budi pekerti.doc

23
Kitab Melatih Diri Mendidik Budi Pekerti Budi pekerti baik budi pekerti jahat Allah s.w.t. telah memuji NabiNya serta menunjukkan nikmatNya terhadap baginda s.a.w. dalam firmanNya yang berbunyi: Sesungguhnya engkau mempunyai budi pekerti yang luhur.” (al-Qalam: 4) Berkata Siti Aisyah radhiallahu-anha “Adalah Rasulullah s.a.w. itu budi pekertinya al-Quran.” Bersabda Rasulullah s.a.w.: “Sebenarnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti.” Bersabda Rasulullah s.a.w. lagi: “Agama itu adalah kemuliaan budi pekerti”. Maksudnya ialah supaya anda jangan selalu marah-marah. Kemudian Rasulullah s.a.w. pernah ditanya: Apakah kecelakaan itu? Baginda menjawab: Kecelakaan itu ialah kejelekan budi pekerti. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Takutlah kepada Allah di mana saja engkau berada, ikutilah segala kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya. Dan pergaulilah sekalian manusia dengan budi pekerti yang baik.” Ketika diberitahu kepada Rasulullah, bahwa wanita anu itu berpuasa di siang hari dan bertahajud di malamnya pula akan tetapi dia berbudi pekerti jahat, selalu mengganggu tetangganya dengan kata nista. Baginda menjawab: Tidak ada gunanya wanita itu. Dia tergolong ahli neraka. Bersabda Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi ZatNya, maka tiadalah sesuai bagi agamamu itu, melainkan dengan sifat murah hati dan berbudi pekerti luhur. Ingatlah supaya kamu menghiasi agamamu dengan kedua sifat tersebut”

Upload: gulaikawah

Post on 01-Jan-2016

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Akhlak

TRANSCRIPT

Page 1: Budi Pekerti.doc

Kitab Melatih Diri Mendidik Budi Pekerti  Budi pekerti baik budi pekerti jahat  

Allah s.w.t. telah memuji NabiNya serta menunjukkan nikmatNya terhadap baginda s.a.w. dalam firmanNya yang berbunyi:

  “Sesungguhnya engkau mempunyai budi pekerti yang luhur.” (al-Qalam: 4)  Berkata Siti Aisyah radhiallahu-anha  “Adalah Rasulullah s.a.w. itu budi pekertinya al-Quran.”   Bersabda Rasulullah s.a.w.:  “Sebenarnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan budi pekerti.”   Bersabda Rasulullah s.a.w. lagi:  “Agama itu adalah kemuliaan budi pekerti”.   Maksudnya ialah supaya anda jangan selalu marah-marah. Kemudian

Rasulullah s.a.w. pernah ditanya: Apakah kecelakaan itu? Baginda menjawab: Kecelakaan itu ialah kejelekan budi pekerti.

  Rasulullah s.a.w. bersabda:  “Takutlah kepada Allah di mana saja engkau berada, ikutilah segala kejelekan

dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya. Dan pergaulilah sekalian manusia dengan budi pekerti yang baik.”

  Ketika diberitahu kepada Rasulullah, bahwa wanita anu itu berpuasa di siang

hari dan bertahajud di malamnya pula akan tetapi dia berbudi pekerti jahat, selalu mengganggu tetangganya dengan kata nista. Baginda menjawab: Tidak ada gunanya wanita itu. Dia tergolong ahli neraka.

  Bersabda Rasulullah s.a.w.:  “Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi ZatNya, maka tiadalah

sesuai bagi agamamu itu, melainkan dengan sifat murah hati dan berbudi pekerti luhur. Ingatlah supaya kamu menghiasi agamamu dengan kedua sifat tersebut”

  Ketika Rasulullah s.a.w. ditanya, siapakah di antara kaum Mu’minin yang

paling utama keimanannya? Baginda menjawab: Yang paling baik budi perkertinya.  “Sesungguhnya kamu sekalian tidak akan sanggup mempengaruhi manusia

dengan hartamu, maka dari itu pengaruhilah mereka dengan wajah yang manis dan budi pekerti yang baik.”

Bersabda Rasulullah s.a.w. kepada Abu Zar: Tidak akan sempurna akal, melainkan dengan pentadbiran (perencanaan) dan tidak sempurna keturunan, melainkan dengan budi pekerti yang mulia.

Page 2: Budi Pekerti.doc

  Al-Hasan berkata pula: Orang yang buruk akhlaknya samalah seperti orang

yang menganiaya dirinya.  Wahab berkata: Perumpamaan budi pekerti yang buruk seperti tembikar yang

telah pecah, tidak boleh diperbaiki dan tidak boleh kembali menjadi tanah liat.  Al-Fudhail berkata: Berkawan dengan orang yang derhaka tetapi baik budi

pekertinya, lebih utama dari berkawan dengan orang yang ‘abid (banyak ibadatnya) tetapi buruk budi pekertinya.

  Komentar para salaf tentang budi pekerti yang baik  

Ketahuilah bahwa para Salaf menganggap budi pekerti yang baik itu laksana sebutir buah atau tujuan sesuatu perkara. Lihat apa yang dikatakan oleh al-Hasan rahimahullah iaitu: Budi perkerti yang baik itu adalah menunjukkan wajah yang manis, suka membelanjakan harta kekayaan dan mencegah hal-hal yang boleh menyakiti hati orang lain. 

Pada lain peristiwa al-Hasan berkata lagi: Budi pekerti yang baik itu ialah mendapatkan keredhaan manusia pada masa kesenangan dan masa kesusahan. 

Ada pengertian-pengertian yang lain lagi dalam hal ini, tetapi pokoknya sama: iaitu terasnya akhlak yang terpuji. 

Adapun hakikat budi pekerti itu, ialah perilaku (hal dan keadaan) yang meresap dalam jiwa seseorang. Perilaku inilah yang menerbitkan perbuatan-perbuatan dengan perasaan senang dan mudah, tanpa perlu lagi kepada pemikiran dan pertimbangan. Jika yang terbit dari perilaku itu, ialah perbuatan-perbuatan yang elok dan terpuji, menurut ukuran akal mahupun syara’, maka perilaku itu dinamakan budi pekerti yang baik. Sebaliknya jika yang terbit pula perbuatan-perbuatan yang jahat, maka perilaku yang menjadi sebab terbitnya segala perbuatan jahat itu, dinamakan budi pekerti yang jahat. 

Sebab kita katakan, bahwa perilaku itu meresap dalam jiwa, ialah kerana kalau terbit dari seseorang itu perbuatan mengorbankan harta bendanya secara tidak selalu, melainkan kerana timbulnya sesuatu keperluan yang mendadak saja, maka tidaklah boleh dinamakan orang itu bersifat murah hati, selagi sifat suka mengorbankan harta benda itu tidak tetap meresap dalam jiwanya. 

Begitu pula, bila kita mensyaratkan, bahwa perbuatan-perbuatan itu mestilah terbit dari orang itu dengan jiwa yang tenang, tanpa pemikiran atau pertimbangan, kerana orang yang mencuba mengorbankan harta bendanya, ataupun orang yang mencuba mendiamkan diri ketika sedang marah dengan paksaan atau pertimbangan, tidak boleh dikatakan orang itu bersikap murah hati atau pun bersikap penyantun. 

Adapun pokok akhlak yang mulia dan asasnya adalah empat: 

(1)               Hikmat atau kebijaksanaan(2)               Syaja’ah atau keberanian(3)               ‘Iffah atau kebersihan jiwa(4)               ‘Adl atau keadilan

 

Page 3: Budi Pekerti.doc

Yang dimaksudkan dengan kebijaksanaan ialah suatu keadaan dalam diri yang mana menerusinya ia dapat membezakan yang benar dari yang salah dalam semua hal-ehwal ikhtiariah (perbuatan pilihan diri sendiri).

Yang dimaksudkan dengan keberanian, ialah bahwa keadaan marah yang sedang meluap-luap itu dapat dituntun oleh akal untuk terus memajukan keberanian itu ataupun menahannya dari berlaku. 

Yang dimaksudkan dengan kebersihan jiwa, ialah menahan kemahuan syahwat dengan mendidiknya supaya tunduk kepada petunjuk akal dan syara’. 

Yang dimaksudkan dengan keadilan, ialah suatu kekuatan dalam jiwa yang dapat mengatasi sifat marah dan kemahuan syahwat, lalu membimbing keduanya ke arah kebijaksanaan, serta menetukan bila masanya boleh diikutkan, dan bila pula harus dikekang dari berlaku menurut hal dan keadaan yang dihadapinya. 

