cara memperoleh ilmu pengetahuan
TRANSCRIPT
CARA MEMPEROLEH MEMPEROLEH ILMU(Tinjauan Filosofis)*
Oleh: MH. Zulkarnain Mubhar, S.Th.I*
Pendahuluan
Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna
lagi paripurna, kesempurnaannya tampak pada kecakapan dalam
menghadapi pelbagai bentuk permasalahan hidup yang
merupakan manifestasi dari kesucian fitrah insaniyah yang
dianugrahkan oleh Allah kepadanya, dan keparipurnaannya
tampak pada kemampuannya menganalisa setiap permasalahan
guna mendapatkan jalan keluar yang akurat tanpa menimbulkan
problematika yang lebih parah dari sebelumnya, keparipurnaan
ini merupkan bentuk manifestasi hikmah ‘aqliyyah yang menjadi
bagian utama terbentuknya makhluk Tuhan yang teristimewa
diantara seluruh makhluk yang tercipta di bumi.
Diantara masa terputusnya ke-Rasul-an Musa A.s dan
diutusnya Isa A.s sebagai Rasul Allah, manusia berada pada
kebimbangan ilmiah dan terombang-abing akibat kehilangan
bimbingan ditambah dengan kesewenang-wenangan sebahagian
ahli Kitab dalam melakukan perubahan dan perombakan Torah
serta kesewenang-wenangan para penguasa dalam melakukan
pendoktirinan sesat kepada umat manusia yang hidup pada
masa transisi ke-Rasul-an tersebut, maka sekolompok manusia
yang mayoritasnya berkebangsaan Yunani melakukan
penentangan terhadap indoktrinisasi para penguasa yang
dianggap sesat lagi menyesatkan dengan menggunakan daya
* Makalah dipresentasikan pada seminar kelas khusus beasiswa Magister S2 Konsentrasi Studi Hadis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dibawah bimbingan dosen mata kuliah ibu Dr. Hj. Muzayyanah Mu’tashim H, MA., pada Hari Kamis, 25 November 2010 ** Alumni Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Program Khusus Tafsir Hadis UIN Alauddin Makassar 2009, dan Mahasiswa Magister (S2) Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan konsentrasi Studi Hadis, angkatan 2010.
1
2
nalar-kritis mereka terhadap doktrin-doktrin penguasa yang
merupakan hasil penalaran akal terhadap kebenaran yang
terdapat dibalik fisik alamiyah dan metafisis. Kelompok manusia
ini kemudian dikenal dengan istilah Filusuf yang diartikan
sebagai para pencari atau pecinta hikmah. Penggunaan istilah ini
merupakan bentuk perlawanan terhadap para retorik-retorik
sesat yang dikenal dengan istilah Shophis yang menggunakan
cara berfikir sesat (shophistry) atau dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah safastah.1
Pernayataan di atas memebrikan ketegasan konseptual-
faktual bahwasanya filsafat pertama kali dirumuskan dan
diperkenalkan dalam Bahasa Yunani kemudian diterjemahkan
kedalam Bahasa Suryani lalu ke dalam Bahasa Arab. Al-Ahwaniy
mengungkap penuturan al-Farabiy tentang asal muasal filsafat
sejak bangsa-bangsa kuno sampai pada orang Arab sebagai
berikut:
Konon ilmu tersebut pada zaman dahulu milik orang-orang Kaldan, penduduk Iraq. Lantas berpindah pada orang Mesir lalu berpindah lagi pada orang Yunani, beberapa kurun waktu kemudian, ilmu tersebut berpindah lagi pada orang-orang Arab. Semua yang tercakup dalam ilmu itu dirumuskan dalam bahasa Yunani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Suryani lalu kedalam bahasa Arab. Ilmu yang mereka peroleh dari orang-orang Yunani itu pada umumnya mereka beri nama Hikmah dan Hikmah Terbesar.2
Jika kita memperhatikan dan memahami dengan baik
tentang perjalanan filsafat sebagaimana yang tampak dalam
ungkapan al-Farabiy, maka kita akan berkesimpulan bahwa
Filsafat (hikmah atau hikmah terbesar) adalah milik orang-orang
1 Murtada Mutahhariy, Fundamentals of Islamic Thoght, diterj. A. Rifa'i Hasan dan Yuliani, Tema-Tema Penting Filsafat Islam, (Bandung: Yayasan Muthahhary, 1993), 11-12.
2 Ahmad Fuad al-Ahwaniy, al-Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Thaqafiyyah, 1962), 4.
3
Persia yang pada akhirnya masuk kedunia Islam pada zaman
Abbasiyah. Hal ini sejalan dengan sebuah hadith sebagaimana
yang direkam dan didokumentasikan dengan baik oleh At-
Tirmidzy dalam Sunan-nya.
