buku ajar gen 15

29
BAB XV GENETIKA POPULASI Populasi Mendelian Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Polimorfisme Lokus sebagai Indeks

Upload: indrasti-banjaransari

Post on 28-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Ajar Gen 15

BAB XV

GENETIKA POPULASI

Populasi Mendelian

Frekuensi Genotipe dan

Frekuensi Alel

Polimorfisme Lokus sebagai

Indeks Keanekaragaman

Genetik

Hukum Keseimbangan

Hardy-Weinberg

Perubahan Frekuensi Alel

Page 2: Buku Ajar Gen 15

BAB XV. GENETIKA POPULASI

Pola pewarisan suatu sifat tidak selalu dapat dipelajari melalui percobaan

persilangan buatan. Pada tanaman keras atau hewan-hewan dengan daur hidup

panjang seperti gajah, misalnya, suatu persilangan baru akan memberikan hasil

yang dapat dianalisis setelah kurun waktu yang sangat lama. Demikian pula,

untuk mempelajari pola pewarisan sifat tertentu pada manusia jelas tidak mungkin

dilakukan percobaan persilangan. Pola pewarisan sifat pada organisme-organisme

semacam itu harus dianalisis menggunakan data hasil pengamatan langsung pada

populasi yang ada.

Seluk-beluk pewarisan sifat pada tingkat populasi dipelajari pada cabang

genetika yang disebut genetika populasi. Ruang lingkup genetika populasi secara

garis besar oleh beberapa penulis dikatakan terdiri atas dua bagian, yaitu (1)

deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi, dan (2) mekanisme

pewarisan sifat kuantitatif. Bagian yang kedua ini berkaitan dengan penjelasan

pada Bab XIV bahwa analisis genetik sifat-sifat kuantitatif hanya dapat dilakukan

pada tingkat populasi karena individu tidak informatif. Namun, beberapa penulis

lainnya, seperti halnya Bab XV ini, menyebutkan bahwa materi yang dibahas

dalam genetika populasi hanya meliputi deduksi prinsip-prinsip Mendel pada

tingkat populasi.

Populasi dalam arti Genetika

Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih

dahulu perlu difahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut

juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu

spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang

sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-

masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool),

yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam

populasi.

Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila

kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing

246

Page 3: Buku Ajar Gen 15

genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam populasi tertentu terdapat tiga macam

genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka, proporsi atau persentase genotipe AA, Aa,

dan aa akan menggambarkan susunan genetik populasi tempat mereka berada.

Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal dengan istilah

frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan sebagai proporsi

atau persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi. Dengan perkataan lain,

dapat juga didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase

individu di dalam suatu populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada

contoh di atas jika banyaknya genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50,

dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan

aa = 0,20 (20%).

Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan

genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal

ini karena populasi dalam arti genetika, seperti telah dikatakan di atas, bukan

sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu yang dapat

melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke

generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan

dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi

gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang terbentuk, sementara gen-gen itu

sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas). Dengan demikian,

deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di dalamnya

sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari

genotipenya.

Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan

sebagai frekuensi gen, atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau

persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika kita gunakan contoh perhitungan

frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya dapat dihitung sebagai

berikut.

AA Aa aa Total

Banyaknya individu 30 50 20 100

Banyaknya alel A 60 50 - 110

Banyaknya alel a - 50 40 90

247

200

Page 4: Buku Ajar Gen 15

Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam

populasi yang mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga,

karena tiap individu Aa membawa sebuah alel A, maka populasi yang mempunyai

50 individu Aa akan membawa 50 alel A. Sementara itu, pada individu aa dengan

sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara keseluruhan banyaknya alel A di

dalam populasi tersebut adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan cara yang sama dapat

dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50 + 40 = 90. Oleh karena

itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang frekuensi a = 90/200 = 0,45

(45%).

Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai alel

dengan frekuensi = 1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut.