Dengan menegakkan keempat-empat sifat yang tersebut di atas tadi, barulah dapat dilengkapi diri dengan semua akhlak dan budi pekerti yang indah. 

Al-Quran al-Karim telah mengenalkan kepada kita semua akhlak dan budi pekerti yang mulia, mengenai sifat-sifat para Mu’minin dengan firmanNya: 

“Hanyasanya orang-orang Mu’minin itu ialah mereka yang beriman dengan Allah dan RasuluNya, kemudian mereka tiada ragu-ragu lagi lalu berjuang dengan harta dan jiwa pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurat: 15) 

Beriman kepada Allah dan RasulNya tanpa keraguan dalam hati itulah yang dinamakan keyakinan kuat yang menjadi teras akal fikiran dan puncak kebijaksanaan. Berjuang dengan harta kekayaan ialah bersifat murah hati yang bakal memimpin untuk membatasi kekuatan syahwat. Manakala berjuang dengan jiwa pula, ialah bersifat berani yang bakal memimpin untuk menggunakan kemarahan yang meluap-luap itu menurut petunjuk akal dan batasan syara’. 

Allah s.w.t telah mensifatkan para sahabat dengan berfirman dalam al-Quran: 

“Mereka itu amat keras terhadap orang-orang kafir, tetapi belas kasihan antara sama sendiri.” (al-Fath: 29) 

Ini jelas menunjukkan bahwa sifat kekerasan itu ada tempatnya yang tertentu, manakala sifat belas kasihan pula mempunyai tempatnya yang lain pula. Bukanlah kesempurnaan itu, ketika melakukan kekerasan pada setiap tempat dan keadaan. Demikian pula dengan melakukan belas kasihan pada semua tempat dan keadaan.  Budi pekerti itu boleh berubah dengan jalan berlatih.  

Ketahuilah bahwasanya setengah orang yang telah dipengaruhi oleh kerosakan peribadi merasa sangat berat sekali untuk berjuang, melatih diri atau berusaha untuk membersihkan diri dan mendidik budi pekerti. Selalunya orang seperti itu tidak meyakini, bahwa akhlak yang jahat itu dapat diubahnya, disebabkan kelalaian atau sempit pandangan atau buruk percampuran. Ia menganggap, bahwa akhlak seseorang itu mustahil dapat diubah, kerana tabiat manusia itu mungkin berubah-ubah. 

Page 4: Budi Pekerti.doc

Kalau begitu sikap orang itu, maka kita berkata: Kiranya akhlak dan kelakuan itu tidak mungkin berubah, maka sudah tentulah tidak ada gunanya peringatan yang kita dituntut untuk menyampaikannya, atau nasihat-menasihati antara satu dengan yang lain, 

“Mereka itu amat keras terhadap orang-orang kafir, tetapi belas kasihan antara sesama sendiri.” (al-Fath:29) 

Allah s.w.t, telah mensifatkan kaum Mu’minin dari para sahabat Rasulullah s.a.w. itu sebagai berwatak keras, sedang sifat kekerasan itu terbit daripada sifat marah. Andaikata sifat marah itu telah lenyap dari sikap mereka itu, bagaimana pula dapat dilaksanakan perjuangan dan jihad fi-sabilillah. Bagaimana boleh dicabut sifat-sifat marah dan syahwat sekaligus dari akar-umbinya, padahal para Nabi alaihimussalam sendiri tidak terlepas dari kedua-dua sifat tersebut: 

Pernah Rasulullah s.a.w. bersabda: 

“Sebenarnya aku ini ialah seorang manusia, Aku marah seperti mana orang lain marah.”  

Selalu juga bila seseorang berbicara dengan sesuatu yang dibenci oleh baginda, niscaya baginda akan marah sehingga kedua pipinya menjadi merah padam. Tetapi baginda tidak berkata melainkan yang benar saja. Dan marah baginda juga tidak pernah keluar dari yang hak dan benar semata-mata. 

Allah telah berfirman: 

“Dan orang-orang yang sanggup menahan marah dan orang-orang yang suka memaafkan manusia.” (ali-Imran: 134) 

Firman tadi tiada pula mengatakan: Dan orang-orang yang telah menghilangkan marahnya. 

Jadi nyatalah yang dimaksudkan itu, ialah mengembalikan sifat marah dan syahwat itu ke batas kesederhanaan, sehingga salah satu dari kedua-dua sifat itu tidak memaksa dan mengalahkan akal, tetapi sebaliknya akallah yang menjadi pengendali terhadap keduanya dan menguasai keduanya. Itulah yang diartikan dengan perubahan akhlak dan kelakuan. 

Boleh jadi juga, sekali-sekala syahwat itu dapat menguasai jiwa manusia, sehingga akal terlepas dari kendalinya dan tidak sanggup untuk menahannya dari berfoya-foya dan tercebur ke dalam berbagai-bagai kekejian, tetapi apabila segera dijalankan latihan, ia akan kembali semula kepada batas kesederhanaannya. Ini membuktikan bahwa perubahan dan pengalaman juga telah menunjukkan kemungkinan berlakunya perubahan itu tanpa syak dan ragu lagi. 

Dan yang menunjukkan bahwa yang dituntut itu ialah kesederhanaan dalam akhlak dan kelakuan dan bukan kedua hujungnya, ialah bahwa sifat murah hati itu adalah suatu kelakuan yang terpuji menurut ukuran syara’, sebab ia adalah sifat pertengahan antara kedua hujung; iaitu antara sifat terlalu boros dan sifat terlalu kikir. Allah Ta’ala telah memuji orang yang bersifat murah hati dalam firmanNya yang berbunyi: 

Page 5: Budi Pekerti.doc

“Dan mereka yang apabila membelanjakan hartanya, mereka tidak terlalu boros dan tidak pula terlalu kikir, dan mereka dalam hal itu bersifat pertengahan.”

(al-Furqan: 67 

FirmanNya lagi: 

“Dan janganlah engkau menjadikan tanganmu itu terbelenggu pada tengkukmu (terlalu kikir) dan jangan pula melepaskannya seluas-luasnya (terlalu boros).” (al-Isra’: 29) 

Begitu pula yang dituntut dalam syahwat makanan, hendaklah sederhana tidak terlalu gelojoh dan serakah ataupun membeku saja. 

Firman Allah Ta’ala: 

“Dan makanlah dan minumlah, tetapi jangan melampaui batas, sesungguhnya Allah tiada suka kepada orang-orang yang melampaui batas.” (al-A’araf: 31) 

Firman Allah pula dalam membicarakan sifat marah: 

“Mereka itu amat keras terhadap orang-orang kafir, tetapi belas kasihan antara sesama sendiri.” (al-Fath:29)

Sabda Rasulullah s.a.w. pula: 

“Sebaik-baik perkara ialah pertengahannya.”   Bagaimana mencapai budi pekerti baik secara keseluruhan  

Kini anda telah mengetahui, bahwa keluhuran budi pekerti itu berpunca dari kesederhanaan dalam kekuatan akal fikiran dan kesempurnaan kebijaksanaan dan seterusnya kepada pertengahan dalam kekuatan marah dan keinginan syahwat sedang keadaan kedua-duanya itu patuh dan tunduk kepada pertimbangan akal fikiran dan batasan syara’. Kesederhanaan ini boleh terjadi kerana dua perkara.

Pertama: Terjadi dikeranakan kemurahan Tuhan dan kesempurnaan fitrah (semula jadi); iaitu bila Tuhan mencipta manusia itu, diciptaNya dalam keadaan sempurna akal fikiran, molek budi pekerti, dilengkapi baginya kemahuan syahwat dan marah, bahkan kedua-dua sifat telah dijadikan baginya sebagai sederhana dan tunduk di bawah pertimbangan akal fikiran syara’. 

Kedua: Memperolehi budi pekerti itu dengan perjuangan dan latihan-latihan diri, yakni memaksa diri dengan perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh budi pekerti yang dituntut. Misalnya: Orang yang ingin melengkapkan dirinya dengan budi pekerti pemurah hati, maka caranya ialah dengan memaksa diri mentauladani perbuatan-perbuatan seorang pemurah hati, seperti membelanjakan harta bendanya. Perbuatan serupa itu, hendaklah diteruskan dan dibiasakan atas diri secara paksaan, dan melawan dengan sungguh-sungguh nafsu syahwat yang menentangnya, sehingga perbuatan-perbuatan itu lama-kelamaan menjadi tabiatnya. Ketika itu apa yang dituju akan menjadi mudah, dan sukar lagi baginya untuk menjadi seorang pemurah hati. 