Aَم?ُة= ?ِل Dَك Aَه?ااْل ?َح?ُّقJ ِب Dُث= َو?َج?َد?َه?ا َف?َه=َو? َأ Dَم=ْؤDِمAِنA َف?َح?ْي Zُة= اْل Dَم?ُة= َض?اْل DَحAَك اْل"Kalimat penuh hikmah adalah permata mu'min yang hilang, maka dimanapun hikmah itu ditemukan, maka hendaklah mengambilnya" 3
Penegasan hadith di atas menunjukkan bahwa Islam
mengakomodasi proses pencarian ilmu yang mengantarkan
seorang muslim dapat menjadi ahli ilmu yang jujur secara ilmiah
baik dalam bentuk konseputal maupun kontekstual dimana
proses perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahuan
biasa ke arah pengetahuan ilmiah yang melibatkan cara dan
sistem-sistem tertentu, termasuk di dalamnya pengetahuan yang
dihasilkan dengan jalan filsafat.4 Penegasan ini secara implisit
menjelaskan bahwa cara dalam memperoleh pengetahuan yang
bersifat ilmiah dibutuhkan sebuah pengkajian metodologis
sebagai sebuah gambaran umum tentang proses atau cara untuk
menghasilkan pengetahuan ilmiah yang kemudian akan
dipaparkan lebih lanjut dalam tulisan ini.
Berdasar pada uraian di atas, maka permasalahan yang
akan dibahas dalam tulisan ini dibatasi pada “Cara
Memperoleh Ilmu; Tinjauan Filosofis” dalam usaha untuk
menjawab dua perkara yaitu; Bagaimana konsepsi teori Ilmu
3 Hadith ini Da’if, menurut at-Tirmidzy hadith ini merupakan hadith gharib dari sisi sanad dan matannya sebab tidak ditemukan kecuali dari sisi ini, dan didalmnya terdapat Ibrahim bin al-Fadl al-Madiniy al-Makhzumiy yang di da’ifkan akibat kelemahan hafalnya. Lihat: Sunan at-Tirmidzy, Kitab: Ilmu, Bab: Keutaman Fiqih dari Ibadah-ibadah Lainnya (Semarang: Toha Putra, T.Th), Jld. IV, 155.
4 Eko Marhaendy, Pengetahuan Manusia Secara Umum (Makalah, dipersentasekan pada Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam (PDPI) Program Pasca Sarjana IAIN Sumut, Naskah tersebut diakses di www.ekomarhaendy.wordpress.com dikunjungi pada 15-Oktober-2010), 3.
4
pengetehuan dan Bagaimana cara memperoleh Ilmu
pengetahuan?
Tulisan ini bermaksud untuk mengetahui cara perolehan
ilmu pengetahuan secara filosofis yang bertujuan untuk
mendapatkan pencerahan ilmiah. Pada sisi lain konsep teori Ilmu
dan cara memperoleh Ilmu pengetahuan dapat dijadikan sebagai
landasan dalam melakukan proses pencarian ilmu pengetahuan
guna menemukan kebenaran ilmu pengetahuan secara ilmiah.
Adapun Hirarki pembahasan dalam tulisan ini adalah
dengan mendahulukan pembahasan tentang keterangan-
keterangan epistemik-filosofis akan konsepsi teori ilmu
pengetahuan berdasarkan perdebatan-perdebatan filosofis para
filusuf ditinjau dari aspek epistemologinya yang bertujuan untuk
menampakkan perbedaan dan pertentangan teori –untuk tidak
mengatakan kekacauan epistemik- tentang cara atau cara
memperoleh ilmu pengetahuan untuk mencapai sebua
“kebenaran” ilmiah. Selanjutnya pembahasan difokuskan pada
uaraian tentang cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan secara
epistemic-folosofis.
Pembahasan
A. Konsepsi Teori Ilmu Pengetahuan
Berbicara tentangan cara atau cara memperoleh ilmu
pengetahuan, maka kita berbicara tentang epistemology dalam
filsafat ilmu yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan.
