cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

10
Sebuah cerita pendek (cerpen) yang terinspirasi oleh kisah nyata semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur **** Anak Sejuta Lumpur Oleh : Firdaus Cahyadi “Lingkaran kecil, lingkaran kecil, lingkaran besar,” teriak anak - anak di Taman Kanak-kanak Al-Maun, Bogor, Jawa Barat. Mereka tampak riang gembira bermain bersama teman-teman dan gurunya. Tidak ada raut muka berduka di wajah-wajah mereka. TK ini adalah salah satu TK yang ada di kompleks perumahan tempatku tinggal. Anakku pun bersekolah di TK ini. Untuk ukuran masyarakat kebanyakan, TK ini cukup mahal. TK ini diperuntukan bagi mereka anak-anak yang keluarganya dari kelas menengah-atas. Sudah barang tentu tidak ada anak dari keluarga miskin di TK ini. Hari ini, adalah hari pertama anakku masuk TK. Jadi aku menyempatkan diri untuk menunggui anakku hingga pulang sekolah. Beberapa orang tua anak juga tampak melakukan hal yang sama. Hanya saja, aku menungguinya agak jauh dari sekolah. Aku menunggu di sebuah masjid yang ada di kompleks sekolah TK

Upload: dausinstitute

Post on 05-Dec-2014

1.876 views

Category:

Entertainment & Humor


5 download

DESCRIPTION

Sebuah cerita pendek (cerpen) yang terinspirasi oleh kisah nyata semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur

TRANSCRIPT

Page 1: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

Sebuah cerita pendek (cerpen) yang terinspirasi oleh kisah nyata

semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur

****

Anak Sejuta Lumpur

Oleh : Firdaus Cahyadi

“Lingkaran kecil, lingkaran kecil, lingkaran besar,” teriak anak-

anak di Taman Kanak-kanak Al-Maun, Bogor, Jawa Barat. Mereka

tampak riang gembira bermain bersama teman-teman dan

gurunya. Tidak ada raut muka berduka di wajah-wajah mereka. TK

ini adalah salah satu TK yang ada di kompleks perumahan tempatku

tinggal. Anakku pun bersekolah di TK ini. Untuk ukuran masyarakat

kebanyakan, TK ini cukup mahal. TK ini diperuntukan bagi mereka

anak-anak yang keluarganya dari kelas menengah-atas. Sudah

barang tentu tidak ada anak dari keluarga miskin di TK ini.

Hari ini, adalah hari pertama anakku masuk TK. Jadi aku

menyempatkan diri untuk menunggui anakku hingga pulang

sekolah. Beberapa orang tua anak juga tampak melakukan hal

yang sama. Hanya saja, aku menungguinya agak jauh dari sekolah.

Aku menunggu di sebuah masjid yang ada di kompleks sekolah TK

Page 2: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

itu. Dari kejauhan, aku melihat anak-anak, termasuk anakku, begitu

riang gembira. Mereka nampak sangat bahagia.

Trit..trit…Dan handphoneku pun berbunyi. Direkturku menelpon

dari kantor. “Adi, kamu ada dimana sekarang?” Tanya Mbak

Devianti, “Besok kamu harus berangkat ke Porong, Sidoarjo, Jawa

Timur untuk memberikan pelatihan penggunaan media social

selama seminggu untuk kawan-kawan di Posko korban lumpur

Lapindo, gimana, siap ‘kan?”

Saya berpikir sejenak. Hmm..Sidoarjo. Di tempat itu saya

pernah tinggal beberapa saat sebelum mendapatkan pekerjaan di

Jakarta. Kini tempat itu telah hancur lebur karena semburan lumpur.

“Iya..iya Mbak..saya siap,” jawabku, “Jam berapa pesawat dari

Jakartanya, Mbak?”

“Besok kamu berangkat jam 10.00 pagi,” jawab Mbak Devianti

singkat, “Ok, thanks ya.” Percakapan di telpon pun terputus.

Memberikan pelatihan kampanye, termasuk menggunakan media

social di internet, adalah salah satu pekerjaanku. Aku bekerja di

sebuah organisasi non-pemerintah atau sering disebut sebagai

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM tempatku bekerja

Page 3: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

lumayan besar karena salah satu jaringan LSM internasional,

sehingga gaji yang aku terima pun lebih tinggi daripada staf LSM-

LSM lainnya. Dari segi pendapatan pun, aku masuk kedalam kelas

menengah-atas.

Waktu pun berlalu, sekolah TK sudah usai. Anak-anak pun

berhamburan keluar, termasuk anakku. Aku pun segera

menghampiri anakku. “Gimana Firli, suka sekolah di sini?” tanyaku

kepadanya, “Iya, ayah, Firli suka” jawabnya. Dan kami pun menuju

mobil Baleno untuk menuju rumah.