Demikian pulalah dengan orang yang ingin membentuk dirinya dengan budi pekerti merendah diri, sedangkan ia telah biasa dengan sifat takabbur atau bermegah-megah diri. Maka caranya ialah melatih diri dengan perbuatan-perbuatan

Page 6: Budi Pekerti.doc

orang-orang yang merendah diri dalam suatu jangka masa yang panjang. Di samping itu, ia mestilah menunjukkan sikap melawan nafsunya dan memaksanya supaya tunduk, sehingga lama-kelamaan sifat merendah diri itu meresap pula ke dalam jiwa, dan akhirnya menjadilah ia sebagai budi pekerti orang itu dan tabiatnya. Sesudah itu sikap merendah diri itu menjadi suatu perkara yang mudah dilakukan dan enak dirasakan. 

Sebenarnya budi pekerti yang terpuji dan akhlak yang mulia di sisi syara’ itu hanya akan tercapai menerusi cara ini. Dan puncak serta tujuan dari kelakuan-kelakuan ini ialah supaya orang yang bersifat demikian dapat merasakan kenikmatan dan kelapangan hati dari perbuatan-perbuatan yang timbul dari dirinya itu. 

Orang yang bersifat pemurah hati, ialah orang yang merasa senang dan enak untuk membelanjakan harta kekayaannya, bukanlah orang yang membelanjakan hartanya, sedang ia dalam keadaan terpaksa atau hatinya tidak gembira. 

Orang yang bersifat merendah diri pula, ialah orang yang merasa enak bila melakukan perbuatan itu. 

Semua akhlak dan kelakuan yang bersifat keagamaan itu tidak akan meresap ke dalam jiwa seseorang, selagi ia tiada membiasakan dirinya dengan segala adat-adat yang baik, dan meninggalkan segala perbuatan-perbuatan yang jahat atau buruk. Dalam melaksanakan syarat ini, hendaklah ia bersikap sebagai seorang yang cenderung kepada perbuatan-perbuatan yang bagus, dan merasa nikmat bila melakukannya, membenci perbuatan-perbuatan yang jahat serta merasa kesal bila membuatnya. 

Nabi s.a.w. telah bersabda: 

“Telah dijadikan bagiku cenderamata di dalam sembahyang.”  

Pendek kata selagi menyempurnakan ibadat-ibadat dan meninggalkan larangan-larangan itu dilakukan dengan perasaan benci dan rasa berat diri, maka hal itu adalah suatu kekurangan dan dengan cara ini tiada boleh tercapai kebahagiaan yang sempurna. 

Allah berfirman: 

“Dan sesungguhnya ia (sembahyang itu) adalah sangat besar (berat), melainkan atas orang-orang yang kusyu.” (al-Baqarah: 45) 

Kemudian dalam berusaha untuk mencapai kebahagiaan yang dijanjikan atas dasar budi pekerti baik itu tidk cukup dengan merasakan kelazatan taat dan merasa benci membuat dosa hanya dalam suatu masa saja, sedangkan pada masa yang lain tidak. Tetapi seharusnya hal itu berlaku terus-menerus di sepanjang hayat. 

Sayugialah hendaknya jangan sampai seseorang itu menganggap bahwa natijah sembahyangnya tidak boleh sampai ke peringkat qurratul-‘ain (cenderamata), sebab natijah ibadat-ibadat itu adalah semacam kelazatan bagi diri, sedang adat kebiasaan pula akan mencetuskan di dalam diri berbagai-bagai keindahan yang lebih aneh dari hal-hal yang disebutkan tadi. 

Misalnya kita sering melihat penjudi yang muflis (bengkerap) terkadang-kadang merasa gembira dan senang hati dengan perjudiannya, di mana ia menganggap bahwa kegembiraan orang yang tiada berjudi itu tidak seindah

Page 7: Budi Pekerti.doc

kegembiraannya yang berjudi, padahal perjudian itu akan merampas segala harta bendanya dan menghancurkan kerukunan rumahtangganya serta menjadikannya seorang muflis. Namun demikian ia masih gemar dan cinta kepada perjudian juga, dan merasa senang dan enak ketika berjudi. Sebabnya boleh berlaku demikian ialah kerana perjudian itu telah mendaging darah dalam dirinya, dan ia telah terlalu biasa dengan perjudian dalam masa agak yang panjang.

Demikian pulalah dengan halnya orang yang suka bermain-main dengan burung merpati, kadangkala ia sanggup berdiri sepanjang hari di bawah terik panas matahari dengan menegakkan kedua belah kakinya tanpa merasa penat atau lelah, kerana hatinya sangat gembira melihat gerak geri burung-burung itu, bertebangan dan berputar-putaran di udara. Kesemua ini adalah akibat dari adat dan kebiasaannya melakukan pekerjaan yang sama terus menerus dalam masa yang panjang, atau menyaksikan perkara itu bersama kawan-kawan dan rakan-rakan yang bergaul dengannya. 

Jadi sekiranya nafsu itu, dengan jalan kebiasaannya saja, dapat merasa enak berbuat kebatilan, maka mengapa pula ia tidak boleh merasa enak juga untuk berbuat yang hak, bila ia dibiasakan berbuatnya dalam masa yang panjang dan memaksanya untuk mengerjakannya terus menerus. 

Malahan kemuyulan nafsu kepada perbuatan-perbuatan yang jahat itu adalah menyimpang dari tabiat yang dikira sama seperti kemuyulannya kepada memakan tanah. Barangkali juga, jika manusia itu dibiasakan memakan tanah, niscaya ia akan berterusan memakannya.

Adapun kemuyulan manusia kepada hikmat dan kebijaksanaan serta cintakan Allah Ta’ala, makrifat dan beribadat kepadaNya adalah sama seperti kemuyulannya kepada makanan dan minuman. Itu adalah suatu kehendak tabiat hati dan ketentuan Ilahi. Sedangkan kemuyulannya kepada tuntutan-tuntutan syahwat adalah asing dari zatnya, dan semacam perkara yang baru mendatang kepada tabiatnya. 

Sebenarnya santapan hati itu ialah hikmat, makrifat dan kecintaan kepada Allah Ta’ala, tetapi hati itu suka berpaling dari tuntutan tabiatnya disebabkan sesuatu penyakit yang menjangkitinya, seperti mengjangkitnya penyakit di dalam tali perut, sehingga perut tidak inginkan makanan atau minuman, padahal kedua-duanya itu adalah punca bagi kehidupannnya. 

Begitulah umpamanya bagi setiap hati yang cenderung kepada sesuatu selain Allah Ta’ala maka ia tiada akan terlepas dari penyakit sekadar kecenderungannya kepada barang itu, kecuali jika yang menyebabkan kecenderungan hati kepada barang itu semata-mata kerana menolongnya untuk mencintai Allah Ta’ala dan mencintai agamanya, ketika itu tiadalah bahwa hati itu telah dijangkiti penyakit. 

Kalau begitu, kini anda telah mengetahui dengan pasti, bahwa semua budi pekerti yang indah itu boleh diperoleh dengan cara latihan diri. Iaitu mula-mula dengan memaksa diri berbuat semua perbuatan-perbuatan baik itu, sehingga lama-kelamaan menjadi tabiat. Hal ini terkira antara keajaiban perhubungan antara hati dan anggota-anggota, yakni yang dimaksudkan antara diri dengan badan. Maka tiap-tiap sifat yang timbul di dalam hati, mestilah membawa pengaruhnya ke atas anggota-anggota, sehingga tiada syak lagi bahwa semua anggota tidak akan bergerak, melainkan menurut kemahuannya. Begitu juga setiap perbuatan yang berlaku pada anggota-anggota terkadang-kadang terpengaruh pula pada hati, dan demikianlah seterusnya perkara itu saling tukar-menukar. 

