batas minimal usia cakap hukum dalam undang –...
TRANSCRIPT
BATAS MINIMAL USIA CAKAP HUKUM DALAM UNDANG – UNDANG
NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DITINJAU
DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
IBNU ABBAS
NIM : 107043203264
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433 H / 2011 M
BATAS MINIMAL USIA CAKAP HUKUM DALAM UNDANG - UNDANG
NO. 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
IBNU ABBAS
NIM : 107043203264
Dosen Pembimbing
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A
NIP : 197608072003121001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433 H / 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1.) Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.) Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.) Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 03 Desember 2011
Ibnu Abbas
I
KATA PENGANTAR
الرحیم الرحمن اهللا بسم
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu yang telah memberikan Rahmat, Kasih Sayang-Nya.
Dialah sumber tempat bersandar, dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas
karena Rahman dan Rahimnya tetap menghiasi asma-Nya. Sehingga penulis
diberikan kekuatan fisik dan psikis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Sayyidina Nabiyyina
Muhammad SAW Serta keluarga, sahabat dan seluruh umatnya yang senantiasa setia
mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.
Merupakan suatu kebahagiaan yang tak terkira bagi penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, walaupun dalam penulisan ini banyak kendala dan
hambatan yang dihadapi. Penulis menyadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi
berbagai persoalan yang menggangu kelancaran dalam penulisan skripsi ini, tanpa
adanya bantuan dan dorongan motivasi yang bersifat materiil maupun sprituil baik
langsung maupun tidak langsung.
Selama masa perkuliahan ini hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini,
banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi bagi penulis. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini secara khusus penulis haturkan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :
II
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Sekretaris Prodi
Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum.
4. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., selaku Dosen Pembimbing
yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi
penulisan skripsi ini guna mendapatkan skripsi yang lebih baik.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum yang telah membekali
penulis dengan berbagai wawasan ilmu pengetahuan dari awal hingga
akhir masa studi ini.
6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah membantu penulis
mendapatkan referensi dan memberikan fasilitas bagi penulis dalam
mengadakan studi perpustakaan.
7. Kedua Orang Tua Penulis yang tercinta, Ayahanda Mashur dan Ibunda
Atiyah yang rela memberikan segala pengorbanannya baik harta dan jiwa
demi membesarkan penulis agar dapat hidup tumbuh bahagia.
III
8. Keluarga Besar pamanku yang tiada henti memberikan motivasi dan
dorongan semangat dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
9. Saudara dan saudari ku tercinta yang telah banyak membantu memberikan
bantuan moril dan sprituil pada penulis dalam penulisan ini.
10. Teman-teman satu angkatan 2007 Konsentrasi Perbandingan Hukum (PH)
yang telah banyak membantu dalam bertukar pikiran (sharing), berkat
inspirasi dan bantuannya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
11. Sahabat-sahabatku kelompok SHEGA Team yang telah memberikan
motivasi dan semangatnya pada penulis.
Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu telah turut
membantu demi kelancaran dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Semoga segala
kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang setimpal serta mendapatkan
Ridha-Nya. Amin.
Jakarta, 03 Desember 2011
Muharram 1433 H
Ibnu Abbas
IV
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... I
DAFTAR ISI ........................................................................................................ IV
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 7
D. Metode Penelitian .................................................................... 8
E. Review Studi Terdahulu ........................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 12
BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG MENDIDIK ANAK
A. Pengertian Hadhanah................................................................ 14
B. Hak Anak dan Tanggung Jawab Orang tua Dalam Mendidik .... 19
C. Tantangan Orang tua Dalam Mendidik Anak………………….27
BAB III TINJAUAN UMUM ATAS KENAKALAN ANAK
A. Pengertian Anak ...................................................................... 34
B. Kecenderungan Kenakalan Anak .............................................. 38
C. Faktor-faktor Anak Melakukan Kenakalan ............................... 41
V
BAB IV PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP BATAS MINIMAL
USIA CAKAP HUKUM ANAK DALAM UU No. 3 TAHUN 1997
A. Ketentuan Batas Minimal Cakap Hukum Anak Dalam
UU no. 3 tahun 1997 dan Peraturan lainnya .................................. 47
B. Batas Minimal Cakap Hukum Anak Menurut Hukum Islam ..... 61
C. Perspektif Hukum Islam Terhadap UU no. 3 tahun 1997 ........... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 75
B. Saran ........................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada sebuah pepatah mengatakan bahwa sebuah masa depan bangsa sangat
ditentukan oleh generasi penerusnya yakni peran dan perilaku pemudanya. Selain itu
mereka sangat memiliki andil yang besar untuk melanjutkan cita-cita bangsa. Anak
dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena anak
merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak dalam generasi muda juga ada
yang disebut remaja dan dewasa.
Menurut Zakiah Darajat generasi muda terdiri atas masa kanak-kanak umur
0-12 tahun, masa remaja umur 13-20 tahun dan masa dewasa umur 21-25 tahun.
Masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga tahap yakni masa bayi umur 0-2 tahun, masa
kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun, dan masa kanak-kanak terakhir umur 5-12
tahun.1
Pembicaraan sampai usia berapa seseorang tergolong anak banyak undang-
undang yang berlaku di Indonesia tidak seragam batasannya. Dalam undang-undang
no. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang disebut anak sampai batas usia
sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dan kemudian dalam
undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan membatasi usia anak dibawah
kekuasaan orang tua sebelum mencapai 18 tahun dan dalam konvensi PBB tentang
1Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Djambatan, 2007. cet III)h.1
2
hak-hak anak yang ditandatangani oleh pemerintah tanggal 26 januari 1990 batasan
umur anak adalah dibawah umur 18 tahun.2
Hak anak adalah bagian dari hak azasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
Negara. Hal ini berarti kita tidak boleh memandang anak hanya sekedar sebagai
obyek atas nama apapun termasuk hukum kemudian diperlakukan tidak baik dan
sewenang-wenang saja, hukum dalam kaitannya dengan kasus pidana anak
hendaklah tetap menyatu dengan hati nurani yang jernih.3
Pembedaan ancaman pidana anak ditentukan oleh KUHP yang penjatuhan
pidananya ditentukan paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana orang dewasa
sebagai contoh delik pencurian diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun maka
seorang anak dikenakan selama 2 tahun 6 bulan, sedangkan penjatuhan pidana mati
dan seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.4
Mayoritas anak yang berhadapan dengan hukum terutama yang sampai pada
lembaga pengadilan tetap divonis bersalah dan dihukum penjara walaupun
perbuatannya hanya sebatas kejahatan ringan. Orang menjadi tidak lebih baik tetapi
justru menjadi lebih jahat setelah menjalani pidana penjara terutama apabila pidana
penjara ini dikenakan kepada anak-anak. Sehubungan dengan hal ini sering pula
diungkapkan bahwa rumah penjara merupakan perguruan tinggi kejahatan atau pabrik
2Ibid h.5 3B. Simanjuntak,Latar Belakang Kenakalan Anak,. (Jakarta: Akasara Baru, 1984.) h.50 4 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006. cet I) h.3
3
kejahatan.5 Di lapangan hukum pidana, anak-anak diperlakukan sebagai orang
dewasa kecil sehingga proses perkaranya di lembaga pemasyarakatan dilakukan sama
dengan perkara orang dewasa. Hal yang paling transparan dalam pemeriksaan, begitu
petugas memeriksa terdakwa yang masih anak-anak diperlakukan sama dengan
orang dewasa bahkan kadang-kadang dengan cara dibentak dipukul, ditakuti atau
bahkan dengan kekerasan. Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu sidang di
pengadilan, untuk perkara pidana anak sidang dilakukan secara tertutup.6
Terkait dengan penerapan Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak maka patut menjadi perhatian semua, bahwa anak-anak yang
dihukum penjara di Indonesia semakin besar jumlahnya. Menurut catatan UNICEF,
jumlahnya telah mencapai lebih dari 4000 orang anak per tahun. Padahal sebagian
besar mereka adalah hanya melakukan kejahatan ringan.7 Banyak anak-anak yang
dipenjara dengan masa kurang dari 1 tahun. Mereka kemudian menjalani pidananya
di dalam Rumah Tahanan Negara / lapas bahkan terdapat 529 orang anak yang
berada dilapas berusia dibawah 12 tahun.8
Sebagaimana yang ditegaskan dalam Konvensi Hak-hak Anak (Convention on
the Rights of the Child) pasal 37 huruf b Resolusi No. 109 maupun peraturan
minimum standar PBB tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak resolusi No. 40/33
5 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010. cet
I)h.124-125 6Lihat Pasal 153 ayat 3 KUHAP 7www.Politik.Kompasiana.com/2010/04/29/Perlindungan Anak diIndonesia dan Solusinya
/html diakses pada tanggal 21 juni 2011 8www.KPAI.go.id/artikel/190/alternatifPemidanaan Restorative Justice Bagi Anak Berkonflik
Dengan Hukum./ html diakses pada tanggal 21 juni 2011
4
tanggal 29 november 1985 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 Dinyatakan: “penangkapan, penahanan, dan
pemenjaraan haruslah menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak
yang berkonflik dengan hukum dan untuk jangka waktu yang terpendek atau untuk
waktu yang sesingkat-singkatnya”. Perlindungan terhadap anak secara yuridis
merupakan upaya yang ditujukan untuk mencegah agar anak tidak mengalami
perlakuan yang diskriminatif / perlakuan salah (Child Abused) baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam rangka menjamin kelangsungan hidup, tumbuh, dan
perkembangan anak secara wajar baik fisik maupun mental dan sosial.
Selanjutnya tindakan jahat anak dimasa sahabat rasulullah saw diketahui pada
sebuah kasus. Abdurarazaq telah meriwayatkan dari Muhammad bin Hayyun ia
berkata bahwa: Ibnu Shaibah telah menuduh seorang wanita bahwa rambutnya
(wanita) berbeda dengan rambut orang tuanya yang tertuduh, kemudian perkaranya
diajukan pada Umar bin Khattab r.a. Beliau (Umar) memerintahkan kata-katanya
lihatlah disekitar kemaluannya, ternyata anak tersebut belum tumbuh rambut
kemaluannya. Umar berkata kepada anak itu (ibnu Abi Shaibah) kalau saja terbukti
telah tumbuh rambut kemaluanmu pastilah aku akan menjilidmu.9
Kasus diatas belum begitu terang apakah dalam hukum
Islam membebaskan anak begitu saja atau ada sanksi lain atau diberikan ta’zir
kepada anak itu apa bentuk ta’zir yang cocok serta umur berapa diterapkan ta’zir itu.
Disisi lain mayoritas umat Islam memahami aturan untuk kejahatan ada dan cukup
9Ruway’i al-Ruhaily, Fiqh Umar I, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1983.) h.173
5
sederhana bahkan dipahami anak-anak diberikan pembebasan dalam pertanggung
jawaban hukum sebagaimana yang terdapat pada hadis Rasulullah saw :
رفع القلم عن ثالثة : عن النا ئم حتى یستیقظ وعن الصبي حتى یحتلم وعن المجنون حتى یعقل (رواه ابوا دود)
Artinya : “Bebas dari hukuman tiga orang yaitu : orang tidur sampai ia bangun, anak-anak sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar / berakal”(H.R Abu Daud).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa apabila anak kecil yang belum baligh
melakukan jarimah, maka tidak dikenakan hukuman. Ketentuan mengenai orang
tidur, anak-anak dan orang gila menurut Haliman mengatakan bahwa mereka itu
adalah orang-orang yang tidak berakal dan mereka itu bukanlah mukallaf.10
Abdul Qadir Audah memberikan penjelasan tentang anak-anak yang belum
dewasa, bahwa apabila anak menjelang dewasa saat berusia 7 sampai 15 tahun lalu ia
melakukan pidana dengan niat merugikan orang lain maka ia tidak dikenakan
pertanggungjawaban pidana, hanya saja dikenakan hukuman pengajaran. Sedangkan
apabila ia telah dewasa (baligh) yakni antara 15 tahun, baru ia dikenakan
pertanggungjawaban pidana.11
Salah satu persoalan mendesak untuk memperoleh perhatian yang serius
adalah penanganan pemidanaan anak yang dalam proses peradilan cenderung
terjadi pelanggaran hak azasi manusia, bahkan bukti menunjukkan praktek kekerasan
dan penyiksaan terhadap anak yang masuk pengadilan. Padahal seorang anak
10Haliman, Pidana Syari’at Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971.) h.171-215 11Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al -Jinai al- Islami Muqaranah (Beirut: Mussasah al-Risalah,
1992.) h.602
6
belum pantas menjalani proses pengadilan, bahkan penjara bukanlah merupakan
solusi terakhir bagi anak karena akan menghilangkan hak-hak anak seperti hak
memperoleh pendidikan, hak kesehatan, hak berkomunikasi dengan orang tua, dan
stigma yang melekat pada anak setelah proses pengadilan.
Kasus pidana yang dilakukan seorang anak banyak kalangan menilai tidak
mengindahkan tata cara penanganan terbaik dan demi kepentingan terbaik bagi anak
oleh karena itu pemberian hukuman bukan berarti balas dendam dan jalan terakhir
apabila seorang anak terlibat kasus kejahatan.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan kajian
penelitian dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “ Batas Minimal Usia
Cakap Hukum Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam“
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Meskipun Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah
berlaku sejak lama, bukan berarti menjadi celah bagi aparat penegak hukum dapat
memperlakukan anak secara tidak baik dan dapat dengan mudah melakukan
penyimpangan terhadap isi aturan yang telah dibuat khususnya dalam menanganii
perkara anak. Agar lebih terarah, maka penulis membatasi masalah yang dibahas
yaitu tentang peninjauan dari perspektif hukum Islam terkait permasalahan anak usia
8-18 tahun yang dapat dipidana dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997.
7
Perumusan masalah adalah sebagai berikut:
1). Berapa batas minimal usia seseorang anak dapat bertindak cakap hukum baik
dari hukum Islam dan hukum Positif?
2). Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap ketentuan batasan usia cakap
hukum dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ilmiah bertujuan untuk menemukan mengembangkan
dan menguji kebenaran atas suatu obyek penelitian. Mengembangkan berarti
mengkaji lebih dalam apa yang akan atau sudah ada sedangkan menguji kebenaran
dilakukan jika terdapat kerugian terhadap apa yang akan terjadi yang sudah ada
sebelumnya.
Adapun tujuan yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut:
1). Untuk mengetahui batas minimal seorang anak yang dapat dikenakannya
sanksi pemidanaan.
2). Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap ketentuan batasan usia
cakap hukum anak dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997.
Manfaat dalam penelitian ini
8
●Manfaat Praktis : Sebagai sumbangsih kepada pemerintah dalam menentukan
sebuah kebijakan khususnya yang berkaitan dengan pengadilan anak serta bahan
informasi sekaligus sebagai kontribusi pemikiran tentang usia cakap hukum dalam
perspektif Islam. Sekaligus memberikan jalan keluar mengenai penyelesaian
kasus pidana anak demi kepentingan terbaik bagi anak.
●Manfaat Akademis : Sebagai kesempatan pada penulis untuk menerapkan teori
maupun prinsip hukum baik dari hukum Islam maupun hukum Positif yang telah
dipelajari dalam perkuliahan.
Sebagai perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan
hukum pidana guna bermanfaat bagi mahasiswa pada khususnya dan masyarakat.