Hubungan matematika antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel

Seandainya di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa,

masing-masing dengan frekuensi sebesar P, H, dan Q, sementara diketahui bahwa

frekuensi alel A dan a masing-masing adalah p dan q, maka antara frekuensi

genotipe dan frekuensi alel terdapat hubungan matematika sebagai berikut.

p = P + ½ H dan q = Q + ½ H

Dalam hal ini P + H + Q = 1 dan p + q = 1. Agar diperoleh gambaran yang lebih

jelas mengenai hubungan tersebut, kita perhatikan contoh perhitungan berikut ini.

Data frekuensi golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di Greenland

menurut Mourant (1954) menunjukkan bahwa frekuensi golongan darah M, MN,

dan N masing-masing sebesar 83,5 %, 15,6%, dan 0,9% dari 569 sampel individu.

Kita telah mengetahui pada Bab II bagian alel ganda bahwa genotipe golongan

darah M, MN, dan N masing-masing adalah IMIM, IMIN, dan ININ. Maka, dari data

frekuensi genotipe tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel IM dan IN.

Frekuensi alel IM = 83,5% + ½ (15,6%) = 91,3%, sedang frekuensi alel IN = 0,9%

+ ½ (15,6%) = 8,7%.

Hasil perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan sifat

lokus tempat alel tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika

frekuensi alelnya yang terbesar sama atau kurang dari 0,95. Sebaliknya, suatu

lokus dikatakan bersifat monomorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar

melebihi 0,95. Jadi, pada contoh golongan darah sistem MN tersebut lokus yang

248

Page 5: Buku Ajar Gen 15

ditempati oleh alel IM dan IN adalah lokus polimorfik karena frekuensi alel

terbesarnya ( IM = 91,3%), masih lebih kecil dari 0,95.

Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan sebagai

salah satu indeks keanekaragaman genetik. Nilai lainnya yang juga sering

digunakan sebagai indeks keanekaragaman genetik suatu populasi adalah

heterozigositas rata-rata atau frekuensi heterozigot (H) rata-rata. Pada contoh di

atas besarnya nilai H untuk lokus MN adalah 15,6%. Seandainya dapat diperoleh

nilai H untuk lokus-lokus yang lain, maka dapat dihitung nilai heterozigositas

rata-rata pada populasi tersebut.

Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis

Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas

dasar data elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pita-

pita sebagai gambaran mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein

(Gambar 15.1). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul yang

berbeda-beda ukuran dan muatan listriknya. Oleh karena itu, molekul-molekul

yang akan dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya protein dan

DNA.

Jarak migrasi (cm)

4

3

2

1

Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL LL CL LL LL CL

Gambar 15.1. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp) di kawasan Segara Anakan, Cilacap (Sumber : Susanto, 2003)

Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai

berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian

kedua ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa jam sehingga

komponen-komponen penyusun sampel akan bergerak menuju kutub yang muatan

listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan (mobilitas) tiap komponen

249

Page 6: Buku Ajar Gen 15

ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar ukuran

molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu yang sama

molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek

daripada jarak migrasi molekul berukuran kecil.

Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan

gambaran fenotipe, bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap

kebanyakan enzim pada berbagai macam organisme sering kali dapat memberikan

dasar genetik secara sederhana. Seperti diketahui, tiap enzim dapat mengandung

sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam amino yang berbeda sehingga

menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang berbeda. Variasi

fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun genotipe.

Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim tertentu

terletak pada suatu lokus, maka bentuk alternatif enzim yang diekspresikannya

dikenal sebagai alozim. Alel yang mengatur alozim biasanya bersifat kodominan,

yang berarti dalam keadaan heterozigot kedua-duanya akan diekspresikan.