Epistemology memiliki obyek telaah yang bersifat penjelas atas
proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan
pertanyaa-pertanyaan utama seperti; bagaimana sesuatu itu
datang?, bagaimana kita mengetahuinya?, bagaimana
membedakannya dengan yang lain? Dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah bentuk penegasan
5
tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi ruang
serta watu,5 ketika berbicara tentang epistemology ilmu, maka
harus dikaitkan dengan ontology ilmu dan aksiologinya misalnya;
ketika hendak membicarakan tentang ilmu alam yang apa
adanya yang terbatas pada lingkup pengalaman kita dimana
pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu untuk menjawab
permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari oleh
manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan pelbagai
kemudahan kepadanya. Pemecahan tersebut pada dasarnya
adalah dengan mengasumsikan, meramalkan dan mengontrol
gejala-gejala alam. Berdasaran landasan ontology dan aksiologi
seperti itu, maka dibutuhkan bangunan landasan epistemology
yang sesuai, sebab pada dasarnya persoalan utama yang sering
dihadapi oleh setiap epistemology pengetahuan adalah
bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
memperhitungkan aspek ontology dan aksiologi masing-masing.6
Jadi dalam pandangan ini kekokohan epistemic dalam bangunan
ilmu pengetahuan terletak pada kebenaran cara tanpa
memishkannya dengan ontology dan aksiologi dari sautu
bangunan ilmu, sebagaimana yang dapat diilustrasikan secara
hirarki sebagai berikut;
5 Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat (Bandung : Rafika Aditama, 2007), 10.6 Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), 105-106. Yang selanjutnya ditulis Jujun, Filsafat Ilmu…
6
Hirarki illustrasi bangunan ilmu pengetahuan di atas
menunjukkan bahwa ontology ilmu ditempatkan sebelum
epistemology dengan cara mengasumsikan “ada” realitas
kemudian ditambahkan epistemology untuk menjelaskan
bagaimana kita mengetahui realitas tersebut. Hirarki dari
bangunan ilmu pengetahuan tersebut – yang dalam istilah Keith
Lethrer – adalah teori dogmatic epistemology.7 Konsepsi dari
teori ini adalah dengan menempatkan ontology sebelum
epistemology.
Selain dari teori dogmatic epistemology terdapat pula
teori critical epistemology dimana teori ini merupakan bentuk
revolusi dari teori dogmatic epistemology yang dalam prosesnya
adalah menanyakan apa yang telah diketahui sebelum
menjelaskannya, artinya bahwa teori ini berada pada wilayah
mempertanyakan suatu pengetahuan awal secara kritis
kemudian diyakini, meragukan sesutu yang telah “ada” terlebih
dahulu sebelum kemudian menjelaskannya setelah terbukti
keber”ada”annya, dan berpikir dahulu sebelum meyakini dan
atau tidak meyakini kebenarannya.8 Konsepsi dari teori ini
menempatkan wilayah epistemic sebelum ontal sebagaimana
yang dapat dillustrasikan secara hirarki sebagai berikut:
7 Muhammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), 76. Selanjutnya ditulis Adib, Filsafat Ilmu…8 Ibid., 77.
7
Subyektifitas dan obyetifitas kebenaran ilmu merupakan
hasil dari suatu bangunan ilmu yang memiliki ketergantungan
pada kebenaran teori, cara dan cara memperolehnya. teori ilmu
yang diterapkan oleh Para filusuf kuno tergolong masih sangat
premature dimana mereka mencari unsur-unsur atau entitas-
entitas yang dikandung oleh semua benda dengan menggunakan
pertimbagan-pertimbangan empiris atau hasil-hasil pengamatan
yang mendalam terhadap entitas-entitas tersebut yang dapat
mendukung penjelasan yang satu atau yang lainnya. Mereka
mendasaran jawaban mereka sedapat mungkin pada landasan-
landasan epistemic dengan mempertimbangkan jenis-jenis apa
yang dapat dimengerti secara sungguh-sungguh, sebagaimana
halnya yang berdasar pada empiris dengan mempertimbangkan
jenis-jenis entitas abadi yang mungkin dapat diperoleh dari dan
atau dalam pengalaman.9
Secara umum dapat dinyatakan bahwa prematurisme
konsep teori ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para filusuf
klasik kuno didasarkan pada lima kemampuan yaitu; (1)
Pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, (2)
pengetahuan dari hasil pengalaman tersebut diterima sebagai
suatu fakta dengan sikap receptive mind, dan jika terdapat
keterangan-keterang epistemic tentang fakta-fakta tersebut,
maka keterangan-keterangan tersebut adalah mitologi (mistis,
magis dan religious), (3) kemampuan menemukan abjad dan
bilangan alam yang menunjukkan terjadinya tingkat abstraksi
pemikiran, (4) kemampuan menulis, menghitung dan menyusun
kalender merupakan bentuk sintesis dari hasil abstraksi, (5)
9 Jerome R Ravertz, The Philosophy of Science (Oxford University Press, 1982) diterj. Saut Pasaribu, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup Bahasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 92-93. Yang selanjutnya ditulis Jerome, The Philosophy of Science…
8
kemampuan meramalkan peristiwa-peristiwa fisis atas dasar a
priori seperti hujan, gerhana dan sebagainya.10
Perbedaan-perbedaan para filusuf klasik Yunani pra-
Sokratik tentang konsepsi teori ilmu pengetahuan terletak pada
pendalam pengamatan empirisme mereka terhadap entitas-