Selanjutnya guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Untuk sampai pada rumusan yang tepat terhadap kajian yang dibahas maka
metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian data yang digunakan penulis disini adalah dengan
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, selanjutnya digunakan
pembahasan deskriptif analisis. Kemudian penelitian ini akan
mengkombinasikan pendekatan normatif dengan studi perpustakaan (library
9
research). Pendekatan normatif yakni kajian kepustakaan yang bertujuan
mengeksplorasi dan memahami berbagai konsep yang berkaitan dengan tema
penulis yang dilakukan agar mendapatkan data seluas mungkin dengan
mengacu kepada teori yang sudah dijelaskan pada kajian teoretis.
2. Sumber data
a. Data primer
Perundang-undangan yakni peraturan hukum yang berkaitan dengan topik
yang dibahas dalam penulisan ini yakni Undang-undang No. 3 tahun 1997
tentang pengadilan anak, KUHP dan KUHAP, dalil-dalil yang terdapat
dalam al-Qur’an dan al Hadis.
b. Data sekunder
Data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini mengacu
pada beberapa literature berupa buku-buku hukum yang ada kaitannya
dengan materi yang menjadi pokok masalah yang akan dibahas dan
pengunaan internet.
3. Teknik pengumpulan data
adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yakni :
a. Studi pustaka
Dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah buku-buku yang berkaitan
dengan judul skripsi ini baik berupa peraturan perundang-undangan
maupun buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
10
b. Penggunaan bahan dokumen
Dengan menelaah dan memahami objek kajian yang berhubungan dengan
judul skripsi ini.Adapun teknik pengumpulan datanya yaitu melalui
observasi langsung ke objek penelitian.
4. Teknik analisis data
Data skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni pendekatan isi content
analisis yang menekankan pengambilan dari kesimpulan analisa yang bersifat
deskriptif dan deduktif seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan dari
bentuk yang bersifat umum kemudian dikaji dan iteliti selanjutnya ditarik
kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan
mengenai data tersebut.
5. Teknik penulisan skripsi
Teknik penulisan skripsi menggunakan buku pedoman penulisan skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.12
E. Review Studi Terdahulu
“Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam
Madzhab”13 Skripsi ini membahas mengenai batas usia melakukan perkawinan
menurut Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan didalam KHI
12Tim Penyusun Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulllah Jakarta, 2007
13 Haris Santoso, Batas Minimal Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam Mazhab. Skripsi S1 Program Studi Ahwal al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
11
yang menetapkan bahwa usia laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun akan
tetapi di dalam fiqih tidak disebutkan dalam bentuk angka karena agama islam tidak
membatasi usia tertentu dalam melakukan perkawinan oleh karena itu ditinjau
kembali pada dua sudut pandang yang berbeda yaitu dari hukum islam dan hukum
positif.
“ Batas Usia Dewasa untuk Menikah Menurut Undang-undang no. 1 tahun
1974 Ditinjau Dari Segi Hukum Islam”.14 Skripsi ini membahas mengenai tentang
batasan usia dewasa yang dibolehkan untuk menikah menurut Undang-undang No. 1
tahun 1974 ditinjau dari hukum Islam dan apa pandangan tentang aturan tersebut
yang juga merupakan menjadi pembahasan dari MUI se-Indonesia.
“Penetapan Batas Minimal Usia Nikah serta Relevansinya Dengan Pembentukan
Keluarga Sakinah (Studi Kasus Warga Kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan)”.15
Skripsi ini membahas tentang bahwa kematangan fisik atau organ refroduksi
seseorang wanita pada usia 21 tahun keatas yang tidak sesuai dengan usia yang telah
ditetapkan oleh undang-undang serta pernikahan usia muda yang dapat memicu
keretakan rumag tangga dan berakhir pada perceraian dan bagaimana mempersiapkan
diri untuk menikah agar tidak berakhir pada perceraian.
14Muhammad Syarief Hidayatullah. Batas Usia Dewasa Untuk Menikah Menurut Undang-
undang no. 1 tahun 1974 ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi S1 Program Studi Perbandingan madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
15Hidayatunnisa. Penetapan Batas Minimum Usia Nikah serta Relevansinya Dengan Pemben -tukan Keluarga Sakinah (Studi Kasus Warga Kelurahan Cipete Selatan Jakarta Selatan). Skripsi S1 Program Studi Ahwal al Syakhshiyah. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta, 2010
12
Dari berbagai karya tulis diatas seringkali batas usia menjadi fokus masalah
yang menarik untuk dikaji lebih jauh, karena dalam islam bahwa ukuran usia hanya
berdasarkan sifat alamiah. Oleh karena itu penafsiran akan usia seseorang yang dapat
disebut dewasa berbeda-beda pendapat. Sebagai contoh angka usia untuk melakukan
pernikahan hanya berdasarkan pada Undang-undang No. 1 tahun 1974, laki-laki
berusia 19 tahun dan wanita saat berusia 16 tahun. Hanya saja usia yang ditentukan
dalam pernikahan terkait pada bidang hukum perdata semata. Oleh karena itu penulis
melihat sisi lain yang menarik untuk dibahas dalam hal hukum pidana bagaimana
batasan minimal usia cakap hukum bila ditinjau dari perspektif hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Dalam upaya memudahkan penyusunan skripsi ini serta agar lebih terarah
maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :
Pada Bab I merupakan bagian Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan,
Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Pada Bab II adalah Kajian Teoretis Tentang Mendidik Anak yang akan
menjelaskan tentang Pengertian Hadhanah, Hak anak dan Tanggung Jawab Orang
Tua Dalam Mendidik, Tantangan Orang Tua dalam Mendidik Anak.
Pada Bab III adalah Tinjauan Umum Atas Kenakalan Anak yangakan
menjelaskan tentang Pengertian Anak Nakal, Kecenderungan Kenakalan Anak,
Faktor-faktor Penyebab Kenakalan Anak.
13
Pada Bab IV merupakan Perspektif Hukum Islam Terhadap Batas Minimal
Usia Cakap Hukum Anak Dalam UU No.3 Tahun 1997 yang akan menganalisis
tentang Ketentuan Batasan Minimal Usia Cakap Hukum Anak dalam UU No. 3 tahun
1997 dan Peraturan lainnya, Batasan Minimal Usia Cakap Hukum Anak dalam
Hukum Islam, Perspektif Hukum Islam terhadap Ketentuan UU No. 3 tahun 1997.
Pada Bab V adalah bagian Penutup yang meliputi Kesimpulan dan Saran.
14
BAB II
KAJIAN TEORETIS TENTANG MENDIDIK ANAK
A. Pengertian Hadanah
Kata Hadanah berasal dari kata حضنة yang berarti menempatkan sesuatu
diantara ketiak dan pusar1. Seekor burung betina yang mengerami telurnya diantara
sayap dan badannya disebut juga 2حضنة. Hadanah menurut bahasa berarti meletakkan
sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Dalam literatur lain secara etimologi
berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong atau meletakkan
sesuatu dalam pangkuan3. Biasanya sang ibu sering meletakkan anaknya pada
pangkuannya maka dari itu istilah hadhanah digambarkan seperti itu.
Para ulama fiqih mendefinisikan hadanah ialah melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar
tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya
dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya
agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.4 Dalam
literatur fiqh lain hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminology diantaranya :
1Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004. cet IV) h. 391 2Ibid, h.395 3DEPAG RI Ilmu Fiqh Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek
Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta 1984-1985 h. 206 4 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2003) h. 175-176
15
a. Menurut Muhammad Ibnu Ismail al-shan’ani “Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakan”.
b. Menurut Sayyid Sabiq5
“ Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau orang yang kurang berakal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk belum mampu dengan bebas mengurus dirinya sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal supaya menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab.”
c. Menurut imam Abi Zakaria An-Nawawi
“Menjaga anak yang belum mumayyiz dan belum mampu mengurus kebutuhannya sendiri, mendidiknya dengan hal-hal yang bermanfaat dan menjaganya dari hal-hal yang membahayakannya”.
Memelihara anak dalam Islam dikenal dengan istilah hadanah. Hadanah
berarti mendidik dan memelihara anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri
untuk mengurus dirinya, agar menjadi manusia yang hidup sempurna dan
bertanggung jawab. Anak yang sah pernikahannya, berarti beban dan tanggung jawab
dipikul oleh kedua orang tuanya. Hadanah dapat diartikan dengan mendidik dan
memelihara. Mendidik dan memelihara disini adalah menjaga, memimpin dan
mengatur segala hal yang anak-anak itu belum sanggup mengatur dirinya sendiri.6
5Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Daar al Fikri, 1983.) jilid 8 h. 228 6Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga h.391
16
Dasar hukum Hadanah sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At Tahrim : 6)
Ayat di atas paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, mencintai
harta dan anak merupakan fitrah manusia, karena keduanya adalah perhiasan dunia
yang dianugerahkan Sang Pencipta. Kedua, hanya harta dan anak yang shaleh yang
dapat dipetik manfaatnya. Anak harus dididik menjadi anak yang shaleh (dalam
pengertian anfa’uhum linnas) yang bermanfaat bagi sesamanya.7 Yang dimaksud
memelihara keluarga pada ayat diatas adalah yakni mengasuh dan mendidik mereka.
Sehingga menjadi seorang muslim yang berguna bagi Negara. Disamping itu Allah
SWT memerintahkan untuk memelihara keluarganya dari api neraka dan berusaha
agar seluruh anggota keluarga melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-
larangan-Nya termasuk anak.
Pelaksanaan hadanah hukumnya adalah wajib. Apabila anak yang masih
dibawah umur dibiarkan begitu saja dikhawatirkan akan mendapatkan bahaya jika
tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan sehingga anak harus dijaga agar tidak
7www.zaldym.wordpress.com/2010/07/17/ peran-dan-fungsi-orang-tua-dalam-mengembang
kan-kecerdasan-emosional-anak/ diakses tanggal 20 Agustus 2011
17
sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan
dari segala sesuatu yang dapat merusaknya. Menurut Sayyid Sabiq hukum
melaksanakan hadanah terhadap anak adalah wajib sebab apabila mengabaikannya
berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan.8
Kewajiban orang tua merupakan hak bagi anak. Menurut Abdurrazak anak
memiliki hak-hak sebagai berikut
1. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.
2. Hak anak dalam kesucian keturunan.
3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik.
4. Hak anak dalam menerima susuan.
5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemelihraan.
6. Hak anak dalam pemilikan harta benda/ warisan bagi keberlangsungan hidup.
7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Dari pembagian-pembagian hak-hak anak diatas poin yang sangat
diprioritaskan yakni pembagian tentang hak anak dalam mendapatkan asuhan,
perawatan dan pemeliharaan dan hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
sebab ini dapat memiliki akibat-akibat yang penting dalam hukum.
Seseorang yang memiliki rasa kasih sayang, kesabaran, santun dan memiliki
waktu yang cukup dalam kebersamaan dengannya yaitu seorang ibu maka dari itu
8Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnahh. 237
18
Islam menetapkan bahwa wanitalah secara kodrati orang yang tepat dalam
melaksanakan hadanah. Wanita sebagai ibu dari anak-anaknya sebab memiliki sifat-
sifat khusus seperti : sifat halus, lemah lembut, pemurah, penyantun, penyayang.
Seorang ibu lebih baik dalam melaksanakan hadanah, karena kekhususan sifat
yang dimilikinya. Selama anak belum mampu memilih untuk ikut ayah atau ibu bila
terjadi perceraian. Menurut mazhab Hanafi dalam masa hadanah (asuhan) ini
berlangsung selama 7 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan ketika kelak
mereka mencapai usia akil baligh.
Dengan demikian seorang ibu paling memungkinkan memberikan pendidikan,
perawatan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang terhadap anak-anaknya yang
semua itu dilakukan dengan ikhlas, sabar dan penuh tanggung jawab. Oleh karena itu
seorang ibu harus memberikan peranan yang baik dalam membentuk perilaku dan
perbuatan seorang anak hingga memasuki tahapan baligh mereka sudah dapat
memahami dan mengerti mana perbuatan baik dan perbuatan jahat. Maka dengan
begitu anak yang dididik sejak kecil dengan pemahaman dan rasa kasih sayang
seorang ibu akan tertanam kuat nilai-nilai moral dan perbuatan yang baik.
19
B. Hak Anak dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik
Keberhasilan dalam suatu keluarga dalam mengantarkan anak-anaknya dalam
menggapai cita-citanya sebenarnya tidaklah mudah, banyak kendala dan hambatan
yang dihadapi oleh orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab. Bapak adalah
bertugas dan berkewajiban mencari nafkah untuk membiayai hidup anak dan isterinya
sedangkan ibu adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab dalam mengasuh,
mendidik, dan membimbing anaknya agar tidak terjerumus pada perbuatan jahat
disamping bapaknya. Islam pun telah menggariskan tugas masing-masing antara ibu
dan bapak.
Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia dan UNICEF menegaskan
bahwa perawatan ini dalam istilah fiqh disebut dengan Hadanah yaitu menjaga,
merawat dan memelihara anak yang belum mampu memelihara kepentingannya
sendiri sebagi upaya dalam rangka membina kesejahteraan dan kemaslahatan anak.9
Hak-hak anak dalam tanggung jawab ibu adalah hak perawatan dan pendidikan.
Perawatan adalah salah satu aspek dasar dari pemeliharaan kelangsungan hidup
seorang anak.
Perawatan kesehatan mental yang dilakukan seorang ibu terhadap anaknya
berarti pula penanaman pendidikan kesehatan dan mental anak secara tidak langsung,
maka segala usaha ibu dalam memelihara badan dan merawat jiwa anak dari segala
9DEPAG MU dan UNICEF,Pemeliharaan Kelangsungan Hidup Anak, (Jakarta: Rhineka
Cipta, 1999.) h. 23
20
macam gangguan baik lahir maupun bathin akan menjadi bekal bagi anak-anak dalam
menuju pertumbuhan dan perkembangan pisik dan psikisnya dikemudian hari.
Keberhasilan pendidikan seorang anak didalam suatu rumah tangga adalah
tanggung jawab bersama. Namun seorang ibu paling berperan penting dalam
mendidik anak-anaknya di rumah, sebab ia memiliki banyak waktu luang untuk
belajar bersama dan memberikan pemahaman nilai-nilai moral yang baik sehingga
menjauhkan perilaku seorang anak dari perbuatan buruk seperti berbohong, mencuri,
sombong dan berlaku kasar terhadap adiknya. Maka seorang ibu memiliki kewajiban
memenuhi hak pendidikan atas anaknya.
Dengan pendidikan, anak akan dapat mengembangkan potensi-potensi dan
bakat yang ada pada dirinya. Sehingga ia akan menjadi generasi-generasi yang kuat,
kuat dari faktor psikologis maupun fisiologis. Seorang anak merupakan generasi
penerus dari generasi sebelumnya. Setiap generasi ke generasi akan memiliki
pengaruh yang ditimbulkan dari generasi sebelumnya, generasi yang lemah akan
mewariskan kelemahan kepada generasi berikutnya begitu juga dengan generasi yang
kuat akan mewariskan kekuatan kepada generasi sesudahnya. Dengan memenuhi hak
anak atas pendidikan diharapkan akan menjadi generasi yang kuat yang dapat
mewariskan kekuatan pada generasi berikutnya.