Dengan demikian, individu pada Gambar 15.1 yang menampilkan pita lambat dan

pita cepat (nomor 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki genotipe heterozigot,

yaitu CL (C=cepat; L=lambat). Sementara itu, individu yang hanya menampilkan

pita lambat (nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah homozigot LL. Begitu pula

individu dengan hanya satu pita cepat (kebetulan pada zimogram tersebut tidak

ada) dikatakan mempunyai genotipe homozigot CC.

Dari data genotipe yang diturunkan dari data variasi fenotipe tersebut, kita

dengan mudah dapat menghitung baik frekuensi genotipe maupun frekuensi

alelnya. Frekuensi genotipe CC, CL, dan LL masing-masing adalah 0, 9/15, dan

6/15. Frekuensi alel C = 0 + ½ (9/15) = 9/30, sedang frekuensi alel L = 6/15 + ½

(9/15) = 21/30.

Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg

Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya

kawin acak (panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap

individu memiliki peluang yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik

dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Dengan adanya sistem

kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa konstan dari generasi ke generasi.

250

Page 7: Buku Ajar Gen 15

Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari Inggris, dan

W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum

keseimbangan Hardy-Weinberg.

Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi

berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi,

mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta

sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan perubahan frekuensi alel.

Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga

langkah, yaitu (1) dari tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari

penggabungan gamet-gamet kepada genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari

genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi keturunan. Secara lebih rinci

ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa,

dan aa, masing-masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi

alel A adalah p, sedang frekuensi alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua ini

akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Frekuensi gamet A sama

dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama dengan

frekuensi alel a (q).

Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A

dan a secara acak pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki

frekuensi genotipe sebagai hasil kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada Tabel

15.1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan

aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2.

Tabel 15.1. Pembentukan zigot pada kawin acak

Gamet-gamet dan frekuensinyaA(p)

a(q)

Gamet-gamet dan frekuensinya

A (p) AA(p2)

Aa(pq)

a (q) Aa(pq)

aa(q2)

Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel

pada populasi zigot atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel

251

Page 8: Buku Ajar Gen 15

A = p2 + ½ (2pq) = p2 + pq = p (p + q) = p. Frekuensi alel a = q2 + ½ (2pq) = q2 +

pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa frekuensi alel pada

generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi tetua.

Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel autosomal

Kemampuan sesesorang untuk merasakan zat kimia feniltiokarbamid (PTC)

disebabkan oleh alel autosomal dominan T. Individu dengan genotipe TT dan Tt

dapat merasakan PTC, sedang individu tt tidak. Pada suatu pengujian terhadap

228 orang diperoleh bahwa hanya 160 di antaranya yang dapat merasakan PTC.

Dari 160 orang ini dapat dihitung individu yang bergenotipe TT dan Tt sebagai

berikut.

Individu yang tidak dapat merasakan PTC (genotipe tt) jumlahnya 228 - 160

= 68 sehingga frekuensi genotipe tt = 68/228 = 0,30. Dengan mudah dapat

diperoleh frekuensi alel t = √ 0,30 = 0,55 dan frekuensi alel T = 1 - 0,55 = 0,45.

Selanjutnya, frekuensi genotipe TT = (0,45)2 = 0,20, sedang frekuensi genotipe Tt

= 2(0,45)(0,55) = 0,50. Banyaknya individu yang bergenotipe TT = 0,20 x 228

=46, sedang individu yang bergenotipe Tt = 0,50 x 228 = 114. Jika TT

dijumlahkan dengan Tt, maka diperoleh individu sebanyak 160 orang, yang

semuanya dapat merasakan PTC.

Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel ganda

Salah satu contoh alel ganda yang sering dikemukakan adalah alel pengatur

golongan darah sistem ABO pada manusia. Seperti telah kita bicarakan pada Bab

II, sistem ini diatur oleh tiga buah alel, yaitu IA, IB, dan I0. Jika frekuensi ketiga

alel tersebut masing-masing adalah p, q, dan r, maka sebaran frekuensi

genotipenya = (p + q + r)2 = p2 + 2pq + 2pr + q2 + 2qr + q2. Frekuensi golongan

darah A adalah penjumlahan frekuensi genotipe IA IA dan IA I0 , yakni p2 + 2pr.