Page 8: Budi Pekerti.doc

Jika anda telah maklum, bahwa budi pekerti yang baik itu, adakalanya berlaku menurut tabiat dan fitrah adakalanya dengan melatih diri dengan perbuatan-perbuatan baik, dan adakalanya pula dengan mencontohi perbuatan-perbuatan baik orang ramai dan bergaul dengan mereka, kerana mereka itu adalah kawan-kawan yang menuntun ke jalan kebaikan. Sering pula sesuatu tabiat itu mempengaruhi tabiat yang lain, dalam kejahatan atau kebaikan sama belaka. Barangsiapa yang telah muncul dalam dirinya ketiga-tiga sifat tadi, sehingga ia menjadi seorang yang terkenal baik dalam tabiatnya atau dalam kebiasaannya atau dalam mencontohi kebaikan orang lain, maka berbahagialah ia kerana ia telah berada di kemuncak keutamaan. Sebaliknya jika ia menjadi jahat dalam tabiatnya dan sering pula bercampur gaul dengan rakan-rakan yang buruk perilakunya dan suka pula meniru perbuatan-perbuatan rakan-rakan yang jahat, sehingga terbukalah di hadapannya pintu-pintu kejahatan dan akhirnya membiasakan diri berbuat jahat, maka celakalah ia kerana ia telah berada di tempat yang jauh dari Allah azzawajalla. 

Di antara dua darjat ini, ada pula orang-orang yang berbeza-beza tingkatannya dalam segi ketiga-tiga cara yang tersebut di atas tadi. Walau bagaimanapun tiap-tiap orang mempunyai darjatnya yang tersendiri, antara dekat dan jauh, sesuai dengan keadaan sifat dan hal yang ada pada diri orang itu. 

“Barangsiapa membuat baik seberat zarrah, Allah akan melihatnya, dan barangsiapa membuat jahat seberat zarrah, Allah akan melihat juga.” (a;-Zilzal: 7-8) 

“Allah tidak menganiayai, melainkan merekalah yang menganiayai diri mereka sendiri.” (an-Nahl:33)  Menerangkan cara mendidik akhlak  

Dari huraian yang lalu, kita telah mengetahui, bahwa kesederhanaan dalam mendidik budi pekerti itu merupakan kesihatan jiwa, sedangkan menyeleweng daripadanya menimbulkan penyakit di dalam jiwa. Demikian pula dengan kesederhanaan dalam tabiat badan menimbulkan kesihatan bagi badan itu, manakala menyeleweng daripadanya menjadikan badan itu ditimpa penyakit pula. 

Sebagai misalan, kita ambil saja badan sebagai contoh. Kita berkata: Perumpamaan jiwa dalam mengusahakan pengubatannya dari sifat-sifat yang rendah dan kelakuan-kelakuan yang buruk dengan menggantikan tempatnya dengan sifat-sifat yang utama dan kelakuan-kelakuan yang molek, samalah seperti perumpamaan badan dalam mengusahakan pengubatannya dari penyakit-penyakit yang membahayakannya agar kesihatan dapat mengambil tempatnya. Sebagaimana biasa bahwa tabiat badan itu memanglah condong kepada kesederhanaan, akan tetapi perut sering ditimpa berbagai-bagai bahaya disebabkan makanan yang tidak tentu, udara yang tidak sihat atau hal-hal yang lain. 

Demikianlah keadaannya setiap bayi baru lahir. Kelahirannya dalam keadaan sederhana, sempurna fitrahnya: hanya sesudah itu kedua ibu bapanyalah yang menyebabkan ia menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Iaitu dengan jalan kebiasaan dan pengajaran sajalah sifat-sifat kerendahan itu akan terselamat di dalam dirinya. 

Sebagaimana badan juga, pada mulanya tiadalah dijadikan dalam keadaan cukup kesempurnaannya. Tetapi ia menjadi sempurna dan kuat dengan pertumbuhan dan menjaga makanan. Maka begitu pulalah yang berlaku pada jiwa. Ia mula dijadikan memanglah tidak sempurna, tetapi bersedia untuk disempurnakan.

Page 9: Budi Pekerti.doc

Dan kesempurnaannya akan berlaku dengan memelihara dan mendidik akhlak serta mengisi jiwa dengan berbagai-bagai ilmu pengetahuan.

Jika badan itu sihat, maka tugas doktor hanya menentukan cara-cara dan peraturan-peraturan yang akan memelihara badan itu supaya terus-menerus sihat. Tetapi jika badan itu berpenyakit, maka sudah tentulah tugas doktor ialah mencari punca penyakitnya, lalu mengusahakan cara mengubatinya, supaya badan itu kembali sihat semula. 

Begitu pulalah halnya dengan jiwa. Jika jiwa anda bersih, suci dan terdidik, maka seharusnyalah anda berusaha untuk melindunginya dari kekotoran dan mengusahakan sumber kekuatan dan kebaikan baginya, agar ia bertambah bersih dan murni. Tetapi jika jiwa anda itu tidak sempurna dan tidak murni, maka sepatutnyalah anda berusaha lebih kuat lagi untuk menarik sumber kesempurnaan dan kemurniaan itu kepadanya. 

Dan sebagaimana punca yang menyebabkan penyakit itu tidak boleh diubati melainkan dengan lawannya, yakni jika puncanya panas, ubatnya sejuk atau sebaliknya; maka demikian pulalah keadaannya dengan kerendahan budi pekerti yang merupakan penyakit hati. Ubatnya tiada lain melainkan dengan lawannya. Maka penyakit bodoh hanya terubat dengan belajar. Penyakit kikir hanya terubat dengan murah hati. Penyakit gelojoh hanya terubat dengan menahan diri dari segala kelazatan makanan secara paksaan.

Dan sebagaimana seorang pesakit itu mesti sanggup menahan kepahitan ubat dan sabar menahan kepahitan ubat dan sabar menahan diri dari segala macam keinginannya, kerana kepentingan mengubati badan yang sakit; begitu pulalah hendaknya seseorang itu, mestilah ia sanggup menanggung kepahitan perjuangan melawan nafsu dan bersabar dalam menghadapi pengubatan penyakit pula. Malah perkara yang akhir ini lebih utama. Sebab penyakit badan itu selesai dengan kematian. Tetapi penyakit hati, mudah-mudahan kita dipelihara Allah daripadanya, adalah suatu penyakit yang abadi, terus diderita oleh badan selepas mati hingga ke masa yang tidak ada penghujungnya. 

Kesimpulannya: Jalan yang menyeluruh untuk mengubati penyakit hati itu, ialah dengan menempuh jalan yang berlawanan dengan kehendak kemahuan hawa nafsu dan kecenderungan jiwa. Allah Ta’la telah pun menyimpulkan kesemua perkara ini dalam kitabNya yang mulia dalam sepotong ayat berbunyi; 

“Adapun orang yang takut akan kedudukan Tuhannya, seraya menahan nafsu dari keinginan, maka sesungguhnya syurgalah menjadi tempat tinggalnya.” (an-Nazi’at: 40-41) 

Pokok yang terpenting dalam perjuangan menahan nafsu itu ialah menepati janji diri dengan penuh keazaman. Jika ia telah berazam untuk meninggalkan sesutau keinginan nafsunya, maka sebenarnya sebab-sebabnya telah pun menjadi mudah baginya. Sedangkan perkara itu adalah sebagai suatu cubaan dan ujian dari Allah Ta’ala, Maka sebaik-baiknya hendaklah ia bersabar dan meneruskan keazaman yang baik itu. Sebab jika sekiranya ia membiasakan dirinya berpaling dari sesuatu keazaman yang baik niscaya kebiasaan itu akan menjadi tabiat bagi dirinya, padahal kebiasaan serupa itu adalah tidak baik dan membinasakan. 

Moga-moga Allah selamatkan kita sekalian dari angkara nafsu. Amin.  Mengenal keaiban-keaiban diri.

Page 10: Budi Pekerti.doc

  Ketahuilah bahawasanya Allah azzawajalla, bila menghendaki bagi hambaNya

sesuatu kebaikan, terlebih dulu dinampakkan kepadanya keaiban-keaiban diri sendiri. Maka barangsiapa bashirahnya (matahatinya) terbuka, tidak akan terlindunglah segala keaiban dirinya. Jika ia telah mengetahui keaiban diri, mudahlah ia mencari ubatnya. Akan tetapi kebanyakan orang tiada nampak keaiban diri sendiri. Dia boleh nampak debu yang kecil di mata orang lain, tetapi pohon di hadapan mata sendiri tiada dilihatnya. 