Sebagaimana dalam firman-Nya
21
Artinya :dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.(QS. An Nisa : 9)
Abdul Nashih Ulwan menguraikan tentang tanggung jawab para pendidik
terhadap anak didik itu terbagi manjadi 5 bagian yakni :
1. Tanggung jawab pendidikan iman.
2. Tanggung jawab pendidikan akhlak.
3. Tanggung jawab pendidikan pisik.
4. Tanggung jawab pendidikan intelektual.
5. Tanggung jawab pendidikan psikis.10
Disamping itu sejak dini anak harus diajarkan dan dididik harus berbuat pada :
a) Mengajarkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sehingga ia sudah
terbiasa berbuat dan selalu mengingat penciptanya.
b) Mengenalkan hukum halal dan haram dalam melakukan perbuatanya.
c) Menyuruh anak untuk beribadah diusia 7 tahun dan memukulnya diusia 10
tahun.
d) Mendidik anak untuk mencintai Rasul dan ahlul baitnya.
10Abu Bakar al Asyri,Tugas Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Medan Dakwah, 1984.) h. 149
22
Penanaman keimanan pada Allah SWT merupakan pendidikan yang paling
prinsip sebab akan mewarnai seluruh corak kehidupan anak bahkan pendidikan ini
merupakan pondasi dari keseluruhan bidang pendidikan lainnya yang dilaksanakan
pada anak. Setelah pendidikan iman yang kedua adalah pendidikan akhlak yang
paling meresap dalam jiwa anak adalah keteladanan dan tingkah laku yang baik dari
figur seorang ibu. Sebab tanpa keteladanan yang baik akan sulit membiasakan prilaku
baik seorang anak. Banyak contoh perbuatan baik / akhlak mahmudah yang dapat
diajarkan kepada anak, namun yang perlu mendapat perhatian besar dari seorang ibu
pada khususnya diantaranya :
a. Membiasakan berbuat baik kepada bapak dan ibu dengan sikap
menghormati, mendoakan, mematuhi perintahnya.
b. Tidak mudah marah, sabar dan tidak sombong.
c. Membiasakan berlaku adil dalam setiap perbuatan jujur taqwa dan
tanggung jawab.
d. Menanamkan sifat saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Kewajiban berbuat baik kepada orang tua adalah akhlak yang mulia serta
merupakan ajaran syariat Islam yang harus dipatuhi dan diajarkan, akan tetapi
kebanyakan umat pada umumnya lupa dan kadang-kadang melalaikan kewajiban ini.
Melatih sifat penyabar dan tidak mudah marah adalah suatu perbuatan yang sangat
dianjurkan dalam Islam. Penanaman sifat jujur, takwa dan tanggung jawab dimana
dapat melahirkan mental yang teguh dan rasa tanggung jawab terhadap diri si anak.
23
Tanggung jawab pisik meliputi; pertama memilihkan makanan, memenuhi
kebutuhan hidup si anak, sebab makanan halal berarti yang diperbolehkan dalam
Islam baik dari cara mendapatkannya maupun jenis makanannya itu sendiri. Kedua
menghindari penyakit dengan cara selalu membiasakan diri hidup bersih baik dalam
pakaian, perabotan lingkungan dan fasilitas yang dimilikinya. Ketiga
mengembangkan bakat minat dan keterampilan yang dimiliki anak. Sejak kecil orang
tua dapat memperhatikan dan mengetahui bakat yang diminati dan dimiliki seorang
anak, kemudian mengikutsertakan dalam organisasi keterampilan, guna melatih bakat
dan kemampuannya.
Tanggung jawab intelektual / pendidikan akal bahwa upaya didalam
menumbuh kembangkan akal itu dapat dilakukan dengan memberikan pengertian dan
kenyataan baru kepada anak karena bertambahnya pengetahuan maka akalnya akan
tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain itu memberikan latihan yang baik dan
bermanfaat bagi anak dengan adanya latihan merangsang otak dapat berpikir dan
menemukan jawaban. Menempatkan anak pada lembaga pendidikan seperti sekolah
dapat melatih dan mengasah otaknya untuk dapat memahami dan mengerti ilmu
pengetahuan.
Akal merupakan sumber hikmah sumber hidayah cahaya mata hati dan media
kebahagian manusia di dunia dan akhirat.11 Dengan akal kita dapat mengkaji al-
Qur’an untuk disampaikan perintah-Nya, maka itu pula manusia berhak menjadi
11Ahmad al-Mursi Husain, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009.cet. I) h. 91
24
pemimpin dimuka bumi ini. Adanya akalnya tersebut pun manusia menjadi makhluk
yang sempurna, mulia dan berbeda dengan makhluk lainnya :
Artinya :Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S al Isra : 70)
Tanggung jawab terhadap pendidikan psikis. Faktor penting yang harus
dihindari anak ini adalah sifat-sifat minder, penakut, hasud dan marah. Sifat minder
ini merupakan faktor keturunan anak-anak yang bergaul akan lebih merasa percaya
diri dibandingkan anak yang tertutup yang tidak suka bergaul. Bersilahturahmi dapat
bertujuan mengajarkan pada anaknya agar dapat berteman satu sama lain dan bergaul
dengan teman sebayanya.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak merupakan perwujudan atas hak-hak
yang dimiliki oleh seorang anak, karena itu orang tua harus mampu berperan.
Sebagaimana yang diharapkan oleh peraturan dan kasih sayang orang tua terhadap
anak. Tanggung jawab orang tua terhadap anak diatur dalam Konvensi PBB, Undang-
undang No. 1 tahun 1974 dan Undang-undang No. 4 tahun 1979 yakni sebagai
berikut :
25
Dalam Konvensi PBB tentang hak-hak anak hanya terdapat satu peraturan
tentang tanggung jawab orang tua terhadap anak yakni orang tua bertanggung jawab
untuk membesarkan dan membina anak.Negara mengambil langkah membantu orang
tua yang bekerja agar anak mendapat fasilitas dan perawatan.12
Kemudian dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengatur tentang
tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam Bab X pasal 45 – 49 sebagai berikut :
a.) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya. Kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, dan berlangsung terus menerus meskipun perkawinan
kedua orang tua putus.
b.) Orang tua mewakili anak dibawah kekuasaannya, mengenai segala
perbuatan hukum di dalam maupun di luar pengadilan.
c.) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau memindahkan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur sampai
18 tahun atau belum menikah.
d.) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pendidikan kepada anaknya.
Apabila orang tua dicabut kekuasaannya karena akibat perceraian maupun
terbukti melalaikan tanggung jawabnya, tidak menghapuskan kewajiban orang tua
12Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, h. 8
26
yang bersangkutan untuk membiayai, menghidupi, memelihara, dan mendidik
anaknya sesuai dengan kemamampuannya.13
Selanjutnya dalam Undang-undang No. 4 tahun 1979 tanggung jawab orang
tua terhadap anak diatur dalam Bab II pasal 9 dan pasal 10, yang menyebutkan bahwa
orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Oleh Karena itu orang
tua sangat bertanggung jawab sekali terhadap anak dalam hal memelihara,
membiayai, menghidupi dan mendidik anak sejak ia masih berada dalam kekuasaan
orang tua dan sampai ia telah berumur 18 tahun atau telah menikah, hingga
menjadikan seorang anak yang telah berdiri sendiri (mampu menikah) dan
membentuk keluarga kecil dengan orang lain.
Keberhasilan dalam suatu keluarga dalam mengantarkan anak-anaknya ke
target yang ingin dicapai, sebenarnya merupakan tanggung jawab kedua orang tua.
Oleh karena itu sudah sepantasnya lah terjadinya pembagian peranan pada orang tua.
Ayah yang berkewajiban mencari nafkah untuk membiayai anak dan isterinya yang
sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Pihak yang paling banyak waktu dan
kesempatan di rumah adalah seorang ibu, maka ibu lah yang lebih dekat memberikan
kasih sayang, pengasuhan dan pengawasan. Ayah pun turut serta membantu peran ibu
karena dalam saat-saat tertentu ia dapat menangani masalah yang tidak bisa dihadapi
ibu tentang masalah anak-anaknya.
13 Ibid. h. 9
27
C. Tantangan Orang Tua Dalam Mendidik Anak
1.) Faktor dari dalam diri orang tua
Anak adalah karunia Allah SWT yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia
menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Ketika beranjak dewasa anak dapat
menampakkan wajah manisnya, santun, berbakti pada orang tua, berprestasi di
sekolah, dan bergaul dengan baik pada lingkungan masyarakat, tapi di lain pihak.
Perilakunya semakin tidak terkendali berubah menjadi bentuk kenakalan anak dan
orang tua pun semakin cemas memikirkannya. Seperti yang banyak kita jumpai
dalam kehidupan sehari-hari munculnya perlakuan pembangkangan anak terhadap
orang tua.14 Hal ini sehingga menjadikan kurang wibawanya seorang ibu.
Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak,
bahkan sejak masih dalam kandungan. Jika anak sejak dini telah mendapat
pendidikan Islami insya Allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah
dan Rasulnya dan berbakti kepada orang tua. Kita sebagai umat Islam hendaklah
mendidik dan memelihara anak sejak dini dengan pembekalan nilai-nilai Islami, kelak
ia tumbuh dewasa dan besar telah mengenal dan menyakini Allah sebagai tuhannya
dan membiasakan dirinya melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Kita tentu mengetahui upaya dalam mendidik anak sering mengalami kendala,
tidak semudah seperti membalikkan kedua tangan. Perlu disadari disini betapun
14Najid Ridha Bak, Kewajiban Isteri Dalam Islam, (Jakarta: Lentera Baritama, 2002.) h. 190
28
beratnya kendala hendaklah orang tua bersabar dan menjadikan kendala tersebut
sebagai ujian dan tantangan. Dalam mendidik anak setidaknya ada dua macam
tantangan dimana faktor itu ada yang bersifat internal dan eksternal. Sumber
tantangan internal yang utama adalah orang tua itu sendiri.15 Dan tantangan eksternal
berasal dari pengaruh lingkungan sosial masyarakat.
Islam telah menggariskan bahwa pengembangan kepribadian anak haruslah
berimbang antara pikiran, ruhaniyah, dan jasadiyah. Keteladanan akhlak dari seorang
ibu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan yang dimiliki ibu. Jika kita telaah
seorang ibu yang tidak berpengetahuan dan tidak mau mengembangkan diri bersama-
sama dengan berkembangnya pengetahuan anak, sangat mungkin figur seorang ibu
kurang atau bahkan mungkin tidak berwibawa dimata anak-anaknya.
Oleh karena itu meningkatkan pengetahuan seorang ibu sangat diperlukan
dalam menghadapi putra putrinya misalnya pengetahuan dalam keagamaan dan
pendidikan. Bila ditakdirkan anak menjadi seorang yang pandai kelak si ibu harus
tetap menyiraminya dengan siraman rohani keagamaan agar si anak tidak keluar dari
jalan yang benar. Anak akan tumbuh sesuai kebiasaannya yang telah dilakukan secara
rutin dalam kehidupan sehari-hari.
Kita mengetahui apabila anak dibimbing dan diajarkan tentang kebaikan,
maka ia akan tumbuh menjadi anak yang berakhlak baik dan menjadi anak yang
15www//ummusyauqy.wordpress.com/category/pendidikan-anak diakses tanggal 20 agustus
2011
29
berguna bagi siapa saja. Namun sebaliknya jika anak tumbuh tanpa ada orang yang
membimbing pada kebaikan, tidak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang
layak maka besar kemungkinan ia akan tumbuh menjadi orang yang berakhlak buruk
dan menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat lingkungannya. Ibu yang
berpengetahuan dan yang tidak berpengetahuan akan terdapat perbedaan dalam
mendidik anak-anaknya.16 Hasil pendidikan yang diterima anak-anaknya pun berbeda
pula. Oleh karena itu agar anak menjadi orang yang berakhlak baik maka orang tua
wajib mendidik dan membimbingnya dengan penuh kesabaran dan keuletan.
Penting kita sebagai orang tua seharusnya mengajarkan anak tentang apa saja
yang termasuk perilaku baik dan perilaku tidak baik. Dengan demikian mereka dapat
memahami dan membedakan antara yang baik dan buruk sehingga ia tidak tertarik
untuk melakukan perbuatan buruk yang dapat merugikan dirinya, keluarga dan
masyarakat sekitar.
2.) Faktor yang datang dari luar
Seperti seorang ibu yang menjadi wanita karir. Persoalan dasar yang perlu kita
perhatikan adalah keterlibatan wanita pada segala bidang pekerjaan laki-laki apakah
dengan perannya seorang ibu yang menjadi wanita karir tidak melupakan kodratnya
sebagai wanita. Sebagaimana kita ketahui seorang ibu berperan sebagai orang tua
16www.perkembangananak.com/2008/03/tanggung-jawab-orangtua-terhadap-anak.htmldiakses
tanggal 20 agustus 2011
30
yang mendidik, mengasuh, memelihara dan mengayomi anak-anaknya sejak lahir
sampai si anak dapat mengurus sendiri kebutuhannya.
Seorang ibu merupakan tonggak bagi keberhasilan anak-anaknya dan juga
penting dalam mendidik anaknya agar berakhlak baik dan jangan sampai terjerumus
pada tindak pidana yang dilakukannya. Jadi eksistensi ibu dalam kehidupan keluarga
dengan instingnya serta kesadaran yang tumbuh dari dalam dirinya sebagaimana yang
telah ditakdirkan oleh Allah SWT merupakan sumbangan yang berharga bagi putra
dan putrinya.17 Secara fitrah bila kita tinjau laki-laki dan wanita berbeda dari fisik dan
psikologis atau dalam hal kesigapan. Perbedaan diantaranya adalah :
1. Secara psikologis wanita lebih halus, lentur dan lunak sehingga mampu
mengikuti perilaku anakanaknya dan bersabar dalam mengendalikan emosi
dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
2. Laki-laki secara psikologis lebih kuat dan lebih gesit sehingga ia lebih cepat
melakukan tindakan dan mampu melakukan perjuangan dalam mengatasi
kesulitan dan kemelut serta mampu mempertahankan eksistensi diri dan
keluarga dan menangkis ancaman dari luar terhadap diri dan keluarga.
3. Laki-laki sebagai kepala keluarga yang berperan penting dalam mencari
nafkah bagi anak dan isterinya maka dari itu si ibu tak perlu lagi menjadi
wanita karir. Sudah selayaknya dan kewajiban sang suami untuk memberikan
17Yaya Muhtar, Pertumbuhan Akal dan Naluri Anak-anak, (Jakarta: Bulan Bintang , 1988.)
h. 75
31
nafkah bagi keluarga kecilnya disamping itu melakukan pengawasan atas
tingkah laku isteri dan keluarganya. 18
Secara prinsip seorang ayah adalah pemimpin bagi keluarganya sebagaimana
dalam firman-Nya :
Artinya:Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(Q.S an Nisa : 34)
Dalam Islam ibu memiliki batas-batas tertentu didalam perannya apabila ia
ingin bekerja menggantikan peran suami yaitu :
a. Sepanjang yang dibenarkan oleh ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban bagi
ibu menurut hukum islam dan peraturan yang berlaku.
