga).
Hibah yaitu peralihan tanah secara kontan pada seseorang dalam hubungan ahli
waris, bersifat tidak mutlak (bisa dicabut kembali) juga bisa bertambah bila bukan
waris.
Wakaf yaitu peralihan tanah dari seseorang dengan tujuan untuk kebutuhan umat
(peribadatan), bersifat mutlak untuk selamanya, ada ijab kabulnya. Ikrar wakaf
dicatat oleh pejabat pembuat akta wakaf, yaitu kepala kantor urusan agama.
Transaksi-transaksi yang ada hubungan dengan tanah :
1. Memperduai (Minangkabau), moro (Jawa), toyo (Minahasa), terang (Sulawesi
Selatan), nengah (Priangan), mertelu (Jawa), atau jejuron (Priangan).
Transaksi ini terjadi apabila pemilik tanah memberikan ijin kepada orang lain
untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat ijin itu
harus memberikan sebagian hasil tanahnya kepada pemilik tanah. Dengan
dasarnya adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya, tetapi ia
tidak ingin atau tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya itu.
2. Sewa,
Adalah suatu transaksi yang mengijinkan orang lain untuk mengerjakan
tanahnya dengan tinggal di tanahnya dengan membayar sesudah tiap panen atau
sesudah tiap bulan atau tiap tahun uang sewa yang tetap.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
34
3. Tanggungan atau jonggolan di Jawa, makantah (Bali), tahan (Tapanuli),
Transaksi ini terjadi apabila seorang yang hutang kepada orang lain berjanji
kepada yang memberi pinjaman tadi bahwa ia sebelum melunasi hutangnya ia
akan mengadakan transaksi tentang tanahnya, kecuali dengan pemberi hutang.
4. Numpang atau magersari (Jawa) atau lindung (Priangan),
Transaksi ini terjadi apabila seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal di
tanah itu memberi ijin kepada orang lain untuk membuat rumah yang kemudian
ditempati olehnya di atas tanah itu juga.
5. Memperduai atau sewa bersama-sama dengan gadai,
Merupakan transaksi gabungan antara transaksi tanah dengan transaksi yang
berhubungan dengan tanah, dapat terjadi apabila yang menerima tanah yang
digadaikan memberi ijin kepada pemilik tanah atau yang menggadaikan tanah
untuk mengerjakan tanah itu dengan perjanjian memperduai atau sewa.
HUKUM ADAT DELIK
Menurut Ter Haar: Suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan kegoncangan dalam
neraca keseimbangan dalam masyarakat, kegoncangan itu tidak hanya peraturan-
peraturan hukum dalam masyarakat dilanggar, juga apabila norma-norma
kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.
Menurut Soepomo: Segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan Hukum
Adat merupakan perbuatan ilegal dan Hukum Adat mengenal pula ikhtiar untuk
memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa.
Sifat pelanggaran Hukum Adat :
1. Sistem Hukum Adat tidak mengadakan pemisahan penuntutan antara pelanggar
hukum pidana dan hukum perdata. Hanya mengenal satu prosedur penuntutan
oleh satu pejabat saja yaitu kepala adat, hakim perdamaian desa atau hakim
pengadilan negeri untuk semua macam pelanggaran adat.
2. Pembetulan hukum yang dilanggar untuk memulihkan keseimbangan dapat
berupa suatu/beberapa tindakan.
Lapangan berlakunya Hukum Adat Delik:
1. Delik adat,
2. Delik pidana.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
35
Hukum Adat tidak mengenal sistem pelanggaran yang ditetapkan lebih dahulu
(sistem prae exitence regels), tidak ada peraturan semacam pasal 1 KUH Pidana,
dan tidak berlaku ne bis in idem.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
36
REFERENSI
Asas-asas Hukum Adat-Suatu Pengantar, oleh Prof. Bushar Muhammad, S.H.,
Hukum Adat Indonesia, oleh Dr. Soerjono Soekanto, S.H. MH.,
Hukum Ketatanegaraan Adat, oleh Hilman Hadikusuma, S.H.,
Hukum Perkawinan Adat Jawa Barat, oleh Soepomo,
Meninjau Hukum Adat Indonesia – Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum
Adat, oleh Prof. Mr. Dr. Soekanto,
Penemuan Hukum Adat, oleh C. van Vollenhoven,
Pengantar Hukum Adat, oleh Dr. Soerjono Soeckanto, S.H., MH.,
Pengantar Hukum Adat, oleh Suroyo Adipuro,
Pengantar Hukum Adat Indonesia, oleh Hilman Hadikusuma, S.H.,
Pokok-pokok Hukum Adat, oleh Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Dr. Soerjono
Soekanto,S.H. MH.,
Dll.
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2004-2005Campus in Compact – Hukum Adat
37