entitas dari benda-benda yang ada tidak dapat diilekkan, dalam
pandangan Parmenidas misalanya bahwa “segala bentuk
perubahan merupakan penampakan sementara yang berada
dibalik hubungan timbal-balik dari realitas-realitas yang lebih
dalam dan tidak berubah”, semantara Hiraklitus berada pada
kutub yang lebih ekstrim yang menyatakan bahwa “sejauh
pengetahuan manusia semua bersifat mitologi sebab secara
empiris pengetahuan itu berubah terus menerus,11 dan apa pun
yang berada dalam waktu selalu fana dan keabadian bukanlah
sesuatu yang tidak berubah disepanjang waktu yang terbatas,
akan tetapi dia adalah eksistensi yang berada diluar seluruh
proses temporal”.12
Para filususf pra-Sokratik memfokuskan diri pada
pencarian secara empiric tentang arche (unsure induk)13 yang
dianggap sebagai asal kejadian segala sesuatu dengan
melakukan pengamatan empiris secara medalam terhadap
fenomena-fenomena alam sehingga menghasilkan beberapa
konsep tentang asal-usul alam dalam segala bentuk jenis, entitas
dan geraknya. Konsep-konsep yang mereka hasilkan dari hasil
pengamatan empiris tersebut pun berbeda anatara satu dengan 10 A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 194. Yang selanjutnya ditulis A.Fuad, Filsafat Ilmu…11 Jerome, The Philosophy of Science…94.12 Bernard Russell, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances From the Earliest Time to Present Day (London: George Allen and UNWIN, 1946). Diterj. Sigit Jatmiko dkk., Sejarah Filsafat Barat; dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 61. Yang selanjutnya ditulis Bernard, History of Western Philosophy...13 A. Fuad, Filsafat Ilmu, 195.
9
lainnya dimana dalam pandangan Thales sebagaimana yang
diungkapan oleh Aristotales bahwa “air adalah substansi dasar
yang membetuk segala sesuatu dan ia mengatakan bahwa bumi
terapung di atas air, dan bahwa magnet memiliki nyawa karena
dapat menggerakan besi”.14 Russell memandang bahwa
pendapat ini – tentang air sebagai asal dari segala sesuatu –
dapat dianggap sebagai bentuk hipotesis ilmiah yang tidak
dapat dianggap sebagai pendapat tolol sebab dua pulu tahun
yang lalu15 telah ditemuan bahwa segala sesuatu terbuta dari
hydrogen dimana dua pertiganya adalah air.16 Pada bagian lain
Anaximanders berpendapat bahwa “arch itu adalah Substansi
yang tidak terbatas, abadi, dan tak mengenal usia, substansi
asali itu dibentuk menjadi pelbagai subtansi yang kita kenal dan
kemudian substansi-substansi tersebut ditransformasikan antara
satu dengan lainnya menjadi substansi lain”, sehingga dalam
kesimpulannya bahwa “dunia kita ini adalah salah satu diantara
dunia-dunia yang ada dan dunia tidak diciptakan namun lahir
dari evolusi yang merupakan bentuk transformasi dari pelbagai
substansi dari substansi tak terbatas tersebut”.17 Sementara itu
Phytagoras memandang bahwa “substansi asal dari segala
sesuatu adalah bilangan”, pandangan Phytagora ini disandarkan
pada music dan hubungan yang dibangun anatara music dan
matematika.18
Secara umum dapat dinyatakan bahwa konsep teori ilmu
pengetahuan pada periode ini dapat dibagi kedalam empat
tahapan yaitu; (1) Pengamatan atas pengalaman dan benda-
benda yang mengitari ruang dan waktu dimana sang filusuf
14 Bernard, History of Western Philosophy..., 33.15 Yaitu dua puluh tahun dari tahun dimana Bernarnd Russell hidup dan menyusun karyanya yang berjudul History of Western Philosophy…16 Bernard, History of Western Philosophy…,33.17 Ibid., 34-35.18 Ibid., 46.
10
tersebut berada, (2) memanfatkan kemampuan penalaran
terhadap hubungan-hubungan antar substansi secara abstraktif,
(3) melakukan hipotesis atas dasar hubungan-hubungan abstrak
antar substansi, (4) memberikan kesimpulan spekulatif
berdasarkan tiga tahapan sebelumnya secara deduktif.
Teori ilmu pengetahuan dan cara memperolehnya dalam
perkembangan berikutnya tidak begitu signifikan dari periode
sebelumnya dimana pertimbangan-pertimbangan ontologis,
epistemologis dan empiris masih sangat mendominasi. Sekalipun
konstruksi mengenai teori-tori fundamental ilmu di seputar
konsep, dan pola yang dilakukan oleh Plato dengan meminjam
teori geometri begitu tampak pada periode ini dan bahkan
memberikan pengaruh pada teori ilmu pengetahuan modern,
pada logika dan metematik jerman dan sesudahnya,19 artinya
bahwa tori ilmu pengetahuan dari masa filusuf klasik hingga
modern memiliki bangunan kesinambungan yang saling
memeberi pengaruh antara satu dengan yang lain, dan atau
saling menghapus antara satu dengan yang lain, dan atau saling
menyempurnakan anatara satu dengan yang lain, sekalipun
dalam kesempurnaannya masih terdapat pertentangan-
pertentangan yang sangat mencolok antara kelompok
empirisme, rasionalisme, skeptisisme, kritisisme, analitisme,
strukturalisme dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang ingin menemukan pengetahuan, maka sebagai
langka awal dia terlebih dahulu harus mempelajari teori-teori
pengetahuan dalam perkembangan pengetahuan. Karena itu,
usaha yang harus dia lakukan pertama kali adalah menegaskan
tujuan pengetahuan, sebab pengetahauan tidak akan mengalami
perkembangan dan perubahan apabila tujuan dari pengetahuan 19 Jerome, The Philosophy of Science…94.