***

Waktu menunjukan jam 08.00 pagi, setalah berpamitan

kepada anak dan istriku, aku berangkat menuju Bandara Soekarno-

Hatta. Jika jalanan tidak macet, Bogor menuju Bandara ditempuh

dalam waktu sekitar 1,5 jam. Dan Alhamdulillah, jalanan Jakarta

tidak begitu macet, hingga taxi yang aku tumpangi dapat sampai

ke Bandara tepat waktu. Setelah check in dan boarding, aku dan

seorang temanku, Alamsyah, segera bergegas menuju pesawat.

Tidak ada sesuatu yang baru selama perjalanan dari Jakarta

ke Bandara Juanda, Surabaya. Hal yang baru justru ketika

Page 4: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

perjalanan dari Bandara Juanda ke sekretariat Posko korban lumpur

yang lokasinya tak jauh dari pusat semburan lumpur.

“Gila bau apaan nih?” Tanya Alamsyah setengah berteriak.

Begitu memasuki Jalan Raya Porong, Sidoarjo, memang tercium

aroma yang begitu menyengat. Aroma seperti telur busuk. “Ini

aroma dari lumpur Lapindo,” jawab Pak Manto, sopir taxi yang

menghantarkanku dari Bandara Juanda, “sejak muncul semburan

lumpur Lapindo, di sepanjang jalan ini memang muncul aroma

busuk seperti ini”

Aku pun menyempatkan diri melihat sekeliling jalan raya

Porong, Sidoarjo. Sebuah hamparan lumpur yang luas. “Dulu di

daerah itu ada rumah penduduk, pabrik, tempat ibadah dan

sekolah,” ujar Pak Manto, “Namun, sekarang sudah tenggelam oleh

lumpur Lapindo”

Ya lumpur Lapindo. Tanggal 29 Mei 2006 semburan lumpur

Lapindo mulai muncul di kawasan ini. Semburan lumpur ini tidak

hanya meluluhlantakan rumah dan tanah tapi juga harapan warga

yang menjadi korban. Banyak berita di Koran yang menuliskan

bahwa banyak anak-anak korban lumpur yang terpaksa putus

Page 5: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

sekolah. Anak-anak korban lumpur itu bukan hanya kehilangan

teman tapi juga indahnya masa anak-anak. Mereka tentu tidak bisa

lagi mandi di sungai, karena air sungai telah tercemar oleh lumpur

Lapindo. Sekolah tempat mereka berkumpul dengan teman-teman

sebayanya pun telah tenggelam. Mendadak aku jadi ingat anakku.

“Oh, betapa sedihnya anakku jika itu terjadi menimpanya,”

gumamku dalam hati.

“Sudah sampai mas,” ujar Pak Manto menyadarkan aku dari

lamunan. “Wow,.cepat banget” kataku. “Eh..cepat, lama ini,

melamun aja sih loe” ujar Alamsyah dengan logat Jakartanya yang

begitu kental. Setelah membayar ongkos taxi, kamipun bergegas

masuk sekretariat Posko Korban lumpur.

“Selamat datang mas,” ujar Hamdi, coordinator dari Posko

Korban lumpur, “Seadanya ya, maklum kita adalah korban lumpur” .

Meskipun ada duka yang mendalam di raut wajah mereka, mereka

tetap ramah menyambut tamu. “Oh, ga apa-apa” jawabku.

Pelatihan penggunaan media social untuk kampanye

dilakukan di malam hari selama seminggu. Tidak ada hal yang

berbeda dalam sesi pelatihannya. Hal baru dan berbeda justru

Page 6: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

muncul dari perbincangan-perbincangan dengan pengelola posko

korban lumpur. Banyak cerita-cerita yang lebih mengenaskan dan

itu tidak pernah muncul di Koran, majalah, televisi atau portal berita

online.

Salah satu cerita mengenaskan itu tentang kisah Mbok Jumik.

Ia adalah salah satu korban lumpur yang pernah tinggal di Pasar

Porong. Pada suatu hari, Mbok Jumik merasakan sakit yang luar

biasanya di perutnya. Keluarganya pun segera membawanya ke

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo. Pihak rumah sakit

mengatakan bahwa Mbok Jumik harus dirawat. Namun, karena

ketiadaan biaya akhirnya Mbok Jumik kembali dibawa ke

pengunsian Pasar Baru Porong. Ia dirawat dengan pengobatan

tradisional. Dan akhirnya, Mbok Jumik meninggal di pengungsian

korban lumpur.

Kawan-kawan Posko korban lumpur pun telah menyebarkan

berita ini dan meminta dukungan pendanaan untuk perawatan

Mbok Jumik. Permohonan dukungan dan bantuan itu disebarkan

melalui berbagai cara, salah satunya melalui internet. “Namun,

Page 7: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

sampai akhir hayatnya tidak ada bantuan untuk Mbok Jumik” ujar

Hamdi.