Demikian pula, frekuensi golongan darah B, AB, dan O pada suatu populasi dapat

dicari dari sebaran frekuensi tersebut. Sebaliknya, dari data frekuensi golongan

darah (fenotipe) dapat dihitung besarnya frekuensi alel.

Misalnya, dari 500 mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed diketahui 196 orang

bergolongan darah A, 73 golongan B, 205 O, dan 26 AB. Alel yang langsung

dapat dihitung frekuensinya adalah I0 , yang merupakan akar kuadrat frekuensi O.

Jadi, frekuensi I0 = √ 205/500 = 0,64. Selanjutnya, jumlah frekuensi A dan O = p2

252

Page 9: Buku Ajar Gen 15

+ 2pr + r2 = (p + r)2 = (1 - q) 2 sehingga akar kuadrat frekuensi A + O = 1 - q.

Dengan demikian, frekuensi IB (q) = 1 - akar kuadrat frekuensi A + O =

1 - √(196 + 205)/500 = 0,11. Dengan cara yang sama dapat diperoleh frekuensi

alel IA (p) = 1 - √(73 + 205)/500 = 0,25.

Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel rangkai X

Telah kita ketahui bahwa pada manusia dan beberapa spesies organisme

lainnya dikenal adanya jenis kelamin homogametik (XX) dan heterogametik

(XY). Pada jenis kelamin homogametik hubungan matematika antara frekuensi

alel yang terdapat pada kromosom X (rangkai X) dan frekuensi genotipenya

mengikuti formula seperti pada autosom. Namun, pada jenis kelamin

heterogametik formula tersebut tidak berlaku karena frekuensi alel rangkai X

benar-benar sama dengan frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu

hanya membawa sebuah alel untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya.

Agar lebih jelas dapat dilihat Tabel 15.2 berikut ini.

Tabel 15.2. Hubungan matematika antara fekuensi alel rangkai X dan frekuensi genotipe

Homogametik Heterogametik

Genotipe AA Aa aa A a

Frekuensi genotipe P H Q R S

Alel A a A a

Frekuensi alel pm = P + ½H qm = Q + ½H pt = R qt = S

pm = frekuensi alel A pada individu homogametik qm = frekuensi alel a pada individu homogametik pt = frekuensi alel A pada individu heterogametik qt = frekuensi alel a pada individu heterogametik

Untuk seluruh populasi frekuensi alel A dapat dihitung, yaitu p = 2/3 pm +

1/3 pt = 1/3 (2 pm + pt) = 1/3 (2P + H + R). Dengan cara yang sama dapat dihitung

pula frekuensi alel a pada seluruh populasi, yaitu q = 2/3 qm + 1/3 qt = 1/3 (2 qm +

qt) = 1/3 (2Q + H + S). Kontribusi alel sebanyak 2/3 bagian oleh individu

homogametik disebabkan oleh keberadaan dua buah kromosom X pada individu

tersebut, sementara individu heterogametik memberikan kontribusi alel 1/3 bagian

karena hanya mempunyai sebuah kromosom X.

Sebagai contoh perhitungan frekuensi alel rangkai X dapat dikemukakan

alel rangkai X yang mengatur warna tortoise shell pada kucing. Misalnya, dalam

253

Page 10: Buku Ajar Gen 15

suatu populasi terdapat 277 ekor kucing betina berwarna hitam (BB), 311 kucing

jantan hitam (B), 54 betina tortoise shell (Bb), 7 betina kuning (bb), dan 42 jantan

kuning (b). Dari data ini dapat dihitung frekuensi genotipe BB pada populasi

kucing betina, yaitu P = 277 / (277+54+7) = 0.82. Sementara itu, frekuensi

genotipe Bb (H) = 54 / (277+54+7) = 0,16 dan frekuensi genotipe bb (Q) = 7 /

(277+54+7) = 0,02. Di antara populasi kucing jantan frekuensi genotipe B, yaitu

R = 311 / (311+42) = 0,88, sedang frekuensi genotipe b, yaitu S = 42 / (311+42) =

0,12. Sekarang kita dapat menghitung frekuensi alel B pada seluruh populasi,

yaitu p = 1/3 (2.0,82 + 0,16 + 0,88) = 0,89, dan frekuensi alel b pada seluruh

populasi, yaitu q = 1/3 (2.0,02 + 0,16 + 0,12) = 0,11.

Migrasi

Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu syarat yang

harus dipenuhi bagi berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini

berarti bahwa peristiwa migrasi akan menyebabkan terjadinya perubahan

frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk laju migrasi (lazim

dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya

perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya perbedaan

frekuensi golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang

satu dan lainnya.

Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel

tertentu di dalam suatu populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap

generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap generasi sebanyak 80 dari 1000 ekor ikan

normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan bahwa laju migrasinya 0,08

atau 8%.

Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan laju

migrasi dapat dilihat sebagai persamaan berikut ini.

pn - P = (po - P)(1 - m)n

pn = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi migrasi

P = frekuensi alel pada populasi migran

po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi)

m = laju migrasi

n = jumlah generasi

254

Page 11: Buku Ajar Gen 15

Mutasi

Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel

adalah mutasi. Namun, peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini

sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya dalam perubahan frekuensi alel. Hal

ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu rendah untuk dapat

menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-individu

mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan

(fertilitas), yang rendah.

Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan

memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi

berlangsung berulang kali (recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan

memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada.

Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel dapat

dirumuskan seperti pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam suatu populasi

terdapat alel A dan a, masing-masing dengan frekuensi awal po dan qo. Mutasi

berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi sebesar u. Sebaliknya, laju mutasi alel

a menjadi A adalah v. Dengan demikian, perubahan frekuensi alel A akibat mutasi

adalah ∆p = vqo - upo, sedang perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah ∆q

= upo - vqo.

Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut nilai ∆p

dan ∆q adalah 0. Oleh karena itu, vqo = upo, atau secara umum vq = up. Jika

persamaan ini dielaborasi, maka akan didapatkan p = v/(u + v) dan q = u/(u + v).

Seleksi

Sebegitu jauh kita mengasumsikan bahwa semua individu di dalam populasi

akan memberikan kontribusi jumlah keturunan yang sama kepada generasi

berikutnya. Namun, kenyataan yang sebenarnya sering dijumpai tidaklah

demikian. Individu-individu dapat memberikan kontribusi genetik yang berbeda

karena mereka mempunyai daya hidup dan tingkat kesuburan yang berbeda.

Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada generasi

berikutnya dikenal sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu tersebut. Nilai

fitnes relatif berkisar antara 0 dan 1. Genotipe superior di dalam suatu populasi,

atau disebut juga genotipe baku, dikatakan memiliki nilai fitnes relatif sama

255

Page 12: Buku Ajar Gen 15

dengan 1, sementara untuk genotipe-genotipe lainnya nilai fitnes relatif besarnya

kurang dari 1. Proporsi pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe bila

dibandingkan dengan kontribusi genetik genotipe baku disebut koefisien seleksi

(s) genotipe tersebut. Dengan perkataan lain, nilai fitnes relatif genotipe ini adalah

1 - s.