11
tersebut tidak diketahui dan dipahami. Karena pada prinsipnya
ilmu adalah usaha untuk menginterpretasikan gejala-gejala
dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai
kejadian,20 artinya fenomena ini baik berupa pengamatan empiric
maupun penalaran rasio memerlukan teori sebagai landasan
keterpahaman sesuatu yang dapat disebut sebagai ilmu
pengetahuan.
B. Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Pada pembahasan terdahulu telah ditegaskan bahwa
untuk menemukan sesuatu yang bernama ilmu pengetahuan,
maka tujuan dari ilmu pengetahuan tersebut harus ditentukan
terlebih dahulu dengan menggunakan berbagai cara dalam
memperolehnya. Adapun cara untuk dapat memperoleh ilmu
pengetahuan dan menentukan kebenaran ilmu pengetahuan
secara filosofis terdiri dari:
1. Cara Empirik
Yang dimaksud dengan cara empirik yaitu pengetahuan
yang didapatkan melalui pengalaman inderawi dan akal
mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman dengan
cara induksi.21
Dalam cara ini terdapat beberapa unusur yaitu subyek,
obyek dan hubungan antara subyek dan obyek.22 Subyek adalah
yang menegatahui atau manusi itu sendiri sebab manusia 20 Jujun, Filsafat Ilmu...11321 Surajiyo, Filsafat Ilmu; Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 66. Induksi atau induktif adalah cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan atau eksperimen untuk sampai kepada pengetahuan yang umum tak terbantahkan, pengetahuan semacam ini adalah pengetahuan a posteriori. Lihat. A. Soni Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta : Kanisus, 2001), 55. Selanjutnay ditulis Keraf, Ilmu Pengetahuan…22 Adib, Filsafat Ilmu..., 75.
12
sejatinya adalah knower dimana dalam diri setiap manusia
terdapat kampuan untuk dapat mengetahui (dalam arti luas),
kemampuan-kemampuan tersebut adalah; (a) Kemampuan
kognitif, yaitu; kemampuan untuk menegtahu –dalam artinya
secara luas dan lebih mendalam seperti; mengerti, memahami
dan menghayati – dan mengingat apa yang diketahui. Landasan
kognitifitas manusia adalah rasio atau akal. Kemampuan kognitif
manusia bersifat netral. (b) kemampuan afektif yaitu
kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya
seperti rasa cinta, indah dan sebagainya. kemampuan afektif
berlandas pada rasa tau qalbu dan disebut pula dengan hati
nurani, kemampuan ini bersifat tidak netral. (c) kemampuan
konatif yaitu kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan,
kemampuan ini menjadi daya dorong untuk mencapai (atau
menjauhi) segala apa yang diditekan oleh rasa.23 Adapun obyek
adalah yang diketahui baik bersifat a priori maupun a posteriori
dan terakhir adalah proses terjadinya hubungan anatara subyek
dan obyek.24
Cara ini memberikan arti bahwa seluruh konsep dan idea
yang kita anggap benar sesungguhnya bersumber dari
pengalaman dengan obyek yang ditangkap oleh panca indera
khususnya yang bersifat spontan dan langsung, sehingga dengan
cara ini panca indera memiliki peranan penting dalam tiga hal;
(a) bahwa seluruh preposisi yang kita ucapkan merupakan bentu
manifestasi laporan dari pengalaman atau yang disimpulan
pengalaman. (b) bahwa konsep atau idea tentang sesuatu tidak
23 Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta: ANDI, 2007), 101-102.24 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 61. Cara ini dapat berubah menjadi lebih ekstrim apabila dipahami bahwa satu-satunya yang dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan jika kebenarannya dapat dilacak dan diklarifikasi secara empiric. Pemahaman semacam ini dapat mengarah kepada bentuk “Empirisme Radikal”.