Aku terdiam. Mulutku seakan terkunci. Bagaimana tidak, di

Jakarta terjadi banjir dukungan terhadap Prita Mulyasari melawan

pelayanan Rumah Sakit OMNI Internasional. Di Porong, ada seorang

ibu yang kesulitan membayar RSUD, hingga akhir hayatnya justru

tidak ada satupun yang memberikan dukungan. “Kemana kelas

menengah yang digembar-gemborkan Bank Dunia? Kemana pula

lembaga amil zakat yang mengklaim terpercaya dalam

menyalurkan bantuan” gumamku dalam hati.

Hatiku seperti disayat –sayat mendengar cerita tentang Mbok

Jumik itu. Aku adalah bagian dari kelas menengah di Indonesia.

Kehidupanku jauh lebih mapan daripada para korban lumpur. Tapi

aku tidak berbuat apa-apa ketika ada seorang korban lumpur yang

mengerang kesakitan dan tidak bisa membayar biaya rumah sakit

umum. Ini adalah dosaku sebagai bagaian kelas menengah yang

angkuh di negeri ini. “Maafkan aku Mbok Jumik,” ucapku dalam

hati, “Aku dan kelas menengah lainnya tidak pernah peduli

terhadap penderitaan panjangmu.”

Page 8: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

Dan cerita-cerita mengenaskan itu tidak berhenti hingga disitu.

Ada cerita mengenaskan tentang seorang bayi usia 3,5 bulan yang

harus meninggal dunia. Bayi itu bernama Aulia Nadira Putri.

Rumahnya tak jauh dari pusat semburan lumpur Lapindo. Ia

meninggal dunia karena diduga terlalu banyak menghirup gas

beracun lumpur Lapindo.

Sedih, marah dan kecewa bercampur baur ketika Hamdi

menceritakan kisah pilu Aulia Nadira Putri ini. Seorang bayi yang tak

berdosa pun harus meninggal dunia karena gas beracun lumpur

Lapindo. Padahal, jika ia bisa memilih, ia tentu tidak akan memilih

untuk dilahirkan di kawasan dekat semburan lumpur Lapindo. Jika

bisa memilih, bayi Aulia Nadira Putri tentu memilih di lahirkan di

tempat lain, yang udara dan lingkungan hidupnya masih sehat.

Cerita tentang Aulia Nadira Putri ini kembali menyetak hatiku.

Tak terasa air mataku pun jatuh. Aku membayangkan jika ini terjadi

pada anakku. Dan sekali lagi aku merasa berdosa atas kematian

Aulia Nadira Putri. Harusnya aku sebagai kelas menengah ikut

mendesak pemerintah untuk segera memindahkan semua

penduduk dari kawasan semburan lumpur. Kawasan semburan

Page 9: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

lumpur itu sudah tidak layak huni bagi manusia. Alih-alih

memindahkan penduduk dari kawasan berbahaya semburn lumpur

Lapindo. Pemerintah justru memiliki ide untuk menjadikan kawasan

itu sebagai kawasan wisata geologi. Bahkan sebuah perusahaan

yang dikaitkan dengan munculnya semburan lumpur justru

berencana melakukan pengeboran lagi di Sidoarjo.

***

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Sudah seminggu aku

tinggal di Porong, Sidoarjo. Berbaur dengan masyarakat korban

lumpur. Mengalami sendiri perihnya penderitaan warga dan juga

mendengar berbagai cerita pilu yang tak pernah muncul di media

massa. Namun, hari ini aku akan meninggalkan itu semua.

Meninggalkan udara dengan aroma busuk yang menyengat di

Porong, Sidoarjo.

Selama di perjalanan pikiranku masih melayang di kawasan

Porong, Sidoarjo. Kisah pilu yang dialami Mbok Jumik dan Aulia

Nadira Putri masih membebani pikiran dan hatiku. Orang-orang

yang tak berdosa itu telah menjadi korban. Ya, korban

ketidakpedulian Negara dan kita semua.

Page 10: Cerpen anak+sejuta+lumpur (1)

Tak terasa taxi menghantarkanku di depan pintu rumah. Istri

dan anakku menyambut dengan suka cita. “Ayah pulang” teriak

anakku sambil memelukku. Akupun memeluk anakku, dengan

pikiran yang masih melayang ke kisah pilu Aulia Nadira Putri. Di

perumahan ini anakku dan anak-anak lainnya nampak sehat dan

ceria. Namun, tidak bagi anak-anak di Porong, Sidoarjo sana.

Keceriaan anak-anak Porong telah terampas. Bahkan, kini setiap

hari keselamatan mereka terus terancam akibat sejak semburan

lumpur Lapindo muncul di kawasannya. Mereka anak-anak yang

tidak berdosa, namun harus menderita. Dan kita kelas menengah

yang ada di kota sepertiku menutup mata dan telinga atas realita

kehidupan mereka.