18M. Thalib, Dilema Wanita Karir, (Jakarta: Lentera Baritama, 1990.) h.18-19
32
b. Bagi seorang ibu yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah hal ini mutlak
harus ada izin dari suami, disamping itu tetap melakukan pengawasan bagi
putra dan putrinya dalam membina akhlak dan perbuatannya.
c. Selalu menjadi ibu yang sangat peduli bagi anak-anaknya dikala mereka suka
dan duka dan menjadi tempat curhat untuk anak-anaknya dikala menemui
masalah.
d. Tidak menggangu dan menelantarkan bahkan melupakan fungsi utama di
dalam sebuah keluarga kecilnya, guna mencapai kehidupan yang harmonis
dan bahagia. 19
Tantangan eksternal pun juga sangat berpengaruh dan lebih luas lagi
cakupannya. Tantangan pertama bersumber dari lingkungan rumah. Informasi yang
yang didapat melalui interaksi dengan teman bermain dan kawan sebayanya sedikit
banyak akan terekam. Lingkungan yang tidak Islami dapat melunturkan nilai-nilai
religius yang telah ditanamkan di rumah.
Yang berikutnya adalah lingkungan sekolah. Bagaimanapun juga guru-guru
sekolah tidak mampu mengawasi anak didiknya setiap saat. Interaksi anak dengan
teman-teman sekolahnya apabila kita tidak pantau di rumah bisa berdampak negatif.
Sehingga memilihkan sekolah yang tepat untuk anak sangatlah penting demi
terjaganya akhlak sang anak, seperti pesantren yang banyak mengajarkan nilai-nilai
19Ibrahim Amini, Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami dan Isteri, (Bandung: Al Bayan
2000.) h. 43-45
33
islami. Anak-anak Muslim yang disekolahkan di tempat yang tidak islami akan
mudah tercemar oleh pola pikir dan akhlak yang tidak baik sesuai dengan pola
pendidikannya.
Disamping itu peranan media massa sangat pula berpengaruh. Informasi yang
disebarluaskan media massa baik cetak maupun elektronik memiliki daya tarik yang
sangat kuat. Begitu banyak media massa yang menampilkan hiburan atau tontonan
yang kurang mendidik anak sehingga dapat mempengaruhi perilaku seorang anak
berakibat melunturkan nilai-nilai yang mereka peroleh dari agama dan keluarga. Jika
orang tua tidak mengarahkan dan mengawasi dengan baik, maka si anak akan
menyerap semua informasi yang ia dapat, tidak hanya yang baik bahkan yang dapat
merusak akhlak. Maka sudah sepatutnya orang tua memberikan pengawasan.
34
BAB III
TINJAUAN UMUM ATAS KENAKALAN ANAK
A. Pengertian Anak
Pengertian anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak
membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya
karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak
mungkin dapat mencapai taraf kemanusian yang normal. Menurut John Locke anak
adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang
berasal dari lingkungan. 1
Anak merupakan bagian dari keluarga dan keluarga memberi kesempatan bagi
anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik
dalam kehidupan bersama. Disamping itu, anak juga dapat ditinjau dari berbagai
aspek seperti aspek hukum, aspek sosial dan juga aspek biologis.
1. Anak ditinjau dari aspek hukum positif Indonesia
Dalam Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pasal 1 dan
2 dirumuskan sebagai orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8
tahun sampai 18 tahun dan belum pernah menikah.2
Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan atau pun pernah kawin dan
telah bercerai, apabila si anak sudah pernah menikah sebelum atau perkawinannya
1 Suryabrata Sumadi, Perkembangan Alat Ukur Psikologis, (Yogyakarta : Andi, 2000) h.55 2 Lihat pada UU no.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
35
terputus akibat perceraian maka si anak dianggap telah dewasa meskipun umurnya
belum genap 18 tahun.
Dalam pasal 1 ayat (1) undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.3 Sedangkan dalam pasal 45
KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum mencapai usia 16
tahun, maka dari itu apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh
memerintahkan supaya si terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya atau memerintahnya supaya diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apapun.4 Ketentuan pasal 45, 46 dan 47 KUHP sudah dihapuskan dengan
lahirnya Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Menurut hukum adat yang berlaku di Indonesia, dikatakan anak adalah
mereka yang belum menunjukan tanda fasis yang konkrit, bahwa ia telah dewasa.
Dalam hukum adat seseorang dapat dikatakan dewasa ditunjukan secara biologis saja.
Bahkan menurut adat jawa seseorang dianggap dewasa kalau ia sudah dapat mandiri
seperti sudah menikah atau hidup berumah tangga.
2. Anak ditinjau dari aspek sosial
Badan Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak
(BKKBN) sebagai suatu lembaga yang beranggotakan wakil-wakil dari departemen,
3 Lihat pada UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 4 Lihat pada KUHP dan KUHAP
36
lembaga swadaya masyarakat serta badan sosial swasta memberikan pendapatnya
tentang batas usia anak dibawah umur yakni :
« untuk menentukan perlakuan yang tepat terhadap remaja nakal demi
kepentingan statistik perlu penentuan batas umur terhadap remaja yaitu mereka yang
telah mencapai usia 13 sampai 17 tahun ».5
Berdasarkan hal diatas, bahwa saat memasuki usia remaja seseorang harus
lebih matang pemikirannya dalam menghadapi masalah-masalahnya juga
berpandangan realistis, karena dalam akhir keremajaan mempunyai arti yang sangat
penting bagi seorang anak sebab masa ini merupakan jenjang terakhir bagi anak
untuk memasuki masa dewasa. Proses pendewasaan biasa dimulai dengan adanya
pemahaman terhadap nilai-nilai moral dan perwujudan sosial.
Jadi menurut badan ini yang digolongkan anak adalah mereka yang telah
mencapai usia 13 sampai 17 tahun. Badan ini juga menyebutkan umur 20 tahun
dikategorikan sebagai umur menjelang dewasa, sedangkan pada umur 21 tahun orang
sudah dianggap dewasa penuh.
3. Anak ditinjau dari aspek biologis
Jika dilihat dari segi biologis, terdapat istilah bayi, anak, remaja, pemuda dan
dewasa.6 Kita dapat mengklasifikasikannya menjadi beberapa tahapan pertumbuhan
5Badan Koordinasi Nasional Kesejahteraan Keluarga dan Anak, Pola Penanggulangan
Kenakalan Remaja Indonesia, (Jakarta: BKKBN, 1972.) h. 3 6B. Simanjuntak, Pembinaan dan Mengembangkan Generasi Muda, (Bandung: Tarsito, 1984.)
h. 99-100
37
a. Bayi : usia 0-1 tahun
b. Anak : usia 1-12 tahun
c. Remaja : usia 12-15 tahun
d. Pemuda : usia 15-30 tahun
e. Dewasa : usia 30 tahun keatas
Dari segi biologis lebih ditekankan pada perubahan fisik seseorang. Zakiah
Darajat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan remaja adalah salah satu dari
unsur manusia yang paling banyak mengalami perubahan, sehingga membawanya
pindah dari masa anak menuju masa dewasa, perubahan yang terjadi meliputi segi
segi kehidupan manusia yaitu jasmani, rohani, pikiran, perasaan, dan sosial.
Biasanya dimulai perubahan jasmani yang menyangkut segi seksual, biasanya
terjadi pada anak diumur 13-14 tahun. Perubahan itu disertai dan diiringi oleh
perubahan-perubahan lain yang berjalan sampai umur 20 tahun karena itu masa
remaja dapat dianggap terjadi antara umur 13 dan 20 tahun. Masa muda dimulai pada
usia 12 tahun dan berakhir di usia 15 tahun. Walaupun dari segi biologis seorang
anak lebih ditekankan pada perubahan fisik. Namun hal ini masih menyangkut aspek-
aspek lainnya seperti tingkat intelektualitasnya, perasaan, rohani dan lainnya. Usia
remaja ini merupakan masa transisi dimana seorang anak masih memiliki sikap
emosional yang labil dalam upaya mencari jati diri yang sebenarnya, maka dari itu
nilai moral religius harus lebih diberikan mendalam.
38
B. Kecenderungan Kenakalan Anak
Istilah kenakalan anak pertama kali ditampilkan pada badan peradilan di
Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu undang-undang peradilan
negara bagi seorang. Kenakalan anak berasal dari istilah Juvenile Deliquency yang
tersusun dari kata Juvenile artinya anak-anak, anak muda dan Delinquency yang
artinya terabaikan yang kemudian diperluas lagi menjadi jahat, criminal, asocial,
pelanggar aturan, pembuat ribut. Oleh karena itu kenakalan anak biasa disebut
dengan istilah Juvenile Deliquency.7 Menurut pendapat Prof. Dr. Romli Atmasasmita
sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Gultom, SH., MHum. dalam bukunya yang berjudul
Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia,
Juvenile delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang
anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di
suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai
perbuatan yang tercela.8
Menurut Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa anak
nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan
perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-
undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
7 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama 2006. cet. I) h. 9 8 Maidin Gultom. Op.cit., h. 55-56.
39
Kenakalan anak bukanlah suatu pengertian yang sederhana. Sebagaimana
diketahui ada beberapa macam definisi tentang juvenile delinquency oleh berbagai
ilmuan yakni :
Menurut Kartini kartono yang disebut juvenile delinquency adalah perilaku
jahat atau kejahatan merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
mengembangkan bentuk pengabaian, tingkah laku yang menyimpang.
R. Kusumanto Setyonegoro dalam hal ini mengungkapkan pendapatnya antara
lain adalah tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan
pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan
maysrakat atau hukum yang berlaku disuatu masyarakat yang berkebudayaan
tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak maka sering tingkah laku serupa itu
disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent
atau preadolescent maka tingkah laku itu sering disebut delikuen dan jika ia telah
dewasa tingkah laku ia seringkali disebut psikopatik dan jika terang terangan
melawan hukum disebut kriminal.
Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan juvenile delinquency ialah
setiap perbuatan atau tingkah laku anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin
yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat
membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.9 Kenakalan anak
berarti hal-hal yang berbeda bagi individu-individu yang berbeda dan ini berarti hal-
9 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, h. 11
40
hal yang berbeda bagi kelompok-kelompok yang berbeda. Kenakalan anak adalah
gejala sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan pengabaian sosial sehingga
mereka mengembangkan bentuk perilaku menyimpang hingga sampai melakukan
aksi kriminalitas.
Pengertian kenakalan anak digunakan untuk melukiskan sejumlah besar
tingkah laku anak-anak dan remaja yang tidak baik, dalam pengertian ini hampir
segala sesuatu yang dilakukan oleh remaja banyak tidak disukai oleh orang lain.10
Kenakalan anak biasanya dilakukan oleh remaja yang gagal dalam menjalani proses
perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada saat kanak-kanak.
Kenakalan anak meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-
norma hukum yang berlaku dimasyarakat yang dilakukan oleh anak. Perilaku itu
dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain disekitarnya. Tindakannya merupakan
manifestasi dari kepuberan remaja yang merugikan orang lain dan masyarakat. Para
ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13 tahun
sampai 18 tahun dimana ini merupakan sebuah masa transisi seseorang. Kenakalan
anak merupakan tindakan melanggar peraturan hukum yang berlaku yang dilakukan
oleh anak dibawah usia 18 tahun.11 Kenakalan anak merupakan yang biasanya
dilakukan oleh anak yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan
jiwanya.
10 Sri Widoyati Wiratmo, Anak dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES 1983, cet I ) h.3 11www.g-excess.com/kenakalan-remaja-faktor-penyebab-dan-tips-menghadapinya diakses
tanggal 11 September 2011
41
Masa kanak-kanak dan remaja berlangsung begitu singkat dengan
perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis
kenakalan anak merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan
dengan baik saat masa kanak-kanak dan remaja.12 Seringkali didapati terjadi trauma
dalam masa lalunya, perlakuan kasar dari lingkungannya maupun trauma terhadap
kondidi lingkungannya seperti kondisi ekonomi yang membuatnya rendah diri..
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa juvenile delinquency adalah suatu
tindakan atau perbuatan melanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial
yang dilakukan oleh anak-anak dibawah usia 21 tahun yang cenderung mengganggu
ketertiban umum.
C. Faktor-faktor Anak yang Melakukan Kenakalan
Disini penulis akan menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan anak
melakukan perbuatan tindak pidana, diantaranya :
1. Faktor Lingkungan Sosial
2. Faktor Keluarga
3. Faktor Ekonomi
Berikut ini uraian factor-faktor yang ditulis diatas dapat penulis jelaskan :
1.) Faktor Lingkungan Sosial
Dalam hal ini penulis mengemukakan latar belakang secara umum kejahatan
dewasa ini ditinjau dari segi perkembangan moral kemasyarakatan yang
12 www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htm diakses tanggal 11 september 2011
42
menyebabkan perkembangan dibidang kejahatan. Peristiwa kejahatan dan kekerasan
merupakan perilaku sosial yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan struktur
social, interaksi dan faktor-faktor sosial lainnya yang terdapat dalam masyarakat.
Faktor lingkungan besar peranannya membentuk tingkah laku manusia, hal ini seperti
yang dipahami dalam firman Allah SWT :
Artinya : lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan yang benar ( Q.S al Isra : 48). Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa tingkah laku seseorang baik
perbuatan jahat maupun perbuatan baik, akibat dari pengaruh lingkungan social
dimana tempat anak itu tinggal. Artinya apabila seseorang berada didalam suatu
lingkungan yang kurang baik, besar kemungkinan anak tersebut akan terpengaruh
oleh lingkungannya itu.
2.) Faktor Keluarga
Keluarga adalah awal dari kehidupan manusia dimana manusia dalam
lingkungan keluarga dibentuk dan dididik. Keluarga adalah masyarakat terkecil
dalam suatu masyarakat dimana tingkah laku anak sangat ditentukan oleh situasi dan
kondisi dalam suatu keluarga.
Hubungan harmonis antara orang tua dengan anak serta semua yang ada
didalamnya sangat memainkan peranan dalam perkembangan jiwa anak berkaitan
dengan hal tersebut R S Cavan dalam bukunya “Criminology” yang disadur oleh
43
G.W Bawengan mengemukakan bahwa kondisi keluarga dijadikan salah satu
penyebab terjadinya kejahatan karena :
1. Lingkungan keluarga merupakan suatu keluarga masyarakat yang pertama
dihadapi oleh setiap anak-anak oleh karena itu lingkungan tersebut sangat
memegang peranan utama sebagai pengulangan untuk menghadapi
masyarakat yang lebih luas lagi. Bahwa keluarga merupakan suatu lembaga
yang bertugas menyiapkan kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai tempat
control terhadap tingkah laku anak-anak.
2. Bahwa lingkungan keluarga merupakan wadah yang pertama kali dihadapi
oleh anak-anak semenjak mereka lahir. Mereka menerima pengaruh-pengaruh
emosional dari lingkungan tersebut, seperti kepuasan, kekecewaan, rasa cinta,
benci dan amarah mempengaruhi watak anak mulai dibina dalam lingkungan
tersebut dan akan bersifat menentukan masa depannya13.
Maman Marta Saputra mengemukakan dalam bukunya Azas-azas Kriminologi
bahwa rumah tangga adalah yang sering menghasilkan anak-anak nakal disebabkan
oleh kondisi keluarga14 sebagai berikut :
a. Anggota keluarga lainnya juga penjahat, pemabuk, immoral.
b. Tidak adanya salah satu orang tua atau kedua-duanya karena kematian dan
perceraian.
c. Kurangnya pengawasan orang tua karena mereka merasa cuek, masa bodo, dan
cacat mental.