13
dapat diperoleh kecuali didasarkan pada apa yang diperoleh dari
pengalaman. (c) akal budi atau rasio hanya dapat berfungsi jika
memiliki acuan realitas.25 Artinya dengan cara ini dapat
dinyatakan bahwa credential (keterpercayaan) konsep ilmiah
atau teori apapun bergantung pada suatu tingkat substansi
berbasis empiris.26
2. Cara Rasional
Cara Rasional adalah cara yang menjelaskan hubungan-
hubungan rasional yang memberi penjelasan ilmiah ciri-khas
keterpahaman (intelegibility) yang khas,27 penggunaan rasio
dalam menperoleh pengetahuan menjadi sandaran cara ini
dimana akal atau rasio yang memenuhi sayarat yang dituntut
oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang
digunakan dalam seluruh cara ilmiah.28
Cara ini menjadikan matematika dan ilmu ukur sebagai
model bagi pengetahuan manusia, cara ini menunjukkan sebuah
penjelasan bahwa dalam diri manusia terdapat idea-idea bawaan
tertentu yang telah ada sejak awal yang diperoleh bukan dari
pengalaman, artinya bahwa manusia berpikir dalam rangka
prinsip-prinsip pertama yang terbukti dengan sendirinya,29 sebab
panca indera dan pengalaman hanya dapat memberi informasi
tentang obyek khusus yang terbatas dan tidak tetap sehingga
tidak dapat memberi pengetahuan yang bersifat universal.30
Jadi, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan
dengan bantuan akal budi (rasio). Dengan cara ini, maka proses
pengetahuan manusia adalah dengan mendeduksikan,
menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari prinsip-
25 Keraf, Ilmu Pengetahuan…, 49-50.26 Jerome, The Philosophy of Science…135.27 Ibid., 136.28 Surajiyo, Ilmu Filsafat…, 66.29 Keraf, Ilmu Pengetahuan …, 47.30 Ibid.
14
prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan
manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah terbukti
dengan sendirinya, dan dari situ ditarik teorema-teorema
sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi
kebenaran teorma.31
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan
akal budi (rasio) manusialah yang dapat digunakan untuk dapat
menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum tertentu dalam
benaknya. Oleh karenanya logika silogisme menjadi sangat
penting dalam menggunakan cara ini.
Fungsi dari kemampuan rasio manusia dalam
memperoleh ilmu pengetahuan dapat dibagi kedalam dua bagian
yaitu; higher reason (rasio tertinggi) dan lower reason (rasio
terendah), hasil ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dari
keduanya berbeda dimana higher reason menghasilkan ilmu
pengetahuan akan suatu kebenaran yang berkaitan dengan
kekalan yang disebut juga dengan sapientia atau wisdom
sementara lower reason menghasilkan ilmu pengetahuan akan
suatu kebenaran yang bersifat temporal yang disebut juga
dengan scientia atau knowledge.32
3. Cara Kontemplatif
Cara ini memandang bahwa cara empiris dan rasional
memiliki keterbatasan, sehingga pengetahuan yang dihasilkan
pun berbeda dan masing-masing bersifat temporal, maka untuk
menajamkan hasil dari kedua cara tersebut dibutuhkan
penajaman kemampuan akal yang disebut intuisi, pengetahuan
31 Ibid., 4832 Andre Winoto, Augistine’s Theory of Knowledge (www.buletinpillar.org, 03-04-2010), 1.
15
yang diperoleh lewat intuisi dapat diperoleh secara
kontemplatif.33
Cara kontemplatif dalam memperoleh pengetahuan
bersifat sangat indivdualistik sebab pengetahuan yang
dihasilkannya tersebut adalah pengetahuan yang tercerahkan
dari percikan sinar pengetahuan Tuhan (al-hikmah al-Ilahiyyah).34
Hariri Shrazi menerangkan bahwa intusi (fitrah) bukan semata-
mata kolam atau waduk yang menerima penegtahuan, akan
tetapi pengetahuan ini murni muncul dari dalam diri manusia itu
sendiri dan bukan dari luar, maka mata fitrahlah yang melihat
pengetahuan itu dan kemudian lidahnya mengucapkan atau
menjelaskan pengetahuan tersebut.35
Cara ini tidak hanya dipahami bahwa ilmu pengetahuan
yang dihasilkannya bersifat mitologi-spekulatif , tetapi dalam arti
yang lebih luas dimana cara kontemplatif menuju kebenaran
pengetahuan secara epistemic dapat melalui beberapa tahapan
yang didalmnya menjadikan kesadaran empiric-rality dan
cognitive-reasion sebagai tahapan awal dengan cara kerjanya
yang khas yaitu; (a) empiris inderawi adalah sebagai jalan
masuknya sensation dengan merasakan setiap bentuk realitas
yang dirasakan dan diamatinya, selanjutnya (b) sensation yang
masuk melalui pengamatan dan pengalaman tersebut
dikumpulkan, digabungkan, dipilah, dinalar dengan
menggunakan kemampuan rasio melalui proses penilaian
terhadap obyek fisis yng diketahui melalui penginderaan dan
atau pengalaman, tahapan ini selanjutnya disebut dengan
tahapan cognition, selanjutnya (c) tahapan yang diberlakukan
33 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta : Rajawali Press, 2010), 155.34 Al-Gazali, al-Munqiz} min al-D{ala>l, diterj. Masyhur Abadi, Setitik Cahaya dalam Kegelapan (Surabaya: Progressif, 2002), 32.35 Muhyiddin Hairi Shirazi, Mans Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya, Tikai Ego dan Fitrah (Jakarata: Al-Huda, 2010), 71.