Jadi barangsiapa yang ingin mengenal atau mengetahui keaiban-keaiban diri sendiri, maka di sini disediakan empat cara: 

Cara pertama: Hendaklah ia duduk dengan seorang Syaikh (Guru) yang terang matahatinya. Guru itu boleh mengetahui keaiban-keaiban diri, dan dapat menyingkap apa-apa yang bersarang di dalam hati dari berbagai-bagai noda dan penyakit, lalu ia pun menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh guru itu dalam perjuangan menolak bahaya-bahaya itu. Inilah caranya seorang murid dengan gurunya, iaitu guru akan memberitahukan kepadanya segala keaiban-keaiban dirinya dan ditunjukkan pula cara-cara mengubatinya. 

Cara kedua: Hendaklah ia mencari seorang teman karib yang boleh dipercayai, bijaksana dan lurus agamanya, Teman ini akan memerhatikan segala tingkah lakunya. Apa yang dibenci dari kelakuan, perbuatan atau keaiban-keaibannya diingatkannya. Cara beginilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang bijak pandai dari pemuka-pemuka agama. 

Umar Ibnul-Khattab r.a. pernah berkata: Semoga Allah merahmati orang yang menunjuki aku akan keaibanku. Beliau pernah bertanya kepada Huzaifah, katanya: Engkau adalah tempat Rasulullah s.a.w. menyimpan rahsianya mengenai orang-orang munafikin. Adakah kiranya padaku ini tanda-tanda nifaq? 

Meskipun kita semua telah mengetahui, bahwa Saiyidina Umar itu mempunyai tingkatan yang tinggi dan kedudukan yang mulia, namun beliau masih juga mencurigai dirinya sendiri. 

Oleh itu sepatutnya setiap orang yang telah sempurna akalnya, dan yang mulia kedudukannya, hendaklah bersikap lebih sedikit kemegahannya, tetapi lebih banyak prasangkanya terhadap diri sendiri. Malah harus merasa gembira jika ada orang yang suka menegur tentang keburukan-keburukan perilakunya. Tetapi alangkah amat jarang sekali orang yang bersikap semacam ini! Ini semua terbit dari kelemahan iman manusia kepada Tuhan. Padahal budi pekerti jahat boleh diumpamakan seperti ular dan kala jengking yang suka menyengat orang.

Andaikata ada orang yang memberitahu kita, bahwa di dalam baju kita ada kala jengking, tentulah kita akan merasa terhutang budi kepada orang itu. Kita akan merasa gembira dan berterima kasih kepadanya, lalu kita segera pula menghapuskan kala jengking itu dan membunuhnya. Padahal sengatan kala jengking terhadap badan kita itu tidak kekal sakitnya, hanya sehari dua saja. Adapun penguasaan budi pekerti yang rendah ke atas pangkal hati dikhuatiri akan berterusan, kekal abadi sehingga sesudah mati. 

Kemudian kita sering tidak senang jika ada orang yang mengingatkan tentang budi pekerti kita yang rendah itu, dan kita sendiri tidak pernah pula mencuba untuk menghilangkannya dari jiwa kita. Malah kita menentang pula orang yang memberi nasihat itu dengan berkata: Engkau juga tidak kurang cacatnya dariku. Dengan itu

Page 11: Budi Pekerti.doc

kita bukan mengambil manfaat dari nasihat orang itu, malah telah menghidupkan suatu permusuhan dengannya. Kelakuan serupa ini adalah timbul dari kekerasan hati yang telah disebabkan oleh terlalu banyak dosa. Dan pokok serta punca segala-gala itu ialah keimanan yang lemah. 

Kita bermohon kepada Allah agar Dia mengurniakan kita petunjuk, menampakkan kepada kita keaiban-keaiban diri kita, dan mendorong kita supaya mengubatinya serta memberi kita taufiq dan hidayatNya, supaya kita dapat berterima kasih kepada sesiapa yang memberitahu kita tentang kesalahan-kesalahan kita dengan anugerah dan keutamaan Allah. 

Cara ketiga: Hendaklah mengambil faedah (berlapang dada) bila mengetahui keaiban-keaiban diri dari cacian lidah-lidah musuh, sebab pandangan orang yang benci itu akan menampakkan berbagai-bagai kekurangan diri. Barangkali faedah yang didapati dari seorang musuh yang hatinya penuh kebencian, dan mulutnya tidak lepas dari cacian, lebih banyak faedahnya dari seorang kawan yang suka bermuka-muka, menyanjung dan memuji-muji, padahal keaiban diri kita tidak pula ditunjukkan kepada kita. Hanyasanya tabiat itu memanglah lebih tertarik kepada mendustakan apa yang dikatakan oleh musuh walaupun benar, serta menganggap segala-gala itu timbulnya dari sebab hasad dan dengki. Akan tetapi bagi orang yang bijaksana, dianggapnya segala kata-kata musuhnya itu amat berguna, sebab keaiban-keaiban diri itu tidak boleh tidak mestilah dihambur-hamburkan oleh mereka. 

Cara keempat: Hendaklah ia suka bergaul dengan orang ramai. Kemudian setiap yang dilihatnya tercela di kalangan mereka itu, maka hendaklah ia bertanya pada diri sendiri, adakah perkara serupa itu dilakukannya. Sebab orang Mu’min itu adalah cermin kepada Mu’min yang lain. Sepatutnya ia boleh melihat dan meneliti keaiban-keaiban dirinya daripada keaiban-keaiban orang lain. Sesungguhnya tabiat manusia itu lebih kurang sama dalam menuruti hawa nafsu. Setiap suatu sifat yang ada pada orang lain, tidak mustahil ada juga pada diri sendiri, malah kadangkala lebih dahsyat dari itu, ataupun sekurang-kurangnya ada juga sedikit daripadanya barangkali. Sebaik-baiknya ia meneliti diri sendiri , dan adalah lebih baik ia membersihkan kecelaan dirinya daripada mencela orang lain. Ingatlah tiada cara lebih utama dari mendidik diri secara ini. 

Andaikata semua orang mahu menjauhi segala kecelaan yang dilihatnya ada pada orang lain, niscaya mereka tidak perlu lagi kepada didikan pendidik. Kesemua ini adalah sebagai jalan keluar bagi orang yang tiada mendapatkan guru yang pintar yang boleh mendidik dan menasihatinya dalam urusan agama. Kecuali jika ia boleh mendapat seorang guru, maka samalah seperti mendapat seorang doktor. Hendaklah ia membiasakan diri dengan doktor itu, sebab doktor akan menyelamatkan dirinya dari penyakit.  Pernjelasan tanda-tanda budi pekerti baik.  

Ketahuilah bahwa setiap manusia itu memang tidak mengetahui keaiban-keaiban diri sendiri. Andaikata dia sudah boleh menahan nafsunya sedikit saja, misalnya dengan meninggalkan beberapa dosa yang terkeji, mungkin dia mengira bahwa dia telah dapat mendidik dirinya, dia telah mampu memperelokkan kelakuannya, sehingga pada sangkaannya dia tidak perlu lagi meneruskan perjuangan untuk menahan hawa nafsu. Maka terhadap orang ini, haruslah diberikan penjelasan, apa dia tanda-tanda budi pekerti yang baik. 

Page 12: Budi Pekerti.doc

Budi pekerti yang baik itu ialah iman, manakala budi pekerti yang buruk pula ialah nifaq. Allah s.w.t. telah pun menggambarkan kepada kita tentang sifat kaum Mu’minin dan kaum munafikin di dalam kitabNya al-Quran, menampakkan kepada kita teras budi pekerti baik dan budi pekerti jahat. Berikut kita sebutkan sejumlah ayat-ayat mengenai kedua-dua sifat tadi. 

Kita mulakan dengan tanda-tanda budi pekerti baik.Firman Allah Ta’ala.