13 G.W Bawengan, Masalah Kejahatan sebab dan Akibatnya (Jakarta: Pradya Paramitha
1977), h. 90 14 Maman Marta Saputra, op, cit h. 55
44
d. Ketidak harmonisan karena masih adanya yang masih kuasa sendiri, iri hati,
cemburu, adanya pihak lain yang turut campur.
e. Perbedaan rasial dan agama ataupun perbedaan adat istiadat.
f. Tekanan ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan ibu yang bekerja
diluar.
Dalam bukunya yang berjudul Kriminologi, B. Simanjuntak berpendapat 15
bahwa, kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin dapat menghasilkan “anak
nakal”, adalah :
a. Adanya anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat, pemabuk,
emosional.
b. Ketidak adaan salah satu atau kedua orangtuanya karena kematian,
perceraian atau pelarian diri.
c. Kurangnya pengawasan orangtua karena sikap masa bodoh, cacat
inderanya, atau sakit jasmani atau rohani.
d. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu,
terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada pihak lain yang campur tangan.
e. Perbedaan rasial, suku, dan agama ataupun perbedaan adat istiadat, rumah
piatu, panti-panti asuhan.
Dalam keluarga anak-anak mudah sekali terpengaruh oleh pengalaman-
pengalaman yang dapat membentuk kepribadiannya jika pengalaman yang didapat
kurang baik maka berdampak buruk pula bagi anak-anak. Oleh karena itu sejak kecil
15 B. Simanjuntak, Kriminologi. (Bandung: Tarsito, 1984,) hlm. 55.
45
anak dibesarkan oleh keluarga dan seterusnya sebagian besar waktunya adalah di
dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbul kenakalan anak itu
sebagian juga berasal dari keluarga.
Dengan demikian jelaslah bahwa situasi dan kondisi rumah tangga sangat
berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan jiwa anak dan orang tualah
yang sangat berjasa didalam perkembangan dan pertumbuhan hidup seorang anak.
Menjauhkan diri si anak dari masalah penyimpangan sosial dan masalah kejahatan.
3.) Faktor Ekonomi
Dalam pandangan hukum islam, faktor ekonomi dapat membawa seseorang
anak untuk dapat berbuat kejahatan, misalnya mencuri. Hal ini sesuai dengan makna
yang tersirat dalam al-Qur’an :
Artinya : dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar (Q.S An Nisa : 9)
Kalau dipahami isi ayat tersebut, bahwa Allah SWT berpesan kepada manusia
agar memperhatikan nasib masa depan anaknya, agar kelak dewasa tidak menjadi
orang yang lemah. Sedangkan lemah dalam hal ini dapat berarti lemah imannya,
pendidikannya dan ekonominya. Sehingga apabila anak-anak dibekali dalam keadaan
yang lemah ketiga-tiganya, maka tentu mereka tidak mampu mengemban si’ar islam.
46
Malah sebaliknya mereka hanya akan menjadi beban negara saja karena aksi-aksi
kenakalan yang dilakukan oleh anak akan semakin meresahkan masyarakat. Tentu
saja hal itu dapat menggangu keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi juga mempunyai dampak bagi perkembangan anak.
Apalagi di zaman seperti sekarang ini, bahwa kehidupan serba sulit. Untuk hanya
sekedar mencari sesuap nasi kita harus bekerja keras. Tak jarang di kota-kota besar
para remaja yang seharusnya duduk di bangku sekolah, terpaksa harus putus sekolah
(DropOut) karena orang tua mereka tak sanggup menyekolahkannya.
Kondisi yang ditandai dengan tingginya tingkat pengangguran, sulitnya
lapangan kerja, serta daya beli masyarakat yang rendah menjadikan sebagian
masyarakat seakan terjebak dalam dua pilihan yaitu bertahan untuk hidup secara lurus
atau secara menyimpang (Juvenile Delinquency)16. Hal semacam ini merupakan
faktor korelatif kriminogen yang tidak hanya di lakukan orang dewasa akan tetapi di
lakukan juga oleh anak, apabila tidak dapat dikelola dengan baik akan menimbulkan
tindak kriminal dan kenakalan anak yang lebih signifikan. Lebih jauh tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh mereka akan menjadi perbuatan yang makin
merugikan orang tua, dirinya sendiri, dan masyarakat. Tentulah kita tidak
menginginkan perbuatan yang dilakukan oleh mereka menjadi tindakan yang dapat
meresahkan warga masyarakat, upaya pencegahan oleh aparat hukum menjadi
langkah terakhir dalam mengatasinya
16 www. tomyho.wordpress.com/kenakalan-remaja tanggal 23 september 2011
47
BAB IV
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP BATAS MINIMAL USIA
CAKAP HUKUM ANAK DALAM UU NO. 3 TAHUN 1997
A. Ketentuan Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-undang No. 3 tahun
1997 dan Peraturan Lainnya
Cakap (bekwaan) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan
diri seseorang. Ter Haar dalam djojodigoeno melihat kecakapan adalah suatu kondisi
seseorang apabila sudah kawin dan hidup terpisah dari orang tuanya.1 Subekti
menulis orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum pada azasnya
setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat pikirannya adalah cakap
menurut hukum.2 Cakap menurut subekti dapat diartikan sebagai mengerti akan
sesuatu yang dilakukan serta memahami dampak dari perbuatan yang dilakukan.
Dengan kata lain, cakap hukum yakni pada azasnya dapat melakukan tindakan
hukum secara sah dengan akibat hukum yang sempurna mereka yang telah dewasa,
sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggung
jawabkan perbuatannya.3 Jadi orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum
1Ade Manan Suherman, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur, (Jakarta : PT Gramedia,
2010. ) h. 34 2Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987. cet. XI) h. 17 3 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006. cet. I) h.
54
48
adalah orang yang dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh sesuatu
perundang-undangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam hubungannya dengan kecakapan hukum, terkait dengan batasan umur
dalam literatur dapat ditemukan perbedaan. Menurut pasal 2 BW (Hukum Perdata)
manusia menjadi subjek hukum yakni sejak lahir sampai mereka meninggal dunia,
akan tetapi menurut Undang-undang tidak semua orang sebagai subjek hukum adalah
cakap untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Terhadap definisi anak
berkenaan dengan batasan umur undang-undang menetapkan lain berikut ini
perbedaan terkait batasan umur :
1. Menurut hukum perdata kemampuan untuk dapat bertindak sebagai
hukum adalah apabila mereka telah berumur 21 tahun atau sudah kawin.
2. Menurut Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan apabila
telah berusia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
3. Menurut hukum pidana menyatakan bahwa dalam menuntut orang yang
bersalah karena melakukan suatu perbuatan pidana sebelum berumur 16
tahun hakim dapat menentukan :
a. Supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya walinya
atau pemeliharanya tanpa pidana apapun atau,4
b. Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah tanpa pidana apapun.
4 Lihat pada pasal 45 KUHP
49
4. Menurut Undang-undang no. 3 tahun 1997 anak nakal ialah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana atau,
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lainnya yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan. Apabila telah mencapai umur 8
tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah
kawin.5
Tidak seragamnya definisi anak ini juga menimbulkan kesulitan dalam
penerapan hukum anak, namun sesuai dengan yuridiksi penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum maka yang menjadi batasan umur yang dipakai adalah
sesuai dengan undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yakni
apabila telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun dan belum
kawin.
Pengadilan negeri adalah pengadilan yang berwenang menangani kasus anak
nakal sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dilingkungan peradilan
umum, maka dari itu berbagai macam kejahatan atau kenakalan anak hingga
merugikan orang lain maka secara khusus dapat dikenakan sanksi berdasarkan
undang-undang no. 3 tahun 1997. Maka lebih lanjut kita perlu memahami dan
mengerti suatu tindak pidana.
5pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
50
Tindak pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat
dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai
suatu peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidana seperti :
Obyektif adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan
mengindahkan akibat hukum dengan suatu larangan dan diancam oleh sebuah
hukuman. Titik utama dan yang terpenting dari unsur obyektif ini ialah tindakan atau
perbuatan si pelaku.
Subyektif adalah perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh
suatu undang-undang dan peraturan hukum lainnya yang diancam dengan sanksi
hukuman. Sifat utama dan yang terpenting dalam unsur ini ialah seseorang atau
beberapa orang dan badan hukum.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu tindak pidana adalah :
a. Harus ada suatu perbuatan maksudnya adalah bahwa memang benar-benar
ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang atau beberapa orang dimana
kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami
oleh orang lain sebagai kejadian atau peristiwa hukum.
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang terdapat pada ketentuan hukum
artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan
hukum yang berlaku saat itu. Pelakunya benar-benar salah berbuat seperti
51
yang telah terjadi dan si pelakunya wajib mempertanggungjawabkan akibat
yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu.
c. Harus terbukti adanya sebuah kesalahan yang dapat dipertangungjawabkan
maksudnya bahwa perbuatan yang diakukan oleh si pelaku dapat
dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang tidak dibenarkan oleh undang-
undang atau pun peraturan hukum lainnya.
d. Harus bertentangan dengan hukum, artinya suatu perbuatan melawan
hukum apabila tindakan atau perbuatan seseorang nyata-nyata bertentangan
dengan hukum.
e. Harus tersedia adanya sebuah sanksi ancaman hukum maksudnya kalau ada
ketentuan yang mengatur tentang adanya larangan ataupun keharusan
dalam suatu perbuatan tertentu maka ketentua tersebut menurutnya harus
ada sanksi ancaman hukum. Dimana ancaman hukum itu dinyatakan secara
tegas maksimal hukuman yang harus dijalani oleh si pelaku.6
Dalam hukum Positif yang menjadi faktor adanya pertanggungjawaban
hukum pidana adalah adanya unsur perbuaan salah dimana hal ini sesuai dengan azas
pertanggungjawaban pidana “Tiada pidana tanpa adanya kesalahan”. Sebagaimana
dijelaskan oleh Moeljatno bahwa pertangungjawaban pidana adalah hal yang
diteruskannya celaan yang secara obyektif ada tindak pidana berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-
6 Jamali R. Abdul, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1990. cet. II) h. 174-175
52
syarat dalam undang-undang.7 Mengenai pertanggungjawaban pidana Ruslan Saleh
mengemukakan orang yang mampu bertanggung jawab dalam suatu perbuatan pidana
harus memenuhi syarat-syarat yakni menginsyafi bahwa perbuatan itu tidak patut
dipandang dalam pergaulan didalam suatu masyarakat. Dapat menginsyafi
penyesalannya oleh perbuatan itu dan mampu menentukan niat atau kehendaknya untuk
dapat bertaubat tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut.8
Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya
kemampuan bertanggungjawab itu harus memiliki adanya 2 faktor akal dan
kehendak. Melalui akal seseorang dapat membedakan antara perbuatan baik dan
perbuatan jahat, begitu pula halnya dengan kehendak seseorang dapat menyesuaikan
tingkah lakunya. Dengan keinsyafan atas mana yang diharuskan dan mana yang
dilarang. Bahwa tiap-tiap orang adalah subjek hukum yakni pendukung hak-hak dan
kewajiban. Berdasarkan itu maka orang pada dasarnya dapat melakukan perbuatan
hukum seringkali disebut dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum. Dalam
semua tatanan hukum, dewasa ini berlaku ketentuan hukum yang menetapkan setiap
orang cakap hukum sepanjang Undang-undang tidak menetapkan lain.
Menurut hukum pidana, batas usia anak dirumuskan dengan jelas dalam
ketentuan hukum yang terdapat pada pasal 45 yang menyatakan bahwa : “Dalam Hal
7Molejatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gajah Mada Pers, 1980.) h. 107 8Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan PertanggungJawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Bani
1983. cet. III) h. 80
53
Penuntutan Orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum
berumur 16 tahun hakim dapat menentukan” :
a. Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya,
walinya, atau pemeliharanya tanpa pidana apapun atau,
b. Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apapun atau jika perbuatan itu merupakan kejahatan serta belum
lewat dua tahun dinyatakan bersalah karena kejahatannya dan putusannya
menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Anak yang belum dewasa apabila mencapai usia 16 tahun jika ia tersangkut
dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si terdakwa dikembalikan
kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya atau memerintahnya supaya
diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun. Ketentuan pasal 45, 46 dan 47
KUHP sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Dalam Undang-Undang no. 3 tahun 1997 tetang Pengadilan Anak pasal 4
menyebutkan bahwa : batas umur anak nakal yang dapat diajukan pada sidang anak
adalah sekurang-kurangnya berumur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah kawin.
Dalam melakukan suatu tindak pidana pada batas umur yang dimaksud dalam
ayat (1) dan diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak yang bersangkutan
54
melampaui batas umur tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun tetap diajukan
ke sidang anak. Sebagaimana pada ketentuan aturan hukum Pasal 5 yakni :
1. Dalam hal anak yang belum mencapai umur 8 tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana maka anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan
oleh penyidik.
2. Apabila menurut hasil pemeriksaan penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua atau
orang tua asunya penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang
tua, wali atau orang tua asuhnya.
3. Apabila menurut hasil pemeriksaan bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya
penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen social setelah
mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Dalam pasal tersebut diatas kita memahami bahwa seorang anak yang belum
berumur 8 tahun apabila melakukan suatu tindak pidana tertentu, maka ada dua
alternative tindakan yang dapat diberikan kepada anak tersebut tanpa dikenainya
sebuah hukuman. Pertama anak dapat diserahkan kepada orang tua wali atau orang
tua asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua dapat diserahkan ke
Departemen sosial jika anak tersebut sudah tak bisa lagi dibina oleh orang tua, wali
atau orang tua asuhnya.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang no. 3 tahun
1997 ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak yaitu bagi anak yang masih
berusia antara 8-12 tahun maka hukuman yang dapat dikenakan pada anak itu hanya
55
berupa tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai usia 12-18 tahun baru
dapat dijatuhkan pidana.9
Menurut pasal 24 undang-undang no. 3 tahun 1997 diterangkan bahwa :
1. Tindakan yang dapat diberikan kepada anak nakal adalah :
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja atau.
c. Menyerahkan kepada departemen sosial atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan pembinaan dan laihan
kerja.
2. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai teguran dan
syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
Maka dari itu undang-undang tersebut menentukan bahwa kenakalan anak
yang dilakukan oleh anak yang berusia 8-12 tahun hanya dapat dikenakan berupa
sanksi tindakan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut diatas. Dan
bagi anak yang berusia 12-18 tahun yang melakukan pidana atau tersangkut masalah
hukum maka akan dapat dijatuhi sanksi hukumana yang meliputi pidana pokok dan
pidana tambahan.
Adapun pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan, denda atau
pidana pengawasan, sedangkan pidana tambahan dapat berupa perampasan barang-
9Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, h. 30
56
barang tertentu atau pembayaran ganti kerugian. 10 Jenis pidana mati dan pidana
tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dan pidana tambahan berupa
pengumuman keputusan hakim tidak bisa dikenakan.
Berikut ini beberapa ketentuan hukum dalam undang-undang no. 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak :
Pasal 26
1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
2. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut paling lama 10 tahun.
3. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a
belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal
tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal
24 ayat (1) huruf b.
4. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a,
belum mencapai umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap Anak Nakal
tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal
24.
10Ibid, h. 33
57
Pasal 27
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ dari maksimum ancaman
pidana kurungan bagi orang dewasa.
Pasal 28
1. Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling besar ½ dari
maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
2. Apabila denda sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ternyata tidak dibayar
maka diganti dengan wajib latihan kerja.
Pasal 30
1. Pidana pengawasan yang dapatdijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3(tiga) bulan dan
paling lama 2(dua) tahun.
2. Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan seebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
maka anak tersebut ditempatkan dibawah pengawasan Jaksa dan Bimbingan
Pembimbing Kemasyarakatan.11
Misalkan: ketentuan ancaman maksimal tindak pidana pencurian sebagaimana
dalam pasal 362 KUHP adalah pidana penjara 5 tahun dan tindak pidana pemerasan
pada pasal 368 KUHP penjara maksimal 9 tahun masing-masing ancaman penjara
dapat diberikan untuk orang dewasa. Untuk perkara anak sesuai dengan pasal 26 ayat
1 UU no.3 tahun 1997 maka ancaman hukuman pada pasal 362 KUHP yang dapat
11 Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
58
diberikan kepada anak yakni pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dan untuk pasal
368 KUHP ancaman hukuman pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan untuk anak.12
Itulah beberapa ketentuan yang menyangkut pembedaan perlakuan dan
ancaman pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan
perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-
undangan dan peraturan hukum lain.
Proses beracara dan pemeriksaan kenakalan anak dimuka sidang yang diatur
dalam UU no. 3 tahun 1997 sebagaimana diterangkan pada :
Pasal 6
Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum, serta petugas
lainnya dalam sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas .
Pasal 8
1. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.
2. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang
terbuka.
3. Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh
anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, dan orang tua asuh,
penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan.
12 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, h. 89
59
4. Selain mereka yang disebut dalam ayat 3 orang-orang tertentu atas izin
hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1.
5. Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat
sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari
nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
6. Putusan Pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 1113
1. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama
sebagai hakim tunggal
2. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu ketua Pengadilan Negeri dapat
menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
Perlakuan ini dimaksud agar anak tidak merasa takut dan seram menghadapi
hakim, penuntut umum, penyidik, dan penasehat hukum serta petugas lainnya.
Sehingga terwujud suasana kekeluargaan yang tidak menjadi peristiwa mengerikan
bagi si anak. kemudian digunakan singkatan dari nama anak , orang tua, wali, atau
orang tua asuhnya dimaksudkan agar identitas anak dan keluarga menjadi berita
umum yang menggangu mental si anak. beberapa keuntungan dengan memakai
hakim tunggal diantaranya :
13 Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
60
a. Perkara dapat diselesaikan dengan lancar, sedang jika oleh majelis hakim
dapat berlarut-larut
b. Hakim tunggal dituntut untuk lebih bertanggung jawab secara pribadi.
c. Hakim tunggal dapat melakukan kerja sama dengan pejabat pengawasan
sehingga putusan akan lebih baik dan tepat.
d. Hakim anak dapat mengikuti perkembangan anak yang sedang dalam
menjalani pidananya, sehingga dengan tepat dapat mengambil ketetapan
dalam hal diajukannya permohonan pelepasan bersyarat.
Ketentuan hukum mengenai anak-anak, khususnya bagi anak yang melakukan
tindak pidana diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentng Pegadilan Anak,
baik pembedaan perlakuan didalam hukum acara maupun ancaman pidananya.
Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang-undang ini
dimaksukan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak
dalam menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu dimaksudkan
untuk memberikan kesempatan kepada anak agar nantinya menjadi manusia yang
lebih baik berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Demikianlah Undang-undang ini sangat memberikan perlakuan khusus bagi
anak yang melakukan tindakan kenakalan atau perbuatan kriminalitas, baik dari segi
isi dari aturan tersebut hingga kepada tata cara dalam persidangan yang
menyidangkan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Dari segi formil dan
materiil undang-undang ini memiliki formulasi perlakuan khusus bagi anak.
61
B. Batas Minimal Usia Cakap Hukum Anak Menurut Hukum Islam
Menurut para ulama masalah usia dalam pernikahan sangat erat hubungannya
dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena perkawinan
merupakan perbuatan hukum yang memintakan tanggung jawab dan dibebani
kewajiban-kewajiban tertentu. Maka setiap orang yang akan berumah tangga diminta
kemampuannya secara utuh. Menurut bahasa arab “kemampuan” disebut Ahlun yang
berarti layak atau pantas.14 Para ulama selalu mendefinisikan kemampuan itu yakni
kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewjiban-kewajiban
yang diberikan syara’.
Kecakapan hukum merupakan kepatutan seseorang untuk melaksanakan
kewajiban dan meninggalkan larangan serta kepatutan seseorang untuk dinilai
perbuatannya sehingga berakibat hukum.15 Kecakapan hukum disini berkaitan dengan
ahliyah al-wujud (kemampuan untuk memiliki dan menanggung hak), sedangkan
kepantasan bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk berbuat hukum secara
utuh yang dalam istilah fiqh disebut ahliyah al-ada (kemampuan untuk melahirkan
kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain). Oleh karena itu ulama ushul fiqh
kecakapan bertindak itu didefinisikan sebagai “Kepatutan seseorang untuk timbulnya
suatu perbuatan (tindakan) dari dirinya menurut cara yang ditetapkan oleh syara’.”
14 Al Rahawi, Syarh al-Manar wa Khawasyih min ilm al-Ushul (Mesir: Daar al-Sa’adah 1315
H ) h. 390 15Ade Manan Suherman, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur, h. 50
62
Oleh karena itu adanya hal yang perlu kita sadari bahwa usia berapa seseorang
dapat dipandang cakap dalam bertindak hukum. Bila diteliti secara seksama ajaran
islam tidak pernah memberikan batasan yang definitif pada usia berapa seseorang
dianggap dewasa, hanya saja dalam hukum islam dikenal istilah baligh.16 Baligh
merupakan istilah dalam hukum islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai
kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa arab yang secara bahasa memiliki arti
“sampai” maksudnya telah sampainya umur seseorang pada tahap kedewasaan.
Prinsipnya, seorang anak laki-laki yang telah baligh jika sudah pernah mimpi
basah dan adapun seorang perempuan disebut baligh jika sudah mengalami haid.
Nyatanya cukup sulit memastikan pada umur berapa seorang laki-laki bermimpi
basah (rata-rata usia 15 tahun) atau seseorang perempuan mengalami menstruasi.17
Untuk mengatasi hal itu ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur untuk
kepastian hukum karena hal ini terkait dengan kecakapan hukum. Maka kedewasaan
menjadi tolak ukur untuk dapat menentukan cakap secara hukum atau tidak.18 Dalam
hukum islam kecakapan hukum merupakan kepatutan sesorang untuk melaksanakan
kewajiban dan meninggalkan larangan (ahliyah al-wujub) serta kepatutan seseorang
untuk dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum (ahliyah al-ada).
16Djauharah Bawazir dalam Majalah Umi (Kenakalan Remaja karena Salah Ibu, Ummi ) h.14
menyatakan bahwa akil baligh adalah suatu masa dimana seseorang secara seksual sudah dewasa, bagi
laki-laki ditandai dengan mimpinya sedangkan bagi wanita dengan menstruasi mereka sudah harus
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri baik kepada Allah maupun kepada Manusia. 17 Ningrum Puji Lestari, op. cit h. 25 18www. hukumonline. com /berita/baca/hol 17014/ ekonomi-syariah-hanya-buat-yang- dewasa
kamis juli 2010.
63
Baligh terdiri atas dua macam yaitu:
Pertama Baligh Thabi’I yakni baligh yang dapat diketahui dari tingkah
lakunya atau tanda-tanda, jadi dalam hal ini pertanda baligh dapat diketahui dalam
penglihatan.
Menurut Helmi Karim, tanda-tanda keremajaan yang terjadi baik pada laki-laki dan
wanita dapat dijumpai sebagai berikut :
1. mimpi senggama bagi laki-laki dan menstruasi pada wanita.
2. berubah suaranya.
3. tumbuh bulu ketiak.
4. tumbuh rambut pada kemaluannya.19
Seorang anak mulai berubah sifat, sikap dan pola pikirnya. Biasanya anak
tersebut menjadi pemalu dan sering merawat diri. Sedang pola pikirnya semakin
pintar dan terbentuk mulai ktitis dan aktif dalam memahami sesuatu yang terjadi pada
dunia luar. Anak muda kini secara obyektif mengikatkan dirinya sendiri dengan dunia
luar yang diikuti dengan masa pematangan fisik seperti munculnya haidh yang
pertama kalinya atau seorang laki-laki yang mengalami mimpi basah yang kemudian
secara tegas mengarahkan hidupnya dan berupaya memberikan isi kehidupannya,
19 Helmi Karim, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Firdaus, 1996.) h. 70
64
menjadi diri sendiri dan pembentukan karakter sampai pada batas kedewasaannya
yang dikenal dengan istilah puberitas.20
Kedua Baligh bi Sinni yakni baligh dengan menetapkan ketentuan umur
apabila secara tabiat tidak terlihat tanda-tanda baligh maka ukuran baligh ini
ditentukan dengan umur 15 tahun baik laki maupun perempuan.
Para fuqaha menetapkan usia 15 tahun ini dengan alasan ukuran paling
maksimal baligh thabii apabila telah mencapai usia ini. Para fuqaha sepakat bahwa
mereka mendahulukan penentuan saat baligh dengan cara melihat tingkah laku secara
fisik seseorng anak apabila jelas perubahan itu maka digunakan penentuan baligh
secara thabii namun ketika sulit diketahui seorang anak telah baligh secara thabii
maka bagi fuqaha baligh ditentukan dengan cara baligh bi sinni menentukan usia
baligh seorang anak paling maksimal ketika ia berusia 15 tahun.
Oleh karena itu kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan
dapat pula dilihat pada tanda-tanda yang nampak jelas terlihat. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli yakni sebagi berikut :
a. Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan
datangnya masa haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak atau tumbuhnya
bulu kasar disekitar kemaluan.21
20 Kartini Kartono, Psikologi Wanita Gadis dan Wanita Dewasa, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1981.) h. 169
65
b. Menentukan kedewasaan dengan umur terdapat beberapa pendapat yakni
antara lain :
1. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menetukan bahwa masa dewasa itu
dimulai umur 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan
dengan tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang maka
kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan
untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan oleh
akal. Dengan akal lah terjadinya taklif dan karena akal pula adanya
hukum.22
2. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai usia
19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam
Malik menetapkan 18 tahun, baik bagi laki-laki dan perempuan. Mereka
beralasan dengan ketentuan dewasa menurut syara adalah mimpi
karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak
diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umumnya antara 15
tahun sampai 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu
ditetapkanlah bahwa umur dewasa adalah 18 tahun.
3. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berusia
21 tahun.
21 Abdul Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ala al-Mazdahib al-arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr
Juz II, 1985. ) h. 350 22 Abdul Qadir al Audah, al-Tasyrif al-jinaiy al-Islamy, (Kairo: Dar al-Urubah, Juz I 1964.)
h.603
66
4. Muhammad Daud Ali menggunakan istilah mukallaf untuk memberikan
pengertian orang yang telah dewasa dan berakal sehat.23 Sementara
Ahmad Azhar Basyir menjelaskan kecakapan sempurna yang dimiliki
seseorang yang telah baligh ditekankan pada adanya pertimbangan akal
yang sempurna bukan pada umur bilangan tahun yang dilaluinya kurang
lebih 15 tahun.24 Namun demikian ketentuan kedewasaanya itu tidak
hanya dibatasi dengan umur 15 tahun (seseorang baligh), tetapi juga
mengikutsertakan faktor rasyid (kematangan pertimbangan akal).
Mengingat kecakapan selalu terkait dengan kedewasaan, kedewasaan
seseorang bila dilihat dari berbagai ketentuan hukum sangat beragam. Seseorang
dianggap dewasa disamping karena sudah menikah juga didasarkan kepada umur
yang merupakan menjadi salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap
cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum. Saat dewasa lah dimana
perkembangan akal dan pemikirannya mengalami pertumbuhan yang semakin baik.
Saat dewasa juga seseorang dapat melangsungkan pernikahan karena dalam hal ini
usia ini telah dianggap cakap dalam bertindak hukum baik secara perdata maupun
pidana.
23Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta : Attahiriyah, t.th ) h. 75 24Dikutip dari http ://kamusbahasaindonesia. Org/kedewasaan, kamis 22 juli 2010
67
C. Perspektif Hukum Islam Terhadap UU No. 3 Tahun 1997
Berkaitan dengan pidana dan tindakan yang juga diatur dalam Undang-undang
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terdapat dalam pasal 25 ayat 1 dan 2 yaitu
Sebagaimana dimaksud anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana maka hakim dapat menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan seperti pidana penjara, kurungan, denda dan pengawasan atau tindakan seperti mengembalikan kepada orang tua, menyerahkan kepada Negara atau menyerahkan kepada departemen sosial untuk mendapat pembinaan. Sebagaimana dimaksud anak nakal adalah anak yang melakukan suatu perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan maka hakim menjatuhkan tindakan seperti mengembalikan kepada orang tua, menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, menyerahkan kepada departemen sosial untuk mendapat pembinaan.
Dalam kaitannya dengan kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak, maka
anak tersebut telah dapat dianggap mampu mempertanggungjawabkannya di lembaga
pengadilan. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 4 angka 1 dan 2 yaitu
Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke dalam sidang anak adalah sekurang-kurangnya umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 tahun tetap diajukan ke Sidang Anak.
Pertanggungjawaban dalam hukum islam adalah pembebanan seseorang
dengan akibat perbuatan atau tidaknya suatu perbuatan yang dikerjakan dengan
kemauan sendiri dimana ia mengerti maksud dan akibat dari perbuatannya itu
sendiri.25 Tindak pidana artinya melakukan suatu perbuatan kejahatan atau perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh orang yang telah dibebani hukum (Taklif) dan
25 Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967.) h. 121
68
adanya unsur kesalahan. Dengan demikian perbuatan mereka tersebut dapat diberikan
sanksi hukuman berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pertanggungjawaban pidana dalam Islam dapat ditegakkan atas 3 hal yaitu
pertama adanya perbuatan kejahatan atau aksi kenakalan anak yang dilakukannya.
Kedua, pelaku atau pembuatnya mengetahui akibat perbuatan tersebut. Ketiga bahwa
perbuatan yang dilakukannya dilarang menurut hukum. Sebagaimana dalam kaidah
fiqhiyah menjelaskan :
حكم ال فعا ل العقال ء قبل و رو د النص ال
“Sebelum ada Nash maka tiada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat.”26
Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberikan pembebanan taklif kecuali
apabila ia telah mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya
dan diketahui oleh seorang mukallaf dengan pengetahuan yang dapat mendorong
untuk melakukannya. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa anak nakal yang
berhadapan dengan hukum, untuk dapat dikenakannya sanksi hukuman dengan
melihat akalnya pada anak itu. Melalui akal anak tersebut dapat membedakan mana
perbuatan yang baik dan mana perbuatan jahat.