16
atas realitas yang telah dikognisikan dalam rasio tersebut
kemudian dikontemplasikan dengan eternal truth pada tahapan
ini kemudian apa yang dilihat, dirasa dan dipikirkan menjadi
sebuah ilmu pengetahuan yang disebut dengan intellection.36
Pada tahapan yang terakhir ini the truth information (al-Khabar
al-Shadiq) dan otoritative information (informasi otoritas)
memiliki peranan penting untuk kemudian dilakukan dialektika
baik itu persifat tekstual, intertekstual, kontektual maupun
interkontekstual yang dapat membatu menghasilkan kesimpulan
pada ranah truth knowledge (Kebenaran Ilmu).
4. Cara Ilmiah
Cara ilmiah merupakan salah satu acara atau prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu, dimana
ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat cara ilmiah.
Cara ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja pikiran
yang diharapkan mempunyai karakteristik tertentu berupa sifat
rasional dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa
diandalkan. Dalam hal ini cara ilmiah mencoba menggabungkan
cara berpikir deduktif (rasional) dan induktif (empiris) dalam
membangun pengetahuan. Teori ilmu merupakan suatu
penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang
dijelaskannya, dengan didukung oleh fakta empiris untuk dapat
dinyatakan benar. Cara rasional yang digabungkan dengan cara
empiris dalam langkah menuju dan dapat menghasilkan
pengetahuan inilah yang disebut cara ilmiah. Jadi, cara ilmiah
dianggap sebagai cara terbaik untuk mendapatkan pengetahuan
karena cara ini menggunakan pendekatan yang sistematis,
obyetif, terkontrol, dan dapat diuji, yang dilakukan melalui cara
36 Andre Winoto, Augistine’s Theory of Knowledge (www.buletinpillar.org, 03-04-2010), 2.
17
empiris maupun rasional atau dengan kata lain dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip induktif dan dedutif.
Penggabungan anatara cara rasional dan empiris dilakukan
dengan menggunkan langkah-langkah oprasional yang disebut
cara ilmiah dimana dalam cara ini rasionalitas menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sementara
empiris memisahkan anatara fakta yang sesuai dengan yang
tidak. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa seluruh bentuk
teori yang dapat diterima secara ilmiah harus memenuhi dua
syarat utama yaitu; (a) memiliki konsistensi a prioriative yang
memungkinkan tidak terjadinya kontaradiksi dalam teori
keilmuan secara umum, (b) harus sesuai dan sejalan dengan
fakta-fakta empiris,37 artinya bahwa teori dalam scientific
knowledge (ilmu pengetahuan ilmiah) merupakan sekumpulan
preposisi yang saling berkaitan secara logis untuk memberikan
penjelasan tentang sejumlah fakta dan fenomena38dimana
hubungan-hubungan antar preposisi tersebut dapat diperiksa
kebenarannya diantara fenomena agar dapat diberlakukan
secara universal pada fenomena lain yang sejenis dengan proses
yang demikian dapat menghasilkan sebuah prinsip ilmiah dimana
sebuah preposisi yang mengandung kebenaran umum
didasarkan pada fakta dan fenomena yang telah diamati.39
Dalam pandangan Ahmad Tafsir bahwa cara ilmiah tidak
datang dengan sesuatu yang baru, tetapi hanya mengulangi
ajaran positivisme secara lebih oprasional, dimana dalam ajaran
positivisme menyatakan bahwa kebenaran sesuatu harus
bersifat logis, terbukti secara empiris, dan terukur secara
oprasional, kuantitatif dan tidak mengundang perbedaan
pendapat. Dengan demikian cara ilmiah harus melalui langkah 37 Jujun, Filsafat Ilmu …, 124.38 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2010), 145.39 Ibid., 144.