  “Sesungguhnya telah beruntung orang-orang yang beriman. Mereka yang

berkhusyu’ di dalam sembahyang mereka. Dan mereka yang berpaling dari perkara-perkara yang kotor. Dan mereka yang membayar zakat. Dan mereka yang menjaga alat-alat kelamin mereka. Kecuali kepada isteri-isteri mereka ataupun hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka itu tiada tercela. Barangsiapa mencari selain dari itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melanggar batas. Dan mereka yang memelihara amanat-amanat dan janji mereka. Dan mereka yang menjaga sembahyang-sembahyang mereka. Mereka itulah orang-orang yang mewarisi, iaitu mewarisi Syurga Firdaus, dan mereka kekal di dalamnya buat selama-lamanya.” (al-Mu’minin: 1-11) 

“Orang-orang yang bertaubat yang beribadat yang memuji Tuhan yang merantau (di bumi Allah), yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat baik dan melarang dari perbuatan-perbuatan jahat, dan yang menjaga batas-batas Allah. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (at-Taubah: 112)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu, ialah mereka yang apabila disebutkan saja nama Allah, maka takutlah hati mereka. Dan apabila dibacakan saja ayat-ayatNya, maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka itu sentiasa berserah diri kepada Tuhan mereka. Iaitu orang-orang yang mendirikan sembahyang dan membelanjakan dari apa yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang beriman dengan sebenarnya. Mereka memperoleh beberapa darjat di sisi Tuhan mereka, juga pengampunan dan rezeki yang mulia.”  (al-Anfal: 2-4) 

“Dan hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih, iaitu mereka yang berjalan di bumi dalam keadaan tenang dan apabila orang-orang yang bodoh berkata kepada mereka, maka mereka hanya menjawab: Selamat. Dan mereka yang di waktu malam hari menyembah Tuhan dalam keadaan sujud dan berdiri. Dan mereka yang berkata: Wahai Tuhan kami! Jauhkanlah kiranya dari kami siksaan Neraka Jahannam, sesungguhnya siksaannya itu pasti berlaku. Sesungguhnya ia tempat kediaman dan tempat tinggal yang amat buruk. Dan mereka itu, apabila membelanjakan hartanya, tiada melampaui batas dan tiada pula bersifat kikir, malah pertengahan antara keduanya. Dan mereka yang tiada menyeru Tuhan yang lain di samping Allah dan mereka tiada membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya) melainkan dengan hak, dan mereka tiada melakukan perzinaan. Barangsiapa yang melakukan demikian niscaya akan mendapat dosa. Kepadanya dilipat gandakan siksaan pada Hari Kiamat, dan mereka tetap di sana dalam keadaan terhina, kecuali orang yang bertaubat dan mengerjakan perbuatan yang baik, maka orang-orang itu akan digantikan oleh Allah kejahatan-kejahatan mereka dengan kebaikan-kebaikan. Dan Tuhan itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat lalu mengerjakan perbuatan baik maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan sebenarnya. Dan mereka yang tiada menjadi saksi palsu, dan bila melalui pada perkara-perkara yang omong kosong, mereka berlalu dengan hormatnya. Dan mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat Allah, mereka tidak tersungkur ke dalamnya dalam keadaan tuli dan buta. Dan mereka yang berkata: Wahai Tuhan

Page 13: Budi Pekerti.doc

kami! Kurniakanlah kepada kami dari isteri-isteri kami dan keturunan kami cahaya mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. Mereka itu adalah orang-orang yang dibalas dengan darjat yang tinggi disebabkan mereka bersabar dan mereka akan diterima di sana dengan penghormatan dan keselamatan. Mereka kekal di dalamnya, amat baiklah tempat kediaman dan tempat tinggal. Katakanlah: Tuhanku tidak akan memperhatikan kamu sekalian, kalaulah bukan sebab doa kamu sekalian. Sesungguhnya kamu telah mendustakan (Tuhan), kerana itu (hukuman) pasti datang.” (al-Furqan: 63-77) 

Maka barangsiapa merasa keliru tentang keadaan dirinya hendaklah ia mngukur diri dengan inti ayat-ayat di atas itu. Bila terdapat pada dirinya kesemua sifat-sifat yang tersebut di dalam ayat di atas tadi, maka itu adalah tandanya keluhuran budi pekerti. Dan bila lenyap pula keseluruhan sifat-sigat itu, maka itulah tandanya kejelekan budi pekerti. Dan seterusnya jika setengah ada dan setengah tidak ada, maka itulah pula menunjukkan ada sebahagian saja dari budi pekerti itu, maka dalam hal ini hendaklah ia berusaha pula untuk mendapatkan setengah yang tidak ada, seraya memelihara sifat-sifat yang telah ada, jangan sampai yang hilang pula.

Rasulullah s.a.w. telah mensifatkan orang Mu’min dengan sifat yang berbagai-bagai, kesemuanya menunjukkan kepada akhlak dan budi pekerti yang terpuji. Sabdanya: 

“Seorang Mu’min itu mencintai saudaranya, sebagaimana ia mencintai dirinya.      

Sabdanya lagi: 

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah ia menghormati tetangganya.”  

Lagi sabdanya: 

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah ia berkata baik ataupun ia berdiam diri.”  

Rasulullah s.a.w. menyebutkan juga tentang sifat-sifat kaum Mu’minin, iaitu hendaklah mereka berbudi pekerti indah. Sabdanya: 

“Sempurna-sempurna iman orang Mu’min, ialah yang paling terpuji budi pekertinya.” Sabdanya seterusnya: 

“Tidak patut bagi seorang Mu’min memandang kepada saudaranya dengan pandangan yang boleh menyakiti hatinya.”  

Sabdanya lagi 

“Tidak patut bagi seorang Muslim mengancam orang Muslim lainya.”  

Lagi sabdanya: 

Page 14: Budi Pekerti.doc

“Hanyasanya dua orang yang sedang duduk dalam sesuatu majlis itu, hendaklah menjaga amanat Allah azzawajalla, maka tiada boleh seorang dari keduanya melahirkan suatu rahsia yang dibenci oleh saudaranya.”  

Ujian yang paling utama harus ditujukan kepada orang yang bersifat dengan budi pekerti yang luhur, ialah sifat sabar atas segala macam perkara yang menyakiti hati, dan menanggung segala kelakuan yang tidak disenangi. 

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah s.a.w. sedang berjalan-jalan bersama sahabatnya Anas, mereka bertemu dengan seorang Badwi, lalu Badwi itu menarik baginda secara kasar dan keras, sedang baginda memakai kain tutup buatan Najran yang kasar tepi-tepinya. Berkata Anas menceritakan berita ini: Saya boleh nampak pada leher baginda Rasulullah s.a.w. ada bekas yang ditinggalkan orang tarikan orang Badwi itu oleh kerana sangat kuatnya tarikan itu. Kemudian Badwi itu berkata kepada Baginda: Wahai Muhammad! Berikanlah aku harta Allah yang ada padamu! Rasulullah s.a.w. menoleh kepada Badwi itu seraya tertawa. Kemudian baginda menyuruh agar Badwi itu diberikan kehendaknya. 

Demikianlah pula apabila orang-orang Quraisy terlalu banyak yang menyakiti baginda, maka baginda hanya berdoa begini: 

“Ya Allah! Ya Tuhanku! Ampunilah terhadap kaumku! Sesungguhnya mereka tiada mengetahui.”  

Diceritakan bahwa al-Ahnaf bin Qais pernah ditanya oleh orang, katanya: Dari siapa engkau belajar menjadi penyantun? Jawabnya: dari Qais bin ‘Ashim. Orang itu bertanya lagi: Sampai ke darjat manakah penyantunannya? Jawab al-Ahnaf: Pada suatu ketika, sedang ia duduk di rumahnya, maka datanglah jariahnya membawa pacak pemanggang besi yang ada daging panggangnya. Tiba-tiba pacak itu terlepas dari tangan jariah dan jatuh mengenai anak kecil Qais hingga menyebabkan anak itu mati. Jariah terperanjat dan bingung. Kata Qais: Engkau tak usah takut, tetapi kini aku merdekakan engkau kerana Allah Ta’ala. 

Diriwayatkan lagi bahwa Saiyidina Ali bin Abu Talib karamallahuwajhah pernah memanggil hamba sahayanya, tetapi hamba itu tidak datang. Dipanggilnya kedua kali dan ketiga kali, ia masih tidak juga datang. Maka Ali pun mendatanginya. Dilihatnya hamba itu sedang baring bersenang-senang. Ali bertanya: Hai, apakah engkau tidak dengar panggilan aku? Hamba itu berkata: Bahkan saya dengar. Ali bertanya lagi: Tapi apa sebabnya engkau tidak menjawab penggilanku? Kata hamba: Saya tahu tuan tidak akan menyiksa saya atas kelakuan saya, maka saya pun malas hendak menjawab. Saiyidina Ali pun berkata lagi: Pergilah dari sini engkau, aku merdekakan kerana Allah Ta’ala. 

Sekali peristiwa, pernah seorang wanita memanggil Malik bin Dinar (seorang perawi Hadis yang terkenal – pent) katanya: Wahai orang yang banyak riya’! Maka dijawab oleh Malik bin Dinar: Wahai ibu! Sebenarnya engkau telah mengingatkan aku semula namaku yang telah dilupai oleh seluruh penduduk Basrah. 