Kembali kita misalkan bahwa di dalam suatu populasi terdapat genotipe

AA, Aa, dan aa. Kondisi dominansi ketiga genotipe ini berdasarkan atas nilai

fitnes relatifnya dapat dilihat pada Gambar 15.2 berikut ini.

aa Aa AA (1-s) (1-½s) 1

a)

aa Aa AA (1-s) (1-½s) 1

b)

aa AA/Aa (1-s) 1

c)

aa AA Aa (1-s2) (1-s1) 1

d)

Fitnes relatif

Gambar 15.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai fitnes relatifnya

a) Semi dominansib) Dominansi parsialc) Dominansi penuhd) Overdominansi

Pada kondisi semi dominansi dan dominansi parsial (Gambar 15.2 a dan b)

genotipe Aa memberikan kontribusi genetik yang lebih kecil bila dibandingkan

dengan kontribusi genotipe baku (AA), sedang pada kondisi dominansi penuh

(Gambar 15.2 c) genotipe ini memberikan kontribusi genetik sama besar dengan

kontribusi genotipe AA. Bahkan pada kondisi overdominansi, genotipe Aa

256

Page 13: Buku Ajar Gen 15

menjadi genotipe baku dan kontribusi genetiknya justru lebih besar daripada

kontribusi genotipe AA. Dominansi heterozigot (kondisi overdominansi) ini dapat

dijumpai misalnya pada kasus resistensi individu karier anemia bulan sabit (sickle

cell anemia) terhadap penyakit malaria. Individu dengan genotipe homozigot

HbSHbS akan mengalami pengkristalan molekul hemoglobin, dan eritrositnya

berbentuk seperti bulan sabit, sehingga individu ini akan menderita anemia berat

dan biasanya meninggal pada usia muda. Namun, individu heterozigot HbSHbA

justru memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap infeksi parasit penyebab

malaria bila dibandingkan dengan individu normal (HbAHbA). Di tempat-tempat

yang menjadi endemi penyakit malaria, genotipe HbSHbA merupakan genotipe

baku (fitnes relatif = 1), sedang individu normal HbAHbA mempunyai nilai fitnes

relatif kurang dari 1.

Perubahan frekuensi alel akibat seleksi berlangsung sesuai dengan kondisi

dominansi yang ada. Pada kondisi dominansi penuh, misalnya, perubahan

frekuensi alel dapat dihitung sebagai berikut.

Genotipe AA Aa aa Total

Frekuensi awal p2 2pq q2 1

Fitnes relatif 1 1 1 - s

Kontribusi genetik p2 2pq q2(1 - s ) 1 - sq2

Terlihat bahwa kontribusi genetik total mejadi lebih kecil dari 1 karena genotipe

aa mempunyai nilai fitnes relatif 1 - s. Dari rumus hubungan matematika antara

frekuensi alel dan frekuensi genotipe dapat dihitung besarnya frekuensi alel a

setelah seleksi, yaitu q1 = q2(1 - s ) + pq / 1-sq2. Jika perubahan frekuensi alel a

dilambangkan dengan ∆q, maka ∆q = q1 - q = q2(1 - s ) + pq / 1-sq2 - q.

Setelah persamaan ini kita elaborasi akan didapatkan ∆q = - sq2( 1 - q) / 1 - sq2.

Untuk kondisi dominansi yang lain besarnya perubahan frekuensi alel akibat

seleksi dapat dirumuskan dengan cara seperti di atas.

Sistem Kawin Tidak Acak

Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-Weinberg

adalah sistem kawin tidak acak (non random mating). Jika dilihat dari segi

fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang dikenal sebagai perkawinan

257

Page 14: Buku Ajar Gen 15

asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan asortatif adalah sistem kawin tidak

acak yang didasarkan atas fenotipe.

Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif atau

asortatif negatif (disasortatif). Pada perkawinan asortatif positif individu-

individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung untuk lebih sering bertemu

bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe berbeda. Sebaliknya,

pada perkawinan asortatif negatif individu-individu yang mempunyai fenotipe

berbeda cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan

individu-individu dengan fenotipe yang sama.

Di samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak yang

tidak memandang fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan genetiknya.

Sistem kawin semacam ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu silang

dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding). Silang dalam adalah

perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik memiliki hubungan

kekerabatan, sedang silang luar adalah perkawinan di antara individu-individu

yang secara genetik tidak memiliki hubungan kekerabatan. Perkawinan asortatif

positif dan silang dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe homozigot.

Sebaliknya, perkawinan asortatif negatif dan silang luar akan meningkatkan

frekuensi genotipe heterozigot.

Silang dalam

Contoh silang dalam yang paling ekstrim dapat dilihat pada tanaman yang

melakukan penyerbukan sendiri. Katakanlah generasi pertama suatu populasi

tanaman menyerbuk sendiri hanya terdiri atas individu-individu dengan genotipe

Aa. Oleh karena terjadi penyerbukan sendiri di antara genotipe Aa, maka pada

generasi kedua dari seluruh populasi akan terdapat genotipe AA, Aa, dan aa

masing-masing sebanyak 1/4, 1/2, dan 1/4 bagian. Pada generasi ketiga genotipe

AA dan aa akan bertambah 1/8 bagian yang berasal dari segregasi genotipe Aa

pada generasi kedua. Sebaliknya, genotipe Aa akan berkurang menjadi 1/4 bagian

sehingga populasi generasi ketiga akan terdiri atas (1/4+1/8) AA, 1/4 Aa, dan

(1/4+1/8) aa atau 3/8 AA, 1/4 Aa, 3/8 aa. Dengan demikian, sampai dengan

generasi ketiga saja sudah terlihat bahwa frekuensi genotipe homozigot, baik AA

maupun aa, mengalami peningkatan, sedang frekuensi heterozigot Aa berkurang.

258

Page 15: Buku Ajar Gen 15

Genotipe homozigot untuk suatu lokus tertentu - jika kita berbicara individu

normal diploid - mempunyai dua buah alel yang sama pada lokus tersebut.

Persamaan di antara dua alel pada genotipe homozigot dapat terjadi dengan dua

kemungkinan. Pertama, mereka secara fungsional sama sehingga menghasilkan

fenotipe yang sama pula. Dua alel semacam ini dikatakan sebagai alel serupa

(alike in state). Kemungkinan kedua, mereka berasal dari hasil replikasi sebuah

alel pada generasi sebelumnya. Jika hal ini yang terjadi, maka kedua alel tersebut

dikatakan seasal atau identik (identical by descent).

Untuk menggambarkan besarnya peluang bahwa dua buah alel yang sama

pada individu homozigot merupakan alel identik digunakan suatu nilai yang

disebut sebagai koefisien silang dalam (inbreeding coefficient). Nilai ini

besarnya berkisar dari 0 hingga 1, dan biasanya dilambangkan dengan F. Nilai F

sama dengan 0 apabila kedua alel pada individu homozigot tidak mempunyai asal-

usul yang sama atau merupakan hasil kawin acak. Sebaliknya, nilai F sama

dengan 1 apabila kedua alel sepenuhnya merupakan alel identik atau berasal dari

leluhur bersama (common ancestor) yang sangat dekat.

Besarnya nilai F dapat dihitung dari diagram silsilah seperti contoh pada

Gambar 15.3. Misalnya, individu A kawin dengan B menghasilkan dua anak,

yaitu C dan D. Selanjutnya, kakak beradik C dan D kawin, mempunyai anak X.

Koefisien silang dalam individu X dapat dihitung sebagai berikut.

A B * Hitung jumlah loop. Loop adalah jalan

yang menghubungkan kedua orang tua

C D X (C dan D) melewati leluhur bersama

(A dan B). Pada soal ini terdapat dua

X loop, yaitu CAD dan CBD.

Gambar 15.3.Contoh diagram silsilah *Hitung jumlah individu yang terdapat

pada tiap loop sebagai nilai n.