Akal dinamakan ikatan karena ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya
untuk melakukan hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran, karena akal pun
26 Ahmad Wardi Muslich, Azas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinaiyah, (Jakarta: Media Grafika,
2006. ) h. 30
69
menyerupai ikatan unta.27 Sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa
nafsu yang sudah tidak terkendali sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak
melarikan diri sebagaimana Amr Bin Abdul Qais berkata :
“Jika akal mengikatmu dari sesuatu yang tidak sepatutnya maka ia adalah
orang yang berakal.” Rasulullah bersabda :
ن الحق و البا طل ر ق بھ بیقی العقل نور فى القلب
Artinya : akal adalah cahaya dalam hati yang dapat membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang bathil.”
Kecakapan berbuat hukum dalam batas minimal seorang anak adalah saat
memasuki periode baligh, karena baligh menjadi tanda seseorang dalam
perkembangan kecerdasan akalnya. Masa baligh berkisar antara 10-15 tahun pada
masa ini seorang anak dianggap siap untuk melakukan ketentuan ketentuan hukum.
Akal pada diri seorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan
pertumbuhan fisiknya dan baru berlaku atasnya pembebanan hukum, apabila akal
telah mencapai tingkat yang sempurna. Perkembangan akal manusia dapat diketahui
pada perkembangan jasmaninya. Seseorang manusia akan mencapai tingkat
kesempurnaan akal bila telah mencapai batas baligh, dan baligh itu ditandai dengan
mimpi basah pada laki-laki dan haidh untuk wanita atau dengan tanda-tanda lainnya
yang muncul ketika menjelang baligh Seseorang yang telah dewasa dan berakal akan
27 Ahmad Al-Mursi Husain, Maqashid Syariah, h. 91
70
mampu memahami hukum yang menyebabkan ia telah memenuhi syarat sebagai
subjek hukum.
Akil berasal dari kata ‘aqala yang artinya sama dengan fahima atau adrak
yang berarti mengetahui, mengerti mengetahui, kemudian kata aql berarti akal atau
pikiran sedangkan balaghah berarti sampai maka akil baligh dapat diartikan sebagai
orang yang telah sampai pada tingkatan tertentu yakni tingkatan dimana ia telah
mampu membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk dan
sempurna pikirannya. Seseorang dapat dibebani hukum syara apabila ia telah berakal
dan mengerti hukum tersebut.
Sebagaimana sabda Rasulullah :
د ین لمن ال عقل لھ الوالدین ھو العقل
Artinya : agama itu didasarkan pada akal tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal.
Baligh merupakan batasan seorang untuk dikenakan hukum, pada usia baligh
atau dewasa kemampuan akal seseorang sudah berkembang dan berfungsi dengan
sangat baik. Sehingga akal dan pemahaman itu merupakan sesuatu yang abstrak dan
berkembang secara bertahap dengan tidak ada tanda yang jelas maka ditetapkanlah
batas usia baligh seperti yang telah dikemukakan terdahulu..
Para fuqaha sepakat bahwa syarat seseorang mukallaf itu haruslah berakal
karena taklif adalah pembebanan hukum yang berupa tuntutan maka mustahil
membebani suatu tuntutan kepada seseorang yang tidak berakal. Selanjutnya syarat
71
mukallaf adalah harus memahami tuntutan atau dalil taklif dan kemampuan
memahami dalil taklif itu hanya nyata dengan akal, oleh karena itu akal adalah untuk
memahami sesuatu.28 Menurut kesepakatan ulama yang menjadi dasar kecakapan
bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum dibebani
kewajiban sebaliknya jika akalnya telah sempurna maka ia wajib melaksanakan
beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Oleh karena itu akal adalah pemberian yang
sangat mulia Dan ketika akalnya cacat karena gila, maka semua perhitungan akalnya
diangkat tidak ada pembebanan sanksi untuknya.
Berdasarkan hal ini maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas
(ahliyah ada al-nuqshan) dan ada yang bersifat sempurna (ahliyah ada kamilah).
Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang manusia adapun tingkatan
yang dimaksud yaitu:
1. ‘adim ahliyah (tidak cakap sama sekali) yaitu manusia semenjak dilahirkan
sampai mencapai umur 7 tahun.
Dalam batas umur ini, seorang anak belum memiliki kemampuan berpikir
atau ghairu tamyiz. Tamyiz artinya kemampuan dapat membedakan antara yang baik
dan yang buruk, yang salah dan benar. Jika didasarkan pada kemampuan semacam ini
sebenarnya anak-anak sekedar bisa membedakan baik dan buruk tidak hanya terbatas
pada usia tertentu akan tetapi banyak anak yang secara usia masih kecil tapi memiliki
28 Jaenal Aripin dan Azharuddin Lathief, Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syar’I, (Jakarta :
UIN Press, 2000.) h. 21
72
kemampuan berpikir layaknya seperti orang dewasa. Namun dalam hal ini adalah
sesuatu yang biasa terjadi secara keumuman atau kebiasaan bukan suatu sebab
sebagaiman kaidah fiqhiyah menyatakan 29:
لفظ ال بخصوص السبب لم ا العبرة بعمو
Artinya : yang dianggap adalah yang menjadi keumuman lafadz bukan karena kekhususan sebab.
Maka sanksi pidana bagi anak yang usianya dibawah 7 tahun tidak dapat dilakukan
baik sebagai hukum pidana maupun sebagai pengajaran. Akan tetapi anak tersebut
dapat dikenakan pertanggungjawaban perdata yakni pemberian ganti kerugian yang
diderita korban oleh orang tuanya atau ahli warisnya.
2. Ahliyah ‘ada naqishah adalah cakap hukum secara lemah yaitu manusia yang telah
mencapai umur 7 tahun sampai 15 tahun.
Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih
lemah dan belum sempurna. Anak yang tergolong dalam batas umur ini dalam
hubungan hukum sebagian tindakannya ada yang telah dihukum dan sebagian lagi
tidak diberi hukuman. Adapun tindakan kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak
yang merugikan orang lain dapat dituntut dan dikenai sanksi hukuman berupa ganti
kerugian dalam bentuk harta bukan hukuman badan. Oleh karena itu tidak berlakunya
hukum qishas dalam pembunuhan, dera atau rajam dalam hal zina, atau potong
29Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Dar al-Kuwatuyyah, 1968.) h. 186
73
tangan dalam pencurian. Ia hanya dapat menanggung diyat pembunuhan atau ta’zir
yang dibebankan kepada harta orang tuanya. Sebagaimana dalam Firman-Nya:
Artinya :“Hai anakku sesungguhnya jika ada perbuatan seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau didalam bumi, niscaya Allah akan membalasnya. Sesungguhnya Allah Maha Halus Lagi Maha Mengetahui.(QS luqman :16)
Artinya : Hai Anakku dirikanlah sholat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan mencegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah (Q.S luqman 17)
3. Ahliyah al ‘ada Kamilah adalah cakap berbuat hukum secara sempurna yakni
manusia yang telah mencapai usia 15 hingga wafat. Mazhab syafi’i dan
hambali serta jumhur ulama berpendapat bahwa usia baligh anak baik laki-
laki dan perempuan adalah usia 15 tahun. Hal ini didasarkan pada sebuah
riwayat ibnu umar :
عن ابن عمر قا ل : عرضنى رسول هللا صلى اهللا علیھ وسلم یوم احد في الفتال وانا ابن اربن اربع وم الخند ق وانا ابن خمس خمس عشرة سنة فاجا زني عشرة سنة فلم یجزني وعرضني ی
(رواه البخا ري)
Artinya : Dari Ibnu Umar berkata: aku datang kepada rasulullah untuk ikut berperang uhud ketika usiaku 14 tahun lalu rasulullah tidak mengizinkan
74
setahun kemudian aku datang kepada rasulullah untuk ikut perang khandak lalu Rasulullah izinkan ketika usiaku 15 tahun. (HR. Bukhari)
Pada usia ini seorang manusia memiliki tanggung jawab penuh, baik dalam
ucapan maupun perbuatannya sangat berakibat hukum, karena rentang usia dalam
tingkatan ini akal manusia telah sepenuhnya sempurna. Manusia dapat menggunakan
akalnya untuk berpikir perbuatan baik dan buruk serta resiko yang harus ditanggung
olehnya. Tindak tanduk yang dilakukan olehnya dapat dimintakan pertanggung
jawabannya.
Dengan demikian hukum islam memberikan penjelasan mengenai batas
minimal usia seorang anak dapat dianggap cakap hukum, yakni dengan ditandai anak
itu telah baligh. Oleh karena itu apabila telah melewati tahapan baligh maka beban
taklif sudah tentu mengikat dirinya dan segala perbuatan yang dilakukannya dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara hukum, sebagai resiko yang harus diterima.
Tahapan seseorang memasuki baligh adalah saat berusia 15 tahun dimana ukuran ini
menjadi batasan akhir yang menjadi tolak ukur seorang anak akan mengalami mimpi
basah bagi laki-laki dan haidh bagi wanita atau pun perubahan fisiknya.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa :
1. Memelihara anak dalam Islam dikenal dengan istilah hadanah yang berarti
mendidik dan memelihara anak sejak lahir hingga sampai sanggup berdiri
sendiri untuk mengurus dirinya sendiri yang dilakukan oleh kerabat anak yang
bersangkutan. Mengasuh atau mendidik anak yang belum mumayyiz
bertujuan agar menjadi manusia yang hidup sempurna dan bertanggung
jawab. Dimana rentang waktu dalam memelihara anak berlangsung selama 7
tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan ketika kelak anak akan
mencapai tahapan baligh. Baligh pada seseorang dapat ditandai dengan mimpi
basah bagi laki-laki dan haid bagi wanita atau dapat dilihat dari tanda-tanda
perubahan fisik pada seseorang anak diikuti oleh perkembangan akalnya. Dan
batasan akhir seseorang anak mencapai kebalighannya yakni saat usia 15
tahun. Oleh karena itu perbuatan anak yang dianggap melawan hukum atau
melanggar hukum dapat dikenakan sanksi hukuman. Sedangkan dalam hukum
Positif khususnya Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, umur anak cakap hukum yaitu :
a. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah
sekurang-kurangnya 8 tahun akan tetapi belum mencapai usia 18
76
tahun, dan belum kawin, maka perbuatan anak sudah dapat
diproses di lembaga pengadilan.
2. Ketentuan mengenai sanksi pada anak yang cakap hukum saat berusia 8-18
tahun berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dapat ditentukan berdasarkan perbedaan umur yaitu :
a. Anak yang berusia 8-12 tahun dapat dikenakan sanksi berupa tindakan
seperti mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh,
menyerahkan kepada depertemen sosial kemasyarakatan untuk pembinaan
/ latihan kerja.
b. Anak yang berusia 12-18 tahun dapat dijatuhi sanksi hukuman meliputi
pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok seperti penjara,
kurungan, denda / pengawasan. Pidana tambahan seperti perampasan
barang-barang tertentu dan pembayaran ganti kerugian.
Pandangan hukum Islam terkait ketentuan hukum tersebut diatas, dimana
terkait dengan Ahliyah al-ada seorang anak. Jenis ahliyah al-ada yang
dimaksud adalah ahliyah al-ada naqishah (7-15 tahun). Seseorang yang
melakukan jarimah, maka ada yang dihukum dan sebagian lagi tidak diberi
hukuman dalam artian ia hanya dikenakan tanggung jawab ganti kerugian
(diyat) kepada korban yang dibebankan pada harta orang tuanya atau ta’zir.
Tidak dikenai hukuman qishas/hadh/rajam/jilid/potongtangan. Kemudian saat
anak dapat cakap berbuat hukum secara sempurna ketika berusia 15 tahun.
Oleh karena itu anak memiliki tanggung jawab penuh dalam ucapan dan
77
perbuatan yang dilakukan, karena akalnya untuk berpikir telah sepenuhnya
sempurna. Dengan demikian hukum Islam mendukung tetap berlakunya UU
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
B. Saran
Atas dasar kesimpulan yang diatas maka penulis mengemukakan beberapa
saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Beberapa diantaranya :
1.) Perlu ada revisi atau perbaharuan kembali dalam undang-undang tersebut
mengingat perkembangan mental dan akal anak akan berubah dimasanya
nanti. Hakim yang menyidangkan perkara anak harus benar-benar
memperhatikan dakwaan yang dibuat dengan cermat dan teliti agar tidak lagi
terjadi penyimpangan dari aturan yang telah dibuat.
2.) Perlakuan yang berbeda dengan orang dewasa setidaknya tetap konsisten
dilaksanakan, baik dimulai dari penangkapan, pemeriksaan, penyidangan dan
penahanan seorang anak yang berhadapan dengan hukum yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum.
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Abdul, K. Ramali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1990, cet. III.
Asyri al-, Bakar Abdul. Tugas Wanita Dalam Islam. Jakarta: Medan Dakwah, 1984.
Audah al-, Qadir Abdul. Al-Tasyrif al-jinaiy al-Islamy, Juz I Kairo: Dar al-Urubah, 1964.
Amani, Ibrahim. Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Isteri. Bandung: al
Bayan, 2000.
Aripin, Jaenal dan Azharuddin Latief. Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syari.
Jakarta: UIN Press, 2000.
Audah, Qadir Abdul. Al Tasyri al Jinaiyah al Islami Muqarranan bi al Qanun al
Wadi. Beirut: al Musassah al Risalah, 1992.
Ayyub, Hasan Syaikh. Fiqh Keluarga. Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2004.
Bak, Ridha Najid. Kewajiban Isteri dalam Islam. Jakarta: Lentera Baritama, 2002.
Bawengan, G.W. Masalah Kejahatan Sebab dan Akibatnya. Jakarta: Prady
Paramitha, 1977.
Bawazir, Djauhara. Dalam Majalah Umi Kenakalan Remaja karena Salah Ibu, Ummi
Badan Koordinasi Nasional Kesejahteraan Keluarga dan Anak, Pola Penanggulangan
Kenakalan Remaja Indonesia, Jakarta : BKKBN, 1972.
Depag MU & UNICEF Pemeliharaan Kelangsungan Hidup Anak. Jakarta: Rhineka
Cipta, 1949.
79
_____RI Ilmu Fiqh. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Proyek Pembinaan & Sarana. Jakarta: PT Agama IAIN, 1984.
Ghazaly, Rahman Abd. Fiqh Munakahat Jakarta: Kencana 2003
Haliman. Pidana Syariat Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1971.
Hanafi, A. Azas-azas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Husain, Mursi Ahmad. Maqashid Syari’ah. Jakarta: Amzah, 2009, cet. I.
Jaziry al-, Rahman Abdul. Kitab al-Fiqh ala al-Mazdahib al-arba’ah Juz II Beirut : Dar al
Fikr, 1985.
Kahlani-al, Muhammad bin Ismail. Subu al Salam Bandung: Dahlan, t.th
Karim, Helmi. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT Firdaus, 1996.
Kartono, Kartini. Psikologi Wanita Gadis & Wanita Dewasa. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1981.
Khallaf, Wahab Abdul. Ilmu Ushul Fiqh Mesir : Dar al Kuwatuyyah, 1968.
Moeljatno. Azas-azas Hukum Pidana, Yogyakarta : Gajah Mada Pers, 1980.
Muhtar, Yaya. Pertumbuhan Akal dan Nurani Anak-anak Jakarta: Bulan Bintang,
1988.
Muslich, Wardi Achmad. Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah.
Jakarta: Media Grafika, 2006.
Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media, 2010,
cet I.