18
yang disebut logico-hypothetico-verivicartive dengan mula-mula
membuktikan bahwa hal tersebut logis, kemudian mengajukan
hipotesis terhadap logika tersebut, kemudian melakukan
pembuktian hipotesis tersebut secara empiris.40
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa cara dalam memperoleh ilmu pengetahuan secara ilmiah
harus melalui prosedur-prosedur khusus. Adapun kata kunci dari
prosedur-prosedur tersebut adalah; (a) Logis, (b) Empirik, (c)
kejelasan teori atau epistemik, (d) oprasional dan spesifik, (e)
hypotethik, (e) verivikative, (f) sistematis, (g) memperhatikan
validitas dan realibilitas, (h) obyektif, (i) skeptik, (j) kritis, (k)
analitik, (l) kontemplatif.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian terdahulu merupakan hasil
pembacaan dari berbagai literature untuk menemukan titik temu
atas pelbagai konsep dan teori tentang cara memperoleh ilmu
pengetahuan yang ditawarkan oleh berbagai penulis dan
penyusun yang berasal dari pelbagai latar belakang keilmuan
yang dijalani secara empiric, rasional, kontemplatif untuk
mendapatkan sebuah hasil pembahasan yang bersifat ilmiah
melalui pelbagai diskusi yang bersifat verivikatif.
Konsepsi tentang tori ilmu pengetahuan dari masa filusuf
klasik hingga modern memiliki bangunan kesinambungan yang
saling memeberi pengaruh anatara satu dengan yang lain dan
atau saling menghapus antara satu dengan yang dan atau saling
menyempurnakan anatra satu dengan yang lain, sekalipun
dalam kesempurnaannya masih terdapat pertentangan-
pertentangan yang sangat mencolok antara kelompok dan
40 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 32-33.
19
mazhab filsafat. Dengan demikian, Maka seseorang yang ingin
menemukan pengetahuan terlebih dahulu ia harus mempelajari
teori-teri pengetahuan sebagai langka awal dalam
perkembangan pengetahuan. Karena itu, usaha yang harus dia
lakukan pertama kali adalah menegaskan tujuan pengetahuan,
sebab pengetahauan tidak akan mengalami perkembangan dan
perubahan apabila tujuan dari pengetahuan tersebut tidak
diketahui dan dipahami, karena pada prinsipnya ilmu adalah
usaha untuk menginterpretasikan gejala-gejala dengan mencoba
mencari penjelasan tentang berbagai kejadian baik secara
pengamatan empiric maupun rasional yang memerlukan teori
sebagai landasan keterpahaman sesuatu yang dapat disebut
sebagai ilmu pengetahuan.
Diantara cara-cara yang dapat digunakan dalam
memperoleh pengetahuan adalah; (a) Cara Empiris, (b) Cara
Rasional, (c) Cara Kontemplatif, (d) Cara Ilmiah. Dari keempat
cara ini, maka cara ilmiah dianggap sebagai cara yang paling
komprehensif sebab dapat menyatukan keseluruhan cara dalam
bingkai oprasional sistematik dengan menggunakan kata kunci;
(a) Logis, (b) Empirik, (c) kejelasan teori, (d) oprasional dan
spesifik, (e) hypotethik, (e) verivikative, (f) sistematis, (g)
memperhatikan validitas dan realibilitas, (h) obyektif, (i) skeptik,
(j) kritis, (k) analitik, (l) kontemplatif.
Bibliografi
Adib, Muhammad. Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
al-Ahwaniy, Ahmad Fuad. al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: al-Maktabah al-Thaqafiyyah, 1962.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Press, 2010.Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti, 2010.Al-Gazali. al-Munqiz min al-Dalal. Diterj. Masyhur Abadi, Setitik
Cahaya dalam Kegelapan. Surabaya: Progressif, 2002.
20
Hanafi, Soetriono dan Rita. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: ANDI, 2007.
Ihsan, A. Fuad, Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.Keraf, A. Soni dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan; Sebuah
Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Kanisus, 2001.Marhaendy, Eko. Pengetahuan Manusia Secara Umum. Makalah,
dipersentasekan pada Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam (PDPI) Program Pasca Sarjana IAIN Sumut, Naskah tersebut diakses di www.ekomarhaendy.wordpress.com dikunjungi pada 15-Oktober-2010.
Mutahhariy, Murtada. Fundamentals of Islamic Thoght. Diterj. A. Rifa'i Hasan dan Yuliani, Tema-Tema Penting Filsafat Islam. Bandung: Yayasan Muthahhary, 1993.
Ravertz, Jerome R. The Philosophy of Science (Oxford University Press, 1982). Diterj. Saut Pasaribu, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Russell, Bernard. History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances From the Earliest Time to Present Day (London: George Allen and UNWIN, 1946). Diterj. Sigit Jatmiko dkk., Sejarah Filsafat Barat; dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Shirazi, Muhyiddin Hairi. Mans Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya, Tikai Ego dan Fitrah. Jakarata: Al-Huda, 2010.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Surajiyo. Filsafat Ilmu; Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan, 2001.
Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Filsafat. Bandung : Rafika Aditama, 2007.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
al-Tirmidhiy, Muhammad bin ‘Isa. Al-Jami’ al-Tirmidhiy. Semarang: Toha Putra, T.Th, Jld. IV.
Winoto, Andre. Augistine’s Theory of Knowledge. www.buletinpillar.org, 03-04-2010.