Demikianlah contoh-contoh jiwa yang telah direndahkan dengan latihan, sehingga menjadi lurus budi pekertinya dan bersih suci kebatinannya dari segala penyakit penipuan, kepalsuan dan hasad dengki. Jiwa yang serupa inilah yang akan menghasilkan keredhaan dengan segala yang ditentukan oleh Takdir Allah Ta’ala dan itulah yang dikatkan setinggi-tinggi keluhuran budi pekerti. 

Page 15: Budi Pekerti.doc

Oleh itu orang yang tiada menemui tanda-tanda ini dalam dirinya, jangan pula ia bermegah diri, sehingga menyangka yang ia bersifat dengan budi pekerti dan akhlak yang luhur. Sebaliknya hendaklah ia bertekun bersungguh-sungguh dalam melatih dirinya, dan berjuang menahan hawa nafsunya, sehingga ia berjaya pula mencapai darjat keluhuran budi pekerti dan akhlak. Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu darjat yang paling tinggi, yang tidak akan dicapainya, melainkan setelah ia sampai ke darjat para muttaqin dan shiddiqin.  Melengkapkan anak dengan budi pekerti yang baik sejak kecil  

Ketahuilah bahwa jalan untuk mendidik anak-anak kecil dan melatih mereka dengan budi pekerti yang terpuji adalah di antara perkara-perkara yang terpenting dan amat perlu. 

Anak-anak itu adalah amanat di tangan kedua ibu bapa. Hatinya yang suci laksana mutiara yang berharga, indah, bersih dari segala gurisan dan bentuk. Ia akan menerima apa saja yang dibuat kepadanya dan condong kepada apa yang ditarik kepadanya. Tegasnya jika dibiasakan anak-anak itu dengan perbuatan-perbuatan baik yang diajarkan kepadanya, ia akan besar dalam keadaan itu, sehingga berbahagialah kehidupannya dunia akhirat. Kedua ibu bapa, guru, pendidik dan semua orang yang turut mengasuhnya akan bersyarikat dalam mendapat pahala dari Allah Ta’ala. Sebaliknya, jika anak-anak itu dibiasakan dengan perbuatan-perbuatan yang jahat dan dicuaikan pendidikannya seperti kehidupan binatang yang terbiar, tentu sekali ia akan menjadi celaka dan binasa, dan dosanya juga turut terpikul ke atas punak walinya atau penanggungjawabnya. 

Dalam hal ini, Allah Ta’ala telah berfirman: 

“Wahai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at Tahrim: 6) 

Kalau ayah bersungguh-sungguh untuk melindungi anaknya dari api dunia, maka melindunginya dari api akhirat lebih penting dan utama lagi. Cara melindungi anak itu ialah dengan memberinya pendidikan dan pengajaran yang baik, dan membiasakannya dengan segala akhlak dan budi pekerti yang terpuji, memeliharanya dari pergaulan dengan kawan-kawan jahat. Ayah tidak usah selalu membiasakan anak-anak dengan kesenangan yang berlebih-lebihan, ataupun mengikutkan kemahuan anak-anak dalam serba-serbi kemewahan dan perhiasan diri, kelak anak-anak itu akan menghabiskan umurnya berkecimpung dalam menuntut kemewahan dan kesenangan bila ia dewasa kelak, yang mana ini akan menarik mereka kepada kebinasaan yang berterus-terusan. 

Yang paling perlu sekali, ialah ibu bapa harus memerhatikan pendidikan anak-anak sejak mula pertumbuhannya. Mereka tiada mengupah orang untuk mengasuh atau menyusukan anak, kecuali seorang perempuan yang saleh, baik urusan agamanya, makan hanya yang halal saja. 

Apabila dilihat ada tanda tamyiz (kepandaian) pada anak itu, maka hendaklah ia memperketatkan lagi pengawasan terhadapnya. Permulaannya tanda-tanda tamyiz ialah tumbuhnya sifat malu pada diri. Sebab jika ia sudah pandai malu dan segan meninggalkan sebahagian dari kelakuan-kelakuan yang tertentu, maka itulah tanda-tanda terbitnya cahaya pemikiran di dalam akalnya. Dan ini juga adalah gejala-gejala baik yang menunjukkan bahwa akhlak anak itu telah lurus dan hatinya telah bersih. Anak yang pemalu tidak seharusnya dibiarkan begitu saja, malah

Page 16: Budi Pekerti.doc

hendaklah ia dibantu dengan menambah lagi pendidikan dalam sikap malunya dan tamyiznya. 

Sifat yang mula-mula akan menonjol pada anak-anak ialah kegelojohan dengan makanan. Ia harus dididik dengan cara-cara dan adab sopan menghadapi makanan, iaitu: 

(1)               Jangan mengambil makanan, melainkan dengan tangan kanan saja.

(2)               Membaca Bismillah bila menyuap makanan(3)               Mengambil makanan yang ada di hadapannya saja.(4)               Jangan tergesa-gesa mengambil makanan sebelum orang lain

mengambilnya(5)               Jangan meliarkan pandangan kepada makanan, ataupun meneliti

muka orang yang sedang makan.(6)               Jangan terlalu cepat bila memakan(7)               Mengunyah makanan baik-baik sebelum ditelan(8)               Jangan terlalu cepat menyuap makanan(9)               Jangan sampai mengotorkan tangan dan pakaian dengan

makanan itu.(10)          Membiasakan makan roti tanpa lauk-pauk pada setengah-setengah

waktu, supaya seleranya tidak memandang wajib adanya lauk-pauk dalam makanan.

  Ibu bapa harus mengingatkan kepada anak-anak, bahwa banyak makan itu

adalah sifat yang tercela, dan mengumpamakan orang yang makan banyak iyu seperti binatang. Jika terdapat seorang anak yang suka makan banyak, hendaklah ia dicela di hadapan anak-anaknya yang lain. Dan ia memuji pula anak yang pandai menjaga adab dalam menghadapi makanan, dan anak yang makannya sedikit.

  Ibu bapa harus membiasakan anak-anak supaya suka mendahulukan orang

lain dalam hidangan makanan, dan mendidiknya supaya jangan menajamkan pandangan kepada hidangan makanan, dan supaya selalu bersikap puas dengan makanan yang ada saja, yakni tidak terlalu cerewet.

  Ibu bapa harus tidak menggalakkan anak-anak lelaki memakai pakaian yang

berwarna-warni, ataupun memakai pakaian sutera dan menyatakan kepada mereka, bahwa pakaian berwarna-warni atau sutera itu adalah pakaian kaum wanita, ataupun pakaian orang pondan. Orang lelaki harus merasa malu bila memakai pakaian serupa itu. Hal ini hendaklah diingatkan kepada anak-anak itu berulang kali. Setiap kali mereka melihat seorang anak lelaki memakai pakaian sutera ataupun pakaian yang berwarna-warni maka hendaklah ia mengingkari dan mencelanya.

  Hendaklah ibu bapa memelihara anaknya daripada bercampur gaul dengan

budak-budak yang telah dibiasakan dengan kehidupan bersenang-lenang dan bermewah-mewahan atau memakai pakaian yang indah-indah. Ibu bapa juga harus melindungi anak-anaknya dari orang yang memperdengarkan kepadanya sesuatu yang amat disukai oleh anak itu. Sebab apabila anak itu tidak dikawal sejak dari mula, niscaya ia akan dikuasai oleh berbagai-bagai sifat yang rendah, seperti buruk budi pekerti, pendusta, pendengki, pencuri, pencaci, suka meminta dengan paksaan, suka menjaga tepi kain orang, banyak ketawa, banyak tipu daya dan suka membuat sesuatu yang tidak berguna. Maka seharusnya anak itu diberikan perlindungan dari segala sifat-sifat yang tersebut di atas tadi; iaitu dengan jalan mendidiknya dari permulaan pertumbuhannya.

 

Page 17: Budi Pekerti.doc

Kemudian anak itu hendaklah di hantar ke sekolah, supaya ia belajar al-Quran dan Hadis-hadis Rasulullah s.a.w., mendengar cerita-cerita para salihin dan sejarah kehidupan mereka, agar tertanam di dalam hatinya kecintaan terhadap orang-orang yang mulia itu. Hendaklah ia dijaga supaya tidak membaca atau mendengar syair-syair yang melukiskan gambaran asyik-ma’syuk dan orang-orang bercinta-cintaan, kerana yang demikian itu akan menumbuhkan benih-benih kerosakan di dalam dirinya.

  Seterusnya bila terlihat pada anak itu semacam budi pekerti yang indah dan

kelakuan yang terpuji, maka hendaklah anak itu dimuliakan dan dibalas dengan sesuatu yang boleh menggembirakan hatinya dan dipuji kelakuannya yang baik itu di hadapan orang ramai. Tetapi jika ia terlanjur sesekali dalam setengah-setengah perkara, maka hendaklah berpura-pura terlupa atau tidak ternampak akan kelakuannya yang salah itu. Dan jangan sekali-kali memalukan anak itu atau membuka rahsianya, dan janganlah menampakkan keadaannya bahwa orang lain ada yang berani melakukan sepertinya. Terutama sekali bila anak itu telah mencuba untuk menutup keaibannya, dan bersunguh-sungguh cuba menyembunyikan kekhilafannya. Sebab membuka rahsianya mungkin akan menimbulkan perasaan tindak balas dari anak itu, sehingga ia menjadi berani mengulangi kelakuan yang salah itu, meskipun diancam untuk didedahkan kesalahan itu kepada orang ramai.

  Tetapi sekiranya ia mengulangi lagi perbuatan salah itu bagi kali kedua maka

sebaliknya hendaklah ia ditegur secara rahsia dan menyatakan bahwa perkara yang dibuatnya itu tidak patut dibuat oleh seseorang sepertinya. Kemudian hendaklah ia diingatkan sekali agar jangan kembali melakukan perkara seperti itu lagi, nanti apabila diketahui oleh orang ramai, kelak kelakuannya akan memalukan dirinya.

  Bila menegur anak janganlah terlalu banyak mencelanya pada setiap waktu,

sebab yang demikian akan menyebabkan telinga si anak menjadi tebal, tidak mengendahkan segala celaan itu, malah ia akan terus berani membuat keasalahan dan segala nasihat yang dihamburkan kepadanya tidak akan meninggalkan apa-apa kesan di dalam hatinya.

  Haruslah seseorang ayah itu bijak mengendalikan cara-cara berbicara dengan

anaknya. Ia tidak menegur atau memarah anaknya melainkan pada masa-masa yang tertentu. Bagi ibu pula harus pandai juga memainkan peranannya, iaitu dengan mengingatkan si anak supaya bersifat segan kepada ayah dan menegahnya supaya menjauhi segala kelakuan yang buruk.

  Anak mestilah dilarang dari tabiat suka tidur pada siang hari, sebab yang

demikian akan menghidupkan tabiat malas dalam dirinya. Tetapi jangan ditahan anak tidur pada malam hari hanya biarlah tempat tidurnya dari tilam yang kasar supaya segala anggota badannya menjadi keras dan kuat, dan tubuhnya tidak gemuk, akhirnya ia menjadi manja dengan keadaan segala macam yang kasar seperti tempat tidur yang kasar dan pakaian yang kasar.

  Seterusnya seorang mestilah dilarang dari berbuat sesuatu secara rahsia,

sebab tidak ada sesuatu yang dilakukannya secara rahsia, melainkan ia yakin bahwa perkara itu tak baik diketahui oleh ibu bapanya. Jika sekiranya ia di larang, niscaya ia tidak akan membiasakan dirinya berbuat sesuatu yang tak baik.

  Pada siang hari, hendaklah ia dibiasakan berjalan-jalan, bergerak badan dan

berolahraga, supaya badannya tidak dikuasai oleh sifat malas. 

Page 18: Budi Pekerti.doc

Juga hendaklah anak itu dibiasakan agar tidak mendedahkan kepala tangan dan kakinya tidak terlalu cepat berjalan, tidak suka membanggakan diri ke atas rakan-rakannya dalam soal makanan dan pakaian, tetapi hendaklah ia membiasakan merendah diri dan menghormati sekalian orang yang bergaul dengannya, serta berlemah-lembut bila berbicara kepada mereka.

  Juga hendaklah anak itu dilarang mengambil balik sesuatu barang yang telah

diberikan kepada anak-anak yang lain. Dan hendaklah diajarkan kepadanya bahwa sifat mulia diri itu boleh didapati dengan memberi bukan mengambil. Menerima sesuatu dari orang lain itu adalah tercela, terhina dan rendah darjat dan sifat itu adalah kebiasaan anjing yang selalu mengibas-ngibaskan ekornya menunggu sesuatu suap dan terasa gelojoh kepada makan yang ditunggunya itu.

  Seterusnya hendaklah diajarkan kepada anak-anak itu, supaya jangan terlalu

mencintai emas dan perak serta menunjukkan sikap tamak terhadap barang-barang itu. Dan dilarang mereka dari keduanya lebih dari ditakutkan tentang ular dan kala jengking. Sebab bahaya mencintai emas dan perak itu lebih dasyat daripada bahaya racun terhadap anak-anak masih muda itu, bahkan sama bahayanya terhadap orang-orang dewasa juga.

  Selanjutnya anak-anak itu harus jangan dibiasakan berludah ketika di dalam

sesuatu majlis atau membuang hingus atau menguap di hadapan orang ramai. Jangan mereka membelakangi orang bila duduk, jangan meletak kaki atas kaki, jangan bertopang dagu, jangan menyandarkan kepala di atas lengan, kerana yang demikian itu adalah sifat orang pemalas.

  Hendaklah anak-anak itu diajarkan cara-cara duduk dalam majlis-majlis,

dilarang banyak bicara dan diingatkan kepadanya bahwa banyak bicara itu menandakan buruknya budi pekerti, dan itu adalah kelakuan anak-anak yang jahat.

  Hendaklah anak-anak itu dilarang dari tabiat suka bersumpah sama ada benar

atau pun bohong, supaya mereka tiada terbiasa dengan bersumpah sejak kecil lagi. Dibiasakan supaya selalu mendengar baik-baik tutur bicara orang lain yang lebih dari tua dari mereka. Hendaklah ia bangun untuk menghormati orang yang lebih tua, dan meluaskan tempat duduk baginya seraya duduk menghadapinya pula. Di larang berbicara kotor ataupun bual kosong. Di larang melaknat dan memaki serta dihalangi daripada bercampur gaul dengan orang-orang yang suka melaknat dan memaki, sebab tabiat itu tidak syak lagi akan menjangkitinya, dan akhirnya ia tergolong pula ke dalam teman-teman yang jahat, padahal pokok pendidikan bagi anak-anak ialah menjauhi mereka daripada teman-teman yang jahat.

  Sewajarnyalah sesudah anak-anak itu kembali ke sekolah diizinkan supaya

mereka bermain-main permainan yang baik, agar mereka boleh berehat dari penat lelah belajar di sekolah. Sebab melarang anak-anak dari bermain serta memaksanya terus belajar tanpa rehat akan mematikan hatinya dan melenyapkan kecerdasannya serta mengeruhkan kehidupannya. Akhirnya mereka akan mencuba dengan berbagai-bagai tipu daya untuk melepaskan diri dari belajar sama sekali.

  Sewajarnyalah juga diajarkan kepada anak-anak itu, supaya selalu mentaati

kedua ibu bapa dan mematuhi perintah guru atau pendidik dan seterusnya terhadap semua orang yang lebih tua daripada mereka, sama ada dari golongan kaum kerabat sendiri mahupun orang luar. Hendaklah ia memandang kepada mereka dengan pandangan penuh penghormatan dan ta’zaim, dan meninggalkan permainan di hadapan mereka sekalian.

 

Page 19: Budi Pekerti.doc

Apabila sampai saja kepada umur mumaiyiz (pandai), maka sudah wajib mereka dijaga tentang soal taharah (kesucian) dan sembahyang, supaya tidak dicuaikan. Diperintahkan mereka berpuasa pada sebahagian Ramadhan. Diajarkan mana-mana yang perlu dari batasan-batasan syara’. Diingatkan juga supaya jangan berani, mencuri memakan yang haram, berbuat khianat, berdusta, melakukan perkara-perkara keji dan sebagainya.

  Apabila pendidikan anak yang kecil diusahakan seperti yang disebutkan di

atas tadi, niscaya apabila ia menjadi dewasa, ia akan kenal akan mengetahui semua rahsia-rahsia kelakuan yang diajarkan kepadanya sewaktu kecil itu.