* Hitung nilai F dengan rumus :

F = Σ (½)n(1 + FA)

n = jumlah individu yang terdapat pada tiap loop (pada soal ini terdapat 3 individu, baik pada loop CAD maupun CBD)

259

Page 16: Buku Ajar Gen 15

FA = koefisien silang dalam leluhur bersama (pada soal ini FA dan FB masing-masing sama dengan 0 karena dianggap sebagai individu hasil kawin acak)

Dengan demikian, nilai F individu X (FX) pada contoh soal tersebut di atas

adalah (½)3(1 + 0) + (½)3(1 + 0) = ¼. Hal ini berarti bahwa peluang bertemunya

alel-alel identik yang berasal dari leluhur bersama, baik A maupun B, pada

individu X besarnya ¼.

Makin besar nilai F, makin cepat diperoleh tingkat homozigositas yang

tinggi. Sebagai gambaran, pembuahan sendiri dapat mencapai homozigositas

100% pada generasi keenam, sementara perkawinan antara saudara kandung baru

mencapainya pada generasi keenam belas. Peningkatan homozigositas akibat

silang dalam dapat menimbulkan tekanan silang dalam (inbreeding depression)

apabila di antara alel-alel identik yang bertemu terdapat sejumlah alel resesif yang

kurang menguntungkan.

Perubahan frekuensi alel yang disebabkan oleh terjadinya silang dalam

dapat dihitung dari perubahan frekuensi genotipe seperti pada Tabel 15.3.

Tabel 15.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak dan silang dalam

Genotipe Frekuensi

Kawin acak Silang dalam

AA p2 p2 (1 - F) + pF

Aa 2 pq 2 pq (1 - F)

aa q2 q2 (1 - F) + qF

Jika nilai F = 0, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing adalah

p2, 2 pq, dan q2 . Frekuensi tersebut ternyata sama dengan frekuensi genotipe hasil

kawin acak. Jika nilai F = 1, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-

masing menjadi p, 0, dan q. Hal ini berarti di dalam populasi hanya tinggal

individu homozigot, sedang individu heterozigot tidak dijumpai lagi.

Silang luar

Berkebalikan dengan silang dalam, silang luar akan meningkatkan frekuensi

heterozigot. Di samping itu, jika silang dalam dapat menyebabkan terjadinya

tekanan silang dalam yang berpengaruh buruk terhadap individu yang dihasilkan,

260

Page 17: Buku Ajar Gen 15

silang luar justru dapat memunculkan individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih

baik daripada kedua tetuanya yang homozigot. Fenomena keunggulan yang

diperlihatkan oleh individu hibrid hasil persilangan dua tetua galur murni

(homozigot) disebut sebagai vigor hibrida atau heterosis.

Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang menjelaskan

terjadinya heterosis. Salah satu di antaranya adalah teori dominansi, yang pada

prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel reseif merugikan yang dibawa oleh

masing-masing galur murni akan tertutupi oleh alel dominan pada individu hibrid

yang heterozigot. Misalnya, ada alel A yang menyebabkan akar tanaman tumbuh

kuat sementara alel a menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B

menyebabkan batang menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah.

Persilangan antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB (akar

lemah, batang kuat) akan menghasilkan hibrid AaBb yang mempunyai akar dan

batang kuat.

Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang

pemuliaan tanaman, antara lain untuk merakit varietas jagung hibrida. Galur

murni A disilangkan dengan galur murni B, mendapatkan hibrid H. Namun,

karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B) yang kecil, maka

jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk dijual kepada petani. Oleh

karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan biasanya bukan hasil silang tunggal

(single cross) seperti itu, melainkan hasil silang tiga arah (three-way cross) atau

silang ganda (double cross). Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai

tetua betina untuk disilangkan lagi dengan galur murni lain sehingga biji hibrid

yang dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H yang ukurannya besar. Agak

berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H disilangkan dengan

hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam silang ganda ini,

sebagai tetua betina dapat digunakan baik hibrid H maupun hibrid I karena kedua-

duanya mempunyai tongkol yang besar.

261