Rahawi-al, Syarh al-Manar wa Khawasyih min ilm al Ushul. Mesir : Daar al-Sa’adah 1315
H
80
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah t.th.
Ruhaily-al, Ruwaly. Fiqh Umar I. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1983.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Beirut: Daar al Fikri, 1983.
Saleh, Ruslan. Perbuatan Pidana & Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara
Bani, 1983. cet III.
Simanjuntak, B. Latar Belakang Kenakalan Anak. Bandung: PT Refika Aditama,
2006. cet I.
_____________ Kriminologi. Bandung: Tarsito, 1984.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1987. cet IX.
Suherman, Ademanan. Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur. Jakarta: PT
Gramedia, 2010. cet I.
Sumadi, Suryabrata. Perkembangan Alat Ukur Psikologi. Yogyakarta: Andi, 2000.
Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama, 2006. cetI.
Tutik, Triwulan Titik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2006.
cet 1.
Tim Penyusun Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
Thalib, M. Dilema Wanita Karir. Jakarta: Lentera Baritama, 1990.
Wiratmo, Widoyati Sri. Anak & Wanita Dalam Islam. Jakarta: LP3ES, 1983. cet I.
Perundang-undangan
KUHP, dan KUHAP.
KUHPer.
81
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang no. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Internet :
www. Politik Kompasiana. com /2010/04/ 29. Perlindungan-anak-Indonesia-dan-
Solusinya html.
www. KPAI. go.id /artikel/190/alternatif-Pemidanaan-Restorative-Justice-Bagi-
Anak-Berkonflik-dengan-hukum html.
www. Zaldym.wordPerss.com/2010/07/17. Peran-dan-Fungsi-Orangtua-Dalam-
Mengembangkan-kecerdasan-Emosional-Anak.
www. Ummu Syauqi. Wordpress. com/category. Pendidikan Anak.
www. Perkembangan Anak. com /2008/03 Tanggung jawab Seorang Orang Tua
terhadap Anak
www. Angel Fire.com / mt /matrixs/Psikologi. Html.
www. hukumonline. com /berita/baca/hol 17014/ekonomi-syariah-hanya-buat yang- dewasa,
http ://kamusbahasaindonesia. Org/kedewasaan
83
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG
PENGADILAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang
memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, danseimbang;
b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan
terhadapanak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun
perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan
mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus;
c. bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengkhususan
pengadilan anak berada di lingkungan Peradilan Umum dan dibentuk dengan
Undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu
membentuk Undang-undang tentang pengadilan Anak.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
84
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan
kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor
2951);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Tahun
1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Anak Nakal adalah:
a. anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
85
3. Anak Didik Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, Tim Pengamat
Pemasyarakatan,dan Klien Pemasyarakatan adalah Anak Didik Pemasyarakatan,
Balai Pemasyarakatan,Tim Pengamat Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
4. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan
Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.
5. Penyidik adalah penyidik anak.
6. Penuntut umum adalah penuntut umum anak
7. Hakim adalah Hakim anak.
8. Hakim Banding adalah hakim banding anak.
9. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi anak.
10. Orang tua asuh adalah orang yang secara nyata mengasuh anak, selaku orang tua
terhadap anak.
11. Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai
Pemasyarakatan yang melakukan Bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
12. Organisasi Sosial Kemasyarakatan adalah organisasi masyarakat yang
mempunyai perhatian khusus kepada masalah Anak Nakal.
13. Penasihat Hukum adalah penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 2
Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan
Peradilan Umum.
86
Pasal 3
Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana
ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 4
(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-
kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang
bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.
Pasal 5
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan
pemeriksaan oleh Penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, atau
orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang
tua, wali atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali
atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen
Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
87
Pasal 6
Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya
dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.
Pasal 7
(1) Anak yang melakukan pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke
Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.
(2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.
Pasal 8
(1) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan, perkara anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dalam sidang terbuka.
(3) Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang
bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan
Pembimbing Kemasyarakatan.
(4) Selain mereka yang disebut dalam ayat (3), orang-orang tertentu atas izin hakim
atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(5) Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum
pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang
tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(6) Putusan pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
88
BAB II
HAKIM DAN WEWENANG SIDANG ANAK
Bagian Pertama
Hakim
Pasal 9
Hakim ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
Pasal 10
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 adalah:
a. telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak.
Pasal 11
(1) Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai
hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat
menetapkan
pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau seorang
Panitera Pengganti.
Bagian Kedua
Hakim Banding
89
Pasal 12
Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 13
Syarat-syarat yag berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
berlaku pula untuk Hakim Banding.
Pasal 14
(1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat banding
sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Tinggi dapat
menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim Banding dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang Panitera atau
seorang Panitera Pengganti.
Pasal 15
Ketua Pengadilan Tinggi memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap jalannya
peradilan di dalam daerah hukumnya agar Sidang Anak diselenggarakan sesuai
dengan Undang-undang ini.
Bagian Ketiga
Hakim Kasasi
Pasal 16
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 17
Syarat-syarat yang berlaku untuk Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
berlaku pula untuk Hakim Kasasi.
90
Pasal 18
(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat kasasi
sebagai hakim tunggal.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Mahakamah Agung dapat
menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis.
(3) Hakim kasasi dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh seorang Panitera atau
seorang Panitera Pengganti.
Pasal 19
Pengawas tertinggi atas Sidang Anak dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Bagian Keempat
Peninjauan Kembali
Pasal 20
Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak Nakal yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak dan atau
orang tua, wali, orang tua asuh, atau Pensihat hukumnya kepada Mahakamah Agung
sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Bagian Kelima
Wewenang Sidang Anak
Pasal 21
Sidang Anak berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
pidana dalam hal perkara Anak Nakal.
BAB III
PIDANA DAN TINDAKAN
Pasal 22
Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan
dalam Undang-undang ini.
91
Pasal 23
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana
tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal
dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang- barang
tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. mengembalikan kepada orang tua, wali, orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,pembinaan,
dan latihan kerja; atau
c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
kemasyarakatan
yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran
dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Pasal 25
(1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 atau
tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
(2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b,
Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
92
Pasal 26
(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf belum
mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka terhadap Anak Nakal tersebut
hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
huruf b.
(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak
diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka
terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 27
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.
Pasal 28
(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak ½ (satu
per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.
(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat
dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.
93
(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari
serta tidak dilakukan pada malam hari.
Pasal 29
(1) Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang
dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat umum ialah bahwa Anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi
selama menjalani masa pidana bersyarat.
(4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang
ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
(5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana
bersyarat bagi syarat umum.
(6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
paling lama 3 (tiga) tahun.
(7) Selama menjalankan masa pidana bersyarat, Jaksa melakukan pengawasan dan
Pembimbing Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar Anak Nakal menepati
persyaratan yang telah ditentukan.
(8) Anak Nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai
Pemasyarakatan dan berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan.
(9) Selama Anak Nakal berstatus sebagai Klien Pemasyarakatan dapat mengikuti
pendidikan sekolah.
Pasal 30
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 2 (dua) tahun.
(2) Apabila terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
huruf a, dijatuhkan pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
94
maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan
Pembimbing kemasyarakatan.
(3) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pengawasan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara,
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.
(2) Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat
mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta.
Pasal 32
Apabila Hakim memutuskan bahwa Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c,
Hakim dalam keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja tersebut dilaksanakan.
BAB IV
PETUGAS KEMASYARAKATAN
Pasal 33
Petugas kemasyarakatan terdiri dari:
a. Pembimbing Kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman;
b. Pekerja Sosial dari Departemen Sosial; dan
c. Pekerja Sosial Sukarela dari Organisasi Sosial Kemasyarakatan.
Pasal 34
(1) Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a
bertugas:
95
a. membantu memperlancar tugas Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim dalam perkara Anak Nakal, baik di dalam maupun di luar
Sidang Anak dengan membuat laporan hasil penelitian
kemasyarakatan;
b. membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang
berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana
pengawasan, pidana denda, diserahkan kepada negara dan harus
mengikuti latihan kerja, atau anak yang memperoleh pembebasan
bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan.
(2) Pekerja Sosial sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b, bertugas
membimbing, membantu, dan mengawasi Anak Nakal yang berdasarkan putusan
pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pekerja Sosial
mengadakan koordinasi dengan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 35
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) dapat dibantu oleh
Pekerja Sosial Sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c.
Pasal 36
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pembimbing
Kemasyarakatan diatur lebih dengan Keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 37
Ketentuan mengenai tugas, kewajiban, dan syarat-syarat bagi Pekerja Sosial diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Sosial.
96
Pasal 38
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial harus mempunyai keahlian khusus
sesuai dengan tugas dan kewajibannya atau mempunyai keterampilan teknis dan jiwa
pengabdian di bidang usaha kesejahteraan sosial.
Pasal 39
(1) Pekerja Sosial Sukarela harus mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dan
minat untuk membina, membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan
hidup,
perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan terhadap anak.
(2) Pekerja Sosial Sukarela memberikan laporan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan mengenai hasil bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap
anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan.
BAB V
ACARA PENGADILAN ANAK
Bagian Pertama
Umum
Pasal 40
Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam pengadilan anak, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Bagian Kedua
Perkara Anak Nakal
Paragraf 1
Penyidikan
97
Pasal 41
(1) Penyidikan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah:
a. telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana
yang dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami
masalah anak.
(3) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam aya(1) dapat dibebankan kepada:
a. penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau
b. penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
Undang-undang yang berlaku.
Pasal 42
(1) Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan.
(2) Dalam melakukan penyidikan terhadap Anak Nakal, Penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu
juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan
jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya.
(3) Proses penyidikan terhadap perkara Anak Nakal wajib dirahasiakan.
Paragraf 2
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 43
(1) Penangkapan Anak Nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana.
98
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentinga
pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 41
ayat (1) dan ayat (3) huruf a, berwenang melakukan penahanan terhadap anak
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalamm ayat (1) hanya berlaku untuk paling
lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penyidik dapat
diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang, untuk paling lama 10
(sepuluh) hari.
(4) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada
Penuntut Umum.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan
berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari
tahanan demi hukum.
(6) Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di
lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di
tempat tertentu.
Pasal 45
(1) Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan
kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat.
99
(2) Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakansecara
tegas dalam surat perintah penahanan.
(3) Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa.
(4) Selama anak ditahan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap
dipenuhi.
Pasal 46
(1) Untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 10 (sepuluh)
hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan Penuntut Umum
dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling
lama 15 (lima belas) hari.
(4) Dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari, Penuntut Umum harus
melimpahkan berkas perkara anak kepada pengadilan negeri.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan
berkas perkar belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 47
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim di sidang pengadilan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima
belas) hari.
(3) jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Pengadilan Negeri yang
100
bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan
Hakim Banding belum memberkan putusannya, maka anak yang bersangkutan
harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 48
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Banding di sidang pengadilan
berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 15 (lima
belas) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan
Hakim belum memberikan putusannya, maka anak yang bersangkutan harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 49
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim Kasasi berwenang mengeluarkan
surat perintah penahanan anak yang sedang diperiksa.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk paling lama 25 (dua
puluh lima) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Mahkamah Agung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampaui dan
Hakim Kasasi belum memberikan putusannya maka anak yang bersangkutan
harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 50
101
(1.) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan pasal 49 guna kepentingan pemeriksaan,
penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan
alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena tersangka atau terdakwa
menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter.
(2) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk
paling lama 15 (lima belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih
diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan
oleh:
a. Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan
negeri;
c. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan
kasasi.
(4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung
jawab.
(5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai
diperiksa atau elum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan
dari tahanan demi hukum.
(6) Terhadap perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada:
a. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat penyidikan dan penuntutan;
b. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan
pemeriksaan banding.
Pasal 51
102
(1) Setiap Anak Nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan
bantuan hukum dari seorang atau lebih Penasihat Hukum selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam
Undang-undang ini.
(2) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan
kepada tersangka dan orang tua, wali, atau orang tua asuh, mengenai hak
memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Setiap Anak Nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung
dengan Penasihat Hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang
berwenang.
Pasal 52
Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
51 ayat(1), Penasihat Hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan
kepentingan umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan
peradilan berjalan lancar.
Paragraf 3
Penuntutan
Pasal 53
(1) Penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan oleh Penuntut Umum, yang
ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Jaksa Agung.
(2) Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a. telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah
103
anak.
(2) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, tugas penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada Penuntut Umum yang
melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa.
Pasal 54
Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukanpenuntutan, maka ia wajib dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
Paragraf 4
Pemeriksaan di Sidang pengadilan
Pasal 55
Dalam perkara Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut
Umum, Pensihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, orang tua, wali, atau orang
tua asuh dan saksi, wajib hadir dalam Sidang Anak.
Pasal 56
(1) Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing
Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan
mengenai anak yang bersangkutan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berisi:
a. data individu anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial anak;
dan
b. kesimpulan atau pendapat dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 57
104
(1) Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk
umum terdakwa dipanggil masuk beserta orang tua, wali, atau orang tua
asuh,Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan.
(2) Selama dalam persidangan, terdakwa didampingi orang tua, wali, atau orang tua
asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 58
(1.) Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dibawa
ke luar ruang sidang.
(2) Pada waktu pemeriksaan saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), orang tua,
wali, orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap
hadir.
Pasal 59
(1) Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kerja
kepada orang tua, wali, orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal
yang bermanfaat bagi anak.
(2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan
penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan
(3) Putusan Pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
BAB VI
LEMBAGA KEMASYARAKATAN ANAK
Pasal 60
(1) Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
yang harus terpisah dari orang dewasa.
(2) Anak yang ditempatkan di lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhak
memperoleh pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya
serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 61
105
(1) Anak Pidana yang belum selesai menjalani pidananya di Lembaga
Pemasyarakatan Anak dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan.
(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, tetapi ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan secara
terpisah dari yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun /lebih
Pasal 62
(1) Anak Pidana yang telah menjalani pidana penjara 2/3 (dua per tiga) dari pidana
yang dijatuhkan yang sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan
baik, dapat diberikan pembebasan bersyarat.
(2) Anak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengawasan
Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Balai
Pemasyarakatan.
(3) Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
masa percobaan yang lamanya sama dengan sisa pidana yang harus
dijalankannya.
(4) Dalam pembebasan beryarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).
(5) Pengamatan terhadap pelaksanaan bimbingan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakat.
Pasal 63
Apabila Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak berpendapat bahwa Anak Negara
setelah menjalani masa pendidikannya dalam lembaga paling sedikit 1 (satu) tahun
dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan lagi, Kepala Lembaga
106
Pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada Menteri Kehakiman agar
anak tersebut dapat dikeluarkan dari lembaga dengan atau tanpa syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan ayat (4).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Perkara Anak Nakal yang pada saat berlakunya Undang-undang ini:
a. sudah diperiksa tetapi belum diputus, penyelesaian selanjutnya dilaksanakan
berdasarkan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang
ini;
b. sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi belum diperiksa, penyelesaian
selanjutnya dilaksanakan berdasarkan hukum acara Pengadilan Anak yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 66
Putusan hakim mengenai perkara Anak Nakal yang belum memperoleh kekuatan
hukum tetap, atau yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi belum
dilaksanakan pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, penyelesaian selanjutnya
dilaksanakan berdasarkan Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
107
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 68
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Januari 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 3 Januari 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO